Pendekar Lembah Naga jbookmaker by: http://jowo.jw.lt BETAPA INDAHNYA ALAM! Betapa indahnya susunan tubuh kita sendiri! Betapa indah dan juga ajaibnya keadaan diri kita sendiri dan di sekeliling kita. Akan tetapi sayang kita seperti buta terhadap itu semua. Kita tidak pernah membuka mata menikmati semua keindahan dan keajaiban itu, melainkan menerawang jauh, menginginkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh kita. Kalau kita tinggal di tepi laut, pemandangan laut tidak lagi menarik perhatian kita karena perhatian kita diterbangkan oleh pikiran yang menginginkan pemandangan di gunung-gunung. Sebaliknya kalau kita tinggal di gunung, kita menganggap bahwa pemandangan di laut yang jauh dari kita itu lebih indah. Betapa bahagianya manusia yang selalu membuka mata memandang penuh perhatian akan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya sendiri. Dialah yang akan melihat segala keindahan dan keajaiban itu. Dialah yang akan menyaksikan kekuasaan Tuhan yang penuh berlimpah dengan berkah, dengan keindahan, dengan keajaiban, dengan CANTA KASIH! Di kaki Pegunungan Khing-an-san, di tikungan Sungai Luan-ho, di luar tembok besar dan termasuk daerah Mongol, terdapat Lembah Naga. Lembah yang amat liar dan penuh dengan hutan lebat, binatang-binatang buas, dan jarang didatangi manusia. Memang sekali waktu ada para pemburu yang menyusup-nyusup memasuki hutan, namun mereka tidak berani sampai Lembah Naga karena lembah itu terkenal sebagai tempat keramat yang amat berbahaya. Kabar angin mengatakan bahwa di lembah itu terdapat sebuah istana yang dihuni oleh iblis-ibils dan siluman-siluman. Dan karena sudah ada beberapa orang tewas ketika berani mendekati istana itu, maka akhirnya tidak ada seorangpun pemburu yang berani memasuki daerah Lembah Naga, betapapun gagah dan beraninya pemburu itu. Pemandangan di lembah ini sungguh amat mentakjubkan. Jauh di bawah kaki lembah membentang luas sebuah padang rumput dan terutana karena keadaan padang ini pulalah yang membuat orang makin segan mendekati Lembah Naga. Padang itu dinamakan orang Padang Bangkai karena di sekitar padang itu terdapat banyak rangka-rangka manusia dan binatang, bahkan ada suatu bagian yang berlumpur di mana terdapat mayat-mayat manusia dan bangkai-bangkai binatang yang tidak dapat membusuk, sampai bertahun-tahun masih menjadi bangkai terbungkus lumpur. Namun, dipandang dari atas, sungguh tidak kelihatan semua kengerian itu, yang nampak hanyalah keindahan yang amat mentakjubkan. Apalagi di waktu matahari terbit atau waktu matahari tenggelam, bukan main indahnya pemandangan di kaki langit, di waktu bumi terbakar oleh sinar keemasan dan segala sesuatu nampak jelas dan indah. Memang tidak mengherankan kalau orang mendekati lembah itu, apalagi mendekati Istana Lembah Naga yang kelihatan angker itu. Sebuah istana yang besar dan kokoh kuat, penuh dengan ukiran dan arca-arca indah. Sayang istana itu tidak terawat sehingga tembok-temboknya yang tadinya putih itu kini penuh dengan lumut hijau, demikian pula arca-arca itu. Istana ini dibangun oleh Raja Sabutai, raja liar dari Suku Bangsa Mongol bercampur suku bangsa lain yang menguasai daerah tak bertuan di utara. Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan siapa adanya Raja Sabutai ini. Dia adalah keturunan seorang jenderal besar di jaman Dinasti Goan, di waktu bangsa Mongol menguasai seluruh daerah Tiongkok. Sebagai keturunan seorang jenderal gagah perkasa, Sabutai inipun amat besar ambisinya, cita-citanya setinggi langit dan dia mengangkat diri sendiri menjadi raja di antara suku bangsa Mongol yang sudah terpecah-pecah dan lemah itu, dan dia pemah bercita-cita untuk menyerbu ke selatan dan untuk menegakkan kembali kebesaran bangsa Goan seperti pada ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi cita-citanya itu gagal dan kandas di tengah jalan (baca cerita Dewi Maut) dan kini dia hanya puas dengan menjadi raja kecil di utara, jauh dari perbatasan. Istana Lembah Naga itu dahulunya di bangun oleh Raja Sabutai, dijadikan sebagai istananya dan markasnya. Kemudian, dia memperbaiki istana itu setelah dia melakukan gerakan ke selatan dan gagal dan memberikan istananya itu kepada kedua orang gurunya, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, nenek dan kakek iblis dari Sailan yang amat sakti. Dalam pertempuran melawan orang-orang gagah yang dipimpin oleh kakek Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, tewaslah Pek-hiat Mo-ko dan kalau tidak cepat muncul Raja Sabutai yang menyelamatkannya, tentu Hek-hiat Mo-li yang sudah terluka parah itu akan tewas pula. Pek-hiat Mo-ko telah tewas dan Hek-hiat Mo-li yang terluka itu dibawa pergi oleh Raja Sabutai, semua orang gagah telah pergi meninggalkan Lembah Naga, dan istana itu menjadi sepi, sunyi dan menyeramkan. Semenjak itu, tidak ada lagi seorangpun manusia dari luar yang berani mendekati istana itu. Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah istana itu kosong tidak ada penghuninya? Sesungguhnya tidak demikian. Setelah semua orang meninggalkan istana itu dalam keadaan sunyi dan menyeramkan, masib nampak bekas-bekas pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang perajurit dan anak buah kedua fihak, pada malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah ini, sambil menundukkan mukanya dan menangis. Dia lalu menghampirl istana, memasuki istana seperti bayangan setan yang bangkit dari kuburan, langkahnya ringan namun terhuyung-huyung dan dia langsung memasuki sebuah kamar di dalam istana itu dan melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu! Terbayanglah dalam benaknya ketika dia menyerahkan dirinya, menyerahkan kehormatannya kepada seorang pemuda yang amat dicintainya, seorang pemuda yang sama sekali tidak mau mengakuinya, tidak mau menerimanya, seorang pemuda yang dijunjung tinggi, dikaguminya dan dicintainya. Pemuda gagah perkasa yang kini telah pergi pula meninggalkannya seorang diri di tempat itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatan tubuhnya, menyerahkan cinta hatinya, bahkan pula tangan kirinya! Tangan kirinya, sebatas pergelangan tangan telah putus, dibabat putus sebagai hukuman karena dia berani menolong pemuda itu yang tadinya menjadi tawanan di situ, ketika tempat itu masih dikuasai oleh kakek dan nenek iblis Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Dan kini, Cia Bun Houw, pemuda itu, telah meninggalkannya dan tidak mau menerimanya! Wanita itu masih muda, usianya baru dua puluh lima tahun, wajahnya manis sekali, dan pakaiannya serba merah ber potongan ketat membungkus tubuhnya yang ramping padat. Dia bernama Liong Si Kwi dan dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah murid tunggal dari seorang nenek yang sakti berjuluk Hek I Siankouw, seorang nenek yang selalu berpakaiain hitam dan amat terkenal di dunia kang-ouw. Sebagai seorang wanita muda yang berilmu tinggi Liong Si Kwi juga terkenal di dunia kang-ouw dan karena dia memiliki keistimewaan dan gerakan ringan dalam limu gin-kang, seperti burung terbang saja kalau dia bergerak, maka dia terkenal dunia kang-ouw dengan julukan Ang-yan­-cu (Burung Walet Merah). Di dalam cerita Dewi Maut telah diceritakan betapa Si Kwi menolong pemuda Cia Bun Houw yang tertawan, dan karena pemuda itu diberi makanan yang bercampur racun pembangkit nafsu berahi, maka dalam keadaan seperti orang mabok itu Bun Houw lalu melakukan hubungan kelamin dengan Si Kwi. Wanita muda ini memang menaruh rasa hati cinta kepada Bun Houw, maka dia tidak menolak, bahkan dia membantu pemuda itu makin tenggelam dalam amukan nafsu sehingga terjadilah hubungan itu. Setelah sadar, tentu saja Bun Houw merasa menyesal sekali dan tentu saja dia tidak mau menerima Si Kwi sebagai kekasih atau jodohnya, dan pemuda ini meninggalkan Si Kwi yang menjadi hancur hatinya. Dia kehilangan sebelah tangan, kehilangan kehormatannya sebagai seorang gadis perawan, dan kehilangan pria yang dicintainya! Dia kehilangan segala-galanya. Gurunyapun telah tewas dalam pertempuran itu ketika gurunya membantu kakek dan nenek iblis. Keluarga dia sudah tidak punya. Dia hanya sebatangkara saja di dunia ini dan harapannya untuk hidup bahagia telah dibawa pergi oleh pemuda yang dicintainya itu. Demikianlah, Liong Si Kwi menjadi penghuni tunggal istana Lembah Naga. Mula-mula dia memang hendak menghibur diri dengan bersembunyi di tempat sunyi itu, jauh dari dunia ramai, dengan harapan akan dapat melupakan Bun Houw, dapat melupakan kedukaannya. Akan tetapi, kegairahannya untuk hidup itu yang mulai timbul sehingga dia mulai memperhatikan dirinya dan membuat pakaian-pakaian dari bahan-bahan kain yang terdapat di dalam istana itu, mulai menyulam dan akhirnya malah merupakan tekanan hebat bagi batinnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia telah mengandung! Dia seorang perawan dan kini dia mengandung tanpa suami. Kiranya, hubungan kelamin yang dilakukannya dengan Bun Houw, dalam keadaan mabok dilanda nafsu itu, telah menghasilkan kandungan di dalam perutnya! Makin tua kandungannya, makin ter­tekan rasa hati wanita yang bernasib malang itu. Bernasib malang? Benarkah NASIB yang membuat Liong Si Kwi seperti itu? Benarkah NASIB yang mem­buat lengannya buntung, hidupnya terasa merana, perutnya terisi kandungan anak tanpa ayah? Betapa mudahnya kita melontarkan segala peristiwa yang menimpa diri kita kepada nasib! Nasib baik, nasib baik dan sebagainya! Tidak ada sesuatu terjadi tanpa sebab, dan sebab itu sama sekali bukanlah nasib! Sebab itu pada hakekatnya SUDAH PASTI timbul dari hasil perbuatan kita sendiri, perbuatan termasuk sikap, kata-kata, pikiran dan sebagainya. Sumber dari segala sesuatu yang terjadi pada diri kita terletak di dalam diri kita sendiri! Akan tetapi, kita tidak pernah mau memandang diri sendiri, dan kita lebih condong untuk mencari kambing hitam pada diri orang lain, pada keadaan di luar diri, atau kalau sudah kehabisan calon kambing hitam, kita lalu meraih NASIB dan menjadikannya sebagai kambing hitam! Kapankah kita mau membuka mata memandang diri sendiri di mana terdapat sumber segala rahasia hidup ini? Setelah tahu bahwa dirinya mengandung, mulal terjadi perubahan dalam kehidupan Si Kwi. Mulailah dia merana dan tidak memperdulikan pakaiannya sehingga dia berkeliaran di sekitar Lembah Naga dengan pakaian yang kotor dan butut, dan sikapnya seperti orang yang sudah miring otaknya! Makin tua kandungannya, makin tersiksa rasa hati­nya dan hampir setiap malam, di waktu tubuhnya mengaso dan tidak ada hiburan yang membuatnya terlupa, dia menangis mengguguk seorang diri di dalam kamarnya di istana yang besar itu. Ada terpikir oleh Si Kwi untuk mengakhiri penderitaan batinnya dengan jalan membunuh diri saja. Akan tetapi, dia tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Ataukah dia masih terlampau sayang kepada kehidupan ini dan masih mengharapkan untuk kelak menemui kebahagiaan? Apapun juga alasannya, Si Kwi tidak sampai hati untuk membunuh diri, maka dia rela hidup menderita, penuh kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi kelahiran anak dalam kandungannya. Untuk pergi ke dusun-dusun di sekitar kaki pegunungan itu, dia merasa malu sekali. Kalau ada orang bertanya mana suaminya, mana ayah dari anak yang dikandungnya, apa yang akan dijawabnya? Tidak, dia lebih baik mati dari pada harus menderita aib seperti itu di mata orang-orang lain. Tentang melahirkan, dia menyerahkan diri kepada Tuhan saja. Dalam kesengsaraan ini, satu-satunya yang menjadi pegangan Si Kwi hanyalah Thian dan kesengsaraannya itu lebih mempertebal kepercayaannya kepada Thian yang diharapkan sebagai penolongnya yang tunggal. Betapa banyaknya manusia yang tidak kuat menghadapi penderitaan hidup dan selalu mencari jalan pelarian untuk menjauhkan diri atau membebaskan diri dari penderitaan hidup itu. Banyak macam cara pelarian ini, di antaranya yang terburuk dan paling mengerikan adalah bunuh diri! Ada yang bersembunyi di balik hiburan-hiburan, kesenangan-kesenangan yang dicari-cari, atau menggantungkan kepercayaan kepada sesuatu. Kita tidak sadar bahwa semua bentuk pelarian itu adalah sia-sia belaka. Mengapa sia-sia? Karena apa yang kita namakan penderitaan hidup itu sesungguhnya tak lain tak bukan adalah permainan pikiran kita sendiri! Pikiran kita selalu melekat kepada masa lalu, kepada hal-hal yang telah terjadi, kepada hal-hal yang akan terjadi! Pelekatan pikiran ini tentu saja menimbulkan sesal, duka, dan khawatir. Kita tidak pernah mau menghadapi setiap peristiwa sebagai sesuatu yang wajar, menghadapi langsung, mempelajarinya setiap saat, dengan penuh perhatian tanpa menyalahkan sana-sini, tanpa rasa iba kepada diri sendiri. Kita hanya dapat bebas dari semua penderitaan kalau kita menghadapinya secara langsung apa yang kita anggap penderitaan itu! Kalau kita menghadapinya lang­sung, memandang dan mengamatinya secara langsung, melihat apa adanya, kewajarannya sebagai suatu fakta, maka sudah pasti bahwa penderitaannya akan lenyap. Kita akan bebas dari penderititan karena penderitaan itu adatah PENDAPAT PIKIRAN yang terdorong oleh kekecewa­an, iba diri dan sebagainya. Setelah Si Kwi menghitung bahwa bulan ke sembilan dari kandungannya telah tiba dia segera keluar dari istana itu. Istana itu dianggapnya sebagai tempat yang keramat, karena di tempat itulah dia menyerahkan kehormatannya, di tempat itulah adanya kenang-kenangan manis dan penuh babagia ketika dia menyerahkan diri, bermain cinta dengan Cia Bun How, ingatan yang tidak pernah dapat dilupakannya selama ini. Dia tidak mau mengotori istana yang keramat itu dengan kelahiran anak dalam kandung­annya! Anak inilah yang menjadi pe­nyebab penderitaannya! Anak ini adalah anak yang tidak diharap-harapkan dan karena itu amat dibencinya sebelum ter­lahir. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa mesra dan memaaf­kan semua akibat kehadiran anak dalam kandungannya itu, yaitu kenyataan bahwa anak itu keturunan Bun Houw, pria yang dicintanya, dan masih dicintanya biarpun Bun Houw telah menolak dan menghina­nya. Dia tidak ingin melahirkan di dalam Istana Lembah Naga. Seolah-olah istana yang pernah dihuni banyak orang itu mempunyai mata untuk memandangnya dan dia merasa malu! Tidak, dia tidak mau mengotori istana itu dan seperti orang gila, Si Kwi lalu pergi meninggalkan istana itu dan tinggal di dalam sebuah gua, tidak jauh dari istana itu. Di dalam hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan monyet besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu suka mengganggu monyet-monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya. Akan tetapi setelah kini istana itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang yang tidak pernah mau memperdulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan pulalah binatang-binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak pohon-pohon buah yang tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Si Kwi tidak pernah mengganggu mereka karena dia sendiri tidak pernah kekurangan makanan. Di situ terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lain. Maka tidak mengherankan apabila binatang-binatang itu menjadi makin jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apalagi monyet-monyet yang besar, mereka tidak merasa takut sunaguhpun mereka juga tidak pernah mengganggu Si Kwi. Beberapa ekor monyet besar malah menggunakan sebatang pohon besar di belakang istana sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam mereka bersembunyi dan tidur di dalam guha-guha yang hanyak terdapat di sekitar tempat itu. Pada siang hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar itu. Seekor monyet betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang telah membunuh anaknya. Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala berdarah bekas gigitan ular, dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat menangkap ular itu dan menggigit lehernya, Ular itu melawan, membelit-belit tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan atau kaki depannya, monyet besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaga sehingga akhirnya tubuh ular itu tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh gigitan mulut yang penuh dengan gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi taring yang runcing itu. Monyet betina itu lalu memondong anaknya yang telah mati mengeluarkan suara merintih seperti menangis dan menjauhkan diri dari teman-temannya sambil memondong bangkai anaknya itu. Sementara itu, dari dalam sebuah guha yang besar dan gelap terdengar rintihan pula yang hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian anaknya. Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi. Wanita muda ini rebah terlentang di dalam guha, di atas tanah dan punggungnya bersandar pada batu-batuan di dinding guha. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan ketakutan, tubuhnya hanya tertutup jubah panjang karena dia telah melepaskan celananya. Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan, dan pada saat-saat tertentu Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu dan ayahnya yang telah tiada! Air mata bercucuran, bercampur dengan peluh yang memenuhi dahi dan lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat. Kelahiran merupakan suatu periatiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban yang amat hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang amat mengharukan. Dalam peristiwa ini terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Ibu! Betapa luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang ditanggung seorang ibu dalam melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan suatu alasan yang amat kuat bagi seorang anak untuk mencintai ibunya, dan bagi seorang suami untuk menghormati isterinya. Seorang ibu yang melahirkan menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan menghadapi pula ancaman bahaya yang bukan tidak mungkin merenggut nyawanya. Namun betapa kejam dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan ibunya sendiri ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih kecil, betapa banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika melahirkan anaknya! Ibu, betapapun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak akan dapat disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci! Malam mulai tiba. Dalam guha itu gelap sekali. Rintihan dari guha masih terdengar, kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang terasa oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang akan melahirkan. Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati guha dan akhirnya ada sinar bulan yang memasuki guha sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi. Si Kwi yang masih tersandar dengan tubub lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, lidahnya merijilat-jilat bibirnya yang kering dan dia berusaha menelan ludah yang kering, kemudian dengan mata masih terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya, “Air... air... aku haus... air...!” Akan tetapi tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya. “Air... aku ingin minum...!” Dia kini berseru nyaring. “Ibu... ayah... aku ingin minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!” Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari guha. Anehnya, yang terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil, “Cia Bun Houw...!” Suara ini membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan, dia menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang disediakannya di situ. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut guha dan matanya memandang ke luar. Ketika melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak keluar dari dalam guha. Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar guha, memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, tangan kanan dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan. “Bun Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan terlahir... ohhh!” Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam guha karena merasa betapa perutnya sakit sekali. Dengan terengah-engah dia merebahkan diri terlentang lagi di tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu ke atas batu-batu dinding guha. Mulailah lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil, wajahnya makin pucat dan dia memejamkan mata, mengerahkan tenaga untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan merintih-rintih. Dia tidak tahu bahwa kemunculannya di luar guha tadi menarik perhatian beberapa ekor monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk guha diam-diam lalu berdatangan dan memasuki guha. Melihat Si Kwi ter­engah-engah itu, monyet-monyet yang mengikutinya masuk ke dalam guha, berjongkok dan memandang dengan sikap seperti menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka sedah-olah me­ngerti apa yang sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara monyet-monyet itu terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai anaknya yang mati digigit ular tadi! Kegelisahan mendesak di dalam hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam kandungannya itu tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demi­kian menyakitkan. Di tidak perduli lagi bagaimana kalau anak itu sudah keluar nanti. Pikirannya tidak sempat memikir­kan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu! Akhirnya, setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan, menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan memecahkan kesunyian di dalam guha. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan. Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang telah mempunyai ketertiban sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, melainkan ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan tertib seolah-olah diatur dengan tenaga tak nampak. Lihatlah keluar, awan berarak di angkasa, berlapis-lapis ada yang ke kanan ada yang ke kiri gerakan mereka, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari dan kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pohon-pohon dengan batangnya, akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah. Kemudian lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri. Setiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara dalam diri kita di waktu kita masih hidup. Segala keajaiban ini lewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak memperhatikannya, tidak memperdulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata kepada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya! Kekuasaan alam memang amat luar biasa, tidak terukur oleh hati dan pikiran kita. Kelahiran yang terjadi di dalam guha itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang tidak memperhatikannya. Si Kwi pingsan dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu. Pemulihan segala yang rusak oleh kelahiran itu, datang dengan sendirinya. Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan dalam diri Si Kwi, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darahpun berhenti mengalir. Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi yang membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam guha yang amat sunyi itu. Tidak ada seekorpun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama. Pelupuk mata yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka. Sinar mata yang lesu menerawang langit-langit guha, kemudian dia mengeluh dan rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali. Teringat dia akan yang yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi. “Ahh...!” Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya. Dia melihat sebuah benda kecil di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena matahari masih muda sinarnya. Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu, dibantu oleh lengan kiri yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan matanya, memandang dan tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak, melemparkan benda itu dan dia sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda yang dilemparkan itu adalah bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih berdarah! Sementara itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk monyet besar menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis teroeh-oeh itu berhenti menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana mengalir air susu yang cukup banyak. Dengan penuh sikap sayang monyet betina itu mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang tadi menukarkan bangkai bayinya dengan bayi manusia yang baru terlahir. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh apa, karena pada umumnya, binatang tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Mungkin karena tangis bayi itulah maka dia tergerak, atau oleh naluri yang memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati. Setiap ada seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi manusia itu, induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya memandang penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan ketika seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya mencakar dan monyet jantan itu terpaksa menjauhkan diri pula. Induk monyet itu menjadi curiga dan tidak percaya kepada siapapun juga se­telah dia kehilangan bayinya yang digigit ular dan kini memperoleh penggantinya. Demikianlah, bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak pohon oleh monyet betina itu. Biarpun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya, namun beberapa hari kemudian bayi itu telah pula pandai bergantung kepada rambut-rambut dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncat­an dari cabang ke cabang, disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan cacing! Entah ada pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah Naga, menjauhi tempat di mana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin juga hanya nalurinya, karena dia tidak ingin manusia itu melihat anak yang dirawatnya, yang kini menjadi anak­nya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari istana, di dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar dan dia jarang se­kali turun ke tanah kecuali untuk men­cari makan. Baru setelah anak itu berusia enam bulan dan sudah pandai berayun-ayun, sudah kuat tubuhnya induk kera ini membawanya turun. Anak itu belum dapat berjalan seperti manusia, akan tetapi sudah pandai merangkak dan berloncatan dari cabang ke cabang. Seorang anak laki-laki yang sehat dan berwajah tampan, rambutnya lebat dan hitam se­kali, mukanya bundar dan matanya ber­sinar tajam dan liar seperti mata monyet-monyet. Pada suatu pagi, ketika anak yang baru berusia enam bulan itu mencokel-cokel batu di bawah pohon mencari ca­cing, tiba-tiba terdengar suara mengaum. Anak itu mengangkat muka dan me­mandang terbelalak ketakutan kepada seekor harimau yang tahu-tahu telah berada di depannya! Harimau itu besar sekali, sudah tua dan tubuhnya agak kurus seperti harimau kurang makan! Akan tetapi justeru hal ini membuat dia lebih buas daripada biasanya. Kelaparan membuat binatang menjadi buas dan galak! “Aaauuughhhmmm!” Harimau itu menggereng melangkah maju. Agaknya dia masih terheran-heran melihat mahluk yang tidak berbulu ini. Dia sudah terbiasa menubruk dan menjadikan mangsanya binatang-binatang yang lebih kecil dan lemah, akan tetapi hampir semua binatang itu berbulu, tidak seperti mahluk ini. Seperti segumpal daging yang lunak dan tinggal menelan saja! Air liur membusa keluar dari mulut harimau itu. Pada saat itu, dengan kecepatan yang amat luar biasa bagi seorang anak berusia enam bulan, anak itu meloncat dan menggunakan kedua tangan dan kaki menangkap batang pohon. Akan tetapi lompatannya tidak begitu tinggi dan harimau itupun dengan cepatnya meloncat dan menerkam ke arah batang pohon itu sambil berdiri. Cakar yang amat tajam meruncing dari kaki kirinya menancap d pundak kiri anak itu. Anak itu mengeluarkan pekik mengerikan dan terbanting lagi ke bawah. Pundaknya robek dan nampak darah mengalir keluar dari luka memanjang di pundaknya, dari pundak ke punggung. Sebelum harimau itu menubruk lagi, tiba-tiba terdengar pekik dan gerengan dahsyat induk monyet itu sudah melayang turun, menyambar tubuh anak itu dengan lengan kanannya dan dengan taring nampak mengancam dia menghadapi harimau, tangan kirinya bergerak-gerak dan mengeluarkan pekik berkali­-kali. Monyet betina itu siap untuk melindungi anaknya dengan taruhan nyawanya. Padahal biasanya, melihat harimau ini dia tentu akan lari dan mengamankan diri di cabang tertinggi dari pohon-pohon besar. Akan tetapi, melihat anaknya terluka dan terancam, dia lupa rasa takut dan menghadapi harimau itu dengan memperlihatkan taring dan memberi tanda kepada kawan-kawannya! Di antara binatang liar, rombongan monyet memang mempunyai naluri untuk bersetia kawan. Biarpun mereka semua takut dan ngeri menghadapi harimau yang sudah biasa makan seekor di antara kawan-kawan mereka yang lengah akan tetapi kini melihat induk monyet itu terancam, dan juga melihat anak manusia yang telah mereka terima sebagai satu di antara kawan-kawan mereka sendiri itu terluka, mereka berlompatan dan berdatangan ke bawah, menggereng dan menghadapi harimau itu dengan marah! Harimau itu mengaum, akan tetapi monyet-monyet itu menggereng. Sang harimau kalah gertak agaknya, maka dia lalu menggereng dan menyambar ke kanan di mana terdapat seekor monyet jantan yang masih muda. Monyet ini memekik, akan tetapi sekali sambar saja sang harimau sudah menggigit tengkuknya dan bihatang buas itu lalu melarikan diri sambil membawa korbannya yang telah digigit patah batang lehernya dan sudah tidak berkutik lagi itu. Anak kecil itu menangis dan monyet betina itu lalu merawat luka anaknya dengan penuh kasih sayang, menjilati luka itu sampai bersih. Setiap hari dijilatinya luka di pundak anak pungutnya itu dan karena ini agaknya maka luka itu cepat sekali sembuh. Belum sebulan lamanya, luka itu sembuh sama sekali, hanya nampak bekas luka memanjang dari pundak ke punggung. Kini anak itu sudah bermain-main dan mencari makan lagi seperti biasa, berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon dengan cekatan sekali. Kehidupan di dalam hutan memang penuh dengan bahaya. Oleh karena itu, binatang-binatang hutan, terutama golong­an monyet yang lebih cerdik di antara binatang-binatang itu, memiliki naluri tajam sekali dan pertumbuhannya cepat. Sayang bahwa anak manusia itu sesuai dengan hukum alam, tidak sama per­tumbuhannya dengan monyet, maka oleh para monyet lain dianggap sebagai monyet aneh yang lemah. Monyet-monyet lain, dalam usia setahun telah menjadi monyet yang dapat berdiri sendiri, tidak lagi mengandalkan induknya. Akan tetapi anak yang tak berbulu itu tidak mungkin hidup tanpa pengawasan dan penjagaan induknya. Dan agaknya monyet betina itu maklum akan keadaan anaknya yang lemah ini. Dia tidak mau lagi didekati monyet jantan dan seluruh waktunya dipergunakan untuk mengasuh anak itu, diasuh dan diikutinya ke manapun anak itu pergi. Setahun kemudian, anak itu sudah mulai dapat berdiri akan tetapi jalan­nya membungkuk setengah merayap, meniru gerakan monyet hanya dia makin pandai memanjat pohon, pandai melonca­t dari dahan ke dahan. Bagi seorang manusia, atau bagi ukuran manusia tentu saja gerakannya amat mentakjubkan, cepat bukan main. Akan tetapi bagi ukuran monyet, tentu saja dia amat lamban dan lemah! Betapapun juga, agaknya karena dia jauh lebih cerdik daripada monyet, memiliki daya tangkap lebih tajam dengan pikirannya, maka anak itu dalam banyak hal mengalahkan monyet-monyet itu dan diapun tidak sebuas monyet-monyet itu sehingga dia disukai oleh semua monyet dari yang kecil sampai yang besar. Pada suatu hari, ketika anak itu sedang bermain-main dengan monyet-monyet kecil setelah kenyang makan buah, tiba-tiba terdengar pekik seekor monyet kecil yang bermain agak jauh dari teman-temannya. Semua monyet cepat meloncat ke pohon dan mencari tempat sembunyi yang aman. Akan tetapi anak itu sebaliknya malah cepat meng­hampiri tempat temannya itu menjerit dan dia melihat bahwa seekor monyet kecil sedang berhadapan dengan seekor ular. Ular itu kecil saja, sebesar lengan anak-anak dan panjangnya hanya kurang lebih tiga kaki, kulitnya belang-belang dan lehernya berkembang lebar. Ular itu mengangkat kepalanya, mengeluarkan suara mendesis sehingga monyet kecil itu ketakutan, seperti lumpuh saking takut­nya dan hanya dapat menjerit-jerit. Anak manusia itu tiba-tiba meloncat sambil menyambar sebatang ranting, lalu dipukulnya kepala ular itu. Ular yang marah itu mengelak, lalu kepalanya meluncur dan tiba-tiba anak itu berteriak keras ketika betis kakinya tergigit oleh ular. Dia roboh dan berusaha menggigit leher ular. Mereka bergumul dan monyet kecil tadi segera lari dan naik ke atas pohon sambil memekik-mekik. Terdengar gerengan keras dan monyet betina besar yang sudah cepat datang ke tempat itu, kini melayang turun, diikuti teman-temannya. Melihat anaknya ber­gumul dengan ular yang menggigit betis anak itu, monyet betina marah sekali, Demikianpun teman-temannya. Mereka menubruk ular itu, menggigit leher dan seluruh tubuhnya, mencabik-cabiknya sehingga sebentar saja ular itu sudah putus-putus tubuhnya. Akan tetapi anak itu menggeletak dalam keadaan pingsan dan kaki yang tergigit ular itu membengkak dan berwarna biru! Bagi monyet-monyet itu, mereka tidak akan mudah terpengaruh oleh racun ular. Mungkin dari perbedaan susunan dalam tubuh, entah bagaimana, akan tetapi bisa ular tidak mudah mencelakakan mereka sehingga gigitan seekor ular berbisa itu kiranya tidak akan membuat mereka tewas. Akan tetapi berbeda de­ngan anak manusia itu. Anak itu pingsan dan kalau tidak memperoleh pengobatan yang tepat, tentu dia akan tewas dalam waktu sehari dua hari saja. Monyet betina besar itu dengan nalurinya tahu bahwa anaknya terancam bahaya maut. Dia memondong tubuh anak itu seperti tubuh bangkai anaknya dahulu, dibawanya lari ke sana-sini dan berloncatan dari dahan ke dahan, menjauhi teman-temannya dan akhirnya dia tiba di dekat guha di mana dulu dia mengambil anak itu yang baru terlahir, setahun yang lalu. Dengan suara menguik-nguik seperti orang menangis, monyet betina itu memasuki guha. Ada tiga ekor temannya mengikutinya dengan takut-takut. Monyet betina itu memandang ke kanan kiri akan tetapi guha itu kosong. Bahkan bangkai anak monyet ataupun rangkanya tidak nampak di situ. Ke manakah perginya Liong Si Kwi? Seperti kita ketahui, setahun yang lalu, wanita ini roboh pingsan lagi ketika dia siuman di waktu paginya dan melihat bahwa yang menggeletak di antara paha­nya adalah bangkai seekor anak monyet. Rasa kaget dan ngeri membuatnya ping­san kembali. Akan tetapi sekali ini, karena tubuhnya sudah mulai pulih ke­kuatannya, dia tidak lama