Akan tetapi kata-kata itu disambut cepat oleh suara yang halus ramah, suara Sin-to Bouw Khi “Seekor harimaupun akan mundur kalau melihat munculnya singa, maka biarlah aku yang bodoh menarik diriku sebagai calon bengcu dan aku kini menjadi pendukung saja dari seorang di antara Lam-hai Sam-lo untuk menjadi bengcu!” Sikap inipun dapat dimengerti karena Si Maling Sakti ini memang pernah ditolong oleh Lam-hai Sam-lo, yaitu ketika beberapa tahun yang lalu dia tertangkap oleh kepungan penjaga keamanan kota Amoi yang dipimpin oleh seorang pendekar, dan Lam-hai Sam-lo yang akhirnya menghubungi pembesar dan dapat mengeluarkannya dari tahanan. Di samping itu diapun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk mengalahkan tiga orang kakek sakti itu. “Terima kasih atas pengertianmu, Sinto!” kata Hai-liong-ong Phang Tek yang kembali menghadapi ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, “Apakah masih ada calon yang lain, ataukan hanya kalian berdua saja?” “Karena yang terhormat Sin-to Bouw Song Khi mengundurkan diri, maka yang tinggal hanya dua orang yaitu sute Tong Siok dan Kim Lok Cinjin,” jawab Sin-ciang Gu Kok Ban dengan suara kering tanda bahwa dia marah sekali. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Ji-wi suheng turunlah, biarlah mereka berhadapan dengan aku!” kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun di tinggi besar muka tengkorak. Dua orang saudaranya itu mengangguk dan dengan ringan mereka berdua meloncat turun dari atas panggung, berdiri di samping panggung dengan lagak angkuh. Terdengar bentakan nyaring dan Kim Lok Cinjin sudah berada di atas panggung dan menjura kepada Sin-ciang Gu Kok Ban. “Karena Tong-sicu sebagai wakil Sin-ciang Tiat-thouw-pang merupakan tuan rumah, biarlah pinto yang lebih dulu maju.” Kim Lok Cinjin adalah tokoh Pek-lian-kauw yang wataknya pemarah dan tadi baru saja dia mengalami penghinaan ketika muridnya dipermainkan oleh seorang bocah. Maka karena dia sedang marah munculnya Lam-hai Sam-lo yang tidak disukanya itu menambah kemarahannya. Dia maklum bahwa kepandaian tiga orang kakek itu luar biasa sekali, namun mengingat bahwa mereka itu adalah antek-antek pemerintah yang dibencinya, dan mengingat pula bahwa dia harus mempertahankan nama Pek-lian-kauw, maka dia menjadi nekat hendak melawan. “Sudah lama pinto mendengar akan nama besar Lam-hai Sam-lo, maka kini berhadapan dengan seorang di antara mereka, sungguh merupakan kehormatan besar bagi pinto untuk mohon sedikit petunjuk,” katanya sambil menjura kepada si muka tengkorak itu. “Ha-ha-ha, engkau terlalu merendah, totiang. Aku sudah mendengar bahwa tingkat kepandaianmu hanya sedikit di bawah tingkat Kim Hwa Cinjin, maka engkau tentu lihai sekali. Marilah kita main-main sebentar!” kata orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo. Dua orang jago tua itu sudah memasang kuda-kuda. Sebagai seorang tokoh besar dari Pek-lian-kauw, Kim Lok Cinjin segera memasang kuda-kuda Pek-lian (Teratai Putih) sedangkan lawannya yang menjadi pewaris dari mendiang Lam-hai Sin-ni sudah memasang kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk cakar naga, karena Ilmu Liong-jiauw-kun (Ilmu Silat Cakar Naga) merupakan ilmu andalan Lam-hai Sam-lo. Mereka bergerak sebentar saling mengelilingi dan melihat betapa tokoh Pek-lian-kauw itu mengambil kedudukan mempertahankan, suatu sikap yang berhati-hati dalam pertandingan, sambil mengeluarkan gerengan nyaring Hek-liong-ong Cu Bi Kun sudah mulai membuka serangan. Kedua lengannya bergerak seperti sepasang kaki depan naga, menyambar ke arah lawan dari kanan kiri dan atas bawah dengan kecepatan kilat dan mengandung tenaga yang sampai mengeluarkan bunyi saking kuatnya. Namun wakil Pek-lian-kauw itu sudah waspada, cepat menggunakan keringanan tubuhnya bergerak ke belakang, mengelak dan mengibaskan kedua tangannya keluar dan ke kiri kanan untuk menangkis kedua tangan lawan yang mengejarnya. “Plak! Plak! Plak! Plak!” Empat kali mereka saling mengadu pergelangan tangan dan akibatnya, kedua pundak Kim Lok Cinjin tergetar sedikit, tanda bahwa dalam adu tenaga sin-kang ini, dia masih kalah kuat setingkat. Namun, Kim Lok Cinjin tidak menjadi gentar dan secepat kilat kedua kakinya mengirimkan tendangan berantai, yaitu semacam Ilmu Tendangan Siauw-cu-tui yang dilakukan secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian saling susul dan amatlah berbahaya bagi lawan karena setiap tendangan mengarah bagian yang berbahaya dan mematikan. Menghadapi tendangan seperti itu, terpaksa Hek-liong-ong mengelak mundur dan akhirnya dia menggerakkan kedua tangan untuk mencengkeram dan menangkap kaki yang menyambar-nyambar itu. Hal ini menghentikan serangan wakil ketua Pek-lian-kauw karena tentu saja dia tidak mau membiarkan kakinya kena dicengkeram hancur. Pertandingan berlangsung makin seru dan sampai lewat lima puluh jurus belum juga ada yang nampak akan memperoleh kemenangan. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo masih jauh lebih tinggi, akan tetapi oleh karena wakil ketua Pek-lian-kauw itu bersilat dengan hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melindungi dirinya, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan dan belum terkalahkan. Hal ini membuat Hek-liong-ong Cu Bi Kun menjadi penasaran dan marah sekali. Tadinya dia memandang rendah lawannya dan ternyata sampai sekian lamanya dia belum mampu merebut kemenangan, bahkan melukai lawanpun belum. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan nyaring dan nampaklah sinar menyilaukan mata berkelebat, disusul muncratnya darah dan teriakan wakil ketua Pek-lian-kauw yang terhuyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terobek oleh golok di tangan Hek-liong-ong. Kiranya Cu Bi Kun dengan kecepatan kilat tadi telah mencabut dan mempergunakan goloknya untuk menyerang dan karena memang keahliannya adalah main golok besar itu, maka Kim Lok Cinjin tak sempat mengelak dan pundaknya terkena bacokan golok sehinga terluka cukup parah. “Memandang muka Kim Hwa, Cinjin, biarlah totiang boleh mundur!” kata Cu Bi Kun sambil melintangkan goloknya di depan dada dengan sikap angkuh. Dengan mata mendelik karena penasaran, akan tetapi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, wakil ketua Pek-lian-kauw itu meloncat turun dari atas panggung, lalu pergi dari situ sambil memegangi pundaknya, diikuti oleh para anggauta Pek-lian-kauw yang berada di situ. “Tidak adil ! Sebelum seratus jurus telah mempergunakan senjata, itu namanya curang!” Tiba-tiba Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan mukanya bopeng itu meloncat ke atas panggung, toya besi di tangannya dan matanya mendelik memandang ke arah Hek-liong-ong. “Hemm, apa maksudmu?” bentak Hek-liong-ong marah. “Sebagai seorang cianpwe, perbuatanmu melukai Kim Lok Cinjin dengan senjata sebelum pertandingan tangan kosong lewat seratus jurus amatlah tercela. Pertandingan ini diadakan di antara teman untuk memilih bengcu, bukan pibu di antara musuh!” tegur orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu dengan marah. “Hemm, Tiat-thouw Tong Siok, engkau bukan anak kecil lagi dan engkau tentu tahu bahwa ilmu silat amatlah luasnya, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata merupakan bagian dari ilmu silat, dan di dalam setiap pertandingan ilmu sliat pasti terdapat bahaya terluka atau terbunuh. Sekarang, calon terakhir tinggal engkau seorang, kalau engkau takut terluka, lebih baik mengundurkan diri sebelum terlambat.” “Hek-liong-ong Cu Bi Kun, omonganmu sungguh keterlaluan!” Tiat-thouw Tong Siok membentak ketika mendengar ucapan yang sifatnya meremehkan bahkan menghina itu. “Sute, sudahlah, serahkan saja kedudukan bengcu kepada Lam-hai Sam-lo, kita tidak perlu turut campur!” Terdengar Sin-ciang Gu Kok Ban berseru karena dia mengkhawatirkan keselamatan sutenya. Akan tetapi Tiat-thouw Tok Siok adalah seorang yang berhati keras. Dia telah dihina orang di depan orang banyak, mana dia mau sudah begitu saja? “Biarlah, suheng. Ini sudah bukan urusan perebutan kedudukan bengcu lagi, melainkan urusan pribadi yang menyangkut kecurangan dan penghinaan. Kim Lok Cinjin telah dicurangi, sekarang aku dihina orang, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Harap suheng jangan mencampuri, urusan ini adalah tanggunganku pribadi. Marilah, Hek-liong-ong, kita membuat perhitungan sebagai akibat kecurangan dan penghinaanmu tadi!” Sambil berkata demikian, Tong Siok sudah menggerakkan toya besinya dan dia sudah menyerang dengan ganasnya ke arah Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang menyambutnya dengan tertawa besar. Tingkat kepandaian Tiat-thouw Tong Siok masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kim Lok Cinjin, maka kalau wakil ketua Pek-lian-kauw itu saja tidak kuat melawan Hek-liong-ong, apalagi dia. Baru lewat belasan jurus saja sudah nampak betapa sinar toya sudah dibelit dan ditekan oleh sinar golok dan orang ke dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu hanya mampu mengelak saja tanpa sempat membalas lagi dan beberapa kali terdengar ketawa Hek-liong-ong mengeluarkan suara ketawa penuh kebanggaan. Dia memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya, dan diapun bukan orang bodoh maka dia tidak ingin mencelakai Tong Siok, hanya ingin menundukkan saja. Kalau dia bertiga kakak-kakaknya ingin menguasai semua orang di kalangan kaum sesat, tentu saja dia tidak boleh sembarangan membunuh. “Pergilah!” Tiba-tiba Hek Liong-ong berseru dan goloknya membabat keras sekali ke arah toya yang melintang itu. “Trang... krekkk!” Dan toya di tangan Tong Siok patah menjadi dua potong! “Ha-ha-ha, aku maafkan engkau. Turunlah!” kata Hek-liong-ong Cu Bi Kun dengan lagak sombong sekali. Tiat-thouw Tong Siok membanting dua potongan toyanya dengan mata mendelik, lalu dia berteriak nyaring, “Hek-liong-ong, aku harus mengadu nyawa denganmu!” Setelah berkata demikian, dia lalu menyeruduk ke depan dengan kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk, mengarahkan kepalanya ke perut lawan. Itulah ilmunya yang membuat dia dijuluki Tiat-thouw (Kepala Besi), dan di dalam serudukan kepalanya ini terkandung tenaga yang dahsyat sehingga tembok yang kokohpun akan roboh dan pecah oleh serudukan kepalanya itu. “Sute...!” Sin-ciang Gu Kok Ban berteriak namun sudah terlambat karena sutenya itu sudah menyerang dengan cepat. “Ha-ha-ha!” Hek-liong-ong tertawa dan sengaja memasang perutnya yang gendut untuk menerima serudukan itu tanpa mempergunakan goloknya. “Dukkk...!” Dengan hebatnya kepala botak itu menumbuk perut dan tubuh Hek-liong-ong tergetar, akan tetapi hanya untuk sebentar saja karena tiba-tiba kepala itu sudah menancap ke dalam perut, seperti disedotnya. “Sluppp...!” Kepala itu terbenam ke dalam perut sampai ke hidung! Ketika merasa betapa kepalanya tersedot ke dalam, Tong Siok menjadi nekat dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram ke atas! Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-liong-ong menangkap pergelangan kedua tangan itu sehingga kini tinggal kedua kaki Tong Siok saja yang meronta-ronta! “Locianpwe, harap menaruh kasihan kepada sute!” teriak Sin-ciang Gu Kok Ban yang mengkhawatirkan keselamatan sutenya. “Hemmmm, dia menghendaki nyawaku, mana begitu mudah?” Tiba-tiba Hek-liong-ong memperkeras cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tong Siok dan terdengar suara “krekk!” dua kali dan kedua pergelangan itu patah tulangnya dan menjadi lemas! Pada saat itu nampak berkelebat sesosok bayangan ke atas panggung dan semua orang yang sudah merasa tegang menyaksikan kejadian mengerikan di atas panggung itu menjadi makin tegang ketika mengenal bahwa yang meloncat ke atas panggung itu adalah Sin Liong, pemuda remaja yang tadi telah menggegerkan pertempuran pemilihan bengcu itu. Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri Tong Siok yang kepalanya masih menancap di perut Hek-liong-ong, lalu dia menepuk pinggul Tong Siok secara main-main sambil berkata dengan lantang. “Eh, kenapa main-main dengan perut orang?” Begitu tangan Sin Liong menepuk pinggul itu, terdengar suara “plakk” dan tubuh Hek-liong-ong menggigil! Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa panas, akan tetapi tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala dan menyerang perut sehingga Hek-liong-ong terkejut bukan main, maklum bahwa pemuda remaja itu main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya. Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok dan akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut. “Terima kasih...!” Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suhengnya. Pada saat itu, Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung mereka itu menghadang Sin Liong dari depan dan belakang. Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sutenya dan merasa lega bahwa sutenya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali. “Siapa engkau, bocah setan?” bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam. “Hemm, Lam-hai Sam-lo memang jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang,” kata Sin Liong dengan marah. “Ah, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?” teriak Hai-liong-ong Phang Tek yang lalu menoleh ke kanan kiri, lalu menantang, “Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!” Sin Liong tersenyum, “Suheng sudah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo.” “Keparat!” Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki gin-kang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong! Kini Sin Liong tidak berani lagi main-main seperti ketika dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena diapun maklum betapa lihainya tiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya. Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng sepenuhnya. “Plakk...! Aihhhhh...!” Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat dan sin-kangnya membanjir keluar keluar. Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari dan menyelidiki hal itu penuh keheranan. Kini, cepat dia menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah di dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi-i-beng! “BOCAH SETAN! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?” Tiba-tiba orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian. Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek sedangkan tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun. Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun telah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi “subengnya” dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya. Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong telah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tidak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, biarpun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sesungguhnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring! “Aihhh!” “Ohhh...!” Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek sudah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan telah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong. Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan Thi-khi-i-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka diapun tidak lagi mempergunakan Thi-khi-i-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu. “Manusia-manusia curang!” bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu. Dia membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu mengakibatkan angin atau hawa pukulan melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat! Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga sudah pulih kembali tenaganya, dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung. “Bocah setan, hayo katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?” bentak Hai-liong-ong Phang Tek. Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya dan menjawab lantang. “Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!” Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat membenci Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka dengan kakeknya. Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam. Akan tetapi, mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apalagi ilmunya yang disebut Thi-khi-i-beng, dan juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci. Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi-i-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebat seperti yang diwarisi oleh Sin Liong, apalagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sin-kang dari Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian telah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suhengnya, Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biarpun di dalam tubuhnya telah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam latihan. Padahal, tiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar. Maka, biarpun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga tiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung dan meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.   Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini! Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu, membalik dan tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Maklumlah dia bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sin-kang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya. Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sebenarnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya! Sin-ciang Gu Kok Ban yang cepat menolong sutenya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah dan memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadipun tidak berdaya menyaksikan keadaan sutenya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu telah menyelamatkan nyawa sutenya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tidak berani mencampuri, sungguhpun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos. Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan main dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu kini sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan, akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biarpun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali. Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain saling pandang dan juga mereka menonton dengan penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu. Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas kalau dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya. “Hyaaaaattt... aihhh!” Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main. Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang dan kedua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong. Biarpun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan saja, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan, maka sekali ini, dia benar-benar diuji dan dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tak mengenal lelah itu. Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia memiliki keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biarpun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya. “Hemmm...!” Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khi-kang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya. “Aihhhh...!” Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main. Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri dan tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu selama hidupnya dan biarpun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat karena totokan itu meluncur terus, agaknya takkan dapat dielakkannya lagi. “Celaka!” teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suhengnya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek adalah pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang dapat berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia sehingga Ouwyang Bu Sek sendiripun tidak sanggup mempelajarinya! Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dengan diancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayun tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, telah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya. “Wuuuutttt...!” Singggg...!” Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata. “Krekkk...! Takkk...!” “Ahhhh...!” “Heiii...!” Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari malapetaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali dan Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sudah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu dan terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu! Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te-sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari “pengoperan” Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu penuh dengan tenaga Thian-te-sin-ciang, golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te-sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sin-kang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam. Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka kini merasa gentar sekali. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, “Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!” Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar. Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik. Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya amat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya. Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang meringkik-ringkik, mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo. “Sam-lo, apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?” Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya dan tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat sekali. Maka terdengarlah tepuk tangan memuji di sana-sini karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang hebat. Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda tampan itu dengan sikap amat menghormat! Dan kagetlah mereka ketika mereka mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata, “Mohon paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata mendapat gangguan dari pemuda ini.” Ributlah keadaan di situ ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu “pangeran”. Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang. “Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!” Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut cara masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung. Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi! Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang. Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar suaranya yang lantang, “Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Eh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini? Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?” “Ampun, pangeran. Sebetulnya hamba bertiga telah dapat memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!” Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak. Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong dan sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah seperti orang yang kurang percaya. “Dia ini? Bocah ini mampu mengacau kalian bertiga?” Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang. “Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main...! Ingin aku mencobanya!” Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar! Melihat betapa jarum-jarum itu hanya nampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang amat berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini. Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas dan mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, betapapun lihainya, tentu akan sukar meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu. Namun, sejak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong sudah siap siaga dan waspada. Dia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut dan meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te-sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia membuat gerakan mencengkeram ke depan dan jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya! “Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!” katanya dan dengan gerakan sembarangan dia melemparkan jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil memandang tajam wajah yang tampan itu. “Ehh...?” Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, melainkan karena mendengar teguran Sin Liong. “Kau... siapakah kau?” Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong. “Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat sekali!” Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, “Sam-lo, dia ini sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!” Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong! Sebetulnya, tidak ada sedikitpun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata telah menjadi pangeran ini, akan tetapi karena sikap Han Houw benar-benar ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, diapun tentu saja merasa tidak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata. “Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau menganggap aku sebagai sahabatmu.” “Eh? Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?” Sin Liong ingat akan ucapan itu. “Akan tetapi, sucimu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!” “Ah, suci adalah suci, dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik kaisar! Kautunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, akan tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!” Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang, “Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biarlah Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk kepada pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan dapat diselesalkan oleh bengcu. Siapa berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah dan akan dibasmi!” Biarpun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apalagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka. Biarpun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tidak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri. “Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tidak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!” Komandan pasukan yang bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu cepat menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biarpun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ. “Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan mari kita pergi. Aku ingin mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!” kata Pangeran Ceng Han Houw. Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak banyak mempunyai sahabat di tempat itu, tidak membantah, lalu dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.   “Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!” Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi dan pangeran itu lalu menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu dan membalapkan kudanya yang besar dan gagah. Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan diapun membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda inipun berpacu dengan cepatnya, akan tetapi karena betapapun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh dan akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan. Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu sudah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan setengah lingkaran. Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi. Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang masih duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju ke tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu benar bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka diapun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka. “Bunuh pembesar lalim!” “Basmi penindas rakyat!” Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi makin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu sudah lenyap dan kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak dan menjauhi mereka, akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka telah mengepung dan mulai menyerang. Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan gin-kang yang indah dari Han Houw yang tadi mempergunakan ketika kudanya meringkik-ringkik itu telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka! Sin Liong tak dapat menahan tawanya ketika dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan tiba-tiba Han Houw tertawa berkata, “Hei, kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!” Kiu-bwee-houw dan teman-temannya terkejut dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek. “Hayo kalian cepat berlumba, siapa yang lebih dulu dapat merobohkan aku!” Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlumba untuk merobohkan sang pangeran. Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu mempergunakan langkah-langkah sakti yang amat lihai dan memang dugaannya benar, Ceng Han Houw telan mempergunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok tujuh orang anggauta Pek-lian-kauw, biarpun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggipun jangan harap akan dapat menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah! “Ha-ha, Sin Liong, kaulihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!” kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut. Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu! “Salah kalian sendiri kalau tadi tidak bersembahyang untuk arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!” kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apapun. Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran. “Kau... kau membunuh mereka?” Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum. “Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku?” Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. “Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukan mereka semua itu dibunuh begitu saja?” Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar lalu melepaskannya lagi. “Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apalagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan suka sekali kalau berhasil membunuhku. Soalnya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, dan dalam hal kematian, tentu saja aku memilih mereka yang mati daripada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggauta pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorangpun yang lolos!” “Betapa kejam!” Pangeran itu tertawa. “Engkau belum mengerti benar apa itu yang kaunamakan kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau kalau aku tadi tidak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing scrigala. Anjing-anjing itu mati olehku, engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andaikata sang harimau yang habis dikeroyok dan digerogoti dagingnya oleh serigala-serigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!” Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini adalah sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya. “Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukan dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu.” dia mencoba untuk membantah. “Ha-ha-ha, melepaskan mereka agar mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan menghadangku pula di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara tentang pemberontak-pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan segerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan.” Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu. “Ah, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?” Han Houw tertawa. “Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan.” “Ah... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?” Han Houw tersenyum dan mengangguk. “Tidak resmi benar. Aku sekalian ingin pesiar. Setelah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku menghubungi mereka dan akulah yang menjagoi mereka agar memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan.” Sin Liong mengangguk-angguk. “Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?” “Ha-ha-ha, kau cerdik!” Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. “Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke manapun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah engkau berambisi menjadi bengcu?” “Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri telah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lalu ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu oleh Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Hebat memang pendekar itu. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu waktu aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku.” Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang sudah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya! Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak memperdulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya bukan manusia baik-baik. Buktinya telah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali mengunjungi kuburan ibu kandungnya. “Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!” Tiba-tiba dia berkata. “Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!” “Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti menjadi sahabatmu, pangeran,” jawab Sin Liong dengan suara dingin. “Eh? Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkaupun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau kau menyebutku twako saja, dan aku menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walaupun hanya kakak beradik angkat saja.” Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini baik sekali kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Baiklah, Houw-ko.” Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja. “Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!” katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ. “Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?” tanyanya heran. Han Houw tertawa. “Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lain. Senang sekali berburu ke sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?” Sin Liong tersenyum dan bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk. “Baiklah.” Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi ketika Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat daripada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat. Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi dan tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw dan Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung! Sambil tertawa-tawa Han Houw dan Sin Liong mengaburkan kuda mendaki daerah pegunungan yang penuh dengan hutan itu. Tiba-tiba Han Houw yang membalapkan lebih dulu, menghentikan kuda itu dan membalikkan tubuh kuda menanti dan menghadap ke arah Sin Liong yang datang menyusul. Dengan busur di tangan kiri pangeran itu memberi tanda kepada Sin Liong agar berhenti. Sin Liong menahan kendali kudanya dan berhenti di depan Han Houw, memandang ke kanan kiri karena dia mengira bahwa tentu akan terjadi sesuatu, akan tetapi sunyi saja di sekeliling tempat itu. “Mengapa, berhenti, Houw-ko?” Akhirnya dia bertanya. “Liong-te, seharusnya engkau siap dengan busurmu seperti ini, tidak kaugantungkan di punggung seperti itu. Kita sudah memasuki daerah perburuan,” kata pangeran itu sambil tersenyum. Sin Liong juga tersenyum. “Ah, biarlah engkau yang akan mempergunakan busur dan anak panahmu kalau muncul binatang. Aku... aku sesungguhnya belum pernah memanah...” “Ah, benarkah? Engkau demikian gagah dan kepandaianmu tinggi, masa tidak dapat menggunakan anak panah?” Sin Liong menggeleng kepala. “Aku belum sempat belajar, twako. Dan pula, dengan perut sekecil perutku ini, perlu apakah membunuh binatang besar untuk dimakan? Tidak akan habis dan sia-sia saja.” “Aihh, tanpa anak panah, mana mungkin engkau akan dapat merasakan nikmatnya panggang hati harimau dan merasakan kaki biruang? Dan anak panah bukan hanya senjata untuk memburu, Liong-te, melainkan juga merupakan alat perang yang ampuh dan yang harus dipelajari oleh setiap orang laki-laki yang gagah. Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang kaumiliki, engkau akan dapat menguasainya dengan mudah. Mari kuajari sebentar! Kauambil busurmu, dan perhatikan ini. Begini caranya meletakkan anak panah, begini menarik busur. Tangan kiri yang memegang busur harus kuat dan kokoh seperti baja, dan jari tangan yang memegang anak panah dan menarik busur haruslah tetap dan sedikitpun tidak boleh bergoyang. Pandang mata dan perasaan hati harus seimbang ditujukan kepada sasaran. Lihat, aku membidik cabang melintang di sana itu, pada ranting paling ujung yang tak berdaun!” Pangeran itu membidikkan busur dan panahnya, menarik tali dan terdengar suara menjepret disusul patahnya ranting yang kena disambar oleh anak panah! Tepat sekali bidikan itu dan diam-diam Sin Liong kagum sekali karena pangeran itu benar-benar seorang pemanah yang amat mahir. Maka diapun mulai belajar memanah dan memang tepat seperti yang dikatakan oleh Han Houw, dengan tenaga yang dimilikinya, dengan mudah saja dia dapat menguasai senjata ini setelah mencoba beberapa kali. Akan tetapi ketika senja telah mendatang dan pangeran itu mengajaknya untuk mencari bahan makan malam, Sin Liong membiarkan pangeran itu yang merobohkan seekor kijang muda dengan anak panahnya. Anak panah yang dilepas oleh Han Houw dari jauh itu dengan jitu sekali menembus leher kijang muda itu dan lewat senja, di bawah penerangan api unggun yang merah, sibuklah dua orang pemuda itu memanggang daging dan hati kijang. Harus diakui oleh Sin Liong bahwa bau daging panggang yang masih segar itu sedap bukan main, apalagi karena perutnya memang telah lapar sekali, dan suasana di dalam hutan bersama Han Houw amatlah menggembirakan. Mereka makan panggang daging kijang yang lunak dan gurih sampai kenyang dan minum air dari sumber yang mengalir merupakan anak sungai jernih di dalam hutan. Kemudian mereka memilih tempat yang bersih dan enak, di bawah sebatang pohon besar yang ditilami rumput, untuk tempat istirahat melewatkan malam. Ketika mereka duduk saling berhadapan sambil bersandar pada batang pohon dan diterangi api unggun, Han Houw mengajak Sin Liong bercakap-cakap dan pangeran ini banyak bertanya tentang diri Sin Liong. Akan tetapi, pemuda remaja ini tidak suka banyak bercerita tentang dirinya sendiri, maka jawabnya selalu singkat saja dan bersifat mengelak. Ketika ditanya lentang orang tuanya, Sin Liong menjawab bahwa dia tidak mengenal ayah bundanya, bahkan dia hanya tahu dirinya dirawat oleh monyet-monyet. “Ah, jangan engkau merendah, Liong-te. Bukankah suci dahulu bilang, bahwa engkau adalah putera dari pendekar Cia Bun Houw, cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong?” Sin Liong menatap wajah pangeran itu dengan penuh selidik. “Kalau engkau menyangka demikian, mengapa engkau mengajak aku untuk bersahabat? Bukankah engkau memusuhi mendiang Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw? Kalau engkau menganggap aku ini keturunan mereka, mengapa engkau tidak membunuhku?” Pangeran itu menarik napas panjang. “Ah, engkau belum mengenal aku, adik yang baik! Aku sama sekali tidak membenci mereka, tidak membenci orang-orang she Cia, Yap dan Tio seperti subo dan suci. Aku hanya ingin mengalahkan Cia Bun Houw karena pendekar Cia Keng Hong sudah meninggal, akan tetapi aku tidak menaruh rasa benci kepada mereka, aku hanya ingin memenuhi kehendak ayah angkatku yang sudah banyak melepas budi kepadaku. Dan andaikata engkau benar putera Cia Bun Houwo hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan niatku mengalahkan ayahmu itu, apalagi aku suka dan tertarik kepadamu...” “Aku bukan anaknya!” Tiba-tiba Sin Liong berkata dengan kasar karena dia sudah marah membayangkan ayah kandungnya itu bersama wanita cantik itu. Pangeran itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik menjelajahi wajah Sin Liong yang nampak muram. Pangeran itu tersenyum. Dia makin tertarik kepada Sin Liong karena dianggapnya bahwa anak ini sungguh berbeda jauh dengan anak-anak lain. Anak ini liar dan berwatak luar biasa. Sudah tahu bahwa dia seorang pangeran, adik kaisar, anak ini sama sekali tidak memperlihatkan sikap hormat, apalagi menjilat. Hal ini saja sudah mendatangkan rasa suka dan kagum di dalam hatinya. Dan anak ini kelihatan benci dan marah ketika diingatkan bahwa dia putera pendekar Cia Bun Houw dan cucu pendekar Cia Keng Hong. Padahal, anak lain tentu akan merasa bangga. Dan penolakannya itu jelas bukan dikarenakan takut kepadanya. Bocah ini sungguh menyimpan banyak sekali rahasia aneh, pikirnya dengan sinar mata berseri. “Sudahlah, kita tidak akan bicara tentang keluarga Cia... eh, bukankan engkau juga she Cia?” Seperti tanpa disengaja, secara tiba-tiba pangeran itu bertanya. “Aku tidak punya she!” jawaban ini seketika, timbul dari hati panas. Kembali Han Houw tersenyum. “Baiklah, aku akan mengenalmu sebagai Sin Liong Si Naga Sakti dari Lembah Naga! Akan tetapi tentu engkau mau memberi tahu dari mana engkau memperoleh ilmu-ilmu hebat itu sehingga engkau berani dan mampu menghadapi Lam-hai Sam-lo?” Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia tentu saja tidak mau menceritakan bahwa dia telah digembleng oleh pendekar sakti Cia Keng Hong, kakeknya sendiri karena dengan demikian sama saja dengan mengaku bahwa dia putera Cia Bun Houw. Dia tidak takut untuk mengaku putera musuh pangeran ini, bahkan dia akan menghadapi dengan berani, sungguhpun dia tidak ingin bermusuh dengan pangeran yang luar biasa dan amat disukanya ini, akan tetapi dia segan untuk mengaku putera pendekar yang diagung-agungkannya itu, pendekar yang baginya hanyalah seorang pria yang kejam, yang telah menghancurkan kehidupan ibu kandungnya. “Aku belajar sedikit ilmu di bawah bimbingan suheng Ouwyang Bu Sek,” jawabnya pendek. “Ha, sudah banyak aku mendengar tentang dia dari Lam-hai Sam-lo. Kabarnya dia adalah seorang manusia aneh yang memiliki ilmu tinggi sekali. Sayang dia tidak muncul sendiri, sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan dia dan berkenalan. Maukah engkau membawaku ke sana untuk berkenalan, dengan kakek aneh itu, Liong-te?” Sin Liong menggeleng kepala. “Tidak mungkin. Suheng menyuruh aku menghadiri pemilihan bengcu dan suheng sendiri pergi entah ke mana, tanpa memberi tahu kepadaku.” Ucapannya ini tidak bohong karena memang kakek itu mengatakan bahwa mereka harus berpisah dan menempuh jalan masing-masing karena kakek itu hendak memberi kesempatan kepada Sin Liong untuk mencari pengalaman hidup. “Sayang sekali. Siapa tahu dia akan mau ikut pemilihan calon guruku. Eh, sungguh luar biasa anehnya!” Tiba-tiba pangeran itu berkata dan menepuk pahanya. “Apanya yang luar biasa aneh?” “Engkau! Kenapa kau menjadi sutenya? Kalau begitu, engkau menjadi murid gurunya? Bukan main. Menurut kabar, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, dan engkau menjadi sutenya! Siapakah guru kalian kalau begitu?” Sin Liong menjadi bingung dan dia menggeleng kepala. “Houw-ko, aku minta kepadamu, harap kau jangan banyak bertanya tentang itu. Terus terang saja, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu dengan orang yang kami sebut suhu itu! Aku belajar ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari suheng Ouwyang Bu Sek, jadi sesungguhnya dialah guruku, akan tetapi suheng tidak mau dianggap guru dan berkeras mengatakan bahwa aku adalah sutenya. Jadi, aku sendiri belum pernah melihat guru kami...” “Bukan main...!” Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi sinar matanya berkilat dan wajahnya berseri, tanda bahwa dia tertarik sekali. “Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa anehnya, mengalami hal-hal yang amat aneh pula, Liong-te. Engkau membuat aku merasa iri saja! Kehidupanku membosankan, tidak ada yang aneh, bahkan suboku yang katanya memiliki kepandaian setinggi langit itu ternyata telah berubah menjadi seorang nenek yang pikun. Liong-te, kalau kau percaya kepadaku, dan sungguh mati aku tidak mempunyai niat buruk, hanya timbul dari keinginan hatiku yang amat tertarik, katakanlah siapa nama gurumu yang luar biasa itu. Setelah kauberi tahu, aku tidak akan banyak bertanya lagi tentang itu, adik yang baik.” Sin Liong merasa tidak enak untuk menolak dan diapun tidak ingin mengecewakan hati pangeran yang amat baik terhadapnya ini. Pula, suhengnya tidak pernah melarang dia menyebut nama guru mereka, hanya yang tidak boleh dibicarakan adalah tentang kitab-kitab kuno yang telah dibakar itu. “Kuberi tahu juga tidak apa-apa, karena aku sendiri belum pernah jumpa, Houw-ko. Nama guru kami adalah Bu Beng Hud-couw dan menurut suheng, tempat pertapaannya di Himalaya.” Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terbelalak. “Gurumu... gurumu seorang dewa...? Bu Beng Hud-couw...? Tentu seorang dewa dan bagaimana suhengmu mengadakan hubungan dengan seorang dewa?” “Ah, aku sendiri belum pernah mengadakan hubungan, dan menurut suheng, dia mengadakan hubungan lewat getaran...” “Getaran? Bagaimana maksudmu?” “Entahlah, Houw-ko, aku sendiripun tidak tahu. Kata suheng, suhu itu usianya sudah tiga ratus tahun lebih, bertempat tinggal di puncak Pegunungan Himalaya dan setiap saat dapat dihubungi suheng lewat getaran-getaran, akan tetapi aku sendiri belum pernah merasakan getaran itu. Sudahlah, Houw-ko, suheng melarang aku banyak bicara tentang suhu.” Han Houw masih terbelalak memandang kepada pemuda remaja itu penuh kagum. “Aihhh...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Betapa beruntungnya engkau, Liong-te, memperoleh guru seorang dewa... ah, kalau saja aku dapat berguru kepadanya.” Pangeran itu tidak banyak bicara lagi, termenung memandang ke dalam api unggun, membayangkan seorang guru yang luar biasa, guru dewa! Sin Liong tidak memperdulikan lagi sahabatnya itu dan dia sudah merebahkan diri di atas rumput, terlentang dan berbantal buntalan pakaiannya. Karena tubuhnya lelah dan perutnya kenyang, sebentar saja Sin Liong sudah pulas. Biarpun Sin Liong telah menerima gemblengan orang-orang sakti yang berilmu tinggi dan pemuda ini di luar kesadarannya sendiri telah mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu yang amat hebat, namun dia hanyalah seorang pemuda remaja yang baru berusia enam belas tahun dan pengalamannya di dunia kang-ouw amatlah tipis dan dangkalnya. Inilah sebabnya maka malam itu dia dapat tidur nyenyak tanpa curiga apapun karena melihat sikap Han Houw yang dianggapnya amat baik kepadanya itu dia telah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada sahabat ini. Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Sin Liong ketika dalam keadaan pulas itu tiba-tiba dia merasa tubuhnya nyeri sekali dan seketika dia terbangun. Begitu matanya terbuka, dia melihat bahwa malam telah berganti pagi, akan tetapi yang amat mengejutkan hatinya adalah melihat kenyataan bahwa dia berada dalam keadaan tertotok dan seluruh tubuhnya tidak mampu bergerak, lemas dan lumpuh! Tahulah dia bahwa dalam keadaan pulas tadi, dia telah ditotok orang secara hebat sekali! Pangeran itu duduk di sebelah kanannya dengan busur terpentang dan anak panah di atas busur itu ditodongkan ke arah dadanya! Dan di sebelah kirinya berdiri seorang kakek yang segera dikenalnya karena orang itu bukan lain adalah Hek-liong-ong Cu Bi Kun, orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo, kakek raksasa muka buruk seperti tengkorak yang pernah bentrok dengan dia di atas panggung sayembara perebutan bengcu kemarin. Pada saat Sin Liong membuka matanya, dia melihat betapa Hek-liong-ong sedang membujuk sang pangeran. “Harap paduka lekas lepaskan anak panah itu selagi dia tidak mampu bergerak, pangeran. Kalau dia dapat bergerak, sulitlah bagi kita untuk menundukkannya. Dia telah mewarisi Thi-khi-i-beng dan ilmu-ilmu lain yang dahsyat, bahkan hamba percaya bahwa dia tentu telah mewarisi kitab-kitab pusaka dari Himalaya yang hamba yakin sekarang tentu telah dicuri oleh Ouwyang Bu Sek.” “HEMM, tak pertu tergesa-gesa, Hek-liong-ong. Munculmu mengejutkan hatiku. Jelaskan, kitab-kitab apa yang kaumaksudkan itu dan mengapa engkau berkeras hendak membunuh dia?” “Dalam pertemuan kita yang singkat, hamba belum sempat menceritakan paduka tentang Ouwyang Bu Sek. Tokoh itu penuh rahasia dan selalu menentang hamba bertiga dan biarpun tahun ini dia tidak muncul, akan tetapi ada pemuda ini yang menjadi wakilnya dan mengaku sebagai sutenya. Kitab-kitab pusaka yang dicuri oleh Ouwyang Bu Sek itu kabarnya adalah kitab-kitab pusaka yang amat hebat, ciptaan dari Bu Beng Hud-couw dan mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.” “Hemm..., Bu Beng Hud-couw?” Pangeran itu bertanya dan matanya menyambar ke arah wajah Sin Liong, akan tetapi anak panah itu masih terus menodong ke arah dada pemuda remaja itu. “Benar, pangeran. Pemuda ini lihai sekali, maka sebaiknya dia dibunuh dulu, baru kita mencari Ouwyang Bu Sek untuk dilenyapkan, karena kalau tidak, mereka itu kelak hanya akan menimbulkan kepusingan belaka bagi paduka dan pemerintah. Dan kitab-kitab itu tentu berada di tangan Ouwyang Bu Sek, paduka tentu akan senang sekali kalau dapat memperoleh kitab-kitab itu. Biarkan hamba membunuhnya sekarang juga, hamba khawatir kalau-kalau totokan hamba masih tidak dapat menguasainya terlalu lama...” Han Houw tersenyum dan kini sinar matahari pagi menerobos celah-celah daun pohon, menimpa muka pangeran itu sehingga Sin Liong dapat memandangnya dengan jelas. Pangeran itu menatap wajah Sin Liong dan sambil tersenyum dia berkata kepada Sin Liong yang memandangnya dengan mata penuh kebencian dan kemarahan. “Sin Liong, bagaimana pendapatmu dengan ini? Nyawamu berada di dalam tanganku!” Sin Liong mendengar semua kata-kata mereka berdua, akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya lahir batin tercurah kepada jalan darahnya dan pernapasannya. Dari mendiang kakeknya, dia pernah menerima pelajaran tentang Thai-kek-sin-kun dan di dalam ilmu yang amat hebat ini terdapat bagian yang amat rahasia, yaitu penguasaan jalan darah melalui pernapasan. Karena sulitnya ilmu ini, maka diapun, seperti ilmu lain, hanya menghafalkannya di luar kepala saja dan belum mempunyai cukup waktu untuk melatihnya. Kini, dalam keadaan tertotok jalan darahnya dan terancam nyawanya, teringatlah dia akan ilmu itu dan diam-diam dia telah mengerahkan seluruh perhatiannya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan hawa murni dari pernapasannya itu menyusup ke dalam jalan darah dan membantu jalan darah yang terhenti karena totokan untuk membebaskannya. Oleh karena itu, mendengar pertanyaan Han Houw, dia hanya mendengar sayup-sayup saja dan karena tidak memperhatikannya, maka diapun menjawab sambil lalu dan suaranya masih seperti kalau dia bicara dengan Han Houw kemarin, sebelum terjadi pengkhianatan ini. “Houw-ko aku memang tahu bahwa engkau kejam dan curang. Aku adalah seorang gagah, tentu saja tidak takut mati, lebih baik mati dalam keadaan gagah daripada hidup menjadi manusia curang dan kejam seperti engkau.” “Bocah setan, berani engkau bicara seperti itu terhadap pangeran? Kurang ajar, engkau layak mampus seratus kali!” Tiba-tiba Hek-liong-ong meloncat ke depan dan mengangkat goloknya, membacok ke arah leher Sin Liong. Pada saat itu, Sin Liong sedang mengerahkan seluruh hawa murni yang terbawa oleh tarikan napasnya untuk membobol jalan darahnya yang terhenti, maka ketika dia melihat serangan ini, dia hanya membelalakkan mata dan menanti maut dengan mata terbuka. Harapannya habis ketika dia melihat betapa pada saat itu juga, anak panah di busur yang dipegang oleh pangeran itu melesat dengan cepat sekali, mengeluarkan bunyi mendesis yang mengerikan. “Crotttt...!” Karena dilepas dari jarak dekat, anak panah itu menancap ke ulu hati dan menembus ke punggung! Sepasang mata Hek-liong-ong terbelalak, melotot hampir keluar dari rongga mata, mulutnya mengeluarkan teriakan karena kaget, nyeri dan juga heran. “Oughhhhh... pangeran... mengapa...?” Tubuhnya terjengkang dan goloknya terlepas dari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah anak panah yang menembus dadanya sehingga anak panah itu patah, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia terkulai dan tewas karena anak panah itu telah menembus jantungnya. Rasa kaget dan heran yang amat hebat seperti mendorong hawa murni dan menembus jalan darah yang terhenti, “Plong...!” dan Sin Liong mampu bergerak lagi. Dia bangkit duduk dan memandang pangeran itu sambil bertanya, melanjutkan pertanyaan sepotong yang keluar dari mulut Hek-liong-ong sebelum tewas tadi, “Mengapa engkau lakukan itu? Mengapa kau membunuh dia?” Kini pangeran itu memandang dengan mata terbelalak. “Liong-te, kau... kau... dapat bergerak? Bukankah Hek-liong-ong tadi menotokmu?” Sin Liong mengangguk. “Baru saja aku berhasil membebaskan diri. Akan tetapi, Houw-ko, mengapa sikapmu begini aneh? Apa yang terjadi dan mengapa kau membunuh dia yang menjadi pembantumu?” Pangeran itu menarik napas panjang, melangkah menghampiri mayat Hek-liong-ong dan menyentuh dengan kakinya. Menjemukan dia ini! Dan engkau mengatakan aku kejam dan curang. Memang aku kejam dan curang pada waktu-waktu tertentu, seperti ketika melihat engkau terancam bahaya maut. Dia ini lihai sekali dan tanpa mempergunakan kecurangan, belum tentu aku dapat membunuhnya sedemikian mudahnya.” “Houw-ko, aku tahu bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku, dan aku tahu pula mengapa Hek-liong-ong membenciku dan hendak membunuhku. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau membunuhnya. Bukankah Lam-hai Sam-lo merupakan pembantu-pembantumu, pembantu pemerintah?” “Dia layak mampus, Liong-te. Dosa-dosanya terlalu banyak terhadapku. Pertama, di waktu aku tidur, dia lancang menotokmu dan mengejutkan aku. Itu saja sudah cukup baginya untuk mati. Ke dua, dia hendak membunuhmu, padahal engkau adalah sababatku. Perbuatannya itu berarti tidak mengindahkan aku dan lancang, merupakan dosa tak berampun. Dan ke tiga, dia tidak boleh membunuhmu, karena selain engkau seorang sahabat baikku yang kusayang, juga adalah calon saudara seperguruanku.” “Ehh...?” Sin Liong berseru heran. “Lupakah kau bahwa aku ingin sekali menjadi murid dewa yang bermukim di Himalaya itu, Liong-te? Sudahlah, kematian orang ini tidak perlu diributkan lagi, dia mati sebagai seorang petugas yang menyeleweng dan kuanggap menentang atasan. Mari kita lanjutkan perjalanan.” Mereka naik ke atas punggung kuda masing-masing. “Houw-ko, aku berhutang nyawa kepadamu.” “Ah, jangan berlebihan, Sin Liong. Engkau telah berhasil membebaskan totokan dan tanpa kubantupun, belum tentu Hek-liong-ong mampu membunuhmu.” Sin Liong tidak membantah, merasa tidak perlu berbantah tentang itu karena dia tahu benar bahwa tanpa bantuan pangeran itu, dia tentu telah tewas oleh golok Hek-liong-ong yang menyerangnya pada saat dia belum berhasil membebaskan diri dari totokan. Pangeran itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang hebat. Baginya seakan-akan membunuh Hek-liong-ong itu merupakan hal biasa saja dan diam-diam Sin Liong merasa makin menyesal mengapa pangeran yang telah menarik hatinya dan mulai disukanya ini memiliki watak yang demikian kejam dan dingin terhadap keadaan orang lain yang tidak disukanya. Dan dia melihat betapa Han Houw amat suka berburu, sampai tiga hari lamanya dia terpaksa menemani pangeran itu berburu di dalam hutan yang memang dihuni oleh banyak sekali binatang liar itu. Namun dia sendiri tidak ikut mempergunakan anak panahnya. Sin Liong terlalu mencinta kehidupan di dalam hutan untuk merusaknya begitu saja. Dia berduka melihat betapa Han Houw menyebar maut di antara binatang-binatang yang sama sekali tidak berdosa, membunuhnya, merobohkannya dengan anak panah lalu meninggalkan bangkainya begitu saja! Melihat Hek-liong-ong tewas dan mayatnya ditinggalkan begitu saja, dia tidak merasa terlalu menyesal karena memang orang itu hanya akan menyebar kejahatan dengan mengandalkan kepandaian. Akan tetapi melihat binatang-binatang hutan yang sama sekali tidak bersalah itu dibunuh begitu saja, benar-benar dia merasa betapa hatinya perih dan menyesal. Memang demikianlah keadaan di dunia ini. Manusia, dengan akal budi dan pikirannya yang membuat manusia menganggap bahwa dia merupakan mahluk teragung, terpandai, dan terbaik di dunia ini, kadang-kadang melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa mengerikan, kekejaman-kekejaman yang tidak akan dilakukan oleh mahluk lainnya. Kekejaman yang telah merupakan semacam “kebudayaan” atau yang sering kali dinamakan “olah raga” sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang dianggap sopan dan baik, menjadi bukti akan keunggulan manusia di antara segala mahluk. Manusia memburu dan mengejar mahluk-mahluk lain, binatang-binatang di dalam hutan, membunuh mereka, kadang-kadang membunuh untuk memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya lebih condong kepada kebutuhan selera daripada kebutuhan perut, akan tetapi lebih sering lagi membunuh binatang-binatang itu hanya untuk kesenangan belaka, setelah dibunuh binatang-binatang itu, bangkainya ditinggalkan begitu saja! Manusia menikmati kesenangan dari membunuh! Dan membunuh semacam ini, karena kebudayaan, karena kebiasaan, sudah bukan dianggap membunuh lagi. Membunuh dianggap kesenian, kebudayaan, olah raga! Dan bukan manusia-manusia pedusunan atau pegunungan yang menganggap demikian, yang memiliki kebudayaan macam itu, sama sekali bukan. Penghuni dusun atau gunung memang banyak yang memburu binatang, akan tetapi bukan untuk kesenangan membunuh, melainkan sebagai nafkah hidup. Yang menganggap pembunuhan sebagai kebudayaan justeru adalah manusia-manusia terpelajar, manusia-manusia kota yang mempropagandakan prikemanusiaan, yang bicara muluk-muluk tentang kerohanian, dan sebagainya. Betapa menyedihkan kenyataan ini bagi mereka yang mau membuka mata melihat kenyataan dan mengenal keadaan diri sendiri lahir batin! Selama tiga hari, Sin Liong melihat betapa pangeran yang tampan itu bergembira ria, mengejar harimau dan kijang, dan selama tiga hari itu, belasan ekor binatang telah menemui ajalnya, mati dan dibiarkan bangkainya membusuk dan dimakan binatang-binatang lain. Memang ada di antara korban-korban itu yang dagingnya diambil dan dimakan oleh mereka berdua, akan tetapi hanya sedikit dan tidak ada artinya dibandingkan dengan banyaknya binatang yang tewas. Pada suatu hari, tibalah dua orang muda itu di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang ramai di tepi Sungai Yang-ce di tapal batas sebelah utara dari Propinsi Kiang-si. Seperti biasa kalau mereka tiba di kota atau pedusunan, Han Houw lalu mengajak Sin Liong langsung menuju ke gedung kepala daerah di mana dia mengeluarkan kim-painya dan segera setelah orang mengenal kim-pai itu, Han Houw disembah-sembah dan disambut dengan segala kehormatan. Tentu saja Sin Liong yang diperkenalkan oleh Han Houw sebagai adik angkatnya, juga menerima penyambutan yang amat ramah dan terhomat sehingga kadang-kadang pemuda remaja ini merasa canggung dan sungkan.   