Bun Houw cepat menjura setelah dia membalikkan pedang-pedangan kayu itu di bawah lengan kanannya. “Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda, sesungguhnya sama sekali saya tidak berani bersikap sombong, akan tetapi hendaknya paduka ingat bahwa pusaka Cin-ling-pai adalah sebatang pedang dari kayu, yaitu Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) itu. Oleh karena itu, setiap orang muridnya tentu dapat pula memainkan kayu sebagai pedang yang merupakan kepandaian simpanan dari ketua Cin-ling-pai. Maka, kini saya memilih sebatang kayu ini sebagai pengganti pedang sama sekali bukan keluar dari sikap sombong, melainkan karena bagi saya, kayu ini merupakan senjata yang paling baik bagi saya.” Raja Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya dia masih sangsi dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya adalah kekasih nona Hong yang amat disuka oleh isterinya itu. Sementara itug diam-diam Yo Bi Kiok mulai percaya kepada pemuda yang dicinta oleh muridnya ini. Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus menghadapi ketua Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengen sebatang ranting kayu oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah! Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu memang seorang sakti yang amat tinggi kepandaiannya, pemuda ini hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan tasbeh di tangan Hok Hosiang itu agaknya berbahaya bukan main. “Orang muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?” Hok Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggauta pengawal yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya amat lihai ini ikut tertawa. “Majulah, Hok Hosiang, sudah sejak tadi aku siap dan ingin merasakan bagaimana kerasnya tanganmu dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa lagi nanti!” kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya. Ucapan ini membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa). “Lihat senjata!” bentaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun kakek berkepala gundul ini gendut tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan dan ketika tubuhnya bergerak, ada angin menyambar dari arahnya, menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga besar. Dalam serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata, yaitu gulungan sinar senjata tasbehnya yang sudah menyambar ganas dengan gerakan melengkung ke atas lalu menghantam ke arah kepala Bun Houw, sedangkan tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sin-kangnya yang membuat dia terkenal dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan pukulan dengan jari-jari terbuka ke arah pusar pemuda itu! Jelas dari gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam gebrakan pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia telah melakukan serangan maut dan telah mengerahkan tenaganya. Raja Sabutai sendiri yang dapat melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, diam-diam merasa ngeri karena agaknya sukarlah bagi orang muda yang hanya memegang gagang tombak kayu pendek itu untuk menghindarkan diri dari cengerakam maut itu. Juga In Hong memandang dengan jantung berdebar dan diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun Houw yang memaksa diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu. Akan tetapi tidak seorangpun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa lawan semacam Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang lunak dan tidak ada artinya bagi pemuda itu! Cia Bun Houw adalah murid terkasih dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar ilmu-ilmu pendeta Lama yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah putera ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang sakti. Maka, jangankan memegang sebatang senjata kayu, andaikata dia tetap bertangan kosong sekalipun, tentu saja dia masih dapat mengatasi dan mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima Bayangan Dewa itu! Melihat gerakan lawan dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini maklum bahwa dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbeh hijau, melainkan pukulan dengan tangan kiri itulah. Memang kelihatannya tasbeh hijau itu melakukan serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor harimau yang menubruk dengan ancaman maut menghancurkan kepalanya, akan tetapi serangan yang terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka agar perhatian lawan tersedot semua ke situ dan yang sebenarnya mengancam nyawanya adalah pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari yang terbuka itu mengandung getaran tenaga sin-kang sepenuhnya. Jari-jari tangan kakek gundul ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu! “Wirrr... wuuuttt...!” Tasbeh hijau itu menyambar ganas, dan tangan kiri meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam hatinya dan tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya pendiam ini untuk mempermainkan lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin karena kegembiraan hatinya dapat melihat Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia memperoelh kesempatan membalas kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga orang musuh besarnya ini, atau mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ. Dia teringat betapa dalam pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal seorang pemilik rumah judi, yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaianannya. Teringat akan hal ini, Bun Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara menyolok. “Syetttt... cessas... aughhh...!” Kakek gundul itu memekik kesakitan dan meloncat ke belakang sambil menarik tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung kayu runcing itu! Pemuda itu tadi mengelak dari sambaran tasbeh hijau dan hati Hok Hosiang sudah menjadi girang karena tepat seperti yang dikehendakinya, pemuda itu agaknya mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbeh sehingga kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbeh sambil mengelak, maka dengan girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang olehnya betapa tangan itu akan “memasuki” pusar dan pemuda itu akan roboh dan tewas dalam segebrakan saja! Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan menarik tangannya terus meloncat mundur karena ternyata punggung tangannya “digigit” oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia melihatnya, ternyata punggung tangan kirinya itu berdarah. Bukan main marahnya. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa kalau pemuda itu dengan kayunya dapat melukai punggung tangannya yang penuh terisi sin-kang tadi, berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal ini dan saking marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa kelaparan, menyerang dengan tubrukan maut, tasbehnya diputar dan dalam sekali terjang saja tasbehnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke tujuh bagian tubuh yang lemah dari lawannya. In Hong menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa dibandingkan dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas, kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit, akan tetapi biarpun gerakan tasbeh itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu benar-benar amat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya dan tidak teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga. Terdengar suara keras berkali-kali dan semua serangan tasbeh dapat dihalau oleh tangkisan pedang-pedangan kayu! Semua orang terkejut dan merasa heran, akan tetapi In Hong merasa makin khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw makin kacau-balau dan agaknya semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan dirinya itu hanya soal kebetulan saja. “Sri baginda, pemuda itu lihai bukan main...” terdengar oleh Raja Sabutai bisikan gurunya dan dia terkejut. Menurut penglihatannya sendiri, pemuda itu terdesak hebat dan hanya dengan susah payah saja dapat menyelamatkan dirinya, akan tetapi ketika dia menoleh, ternyata gurunya itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum! Bagaimana gurunya dapat memuji permainan silat kacau-balau yang lebih mirip dengan orang ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi dia tahu bahwa di dunia ini jarang ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-li atau Pek-hiat Mo-ko dan kini mereka berdua memuji. “In, Hong, kau telah dipermainkah oleh kekasihmu itu! Hi-hik, jangan kau khawatir, muridku. Dia jauh lebih lihai daripada lawannya.” Yo Bi Kiok juga berbisik kepada muridnya. Akan tetapi In Hong tetap merasa tegang. Memang, biarpun gadis ini juga memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan gurunya, namun dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam ilmu silat. Dia melihat betapa pemuda itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar tasbeh yang hijau dan agaknya robohnya Bun Houw tinggal menanti saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus menangkis, bahkan semua jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbeh yang mengelilinginya. “Cruuusss... auuuuuttthhh...!” Tiba-tiba kakek gundul itu mencelat ke belakang dan tangan kirinya meraba hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan darah bercucuran. Makin teganglah para penonton setelah mulai melihat darah. Mereka tidak tahu bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tahu-tahu bisa robek dan berdarah seperti itu! Bahkan Hok Hosiang sendiripun tidak mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan pedang-pedangan kayu itu terus-menerus bergerak menangkis dan melindungi tubuh pemuda itu dari kurungan sinar tasbeh, bagaimana tahu-tahu dapat “menyelonong” dan merobek hidungnya? “Hati-hati, Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbeh sampai melukai hidung sendiri!” Ucapan pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena sesungguhnya para penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang dan mendesak telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan tasbehhya! Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu dirobek ujung pedang-pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan guru-gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok. Akan tetapi In Hong masih saja belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung lawan bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip gerakan kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian lawan. Keparat busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!” Hok Hosiang membentak. “Omitohud... betapa besar dosamu, Hok Hosiang!” Bun Houw menjawab sehingga kembali terdengar suara orang tertawa karena sungguh menyolok sekali sikap dan kata-kata kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedagkan pemuda itu mengambil sikap seorang alim! Hok Hosiang kini menyerang dengan penuh kemarahan, tasbeh hijaunya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung. Akan tetapi anehnya, tidak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan oleh pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu dan setiap kali tasbehnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Mulailah dia mengerti bahwa lawannya yang muda ini ternyata memang lihai dan memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun hal itu tidak diperlihatkannya. Ketika Bun Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk ke sekian kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini memekik keras, kayu di tangannya menyambut lalu membuat gerakan memutar dan tasbeh itu tak dapat dipertahankan lagi membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu dan tidak dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang! Beberapa kali pendeta gendut ini mengerahkan tenaganya menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbehnya telah membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali. “Mampus kau...!” bentaknya dan tiba-tiba tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang sekuatnya itu menghantam ke arah dada Bun Houw. Pemuda ini mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia “mengisi” tangan kirinya dengan tenaga dari ilmu mujijat Thian-te Sin-ciang. “Plakkkk! Krekkkk... pyuuurrr...!” Dua tangan bertemu hebat, tubuh hwesio tergetar, tasbeh itu putus untaiannya dan berjatuhan ke atas tanah, kemudian tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan biarpun dia mempertahankannya, tetap saja dia roboh terguling saking hebatnya tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu tadi. “Eihhh...?” In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang dilakukan oleh Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang? Sementara itu, dengan muka pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, kini tubuhnya merendah seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan hiasan kepala yang memakai alat runcing itu menuding ke arah lawan, matanya melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan uap putih. “Sute, jangan...!” Pat-pi Lo-sian berseru namun terlambat sudah, karena Hok Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw! “Bun-ko, awas...!” In Hong menjerit karena dia maklum kini mengapa hiasan kepala itu mengandung baja runcing. Kiranya hwesio ini memiliki ilmu aneh yang jarang digunakan orang, yaitu serangan dengan serudukan kepala! Dan dia mendengar dari subonya bahwa siapa yang melakukan serangan dengan kepala, berarti dia telah melatih kepalanya menjadi senjata yang amat berbahaya dan bahwa serangan kepala merupakan serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan. Bun Houw juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, diapun maklum bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Kalau dia mengelak lalu menggunakan kayu di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya. Akan tetapt dia harus memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang bahwa murid Cin-ling-pai bukanlah seorang penakut yang jerih menghadapi serangan seperti itu, maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan kaki terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu. “Bun-ko...!” In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan semua orang memandang dengan hati tegang. “Desss...!” Pertemuan antera kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-olah terasa oleh semua yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah menggetarkan ruangan itu dan semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang dihias alat runcing itu seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih berdiri tegak. Tubuh gendut hwesio itu seperti sebatang balok yang menancap, kakinya lurus ke belakang dan sama sekali tidak bergerak. “Uhhh!” Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan dan tubuh hwesio itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu! Ternyata bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw mengerahkan sin-kang mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam kepala pemiliknya sendiri, kemudian perut itu berobah lunak sehingga kepala hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga! Sorak-sorai menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai sendiri sampai bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan melihat kakek dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga kagum bukan main. In Hong duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan dia sendiri merasa heran mengapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi kini diapun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik dan keraguan. Benarkah dia itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu? Melihat permainan silatnya tadi memang tidak berapa hebat, akan tetapi dia bergidik ngeri membayangkan cara pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia sendiri tidak akan berani memasuki bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja jelas membuktikan bahwa Bun Houw memiliki lwee-kang yang amat kuat, bahkan agaknya tidak kalah kuatnya kalau dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia sendiri! Diam-diam dia merasa kagum, juga bangga, juga... penasaran! Atas isyarat Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu setelah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sutenya itu, kemudian Phang Tui Lok bersama Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan menghadapi Bun Houw yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali dan berdiri dengan sikap tenang. “Orang she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan kami akan mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam dan nama kami sebagai Bayangan Dewa. Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin dibantu oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu.” Phang Tui Lok adalah orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan pemuda tadi, dia sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak berapa hebat ini ternyata lihai juga, dan kalau dia membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sutenya inipun akan kalah. Oleh karena itu, dia sengaja maju bersama agar dapat membantu sutenya, dan andaikata pemuda itu dibantu oleh In Hong sekalipun, dia tidak takut karena dia dan sutenya lebih dapat bekerja sama daripada pemuda itu dan In Honk yang tidak mempunyai hubungan apa-apa. Dengan bekerja sama, dia dan sutenya pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In Hong karena dia dan sutenya akan dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding secara campuran, bukan satu lawan satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan, dia dan sutenya sudah terlatih. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah ruangan dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya yang manis tersenyum mengejek. “Agaknya kau ingin sekali mati di tanganku, kakek sombong. Majulah!” dia menantang. Akan tetapi Bun Houw sudah menghadapi In Hong. “Hong-moi, harap, kau suka mundur. Aku akan menghadapi mereka berdua seorang diri.” “Bun-ko!” In Hong membantah. “Aku tidak takut, Hong-moi!” “Akan tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai...” “Ha-ha-ha, orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala? Nona ini ingin menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?” Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar. Bun Houw tidak memperdulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat ke arah Raja Sabutai dan berkata lantang, “Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda. Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima Bayangan Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan urusan pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan oleh kebijaksanaan paduka kedua fihak diperkenankan untuk menyelesaikan urusan dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap kebijaksanaan paduka agar paduka melarang pencampurtanganan dari fihak luar.” Raja Sabutai mengangkat tangannya dan menjawab, “Pernyataanmu itu benar dan tepat, Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba, nona.” In Hong cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah. “Hong-moi, maafkan aku. Kaupercayalah, aku dapat mengatasi musuh-musuhku,” kata Bun Houw perlahan. “Kau... kau... pakailah pedang ini...” Bun Houw menggeleng kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu itu. “Senjata ini sudah cukup ampuh.” In Hong membanting kaki kanannya. “Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru aku akan membunuh mereka!” Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk di tempatnya kembali, disambut oleh subonya dengan senyum. “Jangan khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya,” bisik gurunya. “Jangan, subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!” Sementara itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan berkata, “Paduka menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi kami berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok, sri baginda.” Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw, “Bun-sicu, benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua? Kalau kau keberatan, tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu.” Bun Houw memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. “Sri baginda, ketika Lima Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya yang sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut yang setelah melakukan perbuatannya itu, melarikan diri dan bersembunyi di sini, menggunakan nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut, akan tetapi Cin-ling-pai tidak pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu, sebagai wakil Cin-ling-pai, tentu saja saya akan menghadapi mereka, apapun kehendak mereka. Jangankan baru mereka berdua, andaikata yang tiga lagi di antara mereka bangkit dari neraka dan ikut pula mengeroyok, saya tidak akan mundur, sri baginda!” Raja Sabutai tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar seorang gagah dan pantas menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar, Bun-sicu.” Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata, “Nah, kalian sudah mendengar sendiri, majulah.” Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya dan terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua lengannya bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala dan kuncirnya yang panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. Dengan gerakan perlahan tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah sinar kemerahan berkelebat menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya saking cepatnya dia mencabut pedang itu. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari terbuka dan tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang berjuluk Iblis Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga besar sekali, dan senjata potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di ujung kedua lengan bajunya. Kelihatannya saja dia tidak bersenjata, hanya menggunakan kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sesungguhnya kedua ujung lengan bajunya itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang menyambar secara tidak terduga dan karenaya amatlah berbahaya bagi fihak lawan. Bun Houw bersikap tenang, namun dia sama sekali tidak memandang rendah kedua orang lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang tangguh, terutama sekali orang pertama dari musuh-musuhnya ini. Dia sudah mendenngar keterangan dari ayahnya tentang musuh-musuhnya, maka dia bersikap waspada dan bermaksud untuk mengukur lebih dulu sampai di mana tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan jalan membiarkan mereka menyerang. Dari cara mereka menyerangpun dia sudah akan dapat mengukur kepandaian dan tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-kelemahan mereka. Pemuda ini hanya memasang kuda-kuda sederhana saja, dengan kedua kaki agak terpentang, dan tubuh miring sehingga menghadapi kedua orang lawan itu di kanan kirinya, bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di depan dada seperti orang menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat ke atas dengan pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak, dan hanya kedua matanya saja yang hidup, bergerek ke kanan kiri, dan melihat ujung jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, kagumlah In Hong. Kini gadis itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang sembarangan dan dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam kewaspadaan, dan bahwa seluruh tubuh pemuda itu kini sedang dialiri oleh hawa tenaga sakti yang hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya sendiri karena dia mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang sakti, yang hanya memiliki kepandaian sederhana saja. “Hyaaaatttt...!” Liok-te Sin-mo membentak. “Heeeeiiiitttt...!” Pat-pi Lo-sian juga memekik keras. Keduanya sudah menerjang dengan cepat. Kedua tangan Liok-te Sin-mo menyerang secara bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar dari atas dan bawah dari lain jurusan. “Wut-wut-wut, plak-plak-cringgg... tranggg...!” Dengan gerakan yang amat sigap, terlalu cepat malah sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan tepat, indah dan kuat. Kini tubuhnya sudah diam lagi setelah dia berhasil menghalau serangan gelombang pertama dan kembali dia menghadapi dua orang lawan di kanan kirinya. Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah menjadi terkejut bukan main. Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan membuat pedang ular terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat, sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja yang disembunyikan di dalam lengan baju, dan setiap tangkisan tadi membuat ujung lengan baju itu membalik keras! In Hong terbelalak. Kagum bukan main dia. Biarpun baru segebrakan, akan tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya! Tadi di waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru sekarang, gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat dan juga amat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi. Siapakah sebenarnya pemuda ini? Dia menduga-duga dan hatinya makin kagum sungguhpun kekhawatiran masih belum meninggalkan hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya. Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka diapun tidak berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkkan potongan gagang tombak itu di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut bukan main dan berseru keras, juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru! Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berobah menjadi sinar kehijauan dan kini seolah-olah dua orang Bayangan Dewa itu bukan mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang! In Hong terbelalak. Gerak kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw mainkan Ilmu Pedang Thian-te Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, akan tetapi karena tangannya memegang sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja, sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dari ayahnya! Ilmu pemuda itu memang amat tinggi, apalagi dia mainkan dua ilmu yang digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok Bang Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya dan bingun. Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak dan menghujankan serangan, kini berbalik malah didesak hebat, dihimpit oleh serangan yang datang dari delapan penjuru, dan mereka berdua itu dengan muka pucat kini hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur. Bun Houw mempercepat gerakan “pedangnya” dan kini pemuda itu menambah serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang yang mengandung hawa mujijat sepenuhnya! Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong makin terbelalak den dia kini tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas mempergunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mujijat yang pernah dia pelajari dari pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat sekali! Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta Lama itu? Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin?mo makin terdesak dan kini keringat dingin membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu terpental, demiktan pula ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu atau dengan tangan kiri pemuda itu. “Bersiaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-han di alam baka!” Tiba-tiba Bun Houw berseru den gerakannya menjadi makin cepat dan makin kuat. Pat-pi Lo-sian mengeluarkon suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itupun bergerak hidup seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw! Hebat bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bon Houw bersikap tenang. Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu dia hindarkan dengan gerakan tubuh yang dimiringkan karena perobahan kuda-kuda kaki sehingga pedang itu menyeleweng ke samping tubuhnya, kemudian dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut mengancam matanya dan sebelum Phang Tui Lok sempat menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelang tangan itu dengan tangan kirinya. “Aughhhhh...!” Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya. Rasa nyeri dan kemarahan membuat dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Dan pada saat yang hampir bersamaan, Gu Lo It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw. “Trakkk! Krekkkk... aaaiiihhhhh...!” Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan dan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram. “Buk! Bukk!” Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw setelah dia melindungi punggungnya dengan sin-kangnya yang amat kuat. Kemudian dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu Lo It dengan amat kuatnya. “Brressss...!” Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu menimpa tubuh Gu Lo It sehingga keduanya jatuh tunggang langgang dan sebelum mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan dapat bangkit kembali, nampak sinar hijau berkelebat dua kali dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan dan dua orang Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas seketika. Hanya ada sedikit darah mengucur keluar dari tengkuk mereka yang ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw. Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak tersangka-sangka itu, akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji, terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dan di antara mereka yang bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega bukan main! Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya, “Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang amat berbahaya, muridku. Kau harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya...” Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, “Pemuda itu mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid sembarangan...” Akan tetapi Bun Houw tidak memperdulikan sorak-sorai pujian itu. Dia membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata, “Terima kasih atas kemurahan paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh-musuh saya. Setelah mereka semua tewas, saya mohon kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari tempat ini.” “Bocah she Bun, nanti dulu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok sudah berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap menantang! “Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-bhok-kiam! Bukankah begitu, sri baginda?” Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak memperdulikan urusan pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu. Bagi raja ini, siapapun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya. “Siapapun yang mempunyai urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh diselesaikan sekarang di sini,” jawabnya mengangguk. Bun Houw memutar tubuhnya, perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berobah merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi Kiok ini. Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari encinya! Baru sekarang dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampias Siang-bhok-kiam! Subo... Bun-ko... jangan...!” terdengar suara In Hong khawatir. Akan tethpi Bun Houw tidak perduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya! Gadis yang ternyata juga amat kejam, dan agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah dia kepada Yo Bi Kiok. Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. “Orang muda she Bun.” Yo Bi Kik berkata. “Demi persahabatanmu dengan muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding.” Akan tetapi pada saat itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi. “Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah pusaka Cin-ling-pai dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!” Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu dan dagu yang runcing manis itu diangkat. “Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?” “Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih panting lagi! Aku mendengar tadi bahwa engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?” “Bocah she Bun, tidak perlu kau lancang hendak mencampuri urusan orang lain! Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu, mengerti? Sebagai sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau harus menjadi seorang... kekasih yang baik, jangan menjadi seorang laki-laki yang berhati palau. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi mereka itu. Tak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?” Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketehui siapapun juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya tarhadap In Hong, agaknya telah diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja! Kedua, wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Lapanglah hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini. Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenak itu, yang tadi menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan padang pusaka itu! “Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan, karena yang penting sekarang adalah persoalan yang kaulakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?” “Kalau benar, engkau mau apa?” Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek karena hatinya menjadi jengkel sekali. Dia teringat akan Lie Seng, bocah yang telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta Lama yang amat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia membalas menyerang anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus! “Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!” Bun Houw membentak marah. “Bun-ko...!” In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. “Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!” “Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!” “Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo...” “Hong-moi!” Bun Houw membentak. “Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko.” “Hong-moi...!” Bun Houw terkejut, meragu dan bingung. Pada saat itu, tedengar seruan. “Tahan...!” Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu. “Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!” kata pria itu kepada Bun Houw. “Suheng...!” Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati Bun Houw masih penasaran bertemu dengan Yap Kuh Liong ini, yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga encinya. In Hong juga terkejut melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu dipergunakannya untuk mundur dengan hati lega karena diapun melihat Bun Houw mundur dengan muka berobah. In Hong makin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw. Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berobah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini. Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong, mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sutenya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka diapun lalu menyusul. Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Sang. Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi kaget dan marah sekali maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan. Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang telah mundur dan menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu, berkata, “Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang.” Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi, para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap bendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andaikata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia telah memberi isyarat untuk menanqkap penyelundup itu. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya tertarik. Akan tetapi kini mendengar ucapan Yap Kuli Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak, “Siapakah engkau?” “Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!” Tiba-tiba In Hong berkata. Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan daripada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya. “Adikku...!” Dia berbisik dengan hati terharu, akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai. Dan memang tepatlah dugaannya. Mendengar seruan gadis yang pernah amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong. “Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?” Raja Sabutai bertanya lagi. “Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di sini...” “Ouhhh...!” Yang menjerit ini adalah In Hong. Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan! Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang begitu lihai, tentu saja Cia Bun Houw! Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya gadis yang mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri! “Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacaukan benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Setelah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Maka saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan.” Melihat sikap gagah den kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk. “Baik, silakan.” Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandang matanya penuh selidik, penuh penyesalan. “Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang harap engkau suka berterus terang apa saja yang telah kaulakukan di Sin-yang, dan ke mana kau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu.” Yo Bi Kiok sejenak memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja den dicintanya itu, memandang meara, kemudian dia tersenyum. “Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa perdulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?” “Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!” “Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!” “Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu...” Bun Houw bingung. “Sute, biarkan aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku telah bersumpah kepada encimu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya.” Kun Liong berkata kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. “Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?” “Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu, bagaimana?” “Aku akan memaksamu.” “Kun Liong... ah, Kun Liong, mengapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu.” Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya menusuk, “Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kaulakukan terhadap Lie Seng?” Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. “Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu daripada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?” “Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan.” “Singgg...!” Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam. “Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!” Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong. Pendekar ini cepat mengelak, akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya. Plakk!” dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengen kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang. Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak menggunakan senjata, dan sesungguhnya di dalam hatinya, Yap Kun Liong merasa kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya. Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa terjadi dalam waktu singkat, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang. Biarpun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dan keluarga encinya terjadi hal yang amat hebat, akan tetapi melihat kini Kun Liong bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong. Maka, melihat pendekar itu menghadapi ketua Giok-hong-pang dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi gelisah sekali. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya amat memuji-muji suhengnya ini. Gerakan suhengnya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikitpun kesalahan, perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik. Semua orang, termasuk kakek dan nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh dua orang yang sedang bertanding itu adalah betul-betul ilmu yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak memiliki kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja! Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima dan sekarang dia menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dan gurunya! Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perobahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami perhtiwa yang amat hebat! Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan kakaknya dan gurunya, sesungguhnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain. Betapapun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah bukan main. Dia tahu betapa lihai gurunya, apalagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong. Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tidak berfihak manapun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...! Tiba-tiba hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, “Koko, pakailah ini, baru adil!” Sebetulnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya. Dengan mengandalkan Thi-khi-i-beng sehingga kalau perlu dia boleh menggunakannya agar tidak sampai terluka, den dengan kematangan ilmu silatnya yang telah digemblengnya dengan dasar ilmu mujijat dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong, maka dia percaya bahwa dia akhirnya akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya. Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perobahan pada adiknya. Dahulu, di waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berobah, bahkan telah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut karena yang dimainkarmya itu adalah sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama. Terdengar suara mengaung-aung, seperti ada ribuan lebah beterbangan dan baik Bun Houw maupun In Hong memandang kagum sekali. Pedang Hong-cu-kiam itu setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amatlah banyaknya sehingga selain nampaknya amat indah, juga amat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget! Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong! Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantunya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya. “Murid durhaka...!” Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya! “Ihhh...!” In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya. “Subo...!” In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang. “Bi Kiok, gilakah engkau?” Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya. “Cringg... cringg... tranggg!” Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa memperdulikan dirinya sendiri. Singgg... Wuuuttt! Murid durhaka!” Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang meloncat mundur. “Bukk... aihhhh!” In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling. Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun gadis itu memang sedang tertekan hebat batinnya. Hanya dengan hati berat dan sakit dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi, dan dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, dan menyayangnya. Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secera hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menyangkanya akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya! “Bi Kiok, terlalu engkau!” Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik daripada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong. “Cringggg... ceppp!” “Aihhhhhhh...!?” Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu?kiam tadi. “Bi Kiok...!” Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut dekat tubuh wanita itu. “Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!” Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, bagaimanapun juga tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apalagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu. Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jari tangannya, membasahi bajunya. “Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong...” Wanita itu mengulur tangan kanannya dan Kun Liong menangkap tangan itu, menekapkan tangan itu ke dadanya. “Ampunkan aku, Bi Kiok...” Tiba-tiba wanita itu tertawa. “Hi-hi-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali.” “Maafkan aku, ampunkan aku...” “Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguhpun... aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu... ah, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh, kau terkejut...? Aku aku membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha, putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!” “Bi Kiok!” Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berobah menjadi iblis yang demikian kejamnya. “Kau... kau kejam sekali!” “Heh-heh-heh... aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak akan... ahhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!” “Suheng...!” “Koko, awas...!” Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang amat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapapun cepat Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan! “Yap-suheng...!” Bun Houw menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suhengnya, akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, “Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!” Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw. Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil dan kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu. “Lekas kaucarikan tempat memasak obat, dan masak obat ini!” Tanpa menoleh dan dengan sikap seolah?olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw. Pemuda itu cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, lalu mengerahkan tenaga saktinya menyedot. Tak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali telah menempel di telapak tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Ketika Bun Houw datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar. “Uhhhh...!” Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung. “Koko, engkau belum boleh banyak bergerak.” In Hong berkata. Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang, kemudian dia membuka mata memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo Bi Kiok. Dia menghampiri mayat itu, dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan sin-kang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. “Hebat...!” Tiba-tiba terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi mencekam keadaan di situ semenjak terjadi peristiwa hebat itu. “Sungguh ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!” Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. “Terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Sekarang, urusan pribadi telah selesai dan musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami.” Sambil berkata demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu. Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, “Pek-hiat Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, terserah kepada suhu Pek-hiat Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu.” Raja ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya. Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan diapun tidak tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat kedua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya tentang pedang itu. Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. “Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai,” katanya lantang. “Sama sekali tidak menyangkut orang lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya.” “Hoh-hoh, nanti dulu, orang muda!” Pek-hiat Mo-ko tertawa dan melangkah maju, sikapnya memandang rendah. “Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan jujur.” “Silakan bertanya, locianpwe,” kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu, dan dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing. “Siapakah namamu yang sesungguhnya?” “Nama saya Cia Bun Houw,” menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong. Akan tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa gadis itupun tadinya hanya dikenal sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong! “Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?” tanya lagi Pek-hiat Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan. “Benar.” “Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?” tanya lagi kakek yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka mayat. Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang telah terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya. “Benar,” jawabnya pula. “Bahkan, biarpun mendiang Panglima Besar The Hoo telah meninggal dunia, ayahku tetap setia setiap saat menyediakan jiwa raganya untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat.” “Ho-ho, bagus kalau begitu! Nah, dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, bahwa pedang Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan kalau Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!” Bun Houw terbelalak dan suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan ketegangan hatinya, barulah Bun Houw menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran. “Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo telah meninggal dunia, bagaimana bisa menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe menyusul beliau?” Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan. “Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!” Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas. “Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil menanti wakil dari The Hoo untuk mengambilnya.” Bun Houw menjadi marah sekali. “Biarlah sekarang juga aku menjadi wakilnya!” bentaknya. “Dan aku juga!” In Hong juga berseru dan sudah meloncat ke dekat Bun Houw yang mengerlingnya, juga gadis itu melirik dan mereka saling bertemu pandang dalam kerling mereka. “Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!” kata Pek-hiat Mo-ko. Tahan...!” Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa. “Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?” Pek-hiat Mo-ko berkata mengejek. Yap Kun Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, “Harap paduka maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng paduka ini.” Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, lalu berkata, “Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkan kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid dan keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya ji-wi suka menerangkan mengapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberitahukan.” “Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan dan kami pernah dilukai dan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena itu, belum puas hati kami sebelum membalas kekalahan kami puluban tahun yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, ataupun sahabatnya yang mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam.” Yap Run Liong berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kami tidak ingin mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk mengambil pedang?” “Ho-ho, kaukira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami? Ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar.” “Lembah Naga? Di mana itu?” “Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san.” Yap Kun Liong mengangguk. “Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,” jawabnya dan kini sikap menghormatnyapun lenyap. “Akan kami sampaikan kepada supek Cia Keng Hong.” Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata, “Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan perkenankan kami sekarang untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi Kiok.” Raja Sabutai mengangguk-angguk. “Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini. Terimalah!” In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju dan tidak menolak ketika Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara ke lehernya. “Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka dan Sang Ratu Khamila hidup berbahagia.” Mereka berpamit lagi kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan, mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok yang masih lemas. Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan kuburan itu, tak tertahankan lagi dua titik air mata membasahi pipina yang segera diusapnya dengan punggung tangan. Sementara itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran, “Yap-suheng, kenapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka.” “Aku percaya, sute. Akan tetapi, kalau hal itu kaulakukan juga, berarti kita membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biarpun engkau dan Hong-moi-moi belum tentu kalah, akan tetapi harus kauingat bahwa mereka adalah guru-guru dari Raja Sabutai. Tidak mungkin raja akan membiarkan saja kedua orang gurunya ditentang, apalagi dikalahkan orang di hadapannya. Kalau pasukan maju mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diripun akan sukar, apalagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang tidak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan menyesalpun tiada gunanya lagi. Yang lebih hebat lagi, kita akan dicap sebagai pengacau di benteng, dan ini amat bertentangan dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?” Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu. “Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?” Tiba-tiba In Hong juga mengajukan pertanyaan. “Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata bahwa dia yang membunuh go-so (kakak ipar)... dia yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?” Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang telah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya. Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak kepada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini. Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya ketika masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari petualangannya itulah (baca cerita Petualang Asmara). Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan agar kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan kepada Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku.” “Ahhh...!” Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suhengnya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk. “Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ah, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebetulnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta diri sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapapun juga, dia telah mengakui perbuatannya dan... dan rasa penasaran besar itu telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa encimu, sute, bahwa Giok Keng tidak berdosa. Akan tetapi... ah, diapun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya...” Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng. “Sungguh hebat...!” dia melanjutkan. “Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, encimu yang tidak tahu apa-apa telah kehilangan suami dan sekarang juga puteranya terbunuh oleb Bi Kiok. Aih, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa.” “Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa.” Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan. “Apa... apa maksudmu? Lie Seng...” “Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya,” jawab In Hong. “Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!” Bun Houw juga berseru girang ketika memandang wajah gadis itu, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah. “Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kaumaksudkan, koko.” Kun Liong menjadi girang sekali. “Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!” “Aku... aku pergi mencarikan obat...” gadis itu menunduk. “Dia mencarikan obat untuk aku yang hampir mampus, suheng,” tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. “Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati.” “Ahhh...!” Kun Liong makin girang dan memandang adiknya yang menjadi merah mukanya. “Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang...” “Hehh...?” Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. “Kalau begitu dia adalah suhu!” Kini Kun Liong juga kaget. “Apa? Gak-hu (ayah mertua)?” In Hong menjadi bingung mondengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya. “Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan...” “Dia suhu!” Bun Houw berseru. “Jelas, dia adalah gak-hu. Aih, sungguh kejadian yang kebetulan sekali!” Kun Liong berkata dengan wajah girang. “Kalau begitu, putera encimu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute.” Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian berkata, “Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoiku sendiri.” In Hong menggeleng kepala. “Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya.” Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini demikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu! “Urusan encimu audah beres, sute, sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri ketika ibunya terbunuh dan sampai kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam kepada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku...” Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya telah tewas, puterinya telah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar. Akan tetapi In Hong menggeleng kepalanya. “Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku.” Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra. “In Hong, adikku. Keadaan telah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tidak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?” In Hong terharu. Ingin dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk. Kun Liong melepaskan tangan adiknya. “Nah, kalau begitu,selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi.” Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu. *** Mereka berdiri, saling berhadapan dan sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran. “Kau...” “Kau...” Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng. “Hemm, kiranya engkau Cia Bun Houw!” In Hong kemudian berkata dan membuang pandang mata ke atas, ke arah daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin. “Ya...” “Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!” “Ya...” “Engkau pura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa.” “Ya...” “Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai akupun tertipu.” “Ya... tapi...” “Sungguh cerdik sekali!” “Hemm...” “Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau berpakaian kulit domba.” “Ahh...” “Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada...” “Kepada seorang dara pendekar yang lihai...” “Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!” “Eh, aku salah lihat... eh, salah duga...” “Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!” “Eh, dengar dulu...” “Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama...” “Ya, suhu Kok Beng Lama.” “Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?” “Ya...” “Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!” “Heiii...” “Cia Bun Houw itu adalah seorang laki-laki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!” “Eh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan.” “Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh...” “Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ah, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?” “Siapa menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa.” “Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya menyangka engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Kiranya subomu yang melakukan hal itu den maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan.” “Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat selamanya?” “Ehhh...?” Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja. “Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan.” “Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat selamanya?” “Ehhh...?” Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja. “Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan.” Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. “Cia Bun Houw! Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tak tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?” Wajah In Hong menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal. Akan tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw menjawab, “Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tidak menerima ikatan jodoh dengan gadis manapun dan tentang gadis yang kaukatakan kurayu dan kutinggalkan dan lupakan...” “Hemm, sungguh berani mati. Tidak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san.” In Hong menantang. Bun Houw makin terheran dan terkejut. “Cin-ling-san?” Tentu saja dia terkejut. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia ke sana? “Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai...” “Eh, kaumaksudkan menjumpai ayah dan ibuku?” Bun Houw tentu saja menjadi girang sekali. “Ya dan engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabmu!” Bun Houw menjadi girang sekali. “Baik, mari kita pergi. Aku memang ingin kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan? Ayah dan ibu tentu akan girang sekali menerima kedatanganmu.” “Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan...” In Hong tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima dan hatinya menjadi panas lagi. “Melainkan... apa, Hong-moi?” “Kaulihatlah saja nanti!” In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang muka, membuat Bun Houw makin terheran-heran akan sikap gadis ini. Akan tetapi betapapun juga, hatinya gembira bukan main karena dia akan melakukan perjalanan ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini. Akan tetapi, perjalanan itu ternyata tidaklah begitu menyenangkan seperti yang dibayangkannya. Benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapapun dia berusaha untuk menyelami isi hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara, hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-ling-san. Sikap yang dingin kaku dari gadis ini dan yang agaknya bersungguh-sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak juga dan mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima. Apakah Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san? Akan tetapi pertanyaan ini dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di Tibet, mana mungkin bisa berada di Cin-ling-san? Tidak mungkin sekali gadis dusun itu melakukan perjalanan sejauh itu. Pula, tidak mungkin Yalima berani selancang itu menyusulnya ke Cin-ling-san. Pula, seaungguhnya, selain sedikit kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan Yalima. Hanya suatu peristiwa cinta remaja yang masih hijau dan mentah, betapapun juga, melihat sikap In Hong yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang. Ketika pada suatu pagi mereka tiba di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis perjalanan yang tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini karena terjadi keraguan di hati masing-masing. In Hong yang teringat akan kunjunganya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia, kekurangajarannya, merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-ling-san. Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu tampak oleh Kwee Siong, seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Melihat kedatangan Bun Houw, Kwee Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia sudah tahu bahwa kakaknya, Kwee Tiong, telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw pulang. Diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw. “Twako... twako... celaka, twako...!” Kwee Siong yang berusia lima belas tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya. “Eh, adik Siong, ada apakah?” Kwee Tiong bertanya khawatir. “Apa yang terjadi?” “A Siong, kau kenapakah?” kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah adik ipar yang pucat dan ketakutan itu. “Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang...” Ahhh...!” “Ihhh...!” Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu amat tiba-tiba, akan tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan berkata, “Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang kita. Kautunggu saja di sini.” “Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, yang bertanggung jawab kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu akan dapat memaafkan kita.” “Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi...” cegah sang suami. “Dan hatikupun tidak akan tenteram membayangkan engkau sendirian menghadapi kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapi bersama! Kita hidup bertiga dan matipun bertiga!” “Bertiga...?” Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu dia merangkul isterinya dan berkata halus, “Marilah kalau begitu.” Kwee Tiong dan Yalima sambil bergandeng tangan dan berbesar hati lalu menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti pandang mata Kwee Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini lalu lari ke gedung tempat tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan kakaknya berdua. “Hong-moi, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?” terdengar suara Bun Houw memecah kesunyian ketika dia dan In Hong berjalan mendaki lereng gunung melalui lorong itu. “Aku tidak merasa menyiksa hati siapapun,” jawaban In Hong kaku dan dingin karena makin dekat dengan Yalima, makin tak senang hatinya. Akan tetapi dara ini di dalam perjalanan sering melamun dan merasakan betapa rasa tidak senang di hatinya itu kini sama sekali berobah. Bukan lagi condong ke arah ketidaksenangan karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu. “Mengapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi? Apakah sebetulnya segala rahasia sikapmu ini? Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku, ada urusan apakah?” In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek, “Engkau akan melihat sendiri nanti...” “Enci In Hong...!” “Cia-taihiap...!” Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing, terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda tampan, juga terbelalak heran. Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik isterinya dan mereka berlutut di depan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak. “Eh... apa yang kalian lakukan ini?” “Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!” “Heii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?” “Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri...” “Bagus!” Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar gunung dilepaskan dari hatinya yang tertindih. “Biarpun agak terlambat, aku mengucapkan selamat kepada kalian!” “Terima kasih, taihiap...” Kwee Tiong berkata terharu. “Terima kasih... aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia, taihiap, sedangkan aku... aku hanya seorang bodoh...” Yalima terisak dan menutupi mukanya, air matanya mengalir turun. “Yalima! Apa artinya ini? Engkau... sudah mengandung malah?” Terdengar In Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan. “Enci In Hong... aku... aku telah menikah... dengan suamiku ini... beberapa bulan yang lalu...” “Singgg...!” Tampak sinar berkelebat. “Keparat kau, perempuan tidak setia dan memalukan!” Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. “Hong-moi, apa yang hendak kaulakukan ini?” “Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!” bentak In Hong. Kwee Tiong sudah bangkit pula untuk melindungi isterinya. “Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima tidak setia?” “Kepadamu! Dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa dia sekarang...” “Hong-moi, waktu itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima mengira dia mencintaku sebelum dia bertemu dengan Kwee Tiong koko yang benar-benar dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini menjadi marah dan hendak membunuhnya? Hong-moi, apa sih sebenarnya arti perbuatanmu yang aneh ini?” Mereka saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan. Akhirnya pedang yang tergetar di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas tanah. “Cappppp...!” Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari pergi dengan cepat sekali. “Hong-moi...!” Bun Houw berseru memanggil akan tetapi dara itu sama sekali tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata. “Hong-moi...!” Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis. “Taihiap, harap ampunkan aku...” Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia maklum betapa anehnya watak dara itu sehingga kalau dia kejar dan desak, tentu hanya akan menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu menoleh lagi. “Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?” Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena isterinya masih menangis sesenggukan. “Taihiap, karena isteriku telah menceritakan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada taihiap?” “Silakan, Kwee-koko, sama saja.” “Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seorang yang berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolongnya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw...” “Ahhh...!” Bun Houw terkejut sekali. “Biar aku yang melanjutkan,” tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya. “Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan...” “Eh, bohong itu! Siapa bilang begitu?” Bun Houw berseru kaget. “Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa hubungan jodoh antara dia dan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah tunanganku. Itulah sebabnya dia tadi marah-marah melihat aku telah berjodoh dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu, engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir membunuhku...” Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu Dia teringat akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan hatinya makin terasa sedih. “Sungguh aneh... sungguh tak mengerti aku...” Hatinya berbisik dan pada saat itu terdengar seruan nyaring, “Houw-ji (anak Houw)...!” Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya turun dari puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar pelaporan Kwee Siong tentang kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun. “Ayah! Ibu!” Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang. Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah sungguhpun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis den wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami guncangan batin yang hebat. “Bukankah kau tadi datang bersama In Hong?” Cia Keng Hong yang tadi menerima laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari. “Dia sudah pergi, ayah.” jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya. “Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja.” kata Sie Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya den mengajaknya naik ke puncak. Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan. Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lalu lebih dulu menceritakan soal pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok den penyebab semua peristiwa menyedihkan antara keluarga Kun Liong itu. “Ayah dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui.” Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut den juga girang. “Siapa dia?” “Dia adalah seorang wanita bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dahulu memperoleh bokor emas pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah.” “Ahhh...!” Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tabun yang lalu ketika pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw. “Di mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang menjadi gara-gara itu!” kata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum juga kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan. “Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya adalah seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, malah wanita itu... dia adalah guru dari adik Yap In Hong.” “Ahhh...!” Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong karena iri! Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu menggeleleng kepalanya. “Jadi kembali gara-gara cinta...” Nenek Sie Biauw Eng berbisik. “Betapa hanya mendatangkan malapetaka belaka.” “Hemm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan malapetaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apapun juga.” Sie Biauw Eng menjadi terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu. “Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu, Bun Houw?” Cia Keng Hong bertanya. “Benar, ayah.” “Dan Siang-bhok-kiam...” “Itulah yang membikin jengkel, ayah. Siang-bhok-kiam itu oleh Bayangan Dewa diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka tidak mau menyerahkan pedang pusaka kita kepadaku.” “Eh, mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?” Ibunya membentak. “Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam kepada mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tidak ada, maka mereka menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu.” “Keparat!” Sie Biauw Eng memaki. “Hemm, sudah setua ini masih dicari orang untuk bermusuhan.” Cia Keng Hong mengomel. “Mereka itu menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam.” Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Aku bukan anak kecil, bukan pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa susah payah dan jauh-jauh pergi hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?” “Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam adalah pusaka dari lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka menentang, lalu kita diam saja, tentu kita akan diketawai orang sedunia!” bantah isterinya. “Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek mulutnya, perduli apa kita?” Cia Keng Hong membantah. “Tapi...” bantah isterinya. “Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingat, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan kalau kita mengandalkan pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?” “Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tidak perlu memikirkan omongan orang lain, namun kita sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai bertanggung jawab untuk menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai! Setelah sudah berhasil jerih payah Bun Houw membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!” “Ayah dan ibu harap suka bersabar. Urusan Siang-bhok-kiam tentu saja dapat kita rundingkan kemudian dan aku sendiripun merasa bertanggung jawab den aku yang akan mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan tetapi ada berita yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... eh, di manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini.” Ibunya mengerutkan alis. “Encimu belum pulang sampai sekarang. Sungguh malang sekali nasib encimu, Houw-ji.” “Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya lebih dulu. Lie Seng telah dapat diketahui berada di mana.” “Ahh! Di mana cucuku itu?” Cia Keng Hong bertanya girang. “Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat tertolong oleh adik In Hong.” Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw tentang Lie Seng seperti yang didengarnya dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung. “Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu...” Teringatlah Cia Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan hatin karena kematian anaknya yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-bayang khayal yang buruk. “Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan telah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada berita yang amat menyenangkan untukmu, anakku,” kata Sie Biauw Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya! Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang melihat ibunya begitu gembira. Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan pada saat itu, pelayan-pelayan mereka datang menghidangkan makanan dan minuman. Percakapan tertunda sebentar, setelah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya, melanjutkan, “Beberapa pekan yang lalu, ketika ayahnya baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka.” Dia berhenti dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan penuh keinginan tahu. “Siapa, ibu?” “Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid mendiang Panglima The Hoo dan...” “Ah, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng den Souw Kwi Eng si kembar itu!” Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum. “Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka,” kata pula Sie Biauw Eng. “Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!” kata Bun Houw membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng, yang memiliki kecantikan yang khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam agak keemasan! “Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!” Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali. Ibunya tertawa. “Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji.” “Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai.” “Dara itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan dia cerdas sekali, juga gagah perkasa aeperti ibunya, selain itu dia juga pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah dan... si In Hong yang liar itu...” “Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?” Bun Houw memotong karena hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar. Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. “Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga untuk mengajukan usul atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh...” “Ehh? Ikatan jodoh...?” Hati Bun Houw berdebar keras. “Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!” “Ibu...!” Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa pening dan bingung. Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara dan memberi kesempatan kepad puteranya untuk menenangkan diri. Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian... kemudian teringatiah dia betapa mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu. Membayangkan itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara cantik! Dan terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi makin bingung. Houw-ji...!” Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali akan keadaannya. “Maaf, ayah dan ibu...” “Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun lebih, dan ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu dalam sebelum menutup mata,” kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu. “Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong. Akan tetapi, terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang memutuskan tali perjodohan itu...” Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia! Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah “bertunangan” dengan Yalima, mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan! “Kemudian kami mencari-cari dan memilih-milih,” sambung Sie Biauw Eng melanjutkan penjelasan suaminya. “Dan ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya.” “Ibu...!” Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali. “Hemm, kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu,” sambung pula ibunya. “Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui pilihan ayah bundamu?” Keng Hong berkata dengan tenang mendesak. “Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan.” “Ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?” Ayahnya mencela. “Ikatanmu dengan Kwi Eng barulah pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya, hemmm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih.” “Akan tetapi jangan lama-lama, anakku,” kata Biauw Eng. “Aku sudah ingin sekali mempunyai cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!” Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki hatinya. “Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita bicarakan urusan perjodohan. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak berada di benteng Raja Sabutai ketika mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu sudah kuserang mereka dan kurampas pedang pusaka kita itu.” “Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!” ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. “Engkau hampir tidak pernah berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama itu Tibet sampai bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, kau tidak boleh cepat-cepat pergi!” “Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kaupun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kauselesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga.” Bun Houw tidak dapat membantah lagi dan dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja. *** In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur kembali napasnya yang agak terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biarpun matanya dipejamkan, namun nampak bayangan beberapa orang berputaran, yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima. Ingin dia menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, sejak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw. Anehnya, ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang telah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya! Dan kalau tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang telah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berobah cemburu dan iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai, biarpun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan! Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi isteri orang lain. “Aku telah gila... aku telah gila...!” Dia berbisik dan menjambak rambutnya sendiri Houw-koko...!” Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya, biarpun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya dan baru teringat dia bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan! “Houw-ko...!” Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu. In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon. “Dessss... krakkkkk!” Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sin-kang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi. “Persetan dengan Cia Bun Houw...!” Dia membentak lalu dara ini lari secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan. Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya lagi risau In Hong tidak perduli dan terus saja dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali. “Heiii...!” Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu dan In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi telah membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong. “Lihiap...! Perlahan dulu...!” Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti berlari dan menanti di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian, hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya, awas, pikirnya! Aku takkan mengampunkan kalian! Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan seorang di antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, usianya empat puluhan tahun, meloncat dengan gesitnya dari atas kuda lalu menghampiri In Hong yang berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang depan dada. Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, “Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap ini yang bernama Yap In Hong?” Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang dinamakan Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan. “Prrrttt...!” Betapapun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangen dan kini dengan tenang, tanpa merobah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran sekali melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri! In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya ke arah wajah perwira itu seperti todongan ujung pedang yang amat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang. “Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?” Suaranya dingin sekali dan nadanya mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggauta pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya. Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang telah disumpah untuk setia sampai mati! Perwira itupun lalu menjawab dengan tabah, “Maafkan saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apapun.” In Hong memandang dengan marah, akan tetapi ketika dia bertemu pandang dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak. “Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!” Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali nampaknya. “Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana kaisar dan ratusan orang anggauta kami disebar di seluruh pelosok untuk mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri! Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap. Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami melakukan pengejaran.” Akan tetapi pandang mata In Hong masih belum melenyapkan kecurigaannya. “Apa sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?” “Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap sampai jumpa...” “Dan kalau sudah jumpa?” “Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar.” In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak mungkin kaisar yang kini sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk terhadap dirinya. Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya, dan pada saat seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kokpun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya. “Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana,” katanya. Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar! “Saya akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!” katanya dan tak lama kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan kembang api berwarna biru di udara. Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana pasukan itu telah bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di istana, yang mengirimkan In Hong tidak kurang dari seratus orang! Dara itu sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup bebas dan menghadapi kesukaran-kesukaran sampai merasa sungkan sendiri. Akan tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk memenuhi perintah kaisar, maka diapun tidak menolak. Kalau mereka kemalaman di jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka. Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangannya dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ menjadi terheran-heran. “Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!” In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang cerdas, maka biarpun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata. “Semoga paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!” Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. “Ha-ha-ha, Hong-lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu! Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk hutan!” Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil tersenyum. “Hamba hanya ikut-ikut saja, sri baginda. Kalau keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan.” “Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan kuanggap saudaraku sendiri, Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat kepadamu dan kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku sendiri. Engkau berhak keluar masuk di selurub istana ini dan berhak tinggal di sini selama yahg engkau sukai.” Kembali semua menteri melongo mendenger ini, akan tetapi karena merekapun sudah mendengar behwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk. Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu. In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya, “Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?” Kaisar tersenyum lebar. “Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak kalau engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami.” In Hong lalu menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana dan memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren. Mulai hari itu, kehidupan In Hong berobah sama sekali! Biarpun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi setelah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan! Dan diapun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra? Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan dia, kaisar berkata, “Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap daripada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dahulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah diapun tidak jauh dariku.” In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa. “Aku hanya mengharap, lihiap, engkau sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana.” In Hong mengangguk-angguk. Dia mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila. “Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah paduka.” Demikianlah In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menduga bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa. Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana, dan mulai dapat merobah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, semua orang merasa suka kepadanya. *** Tio-twako...!” “Eh, Tio-twako datang...!” Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun. Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Betapa hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia menekan perasaannya ini dan cepat menjura. “Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?” “Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?” Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. “Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?” “Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami ingin banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako.” Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu. “Aih, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!” Souw Kwi Eng menggoda. “Hushh, jangan main-main kau!” Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau. Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka telah mendengar penuturan kedua orang anak mereka tentang Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng ketika hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apalagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan ramah kepada pemuda sederhana itu. “Aku mengenal baik ayahmu itu,” katanya. “Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi.” Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. “Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo.” “Aih, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?” kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biarpun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda den cantik. “Terima kasih, bibi.” “Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun.” kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga tidak seperti orang asing, sungguhpun kebiruan matanya den kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya. Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak dan mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang telah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri dan akhirnya menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari dan untuk mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri. Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng lalu berkata, “Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu.” “Eh, cerita apa?” Tio Sun balas menanya. “Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kauceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?” Kwi Eng berkata pula. “Enci Hong...? Ah, tentu kaumaksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya.” Kini Kwi Beng benar-benar tidak dapat menahan keinginan tahunya. “Kau berjumpa dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?” Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong! “Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong...” “Begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...” kata pula Kwi Beng dengan girang. “Yap In Hong... sungguh tepat, namanya memang sesuai dengan orangnya yang...” “Cantik manis!” Kwi Eng menggoda. “Yang amat lihai,” Kwi Beng melanjutkan tanpa memperdulikan godaan saudaranya. Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang selalu turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apalagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian... “Eh, kenapa kau bengong saja, twako?” tiba-tiba Kwi Beng menegur. “Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?” Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya. “Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!” Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja amat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini! “Tidak apa-apa, maafkan aku...” Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Sebetulnya... eh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!” “Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!” kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya. “Siapa yang menyangkal?” Kwi Eng menjawab. “Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya,” kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu. Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di depannya, kemudian dia bercerita. “Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong...” “Ahhh...!” Seruan ini keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. “Tapi... tapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong...” “Tentu lebih tua daripada kita!” kata Kwi Eng. “Paling banyak selisih dua tahun!” kata Kwi Beng membantah. “Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar.” “Hebat...!” seru Kwi Eng. “Twako, bukankah kabarnya kaisar telah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?” tanya Kwi Beng. “Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai.” “Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!” Souw Kwi Beng berseru gembira. “Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan.” “Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?” Kwi Beng bertanya. “Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja.” “Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?” tiba-tiba Kwi Eng bertanya. “Ehm, ehm...!” Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya. Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulupun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw. “Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya ketika kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, setelah kaisar dapat diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang setelah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai.” “Aih, berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?” Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai. “Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan katanya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap.” “Hebat...!” Kwi Eng bersorak girang. “Lalu bagaimana, twako? Pedang Siang-bhok-kiam tentu sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?” “Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia.” Sayang, kami berduapun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia,” kata Kwi Eng. “Cin-ling-san?” Tio Sun bertanya heran. “Ya, bersama ibu,” jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berobah merah sekali. “Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya! Ha-ha!” “Ihhh, tak tahu malu kau!” Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam. Seketika wajah Tio Sun berobah pucat. “Tunangan...?” Dia berbisik. “Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... eh, kau kenapa, Tio-twako?” Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu. “Ahh... ehh, tidak apa-apa...” Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, akan tetapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam. “Kau... kau pucat sekali dan gemetar... kau seperti orang sakit, twako,” Kwi Beng bertanya khawatir. Tio Sun menggigit bibir. “Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi...” Tio Sun bangkit dari bangkunya. “Ehhh? Ke mana?” Kwi Beng berseru kaget. Tio Sun sadar kembali bahwa dia telah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. “Eh... mau beristirahat...” “Kamarmu di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit.” “Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih...” Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun lalu mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya. Setelah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya dia bisa menenangkan batinnya yang terguncang hebat mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu. “Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!” Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. “Sejak dulupun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!” Penyesalan kepada dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya kalau Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya dan bahwa sudah semestinya kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula. “Kata Beng-ko engkau sakit, twako?” Kwi Eng menegurnya ketika dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya. “Ah, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin.” jawab Tio Sun sambil tersenyum. “Akan tetapi setelah mengaso sebentar di kamar yang nyaman ini sudah sembuh kembali. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!” Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berobah merah. “Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali.” Tio Sun yang bijaksana itu ternyata telah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya. Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk dapat berjodoh dengan dara yang dicintanya itu lenyap sama sekali, sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng seperti sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itupun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka. Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, pemuda ini dengan muka sedih mengeluarkan isi hatinya. “Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sebenarnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga.” Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum, “Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau mesih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang amat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apapun yang kaukehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?” “Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.” Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka! “Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?” “Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.” Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng den Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. “Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?” Kwi Beng menarik napas panjang. “Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.” Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.” Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka! “Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?” “Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.” Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng den Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. “Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?” Kwi Beng menarik napas panjang. “Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.” Tio Sun memandang heran. “Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?” “Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan soal jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!” Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan “ngambek” kepada ibunya! “Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?” “Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan.” “Mengapa?” “Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebenarnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi.” “Hemm... mengapa pula?” “Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan itu yang terutama adalah soal perbedaan usia. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua daripada calon isteri.” “Siapa yang mengharuskan, Beng-te?” “Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendeknya, ibu menolak dan hatiku hancur, twako.” Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak. Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biarpun belum diketahui apakah gadis yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal? “Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?” Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun dan memandang dengan matanya yang biru, penuh permohonan. “Twako, sudikah twako menolongku?” Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seolah-olah dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya! “Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?” “Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong.” “Ahhh...?” Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan pormintaan seperti itu. “Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang...” Dan tiba-tiba Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun! “Kalau twako tidak mau menolongku, habislah harapanku...” katanya dengan suara seperti orang hendak menangis. Tio Sun cepat membangunkan pemuda itu. “Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang.” “Akan tetapi twako tidak mau menolongku...” Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi hanya atas dasar desakan dan permintaanmu. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang...” “Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku.” Tio Sun merasa terdesak. “Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau lebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan demikian tidak sampai kelak hatimu patah karena penolakan dari fihaknya.” “Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimanapun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tidak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa diapun... eh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya terhadapku baik sekali.” “Hemm, Beng-te. Pertolongan adalah kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta.” “Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kaupikir lebih dulu menemui nona itu, akupun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong, akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi.” “Ehh...? Tentu orang tuamu akan melarang.” “Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja terus terang bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan.” Tio Sun menarik napas panjang. “Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te.” “Tidak, twako. Aku yang bertanggung jawab akan hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?” Akhirnya Tio Sun tak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini. Pula, diapun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin pergi dan sejauh mungkin agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu. Ketika Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang rewel! “Aku juga ikut...!” katanya manja. “Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!” kata Yuan de Gama mencegah. “Dan kau harus ingat bahwa engkau telah terikat sekarang, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu.” Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorangpun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seolah-olah tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya. *** Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak nampak sebuahpun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul di malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit. Biar di kota raja sekalipun, tempat tinggal orang-orang yang beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantung di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu, bahkan penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera dan lampu besar yang dinyalakan para penjaga keamanan. Di malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar, toko-toko dan restoran-restoran sepi sehingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang mempunyai keperluan penting sekali, dan laki-laki iseng yang tak betah di rumah dan keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya Seorang laki-laki setengah tua yang mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah karena si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap langkahnya. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan “Heeeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!” Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu. “Manusia terbang... heh-heh, ya benar... manusia terbang...” sambung yang setengah mabok. Orang-orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya agar dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas daripada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu? Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan. Akan tetapi kalau kebetulan di atas genteng-genteng rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sesungguhnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian dia atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana! Ketika dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu. Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang. Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, menudingkan telunjuk tangannya yang kecil ke arah menara. Si muka putih mengangguk, dan diapun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya mengangguk. Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, setengah merangkak seperti seekor harimau mengintai korban mendekati menara. Setelah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur sedangkan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap orang pengacau dari atas dengan anak panah mereka. Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada saat si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara. Terdengar suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjaga mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup oleh suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah. Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu lenyap ke sebelah dalam tembok istana! Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji. “Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?” si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak. “Nanti saja kembalinya, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hik!” bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. “Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana.” “Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung dan secepat mungkin kita harus pergi dari sini.” “Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat.” Keduanya mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan pengawal-pengawal bayangan, atau yang melakukan tugas penjagaan keemasam secara rahasia dan mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat. Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja! Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan. Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke pelbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang sakti pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biarpun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berobah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur sedangkan yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik den meracuni diri mereka sendiri. Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, setelah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, maka mereka mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai. Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai den mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw dan dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa perajurit Kerajaan Beng! Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak-gerik dan usaha murid mereka, bahkan merekapun tidak ambil perduli melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu “diserahkan” kepada Kaisar Ceng Tung hanya karena Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini amat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih basar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka. Akan tetapi, ketika Sabutai merobah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek den nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam. Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, telah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo! Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri. Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu pula dipergunakan oleh In Hong biarpun belum sempurna, mereka berdua agak jerih. Bukan jerih menghadapi orang-orang muda itu, melainkan jerih kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apapun juga! Setelah Sabutai mengundurkan diri, merekapun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka! Setelah menguasai ilmu ini, barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengharapkan bantuan pasukan Sabutai yang telah berbaik dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung! Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap telah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinai isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang sudah tidak ada lagi itu. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatan pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan. Mereka berunding sebentar setelah menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi dan dua orang kakek dan nenek itupun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang. Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlampau lamban dan jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu sehingga mereka itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak dan dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya. Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di situ tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dia dahulu diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana, maka dia dapat pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.   Karena dia memang kurang pekerjaan selama tinggal di istana, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati dan pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia telah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan yang menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya. Sekarang dia melihat betapa kakaknya telah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh daripada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia telah memperlihatkan sikap manis. Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana! Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, sekali tangannya bergerak dia memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan langsung menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak perduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar! Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tidak memperdulikan para anggauta pasukan Kim-i-wi yang berebutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu telah menerjang pintu kamar kaisar! “Sing-sing-singgg...!” Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah! “Sri baginda, cepat lari...!” In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri. “Heh-he-he, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!” Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong. Cengkeraman ini cepat dan kuat sekali, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut! “Desss...!” Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang. “Sri baginda, cepat lari...!” In Hong berseru lagi. Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, enak-enak saja sehingga In Hong makin bingung dan cepat dia meloncat ke depan kaisar dan menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li. “Dukkkk!” Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itupun roboh bergulingan. Ternyata bahwa kalam melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek den nenek itu tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu. Selagi In Hong meloncat bangun, dia telah diserang oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali. “Lari...! Lari...!” teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar. “Celaka...!” In Hong berteriak ngeri. “Krakkk!!” Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, si nenek itu. “Aihhhh...!” Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali! Kiranya “kaisar” itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan sejak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri. Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biarpun orangnya sudah meninggal dunia, namun ciptaannya masih sedemikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tinggiliya tingkat kepandaian panglima yang disohorkan orang seperti dewa saktinya itu! “Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!” Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri dan mereka mengenal suara kaisar ini! In Hong girang bukan main melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, “Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!” Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biarpun dia telah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. “Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!” “Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemm, kita tangkap saja dia!” Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong. “Dessss!” In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biarpun nenek itu menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali. In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan biarpun dia sendiri mengenal ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), namun ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang. Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan sudah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini memiliki kekebalan luar biasa dan andaikata tadi jarum dari dalam kepala area itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu. “Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!” nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong. Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu. “Dukk! Desss!” Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai dada dan lambung, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, malah cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi. “Plakkk!” Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak mampu bergerak. Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi berserabutan masuk dari pintu dan jendela. “Mo-ko, kaupondong dia!” teriak Hek-hiat Mo-li sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya, Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan. “Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!” teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu. Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan dan terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng. “Kejar...!” Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Namun gerakan kakek dan nenek itu memang hebat sekali, gin-kang mereka jauh lebih sempurna daripada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana. “Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!” “Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!” Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panahpun tidak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang berkepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu, namun dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali! Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong dan memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorangpun pengawal yang berani menyerang mereka! Dengan “perisai” hidup istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara inipun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap. Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan peng awal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat! Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!” antara lain kaisar yang marah itu berkata. “Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Kalau dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!” Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang seperti iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga dan dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai? Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu penjapan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja! *** Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan. Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter, seluruhnya terbuat dari dinding baja yang amat kuat dan pintunya juga terbuat dari baja tebal dan kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andaikata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekalipun. Seekor gajahpun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini. “Mo-ko, kenapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?” Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sesungguhnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Pek-hiat Mo-ko tertawa. “Banyak sekali sebab-sebabnya mengapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami ingin menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?” “Karena dia telah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya!” jawab Hek I Siankouw. “Ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja,” kini Hek-hiat Mo-li yang berkata. Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, “Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini.” “Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!” kata Pek-hiat Mo-ko. “Aha, setan tua,” Hek I Siankouw berkata, “Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera agar kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul.” “Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sanderapun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu.” Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan demikian mudah kalau saja mereka tidak “dilindungi” oleh keselamatan In Hong. Andaikata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu. “Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak.” “Pinto (aku) mengerti sekarang,” tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. “Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Maka sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!” Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya. “Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?” Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi. “Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!” Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang telah siuman itu ikut mendengarkan sejak tadi dan menjadi kaget dan heran. Dia diam-diam saja masih rebah terlentang di atas lantai akan tetapi dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, namun diapun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiripun tidak mengetahui, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang dan diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya. Milik kalian?” Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini? “Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!” “Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!” “Manusia pengecut dan pembohong besar!” Tiba-tiba In Hong tak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu. “Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!” Mendengar ucapan In Hong yang sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan. “Memang demikian, Mo-ko!” kata Bouw Thaisu. “Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Eh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya.” Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu telah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka memiliki kekuasaan yang besar. Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Bokor emas ini dahulu, ratusan tahun yang lalu, ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang ikut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh Kaisar Kerajaan Goan-tiauw, yaitu Kerajaan Mongol yang pada waktu itu menguasai Tiongkok, bahkan yang telah menaklukkan Sailan den semua negara di selatan dan barat. Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan di suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan dia lalu menyuruh buat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu. Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang mengadakan perjalanan ekspedisi pula tiba di Sailan. Raja Sailan yang maklum akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana, dan membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu! Mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran. Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka den terjadilah pertandingan hebat. Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok dan dia seorang diri menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh Sailan yang memiliki banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri. Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu, dan The Hoo tidak mengejar mereka melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan. Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dibawanyalah bokor emas itu pulang ke Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai. Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Panglima The Hoo sendiri sampai meninggal dunia belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu. Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit den dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo! “Demikianlah,” Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. “Memang kami kalah pada waktu itu oleh The Hoo, dan dia merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang, kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepat lagi, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!” “Memang milik kalian kalau begitu,” Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja. “Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!” Tiba-tiba In Hong berkata. “Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukan milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah dia yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak.” “Hemm, dan sekarang subomu telah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami,” kata Hek-hiat Mo-li. “Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu.” “Tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana bisa bilang bahwa kalian menang dariku?” “Eh, eh, bocah sombong! Kaukira aku tidak mampu mengalahkanmu?” Hek-hiat Mo-li membentak marah. In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya mekan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang, “Hek-hiat Mo-li, kalau benar kau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan.” “Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!” Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun. “Hati?hati Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?” kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu. Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini telah menguasai ilmu yang amat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagaimana ampuh sekalipun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati! Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, “Boleh kaucoba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan kaubunuh dia. Kita masih amat memerlukannya.” “Aku tahu!” jawab Hek-hiat Mo-li dan dia lalu menekan sebuah tombol yang menghubungkan dengan alat. Kuncinya terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka. “Keluarkanlah, bocah sombong!” In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan empat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut! Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan di tengah ruangan itu, lalu membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, “Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!” Hek-hiat Mo-li meloncat ke depan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, “Jaga seranganku ini!” Dan cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat. Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat. “Desss...!” Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai. Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, namun Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya. In Hong kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini memiliki kekebalan yang amat hebat, sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang! Dan melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, diapun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh. Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong, menjadi kagum. Ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai di dalam gerakan silat In Hong, akan tetapi telah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu. Seorang gadis semuda itu dapat menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya. “Plakk! Dukk!” Tubuh nenek itu tarhuyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi! In Hong mulai merasa serem! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apalagi menyaksikannya! Karena ternyata buhwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering dapat memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu makin kagum. Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Biarpun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan. Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat! In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu! “Aihhh!!” Nenek itu menjerit marah dan Pek-hiat Mo-ko kini mengepal tinjunya, agaknya diapun terkejut dan siap-siap untuk membantu kawannya. Betapapun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal! Karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannyapun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itupun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka. “Desss... plakkk...!” Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas dam dia roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu beracun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun. “Heh-he-he-heh!” Nenek itu meloncat dekat. “Dessss!” Tubub dara itu ditendangnya sampai terguling-guling. “Cukup, Mo-li!” Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutupkan pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening. “Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalas kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kauingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!” Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum. “Kita harus bersiap-siap,” kata Pek-hiat Mo-ko. “Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini mempunyai hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya putera ketua Cin-ling-pai, maka tidak mustahil kalau sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini.” “Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap,” sambung Hek-hiat Mo-li. “Akan tetapi jalan menuju ke lembah ini hanya melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini. “Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai,” kata Hek I Slankouw. “Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku.” “Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh.” “Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kauserahkan gadis keparat itu kepadaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!” kata nenek berpakaian hitam ini gemas. “Ha-ha, jangan khawatir. Setelah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu,” jawab Pek-hiat Mo-ko. “Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku,” kata Bouw Thaisu. Hek I Slankouw lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan tak lama kemudian terdengarlah suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya bayangan merah. Seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali. Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah karena gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang laki-laki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan! Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biarpun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, diapun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak! “Subo!” kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah, dan sepasang pedang yang bersarung dan bergagang indah terukir itu tergantung di punggung, gagangnya nampak di kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana namun terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik. Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, “Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya.” “Hemm,” Hek I Slankouw mendongkol. “Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi dapat menjaga diri sendiri.” Lalu nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, “Eh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?” Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu suka menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya dan dia meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, “Tentu saja teecu berani, subo.” “Ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!” kata Hek-hiat Mo-li. “Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!” “Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!” kata Pek-hiat Mo-ko. “Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!” “Baik, locianpwe,” jawab Si Kwi dan nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa dara yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (samadhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, dan sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiripun dahulunya adalah seorang tokouw yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak dalam perangkap nafsu berahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoat-su yang terbunuh oleh The Hoo, maka diapun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoat-su. Ke manapun Hwa Hwa Cinjin pergi, apalagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya sejak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya. Sungguhpun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak menganggap bahwa subonya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subonya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subonya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan jahat. Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justeru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supeknya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, demikian menurut keterangan subonya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itupun menjadi pengganti orang tuanya. “Subo, kenapa tidak dibunuhnya saja dia itu?” “Justeru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita,” jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. “Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!” Gadis itu mengangguk, memberi hormat lalu meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. “Gin-kang murldmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!” “Memang betul, Thaisu. Si Kwi menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin sehingga gin-kangnya menjadi matang dan lumayan. Karena gin-kangnya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya dan dia dijuluki orang Ang-yan-cu (Si Walet Merah),” jawab Hek I Siankouw dengan bangga. *** Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu. Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga. Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diseling gurun-gurun pasir yang tandus. Jalan menuju ke Lembah Naga itu kalau didatangi dari barat, timur dan selatan, hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini. Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebetulnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh dan banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang manusia yang melakukan perjalanan lewat tempat itu dan tersesat, berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai! Memang amat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik di musim panas maupun di musim semi tetap saja hijau segar itu, merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun demikian tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kiri diapit-apit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yeng menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu. Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu air dari Sungai Luan-ho yang dialirkan di sekeliling dusun itu sehingga kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tidak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi di sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bawahnya lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan! Untuk mengelilingi dusun dengan perahupun tentu saja bisa, jadi tanpa melalui dusun, akan tetapi di situ tidak ada sebuahpun perahu, dan andaikata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai! Sebetulnya tempat inipun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalang musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, setelah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar. Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ, bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, juga melayani segala kebutuhan mereka. Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Mereka bukanlah orang-orang biasa tentu saja, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat kalau dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang. Yang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar dan wajahnya yang membayangkan kekasaran dan keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia terlepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang memiliki tenaga besar dan dapat membunuh orang dengan kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok! Isterinya berusia empat puluhan tahun, wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)! Ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada kaisar, kedua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai. Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga. Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah dan menyerang mereka, akan tetapi keduanya terkejut karena dengan amat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun! Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu merekapun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui. Demikianlah sedikit keterangan tentang Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah. Dua puluh sembilan wanita lain yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pemimpin dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek. Adapun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan sungguhpun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap dan gerakannya gesit, namun sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh! Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong! Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas. Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu. Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri. Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian ketua mereka! Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang dan belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, dari keperluan makan sampal keperluan sex! Adapun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee. Di permulaan cerita ini telah diceritakah tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih mendiang Kiang Ti yang tercinta, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu berahi belaka. Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, diapun lalu menjadi anggauta Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok! Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya dirusak oleh seorang pria, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatarmya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan meninggalkan sebuan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berobah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggauta Giok-hong-pang! Setelah semua anggauta Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja mereka dengan senang hati menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka. Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang, ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh dari ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggauta Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang dengan dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana! Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu telah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong. Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan yang pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan merekapun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan. Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka menghadapi padang yang amat luas, dan dari situ mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu. “Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu,” kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke depan. “Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.” Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, “Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya.” Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. “Biarpun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!” Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono. Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah! Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya. “Kalian diam...! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!” Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar! “Satu demi satu!” Kiat Bwee tidak kehilangan akal. “Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!” Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung. Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan. “Jangan bergerak!” Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau. Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit, “Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!” Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit seperti orang gila. Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih. Aaihhhhh...!” “Hiiiiihhhhh...!” Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada sampai ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita itu menjerit-jerit, kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak! Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga! Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata, “Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin berhati-hati.” Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang temen mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata, “Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh.” Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang! Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali. Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua “dinding” alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! Banyak pasang mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka! Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu menyerang mereka dengan ganas! “Awas, mundur...!” Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya! “Mundur...!” Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu. Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee. Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu. Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya. Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka! Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan. Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li! “Ha-ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee. “Inikah pemimpinnya?” terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai. “Benar, twako!” jawab seorang di antara mereka. Mereka semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!   Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?” Bhe Kiat Bwee menjawab berani, “Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong.” “Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang? Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?” Coa-tok Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap suaminya. “Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?” “Namaku Bhe Kiat Bwee.” “Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?” “Dia adalah pelayan kami.” “Pelayan? Pelayan saja? Wah, kenapai pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?” Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya. “Membunuh mereka sekarangpun belum terlambat, twako.” kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia sudah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu. “Plakk! Aduuuuhhh...!” Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li, ketika nyonya itu menangkisnya. Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan ketika tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li. “Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?” Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum. “Ampunkan saya, twanio...” Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan. “Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!” kata pula nyonya itu dan si mata merah mengangguk-angguk, kemudian bersama seorang kawan lain dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu. “Ha-ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan inipun kelihatannya boleh juga!” Dia lalu menggerakkan tangan ke depan. “Breeeetttt...!” Sekali dia merenggutkan dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya. “Ha-ha-ha, benar dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!” perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ. “Mereka ini adalah musuh-musuh kita,” kata pula Coa-tok Sian-li, “Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!” Para anak buah itu bersorak girang dan seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jerit dan rintih di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ. Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali! Dua belas orang wanita anggauta Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara daging dan arak, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan daripada kebuasan binatang liar manapun juga! Sukar untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Makin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, makin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, makin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka sebagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi. Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri dan juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buas, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. Akan tetapi, kalau dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi. Di dalam kamar ini, suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga sedang berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu berahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka! Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee dan dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan dua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu berahi mereka, dalam keadaan setengah sadar mereka itu memenuhi segala keinginan suami isteri itu melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu membuat mereka malu bukan main. Namun, mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka dapat melakukan apapun juga untuk melampiaskan dorongan mujijat yang membangkitkan gairah nafsu berahi mereka. Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka pergi keluar kamar dan tak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari dua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu, sampai akhirnya teriakan-teriakan itu makin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali dan yang terdengar hanya suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar dan Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya! *** Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid Hek I Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah mengenal jalan, dan telah diberi tahu akan rahasia dan keganasan tempat-tempat itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat padang rumput hijau dan lain bagian yang berbahaya, melainkan dia hendak langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu. Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan wanita! Tak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncul lima belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang kesemuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan menyedihkan sekali. “Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!” “Semalampun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti semalam selama tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!” “Akupun sudah puas!” “Dan mereka ini bisa menjemukan!” Si Kwi yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar dan dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali! Hampir saja dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya sendiri. Hanya matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanata-wanita itu dilemparkan dan jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang! “Aughhhh... tolooongggg...!” “Aduhhh... lepaskan aku...!” Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta, tubuh mereka amblas makin dalam. Lima belas orang anggauta Padang Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seolah-olah penglihatan itu merupakan tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Bahkan mereka mulai bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang paling tahan lama! Si Kwi hampir tidak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua. Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan tentang tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah. Wanita-wanita itu makin hebat meronta-ronta, ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis di wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram. Tentu saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita lainnya menjadi makin ketakutan. Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat betapa semua temannya lenyap dari merasakan seluruh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba tertawa bergelak. Melihat wajah yang cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya menjadi liar, Si Kwi bergidik dan maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya! Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita itupun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan inipun lenyap. Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seolah-olah mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa memperdulikan lima belas orang itu. “Heiii... masih ada satu...!” Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi. “Ah, bukan! Dia bukan teman mereka.” “Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!” Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan srigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang, mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Kalau mereka semalam berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena majikan mereka yang memberi ijin! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru, seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin. “Hei, nona! Siapakah engkau?” tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu. Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka. “Siapa adanya aku tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!” jawabnya. Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa. Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!” “Tunggu aku menjinakkan dia!” “Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!” “Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!” Si mata merah yang melihat sikap Si Kwi begitu menantang, menjadi curiga dan dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju menghadapi Si Kwi. “Nona, engkau telah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa nama dan mau apa engkau melanggar wilayah kami.” “Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!” kata Si Kwi. “Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!” terdengar teriakan, dan mereka kini mengurung makin rapat. “Tunggu...! Biar kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali.” “Biarlah aku mencobanya!” “Aku saja!” “Biar kutangkap dia untukmu!” Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya. Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia dapat melampiaskan kebenciannya terhadap laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergapnya dari depan belakang, dia cepat mengubah kedudukan kakinya dengan miringkan tubuh sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan dari kanan kiri. Kedua tangannya bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka. “Hukk! Hukk!” Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti, dan pada saat itu, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh mereka telah terlempar ke arah rumput hijau! “Bress! Bress!” Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada! “Tolonggg...! Tolooonggg...!” Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan, dan karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tidak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini. Tentu saja teman-temannya menjadi terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali panjang, lalu melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas orang itu mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu. “Aduhh... aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu...!” yang seorang berteriak-teriak ketakutan, merasa seolah-olah tubuhnya yang terbenam itu dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang menjadi korban keganasan mereka tadi. “Auwwww... aduhhh... mati aku...!” Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mercka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka tertawa geli ketika melihat bahwa yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata ditempeli seekor lintah besar pada anggauta rahasianya! “Eh, mana dia?” “Iblis betina itu telah pergi!” “Itu lihat...! Dia menuju ke sarang kita!” “Kejar...!” Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang sudah berlari cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula, memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan. Yang berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan, akan tetapi jalan inipun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya. Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih belum dilepaskannya, wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, sedangkan Coa-tok Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya. Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, dan Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di depan mereka, gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan biarpun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga. Setelah dia tadi menyaksiken kebuasan anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. “Twako! Twako...! Dia telah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!” dari jauh si mata merah sudah berteriak-teriak. “Ahhhh??” Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah, malah tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini sudah menjadi setengah gila karena minum obat bius. “Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!” Ang-bin Ciu-kwi yang sudah menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, cepat menubruk dan dalam tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada gadis itu dalam pukulan yang dahsyat! Si Kwi terkejut sekali. Tak disangkanya dia akan diserang oleh majikan Padang Bangkai itu. Akan tetapi, karena hatinya sudah tidak senang kepada mereka, timbul keinginannya untuk melawan dan melihat sampai di mana kepandaian majikan Padang Bangkai yang sikapnya menjemukan hatinya itu. Mengandalkan gin-kangnya yang istimewa, Si Kwi dapat mengelak dan balas menendang dari samping ke arah lambung majikan Padang Bangkai itu. “Ahh!” Ang-bin Ciu-kwi berseru kaget. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu dapat mengelak demikian mudahnya dari serangannya tadi, bahkan dapat membalas serangannya dengan tendangan yang demikian cepatnya. Dia menggunakan tangan kanan untuk menangkap kaki gadis itu. Tentu saja Si Kwi tidak sudi membiarkan kakinya tertangkap, dia menarik kakinya dan dengan loncatan kilat dia sudah berada di sebelah kiri lawan dan dari sini dia menggunakan tangan terbuka menampar ke arah tengkuk lawan. “Plakk!” Ang-bin Ciu-kwi menangkis dan tubuh Si Kwi agak terhuyung, akan tetapi si Setan Arak itupun terkejut. “Wah, boleh juga gadis ini!” serunya dan dia kini dengan gembira menubruk lagi. Ketika gadis itu mengelak, tiba-tiba dari dalam guci arak itu muncrat arak yang langsung menyerang ke arah muka Si Kwi. “Aihhh...!” Si Kwi menjerit dan biarpun dia sudah cepat meloncat namun tetap saja pinggulnya kena diraba oleh tangan Ang-bin Ciu-kwi. “Ha-ha-ha, isteriku. Dia masih perawan! Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan isterinya hanya mendengus, akan tetapi mulutnya tersenyum. Wajah Si Kwi menjadi merah sekali dan marahlah gadis ini. Tugas tinggal tugas, akan tetapi majikan Padang Bangkai ini terlalu menghina dia! Dicabutnya siang-kiamnya dan dengan kedua pedang di tangan kanan kiri dia sudah menyerang dengan ganasnya. “Wah-wah-wah, hebat juga... ganas... hemm...” Ang-bin Ciu-kwi cepat mengelak dan menggerakkan gucinya menangkis. Terdengar bunyi berkentrangan nyaring ketika sepasang pedang berkali-kali bentrok dengan guci. Akan tetapi karena Ang-bin Ciu-kwi agaknya tidak ingin membunuh gadis yang mulai menarik perhatiannya ini, dia mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan dia kelihatan terdesak hebat oleh sepasang pedang Si Kwi yang telah berobah menjadi dua gulungan sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu. “Hem, isteriku, apa kau sudah bosan padaku dan ingin melihat aku mampus?” Berkali-kali Ang-bin Ciu-kwi berteriak. “Bantulah aku menangkap gadis ini...” “Hemm, yang seorang masih ada dan engkau masih inginkan dia ini?” isterinya mencela. “Aaaahhh, isteriku, aku ingin yang masih perawan ini. Hayo, bantulah, kelak akan kucarikan seorang perjaka yang ganteng dan gagah perkasa untukmu. Aku berjanji!” Tentu saja Si Kwi menjadi makin marah dan dia membentak, “Mampuslah!” Pedangnya menyambar-nyambar dahsyat, sehingga majikan Padang Bangkai itu menjadi repot juga. Tiba-tiba terdengar seruan Coa-tok Sian-li halus, “Bocah sombong, robohlah!” Si Kwi mendengar suara halus dan maklumlah dia bahwa ada senjata-senjata rahasia halus menyambar ke arahnya. Cepat dia mengelak dan dia berhasil menghindarkan jarum-jarum halus yang menyambar ke arah tengkuk dan kedua pundaknya, akan tetapi sebatang jarum yang menyambar ke arah kakinya tak dapat diketahuinya. Tiba-tiba dia merasa pergelangan kakinya seperti digigit semut, kemudian menjadi lumpuh dan tergulinglah dia! Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menubruk dan menotoknya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi, sepasang pedangnya dirampas. Si muka merah ini lalu memondong tubuh Si Kwi sambil tertawa-tawa. Terdengar suara wanita terkekeh dan Kiat Bwee sudah mendekati Ang-bin Ciu-kwi, merangkul dengan sikap manja. “Ahhh, pergi kamu! Aku sudah bosan! Nah, kalian ambillah dia ini, untuk dibagi rata ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi menendang dan tubuh Kiat Bwee terlempar ke arah lima belas orang anak buahnya. Tentu aaja mereka menyambut tubuh Kiat Bwee yang masih montok itu dengan gembira. Kiat Bwee sendiri tertawa-tawa genit ketika dia dipeluk dan diciumi banyak laki-laki, lalu dia dibawa pergi. Terdengar suara ketawanya yang lambat-laun berobah menjadi pekik dan terdengar wanita itu menjerit-jerit menyayat hati. “Kau jadi milikku sekarang, ha-ha. Kau perawan liar, kepandaianmu boleh juga!” Ang-bin Ciu-kwi hendak mencium Si Kwi, ditonton oleh isterinya yang tersenyum saja. “Lepaskan aku! Lepaskan...! Aku adalah murid subo Hek I Siankouw!” Si Kwi yang merasa terkejut dan ketakutan karena kini dia terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut itu menjerit akan tetapi tidak dapat meronta. Ang-bin Ciu-kwi mengurungkan niatnya untuk mencium. “Ah? Murid Hek I Siankouw yang berada di Lembah Naga?” Dia meragu. “Huh, Hek I Siankouw memandang rendah kita!” tiba-tiba Coa-tok Sian-li berkata dan diapun bangkit dari tempat duduknya. “Akan tetapi kita jangan membunuhnya, hanya kita harus memberi pelajaran mengapa Hek I Siankouw mengutus muridnya menyelidiki tempat kita.” Dia lalu memberi obat kepada mata kaki Si Kwi yang terkena jarum racun ularnya itu setelah mengeluarkan jarumnya, kemudian dia berkata lagi, “Suamiku, hayo bawa dia ke dalam kamar. Kau boleh menikmati dia sebelum kita suruh dia kembali kepada gurunya!” Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi menjadi girang bukan main. Dia memondong tubuh gadis itu dan bersama isterinya membawanya ke dalam kamar di mana tadi malam dia dan isterinya berpesta pora mengumbar nafsu bersama Kiat Bwee dan dua orang pelayan pria dari Giok-hong-pang itu. Setelah melemparkan tubuh gadis itu ke atas pembaringan, Ang-bin Ciu-kwi menenggak araknya dan berkata, “Kaubantu aku memeganginya setelah kubebaskan totokannya, isteriku!” Suami isteri ini memang sudah bukan merupakan manusia-manusia normal lagi. Mereka itu menjadi budak-budak nafsu berahi yang aneh dan cabul. Kesukaan mereka nonton adegan-adegan cabul sama besarnya dengan nafsu-nafsu berahi mereka sendiri. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka itu kadang-kadang saling menonton apabila seorang di antara mereka sedang main gila dengan orang lain! Kini, Coa-tok Sian-li bahkan hendak membantu suaminya menggagahi dan memperkosa seorang gadis yang mereka tawan! Terdengar suara kain robek ketika bagaikan seekor binatang buas kelaparan Ang-bin Ciu-kwi merenggutkan semua pakaian dari tubuh Si Kwi sambil memegangi kedua tangan gadis itu dengan tangan kanannya, sedangkan kedua kaki gadis yang telah dibebaskan dari totokan itu dipegangi oleh Coa-tok Sian-li yang biarpun hanya ingin menonton, akan tetapi gairah nafsunya sama berkobarnya seperti suaminya. “Lepaskan aku...!” Si Kwi menjerit ngeri. “Aku... aku adalah utusan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li dari Lembah Naga!” “Ahhh...?” Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya terkejut bukan main mendengar pengakuan ini. Tadinya Si Kwi memang enggan menggunakan nama kakek dan nenek iblis itu karena dia mengira bahwa nama gurunya sudah cukup besar dan berpengaruh. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya sendiri ditambah nama besar gurunya tidak dapat menyelamatkannya dan dia telah berada di ambang malapetaka yang amat mengerikan hatinya, terpaksa berantakanlah keangkuhannya dan dia mengaku bahwa dia adalah utusan kakek dan nenek iblis itu. Pengakuan ini sekaligus membuyarkan semua nafsu dari dalam kepala Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, terganti oleh rasa takut yang hebat. “Benarkah...?” Coa-tok Sian-li bertanya, mukanya agak pucat. “Siapa membohong? Aku datang atas perintah mereka!” kata pula Si Kwi. “Akan tetapi, mengapa tidak kaukatakan sejak tadi?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya. “Lepaskan aku, baru akan kuceritakan, atau kaulanjutkan perbuatanmu yang terkutuk dan jantung kalian akan dimakan mentah-mentah oleh mereka!” Si Kwi menggertak. Suiami isteri yang memang amat takut terhadap kakek dan nenek iblis itu segera melepaskan pegangan mereka dan membiarkan Si Kwi duduk. Bahkan Coa-tok Sian-li lalu mengambilkan satu setel pakaiannya sendiri, diberikan kepada Si Kwi untuk dipakai karena pakaian merah gadis itu telah robek. Dengan cemberut karena masih merasa malu dan terhina oleh perlakuan tadi, Si Kwi memakai pakaian nyonya rumah. “Suruh jahit kembali pakaianku sendiri ini!” bentaknya. “Eh... maafkan kami, maafkan aku...” Ang-bin Ciu-kwi berkata sambil menenggak araknya. Sedikitpun dia tidak menduga bahwa daging yang berada di depan mulutnya, tinggal telan itu akan gagal dimakannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat setelah mendengar nama kakek dan nenek yang amat ditakutinya itu karena dia dan isterinya maklum bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek dan nenek itu. Sebetulnya kami tidaklah salah,” Coa-tok Sian-li membantah sambil memandang gadis itu yang sudah duduk di atas pembaringan sambil memandang mereka dengan sinar mata penuh kebencian, lalu diapun duduk di dekat gadis itu. “Mengapa kau tidak memperkenalkan diri dan malah memusuhi kami?” Si Kwi menghela napas. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya dan kebenciannya karena mereka ini benar-benar tangguh. “Semua adalah salahnya anak buah kalian,” katanya, “Mereka mengganggu aku dan menimbulkan kemarahanku.” “Sudahlah,” Coa-tok Sian-li menghibur. “Untung belum sampai terjadi hal-hal yang lebih hebat. Sekarang ceritakan, siapakah engkau dan apa tugasmu ke sini?” “Namaku Liong Si Kwi, aku murid subo Hek I Siankouw yang membantu kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Kedua locianpwe itu yang mengutus aku datang ke sini menemui kalian untuk menyampaikan pesan mereka.” “Hemm, apakah pesan kedua locianpwe itu?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya, agak gelisah juga kalau teringat betapa hampir saja dia menghina utusan dari dua orang kakek dan nenek iblis itu! Si Kwi memandang kepada si muka merah itu dengan sinar mata penuh kebencian! Lalu dia menjawab perlahan, “Aku diutus untuk menyampaikan kepada kalian bahwa menurut perkiraan kedua locianpwe itu, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh mulai berdatangan, maka kalian harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andaikata ada lawan tangguh mampu melewati Padang Bangkai, kalian harus cepat-cepat memberi khabar ke Lembah Naga.” “Ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya. “Harap sampaikan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga agar mereka jangan khawatir. Kami telah siap berjaga-jaga dan tidak mungkin ada lawan yang dapat melewati Padang Bangkai!” “Hemm, ucapan bagus akan tetapi kosong!” Si Kwi berkata sambil memandang marah. “Apa yang harus kukatakan kepada ji-wi locianpwe itu tentang keadaan yang kulihat di sini? Semua anak buahmu bersenang-senang, mengganggu dan menyiksa wanita, dan kulihat majikan mereka sendiripun sama saja, bahkan yang memberi contoh! Sungguh menjijikkan!” Akan tetapi Si Kwi makin mendongkol, penasaran dan terheran-heran ketika melihat stmmi isteri itu tertawa bergelak. Benar-benar orang-orang ini setengah gila atau mabok, pikirnya. “Ha-ha-ha, bagus sekali, nona! Kaulaporkan kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga apa yang telah kami perbuat terhadap tiga puluh orang wanita dan enam orang pria yang kemarin berani menyerbu ke sini! Ceritakanlah! Engkau telah melihat betapa anak buah kami membunuhi perempuan-perempuan itu, bukan? Dan perempuan yang kuhadiahkan kepada mereka tadi adalah pimpinan mereka. Ceritakanlah kepada ji-wi locianpwe bahwa kami telah membasmi tiga puluh orang wanita dan enam orang pria, semua anggauta-anggauta Giok-hong-pang, anak buah nona yang kini menjadi tawanan ji-wi locianpwe itu. Ha-ha-ha! Kami layak menerima ganjaran!” Bukan main kagetnya hati Si Kwi mendengar ini. Akan tetapi dia masih mengomel. “Hemmm, kiranya mereka adalah fihak musuh? Mengapa mereka tidak dibunuh saja melainkan dipermainkan seperti itu? Kalian adalah iblis-iblis keji, bukan manusia!” Dua orang suami isteri itu hanya tertawa dan sehari itu Si Kwi terpaksa harus tinggal di Padang Bangkai karena kakinya harus diobati. Kalau tidek mendapat obat penawar yang mujarab dari Coa-tok Sian-li sendiri, tentu nyawanya akan terancam atau kalau diobati orang lain, akan memakan waktu lama sekali. Akan tetapi setelah diobati oleh Coa-tok Sian-li dan beristirahat selama sehari semalam, pada keesokan harinya gadis itu telah pulih kembali kesehatannya, dan dia meninggalkan Padang Bangkai dengan muka masih membayangkan rasa ketidaksenangan hatinya terhadap suami isteri itu. “Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Ang-bin Ciu-kwi bertanya kepada isterinya sambil memandang tubuh belakang Si Kwi ketika gadis itu berjalan pergi. “Hemm, heran mengapa ji-wi locianpwe mempergunakan orang macam dia. Dia berbahaya sekali, dan setelah dia datang, entah bagaimana nasib kita nanti,” jawab isterinya. “Bagus! Akupun berpikir demikian. 0rang seperti dia harus ditundukkan, kalau tidak bisa berbahaya untuk kita!” “Kau benar,” isterinya mengangguk, lalu mengeluarkan sebungkus obat dari saku bajunya. “Pergunakan ini, kalau kemudian dia masih tidak mau tunduk, habiskan saja!” Wajah yang merah itu menjadi berseri dan Ang-bin Ciu-kwi merangkul dan mencium mulut isterinya. “Kau manis!” Kemudian sambil tertawa-tawa dan membawa guci araknya, dia lalu melompat dan berlari cepat, menyusul Si Kwi mengambil jalan lain untuk memotong jalan dan menghadang gadis itu. Suami isteri ini selain aneh, cabul dan kejam, juga amat cerdik. Mereka khawatir melihat sikap Si Kwi yang terang-terangan membenci mereka dan membenci perbuatan mereka mempermainkan orang-orang Giok-hong-pang sebelum membunuh mereka itu, dan karena mereka berdua pernah melakukan kesalahan, hampir saja menghina utusan dua orang kakek dan nenek iblis, maka mereka merasa curiga kalau-kalau Si Kwi akan mengadu kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentang penghinaan itu. Kalau demikian, bisa berbahaya untuk mereka. Maka keduanya bersepakat untuk menundukkan perawan itu dengan jalan memaksanya mengadakan hubungan kelamin dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan menggunakan obat racun yang pernah mereka lolohkan kepada Bhe Kiat Bwee. Kalau perawan itu menyadari kemudian bahwa dia telah melakukan hubungan dengan Ang-bin Ciu-kwi dengan dasar “suka sama suka”, tentu saja melalui obat bius itu, tentu gadis itu tidak berani lagi melaporkan yang bukan-bukan. Kalau kemudian siasat itu gagal dan si gadis masih memperlihatkan sikap bermusuh, agar dibunuh saja dan disembunyikan, lalu pura-pura tidak tahu akan kedatangannya. Sementara itu, ketika meninggalkan rumah suami isteri itu, Si Kwi merasa tidak senang sekali. Dia merasa menyesal mengapa subonya kini bergaul dengan segala macam orang seperti itu! Bukan manusia lagi, melainkan iblis! Dan dia harus bersekutu dengan orang-orang macam itu! Gadis ini merasa menyesal sekali dan ketika dia berjalan meninggalkan rumah itu, terjadi perang di dalam hatinya. Kalau teringat akan subonya, dan teringat akan supeknya, Hwa Hwa Cinjin yang telah terbunuh mati musuh dan harus dibalas, memang dia ingin kembali ke utara, ke Lembah Naga. Akan tetapi kalau teringat akan kekejaman kakek dan nenek iblis, kemudian teringat akan keadaan para pembantunya seperti orang-orang Padang Bangkai yang demikian mengerikan, ingin dia meninggalkan tempat itu jauh-jauh dan tidak mencampuri urusan mereka! Akhirnya, kengerian yang disaksikannya di Padang Bangkai membuat dia mengambil keputusan tetap untuk meninggalkan saja tempat itu, menuju ke selatan! Dia bukanlah seorang penjahat, tidak! Dia biasanya malah menentang dan memusuhi penjahat-penjahat macam majikan Padang Bangkai itu bersama anak buah mereka! Akan tetapi kini dia disuruh bersekutu dengan orang-orang macam mereka! Huh, lebih baik mati kalau begitu. Pikiran ini mendorong Si Kwi untuk mengayun langkah lebih cepat menuju ke pintu gerbang selatan di mana terudapat jembatan yang menyeberang sungai yang mengelilingi benteng dusun itu. Tidak nampak seorangpun penjaga, dan memang inilah keistimewaan benteng sarang gerombolan Padang Bangkai itu. Para anak buah Padang Bangkai tidak pernah memperlihatkan diri, hanya melakukan penjagaan sambil bersembunyi, dan hal ini menambah bahayanya tempat yang menyeramkan itu. Kini, tentu saja para anak buah Padang Bangkai tahu bahwa Si Kwi telah meninggalkan rumah majikan mereka, akan tetapi karena mereka maklum bahwa gadis itu ternyata bukan musuh melainkan utusan dari Lembah Naga, mereka tidak berani mengganggu, hanya merasa heran mengapa gadis itu meninggalkan kampung mereka pergi ke selatan! Bukan hanya mereka yang heran. Terutama sekali Ang-bin Ciu-kwi yang terheran-heran ketika dia membayangi gadis itu dan melihat gadis itu keluar dari pintu gerbang selatan! Cepat dia menyelinap dan mengambil jalan rahasia memotong jalan gadis itu, lalu menanti di dalam rumpun alang-alang karena dia tahu bahwa gadis itu harus melalui jalan ini berhubung tidak ada jalan lain. Si Kwi merasa menyesal dan juga berduka. Mengapa gurunya rela bergaul dengan orang-orang macam itu? Sejak dulu dia tidak setuju, yaitu ketika gurunya itu bergaul dengan golongan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Dia tahu bahwa gurunya hanya terbawa-bawa oleh Hwa Hwa Cinjin yang hendak membalas dendam atas kematian suheng dari tosu itu, yang bernama Toat-beng Hoatsu. Dendam-mendendam itu membuat gurunya akhirnya terpaksa harus bersekutu dengan manusia-manusia iblis seperti kakek dan nenek yang tinggal di Lembah Naga itu. Mengerikan! Dia tahu bahwa sebenarnya subonya bukanlah seorang jahat, hanya karena terseret-seret dalam dendam maka terpaksa bersatu dengan orang-orang golongan hitam. Kini subonya menjadi kaki tangan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li hanya karena gurunya hendak membalas kematian Hwa Hwa Cinjin oleh gadis perkasa Yap In Hong itu. Si Kwi menyesal sekali. Dia sudah tidak mempunyai ayah bunda, dan satu-satunya keluarganya hanyalah subonya itu. Akan tetapi terpaksa dia meninggalkan subonya karena dia tidak ingin kembali ke sana, menjadi kaki tangan orang-orang dari kaum sesat. Kini dia tiba di antara rumpun alang-alang. Dia sudah tahu jalan mana yang aman dari gangguan ular-ular berbisa den binatang lain. Akan tetapi, tiba-tiba alang-alang di depan bergoyang dan gadis itu terkejut, meraba senjatanya. Betapa kagetnya ketika dia tidak mendapatkan siang-kiamnya di punggung dan baru teringat dia bahwa sepasang pedangnya itu terampas oleh Ang-bin Ciu-kwi dan karena dia tergesa-gesa hendak lekas-lekas meninggalkan tempat itu, dia sampai lupa untuk memintanya kembali. Akan tetapi, dia menjadi heran dan juga lega ketika melihat seorang laki-laki muncul dari rumpun alang-alang dan ternyata orang itu adalah Ang-bin Ciu-kwi sendiri! Kebetulan sekali, pikirnya dan melihat laki-laki bermuka merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, Si Kwi lalu berkata, “Tentu engkau hendak mengembaliken siang-kiamku yang ketinggalan!” Akan tetapi Si Kwi terkejut karena orang itu menyeringai dan pandang matanya mentertawakan bahkan lalu menenggak araknya dari guci dengan sikap yang mengejek dan mempermainkan. “Liong Si Kwi, engkau memang patut sekali memakai pakaian merah. Makin manis saja kau. Akan tetapi aku percaya bahwa tanpa pakaian engkau akan lebih menarik lagi!” Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan matanya berkilat saking marahnya mendengar pujian yang mengandung kekurangajaran itu. “Ang-bin Ciu-kwi, mau apa engkau menghadangku? Kukira tadinya engkau hendak mengembalikan siang-kiamku!” Si Kwi masih menahan kemarahannya karena dia maklum akan kelihaian orang ini. “Ha-ha-ha! Baik sekali engkau ketinggalan senjatamu agar tidak terialu repot bagiku untuk menundukkanmu, manis!” “Ciu-kwi! Jangan kau kurang ajar atau aku akan melapor kepada ji-wi locianpwe di Lembah Naga!” “Ha-ha-ha, nona manis, engkau tidak lagi bisa membohongi aku! Kalau engkau hendak kembali ke Lembah Naga, mengapa kau keluar dari sebelah selatan?” Si Kwi terkejut dan baru ingat akan keadaannya yang memang mencurigakan. Akan tetapi dengan cerdik gadis ini menjawab, “Aku masih mempunyai suatu urusan di selatan, juga atas perintah ji-wi locianpwe. Bukan urusanmu!” Ang-bin Ciu-kwi tidak bisa menentukan apakah jawaban ini dicari-cari atau memang benar, maka dia kembali tertawa lebar. “Baiklah, kalau begitu aku hanya akan menghaturkan selaman jalan, nona. Minumlah seteguk arak sebagai ucapan selamat jalan dariku.” Dia mengambil sebuah cawan kecil dari saku bajunya dan menyerahkan cawan kosong itu kepada Si Kwi untuk diisi dengan arak dari gucinya. Tentu saja Si Kwi menolak dengan marah. “Cui-kwi, jangan ganggu aku lagi!” “Ha-ha, kalau mengganggumu mengapa? Jangan pura-pura, nona manis. Di sini tidak ada orang lain, hanya engkau dan aku. Dan alang-alang itu lunak sekali.” “Keparat busuk!” Si Kwi sudah menerjang dengan kepalan tangannya, akan tetapi Ang-bin Ciu-kwi sudah menangkis dan tangkisannya yang disertai pengerahan tenaga itu membuat Si Kwi terhuyung. Dengan marah gadis ini lalu merogoh saku tempat menyimpan senjata rahasianya dan sekali tangannya bergerak, dua batang Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun) menyambar ke arah leher dan dada lawan. Ciu-kwi cepat menggerakkan gucinya dan mengelak. “Tringgg...!” sebatang paku runtuh dan yang sebatang lagi dapat dielakkannya.