dalam keadaan tidak sadar itu. Setelah dia siuman kembali, dia lebih tenang dan pikirannya bekerja sambil dia duduk dan memandang ke arah bangkai monyet itu. Diambilnya bangkai itu dan diperiksanya. Benar-benar bangkai seekor monyet kecil. Jelas dia tidak melahirkan anak monyet! Tentu anaknya telah terlahir dan ada yang mengambil anaknya itu, menukarnya dengan seekor monyet kecil yang mati dengan kepala terluka. Ini bukan anak monyet yang baru saja terlahir, pikirnya. Hatinya lega. Tidak, dia tidak melahirkan monyet! Tidak mungkin keturunan Cia Bun Houw berupa monyet! Akan tetapi timbul kekhawatiran lain di dalam hati­nya. Siapakah yang menculik anaknya? Jantungnya berdebar. Jangan-jangan ayah kandungnya yang datang mengambil­nya? Mudah-mudahan begitu, pikirnya penuh harap. Akan tetapi kalau Bun Houw yang datang, mengapa pemuda itu membiarkan saja dia pingsan tanpa me­nolongnya? Bukan demikian watak pen­dekar sakti itu. Dan mengapa pula menukar anaknya dengan bangkai seekor monyet kecil? Inipun tidak masuk akal! Yang dapat melakukan hal sekeji dan seaneh itu pantasnya hanyalah seorang tokoh kaum sesat. Akan tetapi siapa­kah yang akan melakukan hat seperti itu kepada anaknya? Di antara tokoh sesat yang tadinya membantu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Istana Lembah Naga, semua telah tewas ketika terjadi pertempuran melawan para pen­dekar sakti. Hanya Hek-hiat Mo-li se­orang yang tidak tewas dan nenek iblis itu telah pergi bersama muridnya, yaitu Raja Sabutai. Nenek itukah yang melaku­kannya? Dia bergidik kalau teringat ke­pada nenek bermuka hitam yang mengeri­kan itu. Akan tetapi mengapa nenek itu melakukan hal seperti ini, menculik seorang bayi yang baru terlahir. Si Kwi bangkit berdiri, mengepal kedua tangannya dan memandang keluar guha. “Hek-hiat Mo-li, agaknya engkaulah yang melakukan ini. Nenek jahanam, iblis laknat, sungguh engkau bukan manusia, melainkan iblis betina yang keji!” Dia lalu menangis karena merasa tidak berdaya menghadapi nenek itu. Gurunya sendiri, Hek I Siankouw, takut terhadap nenek bermuka hitam itu. Apalagi dia. Andaikata benar nenek itu yang melakukan dan dia dapat mencarinya, apa yang dapat dia lakukan terhadap nenek itu? Kepandaian nenek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sen­diri. Dan dia teringat bahwa memang terdapat ilmu-ilmu sesat yang syaratnya untuk dikuasai adalah makan dan minum darah bayi yang baru terlahir. Dia bergidik dan menangis lagi. “Bun Houw... Cia Bun Houw... hanya engkau seoranglah yang sanggup melawan nenek itu, hanya engkau seoranglah yang akan dapat menyelamatkan anak itu, anakmu, darah dagingmu... akan tetapi mana engkau sudi melakukannya...?” Si Kwi menangis sesenggukan. Setelah reda tangisnya, dia lalu keluar dari dalam guha, membawa bangkai anak monyet itu. Entah bagaimana, melihat bangkai anak monyet itu, dia merasa kasihan. Seolah-olah dia teringat bahwa anaknya sendiripun berada di dalam bahaya, dan mungkin saja mati seperti anak monyet ini. Membayangkan betapa anak yang dikandungnya itu mati tanpa ada yang menolong, timbul rasa iba di hatinya terhadap anak monyet itu dan biarpun tubuhnya masih lemah, dia memaksa diri mengubur bangkai itu baik­-baik. Semenjak melahirkan dan anaknya hilang, Si Kwi hidup makin tidak peduli lagi. Pakaiannya jarang diganti, tubuhnya kurus, mukanya pucat, rambutnya awut-awutan dan dia lebih sering tidur di dalam kamamya di Istana Lembah Naga, bermalas-malasan dan hanya kalau rasa lapar di dalam perutnya sudah terlalu hebat saja dia terpaksa keluar mencari bahan makanan. Hidupnya terasa kosong dan hampa dan dia seperti mayat hidup saja. Kecewa menimbulkan iba diri, dan iba diri menimbulkan duka. Duka makin mendalam karena dorongan ingatan dan sengsaralah manusia yang sudah menjadi korban dari duka. Hidup terasa kosong dan sengsara, lenyaplah segala keindahan dan kegembiraan, hati selalu tersiksa dan pikiran selalu melamun dan melayang jauh. Padahal, sebelum terjadi peristiwa dengan Bun Houw di Lembah Naga, se­belum dia bertemu dengan pemuda yang amat dikaguminya itu, Liong Si Kwi adalah seorang dara cantik manis angkuh, yang mengandalkan kepandaian dan me­rasa tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Sebetulnya Liong Si Kwi bukanlah keturunan orang jahat, tidak pula men­jadi murid orang jahat. Mendiang ayah­nya adalah seorang piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) yang terkenal gagah dan jujur. Akan tetapi ayahnya tewas di tangan penjahat, dan ibunya meninggal karena duka setelah ayahnya meninggal. Dia dirawat dan dididik oleh Hek I Siankouw. Gurunya itu, Hek I Siankouw, sesungguhnya juga bukan se­orang jahat. Sebaliknya malah, Hek I Siankouw adalah seorang pendeta wanita, seorang penganut Agama To dan selain memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, juga tokouw ini tidak pernah melakukan kejahatan, bahkan selalu menentang para penjahat yang mengganggu ketentraman. Akan tetapi sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti para manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Sejak masih mudanya, Hek I Siankouw telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain, yaitu Hwa Hwa Cinjin, seorang tosu yang amat sakti, yang bersikap lemah-lembut, yang di waktu mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora hatinya yang tertarik! Demikian pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I Siankouw yang ketika itu sudah berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan terjadilah hal yang aneh di antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat menahan nafsu berahi mereka dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara mereka! Memang aneh sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa dengan segala macam kelemahan mereka, sebenarnya hal itu tidak pula aneh. Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri? Baik Hek I Siankouw maupun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula ter­masuk golongan jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan me­nyeret mereka sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan me­musuhi golongan pendekar. Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin yang bernama Toat­-beng Hoatsu, telah tewas di tangan kaum pendekar. Untuk membalas dendam kematian suhengnya inilah maka Hwa Hwa Cinjin sampai bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Keng Hong! Dan karena Hek I Siankouw adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini membela kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong dan keluarganya adalah keluarga yang memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka. Untuk menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan sanggup melawan! Demikianlah, setelah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, dengan sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya dan berdiri di fihak gurunya bermusuhan dengan kduarga Cia. Akan tetapi sungguh celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putra dari ketua Cin-ling-pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu! Semua itu telah dituturkan dalam cerita “Dewi Maut” dengan jelas. Liong Si Kwi bukan keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan jahat sehingga diapun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani. Dia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang dicintanya, kehilangan harapan, kini setelah melahirkan dia kehilangan anak­nya pula! Segala-galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya menanti datangnya kematian di tempat sunyi itu seorang diri saja. Akan tetapi kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan seperti air sungai mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini melakukan kejahatan, besok mungkin melakukan kebaikan. Sebaliknya kesenang­an hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan di hari esok dan selanjutnya. Oleh karena itu, kelirulah menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau keadaannya di masa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya se­seorang dari SATU perbuatan saja! Keadaan Si Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai tempat derita belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan, yang menganggap bahwa tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata tidaklah demikian. Terjadilah per­ubahan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya dalam mimpi. Hari itu, pagi-pagi sekali Si Kwi sudah meninggalkan istana untuk mencari makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di ladang yang sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor kelinci lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan. Dengan sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu. Akan tetapi ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat guha besar di mana dia dahulu melahirkan. Melihat guha ini dari jauh, hatinya tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua kakinya melangkah menuju ke guha itu. Setelah tiba di depan guha, niatnya hanya ingin menjenguk ke dalam sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tangis anak-anak yang aneh sekali dari dalam guha! Si Kwi terkejut setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah guha, sayur dan bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya, muka menjadi pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan? Roh anaknya? Bermacam bayangan yang mengerikan terbayang dalam benak­nya. Akan tetapi rasa takutnya itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan? Telah hampir dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah dia bertemu setan! Tahyul belaka! Si Kwi adalah seorang wanita perkasa, maka segera rasa takut itu dibuangnya dan dengan langkah lebar dia memasuki guha besar itu. Tadinya di hanya berdiri karena menyangka bahwa tentu telinganya yang salah dengar, mungkin karena memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara khayal. Akan tetapi ketika tangis itu terus bahkan makin keras terdengar, dia cepat memasuki guha. Dan di tengah guha itu, di tempat di mana dia dahulu melahirkan anaknya, nampak seorang anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu membengkak hitam, dan di situ ter­dapat empat ekor monyet besar-besar yang menjaga anak itu. Seorang anak laki-laki, anak manusia dijaga empat ekor monyet! Seketika, bagaikan cahaya kilat memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah anaknya! Bahwa itulah anak­nya yang lenyap setahun yang lalu, di­culik oleh monyet-monyet itu! Dan kini mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan monyet adalah monyet-monyet besar ini! Entah siapa yang lebih dulu mener­jang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga bahwa monyet-monyet itu yang mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu, didahului oleh induk monyet, marah karena melihat wanita itu menghampiri anaknya. Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor monyet besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dah hendak menggigitnya. Namun, selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilang­an kepandaiannya dan kesigapannya biar­pun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat yang dipelajarinya dan dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis. Kedua kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanan­nya menampar dan tubuhnya bergerak dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan dan tam­parannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga dalam be­berapa gebrakan saja dia telah dapat menghajar monyet-monyet itu yang ter­lempar dan terbanting jatuh bergulingan. Akhirnya, tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal seekor monyet betina besar itu yang masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah lawan Si Kwi dan beberapa kali dia kena ditendang dan dihantam. Pukulan tangan kanan Si Kwi yang terakhir, tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat monyet itu terpelanting roboh dan tak bergerak lagi, pingsan. Si Kwi lalu menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia me­megangnya, akan tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan! Si Kwi berdiri bengong. Benarkah ini anaknya! Benar bahwa anak ini tidak salah lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat, akan tetapi kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya keracunan. Dan anak ini memang usianya kurang lebih satu tahun, tepat sekali kalau anak ini adalah anak yang dilahirkannya se­tahun yang lalu. Akan tetapi anak ini merupakan seekor monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah dia bahwa mungkin sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan monyet, maka tentu saja tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia merasa terharu sekali. “Anakku...!” bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran. Dia memondong anak itu, tidak memperdulikan anak itu menggigit lengannya karena dengan kulit tubuhnya yang terlatih dan kuat, tentu saia gigitan anak berusia setahun itu tidak menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak dan membiru, Si Kwi cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia menuju ke dalam kamarnya. Anak itu yang meronta-ronta kini tidak bergerak lagi, agaknya pingsan. Si Kwi cepat mengambil obat yang banyak terdapat dalam sebuah kamar di istana itu. Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka tinggal di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan segala macam obat-obatan, amat banyak sampai memenuhi satu kamar dan mereka adalah ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan pula. Sedangkan Si Kwi adalah murid dari Hek I Sainkouw yang juga ahli dalam mengobati segala macam luka yang keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-orang kang-ouw yang banyak melakukan perantauan, banyak pula menghadapi bahaya dari lawan yang menggunakan senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini mengerti pula tentang pengobatan luka beracun. Dia telah memeriksa luka di kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus untuk menghadapi racun ular. Dengan hati penuh kekhawatiran dan dengan cekatan sekali dia lalu menggunakan obat gosok untuk pertama-tama mengobati luka itu. Dengan ujung sebatang pisau runcing yang dibakarnya dulu, dia merobek kulit daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan mulutnya, mengeluarkan darah menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan obat yang telah digodoknya ke dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit. Dengan penuh ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu malam saja dia telah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang dapat membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta, akan tetapi karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan giginya! Si Kwi makin terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-geriknya! Dia lalu menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula anak itu tidak mau makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis seperti seekor monyet. Naluri seorang ibu amat kuat. Cinta kasih seorang ibu memang memiliki getaran halus yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak itu. Agaknya sebagai seorang manusia pula, anak itu juga memiliki perasaan dan dapat menerima getaran cinta kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia telah menjadi “jinak”! Makin berkurang kebuasannya, dan dalam waktu sebulan, dia sudah begitu melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan diajar berjalan karena jalannya masih seperti orang hutan, dengan kedua kaki ditekuk rendah, kedua lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung membungkuk! Kini, dia mulai meniru cara Si Kwi berjalan! Juga dia mulai mau makan masakan sayuran dan daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama kali Si Kwi memberi pakaian kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si Kwi dipakaikan di tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agak­nya karena meniru Si Kwi pula, akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula dimandikan dan lain-lain. Persis seperti menjinakkan seekor kera. Si Kwi sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh rasa haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, diusapnya dengan jari-jari tangan gemetar luka-luka di tubuh anak itu, terutama sekali luka memanjang di pundak sampai ke pung­gung. Luka itu memanjang dan bentuknya seperti seekor naga. Bekas luka inilah yang membuat Si Kwi mengambil ke­putusan untuk memberi nama Liong (Naga) kepada anaknya. Dan karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung anak ini, akan kesaktiannya, maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat menjadi seorang naga sakti. Maka dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga Sakti) dan tentu saja dia me­nambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong, demikianlah nama anak yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara monyet-monyet dan hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu. Setelah menemukan anaknya, terjadi­lah perubahan besar sekali dalam ke­hidupan Si Kwi. Kini dia dapat ter­senyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat kelucuan anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun lebih itu yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki kekuatan yang jauh melebihi anak biasa. Kini Si Kwi mulai merasa gembira, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya sering kali tersenyum. Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai suatu kehidupan baru! Mulai dia mengkhawatirkan sesuatu, memperdulikan sesuatu, tidak lagi seperti biasa hidup seperti mayat berjalan tanpa memperdulikan apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-keindahan lagi di dalam kehidupannya. Tiga bulan kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama sekali. Dari dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi mengundang lima orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Istana itu dibersihkan, dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi, bahkan di samping istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga. Pendeknya, dalam waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah mengalami perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali, mengenakan pakaian indah karena memang banyak terdapat kain-kain yang serba indah di dalam istana itu, semangatnya bangkit dan hidup kembali. Lima orang wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ. Dua orang di antara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan Mongol. Mereka itu biasanya ikut dengan rombongan suka bangsa yang suka berpindah-pindah, hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran. Kini, mereka hidup di istana yang besar dan indah, dan tidak kekurangan makan dan pakaian, tentu saja mereka suka berada di situ. Apalagi, mereka hanya melayani seorang ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat. Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah mulai belajar bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau khawatir, timbul saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak menggigit, bahkan lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak, tidak mau turun! Akan tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin menipis sungguhpun tidak daoat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan betisnya, biarpun sudah sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-bekasnya. SERING sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati istana, bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan mereka. Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu lenyap dari dalam kamarnya! Sudah tentu saja para pelayan menjadi panik. Akan tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu terbuka, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan putranya untuk kedua kali! Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu pergi “mengunjungi” teman-temannya, yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada pagi hari itu, dia bersama para pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tak jauh dari situ karena dia tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul dan hidup. Setelah mereka berenam tiba di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah cabik-cabik tidak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing! Monyet-monyet besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima belas ekor. Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan tetapi monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang hutan yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong. “Sin Liong...!” Si Kwi memanggil sambil memandang ke atas pohon di mana anak itu nongkrong dengan sikap gembira. Sin Liong memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan, “Ibu...!” Hanya satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkan­nya dengan baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi. “Sin Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!” teriak Si Kwi lagi. Sin Liong tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan jantan yang amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang utan jantan yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima ekor orang utan jantan yang lain, sikap mereka mengancam dan pemimpin monyet itu sudah memperlihatkan taring­nya. Akan tetapi Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah pohon sambil memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biar­pun sudah mulai dilatih silat oteh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan, menjauhi pohon itu. Kini enam monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin monyet menggereng-gereng seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak buahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil melayang turun dari atas pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu Sin Liong sudah berada di situ, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan ibunya. Dan anak inipun menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan sama sekali tidak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah dia marah kepada mereka dan hendak membela ibunya. Melihat pertunjukan ini, jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh keharuan dan kekaguman. Anaknya, yang baru berusia dua tahun itu telah tahu bagaimana membela ibunya! Akan tetapi, monyet besar itu menggereng dan tangannya bergerak hendak mencengkeram atau mendorong pergi Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet kecil menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan, hanya menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai. Si Kwi menjadi marah. “Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab ini!” Setelah berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak dan dua ekor monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi yang sudah marah itu kini tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang amat gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya dan dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi, tubuh monyet-monyet besar itu kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh, mereka sudah meloncat bangun lagi dan menyerang makin ganas, dengan mata merah dan mulut membusa, menyerang kalang kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat! Si Kwi merasa kewalahan juga karena sudah tiga empat kali dia merobohkan monyet-monyet itu, namun untuk kesekian kalinya kembali mereka bangkit dan menyerang makin ganas. “Hemm, kalian ingin mampus!” Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang. Ketika pemimpin monyet yang terbesaran paling ganas itu menyerang ke depan, Si Kwi menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur. “Capp...!” Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet besar itu. Monyet itu mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon. “Grrhhhh...!” Tiba-tiba Si Kwi mengelak dan alangkah kagetnya ketika dia melihat anaknya sudah menerjang dan mencakarnya! Dia menangkap tangan anaknya, lalu diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat. “Sin Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!” Lalu dia mengajak anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tidak meronta lagi, akan tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan. Semenjak peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi pendiam dan sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga. Akan tetapi karena sikap Si Kwi yang amat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya itu lenyap dan dia mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu. Liong Si Kwi juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa putranya itu tidak akan mudah menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama setahun bersama monyet-monyet itu, maka diapun tidak melarang anaknya untuk bermain-main dengan monyet-monyet itu. Betapapun juga, ada rasa terima kasih di hatinya terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu, entah apa jadinya dengan anaknya karena ketika melahirkan, dia terus pingsan! Diam-diam Si Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan, kemudian begitu lahir diculik oleh monyet besar. Heran, dia memikirkan bagaimana dan apa jadinya dengah ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya itu. Bagaimana caranya monyet­-monyet itu memelihara bayinya? Bagaimana cara pemotongan pusarnya? Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti anak-anak lainnya. Memang demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena manusia berakal budi, maka manusia senantiasa mempunyai kecondongan untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka manusiapun telah menjadi terbiasa karenanya, dan manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu. Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, bahkan mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu bahkan berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu. Kita dapat melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari “peradaban” manusia. Kelahiran di antara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna! Hanya binating-binatang, yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apabila mereka terlepas daripada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu. Kini Sin Liong sering kali bermain-­main dengan para monyet, bahkan melihat betapa Si Kwi tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-monyet itu mulai berani men­dekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin Liong di istana. Si Kwi memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu mereka. Di dalam hatinya wanita muda ini dapat me­maklumi bahwa tidak mungkin Sin Liong dapat melupakan kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia minum air susu dari dada monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang dan memandang kepada Sin Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia! Monyet betina besar yang hanya memandang dari jauh, bersikap diam saja, namun sinar matanya penuh dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi. Malam itu bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi depan, sedangkan para pelayan telah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu kini telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Telah beberapa bulan lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan biarpun mereka tentu saja belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka telah memperoleh ke­sigapan dan kekuatan yang lumayan. Si Kwi sedang mengajar anaknya ber­cakap-cakap. Sudah lumayan juga kemaju­an yang diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja kalau dibandingkan dengan anak-anak biasa, dia ketinggalan jauh sekali. Usianya sudah dua tahun setengah, namun dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang paling jelas adalah “ibu”, “makan”, “minum”, “tidur”, “ya” dan “tidak”. Akan tetapi dengan bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak dan pengerti­annya menangkap kata-kata jauh lebih daripada kepandaiannya mengucapkan kata-kata. Juga kini dia sering kali ter­tawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan dapat pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia dipangku. Tiba-tiba terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi me­ngerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak melarang ketika Sin Liong merosot turun dari atas pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu. Biarlah, pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir telah menjadi sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek pakaiannya lagi dan bahkan dalam kegembiraamya itu, terdengar gelak tawanya seperti seorang anak manusia diantara suara cecowetan monyet. Anak itu sudah makin mendekati sifat manusia daripada sifat monyet, pikirnya dan diapun melangkah masuk ke dalam kamarnya, membiarkan anak bermain-main di luar karena dia tahu bahwa kini Sin Liong, semenjak peristiwa pertempurannya melawan monyet-monyet itu, tidak mau pergi jauh dari halaman depan istana. Si Kwi sedang membaca kitab yang terisi cerita kuno sambil rebah di atas pembaringannya, ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan nampak anaknya memasuki kamar sambil berlari setengah merangkak cepat sekali. Si Kwi bangkit duduk dan terkejut. Kalau Sin Liong sudah melupakan pesannya bahwa anak itu tidak boleh merangkak melainkan harus berjalan seperti manusia, dan kini anak itu berjalan setengah merangkak karena hal ini membuat dia dapat bergerak lebih cepat, tentu ada apa-apa yang penting pikirnya. “Liong-ji... ada apakah...?” Hatinya lega melihat Sin Liong tidak terluka, dan agaknya tidak terjadi apa-apa dengan anak itu, akan tetapi anak itu kelihatan gugup dan takut. “Ibu... keluar... keluar...!” Dia berkata, sukar sekali, akan tetapi kedua tangannya jelas memberi isyarat kepada ibunya agar ibunya suka keluar dari dalam kamar itu. Si Kwi meloncat turun dan mengikuti anaknya yang kembali lari setengah merangkak dan berloncatan keluar dari dalam kamar, terus ke serambi depan dan hendak terus keluar dari halaman istana. Akan tetapi Si Kwi memegang lengan anaknya dan berdiri tegak di tengah halaman istana yang amat sunyi itu. Sinar bulan menerangi tempat itu. “Ibu...!” Sin Liong menuding ke depan. “Sstttt...!” Si Kwi menaruh telunjuk di depan mulut, isyarat yang dikenal oleh Sin Liong agar dia berdiam diri. Si Kwi yang memiliki pendengaran tajam terlatih itu telah mendengar sesuatu dari jauh. Maklumlah dia bahwa ada datang beberapa orang pengunjung. Siapa pula yang berani datang mengunjungi tempat ini? Pernah dahulu, sebelum dia melahirkan, beberapa kali ada orang-orang berkeliaran di dekat istana, mungkin pemburu-pemburu binatang. Akan tetapi dia telah mempergunakan kepandaiannya, menyabit mereka dari jauh dengan kerikil-kerikil kecil dan membuat mereka lari ketakutan karena sambitannya tepat mengenai mereka dan cukup menyakitkan. Akan tetapi sekali ini, malam-malam ada orang-orang datang. Siapa mereka dan apa maksud kedatangan mereka? “Liong-ji, kau masuklah ke dalam!” kata Si Kwi sambil menuding ke arah serambi istana. Si Liong yang memiliki naluri monyet dan tahu bahwa ada bahaya mengancam, cepat berloncatan dan dia sudah bersembunyi di balik tiang di serambi itu sambil mengintai ke arah ibunya yang berdiri tegak dan tenang menanti datangnya orang-orang yang sudah dia dengar langkah kaki dan suaranya itu. Tak lama kemudian nampaklah enam orang laki-laki tinggi besar yang melihat lagak dan pakaiannya, tentulah bangsa orang-orang kasar yang biasa mengandalkan keberanian dan kekuatan mereka untuk melakukan apa saja tanpa memperdulikan hukum dan perikemanusiaan. Mereka torcengang ketika melihat Si Kwi yang berdiri di tengah halaman istana itu dan mereka semua menahan langkah kaki, memandang ke depan dan memperhatikan Si Kwi dari kepala sampai ke kaki. “Bukan main...! Cantik sekali...!” “Seperti bidadari! Dewi kahyangan rupanya!” “Orang bilang, di sini ada setannya, kiranya yang ada hanyalah dewi manis!” “Sayang tangan kirinya buntung!” “Tidak apa, yang penting kan bukan tangan kirinya, heh-heh!” Mereka bergelak tertawa dan masih terdengar ucapan-ucapan tidak senonoh yang membuat muka Si Kwi menjadi merah dan terasa panas. Kini mereka melangkah maju dan menghadapi Si Kwi sambil menyeringai. Seorang di antara mereka, yang muka­nya hitam dan mukanya brewok matanya lebar, tubuhnya tinggi besar dan agaknya dia yang memimpin rombongan enam orang itu, berkata, “Heh-heh, nona manis. Inikah yang dinamakan Istana Lembah Naga?” Si Kwi bersikap tenang dan menahan kemarahannya, akan tetapi mendengar pertanyaan itu dia menjawab, “Benar!” Laki-laki itu tertawa. “Ha-ha-ha, kami dengar di sini ada setannya. Mana setannya? Dan siapa engkau, nona manis?” “Penghuni istana ini adalah aku! Lebih baik kalian lekas pergi dari sini! Tidak ada seorangpun boleh mendatangi tempat ini!” kata Si Kwi dengan nada suara dingin mengancam. Akan tetapi enam orang laki-laki itu tentu saja memandang rendah dan mereka semua tertawa. Si brewok itu tertawa paling keras dan berkata, “Ha-­ha-ha, boleh jadi engkau aneh, nona, seorang wanita muda cantik manis ting­gal di istana besar seorang diri. Akan tetapi engkau hanya seorang wanita muda yang lemah, berpakaian indah serba merah, tangan kirimu buntung malah. Andaikata engkau benar setan, heh-heh, aku senang berteman dengan setan seperti engkau ini. Aku tidak takut kaugigiti. Ha­-ha-ha!” “Ha-ha-ha-heh-heh!” Lima orang temannya tertawa semua. “Bhong-twako, boleh engkau nikmati dia, kami akan menikmati barang-barang di dalam istana itu saja, heh-heh!” Pada saat itu, mereka semua ter­cengang dan memandang ke serambi depan. Kiranya lima pelayan sudah berada di situ semua. Mereka itu semua ditarik-tarik dan diajak keluar oleh Sin Liong dan kini mereka berdiri di serambi sedangkan Sin Liong sudah sembunyi lagi sambil mengintai. “Wah, wah, kiranya masih ada lima orang lagi? Ha-ha, sungguh tepat. Enam lawan enam! Ah, Bhong-twako, kami juga sudah dijemput, biarpun tidak secantik si buntung ini, akan tetapi mereka itu je­las perempuan, tidak banci. Itu saja sudah cukup, ha-ha!” Lima orang itu ter­tawa-tawa, mata mereka memandang ke arah lima orang pelayan itu. Para pelayan itu terdiri dari wanita-wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh lima tahun, dan karena mereka itu sehat-sehat dan berpakaian cukup bersih, maka nampak pula sifat kewanitaan mereka. Lima orang itu sambil bersorak sudah bergerak hendak menyerbu ke serambi. “Tahan!” Tiba-tiba Si Kwi berseru, suaranya nyaring dan penuh wibawa karena ia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya. “Tahan atau kalian akan mati di tempat!” Enam orang itu terkejut dan si bre­wok memecahkan perasaan kaget yang mencekam itu dengan suara ketawanya. “Ha-ha-ha, lagakmu amat hebat, nona. Seorang wanita muda sepertimu ini, dan lima orang temanmu itu, apa gunanya melawan kami? Lebih baik menurut saja, menyerah dan kalian akan memperoleh kesenangan dan selanjutnya hidup bersama kami...” “Hemm, kalian enam orang sungguh lancang. Katakan dulu siapakah kalian, dari mana kalian datang sehingga kalian tidak mengenal tempat ini dan berani melanggarnya?” “Kami? Ha-ha-ha, kami datang dari Padang Bangkai dan...” “Padang Bangkai?” Si Kwi memotong cepat dan terheran-heran. “Bukankah Padang Bangkai telah kosong dan peng­huninya telah tewas semua? Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah tewas, anak buahnya juga telah terbasmi habis. Bagaimana kalian berani mengaku datang dari Padang Bangkai?” Dalam cerita “Dewi Maut” telah di­ceritakan betapa Padang Bangkai dijadi­kan sarang oleh suami isteri kaum sesat yang amat terkenal, yaitu Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li, dan suami isteri ini bersama anak buah mereka juga takluk terhadap kakek dan nenek iblis penghuni Istana Lembah Naga dan menjadi pembantu-pembantu mereka. Adalah Ang-bin Ciu-kwi inilah yang men­jadi sebab pertama mengapa Si Kwi jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, yaitu ketika dia dirobohkan dan akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi si pemabok itu, dia diselamatkan oleh pendekar sakti muda itu. Ketika terjadi pertempuran-pertem­puran hebat di antara para penghuni Istana Lembah Naga dengan para pen­dekar perkasa, Ang-bin Ciu-kwi, isterinya, dan semua anak buahnya telah tewas dan Padang Bangkai, tempat yang amat ber­bahaya dan mengerikan itu telah menjadi kosong. Bagaimana kini dapat muncul enam orang ini yang mengaku datang dari Padang Bangkai? Si brewok itu tertawa, “Aha, kiranya engkau mengenal nama-nama mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, nona? Ketahuilah bahwa tai-ong (raja sebutan untuk kepala perampok) kami adalah sahabat baik dari mereka, dan melihat bahwa Padang Bangkai telah kosong, maka tai-ong kami lalu mengambilnya sebagai tempat tinggal kami sejak setengah tahun yang lalu. Tai-ong mendengar bahwa di sini terdapat Istana Lembah Naga dan ada... eh, setannya, maka dia mengutus kami untuk menyelidikinya. Siapa kira, bukan setan yang kami dapatkan, melainkan... sorga tempat para bidadari. Heh-heh-heh!” “Bhong-twako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Tubruk dan peluk saja, habis perkara! Kami akan menang­kap lima ekor kelinci gemuk di sana! Ha-ha!” Seorang di antara anak buahnya berkata dan mereka berlima tertawa semua itu menyerbu ke serambi. “Kiranya perampok-perampok laknat! Keparat, mampuslah kalian!” Si Kwi membentak dan tubuhnya bergerak cepat sekali ke depan, menghadang lima orang yang menyerbu ke serambi itu. Dengan kemarahan meluap, Si Kwi menggunakan tangan kanan, dua kali dia menghantam kepada dua orang terdepan, disusul ten­dangan kakinya yang menyambar ke arah bawah pusar mereka. “Plak-plak! Dess-desss!” Dua orang itu memekik dan terpental ke belakang, menimpa teman-temannya dan mereka terbanting, berkelojotan dan... tewas! Melihat ini, empat orang lainnya menjadi kaget setengah mati, kaget dan juga marah. Si brewok mencabut goloknya, diikuti oleh tiga orang anak buahnya. “Kiranya engkau benar-benar setan!” teriak si brewok dan dia sudah menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah leher Si Kwi. Tiga orang anak buahnya juga sudah menggerakkan golok mereka menyerang. Namun Si Kwi sudah siap sedia. Wanita muda ini merasa menyesal meng­apa dia tadi tidak membawa pedangnya atau kantung pakunya. Akan tetapi, menghadapi perampok-perampok kasar ini tentu saja dia tidak menjadi gentar. Dengan gin-kangnya yang luar biasa, dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini sedemikian cepatnya sehingga empat orang pengeroyoknya kadang-kadang menjadi bingung karena wanita itu lenyap ­dari pandang mata mereka saking cepatnya gerakan itu. Sementara itu, lima orang pelayan yang baru saja belajar ilmu silat, me­nonton dengan mata terbelalak. Tadinya mereka tidak mengira bahwa nona maji­kan mereka benar-benar amat lihai sekali sehingga dikeroyok enam orang laki-laki sekasar itu, mampu melawan bahkan se­gebrakan saja telah merobohkan dua orang! Timbul gairah dalam hati mereka untuk belajar silat makin mendalam karena majikan mereka ternyata merupa­kan guru yang amat hebat! Dan Sin Liong yang tadinya mengintai, kini sudah meloncat naik ke atas meja, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ibunya hebat! “Mampuslah kalian, perampok-perampok laknat!” bentak Si Kwi dan tangan kanan­nya menyambar. Krekkk!” Jari-jari tangan yang halus namun karena diisi oleh tenaga sin-kang menjadi kaku dan keras seperti baja itu menghantam tenggorokan si brewok yang besar. Tulang-tulang tenggorokan itu menjadi remuk dan si brewok mengeluar­kan suara seperti babi disembelih, tubuh­nya roboh berkelojotan. Sebuah tendang­an kilat dari Si Kwi mengenai pelipisnya, membuat kepalanya retak dan dia tidak berkelojotan lagi! Tiga orang perampok itu makin terkejut dan kini mereka mulai menjadi gentar. Namun Si Kwi tidak memberi ampun. Ketika dia meloncat ke kiri, seorang perampok membacokkan goloknya dari belakang. Sambaran golok memecah angin dari belakangnya dapat ditangkapnya dan cepat dia miringkan tubuh. Golok menyambar di samping pundaknya, dia membalik dan memutar kaki, lengan kiri yang ujungnya hanya tinggal tulang terbungkus kulit, tangan itu menotok siku tangan orang yang memegang golok. “Dukk! Uhhh...!” Golok besar itu terlepas dan sebelum jatuh ke tanah, sudah disambar oleh tangan kanan Si Kwi yang langsung membuat gerakan membalik. “Cappp...!” Golok itu amblas ke dalam perut pemiliknya sampai menembus punggung! Si Kwi mencabut golok itu sambil meloncat ke kanan sehingga darah yang mengucur keluar dari perut itu tidak sampai mengenai bajunya. Dua orang perampok itu cepat membalikkan tubuhnya dan lari tunggang­ langgang. Akan tetapi, golok di tangan Si Kwi terbang menyambar dan menancap punggung seorang di antara mereka. Orang itu terhuyung dan roboh menclungkup. Yang seorang lagi sudah menghilang di dalam gelap. Si Kwi mengejar, akan tetapi orang itu sudah lenyap sehingga terpaksa dia kembali ke pekarangan Istana Lembah Naga. Dengan tenang dia lalu memerintahkan para pelayan untuk membantu dia menyeret mayat lima orang itu dan melempar-lemparkah mayat-mayat itu ke dalam jurang di belakang istana. Jurang-jurang itu dalam sekali, sampai tak nampak dasarnya, maka mayat-mayat itupun menghilang di dalam jurang gelap. Kemudian Si Kwi kembali ke dalam istana, diikuti oleh lima orang pelayan yang mula-mula merasa ngeri akan tetapi kini merasa bangga sekali! “Ibu...!” Sin Liong meloncat ke dada ibunya. Si Kwi memeluknya dan berkata, “Liong-ji. Sekarang engkau tidak boleh bermain-main terlalu jauh, ya? Lihat, banyak orang jahat berkeliaran!” “Toanio, siapakah mereka itu? Mengapa mereka memusuhi toanio?” se­orang di antara para pelayannya bertanya. Si Kwi duduk sambil memangku Sin Liong, kemudian dia mengumpulkan lima orang pelayannya dan bercerita. “Padang Bangkai adalah padang rumput yang nampak dari atas itu, tempat yang amat berbahaya. Dahulu menjadi sarang orang-orang jahat yang amat pandai, akan tetapi sekarang telah kosong dan ternyata ditempati oleh segerombolan pe­rampok yang anak buahnya tadi mengacau ke sini. Sayang seorang diantara mereka sempat melarikan diri dan tentu kepala perampoknya akan datang ke sini. Akan tetapi jangan kalian khawatir, aku sang­gup menghadapi mereka!” kata Si Kwi dengan gemas. “Mereka itu sudah bosan hidup, tidak tahu bahwa Ang-yan-cu yang tinggal di sini!” katanya pula dengan sikap angkuh dan timbul kembali sifatnya yang gagah yang selama dua tahun lebih, hampir tiga tahun, terpendam di tempat sunyi itu. Melihat sikap majikan mereka yang gagah dan karena sudah menyaksikan sendiri kelihaian majikan mereka, lima orang pelayan itu berbesar hati, bahkan merekapun menjadi bersemangat sehingga malam itu sebelum tidur mereka giat melakukan latihan gerakan silat yang telah diajarkan oleh majikan mereka. Apa yang diduga oleh Si Kwi memang terbukti kebenarannya. Tiga hari kemudi­an, pada suatu pagi, muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi kurus berusia empat puluh tahun. Laki-laki ini memegang sebatang tombak gagang panjang, sikapnya gagah dan pakaiannya mewah. Wajahnya yang kurus itu kekuning-kuningan, matanya sipit namun sinarnya tajam. Sikapnya tidak sekasar para anak buahnya yang rata-rata memiliki tubuh tinggi besar dan nampak kuat-kuat, orang-orang yang biasa mengandalkan kekasaran dan ke­kerasan. Sekali ini Si Kwi sudah siap siaga. Dengan pedang di pinggang dan sekantung Hek-tok-ting tergantung pula di pinggang, dia menyambut kedatangan mereka di pekarangan istana. Lima orang pelayan­nya, biarpun belum pandai ilmu silat, namun merekapun sudah berdiri di serambi, berjajar dengan pedang di tangan dan hati berdebar tegang! Sin Liong sudah bersembunyi lagi, seperti seekor monyet kini dia memanjat gen­teng dan bersembunyi di wuwungan gen­teng istana, sambil mengintai! Dengan kedua tangan bertolak ping­gang dan kedua kaki terpentang lebar, sikap gagah dan tenang sekali, Si Kwi berdiri menanti kedatangan mereka. Setelah gerombolan itu tiba di dalam pekarangan depan istana yang lebar, si kepala rampok mengangkat tangan kiri ke atas dan anak buahnya berhenti, lalu membuat barisan melengkung setengah lingkaran menghadapi Si Kwi yang sama sekali tidak bergerak, berkedippun tidak, akan tetapi dengan pandang matanya Si Kwi sudah mengukur dan mengira-ngira berapa orang akan dapat dirobohkan kalau sekaligus dia menyebarkan paku-paku hitamnya! Ditaksirnya bahwa sedikitnya sepuluh orang akan dapat dirobohkannya dan persediaan paku di kantungnya ada lima puluh batang lebih. Dia sama sekali tidak khawatir dan dia menatap langsung kepada kepala perampok itu, menaksir-naksir dan menyelidiki. Biarpun orang itu kelihatan paling lemah tubuhnya, namun tentu merupakan orang yang terlihai di antara mereka. Orangnya tidak tinggi besar, akan tetapi tombak di tangannya itu kelihatan berat, tanda bahwa kepala perampok itu tentu seorang ahli lwee-keh yang mengandalkan tenaga dalam yang kuat. Juga, seorang yang mengandalkan ilmu tombak adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi ilmunya, karena ilmu tombak lebih sukar dipelajari daripada ilmu senjata lainnya. Maka dia memandang orang itu dengan sikap hati-hati. Si kepala perampok juga bukan seorang yang bodoh atau ceroboh seperti anak buahnya yang datang tiga hari yang lalu itu. Dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya yang berhasil menyelamat­kan diri betapa siluman wanita cantik dari Istana Lembah Naga, seorang diri saja berhasil membunuh lima orang anak buahnya dengan mudah! Maka diapun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita muda cantik itu seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan. Akan tetapi, setelah berhadapan kepala perampok itu merasa heran. Belum pernah dia melihat tokoh kang-ouw seperti wanita ini, dan belum pernah dia mendengar tentang seorang tokoh wanita yang buntung tangan kirinya di dunia persilatan. Dia meragu, dan setelah melihat anak buahnya berhenti, dia lalu melangkah maju sampai dia berhadapan dalam jarak tiga tombak dari wanita itu. Sejenak mereka saling pandang, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung dan saling menaksir keadaan lawan masing-masing. “Toanio,” si kepala perampok akhirnya berkata, sikapnya cukup hormat, akan tetapi dia tidak memberi hormat. “Saya adalah Coa Lok, di dunia kang-ouw ter­kenal dengan julukan Sin-jio (Tombak Sakti). Bersama para pengikut saya, kami tinggal di Padang Bangkai dan boleh dibilang semenjak setengah tahun yang lalu, saya adalah majikan Padang Bangkai.” Si Kwi menjebikan bibirnya. “Hemm, majikan Padang Bangkai adalah mendiang Ang-bin Ciu-kwi yang sekarang telah mati dan setahuku, dia tidak mewariskannya kepada siapapun juga.” Sin-jio Coa tok memandang dengan alis berketut dan mukanya yang berwarna kuning itu menjadi agak kemerahan. Untuk mengatasi rasa tidak enak di hatinya ini dia menumbuk tanah dengan gagang tombaknya, kemudian dia berkata lantang, “Memang tidak ada yang mewariskan kepadaku, akan tetapi mendiang Ang-bin Ciu-kwi adalah seorang sahabatku yang baik, maka kurasa sudah se­pantasnya kalau aku melanjutkan pemeliharaan atas bekas tempat tinggalnya itu. Apakah ada yang berkebaratan terhadap hal itu?” Pertanyaan itu mengandung tantangan dan matanya memandang tajam kepada Si Kwi. Kembali Si Kwi mengeluarkan ejekan dari hidungnya. “Huh, siapa perduli ten­tang Padang Bangkai tempat buruk terkutuk itu? Aku adalah pemilik dan peng­huni Istana Lembah Naga dan aku tidak perduli siapa yang menempati Padang Bangkai!” Kepala perampok itu menarik napas lega, kemudian suaranya tidak begitu lantang ketika dia berkata lagi, “Toanio yang sudah mengenal mendiang Ang-bin Ciu-kwi, tentu bukan sembarang orang dan bolehkan kami mengetahui nama dan julukan toanio?” “Namaku Liong Si Kwi, orang me­nyebutku Ang-yan-cu, dan mendiang suboku adalah Hek I Siankouw dan suhuku adalah Hwa Hwa Cinjin.” Si Kwi yang tidak ingin mencari perkara itu sudah sengaja menyebut nama mendiang subo­nya dan kekasih subonya untuk membikin keder hati orang itu. Dan usahanya memang berhasil. Kepala perampok itu terbelalak dan tercengang, kelihatan gentar juga. Akan tetapi dia segera ter­ingat bahwa tokoh-tokoh kaum sesat yang pernah menggemparkan dunia kaum sesat itu sekarang telah mati, hanya tinggal namanya saja, maka dia ter­senyum dan berkata. “Ah, kiranya Liong-toanio adalah murid para locianpwe itu!” “Kalau engkau sudah mengenal men­diang subo dan suhu, itu baik sekali dan kuharap kau suka pergi saja secepatnya dari sini,” kata Si Kwi yang sebenarnya sama sekali tidak merasa takut atau gentar, hanya dia segan untuk bermusuh­an. Apalagi orang-orang ini adalah peng­huni Padang Bangkai yang boleh dibilang adalah tetangganya, maka hidupnya dan hidup anaknya tidak akan menjadi tenang dan tenteram kalau dia bermusuhan dengan Padang Bangkai. “Toanio, sebenarnya kamipun tidak ingin mengganggu toanio kalau saja toanio tidak membunuh lima orang anak buah kami tiga hari yang lalu.” Kepala perampok itu mulai mengakui maksud kedatangannya, akan tetapi, dengan hati-hati dan tidak mau sembrono setelah dia mendengar bahwa Ang-yan-cu Liong Si Kwi ini adalah murid Hek I Siankouw. Si Kwi maklum bahwa kepala pe­rampok itu telah mulai membuka kartu­nya. Maka diapun tidak berlaku sungkan lagi dan segera dia berkata dengan suara lantang, “Sin-jio Coa Lok! Apakah engkau tidak memperoleh laporan lengkap dari anak buahmu yang dapat lolos dari tanganku itu? Tanyakan saja kepadanya apa yang menyebabkan lima orang anak buahmu mati di sini terbunuh olehku!” Wajah kepala perampok itu menjadi merah, akan tetapi di depan anak buahnya dia tidak boleh memperlihatkan sikap terlalu mengalah, apalagi jerih meng­hadapi wanita cantik ini. Maka dia ber­kata, “Liong-toanio, tentu saja aku sudah menerima laporah, akan tetapi aku ingin mendengar keterangan dari pembunuhnya sendiri.” “Hemmm, begitukah? Nah, dengarlah baik-baik. Tiga hari yang lalu, di malam hari muncul enam orang anak buahmu. Mereka muncul dan menghinaku, me­ngeluarkan kata-kata kotor dan tidak se­nonoh, kemudian mereka hendak menggunakan kekerasan menghina aku dan lima orang pelayanku. Coba kaujawab, tai-ong, apakah perbuatan mereka itu tidak patut untuk dihukum mati? Apakah kau sengaja datang untuk membela mereka yang telah berani menghina aku?” Pertanyaan terakhir ini merupakan tan­tangan yang tidak langsung. Coa Lok menoleh kepada anak buahnya dan melihat betapa wajah anak buahnya kelihatan penasaran dan marah, dia merasa tidak enak kalau tidak memperlihatkan sikap marah dan penuh teguran kepada wanita ini. “Liong-toanio, tentu engkau tahu akan sikap laki-laki yang telah lama tinggal di hutan belukar dan jauh dari wanita. Tentu saja aku datang bukan untuk membela kekurangajaran mereka, akan tetapi sebagai seorang pemimpin mereka, tentu saja aku tidak merelakan kematian mereka begitu saja, baik olehmu maupun oleh siapapun juga.” “Bagus! Lalu kau mau apa? Mau mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan semua anak buahmu!” Si Kwi sengaja mengeluarkan gertakan ini untuk menying­gung kehormatan Coa Lok sebagai seorang kepala perampok yang berkepandaian. “Ho-ho, kau sungguh tekebur, toanio. Aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi jangan kira bahwa engkau akan mudah mengalahkan tombakku. Kalau engkau mampu mengalahkan tombakku ini, barulah aku mengakui kelihalanmu dan akan bersedia mintakan maaf kepada­mu bagi para anak buahku dan selanjut­nya tidak akan mengganggu Istana Lembah Naga.” “Baik, hendak kucoba bagaimana kepandaianmu, tai-ong. Dan akupun sama sekali tidak berniat untuk memusuhi Padang Bangkai. Akan tetapi siapapun yang datang mengganggu, baik dari Padang Bangkai maupun dari akhirat, tentu akan kuhadapi dengan pedang di tangan!” Setelah berkata demikian, tangan kanan wanita itu bergerak ke pinggang. “Singgg...!” Nampak sinar menyilaukan dan pedang itu telah dicabutnya, pedang yang berkilauan saking tajamnya karena semenjak terjadi penyerbuan maka tiga hari yang lalu, Si Kwi menyuruh pelayannya mengasah pedang itu sampai mengkilap. “Liong-toanio!” kata Coa Lok sambil melintangkan tombaknya di depan dada dengan sikap gagah. “Aku sudah berianji bahwa kalau engkau dapat mengalahkan tombakku, aku berjanji tidak akan memperbolehkan siapapun menggangu Istana Lembah Naga. Akan tetapi bagaimana kalau engkau tidak mampu mengalahkan tombakku dan sebaliknya aku mengalah­kan pedangmu?” Si Kwi berpikir sejenak. Mereka ini adalah sebangsa perampok, gerombolan orang kasar yang kejam. Tentu mereka akan melakukan kekerasan kalau dia sampai kalah oleh kepala perampok itu. Maka dia harus menjanjikan hal yang lebih menguntungkan mereka untuk mencegah mereka melakukan pemerkosaan dan siksaan kalau sampai dia benar kalah, hal yang dia anggap mustahil. “Kalau aku sampi kalah olehmu, Sin-jio Coa Lok, aku berjanji akan pergi bersama anakku dan para pelayanku meninggalkan tempat ini dan menyerah­kan Istana Lembah Naga ini kepadamu.” Berseri wajah kepala perampok itu. “Bagus! Itu janji yang adil!” serunya. Si Kwi tidak menjanjikan hal terdorong oleh pikiran pendek. Wanita ini maklum bahwa tanpa dijanjikan sekalipun, kalau sempai dia kalah bukan saja dia dan para pelayannya akan mengalami malapetaka dan akan diperkosa, akan tetapi mungkin anaknya akan dibunuh dan istana itu tidak urung tentu akan dikuasai oleh mereka! “Nah, kita sudah berjanji sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Mulailah, tai-ong!” dia menantang, pedangnya melintang depan dada, kedua lutut ditekuk dan lengan kiri yang tidak bertangan itu menunjuk ke samping dengan lengan dikembangkan. “Jagalah, toanio!” Coa Lok yang diingatkan akan kegagahan itu lalu berlagak, memperingatkah dulu sebelum menyerang seperti sikap seorang gagah tulen, padahal dia adalah kepala perampok yang biasanya tidak memperdulikan sopan santun para pendekar persilatan! Tombaknya membuat lingkaran lebar dan ujungnya tergetar ketika menusuk ke arah dada Si Kwi dengan kecepatan seperti kilat menyambar. “Hyaaaahhhh...!” kepala perampok itu membentak ketika mata tombaknya menyambar ganas. “Haaaaiiiitttt...!” Si Kwi cepat mengelak dan dia terkejut juga menyaksikan betapa tombak itu menyambar luar biasa cepatnya. Tahulah dia bahwa lawannya ini tidak percuma memiliki julukan Sin-jio (Tombak Sakti) karena ternyata ilmu tombaknya memang amat cepat gerakannya. Dia tidak hanya mengelak, melainkan mengelak sambil mengirim serangan balasan, yaitu menusuk dari samping sambil mencondongkan tubuhnya. “Singg...tranggg...!” Kini Coa Lok yang terkejut. Tak disangkanya bahwa wanita bertangan kiri buntung itu dapat membalas demikian cepatnya, maka diapun memutar tombaknya menggunakan gagang tombak untuk menangkis tusukan pedang. Sambil me­mutar tombaknya membentuk lingkaran lebar, dia kembali menyerang, ujung tombaknya tergetar dan pecah-pecah bayangannya menjadi empat lima batang yang kesemuanya menyerang Si Kwi dari berbagai jurusan dan selain itu, juga tombaknya yang tergetar itu mengeluar­kan bunyi nyaring. “Bagus...!” Si Kwi memuji karena memang dia kagum menyaksikan ilmu tombak yang dahsyat ini. Diapun tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya. Maklum akan kehebatan ilmu tombak lawan, dia lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedangnya yang amat hebat. Itulah ilmu pedang yang berdasarkan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun. Ilmu ini sebenarnya adalah gabungan dari ilmu Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, ilmu yang dimainkan oleh dua orang kakek dan nenek itu merupakan ilmu pasangan yang amat tangguh. Akan tetapi kakek dan nenek itu telah menciptakan ilmu gabungan ini menjadi semacam ilmu silat yang disarikan dari penggabungan itu, dan ilmu yang berdasarkan percampuran sifat Im dan Yang ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata, terutama senjata pedang. “Eh...!” Coa Lok terkejut bukan main ketika melihat sinar berkilauan, bergulung-gulung, seperti seekor naga yang bermain-main di angkasa itu. Sinar yang bergulung-gulung itu kini menggulung sinar tombaknya, merupakan benteng sinar yang mencegah tombaknya menembus dan di lain fihak dari gulungan sinar itu mencuat sinar-sinar ujung pedang yang menyerangnya secara bertubi dan amat berbahaya. Setelah mengerahkan gin-kangnya dan mendesak kepala perampok itu, mengertilah Si Kwi bahwa tingkat kepandaian perampok ini memang sudah cukup tinggi, tenaga sin-kangnya juga sudah cukup kuat sehingga dia hanya dapat mengandalkan gin-kangnya saja yang masih melebihi lawan, sehinga kalau dia mau, tentu dia dapat merobohkan dan menewaskan kepala perampok itu. Akan tetapi dia mengerti bahwa hal itu amatlah tidak baik. Kecuali kalau dia berkeinginan menundukkan para perampok dan me­rampas kedudukan kepala dari Coa Lok. Akan tetapi dia tidak ingin mengepalai para perampok ini, apalagi menguasai Padang Bangkai. Dia harus berbaik dengan mereka ini dan menaklukkan mereka tanpa membunuh sehingga dia dapat mempunyai tetangga yang boleh diandalkan bantuannya kalau dia memerlu­kannya. Akan tetapi, karena dalam hal ilmu silat dan tenaga dia tidak menang ba­nyak, dan dia hanya mengandalkan gin-kang, maka tidaklah mudah baginya untuk merobohkan lawan tanpa melukainya. Maka dia lalu menggunakan akal. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan ke­ras dan tubuhnya yang bergerak cepat sekali ltu telah mencelat ke belakang, berjungkir balik dan terdengar dia ber­seru, “Tai-ong, awas paku!” Sin-jio Coa Lok sudah mendengar dari pelaporan seorang anak buahhya yang berhasil lolos dari tangan maut Si Kwi bahwa wanita ini mahir sekali mengguna­kan senjata dengan melontarkannya, maka dia terkejut dan siap-siap. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada tiga sinar menyambar dari tangan Si Kwi yang sudah menyimpan pedangnya dan telah menggunakan tiga batang paku untuk menyerang. Tiga batang paku itu meyambar ke arah tangan kanan lawan, dan yang dua menyambar ke arah kedua kakinya. Sin-jio Coa Lok terkejut dan cepat meloncat ke atas sambil memutar tom­bakny a. Dua batang paku dapat dielakkannya dan yang sebatang lagi dapat dit­angkisnya dengan gagang tombak, akan tetapi dengan kecepatan kilat, menyusul paku-pakunya tadi, Si Kwi telah menerjang lagi dengan pedangnya secara hebat sekali. “Trang-cringgg... plakkk!” Dua kali pedangnya dapat ditangkis oleh Coa Lok yang sudah terhuyung, akan tetapi sebuah tendangan kilat dari kaki kiri Si Kwi dengan tepat mengenai lutut kaki kanan kepala perampok itu sehingga tak dapat ditahannya lagi dia jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Tubuh Si Kwi berkelebat, tombak menyambar akan tetapi Si Kwi menendang gagang tombak, sehingga serangan tombak menyeleweng dan sebelum Coa Lok dapat mengulangi serangan sambil berlutut itu, pedang di tangan Si Kwi telah menempel di lehernya dari belakang! “Sin-jio Coa Lok, engkau terlambat!” kaka Si Kwi, akan tetapi dia lalu me­loncat lagi ke belakang dan menyimpan pedangnya. Wajah Sin-jio Coa Lok berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan dia bangkit berdiri, menyeringai dan mengurut-urut lututnya yang kena tendang, lalu menancapkgn tombaknya di atas tanah di depannya. Di maklum bahwa sudah jelas wanita itu tadi memperoleh kemenangan dan kalau wanita itu menghendaki, tentu dia sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Maka, dia lalu menjura dan berkata, “Liong-toanio, sungguh engkau amat gagah perkasa. Aku Sin-jio Coa Lok mengaku kalah dan aku berjanji tidak akan mengganggu lagi Istana Lembah Naga, bahkan siapapun orang luar yang berani memasuki daerah Lembah Naga, sebelum bertemu dengan toanio akan berhadapan lebih dulu dengan tombakku.” Si Kwi tersenyum dengan hati girang sekali. Dia telah menaklukkan orang-orang kasar ini. Maka diapun balas menjura. “Tai-ong terlalu merendah. Ilmumu amat hebat dan kalau tidak mengandalkan Hek-tok-ting, belum tentu aku dapat menang. Kita adalah tetangga dan sudah sepatutnya kalau kita berbaik. Maafkan tentang peristiwa tiga hari yang lalu, tai-ong, karena hal itu terjadi karena salah paham.” “Toanio baik sekali, gagah sekali, maafkan kami.” Sin-jio Coa Lok lalu terpincang-pincang meninggalkan tempat itu sambil menyeret tombaknya setelah memberi isyarat kepada anak buahnya. Para perampok itu memandang kepada Si Kwi dengan penuh kagum, mereka juga membungkuk sebagai tanda penghormatan kepada wanita lihai itu lalu mereka semua pergi mengikuti kepala mereka, Si Kwi memang cerdik sekali. Dia telah berhasil menundukkan hati para perampok yang ganas itu. Mula-mula dia memperli­hatkan kelihaiannya dan juga kekejamannya yang tidak mengenal ampun ketika dia membunuhi para perampok yang berani menyerbu istana. Kemudian, ketika kepala perampok datang bersama anak buahnya, dia mengalahkan kepala perampok tanpa membunuhnya! Sekaligus dia memperlihgtkan bahwa dia berbahaya namun juga pengampun kalau tidak di­ganggu! Dan kepala perampok yang ber­juluk Sin-jio (Tombak Sakti) itu benar-benar merasa takluk dan tunduk, se­hingga dia segera melupakan kematian anak buahnya karena dengan kepandaian­nya kalau wanita yang buntung tangan kirinya itupun telah mengampuninya, dan dia tahu kalau wanita itu meinghendaki, tentu dia tadi akan dapat dibunuhnya dengan mudah! Hal ini sekaligus men­datangkan rasa takluk, segan dan juga hormat di dalam hatinya dan semua hal ini tentu saja merupakan keuntungan besar bagi Si Kwi. Keadaan di dalam istana itu penuh dengan harta yang besar sehingga Si Kwi dapat hidup mewah dan cukup terjamin. Kini wanita ini nampak penuh gairah hidup, gembira dan bersemangat, kelihatan cantik dan selalu berpakaian indah serba merah. Dia kini lebih tekun melatih diri bersama lima orang pelayannya, dan hanya kadang-kadang saja wanita ini duduk melamun seorang diri dengan hati penuh kerinduan. Rindu kepada Bun Houw dan rindu kepada cinta kasih seorang pria! Hanya Sin Liong seorang yang menjadi penghiburnya, akan tetapi anak ini masih suka untuk bermain-main dengan para monyet besar. Si Kwi tidak melarangnya, karena dia maklum bahwa kalau dia melarang, terdapat bahaya bahwa dia akan kehilangan kasih sayang anak itu yang mulai diperlihatkan ter­hadap dirinya. Demikianlah, biarpun hidup di tempat terasing, namun Si Kwi me­rasa cukup bergembira. Di kaki Pegunungan Khing-an-san se­belah selatan itu terdapat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun itu selama beberapa tahun ini mengalami kemajuan setelah penghuninya mengusaha­kan rempah-rempah dan daun atau akar obat yang banyak tumbuh di sekitar kaki gunung itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa kota-kota besar amat membutuh­kan barang-barang itu, maka penghuni dusun Pek-hwa-cung lalu beramai-ramai menanam dan memelihara tanaman-tanaman berharga itu. Tempat yang ramai dan makmur se­lalu menarik perhatian orang, Pek-hwa-cung juga demikian. Mendengar betapa dusun itu ramai dan mencari penghasilan di daerah itu mudah sekaii dibandingkan dengan daerah lain, maka banyaklah penduduk-penduduk baru berdatangan dari lain daerah, sehingga dusun itu makin menjadi besar dan ramai. Akan tetapi, Bhe Coan bukanlah penghuni baru di dusun itu. Dia terhitung penghuni lama karena ayahnya yang telah meninggal merupakan seorang di antara para pembangun atau penemu tempat itu dan dia sejak kecil tinggal di Pek-hwa-cung. Seperti mendiang ayahnya, Bhe Coan juga merupakan seorang pandai besi yang ahli dan pandai. Boleh dibilang segala keperluan penduduk Pek-hwa-cung yang berupa besi adalah buatan orang she Bhe inilah. Akan tetapi, kalau hanya membuat alat-alat besi saja keahlian Bhe Coang agaknya namanya tidak akan ter­kenal dan dia tentu hanya menjadi seorang pandai besi biasa saja yang banyak terdapat di dunia ini. Tidak, Bhe Coan bukanlah pandai besi biasa dan dia memiliki suatu keahlian lain dalam menggembleng dan membentuk baja, keahlian yang tidak dimiliki oleh ayahnya dan yang dia pelajari dari seorang sakti yang kebetulan pada suatu waktu lewat di Pek-hwa-cung dan mengajarkan kepandaian itu kepada Bhe Coan. Kepandaian itu adalah keahlian membuat senjata, khususnya senjata pedang. Pedang buatan Bhe Coan mempunyai bentuk yang indah dan yang lebih penting lagi, memiliki berat yang seimbang antara gagang dan mata pedang sehingga enak sekali dipakai. Selain itu, juga pandai besi ini memilih bahan pedang yang amat baik. Ilmu ini merupakan kepandaian istimewa yang tidak mudah ditiru orang, dan membuat namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw, sungguhpun Bhe Coan bukan seorang ahli silat yang pandai, melainkan seorang pandai besi yang bertubuh kuat, berwatak keras dan jujur, dan mengenal ilmu silat, biarpun dia pernah mempelajarinya, namun tidak secara mendalam. Ketenaran­nya di dunia kang-ouw bukan karena ilmu silatnya melainkan karena kepandaiannya membuat pedang itulah. Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mengunjunginya dan minta dibuat­kan pedang. Mereka itu, berani membayar berapapun juga sehingga Bhe Coan tidak kckurangan penghasilan dan di dalam dusun Pek-hwa-cong dia terkenal sebagai seorang yang cukup mampu karena penghasilannya membuat pedang-pedang itu. Bahkan dia mengenal banyak tokoh kang-ouw yang semua, baik dari golongan hitam maupun putih, datang minta dibuat­kan pedang olehnya. Akan tetapi, kalau pandai besi ini dapat dikatakan berhasil dalam pekerjaannya, sebaliknya dalam kehidupan rumah tanggahya dia tertimpa nasib buruk. Kurang lebih dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama. Pandai besi ini menikah ketika dia berusia tiga puluh lima tahun, menikah dengan seorang gadis Pek-hwa-cung juga, seorang gadis petani biasa yang sederhana. Selama tiga tahun menikah, barulah isterinya mengandung. Akan tetapi, dua tahun yang lalu, ketika melahirkan seorang bayi perempuan, isterinya itu meninggal dunia! Bhe Coan yang amat mencinta isterinya, hampir gila oleh kedukaan. Kalau pada waktu itu tidak ada banyak orang, yaitu para tetangganya, mungkin saja akan dibanting dan dibunuhnya anak perempuan yang terlahir selamat itu karena dia menganggap anak itulah yang menyebabkan kematian isterinya tercinta! Para tetangga mengingatkan dia dan akhirnya dia sadar, biarpun sukar baginya untuk mengatasi kesedihannya ditinggal mati oleh isterinya yahg tercinta itu. Dia hidup menduda dan memanggil seorang inang pengasuh untuk merawat anaknya yang diberi nama Bhe Bi Cu. Seperti kita ketahui, dusun Pek-hwa-cung yang makin makmur itu menarik banyak penghuni baru dah beberapa bulan semenjak kematian isteri Bhe Coan, di dusun Pek-hwa-cung itu datanglah se­orang janda muda yang cantik manis dan bersikap genit. Janda muda ini telah tiga tahun ditinggal mati suaminya, tanpa anak dan usianya baru tiga puluh tahun. Wajahnya memang manis dan sikapnya menarik. Dia tinggal bersama ibunya yang sudah tua di dusun Pek-hwa-cung. Sebagai penghuni baru dan karena janda ini pandai menyulam dan menjahit, maka dia segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup lumayan di dusun yang mulai maju itu dari hasil menjahit pakaian. Banyak pria di Pek-hwa-cung terpikat oleh kecantikan janda muda itu dan di antara mereka yang terpikat, termasuk pula Bhe Coan! Dan karena keadaan pandai besi ini cukup mampu, juga dia merupakan seorang duda yang baru se­tahun ditinggal mati isterinya maka menanglah Bhe Coan dalam persaingan itu dtn pada suatu hari, secara resmi dia memboyong janda itu menjadi isterinya! Dan ternyata bahwa janda itu amat pandai merayu hati pria sehingga ter­obatlah kedukaan Bhe Coan ditinggal mati isterinya dan dia jatuh bertekuk lutut di depan kaki isterinya dalam waktu beberapa bulan saja! Karena dia tergila-gila, maka dia menurut saja ketika isterinya minta kepadanya agar Bhe Bi Cu, anak perempuannya yang baru berusia setahun itu, disingkirkan dari dalam rumah. “Suamiku, kalau engkau menghendaki agar hubungan cinta kasih antara kita lancar dan bersih dari gangguan, sebaiknya kalau Bi Cu itu kauserahkan kepada orang lain agar dirawatnya, jangan dirawat di dalam rumah ini. Kalau dia masih di sini, mana mungkin aku melupakan bahwa engkau bukanlah milikku sepenuhnya, melainkan masih ada ikatan dengan mendiang isterimu? Ingat, aku sendiri telah bebas dan terlepas sama sekali dari mendiang suamiku yang tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat.” Bhe Coan adalah seorang pandai besi yang kasar dan jujur, dan karena ini agaknya dia seperti seorang yang bodoh. Dia menganggap bahwa pendapat isterinya itu benar belaka dan akhirnya, setelah memilih-milih, dia lalu menyerahkan Bhe Bi Cu kepada seorang piauwsu (pengawal barang berharga) yang dikenalnya dengan baik. Piauwsu ini adalah seorang kepala piauwsu yang terkenal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning dan dia terkenal sebagai pengawal barang-barang yang keluar masuk batas propinsi di utara, kcluar atau masuk daerah propinsi itu. Piauwsu itu bernama Na Ceng Han dan sudah lama mengenal Bhe Coan karena pandai besi inilah yang selalu dipesannya membuat pedang untuk dia sendiri dan para anak buahnya, bahkan Na-piauwsu itu pernah membawa bahan baja yang luar biasa, yang didapatnya di daerah suku liar di utara, kemudian baja murni yang mengeluarkan sinar ini dijadikan sebatang pedang oleh Bhe Coan yang kemudian menjadi pedang kesayangan Na-piauwsu. Ketika pada suatu hari Na-piauwsu lewat di dusun Pek-hwa-cung dan mengunjungi Bhe Coan, maka pandai besi ini lalu memilihnya sebagai ayah angkat Bhe Bi Cu. Dan kebetulan sekali bahwa Na-piauwsu memang sudah lama menginginkan seorang anak perempuan. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki saja, anak tunggal yang kini telah berusia empat tahun. Maka ketika dia ditawari oleh sahabatnya itu untuk menjadi ayah angkat dan merawat Si Cu, dia menjadi girang bukan main. Dia mengerti akan keadaan Bhe Coan yang menikah dengan janda cantik itu. Na Ceng Han adalah seorang kango-uw yang sudah banyak pengalaman, dan dia mempunyai pandangan yang bijaksana sekali. Andaikata sahabatnya itu belum menikah dengan janda itu, tentu dia dapat memberi nasehatnya. Akan tetapi, Bhe Coan telah menjadi suami isteri dengan wanita itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan maklum bahwa kehadiran anak perempuan itu hanya akan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu yang akhirnya akan membuat Bhe Coan merasa tersiksa hidupnya. Selain ini, juga dia suka sekali melihat Bi Cu yang sehat dan mungil, maka dia menerimanya dan dibawanyalah anak perempuan berusia setahun lebih itu pulang ke Shen-yang. . Seperti juga semua orang Han yang meninggalkan kampung halaman dan merantau jauh di luar tembok besar, seperti keturunan Bhe Coan yang sudah dua keturunan tinggal di luar tembok besar, tentu saja Bhe Coan juga merasa rindu untuk kembali ke selatan dan sebelum isteri pertamanya meninggal, diapun sudah bercita-cita untuk memboyong keluarganya itu ke sebelah dalam tembok besar apabila dia sudah cukup mengumpulkan uang, karena kehidupan di selatan tidaklah mudah. Akan tetapi, setelah dia menikah dengan janda manis itu, harapannya ini membuyar. Isteri barunya itu sama sekali tidak setuju untuk pergi ke selatan. Berbeda dengan Bhe Coan isterinya itu adalah seorang peranakan Mancu sehingga sudah meng­anggap daerah Pegunungan Khing-an-san sebagai kampung halamannya bahkan daerah selatan di sebelah dalam tembok besar merupakan daerah asing baginya. Betapapun juga, isterinya itu ber­sikap manis kepadanya sehingga dia ter­hibur juga dan biarpun isteri barunya itu belum juga kelihatan mengandung setelah satu tahun menjadi isterinya namun dia merasa cukup gembira, hidup, rukun dengan isterinya yang cantik dan merasa dirinya cukup berbahagia. Bahkan kini isterinya merupakan pendorong baginya untuk bekerja lebih giat, karena isterinya yang baru ini selalu ingin memajukan keadaan mereka, memperbaiki rumah, membeli perabot-perabot baru dan sebagai­nya. Dorongan ini membuat Bhe Coan bersemangat sekali, bekerja dari pagi sampai sore tanpa mengenal lelah, dan malamnya menikmati pelayanan isterinya yang kelihatan amat mencintainya. Pada suatu hari, selagi Bhe Coan sibuk di dalam dapur kerjanya, menempa besi untuk dibentuknya menjadi tapal kuda memenuhi pesanan para pemilik kuda di dusun itu, muncul seorang laki-laki di pekarangan rumahnya. Pada waktu itu, isteri Bhe Coan kebetulan berada di luar, maka ketika melihat ada seorang pria memasuki pekarangan rumahnya, dia mengangkat muka memperhatikan dan hampir saja kain yang sedang disulamnya itu terlepas dari pegangannya, jantungnya berdebar dan kedua pipinya menjadi ke­merahan, sepasang matanya memandang wajah yang tampan itu penuh kagum. Yang datang itu adalah seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan berlenggang dengan lagak sopan santun namun gagah dan agung, lagak seorang sasterawan atau se­orang kongcu golongan atas! Laki-laki itu memiliki wajah yang manis, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, mulutnya selalu tersenyum, senyum penuh pikatan, senyum seorang laki-laki yang bisa me­nundukkan hati wanita, seorang laki-laki petualang asmara! Pakaiannya indah dan rapi sekali, pakaian seorang kongcu yang terpelajar atau seorang putera hartawan, dari kain sutera yang halus dan baru, demikian pula sepatutnya masih baru, biarpun waktu itu sepatu dan jubahnya tertutup debu, tanda bahwa dia melakukan perjalanan jauh. Tangan kirinya memegang kendali seekor kuda yang kelihatan juga kelelahan, kuda besar pilihan, kuda yang baik dan mahal pula. Isteri dari Bhe Coan cepat sadar akan keadaannya dan menurut sepantasnya, dia harus cepat menyembunyikan diri, akan tetapi tadi dia terlongong kagum, maka dia terlambat dan kini pria itu telah berdiri di depannya, menjura penuh hormat dan dengan senyum di bibir dan lirikan mata penuh daya pikat seperti biasa dilakukannya kalau dia berhadapan dengan seorang wanita, apalagi kalau wanita itu muda lagi cantik seperti Leng Ci, isteri dari Bhe Coan itu. “Nona, harap sudi memaafkan saya kalau saya berani lancang memasuki pekarangan rumah nona. Akan tetapi, saya seorang dari luar daerah ini, datang dari jauh dan tidak mengenal tempat ini. Kalau boleh saya bertanya, benarkah di sini tempat tinggal saudara Bhe Coan, pandai besi ahli pembuat pedang yang terkenal itu?” Suara pria muda itu halus, tutur sapanya sopan dan sikapnya ramah sehi gga seketika itu juga hati Leng Ci, nyonya Bhe Coan itu terpikat dan dengan suara gemetar dia menjawab tanpa berani mengangkat muka, menunduk akan tetapi kadang-kadang sepasang matanya yang tajam mengerling dari bawah. “Benar, kongcu, di sini rumah Bhe Coan...” Suaranya merdu dan lirih, agak gemetar dan tersendat karena jantungnya telah berdegup kencang. “Ahh... sungguh beruntung sekali saya! Tadi saya mendengar bunyi dencing gemblengan besi di landasan, maka secara untung-untungan saya masuk ke sini. Kiranya benar! Aht nona yang baik, bolehkah saya bertemu dengan dia? Apakah nona ini puterinya?” Leng Ci tersenyum, senyum simpul yang manis dan tangannya segera menutupi mulut, matanya menyambar seperti gunting tajam lalu terdengar dia menahan kekehnya secara genit. “Ih-hi-hik... saya bukan anaknya, melainkan isterinya... hi-hik.” “Apa...?” Pemuda sasterawan itu membelalakkan matanya dengan lebar seolah-olah dia mendengar berita tentang sesuatu yang luar biasa dan amat mengherankan. “Nona... eh, nyonya tidak main-main?” “Mengapa?” Leng Ci bertanya, kini lebih berani dan tidak lagi menutupi mulutnya sehingga mulut yang tersenyum lebar itu memperlihatkan kilauan gigi yang berderet rapi. “SUNGGUH MATI siapa dapat menduganya? Kouw-nio... eh, toanio sungguh kelihatan masih sangat muda... dan saya mendengar... eh, maaf, saudara Bhe Coan itu sudah berusia hampir empat puluh tahun dan toanio masih kelihatan amat muda... maaf...” Bukan main senangnya hati Leng Ci mendengar ini. Tidak ada pujian yang lebih mendebarkan jantung seorang wanita daripada dikatakan masih kelihatan muda, apalagi kalau cara mengatakannya seperti pemuda sasterawan ini! “Ahh, kongcu terlalu memuji...” katanya tersipu-sipu, kedua pipinya menjadi kemerahan menambah kemanisannya. “Suami saya memang berusia hampir empat puluh, akan tetapi sayapun sudah... eh, hampir tiga puluh tahun...” “Ahhh...! Siapa dapat percaya? Menurut pandangan saya, toanio tidak akan lebih dari dua puluh tahun, atau jauh kurang dari itu!” Jantung nyonya itu makin berdebar, akan tetapi dia khawatir kalau-kalau percakapan yang tidak semestinya itu akan terdengar orang lain, maka dia lalu cepat-cepat berkata, “Kongcu hendak bertemu dengan suami saya?” “Benar, toanio. Saya bernama Hok Boan she Kui. Saya datang jauh dari selatan dan sengaja mencari suami nyonya untuk memesan pedang yang baik. Berapapun harganya akan saya bayar, karena saya mendengar dari teman-teman bahwa suami nyonya adalah seorang ahli membuat pedang yang pandai. Dan melihat... ehh...” di sini dia menyambung kata-katanya dengan suara berbisik “...melihat nyonya sebagai isterinya, saya tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya, dia pandai sekali memilih...” Ucapan itu sudah melewati batas pujian dan sepasang mata Leng Ci mengeluarkan sinar marah. Dia meng­angkat muka memandang wajah itu, siap untuk memaki, akan tetapi melihat wajah itu, melihat sinar mata yang seolah-olah membelainya, senyum yang penuh pikatan dan tantangan itu, hatinya luluh dan dia menunduk kembali. “Dia bekeria di dapur, harap kongcu langsung masuk ke sana melalui jalan samping. Silakan.” Setelah berkata demikian, Leng Ci lalu memasuki rumah­nya, langsung dia memasuki kamarnya dan menuju ke depan cermin untuk memeriksa keadaan wajah dan bentuk tubuh­nya yang baru saja mendapat pujian se­cara tidak langsung namun amat menyenangkan hatinya itu dari seorang pe­muda yang amat menarik hatinya. Dia tersenyum-senyum melihiat wajahnya kemerahan dan berseri, matanya bersinar-sinar dan otomatis tangannya menyentuh dadanya yang membusung untuk merasa­kan debar jantungnya yang membuat dadanya tergetar. Sementara itu, sasterawan itu ter­senyum mengikuti langkah nyonya muda yang memasuki rumah itu dengan sinar mata kagum, melihat betapa buah pinggul itu bergerak-gerak membayang di balik pakaian ketika nyonya itu memasuki rumah. Tentu saja sejak pertama kali bertemu dia sudah tahu bahwa yang berdiri di depannya itu adalah seorang wanita muda yang usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, wanita yang sudah matang. Tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita itu bukanlah seorang gadis dan dia tidak heran mendengar bahwa wanita manis itu adalah isteri ahli pembuat pedang Bhe Coan. Akan tetapi, kebiasaan membuat dia ber­sikap seperti tadi, sikap yang selalu memikat hati wanita manapun yang di­jumpainya, terutama kalau wanita itu muda dan manis seperti Leng Ci. Setelah mengikat kendali kudanya pada batang pohon yang tumbuh di depan rumah pandai besi itu, sasterawan muda yang bernama Kui Hok Boan itu sambil tersenyum lalu melangkah memasuki pintu di samping rumah dari mana ter­dengar suara berdentang dan berdencing­nya besi bertemu besi. Ketika dia melangkah memasuki pintu pekarangan samping, tiba-tiba suara ber­dencing itu berhenti, dan ketika dia memasuki pintu dapur di mana suara itu tadi terdengar, dia melihat seorang laki-laki yang hanya memakai celana hitam tanpa baju, muka dan dadanya berlepotan angus, bangkit berdiri dari sebuah bangku yang kotor oleh bubuk besi. Nampak olehnya nyonya rumah yang manis tadi baru saja meninggalkan tempat kerja pandai besi itu, memasuki pintu rumah samping dan melempar kerling dari sudut matanya yang menunduk. Karena pandai besi itu sudah berdiri dan memandangnya, Kui Hok Boan mem­bungkuk memberi hormat kepada nyonya rumah yang lewat, dengan sikap sopan sekali dan muka tunduk, sedikitpun tidak mengerling kepada wanita yang manis itu, kemudian, setelah wanita itu lenyap di balik pintu, dia mengangkat muka dan menghampiri pandai besi itu. Mereka saling berhadapan, seorang sasterawan muda yang tampan dan bersikap halus, dan seorang pandai besi yang bertubuh kuat berotot dan bertelanjang baju. Keadaan mereka sungguh jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikan, maka tidak­lah mengherankan kalau Leng Ci tadi begitu tertarik melihat pemuda sastera­wan itu. Sejenak Bhe Coan tercengang. Biasanya, mereka yang datang mencarinya untuk memesan pedang adalah orang-orang kang-ouw yang kasar, atau tokoh yang aneh, para piauwsu, para kauwsu (guru silat), atau perwira-perwira dan bahkan dan pula utusan pembesar-pembesar. Akan tetapi belum pernah ada seorang sasterawan memesan pedang! Biasanya, sepanjang pengetahuannya, sasterawan biasa memegang kertas dan pensil untuk menulis, suling atau yangkim untuk bermain musik, atau kwas untuk melukis, sama sekali bukan pedang. Maka dia tercengang dan hanya memandang bengong kepada sasterawan yang bersikap sopan dan berwajah terang berseri itu. Kui Hok Boan agaknya maklum akan keheranan tuan rumah, maka dia cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat. “Tadi saya diperkenankan oleh nyonya rumah yang terhormat untuk masuk ke dapur pekerjaan ini. Benarkah saya berhadapan dengan saudara Bhe Coan, ahli pembuat pedang yang terkenal sampai ke dalam tembok besar?” Sepasang mata pandai besi itu ber­sinar, tanda bahwa ucapan pemuda saste­rawan itu berkenan di hatinya. Diapun terheran. Biasanya, orang-orang yang kaya, atau berkedudukan, atau berke­pandaian seperti para sasterawan ber­sikap angkuh dan merasa lebih tinggi daripada orang-orang kasar seperti dia, akan tetapi pemuda ini sungguh bersikap sopan dan menyenangkan sekali. “Ahh, kongcu terlalu memuji. Silakan duduk... ah, akan tetapi bangkunya kotor, khawatir akan mengotorkan pakaian kongcu saja...” Kui Hok Boan tersenyum lebar, nam­pak giginya yang putih bersih. “Bhe-twako, kiranya twako seorang yang ramah dan gagah. Terimalah salam hor­mat saya, saya Kui Hok Boan, dari kota Shen-yang...” “Ahhh...!” pandai besi itu kelihatan berseri wajahnya mendengar disebutnya kota ini, dan dia cepat bertanya. “Dari Shen-yang? Apakah kongcu mengenal piauwsu yang juga tinggal di Shen-yang?” Pemuda she Kui itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tahu siapa yang dimaksudkan itu. Nama Na Ceng Han cukup terkenal di Shen-yang. Akan tetapi sebagai seorang yang cerdik sekali, pemuda ini tidak segera menjawab, melainkan memperlihatkan wajah seperti orang kaget dan heran lalu berbalik dia bertanya. “Ada hubungan apakah Bhe-twako dengan Na-piauwsu?” “Hubungan baik sekali!” Bhe Coan berkata sambil mengangguk. Dia memang orang jujur yang tidak pernah mau menyimpan rahasia. “Dialah sahabat baik saya nomor satu! Bahkan anakku satu-satunya menjadi anak angkat dari Na-piauwsu. Apakah kongcu mengenalnya?” Wajah sasterawan muda itu berseri dan dia tersenyum, lalu mengangkat kedua tangan menghormat lagi kepada pandai besi itu. “Aihh, kiranya twako adalah sahabat baik piauwsu Na Ceng Han yang terhormat itu? Tentu saja saya mengenalnya, twako. Saya kagum kepada piauwsu yang gagah perkasa itu!” Wajah pandai besi itu makin berseri dan dia melangkah maju, memegan­g kedua tangan sasterawan itu. “Lui-kongu, saya girang sekali mendengar ini! Apakah kongcu pernah melihat seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua tahun di rumah piauwsu itu? Bagaimana keadaan anak itu?” Sebagai seorang yang amat cerdik Kui Hok Boan tidak lama-lama menjawab. Dia tersenyum dan dengan wajah gembira, dia berkata, “Bulan yang lalu saya mengunjungi Na-piauwsu dan memang saya melihat seorang anak perempuan kecil, dipangku dan ditimang-timang oleh Na-piauwsu. Bukankah anak itu manis, mungil dan montok sekali?” Bhe Coan mengangguk-angguk. “Benar... benar... itulah anak saya, itulah Bi Cu anak saya...” Suaranya terdengar agak tergetar karena keharuan dan kegirangan hatinya mendengar bahwa anaknya sehat dan selamat. Dia tidak ingat bahwa sudah tentu saja anak perempuan kecil semua juga manis, mungil dan montok kalau anak itu sehat! “Kiranya anak itu anak twako? Ah, selamat, twako. Anak twako begitu manis!” “Ha-ha-ha-ha, Thian agaknya mengutus kongcu untuk datang dan menyampaikan berita menggirangkan itu kepada saya! Ah, kongcu, mari kita duduk di dalam dan bicara. Kongcu merupakan seorang tamu agung bagi saya, tamu yang membawa berita baik sekali. Marilah, kongcu, eh... saya akan mencuci tangan dulu...” Pandai besi itu menghampiri bak air dan mencuci muka dan kedua tangannya sebelum memakai bajunya yang juga hitam kotor. Dengan wajah gembira dan sikap ramah dan wajar, Bhe Coan lalu meng­gandeng lengan tamunya, dibawa masuk ke dalam rumah. Isterinya menyambut mereka dengan wajah berseri akan tetapi pandang matanya agak terheran melihat tamu yang tampan itu oleh suaminya digandeng dan diajak memasuki rumah. “Kui-kongcu, perkenalkan, ini isteri saya. Ah, tadi kongcu telah bertemu dengan dia, bukan? Isteriku, ini adalah kongcu Kui Hok Boan dari Shen-yang. Dia membawa berita baik sekali tentang Bi Cu. Anak kita itu selamat dan sehat.” Kui Hok Boan menjura dan meng­angkat kedua tangan di depan dada sambil menundukkan mukanya dan berkata kepada nyonya muda. itu, “Twaso, maafkan kalau saya mengganggu.” Wajah nyonya muda itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan diapun cepat-cepat menjura dan berkata, “Kongcu adalah sahabat dan tamu suami saya tentu saja tidak mengganggu.” “Ha-ha-ha, isteriku yang baik, lekas kausediakan masakan dan arak. Kita harus menjamu Kui-kongcu!” kata pandai besi itu dan Leng Ci bergegas meninggal­kan mereka, memasuki dapur dan segera sibuk dengan persiapan hidangan. Diapun merasa gembira sekali dan wajahnya selalu berseri, bibirnya tersenyum dan matanya termenung. Bhe Coan duduk menghadapi meja dan tamunya duduk di seberangnya. Pandai besi itu menghujankan pertanyaan kepada Kui Hok Boan tentang anaknya di Shen-yang, tentang keadaaan dan keluarga Na Ceng Han, tentang kota Shen-yang dan tentang tokoh-tokoh yang dikenalnya ketika mereka memesan pedang kepadanya. Dan ternyata Kui Hok Boan memiliki pengetahuan yang amat luas. Pemuda ini pandai sekali berbicara sehingga sebentar saja Bhe Coan yang jujur dan bodoh merasa amat tertarik dan kagum, mendengarkan semua penuturan pemuda itu dengan wajah berseri. Beberapa kali Leng Ci datang menghampiri mereka, menyuguhkan arak dan masakan yang telah diselesaikannya. Dan setiap kali dia mendekati meja, jantungnya berdebar tegang, matanya mengerling tajam dan dia melihat betapa pcmuda tampan itupun mengerling kepadanya secara diam-diam dan halus sambil tetap bercakap-cakap dengan Bhe Coan. “Kui-kongcu adalah seorang terpelajar, dan pengetahuan kongcu luas sekah sehingga kongcu mengenal semua tokoh kang-ouw dan para pembesar. Akan tetapi, saya sungguh merasa heran mendengar bahwa kongcu hendak memesan pedang! Untuk apakah sebatang pedang bagi seorang sasterawan seperti kongcu?” Akhirnya Bhe Coan bertanya sambil memandang wajah orang itu dengan kagum. Kui Hok Boan tersenyum lebar dan pada saat itu Leng Ci datang lagi membawer mangkok besar terisi masakan terakhir. Dia meletakkan mangkok itu di atas meja, di samping masakan-masakan lain yang dipersiapkannya secara cepat tadi, dan kini dia berdiri di dekat meja, lalu menyambung ucapan suaminya, “Saya sendiripun belum pernah mendengar suami saya membuatkan pedang untuk seorang sekolahan!” Bhe Coam tertawa. “Nah, Kui-kongcu. Isteri saya berkata benar. Diapun tentu heran mendengar bahwa kongcu memesan pedang. Kongcu datang berkuda, kalau kongcu memesan tapal kaki kuda, hal itu tentu saja tidak mengherankan. Akan tetapi, pedang...” “Benar, untuk apakah sebatang pedang bagi kongcu?” Leng Ci bertanya juga, pertanyaan yang diajukan seolah-olah dia juga terheran dan ingin sekali mendengar alasan pemuda itu. Kui Hok Boan menarik napas panjang. Dia mengerutkan alisnya lalu menjawab, “Sesungguhnya, pedang yang saya pesan bukanlah untuk saya sendiri. Hendaknya Bhe-twako dan twaso mengetahui bahwa tahun ini saya akan mengikuti ujian di kota raja. Saya mengenal pengujinya sebagai seorang pembesar yang suka sekali pedang yang bagus, maka saya hendak membawa oleh-oleh sebatang pedang yang baik sekali untuk hadiah kepadanya. Dan saya mendengar bahwa Bhe-twako di sini adalah seorang ahli pedang yang hebat, maka jauh-jauh saya datang untuk memesan sebatang pedang yang baik dan indah yang akan saya hadiahkan kepada pembesar itu. Saya bersedia untuk membayar berapa saja harga pedang itu...” “Ahhhh... begitukah? Ha-ha-ha, Kui-kongcu tidak keliru kalau datang kepada saya. Tentang harga pedang, ah, mari kita makan dulu. Urusan itu dapat kita bicarakan nanti.” “Benar, kongcu. Silakan makan seada­nya, dan maklumlah, karena di dusun maka kami tidak berkesempatan untuk menyajikan masakan yang baik.” Kui Hok Boan bangkit berdiri dan menjura kepada Bhe Coan, lalu kepada Leng Ci, “Twako dan twaso sungguh budiman dan ramah sekali terhadap saya, menerima kedatangan saya sebagai se­orang anggauta keluarga saja. Oleh karena itu, tidak enak rasanya kalau saya makan sendiri masakan twaso yang sudah berjerih telah membuatkan masak­an-masakan ini. Kalau boleh, saya per­silakan twaso ikut pula makan bersama kami, karena bukankah kalian berdua memperlakukan saya sebagai anggauta keluarga sendiri?” Bhe Coan adalah seorang dusun yang jujur dan penuh kepercayaan kepada orang lain. Apalagi dia adalah keturunan pandai besi dan sudah menjadi kenyataan bahwa orang-orang yang bekerja sebagai pandai besi sejak kecil biasanya berwatak polos, jujur dan mudah percaya, juga dapat dipercaya. Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sasterawan muda yang begitu halus dan ramah, dia tertawa girang dan menarik tangan isterinya yang berdiri menunduk dengan muka merah. “Ha-ha-ha, Leng Cip isteriku. Kenapa mesti malu-malu? Kui-kongcu berkata benar. Dia adalah seorang tamu agung, seorang sahabat, dan memang seperti anggauta keluarga sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau kau menemani kami makan. Duduklah!” Leng Ci tersenyum malu-malu dan duduk di samping kiri suaminya, berhadapan dengan tamunya yang agak di sebelah kirinya karena Hok Boan duduk tepat berhadapan dengan Bhe Coan. Dengan cekatan nyonya rumah ini lalu menuangkan arak ke dalam cawan tamunya dan suaminya, lalu berkata, “Silakan minum, Kongcu.” Bhe Coan mengangkat cawannya dan berkata, “Kui-kongcu, mari kita minum untuk menyatakan selamat datang kepada kongcu!” Hok Boan melirik ke arah Leng Ci dan melihat wanita ini agaknya tidak turut minum, dia lalu tertawa dan berkata, “Twaso, mana arakmu?” “Ha-ha, benar isteriku, hayo kau ikut minum untuk menghormati Kui-kongcu!” Leng Ci hanya tersenyum ketika dengan cekatan Hok Boan menuangkan arak dari guci ke dalam cawan di depan nyonya itu. Mereka bertiga lalu minum arak mereka. “Dan kini saya ingin mengajak twako dan twaso minum untuk menghaturkan terima kasih saya.” Hok Boan berkata, lalu sambil menuangkan arak lagi ke dalam cawan mereka. Kembali mereka minum secawan arak. Mereka silih berganti menghaturkan selamat sambil makan minum dan setelah menghabiskan lima cawan arak, wajah yang manis dari nyonya rumah itu menjadi makin merah, senyumnya makin genit dan matanya yang tajam lebih scring menyambar dengan kerlingan dari sudut matanya ke arah tamunya. Bhe Coan yang juga sudah mulai dipengaruhi arak, tidak melihat perubahan sikap isterinya ini dan kegembiraan isterinya dianggap wajar saja karena tamu mereka itu amat menyenangkan. Kui Hok Boan tentu saja melihat perubahan sikap wanita di depannya, agak di sebelah kanannya itu. Dia telah banyak berpengalaman dengan wanita, maka bukanlah hal yang lancang atau tidak diperhitungkan ketika tiba-tiba kakinya menyentuh betis kaki nyonya muda itu di bawah meja. Leng Ci sedang membawa sepotong daging ke mulutnya. “Ihhkk...!” serunya dengan kaget sekali ketika merasa betapa betis kakinya diusap oleh sebuah kaki, matanya terbelalak saking kagetnya melihat keberanian tamu itu. “Eh, kenapa kau...?” Suaminya bertanya heran. Wajah itu menjadi merah sekali dan tak dapat menjawab. “Apakah twaso tersedak? Baiknya diberi minum teh, twaso.” kata Hok Boan dengan kaki masih mengusap betis itu. Wanita itu menarik kakinya menjauh dan cepat menyambar cangkir teh dan diminumnya teh itu untuk menutup mukanya yang menjadi merah. Jantungnya berdebar keras sekali, akan tetap kini dia menjadi tenang. Setelah minum dia memandang suaminya dan tersenyum. “Aku tersedak memang, agaknya terlalu banyak minum membikin orang mabok dan tidak menyadari apa yang dilakukannya.” Sambil berkata demikian, dia mengangkat muka memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata penuh teguran. Kui Hok Boan tertawa. “Ha-ha, memang bagi yang tidak biasa minum, arak dapat memabokkan. Akan tetapi bagi yang biasa seperti saya, sukar untuk mabok oleh arak, biarpun tentu saja saya bisa mabok oleh yang lain.” Ucapan ini mengandung arti mendalam dan kembali kedua pipi wanita itu menjadi merah. Bhe Coan yang polos itu memandang kepada tamunya. “Kongcu, kalau bukan arak yang dapat membikin engkau mabok, habis apa?” Sasterawan muda itu tersenyum. “Ha-ha twako. Banyak yang dapat membikin mabok orang, yang lebih hebat dari pengaruh arak. Keindahan misalnya, saya bisa mabok melihat sesuatu yang indah menarik...” kembali kongcu itu melirik ke arah nyonya rumah yang kini menunduk karena nyonya ini jelas sekali dapat menangkap arti kata-kata pemuda itu. Apalagi kini tiba-tiba dia merasa ada tangan yang dengan halus mengusap pahanya! Nyonya itu tidak berani bergerak, takut kalau diketahui suaminya, akan tetapi tangan itu merayap-rayap membuat semua bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdegup demikian kerasnya sehingga dia khawatir suaminya akan mendengar bunyi degup jantungnya itu. Maka dia lalu bangkit berdiri sehingga tentu saja tangan Bok Hoan itu terlepas dari pahanya. “Sebaiknya aku menyingkirkan mang­kok-mangkok kosong dan mencucinya.” Memang masakan-masakan itu telah mereka makan habis. Mukanya merah sekali, akan tetapi tentu saja kalaupun suaminya melihat ini, tentu akan disangkanya bah­wa muka isterinya itu merah karena terlalu banyak minum arak. “Dan sayapun harus berpamit untuk mencari penginapan. Twako, berapa lamakah engkau dapat menyelesaikan sebatang pedang yang baik dan indah untukku?” “Kurang lebih tujuh hari.” “Sepekan? Kalau begitu aku harus mencari kamar penginapan yang baik untuk tinggal selama sepekan di dusun ini.” Kongcu itu bangkit pula dan men­dengar ini, Leng Ci tidak jadi meninggal­kan meja dan hanya berdiri memandang wajah tampan yang kini agak kemerahan itu. Wajah suaminya juga merah dan kalau kemerahan wajah sasterawan muda itu menambah ketampanannya, adalah kemerahan wajah suaminya baginya me­nambah keburukan dan kebodohan wajah suaminya itu. Betapa jauh perbedaan yang terdapat antara dua orang pria ini! Dan Leng Ci untuk ke sekian kalinya menghela napas panjang. “Kui-kongcu adalah seperti keluargaku sendiri, suamiku, kalau dia sudi tinggal di rumah kita yang buruk, kamar di belakang itu dapat kubersihkan untuk dia pakai selama dia menunggu jadinya pedang itu,” katanya dengan suara datar sambil memandang suaminya. Sikapnya begitu wajar sebagai seorang nyonya rumah yang baik. “Kau setuju? Ha-ha, tadinya aku hendak menawarkan kepadanya akan tetapi khawatir engkau tersinggung, maka aku ragu-ragu. Nah, Kui-kongcu, setelah isteriku berkata demikian, aku minta kepadamu untuk tinggal saja di rumah kami...” “Ah, twaso dan twako sungguh budi­man dan baik sekali kepadaku. Akan tetapi, mana aku berani mengganggu seperti itu?” “Tidak ada yang mengganggu! Kami persilahkan kongcu tinggal di sini, kecuali tentu saja kalau kongcu merasa rumah ini terlalu buruk dan kotor, maka kami tidak dapat memaksa kalau kongcu mencari kamar lain...” kata Leng Ci. “Ha-ha-ha, Kui-kongcu, isteriku amat pandai berdebat. Engkau takkan menang, maka harap engkau suka menerima saja, tinggal di sini bersama kami agar kita dapat bercakap-cakap kalau aku sedang berhenti bekerja. Dan selagi aku bekerja, kongcu dapat pergi ke manapun untuk melewatkan waktu menganggur.” Kui Hok Boan menghela napas mem­perlihatkan sikap kewalahan, lalu dia menjura den berkata, “Baiklah, kalau twako dan twaso menghendaki demikian. Mana mungkin saya berani menolak lagi? Biarlah segala kebaikan kalian itu dapat saya balas dengan imbalan apa saja yang mampu saya lakukan.” “Ha-ha, bagus sekali! Saya girang sekali, Kui-kongcu...” “Bhe-twako, sudah menerima segala kebaiken ini, harap twako jangan me­nyebut kongcu kepadaku. Bukankah kita sudah seperti keluarga sendiri? Sebaiknya twako menyebut siauwte saja kepadaku.” “Ah, mana saya berani?” “Kalau twako dan twaso bersikap sungkan, mana aku berani tinggal di sini?” “Ha-ha, engkau pandai berdebat seperti twasomu! Baiklah, Kui-siauwte, sungguh merupakan kehormatan besar bagiku.” Demikianlah, Hok Boan tinggal di rumah Bhe Coan dan isterinya, tinggal di sebuah kamar di belakang yang telah dibersihkan oleh Leng Ci. Kamar itu berada di bagian paling belakang dan mempunyai pintu belakang yang menembus ke kebun belakang. Dan ternyata sastera­wan muda itu dapat bersikap amat me­nyenangkan, sopan dan ramah. Hal ini membuat Bhe Coan menjadi makin suka sehingga ketika beberapa kali Hok Boan menanyakan harga pedang, dia bilang bahwa hal itu akan dibicarakan kalau pedang telah selesai saja! Dia bermaksud menghadiahkan sebatang pedang kepada tamunya yang amat menyenangkan itu. Tidak demikian dengan keadaan Leng Ci. Wanita ini merasa tersiksa sekali. Dia makin tertarik, bahkan tergila-gila kepada sasterawan itu. Apalagi ketika dia mendengar suara nyanyian atau tiup­an suling Hok Boan yang sering bermain suling dan bernyanyi seorang diri di dalam kamarnya, dia makin tergila-gila. Bahkan di waktu dia tidur dengan suami­nya, dia sering membayangkan betapa akan senangnya kalau yang tidur di sampingnya itu adalah Hok Boan, bukan suaminya yang kalau tidur mengorok seperti babi disembelih! Akan tetapi, dia adalah isteri Bhe Coan, dan tinggal serumah, tentu saja dia takut untuk men­dekati Hok Boan dan dia selalu meng­hindar, sungguhpun hatinya amat ingin, namun dia tidak berani melayani bujuk rayu yang terpancar dari sepasang mata sasterawan itu apabila bertemu dengan dia. Kui Hok Boan sendiri merasa penasaran. Dia merasa yakin bahwa nyonya rumah yang manis itu sudah pasti terpikat olehnya dan seperti biasa, dia merasa yakin bahwa dia tidak akan gagal mendekati Leng Ci. Kalau nyonya rumah itu tidak muda dan manis seperti Leng Ci, sudah tentu dia tidak suka tinggal di rumah pandai besi itu, lebih senang ditinggal di penginapan di mana dia dapat bersenang-senang dengan bebas! Kini, melihat betapa nyonya muda yang sudah jelas terpikat olehnya itu seolah-olah takut dan tidak pernah mau mendekatinya, dia merasa penasaran dan nafsunya makin memuncak! Gemaslah rasa hatinya dan dia bertekad untuk mendapatkan wanita itu dengan akal apapun juga! Demikianlah memang sifat nafsu apapun kalau sudah mencengkeram batin seseorang. Nafsu terdorong oleh pikiran yang membaygkan kesenangan yang akan dinikmatinya. Nafsu adalah keingin­an memperoleh sesuatu yang dianggap amat menyenangkan, bayangan dari pengalaman-pengalaman lalu yang dinikmati, dikunyah kembali seperti seekor kerbau mengunyah daun-daun muda yang tadi telah dimakannya. Kenangan akan kesenangan ini, bayangan akan kesenangan yang diharapkan akan dinikmati nanti, menimbulkan nafsu atau keinginan. Dan makin sukar sesuatu yang diinginkan itu diperoleh, makin berkobarlah nafsu keinginan itu. Nafsu berahi, seperti juga nafsu keinginan lain, akan makin mendorong kita sehingga membuat kita mata gelap, tidak lagi perduli akan cara-cara yang bagaimanapun untuk memperoleh apa yang kita inginkan itu, baik dengan cara yang benar maupun cara yang kotor! Setelah tinggal di situ selama dua malam dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia berkesempatan mendekati nyonya rumah karena di waktu siang nyonya rumah sibuk di dapur kemudian setelah selesai lalu menyembunyikan diri dalam kamar sambil menyulam sedangkan di waklu malam tentu saja Leng Ci tak pernah dapat meninggalkan suaminya. Hok Boan tidak sabar lagi. Sejak pagi itu, telah terdenger suara berdencing di dapur atau bengkel kerja di mana Bhe Coan bekerja dengan giat menyelesaikan pembuatan pedang untuk tamunya. Hok Boan maklum bahwa setiap pagi Leng Ci mengantarkan secangkir teh kental untuk suaminya di bengkel itu. Dia menanti dan mengintai dari belakang. Ketika dia melihat wanita itu keluar dari kamarnya menuju ke bengkel suaminya, dia cepat berjalan membayanginya dan begitu melihat nyonya itu memasuki pintu bengkel, dia lalu masuk pula dan berkata, “Twako... ah... maaf aku kesiangan... aku... agaknya terserang penyakit demam panas...” Dia berhenti lalu menoleh kepada isteri tuan rumah yang memegang cangkir lalu berkata, “Ah, maafkan, twaso... aku tidak bermaksud mengganggu...” Bhe Coan terkejut dan cepat bangkit, membersihkan tangannya kepada kain yang tersedia di situ dan memandang pemuda itu. Memang wajah Hok Boan pucat sekali dan kelihatan seperti orang sakit, bahkan berdirinya juga bergoyang-goyang seperti akan jatuh. Bhe Coan cepat menghampiri dan memegangnya agar tidak sampai jatuh, dan ketika dia memegang tangan sasterawan itu, dia terkejut. “Ah, badanmu panas sekali! Kui-siauwte, kau tidak perlu datang ke sini... ah, jangan-jangan kau terkena penyakit yang berbahaya. Sebaiknya kau pergi saja tidur dan mengaso di kamarmu, siauwte!” “Agaknya... agaknya... begitulah.” Hok Boan melepaskan tangan tuan rumah dan hendak melangkah ke pintu, akan tetapi dia terhuyung dan tentu jatuh kalau tidak berpegang kepada pintu. “Aihhh...!” Leng Ci bertertak kaget dan khawatir sekali. “Kau benar-benar sakit, kongcu...!” Dia masih belum dapat menyebut sasterawan itu “adik” seperti yang dilakukan sueminya. “Sebaiknya kita pangglikan tabib...” “Benar, kau kemballiah ke kamarmu, mari kubantu, siauwte. Nanti kupanggli­kan tabib untukmu.” She Coan lalu memapah pemuda itu keluar dari bengkel­nya, diikuti oleh Leng Ci yang memandang dengan hati kasihan sekali ter­hadap sasterawan itu. Dengan bantuan Bhe Coan, Hok Boan merebahkan diri di atas pembaringannya, mengeluh lirih dan mukanya makin pucat, dahinya penuh keringat. “Biar kupangglikan tabib sekarang,” kata Bhe Coan. “Tidak usah... tidak perlu, twako. Aku hanya mengganggu pekerjaan twako, dan... dan pedang itu menjadi makin terlambat jadinya. Aku pernah terserang penyakit demam seperti ini dan aku... aku bisa... menulis resep obatnya. Tolong ambilkan kertas dan pena bulu... oughhh...” Dia menuding ke atas meja di kamar itu, lalu bangkit duduk dengan sukar. Leng Ci yang melihat perabot tulis di atas meja lalu mengambilkan apa yang diminta pemuda itu. Dengan jari-jari tangan gemetar, Hok Boan membuat corat-coret di atas kertas, lalu menyerah­kannya kepada Bhe Coan. “Tolong twako suruhan orang membeli obat ini... dan tolong panggil seorang tetangga yang suka melayaniku untuk menggodok obat dan memberi minum setiap jam sekali...” “Ah, kenapa siauwte demikian sungkan? Isteriku dapat membelikan obat dan untuk melayanimu di waktu sakit, bukankah di sini ada twasomu?” “Ah, ...aku tidak ingin... membikin susah twaso saja...” Leng Ci berkata dengan suara terharu. “Kui-kongcu, kau sedang sakit, jangan berpikir yang tidak-tidak dan jangan sungkan. Aku suka untuk merawatmu, bukankah kau seperti adik suamiku sendiri? Nah, aku akan membeli obat.” Wanita itu melangkah pergi dan Bhe Coan lalu duduk di atas bangku dalam kamar. “Kuharap saja penyakitmu tidak parah, siauwte.” Hok Boan kembali merebahkan dirinya mencoba untuk tersenyum. “TIdak apa-apa, twako, aku pernah diserang penyakit ini. Asal aku dapat beristirahat beberapa hari dalam kamar dan setiap jam minum obat itu, tentu akan sembuh kembali. Jangan membikin repot twako, dan harap twako kembali ke bengkel menyelesaikan pedang itu...” “Baiklah kalau begitu. Jangan kau sungkan-sungkan kepada twasomu, siauwte. Anggaplah dia seperti kakak iparmu sendiri. Dia akan merawatmu.” “Sebaiknya panggilkan saja orang lain... aku... aku merasa tidak enak kalau harus merepotkan twaso...” “Aaahh, kau terlalu sungkan, sudahlah. Aku akan memberi tahu dia agar merawatmu sebaik mungkin, jangan kau khawatir.” Pandai besi itu lalu meninggalkan Hok Boan