Pakaian-pakaian indah disediakan oleh Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang itu untuk Han Houw dan Sin Liong. Tentu saja untuk Han Houw disediakan pakaian yang pantas untuk dipakai seorang pangeran, sedangkan untuk Sin Liong disediakan pakaian yang biasanya hanya dipakai oleh kongcu-kongcu bangsawan atau hartawan! Melihat sikap Sin Liong yang kikuk, Han Houw tertawa dan dengan setengah memaksa dia berkata, “Liong-te, engkau adalah sahabatku yang baik, sudah sepatutnya engkau menerima penghormatan dari siapapun juga. Pakaianmu sudah kotor, hayo kaupakai pakaian baru ini. Kalau engkau memakai pakaian lama itu, aku sebagai sahabat baikmu tentu akan merasa ikut malu, apalagi engkau bukan hanya sahabat, melainkan adik angkatku!” “Adik angkat? Apa maksudmu, Houw-ko?” tanya Sin Liong ketika mereka berada di dalam kamar mewah yang disediakan oleh Gu-taijin untuk mereka. “Engkau adalah adik angkatku, Liong-te, tidak maukah engkau menjadi adikku? Aku ingin mengangkat engkau menjadi saudara, dan malam ini, di bawah sinar bulan purnama, kita akan melakukan sembahyang sebagai pengangkatan saudara.” “Ahhh...!” Sin Liong melongo dan ada rasa haru menyelinap di dalam hatinya. Han Houw adalah seorang pangeran, adik dari kaisar! Dan pangeran ini hendak mengangkat dia sebagai adik, padahal dia adalah seorang anak tanpa keluarga, bahkan anak yang dirawat oleh monyet! “Apakah engkau menolak, Liong-te?” pertanyaan itu diucapkan dengan suara demikian halus sehingga Sin Liong tidak berani untuk membantah. “Aku... merasa terhormat sekali... akan tetapi, pantaskan aku menjadi adik angkatmu, Houw-ko...?” katanya gagap. Han Houw merangkulnya dan tertawa. “Pantas? Ha-ha, engkau adalah Naga Sakti dari Lembah Naga, mempunyai adik seperti engkau merupakan kebanggaan bagiku, Liong-te! Mari, Gu-taijin telah mempersiapkan segala peralatan sembahyang itu di taman.” Dan benar saja, ketika mereka memasuki taman, di situ telah diatur sebuah meja sembahyang yang lengkap dan mewah, dan lilin-lilin merah bernyala dengan meriah. Kiranya pangeran itu telah memesan kepada Gu-taijin dan telah mengatur segala-galanya, tanda bahwa pangeran itu sudah yakin bahwa Sin Liong tidak akan menolak! Sin Liong merasa kikuk sekali. Apalagi karena Gu-taijin sendiri, dan nyonya Gu, di situ terdapat pula seorang dara cantik yang berpakaian indah, bersama dengan lima orang dara lain yang berpakaian sebagai pelayan akan tetapi yang kesemuanya cantik manis, melayani mereka berdua dengan penuh penghormatan! Sin Liong merasa heran sekali mengapa Gu-siocia (nona Gu) puteri pembesar itu yang usianya kurang lebih enam belas tahun dan cantik sekali, melayani Han Houw dengan manis budi dan dengan senyum dan kerling mata manis memikat. Dia merasa kagum betapa Han Houw bersikap biasa dan tidak kikuk sama sekali terhadap pelayanan Gu-siocia dan lima orang pelayan cantik itu, padahal dia sendiri merasa canggung dan gugup, bahkan Sin Liong merasa betapa kedua kakinya agak gemetar menghadapi nona-nona cantik itu. Bau harum dari rambut dan pakaian mereka membuat jantungnya berdegup tegang. Sebelum sembahyangan dimulai, pangeran itu mendekatkan mulutnya di samping telinga Sin Liong dan bertanya, “Liong-te, kau akan memakai she apakah dalam upacara pengangkatan saudara ini?” Sin Liong menjadi bingung. Tadinya dia sudah mengambil keputusan untuk menggunakan nama Sin Liong saja, tanpa she. Akan tetapi dalam upacara resmi itu terpaksa dia harus menggunakan she dan dia tidak sudi menggunakan she ayah kandungnya yang dibencinya. “She Liong...” jawabnya berbisik pula. Pangeran itu mengangkat alisnya lalu mengangguk. “She ibumu...?” Sin Liong mengangguk. Ibu kandungnya adalah Liong Si Kwi, dan karena ayah kandungnya agaknya tidak lagi mau mengakui ibunya dan dia, mengapa dia tidak memakai she ibunya saja? Ketika mereka berdua mulai sembahyang dan berlutut di depan meja sembahyang, Sin Liong hanya menirukan kata-kata Han Houw. “Diterangi sinar bulan purnama, disaksikan oleh bumi dan langit, kami berdua, Ceng Han Houw dan Liong Sin Liong, bersumpah mengangkat saudara satu sama lain dan kami berdua akan saling membela dan saling membantu sebagai kakak dan adik. Semoga Thian memberkahi kami berdua.” Setelah selesai sembahyang, Sin Liong yang merasa terharu lalu bangkit dan bersoja (mengangkat kedua tangan di depan dada) kepada Han Houw sambil berkata. “Twako, harap suka menerima penghormatan adikmu.” Han Houw balas mengangkat kedua tangan, lalu merangkul pundak Sin Liong dengan wajah berseri. “Puas dan gembira sekali hatiku, Liong-te!” “Kionghi..., kionghi...! Hamba menghaturkan selamat kepada paduka, pangeran!” Gu-taijin berseru gembira dan isterinya serta puterinya juga cepat mengucapkan selamat kepada Han How. “Kionghi...(selamat), Liong-kongcu!” Pembesar itu memberi selamat kepada Sin Liong, diikuti pula oleh isterinya dan puterinya. Menerima penghormatan dan ucapan selamat dari Gu-siocia, wajah Sin Liong berubah merah sekali sehingga Han Houw tertawa bergelak karena geli. Untuk menyambut kedatangan tamu agung itu dan untuk merayakan pengangkatan saudara, maka malam itu Gu-taijin mengadakan pesta bagi Han Houw dan Sin Liong. Dua orang pemuda itu diajak makan minum oleh Gu-taijin, isterinya dan puterinya, dilayani oleh gadis-gadis cantik. Juga dalam pesta ini Sin Liong melihat sikap Gu-siocia amat manis terhadap sang pangeran, dan betapa ayah dan ibu dara itu agaknya memang sengaja mendorong-dorong puteri mereka untuk bermanis-manis dengan Han Houw. Yang membuat dia merasa jengah dan malu adalah sikap Han Houw yang sama sekali tidak kikuk bahkan secara terang-terangan pemuda tampan itu bermain mata dengan Gu-siocia, dan di depan ayah bunda dara itu. Han Houw tidak segan-segan untuk memuji kecantikan Gu-siocia, bahkan kalau ada kesempatan, tangan Han Houw secara tidak tahu malu meraba lengan yang halus dari nona itu, dan beberapa kali jari tangan pangeran itu malah mengusap dan mencubit pinggul beberapa orang gadis pelayan yang kebetulan berada dekat dengannya sehingga gadis itu menjadi tersipu-sipu akan tetapi tidak marah bahkan tersenyum manis dan melempar kerling genit sekali! Sin Liong memejamkan mata dan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali menyaksikan kenakalan pangeran itu. Tadinya dia mengira bahwa mungkin pengaruh arak yang membuat Han Houw bersikap seperti itu, akan tetapi dari percakapannya, tahulah dia bahwa memang Han Houw adalah seorang pemuda yang genit dan suka menggoda wanita! Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan lagi dan dengan dalih mengantuk dia berpamit untuk mengundurkan diri. “Ah, kau sudah mengantuk, Liong-te? Nanti dulu sebentar, kita melihat kepandaian Gu-siocia menari. Bukankah kau pandai menari, siocia? Maukah menarikan beberapa tarian untuk kami?” Ayah dan ibu gadis itu ikut membujuk dan karena agaknya memang sudah dipersiapkan sebelumnya, lima orang dara pelayan yang cantik itu sudah mengeluarkan alat-alat musik pi?pa, yangkim dan sebagainya untuk mengiringi nona mereka menari. Dan Gu-siocia dengan sikap malu-malu buatan sehingga dia nampak lebih cantik menarik seperti jinak-jinak merpati, mulai menari. Di antara para pelayan itu ada yang memukul musik sambil menyanyi dan nona rumah menari makin bersemangat dan Sin Liong harus mengakui bahwa nona itu pandai sekali menari. Melihat betapa pinggang yang ramping itu terayun-ayun seperti tangkai pohon yang-liu tertiup angin, betapa ringan kedua kaki kecil itu menari-nari, jantungnya berdebar dan beberapa kali dia harus membuang muka agar jangan sampai terpesona dan menjadi bengong seperti Han Houw! Setelah nona itu selesai menari, Han Houw bertepuk tangan memuji. “Bagus sekali... tarianmu hebat, nona, seperti bidadari dari kahyangan...!” “Pangeran terlalu memuji...” kata nona itu dengan sikap malu-malu, suaranya merdu seperti nyanyian dan sambil membungkuk nona itu menyembunyikan muka di balik ujung-ujung lengan bajunya dari sutera halus. Sikapnya amat menarik dan lemah gemulai membangkitkan birahi. “Houw-ko, maafkan, aku ingin beristirahat...” kata Sin Liong. Han Houw tertawa lalu bangkit berdiri. “Ah, adikku ini tidak biasa menghadiri pesta-pesta, maka merasa lelah dan ingin mengaso. Terima kasih atas segala kebaikanmu, Gu-taijin.” “A-bwee, antarkan pangeran dan Liong-kongcu ke kamar mereka!” perintah sang ayah kepada anaknya. Dengan sikap manis sekali Gu-siocia bersama lima orang dara pelayan itu mengantarkan Han Houw dan Sin Liong. Setelah meninggalkan ruangan itu dan melalui lorong menuju ke kamar tamu, tanpa ragu-ragu lagi Han Houw merangkul pinggang Gu-siocia yang ramping itu. Gu-siocia hanya terdengar menahan jerit dan tawa lirih, dan Sin Liong mempercepat langkah dengan hati tidak karuan rasanya. Akan tetapi, ketika Sin Liong memasuki ke kamarnya, yang terpisah dari kamar pangeran itu, sebelah menyebelah, Han Houw mengikutinya bersama Gu-siocia yang masih dirangkul pinggangnya dan lima orang dara pelayan cantik itu. “Liong-te, kaupilihlah. Siapa di antara mereka yang kaupilih untuk menemanimu?” Han Houw bertanya sambil tersenyum. Wajah Sin Liong menjadi berubah dan matanya terbelalak. “A... apa...? Apa maksudmu...?” tanyanya gagap dan lima orang pelayan wanita itu tersenyum genit, sedangkan Gu-siocia hanya menundukkan muka dengan malu karena tangan pangeran yang merangkul pinggangnya itu dengan nakal meraba ke atas. “Liong-te, mereka ini memang disuruh menemani kita. Hayo kaupilih yang mana? Malam ini aku gembira sekali dan biarlah engkau kubiarkan memilih dulu. Apakah kau ingin agar Gu-siocia menemanimu malam ini? Nah, kauambillah dia...!” Pangeran itu mendorong tubuh Gu-siocia ke depan. Dara itu menjerit kecil dan tentu akan menabrak Sin Liong kalau saja pemuda remaja ini tidak cepat menangkap pinggangnya. Akan tetapi cepat dilepaskan kembali pinggang ramping itu dan wajah Sin Liong menjadi agak pucat. “Aku... aku... tidak...” “Jangan malu-malu, Liong-te...” “Pangeran, Liong-kongcu tidak mau hamba temani, biar hamba menemani paduka saja...” Gu-siocia berkata dan kembali mendekati pangeran itu. “Bagaimana, Liong-te?” Kini Sin Liong sudah dapat mengembalikan ketenangannya dan dia berkata dengan suara tegas, “Houw-ko, selamanya aku belum pernah berdekatan dengan wanita dan tidak akan melakukannya malam ini. Aku hendak beristirahat, harap Houw-ko meninggalkan aku sendirian saja di kamarku. Nona-nona semua harap keluar dari sini.” “Ha-ha-ha...! Kau... kau masih perjaka tulen, Liong-te? Ha-ha-ha, betapa engkau telah menyia-nyiakan hidupmu.” Pangeran itu tertawa-tawa, akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya dan dengan sikap sungguh-sungguh dia menggiring mereka keluar dari dalam kamar. Sin Liong cepat menutupkan daun pintu dan dia bersandar pada daun pintu itu dengan dada bergelombang. Suara ketawa Han Houw masih terdengar olehnya. Dia merasa bingung, tidak dapat menilai sikap Han Houw, kata-katanya dan sikapnya itu. Urusan dengan wanita merupakan suatu hal yang asing sama sekali baginya. Biarpun dia berada dalam asuhan Ouwyang Bu Sek dari masa kanak-kanak sampai menjelang dewasa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak pernah bicara tentang tata susila. Betapapun juga, ketika dia masih dekat dengan ibu kandungnya, kemudian setelah dia ikut Na-piauwsu, sudah banyak dia mendengar tentang pelajaran tata susila, bahkan dia memperoleh kesempatan untuk membaca kitab-kitab kuno tentang sopan santun dan kehidupan, maka dia dapat melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Gu-siocia dan Pangeran Ceng Han Houw itu adalah perbuatan yang tidak senonoh dan melanggar batas-batas susila! Biarpun dia sadar bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan dilanggar, namun darah mudanya yang dibangkitkan oleh bayangan-bayangan membuat dadanya berdebar dan darahnya bergejolak! Makin ditekan perasaan yang menggelora itu, makin hebatlah menyerangnya sehingga Sin Liong tidak dapat tidur. Dengan gelisah dia rebah dan bergelimpangan di atas pembaringan, telinganya seolah-olah mendengar suara halus dan ketawa yang menimbulkan gairah hatinya, suara wanita-wanita muda yang cantik dan genit tadi, matanya selalu membayangkan wajah yang cantik manis, mata yang jeli dan senyum yang memikat tadi, bahkan kini dia seperti mendengar suara ketawa Han Houw diselingi suara cekikian dari wanita-wanita itu. Semua ini makin mengganggu hatinya dan akhirnya Sin Liong tidak kuat bertahan lagi dalam kamarnya, lalu diam-diam dia keluar melalui jendela dan membiarkan angin malam menyejukkan tubuhnya, walaupun hatinya masih juga panas dan berdebar. Dicobanya untuk bersamadhi di tengah taman indah yang sunyi dan remang-remang itu, namun usahanya sia-sia belaka, makin diusir bayangan-bayangan wanita itu, makin jelas nampak kecantikan mereka dan jelas terdengar suara halus mereka membujuk rayu. Dari manakah datangnya gelora nafsu berahi dan bagaimana terjadinya? Mengapa demikian sukarnya untuk diusir kalau datang mencengkeram batin sehingga amat menggelisahkan orang, mendorong-dorong orang untuk melaksanakan hasrat itu yang mencari pemuasan? Nafsu berahi, seperti nafsu apapun juga yang dapat meliputi batin, datang dari pikiran kita sendiri, datang dari ingatan atau kenangan. Memang ada naluri jasmaniah yang bergerak sesuai dengan kewajaran, yang menggerakkan atau menyentuh berahi demi kepentingan perkembangan dan pembiakan, mendekatkan jantan dan betina, pria dan wanita satu sama lain berikut daya tarik masing-masing. Namun, hasrat yang timbul dari daya tarik jasmaniah ini sungguh tidak sama dengan nafsu berahi yang menggerogoti batin dari sebelah dalam, karena nafsu berahi ini, seperti nafsu lain, digerakkan oleh pikiran. Pikiran mencatat sebagai ingatan hal-hal yang diangap atau dirasakan sebagai hal yang menyenangkan, yang menimbulkan nikmat, dan ingatan ini yang menghidupkan kembali pengalaman atau pengalaman orang lain yang dikenal itu, yang dianggap nikmat dan menyenangkan sehingga selalu timbul keinginan untuk mengulang, atau ikut mengalami, merasakan sendiri hal yang dibayangkan sebagai hal nikmat menyenangkan itu. Pikiran menciptakan di aku yang ingin menikmati, ingin mengulang kesenangan dan menjauhkan penderitaan. Nafsu berahi tidak mungkin timbul tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal yang dianggap nikmat menyenangkan itu. Jadi, pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang, membayangkan, merupakan pupuk yang menyuburkan nafsu berahi. Tentu saja tidak mungkin untuk menghalau nafsu yang timbul dengan paksaan, dengan kemauan atau dengan pelarian. Memang dapat berhasil, akan tetapi hasil ini hanya sementara saja dan nafsu itu akan timbul kembali sewaktu-waktu, kemudian akan kita usir, datang lagi, usir lagi maka kita terseret ke dalam konflik yang terus menerus antara kedatangan nafsu dan pengusirannya. Biasanya kita hanya melakukan satu di antara dua hal apabila nafsu berahi datang menyerang. Pertama, tunduk dan bertekuk lutut menyerah lalu membiarkan diri dibawa ke manapun, dibuai nafsu yang menuntut pemuasan, maka terjadilah perjinaan, permainan cinta dengan cara apapun juga demi pelampiasan nafsu kita yang pada tingkat terakhir hanya akan mendatangkan penyesalan dan kekecewaan belaka. Ke dua, setelah kita maklum bahwa pemuasannya hanya mendatangkan penyesalan, atau setelah kita yakin dari pelajaran bahwa nafsu itu tidak baik dan sebagainya, kita lalu menolaknya, kita melarikan diri darinya, atau kita berusaha sedapat mungkin untuk mengusirnya. Yang pertama akan membuat kita menjadi manusia hamba nafsu yang akhirnya membuat kita menjadi orang yang lemah lahir batin, sedangkan yang ke dua akan menyeret kita ke dalam lingkaran setan dari konflik yang terus menerus   Mengapa kita tidak pernah menghadapi nafsu seperti apa adanya, memandangnya, mengamati nafsu itu yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri, yang bukan lain adalah kita sendiri? Mengapa kita tidak mempelajari diri sendiri, apa yang terjadi dalam benak kita, dalam hati dan perasaan kita, yang berhubungan dengan nafsu itu? Mengapa kita hendak melarikan diri? Pelarian diri tidak mungkin sama sekali, karena betapa mungkin kita lari dari nafsu, yang sesungguhnya adalah kita sendiri, betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Siapa yang hendak lari itu? Siapa yang hendak mengusir nafsu itu? Yang mengusir adalah kita sendiri, yang diusir juga kita sendiri, betapa mungkin? Pikiran hendak mengusir akibat dari pikiran sendiri! Mengapa kita tidak pernah mencurahkan perhatian terhadap nafsu ketika ia timbul, memandangnya dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, tanpa pamrih sedikitpun untuk mengusir atau untuk melarikan dari padanya, tanpa menolak atau menerima kehadirannya, melainkan memandang saja, penuh perhatian dan kewaspadaan? Pengamatan inilah yang akan menciptakan kewaspadaan dan pengertian! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang akan menimbulkan perubahan, bahkan melenyapkan nafsu tanpa ada yang mengusirnya! Demikian pula dengan halnya Sin Liong. Seperti juga orang lain, seperti kebanyakan di antara kita, dia ingin melarikan diri dari nafsu yang mencekamnya, ingin mengusir nafsu itu karena dia menganggap bahwa nafsu yang menguasainya itu tidak baik, melanggar tata susila dan sebagainya. Memang akhirnya dia berhasil, akan tetapi dia merasa lelah lahir batin ketika lewat tengah malam dia kembali ke kamarnya, dengan badan dan batin lemas, seolah-olah dia habis berkelahi melawan musuh yang amat kuat. Dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan memang dia dapat juga tidur pulas, akan tetapi, di dalam tidurnya itu, sang nafsu berahi masih terus melanjutkan sepak terjangnya dalam bentuk impian! Sin Liong bermimpi dan dalam mimpi itu dia bertemu dengan Gu-siocia, yang membujuk rayu dia, dan berbeda dengan kenyataannya di sore hari tadi, dalam mimpi itu dia menyambut dara itu dengan gembira, memeluk dan menciuminya. Dalam keasyikan bercinta, kesenangan bermain cinta seperti yang belum pernah dirasakan sebelumnya, hanya dibayangkannya saja itu, tiba-tiba kesadarannya melawan lagi dan Sin Liong terbangun. Tubuhnya penuh keringat dan celananya menjadi basah! Mimpi adalah kelanjutannya dari keadaan batin kita di siang harinya, baik siang hari tadi, kemarin atau beberapa tahun yang lalu. Keadaan sehari-hari yang menggores kalbu, yang mendatangkan kesan, terukir dalam-dalam di batin kita dan batin yang membutuhkan ketenangan dan pengosongan dari isinya yang padat itu, mencari penyelesaiannya sendiri dalam bentuk mimpi. Sin Liong duduk terengah-engah, tubuhnya terasa lelah kehabisan tenaga, akan tetapi dia merasa lega, seolah-olah persoalan yang menekan hatinya kini telah selesai dan beres. Setelah membersihkan diri, dia lalu tidur lagi dan sekali ini tidurnya pulas tanpa gangguan apapun. Pada keesokan harinya, Ceng Han Houw muncul dengan wajah berseri dan kedua lengannya memeluk pinggang ramping dua orang di antara lima pelayan wanita yang kemarin melayaninya. Tidak nampak Gu-siocia di antara mereka. Setelah melihat Sin Liong keluar dari kamar dan sudah berpakaian rapi karena pagi tadi Sin Liong sudah bangun dan mandi kemudian bertukar pakaian, pangeran itu mencium mulut dua orang itu bergantian, ciuman yang membuat Sin Liong berpaling membuang muka. “Ha-ha, kalian manis sekali dan akan kuingat kalian. Sekali waktu aku akan menyuruh utusan menjemput kalian menjadi selir-selirku. Nah, pergilah, sampaikan kepada Gu-taijin babwa kami akan berangkat pagi ini, agar disediakan dua ekor kuda yang terbaik.” Sambil tertawa pangeran itu mendorong dua orang dara pelayan yang tersenyum dengan muka berseri itu dan mereka pergi dari situ sambil berlari kecil, seperti dua ekor kupu-kupu yang indah beterbangan di atas bunga-bunga. “Ha-ha, pilihanku tepat, Liong-te. Mereka berdua itu adalah gadis-gadis yang mulus dan manis, menyenangkan sekali. Kalau sudah ada kesempatan, aku tentu akan mengirim utusan untuk menjemput mereka.” Kemudian pangeran itu menatap wajah Sin Liong dengan alis berkerut. “Liong-te, kenapa kau begitu bodoh? Benarkah katamu malam tadi bahwa engkau belum pernah berdekatan dengan wanita?” Sin Liong menggeleng kepala dan cepat dia berkata untuk mengalihkan percakapan dari dirinya. “Dan yang lain-lain... Gu-siocia itu, ke mana? Mengapa tidak bersamamu, Houw-ko?” Pangeran itu tertawa. “Aku bukan orang bodoh, Liong-te, dan aku paling benci kepada wanita yang palsu.” “Maksudmu?” “Nona Gu itu sengaja hendak menyerahkan dirinya dalam pamrihnya menjadi selir seorang pangeran, bahkan orang tuanya juga mendorongnya. Aku tidak sudi dijebak seperti itu. Kalau dua orang dara pelayan itu lain lagi, mereka menyerahkan diri karena memang suka kepadaku. Sudahlah, engkau tentu tidak mengerti. Mari kita siap-siap untuk berangkat. Nah, itu Gu-taijin datang sendiri!” Pembesar itu memberi hormat kepada Han Houw, akan tetapi biarpun sikapnya ramah-tamah dan sopan santun, Sin Liong melihat adanya kekecewaan membayang pada wajah pembesar ini. Dia tidak tahu benar apakah kekecewaan itu ada hubungannya dengan penolakan Han Houw terhadap puterinya! Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu melanjutkan perjalanan, menunggang dua ekor kuda baru pilihan, keluar kota dan melanjutkan perjalanan ke utara.   