Cia Bun Houw yang telah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong, dan putera mereka! Cia Kong Liang yang telah berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut. Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang biarpun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut. “Ayah...!” Sin Liong lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula. “Engkau tentu adikku Kong Liang! Ah, engkau sudah besar, tegap dan gagah!” kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya. “Inikah putera kalian?” Yap In Hong berkata ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya. “Ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus... sudah besar dan sehat pula!” kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai. Ketika Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang kini telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, dia mengangguk-angguk. “Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Aah, memang benar engkau, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, karena ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, memang keponakanku Hong San Hwesio itu boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Aaah, aku girang sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh amat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam.” “Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlalu lama bersembunyi saja, tidak lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw.” Ayahnya menarik napas panjang. “Aku sendiripun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan semua anak murid Cin-ling-pai kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, sungguh membuat aku merasa khawatir sekali. “Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?” tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Adapun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong. Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. “Banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru di dunia kang-ouw. Hanya nama mereka saja yang baru akan tetapi sesungguhnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang seolah-olah merupakan raja-raja kecil di dalam dunia hitam.” “Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?” “Aku tidak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar mereka itu berpengaruh sekali dan selain mempunyai banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapapun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai untuk tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka kalau sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja.” Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang amat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja. Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang pernah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya memiliki ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga, amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat. Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si. Di sebelah timur ada seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur, dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan terkenal sekali dengm ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di tepi pentai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Adapun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan. Itulah mereka yang kini merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu memiliki kepandaian yang hebat, menilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. “Ahh...! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!” kata Sin Liong terkejut. “Yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahhh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?” Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apalagi kalau berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka. Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati amat tertarik, bahkan dia mencatat di dalam hatinya nama-nama dan tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi. Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik seperti Han Tiong. Bahkan dia lalu mengajak keponakannya itu untuk keluar dan mereka bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang telah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Kemudian, sesuai dengan watak yang ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya saling memuji dan merendahkan diri sendiri. Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, sedangkan Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya. Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari situ, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini. “Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?” Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. “Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?” Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak berduka. “Sudah lama sekali terjadinya, sudah ada kurang lebih sembilan tahun yang lalu.” Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi malapetaka itu. “Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek dan membunuhnya itu.” Lalu diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek di mana Kui Lan menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu dan kemudian datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri. “Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya,” kata Sin Liong. “Merekapun mengatakan bahwa mereka tidak kenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apalagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarangpun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu.” Sin Liong mengerutkan alisnya. “Tidak mengherankan kalau Tiong Pek, sebagai seorang piauwsu, mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran kalau sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah ditinggal mati suaminya?” tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu. Tiba-tiba sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di situ terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. “Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja.” Mendengar ini, Sin Liong merasa heran, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka. “Beng Sin, apakah yang hendak kaukatakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia.” Beng Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi engkau sebagai saudara seibu memang berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi ikut bersama Lan-moi dan suaminya yang melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun semenjak kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi... ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya.” “Ahhh...!” Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, dan dia tidak segera dapat mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin telah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang berhak untuk menikah lagi, sungguhpun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri? “Hemm, lalu bagaimanakah kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?” tanya Sin Liong. Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. “Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa... eh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan... agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang.” “Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang,” kata Sin Liong. Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Hui-eng-piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu. Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian setelah memperoleh persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Hui-eng-piauwkiok. Dari jauh sudah nampak papan nama Hui-eng-piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu. Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan ini semua karena pandang matanya tertuju ke arah beranda depan rumah itu di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak kelihatan orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin! Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan setelah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri. “Liong-ko...!” Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata telah bercucuran di atas pipi mereka. “Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!” kata Kui Lin. “Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?” tanya Kui Lan. Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. “Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!” Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang amat menghormat Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biarpun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini. Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lalu menarik tangan Sin Liong dan berkata, “Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali.” “Duduklah, koko,” kata pula Kui Lin. “Cia-taihiap, silakan duduk,” Ciu Khai Sun juga menyambung. Biarpun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. “Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin...” dia berkata, suaranya dingin. Khai Sun dan dua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, “Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kaudengar darinya?” Sin Liong kini memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, “Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami encinya. Benarkah ini?” Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja. “Brakk! Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?” Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar itu yang maklum akan kemarahan kakak mereka menangis dan seperti hendak saling melindungi. “Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau, yang memiliki kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, mengapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?” Pertanyaan ini penuh teguran dan penyesalan, dan kini pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan. Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, sepasang matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata, “Cia-taihiap, biar akan kaubunuh sekalipun diriku ini, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri.” Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya! “Liong-ko, jangan kausalahkan suami kami, dia sama sekali tidak bersalah dalam hal ini...” kata Kui Lan. “Akulah yang bersalah, Liong-ko.” kata Kui Lin. “Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!” Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin. Dua orang wanita itu kini tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah! “Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah...” “Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!” tiba-tiba Kui Lin menjawab dan jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak dan dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali. “Kalian... kalian sudah gila...?” tanyanya gagap. “Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua mengeroyoknya dan membunuhnya!” “Ohhh...!” Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri! “Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?” Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, “Aku telah ternoda, walaupun itu terjadi di luar kesadaranku, namun hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan dan melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tidak dikenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tidak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat daripada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?” Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masukiah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang laki-laki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin! Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan, dan merangkul pangkuan wanita ini sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka memang berlumba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin. “Mereka anak-anak kalian...?” Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya. Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, Khai Sun menjawab sambil tersenyum. “Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua.” Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justeru puteri Kui Lan! “Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!” kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguhpun masih ada bekas air mata pada pipi mereka. “Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!” kata anak lakl-laki itu dengan sikap gagah. “Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!” sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja. Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. “Anak-anak yang baik...” katanya terharu. Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun tak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut? Mereka berdua telah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak. Karena mereka masih akan bicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka. “Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!” kata anak laki-laki itu. “Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!” bantah adiknya. Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing mempunyai dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini agaknya sedikitpun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua! “Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?” Kui Lin bertanya. “Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen.” “Ah? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?” Kui Lin menegur. Wajah Sin Liong menjadi merah. “Karena tadinya... eh, kupikir... tidak enaklah dengan adanya urusan... tapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biar kuambil mereka.” Keluarga Ciu merasa girang sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka, maka ketika Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu. Dengan hati lapang melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen? Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Dan sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul panjang yang ditulis dengan huruf-huruf merah! PAK-SAW-KUI MENGUNDANG PENDEKAR LEMBAH NAGA UNTUK DATANG BERKUNJUNG! Sin Liong terbelalak memandang sampul itu dan teringatlah dia akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menceritakan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya? Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu dan suaranya berwibawa ketika dia bertanyap “Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!” Pengurus losmen itu nampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. “Maafkan kami semua, sicu...” Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ. Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, yang ditinggal di losmen oleh Sin Liong sedang duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit. Suara keras membentak-bentak pengurus losmen. “Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?” Tentu saja mendengar ini Bi Cu terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap, “Ada... ada... tapi dia sedang keluar.” “Ke mana? Hayo katakan ke mana!” “Tidak... tidak tahu...” “Plak! Plak!” Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu. “Sungguh mati, dia keluar tanpa memberitahu ke mana... ampunkan saya... ampunkan saya...” “Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?” bentak suara kasar tadi. Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan diapun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang laki-laki tinggi besar mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah menghadapi tontonan yang menyenangkan. “Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa mencari suamiku?” bentak Bi Cu sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya. Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai. “Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?” “Hemm, engkau orang kasar mangapa mencari suamiku?” bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru. “Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu, sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu telah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ. “Han Tiong, mundurlah!” Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung. “Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?” Bi Cu membentak. “Ha-ha-ha, tuan besar kami mengundang Pendekar Lembah Naga, akan tetapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanya isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulur tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tertawa ha-ha-he-he oleh para temannya. “Keparat jahanam kau!” Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlalu cepat atau memang laki-laki itu memandang rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu! “Plakkk!” Orang itu terkejut, terhuyung dan mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah, karena bibirnya pecah. “Serbu! Tangkap!” bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu. Namun nyonya ini dengan mudah saja mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar. Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak, “Lepaskan aku!” Bi Cu terkejut dan menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya. “Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!” bentak orang yang menangkap Han Tiong. “Hemm, apa maksud kalian?” bentak Bi Cu, sedikit pun tidak takut sungguhpun diam-diam dia mengkhawatirkan puteranya. “Sedikit saja kauganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!” Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jerih juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, tentu akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya kalau mereka sampai berani mengganggu puteranya. “Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus maupun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, kamipun tidak berani bersikap kasar.” Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia dan puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka. “Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!” katanya dengan tegas dan diapun lalu menghampiri puteranya. Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lalu keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata di luar telah menanti sebuah kereta. Bi Cu dan puteranya dipersilakan naik kereta yang lalu dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya. Demikianlah keterangan yang diperoleh Sin Liong dari pengurus losmen yang masih biru-biru mukanya. Mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu. “Di manakah rumah Pak-san-kui ini?” tanyanya kepada pengurus losmen. Pengurus losmen itu menggeleng kepala. “Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadipun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara.” Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Kenapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagaimana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, dan mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu? Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ah, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, dan memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya. Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya! Setelah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mergka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram. “Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?” tanya Kui Lin. “Mari kita bicara di dalam,” kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan. Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu. “Inilah sampul undangan itu,” katanya sebagai penutup dan memperlihatkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka. “Sungguh kurang ajar!” seru Kui Lan. “Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?” seru Kui Lin. Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut. “Hemm... Pak-san-kui...” “Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?” tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu. Ciu Khai Sun menggeleng kepala. “Aku tidak pernah bertemu dengan dia akan tetapi namanya amat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga besar sekali. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main dan terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?” “Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Dia sudah pasti berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota,” kata Sin Liong. “Ah, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali kalau dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?” “Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki ke sana.” “Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!” “Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, amat tidak baik kalau sampai engkau tersangkut, apalagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulan saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku.” Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong lalu berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh kekhawatiran dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin. Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biarpun istana kaisar sekalipun akan dimasuki kalau perlu! Beberapa orang perajurit penjaga segera maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, “Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?” Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!” Enam orang perajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, maka karena mereka pun datang dari Tai-goan, tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan merekapun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Biarpun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga, maka mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut. “Tunggulah... tunggulah kami melapor...” kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam. Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak isterinya berada di dalam gedung itu? Masih dalam keadaan selamat? Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu dan menghampirinya dengan lagak memandang rendah dan tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang. “Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?” tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya. Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi diapun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak daripada si pembesar itu sendiri! Memang demikianlah keadaan kita manusia dalam dunia ini. Kita selain ingin merasa lebih tinggi daripada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh kepada orang lain yang kita anggap lebih rendah. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang sedemikian tingginya karena kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu menjadi bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah daripada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam “paling” lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain. Gambaran diri ini pasti timbul kalau tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan waspada setiap saat akan diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah! Penglihatan yang jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kitapun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita. Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata. “Benar, aku bernama Cia Sin Liong.” “Hemmmm...” Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. “Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban. “Bagus, tuan besar kami memanggilmu, mari kauikuti kami untuk menghadap beliau!” setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu dengan empat orang temannya, lalu melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar. “Pendekar Lembah Naga, mari kauikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha!” Si Cambang Bauk tertawa bergelak. Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya dan mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka itu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar. Mereka sengaja membalapkan kuda dan beberapa kali mereka menengok ke belakang, tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lalu membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan tidak melihat Sin Liong maka mereka tertawa makin keras. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah ketika mereka melihat seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal pria tu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua di antara mereka menggosok-gogok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Pria itu tadi mereka tinggalkan dan mereka membalapkan kuda, tidak nampak pria itu menyusul atau melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang? Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong mempergunakan gin-kang, berlari cepat seperti terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu. “Nah, di mana adanya Pak-san-kui?” tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya. “Ada... ada..., mari silakan masuk...” kata Si Cambang Bauk kini sikapnya ayak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka. Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat kalau bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih daripada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah daripada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan penindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat. Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara orang-orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat, ”Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!” Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas. Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia, dan puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia. “Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!” Sin Liong melihat seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung, pakaiannya seperti seorang hartawan, memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap, sikapnya ramah, kuncirnya tebal dan panjang, kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas, memandang kepadanya sambil tersenyum lebar. Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, dapat dikenal dari pakaiannya, dan dia sudah berusia lima puluhan tahun dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu. Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat hormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekitar tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa. “Ha-ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, telah lama aku mendengar nama besarmu, sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk...” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan dan Sin Liong lalu memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian diapun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-katapun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah dapat mengetahui isi hati isterinya yang tercinta. “APAKAH wan-gwe (tuan kaya) yang mengundangku ke sini?” tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya. Melihat sikap pendekar yang begitu tenang, sama sekali tidak memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, dan mendengar pendekar itu menyebutnya wan-gwe, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu, dan ruangan itu seolah-olah tergetar hebat. Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khi-kang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan diapun mengerti Mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu. “Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Telah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau telah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga bukan termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguhpun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali.” Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, “Apa yang locianpwe maksudkan?” Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe melainkan locianpwe (sebutan untuk golongan tua yang gagah perkasa), karena sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang dipergunakan oleh Sin Liong itu bukanlah penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati. “Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?” Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia tertawa. “Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li itu masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguhpun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan setelah tiba di sini, karena kebetulan sekali akupun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu.” Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang inipun tidak luput daripada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapapun juga, harus diakui bahwa orang ini amat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Kini tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu. “Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?” “Ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin bertemu dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, eh, siapa tadi namamu?” tanya kakek itu kepada Han Tiong. “Namakti Cia Han Tiong,” jawab anak itu. “Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat.” Orang yang berpakaian pembesar itupun lalu berkata, “Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!” Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali akan sikap orang. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, kemudian di sini diperlakukan dengan hormat! “Terima kasih,” katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama. “Sudah kukatakan bahwa biarpun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Biarlah undangan ini dapat kauanggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu.” Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong. “Terima kasih. Locianpwe telah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku.” “Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!” Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini dan dia harus berhati-hati terhadap orang ini yang memiliki kecerdikan. “Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?” “Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kaukira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?” “Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?” tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang. Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan seorang di acara para pepgawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Setelah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar dan asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata, “Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!” “Mengujiku?” “Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu amat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku.” Setelah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapapun juga, maka dia pun cepat berkata, “Locianpwe, kami bertiga telah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini.” Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kiri ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. “Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kiia telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, boleh dibilang mewakili aku dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang.” Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah tentu maksud tuan rumah dan tentu saja dia sedikitpun tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapapun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, setelah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu. “Locianpwe, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku saja kalah,” katanya sambil menjura. Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia dan Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali, kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri? Dia sendiri tidak menghendaki puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi dia lebih-lebih tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya! “Locianpwe ini telah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?” Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan yang disembunyikan dalam kata “kebaikan” itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu. “Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan,” sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya. “Ha-ha-ha, Cia-sicu terlampau merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga mempunyai suami seperti Cia-sicu. Nah, kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!” katanya sambil menggerakkan huncwenya dan tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, kini bangkit dari tempat duduk mereka, lalu memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali. “Teecu bertiga mentaati perintah suhu.” kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong. “Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!” Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan kini hanya mengutus murid-muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya. Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Kalau dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya, akan tetapi kalau sebaliknya tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan. Maka dia lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. “Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung.” Dan diapun lalu menuju ke tengah ruangan yang telah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya. “Hemm, kalian hendak maju berbareng?” Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jerih dan ragu. “Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang.” kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah kepada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu. Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tak pernah mengenal takut, kini merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti dan membuatnya penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga! Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut. Sementara itu, tiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka kelihatan tegap dan kokoh kuat, dengan sikap yang pendiam membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melemparkan jubah mereka ke sudut, lemparan yang disertai tenaga sin-kang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong dan dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka telah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu. Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan memiliki kepandaian hebat itu, tentulah bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dia menghadapi sesuatu yang amat sukar, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, dan di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah! “Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!” bentak orang yang berada di sebelah kanan. Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini, ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, sedangkan kedudukan mereka selalu menjadi pengepungan segi tiga lagi. Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidaklah bergerak terlalu cepat, cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya saja untuk mengimbangi mereka. Dan biarpun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya. Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekalipun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong telah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi. Dia telah “mengoper” tenaga sin-kang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang dialah sekarang tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi-i-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mujijat yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu. Akan tetapi, karena dia tidak ingin membangkitkan rasa penasaran di hati datuk sesat baru ini, Sin Liong sengaja hanya mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja untuk mempertahankan diri. Bahkan dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga nampak dia terkurung dan terdesak hebat. Dia mengelak dan menangkis dan tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat. Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alisnya dan kembali dia merasa penasaran. Dia tentu saja mengenal suaminya dan tahu bahwa kalau suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apalagi sampai mendesak suaminya seperti itu! Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang amat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biarpun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa amat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena tiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Memang, dalam pandang orang lain kecuali Bi Cu yang sudah mengenal betul kelihaian suaminya, nampaknya Sin Liong terdetak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang memiliki kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabuhi. Demikian baiknya Sin Lioing menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tidak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena sudah sedemikian matang ilmu silat Sin Liong sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya sehingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguhpun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu! Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya dan mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tidak bermaksud untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, hal itu akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya. Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tidak berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut. Biarpun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang-kadang nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Hebat juga kalau begitu pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan dan dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubl ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat. Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong sedangkan pendekar ini sendiripun terguling roboh! “Ayah!” Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya, akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri lagi dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit. “Kepandaian murid-murid locianpwe amat hebat, aku mengaku kalah,” katanya sambil menghampiri isterinya dan begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya! Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia tersenyum kembali. Pendekar Lembah Naga itu menang sedikit dibanding tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai daripada pendekar yang disohorkan sampai ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya. Maka diapun cepat menjura. “Ah, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apalagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dari menjadi sahabat sicu!” Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati menghadapi kakek seperti ini. Kelak, kalau ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini. Sin Liong lalu minta diri, dan sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang dan pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong. Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu dan sebaliknya, Bi Cu tadinya masih kurang senang kepada mereka karena kematian suhengnya, Na Tiong Pek dan menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, ketika meninggalkan taman itu, Sin Liong menceritakan semuanya dan Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini dua orang kakak beradik kembar itu telah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Juga Sin Liong menceritakan alasannya mengapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, apalagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itupun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan bahkan membenarkan ayahnya. Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia telah meninggalkan Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja. “Omitohud... Thian Sin, mengapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?” Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah sinar bulan purnama malam itu, terkejut ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia lalu menjatuhan diri berlutut di depan hwesio itu. “Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka oleh perbuatan orang-orang jahat, maka aku ingin mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu.” “Omitohud... pikiran yang sungguh menyeleweng daripada kebenaran. Hapus dan keringkan keringatmu dan masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku.” Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika dia berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tak lama kemudian dia telah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan. “Dengarlah baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang mencelakakan orang dan betapapun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi daripada dirinya. Setiap orang manusia itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, di samping kelebihan yang membuat dia menang atas diri lain orang terdapat kekurangan, yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau kepandaian lainnya lagi. Kesemuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu dapat saja menjadi alat, untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja ilmu silat adalah ilmu olah raga yang menyehatkan manusia lahir batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, melainkan ada hubungannya yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Selain itu dengan ilmu silat inipun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sama sekaii jangan kauanggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Kalau engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikitpun tidak mengapa.” “Tapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman memiliki ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman.” “Omitohud... anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapapun tinggi ilmu silatnya, kalau dia mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas.” “Kalau mendiang ayah... apakah dia seorang pendekar, paman?” Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin dan di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh. “Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tidak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Akan tetapi, ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar dan sekarangpun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga.” Sepasang mata yang tadinya agak muram mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. “Benarkan, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?” “Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai...” “Ahhh...!” Thian Sin berseru heran. “Ibu telah bercerita tentang kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita tentang keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?” “Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, diapun adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena pernah terjadi bentrok antara ayahmu dan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu.” “Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?” “Omitohud... memang asap tak dapat dibungkus, rahasia tak perlu ditutup-tutup, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justeru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka...” “Dan agaknya... agaknya... dia tentu lebih lihai daripada ayah!” kembali hwesio itu menarik napas panjang. “Begitulah, akan tetapi hanya sedikit selisihnya. Padahal, sesungguhnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu...” “Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!” Tiba-tiba Thian Sin berkata, mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, “Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!” “Hal itu bukan tidak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan kepadamu, Thian Sin. Kelak, bukan tidak mungkin kau akan bertemu dengan dia.” Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka setelah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu. Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, dan tekun mempelajari kitab-kitab agama dan ilmu membaca dan menulis. Di waktu malam, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar merdu dan seperti mengandung rintihan sehingga diam-diam Hong San Hwesio kalau mendengar suara ini suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Thian Sin seperti biasa dengan rajin menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng, merasa segar setelah tadi berlatih samadhi lalu mandi air dingin. Maka dia menyapu sambil berdendang. Lagu-lagu banyak dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagunya juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha, akan tetapi juga condong kepada Agama To. “Kata-kata bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana, sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman, sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana!” Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun amat jelas terdengar satu-satu di pagi hari yang sunyi itu, disambut suaara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon. “Bagus sekali...!” Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, laki-laki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, dan matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka. “Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?” Thian Sin mengira bahwa orang ini tentu seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, diapun merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio, “Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata- kata nyayiannya, sambil mempelajari pula artinya.” “Bagus sekali, anak baik. Nah, apa artinya kalimat pertama : Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?” Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit hanyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai. “Kata-kata yang baik dan dapat dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya kebenarannya.” “Bagus, sekarang kalimat ke dua : Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?” Orang itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini. “Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan.” Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum. “Anak yang amat baik... lanjutkan... lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi : Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?” Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. “Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagaimana artinya, paman yang baik?” “Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?” Thian Sin menggeleng kepala. “Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti.” “Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?” “Namaku Thian Sin, she Ceng...” “She Ceng?” Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. “Omitohud... selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna...” “Lie Seng Koko...!” Tiba-tiba orang itu maju dan memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin. “Apa? Siapa...? Omitohud...!” Dia merangkapkan kedua tangan depan dada den memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, “Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang...!” “Pendekar Lembah Naga...!” Thian Sin berseru dan kini dia memandang kepada Sin Liong dengan mata torbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu. “Benar, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw...” Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan “mendiang” itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin dan memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main. “Thian Sin... anakku yang baik... keponakanku...” demikian bisiknya. “Ayah, siapakah dia?” Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu. Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya, “Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapekmu.” Bi Cu dan Han Tiong cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu. “Omitohud... betapa menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas kunjungan kalian... mari silakah masuk, kita bicara di dalam.” Dengan amat ramahnya Hong San Hwesio menggandeng tangan Han Tiong dan mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di situ. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata, “Engkaupun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!” Biarpun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan diapun ikut masuk bersama-sama. Setelah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang telah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ. Hong San Hwesio menarik napas panjang. “Omitohud..., segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apapun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa...” Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya itu bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya. “Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini.” Hwesio itu mengakhiri penuturannya. Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya, hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya, dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu amat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini tentang keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu telah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera! Akan tetapi kegirangan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa kakak angkatnya itu akhirnya tewas pula, secara menyedihkan karena tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan! “Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?” Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan. “Apakah kau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?” Bi Cu memperingatkan. Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apablia diingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang (baca kisah Pendekar Lembah Naga). “Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupannya mulai tenteram dan berbahagia, setelah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?” Untuk ini Bi Cu tidak mampu menjawab. Nyonya inipun merasa kasihan kalau dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu. “Hemm, pinceng sendiripun tidak tahu mengapa demikian...” kata Hong San Hwesio sambil menghela napas. “Aku... aku tahu...” Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak inipun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung! Sin Liong merangkul pundak anak itu. “Anak baik, ceritakanlah kalau memang engkau tahu akan hal itu.” Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur. “Dulu ayah dan ibu pernah memberi tehu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Kami disambut dengan baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, kiranya setelah tahun yang lalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelaslah bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dia yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tidak akan dapat lupa ketika orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai.” Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan kedua matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. “Aku takkan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!” “Omitohud..., Thian Sin, ingatlah...!” Hong San Hwesio berkata dengan suara memperigatkan. Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya, terbelalak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu. “Ah... paman... ampunkan saya...!” Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedang Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya telah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan ikut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam. “Sudahlah, Thian Sin, tidak perlu diingat lagi hal-hal yang sudah lampau. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan menggunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka sebaiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!” “Omitohud... itu baik sekali...!” kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main. Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan kalau Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang amat baik! “Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya.” Biarpun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan kepada Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di depan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup bela-membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada waktu itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun dan Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, maka Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik. Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berduapun berlutut di depan Hong San Hwesio yang cepat membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena girang bahwa Thian Sin telah memperoleh “tempat” yang baik sebagai anak angkat Sin Liong. “Twako, sebenarnya kedatangan kami ini mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati.” “Ah, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku,” jawab pendeta itu dengan gembira. Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia dan isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. “Twako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak memiliki kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi kepada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap twako tidak menolak permintaan tolong kami ini.” “Omitohud... bagaimana kau dapat berkata demikian? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!” Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Biarpun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan amat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun. “Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran taopek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian.” demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu. Dua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu sampai keluar pekarangan kuil, bersama dengan Hong San Hwesio dan mereka berdua itu kelihatan tenang-tenang sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, wajahnya yang membayangkan kejujuran itu nampak tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali. Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera ia melihat bahwa Han Tiong memiliki dasar yang jauh lebih kuat daripada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang memiliki dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja. Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, dan perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apalagi di dasar batin Thian Sin telah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang amat mendalam. Oleh karena itu, biarpun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, namun segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat. “Kalian harus belajar samadhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin.” Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersamadhi yang baik, duduk bersila dan bersamadhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja di waktu matahari sedang tenggelam. Di dalam kamar samadhinya yang tenang Hong San Hwesio mulai melatih dua orang keponakannya itu duduk bersamadhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan kedua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan kedua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikitpun tidak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf dalam tubuh seolah-olah mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang dan hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang. Selain pelajaran bersamadhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengaiarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan. Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga? Karena terbawa oleh Thian Sin yang gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar. Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling sayang. Thian Sin memang memiliki watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguhpun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini. Demikian pula Thian Sin, karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur, terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau, membuat dia tunduk dan penurut. Di samping kakaknya, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua, juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya. Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan diapun merasa amal lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biarpun Thian Sin amat taat kepadanya dan mempelajari soal-soal keagamaan dan kebatinan serta kesusasteraan dengan amat tekun, namun di dasar hati anak ini terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya kadang-kadang. Kalau sampai kelak dendam di dalam hati anak ini bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi diapun melihat betapa Thian Sin amat sayang dan amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andaikata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar. Memang rukun sekali dua orang anak itu. Apapun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah nampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri. Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang kepada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnyapun tenang dan tegap, matang dan biarpun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang aseli dan kokoh kuat. Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan kedua kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berhentuk indah, sehingga dia tampan sekali, terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang berjumpa dengannya. Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walaupun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan, dan sikapnya serta gerak-geriknya juga amat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa. Akhirnya, lewat waktu tiga tahun itu. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa kalau tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun! Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio sehingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha maupun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Dan berkat latihan-latihan ilmu silat yang mereka terus latih dengan tekun, juga karena mereka telah memiliki dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa! Ketika Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan halus gerak-geriknya, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan. Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu ketika dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang amat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya! Sin Liong menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada dua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata, “Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberitahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka.” Sin Liong merasa girang sekali. “Tentu saja, twako. Memang selama ini tentu twako yang lebih mengetahui perkembangan batin mereka, dan adalah penting untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka.” “TENTANG Han Tiong, tidak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu memiliki dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni.” “Dan bagaimana dengan Thian Sin?” tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin. “Itulah..., dia seorang anak yang baik sekali, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, bahkan amat cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan lengan Han Tiong. Justeru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berobah. Pinceng sudah mencoba untuk menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama pada batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia pandai menyeilmuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, engkau sudah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya.” Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah memiliki kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi! “Baiklah, twako. Akan kuperhatikan dia.” “Dan selain itu... pinceng tidak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga termasuk pinceng itu. Harap kauamati hal itu.” Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw telah meninggalkan ilmu-ilmu mujijatnya yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu. Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk ikut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio sambil menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir. “Semoga dalam mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka.” Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya seperti terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu. Di sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan girang mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng Han Houw di masa lalu. Dia pun amat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar cita-cita itu dia tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau menuruti permintaan orang yang menyeleweng daripada kebenaran itu. Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu. *** Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini? Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya tentang keadaan di daerah itu. “Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai, menurut cerita ayah dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka itu adalah penghuni dusun pertama yang sudah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormat di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun.” Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu. Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi sungguhpun sederhana dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang dan kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu. “Selamlat datang, Cia-kongcu!” Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak laki-laki sebaya Han Tiong sudah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu. Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri. “Apa kabar? Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!” Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras! Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa seperti mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Sering dia bertemu dengan bangunan ini, dalam mimpi! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi? Digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran! “Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?” tanya Han Tiong sambil menyentuh pundaknya. Thian Sin menoleh dan tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan. “Ah, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini begini kokoh kuat dan... menyeramkan!” “Thian Sin, bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir...” Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang mengapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu! Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi di bawah bimmbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu. Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong dapat melihat bahwa bakat pada Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguhpun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi diapun melihat bahwa Han Tiong memiliki ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmu, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain. Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun dan anak ini belum merasa puas kalau belum mampu mainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini untuk segera dapat mempelajari jurus lain. Dia seolah-olah seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung dan teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin. Bi Cu sendiripun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tak lama kemudianpun merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri. Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat dan dapat dengan mudah menundukkan hati orang. Apalagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam. Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan suka bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan memiliki daya tarik yang luar biasa. Apalagi terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenalnya dan sering membicarakannya dengan hati penuh kagum. Apalagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini! Dan karena Thian Sin belum dewasa benar, para gadis itupun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya bicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka kepada Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini. Akan tetapi Thian Sin masih hijau, maka diapun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu -malu dan manja sehingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Terhadap Thian Sin, para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda. Sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itupun lenyap apabila di situ ada Han Tiong. Han Tiong mempunyai wibawa yang amat terasa oleh siapapun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar. Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin maupun Han Tiong tidaklah asing. Hanya bedanya, kalau pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa, memberi penerangan-penerangan sehingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani. Sebaliknya Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini amat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapapun juga! Dan agaknya, berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio agaknya, pemuda tanggung ini telah dapat melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi sesungguhnyakah dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini? Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita? Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya. Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu. Bagaimana haslinya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup! Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu? Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran. Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika. Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar! Dalam pergaulan mereka dengan para muda di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita! Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah. Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka memperoleh kemajuan yang amat cepat, apalagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka dan memang ilmu silat ini dapat menjadi dasar yang amat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh. Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersamadhi dengan duduk bersila seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersamadhi bukan hanya untuk menenteramkan batin, melainkan untuk melatih pernapasen dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja. “Pada saat-taat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan yang mujijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan samadhi di saat-saat seperti itu,” demikian antara lain Sin Liong berkata. Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka, di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi istirahat dari pekerjaan itu tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (samadhi). Ketika mereka dididik oleh Hong San Hwesio mereka secara terpaksa hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio, akan tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam makanan ini pun terdapat perbedaan antara keduanya. Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka makan sayur dan buah-buahan, sungguhpun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak, sungguhpun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja. Memang sudah nampak perbedaan besar antara dua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terialu menyerah kepada kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya. Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi para muda, dan bagi pria khususnya perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh perubahan dalam suara mereka. Dalam usia seperti ini pada umumnya berahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati kalau melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinat mata lain, dengan denyut jantung berbeda daripada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya. Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah sesuatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah berahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu yang ada, termasuk manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin. Ini adalah hal yang wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam mayapada dengan segala isinya agar tidak sampai habis binasa, agar ada perkembangbiakan di setiap jenis mahluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini. Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dulu terlanda gairah berahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya dengannya. Dan keadaan sekelilingnyalah yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya. Kini dia memandang dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin, atau kalau dia, yang suka bermain-main adu jengkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jengkerik jantan dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin. Kalau di waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak dan kemudian lewat begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu dalam hatinya, kemudian berhenti dalam ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali dalam renungan! Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang berahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan berahi ini. “Berahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti dalam tubuh,” demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan. “Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi tenaga sakti dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga sakti. Berahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin.” Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan benar karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Dan memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan berahi itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, adalah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan pelepasannya tidak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mujijat sehingga pelepasannya merupakan sarana bagi perkembangbiakan semua mahluk hidup di dunia ini! Sungguh terdapat kemujijatan yang amat ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa kekuasaan yang tak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembangbiakan manusia dan untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapat gairah-gairah berahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini mendorong manusia untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembangbiakan manusia. Betapa mujijatnya! Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbul bahaya kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andaikata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada dalam diri setiap orang, gairah berahi adalah pembawaan lahir, alamiah. Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan dan kesempurnaan ini, dengan jalan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang suci itu, karena sesungguhnya hubungan kelamin merupakan hal yang suci, berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara! Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses makan maupun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, merupakan hal wajar dan untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut. Bukankah hal ini, seperti juga tuntutan berahi yang menjadi sarana pembiakan, merupakan suatu kewajaran? Bukankah rasa enak dalam makan, rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupgkan mujijat dan anugerah yang berlimpah? Namun sayang seperti juga dalam gairah berahi, dalam gairah makanpun juga kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, melainkan mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Dan seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka, bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan! Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, terdapat rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah kalau sudah timbul PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan. Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu berahi itu teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka diapun cepat-cepat bersamadhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul. Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah berahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi, ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah. Dan pada suatu malam, dalam mimpi, gairah berahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan kaget dan dia menjadi semakin gelisah ketika melihat betapa celananya menjadi basah! Teringatlah dia akan semua wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh! Hong San Hwesio sudah memperingatkan bahwa setelah menjelang dewasa, ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu dan dia menasihati dua orang murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan, apalagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri! Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui seluk-beluk tentang sex ini. Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, ditambah khayalan-khayalan tentang hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang melakukan permainan dengan dirinya sendiri, baik mempermainkan batin dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan tentang hubungan sex, maupun mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani. Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu, tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu mengatakan bahwa perbuatan itu jahat, maka begitu dia terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya, melalui mimpinya! Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian, dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani itu. Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu dan dibayangi kegelisahan. “Sin-te, apakah yang terjadi padamu? Engkau nampak begitu lesu dan muram?” tegurnya dengan halus dan penuh perhatian. Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya. “Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi... aku bermimpi dan... dan aku telah... celanaku basah...” Dia menerangkan dengan gagap, sungguhpun biasanya dia tidak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak angkatnya yang amat disuka dan dihormatinya itu. Berkerut alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Betapapun juga, sama dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasihat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik angkatnya telah mimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa gelisah juga. “Aih, Sin-te... bagaimana dapat terjadi itu? Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?” Thian Sin mengangguk. “Kemarin aku bicara dengan beberapa orang teman di dusun. Seorang di antara mereka menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan kakak isterinya melakukan hubungan kelamin. Dari cerita itulah datangnya khayalan dan kenangan yang terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku gelisah sekali. Semalam aku sudah melakukan samadhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah...” Han Tiong sendiri tidak pernah mengalami hal itu, maka diapun bingung. “Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta nasihat ayah.” “Ah, aku... aku takut, Tiong-ko...” “Kenapa takut? Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, dalam mimpi. Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada ayah.” “Tapi aku... aku malu...” “Mengapa harus malu? Hal itu telah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lalu diam-diam saja dalam kegelisahan, hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasihatkan bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini.” Setelah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam. Thian Sin duduk sambil menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali. Mendengar penurutan Han Tiong, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik sekali bahwa engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, mengapa harus kakakmu yang menceritakannya kepadaku, bukan engkau sendiri?” Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya dan dengan lirih dia menjawab, “Aku... aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat).” Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan sikapnya sungguh-sungguh. “Justeru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?” Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu. “Tapi... Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh agar kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti dalam tubuh.” Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan, akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tidak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kaualami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu. Itu tidak merupakan hal yang terlalu hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau sampai tidak terjadi dan kalau engkau lebih mencurahkan perhatian kepada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran satera, mengisi waktu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan natsu berahi, maka hal inipun takkan terjadi, atau tidak sering mengganggumu.” Bukan main lega rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung. “Betapapun juga, kalau hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah.” Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onanipun banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri. Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai “penyakit” ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu. Akan tetapi di samping itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang sudah mencandu, dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tidak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang makin kuat daya rangsangnya sehingga tak tertahankan, lalu berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya. Ini bukan berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena kalau sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kalau kita mau menghadapi hal itu setiap kali dia timbul! Setlap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, bahkan sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekan, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, melainkan dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan nampaklah bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya. Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong sehingga “pertahanan” yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, apabila kita membuka mata memandang, penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku, yang mengejar kesenangan itu tidak ada, ying ada hanyalah kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu. Mimpi tentang hubungan seks, maupu onani, keduanya adalah akibat daripada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak. Hubungan seks adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya. Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong, lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanyapun semakin besar. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang diterimanya dari Hong San Hwesio. Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskan saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini “alim” bukan karena pengekangan batin, bukan karena paksaan akan tetapi memang pikirannya bersih daripada bayangan-bayangan kesenangan berahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin. Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu. “Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kaupun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang.” Dibujuk-bujuk akhirnya Han Tiong yang amat menyayang adik angkatnya itupun setuju dan hampir sehari penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat berburu kijang, maka mereka tidak mengganggu binatang-binatang lain. Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat, mereka mengejarnya dan akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena hari itu panas sekali. Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini membuat mereka ingin mengaso. “Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te,” kata Han Tiong. Adiknya setuju dan mereka berdua lalu duduk bersila di antara semak-semak, di atas rumput yang hijau tebal. Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di tepi danau itu mereka duduk bersila dan bersamadhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya. Karena badan lelah, kemudian terasa segar terkena air dingin dan tempat itu memang sejuk, dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersamadhi dengan hening dan tenteramnya dan mereka sudah lupa akan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan sambil bercanda menuju ke danau itu, membawa pakaian kotor dan para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena dua orang itu bersamadhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersamadhi. Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu lalu menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula dan mereka lalu mandi dengan telanjang bulat karena mereka biasanya melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu tidak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersamadhi. Tidak nampak segaris kerutpun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya mampu menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersamadhi dengah hening dan pemuda itu kini mulai menggerakkan bola matanya dan bola matanyapun mulai bergerak-gerak. Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, dan suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan mata kanannya dibuka, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dia melihat dari balik semak-semak betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, terdapat empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat! Wajah Thian Sin menjadi merah dan dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia membuka mata kiri melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersamadhi dengan hening dan tekun, sgdikitpun tidak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan kini hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu. Jantungnya berdebar semakin keras, apalagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini merupakan kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis ini yang menarik hatinya, lebih daripada dara-dara lainnya. Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuh yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Setelah mata kanan Thio Sin meliar ke arah tubuh empat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona kepada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan selelah mengeringkan tubuh mereka lalu mengenakan pakaian bersih. Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, Thian Sin kini mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru. “Ada orang mengintai kita!” Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin! Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, sambil berlari mereka kadang-kadang menengok dan mereka tertawa-tawa dan menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang! Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari samadhinya. Dia membuka mata dan melihat betapaa adik angkatnya masih bersila dengan anteng, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi. “Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?” Dan Han Tiong memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat. “He? Suara apa? Aku tidak tahu... ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa...” kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa. “Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!” kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu. Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia tersenyum sendiri. Semenjak terjadinya periatiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu dan kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat. Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankan pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita? Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini, makin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun! Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lain karena dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman daripada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu. Keadaannyapun lebih mampu daripada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil telah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apalagi ketika dia bertemu dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya! Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin, akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tak berani langsung memandang. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tapi bibir tersungging senyuman apabila teman-temannya menggodanya. Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apalagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain. Thian Sin sendiri karena masih “hijau” maka rasa malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apabila bertemu gadis itu di depan banyak orang. Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada temannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah tidak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang temannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai ketika mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorangpun di antara mereka yang dapat melihatnya. “Hi-hi-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!” terdengar seorang di antara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit. Mendengar ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja. “He-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!” “Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!” bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali. “Mana bisa? Aku berani bertaruh pandang matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?” goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya. “Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?” goda pula seorang lain. Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut. “Aiihh, pertanyaan macam apa yang kaukatakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku? Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?” “Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?” “Dan engkau tergila-gila kepadanya?” “Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada Kongcu itu?” Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata, “Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang.” Gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa, lalu mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, terutama sekali, dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai. Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, tiba-tiba Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata, “Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu...” Empat orang gadis itu tadi terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Kini mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata, “Aku pergi dulu, hi-hik...” “Hi-hi-hik...” “Hi-hik...” Tiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi melihat teman-temannya lari, diapun lalu melarikan diri. “Nona Cu Ing...” Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu dan dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan dia tentu sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan. “Cu Ing, tunggulah sebentar, aku mau bicara denganmu...” kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk melepaskannya! Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya. akan tetapi tidak terlepas. Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali! “Cu Ing... mengapa kau lari dariku? Aku... aku ingin bicara denganmu, aku... aku ingin mengatakan bahwa aku cinta padamu...” kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu. Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi dia memaksa diri. “Aihhh... kongcu... mana mungkin itu...?” “Cu Ing, aku bersumpah... aku cinta padamu. Kauraba jantungku ini...” Dia membawa tangan itu menempel dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing menggenggam tangannya. “Kongcu... lepaskan aku... ah, aku malu... aku takut...” bisiknya. “Cu Ing, mengapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu babwa engkaupun cinta padaku...” “Bagaimana kongcu tahu...?” Dara itu mendesah lirih, sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan kini, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin. “Tentu saja aku tahu... dari pandang matamu, dari senyummu...” “Aku... aku takut, kongcu...” “Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!” “Aihhh... kongcu...” “Cu Ing, jangan kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara...” Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin. “Kongcu...! Jadi kau... kau tadi... kembali engkau mengintai...” wajah yang manis itu menjadi semakin merah. Thian Sin tersenyum dan mengangguk. “Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu...” “Ihh, kau nakal... kongcu!” Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, begitu dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang. Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling bicara dengan getaran-getaran sinar yang mersa. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlalu lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka diapun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara. “KONGCU... aku... aku mau pulang... teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku.” “Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing...” kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya. Mereka lalu berjalan sambil bergandeng tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah. Setelah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, agak berdekatan. “Cu Ing, aku cinta padamu... katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?” Cu Ing tidak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan lari memasuki dusun. Agaknya setelah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, timbul keberaniannya dan dia menoleh sambil tersenyum. “Kongcu... besok... pagi-pagi aku ke danau...!” Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang merah. Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandang matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu. Mulai hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu, sering Thian Sin mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi. Akan tetapi karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas kepada saling sentuh dan saling genggam tangan saja! Akan tetapi, berahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang amat pandai. Apalagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apabila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya. Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak dan beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati! Itulah sinar mata dari seorang gadis lain, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam jatuh cinta pula kepada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini. Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang sudah mendengar kabar angin tentang hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan belaka, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat. Akan tetapi, ketika mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, Cu Ing selalu tentu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiripun menemaninya. Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga setelah berganti pakaian yang pantas. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata penuh penasaran dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu. Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, karena memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik. “Bhe-twako, ada keperluan apakah engkau pagi-pagi datang berkunjung?” tanyanya dengan suara ramah. Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan, dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada saat itu, Bi Cu keluar dari dalam dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda inipun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa semakin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya. “Bhe-twako, agaknya ada sesuatu yang amat penting yang ingin kausampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap mendengarkan.” Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya. Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, kemudian dia berkata. “Maafkan saya, Cia-taihiap, saya... saya datang untuk bicara tentang... tentang... Ceng-kongcu...” Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir. “Tentang Thian Sin? Apakah yang terjadi?” tanya Sin Liong. Melihat sikap tamunya yang takut-takut, Bi Cu ikut bicara, “Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut.” Suaranya manis dan lembut sehingga kini petani itu merasa hilang takutnya. “Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap. Seperti taihiap mungkin sudah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu telah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah.” Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya. “Bhe-twako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?” Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali. “Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini... terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu...” Kembali dia berhenti. Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah, “Aih, Bhe-twako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan twakopun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?” “Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa amat terhormat dan berterima kasih, akan tetapi...” “Akan tetapi bagaimana?” Bi Cu mendesak. “Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, melainkan... menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka saling mengadakan pertemuan berdua, dan mereka itu bermesraan, berpacaran...” “Berpacaran? Apa maksudmu?” Sin Liong bertanya kaget dan heran. “Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman... saya khawatir sekali, taihiap...” “Huhhh!” Bi Cu mendengus. “Hemmm...!” Sin Liong menggeram. Suasana menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang. “Lalu sekarang, apa yang bendak kaulakukan Bhe-twako?” tanya Sin Liong, suaranya tetap ramah dan halus, sungguhpun kini bercampur nada prihatin. “Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Kalau saja anak kami belum mempunyai calon jodoh yang sah! Tentu seandainya dia dapat berjodoh dengan Ceng-kongcu, kami sekeluarga akan merasa terhormat sekali, girang dan bangga sekali. Akan tetapi anak kami telah bertunangan, maka tentu saja kalau hubungan itu dilanjutkan, selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa...” “Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, twako. Lalu apa yang hendak kaulakukan sekarang?” “Satu-satunya jalan yang dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya dan mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan.” Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju. “Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-twako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasihatinya.” Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu. “Terima kasih, terima kasih... dan maafkanlah keluarga kami taihiap...” “Ah, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-twako,” jawab Sin Liong. Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu duduk termenung. Sampai lama keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih, “Salahkah dia...?” Sin Liong sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itupun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan. “Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain.” Thian Sin lalu dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing telah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, maka dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya. Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw. Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, diapun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu. Dengan wajah berseri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik, “Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?” Memang semenjak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang yang kepada pemuda itu. “Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?” “Dia sedang membantu para paman bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?” “Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin.” Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa kaget juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya, dia bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu. “Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?” Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutken hati Thian Sin. Akan tetapi dia ternyata telah mampu menguasai perasaannya, dan pada wajah yang tampan itu tidak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran. “Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah.” jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tidak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu. Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut, “Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?” Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin sudah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, maka pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap di dalam hati sehingga tanpa disadarinya sendiri, biarpun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk. “Benar, ibu,” jawabnya lirih. Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebetulnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apalagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidakwajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi. “Thian Sin, tahukah engkau bahwa Bhe Cu Ing sejak kecil sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?” Thian Sin terbelalak, mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Saya... saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah.” “Bagus!” Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tidak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar. “Nah, kalau engkau tidak tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sudah ditunangkan sejak kecil dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!” Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu. “Akan tetapi, ayah...” “Seorang pendekar tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!” bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. “Thian Sin, engkau tidak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga lain orang, bukan?” Bi Cu berkata halus. “Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah mempunyai jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi.” “Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatannya sendiri, harus selalu mempunyai garis kebijaksanaan, tidak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah mempunyai calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?” Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasihat-nasihat, dia lalu, meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandang mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya. Thian Sin menjadi sedih dan bingung. Apalagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu telah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Thian Sin merasa hatinya hancur. Patah hati! Peristiwa ini merupukan pukulan batin ke dua bagi pemuda ini. Pertama, ketika dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di depan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu kepada Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi. Akan tetapi, sekarang, setelah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itupun berdarah kembali! Dan diapun tak dapat menahan guncangan batin ini dan jatuh sakit! Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sesungguhnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka. Akan tetapi, Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian dan sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong! Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab. Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu. Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut “cinta” mereka itu “gagal” di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya “cinta” yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling “mencinta”? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar “mengejar kesenangan” sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakam “cinta”! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini. Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguhpun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun diapun dapat melihat kenyataan dan tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu. “Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu.” Thian Sin tidak mengira bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya. “Urusan apa yang kaumaksudkan Tiong-ko?” “Urusan apalagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?” “Ahhh...!” Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung. “Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?” Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab, “Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat... cinta padanya.” “Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?” “Tentu saja.” “Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh melalui kebenaran.” “Betul.” “Nah, gadis kekasihmu itu telah bertunangan dengan orang lain sejak kecil, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkaupun akan ikut merasa senang melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?” Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini diapun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab, “Aku sendiri tidak mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali.” Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Suka maupun duka yang timbul dari kepuasan maupun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu. Demikian pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun makin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali, selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan agak pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapapun juga. Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong dan isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin. Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biarpun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar. *** Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia tujuh belas tahun. Han Tiong nampak semakin matang dan memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang amat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada siapapun juga. Adapun Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang riang, akan tetapi halus dan ramah. Dan biarpun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga semakin tergila-gila kepada pemuda yang mulai dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera untuk berdekatan dengan wanita lagi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan biarpun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh perhatian dan terpesona. Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah maka sampai sedemikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain. Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling-kun-hoat yang diciptakan okh mendiang Cia Keng Hong pendiri Cin-ling-pai bahkan mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu. Memang pendekar ini belum mengajarkan Thi-khi-i-beng dan juga ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu ini dianggap terlalu berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar dua orang muda itu memperoleh kematangan lebih dulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya, terutama memperoleh inti dari tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi-i-beng dan Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya memiliki kelebihannya sendiri-sendiri, sungguhpun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal. Thian Sin amat maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat, dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak angkatnya. Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan, kematangan dasar gerakan silat, juga di samping ini dia memiliki dasar sin-kang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya. Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka bertatih silat dan saling serang dalam latihan, Han Tiong kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat bervariasi dan penuh gerak tipu itu, sedangan Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya. Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa di sebuah dusun tetangga, di ujung lembah yang termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana Lembah Naga, terjadilah perampokan semalam! Harta benda yang tidak banyak dari penduduk dusun itu dirampok, beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok. Peristiwa seperti ini sebetulnya tidaklah aneh terjadi di dusun-dusun pada jaman itu, akan tetapi yang amat mengejutkan hati para penghuni Istana Lembah Naga adalah terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, tidak pernah mereka terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah Naga. Sekarang perampok dari manakah berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan Pendekar Lembah Naga dan keluarganya? Sungguh hal ini amat mengejutkan dan dianggap oleh Sin Liong bukan sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya! “Ayah, biarkan aku dan Sin-te mengejar mereka!” Han Tiong berkata dengan sikap tenang. Sin Liong mengerutkan alisnya. Diam-diam dia mengukur kepandaian dua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka, betapapun lihainya para perampok itu. Apalagi dia amat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah kesempatan yang amat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang malam dengan penuh ketekunan. “Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Tidak usah kalian membawa senjata untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingat, kalian tidak boleh sembarangan membunuh orang. Ada dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian. Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!” Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia mengerahkan ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya. “Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka.” “Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!” kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh, dingin dan membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya bersinar seperti itu selama ini, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu. Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini mempergunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah sukar bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu. Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak gerombolan yang memasuki hutan. Akhirnya di tengah-tengah hutan itu, mereka melihat belasan orang pria yang bersikap kasar berada di luar sebuah pondok yang agaknya memang menjadi tempat perhentian atau persembunyian para gerombolan itu. Orang-orang itu kelihatan lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang duduk bersandar batang pohon, ada yang bercakap-cakap. Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan hati-hati, mengandalkan gin-kang mereka yang membuat tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan pondok dan mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam. Pondok itu cukup luas dan di bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada lima orang gadis dusun yang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, kelihatan ketakutan seperti sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pendekar muda itu adalah seorang dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengaran antara mereka berdua. “Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapapun juga!” demikian dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring, penuh kemarahan dan tantangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan bertengkar itu. Dara itu masih amat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau, pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menutupi tuhuhnya yang padat dan langsing. Tubuh yang membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biarpun pada saat itu dia sedang marah, namun kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar sinar itu. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul sederhana ke atas, diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali. Sedangkan pria itu, yang usianya mendekati lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak tegap kuat dan menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang tinggal sedikit isinya, sepasang matanya yang lebar agak kemerahan dan diapun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah. “Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?” terdengar laki-laki itu membentak marah, suaranya parau dan lantang. “Aku berhadapan dengan ayah,” jawab dara itu, sikapnya tetap menentang. “Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?” “Ayah, ingatlah akan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lalu menawan wanita-wanita itu hanya sebagai memenuhi tugas ayah sebagai anggauta Jeng-hwa-pang saja untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu? Akan tetapi di dusun itu ayah telah melakukan pembunuhan-pembunuhan...” “Bukan aku yang melakukannya!” “Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka? Kemudian penawanan lima orang wanita ini yang ayah katakan sebagai memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang ayah... ayah hendak... melakukan kekejian...?” “Ah, kau anak kecil tahu apa! Kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!” Akan tetapi dara itu dengan sikap tegas menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan. “Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan merekapun wanita! Kalau mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapapun juga, ayah. Kalau perlu aku rela mengorbankan nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!” “Ehh...? Kau berani...? Leng-ji, sudahlah. Aku tidak mau membiarkan hatiku marah kepadamu. Biarlah aku mengalah, kauberikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja.” “Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini? Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?” Di dalam suare dara itu terkandung isak dan kedukaan. “Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk menghibur hati ayahmu yang kesepian ini.” “Tidak akan kuberikan kepada siapapun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!” “Apa? Kau berani menentang ayahmu, gurumu?” “Apa boleh buat! Biar ayah, atau guru, kalau tidak benar, harus ditentang!” Ucapan ini terdengar gagah sekali dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok. “Mata-mata di atas pondok!” “Musuh datang...!” “Kepung! Tangkap!” Han Tiong dan Thian Sin terkejut sekali dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata pondok itu telah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya ribut-ribut mulut dengan gadisnya itupun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas. “Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi jangan kau menurunkan tangan kejam, jangan membunuh orang.” “Baik, Tiong-ko!” Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di tengah-tengah gerombolan itu dan pemuda inipun mulai mengamuk dengan hebatnya. Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk seperti seekor naga, gerakannya cepat dan kuat dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk dan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini dan wajahnya kelihatan beringas dengan sinar mata berkilat sungguhpun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan. “Sin-te, jangan bunuh orang...!” Han Tiong merobohkan seorang perampok dan pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya itu tidak sampai terluka parah, mendekati adiknya. Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka dan menggeroyok lebih ketat, kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Hen Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri. Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka repot karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar den keras atau tajamnya senjata di tangen saja, biarpun mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu. Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya den kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia mencabut golok besarnya dan membentak nyaring. “Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?” “Tiong-ko, biar kuhadapi dia!” kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu. Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu menyambut dengan bacokan golok yang menyambar ke arah leher Thian Sin dengan cepat sekali, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala den berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan. “Ehhh...!” Kepala gerombolan itu terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya. “Siapa kau?” bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang. “Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!” kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang. “Tangkap mereka, hidup atau mati!” bentak kepala gerombolan dan kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah memiliki ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar ditambah dua kali lipat lagipun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja. Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi menjaga jangan sampai membunuh. Sebenarnya Han Tiong sajalah yang sungguh melakukan ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biarpun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah. Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh dibandingkan dengan anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, Thian Sin menjadi penasaran. Dia merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini menyambut dengan goloknya, membacok kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuh, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya. “Mampuslah!” bentak Kepala Gerombolan itu. “Hemmm...!” Thian Sin mendengus dan cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak dan golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh dan secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi. “Crokkkk! Aughhhh...!” Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya! Melihat ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apalagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka. Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring dan menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak. “Hayo katakan siapa yang menyuruhmu!” Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi yang keluar hanya “Ti... tidak, tidak...!” “Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?” Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya. “Aughhh... aduhh... ampun... kami disuruh... Jeng-hwa-pang...” “Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kaki layak mampus!” “Sin-te, jangan!” Tiba-tiba Han Tiong telah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. “Lepaskan dia!” Thian Sin memandang kakaknya, lalu mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang ditinggal pergi sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun, terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung. “Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukanlah orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Pergilah!” bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung. Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk lebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang. “Singgg...!” “Hemm...!” Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar lengan kecil itu. “Plak...! Aihh...!” Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin. Sambil menatap wajah yang manis dan yang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangan, kemudian dengan gerakan enak saja dia mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja. “Krekkk!” Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai. “Ohhh...!” Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu. Tadi dia sudah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggauta gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi ketika dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan. “Nona, kami bukan musuhmu, biarpun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami melihat betapa dengan gagah engkau melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan,” kata Han Tiong dengan suara halus. “Hemm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat...” kata Thian Sin. “Dia bukan ayahku!” Dara itu berkata dengan suara lantang. “Eh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!” kata Thian Sin tersenyum. “Akan tetapi kami mendengar nona menyebutnya ayah.” Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bengku dengan tubuh lemas. “Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia... ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayah dan melarikan ibu dan aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang kini telah meninggal dunia pula. Dan tadi, melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku semakin benci padanya!” Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apalagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan dia! Hal ini saja sudah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu. “Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga... bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?” “Ayah tiriku itu adalah seorang anggauta Jeng-hwa-pang dan dia diperintahkan oleh Jeng-hwa-pang untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga dengan jalan mengganggu dusun itu. Ayah mengumpulkan kawan-kawannya dan akupun ikut serta, bukan untuk ikut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sesungguhnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan, melainkan dengan penuh nafsu dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku menentangnya. Ayah sedang mabuk, kalau tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya... agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah macam dia! Aku tidak akan kembali kepadanya...” Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah. Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia lalu bertanya, “Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kaulakukan selanjutnya, nona?” Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang di pelupuk matanya. “Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka...” “Sesudah itu...?” Thian Sin mendesak. “Sesudah itu... aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!” “Apakah... apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?” Gadis itu menggeleng kepala. “Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini...” Tiba-tiba seorang diantara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. “Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami...” Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu. “Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu... kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat.” Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Adiknya ini benar-benar agaknya sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing. Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah dua orang pemuda gagah perkasa itu. “Ah, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aih, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi amat gagah perkasa dan baik, dan saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggauta gerombolan pengacau.” Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan menganggapnya sebagai pelindung dusun mulai saat itu. Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira den bangga mendengar penuturan dua orang muda itu tentang hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu putus sebelah lengannya. “Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau agak keterlaluan kalau membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja.” “Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, den mengingat betapa dia telah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka...” “Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Den yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?” “Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?” tanya Han Tiong. “Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang ikut membunuh ayah bundaku!” tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu. Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin. “Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka sampai sekarang mereka masih menaruh dendam. Betapapun juga, mudah-mudahan setelah menerima hajaran kalian, mereka tidak berani lagi mengacau.” Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itupun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Dia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin karena dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan dan ilmu itu diharapkannya akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras. Maka, berlatihlah dua orang muda itu dengan amat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Akan tetapi di samping menurunkan dua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi-i-beng kepade Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena die pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi-i-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti). Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama makin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Lengpun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga diapun jatuh cinta! Dan karena dia tidak bertepuk tangan sebelah, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan kadang-kadang ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat yang sunyi itu, keduanya dengan leluasa saling menumpahkan rindu hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, namun selalu Thian Sin dapat mempertahankan nafsu berahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas kepada cumbu-cumbuan den peluk cium belaka, tidak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinaan hubungan kelamin. Terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan kini seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok. Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapapun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai! Han Tiong juga melihat perkembangan ini dan Han Tiong inilah yang membisikkan nasihat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya. “Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu dan melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kaucinta. Hati-hatilah engkau.” Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah merah. “Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu berahi.” Hemm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya. “Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?” Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut dan sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-geleng kepala seperti orang bingung dan berkata, “Menikah? Ah, itu... itu... entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.” “Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?” Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya, “Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?” “Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apalagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?” “Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?” “Ah, pertanyaanmu aneh sekali, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?” “Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko.” “Hemm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu bisa terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!” SEMENJAK percakapan itu, Thian Sin nampak sering kali termenung dan menarik napas panjang dan dia mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan selalu muncul dan menghantuinya. Dia tidak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi diapun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng. *** Petani tua itu datang dengan waiah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk di serambi depan, lengkap Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh! Perayaan keluarga yang sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan inipun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apapun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Bi Cu sejak pagi sekali telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka sudah menghadapi sarapan besar dengan gembira. Kedatangan petani tua itu tentu saja mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia lalu mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu. “Celaka, taihiap... dusun kami semalam didatangi lagi penjahat-penjahat!” kata petani itu dengan suara gemetar. Keluarga itu terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak. “Ah, mereka masih berani datang lagi?” seru Han Tiong. “Jahanam-jahanam itu menjemukan!” Thian Sin juga berseru. “Lalu apa yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?” Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran. “Hanya satu pembunuhan, taihiap... Nona Hwi Leng mereka bunuh...” “Ahhh...!” Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia telah meloncat dan lari dari situ. “Sin-te...!” Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata. “Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya.” “Baik, ayah.” Dan pemuda inipun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu. “Sekarang harap kauceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman,” kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu. Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki yang banyak. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.