yang masih mengeluh lirih, dengan hati-hati menutupkan daun pintu kamar pemuda itu. Setelah langkah-langkah tuan rumah tidak terdengar lagi dan tak lama kemudian terdengar bunyi dencing besi dipukul, Hok Boan tidak mengeluh lagi, bahkan tersenyum! Dia mengusap peluh di dahinya dan mukanya kembali menjadi merah, lalu dia bangkit duduk, tersenyum dan mengepal tinju. Dapat kau sekarang olehku, manis! Demikian dia berkata kepada diri sendiri. Akal ini sudah di­rencanakan sejak malam tadi dan ternyata berhasil baik sekali. Siapakah sebenarnya sasterawan muda ini? Orang macam apakah dia dan bagai­mana dia mampu bermain sandiwara sehebat itu sehingga dia dapat berpura-pura sakit sampai dahi dan lehernya mengeluarkan keringat, dan tubuhnya terasa panas, mukanya menjadi pucat sekali? Tentu saja Kui Hok Boan dapat melakukan hal ini karena dia adalah se­orang ahli lwee-keh yang memiliki sin-kang amat kuat sehingga dengan memperguna­kan sin-kangnya, dia dapat membuat wajahnya pucat, keringatnya bercucuran, dan tubuhnya panas! Sebenarnya, Kui Hok Boan yang selalu berpakaian sebagai sasterawan itu bukan hanya pandai dalam hal sastera, melainkan dia juga seorang ahli silat yang tinggi ilmunya! Di selatan, di dalam tembok besar, namanya sudah terkenal dan dia malang-melintang sebagai seorang petualang besar yang sering kali mengandalkan ilmunya untuk melakukan apa saja yang disenanginya! Sesungguhnya, orang she Kui yang baru berusia tiga puluh tahun ini bukan­lah seorang jahat, bukan pula termasuk golongan kaum sesat. Sama sekali bukan. Dia seorang petualang yang hidup sen­dirian, malang-melintang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dia amat cerdik sehingga dia mempunyai banyak sahabat, baik di kalangan kaum sesat maupun di kalangan para pendekar. Dia sendiri berdiri di tengah-tengah, tidak bergabung pada suatu golongan tertentu. Kadang-kadang, kalau memang hatinya menghendaki dan tentu saja kalau dia melihat keuntungan di dalamnya, dia tidak segan-segan untuk menentang golongan hitam. Akan tetapi, dia sendiri­pun memiliki kelemahan terhadap kesenangan dunia sehingga tidak heran pula melihat dia berhari-hari menghabiskan waktu di rumah judi atau di rumah pelacuran. Juga, dia tidak segan-segan untuk menggunakan wajahnya yang tampan, gerak-geriknya yang halus, dan ilmu silatnya yang tinggi untuk menggoda wanita baik-baik. Akan tetapi dia tidak pernah melakukan perkosaan, tidak pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita. Dan memang dengan modal yang ada pada dirinya, jarang sekali dia dikecewakan wanita, jarang sekali ada wanita yang mampu menolak bujuk rayunya! Beberapa bulan yang lalu, dengar kepandaiannya membujuk rayup dia berhasil menundukkan hati seorang gadis, puteri seorang guru silat di kota Koan-sui. Akan tetapi guru silat itu tidak menyetujui, dan hampir saja dia ter­tangkap basah dan tentu akan dikeroyok kalau dia tidak cepat-cepat melarikan diri. Kalau dia mau melawan, agaknya dia akan dapat mengalahkan guru silat itu dan semua muridnya. Akan tetapi Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia tidak mau melihat dirinya dimusuhi dunia kang-ouw hanya karena seorang wanita dan di kota Koan-sui terdapat banyak orang pandai. Maka dia terus melarikan diri, dan karena mendengar akan kepandaian Bhe Coan membuat pedang, maka dia sampai tiba di Pek­-hwa-cung, yaitu pertama untuk menjauh­kan diri dari Koan-sui sementara waktu ini, kedua kalinya karena dia ingin memiliki sebatang pedang yang baik. Tentu saja cerita yang dituturkan kepada Bhe Coan dan isterinya bahwa dia hendak mengikuti ujian di kota raja, hanya bohong belaka dan hanya diperguna­kan untuk menarik perhatian mereka ter­utama perhatian nyonya muda itu dan untuk menyembunyikan kepandaiannya dalam ilmu silat. Kui Hok Boan adalah seorang bekas murid dari Go-bi-pai yang murtad. Dia adalah murid seorang tokoh Go-bi-pai yang terkenal gagah perkasa dan saleh, yaitu Kauw Kong Hwesio yang sudah tua. Sebenarnya, Kauw Kong Hwesio amat sayang kepada pemuda yang cerdas ini, akan tetapi ketika pada suatu hari dia mendapatkan muridnya yang tersayang itu melakukan hubungan gelap dengan isteri seorang petani di kaki gunung, dan pendeta itu menerima pelaporan dari si suami yang tidak berani menegur atau melawan Kui Hok Boan, pendeta ini menjadi marah dan mengusir Kui Hok Boan, tidak mengakuinya lagi sebagai murid dan dia melarang pemuda itu menggunakan nama Go-bi-pai sebagai golongannya. Masih untung bagi Hok Boan bahwa dia tidak sampai dipukul mati oleh guru­nya. Kauw Kong Hwesio sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya ketika hal itu terjadi, dan dia sudah lebih condong kepada keagamaan daripada kepada urusan dunia. Maka dia dapat memaafkan muridnya dan tidak mem­bunuhnya, apalagi kalau diingat bahwa hubungan gelap itu dilakukan atas dasar sama-sama suka, jadi muridnya tidak melakukan kekerasan, tidak menggunakan ilmu silat untuk menaklukkan atau merampas isteri orang. Tentu saja per­buatan itu tidak dibenarkan oleh hwesio tua ini, maka diapun dengan hati berat mengusir dan tidak mengakui lagi murid berbakat yang sebenarnya disayangnya itu. Setelah terlepas dari pengawasan gurunya, Hok Boan yang memang hidup sebatangkara tanpa keluarga ini mulai dengan petualangannya. Dia seperti seekor burung liar yang terbebas dari kurungan! Semenjak kecil dia telah belajar sastera karena sebelum keluarga ayahnya terbasmi dalam perang pemberontakan yang lalu, ayahnya adalah seorang kaya dan dia diberi kesempatan mempelajari sastera sampai mendalam. Setelah keluarganya tewas dalam kerusuhan perang, dia seorang yang selamat dan akhirnya dia diambil murid oleh Go-bi-pai itu, dan disamping giat mempelajari ilmu silat tinggi, dia juga masih tekun memperdalam ilmunya tentang sastera. Setelah dia diusir oleh gurunya, Hok Boan mencoba untuk mengikuti ujian di kota raja dengan pengharapan akan lulus dan memperoleh pangkat. Akan tetapi harapannya membuyar karena gagal dalam ujian. Dia merasa bosan untuk mengulang lagi dan mulailah dia merantau dan bertualang. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukarlah baginya untuk memperoleh uang karena dia tidak pantang memasuki gedung harta seorang hartawan dan mengambil beberapa kati uang emas atau perak untuk keperluannya bertualang. Selama beberapa tahun, dia berpindah-pindah, sampai akhirnya dia hampir dikeroyok oleh guru silat dan anak muridnya di Koan-sui itu. Kini dalam perjalanannya ke utara, ke dusun Pek-hwa-cung untuk memesan sebatang pedang yang baik, buatan pandai besi Bhe Coan yang terkenal, dia bertemu dengan isteri Bhe Coan yang demikian manis menarik, yang bertubuh montok dan padat, tentu saja wanita seperti Leng Ci itu tidak dapat terlewatkan begitu saja dari pandang mata Hok Boan yang berminyak! Dan ketika mereka makan bersama dan dia mengujinya dengan rabaan di bawah meja, mendorong Hok Boan untuk melanjutken petualangan­nya sampai berhasil. Tak lama kemudian, suara dencing di bengkel itu berhenti dan terdengarlah langkah kaki Bhe Coan dan isterinya menuju ke kamar. Hok Boan cepat merebahkan dirinya lagi dan dengan pengerahan sin-kangnya, dia kini ber­keringat dan mukanya pucat lagi. Terengah-engah dia rebah terlentang seperti orang kepanasan. Bhe Coan den isterinya masuk ke kamar itu. “Siauwte, ini obatnya. Akan tetapi tidak kelirukah? Menurut isteriku...” Bhe Coan memandang isterinya. “Kui-kongcu, tukang obat yang menjual obat-obat menurut catatanmu tadi mengatakan bahwa ini bukanlah obat untuk penyakit demam panas. Ketika aku bertanya obat apa, dia hanya tertawa dan dia tidak mau menjawab, hanya ber­kata bahwa ini bukan obat penyakit panas. Jangan-jangan kau keliru membuat catatan, kongcu.” “Ahh... tukang obat kampungan... mana dia tahu...? Aku sudah pernah mengobati penyakit ini dengan obat itu... harap twaso suka cepat menggodoknya, dengan air tiga mangkok sampai tinggal semangkok... dan sediakan arak yang keras... untuk campuran...” Dia kembali merebahkan diri dan terengah-engah, napasnya memburu dan keringatnya makin banyak. “Cepat masak obat ini!” kata Bhe Coan kepada isterinya den wanita itu cepat melakukan perintah suaminya. Lalu Bhe Coan mendekati tamunya. “Bagai­mana siauwte? Berbahayakah keadaanmu?” Hok Boan memaksa senyum den menggeleng kepala. “Jangan khawatir, twako... kalau berbahaya tentu aku juga tahu... aku, aku pernah mengalaminya, lebih hebat dari sekarang, tapi obat itu pasti akan menyembuhkan aku... tinggalkanlah aku, lanjutkan pembuatan pedang itu agar tidak terlambat... aku berterima kasih kepada twako dan twaso...” Bhe Coan menarik napas lega dan menepuk-nepuk pundak sasterawan muda itu. “Jangan berkata demikian, jangan sungkan-sungkan, kami hanya mengharap­kan kesembuhanmu.” Dia lalu pergi dan tak lama kemudian terdengar lagi bunyi dencing palunya yang memukul-mukul. Leng Ci melangkah memasuki kamar itu membawa semangkok obat yang ber­warna hitam dan seguci arak. Diletakkannya obat dan arak di atas meja, kemudian dia mendekati pembaringan di mana Hok Boan masih rebah terlentang dengan muka pucat. “Kui-kongcu, obatnya sudah selesai kumasak, dan sudah kudinginkan. Mau diminum sekarang?” “Baik... baik...” Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi mengeluh. “Auhhh...” Dan dia hampir terguling. Leng Ci cepat merangkul pundaknya dan membantunya bangkit duduk. Hampir tidak kuat rasa hati Hok Boan ketika merasakan kehangatan tubuh itu dan mencium bau minyak harum bercampur bau khas wanita. Akan tetapi dia me­mejamkan matanya dan duduk. “Pusingkah, kongcu...?” Dia mengangguk dan membuka matanya “Ya, agak pusing, twaso...” “Mau minum obat sekarang? Sudah kusediakan bersama araknya.” “Nanti dulu, twaso. Ketahuilah, penjual obat itu benar, obat ini sama sekali bukan obat untuk demam panas. Akan tetapi penyakitku ini aneh, twaso. Dan kalau sampai obat yang kaubeli itu tidak cocok dan mendatangkan hawa dingin, bisa merupakan racun bagiku dan dapat membunuhku seketika...” “Ihhh...!” Wanita itu mundur selangkah dan mukanya berobah pucat, matanya terbelalak memandang kepada obat di atas meja itu. “Kalau begitu, jangan diminum, kongcu!” Kui Hok Boan tersenyum. “Akan tetapi obat itu tidak berbahaya sama sekali bagi orang yang sehat, bahkan kalau ada yang mau, dapat menolongku untuk mengujinya, apakah cocok atau tidak untukku. Bagi yang sehat seperti twaso umpamanya, obat itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan menyehatkan. Akan tetapi... ah, aku hanya akan merepotkan twaso saja...” “Ah, tidak, kongcu. Sama sekali tidak. Bagaimana cara mengujinya?” “Campurannya adalah, setengah mangkok obat itu dicampur setengah mangkok arak, lalu diminum. Kalau orang sehat yang meminumnya lalu terasa hangat, berarti obat itu cocok untukku dan pasti akan menyembuhkan aku. Akan tetapi kalau orang sehat meminumnya lalu terasa agak dingin, berarti aku tidak boleh minum obat itu. Harap twaso suka mencari seorang tetangga yang suka menguji obat itu dan menolongku.” “Kalau cuma begitu saja, aku dapat menolongmu, kongcu. Akan tetapi benarkah tidak berbahaya obat itu?” “Aku tanggung dengan nyawaku, twaso. Apakah twaso tidak percaya kepadaku?” Leng Ci menahan senyum lalu melangkah mendekati meja, memberi kesempatan kepada Hok Boan untuk melihat gerak pinggulnya. Dia menuangkan obat yang semangkok itu ke dalam mangkok lain, setengah mangkok banyak­nya, lalu dicampurinya dengan setengah mangkok arak. Baunya sedap sekali. “Aku akan mencobanya, kongcu.” “Minumlah, twaso, dan kalau terasa hangat, berarti aku akan sembuh dengan cepat.” Nyonya muda itu tanpa curiga lalu minum obat semangkok itu, rasanya agak ­manis dan memang bukan tidak enak, apalagi karena dicampur arak yang keras. Hanya arak itu terlalu keras baginya namun ditahannya dan habislah obat semangkok itu. “Kalau arak itu terlalu keras, duduklah, twaso...” Leng Ci tidak menjawab melainkan duduk dan memang kepalanya agak pening, maka dia duduk di atas bangku dan memejamkan mata. Sunyi di kamar itu. Bunyi dencing besi dipukul dari bengkel terdengar satu-satu dengan jelas sekali. “Bagaimana, twaso?” Hok Boan bertanya lagi ketika melihat wanita ini membuka matanya. Wajah wanita itu menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, matanya bersinar aneh. “Panas... rasanya panas dan hangat di seluruh tubuh...” “Ah, kalau begitu cocok untukku!” Hok Boan bangkit duduk. “Tolong campur­kan obat itu dengan arak seperti tadi...” Leng Ci bangkit berdiri dan menuangkan arak ke dalam mangkok, obat yang tinggal separuh itu, lalu mendekati pembaringan. Hok Boan menerimanya dan meminumnya sampai habis, kemudian dia merebahkan diri. Seketika dahinya penuh dengan keringat, juga lehernya. Dia ber­gerak gelisah sedangkan Leng Ci duduk kembali dan memandangnya. “Ahhh... panas sekali... panas...!” Hok Boan merintih dan berguling ke kanan kiri. “Bagaimanap kongcu?” Leng Ci bangkit dan menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepi pembaringan dengen kha­watir. Dia tidak sadar bahwa dia sendiri mulai berkeringat halus membasahi dahi dan lehernya. “Panas, tolong bukakan kancing bajuku...” Hok Boan merintih. Jari-jari tangan yang kecil itu agak gemetar ketika membukakan kancing-kancing baju Hok Boan, apalagi karena pemuda itu menggerakkan tubuhnya, maka jari-jari tangannya kadang-kadang mengusap kulit dada yang putih halus itu. “Panas sekali...” kembali Hok Boan merintih. “Aku... akupun merasa panas dan gerah, kongcu. Mungkin obat itu...” “Kalau begitu, kenapa tidak dibuka saja bajumu?” “Kongcu... ehh...?” Akan tetapi kedua lengan pemuda itu telah merangkulnya, merangkul leher dan pinggangnya, dan tubuh Leng Ci telah ditariknya ke atas pembaringan. Wanita itu hendak meronta namun terlambat. Hok Boan memeluk dan menciumnya, dan Leng Ci telah diamuk oleh nafsunya sendiri yang didorong oleh obat yang diminumnya, karena memang obat itu adalah obat perangsang! Nyonya muda itu memang sudah mempunyai hati terpikat dan meny eleweng terhadap Hok Boan. Kini, berada begitu dekat dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, apalagi didorong oleh obat yang diminumnya, dia lupa segala, lupa bahwa tak jauh dari kamar itu, suaminya sedang bekerja dan bunyi dencing besi dipukul terdengar jelas dari situ. “Sakitku adalah sakit rindu kepadamu, Leng Ci... dan hanya engkau seorang yang dapat menyembuhkan aku...” Hok Boan berbisik kepada wanita yang sudah diamuk nafsu itu, yang kini sama sekali tidak lagi menolak, bahkan bersama Hok Boan dengan suka rela memasuki jurang perjinaan! Yang terdengar hanya suara puputan pembuat api dan suara dencing besi dipukul. Pekerjaan pandai besi adalah pekerjaan yang mengeluarkan suara hiruk-pikuk, dan Hok Boan tidaklah lupa daratan sama sekali seperti halnya Leng Ci. Tidak, dia amat hati-hati dan telinganya tidak pernah meninggalkan suara dari bengkel itu sehingga dia tahu bahwa suami wanita ini masih sibuk bekerja! Menjelang tengah hari, barulah dia mendorong tubuh Leng Ci yang kelelahan itu dan menyuruhnya cepat membereskan pakaiannya. “Suamimu sudah berhenti bekerja...” bisiknya dan dia sendiri cepat membereskan pakaian dan sudah rebah terlentang lagi ketika terdengar langkah kaki Bhe Coan menuju ke kamar itu! Dengan tergesa-gesa Leng Ci membereskan pakaiannya dan rambutnya, dan ketika suaminya muncul di pintu, dia sedang membawa mangkok-mangkok kosong itu keluar dari kamar. Bhe Coan tidak memperhatikan isterinya, kalau dia memperhatikan tentu dia akan melihat wajah yang kemerahan, napas yang masih memburu dan rambut yang agak awut-awutan itu. Akan tetapi pandai besi ini segera menghampiri Hok Boan dan sejak memasuki kamar dia sudah memandang ke arah pemuda itu karena memang sama sekali dia tidak pernah menaruh kecurigaan apapun terhadap isterinya. “Bagaimana, Kui-siauwte?” tanyanya. “Wajahmu tidak sepucat tadi, agak merah, akan tetapi engkau kelihatan basah semua penuh keringat...” “Ah, terima kasih, twako. Keadaanku sudah banyak baik. Obat yang dimasak twaso itu sungguh hebat dan menyembuh­kan. Aku hanya perlu beristirahat dan terus minum obat itu. Nyawaku tertolong berkat kebaikanmu dan terutama sekali berkat rawatan twaso, twako.” Bhe Coan tersenyum. “Ah, jangan sungkan, siauwte. Aku girang mendengar engkau sudah mendingan.” Demikianlah, semenjak saat itu, hampir setiap saat selagi Bhe Coan sibuk di bengkelnya membuat pedang, Hok Boan dan Leng Ci tidak pernah mem­buang kesempatan itu untuk bermain cinta, melakukan hubungan jina yang kotor itu. Mereka berenang dalam nafsu mereka, terseret oleh gelombang nafsu berahi yang memabokkan. Memang demikianlah nafsu. Seperti api. Makin diberi umpan dan bahan bakar, makin berkobar. Seperti babi yang rakus. Makin diberi makan, makin kurang! Segala macam bentuk nafsu keinginan selalu demikian, makin dituruti keinginan itu, makin banyak yang didapatnya makin serakah. Seorang yang gila uang, makin banyak mendapat uang, makin serakahlah dia, tidak akan ada puasnya seolah-olah makin diberi minum makin haus. Seorang yang gila kekuasaan, gila kedudukan, gila nama dan sebagainya juga demikian. Makin dikejar nafsu ke­inginannya, makin banyak yang didapatkannya, makin kuranglah dia merasa! Sama pula dengan semua itu, nafsu berahipun demikian. Karena makin banyak dialami dalam pemuasannya, makin bertumpuk kenangan di dalam ingatan, makin kuat pula pendorong yang mem­buat orang ingin mengulanginya kembali, bahkan ingin mendapatkannya lebih banyak lagi. Leng Ci dan Hok Boan yang sudah sekali terjun memasuki pengejaran kenikmatan melalui pelampiasan nafsu berahi, menjadi makin haus dan selalu ingin lebih banyak lagi memperoleh kesempatan untuk mengulanginya. Kini mereka seperti orang-orang yang kelapar­an, bahkan kadang-kadang mereka lupa akan kewaspadaan. Kini mereka mulai berani saling bertemu di waktu malam, di waktu Bhe Coan tidur mendengkur dan diam-diam Leng Ci menyelinap meninggal­kan kamarnya untuk menikmati kepuasan sejenak dengan kekasihnya di dalam kamar tamu itu, kemudian menyelinap kembali ke dalam kamar suaminya sambil mencebirkan bibirnya kepada tubuh suami­nya yang tidur mendengkur! Beberapa hari lewat dan bagi Bhe Coan, tamu yang dihormatinya itu masih beristirahat di kamar saja! Juga dia tidak menaruh curiga kalau di waktu malam, isterinya selalu menolak dia melakukah pendekatan dengan dalih lelah karena harus melayani makan dua orang ditambah merawat dan memasakkan obat untuk Hok Boan! Karena di situ terdapat tamu, maka Bhe Coan mengalah dan tidak mau ribut-ribut dengan isterinya. Sementara itu, pedang yang dibuatnya sudah mulai mendekati kerampungannya. Sudah berbentuk pedang yang baik sekali. Pedang itu pedang pendek, sepanjang lengan Hok Boan, ringan dan indah bentuknya, seperti yang dipesan oleh sasterawan itu. Terbuat dari baja murni yang diperhitungkan dengan tepat waktu pembakarannya dan pembenamannya di dalam air. Dengan hati puas Bhe Coan menyentil ujung pedang dengan kuku jari tangannya dan terdengar suara berdencing nyaring! Tanda bahwa pedang itu me­mang hebat! Bentuknya sudah sempurna, hanya tinggal memperhalus dan memper­indah gagangnya saja. Dengan senyum di mulut Bhe Coan dengan girang membawa pedang itu ke kamar tamunya. Sekali ini, karena ke­girangan dan tidak sabar untuk cepat-cepat memamerkan hasil karyanya ke­pada tamunya, dia masih tak berbaju dan melepas sepatu karena memang dia masih bekerja. Tiba-tiba, dia mendengar suara ketawa isterinya, ketawa cekikikan yang membuat dia terheran-heran! Itu hanyalah suara ketawa Leng Ci di waktu wanita itu bergurau di dalam kamar dengan dia! Akan tetapi ketika dia tiba di depan pintu kamar yang terbuka, dia melihat Hok Boan masih rebah terlentang, dan Leng Ci cepat mengambil guci arak dan mangkok obat, meninggalkan kamar. Wajah isterinya biasa saja dan ketika Bhe Coan memandang ke arah pembaringan, dia melihat pemuda itu masih tidur dengan dengkur halus! Ah, tak mungkin. Dia cepat keluar lagi dan mengejar isterinya. “Leng Ci...!” panggilnya perlahan. Isterinya berhenti dan memutar tubuh, memandangnya dengan heran. “Ada apakah?” “Tadi aku mendengar suara tertawa... seperti ketawamu. Apakah aku salah dengar?” Isterinya tersenyum. “Hi-hik, lucu! Ketika aku masuk mengambil mangkok. aku melihat Kwi-kongcu mengigau dan bernyanyi kecil, lalu tertawa-tawa. Aku, geli melihatnya, dan mungkin saja aku menahan ketawaku.” “Ahh...” Bhe Coan mengangguk dan pada saat itu terdengarlah suara dari dalam kamar tamunya “Nah, kaudengar...?” Leng Ci berkata lalu melanjutkan langkahnya pergi dari situ untuk mencuci mangkok. Berindap-indap Bhe Coan mendatangi kamar itu, menjenguk dan benar saja. Dia melihat pemuda itu mengigau, kedua tangan bergerak-gerak dan mulutnya mengeluarkan nyanyian sumbang. Peristiwa itu menghapus keheranan hati Bhe Coan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Dia tadi mencium bau harum ketika menghentikan Leng Ci dan melihat betapa isterinya itu merias wajahnya dan memakai wangi-wangian. Padahal, biasanya di waktu pagi isterinya tidak pernah merias diri seperti itu apalagi memakai wangi-wangian. Dan anehnya pula, biarpun muka isterinya memakai bedak dan gincu, akan tetapi gincu di bibirnya agak rusak terhapus dan rambutnya yang disisir rapi itu agak awut-awutan di bagian dahinya. Dia belum menduga yang bukan-bukan, hanya merasa aneh dan heran saja. Sore hari itu Bhe Coan berpamit dari isterinya dan juga Hok Boan untuk pergi ke kota yang berdekatan untuk membeli sarung pedang. Sarung pedang terbuat dari kayu dan di kota itu terdapat tukang kayu yang pandai dan yang biasa membuat sarung pedang atau senjata lain. Setelah pandai besi itu pergi, biarpun kepergiannya itu tidak akan lama, tetap saja merupakan peluang yang tidak disia-siakan oleh Hok Boan dan Leng Ci. Mereka bersenda-gurau dan bergumul dalam kamar, melampiaskan nafsu mereka yang tak kunjung padam dan tidak pernah mengenal kenyang itu. Di kota kecil itu, secara kebetulan saja Bhe Coan bertemu dengan tukang obat yang sudah lama dikenalnya. Melihat Bhe Coan, tukang obat itu tersenyum lebar menyeringai dan mengacungkan telunjuknya ke arah muka pandai besi itu sambil berkata, “Hemm, orang she Bhe! Engkau makin tua makin muda saja hatimu, ya.” Bhe Coan memandang tukang obat itu dengan alis berkerut, “Eh, Lao Tung, apa maksudmu berkata demikian? Sudah lama tidak bertemu, sekarang sekali berjumpa kau mengatakan demikian. Apa maksudmu?” “Ha-ha-ha, pura-pura tidak tahu lagi! Dan masih berani menyuruh isterinya lagi yang membeli, tidak mau membeli sendiri, bahkan dengan dalih untuk mengobati orang sakit demam. Sakit demam? Ha-ha-ha, memang demam, demamnya orang yang berhati muda!” Orang itu tertawa lagi, membuat Bhe Coan makin penasaran. “Lao Tung, jangan mempermainkan aku. Katakanlah, apa maksudmu? Isteriku memang membeli obat penyakit demam, apakah dia membeli darimu? Kalau begitu mengapa?” “Memang dia membeli obat dariku, akan tetapi menurut resep itu, ha-ha-ha, sama sekali bukan obat untuk penyakit demam!” Bhe Coan teringat akan kata-kata isterinya ketika pulang dari membeli obat. Isterinya menyatakan bahwa penjual obat berkata tentang obat itu yang dianggapnya bukan obat penyakit demam panas akan tetapi tidak mau mengaku obat untuk apa. “Lao Tung, kalau obat itu bukan untuk penyakit demam, lalu untuk apakah?” Dengan mulut masih menyeringai Lao Tung menjawab, “Benar-benar kau tidak tahu? Itu adalah obat perangsang, obat untuk membangkitkan gairah nafsu berahi, obat untuk orang-orang yang suka pelesir. Ha-ha-ha!” Bhe Coan menjadi bengong. Dia meninggalkan tukang obat yang masih tertawa-tawa itu dan biarpun dia melanjutkan pergi mencari tukang kayu dan memesan sarung pedang namun hati dan pikirannya tidak karuan. Obat perangsang? Untuk apa? Kui Hok Boan membeli obat perangsang? Akan tetapi, dia melihat sendiri betapa sasterawan muda itu memang sakit. Wajahnya yang pucat, keringatnya yang bercucuran, badannya yang panas! Tidak mungkin semua itu pura-pura belaka. Dan mungkin saja obat yang dianggap obat perangsang oleh tukang obat itu memang merupakan obat penyembuhnya. Dia tidak tahu tentang obat-obatan. Dia sendiri tidak pernah minum obat. Tubuhnya selalu sehat. Akan tetapi sikap isterinya...! Mulailah kecurigaan dan kecemburuan menggerogoti hati dan pikirannya. Wajah isterinya kini selalu gembira, sepasang matanya bersinar-sinar. Anehnya, semenjak ada Kui Hok Boan, telah enam malam ini isterinya tidak pernah mau didekatinya di waktu malam. Seperti orang murung dan lelah, akan tetapi kalau siang kelihatan demikian penuh semangat dan kegembiraan. Ada apakah yang terjadi dengan isterinya? Dan isterinya demikian tekun merawat Hok Boan, sampai-sampai pernah heberapa kali isterinya terlupa mengirim minuman kepadanya! Ketika tiba kembali ke rumahnya, Bhe Coan datang bersama seorang anak laki-laki tanggung berusia tiga belas tahun. Dia mendapatkan Hok Boan dan isterinya duduk di serambi depan. Melihat tamunya itu kini sudah keluar dari kamar dan kelihatan wajahnya kemerahan dan sehat, Bhe Coan tersenyum girang. “Ah, kiranya engkau sudah sembuh, Kui-siauwte!” katanya dan dia mengerling ke arah isterinya yang juga kelihatan berseri gembira wajahnya, dengan riasan muka yang baru sehingga wajah yang manis itu kelihatan makin cantik karena makin putih oleh bedak, rambutnya licin sekali, tentu baru saja disisir rapi, pakaiannya juga baru dan berbeda dengan malam tadi, agaknya isterinya baru saja berganti pakaian. Hal ini saja sudah aneh. Biasanya tidak demikian. Isterinya biasanya baru bergantl pakaian di sore hari. “Terima kasih, twako. Sudah banyak baik, hanya masih tinggal lemas dan masih perlu minum obat untuk beberapa hari ini. Apakah pedang itu sudah selesai, twako?” “Sudah, tinggal memperhalus saja yang akan makan waktu dua hari sambil membuatkan hiasan sarung pedang yang kubeli ini. Mudah-mudahan dalam dua hari ini akan selesailah pesananmu, siauwte.” “Terima kasih, twako. Engkau baik sekali, dan twaso juga...” “Eh, siapakah anak ini dah mengapa kauajak ke sini?” tiba-tiba Leng Ci bertanya sambil menuding kepada anak laki-laki itu. “Dia adalah anak tetangga di sudut dusun, kumintai bantuan untuk mendorong puputan api agar pekerjaan lebih lancar,” jawab Bhe Coan singkat dan dia lalu mengajak anak itu masuk ke dalam bengkelnya. Tak lama kemudian terdengarlah dua orang itu sibuk bekerja di bengkel. Mengingat bahwa waktu berada di rumah itu tinggal dua hari, Hok Boan dan Leng Ci makin menggila dalam hubungan perjinaan mereka. Agaknya mereka bersepakat untuk mempergunakan sisa waktu dua hari itu untuk menikmati hubungan mereka sekenyang-kenyangnya dan sepuas-puasnya. Mereka seperti tidak mengenal lelah dan karena mereka mengandalkan pendengaran mereka untuk merasa yakin bahwa Bhe Coan selalu sibuk dalam bengkeinya, maka mereka menjadi lengah dan lalai, kini mereka berdua bermain cinta di dalam kamar tanpa mengunci daun pintu! Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Bhe Coan telah bekerja di bengkelnya, dibantu oleh anak itu dan terdengarlah suara berdencingnya palu baja menghantam pedang di landasan, nyaring dan tinggi rendah berirama. Sementara itu, di dalam kamamya, Hok Boan juga menyambut kedatangan Leng Ci yang kelihatan segar sehabis mandi. Begitu memasuki kamar pemuda itu, Leng Ci lari menghampiri dan menubruk pemuda itu, merangkul dan menangis! HEH, mengapa menangis, sayang?” Hok Boan memeluk dan membelai rambut halus itu, mencium air mata yang membasahi pipi. “Tiada pertemuan tanpa perpisahan, dan kita masih mempunyai waktu sehari ini.” “Kongcu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu. Besok... besok kaubawalah aku besertamu, kongcu...” “Hemm, mana mungkin begitu, manis? Engkau adalah isteri Bhe-twako dan...” “Aku tidak sudi lagi menjadi isterinya! Setelah aku menjadi milikmu, setelah aku menyerahkan diri lahir batin kepadamu, bagaimana aku dapat didekatinya, kongcu?” “Kau memang manis! Aku sungguh sayang padamu, Leng Ci.” “Kongcu... kaukasihanilah aku, bawalah aku besok...” “Ssstt... bagaimana besok sajalah.” Leng Ci memang tidak dapat banyak cakap lagi karena dia sudah terbuai oleh belaian pemuda itu yang menariknya ke bawah selimut. Di luar terdengar suara berdencing yang berirama dan dua orang ini, yang sudah lupa segala, membiarkan saja pintu setengah terbuka. Yang berada dalam kamar sudah tenggelam lagi dalam lautan nafsu yang bergelora. Bunyi suara berdencing yang berirama masih terdengar di luar kamar ketika Leng Ci rebah terlentang, kepalanya berbantalkan lengan kekasihnya yang membelai-belai rambutnya yang sudah terlepas dari sanggulnya. “Kongcu...” “Hemm...” “Kalau kau tidak mau membawaku, aku ikan hidup seperti dalam neraka...!” “Ah, jangan kau berkata demikian. Suamimu amat mencintaimu, Leng Ci.” “Akan tetapi aku tidak cinta padanya.” “Bukankah engkau sudah setahun lebih menjadi isterinya dan bukankah engkau menjadi isterinya secara sukarela?” “Ya... akan tetapi setelah bertemu denganmu...” “Kau memang manis!” Hok Boan membalikkan tubuh wanita itu dan menarik mukanya, lalu mencium mukanya. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Bhe Coan telah berdiri di pintu dengan pedang di tangan! Memang pandai besi ini sengaja menyuruh anak yang membantunya untuk membuat tapal kaki kuda dan karena itulah maka suara berdencing berirama itu masih terdengar terus. Akan tetapi dia sendiri meninggalkan bengkel, membawa pedang yang sudah jadi itu untuk diperlihatkan kepada Kui Hok Boan, juga sekalian ingin melihat apakah isterinya tidak melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Dapat dibayangkan betapa kaget, heran, marah dan malunya ketika dia melihat isterinya sedang berciuman dengan pemuda itu dalam keadaan setengah telanjang! “Jahanam busuk kau orang she Kui!” bentaknya dengan kemarahan yang berkobar-kobar! Leng Ci dan Hok Boan terkejut setengah mati dan mereka sudah bangkit duduk. Leng Ci menjadi pucat sekali wajahnya dan dia menggigil, lalu men­coba untuk menyembunyikan tubuhnya di balik punggung kekasihnya yang duduk dengan mata terbelalak memandang pandai besi yang telah berdiri di depan pembaringan itu. Telinganya masih jelas mendengar suara dencing berirama di luar kamar dan tahulah pemuda ini bahwa yang memukul-mukulkan palunya itu adalah anak yang membantu pandai besi itu! Betapa bodohnya! Mengapa dia tidak membedakan suara pukulan yang jauh lebih lemah itu! Sejenak Bhe Coan terheran-heran melihat sikap sasterawan muda itu. Demikian tenangnya! Sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan kini tersenyum! Kemarahannya memuncak karena kini terbayanglah olehnya betapa sasterawan muda ini sejak datangnya, sejak “sakit” itu tentu telah berjina dan bermain gila dengan isterinya! Pantas saja sejak pemuda ini menginap di rumahnya, isteri­nya tidak pernah mau melayaninya! Kiranya di waktu siangnya, dari pagi sampai petang, selagi dia bekerja setengah mati mengerjakan pedang pesanan sasterawan ini, isterinya berjina di dalam kamar ini dengan tamunya itu. Dan dia sudah menganggap tamunya sebagai keluarga sendiri! “Bedebah, engkau layak mampus!” bentaknya dan tiba-tiba Bhe Coan menubruk ke depan menusukkan pedang yang selama sepekan ini digemblengnya itu ke arah dada Hok Boan. Akan tetapi, gerakan yang amat cepat dan kuat itu dihadapi oleh Hok Boan seolah-olah tidak pernah ada bahaya yang mengancam dirinya. Setelah ujung pedang meluncur dekat, tiba-tiba dia meloncat turun dari atas pembaringan seperti seekor burung terbang saja ringannya. “Creppppp... aiiiihhhh...!” “Ohh, tidak...!” Bhe Coan berseru kaget, matanya terbelalak memandang kepada isterinya yang menjerit. Pedangnya yang tadi ditusukkan ke arah dada Hok Boan, kini amblas menusuk dada isterinya sendiri, tepat di ulu hati, di antara dua buah bukit dada membusung itu. Kemarahannya makin meluap terhadap Hok Boan. Dia mencabut pedangnya, darah muncrat dari dada Leng Ci dan nyonya muda ini terjengkangg terlentang di atas pembaringan, darahnya muncrat-muncrat menodai tilam kasur yang selama beberapa hari ini telah dinodai oleh perjinaannya dan kaki tangannya berkelojotan, matanya terbelalak seperti orang kaget dan takut. “Keparat kau! Jahanam kau!” Bhe Coan memaki-maki dan membalik, menghadapi Hok Boan yang sudah membereskan pakaiannya dengan sikap tenang saja. “Sudahlah, Bhe-twako, engkau telah membunuh isterimu. Sudah saja dan serahkan pedang itu kepadaku. Aku akan pergi dari sini sekarang juga.” Sikap tenang dan kata-kata Hok Boan membuat Bhe Coan makin memuncak kemarahannya. Dia masih belum menduga bahwa tamunya ini memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. “Bangsat hina Kui Hok Boan! Aku telah menerimamu sebagai keluarga sendiri, aku telah bersusah payah membuatkan pedang pesananmu, akan tetapi engkau menggoda isteriku. Nah, pedang ini akan merobek-robek perutmu, dan aku akan mencincang hancur lebur tubuhmu yang kotor dan hina!” Bhe Coan kini menerjang dan pedang itu menyambar-nyambar. Namun, dengan tenang Hok Boan mengelak ke kanan kiri, kemudian selimut yang tadi dibawanya ketika dia meloncat itu menyambar ke depan, menutupi kepala tuan rumah. “Wuuuttt... prakkk!” Tubuh Bhe Coan terpelanting dan pedang itu sudah dirampas oleh tangan Hok Boan. Sasterawan muda ini lalu meninggalkan kamar itu, tidak memperdulikan lagi tubuh Bhe Coan yang kepalanya tertutup selimut dan perlahan-lahan selimut itu menjadi merah oleh darah dari kepala pandai besi itu yang retak-retak oleh pukulan tangan Hok Boan yang ampuh. Tanpa melihatpun sasterawan muda ini maklum bahwa tamparannya tadi telah merenggut nyawa orang! Dengan tenang, Hok Boan mengumpulkan pakaiannya dan tak lama kemudian sudah membalapkan kudanya keluar dari dusun itu. Anak kecil pembantu Bhe Coan yang menanti kembalinya majikannya, kini menjadi tidak sabar karena dia harus menanyakan sesuatu mengenai tapal kaki kuda yang dibuatnya. Dia memasuki rumah dan mencari-cari Bbe Coan. Ketika dia menjenguk ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu, dia terbelalak, mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil. Nyonya majikannya menggeletak terlentang dengan tubuh bagian atas telanjang sama sekali, mandi darah dan tak bergerak lagi dengan mata terbelalak menakutkan, sedangkan majikannya terbujur di atas lantai, kepalanya tertutup selimut dan selimut itu penuh darah pula. Anak itu menjerit dan lari keluar, jatuh bangun dan sebentar saja, dusun Pek-hwa-cung menjadi gempar! Semua orang menduga bahwa Bhe Coan dan isterinya tentu terbunuh oleh tamunya seperti yang dituturkan oleh anak pem­bantu pandai besi itu, akan tetapi karena sejak datang ke dusun itu Hok Boan tidak pernah keluar pintu dan selalu mengeram diri saja di kamarnya bersama Leng Ci, maka tidak ada orang yang pernah melihatnya atau mengenalnya. *** Sesungguhnyag munculnya Kui Hok Boan di Pegunungan Khing-an-san bukanlah semata-mata karena dia ingin memesan pedang, melainkan ada hal lain yang lebih penting baginya. Dia telah mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa di utara, di kaki Pegunungan Khing-an-san, terdapat dua tempat yang amat terkenal dan amat menyeramkan. Dua tempat itu adalah Padang Bangkai dan Lembah Naga. Menurut berita yang seperti dongeng itu, di kedua tempat ini tersimpan harta pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan kabarnya, di dalam sebuah istana kuno di Lembah Naga, terdapat barang-barang berharga pening­galan Raja Sabutai. Berita inilah yang menarik hati Kui Hok Boan dan ketika dia tiba di dusun Pek-hwa-cung, dia ter­ingat akan nama Bhe Coan ahli pembuat pedang, maka dia singgah di situ dan memesan pedang sebelum dia mencari dua tempat yang amat menari hatinya itu. Berita itu datang dari para perajurit yang pernah menyerbu Lembah Naga bersama para pendekar sakti (baca cerita Dewi Maut). Akan tetapi tidak ada orang kang-ouw yang berani mencoba untuk mengunjungi tempat-tempat itu. Pertama karena memang tempat itu berada amat jauh dari tembok besar, ke dua karena mereka tidak percaya akan berita itu dan ke tiga karena mereka tahu bahwa tempat-tempat itu amat berbahaya sehingga tidak sepadanlah menempuh bahaya yang amat besar itu untuk mencari sesuatu yang masih belum tentu kebenarannya. Akan tetapi Kui Hok Boan adalah seorang petualang yang hidup malang-melintang seorang diri saja di dunia ini. Dan terutama sekali kesenangannya akan wanita membuat dia senang saja berada di manapun, karena di manapun dia mengharapkan untuk bertemu dengan wanita yang berkenan di hatinya. Dan ternyata benar, di Pek-hwa-cung dia bertemu dengan Leng Ci yang membuatnya cukup merasa senang dan puas. Istana Lembah Naga sesungguhnya adalah bekas markas besar yang dijadikan tempat tinggal oleh Raja Sabutai pada belasan atau puluhan tahun yang lalu. Kemudian markas atau benteng itu oleh Raja Sabutai dirombak menjadi istana dan diberikan kepada dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek iblis yang berjuluk Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Lembah itu berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, tepat di tepi Sungai Loan-ho yang menikung di situ kemudian diikuti oleh tikungan-tikungan kecil. Dilihat dari atas, Bukit Khing-an-san, lembah itu kelihatan seperti seekor naga yang tubuhnya berliku-liku. Karena inilah maka lembah itu dinamakan orang Lembah Naga. Karena lembah ini berada di luar Tembok Besar, di daerah Mongol yang berbahaya, penuh dengan pegunungan tinggi dan luas, hutan-hutan yang lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tidak bertepi, diselingi gurun-gurun pasir yang tandus, maka daerah ini merupakan daerah terasing karena jarang ada orang berani mengunjunginya, bahkan mendekatinya. Jalan menuju ke Lembah Naga hanya ada satu, yaitu dari selatan, karena mendatanginya melalui arah lain tidaklah mungkin mengingat bahwa lembah itu terkurung oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya. Dari selatan inipun bukanlah merupakan jalan yang mudah. Sama sekali tidak! Hanya jalan dari selatan ini saja kelihatannya mungkin dilalui manusia, sungguhpun dalam kenyataannya, jalan yang kelihatan mudah ini penuh dengan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Mengapa demikian? Karena jalan melalui selatan ini berarti melalui Padang Bangkai. Dari namanya yang menyeramkan itu saja sudah dapat diduga bahwa daerah itu amat berbahaya. Dan memang benarlah. Padang rumput yang luas itu demikian aneh keadaannya, sehingga banyak binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak dan karena seringnya orang melihat bangkai binatang, kadang-kadang juga manusia yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat kemudian menjadi korban pula, bangkai-bangkai dan mayat berserakan di sekitar padang rumput, maka tempat itu dinamakan Padang Bangkai. Memang berbahaya sekali daerah Padang Bangkai ini. Banyak sekali tempat-tempat yang kelihatan indah menyenangkan, kiranya menyembunyikan tangan maut yang amat kejam. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa saja, dengan rumput-rumputnya yang hijau segar seperti beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah ini, bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik musim panas maupun di musim semi tetap hijau segar itu merupakan tempat maut yang mengerikan. Salah sangka membuat banyak manusia maupun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjeblos, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seolah-olah merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tidak terukur besarnya. Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang ter­jebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegang kepada rumput-rumput dan biarpun mereka itu tetap dapat mempertahankan sehingga tubuh atas mereka berada di luar, tetap saja orang atau binatang itu mati dengan separuh tubuh masih di luar. Apa yang terjadi? Tubuh bawah yang terhisap lumpur itu sebentar saja akan habis dihisap darahnya dan digerogoti dagingnya oleh binatang-binatang kecil semacam lintah dan lain-lain binatang yang hidup di dalam lumpur itu! Ada pula terdapat bagian yang rumputnya berwarna aneh, berwarna kebiruan dan ternyata bahwa rumput di bagian ini mengandung racun yang amat berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lain yang terluka terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas. Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan ilalang setinggi orang dewasa dan yang dapat menyesatkan karena luasnya dan karena lorong di antara ilalang tinggi ini berliku-liku, bercabang-cabang dan bentuknya sama semua, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit-apit oleh ilalang tinggi. Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini. Tentu saja tempat ini amat berbahaya, belum lagi diingat akan banyaknya binatang-binatang buas yang menghuni tempat ini, bersembunyi di dalam rumpun ilalang yang tinggi lebar itu. Dan di tengah-tengah perjalanan antara tempat-tempat berbahaya itu dengan Lembah Naga, terdapat sebuah dusun kecil yang dikelilingi air sungai. Air yang mengelilingi dusun ini sengaja dibuat Raja Sabutai dahulu, karena tempat ini merupakan semacam pintu gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Air yang mengelilingi dusun itu dialirkan dari Sungai Luan-ho sehingga siapapun juga yang hendak pergi ke Lembah Naga tentu akan terhalang dan harus lebih dulu menyeberangi sungai itu dengan jembatan yang terdapat di situ, jembatan satu-satunya yang menghubungkan orang ke dusun kecil itu, kemudian menyeberangi lagi melalui jembatan kecil di belakang dusun. Jalan lain menuju ke Lembah Naga tidak ada lagi, karena kalau orang tidak mau melewati dusun itu, dia harus mengambil jalan melalui padang rumput hijau berlumpur di bawahnya yang berada di sebelah kiri dusun, atau melalui padang rumput beracun yang berada di sebelah kanan dusun. Melanjutkan perjalanan dengan perahu­pun tidak mungkin, karena selain tidak nampak sebuahpun perahu di situ, juga andaikata ada orang membuat perahu dan menggunakannya untuk mengelilingi dusun, sebelum tiba di tempat tujuan tentu perahunya sudah akan digulingkan oleh mereka yang menjadi penghuni dusun itu. Beberapa tahun yang lalu, ketika Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih tinggal di Istana Lembah Naga, Padang Bangkai menjadi tempat tinggal suami isteri golongan sesat yang terkenal dan berilmu tinggi, yaitu Ang-bin Siu-kwi dan isterinya Coa-tok Sian-li. Akan tetapi, kurang lebih tiga tahun yang lalu, ketika rombongan pendekar sakti menyerbu Lembah Naga, suami isteri ini bersama semua anak buah mereka telah terbasmi habis, dan seperti juga Lembah Naga, maka Padang Bangkai juga menjadi tempat kosong yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, semenjak kepala pe­rampok Coa Lok yang berjuluk Sin-jio (Tumbak Sakti) dan anak buahnya men­jadi penghuni Padang Bangkai, tempat itu mulai terawat lagi, akan tetapi kini menjadi makin menyeramkan karena selain keadaan yang berbahaya dari tem­pat itu masih ditambah lagi ancaman bahaya yang datang dari para perampok itu sendiri. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ada anak buah perampok yang berani mencoba untuk menyerbu Istana Lembah Naga dengan akibat yang mencelakakan mereka karena lima orang telah tewas di tangan Liong Si Kwi, penghuni dan juga majikan yang baru dari Istana Lembah Naga. Kemudian Sin-jio Coa Lok sendiri yang memimpin anak buahnya menyerbu, akan tetapi diapun ditundukkan oleh Liong Si Kwi sehingga dia takluk dan menganggap wanita itu sebagai seorang yang patut dihormati. Demikianlah, Coa Lok hidup di Padang Bangkai bersama anak buahnya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang. Tentu saja mereka tidak dapat mengharapkan hasil di tempat seperti itu, dan mereka tidak pula mau mengganggu para penduduk Khing-an-san, karena selain hal ini amat berbahaya, juga penduduk dusun-dusun itu adalah petani-petani yang miskin. Bahkan mereka tidak berani mengganggu penduduk dusun-dusun yang lebih makmur seperti dusun Pek-hwa-cung dan lain-lain, karena mereka tahu bahwa di tempat-tempat itu terdapat banyak orang pandai, dan mereka tidak mau memancing kemarahan Raja Sabutai yang mempunyai pengaruh besar di sekitar tempat itu. Maka, para perampok ini hanya “mencari nafkah” dengan cara merampok para pedagang yang lewat di dekat tembok besar di perbatasan, atau di hutan-hutan yang dilewati oleh para pedagang yang keluar masuk daerah Propinsi Liao-ning. Jadi, Padang Bangkai itu hanya dijadikan sarang atau tempat sembunyi mereka saja. Selama tinggal di Padang Bangkai, para perampok itu belum pernah melihat ada orang berani mendatangi sarang mereka. Apalagi mendatangi dusun yang mereka jadikan sarang itu, bahkan di sekitar daerah Padang Bangkai itu tidak pernah nampak seorangpun manusia kecuali mereka sendiri. Daerah itu memang merupakan daerah seram yang ditakuti, dan hal ini membuakt para pe­rampok itu merasa aman. Akan tetapi pada suatu hari, pagi-pagi ketika matahari mulai menyinari bumi dengan cahaya keemasan, nampak seorang penunggang kuda datahg dari selatan. Ketika tiba di depan padang rumput yang luas itu, si penunggang kuda menghentikan kudanya dan memandang ke depan dengan penuh perhatian. “Hemm, inilah agaknya yang dinamakan Padang Bangkai...” katanya seorang diri dan dia lalu turun dari atas kuda. Dibiarkan kudanya itu makan rumput di bawah pohon dan dia sendiri lalu meloncat naik ke atas pohon itu, mengintai jauh ke depan. “Bukan main luasnya,” kata orang itu dan dia meloncat turun lagi, mengambil tempat air dari sela kuda dan sambil duduk di atas rumput, dia minum be­berapa teguk air, menyimpan kembali tempat air dan mengusap peluhnya di leher dan dahi dengan ujung lengan baju­nya yang lebar. Orang ini bukan lain Kui Hok Boan. Setelah dia melarikan diri dari dusun Pek-hwa-cung di mana dia meninggalkan mayat Bhe Coan dan isterinya di kamar rumah mereka, pemuda sasterawan ini membalapkan kudanya, meninggalkan dusun itu dan langsung dia menuju ke Lembah Naga di kaki Pegunungan Khing-an-san. Sebelum dia menuju ke utara, dia memang telah menyelidiki dan mempela­jari keadaan Lembah Naga yang didengarnya dari penuturan beberapa orang anggauta pasukan tentara kerajaan yahg pernah melakukan penyerbuan ke Lembah Naga (baca cerita Dewi Maut). Dari para anggauta pasukan ini dia mendengar gambaran yang cukup jelas tentang Padang Bangkai dan Lembah Naga serta tempat-tempat yang berbahaya di sekitar Padang Bangkai. Dia tidak mau tergesa-gesa dan tidak mau bertindak ceroboh. Hok Boan adalah seorang yang selalu berhati-hati dan cerdik sekali. Dari atas pohon tadi dia mendapat kenyataan bahwa dia telah melalui jalan yang benar seperti yang di­gambarkan oleh anggauta pasukan yang pernah datang ke tempat ini. Memang mengerikan keadaannya. Dari atas pohon nampak sinar matahari menimpa padang rumput yang luas dan terdapat bermacam-­macam warna di sepanjang padang yang luas itu. “Ada lorong kecil menujd ke selatan. Lorong itu tidak berbahaya. Akan tetapi setelah lorong itu berhenti dan habis, tempat itu disambung dengan padang-padang rumput yang hanya mempunyai lorong-lorong setapak. Itulah tempat-tempat yang berbahaya dan jangan sembarangan memasuki lorong setapak ini tanpa lebih dulu mengetahui keadaannya.” Demikian antara lain penuturan anggauta pasukan kerajaan itu. Setelah membiarkan kudanya makan rumput dan beristirahat, Hok Boan lalu meloncat naik lagi ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya melewati lorong kecil yang menuju ke selatan itu. Matanya selalu awas memandang ke kanan kiri yang mulai penuh dengan rumpun ilalang, juga dia awas melihat ke depan, siap menghadapi bahaya yang mungkin datang dari mana­pun, sungguhpun tempat itu amat sunyi dan agaknya merupakan tempat yang aman. Ketika matahari telah naik tinggi, tibalah dia ujung jalan kecil itu. Di depannya kini terbentang luas rumput hijau, diselang-seling dengan rumput-rumput yang lain warnanya, ada yang merah, ada yang kebiruan dengan bentuk yang aneh-aneh. Hok Boan tidak turun dari kudanya, akan tetapi dengan hati ngeri dia memandang ke arah rumput-rumput hijau segar itu. Dia mendengar penuturan anggauta pasukan itu bahwa di bawah rumput hijau segar ini bersembunyi tangan maut berupa lumpur yang dapat menghisap dan yang di dalamnya menanti binatang-binatang kecil yang suka meng­hisap darah dan menggerogoti daging! Mengerikan! Akan tetapi, melihat rumput-rumput hijau segar itu, sukar untuk dapat mempercaya cerita itu. “Lebih baik menempuh bahaya di­serang ular dan binatang buas,” pikirnya. Dia mendengar bahwa ilalang kuning di sebelah kiri, di mana terdapat pula jalan setapak, akan membawa orang ke padang ilaiang yang tingginya seperti manusia dewasa di mana terdapat banyak ular dan binatang lain. Tadi Hok Boan telah mematahkan cabang pohon dan kini tangannya sudah memegang sebatang tongkat panjang seperti toya, kemudian dia menggerakkan kudanya memasuki lorong setapak di antara rumput-rumput kuning itu. Kudanya bergerak perlahan memasuki lorong itu dan benar saja, makin lama lorong itu makin menurun agaknya karena rumput-rumput itu menjadi makin tinggi, ataukah rumput ilalang yang tumbuh di kanan kiri sudah setinggi paha kudanya. Kuda yang ditunggangi Hok Boan maju terus. Tiba-tiba kuda itu berhenti melangkah, lalu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, terdengar bunyi berkerosakan disusul oleh suara salak anjing dari jauh. Hok Boan terkejut, akan tetapi dia sudah siap dengan tongkatnya. Tak lama kemudian, muncullah delapan ekor anjing liar yang menyerang dari depan, kanan dan kiri. Akan tetapi, Hok Boan sudah siap dengan tongkatnya dan beberapa kali tongkatnya bergerak memukul. Setiap gerakannya tentu meremukkan kepala seekor anjing sehingga tak lama kemudian, bangkai delapan anjing liar itu berserakan di tempat itu. Akan tetapi kuda itu menggigil, agak­nya ketakutan. Ketika Hok Boan me­maksanya untuk maju, kuda itu meringkik dan maju perlahan-lahan. Kini mereka tiba di lorong setapak yang memisahkan antara rumput ilalang tinggi dan rumput hijau segar yang berada sebelah kiri. Hok Boan menjaga benar-benar agar kudanya tidak makan rumput itu atau menginjak bagian kiri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan berkero­sakan. Ilalang itu bergoyang-goyang dan kudanya kini makin ketakutan, meringkik-ringkik ganas, mendengus-dengus. Kembali Hok Boan mempersiapkan tongkatnya dan ketika dia melihat muncuinya ular-ular yang datang menyerang, dia me­mutar tongkatnya itu, memukul remuk kepala beberapa ekor ular yang datang dekat. Akan tetapi, kuda itu menjadi ketakutan, tiba-tiba meringkik dan me­loncat ke kiri, jauh sekali, ke arah padang rumput hijau. “Blessss...!” Begitu empat buah kaki kuda itu tiba di atas tanah berumput hijau, seketika kaki itu amblas ke bawah sampai seperut kuda! Hok Boan terkejut bukan main, namun dia memang cerdik. Dia tidak menjadi gugup dan masih ingat untuk tidak meloncat turun. Tahulah dia bahwa kudanya telah terperosok ke dalam lumpur maut yang menghisap dari bawah. Kuda itu tidak akan dapat tertolong lagi. Maka dia lalu menggunakan kuda itu sebagai batu loncatan, meloncat ke kanan dan tiba di lorong setapak tadi. Dia mendengar kudanya meringkik-ringkik dan mendengus-dengus. Ketika dia menoleh dan memandang, bulu tengkuknya meremang. Mengerikan sekali memang. Kuda itu tenggelam makin dalam, kini tubuhnya sudah tenggelam semua, tinggal leher dan kepalanya, ma­tanya terbelalak, hidungnya mendengus-dengus, mulutnya berbusa. Bagian tubuh yang tinggal inipun tidak lama karena leher dan kepalanya segera terbenam pula dan tidak nampak lagi bekas-bekas­nya. Rumput hijau itu sudah menjadi rata kembali seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Hok Boan menjadi marah sekali. Dengan menggunakan pedangnya dan batu yang terdapat di situ, dia membuat api dan membakar padang ilalang yang penuh dengan ular-ular tadi. Api berkobar dan menjalar, membakar seluruh padang ilalang itu! Hok Boan sendiri menjauh, kembali ke tempat tadi karena dia merasa terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Biar tempat berbahaya itu habis ter­bakar lebih dulu sebelum dia melanjutkan perjalanan, pikirnya. Untung ketika dia meloncat dari atas kudanya tadi, dia tidak lupa untuk menyambar bungkusannya yang terisi pakaian dan bekal makanan. Kini, dia duduk memandang padang ilalang yang terbakar itu sambil menggerogoti roti kering. Benar juga penuturan anggauta pasukan kerajaan itu. Melaku­kan perjalanan menuju ke Lembah Naga akan melalui tempat-tempat berbahaya dan sampai berhari-hari tidak akan ber­temu dengan dusun, maka sebaiknya membawa bekal makanan. Kalau dia tidak membawa bekal roti kering, dia bisa kelaparan. Kebakaran di Padang Bangkai itu hebat sekali. Padang ilalang itu penuh dengan ilalang kering dan sudah berbulan-bulan ini tidak turun hujan, maka ten­tu saja api yang mengamuk itu mem­peroleh bahan bakar secukupnya sehingga api berkobar-kobar membasmi seluruh padang ilalang itu selama sehari semalam! Pada hari ke dua, setelah api kehabis­an makanan dan mulai padam, meninggal­kan puing, abu dan asap, muncullah serombongan orang dari Padang Bangkai, memeriksa keluar dan sampai di tempat yang kebakaran itu. Mereka ini adalah Sin-jio Coa Lok bersama tiga puluh orang anak buahnya. Ketika api sedang mengamuk, mereka ini tidak dapat ber­buat apa-apa, hanya menonton saja ketika api mengamuk hebat, merobah padang ilalang itu menjadi lautan api. Akan tetapi setelah api mulai padam, mereka lalu keluar dari sarang mereka untuk mengadakan pemeriksaan dan untuk menyelidiki apa yang menyebabkan kebakaran itu karena sepanjang penge­tahuan mereka, tidak pernah ada orang berani mendekati daerah Padang Bangkai, apalagi melakukan pembakaran. Akan tetapi sekali ini mereka keliru dan memandang dengan penuh keheranan ketika mereka melihat seorang laki-laki muda berpakaian sasterawan duduk melenggut di bawah pohon. Melihat ada seorang asing di daerah ini, mereka bukan hanya merasa heran, akan tetapi juga curiga sekali. Andaikata bukan orang ini yang melakukan pembakaran, tentu orang ini melihat siapa yang melakukannya, maka atas isyarat tangan kepala perampok itu, gerombolan ini lalu menghampiri pohon di mana laki-laki itu duduk di bawahnya dan mengurung pohon itu. Laki-laki itu adalah Kui Hok Boan. Tentu saja dia tahu ketika ada segerom­bolan orang kasar itu muncul dari Padang Bangkai. Mula-mula dia merasa heran bukan main, juga terkejut karena menurut keterangan yang diperolehnya dari angauta pasukan kota raja itu, bahwa Padang Bangkai maupun Lembah Naga kini merupakan tempat berbahaya yang kosong karena penghuninya telah dibasmi oleh para pendekar yang memimpin pasukan kerajaan. Bagaimana kini tahu-tahu muncul segerombolan orang itu? Dari gerak-gerik mereka, Kui Hok Boan, yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw itu sudah dapat menduga bahwa mereka adalah gerombolan pen­jahat, setidaknya orang-orang yang kasar, yang hanya mengandalkan tenaga dan kekerasan untuk memaksakan kemauan dan keinginan mereka kepada orang-orang lain. Dan melihat laki-laki berusia empat puluhan tahun yang memegang sebatang tombak panjang itu, yang berjalan di muka dan memberi isyarat dengan tangan, dia dapat menduga pula bahwa laki-laki itu tentulah yang menjadi kepala dari gerombolan itu. Hok Boan bersikap tenang saja, malah ketika mereka melihatnya dan meng­hampiri dari jauh, dia sudah duduk melenggut di bawah pohon, seolah-olah tidak melihat kedatangan mereka. Akan tetapi tentu saja seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga. Pedangnya dia sembunyikan di bawah buntalan pakaian sedangkan tongkat ranting pohon itu menggeletak di dekatnya. “Hemm, sungguh aneh, di tempat seperti ini ada seorang sasterawan kesasar!” kata Coa Lok sambil meraba dagunya, “Hai, kutu buku, bangunlah!” Akan tetapi Hok Boan masih pura-pura tidur. Dia ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh orang-orang ini sehingga dari perbuatan mereka, dia sudah dapat menilai orang-orang macam apa adanya mereka. Ketika melihat bahwa sasterawan muda itu masih enak saja melenggut, seorang anak buah perampok menjadi penasaran dan menghampiri, memegang pundak Hok Boan dan meng­guncangnya dengan kasar dan kuat-kuat. Tubuh Hok Boan tergoncang-goncang keras. “Heh, babi malas! Tai-ong kami menegurmu! Bangun!” Kui Hok Boan gelagapan, menggosok-gosok matanya, lalu bangkit duduk. Di depannya berdiri Coa Lok yang bermuka kekuning-kuningan dan yang memegang tombak panjang. Tombak itu dipegang dengan tangan dan berdiri di depannya. Sikap kepala perampok ini tidaklah begitu kasar dan buas, tidak seperti tiga puluh orang anak buahnya yang me­mandang dengan mulut menyeringai dan sinar mata buas. “Ah, siapakah kalian? Dari mana kalian datang?” Hok Boan bertanya dan bangkit berdiri tanpa mengambil buntalan, pedangnya maupun kayu ranting itu. Melihat sikap orang muda itu, Sin­-jio Coa Lok yang mengira bahwa pemuda itu tentu seorang sasterawan yang suka melancong dan kesasar di tempat itu, bersikap lunak dan berkata, “Orang muda, apakah engkau tidak tahu bahwa engkau berada di daerah Padang Bangkai?” Hok Boan pura-pura terkejut. “Padang Bangkai? Betapa menyeramkan nama itu!” “Ha-ha-ha, dan engkau akan menjadi bangkai pula di sini, kutu busuk!” ter­dengar seorang anak buah perampok mengejek dan terdengar suara ketawa di sana-sini. “Orang muda, ketahuilah bahwa kami adalah penghuni-penghuni Padang Bangkai. Engkau telah memasuki wilayah kekuasa­an kami. Siapakah engkau?” Coa Lok bertanya. “Namaku adalah Kui Hok Boan.” “Bagaimana engkau bisa datang ke tempat ini?” “Bagaimana? Dengan berkuda, melalui padang ilalang itu. Akan tetapi segerombolan anjing liar menyerangku dan untung aku dapat mengusir mereka. Ketika segerombolan ular datang menyerang, kudaku terkejut dan meloncat ke padang rumput hijau, terbenam dan tewas. Aku mendongkol sekali dan kubakar padang ilalang itu.” “Setan alas!” “Keparat jahanam!” “Jadi kutu buku ini yang membakarnya!” Tiga puluh orang itu sudah mengepung dengan sikap mengancam, akan tetapi Coa Lok mengangkat tangan kiri ke atas dan mengisyaratkan anak buahnya untuk mundur. Dia melihat sesuatu yang aneh dan mengherankan. Bagaimana sasterawan muda yang kelihatan lemah ini mampu mengusir gerombolan anjing liar yang amat galak dan buas itu? Dan setelah kudanya terbenam ke dalam lumpur maut, bagaimana sasterawan ini masih mampu menyelamatkan diri? Tentu orang ini bukanlah seorang sasterawan biasa yang lemah! “Kui Hok Boan, engkau telah lancang tangan membakar padang ilalang. Apa maksudmu datang ke sini?” Coa Lok membentak lagi. “Aku membakar padang ilalang itu karena padang itu membikin buruk tempat ini, membuat tempat ini merupakan tempat yang tersembunyi dan terputus dari dunia luar. Dan maksud kedatanganku ke sini? Aku hendak pergi ke Padang Bangkai dan Lembah Naga.” Sejenak suasana menjadi sunyi ketika pemuda ini menjawab seperti itu, lalu menjadi berisik karena anak buah pe­rampok saling bicara sendiri. Akhirnya Coa Lok mengangkat tangan menyuruh mereka diam. Dia, memandang kepada pemuda sasterawan itu penuh perhatian, lalu berkata, suaranya mengandung ke­marahan. “Orang muda she Kui, jangan kau main-main! Padang Bangkai adalah daerah kekuasaan kami, seorangpun tidak boleh memasukinya, dan Lembah Naga adalah daerah terlarang bagi siapapun juga. Katakan, apa sebetulnya kehendak­mu?” Kini Hok Boan tersenyum lebar dan memandang kepala perampok itu.”Engkau masih belum tahu? Aku datang untuk menaklukkan Padang Bangkai dan Lembah Naga!” Terdengar suara ketawa bergelak ketika para perampok mendengar jawaban ini. Bahkan Coa Lok sendiri tersenyum masam. “Orang muda, agaknya engkau telah menjadi gila!” katanya. “Tai-ong, serahkan kepadaku untuk menyembelih anjing ini yang telah berani membakar padang ilalang!” kata seorang anggauta perampok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka brewok sehingga nampaknya menyeramkan sekali. Orang ini terkenal dengan tenaganya yang besar dan disegani di antara kawan-kawannya. Karena merasa bahwa orang muda berpakaian sasterawan ini memang keterlaluan, apalagi telah bersalah membakar padang ilalang yang merupakan pelindung bagi Padang Bangkai, Coa Lok mengangguk memberi ijin. Semua orang mundur untuk memberi ruang kepada si brewok yang hendak menyembelih sasterawan itu. Si brewok tinggi besar kini melangkah maju sambil menyeringai. Tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang tajam mengkilap. Matanya yang lebar itu terbelalak penuh ancaman, dan hidungnya mendengus-dengus, dia seperti seekor harimau kelaparan haus darah dan agaknya tugas membunuh orang ini mendatangkan ketegangan yang menggembirakan hatinya! Tentu saja Kui Hok Boan tidak merasa takut sama sekali. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di pinggang dan berkata mengejek, “Heh, babi gemuk, bukan aku yang akan menjadi korban golok pemotong babimu itu, melainkan engkau sendiri!” Dimaki babi gemuk, si brewok itu menjadi marah, apalagi karena beberapa orang kawan-kawannya tertawa mendengar ini. “Anjing kurus! Kau berani memaki aku? Huh, terlalu enak kalau kau disembelih begitu saja! Aku akan merobek-robek seluruh tubuhmu dengan kedua tanganku ini saja!” “Cappp!” Dia membanting goloknya ke bawah dan golok itu menancap di atas tanah sampai setengahnya, gagangnya bergoyang-goyang saking kerasnya bantingan itu. “Bagus! Dengan melepaskan golok, berarti engkau menyelamatkan nyawamu sendiri, babi gemuk,” Hok Boan berkata dan ketika si brewok itu menerjangnya dengan kedua lengan dikembangkan seperti biruang besar, tiba-tiba pemuda sasterawan itu menggerakkan kedua kakinya dan si brewok menjadi bingung karena pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Akan tetapi para anak buah perampok terkejut karena mereka melihat betapa tubuh sasterawan muda itu seperti seekor burung saja tadi telah melayang melalui atas kepala si brewok dan kini telah hinggap dengan kaki kirinya di atas gagang golok yang menancap di atas tanah itu! Gagang golok itu masih bergoyang-goyang dan tubuh si sasterawan juga ikut bergoyang-goyang, akan tetapi dia masih bertolak pinggang dengan kedua tangannya sedangkan kaki kanannya diangkat ke lututnya! “Dengarlah kalian semua! Aku datang untuk memimpin kalian dan hanya kalau pemimpin lama kalian itu mau berlutut dan minta ampun, maka aku suka mengampuninya!” Terdengar suara menggereng dan si brewok tadi sudah menubruk ke depan dengan kemarahan meluap. Karena Hok Boan yang berdiri di atas gagang golok itu menghadapi kepala perampok, maka si brewok menyerangnya dari belakang. Kedua tangan yang besar itu terbuka dan seperti cakar harimau hendak mencengkeramnya. Tanpa menoleh, Hok Boan mengayun kaki kanan yang tadi ditekuk ke lutut kaki kiri, dengan gerakan yang cepat sekali. “Wuuuuttt... desss...!” Tubuh si brewok terpelanting ketika perutnya bertemu dengan tendangan yang tiba-tiba ini. Kaki sasterawan itu telah lebih dulu mengenai perutnya sebelum kedua tangannya dapat menjamah tubuh lawan dan tendangan itu sedemikian kuatnya sehingga dia terpelanting dan terguling-guling. Coa Lok sejak ditantang tadi sudah merah mukanya. Kini matanya terbelalak dan tahulah dia bahwa sasterawan itu memang sengaja datang untuk mencari perkara, untuk memusuhinya dan ternyata bahwa sasterawan itu memang bukan orang biasa, melainkan seorang yang lihai. Dipegangnya tombaknya erat-erat akan tetapi pada saat itu, si brewok yang merasa penasaran telah bangkit berdiri dan lari menerjang lawan yang masih berdiri di atas gagang golok. Coa Lok mendiamkannya saja karena dia ingin melihat sampai di mana kelihaian lawan itu. Para anggauta perampok yang lain kini juga memandang dengan penuh perhatian tidak lagi mentertawakan si pemuda sasterawan yang ternyata adalah seorang pandai itu. Haiiiitttt...!” Si brewok itu mengeluarkan bentakan nyaring. Sekali ini dia tidak lagi mau bertindak sembrono. Dia sudah tahu bahwa lawannya memang amat pandai, maka dia tidak lagi menubruk secara membabi-buta seperti tadi, melainkan menyerang dengan gerakan ilmu silat, memukul bertubi-tubi dengan kedua tangannya yang berlengan panjang. Pukulannya keras sehingga mengeluarkan bunyi angin bersiutan. “Plak-plak-plakk!” Semua pukulan dapat ditangkis dengan tenang saja oleh Hok Boan dan setiap kali tertangkis, lengan ii brewok yang amat kuat dan besar itu terpental dan mulutnya me­ringis karena tangkisan itu membuat lengannya terasa nyeri, tulangnya seperti akan pecah rasanya. “Babi gendut, engkau masih juga belum jera? Nah, robohlah!” Tiba-tiba Hok Boan meloncat turun dan sekali kakinya bergerak, kaki kiri itu melayang ke arah muka si brewok. Tentu saja si brewok terkejut bukan main dan cepat mengangkat kedua tangan untuk menang­kis dan menangkap kaki lawan, akan tetapi tiba-tiba dia morata kakinya lumpuh dan dia terguling roboh. Kiranya tendangan kaki ke arah muka itu hanya pancingan belaka dan yang sungguh-sungguh menyerang adalah kaki yang so­belah lagi sambil melompat, kaki ini menendang lututnya sehingga dia roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas! Dia hanya dapat rebah memegangi lututnya sambil mengeluh panjang pendek. Hok Boan membungkuk dan sekali cabut, golok itu telah berada di tangan­nya. Dia memandang kepada si brewok dan berkata, “Kalau aku mau, betapa mudahnya membunuhmu, babi! Akan tetapi sudah kukatakan, aku membutuh­kan kalian untuk menjadi anak buahku, maka aku tidak akan membunuhmu!” Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya, dia menekuk-nekuk golok itu. Terdengar suara nyaring dan golok itu patah-patah menjadi beberapa potong yang kemudian dilemparkannya ke atas tanah. Potongan-potongan golok itu menancap dan lenyap amblas ke dalam tanah, hanya tinggal gagangnya saja yang dibuangnya dengan sikap tidak perduli. Semua anak buah perampok terkejut setengah mati. Si brewok memandang pucat, lalu dia merangkak menjauhkan diri. Coa Lok yang menyaksikan ini makin kaget dan tahu bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan berat. Maka timbullah kecurangannya dan dia lalu membentak, “Hayo maju semua, keroyok dan bunuh pengacau ini!” Para perampok itu sudah biasa dengan perintah Coa Lok, maka mendengar bentakan ini mereka lalu mengacungkan senjata masing-masing, siap untuk maju mengeroyok. Hok Boan yang melihat hal ini, meloncat dan tubuhnya melayang ke dekat pohon di mana dia, menyimpan pedang dan buntalannya. Sekali sambar dia telah mengambil pedangnya dan menghunusnya, pedang yang kelihatan masih kasar namun mengeluarkan sinar menyeramkan, pedang buatan ahli pedang Bhe Coan itu. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Hok Boan mem­bentak dengan suara yang menggetarkan jantung karena dia membentak dengan pengerahan tenaga khi-kang dari pusar, “Tahan semua! Dengar baik-baik! Aku datang untuk memimpin kalian dan aku menjanjikan penghidupan yang baik dan jauh lebih makmur daripada sekarang kepada kalian! Bukan berarti aku takut kepada kalian. Akan tetapi kalau kalian maju mengeroyok, terpaksa aku akan membunuh kalian semua dan aku harus susah payah mengumprulkan anak buah dari dusun-dusun. Biarkan aku berhadapan dengan kepala kalian dan kita lihat, siapa di antara kami berdua yang lebih patut menjadi pemimpin kalian, menjadi majikan Padang Bangkai!” Ucapan itu berpengaruh dan semua perampok menjadi ragu-ragu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hok Boan yang cerdik, untuk mencari kedudukan yang menguntungkan. “Hai, kau si muka ber­penyakitan yang berlagak jagoan dengan tombakmu dan hendak memimpin se­kelompok orang gagah ini! Dengar baik-baik! Kalau benar engkau jagoan, hayo kau maju melawan aku, dan aku akan menghadapi tombakmu itu dengan ranting ini saja. Pedangku tidak akan kuperguna­kan. Ha-ha, mukamu makin pucat dan engkau hanya seorang banci, seorang pengecut, seorang penakut yang berani­nya hanya mengandalkan bantuan banyak anak buah saja. Engkau tidak patut menjadi pemimpin!” Sin-jio Coa Lok menjadi pucat saking marahnya. Kehormatannya tersinggung. Dia bukanlah seorang lemah. Sama sekali bukan. Tombaknya ditakuti banyak orang, bahkan dia telah dijuluki, Si Tombak Sakti. Kalau tadi dia hendak menggunakan pengeroyokan adalah karena dia ingin lebih yakin mengalahkan lawan ini. Sekarang, ditantang seperti itu, tentu saja dia tidak sudi untuk memperlihatkan sikap takut. “Mundur semua! Kerbau-kerbau tolol, mundur semua!” bentaknya marah kepada anak buahnya yang tidak cepat-cepat menyerang lawan sehingga memberi kesempatan kepada lawan untuk mengejeknya. “Mundur dan lihat tombakku akan mengeluarkan ususnya yang busuk!” Perintah ini tidak perlu diulang dua kali karena semua anak buah perampok sudah melangkah mundur. Mereka ingin sekali melihat apakah kepala mereka itu benar-benar akan mampu membunuh pemuda sasterawan yang amat berani itu. Janji yang diucapkan oleh pemuda sasterawan itu menarik hati mereka. Juga mereka telah terkesan ketika melihat betapa pemuda itu tadi tidak membunuh si brewok tinggi besar yang menjadi teman mereka, padahal kalau pemuda itu mau, tentu si brewok itu telah tewas. Pemuda itu tidaklah sekejam dan seganas Si Tombak Sakti, maka hal ini saja sudah menimbulkan kesan baik di hati mereka. Sin-jio Coa Lok yang sudah marah sekali itu maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh, akan tetapi tentu saja dia sama sekali tidak merasa takut. Dia terlalu percaya kepada tombaknya, maka dia sudah menubruk dengan kecepatan kilat, tombaknya digerakkan dan nampaklah sinar terang menyambar-nyambar ketika tombak itu membuat gerakan bergulung-gulung seperti ombak dahsyat menerjang ke arah Kui Hok Boan. Orang she Kui ini tidak melanggar janjinya, dia sudah menyambar ranting yang tadi berada di bawah pohon. Melihat gerakan lawan yang amat hebat itu, diam-diam dia terkejut dan cepat dia menggerakkan rantingnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia maklum bahwa senjata rantingnya tidak mungkin dapat dipergunakan untuk menangkis tombak lawan yang terbuat dari baja kuat itu, maka dia hanya mengandalkan gin-kangnya, mengelak dari sambaran tombak dan menggerakkan ranting untuk menotok jalan darah lawan di beberapa bagian dengan kecepatan kilat yang bertubi-tubi. Serangannya itu sudah merupakan penghambat bagi terjangan Coa Lok karena Si Tombak Sakti itu tentu saja maklum akan bahayanya totokan-totokan yang biarpun hanya dilakukan dengan sebatang ranting, namun didorong oleh tenaga sakti yang kuat. Ilmu tombak yang dimainkan oleh Coa Lok adalah ilmu tombak keturunan yang amat hebat. Semenjak nenek besarnya, keluarga Coa telah secara turun-temurun mempelajari ilmu tombak itu dan selama beberapa keturunan, ilmu tombak itu telah mengangkat tinggi nama keluarga Coa. Sebagai ilmu simpanan keluarga, maka ilmu tombaknya itu berbeda sifat dan gerakannya dengan ilmu silat yang diajarkan oleh partai-partai persilatan umum, maka menghadapi ilmu tombak yang tidak dikenalnya itu, Kui Hok Boan menjadi repot dan kewalahan juga. Ujung tombak itu tergetar-getar menjadi beberapa batang banyaknya dan setiap batang seolah-olah bergerak sendiri-sendiri menyerang dari pelbagai jurusan. Sebaliknya, Kui Hok Boan, anak murid Go-bi-pai itu, biarpun telah mempelajari permainan delapan belas macam senjata, namun memiliki keahlian dalam permainan pedang. Padahal, tingkat kepandaian­nya kalau dibandingkan dengan Coa Lok hanya lebih tinggi setingkat saja, maka kini dengan menggunakan sebatang ran­ting sebagai senjata, tentu saja kemena­ngan tingkatnya tidak banyak artinya, karena kalau lawan menggunakan senjata yang menjadi keahliannya, sebaliknya dia menggunakan senjata yang sama sekali tidak dapat menonjolkan kepandaiannya. Betapapun juga, Hok Boan memang patut dipuji. Sampai hampir seratus jurus mereka bertanding, namun belum juga tombak di tangan Coa Lok mampu me­robohkannya, biarpun kadang-kadang membuat sasterawan itu repot bukan main dengan elakan ke sana-sini dan nyaris saja perutnya tertembus tombak ketika dia mengelak dan bajunya yang tertembus dan robek. Dia terkejut sekali dan terdengar suara tertawa mangejek dari para anak buah perampok yang menonton pertempuran mati-matian itu. “Ha-ha, kutu buku sombong, bersiaplah kau untuk mampus!” Sin-jio Coa Lok ter­tawa mengejek dan menubruk lagi dengan tombaknya, memutar-mutar tombaknya sehingga lenyaplah mata tombak itu dan berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menerjang ke arah Hok Boan. Hok Boan maklum bahwa kalau dia mempertahankan terus senjata rantingnya, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Dia tidak perlu menjaga kehormatannya ter­hadap orang-orang tidak terhormat ini, pikirnya. Bahkan omongan besarnya untuk menghadapi kepala perampok ini dengan sebatang ranting, dapat dia pergunakan demi keuntungannya, pikirnya pula. Dengan menggunakan ranting sehingga dia terdesak hebat, kepala perampok ini menjadi lengah oleh bayangan kemenangannya. Maka dia sengaja memperlambat gerakannya sehingga dia terdesak makin hebat dan bermain mundur terus. Seperti tidak disengaja, kakinya tergelincir dan dia jatuh ke atas tanah. “Ha-ha, mampuslah kau...!” Coa Lok mengejar dengan tombaknya. Akan tetapi Hok Boan terus menggerakkan tubuhnya menggelundung dan menjauh. Ketika Si Tombak Sakti itu mengejar terut sambil tertawa-tawa dan berusaha menusukkan tombaknya ke arah tubuh lawan yang bergulingan, tiba-tiba Hok Boan mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kanannya bergerak dan ranting itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah dada Coa Lok! “Ehhh...! Krekk-krekkk...!” Coa Lok terkejut, cepat menangkis dengan tombaknya dan mematahkan ranting itu. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar berkelebat dari depan. Coa Lok terkejut, melihat kecurangan lawan namun sudah terlambat karena pedang yang ditangkisnya itu masih meleset dan mcluncur memasuki perutnya. “Blessss...!” Pedang itu menembus perutnya, lalu oleh Hok Boan diputar ke atas sehingga perut kepala perampok itu robek. Kepala perampok itu mengeluarkan teriakan mengerikan, tombaknya terlepas dan dia roboh terjengkang ketika Hok Boan mencabut pedang sambil menendangnya. Para anak buah perampok memandang dengan mata terbelalak ke arah Coa Lok yang berkelojotan di atas tanah, kemudian memandang kepada Hok Boan yang berdiri tegak dengan pedang yang berlumuran darah itu di tangan kanan sambil tersenyum. “Nah, kepala kalian telah mampus. Apakah di antara kalian ada yang ingin menemaninya ke neraka? Ataukah kalian mau mengangkat aku menjadi pemimpin kalian yang baru?” tantang Hok Boan. Para perampok itu saling pandang. Mereka merasa ngeri karena maklum bahwa sasterawan ini benar-benar amat lihai. Beberapa orang di antara mereka yang termasuk tokoh-tokohnya lalu menjatuhkan diri berlutut, tentu saja segera diturut oleh yang lain dan mereka memberi hormat sambil berkata, “Tai-ong... kami mentaati perintah tai-ong...!” Kui Hok Boan tersenyum dan menyimpan pedangnya setelah membersihkan darah dari pedang itu ke atas tubuh Coa Lok yang sudah tidak bergerak lagi. Dia berkata dengan suara halus namun penuh wibawa. “Kalian tidak akan menyesal mengangkatku menjadi pemimpin kalian. Aku akan membuat Padang Bangkai ini menjadi tempat yang indah dan baik, juga makmur setelah kalian membantuku mencari harta pusaka yang terpendam di sini. Aku dapat menduga bahwa kalian tentulah gerombolan perampok, bukan? Nah, mulai sekarang kita tidak perlu merampok lagi. Untuk apa melakukan pekerjaan hina dan memalukan itu kalau kita dapat mencari kekayaan dengan cara lain yang lebih mudah? Sekarang perintahku yang pertama adalah, kalian tidak boleh menyebut tai-ong. Aku bukan perampok. Kalian harus menyebutku taihiap (pendekar besar), mengerti? Namaku Kui Hok Boan dan kalian menyebutku Kui-taihiap, tidak kurang tidak lebih! Dan ingat, siapa yang berani melanggar pe­rintahku, akan kulemparkan ke lumpur maut!” Setelah berkata demikian, Hok Boan menyambar tangan mayat Coa Lok lalu mengerahkan tenaga, melontarkan mayat itu yang terlempar jauh dan ter­jatuh ke atas rumput hijau yang me­nyembunyikan lumpur di mana kudanya menjadi korban kemarin dulu. Lumpur itu menerima mayat Coa Lok dan karena mayat itu menimpa lumpur dengan ke­kuatan besar, seketika mayat itu lenyap ditelan lumpur. Semua anggauta perampok itu meng­angguk-angguk dengan muka pucat. Pemuda sasterawan ini kelihatan halus, ramah dan tidak kasar, akan tetapi mempunyai sikap yang menyeramkan dan lebih menakutkan dari sikap Coa Lok yang kasar. “Sekarang, tunjukkan aku jalan masuk ke dalam Padang Bangkai ini dan kita mulai dengan mencari harta pusaka yang tersimpan di suatu tempat yang sudah kuselidiki dari peta yang kudapat.” Tiga puluh orang itu bersorak girang lalu mengantar ketua mereka yang baru memasuki padang yang luas itu menuju sarang mereka, dusun yang dikelilingi air itu. Memang tujuan Hok Boan datang ke Padang Bangkai dan Lembah Naga adalah untuk mencari harta-harta pusaka itu, yang dia dengar dari berita angin di antara para pasukan kerajaan. Bahkan dia secara teliti melakukan penyelidikan, mengumpulkan berita-berita itu dan menemukan sebuah peta tua yang me­nunjukkan di mana kiranya harta-harta pusaka itu disimpan di kedua tempat yang penuh rahasia itu. Sesungguhnya berita yang didengarnya dari mulut ke mulut itu bukanlah hanya dongeng belaka. Harta pusaka itu adalah harta hasil perampokan dan rampasan dari pasukan-pasukan liar di bawah pimpinan Raja Sabutai ketika raja liar ini menaklukkan banyak suku bangsa Nomad di sekitar daerah padang dan gurun di utara. Karena tidak mungkin bagi pasukan itu untuk membawa-bawa harta yang amat banyak dan berat dalam perjalanan mereka menaklukkan suku-suku lain, maka sebagian dari harta itu mereka sembunyikan dan mereka tanam di beberapa tempat, di antaranya di Padang Bangkai dan lebih lagi di Lembah Naga. Raja Sabutai sendiri tidak tahu akan hal ini, karena pekerjaan itu dilakukan oleh anak buahnya yang ingin menyembunyikan sebagian dari harta rampasan itu. Dalam perang dan pertempuran-pertempuran selanjutnya, para penyimpan harta itu sudah gugur semua dan yang tinggal hanya cerita mereka yang diteruskan oleh teman-teman, dan akhirnya Hok Boan si petualang itulah yang berhasil menemukan penggambaran petanya dan yang percaya akan adanya harta itu dan kini benar-benar melakukan penyelidikan dan pencarian. Orang lain, biarpun percaya akan adanya harta itu, merasa jerih untuk menyelidiki karena selain tempat itu berada di wilayah kekuasaan Raja Sabutai, juga di situ banyak terdapat suku-suku liar dan kedua tempat itupun kabarnya merupakan daerah berbahaya yang tak mungkin dimasuki orang luar. Dalam waktu setahun saja terjadilah perubahan besar-besaran di Padang Bangkai. Dusun di tengah padang yang dikelilingi air sungai itu, yang tadinya hanya terdiri dari rumah-rumah petak sederhana, kini telah berubah menjadi bangunan besar dan megah, dikelilingi taman bunga dan dipasangi jembatan-jembatan indah di atas sungai itu. Juga jalan menuju ke Padang Bangkai dibangun dan dibuat lebar dan tidak berbahaya. Bahkan kini mulai ada penduduk tinggal di luar padang itu, tidak lagi takut seperti dulu sehingga Padang Bangkai kini bukan lagi menjadi daerah “angker” yang menyeramkan dan tidak ada orang berani mendekati. Padang Bangkai kini berubah menjadi sebuah dusun makmur milik Kui-kongcu yang dikenal sebagai seorang hartawan yang ramah dan manis budi. Semua perubahan ini diadakan oleh Kui Hok Boan yang ternyata berhasil menemukan harta pusaka itu di sebuah guha. Harta pusaka yang amat banyak, terdiri dari emas permata yang mahal. Maka dibangunlah tempat itu, bukan hanya rumah gedung untuk dia sendiri, juga rumah-rumah petak yang indah untuk para anak buahnya yang tiga puluh orang banyaknya itu, dan pakaian-pakaian untuk mereka. Bahkan kini para anak buah itu ada yang mengambil isteri dan membentuk keluarga di Padang Bangkai. Hidup mereka tentram dan tenang, tidak lagi harus merampok seperti dulu, melainkan mengusahakan tanah yang subur di daerah itu untuk bercocok tanam. Selain dari hasil ini, juga secara halus Hok Boan mulai menentukan semacam “pajak” bagi para penghuni yang tinggal di sekitar Padang Bangkai, dengan dalih bahwa anak buah Padang Bangkai yang menjamin keselamatan mereka dari gangguan siapapun juga. Karena sikap Hok Boan yang halus, juga anak buahnya yang tidak boleh menggunakan kekerasan, maka para penghuni itu dengan suka hati suka menyerahkan sebagian dari hasil mereka sebagai semacam pajak atau upah menjaga keamanan mereka! Beberapa kali Hok Boan ingin pergi melakukan penyelidikan ke Lembah Naga karena memang dia ingin mencari pula harta pusaka yang terpendam di tempat itu. Bahkan menurut kabar, harta yang berada di situ lebih banyak lagi di samping adanya sebuah istana di Lembah Naga itu sebagai peninggalan Raja Sabutai. Akan tetapi, berkali-kali anak buahnya memperingatkan Hok Boan agar jangan sembarangan menyerbu atau memasuki Lembah Naga. “Mendiang ketua kami yang dahulu, Coa Lok, dengan keras melarang kami untuk mendekati istana itu, taihiap. Dan memang kamipun sudah jera untuk memasuki daerah Istana Lembah Naga, setelah lima orang teman kami tewas secara mengerikan oleh iblis betina itu.” Demikian antara lain anak buahnya memperingatkan. Hok Boan lalu mendengar cerita mereka tentang wanita cantik bertangan kiri buntung yang amat hebat kepandaiannya. Betapa mendiang Coa Lok sendiri tidak mampu mengalahkannya, dan betapa lima orang di antara mereka tewas oleh wanita cantik itu. “Kepandaiannya seperti iblis, taihiap, gerakannya cepat seperti pandai meng­hilang saja. Akan tetapi dia tidak pernah mengganggu kami selama ini. Oleh karena itu, apakah tidak sebaiknya kalau kita juga tidak mengganggunya? Kita sudah hidup senang dan makmur di sini berkat kebijaksanaan taihiap, dan kami sudah puas.” Biarpun mulutnya tidak berkata apa-apa, namun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa penasaran sekali. Makin tertariklah hatinya untuk mengunjungi istana itu, di mana menurut cerita anak buahnya tinggal wanita cantik yang kepandaiannya seperti iblis betina itu, di­temani oleh lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik pula. Mendengar wanita-wanita cantik, jantung sasterawan muda ini sudah berdebar tegang dan gembira. Sudah terlalu lama dia kesepian, semenjak dia meninggalkan Leng Ci yang cantik dan genit. Memang di antara para penghuni dusun terdapat pula wanita-wanita mudanya, dan dia sudah me­ngunjungi dan menghibur dirinya dengan dua tiga orang di antara mereka, akan tetapi hatinya tidak puas. Mereka adalah wanita-wanita dusun yang sederhana, bodoh dan juga berkulit kasar dan kehitaman karena kerja berat dan terbakar sinar matahari di sawah ladang. Karena dia tidak ingin mengganggu ketentraman hidup para anak buahnya, maka dia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri saja. Dia tahu bahwa anak buahnya adalah bekas-bekas pe­rampok yang berjiwa kasar dan ganas. Kini, oleh keadaan yang makmur dan tentram, anak buahnya itu bagaikan harimau-harimau yang kekenyangan dan tidur bermalas-malasan. Kalau sampai digerakkan dan bangkit kembali keganas­an mereka, maka akan repot jugalah dia untuk menanggulangi mereka. Biarkanlah mereka menjadi harimau-harimau jinak karena memang dia tidak membutuhkan tenaga mereka. Di tempat seperti itu, agaknya tidak akan ada musuh yang mengganggu. Demikianlah, pada suatu pagi, tanpa diketahui oleh orang lain, diam-diam Kui Hok Boan memasuki daerah Lembah Naga dari selatan. Daerah yang luas dan indah, tanahnya subur dan tak lama kemudian, ketika jalan itu mulai menanjak berat, dia sudah melihat genteng istana dari jauh, kemerahan dan tinggi. Akan tetapi selagi dia melenggang seenaknya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan merdu, “Hei, berhenti! Tidak boleh memasuki tempat itu tanpa ijin!” DENGAN tenang Hok Boan menoleh dan melihat lima orang wanita bermunculan. Melihat kaki dan tangan mereka yang masih berlepotan lumpur, tahulah dia bahwa mereka tadi sedang asyik bekerja di sawah ketika mereka melihat kedatangannya dan menghadang di sini. Wanita-wanita itu tidak sangat cantik, akan tetapi dibandingkan dengan wanita-wanita dusun, mereka ini jauh lebib bersih menarik. Bahkan ada seorang di antara mereka, yang berbaju hijau, tentu belum ada tiga puluh tahun usianya, dan wajahnya manis. Dia sudah menduga bahwa tentu inilah mereka yang disebut pelayan­-pelayan dari wanita cantik bertangan buntung itu, maka dia tersenyum manis dan memasang aksi yang ramah. Kui Hok Boan memang berwajah tampan. Apalagi pagi hari itu dia sengaja mengenakan pakaian baru yang indah dan bersih. Ketika melihat pemuda itu tersenyum dan sikapnya yang sopan dan lemah lembut, lima orang itu tercengang, kemudian seorang di antara mereka, kebetulan yang muda berbaju hijau itu, berseru, “Ah, bukankah Kui-taihiap... dari Padang Bangkai...?” Seperti diketahui, kadang-kadang, untuk keperluan mereka, tentu ada di antara para pelayan dari istana lembah itu yang turun dari lembah dan pergi ke dusun-dusun untuk membeli keperluan mereka. Oleh karena, itu maka mereka mendengar belaka akan semua perubahan yang terjadi di Padang Bangkai. Mereka sudah melapor kepada majikan mereka, yaitu Liong Si Kwi, bahkan Padang Bangkai telah memiliki majikan atau pemimpin baru, dan betapa Padang Bangkai kini dibangun dan banyak penghuni dusun yang berdatangan dan membuka dusun-dusun baru di luar Padang Bangkai. Akan tetapi Si Kwi tidak mau mencampuri urusan itu. Untuk apa dia mencampuri urusan para perampok di Padang Bangkai? Biar berganti pimpinan seribu kalipun tetap saja perampok dan dia tidak sudi berurusan dengan para perampok. Maka dia hanya berpesan kepada para pelayannya agar jangan berhubungan atau mencampuri urusan orang­ Padang Bangkai. Dia tidak akan perduli selama orang-orang Padang Bangkai tidak mengganggu Lembah Naga. Akan tetapi, lima pelayan itu telah mendengar bahwa kepala di Padang Bangkai sekarang adalah seorang pemuda sasterawan yang tampan dan halus, dan yang disebut Kui-taihiap oleh para anak buah Padang Bangkai dan oleh semua penduduk dusun di sekitarnya. Dan ketika seorang dua orang di antara mereka pergi berbelanja, mereka mendengar penuturan para penduduk bahwa majikan Padang Bangkai itu amat ramah dan baik hati, sama sekali bukan bersikap sebagai kepala rampok, dan bahwa tidak pernah ada anggauta Padang Bangkai yang mengganggu dusun-dusun baru itu. A Ciauw, pelayan berbaju hijau itu, sudah pernah satu kali melihat Kui Hok Boan dari jauh, maka kini dia mengenal pemuda itu. Mendengar teguran A Ciauw, empat orang temannya memandang penuh perhatian, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, sungguhpun majikan mereka sudah berpesan bahwa tidak ada orang luar, siapapun juga dia itu, yang boleh masuk ke Lembah Naga. Hok Boan memperlebar senyumnya sehingga nampak giginya yang putih, lalu dia memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Ah, kiranya cu-wi (anda sekalian) telah mengenal saya? Saya memang Kui Hok Boan, dari Padang Bangkai. Karena diantara kita adalah tetangga, maka saya ingin sekali datang mengunjungi Istana Lembah Naga, untuk berkenalan.” Biarpun hanya A Ciauw seorang saja di antara mereka yang pernah melihat majikan Padang Bangkai yang disohorkan orang itu, namun mereka semua telah lama mendengar nama sasterawan muda itu dan kini melihat orangnya dengan sikapnya yang demikian halus dan ramah, lima orang pelayan itu merasa tidak enak kalau harus bersikap kasar. Bahkan untuk mengusirnya sekalipun mereka merasa malu hati. Maka kini mereka hanya saling pandang atau menatap wajah tampan itu dengan bingung. Akhirnya, A Ciauw yang merasa betapa pandang mata kongcu itu terutama ditujukan kepadanya dengan amat mesra, dengan kedua pipi berubah merah lalu menjura dengan hormat dan berkata, “Maafkan kami, Kui-taihiap. Bukan keinginan kami untuk bersikap kurang hormat kepada taihiap. Akan tetapi kami berlima hanyalah pelayan-pelayan dari nona kami yang mentaati perintah beliau...” “Ah, kiranya cici (kakak) berlima adalah pelayan-pelayan dari Istana Lembah Naga? Sungguh mati, siapa dapat percaya hal ini kalau tidak mendengar sendiri? Biarpun cici berlima berlepotan lumpur karena habis kerja di ladang, namun melihat wajah dan sikap kalian... ah, sudahlah, betapapun juga, saya merasa amat gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian. Sekarang, cici berlima yang manis, tolonglah antar saya untuk menjumpai dan berkenalan dengan nona majikan kalian.” “Itulah yang kami tidak berani lakukan, taihiap. Bahkan kalau bukan taihiap yang bertemu dengan kami di sini, tentu sudah sejak tadi kami minta untuk segera meninggalkan tempat ini. Ketahuilah, Kui-taihiap, bahwa nona majikan kami sudah berulang kali memesan bahwa tidak boleh orang luar datang memasuki Lembah Naga, apalagi hendak bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, demi kebaikan kita bersama, taihiap, kami mohon dengan hormat sukalah taihiap kembali saja ke Padang Bangkai dan kami akan menyampaikan kepada nona majikan kami betapa baiknya keadaan dan sikap taihiap terhadap kami.” Kui Hok Boan tersenyum dan memainkan matanya, lalu berkata, “Aihh, cici yang manis, mengapa demikian? Telah setahun saya tinggal di Padang Bangkai dan sudah banyak saya mendengar tentang nona majikanmu yang kabarnya cantik seperti bidadari dan juga manis budi. Kami adalah tetangga, kenapa saya tidak boleh menjumpai dan berkenalan dengan dia? Tidak, sekarang juga saya harus menemuinya, kalau tidak maka saya Kui Hok Boan tentu akan mati penasaran, setidaknya malam ini saya tidak akah dapat tidur.” A Ciauw dan teman-temannya menjadi makin khawatir. “Jangan, taihiap, harap taihiap jangan memaksa, harap taihiap suka kembali saja...” “Hemm, kalau saya tidak mau kembali, bagaimana? Saya mendengar bahwa lima orang dayang Istana Lembah Naga memiliki kepandaian tinggi, apalah kalian hendak menghajar saya dan memaksa saya pergi dari sini?” “Ah, mana kami berani? Akan tetapi, kalau kami membiarkan saja taihiap memasuki istana, kami tentu akan mendapat marah besar dari nona majikan kami...” “Karena itu, jangan kalian biarkan, cobalah kalian menghalangiku. Tentu saja aku tidak ingin menyusahkan kalian, para enci yang manis.” Hok Boan berkata dengan sikap main-main dan lebih akrab. A Ciauw dan teman-temannya saling pandang, kemudian A ciauw menarik napas panjang dan berkata, “Apa boleh buat, Kui-taihiap. Kami hanyalah pelayan yang harus mentaati perintah nona majikan kami, kalau kami ingin selamat. Maafkan kami, terpaksa kami akan menghalangi taihiap. Harap saja taihiap menaruh kasihan kepada kami.” A Ciauw sudah memasang kuda-kuda diikuti oleh empat orang temannya. “Mana aku sampai hati menyusahkan kalian?” jawab Hok Boan dan diapun lalu menerjang ke depan. Lima orang wanita itu menubruknya dan membuat gerakan menyerang untuk menangkap atau merobohkan tamu yang nekat ini, akan tetapi tentu saja mereka itu sama sekali bukan tandingan Kui Hok Boan. Dengan gerakan yang amat cepat, Hok Boan membagi-bagi totokan dan robohlah lima orang itu dalam keadaan lemas dan lumpuh tertotok! Hok Boan tersenyum, lalu menghampiri A Ciauw, berlutut di dekatnya dan berkata, “Aku menyesal sekali, harap kalian maafkan aku. Akan tetapi hal ini perlu agar kalian tidak sampai mendapat marah. Kau manis sekali!” berkata demikian, Hok Boan mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita berbaju hijau itu, tangannya mengusap dan membelai. A Ciauw tidak mampu bergerak dan hanya mengeluarkan suara di tenggorokannya seperti orang merintih atau mengeluh, matanya dipejamkan dan setelah lama pria itu pergi, A Ciauw masih rebah terlentang dengan mata terpejam dan pikiran melayang jauh entah ke mana! Sementara itu, dengan ilmu berlari cepat, Hok Boan sudah meninggalkan lima orang wanita yang dirobohkannya dengan totokan yang untuk beberapa lamanya akan membuat mereka lumpuh tak berdaya akan tetapi tidak membahayakan keselamatan nyawa mereka itu. Dia menuju ke istana, akan tetapi ketika mendengar suara anak kecil tertawa dan suara seorang wanita, dia tertarik dan mengalihkan langkahnya ke jalan kecil yang menuju ke dinding gunung penuh guha dari mana suara itu tadi datang. Tak lama kemudian dia melihat seorang anak laki-laki kecil, usianya tentu antara dua dan tiga tahun, tubuhnya sehat dan kuat, sedang bermain-main di depan guha. Tak jauh dari situ, nampak seorang wanita dan Kui Hok Boan tercengang dan terpesona! Dia bukan seorang laki-laki yang hijau, sama sekali bukan. Dia adalah seorang petualang asmara, seorang kongcu hidung belang dan mata keranjang yang sudah biasa mempermainkan wanita dan mengobral cintanya di antara banyak sekali wanita. Dia sudah banyak bertemu, bahkan bercinta dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi melihat wanita yang duduk di atas batu itu, jantungnya berdebar keras dan dia tertarik sekali. Usia wanita itu belum ada tiga puluh tahun, wajahnya manis sekali dan di wajah itu terbayang watak seorang wanita yang mempunyai harga diri tinggi, yang memandang dunia dengan pandang mata seorang ratu, agung dan angkuh akan tetapi justeru sikap itulah yang bagi pandang mata Hok Boan kelihatan begitu menarik dan mempesona. Dia sudah terlalu biasa bertemu dengan wanita yang “murahan” seperti sikap lima orang pelayan tadi, atau wanita yang “jual mahal” agar dapat dinilai lebih tinggi. Namun wanita yang duduk di atas batu depan guha besar itu lain sama sekali, sikapnya wajar dan begitu agung, tangan kirinya yang buntung sebatas pergelangan itu tidak membuat dia menjadi buruk, bahkan menimbulkan rasa iba di hati Hok Boan. Wanita itu wajahnya manis, berbentuk bulat dengan dagu meruncing dan mulut kecil, sepasang matanya tajam dan dingin namun mengandung kesuraman dan kesayuan. Rambutnya digelung sederhana dengan hiasan tusuk konde dari perak terukir dan diikat dengan pita rambut yang berwarna kuning. Pakaiannya juga sederhana bentuknya, akan tetapi terbuat dari sutera halus dengan baju warna merah darah. Kombinasi warna pakaian yang menyolok sekali, dan anehnya, kebetulan sekali warna merah memang paling disuka oleh Hok Boan untuk dipakai oleh wanita! Dia sendiri merasa heran bukan main mengapa hatinya begitu tergetar dan tertarik sekali melihat wanita yang memiliki bentuk tubuh yang sudah matang itu, padat dan dengan lekuk lengkung yang sempurna! Wanita itu bukan lain adalah Liong Si Kwi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, semenjak wanita ini menemukan Sin Liong yang dia yakin adalah anak kandungnya sendiri, terjadi perubahan besar pada kehidupannya. Dia tidak lagi melamun dan terpendam ke dalam kedukaan. Timbul kembali gairah hidupnya, timbul pula kegembiraannya dan dia bahkan mendatangkan lima orang wanita sebagai pelayannya, untuk mengurus istana yang besar itu, melayaninya dan menjadi temannya tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun Sin Liong masih suka bermain-main dengan monyet-monyet besar, namun karena tahu bahwa monyet-monyet itu adalah kawan-kawan pertama Sin Liong semenjak lahir dan setelah dia yakin bahwa binatang-binatang itu sama sekali tidak pernah mengganggunya, maka diapun tidak pernah melarang lagi. Kadang-kadang dia sendiri yang menemani Sin Liong bermain-main dan pagi hari itupun dia menemani anak itu bermain-main, suatu kesibukan yang mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati wanita itu. Biarpun Sin Liong belum pernah menerima gemblengan ilmu silat, namun nalurinya lebih tajam dari manusia biasa. Hal ini agaknya dia dapatkan dari air susu monyet yang menghidupinya sejak dia masih kecil, maka kedatangan Hok Boan lebih dulu dia ketahui sebelum ibunya, wanita yang telah digembleng ilmu silat tinggi itu mengetahui. “Eeehhh...?” Sin Liong mengeluarkan teriakan dan menudingkan telunjuknya ke arah pria yang melangkah datang hati-hati itu. Si Kwi cepat meloncat turun dari atas batu dan membalikkan tubuh. Matanya berkilat bercahaya ketika dia melihat datangnya seorang laki-laki muda tampan berpakaian sasterawan dan diam-diam dia memperhatikan ke kanan kiri karena dia merasa heran mengapa lima orang pelayannya membiarkan orang asing ini memasuki Lembah Naga! Kui Hok Boan sudah lebih dulu menggunakan senjatanya yang biasanya amat ampuh dalam menghadapi wanita. Dia memainkan matanya, menggerakkan alisnya yang tebal dan tersenyum manis, lalu menjura dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, memberi hormat dengan sikap sopan sekali. “Harap nona sudi memaafkan kelancanganku kalau aku mengganggu.” Si Kwi mengerutkan alisnya, tidak menjawab dan dia menoleh ke kanan kiri, merasa makin heran dan penasaran, bagaimana lima orang pelayannya yang setia itu sama sekali tidak tahu akan kedatangan orang ini. Melihat wanita yang mempesona itu mengerutkan ails dan dengan sikap angkuh tidak menjawab kata-katanya melainkan memandang ke kanan kiri jantung Hok Boan berdebar. Bukan main cantik dan manisnya wanita ini, pikirnya heran. Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah ada yang menggerakkan hatinya seperti wanita bertangan kiri buntung ini! Dia maklum atau dapat menduga apa yang dicari oleh wanita itu, maka dia kembali menjura dan berkata halus, “Kalau nona mencari lima orang pembantumu itu, ketahuilah bahwa mereka tadi menghadang dan hendak menghalangiku untuk datang berkunjung ke Istana Lembah Naga, oleh karena itu secara terpaksa sekali aku menidurkan mereka secara lembut dengan totokan. Akan tetapi sama sekali tidak berbahaya, nona, sama sekali tidak berbahaya...” Sinar mata itu berkilat menatap wajah Hok Boan, sinar mata itu merayap dari atas ke bawah, dalam sekejap saja telah meneliti keadaan jasmani pemuda itu, lalu sinar mata yang amat tajam itu kembali menentang wajah Hok Boan. Bibir yang merah tipis dan manis itu terbuka, bergerak dan terdengar bentakan halus, “Siapa engkau? Dan apa kehendakmu datang ke tempat ini secara memaksa?” Pertanyaan yang mendesak dan mengandung tegurang biarpun hati Si Kwi sama sekali tidak merasa heran kalau pemuda ini dapat menotok roboh lima orang pelayannya karena mereka itu baru dua tahun dilatih silat. Melihat keadaan pemuda yang lemah lembut ini, dia menduga bahwa tentu pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Dia sudah terbiasa akan hal ini. Sebagai orang muda yang berdarah panas, maka setiap pemuda yang memiliki kepandaian sedikit saja tentu akan bersikap sombong dan suka berkelahi. Akan tetapi, seorang pemuda yang dapat membawa diri, bersikap tenang dan halus, tidak menonjolkan kepandaian, pemuda seperti itulah yang berbahaya, dan biasanya menyembunyikan kepandaian yang hebat. Seperti Cia Bun Houw misalnya! Teringat ini, kedua pipi Si Kwi menjadi merah dan cepat diusirnya bayangan pemuda itu dan nama pemuda itu. Mendengar pertanyaan yang singkat dan penuh teguran itu, kembali Hok Boan menjura dan menjawab halus, “Sekali lagi harap nona sudi memaafkan aku. Sesungguhnya, aku Kui Hok Boan sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona atau semua penghuni Istana Lembah Naga. Seperti mungkin nona telah mengenal namaku...” “Aku tidak mengenal namamu!” Si Kwi memotong cepat dan ketus. Hok Boan tidak merasa menyesal atau menjadi marah mendengar pemotongan kata-katanya yang ketus itu. Dia tetap memandang dengan wajah berseri, lalu tersenyum dan berkata lagi, “Maaf, agaknya aku lupa bahwa penghuni Istana Lembah Naga tentu saja tidak mengenal nama seorang yang tidak berharga seperti aku ini. Karena itu, baiklah dalam kesempatan ini aku memperkenalkan namaku. Aku she Kui bernama Hok Boan dan aku memimpin teman-teman di Padang Bangkai.” “Hemm, kiranya kepala perampok yang baru?” Hok Boan mengerutkan alisnya. “Nona boleh memandang rendah kepadaku, akan tetapi harap suka melihat dengan jelas dan dapat membedakan orang. Aku datang ke Padang Bangkai kUrang lebih setahun yang lalu, dalam pertempuran membunuh kepala perampok Sin-jio Coa Lok dan karena kasihan kepada tiga puluh orang anak buahnya yang sudah menyerah maka aku memimpin mereka menuju ke jalan benar. Sekarang, mereka itu bukanlah perampok lagi, nona. Padang Bangkai telah mengalami perubahan besar dan bukan merupakan tempat angker dan menyeramkan lagi bagi manusia. Dusun-dusun baru telah mulai dibangun oleh mereka yang berdatangan.” Si Kwi merasa tersindir. Memang dia sudah mendengar dari para pelayannya akan kemajuan Padang Bangkai dan betapa tempat itu kini mulai ramai de­ngan para penduduk baru yang membangun dusun-dusun, Lembah Naga masih saja merupakan tempat angker yang tidak boleh didatangi orang luar. “Cukup, tidak perlu engkau memamer­kan dan mempropagandakan Padang Bangkai. Sekarang katakan apa keperluan­nya datang ke sini!” Kembali Hok Boan menjura dengan hormat. “Tidak ada keperluan lain ke­cuali datang berkunjung sebagai tetangga, sebagai sahabat...” “Seorang sahabat macam apa engkau ini! Begitu datang telah menotok roboh lima orang pelayanku.” “Akan tetapi mereka yang memaksaku, nona...” “Hemm, agaknya setelah engkau ber­hasil merampas Padang Bangkai, engkau hendak main gila di sini mengandalkan kepandaianmu, ya? Kaukira aku takut menghadapimu. Kaukira akan mudah saja merampas Istana Lembah Naga seperti yang telah kaulakukan dengan Padang Bangkai?” “Eh... ah... bukan begitu, nona...” “Cerewet! Perlihatkan kepandaianmu!” Si Kwi sudah menghardiknya dan seketika dia menerjang dengan tamparan tangan kanannya ke arah pipi Hok Boan. Pemuda sasterawan ini terkejut bukan main. Dia hanya melihat wanita itu menggerakkan tangan dan tahu-tahu ada angin me­nyambar dahsyat dan tangan itu telah menyambar dekat sekali dengan pipinya! Hanya dengan jalan melempar tubuh atas ke belakang saja dia berhasil menghindarkan diri dari tamparan itu. Angin tamparan itu masih menyambar pipinya, dingin dan kuat sekali. Bukan main, pikirnya. Pantas saja wanita ini ditakuti orang, kiranya memiliki gerakan yang sedemikian cepatnya. Sementara itu, Si Kwi menjadi penasaran juga ketika tamparannya yang dilakukan cepat tadi dapat dielakkan lawan. Dia merasa gemas dan sambil mengeluarkan lengking nyaring dia menyerang secara hebat dan bertubi-tubi. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang meloncat tinggi sambil menerkam dan menyerang, kecepatannya seperti seekor burung walet terbang! “Eh... ohh... nanti dulu, nona...!” Hok Boan berseru kaget dan meng­elak atau menangkis kalang kabut. Nona itu hanya mempunyai satu tangan kanan saja, akan tetapi tangan kiri yang buntung itu ternyata dipergunakan pula untuk menyerang, dengan jalan menotok jalan darah! Yang amat mengagumkan hati Hok Boan adalah kecepatan wanita itu, kecepatan yang luar biasa dan dia harus mengakui bahwa dalam hal limu gin-kang, agaknya dia sendiri tidak akan mampu menandingi nona ini. Karena dia berseru dan berkali-kali menahan, hampir saja sebuah tendangan kilat yang dilakukan selagi tubuh wanita itu berada di atas mengenai dagunya. Dia terkejut dan mengeluarkan keringat dingin ketika tubuhnya dia lempar ke belakang sambil berjungkir balik, membuat salto. “Tahan, nona. Aku bukan musuh...” “Tidak perduli. Engkau sudah merobohkan lima orang pelayanku, berarti engkau adalah musuhku!” Si Kwi membentak dan menyerang lagi karena hatinya makin penasaran melihat betapa serangan-serangannya yang sudah dilakukan sebanyak belasan jurus itu tidak pernah mengenai sasarannya. “Baiklah, agaknya engkau berpegang kepada kebiasaan kang-ouw bahwa sebelum bertanding tidak kenal!” Hok Boan berkata dan mulailah dia membalas serangan Si Kwi. Pemuda sasterawan ini amat tertarik kepada Si Kwi dan kini dia ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian wanita yang amat menyentuh perasaan hatinya ini. Perkelahian hebat terjadi di depan guha. Melihat ini, Sin Liong mengeluarkan suara marah dan dia sudah melangkah maju perlahan-lahan, matanya mengeluarkan sinar berapi dan dia menyeringai, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil seperti laku seekor monyet kalau marah! Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan monyet besar dan biang monyet yang selama ini selalu membayangi dan menjaga Sin Liong, cepat meloncat ke bawah dan menyambar tubuh Sin Long, dipondongnya dan dibawanya berloncatan naik melalui batu-batu di pinggir guha, terus dibawanya naik ke atas pohon di mana dia duduk nongkrong sambil memondong Sin Liong dan diajaknya anak itu menjadi penonton dari tempat yang aman itu. Lega hati Si Kwi melihat ini. Dia tadi sudah khawatir kalau-kalau Sin Liong yang masih mempunyai watak liar dan kadang-kadang seperti seekor monyet yang susah dijinakkan itu akan menjadi marah dan maju membantunya. Hal itu kalau sampai terjadi, tentu saja membahayakan keselamatan anak itu sendiri. Lawannya ini seorang yang pandai, dan siapa tahu apa yang akan dilakukan oleh ketua Padang Bangkai ini terhadap anak itu kalau Sin Liong berani maju membantunya. Kini, melihat Sin Liong dalam keadaan aman di pohon tinggi, dijaga oleh monyet betina besar itu, Si Kwi dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerakan kaki tangannya dan mulailah dia menyerang dengan hebat. Dia tidak membawa pedang ataupun senjata rahasianya yang amat lihai, yaitu paku Hek-tok-ting, akan tetapi karena dia melihat bahwa pemuda sasterawan itupun tidak membawa senjata apapun, maka dia tidak merasa khawatir. Liong Si Kwi adalah murid seorang tokoh besar dunia kang-ouw, yaitu mendiang Hek I Siankouw, bahkan dia menerima banyak gemblengan ilmu silat tinggi pula dari kekasih gurunya itu, yaitu Hwa Hwa Cinjin. Dari dua orang kakek dan nenek ini dia menerima ilmu silat gabungan yang diberi nama Im-yang Lian-boan-kung ilmu yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata. Selain itu, juga Si Kwi pandai sekali main silat dengan siang-kiam, yaitu sepasang pedang dan kini setelah tangan kirinya buntung, tentu saja dia tidak lagi dapat memainkan dua pedang, melainkan tinggal sebuah saja yang biasa dimainkan dengan tangan kanannya. Dan di samping ilmu senjata rahasia Hek-tok-ting, paku beracun hitam yang amat berbahaya, juga dia adalah seorang ahli ilmu gin-kang. Karena kecepatan gerakannya inilah maka di waktu dia belum bersembunyi di Istana Lembah Naga, di dunia kang-ouw dia dijuluki orang Ang-yang-cu (Burung Walet Merah) karena gerakannya seperti terbang dan pakaiannya selalu berwarna merah. Kini, dalam keadaan marah dan penasaran, Liong Si Kwi menghadapi Hok Boan dan mainkan Ilmu Silat Im-yang Lian-hoan-kun yang hebat. Tubuhnya seperti beterbangan menyambar-nyambar dan dalam serangkaian serangan selama tiga puluh jurus pertama, Hok Boan yang terkejut dan kagum itu terdesak hebat! Namun, pemuda sasterawan ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang pandai, ditambah lagi dengan pengalamannya yang banyak di dunia kang-ouw, maka dia masih berhasil mempertahankan diri dengan baik. Tentu saja dia tidak dapat mengandalkan kegesitannya untuk bergerak. Ketika dia menghadapi mendiang Sin-jio Coa Lok, dia kelihatan amat lincah dan gesit karena dia memang menang gesit dibandingkan dengan Coa Lok. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Si Kwi, dia kelihatan lamban! Dia kalah gesit, kalah cepat sehingga tidak mungkin dia dapat mengimbangi dan menandingi lawan ini kalau dia mengandalkan kecepatan. Maka dia tidak mau banyak mengelak, khawatir kalau didahului lawan yang lebih cepat. Dia lebih bersikap tenang dan mengandalkan pertahanannya yang kokoh kuat dengan jalan menangkis dan hanya kadang kala saja dia mengelak. Setiap tangkisannya dilakukan dengan pengerahan tenaga karena pemuda yang cerdik ini segera mengerti bahwa biarpun dalam hal gin-kang dia kalah cepat, namun dalam hal sin-kang dia menang kuat. Setelah tiga puluh jurus lewat dan selama itu Hok Boan hanya dapat mempertahankan diri selalu, kini mulailah dia balas menyerang! Dan serangan-serangan Hok Boan amat kuatnya, mendatangkan angin bersuitan sehingga Si Kwi harus berhati-hati dan sebaliknya dari lawan, dia mengandalkan kecepatan gerakan ketika menghadapi serangan pemuda itu. Diam-diam Si Kwi terkejut dan juga kagum. Sasterawan muda yang bersikap sopan dan halus ini ternyata benar-benar hebat! Dia teringat akan Cia Bun Houw, pendekar sakti pujaan hatinya yang juga kelihatan seperti seorang pemuda sasterawan lemah namun sesungguhnya memiliki kesaktian yang amat luar biasa. Biarpun pemuda ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pendekar muda yang sakti itu, namun keadaan pemuda yang menjadi ketua Padang Bangkai ini cukup menimbulkan rasa kagum di dalam hatinya. Seratus jurus lewat dan pertandingan itu bertambah seru. Kalau diam-diam Si Kwi kagum bukan main dan rasa penasaran di hatinya mulai lenyap karena memang harus diakuinya bahwa lawan ini berbeda dengan Coa Lok dan memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, sebaliknya Hok Boan juga kagum bukan main dan kekagumannya diucapkan berkali-kali oleh mulutnya. “Hebat sekali!” “Ah, engkau amat cepat, nona!” Si Kwi tidak memperdulikan pujian-pujian ini, akan tetapi sebenarnya di dalam hati wanita ini telah timbul semacam perasaan yang aneh. Tadi dia merasa penasaran dan membenci pemuda ini yang dianggap menghinanya. Akan tetapi kini lenyap rasa penasaran di hatinya kerena dia mengakui kehebatan pemuda ini, dan perlahan-lahan rasa bencinya juga menipis mendengar betapa pemuda itu memuji-mujinya dengan suara bersungguh-sungguh, bukan pujian yang bersifat mengejek. Apalagi ketika dia melihat munculnya lima orang pelayannya dalam keadaan sehat dan tidak mengalami cedera. “Nona, cukuplah. Harap nona suka memaafkan aku, sungguh aku tidak berniat untuk memusuhi nona. Cukuplah, biar aku mengaku kalah!” berkali-kali Hok Boan berkata, akan tetapi Si Kwi masih terus mendesaknya. Wanita ini merasa malu ketika lima orang pelayannya muncul dan melihat pertempuran itu, malu bahwa dia masih juga belum dapat merobohkan laki-laki ini. Kalau tidak ada lima orang pelayan itu, agaknya dia akan mempertimbangkan permintaan Kui Hok Boan ini, akan tetapi di depan para pelayannya, dia tidak ingin dilihat bahwa dia memperoleh kemenangan karena lawannya telah mengalah dan mengaku kalah padahal sebenarnya tidak demikian! “A Ciauw, kau cepat ambilkan pedangku!” teriaknya sambil terus menerjang. Melihat A Ciauw mentaati perintah nona majikannya itu dan berlari-lari menuju ke istana, hati Hok Boan merasa tidak enak. Dia tidak takut biarpun nona ini menggunakan pedang, akan tetap hal itu hanya akan membuat permusuhan makin menjadi-jadi, dan dia sama sekali tidak menghendaki ini. Tidak, dia tidak bisa bermusuhan dengan nona yang telah mencuri hatinya ini! Diam-diam dia telah jatuh hati, jatuh cinta kepada Si Kwi dan dia sendiri merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada Si Kwi yang tangan kirinya buntung, dan yang biarpun cantik manis, namun tidak lebih cantik dari pada kebanyakan wanita yang pernah dijumpai dan diperolehnya. Dia tidak tahu mengapa dia begitu tertarik dan suka kepada nona majikan istana lembah itu! Segala sesuatunya pada diri wanita itu menarik hatinya, bahkan buntungnya tangan kiri itu tidak menimbulkan jijik dan buruk, sebaliknya malah menimbulkan rasa iba dan juga kagum betapa dengan tangan kiri buntung nona itu masih demikian hebat! Kalau sampai nona itu menggunakan pedang, maka tidak mungkin dia membiarkan dirinya terancam bahaya begitu saja, dan melawan orang yang bersenjata, apalagi kalau lawan itu selihai nona ini, akan memaksa dia menggunakan tangan besi pula dan sama sekali dia tidak menghendaki hal ini. “Nona, mengapa engkau mendesak aku? Aku datang dengan niat baik, biarlah aku mohon maaf dan mohon diri, lain hari kalau hatimu sudah dingin kembali, aku akan datang berkunjung lagi. Selamat tinggal, nona.” Hok Boan lalu meloncat ke belakang, jauh sekali lalu melarikan diri dari tempat itu setelah melambaikan tangannya kepada Si Kwi sambil meninggalkan senyum dan lirikan matanya yang amat mesra dan memikat. Si Kwi tidak mengejar dan sampai beberapa lamanya dia berdiri bengong memandang ke arah lenyapnya bayangan sasterawan muda itu. A Ciauw datang membawa pedang, akan tetapi melihat lawan nonanya sudah pergi, dia lalu berkata, “Memang sebaiknya kalau dia pergi. Kui-taihiap itu tidak berniat buruk maka tidak baik kalau sampai dia tewas di sini.” Ucapan itu ditujukan kepada teman-temannya atau kepada diri sendiri. Si Kwi menoleh dan memandang kepada pelayan manis berbaju hijau itu. Dia sudah menggerakkan bibirnya akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan mengambil pedangnya dari tangan A Ciauw dan mencari-cari Sin Liong dengan matanya. Akan tetapi di atas pohon itu sudah tidak nampak Sin Liong yang tadi dipondong monyet besar, maka dia lalu kembali ke istana. Ada rasa malu di dalam hatinya untuk bicara tentang pria itu dengan para pelayannya, dan tentang Sin Liong dia tidak khawatir karena kini dia maklum bahwa anak itu mempunyai dua dunia, yaitu dunia bersama monyet-monyet di atas pohon dan dunia bersama dia di dalam istana. Dia tidak mengganggu lagi karena yakin bahwa nanti sebelum malam tiba, Sin Liong tentu akan pulang atau diantar pulang oleh monyet-monyet itu. Dugaannya benar karena sore hari itu, selagi duduk termenung di dalam kamarnya, Sin Liong meloncat masuk melalui jendela! Semenjak peristiwa pertempurannya dengan Hok Boan itu, sering kali Si Kwi nampak duduk termenung di dalam kamarnya atau kadang-kadang di taman bunga di belakang istana. Apalagi semenjak hari itu, sering kali ada kiriman dari Padang Bangkai! Kadang-kadang ada kiriman sutera halus, sepatu baru model terakhir, emas dan permata berbentuk hiasan rambut, bahkan kadang-kadang ada kiriman masakan yang masih panas! Mula-mula, ditolaknya kiriman-kiriman yang datang dari Kui Hok Boan dan sengaja dikirim kepadanya itu, akan tetapi dibacanya surat terlampir yang berisi sajak-sajak indah yang memuji-muji kecantikannya, menghibur kesunyiannya dan huruf-huruf indah itu mengandung rasa cinta dan iba yang amat mengharukan hatinya. Akhirnya, diterimanya juga kiriman-kiriman itu, bahkan beberapa bulan kemudian, Kui Hok Boan yang datang berkunjung secara resmi itu, diterimanya sebagai seorang tamu terhormat! Memang tidak terlalu mengherankah melihat kekerasan hati Liong Si Kwi mencair itu. Dia adalah seorang wanita yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya. Dia pernah jatuh cinta, pernah merasakan belaian cinta kasih seorang pria sungguhpun hal itu terjadi di luar kesadaran pria itu. Dia mencinta Cia Bun Houw dan di dalam batinnya dia sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada pemuda itu. Namun, setelah Cia Bun Houw meninggalkannya (baca cerita Dewi Maut), dia melihat kenyataan yang mengerikan dan amat pahit. Cintanya ditolak. Hatinya hancur luluh. Kemudian, hati itu menjadi dingin membeku. Betapapun juga, dia adalah seorang wanita normal yang masih muda, yang di balik kebekuannya itu sebenarnya bernyala api gairah yang besar, bersembunyi kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria. Keadaan di Istana Lembah Naga yang sunyi, jauh dari dunia ramai, jauh dari kaum pria, sedikit banyak menolong dan menghiburnya, mempertebal kebekuan hatinya terhadap pria. Namun, kini muncul Kui Hok Boan, seorang pria yang masih muda, tampang halus dan juga lihai. Biarpun tidak sesakti Cia Bun Houw, setidaknya merupakah pemuda yang keadaannya seperti Bun Houw. Apalagi Hok Boan pandai merayu, pandai memuji-muji, dan dari sinar mata pemuda itu memancar kasih sayang yang besar dan mesra. Maka, herankah kalau hati wanita itu menjadi terbakar, kalau kebekuan itu mencair dan jantungnya berdebar penuh gairah? Anehkah itu kalau sebulan kemudian semenjak kunjungan resmi dari Hok Boan, dia mau pula membalas kunjungan pemuda itu, pergi ke Padang Bangkai dan mengagumi segala kemajuan yang dicapai oleh daerah itu dibawah pimpinan Kui Hok Boan? Dan anehkah kalau dia tidak marah, melainkan tunduk dengan muka merah dan jantung berdebar ketika pada suatu hari Kui Hok Boan menyatakan cintanya dan mengajukan pinangan kepadanya? Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, kedua pipinya merah sekali, bibirnya tersenyum malu-malu dan jari tangan kanannya memilin-milin rambutnya yang terlepas dari sanggul dan berjuntai ke depan dadanya. “Liong-moi, engkau tahu bahwa lamaranku ini keluar dari hati yang tulus dan mencintamu, maka harap engkau bersikap jujur untuk menjawabku agar aku tidak tersiksa dalam kebimbangan.” Kui Hok Boan mengulang dan mendesak. Setelah berkenalan kurang lebih dua bulan saja, dia sudah menyebut moi-moi (adik) kepada Si Kwi dan wanita itu menyebutnya ko-ko (kakak)! Jantung di dalam dada Si Kwi berdebar. Sungguh dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa akan ada seorang pria yang dapat jatuh cinta kepadanya, bahkan yang akan meminangnya sebagai isteri! Apalagi seorang pria setampan dan selihai Kui Hok Boan! Tentu saja hatinya menerima pinangan ini dengan rasa gembira dan terharu, akan tetapi dia bukanlah seorang wanita muda yang sembrono. Dia maklum bahwa ikatan pernikahan adalah hal yang tidak boleh dipandang ringan, dan merupakan suatu ikatan selama hidup. Oleh karena itu, sebelum diambil keputusan untuk mengikatkan diri dalam suatu pernikahan, dia harus bersikap terus terang, antara kedua fihak harus membuka diri sehingga tidak terdapat rahasia lagi di antara mereka yang kelak hanya akan menggagalkan ikatan itu. Biarpun hal yang dikeluarkan itu amat sukar dan membuatnya merasa malu sehingga dia bicara sambil menundukkan terus mukanya, namun akhirnya dapat juga dia bicara. “Kui-koko, sobelum aku menjawab, sebaiknya engkaulah yang harus lebih dulu mempertimbangkan pinanganmu itu dengan baik dan tidak tergesa-gesa karena engkau belum mengenal betul siapa adanya diriku.” “Liong-moi, apalagi yang harus kupertimbangkan? Biarpun baru dua bulan kita berkenalan, akan tetapi rasanya aku sudah mengenalmu bertahun-tahun lamanya. Aku tahu bahwa engkau adalah Liong Si Kwi, akan tetapi aku lebih tahu lagi bahwa engkau adalah seorang wanita yang hidup sebatangkara di tempat sunyi ini, hidup ditemani lima orang pelayan dan seorang anak angkat yang diasuh oleh monyet-monyet itu. Engkau belum mau menceritakan kepadaku mengapa engkau kehilangan tangan kirimu, akan tetapi agaknya hal itu yang membuat engkau merasa malu dan menyembunyikan diri di sini. Bagiku, engkau adalah seorang wanita yang pandai dan yang menimbulkan rasa iba di hatiku, yang membuat aku ingin menghibur hatimu yang seperti tertekan, melindungi dirimu yang seperti orang putus asa itu. Dan lebih dari semua itu, aku meminangmu karena aku cinta padamu, moi-moi.” Si Kwi memejamkan matanya. Hatinya terharu sekali. Pernyataan itu dahu lu dia rindukan dari mulut Bun Houw, akan tetapi pernyataan itu tidak kunjung muncul, dan kini keluar dari mulut Hok Boan! Selama hidupnya, baru sekali ini ada seorang pria mengaku cinta kepadanya, pengakuan yang dia tahu amat jujur dan setulus hati. Hampir dia menangis. “Kui-koko...” katanya dengan suara gemetar. “Engkau belum tahu akan riwayatku, akan latar belakang hidupku...” “Aku tidak perduli, moi-moi. Tidak perduli apapun latar belakang hidupmu, apapun riwayatmu yang telah lalu, yang kucinta bukanlah Liong Si Kwi yang dahulu, melainkan Liong Si Kwi sekarang ini, yang duduk di depanku ini!” “Tapi, koko... aku... aku bukanlah seorang perawan seperti yang mungkin kau duga...” Muka wanita itu menjadi pucat dan dia tidak berani mengangkat muka. “Hemm, perawan atau bukan bagiku tidak ada bedanya, moi-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah menikah? Ataukah seorang janda?” Liong Si Kwi menggeleng kepalanya, lalu mengangkat ,uka menatap wajah pria itu penuh selidik dan hatinya girang melihat bahwa pernyataan bahwa dia bukan perawan itu, agaknya tidak merobah sikap pria itu terhadap dirinya. “Aku tidak pernah menikah, dan tentu saja bukan janda. Akan tetapi...” kembali dia menunduk, “Aku bukan perawan, bahkan aku... aku pernah melahirkan anak...” Hening sejenak setelah kata-kata ini. Akan tetapi Hok Boan tidak terkejut. Bagi seorang petualang asmara seperti dia, soal perawan atau bukan tidaklah penting, apalagi kini dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita ini. Dan diapun bukan seorang bodoh. Dia sudah banyak pengalaman sehingga sekali jumpa saja diapun sudah tahu bahwa Si Kwi bukanlah seorang perawan. Dan dia tidak perduli. Akan tetapi, mendengar bahwa Si Kwi pernah melahirkan, membuat dia terkejut juga. Bukan main-main kalau begitu hubungan antara Si Kwi dengan ayah dari anak yang dilahirkannya itu. “Dan di mana sekarang dia? Ayah dari anak itu? Apakah masih ada ikatan antara engkau dan dia?” tanyanya meragu. Si Kwi kembali mengangkat mukanya. Terheran dia, juga girang karena kembali tidak ada perubahan sikap Hok Boan setelah mendengar bahwa dia pernah melahirkan! Ah, dia tidak boleh bertindak terlalu jauh. Pria ini hebat, penuh pcngertian dan penyabar! Akan tetapi tentu ada batasnya, maka dia tidak boleh sekali-kali mengemukakan dugaannya Sin Liong adalah anak kandungnya yang dibesarkan oleh monyet. Hat itu tentu kelak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak! Pria ini baik sekali, akan tetapi dia tidak boleh terlalu mendesaknya, tidak boleh mengujinya terlalu berat. “Dia? Dia masih hidup, entah di mana, akan tetapi, Kui-koko, bagiku dia telah mati.” “Apakah dia mencintamu?” Si Kwi menggeleng kepalanya keras-keras. “Sama sekali tidak! Seujung rambutpun tidak!” “Hemm... dan kau? Cintakah kau kepadanya, moi-moi?” Kembali Si Kwi menggeleng kepala, akan tetapi tidaklah begitu keras. “Tidak, kukira tidak, aku menganggapnya telah mati.” “Baik sekali, kalau begitu berarti engkau bebas. moi-moi! Dan anak itu?” “Dia... dia mati ketika terlahir.” “Ah, kalau begitu, tidak ada hal yang memberatkanmu untuk menerima pinang­anku, Liong-moi!” Si Kwi mengangkat mukanya, menatap wajah pemuda itu penuh selidik bercampur keheranan. “Koko! Engkau sudah mendengar semua itu dan engkau masih melanjutkan pinanganmu kepadaku? Engkau seorang pemuda sasterawan yang pandai dalam hal bun dan bu, bahkan kau telah menjadi majikan Padang Bangkai yang terhormat, seorang pemuda pilihan dan yang akan mudah saja men­cari isteri seorang dara cantik yang jauh lebih baik dari pada aku! Koko, berpikirlah dulu sebelum kelak engkau menyesal!” “Ha-ha, engkau terlalu merendahkan diri, sayang. Aku sendiri, biarpun belum\ menikah dalam usia tiga puluh tahun lebih ini, mana berani mengaku perjaka? Ha-ha, apa sih artinya perjaka atau... atau bukan? Yang penting adalah kita saling mencinta. Dan aku cinta padamu, moi-moi, Dengan cintaku ini, aku menerimamu seperti apa adanya, aku menerimamu dengan keperawananmu, atau dengan kejandaanmu, dengan segala kebaikanmu berikut semua cacad-cacad­mu. Nah, engkau sudah mendengar semua, Liong-moi, sekarang jawablah, maukah engkau menerima pinanganku? Bersedia­kah engkau menjadi isteriku?” Sepasang mata itu tak dapat menahan lagi air mata yang bercucuran keluar membasahi kedua pipinya. “Koko... engkau... engkau baik sekali... baik sekali...” Hok Boan bangkit berdiri dan meng­hampiri wanita itu yang duduk sambil menangis dan menundukkan mukanya. Dengan lembut dan mesra, Hok Boan memegang dagu wanita itu, mengangkat muka yang basah itu menghadap kepada­nya, lalu dia bertanya, “Jawablah, moi-moi, maukah kau...?” Dengan air mata masih bercucuran, Si Kwi menggerakkan kepalanya mengangguk dan bibirnya hanya dapat berbisik serak. “Aku mau... aku mau... ah, aku mau, koko...” “Moi-moi...!” Hok Boan sudah mencium mulut itu, menciumi muka yang basah air mata itu, kemudian mencium lagi mulut Si Kwi. Si Kwi tersedu, lalu menggerakkan kedua lengannya, me­rangkul leher Hok Boan dan menariknya sehingga mereka berpelukan ketat. Segala menjadi indah kalau cinta sudah berpadu. Cinta tidak membedakan baik buruk, tidak membedakan derajat atau tingkat. Cinta tidak memandang harta, kedudukan, kepandaian, kebangsaan, agama, kepercayaan, dan sebagainya lagi. Semua itu hanyalah pakaian belaka. Bagi cinta, yang mutlak adalah manusianya dan semua embel-embel itu sudah ter­cakup di dalamnya. Bagi cinta, yang terpenting adalah si dia! Apapun adanya dia, bagaimanapun adanya, karena dalam cinta, dia menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan, dan tanpa si dia yeng dicinta, hidup menjadi tidak lengkap! Dengan cinta, kita menjadi bijaksana dan kebijak­sanaan itu membuat kita dapat melihat bahwa tidak ada yang tanpa cacad di dunia ini. Setiap kali kita menilai segi kebaikannya, sudah pasti muncul segi keburukannya karena baik dan buruk itu adalah saudara kembar, seperti senang dan susah. Tiada sesuatu yang tanpa cacad, dan si dia yang kita cinta itupun termasuk di dalam segala sesuatu yang pasti ada cacadnya, itu kebaikannya dan juga ada keburukannya. Padang Bangkai yang kini menjadi tempat yang indah dan tidak berbahaya untuk dikunjungi orang luar itu terhias meriah. Semua anak buah Padang Bangkai sibuk, dibantu oleh para penghuni dusun di sekitar tempat itu dan suasana yang gembira dan meriah diramaikan oleh suara musik itu menandakan bahwa di tempat itu sedang diadakan pesta. Memang benarlah. Hari itu adalah hari yang gembira, semua orang ber­gembira karena hari itu adalah hari pernikahan antara majikan Padang Bangkai, Kui Hok Boan, dengan penghuni Istana Lembah Naga, Liong Si Kwi! Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan memperlihatkan kepopulerannya di dunia kang-ouw dengan mengundang banyak tokoh kang-ouw! Dengan harta pusaka besar yang ditemukan di Padang Bangkai, tentu saja dia dapat mengadakan pesta besar dengan mengundang tukang-tukang masak dari selatan. Daerah kaki Pegunungan Khing-an-san yang biasanya amat sunyi dan jarang dikunjungi orang itu, pada hari itu menjadi ramai dan sejak kemarin sudah berdatangan tamu-tamu dari selatan yang sebagian besar adalah orang-orang kang-ouw yang bersikap gagah. Dan memang hanya orang-orang kang-ouw sajalah yang berani dan sanggup mengadakan perjalanan sejauh dan sesukar itu. Yang amat menggirangkan dan meng­harukan hati Hok Boan adalah ketika dia melihat munculnya seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam dan bermata lebar. Hwesio ini adalah Lan Kong Hwesio, seorang tokoh Go-bi-pai. Lan Kong Hwesio masih terhitung sute dari Kauw Kong Hwesio, guru Hok Boan yang telah meninggal dunia. Ketika Hok Boan mengirim undangan kepada bekas gurunya, ternyata gurunya itu telah meninggal dunia dan sebagai wakilnya kini yang datang adalah Lan Kong Hwesio atau susioknya (paman gurunya). Sebetulnya, kedatangan Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang telah berusia enam puluh lima tahun ini, sama sekali bukan hanya untuk menghadiri pernikahan bekas murid keponakannya itu. Akan tetapi sesungguh­nya dia berkewajiban untuk menyelidiki, apakah murid Go-bi-pai yang telah diusir oleh mendiang suhengnya dan tidak boleh mengaku sebagai murid Go-bi-pai itu telah berubah menjadi baik dan benar­-benar tidak lagi mencemarkan atau menggunakan nama Go-bi-pai. Dan giranglah hati Lan Kong Hwesio ketika mendapat berita betapa Kui Hok Boan yang dikenal sebagai Kui-taihiap di daerah Khing-an-san, sama sekali tidak pernah menyebut Go-bi-pai, dan lebih lagi, nama sasterawan muda itu cukup baik, bahkan berjasa dalam membangun Padang Bangkai yang tadinya merupakan daerah maut yang berbahaya itu menjadi daerah terbuka dan maju. Maka hwesio ini memasuki ruangan pesta dengan hati gembira. Selain tokoh Go-bi-pai ini, banyak pula terdapat wakil-wakil dari partai-partai persilatan lain, akan tetapi lebih banyak lagi adalah tokoh-tokoh dari golongan yang biasanya dinamakan golongan hitam atau golongan sesat! Memang Kui Hok Boan mempunyai hubungan yang luas sekali di dunia kang-ouw sehingga pesta pernikahannya itu merupakan pertemuan antara dua golongan yang menamakan dirinya golongan putih dan golongan hitam sehingga di dalam pesta itu terdapat ketegangan-ketegangan yang berbahaya. Namun karena mereka semua menghormat tuan rumah yang menjadi pengantin, dan juga karena kedua fihak bersikap hati-hati mengingat bahwa mereka bukan berada di daerah sendiri, melainkan daerah liar yang sebenarnya termasuk wilayah kekuasaan raja liar Sabutai, maka mereka tidak berani menimbulkan kekacauan dan bersikap sabar menanti dan berjaga-jaga saja. Pesta berjalan dengan lancar dan hidangan-hidangan yang dikeluarkan adalah hidangan-hidangan pilihan karena memang Kui Hok Boan tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk menjamu para tamunya. Selagi para tamu menikmati hidangan yang disuguhkan, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan kaget itu menjalar ke dalam dan suasana gembira menjadi geger ketika para tamu melihat puluhan ekor monyet besar kecil menyerbu tempat pesta dipimpin oleh seorang anak kecil yang usianya belum ada empat tahun! Anak itu seperti juga monyet-monyet lainnya, berloncatan dengan gerakan yang amat cekatan dan mereka menyerbu makanan-makanan di atas meja sedangkah para tamu menjauhkan diri karena kaget dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Ketika para orang kang-ouw itu pulih kembali ketenangan mereka, tentu saja mereka menjadi marah ketika melihat bahwa­ yang menyerbu itu adalah monyet-monyet liar besar kecil, maka mereka sudah siap untuk menghajar binatang-binatang itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring, “Cu-wi sekalian harap jangan turun tangan mengganggu monyet-monyet itu!” Semua orang terkejut dan menoleh. Yang bicara pengantin wanita yang sudah bangkit berdiri di samping pengantin pria yang juga sudah berdiri. Dari balik tirai manik yang bergantungan di depan muka pengantin wanita, nampak sepasang mata yang tajam bersinar, lalu terdengar suara nyaring yang ditujukan kepada anak kecil yang masih menikmati makanan di atas meja bersama monyet-monyet itu, “Liong-ji (anak Liong), hayo kau lekas pergi ajak teman-temanmu! Lekas pergi!” Anak itu memandang ke arah pe­ngantin wanita, kelihatan penasaran dan marah, mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya seperti seekor kera marah. “Sin Liong, lekas pergi ajak teman-temanmu!” Kembali Si Kwi membentak dan sekali ini di dalam suaranya terkandung kemarahan. Anak itu menyambar sepotong paha ayam, kemudian meloncat turun, me­ngeluarkan teriakan dan berlari keluar, diikuti oleh monyet-monyet besar dan kecil itu. Lucunya, ada monyet yang menyambar seguci arak, ada pula yang menyambar mangkok dan sumpit. Melihat lagak monyet-monyet itu para tamu ter­tawa dan mereka terheran-heran me­mandang kepada pengantin wanita. Pengantin itu menyebut anak yang memimpin monyet-monyet tadi “anak Liong”! Apa artinya ini? Apakah pengantin itu, yang bagi seorang pengantin usianya sudah tidak muda lagi, telah mempunyai anak? “Cu-wi sekalian yang mulia,” ter­dengar suara Hok Boan sambil menjura ke arah para tamu sedangkan Si Kwi sudah duduk kembali sambil menundukkan mukanya. “Harap cu-wi memaafkan kalau kedatangan rombongan monyet tadi mengejutkan dan mengganggu cu-wi. Hendaknya diketahui bahwa monyet-monyet itu adalah monyet-monyet yang tinggal di sekitar tempat ini dan dipimpin oleh seorang anak kecil. Ketahuilah, memang di sini terjadi hal aneh sekali. Anak itu dua tahun yang lalu ditemukan oleh isteri saya dalam keadaan luka-luka tergigit ular beracun dan dirawat oleh monyet-monyet besar. Isteri saya lalu menolongnya dan merawatnya sampai sembuh, kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama Sin Liong. Akan tetapi, agaknya karena sejak kecil dirawat oleh monyet-monyet, anak itu masih suka bermain-main dengan rombongan monyet-monyet dan tidak kami sangka bahwa hari ini dia mengajak para monyet itu untuk ikut pesta!” Keterangan yang lucu ini disambut suara ketawa, akan tetapi semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik karena membicarakan peristiwa aneh ini. Seorang bocah yang jelas adalah seorang manusia cilik, dirawat oleh monyet-monyet dan hidup di antara monyet-monyet! Akan tetapi, dengan cekatan para pelayan telah membereskan tempat-tempat yang dikacau oleh rombongan monyet tadi, mengganti semua hidangan masakan dan arak. Pesta dilanjutkan lagi dan kini suasana menjadi lebih gembira karena mereka memperoleh bahan percakapan yang mengasyikkan, yaitu anak kecil pemimpin monyet-monyet tadi. Mereka menduga-duga dan mengkhayal menurut perkiraan masing-masing. “Hemm, anak angkatmu itu perlu dididik yang baik, kalau tidak kelak dia bisa menjadi binal,” bisik Hok Boan kepada isterinya. Dengan muka masih menunduk, Si Kwi menjawab dengan bisikan pula. “Aku mengharapkan kebijaksanaanmu untuk mendidiknya.” “Jangan khawatir, anak angkatmu berarti juga anak angkatku. Karena dia anak angkat kita, maka harus dididik. Bukankah akan memalukan kalau anak angkat kita berwatak seperti monyet?” Hok Boan berkelakar, akan tetapi isterinya hanya tersenyum di balik tirai manik sehingga dia tidak melihat betapa wajah isterinya agak pucat dan betapa jantung wanita itu berdebar tegang. Di antara para tamu itu terdapat seorang guru silat dari kota Koan-sun­-jiu, seorang yang bernama Tio Kok Le. Dia mengenal baik Hok Boan maka dia datang pula, akan tetapi diam-diam dia merasa iri hati melihat kemakmuran hidup Hok Boan. Dahulu, pernah dia bersama Hok Boan menjadi teman senasib, dalam keadaan yang kekurangan. Kini, betapa Hok Boan menjadi majikan Padang Bangkai dan menikah dengan wanita cantik, dapat mengadakan pesta pernikahan yang demikian mewah, mengundang banyak tokoh kang-ouw, hatinya menjadi iri. Dia tahu pula akan peristiwa di kota Koan-sui, di mana Hok Boan hampir dikeroyok oleh murid-murid guru silat yang juga dikenalnya, ketika Hok Boan berani main gila merayu anak perempuan guru silat itu. Bahkan dialah yang membantu Hok Boan menyembunyikan diri ketika dikejar-kejar dan membantunya mencari jalan keluar dan lari ke utara. Dia tahu pula siapakah Kui Hok Boan, tahu bahwa temannya ini adalah bekas murid Go-bi-pai yang telah diusir karena berjina dengan isteri petani dan ketahuan oleh gurunya. Kini, melihat keadaan temannya dan melihat pula kehadiran seorang hwesio­ yang diketahuinya sebagai seorang tokoh Go-bi-pai, susiok dari temannya itu, dia memperoleh kesempatan untuk melampiaskan iri hatinya dengan jalan merusak suasana yang meriah dan tenang itu! Keberaniannya diperbesar karena dia minum terlalu banyak arak untuk menutupi iri hatinya, dan kini dia bangkit berdiri, membawa guci dan cawan arak, agak terhuyung menghampiri tempat duduk kedua mempelai. “Ha-ha-ha, Kui-hiante, apakah engkau sudah lupa kepadaku?” Tio Kok Le berkata sambil tertawa, berdiri di depan pengantin pria yang masih duduk. Kui Hok Boan tersenyum, “Tentu saja tidak, Tio-twako. Duduklah dan nikmatilah hidangan kami seadanya.” “Cukup... cukup... aku hanya ingin memberi selamat kepadamu dengan secawan arak, Kui-hiante.” Biarpun dia agak limbung namun guru silat ini masih dapat menuangkan arak dalam cawan itu kepada Hok Boan. Pengantin pria ini maklum bahwa bekas sahabat baiknya ini sudah mabok, maka dia menerima cawan itu dan berkata, “Terima kasih atas ucapan selamatmu, twako.” lalu dia minum cawan itu sampai kosong. “Eh, mana walimu, Kui-hiante? Aku ingin memberi selamat kepada walimu.” Hok Boan mengerutkan alisnya. “Tio-twako, agaknya engkau telah lupa bahwa aku tidak mempunyai ayah bunda lagi.” “Ha-ha-ha, yang kumaksudkan adalah gurumu, hiante.” Makin dalam kerut di antara kedua mata pengantin pria itu. “Tio-twako, kau tahu aku tidak mempunyai guru.” “Ah, di hari baik begini mengapa membohong, hiante? Engkau adalah murid Go-bi-pai yang pandai dan terkenal! Engkau adalah Kui-taihiap, jagoan muda Go-bi-pai, seorang tokoh kang-ouw yang baru di bagian utara ini!” Suaranya meninggi dan mengeras sehingga kini banyak tamu yang sudah menoleh dan memperhatikan guru silat itu. “Tio-twako, sudahlah. Bekas suhuku juga telah meninggal dunia. Kembalilah ke tempat dudukmu, twako, dan terima kasih atas kebaikanmu,” Hok Boan membujuk. Akan tetapi tentu saja Tio Kok Le tidak mau berhenti sampai di situ, karena memang dia bermaksud untuk mengacau dan membongkar rahasia riwayat pengantin pria yang menimbulkan iri dalam hatinya itu. Dia menoleh ke arah tempat duduk hwesio tinggi besar muka hitam itu dan tiba-tiba wajahnya berseri, “Haaa, bukankah beliau itu Lan Kong Hwesio, tokoh Go-bi-pai yang menjadi susiokmu, hiante?” Tio Kok Le lalu menghdmpiri tempat itu sambil membawa guci arak dan cawan kosong. “Tio-twako, jangan...!” Hok Boan mencoba untuk mencegah, akan tetapi guru silat itu telah menghampiri Lan Kong Hwesio dengan langkah lebar dan diikuti oleh pandang mata banyak tamu yang merasa tertarik, dia lalu menjura di depan hwesio bermuka hitam itu. “Locianpwe, harap locianpwe sudi menerima pemberian selamat saya kepada locianpwe untuk hari yang berbahagia ini.” Tentu saja pendeta itu tidak menerima suguhan cawan arak itu dan dengan alis berkerut dia bertanya, “Apakah maksudmu, sicu?” Para tamu kini memandang ke arah mereka dengan penuh perhatian. “Ah, bukankah locianpwe ini Lan Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai?” Tio Kok Le bertanya dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para tamu yang kini makin memperhatikan. “Benar, pinceng seorang murid Go-bi-pai, bukan ­tokoh besar. Habis, mengapa?” “Ha, kalau begitu saya tidak keliru. Kui Hok Boan adalah murid mendiang Kaw Kong Hwesio tokoh Go-bi-pai dan pengantin pria adalah keponakan locianpwe. Bukankah sepantasnya kalau locianpwe saya anggap sebagai walinya dan saya memberi selamat kepada locianpwe dengan secawan arak?” Pendeta itu memandang dengan penuh selidik kepada wajah guru silat itu. “Omitohud, pinceng tidak mengerti apa yang sicu maksudkan dengan sikap ini, akan tetapi ketahuilah bahwa sudah sejak lama Kui-sicu bukan lagi terhitung murid Go-bi-pai. Pinceng datang bukan sebagai paman gurunya, melainkan sebagai tamu biasa, karena itu tidak dapat menerima selamat itu.” “Wah, wah ini namanya penasaran!” Guru silat itu berseru dengan muka merah, ditujukan kepada para tamu. “Pengantin pria adalah seorang gagah perkasa dan berkedudukan tinggi sebagai majikan Padang Bangkai dan sudah jelas dia adalah tokoh Go-bi-pai, kenapa tidak diakui oleh golongan atasan dari Go-bi-pai sendiri? Locianpwe, agar tidak membikin para tamu yang terdiri dari kaum kang-ouw menjadi penasaran, sukalah locianpwe memberi tahu apa sebabnya pengantin pria tidak lagi dianggap sebagai murid Go-bi-pai?” Wajah Kui Hok Boan menjadi pucat dan dia memandang kepada guru silat itu dengan marah. Dia tidak tahu mengapa bekas sahabat baiknya itu secara tiba-tiba saja menyerangnya dengan ucapan seperti itu? Kalau saja dia tidak sedang menjadi pengantin dan menjadi tuan rumah, tentu sudah diserangnya bekas sahabat yang kini berkhianat itu, agaknya berusaha untuk mencemarkan namanya di dalam pesta ini! “Sicu, urusan Go-bi-pai adalah urusan kami sendiri, sicu sebagai orang luar tidak berhak mencampuri atau bertanya-tanya!” ucapan hwesio itu dilakukan dengan nada suara menegur dan menggeledek sehingga terdengar oleh semua orang. Diam-diam Hok Boan kagum dan berterima kasih kepada bekas susioknya itu. Tio Kok Le menyeringai ketika mendengar bentakan itu. Dia tidak berani main-main di depan hwesio ini, akan tetapi dia merasa belum puas kalau belum berhasil menyeret nama teman atau bekas teman yang kini makmur itu ke lumpur penghinaan, maka dia berkata lantang “Cu-wi sekalian, apakah cu-wi ingin mendengar mengapa pengantin pria tidak diakui lagi sebagai murid Go-bi-pai? Apakah cu-wi ingin mendengar apa yang terjadi di kota Koan-sui ketika pengantin pria masih menjadi sahabat baikku senasib sependeritaan? Ha-ha, cu-wi akan tertawa kegelian mendengar cerita-cerita saya yang amat lucu...”