Nama Raja Sabutai amat terkenal di seluruh Tiongkok dan di luar tembok besar. Bagi para suku bangsa pengembara, nama ini dikenal sebagai seorang raja besar yang pernah menaklukkan hampir seluruh bangsa pengembara, menyusun kekuatan yang amat besar terdiri dari suku-suku bangsa yang dipersatukan. Bagi kerajaan di Tiongkok, nama Raja Sabutai tidak kalah terkenalnya. Siapakah yang tidak mengenal raja liar yang pernah menawan mendiang Kaisar Ceng Tung bahkan kemudian pernah menyerbu masuk ke selatan, melewati tembok besar, bahkan jauh ke selatan dan pernah menjebolkan pertahanan kota raja? Walaupun akhirnya pasukan liar yang dipimpin Raja Sabutai itu berhasil dipukul mundur, namun namanya masih ditakuti dan banyak orang merasa seram dan ngeri kalau mengingat akan keganasan pasukan Raja Sabutai ketika menyerbu ke selatan. Bukan hanya terkenal di kalangan suku bangsa pengembara di luar tembok besar dan terkenal di sebelah dalam tembok besar sebagai raja liar yang ganas dan kuat, akan tetapi nama Sabutai ini bahkan terkenal pula di dalam dunia persilatan, di dunia kang-ouw, terutama sekali di wilayah utara, karena selain Sabutai merupakan seorang raja, dia juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang lihai sekali, yang kepandaiannya sejajar dengan tingkat para datuk persilatan, karena raja itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko. Bahkan di waktu mudanya, Sabutai pernah menggegerkan dunia persilatan dengan mengalahkan banyak tokoh kang-ouw terkenal sehingga namanya menjadi terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi di samping itu semua, diapun dikenal sebagai seorang raja yang royal terhadap tokoh-tokoh dunia kang-ouw, dapat menghargai orang-orang kang-ouw sehingga diam-diam dia disuka dan dihormati, terutama sekali oleh golongan hitam atau kaum sesat. Inilah sebabnya maka ketika terdengar berita bahwa Raja Sabutai mengundang orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi untuk memasuki pemilihan guru silat untuk mengajar kepada pangeran putera raja itu, banyak orang pandai meninggalkan sarang atau tempat pertapaan mereka untuk pergi ke utara, keluar dari tembok besar. Mereka yang mengejar kedudukan, kemuliaan dan harta, tentu saja mengandung niat untuk memasuki pemilihan jagoan yang dapat dipilih menjadi guru silat. Akan tetapi kebanyakan di antara mereka hanya datang ke tempat jauh itu karena tertarik dan ingin menonton. Setiap ada kesempatan di mana orang-orang yang berilmu tinggi datang dan saling berjumpa, pasti dunia kang-ouw menjadi gempar dan banyak orang datang hanya untuk berkenalan, nonton adu silat, dan meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Maka, pada waktu hari pemilihan guru silat itu makin mendekat, nampak setiap hari banyak orang menyeberangi tembok besar menuju ke utara, dan mereka ini tentu saja hanyalah orang-orang kang-ouw yang ingin mengunjungi tempat pemilihan guru silat itu, yaitu di Lembah Naga. Kalau bukan orang kang-ouw yang memiliki kepandaian dan sudah biasa melakukan perjalanan jauh yang sukar, tentu tidak berani melakukan perjalanan yang selain jauh juga melalui daerah-daerah berbahaya itu. Sebagian besar dari para tokoh kang-ouw adalah orang-orang daerah utara, karena tokoh-tokoh kang-ouw daerah selatan, terutama sekali yang bukan tergolong sesat, tentu saja tidak sudi untuk membantu orang asing, apalagi bekerja kepada Raja Sabutai yang merupakan musuh rakyat dan negara. Kalau ada juga di antara mereka yang ikut datang, semata-mata mereka itu hanya tertarik dan ingin nonton adu kepandaian tingkat tinggi. Ceng Han Houw dan Sin Liong melakukan perjalanan cepat dan jarang mereka berhenti, bahkan tidak pernah pula Han Houw bersenang-senang seperti yang dilakukannya ketika dia berada di rumah pembesar Gu, karena waktunya sudah amat mendesak dan dia khawatir kalau-kalau dia akan datang terlambat. Maka dia bersama Sin Liong membalapkan kuda, dan setiap berhenti di sebuah kota hanya untuk minta ganti kuda kepada pembesar setempat yang melayani pangeran ini dengan segala kehormatan. Ketika mereka sudah melewati tembok besar, Sin Liong mengenal daerah liar yang mendebarkan hatinya. Teringatlah dia akan perjalanannya ketika keluar dari Lembah Naga, dibawa oleh Kim Hong Liu-nio sebagai tawanan, bersama dengan Han Houw ini, sampai dia dirampas oleh Tok-ong Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang, kemudian mulailah dia dengan perjalanannya ke selatan sampai akhirnya dia menjadi murid Ouwyang Bu Sek, atau lebih tepat lagi, menjadi sute dari kakek aneh itu karena dia bersama kakek itu menjadi murid dari guru mereka yang belum pernah dikenal oleh Sin Liong, yaitu kakek manusia dewa yang hanya dikenal namanya dari suhengnya itu, yaitu Bu Beng Hud-couw yang katanya bermukim di puncak Himalaya sebagai orang suci atau dewa! Apalagi ketika dia tiba di Rawa Bangkai, di sebelah selatan Lembah Naga, teringatlah dia akan semua pengalamannya di waktu kecil karena daerah ini amat dikenalnya. Akan tetapi kini semenjak dari Rawa Bangkai, telah nampak penjaga-penjaga yaitu perajurit-perajurit dari pasukan Raja Sabutai, yang menjaga dengan tertib dan gagah, selain menjaga tapal batas itu, juga sekalian sebagai penghormatan kepada para tamu yang akan datang berkunjung berkenaan dengan adanya sayembara pemilihan guru silat. Maka, tidak seperti biasanya, kini para penjaga itu berpakaian seragam baru yang gagah berkilauan, dengan tombak di tangan, dan bendera-bendera tanda kebesaran Raja Sabutai berkibar di mana-mana. Ketika para penjaga itu melihat datangnya Ceng Han Houw, yang mereka kenal sebagai Pangeran Oguthai, mereka menyambut dengan gembira sekali. Sambil memberi hormat mereka berseru, “Hidup Pangeran Oguthai!” Wajah para perajurit yang tadinya kaku dan gelap, seketika menjadi terang penuh seri dan senyum, bahkan beberapa orang lalu cepat menunggang kuda untuk mengabarkan kedatangan pangeran ini ke Lembah Naga. Oguthai atau Ceng Han Houw tersenyum dan melambai ke kanan kiri menerima sambutan dan penghormatan anak buah ayahnya, dan ketika ada beberapa orang perwira tinggi besar yang gagah menyambut, diam-diam Sin Liong merasa kagum akan keagungan kakak angkatnya itu. Ketika para perwira tua muda itu mengerumuni Han Houw, memberi hormat dan menyambutnya dengan berbagai cara, bicara dengan ramainya dalam bahasa utara yang dimengerti pula oleh Sin Liong karena anak ini sejak lahir berada di daerah ini, tiba-tiba Han Houw berkata lantang. “Heiii... para perwira..., kalian beri hormat kepada Liong Sin Liong ini! Dia ini adalah adik angkatku!” Semua perwira mengangkat alis dan membelalakkan mata, terkejut mendengar ini dan mereka tergesa-gesa memberi hormat kepada Sin Liong sambil mohon maaf karena mereka tidak tahu bahwa Liong-kongcu ini adalah adik angkat dari Pangeran Oguthai! Dihormati secara berlebihan itu, Sin Liong juga merasa kikuk sekali dan membalas penghormatan mereka, dilihat oleh Han Houw yang tertawa bergelak melihat kekikukan Sin Liong. Ketika melihat banyaknya orang kang-ouw berbagai suku bangsa berbondong datang ke tempat itu, Sin Liong lalu menarik tangan Han Houw, diajak ke pinggir agar pembicaraan mereka tidak terdengar orang lain, kemudian dia berkata, “Harap kaumaafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat ikut bersamamu ke Lembah Naga.” Han Houw memandang heran. “Eh, kenapa begitu, Liong-te? Jauh-jauh kau sudah ikut bersamaku ke sini, dan setelah hampir memasuki Lembah Naga, engkau tidak mau melanjutkan? Kenapa sih?” Sukar bagi Sin Liong untuk bicara terus terang. Tentu saja selama ini dia tidak pernah dapat melupakan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li. Kim Hong Liu-nio telah membunuh ibu kandungnya, Kim Hong Liu-nio pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, kemudian Kim Hong Liu-nio bersama Hek-hiat Mo-li telah menyebabkan kematian kong-kongnya, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, kakeknya yang amat dihormat dan disayangnya itu. Sekarang, biarpun dia telah menjadi adik angkat Han Houw, biarpun kakak angkatnya itu adalah murid Hek-hiat Mo-li dan sute dari Kim Hong Liu-nio, bagaimana mungkin dia dapat bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu tanpa menyerang mereka? Dan dia sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerang dua orang itu di depan Han Houw melainkan mencari kesempatan bertemu dengan mereka di luar tahu Han Houw agar dia boleh membuat perhitungan tanpa menyinggung perasaan kakak angkatnya. Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus bicara terus terang kepada Han Houw. “Maaf, Houw-ko, akan tetapi aku tidak suka ramai-ramai, aku tidak suka dikenal sebagai adik angkatmu lalu dihormati secara berlebihan. Selain itu, aku tidak suka akan segala peraturan dan peradatan, aku akan merasa canggung dan kikuk kalau berhadapan dengan ayahmu, seorang raja. Maka biarlah aku ikut bersama para penonton, dan aku... aku ingin sekali pergi mengunjungi hutan-hutan dan penghuni hutan, bekas teman-temanku. Aku ingin bebas dan sendirian di daerah ini, Houw-ko.” Han Houw mengangguk-angguk. Dia maklum akan perasaan adiknya itu. Dia sudah mendengar bahwa ketika masih bayi, anak ini diasuh oleh monyet-monyet hutan, maka kalau kini dia merasa rindu akan hutan dan isinya, dia dapat memakluminya. Pula, kalau ayahnya mendengar bahwa dia mengambil seorang anak biasa sebagai adik angkat, tentu akan timbul banyak pertanyaan dan hatinya akan kecewa dan tidak enak kalau ayahnya tidak menyetujui pengangkatan saudara itu. “Baiklah, Liong-te. Akan tetapi jangan lupa untuk menemui aku, karena setelah selesai menyaksikan pemilihan, akupun harus kembali ke selatan, ke kota raja menghadap kakanda kaisar, melaporkan perjalananku ke selatan. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama lagi ke selatan, menyeberang tembok besar.” Girang sekali hati Sin Liong mendengar jawaban ini. Kakak angkatnya ini memang bijaksana sekali! “Terima kasih, Houw-ko. Nah, aku pergi dulu.” “Eh, kenapa engkau tidak membawa kudamu? Bawalah, agar engkau tidak terlalu capai.” Sin Liong tersenyum dan makin beratlah hatinya untuk menyinggung hati kakak angkatnya ini yang sering sudah memperlihatkan rasa sayang kepadanya. Dia mengangguk, lalu meloncat naik ke atas punggung kuda dan melarikan kudanya, setelah dua kali menoleh ke arah Han Houw yang memandangnya sambil tersenyum. Sin Liong membalapkan kudanya memasuki hutan. Dia mengambil jalan simpangan, jalan melalui hutan-hutan dan padang-padang rumput yang sudah dikenalnya benar, menuju ke suatu tempat di daerah Lembah Naga, yaitu di tanah kuburan yang biasanya dipakai untuk memakamkan seorang di antara para pembantu ayah angkatnya kalau ada yang meninggal dunia. Dia hendak mencari kuburan ibu kandungnya! Dan karena ibu kandungnya tewas di tangan Kim Hong Liu-nio, maka tentu saja dia tidak dapat berterus terang kepada Han Houw. Pula, dia khawatir kalau sampai bertemu dengan Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li, dia tidak akan kuat menekan kemarahan hatinya. Tidak sukar baginya untuk menemukan makam ibunya, karena di antara beberapa buah makam yang tidak banyak jumlahnya itu dia melihat makam di mana terdapat batu nisannya yang bertuliskan huruf-hurut ukiran yang cukup indah karena ditulis oleh Kui Hok Boan yang pandai menulis. Di situ terukir nama Liong Si Kwi atau nyonya Kui Hok Boan! Sin Liong yang sudah mengikat kudanya pada sebatang pohon, kini berdiri di depan makam itu, makam yang terlantar dan tidak terpelihara karena siapa yang akan memeliharanya setelah keluarga Kui diharuskan pergi dari Lembah Naga? Makam itu penuh dengan rumput tebal dan tanaman liar. Sampai lama Sin Liong berdiri termenung, memandangi rumput-rumput tebal itu dan terbayanglah walah ibu kandungnya yang selalu bersikap lembut kepadanya. Dia tidak merasa berduka, tidak merasa terharu, hanya merasa marah sekali, marah dan dendam kepada Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li! Akan tetapi dia juga merasa tidak enak sekali kepada Ceng Han Houw yang begitu baik kepadanya, bahkan yang perah menyelamatkan dia dan mengorbankan nyawa anak buahnya sendiri, yaitu Hek-liong-ong untuk menyelamatkannya. Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li hutang nyawa ibu kandungnya dan kakeknya kepadanya, akan tetapi diapun hutang budi kepada Han Houw dan tidak semestinya kalau dia menyakitkan hati Han Houw. Oleh karena itu, dia harus bersabar, dia harus menanti kesempatan dapat bertemu berdua atau bertiga saja dengan dua orang musuh besarnya itu, di luar tahu Han Houw! “Ibu...!” Dia berbisik dan Sin Liong lalu mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan tempat itu, mencabuti rumput-rumput dan tanaman liar yang tumbuh di atas makam sampai makam itu kelihatan bersih. Setelah membersihkan makam ibunya dan berlutut di depan makam, Sin Liong lalu bangkit dan meninggalkan makam, meloncat ke atas punggung kudanya dan memasuki hutan di mana dahulu dijadikan tempat bermain bersama para monyet besar. Begitu memasuki hutan, Sin Liong merasa gembira sekali. Ingin dia melepaskan pakaiannya dan berloncatan dari pohon ke pohon seperti dahulu! Dan dia merasa malu sendiri duduk di atas punggung kuda besar yang sudah berkeringat itu. Dia meloncat turun, menurunkan pelana dan buntalan pakaian, melepaskan kendali dan membiarkan kuda itu bebas, lalu menepuk pinggul kuda itu. “Nah, kau boleh bebas bermain-main di sini!” katanya. Kuda itu lari congklang dan lenyap di sebuah tikungan, di antara pohon-pohon. Sin Liong tertawa, lalu dia meloncat ke atas sebuah pohon besar, menaruh pelana, kendali dan buntalan di atas pohon, di antara cabang-cabang yang tinggi, kemudian dia berloncatan dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon, mencari-cari teman-temannya! Akan tetapi Sin Liong merasa kecewa. Ketika dia bertemu dengan segerombolan monyet, mereka itu memekik dan memperlihatkan taring, bahkan mereka lalu melarikan diri ketika didekatinya. Mereka tidak mengenainya lagi! Ah, tentu saja, pikirnya. Ketika dia masih bermain-main dengan mereka, dia adalah seorang anak kecil dan kini dia sudah menjadi sesudah terlalu sering mendapat gangguan dari orang-orang dewasa, dari pemburu-pemburu, maka tentu saja mereka menganggap setiap orang manusia dewasa adalah musuh mereka. Betapapun juga, Sin Liong merasa senang sekali berada di dalam hutan-hutan yang amat dikenalnya itu. Dia merasa seolah-olah menemukan dunianya kembali dan dia merasa enggan untuk meninggalkannya lagi. Oleh karena itu, seakan-akan dia telah lupa akan waktu, pemuda itu telah berkeliaran di dalam hutan-hutan itu selama tiga hari tiga malam! Dia tentu masih akan terus berkeliaran di situ, entah untuk berapa lamanya, makan buah-buahan dan memanggang daging binatang-binatang hutan, tidur di puncak pohon-pohon besar, kalau saja pada pagi hari ke empat itu setelah matahari naik tinggi dia tidak mendengar suara hiruk-pikuk dari jauh di sebelah utara ketika dia sedang duduk di antara daun-daun di atas pohon. Sin Liong terkejut dan segera dia memperhatikan suara itu. Maka tahulah dia bahwa itu adalah suara banyak orang yang bersorak-sorak gembira, seolah-olah sedang menonton sesuatu yang menyenangkan sekali. Teringatlah dia akan sayembara pemilihan guru silat yang diadakan oleh raja di situ, ayah dari Ceng Han Houw! Baru dia teringat bahwa telah tiga hari tiga malam dia berada di dalam hutan-hutan itu, dan bahwa kedatangannya di daerah itu adalah terbawa oleh pangeran itu. Sin Liong meloncat turun dari atas pohon, membereskan pakaian dan rambutnya, kemudian dia berjalan cepat keluar dari hutan menuju ke arah suara yang terdengar dari jauh itu. Tak lama kemudian tibalah dia di Lembah Naga dan dari jauh saja sudah nampak olehnya sebuah panggung besar dan kokoh kuat dibangun di depan Istana Lembah Naga dan di atas panggung itu nampak dua orang sedang bertanding dengan hebat dan serunya. Di depan istana itu nampak banyak kursi dan di situ duduk seorang laki-laki tinggi besar berpakaian indah dan mewah, mukanya penuh cambang bauk, muka yang gagah perkasa dan melihat Han Houw duduk di dekatnya bersama seorang wanita cantik jelita berusia kurang lebih empat puluh tahun, maka Sin Liong dapat menduga bahwa tentulah laki-laki gagah yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu tentulah ayah Han Houw, raja di daerah itu yang bernama Sabutai. Di sekeliling raja ini duduk banyak sekali orang, tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya, dan di luar panggung terdapat banyak penonton yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi banyak terdapat orang-orang Han yang aneh-aneh, ada yang berpakaian seperti hwesio yang kepalanya gundul, seperti saikong, seperti tosu dan seperti pertapa, akan tetapi banyak pula yang pakaiannya jembel seperti pengemis, seperti ahli-ahli, dan guru-guru silat dan lain-lain. Mereka inilah yang bersorak-sorak, karena mereka ini adalah yang orang-orang kang-ouw yang paling suka menonton orang mengadu kepandaian silat, sedangkan pada saat itu, dua orang yang bertanding di atas panggung memiliki kepandaian tinggi yang seimbang sehingga pertandingan itu amat seru dan menegangkan. Kini Sin Liong sudah tiba di bawah panggung, menyelinap di antara para penonton yang berjubelan itu, menjaga agar jangan terlalu dekat dengan tempat duduk raja dan Han Houw agar jangan sampai pangeran itu melihatnya. Kini dia mulai memperhatikan dua orang yang masih bertanding di atas panggung itu. Seorang pendeta Lama bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang bertanding melawan seorang laki-laki setengah umur yang pakaiannya seperti seorang tosu. Pendeta Lama itu, seperti biasa para pendeta Lama dari Tibet, berkepala gundul dan memakai jubah lebar berwarna kuning. Ilmu silatnya bersifat keras dan mengandalkan tenaga yang kuat, gerakan kedua tangannya yang memukul demikian dahsyat sehingga mengeluarkan angin yang bersiutan, dan gerakan tubuhnya juga gesit dan bertenaga kuat sehingga jubah kuning itu berkibar-kibar seperti layar perahu mendapat angin. Gerakan kakinya mempunyai gaya yang gagah, seperti kaki rajawali yang sedang bertanding, berlompatan dan kadang-kadang kaki itu melakukan tendangan-tendangan dahsyat, langkahnya lebar-lebar dan sering kali pendeta Lama itu berdiri di atas ujung jari-jari kakinya sehingga tubuhya yang sudah jangkung itu menjadi makin tinggi. Diam-diam Sin Liong mengagumi gaya ilmu silat Pendeta Lama itu, karena memang gagah sekali dan sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Akan tetapi lawannya, tosu yang tubuhnya sedang itu, juga amat lihai. Dia memiliki gaya yang berlawanan dengan pendeta Lama itu. Melihat betapa lawannya banyak menyerang dari atas, mengandalkan jangkungnya dan lengannya yang panjang, tosu itu banyak main di bawah, seperti seekor ular yang menghadapi serangan rajawali. Kedua kakinya melangkah gesit dan cepat bukan main, tubuhnya menyelinap ke sana sini menghindarkan semua serangan lawan, dan dia membalas serangan-serangan itu dari bawah dengan sama kuatnya, sungguhpun gerakannya lebih halus dan pukulan-pukulannya kelihatan tidak bertenaga, namun Sin Liong maklum bahwa tosu itu adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki pukulan mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Karena sifat ilmu silat kedua orang itu amat berlawanan, maka pertandingan itu kelihatan seru dan menarik sekali. Yang amat menambah ketegangan adalah sikap sebagian penonton, yaitu sekelompok tosu dan sekelompok hwesio atau pendeta Lama yang agaknya saling bertentangan, menjagoi teman masing-masing yang sedang bertanding itu. Bahkan antara para tosu dan para pendeta berkepala gundul itu sudah saling pandang dengan mendelik dan saling mengamangkan tinju dengan sikap menantang! Tentu saja sikap dua rombongan hwesio dan tosu yang bertentangan ini menambah tegang suasana dan tahulah Sin Liong bahwa memang terdapat persaingan atau permusuhan antara pera hwesio atau para pendeta Lama itu dan para tosu. Sin Liong tidak tahu bahwa memang terjadi persaingan hebat antara dua golongan ini. Pada waktu itu, Raja Sabutai merupakan kekuatan yang mulai menonjol di utara, bahkan raja ini pernah berhasil menyerang ke selatan, memiliki tentara yang cukup kuat dan pengaruhnya makin besar di daerah utara itu. Oleh karena itu maka dua golongan ini mulai mengincar daerah ini untuk menjadi ladang penyebaran pelajaran agama masing-masing. Memang amat mengherankan sekali bagi orang yang mau melihat kenyataan, akan tetapi tak dapat disangkal bahwa hal ini seperti ini, yaitu persaingan antara agama, masih saja terjadi di mana-mana, di mana para penyebar agama saling berebutan daerah untuk menyebar pelajaran agama masing-masing. Padahal inti pelajaran dari semua agama itu sendiri adalah sejalan, yaitu menjauhkan kekerasan, menjauhkan permusuhan, menghilangkan kebencian dan memupuk cinta kasih antara manusia! Memang pada akhirnya, bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya! Seperti juga segala sesuatu di dunia ini, baik benda-benda yang nampak maupun yang tidak nampak, seperti ilmu agama, ilmu pengetahuan, ilmu silat maupun ilmu surat, semua hanya merupakan alat bagi manusia dan baik buruknya semua itu tergantung kepada si manusia sendiri! Tak mungkin memupuk cinta kasih melalui kebencian, memupuk perdamaian melalui peperangan, memupuk kebaikan melalui kejahatan. Di dalam cara terkandung tujuan dan bukalah tujuan menghalalkan segala cara. Cara yang jahat dan buruk tentu menghasilkan akhir yang jahat dan buruk pula, seperti juga pohon yang buruk takkan mungkin menghasilkan buah yang baik. Akan tetapi sayang sekali, kita, atau rombongan tosu, dan Lama yang berada di sekitar panggung liu-tai itu, hanya mementingkan buahnya, hanya mementingkan akhir tujuan, sama sekali lupa akan pohonnya, lupa akan caranya, lupa akan tindakan mereka pada saat itu. Pada waktu itu, memang banyak terdapat golongan-golongan agama yang sedang sibuk meluaskan pengaruh masing-masing. Tentu saja golongan-golongan ini terdiri orang-orang yang hanya mengaku beragama, akan tetapi sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang ingin mengejar kesenangan melalui agama. Orang yang benar-benar beragama tak mungkin mengejar sesuatu, tak mungkin mencari kesenangan untuk diri sendiri apalagi kalau dalam mengejar kesenangan itu harus mencelakakan orang lain. Oleh karena persaingan itu, maka ketika Raja Sabutai mengadakan sayembara memilih guru untuk puteranya, golongan-golongan agama yang ingin meluaskan pengaruhnya ini melihat terbukanya kesempatan baik untuk menanamkan pengaruh mereka ke daerah ini, make mereka lalu datang den mengajukan jagoan masing-masing untuk merebutkan kedudukan itu. Tentu saja sebagai orang-orang beragama, mereka itu tidak lagi mementingkan kedudukan atau harta, melainkan ingin memperlebar atau memperluas pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing melalui kedudukan sebagai guru dari putera Raja Sabutai. Dan bertemunya seorang pendeta Agama To dan pendeta Agama Buddha Lama di panggung lui-tai itu merupakan pertemuan antara dua golongan musuh lama yang selama ratusan tahun memang sudah saling mengejek dan saling menyalahkan ajaran masing-masing. Tentu saja masih banyak golongan agama lain yang saling bersaing pada masa itu, akan tetapi yang merupakan musuh bebuyutan adalah Agama To-kauw den Hud-kauw. Sin Liong yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang-orang sakti dan memiliki dasar ilmu-ilmu silat tinggi, segera melihat bahwa pertandingan antara kedua orang itu bukan hanya adu ilmu belaka, melainkan pertandingan yang dikuasai nafsu ingin menang, kalau perlu dengan membunuh lawan, karena dia melihat betapa kedua fihak mengeluarkan serangan-serangan maut dengan pengerahan tenaga yang tidak dibatasi lagi. Maka dia merasa tak senang den tidak tertarik lagi, karena yang ditontonnya itu bukanlah pibu untuk mengadu kepandaian, melainkan orang berkelahi dengan hati dipenuhi dendam den kemarahan! Oleh karena itu, tidak seperti semua orang lain, yang mencurahkan perhatian ke atas panggung, dengan hati tegang dan gembira seperti biasanya orang-orang kango-uw yang suka sekali akan adu silat bahkan makin keras dan seru makin baik bagi mereka, Sin Liong mulai mengalihkan perhatiannya dan pandang matanya menyapu ke kanan kiri di antara para penonton yang terdiri dari bermacam-macam orang itu. Tiba-tiba perhatian Sin Liong tertarik akan sikap seorang laki-laki yang dianggapnya aneh. Semua orang mencurahkan perhatian mereka ke atas panggung, kecuali sebagian para tosu dan hwesio yang saling ejek dan saling ancam, akan tetapi dia melihat seorang laki-laki yang sikapnya amat mencurigakan. Laki-laki ini memakai baju hitam, pakaiannya seperti seorang ahli silat, ringkas dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri dengan tajam, seperti mata orang yang mempunyai niat buruk dan takut ketahuan orang. Laki-laki itu berusia kurang lebih enam puluh tahun, jenggot dan kumisnya pendek dan kaku, tubuhnya tegap dan dia berdiri agak membungkuk di antara penonton, kemudian dengan gerakan gesit dia menyelinap pergi. Sin Liong cepat memperhatikan orang, itu karena dia melihat betapa orang itu mengeluarkan sebatang anak panah. Ujung anak panah itu mengeluarkan sinar kehijauan tanda bahwa anak panah itu ujungnya mengandung racun!   BAGI seorang kang-ouw, membawa senjata bukanlah hal yang aneh, dan andaikata sikap orang ini tidak mencuri hati Sin Liong, pemuda inipun tentu akan menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi orang itu mengusik kecurigaan hatinya, maka diam-diam dia lalu membayangi orang itu dengan pandang matanya, bahkan kakinya mulai bergerak pula menyelinap di antara penonton ketika dia melihat orang itu makin mendekati panggung di mana duduk Han Houw dan keluarga raja. Jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat laki-laki itu menggerakkan tangan dan sinar hijau menyambar ke depan ke arah Ceng Han Houw! “Houw-ko, awas...!” Sin Liong cepat berseru nyaring sekali, mengatasi kegaduhan suara pertandingan di atas panggung dan para penonton. Teriakannya itu menyadarkan Han Houw yang cepat bangkit berdiri, kemudian dengan tangkasnya pemuda bangsawan itu menggerakkan tangannya sambil miringkan tubuh, berhasil menangkap anak panah yang menyambar ke arahnya tadi. Sin Liong meloncat ke atas melemparkan orang yang tadi dia tangkap dan dia pegang tengkuknya tanpa orang itu mampu meloloskan diri atau melawan. Orang itu terbanting ke atas panggung di depan Han Houw. “Dia inilah yang tadi melepas anak panah. Awas, anak panah itu beracun, Houw-ko!” kata Sin Liong. Karena adanya keributan ini, otomatis dua orang yang sedang bertanding itu berhenti dan meloncat ke belakang, dan kini semua orang mengarahkan pandang mata mereka ke panggung tempat raja dan keluarga serta pembantu-pembantunya duduk. “Ha-ha, Liong-te, benarkah begitu? Kalau begitu biar dia yang makan racunnya sendiri!” Han Houw menggerakkan tangannya dan anak panah itu meluncur secepat kilat, menancap ke pundak kanan orang berbaju hitam itu. “Aughhh...!” Orang itu memekik kesakitan dan tubuhnya berkelojotan, karena racun itu adalah racun Jeng-hwa-tok (Racun Kembang Hijau) yang amat ampuh dan kalau saja dia belum mempergunakan obat penawar, tentu dia tewas seketika. Betapapun juga, racun itu masih mendatangkan rasa nyeri yang hebat. “Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa engkau menyerangku secara menggelap?” Han Houw membentak. “Huh, melihat anak panah beracun hijau siapa lagi orang ini kalau bukan anggauta Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau)?” kata Raja Sabutai sambil mengelus jenggotnya, girang melihat bahwa puteranya telah demikian lihainya sehingga mampu menangkap anak panah yang dilepaskan untuk menyerangnya. “Jeng-hwa-pang...?” Semua orang kang-ouw terkejut mendengar ini dan mereka memandang penuh perhatian. Melihat bahwa Raja Sabutai yang terkenal lihai itu telah mengenalnya, maka orang berbaju hitam itu mengangguk dan berkata, sikapnya masih keras dan tidak mengandung rasa hormat atau takut, “Benar, aku adalah anggauta Jeng-hwa-pang dan kedatanganku tidak ada urusannya dengan pemilihan guru silat, tidak ada hubungannya pula dengan kerajaan di sini. Aku datang untuk membalas dendam kepada wanita iblis Kim Hong Liu-nio, akan tetapi karena aku tidak melihatnya di sini, maka aku tujukan panahku kepada dia yang menjadi sute dari wanita iblis itu!” Laki-laki itu sambil menahan rasa nyeri menuding ke arah Ceng Han Houw. “Ah, kiranya masih ada lagi orang Jeng-hwa-pang yang masih hidup selain ketuanya? Eh, orang yang bosan hidup. Mana dia Tok-ong Cak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang? Kenapa dia tidak datang sendiri memperlihatkan kebodohannya, akan tetapi mengutus orang tidak ada gunanya macam engkau?” Ceng Han Houw berseru sambil tersenyum mengejek. “Aku sudah gagal oleh bocah setan itu!” Laki-laki berbaju hitam itu melotot ke arah Sin Liong yang masih berdiri di pinggir. “Mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus? Suheng Gak Song Kam pada suatu hari tentu akan membunuh engkau dan sucimu, kautunggu saja!” “Heh-heh-heh, anjing dari mana ini menggonggong terus-menerus?” Tiba-tiba muncul seorang nenek yang amat mengerikan. Entah dari mana munculnya nenek ini dan semua orang memandang kepada nenek yang sudah berdiri di atas panggung itu sambil terkekeh mentertawakan orang Jeng-hwa-pang itu sambil menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang sekali dan agaknya melengkung. Nenek ini sudah tua sekali, tentu ada seratus tahun usianya, punggungnya sudah bongkok dan tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering. Kedua tangannya seperti cakar burung dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya yang amat tua itu penuh kerut-merut, mulutnya seperti tidak ada bibirnya, hanya merupakan garis melintang yang penuh keriput. Matanya juga hampir tidak nampak karena amat dalam dan gelap sehingga orang tidak tahu apakah di rongga yang dalam itu ada biji matanya ataukah tidak. Kalau orang bertemu dengan nenek ini di tempat sunyi apalagi di waktu malam, dia tentu akan lari lintang-pukang karena serem dan menganggapnya siluman atau iblis. Akan tetapi di antara para tokoh kang-ouw ada yang mengenal nenek itu, dan tentu saja Sin Liong juga mengenalnya karena itulah seorang di antara dua musuh besarnya. Nenek itu adalah Hek-hiat Mo-li! “Subo baru datang? Silakan duduk!” Raja Sabutai segera berkata ketika melihat nenek itu. Akan tetapi nenek itu tidak menjawab, bahkan berkata lagi sambil terkekeh geli, “Heh-heh, anjing, mengapa tidak menggongong lagi? Apakah racun Jeng-hwa-tok itu kurang manjur? Nah, kaucoba rasakan racunku ini!” Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kuku jari tangan kirinya telah menggores muka orang itu tanpa dapat dielakkannya, sedangkan tongkat butut itu tahu-tahu telah pindah ke tangan kanan. Si baju hitam dari Jeng-hwa-pang itu sudah menderita hebat sekali karena pengaruh racun Jeng-hwa-tok di ujung anak panah yang menancap di pundaknya, akan tetapi rasa nyeri karena racun itu kalau dibandingkan dengan apa yang dideritanya saat ini, sunggub tidak ada artinya. Dia merasa betapa tiba-tiba saja pipinya yang kena gores kuku itu menjadi gatal, rasa gatal yang makin menghebat, yang menggerogotinya dari kulit pipi terus masuk ke dalam, ke tulang-tulang pipi terus menjalar sampai ke seluruh muka dan kepala, seolah-olah ada ribuan semut menggerogoti daging-daging dan tulang-tulangnya. Rasanya gatal, pedih, ngilu dan sukar diceritakan bagaimana tepatnya karena seolah-olah segala macam rasa nyeri yang menimbulkan penderitaan berkumpul di situ. Kiranya tidak ada orang yang akan sanggup menahan rasa nyeri seperti ini, rasa nyeri yang terlalu hebat sehingga tidak membuat dia pingsan, akan tetapi juga demikian luar biasanya sehingga tidak tertahankan lagi untuk tidak berteriak, bergulingan, mencakar-cakar muka sendiri dan orang Jeng-hwa-pang itu menjadi seperti gila! Mukanya sudah habis dicakarinya sendiri, kulit mukanya pecah-pecah berdarah sehingga muka itu berubah merah seperti dicat, hidungnya remuk dicakar dan dicabiknya, bahkan kemudian, dalam usahanya untuk melenyapkan rasa gatal dan nyeri luar biasa itu, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk mencokel keluar kedua matanya! Akhirnya, dengan suara pekik terakhir yang amat mengerikan, orang yang mukanya sudah tidak karuan macamnya itu jatuh berkelojotan di atas panggung, kemudian kaki tangannya merentang dan menegang, kaku dan mati! Menyaksikan peristiwa yang amat mengerikan ini sang permaisuri, yaitu Puteri Khamila ibu Ceng Han Houw membuang muka dan Raja Sabutai segera memberi isyarat kepada para dayang dan pengawal untuk mengantar sang permaisuri memasuki Istana Lembah Naga. Juga semua orang yang hadir merasa amat ngeri. Belum pernah mereka menyaksikan kekejaman seperti yang diperlihatkan oleh nenek tua renta itu. Sin Liong sendiri diam-diam merasa menyesal bukan main. Biarpun si baju hitam tadi adalah seorang Jeng-hwa-pang dan utusan ketua Jeng-hwa-pang yang pernah menyiksanya dan nyaris membunuhnya, juga biarpun orang tadi berusaha untuk membunuh kakak angkatnya, akan tetapi akhirnya orang itu mati di bawah siksaan Hek-hiat Mo-li musuh besarnya. Jadi dia yang telah membantu musuh besarnya dan kematian orang itu di bawah siksaan keji itu sebagian adalah menjadi tanggung jawabnya. Atas perintah raja, beberapa orang pengawal cepat turun tangan menyingkirkan mayat yang sudah tidak karuan mukanya itu dari atas panggung. Sementara itu, Hek-hiat Mo-li sudah berkata lantang kepada Raja Sabutai, suaranya masih nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ. “Sri baginda, apa artinya ini? Saya mendengar bahwa sri baginda mengumpulkan orang-orang tak berguna ini untuk memilih seorang guru di antara mereka, guru yang akan melatih ilmu silat kepada putera paduka. Benarkah itu?” Memang Raja Sabutai tidak memberi tahu akan sayembara itu kepada gurunya, Hek-hiat Mo-li. Nenek itu sudah tua, sudah setengah pikun dan wataknya aneh sekali, bahkan untuk mengajar Han Houw saja selama itu oleh nenek ini diserahkan kepada Kim Hong Liu-nio dan nenek itu tidak pernah melatih sendiri. Oleh karena itu, Raja Sabutai menganggap bahwa nenek itu telah terlalu tua dan tidak tepat lagi untuk mengajarkan limu kepada Han Houw, maka tanpa memberi tahu dia mengadakan sayembara ini. Dia sengaja tidak memberitahu karena takut kalau-kalau gurunya itu akan merasa tersinggung. Siapa kira, nenek yang dianggapnya pikun itu tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah panggung dan memperlihatkan kekejaman dan juga kelihaiannya di depan semua orang dan kini malah menegurnya di depan banyak orang dan menyebut para tamu kang-ouw itu sebagai orang tak berguna! “Harap subo memaklumi,” katanya lirih karena dia merasa tidak senang untuk berdebat dengan gurunya di depan banyak orang. “Memang aku mengadakan sayembara memilih guru untuk mendidik Pangeran Oguthai, karena aku tidak ingin merepotkan kepada subo yang sepatutnya beristirahat dan tidak diganggu.” “Jadi paduka menganggap saya sudah terlalu tua untuk menjadi guru pangeran? Hemmm, saya mengerti bahwa memang paduka berhak mencarikan guru yang lebih pandai deripada saya, akan tetapi hendak saya lihat apakah di antara tikus-tikus ini ada yang mampu menandingi saya. Heh, kalian dua orang tosu dan Lama yang tadi bertanding! Apakah kalian berdua berani maju bersama untuk menandingi aku?” Nenek itu menantang dan menudingkan tongkat bututnya kepada tosu dan pendeta Lama yang tadi bertanding seru dan belum ada ketentuan menang kalahnya lalu berhenti karena munculnya orang Jeng-hwa-pang. Ditantang di depan begitu banyak orang, dua orang yang masih merasa penasaran itu tentu saja menjadi marah. Mereka merasa dihina oleh nenek kejam itu, maka karena mereka tidak mau saling mengalah dan disangka takut, keduanya seperti berlomba telah meloncat naik lagi ke atas panggung dari kanan kiri, menghadapi nenek tua renta yang berdiri terbongkok-bongkok itu. Mereka berdua tentu saja tidak berniat mengeroyok nenek itu, karena mereka adalah saingan-saingan untuk memperebutkan kedudukan guru pangeran. Akan tetapi karena nenek itu menyebut mereka berdua, maka mereka berloncatan naik untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak mengenal takut. “Heh-heh-heh, alangkah lucunya!” Hek-hiat Mo-li tertawa, memandang kepada mereka dengan sikap merendahkan. “Orang-orang macam kalian ini hendak menjadi guru pangeran? Huh-huh, kebisaan apakah yang kalian miliki? Coba kalian tahan ini!” Dan tiba-tiba tubuh yang bongkok dan kelihatan kurus kering dan lemah sekali itu sudah bergerak, tongkatnya merupakan sinar hitam menyambar ke kanan kiri dan dalam waktu singkat sekali Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan totokan dengan tongkatnya, masing-masing tiga kali ke arah tosu dan Lama itu! Tosu dan pendeta Lama itu terkejut bukan main karena totokan tongkat itu mendatangkan hawa panas menyengat dan biarpun sudah tua renta, ternyata nenek itu memiliki gerakan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka, juga cepat sekali, maka merekapun cepat-cepat menghindarkan diri. Tosu itu menggunakan kelincahannya untuk mengelak, sedangkan pendeta Lama itu menggunakan kekuatannya untuk menangkis. “Aduhhh...!” “Akhhh...!” Tosu itu terhuyung karena biarpun sudah amat cepat dia mengelak, tetap saja pundaknya keserempet tongkat, sedangkan Lama itupun terhuyung karena ketika lengannya menangkis, ada hawa panas yang amat hebat menerjangnya dari lengan menjalar ke pundak. “Heh-heh-heh, hanya begini saja jagoan-jagoan yang hendak menjadi guru pangeran?” ejek nenek itu dan kini dia menyerang lagi dengan hebatnya. Memang tingkat kepandaian nenek ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kedua orang itu, maka biarpun mereka berdua berusaha sedapat mungkin untuk mengelak, akan tetapi lewat dua puluh jurus saja keduanya roboh terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tewas, tosu itu tertusuk ulu hatinya oleh ujung tongkat sedangkan Lama itu kena ditampar pelipisnya oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li yang mengandung tenaga sin-kang ampuh sekali. Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru! Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, apalagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semua telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai sudah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan. Akan tetapi, nenek keriputan itu tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, tentu saja bukan seperti senyum lagi jadinya. “Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang mampu melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!” tantangnya. Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Tentu saja di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biarpun guru seorang pangeran? Apalagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu. Mereka merasa penasaran sekali Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah tiba di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tidak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biarpun mulut mereka tidak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes. “Heh-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!” Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayun tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali. Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan sudah bangkit berdiri untuk menegur subonya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata, “Ayah, biarkanlah. Akupun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudab memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo agar dia tidak marah-marah.” Sementara itu, para tamu yang melihat sikap nenek itu, sebagian merasa jerih dan sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang, “Heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorangpun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!” Rombongan tosu dan rombongan Lama sudah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak memperdulikan ulah nenek gila di atas panggung. “Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tidak seorangpun di dunia ini yang berani melawanku?” “Aku yang berani! Aku berani melawanmu!” Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda berdiri tegak menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong! Pemuda ini sejak tadi sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, apalagi menyaksikan kekejamannya, kemudian melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia sudah meloncat ke depan nenek itu dari menyambut tantangannya. Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga dan panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu. “Liong-te, jangan...!” Han Houw juga terkejut sekali dan berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, nenek Hek-hiat Mo-li telah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran. “Heh-heh, mampuslah, bocah!” bentaknya dan tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat daripada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap amat merendahkan dan menghinanya di depan orang banyak. Maka dia menyerang hebat, dengdn maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu. “Krekk...! Plakk...!” Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada saat itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah. “Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!” Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa seperti mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja telah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya dan membuatnya terdorong mundur dan terhuyung, dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sin-kang yang luar biasa kuatnya! “Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!” Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana. “Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...” Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak perduli akan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan. “Oguthai, siapakah dia itu?” Tiba-tiba terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu. “Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku.” “Adik angkat? Dia... dia hebat sekali...” Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman. Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subonya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis sehingga tongkat subonya patah dan subonya terdorong mundur, dia benar-benar merasa takjub sekali. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran. “Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suhengku.” “Hee? Bagaimana ini?” Raja itu bertanya heran. “Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka diapun terhitung suhengku.” “Ah, begus sekali!” raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subonya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. “Siapakah gurumu itu?” “Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw...” “Ahh...?” Raja Sabutai terbelalak dan memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. “Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi... itu adalah nama tokoh dalam dongeng...” “Akan tetapi buktinya, Liong-te telah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?” bantah Han Houw. “Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?” Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan. Sin Liong menjura. “Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu.” Kemudian dia menoleh kepada Han Houw dan berkata, “Houw-ko, maafkan aku, kalau engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan.” “Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu,” kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya. “Bantuan apakah itu, Houw-ko?” “Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran, maka keselamatanku terancam. Karena itu, aku sendiri akan mencarinya dan harap kau suka membantuku.” “Hemm... kalau begitu baiklah.” kata Sin Liong tidak mampu menolak karena dia tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri. Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, terutama permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi telah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh! Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda. Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Ketika Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar. Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia merasa penasaran bahwa dia belum sempat untuk menemui Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu. Dan diapun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu. *** Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun amat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong. Biarpun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri, tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita telah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia! Akhirnya, dengan berkah dan restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya. Yap Kun Liong adalah seorang duda, ditinggal mati isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami merekapun sama, yaitu dibunuh orang. Biarpun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian (baca Petualang Asmara). Adapun Cia Giok Keng ditinggal mati suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si. Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang selama ini telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!   Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlalu dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak antara kedua orang itu, Yap Kun Liong menerimanya dengan baik, akan tetapi terpaksa pesta pernikahan harus diundur sampai selesai perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun. Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasip. Usia Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan usia Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi. Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tidak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali? Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia telah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang mengira bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu! Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sebetulnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sukar dipercaya kalau dia sudah berusia setengah abad lebih karena melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun. Biarpun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang di waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggapnya sebagai seorang anak sendiri. Terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong. Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini. Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tidak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya adalah adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong! Dalam hal ilmu kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apalagi setelah kedua suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka telah mencapai tingkat yang amat hebat dalam tenaga peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum. Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, dan Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti sucinya yang kini duduk sebagai mempelai wanita. Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah adalah keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apabila pesta perayaan itu biarpun sederhana namun menjadi meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar. Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kong-kongnya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu. Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar adalah warna merah yang diutamakan, dan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri seperti biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah, dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu. Kini tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali. Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu, diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kai-pang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini! Betapa beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kai-pang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang tingkat dua itu. “Bedebah... kubunuh dia...” desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini. “Enci... harap tenang dan sabarlah,” bisiknya. “Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suciku.” Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguhpun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan mulut tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat daripada pandang mata dan kata-kata biasa, mereka telah saling mengerti dan keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka tentang ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang? Akan tetapi, Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong sudah mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik, “Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?” Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. “Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu.” “Silakan, pangcu, silakan...!” Yap Kun Liong lalu mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam. Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya dan Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang. Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah dan matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kai-pang cepat menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu, “Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil daripada yang kauderita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya.” “Duduklah, pangcu dan mari kita bicara dengan terbuka,” kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk. “Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini agar tidak menarik perhatian orang. Nah, harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik.” Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kai-pang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. “Seorang anggauta kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami minta pertanggungan jawabnya karena membunuh seorang anggauta kami tanpa sebab. Wanita iblis itu tidak mempertanggungjawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio.” Lalu dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya. “Karena wanita itu bersembunyi di gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang agar saya suka datang ke gedung itu pada watu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang segera menyerang saya. Kemudian, sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah dan terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apalagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan mengapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya.” “Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!” Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. “Jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan.” “Tenanglah, dan biarkan pangcu nmnjelaskan. Bagaimana selanjutnya, pangcu?” tanya Yap Kun Liong. Kakek pengemis itu menarik napas panjang. “Sudah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, biarpun menjadi pengemis akan tetapi belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Banyak memang saya membunuh orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apalagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang kini menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu.” “Apa yang sesungguhnya terjadi?” Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik. “Semua adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi dalam gedung Lee-ciangkun, bahkan dia menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa kepada kaisar dan dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan perajurit-perajurit pengawal, saya memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya.” “Tidak masuk akal,” Souw Kwi Eng membantah. “Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?” “Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar,” pengemis tua itu berkata, “tadinya sayapun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke manapun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan diapun pernah mengaku bahwa ketika dia membunuh anggauta kami she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukan Hwa-i Kai-pang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggauta kamipun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio.” “Ah, keteranganmu memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!” Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. “Kiranya nenek tua bangka itu memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan dia telah dibantu oleh Lee-ciangkun untuk melaksanakan hal itu, bahkan lalu melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!” Semua orang mengangguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. “Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe...” “Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!” kata Bun Houw marah. “Dan pembesar Lee yang curang dan pengecut itupun harus diberi hukuman yang setimpal!” kata pula Lie Seng. “Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sukarlah untuk mengganggunya,” kata Hwa-i Sin-kai. “Kalau kita menyerang gedungnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal...” “Ah, adik dari Panglima Lee Cin?” Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu. “Lebih baik lagi kalau begitu,” Yap Kun Liong berkata, “biar kutemui Panglima Lee Cin yang kita mengenalnya sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar.” “Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis macam Kim Hong Liu-nio dan gurunya.” kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena diapun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den kekhawatiran. “Ada pasukon pemerintah datang untuk menangkap kita!” kata Cia Giok Keng kepada suaminya. “Ah, apa sebabnya?” “Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!” jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat. “Kita serbu saja dan usir mereka!” kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar. Tiba-tiba terdengar suara lantang di luar, “Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!” Yap Kun Liong mengerahkan khi-kangnya dan berseru dari dalam ruangan itu. “Apakah disamya kami hendak ditangkap?” Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta. Suasana menjadi sunyi sekali setelah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan penuh perhatian, semua mata memandang keluar dan hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu. Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguhpun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara inipun cukup nyaring melengking didorong oleh tenaga khi-kang yang kuat. “Kami membawa perintah Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kai-pang dan Pek-lian-kauw. Oleh karena itu menyerahlah kalian bereimpat dengan baik-baik sebelum kami serbu!” “Keparat!” Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar. Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, akan tetapi mereka tidak pernah memberontak. Kini, mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kai-pang yang dicap pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja telah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dan diapun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Maka kemarahannya meluap dan dia sudah berlari keluar dan mengamuk, merobohkan beberapa orang perajurit dengan tongkatnya yang digerakkan secara lihai bukan main. Gegerlah para perajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adatah ketua Hwa-i Kai-pang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang, lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu. Akan tetapi, komandan pasukan memberi aba-aba dan kakek inipun dikeroyok oleh banyak sekali perajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung. Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi perajurit roboh oleh amukan tongkatnya, akan tetapi kini para perajurit mempergunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah. Dihujani serangan tombak dan anak panah, walaupun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itupun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya. Kalau dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan gin-kangnya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam kepada Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu dan Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu. Sekarang, setelah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, setelah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh Hwa-i Kai-pang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tidak ingin untuk lari menyelamatkan diri, melainkan mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu. Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya! Para tamu tidak ada yang berani ikut mencampuri, apalagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dianggap pemberontak oleh permerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut. Setelah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan kembali berteriak dengan nyaring, “Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!” Yap Kun Liong dan keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, bahkan dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa, “Siapakah yang memimpin pasukan ini?” “Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini.” “Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!” kata pula Yap Kun Liong. Seorang pemuda maju dan mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, kemudian komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung, kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kalsar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat. “Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku,” kata Yap Kun Liong dengan suara lantang. “Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!” jawab Ma-ciangkun. “Ayah...!” Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. “Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?” isaknya. “Sttt, jangan, anakku. Lanjutkan pernikahan ini, jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian.” Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu. Yap Mei Lan menangis terisak-isak dan Souw Kwi Beng juga memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati sucinya, menghibur dan berbisik. “Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan nwnjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku.” Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, “Sute, terima kasih dan hati-hatilah.” Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihunya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan gelisah sekali, terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak. Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur. Di sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami melakukan perjalanan, tentu dia sudah menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan empat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.   Sebetulnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu. Telah diceritakan di bagian depan bahwa biarpun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapapun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya. Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum dapat menyerahkan dirinya karena ancaman subonya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri. Mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantunya untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti telah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Makin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia berpacaran dengan panglima itu, walaupun dia masih belum berani menyerahkan diri karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng! Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannnya ketika mereka saling berpelukan dan berciuman. Oleh karena itu, mana mungkin dim mampu menanti sampai semum musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah sampi wanita itu selesai membunuh musuh-musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu? Maka, Lee Siang tidak dapat tahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan berahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing. Dan setelah keesokan harinya sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat di dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subonya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subonya bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap! Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibir. Dia merasa puas, dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa. Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di depan pembaringan, tubuhnya hanya dibalut selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang! “Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?” tanyanya dengan mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, namun bahkan menonjolkan kecantikannya. “Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Kita berdua harus mati sekarang, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri daripada mati di tangan orang lain!” Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini. “Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta padamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, kenapa... kenapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?” Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya. “Aku tahu... dan engkaupun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justeru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka.” “Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?” Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah. “KAULIHAT daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?” Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang berada di dagu wanita itu, yang menambah kamanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini telah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu tentang sumpahnya kepada subonya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subonya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam! Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu menyerahkan diri. “Hong-moi, kasihku, sayangku, kaudengarkan aku. Aku mempunyai akal untuk menghadapi subomu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... aku minta... sukalah engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati...” Lee Slang membuka seilmut yang menutupi tubuhnya membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali dan dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu. “Ahhh...!” Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul dan menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. “Ah, Lee-ko... Lee-ko... bagaimana aku dapat membunuhmu...?” Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut. “Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah engkau sudah menceritakan bahwa subomu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Biarpun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kaukatakan, apa sukarnya untuk mengelabuhi pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apalagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?” Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu berahinya sudah berkobar lagi. Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, “Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ah, dadamu sampai terluka, berdarah...” Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil di dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam. Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap saat dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga dan akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara. Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subonya dan suhengnya yang mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Ketika hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatirannya tentang tahi talat yang hilang itu. Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. “Ah, tidak ada bedanya seujung rambutpun, Hong-moi. Jangan khawatir, apalagi subomu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu.” Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat! Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorangpun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat di dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata, “Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?” “Harap subo suka bersabar, teecu tidak pernah berhenti berusaha,” kata Kim Hong Liu-nio dan saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan diapun tidak perduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subonya. Setelah memberi hormat kepada subonya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut. Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai memandangnya penuh perhatian, terutama memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang ketika dia melangkah tadi. Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan bicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main. Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, sudah dapat menduga bahwa sumoinya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggilnya dengan wajah bengis. “Kim Hong, lekas kaucuci titik hitam di dagumu itu!” bentak sang guru. Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran. “Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?” “Hemm, masih hendak mengelabuhi gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?” Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia telah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis! “Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?” Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. “Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu telah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan...” “Perempuan hina!” Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subonya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya. Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, “Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!” “Subo, tahan dulu!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu. Nenek itu menoleh dan memandang Sabutal dengan wajah makin berkerut menyeramkan. “Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!” Raja Sabutai tersenyum. “Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak dapat menahan gelora nafsunya? Memang dia telah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biar dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh diapun belum terlambat.” Hek-hiat Mo-li mengomel. “Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku kena dikelabuhi, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kaudengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!” Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika di Lembah Naga diadakan pemilihan guru silat, dia tidak hadir, dan itu pula sebabnya mengapa Hek-hiat Mo-li marah-marah ketika Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Kemarahannya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu. Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subonya dan suhengnya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu. “Ah, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuh aku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, daripada di tangan subo atau suheng!” wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang. Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya. “Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu,” katanya. Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia memperoleh akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula, kemudian dia mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar untuk pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng. Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su dan seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap empat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena selain tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng. Memang, kalau orang sudah tergila-gila apapun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu. Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tidak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekat. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai matipun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, apalagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka. Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apalagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dua kang-ouw akan menjadi geger karenanya dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang. Namun, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamatpun takkan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang dicintanya, biar apapun terjadi, dia tidak takut bahkan matipun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu. Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebarluaskan berita tentang penangkapan itu dan seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar. Kalau yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Betapa aneh dan janggalnya berita ini. Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu, dan tentu saja banyak para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka. *** Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu menyerah karena melihat “surat perintah” kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang amat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu. Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu. Inilah sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan. Apalagi ketika pada suatu malam rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak menggunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang minta kepada kawan?kawan di dunia kang?ouw agar jangan melawan pemerintah. karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adll di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu. Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang. Kereta kerangkeng itu dimasukkan dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin perajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin perajurit pilihan! “Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semua ini dan mengamuk!” Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.   “Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan pengadilan, aku yakin kita akan dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat daripada bebas menggunakan kekerasan.” “Aku heran sekali, mengapa kita berempat disuruh tangkap oleh kaisar?” Bun Houw berkata. “Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Biarpun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!” kata Yap In Hong. “Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu,” kata Kun Liong kepada adiknya. “Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andaikata difitnah sekalipun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Kalau kita menggunakan kekerasan, hal itu bahkan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Kalau kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak.” Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan samadhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, “sssttt...!” karena dia mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan merah dan dengan gerakan yang ringan sekali melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah, turun di luar ruangan itu. Seorang wanita muda yang cantik manis, pakaiannya serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dihias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas! Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, tiba-tiba Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu. “Mau apa kau ke sini?” Bun Houw membentak. “Pergilah kau!” In Hong juga membentak. Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi. Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. “Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo.” “Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!” bentak In Hong. “Kalau suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biariah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik padanya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya...” “Sudahlah, kami bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!” kata Bun Houw. “Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...” gadis itu memohon. “Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!” In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya dan Kun Liong khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng. “Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu,” kata Bun Houw. “Suhu... subo...” wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali. Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu telah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya lebih cepat daripada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu. “Seng-ji...!” Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya. “Ooh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia berniat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis.” “Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami.” kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu. Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin datang penjaga baru dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, “Seng-ji, kautinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukan itu terus, akan tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa-apa sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan.” “Benar kata ayahmu, Seng-ji. Kaupergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri.” kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya girang dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka. “Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhnya. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini.” Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur. “Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?” Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya tentang gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu. “Akupun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?” kata Yap Kun Liong kepada adiknya. “Siapakah dia?” Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandang mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya, “Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, akan tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, dan tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baiklah, akan kuceritakan semua tentang dia.” Pendekar ini lalu bercerita, dengan suara bisik-bisik agar jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, dan hanya terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya. *** Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuen bernama Sun Eng. Di dalam cerita Dewi Maut diceritakan bahwa Bun Houw pernah dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi. Sun Bian Ek ini sengaja mengganti nama karena dia menjadi orang buruan, berganti nama Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya sampai Kiam-mo Liok Sun akhirnya tewas di tangan musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw agar suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng. Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya dan bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi dan menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis. Kemudian, setelah merantau sampai jauh den memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang sebuah kota yang cukup ramai tak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur. Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri den mereka berdua secara bergantian mendidik den memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Sun Eng semenjak kecil memiliki watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu merupakan sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa sehingga Sun Eng menjadi manja sekali. Makin besar, Sun Eng makin menjadi cantik dan pesolek, akan tetapi dalam kelincahannya terdapat sifat-sifat genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga. Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subonya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.   Setelah berusia tujuh belas tahun, mulai nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya kalau sedang dilatihnya silat semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara. Bahkan kalau sedang berlatih silat di depannya, Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya dan pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri dan memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa! Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subonya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subonya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apalagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subonya tidak pernah menjenguk keluarga sehingga akhirnya subonya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, tentang perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw. “Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua,” subonya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subonya belum juga mempunyai keturunan! Maka tahulah Sun Eng bahwa suhunya masih perjaka dan subonya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhunya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi makin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya. Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak memperdulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta berahi. Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasanya, Sun Eng yang sudah tidak dapat menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri tentang adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu. “Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar sekali, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!” kata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti ketika Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, “Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang seorang pria seperti dia tersia-sia.” Malam itu Sun Eng gelisah di pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia membayangkan, betapa akan mesranya kalau gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila kepada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu. Betapa kaget rasa hati Bun Houw ketika dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel di wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu berahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa. “Suhu... ah, suhu... aku cinta padamu...” Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main. Dia sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan terus terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk. Akan tetapi, Sun Eng tidak menjadi takut, bahkan kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan. “Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu...” Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masib muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu berahi. Bun Houw memejamkan matanya dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan diapun balas mencium bibir yang menantang itu. Akan tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biarpun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya! Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, “Houwko, ada apakah?” Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya dan meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu, “Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu mengira maling maka teecu hendak memberitahukan suhu, celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!” Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga. “Ah, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak,” katanya. “Sun Eng, hati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan sudah mendarah daging ilmu silat dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba.” “Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing...”