Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin telah tidak ada di dalam kamarnya dan melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Dan agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri. Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, kukira akan dapat menundukkannya, setelah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin... hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, kalau engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikanlah kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kaubujuklah dia agar pulang atau biarlah kauperbolehkan dia ikut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk.” “Baik, ayah,” jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali. Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya oleh kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, dan melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit. Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah dapat ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Kalau perlu, dia akah mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu. Tiga hari kemudian, barulah Han Tiong berangkat, dibekali cukup uang dan nasihat-nasibat oleh ayah bundanya yang mengantar kepergiannya dengan pandang mata prihatin. Dan karena Han Tiong sendiri tidak tahu di mana adanya Lian Hong atau ke mana perginya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah mengunjungi Lok-yang kembali, atau setidaknya dia akan mencari di sekitar daerah Propinsi Ho-nan. Memang tepat dugaan Han Tiong. Thian Sin nekat malam itu minggat meninggalkan Lembah Naga karena patah hati! Dia tidak merasa perlu lagi tinggal di Lembah Naga. Untuk apa? Lian Hong sudah menjadi calon isteri kakaknya, dan malah dia tidak boleh membantu kakaknya mencari dara itu! Kalau dia tinggal di Lembah Naga, setiap hari dia hanya akan menyesali dirinya sendiri saja. Tidak, dia harus pergi! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu peninggalan ayahnya. Dia memang putera kandung Pangeran Ceng Han Houw yang dicap pemberontak. Dia memang anak orang jahat, dan sekarang dia telah menjadi pemberontak pula setelah dia membunuh pasukan pemerintah. Biarlah dia hidup sendiri dengan segala kejelekannya. Dan dia akan membalas dendam kematian keluarga Ciu, juga dendamnya sendiri. Telah terlalu sering hatinya dibikin sakit oleh para penjahat dan betape dia selama ini selalu menahan-nahan dendamnya. Beberapa kali dia harus merasa kecewa dalam hidupnya. Ayahnya dan ibunya dibunuh orang, dan karena teringat bahwa ayah bundanya dibunuh oleh para pasukan pemerintah itulah maka dia malam itu mengamuk dan membunuhi para prajurit itu dengan penuh kebencian, bukan semata-mata karena ingin membela keluarga Ciu. Berapa kali dia patah hati karena putus cinta. Pertama dengan Cu Ing yang dipisahkan darinya dengan paksa. Ke dua, dia kehilangan Loa Hwi Leng yang terbunuh oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Dia sakit hati dan mendendam kepada banyak orang! Kepada pasukan kerajaan yang membunuh orang tuanya dan membunuh keluarga Ciu, kepada Raja Agahai pamannya di utara yang ikut pula mencelakakan orang tuanya, kepada Jeng-hwa-pang, kepada See-thian-ong, kepada Lam-sin, Pak-san-kui dan masih banyak lagi, dan pendeknya, kepada semua penjahat di dunia ini! “Aku akan basmi mereka!” berkali-kali dia berkata ketika dia lari di malam hari itu, menuju ke selatan dan dengan cerdik dia mengambil jalan liar, bukan jalan umum karena dia tahu bahwa mungkin sekali kakaknya akan menyusul dan mencarinya. Dia harus pandai menyembunyikan diri dan tidak sampai berjumpa dengan kakaknya, karena dia tahu bahwa kalau sampai dia berhadapan muka dengan Han Tiong, dia tidak mungkin dapat membantah lagi kalau kakaknya itu mengajaknya pulang. Sekali ini, kepergiannya memang sudah direncanakan sejak dia pulang dan menghadap ayah angkatnya bersama Han Tiong. Maka dia tidak lupa membawa kitab-kitab peninggalan ayahnya. Selama ini dia belum sempat mempelajarinya, karena ayah angkatnya melarangnya. “Ilmu milik mendiang ayah kandungmu memang hebat, Thian Sin, akan tetapi sayang, ilmu itu mengandung pengaruh yang amat tidak baik. Sifat ayahmu banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmunya itulah.” Demikian ayah angkatnya berkata dan selama ini dia mentaati dan tidak pernah menyentuh kitab-kitab itu. Akan tetapi, kini die membawa kitab-kitab itu dan dia harus mempelajarinya. Dia sudah pernah membalik-balik lembarannya dan dapat mengerti dengan mudah. Juga kunci-kunci rahasia kitab itu masih diingatnya baik. Kitab-kitab tulisan ayah kandungnya itu memang mengandung rahasia-rahasia yang hanya depat dipecahkan olehnya, dengan menggunakan kunci-kunci rahasia yang pernah diajarkan ayahnya kepadanya. Pertama-tama dia akan mencari Pak-san-kui. Datuk kaum sesat ini adalah ayah Siangkoan Wi Hong dan sekarang, tanpa adanya Han Tiong di sampingnya, dia akan menghajar Siangkoan Wi Hong dan akan membunuhnya! Juga dia akan menantang Pak-san-kui yang sudah mengirim anak buahnya ikut mengeroyok dan membunuh keluarga Ciu Khai Sun. Dia sudah banyak mendengar tentang Pak-san-kui, bahkan ayah angkatnya sudah banyak bercerita tentang datuk kaum sesat di daerah utara ini. Dia tahu bahwa Pak-san-kui tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si dan ke sanalah dia kini menuju. Pade saat itu, Ceng Thian Shin telah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya memang tampan sekali, gerak-geriknya halus. Dilihat sepintas lalu saja, dia lebih pantas menjadi seorang pemuda pelajar yang lemah. Siapa mengira bahwa pemuda ini menyembunyikan ilmu silat yang amat hebat, banyak macam ilmu silat tinggi dikuasainya dan dia merupakan seorang pendekar sakti yang amat lihai. Pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya disembunyikannya di balik jubahnya dan dia melakukan perjalanan cepat menyusup-nyusup hutan, naik bukit dan menuruni jurang, mengambil jalan liar agar tidak sampai dapat disusul oleh kakaknya. Pak-san-kui adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, hampir tujuh puluh tahun malah, dan dia memang diakui sebagai datuk oleh kaum sesat atau golongan hitam di deerah utara. Namanya adalah Siangkoan Tiang dan di kota Tai-goan di mana dia hidup sebagai seorang hartawan besar, dia lebih dikenal sebagai Siangkoan-wangwe (hartawan Siangkoan). Rumah gedungnya besar seperti istana, dikelilingi pagar tembok yang tebal seperti benteng dan di depan pintu gerbangnya selalu terdapat penjaga-penjaga yang berpakaian seragam kuning, pakaian ahli-ahli silat yang gagah. Pak-san-kui Siangkoan Tiang ini tidak seperti para datuk lainnya, tidak mempunyai perkumpulan yang dipimpinnya. Akan tetapi jangan dikira bahwa dia tidak mempunyai anak buah! Dia mempunyai tidak kurang dari lima puluh orang anak buah yang menjadi pesuruh-pesuruh atau tukang-tukang pukulnya yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan karena tentu saja sebagai seorang datuk, Pak-san-kui tidak sudi mempunyai anak buah yang lemah! Dan biarpun dia tidak mempunyal perkumpulan dan tidak membuka perguruan, namun dia mempunyai kurang lebih sepuluh orang anak buah yang dipilihnya dari semua anak buahnya, yang merupakan orang-orang berbakat, lalu mengambil mereka sebagai muridnya. Sebagian besar dari anak-anak buah itu adalah bekas-bekas penjahat di daerah utara yang takluk kepada datuk ini. Murid-murid kepala yang paling diandalkan oleh Pak-san-kui adalah Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek berusia lima puluh tahun yang terkenal dengan ilmu gabungan mereka, yaitu Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga). Pakaian tiga orang murid kepala inipun ringkas dan gagah, berwarna putih-putih dengan sabuk biru dan kemanapun mereka pergi, tiga orang ini selalu membawa pedang di punggung mereka. Di bawah murid kepala ini, terdapat beberapa orang murid lagi yang cukup tangguh dan mereka semua inilah pelaksana-pelaksana yang mewakili Pak-san-kui dalam berurusan dengan segala golongan di daerah utara. Pak-san-kui bukan hanya terkenal kaya rayag, akan tetapi dia juga mempunyai hubungan yang amat erat dengan para pembesar di kota-kota, sampai di kota raja! Pengaruhnya luas sekali dan dialah, atau setidaknya murid-muridnya yang dipercayalah, yang menjadi semacam jembatan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan para pembesar itu. Melalui Pak-san-kui maka pembesar itu suka memberi jasa-jasa baik terhadap para pedagang, para hartawan yang membutuhkan bantuan pembesar-pembesar itu dengan imbalan yang cukup besar. Dan semua hubungan itu melalui Pak-san-kui! Tentu saja sebagai jembatan, Pak-san-kui memperoleh tanda terima kasih dari kedua fihak. Selain itu, juga Pak-san-kui telah menundukkan semua gerombolan penjahat sehingga dari mereka inipun dia memperoleh banyak sumbangan sebagai tanda takluk. Bahkan semua rumah judi, rumah pelacuran, dan rumah pemadatan yang besar-besar, berada di bawah kekuasaan Pak-san-kui. Maka tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya besar dan kekayaannya makin lama semakin besar juga. Seperti telah kita kenal, hartawan ini mempunyai seorang putera saja, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tampan, halus dan pandai main musik, bersajak, akan tetapi juga lihai ilmu silatnya itu. Jarang ada orang sempat menyaksikan ilmu silat kakek hartawan ini. Akan tetapi didesas-desuskan bahwa kepandaiannya seperti malaikat, dan huncwe panjang bergagang emas yang selalu dibawanya ke mana-mana itu merupakan senjata yant amat awnpuh. Dan hartawan ini memang lebih patut menjadi hartawan daripada ahli silat tinggi, karena tubuhnya yang jangkung, wajahnya yang terpelihara baik-baik dan tampan, sikapnya yang ramah, pakaiannya yang mewah, semua itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang datuk yang sakti. Amat mudah bagi Thian Sin untuk menemukan rumah gedung Pak-san-kui di kota Tai-goan itu. Setiap orang, siapapun juga yang ditanyainya, tentu tahu di mana letak rumah gedung itu walaupun orang lebih mengenal Pak-san-kui sebagai Siangkoan-wangwe. Tadinya Thian Sin sendiri bingung melihat yang ditanya tentang Pak-san-kui tidak tahu, akan tetapi ketika pemilik restoran di mana dia makan mendengar disebutnya Pak-san-kui, dia cepat berkata bahwa yang dicari pemuda itu tentulah Siangkoan-wangwe. Dan Thian Sin segera membenarkan karena dia teringat bahwa nama putera Pak-san-kui adalah Siangkoan Wi Hong. “Ya, benar. Siangkoan-wangwe, di mana rumahnya?” Semua orang dengan cepat memberi keterangan di mana adanya rumah gedung hartawan itu, dan di luar tahunya Thian Sin, pemilik restoran diam-diam telah mengutus seorang pegawainya untuk memperingatkan kepada hartawan itu atau anak buahnya bahwa ada seorang pemuda tampan asing yang mencarinya. Mudah diketahui bahwa pemuda yang mencari itu tentulah seorang asing yang datang dari jauh, pertama karena logat bicaranya berbeda, ke dua, kalau pemuda itu orang daerah Tai-goan, tak mungkin tidak tahu di mana adanya rumah Siangkoan-wangwe! Karena adanya laporan inilah maka ketika Thian Sin berhadapan dengan para penjaga pintu gerbang rumah gedung yang berpakaian serba kuning itu dan mendengar bahwa dia minta berjumpa dengan Siangkoan-wangwe, dia dipersilakan memasuki pintu gerbang, akan tetapi begitu dia masuk, daun pintu gerbang dari besi itu ditutup rapat dan dia telah dikurung oleh beberapa orang penjaga yang membawa tombak dan golok! Thian Sin bersikap tenang sekali. Setelah kini merantau seorang diri dan seorang diri pula menghadapi bahaya, dia bersikap tenang. Dia tahu bahwa dia telah berani memasuki gua macan, oleh karena itu dia tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia sudah memperoleh pelajaran pahit dan sekarang dia harus bersikap cerdik. Dia bukan seorang tolol yang nekat mencari mati dengen menantang Pak-san-kui begitu saja. Dia harus pandai bersiasat. Maka, dikepung oleh beberapa orang yang berpakaian kuning itu, dia tersenyum saja. “Hemm, beginikah caranya Pak-san-kui yang terkenal itu menyambut seorang tamu yang hendak bertemu dengannya? Menyambut dengan pengeroyokan seperti sikap seorang tukang pukul murahan saja?” katanya mengejek dan sengaja menaikkan nada suaranya, agar terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung besar itu! Dan pancingannya itu memang berhasil. Dari dalam gedung muncullah seorang pemuda tampan yang membawa yang-kim, dan bukan lain dia adalah Siangkoan Wi Hong. “Aha, kiranya si pemberontak berani muncul di sini!” kata Siangkoan Wi Hong dengan suara mengejek, akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata menunjukkan kekagumannya. Memang putera Pak-san-kui ini merasa kagum kepada Thian Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang pandai bersajak, penuh keberanian, dan mempunyai ilmu kepandaian hebat. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak mampu menandingi putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini! Melihat munculnya putera Pak-san-kui itu, Thian Sin tersenyum pula dan membungkuk. “Nah, kalau puteranya yang keluar menyambut masih mendingan! Siangkoan-kongcu, jangan sembarangan bicara tentang pemberontak, nanti engkau bisa mendapat marah dari ayahmu. Ada banyak macam pemberontak di dunia ini dan yang palong berhahaya adalah para pemberontak yang bersembunyi dan tidak melakukan pemberontakannya secara berterang!” Thian Sin teringat akan pengakuan Phoa-taijin, maka dia berani menyindir dengan kata-kata itu. Dia merasa yakin bahwa datuk utara, ayah dari pemuda di depannya ini tentu bersekutu dengan orang-orang Mancu yang merencanakan pemberontakan. “Bocah sombong! Engkau telah berani memberontak dan mengacau di Lok-yang dan Su-couw, dan sekarang berani muncul di sini, menjual lagak? Tangkap dia!” bentak Siangkow-kongcu yang sudah meloncat maju. Beberapa orang penjaga sudah mengurung pula, siap untuk menyerang Thian Sin yang sudah terkurung di tengah-tengah. Akan tetapi Thian Sin bersikap tenang dan masih tersenyum, sama sekali tidak kelihatan gentar. “Aku tidak percaya bahwa Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui yang terkenal lihai itu kini hendak mengandalkan pengeroyokan anak buahnya yang tidak berarti untuk menyambut seorang tamu yang hendak bicara!” Ucapan ini membuat Siangkoan Wi Hong meragu. Kalau dia melanjutkan pengeroyokan, sungguh sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri di depan mata para anak buahnya! Akan tetapi, pada saat itu, terdengar suara tertawa dari dalam gedung dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek bertubuh jangkung yang memegang sebatang huncwe panjang. Biarpun selama hidupnya belum pernah berjumpa dengan Pak-san-kui, akan tetapi Thian Sin sudah memperoleh gambaran tentang datuk ini dari kakaknya yang pernah bertemu ketika masih kecil, maka begitu kakek itu muncul, dia sudah dapat menduganya dan cepat dia menjura dengan sikap hormat, menyembunyikan kebencian hatinya di balik senyum ramah. “Siangkoan-locianpwe suka keluar sendiri, ini berarti suatu kehormatan besar begiku!” katanya sambil memberi hormat. Kakek itu tertawa dan matanya terbelalak kagum. “Inikah putera Pangeran Ceng Han Houw yang telah membikin geger dan telah membuntungi orang she Phoa itu? Ha-ha-ha, sungguh pentas menjadi putera pangeran yang pernah merebut gelar Jagoan Nomor Satu di dunia! Hei, Ceng Thian Sin, engkau sungguh menyenangkan sekali, tepat seperti yang telah diceritakan oleh puteraku. Mari, mari, kita ke lian-bu-thia karena sebelum bicara lebih lanjut aku ingin sekali menguji kepandaianmu.” Thian Sin menyembunyikan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, dan sekali masuk, entah dia akan dapat keluar lagi atau tidak. Maka sambil tersenyum diapun berkata, “Saya sama sekali tidak dapat percaya bahwa seorang datuk seperti Siangkoan-locianpwe akan sudi untuk menjebak dan mencelakai seorang pemuda tanpa nama seperti saya ini!” Kakek itu menghembuskan asap dari pipa tembakaunya dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, berani dan lihai dan cerdik pula! Orang muda, apa kaukira kau akan mampu lolos dari jangkauan huncweku kalau aku menghendaki nyawamu? Perlu apa aku mesti pakai menjebak seperti perbuatan seorang pengecut? Masuklah dan aku sendiri menjamin bahwa tidak akan ada yang mengganggumu, apalagi menjebakmu. Kita adalah orang-orang segolongan, atau setidaknya, mendiang Pangeran Ceng Han Houw andaikata sekarang masih hidup, tentu merupakan seorang sahabatku yang paling baik.” Lega rasa hati Thian Sin. Ternyata siasatnya ketika dia bicara tentang pemberontakan sambil menyinggung keadaan Pak-san-kui tadi berhasil. Kakek itu tidak akan memusuhinya, bahkan agaknya, melihat sikapnya, akan menariknya sebagai sekutu atau sahabat. Baik, dia akan melihat keadaan dan tidak akan terburu nafsu membalas dendam kematian keluarga Ciu. Sekarang dia tidak mempunyai siapapun juga, maka dia harus pandai menjaga diri sendiri dan berlaku cerdik. “Baiklah, locianpwe, aku percaya penuh kepada ucapan seorang besar seperti locianpwe.” Dan dengan sikap tenang diapun melangkah masuk mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Siangkoan Wi Hong yang juga amat kagum kepada pemuda remaja ini. Lian-bu-thia itu luas sekali, dindingnya putih bersih dan dihias tulisan-tulisan yang bergaya gagah. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan senjata-senjata selengkapnya. Juga terdapat alat-alat untuk latihan silat, bahkan ada patok-patok bunga bwee untuk latihan kuda-kuda dan langkah-langkah silat, ada karung-karung terisi bubuk pasir dan bubuk besi untuk latihan mengeraskan tangan dan sebagainya. Hawa dalam ruangan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) itu cukup segar karena dikelilingi jendela beruji besi. Lantainya juga bersih dan tidak licin. Pendeknya, lian-bu-thia yang terawat dan baik sekali. Ketika mereka memasuki lian-bu-thia itu terdapat tiga orang kakek setengah tua yang sedang latihan silat dan mereka ini ternyata adalah Pak-thian Sam-liong! Melihat guru dan juga majikan mereka masuk bersama Siangkoan-kongcu dan seorang pemuda, mereka segera memberi hormat dan mengenakan pakaian mereka yang tadi mereka buka dan mereka hanya memakai celana. Akan tetapi ketika ini melihat dan mengenal Thian Sin, mereka terkejut sekali dan memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi dengan sikap gembira sekali, Pak-san-kui lalu melepaskan mantelnya yang terbuat dari bulu tebal dan dia menyerahkan huncwenya kepada seorang di antara Pak-thian Sam-liong yang segera mengisinya dengan tembakau dari sebuah kantong tembakau yang diberikan oleh kakek itu kepadanya. Baju sutera hartawan itu mewah sekali dan dia tersenyum memandang kepada Thian Sin. “Ceng-sicu, aku telah mendengar bahwa sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, engkau memiliki ilmu silat yang hebat sekali!” “Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan, locianpwe,” Thian Sin berkata merendah, sikap yang memperlihatkan kecerdikannya. Sebelum dia tahu sampai di mana kehebatan kepandaian musuh ini, dia harus bersikap hati-hati, pikirnya, apalagi dia berada di dalam rumah datuk ini. “Hemm, sama sekali tidak dilebih-lebihkan kalau engkau sudah dapat mengalahkan tiga orang muridku dan juga puteraku. Bahkan kabarnya engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sungguh luar biasa. Semuda ini kabarnya telah memiliki Thi-khi-i-beng, benarkah itu?” “Locianpwe terlalu memuji,” kata Thian Sin. “Ha-ha-ha, oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar semua berita yang kuterima itu, apakah benar engkau sedemikian lihainya ataukah hanya murid-muridku dan puteraku saja yang tolol, maka sungguh kebetulan sekali engkau datang. Sebelum kita bicara lebih lanjut, marilah kita main-main barang beberapa jurus dan harap engkau tidak perlu untuk mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu.” Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke tengah ruangap lian-bu-thia, menggapaikan tangan ke arah muridnya yang mengisi huncwe tadi. Sang murid cepat mengantarkan huncwe gurunya dan dengan penuh hormat lalu menyalakan geretan api dan membakar tembakau di ujung huncwe sehingga tak lama kemudian nampak asap putih mengepul dan tercium bau tembakau yang harum. Pak-san-kui mengepulkan asap dari hidungnya dan mengangguk kepada Thian Sin. “Ceng Thian Sin, kau majulah dan mari kita main-main!” Thian Sin segera melangkah maju dan bersikap waspada. Memang dia ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaian orang tua ini, seorang di antara para datuk. Kalau dia mampu menandinginya, dia tentu akan membunuh datuk ini, untuk membalaskan kematian keluarga Ciu. Akan tetapi kalau datuk ini terlalu pandai dan terlalu lihai baginya, dia akan menggunakan akal. Sambil tersenyum dia lalu menjura dan berkata, “Aku yang muda hanya melayani kehendak locianpwe, silakan, locianpwe!” “Baik-baik, kau siaplah, orang muda!” Tiba-tiba kakek ini melangkah maju, tangan kirinya menyambar sembarangan saja ke arah kepala Thian Sin. Biarpun tangan itu hanya menyambar perlahan saja, namun ada angin sambaran yang amat kuat mendahului tangannya. Thian Sin menggeser kaki ke belakang untuk mengelek, akan tetapi sebelum dia membalas serangan oembarangan itu, tahu-tahu tangan yang sudah dielakkannya dan lewat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, bahkan kini dua jari dari tangan itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat! Tentu saja dia terkejut bukan main, karena lawannya itu tidak melangkah maju, akan tetapi bagaimana tangannya masih terus depat mengejarnya? Ketika dia memendang sambil meloncat cepat ke kiri untuk mengelak, kiranya lengan kiri kakek itu dapat diulur panjang sampai hampir dua kali panjang lengan biasa! Itulah ilmu yang amat luar biasa dan amat berbahaya, pikirnya. Maka sambil mengelak tadi, diapun sudah membalas dengan tamparannya dengan menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang! Dari tangannya sampai terdengar suara bersuit keras saking hebatnya pukulan itu. Memang Thian Sin yang maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, telah mempergunakan semua tenaganya dalam mengirim serangan balasan ini. Agaknya kakek ini sudah menduga akan tamparan ini dan diapun sengaja menangkis dengan lengan kirinya yang sudah ditarik kembali tentu saja sambil mengerahkan tenaganya karena dia maklum bahwa pemuda ini hebat bukan main. “Dukkk...!” Keduanya tergetar dan terpaksa mundur selangkah. Kakek itu memandang kagum sekali. “Itukah Thian-te Sin-ciang? Bukan main hebatnya!” katanya memuji sambil tersenyum. Sudah lama dia mendengar akan ilmu ini dan hari ini dia benar-benar menghadapi ilmu itu yang dilakukan oleh seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi Thian Sin mengira bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, maka diapun lalu mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hebat, yaitu ilmu pusaka dari Cin-ling-pai. Menghadapi desakan serangan ilmu silat tinggi ini, apalagi kalau setiap pukulannya mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kini diapun bergerak aneh, tubuhnya kadang-kadang berputar untuk mengelak dan lagi-lagi tangannya kirinya dengan lemas yang dapat terulur panjang itu membalas dengan serangan yang tak terduga-duga. “Ha-ha. Inikah San-in Kun-hoat? Bagus sekali!” Thian Sin merasa penasaran. Ilmu silatnya dapat dikenal orang, maka diapun lalu menggantinya dengan teriakan dari ilmu silat yang baru saja dipalajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun. Pukulan-pukulannya seperti angin cepatnya dan tubuhnya berputaran, menyerang lawan dari delapan penjuru. Memang Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini amat cepatnya. “Eh, eh, apa ini? Seperti gerakan Pat-kwa...” Kakek itu menebak-nebak heran akan tetapi harus diakui bahwa dia lihai sekali karena semua serangan Thian Sin dapat dielakkannya dengan tangkisan atau dengan putaran-putaran tubuh secara aneh, bahkan setiap pukulan selalu dibalasnya dengan kontan. Namun, Thian Sin juga selalu dapat menangkis semua pukulan itu dan dia tetap waspada karena sebegitu jauhnya, kakek itu belum pernah menggunakan huncwenya untuk menyerang. Padahal, seperti yang pernah dia dengar, huncwe itulah yang merupakan senjata maut kakek itu, maka kini perhatian Thian Sin selalu ditujukan ke arah huncwe itu. Dan dugaannya memang tepat. Ketika kakek itu agak repot menghadapi Pat-hong Sin-kun, tiba-tiba saja setelah mengelak, huncwenya menyambar. Thian Sin cepat mengelak, akan tetapi ketika huncwe itu lewat di atas kepalanya, tiba-tiba saja ada api menyambar ke arah mukanya. Api itu keluar dari tempat tembakau dan merupakan bunga api yang menyambar cepat sekali ke arah matanya! Tentu saja Thian Sin menjadi terkejut bukan main dan ketika dia dengan kecepatan kilat melempar tubuh ke belakang, tangan kiri kakek itu yang mulur panjang telah menampar punggungnya! Tamparan yang dilakukan ketika dia mengelak dari sambaran api sehingga tubuh yang lagi dilempar ke belakang itu tidak mungkin mengelak lagi dan untuk menangkispun tidak sempat lagi, maka pemuda itu hanya dapat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi punggungnya. “Plakk!” Thian Sin melompat untuk mengurangi tenaga tamparan itu, dan kakek itupun berseru heran ketika tamparannya itu merasa betapa kulit punggung itu lemas dan lunak seperti karet. Tahulah dia bahwa punggung itu terlindung oleh tenaga sin-kang yang amat kuatnya dan sama sekali tidak terluka oleh pukulannya tadi. Dia menjadi semakin kagum, tahulah dia bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang yang disohorkan dunia kang-ouw itu ternyata tidak kosong belaka. Thian Sin merasa penasaran. Memang benar dia belum kalah, akan tetapi karena dia telah terkena satu kali tamparan, maka berarti dia yang terdesak. Kini dia maju dan menyerang lagi dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Begitu dia mulai mainkan ilmu silat yang amat indah dan juga amat kuat ini kakek itu sudah berseru kagum. “Wah, inilah Thai-kek Sin-kun! Bukan main!” Dan diapun mencoba untuk membobolkan benteng pertahanan ilmu silat itu dengan serangan-serangan huncwenya, sambil mencoba untuk mengacaukan garis pertahanan lawan dengan lengan kirinya yang dapat mulur itu. Namun, pertahanan Thian Sin amat kuatnya sehingga ke manapun juga huncwe dan tangan kiri itu menyerang, dia selalu sudah dapat menyambutnya dengan tangkisan kuat ataupun dengan elakan yang indah. Kedua lengannya berani menangkis huncwe itu karena dilindungi tenaga Thian-te Sin-ciang. BEBERAPA kali kakek itu memuji. Biarpun dia telah mengerahkan tenaganya, namun belum juga dia mampu merobohkan lawan. Memang, dia tidak sepenuhnya mainkan huncwenya, melainkan huncwenya itu hanya lebih banyak menggertak saja dan dia menyerang dengan tangan kirinya. Hal ini adalah karena dia merasa malu kalau harus merobohkan lawan dengan huncwenya, padahal pemuda itu juga bertangan kosong. Memang hal ini juga yang dimaklumi oleh Thian Sin. Setiap kali kakek ini menggunakan huncwenya, dia memandang silau oleh hamburan api yang muncrat ke sana-sini, dan gerakan huncwe itu memang aneh bukan main, bahkan kalau kakek itu mau, agaknya pertahanan Thai-kek Sin-kun juga tidak mampu mempertahankan dirinya. Akan tetapi kakek itu selalu menahan huncwenya dan melanjutkan dengan serangan tangan kiri yang cukup aneh dan ampuh itu. Setelah lewat lima puluh jurus, kakek itu kini menggerakkan huncwenya dengan aneh. Huncwe itu diputar-putar, menjadi gulungan sinar api yang menyilaukan mata. Terpaksa Thian Sin mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi huncwe ini dan kembali dia kecurian! Lengan kiri kakek itu memanjang dan menghantamnya dari belakang, kini bukan ditujukan ke punggung, melainkan ke tengkuknya! Tentu saja hal ini amat berbahaya, maka pada saat terakhir, Thian Sin sudah mengerahkan Thi-khi-i-beng. “Plakkk! Aughhhhh...!” Kakek itu mengeluarkan teriakan kaget, lalu disambungnya, “Wah, ini Thi-khi-i-beng, ya?” Dan huncwenya menyambar, lalu ada rasa panas pada tengkuk Thian Sin sehingga sesaat tenaga Thi-khi-i-beng membuyar dan kakek itupun sudah dapat menarik kembali tangan kirinya! Kiranya kakek itu mampu memunahkan Thi-khi-i-beng dengan bantuan api huncwenya! “Ha-ha, hebat sekali kau, Ceng Thian Sin! Semuda ini sudah banyak ilmunya yang hebat-hebat! Tapi jangan harap kau akan dapat menangkan aku, orang muda. Keluarkan pedangmu di balik jubah itu, dan mari hadapi huncweku dengan senjata!” Kembali Thian Sin terkejut. Bukas saja kakek ini berhasil memunahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi juga tahu akan pedangnya dan menantangnya menggunakan pedang. Apa artinya dia menggunakan pedang kalau Thian-te Sin-ciang, Thi-khi-i-beng dan Thai-kek Sin-kun saja tidak mampu mengalahkan kakek ini? Dan kakek itu agaknya belum mengeluarkan ilmu huncwenya yang sungguh-sungguh! Mengertilah Thian Sin bahwa dia memang masih kalah oleh kakek ini, maka dia menekan rasa penasaran di dalam hatinya dan dia berkata dengan suara ramah dan merendah, “Saya datang bukan dengan maksud memusuhi locianpwe, mengapa saya harus mempergunakan pedang?” Kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, kata-katamu memang enak didengar. Akan tetapi aku sudah mendengar betapa ganasnya engkau menggunakan pedangmu ketika engkau mengamuk di Lok-yang dan Su-couw. Nah, orang muda, engkau berpedang dan aku memegang huncwe, kita lihat siapa lebih unggul!” “Ayah, agaknya dia tidak berani kalau-kalau pedangnya akan melukai dirinya sendiri, ha-ha!” Siangkoan Wi Hong tertawa, sengaja membakar hati Thian Sin. Thian Sin sudah siap dengan siasatnya dan menekan semua kemarahan dan kebencian, akan tetapi ternyata dia masih belum kuat dan mendengar ejekan ini, tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar perak ketika Gin-hwa-kiam tercabut. Melihat pedang yang tipis dan pendek ini, Pak-san-kui tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya pedang seorang wanita! Eh, Ceng Thian Sin, apakah pedang itu pedang tanda mata dari seorang kekasihmu?” “Harap locianpwe jangan menghina!” Thian Sin berteriak, menahan diri agar tidak memaki kakek itu. “Ini adalah pedang pemberian nenekku! Nah, sambutlah!” Diapun lalu menggerakkan pedang itu dan karena dia tidak mempelajari ilmu pedang khusus, maka diapun lalu mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kalau dimainkan dengan pedang dapat menjadi Thai-kek Sin-kiam. Cukup hebat gerakannya dan begitu pedang diputar nampak gulungan sinar perak. “Hemm!” Kakek itu mendengus dan nampak kecewa, lalu menggerakkan huncwenya dan begitu huncwe bergerak, terkejutlah Thian Sin. Sudah diduganya memang bahwa senjata huncwe ini adalah keistimewaan kakek itu, akan tetapi tak pernah disangkanya demikian hebat huncwe itu. Baru belasan gebrakan saja dia sudah tidak mampu balas menyerang. Gerakan huncwe itu merupakan gulungan api! Dan selain cepat, juga amat aneh sehingga sukar diikuti. Dia mempertahankan dengan memutar pedang melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba, setelah lewat dua puluh jurus, terdengar suara keras sekali dan pedangnya terpental, hampir terlepas dari pegangan tangannya, kemudian huncwe itu sudah datang dekat sekali dengan mukanya, seperti hendak membakarnya, maka dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan baru dapat menghindarkan diri. Kakek itu tertawa. “Orang muda she Ceng, jangan kau terlalu pelit! Yang kaukeluarkan sejak tadi adalah ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Mengapa engkau tidak mengeluarkan ilmu peninggalan ayah kandungmu? Jangan dikira aku tidak tahu. Aku sudah mendengar bahwa Ceng Han Houw pernah merajai dunia persilatan karena dia memiliki ilmu silat jungkir balik yang amat lihai. Hayo, kaukeluarkantah ilmu itu dan kita bertanding sungguh-sungguh!” Thian Sin kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa kakek ini tahu pula akan hal itu. “Sayang, aku baru saja meninggalkan Lembah Naga dan belum sempat mempelajari ilmu-ilmu itu. Tunggulah setahun lagi, kalau aku sudah melatih ilmu-ilmu itu, aku akan mencarimu dan kita bertanding lagi, locianpwe.” “Ha-ha-ha, siapa mau kaubohongi? Kalau kudesak engkau, tentu engkau terpaksa akan mengeluarkan ilmu simpanan itu untuk kulihat!” Setelah berkata demikian, kembali huncwe maut itu bergerak dengan kecepatan kilat. Thian Sin memutar pedang melindungi dirinya dan berusaha melawan sekuat tenaga. Namun, dia hanya dapat bertahan sampai tiga puluh jurus saja dan tiba-tiba kembali terdengar suara keras. Kini huncwe atau gulungan sinar api itu berputar-putar dan pedangnya seperti “terlibat” dan ikut berputar, kemudian, tiba-tiba saja pedangnya terlepas dan huncwe itu menyambar. Dia mengelak untuk disambut tangan kiri dan dia cepat mengerahkan Thi-khi-i-beng, akan tetapi terasa panas pada punggungnya dan Thi-khi-i-beng itu membuyar, lalu dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi punggungnya yang dicengkeram tangan kiri lawan. Akan tetapi, jari-jari tangan itu meremas dan memutar sedemikian rupa sehingga otot-ototnya terkena remasan dan tiba-tiba saja Thian Sin roboh dengan lemas. Kakek itu tertawa dan dengan marah Thian Sin berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali dia menggerakkan tubuhnya, dia menahan rasa nyeri yang amat sangat di punggungnya dan roboh lagi. Punggungnya itu seolah-olah patah tulangnya dan dengan punggung seperti itu, maka tentu saja dia tidak mampu menggerakkan lagi tangan kakinya karena setiap gerakan kaki tangan sudah tentu mengandalkan kekuatan dari punggung. “Ayah, kenapa tidak dibunuh saja orang ini?” Tiba-tiba Siangkoan Wi Hong berkata sambil meloncat maju dengan yang-kim yang berbahaya itu di tangannya. Thian Sin maklum bahwa sekali pukul saja, dia sudah tidak berdaya menghindar dan nyawanya akan melayang. Akan tetapi dia kini rebah terlentang dengan sinar mata terbelalak penuh keberanian, seolah-olah dengan sinar matanya itu dia menantang maut! “Ha-ha, jangan dibunuh. Aku sudah berjanji bahwa dia masuk ke sini dalam keadaan hidup, maka keluarnya dari sinipun dalam keadaan hidup. Akan tetapi hidup yang bagaimana? Ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana wajah Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu itu kalau dapat melihat puteranya yang tampan gagah, berubah menjadi seorang manusia tapadaksa yang tidak berguna sama sekali.” Thian Sin merasa ngeri juga membayangkan ancaman ini. Tentu kakek itu akan membuatnya sebagai seorang manusia dengan cacad yang membuat dia selama hidupnya tidak berguna. Itu lebih hebat daripada kalau dia dibunuh! Maka diapun cepat mempergunakan akal. “Pak-san-kui, kalau ayahku masih hidup, atau kalau aku sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayahku, aku yakin engkau tidak akan berani bersikap seperti ini!” Pak-san-kui memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. “Mungkin sekali, akan tetapi sayang, ayahmu telah tidak ada lagi dan engkau ternyata hanya merupakan murid Cin-ling-pai yang baik sekali, sama sekali tidak mewarisi kepandaian ayahmu. Dan engkau sudah membuat Phoa-taijin menjadi manusia yang hidup tidak matipun tidak, maka akupun hendak membikin engkau seperti dia.” “Orang macam Phoa-taijin itu tidak dibunuhpun masih untung! Apa gunanya orang seperti dia yang begitu ceroboh? Menggunakan perampok-perampok tolol untuk menjalankan siasat, kemudian membasmi keluarga Ciu. Tahukah locianpwe siapa Ciu Khai Sun? Dia tokoh besar Siauw-lim-pai dan apa artinya itu? Artinya bahwa gerakan sekutu locianpwe itu akan mendapat tentangan yang besar dan kuat. Kalau Phoa-taijin cerdik, tentu dia mempergunakan orang-orang yang lebih lihai agar usaha merampok itu berhasil baik, dan juga tidak nanti membunuh orang Siauw-lim-pai! Locianpwe, aku adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, karena itu aku membunuh sebanyak mungkin pasukan pemerintah. Apakah kenyataan ini tidak cukup membuka mata bahwa aku adalah seorang sekutu locianpwe yang cukup baik, bahkan jauh lebih baik daripada orang she Phoa yang tolol itu?” Kakek itu mendengarkan dengan alis berkerut, akan tetapi wajahnya mulai berubah dan sinar matanya berseri. “Dan andaikata benar omonganmu, dan aku menjadikan engkau sekutu, lalu apa gunanya engkau bagiku?” “Locianpwe, mendiang ayahku adalah seorang jagoan nomor satu di dunia. Tentu locianpwe sudah mendengar akan ilmu-ilmu yang dimilikinya, ilmu-ilmu hebat dan mujijat Hok-lion Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan ilmu dengan jungkir balik yang disebut Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Balikkan Bumi).” Wajah kakek itu makin berseri dan dia mengangguk. “Hanya dongeng saja! Buktinya, putera tunggalnyapun tidak mampu mainkan dua ilmu itu!” “Sudah kukatakan bahwa karena selama ini aku ikut di Lembah Naga dan mempelajari ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka aku tidak sempat mempelajarinya. Akan tetapi kalau locianpwe berminat, bebaskanlah dulu aku dan kita dapat bicara.” “Ayah, hati-hati terhadap anak ini, dia pandai bicara pula,” kata Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi kakek itu yang haus akan kepandaian silat yang hebat tidak peduli dan dia sudah menggerakkan tangan, menotok ke beberapa bagian punggung Thian Sin. Pemuda ini dapat bergerak kembali lalu bangkit berdiri dan menjura. “Locianpwe telah mengambil keputusan yang tepat sekali dan menguntungkan kedua fihak.” “Ceng Thian Sin, jelas untung bagi fihakmu, akan tetapi aku tidak melihat apa keuntungannya bagi ayah!” kata Siangkoan Wi Hong. “Siangkoan-twako, engkau tahu bahwa aku bukan seorang laki-laki yang suka membohong. Aku tidak takut mati, tadi aku hanya menawarkan kerja sama yang baik dan menguntungkan kedua fihak. Aku mempunyai kitab-kitab ayahku itu dan kutawarkan kepada Siangkoan locianpwe.” “Di mana kitab-kitab itu?” tanya Pak-san-kui dengan girang. “Nanti dulu, locianpwe. Locianpwe tentu akan dapat mempelajari ilmu-ilmu ayahku itu, hal ini kutanggung dengan taruhan nyawa. Akan tetapi apa imbalannya? Seorang gagah bukan memberi ilmu dengan cuma-cuma, juga tidak menerima ilmu secara cuma-cuma pula.” “Hemm, apa yang kaukehendaki? Aku sudah membebaskanmu!” “Ah, itu bukan imbalan namanya. Di antara kita tidak ada permusuhan, bahkan mengingat akan keadaanku yang tentu dianggap pemberontak oleh pemerintah, kita ini mempunyai persamaan, bukan? Sungguhpun locianpwe bekerja di dalam selimut dan aku di luar selimut.” “Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Nah, apa yang kauminta sebagai penukar ilmu-ilmu peninggalan Pangeran Cepg Han Houw?” “Locianpwe, di antara ilmu-ilmu locianpwe, yang amat menarik dan mengagumkan hatiku adalah ilmu huncwe dari locianpwe tadi. Maka, aku mau menukar kedua ilmu peninggalan ayahku dengan ilmu huncwe dari locianpwe.” “Ha-ha-ha, engkau memang cerdik bukan main! Selama hidupku, belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmu huncweku ini, dan sekarang engkau ingin mempelajarinya. Ha-ha-ha, baiklah, kita tukar dua ilmu itu!” “Ayah...!” Siangkoan Wi Hong berseru kaget. Dia sendiri sebagai putera datuk itu belum diberi pelajaran ilmu itu yang menurut ayahnya tidaklah mudah dan selain harus memiliki bakat yang amat baik, juga membutuhkan waktu yang amat lama sekali dan di samping itu harus menjadi ahli mengisap asap tembakau pula! Padahal Siangkoan Wi Hong tidak suka mengisap pipa tembakau, oleh karena itu selama ini dia belum pernah mempelajari ilmu simpanan ayahnya itu. “Aku sudah berjanji!” Ayahnya memotong. “Dan kita masing-masing mempelajari ilmu-ilmu itu selama enam bulan. Setujukah engkau, Ceng Thian Sin?” “Baik, locianpwe. Enam bulan sudah cukup bagiku!” Pemuda itu lalu menanggalkan jubahnya, tidak melihat betapa Siangkoan Wi Hong tersenyum-senyum karena pemuda ini sudah dapat menangkap siasat ayahnya. Menurut ayahnya, untuk dapat mempelajari ilmu huncwe itu secara sempurna, seorang yang berbakat baik sekalipun membutuhkan waktu sedikitnya tiga tahun! Dan kini ayahnya berjanji akan mengajarkan ilmu itu selama setengah tahun saja. Mana mungkin Thian Sin akan dapat menguasainya dalam waktu setengah tahun? Sebaliknya, ayahnya adalah seorang yang bakatnya luar biasa sekali dalam ilmu silat. Ilmu silat apapun, setelah dilatihnya dua tiga kali saja tentu sudah dapat ditangkap sarinya dan dapat dikuasainya! Sekali ini, Thian Sin kena batunya dan bertemu dengan seorang datuk yang selain lihai juga amat cerdik. Akan tetapi, ayah dan anak ini sama sekali tidak menduga bahwa Thian Sin memiliki kecerdikan yang akan mengejutkan mereka. Biarpun selama ini, sejak kecilnya, Thian Sin dididik oleh orang-orang yang mengutamakan kebajikan dan menjauhi kepalsuan dan kejahatan, namun dasarnya dia memiliki kecerdikan yang luar biasa dan kalau dia menghendaki, dia mampu menciptakan siasat dan muslihat yang amat cerdik. Dia menerima janji enam bulan itu dengan hati girang, karena dia merasa yakin bahwa kitab-kitab peninggalan ayahnya itu tidak akan dapat dipelajari oleh siapapun kecuali oleh dia yang tahu akan kuncinya. Bahkan, makin lama dipelajari orang begitu saja, orang itu akan tersesat semakin jauh. Sedangkan bagi dia, sama sekali dia tidak ingin belajar mainkan huncwe itu, melainkan dia ingin mengenal inti gerakannya, mengenal kekuatannya dan juga bagian-bagiannya yang lemah sehingga dia akan lebih mampu menghadapinya kelak! Thian Sin kini merobek pinggiran jubahnya, dan ternyata dua buah kitab tipis digulungnya dan disembunyikannya di dalam atau di balik jahitan jubah itu, di antara dua kain jubah dirangkapkan. “Nah, inilah kitab-kitab peninggalan ayah, locianpwe. Mulai hari ini, locianpwe boleh mempelajarinya bersama aku, karena aku sendiri juga belum sempat mempelajarinya, dan di samping itu harap locianpwe mulai memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu huncwe itu.” Sambil membuka-buka dua buah kitab penuh tulisan tangan dan lukisan tangan dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang cukup jelas itu, Pak-san-kui berseri-seri wajahnya den mengangguk-angguk. “Tentu saja, anak yang baik, aku akan mengajarkan ilmu huncwe kepadamu.” Dia merasa girang sekali karena sedikit keraguannya bahwa kitab itu palsu lenyap oleh pernyataan Thian Sin yang mempelajarinya juga bersamanya. Agaknya pemuda yang gagah perkasa ini amat jujur, suatu sifat yang amat buruk dan lemah dari kaum pendekar, berbeda dengan mereka dari golongan hitam yang selalu mengutamakan kecerdikan! Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin diterima di dalam gedung besar indah itu sebagai seorang tamu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang tadinya menaruh curiga, setelah melihat betapa penukaran ilmu sungguh sama sekali tidak merugikan ayahnya bahkan menguntungkan, kini kembali tertarik lagi kepada Thian Sin dan menganggapnya sebagai seorang sahabat baik. Malah dia sering mengajak Thian Sin berlatih untuk memperdalam ilmu silatnya, karena dia tahu bahwa pemuda itu memang pandai bukan main. Ayahnya sendiri dengan terus terang mengatakan bahwa andaikata ayahnya tidak memiliki ilmu huncwe yang lihai itu, kirahya akan sukar untuk mengalahkan pemuda ini! Setiap hari Pak-san-kui dan Thian Sin mempelajari ilmu-ilmu dari kitab peninggalan Ceng Han Houw, mula-mula Ilmu Hok-liong Sin-ciang, ilmu ini adalah ilmu silat yang gerakannya aneh sekali, dan dengan lahapnya, Pak-san-kui menghafalkan jurus-jurus ilmu silat ini yang hanya terdiri dari delapan belas jurus saja, akan tetapi di dalam delapan belas jurus ini terkandung bermacam gerakan yang amat lihai kalau dipakai menyerang. Yang dirahasiakan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya diketahui kuncinya oleh Thian Sin dalam ilmu Hok-liong Sin-ciang ini adalah bagian yang melindungi tubuh di waktu menyerang. Memang serangan itu sama kuat dan lihainya, hanya bedanya, ilmu yang aseli memiliki bagian yang melindungi tubuh sendiri di waktu menyerang, dan karena bagian ini dirahasiakan, maka yang dipelajari oleh Pak-san-kui hanyalah bagian yang menyerang saja dan tanpa disadarinya, tentu saja selagi melakukan serangan ini maka ada bagian tubuh yang terbuka dan tidak terlindung. Saking girangnya melihat betapa hebatnya jurus serangan itu, Pak-san-kui tidak tahu bahwa serangan itu mengandung kelemahan yang hebat pula! Hanya dalam waktu sebulan saja dia telah dapat menghafal delapan belas jurus itu dan merasa sudah sempurna, tinggal melatihnya saja. Juga Thian Sin memiliki bakat yang sama besarnya dengan Pak-san-kui, bahkan dia tidak kalah cerdiknya. Diam-diam dia menggunakan kunci latihan itu dan dia dapat melakukan gerakan yang lebih sempurna, karena mencakup segi perlindungan diri. Perbedaannya terletak pada letak kaki atau tangan di waktu menyerang. Sebagai contohnya, pada jurus ke empat kaki kanan menerjang dari samping dengan menyilang. Di waktu menendang ini, menurut kitab itu, lengan kiri diangkat sebagai keseimbangan tubuh, padahal menurut kuncinya, yang diangkat adalah lengan kanan sehigga lengan kiri dapat diturunkan dan menjaga selangkangan yang terbuka dan pada detik tendangan dilakukan tentu saja terbuka dan tidak terlindung. Akan tetapi di waktu dia melakukan latihan di depan Pak-san-kui, tentu saja Thian Sin tidak memperlihatkan hal ini. Dan kalau Pak-san-kui kelihatan girang karena sudah menguasai semua jurus, Thian Sin sengaja memperlihatkan bahwa dia belum menguasai sepenuhnya dan di sinilah letak kecerdikan pemuda itu! Pada bulan ke dua, karena dia sendiri merasa sudah dapat menguasai Hok-liong Sin-ciang, Pak-san-kui lalu mengajak Thian Sin untuk mulai dengan pelajaran dari kitab ke dua, yaitu ilmu Hok-te Sin-kun! Ilmu ini jauh lebih rumit karena mengandung ilmu bersamadhi yang aneh, yaitu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas! Thian Sin menurut saja, biarpun dia sendiri belum dapat melatih ilmu Hok-liong Sin-ciang dengan baik. Maka, pada bulan ke dua, mulailah mereka berdua melatih diri dengan siulian menurut kitab pelajaran Hok-te Sin-kun, yaitu jungkir balik. Dan sementara itu, hampir setiap hari Pak-san-kui mengajarkan ilmu silat huncwe itu, karena memang maksudnya bukan ingin mempelajari bagaimana untuk dapat bermain ilmu silat itu, melainkan untuk mencari kelemahan-kelemahannya. Dan kakek itu adalah seorang datuk, tentu saja diapun tidak mau menyembunyikan ilmunya, bahkan dia bermain silat huncwe secepatnya sehingga akan sukarlah bagi Thian Sin untuk mempelajarinya. Dan pemuda ini memang dapat melihat betapa hebat dan tangguhnya ilmu silat ini, di samping gerakan-gerakannya yang aneh. Akan tetapi dia mulai dapat melihat bahwa pada dasarnya, ilmu silat itu adalah ilmu silat pedang yang hebat. Huncwe yang panjangnya sampai tiga kaki itu digerakkan seperti pedang, jadi pada hakikatnya tidak berbeda dengan ilmu silat yang-kim yang dimainkan oleh Siangkoan Wi Hong. Ilmu silat yang-kim itu pada dasarnya juga ilmu pedang yang disesuaikan dengan yang-kim. Ini pun merupakan ilmu pedang yang disesuaikan dengan huncwe sehingga tusukan pedang menjadi totokan huncwe. Hanya hebatnya, ditambah lagi dengan penggunaan panasnya huncwe dan api yang keluar dari mulut huncwe, juga asap yang dapat dipergunakan untuk menyerang lawan. Kunci-kunci yang terdapat dalam ilmu Hok-te Sin-kun ini lebih hebat lagi. Memang dilihat begitu saja, cara Thian Sin bersamadhi tidak ada bedanya dengan yang dilakukan Pak-san-kui dalam melakukan latihan menurut kitab itu. Akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan yang amat besar. Berjungkir-balik dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, dengan punggung tegak lurus, merupakan kedudukan tubuh yang baik sekali untuk membantu gerakan perjalanan darah ke dalam otak, juga untuk “menurunkan” hawa murni dari bawah pusar ke otak melalui punggung. Akan tetapi, perjalanan darah ini harus berjalanan dengan sewajarnya, dibantu dengan pernapasan yang panjang dan tanpa paksaan sama sekali, dengan pikiran yang kosong dan membiarkan hawa yang panas dari pusar itu perlahan-lahan menjalar turun sampai ke ubun-ubun kepala. Akan tetapi, kalau demikian adanya pelajaran yang sebenarnya, yang kuncinya sudah dipegang oleh Thian Sin, kalau menurut kitab yang menyesatkan itu, si pelatih diharuskan menekan tenaga dari tiantan itu turun dan menembus jalan darah secara paksa. Mula-mula Pak-san-kui memang merasa girang sekali karena setelah berlatih seperti itu, dia merasa betapa hawa sakti itu dapat digerakkannya jauh lebih mudah daripada kalau dia bersamadhi sambil duduk bersila. Akan tetapi, setelah dia berlatih selama seminggu, dia merasa agak pening pada kepalanya dan setelah berlatih, maka pandang matanya berkunang-kunang. Sedangkan pada Thian Sin, tidak nampak tanda apa-apa. Akan tetapi dia menghibur diri dan menganggap bahwa ini adalah tanda bahwa latihannya berhasil! Lalu dia mulai berlatih dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun itu, yaitu bersilat dengan kepala di bawah, menggunakan kedua kaki sebagai penyerang utama dan kedua tangan sebagai penyerang pembantu. Dan karena memang kakek ini sudah memiliki dasar ilmu silat yang tinggi, maka gerakan-gerakan itu tidaklah sukar baginya. Sebaliknya, diam-diam Thian Sin juga mempelajari ilmu silat ini menurut catatan yang sebenarnya, yaitu menurut petunjuk dalam kitab yang sudah diubahnya menurut kunci yang telah dipelajarinya sejak kecil dan dia mulai merasakan hasilnya. Tubuhnya menjadi semakin ringan, tenaga sin-kang di tubuhnya terasa mengalir dengan cepat dan amat kuat di seluruh tubuhnya, akan tetapi hal ini tidak dia nyatakan sehingga kakek itu sendiripun tidak mengetahuinya. Lewat empat bulan lebih, hampir lima bulan. Thian Sin sudah merasa yakin bahwa dia telah mempelajari dengan teliti dan melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu silat huncwe dari Pak-san-kui dan dia menganggap bahwa waktunya telah tiba baginya untuk memperlihatkan diri dengan sesungguhnya dan mengalahkan kakek itu! Dia sudah tinggal cukup lama di situ dan sudah memperoleh tambahan ilmu dengan mempelajari ilmu huncwe yang walaupun tidak dapat dikuasainya sepenuhnya namun telah dipelajarinya gerak-geraknya dan kelemahan-kelemahannya itu. Di samping itu, diapun telah mempelajari dua ilmu peninggalan ayahnya, biarpun belum sempurna benar, akan tetapi jelas jauh lebih baik daripada Pak-san-kui sendiri yang memperoleh ilmu-ilmu itu dengan cara yang terbalik bahkan tersesat! Dan dia akan memperlihatkan kemenangan atau keunggulannya itu kepada Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong! Maka dia memilih saat ketika putera dan murid-murid kepala Pak-san-kui itu pada suatu sore nonton latihan-latihan mereka dan memang dia sudah mempersiapkan segala-galanya. Maka ketika Pak-san-kui yang tadinya bercakap-cakap dengan murid-murid kepalanya setelah menerima laporan tentang segala tugas yang dilakukan oleh murid kepala ini yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, Pak-san-kui lalu berkata, “Thian Sin, mari kita berlatih. Diam-diam telah hampir lima bulan engkau di sini dan mari kauperilhatkan apa yang telah kauperoleh selama ini!” Kakek itu tertawa dan melirik ke arah puteranya. Diam-diam Thian Sin tergetar. Dalam lirikan itu dia seperti melihat sesuatu dan tentu ada apa-apanya di balik ajakan berlatih ini! Apakah di dalam hati kakek itu juga terdapat keinginan yang sama dengan keinginannya sendiri, yaitu hendak menjatuhkan dalam latihan itu? “Baik, locianpwe!” katanya dan dia mengangkat tempat air minumnya, lalu minum beberapa teguk air jernih itu, baru dia meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia itu. Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong segera mengatur tempat duduk, menyingkirkan meja di pinggir dan mereka sendiri lalu duduk nonton karena merekapun ingin sekali mellhat apa yang selama ini dilatih oleh pemuda itu dan Pak-san-kui. “Mari kita lebih dulu berlatih ilmu Hok-liong Sin-ciang!” kata kakek itu dengan gembira sambil menyelipkan huncwenya di ikat pinggangnya. Biarpun tembakau di huncwenya masih belum padam, akan tetapi karena tidak dihisap maka asapnya hanya sedikit saja. Dia sudah siap dengan kuda-kuda dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang menurut petunjuk dalam kitab, wajahnya gembira sekali karena dia yakin bahwa dalam ilmu silat baru ini dia tentu dapat mengalahkan Thian Sin yang dia lihat belum sempurna benar gerakannya, maslh kaku. Juga dia tahu bahwa perhatian pemuda itu terhadap Hok-liong Sin-ciang harus dibagi perhatiannya untuk mempelajari ilmu huncwe yang belum ada sepersepuluhnya dipelajari oleh pemuda itu, bahkan boleh dibilang pemuda itu belum mempelajari apa-apa selama ini kecuali hanya nonton saja dia bermain silat dengan huncwenya. Dan dia tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat dikatakan licik karena dia telah mainkan semua jurus simpanannya yang ada dengan huncwenya, tentu saja terlalu cepat dan tidak mungkin dapat ditangkap semua oleh pemuda itu! Thian Sin hanya mengangguk dan diapun cepat menyerang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang dilatihnya bersama dengan kakek itu. Pak-san-kui mengelak dan membalas serangan itu dengan gerakan yang sama anehnya, bahkan dari tangannya keluar hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan saking kerasnya. Namun, Thian Sin dapat menangkis dan balas menyerang. Mereka saling serang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang itu dan keduanya ternyata sama tangguhnya. Akan tetapi, Thian Sin segera dapat melihat lowongan-lowongan pada setiap kali kakek itu menyerang. Dia melihat betapa kedudukan kaki atau tangan kakek itu terbalik, maka ketika dia melihat kakek itu menggunakan jurus ke sebelas untuk menyerangnya, dengan pukulan tangan kiri dari samping dibarengi pukulan tangan kanan dari atas, padahal seharusnya dari bawah, dia melihat lowongan dan sambil mengelak, kakinya menyambar ke arah lambung yang “terbuka”. “Plak! Plak! Aihhh...!” Pak-san-kui terhuyung ke belakang, dan biarpun dia tadi dalam gugupnya masih mampu menangkis, namun kedudukannya terguncang dan dia terhuyung ke belakang. Wajah kakek itu menjadi merah karena jelas nampak oleh siapapun juga bahwa dalam hal ilmu baru itu dia kalah oleh pemuda ini! “Hyaaaaattt...!” Tiba-tiba dia sudah berjungkir balik dan mainkan ilmu kedua, yaitu Hok-te Sin-kun. Tanpa mengeluarkan kata apapun Thian Sin juga menggerakkan tubuhnya berjungkir balik dan mainkan Hok-te Sin-kun. Kini terjadilah pertandingan yang membuat Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong menjadi bengong dan terheran-heran bercampur kagum. Dua orang itu telah saling serang mempergunakan sepasang kaki yang dibantu sepasang tangan, dan sambaran kaki mereka itu mendatangkan angin yang amat dahsyat! Itu adalah ilmu yang amat hebat. Mereka semua tidak tahu betapa wajah kakek itu menjadi pucat, sedangkan wajah Thian Sin merah dan nampak berseri, sepasang matanya nampak mencorong. Ini tandanya bahwa tenaga yang dipergunakan oleh Pak-san-kui adalah tenaga yang terbalik dan salah! Setelah saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba kedua kaki mereka beradu. “Desss...!” Dan akibatnya tubuh Pak-san-kui terdorong dan tentu dia sudah jatuh terbanting kalau dia tidak cepat meloncat bangun. Mukanya pucat sekali dan dia menyeringai karena merasa betapa kepalanya berdenyut pening. Itulah akibatnya karena dia terlampau banyak menggunakan tenaga terbalik yang memukul dirinya sendiri itu! Sebagai seorang ahil silat kelas tinggi, seketika maklumlah kakek ini bahwa selama ini dia tertipu! Kalau tidak tertipu, tidak mungkin dia kalah dalam kedua ilmu itu oleh Thian Sin! Dan pula, pertemuan kaki tadi memberi tahu padanya bahwa dia telah salah mempergunakan tenaga, padahal semua itu menurut petunjuk kitab. Tahulah dia bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia berkata. “Thian Sin, sekarang ini mari kita lihat kemajuanmu mempelajari ilmu huncwe!” Setelah berkata demikian, dia sudah maju menyerang dengan huncwenya! Thian Sin terkejut sekali, maklum bahwa agaknya kakek ini sudah curiga, buktinya begitu menyerang terus saja menggunakan jurus-jurus maut terampuh dari huncwenya! Dia cepat mengelak ke sana-sini, dan karena dia sudah memperhatikan dengan teliti ketika dia mempelajari ilmu ini, dia mengenal setiap gerakan dan tahu akan inti kekuatan huncwe itu. Dia membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum hal ini dan tidak lagi mengherankan mengapa pemuda itu kini mainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya mati-matian. Maka diapun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sekali ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap amat berbahaya baginya. “Cringgg...!” Tiba-tiba nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini, tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui dan nampaklah gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras! Thian Sin sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk menghadapi jurus ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh dan dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang dipergunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe itu adalah terhadap air! Dan begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara “Cessss” dan apinya tentu saja menjadi padam nampak asap hitam yang baunya keras bukan main dan pada saat itu Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke arah perut lawan, ditusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya sendiri menyerang ke depan dengan amat cepatnya! Itupun merupakan serangan gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini. “Tringg...!” Pedang itu tertangkis huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada kakinya, akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki. “Blukkk!” Kedua kaki Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan terbanting, dan diapun roboh pingsan! Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan segera menyerang dengan senjata mereka, pemuda itu menggunakan yang-kim untuk menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka. Sementara itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga ketika merobohkah kakek tadi, merasa tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu, dia bisa celaka, apalagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok, maka dia segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakannya cepat sekali dan biarpun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar, namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus lari dengan cepat. Sementara itu, malam telah tiba dan kegelapan menolong pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biarpun dia sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu, namun setidaknya dia telah merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangan Hok-liong Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, setelah dia tahu akan kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, dia tidak takut lagi terhadap datuk utara itu! Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tidak melanjutkan pengejaran, karena mereka sendiripun masih terlalu kaget melihat betapa Pak-san-kui dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui. Kakek itu masih pingsang akan tetapi setelah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan pingsan dan terluka cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak! Tentu saja setelah siuman, kakek itu menyumpah-nyumpah dan berjanji akan mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang. Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai, juga amat cerdik seperti setan sehingga “tukar menukar” ilmu itu hanya tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, sedangkan pemuda itu berhasil mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan. Setelah pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini diapun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagiannya yang berguna dan oleh Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri. *** Setelah berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga. Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama sekali karena sedikit banyak dia telah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu. Dia akan berusaha terus membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk di dalam hatinya, akan tetapi sebelum dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dulu bahwa dia dapat mengalahkan semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tiada jalan lain kecuali mengukur kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat! Dan sekarang, dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus dapat mengalahkan See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi! Siapakah See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Din seorang yang kasar, kalau bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia dapat juga bersikap lembut. Hat ini adalah karena dia dulunya seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis dari Tibet. Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet dan dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib. Dia malah mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepaniang perjalanan sehingga ketika akhirnya dia tiba di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam ilmu silat maupun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya dan akhirnya tidak ada seorangpun ahli silat, baik golongan bersih maupun kotor, yang mampu mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu. Akhirnya, namanya makin terkenal dan diapun disebut orang sebagai See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali memperkenalkan diri, diapun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorangpun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai. Akhirnya, beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong telah menetap di kota Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, melainkan dia bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi. Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru. Akan tetapi, dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang, dan biarpun akhirnya dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggautanya atau pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus mengajar para anggauta atau pembantu itu. Dan di antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling, dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala dan bertugas mewakili See-thian-ong dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik yang berusia tiga puluh lima tahun itu. Akan tetapi, See-thian-ong mempunyai watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda dan cantik! Dia tidak pernah menikah, akan tetapi banyak simpanannya wanita cantik. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, adalah seorang di antara kekasihnya! Akan tetapi karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini melayaninya, apalagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal puas itu. Seperti juga para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Kalau tidak memberi sumbangan kepada See-thian-ong, jangan harap mereka itu dapat membuka praktek pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan, perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi. Pendeknya, nama See-thian-ong merupakan semacam “pelindung” agar mereka dapat bekerja dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat di daerah Propinsi Chiang-hai, maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, sungguhpun dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap sederhana. See-thian-ong amat terkenal, sungguhpun jarang dia memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau tidak amat perlu. Murid-muridnya sudah cukup untuk “membereskan” setiap fihak yang berani menentangnya. Dan kalau sekali waktu dia mengeluarkan kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan! Dalam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata amat ganas, dia memiliki ilmu yang amat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola karet ditiup dan kalau tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam tidak akan mampu melukai tubuhnya! Selain ini, juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekalipun. Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat menguasai lawan hanya dengan pandang mata atau bentakan suaranya yang berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan mengerikan. Dan kini, tokoh macam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh keberanian, pemuda ini tiba di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk bicara tentang See-thian-ong. “Twako, aku adalah seorang pelancong dari utara yang tertarik akan berita tentang keindahan Telaga Ching-hai,” dia memulai ketika terbuka kesempatan bicara dengan pelayan itu. “Ah, kongcu tidak salah kalau memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi seperti ini, Telaga Ching-hai menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang musik, atau kongcu dapat bermain judi kalau kongcu suka, dan ada perahu...” dia berbisik, “yang menyediakan gadis-gadis cantik...” Thian Sin tertawa berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir. “Aih, menyenangkan sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, tentang orang yang bernama See-thian-ong...” Wajah pelayan itu berubah pucat. “Ssst, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan tetapi sesungguhnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu...” Melihat sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin untuk mencari muka dan melaporkan! Dia mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu, pikirnya. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi dan bertukar pakaian bersih, sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang halus sikapnya dan amat tampan wajahnya, pergilah Thian Sin berjalan-jalan menuju ke telaga. Benar saja, biarpun matahari baru saja naik, di situ sudah terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar. Telaga itu besar sekali dan airnya jernih, berkilauan seperti cermin menampung sinar matahari pagi yang masih membuat jalan kemerahan panjang di atas air yang belum begitu bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk menawarkan perahunya di tepi telaga. Orang-orang yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga, menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga maupun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya. Thian Sin memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya rejeki. Dan rejeki itupun datang ketika Thian Sin menghampirinya. “Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?” Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang! “Tentu saja, kongcu. Perahuku ini biarpun tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali.” Thian Sin tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan ingin berlumba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!” Setelah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan meluncurlah perahu ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu! Di atas telaga itu masih sunyi. Namun, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mempunyai pesona tersendiri dan tentu akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seprang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut dan perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja. “Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.” “Tapi di sana sunyi sekali, kongcu.” “Biarlah, aku justeru suka akan kesunyian.” Tukang perahu itu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, ke pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Setelah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini. “Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?” Kakek uang usianya sudah ada enam puluh tahun itu menatap wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, mengapa mesti mencari tempat sunyi?” “Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tidak akan puas sebelum memperoleh keterangan yang memuaskan.” “Tentang apakah, kongcu?” “Tentang orang yang bernama See-thian-ong...” “Ahh...!” Kakek itu menjadi pucat wajahnya dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang. “Tidak ada seorangpun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang mau menyusahkanmu? Karena itulah maka aku memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu.” Kakek itu menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak tanya tentang apa?” “Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakannya?” “Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu, dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, bahkan pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan maka biarlah kalau didengar juga.” “Hemm, di manakah rumahnya, paman?” “Rumahnya tak jauh dari telaga, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia memiliki sebuah rumah besar, dan di sanalah anak buahnya yang puluhan orang banyaknya berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang.” “Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?” “Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekeliling rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.” “Dan keluarganya?” “Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya... dia mempunyai belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak...” “Hemm, begitukah?” Thian Sin merasa girang sekali karena dia telah memperoleh keterangan secukupnya. Setelah melihat banyak perahu-perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya sudah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu. Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu, ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka itu torkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesiran yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu. Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya suka mendekati perahu itu, diapun mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang amat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya. “Kongcu yang tampan... mengapa sendirian saja...” “Aihh... kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?” “Mari, kongcu... mari kami layani kongcu bersenang-senang... dengan kongcu, tidak usah bayarpun tidak mengapa...” “Aduh gantengnya...” Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, saputangan dan lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin, dibarengi gelak tawa genit. Melihat ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang muda lalu didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin. “Eh... eh... jangan nabrak...!” Tukang perahu tua berterian ketakutan. Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, maka sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar kalau hanya terguliung di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu! Melihat ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, mengira bahwa mereka itu tidak sengaja, maka diapun cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu dan menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung. Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan tangan yang memegangnya dapat patah! “Jangan, kongcu...!” teriaknya. Akan tetapi perahu itu sudah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan... perahu besar itu meluncur lewat perahu kecil, hanya selisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja. “Aduhh... kita selamat...” katanya. “Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!” Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Bergegas tukang perahu itu mendayung perahunya hendak pergi dari situ. “Jangan melarikan diri, paman. Biarkan mereka datang.” kata Thian Sin yang menjadi marah setelah dia tahu bahwa empat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya. Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, laripun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan. Dengan gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali. Sekali ini, Thian Sin tidak menggunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu, melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti sampai moncong perahu besar itu sudah hampir menyentuh perahunya, dan berada demikian dekat sehingga nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu memandangnya dengan mulut menyeringai girang. Tiba-tiba jari tangannya menyentuh moncong perahu, dia mengerahkan tenaga, mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu terbanting menelungkup dan terguling! Terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorangpun, kecuali si tukang perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali tidak apa-apa! Empat orang pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tidak pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain dan melarikan diri dari tempat itu! “Eh, bagaimana bisa terjadi itu?” “Luar biasa sekali!” “Tentu ada setan air yang menolongnya!” “Ah, dia tentu benar-benar dewa kahyangan...!” terdengar seorang wanita penghibur berseru. Semakin ramailah keadaan di situ dan kini Thian Sin menjadi pusat perhatian orang, terutama sekali para pelacur itu yang agaknya hendak berlumba untuk merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik. Pada saat Thian Sin yang merasa jemu itu hendak menyuruh tukang perahu membawanya ke pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!” “Wah, celaka, kongcu...!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat. Mendengar ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada minggir cepat-cepat untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang dengan cekatan sekali. “Silakan, nona...!” “Silakan, siocia...!” Suara mereka itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung perahu hitam kecil itu dan wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So Cian Ling! Tentu saja dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek, dengan wajahnya yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir yang merah itu mulai tersenymn ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin! Pemuda ini memandang dengan jantung berdebar, bukan apa-apa, melainkan girang karena dia melihat jalan yang terbaik untuk dapat berhubungan dengan See-thian-ong tanpa menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid tersayang dari See-thian-ong? Thian Sin segera mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Selamat bertemu, Nona So Ciang Ling!” Wajah ini segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira. “Aihhhhh...! Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ah, siapa lagi yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari... kau pindahlah ke perahuku dan kita mengobrol!” “Akan tetapi... perahu ini kusewa...” “Aih, sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu...” kata si tukang perahu. “Hei, tukang perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian Ling dan dia melemparkan sepotong ueng emas kepada tukang perahu itu. Uang itu jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!” “Terima kasih... ah, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, kau cepatlah pindah ke perahu siocia...” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong perlahan ke pundak Thian Sin. Pemuda ini tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling. Akan tetapi pada saat itu, So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat ini, juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang dari lima meter jauhnya! Akan tetapi, mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu dan dapat turun dengan enaknya di atas perahu! Meliat ini, semua orang berseru kagum den So Cian Ling tertawa. “Wah, engkau sungguh nakal!” kata Thian Sin, juga tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu memang sengaja mencobanya. Andaikata dia tidak sedang mendekatinya karena dia ingin mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah mendongkol dan akan membalas. “HI-HIK, siapa takut kau tercebur?” So Cian Ling lalu mendayung perahunya dan melihat betapa perahu besar yang ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan seperti mata kucing-kucing yang melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil berseru, “Minggir! Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?” Nona ini mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu segera mendekam di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar keras, bahkan ada yang terkentut-kentut dan terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk menghentikan perahunya, namun tidak berhasil. “Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” Thian Sin berkata dan dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu. Perahu hitam kecil itu menjadi miring dan dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang terputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran! “Hi-hik!” Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga. Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang menarik napas panjang dan menduga siapa adanya pemuda itu. “Pantas, kiranya sahabat So-siocia...” akhirnya mereka berkata-kata sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali. “Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba dia memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu. “Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?” “Kepadaku sih tidak, akan tetapi... eh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?” “Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong...” “Aih... jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek. Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang pernah ditemuinya dua kali dahulu itu. Dahulu, baik untuk pertama kalinya ketika dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya ketika dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Seperti langit dan bumu bedanya! “Hayaaa... apa yang kaulihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu. “Ah, tidak... hanya... ah, kenapa kau bilang aku pura-pura?” “Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?” Thian Sin terbelalak. Memang tadipun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian. “Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andaikata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?” “Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta...” “Berdosakah itu?” “Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Eh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?” Thian Sin mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?” Tiba-tiba dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi. Thian Sin merasa mendongkol juga ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa. “Eh, kenapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya. Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli melihat dia marah. “Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi. “Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?” “Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu...” “Apa yang dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin. “Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita manapun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?” Wajah Thian Sin menjadi merah seperti udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?” “Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu tinggi sekali, engkau keturunan seorang pangeran, malah seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mujiiat dari Cin-ling-pai, dan engkau... engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya itu? Akan tetapi aku percaya dan aku... aku kagum, Thian Sin.” Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan ketika tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikitpun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua! Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah tergila-gila kepada Thian Sin, lalu mendekatkan tubuhnya sehingga terasa kehangatan tubuh gadis itu oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik, “Kau... kau takut...?” Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu. “Takut apa...?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, seperti bisikan saja. Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya dan nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya. “Engkau... pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau... eh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik...!” Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, walaupun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran. “Siapa takut kepada wanita? Huhh...!” Cian Ling tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?” “Tidak!” “Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?” Thian Sin makin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat ia enggan kalah oleh siapapun juga dan dalam hal apapun juga. “Mengapa tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan. Dengan bibir masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu berbisik, “Mengapa? Aih... karena kita saling menghendakinya, aku cinta padaku, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?” Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Diapun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu “dusun” dan “hijau”. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir tidak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin. Tanpa disadarinya lagi, dia telah dibawa rebah oleh Cian Ling dan juga dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekalipun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang amat pandai, amat manis dan yang agaknya tak mengenal puas. Setiap manusia di dunia ini, baik wanita maupun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan menjadi pendeta atau yang berpantang sanggama, sudah pasti akan sekali waktu mengalami hubungan pertama dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan. Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang pria bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita dapat menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan dapat mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya! Hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menyangkut kelamin sekalipun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, seperti hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak maupun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, manusia-manusia. Jodoh dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan. Demikian pula, hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu, sungguh sesat kalau menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam. Akan tetapi, segala macam perbuatan di dunia ini, kalau dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mencari kesenangan, sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal daripada kesengsaraan. Umpamanya, makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang patut membuat manusia bersyukur. Akan tetapi, kalau dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengelar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka terjadilah penyelewengan. Kita lalu makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Dan terjadilah akibat-akibat yang amat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita. Gairah yang ada dalam hubungan seksuil adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itupun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namung kalau kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalahgunakan berkah itu. Dan timbullah perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinaan-perjinaan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu berahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan belaka. Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia yang telah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit-penyakit kelamin, dan sebagainya lagi. Kebijaksanaan sajalah yang dapat menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul kalau kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksuil ini. Dengan cinta kasih, maka segalanyapun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan seks! Sungguhpun hubungan seksuil merupakan sebagian daripada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan daripada kasih sayang dan kemesraam. Dan sebagai manusia tentu saja kita tidak mungkin terlepas daripada norma-norma kesusilaan, daripada hukum-hukum yang telah diterima oleh masyarakat. Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksuil antara pria dan wanita barulah benar kalau dilakukan antara suami dan isteri yang sudah menikah secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya, andaikata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kitapun terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin. Kenikmatan memiliki kekuatan besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu. Di dalam perahu kecil itu, yang terapung di atas danau yang amat sunyi, Thian Sin terseret dalam buaian yang mendatangkan nikmat dan memabukkan. Cian Ling yang menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan dibayangkannya, mempergunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu berahi! Setelah bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda putera pangeran ini, yang selain tampan, gagah dan menyenangkan, juga yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, timbul rasa cinta dalam hati Cian Ling. Ingin ia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya memiliki tubuhnya, melainkan juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam bermain cinta, Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya. Akan tetapi, setelah mereka tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk, bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri yang semakin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki kejantanan yang bahkan mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang sudah berpengalaman dalam hal bermain cinta. Maka, setelah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya minggir untuk mencari makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu, kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada Thian Sin. Sebaliknya, pemuda itu hanya tenang-tenang saja dan tersenyum penuh kemenangan. Dia menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, kalau dia laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita, berkepandaian, dan memiliki gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula? Aken tetapi, dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang selain menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong! Setelah dua hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan merekapun mendarat. Inipun adalah kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan memasuki sarang See-thian-ong. Dari Cian Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang See-thian-ong. Dan menurut penuturan gadis itu, dia tahu bahwa selain amat lihai ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu sihir. “Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu silatnya mungkin tidak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu, terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata. Ketika mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon dan bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak tinggi dan dapat hidup subur, maka pandang rumput itu tebal sekali dan kalau diinjak rasanya seperti menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya tempat itu. “Ini adalah tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini...” Thian Sin tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra. “Cian Ling, engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi... bagaimana engkau dapat menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku tentang dia, dia itu suka sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing untuk mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya. Cian Ling menarik napas panjang, seperti seekor kucing yang dipangku dan dibelai, karena Thian Sin dengan pandai menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu. “Memang suhu seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahh... dia suka sekali dan setiap hari, maksudku setiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampinginya. Dia... dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan apa-apa...” Cian Ling menarik leher pemuda itu dan menciumnya... Thian Sin membiarkan gadis itu, kemudian melepaskan diri dan berkata lagi. “Dan engkau begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu...” “Kau... kau cemburu?” Cian Ling bangkit duduk dan memandang tajam, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum. Thian Sin menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.” Cian Ling menarik napas panjang, nampaknya kecewa. “Aihhh... ingin aku melihat engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.” Thian Sin hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis, kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?” Cian Ling gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thlan Sin, menciuminya penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata, “Duduklah yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang datuk barat itu.” “Bukankah sudah hanyak aku bercerita tentang dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku dan mengajariku tentang cinta seperti... seperti aku mengajarimu, Thian Sin.” Gadis itu tersenyum lebar. Thian Sin tidak merasa cemburu, hanya merasa tak senang dan agak muak mendengar akan hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dan murid sungguh menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak menggunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka diapun tidak memberi komentar atas hal itu. “Cian Ling, coba kaujelaskan. Dua macam ilmunya yang pernah kauberitahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khi-kang yang membuat tubuhnya penuh dengan hawa sampai menggembung besar, dan ilmu tongkatnya, mana yang lebih berbahaya?” “Thian Sin, sungguh menyesal sekali aku tidak dapat menjelaskan secara terperinci, karena biarpun aku merupakan murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu simpanan suhu pribadi, tidak pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajar ilmu itu, padahal dia disebut sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu akupun akan kalah olehnya.” “Sayang, aku ingin sekali tahu sampai dimana kehebatan dua ilmu itu.” “Aku hanya dapat memberi tahu bahwa ilmu khi-kang yang membuat tubuhnya menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Kalau suhu sudah mengeluarkan ilmu ini, tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin dan segala macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan selain itu, juga dengan hembusan khi-kang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan mampu menahannya. Sedangkan ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo-pang-hoat (Ilmu Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayupun kalau berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu akan berubah menjadi senjata yang amat ampuh. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Kemudian, gadis itu memegang tangan Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau apakah?” Thian Sin sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia menjawab. “Cian Ling, engkau tentu sudah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat mendiang ayahku, bukan?” Gadis itu tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa kagum karena pertanyaan itu mengingatkan ia akan kenyataan yang membuat ia merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang menyerahkan perjakanya, adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu mendatangkan rasa kagum dalam hatinya. “Tentu saja! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia...” “Itulah yang kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, dan akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa puteranya ini mampu memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku ingin mengalahkan semua datuk di empat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.” “Ahhh... untuk mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang amat sukar, kekasihku.” “Aku hanya mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Siapa lagi yang dapat membantuku kecuali engkau dalam menghadapi suhumu itu.” “Tentu saja aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetgpi bagaimana aku dapat membantumu menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan dua macam ilmu itu, aku tidak berdaya sama sekali, dan pula... mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?” “Hemm, seperti anak atau seperti kekasih?” “Hi-hik, kau cemburu?” Thian Sin tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta berahi mereka. Ketika mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suhengnya, yaitu Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya. Akan tetapi, Cian Ling dapat melihatnya, dan diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra daripada biasanya, bahkan sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik. Ciang Gu Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit sekali, pakaiannya kuning sederhana dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena dia dekat dengan sumoinya, maka tentu saja diapun tidak dilewatkan oleh Cian Ling dan antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dan See-thian-ong. Di kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor. Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh segala macam aturan dan susila. Akan tetapi, kalau Cian Ling hanya menganggap suhengnya itu sebagai seorang diantara para pria yang pernah menggaulinya dan tidak begitu mendatangkan kesan di dalam hatinya, sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoinya ini, mengharapkan kelak sumoinya mau menjadi isterinya. Telah dua hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia mencari-cari sumoinya. Dia mendengar peristiwa di telaga di mana sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan juga kabarnya memiliki kepandaian tinggi. Baginya, mendengar sumoinya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguhpun dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoinya itu untuk dirinya sendiri. Akan tetapi biasanya, kalau sedang bermain glia dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak pernah sembunyi-sembunyi, dan juga paling lama sehari semalam sumoinya itu tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya selama lebih dari satu hari satu malam. Dan sekarang, telah dua hari dua malam sumoinya tidak pulang, maka timbul kekhawatiran hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada sumoinya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoinya. Dia tahu akan padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoinya itu, maka ke situlah dia pergi. Ketika dia mengintai dan melihat sumoinya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa cemburu sekali. Sumoinya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik oleh pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu. Dan sumoinya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, ingin dia pada saat itu juga meloncat dan menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan kepada sumoinya. Oleh karena itu, dia menanti sampai kedua orang muda itu duduk kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah, “Kiranya si pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan diapun sudah meloncat dan mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat daripada emas. Akan tetapi, Cian Ling meloncat dan menyambut suhengnya itu dengan berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung kemarahan sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang pohon, memandang tak acuh. “Suheng, mau apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?” Menghadapi sumoinya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari suhu!” “Dia bukan musuh. Lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!” “Sumoi, engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw... telah...” “Sudahlah, suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?” “Sumoi, suhu tentu akan marah...” “Suhu tidak akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu untuk memaksa aku melawan?” Melihat ini, Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton saja, sikapnya tenang dan menanti perkemhangan selanjutnya. Akan tetapi, setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya. “Baiklah, aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak senang melihat ini...” Dan setelah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat. “Suheng, kalau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu. Setelah suhengnya tidak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu dan menarik napas panjang. “Uuhhhhh, laki-laki pencemburu macam dia...!” Thian Sin mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.” “Peduli amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.” “Akan tetapi dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.” “Apakah engkau takut?” “Hemm, aku tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi, dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya...” “Ih, engkau belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Kaumaksudkan dia mau mengeroyokmu? Jangan memandang rendah, Thian Sin. Guruku tidak pernah mengeroyok orang!” “Kalau begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.” “Hemm, engkau akan kalah.” “Kalau begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.” Cian Ling lalu merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau khawatir!” Memang Thian Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk kepadanya. Dia dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit banyak wanita ini tentu memiliki pengaruh terhadap See-thian-ong, bahkan suhengnya tadipun tunduk kepadanya. Dengan kewanitaannya yang memiliki daya tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling dapat menguasai suhengnya dan juga gurunya sendiri kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa See-thian-ong bukan hanya gurunya dan pengganti orang tuanya, melainkan juga mengenggapnya sebagai kekasih. Dua orang muda itu seperti lupa akan segala, hanya menuruti gairah nafsu berahi dan mabuk dengan permainan cinta mereka. Mereka itu tiada ubahnya sepasang pengantin baru yang tahunya hanya makan minum dan bermain cinta. Cian Ling melayani kekasihnya dengan mencarikan buah-buahan, memanggang daging kelinci dan kambing hutan dan hubungan antara mereka menjadi semakin mesra saja. Dan pada keesokan harinya, ketika matahari meneroboskan cahaya melalui celah-celah daun pohon dan menimpa tubuh mereka, menhgugah mereka dari tidur nyenyak karena kelelahan, mereka terbangun dengan gembira dan dengan sinar mata saling pandang penuh kemesraan. Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak hati-hati, dia bisa benar-benar jatuh cinta kepada wanita cantik yang merupakan wanita pertama yang pernah memilikinya. Akan tetapi, setelah mereka mandi di sumber air dalam hutan dan sarapan pagi dengan daging panggang, tiba-tiba muncullah See-thian-ong yang memang sudah mereka duga sewaktu-waktu tentu akan muncul juga. Kemunculan datuk kaum sesat wilayah barat ini hebat sekali. Mula-mula terdengar suaranya, suara yang berat dan parau, namun yang datangnya entah dari mana, tahu-tahu terdengar suara itu seperti dekat sekali dengan mereka, memanggil nama muridnya. “Cian Ling... di mana kau...?” Mendengar suara ini, agak berubah wajah gadis itu. Betapapun juga, diam-diam dara ini memang merasa jerih sekali terhadap suhunya yang sakti, dan diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Mendengar suara ini, iapun tidak berani berayal lagi dan menjawab sambil mengerahkan khi-kangnya, karena ia tahu bahwa suhunya itu masih jauh, mungkin masih berada di luar hutan, “Teecu di sini, suhu...!” Berkata demikian, ia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berhati-hati. Pemuda itu tetap duduk di atas rumput, kelihatan tenang saja walaupun jantungnya berdebar tegang dan seluruh syaraf di tubuhnya telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba ada angin bertiup dari arah selatan. Thian Sin cepat memandang dengan penuh perhatian ke arah itu. Terdengar suara berkerosakan seperti ada binatang buas datang dari tempat itu dan nampak daun-daun kering berhamburan seperti dilanda angin ribut. Melihat ini, Cian Ling sudah menghadap ke arah itu sambil merangkap kedua tangannya memberi hormat sambil berkata, “Suhu...!” Pemberian hormat dari Cian Ling ini sederhana saja, tidak berlutut seperti kebiasaan murid terhadap gurunya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa hubungan antara guru dan murid ini lebih akrab daripada guru-guru dan murid-murid lainnya. Thian Sin memandang penuh perhatian dan dia kagum juga ketika melihat bayangan seorang laki-laki tinggi besar datang dengan gerakan yang amat gagah dan tangkas. Apalagi setelah laki-laki itu berdiri tak jauh dari tempat itu, dia memandang kagum. Tidak seperti Pak-san-kui yang berpakaian seperti seorang kakek hartawan, See-thian-ong ini merupakan seorang kakek yang bertubuh tinggi besar dan gagah sekali. Usianya lebih muda daripada Pak-san-kui, belum ada enam puluh tahun, dan tubuhnya yang tinggi besar itu cocok dengan kulit mukanya hitam. Namun, bukan hitam buruk, melainkan hitam legam yang halus dan membuat dia nampak gagah, mengingatkan orang akan tokoh Thio Hwi, yaitu tokoh cerita Sam-kok yang gagah perkasa, dengan pakaian yang tidak terlalu mewah, mukanya yang hitam itu dihias sepasang mata yang lebar dan bundar, bersinar-sinar seperti mata harimau. Dari gerak-geriknya dan wajahnya terbayanglah kejantanan, kegagahan, kekasaran dan tidak suka berpura-pura. Rambutnya digelung ke atas, model rambut tosu dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat. Inilah See-thian-ong yang amat terkenal itu, pikir Thian Sin tanpa bangun dari tempat duduknya. Dia memang sengaja bersikap tak acuh untuk membangkitkan penasaran dalam hati datuk itu. “Apakah suhu datang karena dibakar oleh ocehan dari Ciang-suheng?” Cian Ling bertanya dan cara dara itu bertanya demikian terbuka juga menunjukkan bahwa ia memang sudah biasa bersikap biasa seperti itu terhadap gurunya. Semenjak kemunculannya, sepasang mata yang terbelalak itu, sungguh mengingatkan Thian Sin akan mata tokoh Thio Hwi, selalu menatap kepada Thian Sin yang masih duduk di atas rumput. Menurut cerita Sam-kok, sepasang mata Thio Hwi juga selalu terbelalak dan tidak pernah atau jarang sekali dipejamkan sehingga pernah ketika tokoh Thio Hwi itu berjaga sambil tertidur, sepasang matanya tetap terbelalak, membuat pasukan musuh ketakutan karena mengira bahwa orang gagah ini tidak tidur! “Ha-ha-ha-ha! Siapa mendengar ocehan orang? Aku hanya tertarik, mendengar dari suhengmu, bahwa putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw datang berkunjung! Dia itulah orangnya?” “Benar, suhu, dia adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia itu. Dia datang karena ingin berkenalan dengan suhu.” “Ha-ha-ha, yang jelas, dia telah berkenalan denganmu! Dan aku tidak menyalahkan engkau, Cian Ling. Dia memang tampan dan ganteng, mungkin seperti itulah ayahnya dahulu, si penakluk wanita itu seperti dikabarkan orang. Akan tetapi jagoan nomor satu di dunia? Ha-ha, hal itu harus dibuktikan dulu. Orang muda, mendengar engkau putera Pangeran Ceng, mari kaulayani aku barang sepuluh jurus. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu selama ini.” Thian Sin bangkit berdiri dan menjura. Dia dapat menilai watak kakek ini. Seorang datuk yang kasar akan tetapi jauh lebih gagah dibandingkan dengan Pak-san-kui yang mempunyai sifat licik. Boleh jadi datuk ini kasar dan kejam, tidak pedulian, dan mau menang sendiri saja, akan tetapi setidaknya dia ini jujur dan tidak curang. Tentu kakek ini sudah mendengar tentang dia, mendengar bahwa dia telah mengalahkan murid-muridnya dan juga mengalahkan putera Pak-san-kui maka kini tertarik dan hendak mengujinya. Dia harus berhati-hati. Kalau seorang datuk sakti seperti itu sudah tahu akan keunggulannya, maka tentu datuk itu tidak akan memandang rendah dan akan mengeluarkan kepandaiannya. “Locianpwe, sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berhadapan dengan locianpwe, karena sudah lama aku mendengar bahwa locianpwe adalah seorang di antara locianpwe di empat penjuru dunia yang memiliki kesaktian tinggi. Aku yang muda memang mengharapkan petunjuk darimu.” Setelah berkata demikian, Thian Sin menjura dan berdiri dengan sikap menanti, waspada dan tenang. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Ternyata engkau patut menjadi putera pangeran yang pernah menggeterkan dunia kang-ouw itu. Nah, bersiaplah, orang she Ceng! Biar muridku menjadi saksi siapa di antara kita yang lebih unggul, aku, See-thian-ong, ataukah engkau, yang menggantikan Pangeran Ceng Han Houw!” Ketika tertawa kakek itu kelihatan jauh lebih muda dari usianya, dan Thian Sin tahu bahwa seorang laki-laki penuh kejantanan seperti ini tentu dapat menarik hati banyak wanita. Akan tetapi, sebelum kakek raksasa itu bergerak, Cian Ling sudah melangkah maju menghadapi suhunya dan berkata, “Suhu...!” “Eh, ada apa manis?” “Jangan suhu mencelakakan dia...!” “Ha-ha-ha, kau khawatir aku merusak boneka mainanmu sayang? Jangan khawatir, di dunia ini masih banyak pemuda-pemuda yang lebih ganteng deripada dia.” “Tapi aku... aku cinta padanya, suhu.” Sepasang mata yang sudah lebar itu terbelalak. “Kau...? Cinta...? Uh, betapa bodohnya. Bukankah sudah sering kuajarkan kepadamu bahwa cinta adalah suatu kebodohan? Bahwa cinta hanya mendatangkan kesengsaraan hidup belaka? Aku tidak berjanji apa-apa, dan kita lihat saja bagaimana kesudahannya pibu ini nanti.” Dengan kasar dia lalu menggunakan tangannya mendorong muridnya ke samping. Terpaksa Cian Ling meloncat ke pinggir dan memandang dengan alis berkerut karena betapapun juga, ia tahu akan kesaktian gurunya dan akan keganasan ilmu dari gurunya. Dan ia masih belum puas dengan pemuda itu, tidak ingin kehilangan Thian Sin yang begitu menyenangkan hatinya. Kakek itu menggerakkan tangan yang memegang tongkat dan benda itu menancap di atas tanah sampai setengahnya. “Nah, engkau boleh mempergunakan senjatamu pedang itu, akan kuhadapi dengan tangan kosong. Ini baru adil namanya mengingat usiaku lebih matang darimu. Majulah dan keluarkan podangmu, orang muda.” Manusia sombong pikir Thian Sin. Diapun tidak mau kalah gertak, maka dia mengeluarkan pedangnya, bukan dicabut melainkan mangeluarkan berikut sarungnya dan diapun menancapkan pedang bersarung itu ke atas tanah. “Locianpwe, aku datang untuk minta petunjuk, dan dalam adu ilmu haruslah terdapat kejujuran dan keadilan. Kalau locianpwe tidak menggunakan senjata, akupun masih mempunyai tangan dan kaki untuk melayanimu.” Kakek itu semakin terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau tabah sekali. Agaknya karena engkau telah menguasai ilmu dari Cin-ling-pai, seperti yang telah kudengar, maka engkau berani memandang ringan kepadaku, ya? Nah, boleh mari kita mengadu tangan dan kaki. Majulah!” “Aku yang muda dan hanya tamu, mana berani maju lebih dulu? Silakan, locianpwe!” Sikap Thian Sin yang selalu mengalah ini sungguh merupakan tamparan bagi See-thian-ong. Biasanya, karena dia memiliki tingkat lebih tinggi, dialah yang mengalah sebagai sikap orang yang kepandaiannya lebih tinggi. Akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, seorang pemuda yang bersikap mengalah kepadanya! “Bocah sombong, sungguh engkau tidak mengenal siapa See-thian-ong!” bentaknya dan sikap Thian Sin itu berhasil membuat kakek ini marah dan memang inilah yang dikehendaki Thian Sin. Dia tidak ingin kakek itu main-main, melainkan memancing agar kakek itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat diukurnya. Setelah mengeluarkan bentakan itu, tiba-tiba saja kakek itu menerjang dan kedua lengannya yang berkulit hitam berbulu panjang dan besar itu menyambar dari kanan kiri, kedua tangannya dengan telapakan tangan terbuka menyambar dari kanan kiri seperti orang hendak menepuk lalat, dan yang dijadikan lalatnya untuk dihimpit oleh kedua tangan yang lebar dan kuat itu adalah kepala Thian Sin! “Parrrrr...!” Kedua tangan itu saling bertemu ketika Thian Sin dengan gerakan lincah sudah melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, bertemunya kedua tangan kakek itu selain mendatangkan suara nyaring, juga mengepulkan asap dan tahu-tahu kedua tangan itu telah meluncur dengan serangan dahsyat dan ganas sekali, yang kanan mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri dengan jari tangan terbuka menusuk ke arah lambung! “Hemm...!” Thian Sin berseru, kagum karena serangan itu sungguh amat ganas dan cepat, sebelum kedua tangan datang sudah menyambar angin pukulan dahsyat. Diapun lalu mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, sengaja menangkis kedua lengan itu dengan kedua tangannya. “Plak! Deass...!” “Ahh! Inikah Thian-te Sin-ciang?” Kakek itu berseru kaget ketika merasa betapa kedua lengannya yang disaluri penuh tenaga sin-kang itu dapat terpental terkena tangkisan pemuda itu. Maklumlah dia bahwa berita yang didengarnya tentang pemuda ini tidak kosong belaka. Tenaga Thian-te Sin-ciang tadi saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga murid-muridnya yang paling pandai sekalipun. Thian Sin tidak mempedulikan seruan kakek itu dan diapun cepat membalas serangan lawan dengan ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan setiap sambaran tangannya, dia kerahkan tenaga Pek-in-ciang sehingga kedua tangan itu mengeluarkan uap putih! Dua ilmu ini dia pelajari dari Yap Kun Liong dan sekarang dia memiliki kesempatan untuk mempergunakannya dalam praktek melawan musuh yang tangguh. Dihujani serangan oleh pemuda itu, See-thian-ong cepat menjaga diri, mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan orang. Dia kagum sekali karena dia tidak yakin mengenal ilmu silat itu. “Apa ini? Seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi bukan! Dan uap putih ini... hemm, pernah aku mendengar tentang Pek-in-ciang. Inikah ilmu itu?” Thian Sin mendesak terus tanpa menjawab, kemudian dia bahkan mengeluarkan ilmu-ilmu silat tinggi yang pernah dipelajarinya. Dia mengeluarkan beberapa jurus Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang. Kakek itu semakin kagum, karena semua ilmu itu dikenainya sebaggi ilmu silat yang benar-benar amat bermutu. Berkali-kali dia memuji dan dia sungguh-sungguh terdesak, padahal pemuda itu hanya mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat masing-masing itu. Thian Sin juga bukan seorang pemuda bodoh. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang datuk yang telah memiliki kematangan ilmu silat. Dia tidak mau dipancing seperti ketika menghadapi Pak-san-kui, yaitu dipancing untuk mengeluarkan semua ilmu-ilmunya agar dapat dipelajari oleh datuk itu. Maka dia mencampur-campurkan semua ilmu silatnya sehingga membuat lawannya bingung dan kagum sekali. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang diselang-seling itu dan tahu bahwa kalau dia hanya bertahan saja, besar kemungkinan dia akan terkena pukulan yang cukup ampuh dan berbahaya, kini See-thian-ong mengambil keputusan untuk menyudahi pertandingan. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang parau menggetarkan bumi dan pohon-pohon di sekeliling tempat itu dan berdiri dengan kedua kaki dan tangan terpentang lebar. Pada saat itu, Thian Sin sudah melakukan serangan pukulan ke arah dada kakek itu. Melihat kakek itu berdiri dengan dada terbuka, dan melihat betapa menyusul suara teriakan itu, tubuh Si Kakek mulai menggembung, tahulah Thian Sin bahwa kakek itu telah mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu yang oleh Cian Ling disebut sebagai Ilmu Hoa-mo-kang. Akan tetapi dia tidak peduli dan memukul terus, untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu itu. Dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul. “Blukk...!” Pukulan tangan kanan Thian Sin yang menggunakan sepenuhnya tenaga Thian-te Sin-ciang itu tepat mengeng dada dan telinga Thian Sin seperti mendengar suara tambur dipukul dan tangannya yang memukul itu tadi terpental kembali seperti memukul bola yang amat keras dan kuat. Tubuhnya sendiri sampai terhuyung terbawa oleh kembalinya tenaga Thian-te Sin-ciang melalui tangannya dan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia sudah berloncatan jungkir balik mematahkan tenaga yang membalik itu. “Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu dengan ilmuku, orang muda? Dapatkah engkau melawannya?” See-thian-ong tertawa pula, puas dan girang hatinya melihat lawannya terkejut menghadapi ilmunya. “Locianpwe, ilmumu memang hebat, akan tetapi jangan mengira bahwa aku sudah kalah.” Setelah berkata demikian, pemuda itu menerjang ke depan lagi, dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang bagian-bagian tubuh yang tidak terlindung oleh Hoa-mo-kang itu, seperti mata, hidung, bagian muka, lalu bagian tubuh yang turangnya menonjol dan tidak terlindung oleh daging, seperti tulang pundak, tenggorokan, sambungan siku, lutut dan sebagainya. “Ah, kau memang cerdik!” Kakek itu berseru dan repot melindungi bagian-bagian yang terserang itu. Akan tetapi karena tubuhnya sudah menggembung, maka mudah saja baginya, dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, maka bagian-bagian yang terserang adalah bagian yang terlindung hawa Hoa-mo-kang. Dan kini, begitu tubuhnya terpukul, otomatis tangannya membalas serangan dari samping. “Blunggg... desss!” Ketika tangan Thian Sin dengan kekuatan menyambar ke arah pundak untuk membikin patah tulang pundak kiri, kakek itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai dadanya, dan pada saat yang sama tangannya sudah menampar punggung Thian Sin. Tubuh pemuda itu terpelanting dan bergulingan saking kerasnya pukulan lawan. Akan tetapi untung baginya bahwa dia tadi sedang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tubuhnyapun menjadi kebal, terlindung oleh tenaga itu. Dia tidak terluka, sungguhpun guncangan tenaga hantaman yang keras itu sempat membuat isi dadanya tergetar dan napasnya menjadi agak sesak! “Ha-ha-ha!” See-thian-ong tertawa girang dan bangga. Thian Sin menjadi penasaran dan juga marah. Dia sudah menerjang lagi, menusukkan telunjuk dan jari tengah ke arah sepasang mata lawan. Ketika lawannya miringkan tubuh, dia menghantam ke arah tenggorokan. Kakek itu menaikkan tubub dan miring, sehingga kembali pukulan itu luput dan mengenai dada, dan pada saat itu kakek itu menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram tengkuk dan punggung Thian Sin dengan jalan merangkulnya seperti seekor beruang. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan keras. “Aughhhhh...!” Kakek itu terkejut bukan main karena begitu kedua tangannya mencengkeram, tenaga Hoa-mo-kang itu memberobot keluar melalui kedua tangannya dan tersedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu! “Thi-khi-i-beng...!” teriaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya seperti bola terisi penuh angin yang bocor, mengempis kembali dan seluruh tenaganya lenyap sehingga dengan sendirinya tenaga sedot Thi-khi-i-beng juga tidak berguna lagi dan terlepaslah kedua tangan yang melekat itu. Kakek itu cepat melempar tubuh ke belakang dan sebelum pemuda itu dapat menyerangnya, dia telah bergulingan ke arah tongkatnya dan meloncat lagi, dengan tongkat di tangan! Mukanya berubah merah sehingga menjadi semakin hitam, dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Peristiwa tadi, dalam segebrakan ketika dia dikejutkan oleh Thi-khi-i?beng, sungguh merupakan tamparan baginya. Biarpun dia belum dapat dikatakan kalah, namun segebrakan tadi menunjukkan bahwa fihak lawan lebih unggul! Tak mungkin dia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda remaja seperti itu. “Orang muda she Ceng, engkau memiliki banyak sekali ilmu tangan kosong yang hebat?hebat, bahkan Thi-khi-i-beng yang baru sekarang kusaksikan sendiri sempat mengejutkan hatiku. Nah, aku sudah terlanjur memegang tongkat, mari kita main-main dengan senjata!” Thian Sin maklum bahwa kakek itu tentu akan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang menurut Cian Ling merupakan ilmu simpanan kakek itu yang amat hebat di samping Ilmu Hoa-mo-kang tadi. Dia tadi sudah tahu akan Ilmu Hoa-mo-kang yang amat dahsyat, akan tetapi dengan Thi-khi-i-beng, dia akan dapat menghadapi Hoa-mo-kang sehingga dia tidak perlu lagi takut terhadap ilmu kakek itu. Kini, kakek itu akan mengeluarkan ilmu simpanannya, maka hal itu baik sekali baginya untuk menguji karena sebelum dia mengambil sikap keras untuk menentang See-thian-ong ini, dia harus lebih dulu dapat mengukur sampai di mana kelihaian lawan. Maka diapun meraih pedang berikut sarungnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan di lain detik sudah nampak sinar perak berkilauan ketika dia mencabut Gin-hwa-kiam dari sarungnya. “Aku akan melayani locianpwe dan mohon petunjuk,” katanya dengan sikap merendah. Akan tetapi karena tadi dalam gebrakan terakhir dia merasa dirugikan, kini meLhat sikap merendah itu bagi See-thian-ong seperti ejekan saja, maka sambil mengeluarkan bentakan keras diapun mulai menyerang dengan tongkatnya. Tongkat itu terbuat dari kayu biasa saja, akan tetapi begitu digerakkan oleh tangan yang besar dari See-thian-ong, berubahlah tongkat itu menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi aneh, juga gerakan-gerakannya amat aneh. Tahu-tahu ujung tongkat itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sehingga ketika Thian Sin menangkis dan mengelaknya, ujung tongkat itu secara berantai telah melakukan tiga belas kali totokan sambung menyambung ke arah jalan-jalan darah maut di sebelah depan tubuh lawan! Thian Sin terkejut bukan main. Tidak keliru keterangan Cian Ling. Memang ilmu silat kakek ini menjadi luar biasa hebatnya setelah dia memegang tongkat! Belum pernah dia melihat ilmu tongkat sehebat ini, dan ujung tongkat itu tergetar menjadi banyak sekali. Inilah yang membuat ilmu tongkat kakek itu amat berbahaya, karena ujungnya yang tergetar dan kelihatan menjadi banyak itu sukar diketahui mana yang aseli dan mana bayangan-bayangannya. Hal ini membuat tongkat itu amat berbahaya. Juga Thian Sin teringat akan ilmu Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang pernah dipelajarinya dari ibu kandungnya. Siang-bhok Kiam-sut juga memiliki dasar yang membuat sebatang pedang kayu sama ampuhnya dengan sebatang pedang pusaka. Akan tetapi gerakannya jauh berbeda dengan ilmu tongkat kakek ini sehingga dia tetap belum dapat menyelami dan dalam gebrakan pertama itu, dia terdesak hebat. Thian Sin berlaku hati-hati sekali, memutar pedang Gin-hwa-kiam dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang mengandung daya tahan amat kuat untuk melindungi dirinya dari ancaman bayangan ujung tongkat yang amat cepat itu. Melihat betapa ilmu tongkatnya yang amat dibanggakan itu kembali dapat mendesak lawan, kegembiraan See-thian-ong bangkit lagi. Dia mulai tertawa-tawa dengan girang dan sengaja menggunakan tongkatnya untuk mempermainkan lawan. Memang hebat sekali ilmu tongkatnya itu. Tongkat itu di tangannya itu seolah-olah hidup dan menyambar-nyambar dari segala jurusan. Memang, dengan mengandalkan daya tahan Thai-kek Sin-kun, Thian Sin masih dapat melindungi dirinya seperti terkurung benteng baja. Akan tetapi tidak mungkin dalam suatu pertandingan dia hanya membela diri saja tanpa membalas serangan. Namun, setiap kali dia membalas, bahkan telah dicobanya Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, tetap saja setiap kali dia menyerang dia malah hampir saja celaka kena disambar tongkat sehingga kembali dia harus cepat-cepat berlindung dalam gerakan Thai-kek Sin-kun untuk menyelamatkan dirinya. Memang benar dia telah mempelajari Siang-bhok Kiam-sut, tetapi ketika dia mempelajarinya, dia masih kecil dan dasar kepandaiannya belum matang sehingga ilmu itupun kurang terlatih, atau kurang dapat dikuasai inti sarinya. Sesungguhnya, ilmu silat apapun juga mengandung daya guna sendiri-sendiri dan hanya kematangan dalam menguasai suatu ilmu itulah yang membuat ilmu itu menjadi berguna dan kuat. Andaikata Thian Sin sudah benar-benar menguasai Siang-bhok Kiam-sut dengan sempurna, belum tentu dia akan merasa terdesak oleh Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dimainkan oleh See-thian-ong itu. Ilmu silat hanya merupakan dasar gerakan saja yang mengandung unsur-unsur menyerang atau membela diri. Ketangguhan seseorang bukan tergantung sepenuhnya dari macam ilmu silatnya, melainkan tergantung kepada dirinya sendiri, kepada kematangannya menguasai ilmu yang dimilikinya itu. Tidak dapat dikatakan mana yang lebih kuat antara Siang-bhok Kiam-sut dan Giam-lo Pang-hoat, akan tetapi kalau yang dimainkan Siang-bhok Kiam-sut itu Thian Sin yang masih mentah dalam ilmu itu, dan yang mainkan Giam-lo Pang-hoat adalah See-thian-ong pencipta ilmu itu, tentu saja Thian Sin kalah jauh! Buktinya, dahulu tokoh Cin-ling-pai yang merupakan pendiri Cin-ling-pai dan orang pertama yang menguasai Siang-bhok Kiam-sut, dengan pedang kayu harumnya dan ilmu pedangnya itu belum pernah bertemu tanding! Kepandaian manusia memang ada batasnya, atau lebih tepat lagi, kemampuan manusia untuk menguasai suatu kepandaian akan ilmu pengetahuan adalah terbatas sekali. Kalau seseorang menghendaki agar dia menjadi ahli dalam suatu ilmu, dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan pikirannya untuk mempelajari dan memperdalam ilmu itu. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau memang pada dasarnya ada minat dan rasa cinta terhadap ilmu tertentu itu. Jadi, syarat bagi seorang ahli membutuhkan tiga dasar, yaitu bakat, minat dan cermat. Bakat dalam arti kata kecenderungan kemampuan alamiah terhadap ilmu tertentu itu, dan bakat ini seolah-olah terbawa lahir oleh seseorang sehingga sebelum dia itu tahu apa-apa tentang suatu ilmu, dia telah memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain apablia dihadapkan pada ilmu itu. Minat adalah rasa cinta atau rasa suka akan ilmu yang dipelajarinya itu karena tanpa adanya minat atau rasa tertarik atau rasa suka ini, tentu saja dia tidak akan bersemangat mempelajarinya. Kemudian yang terakhir adalah cermat, atau ketekunan dalam mempelajarinya. Bakat memudahkan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu, minat mendatangkan gairah belajar, dan cermat menuntun kepada ketertiban belajar. Ketiganya ini digabungkan menjadi satu, maka akan berhasillah seseorang menjadi ahli. Satu saja di antara ketiganya ini tidak ada, akan sukarlah untuk menjadi ahli dalam arti kata yang sedalam-dalamnya. Thian Sin adalah seorang pemuda yang memiliki bakat besar sekali dalam ilmu silat. Ketika masih kecil sekali, hal ini dapat nampak. Begitu belajar, secara naluriah gerakannya sudah cekatan dan patut. Dan dia memang mempunyai minat yang besar sekali terhadap ilmu silat. Akan tetapi, pengalamannya membuat dia dalam usia muda sudah dijejali oleh banyak sekali ilmu silat tinggi sehingga dia tidak sempat untuk mematangkan satupun di antara ilmu-ilmu itu. Oleh karena ketidakmatangan inilah, maka begitu dia berhadapan dengan lawan yang sudah matang ilmunya seperti See-thian-ong ini, dia menjadi kewalahan dan terdesak terus. Cian Ling yang sejak tadi mengikuti jalanannya pertandingan, memandang gelisah setelah melihat pemuda itu terdesak hebat oleh tongkat gurunya. Tadi ketika dua orang itu bertanding dengan tangan kosong, berkali-kali Cian Lin menahan seruan kagum melihat betapa pemuda itu bukan saja dapat menandingi gurunya, bahkan mampu mendesak dan bahkan pada gebrakan terakhir gurunya itu nyaris kalah! Akan tetapi, setelah kini gurunya menggunakan tongkatnya, ia melihat betapa Thian Sin terdesak hebat dan sinar pedang perak itu semakin lama menjadi semakin kecil dan suram, didesak dan dihimpit oleh sinar tongkat di tangan suhunya yang terus terkekeh-kekeh dengan senang. Ia sudah mengenal gurunya, mengenal kekejaman hati gurunya yang tidak mengenal ampun itu. Tentu saja ia merasa amat khawatir akan keselamatan Thian Sin. Ia belum ingin kehilangan pemuda yang amat menyenangkan hatinya itu. Melihat betapa gurunya tertawa-tawa dan mendesak terus, bahkan beberapa kali ia melihat ujung tongkat gurunya itu menghajar pangkal lengan kiri dan paha kanan kekasihnya, Cian Ling tidak mampu lagi menahan hatinya. “Suhu, jangan celakai dia...!” “Ha-ha-ha, dia belum kalah, heh-heh, bukankah begitu, orang muda?” Kakek itu mengejek. Akan tetapi dia sungguh kecelik kalau mengira bahwa Thian Sin mengaku kalah. Pemuda ini memang sudah terkena pukulan beberapa kali, akan tetapi dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya kebal dan hanya terasa kulit dagingnya saja memar, akan tetapi tidak sampai menderita luka parah dan dia masih terus dapat melakukan perlawanan tanpa pernah mengendur sedikitpun juga. Mendengar pertanyaan yang mengandung ejekan itu, dia menahan kemarahannya. “AKU memang belum kalah, locianpwe!” katanya. “Ha-ha-ha, agaknya kalau belum mampus engkau tidak akan merasa kalah!” Kakek itu memutar tongkatnya lebih keras dan Thian Sin terkejut sekali karena tanpa dapat dihindarkannya lagi, dadanya kena ditotok atau didorong oleh tongkat itu yang bergerak secara aneh sekali. “Dukk...!” Dia tidak terluka parah karena tenaga Thian-te Sin-ciang melindunginya, akan tetapi guncangan oleh totokan yang amat keras itu membuat napasnya seperti terhenti dan dia terpelanting. “Thian Sin...!” Cian Ling berteriak, akan tetapi pemuda itu sudah bangkit kembali. Thian Sin maklum bahwa kalau dia hanya menggunakan ilmu-ilmunya yang biasa, dia takkan mampu menang. Teringatlah dia akan ilmu peninggalan ayah kandungnya. Tidak percuma selama ini, terutama ketika berada di rumah Pak-san-kui, dia mempelajari ilmu ayahnya itu dengan tekun, terutama sekali gerakan dari Ilmu Hok-te Sin-kun. Kini, melihat kakek itu sambil tertawa-tawa menubruknya lagi sambil memutar tongkat, tiba-tiba Thian Sin mengeluarkan pekik melengking, dan tahu-tahu tubuhnya sudah berjungkir balik! Kedua kakinya dengan gerakan aneh menendang-nendang menyambut tongkat, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar, tangan kanan yang memegang pedang menggerakkan pedang membabat kaki lawan. Dia hanya menggunakan kepala saja untuk menunjang tubuhnya yang sudah berjungkir balik. “Eh...?” Kakek itu terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkatnya bertemu dua buah “tongkat” lain berupa kaki pemuda itu dan merasa ada sambaran angin dahsyat menyerang dari bawah. Dia cepat meloncat, akan tetapi tidak sempat mengelak dari hantaman tangan kiri Thian Sin. Pemuda itu tadi mencengkeram, akan tetapi melihat lawan meloncat, lalu mengubah cengkeramannya menjadi pukulan dengan tenaga Hok-liong Sin-ciang yang dahsyat. “Dessssss!” Perut kakek itu terkena pukulan. Memang kakek itu cepat mengerahkan sin-kang melindungi perut, namun tenaga Hok-liong Sin-ciang itu adalah tenaga mujijat maka tubuhnya terlempar dan terbanting roboh dengan keras sekali! “Heiii...!” Saking kagetnya kakek itu berseru heran, akan tetapi ketika dia bangkit berdiri, mukanya menjadi merah saking marah dan malunya. Dia telah terpukul roboh! Dan diapun pernah mendengar akan ilmu-ilmu aneh dari Pangeran Ceng Han Houw, maka dia menduga bahwa ilmu jungkir balik tadi tentulah ilmu ayah pemuda itu. “Itulah jurus peninggalan ayah kandungku, locianpwe!” Thlan Sin berkata dalam keadaan tubuhnya masih berjungkir balik, merasa girang bahwa jurus ilmu-ilmu silat peninggalan ayahnya demikian ampuhnya sehingga dapat membuat kakek tangguh itu roboh. “Aku belum kalah!” teriak See-thian-ong dan diapun sudah menerjang lagi, lalu disambungnya dengan kata-kata yang penuh getaran aneh, “Berjungkir balik seperti itu tentu membuat kepalamu pening!” Tongkat itu sudah digerakkan lagi dan kini kakek itu menyerang dengan hati-hati. Thian Sin menyambut dengan kedua kakinya dan mulailah dia melakukan ilmu silat aneh dari ayah kandungnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya terasa pening bukan main. Benarlah kata-kata kakek itu tadi, berjungkir balik seperti itu membuat kepalanya terasa pening! Akan tetapi, dia segera teringat bahwa tidak biasa dia merasa pening kalau memainkan Ilmu Hok-te Sin-ciang, dan tahulah dia bahwa kepeningan itu datang dari pengaruh ucapan kakek itu. Sebagai anak angkat dan murid seorang sakti seperti Pendekar Lembah Naga, tentu saja Thian Sin sudah pernah digembleng oleh ayah angkatnya itu tentang bagaimana harus menghadapi kekuatan yang tidak wajar cepat dia mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking dan segera kepeningan kepalanya itu menjadi lenyap dan dia dapat menyambut serangan lawan dengan baiknya, bahkan dia dapat membalas dengan serangan dari atas menggunakan dua kakinya, dibantu oleh kedua tangannya dari bawah. Kembali kakek itu terkejut. Dia dapat merasakan getaran tenaga khi-kang dalam lengkingan suara pemuda itu yang membuyarkan pengaruh sihirnya terhadap pemuda itu, dan kini dia kembali kewalahan menghadapi ilmu jungkir balik yang aneh itu. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara aneh seperti orang membaca doa atau mantera, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Sin ketika melihat betapa tubuh lawannya itu perlahan-lahan lenyap! Mula-mula nampak suram-suram dan makin lama bayangan kakek itu menjadi semakin tipis. Sukar baginya untuk melawan bayangan yang hampir tidak nampak ini dan terpaksa dia meloncat dan berdiri di atas kedua kakinya lagi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi, kini bayangan lawan itu sudah tidak nampak lagi walaupun gerakannya masih terasa dan tertangkap oleh pendengarannya. Thian Sin kaget dan berusaha mengerahkan khi-kang sambil membentak. Namun sia-sia belaka, kakek itu benar-benar telah menghilang dan masih terus menghujani dengan serangan. Thian Sin berusaha mengandalkan pendengaran telinganya untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tidak mungkin dia dapat melawan orang yang pandai menghilang ini, yang memiliki ilmu tongkat demikian aneh dan lihainya. Setelah berhasil mengelak dan menangkis beberapa kali akhirnya lehernya tertotok keras sekali. Biarpun dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, tetap saja dia terpelanting keras dan merasa nanar. Dia cepat mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng untuk menjaga diri dan membalas pukulan lawan, akan tetapi tiba-tiba pundaknya tertotok dan ternyata yang menotoknya itu adalah tongkat yang diluncurkan dan karena tongkat itu tidak dipegang orang, maka tentu saja Thi-khi-i-beng tidak dapat menyerap apa-apa dan jalan darah thian-hu-hiat tertotok dengan tepat dan keras, mengakibatkan tubuh pemuda itu menjadi lemas dan lumpuh sama sekali! “Ha-ha-ha-ha, akhirnya engkau terpaksa harus mengakui keunggulanku, orang muda!” Kakek itu tertawa dan kini kakek itupun dapat nampak kembali oleh Thian Sin. Pemuda ini memandang dengan sinar mata penuh penasaran. “Locianpwe telah menggunakan ilmu siluman!” katanya memprotes. “Ha-ha-ha, dan sekarang aku akan membuatmu menjadi siluman tanpa kepala!” kata kakek itu yang segera memungut pedang Gin-hwa-kiam yang terlepas dari tangan pemuda itu, agaknya bermaksud untuk memenggal kepala Thian Sin. Kakek ini melihat pemuda itu merupakan seorang lawan yang amat berbahaya dan kelak dapat mengancam kedudukannya, maka dia mengiambil keputusan untuk membunuhnya saja. “Suhu, tahan...!” Cian Ling sudah menjerit dan gadis ini sudah menubruk tubuh Thian Sin, melindunginya dari ancaman gurunya. “Suhu tidak boleh membunuhnya!” “Heh-heh, siapa yang melarangku dan mengapa tidak boleh?” “Suhu, dia datang untuk mengadu ilmu dengan suhu sebagai orang muda minta petunjuk, bukan sebagai musuh. Adu pibu batasnya hanya kalah atau menang, dia sudah kalah mengapa harus dibunuh? Dan ke dua, suhu tidak bisa membunuhnya karena aku cinta padanya!” “Ho-ho-ha-ha-ha! Cintamu hanya sedalam kulit, dan apa susahnya mencari pemuda yang lebih ganteng daripada dia? Dan aku membunuhnya bukan karena bermusuhan, melainkan mengingat bahwa dia telah memberontak, pernah membikin kacau di Su-couw dan di Lok-yang. Kalau aku membunuhnya, bukankah itu berarti kita akan memperoleh jasa telah membunuh seorang pemberontak?” “Hemm, See-thian-ong, harap locianpwe tidak bicara tentang pemberontakan! Siapakah yang memberontak! Antara locianpwe dan aku ada persamaan bukan? Memang aku telah menyiksa si busuk Phoa-taijin itu, orang macam dia mana ada harganya dijadikan sekutu? Akhirnya hanya akan mencelakakan sekutu-sekutu saja. Locianpwe, kalau locianpwe, Pak-san-kui Locianpwe dan juga Lam-sin, bersama-sama dengan aku membantu kekuatan dari utara, bukankah kita merupakan persekutuan yang lebih kuat lagi? Mendiang kakekku, Raja Sabutai di utara juga memiliki pasukan yang kuat dan aku dapat mengumpulkan mereka kalau waktunya tiba. Akan tetapi, jangan mengira bahwa kata-kataku ini hanya untuk melindungi nyawaku. Kalau locianpwe mau membunuhku silakan, aku bukan orang yang takut mati.” Sejenak kakek hitam tinggi besar itu tertegun. Kakek ini paling suka akan kegagahan dan kejujuran dan memang dia sudah kagum sekali terhadap kegagahan pemuda ini. Akan tetapi dia juga khawatir akan kegagahan yang kelak akan mengancam kedudukannya itu. Tiba-tiba dia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Kekalahannya melawan pemuda itu terutama sekali karena pemuda itu memiliki ilmu jungkir balik tadi, ilmu yang pernah didengarnya menjadi ilmu simpanannya mendiang Pangeran Ceng Han Houw. “Ceng Thian Sin, di dunia kang-ouw dikenal dengan istilah balas membalas budi dan dendam-mendendam. Nyawamu berada di tanganku, dan kalau sekali ini aku mengembalikan nyawamu, lalu apa yang dapat kauberikan kepadaku sebagai balasannya?” Thian Sin adalah seorang pemuda cerdik dan diapun tahu bahwa kelemahan satu-satunya bagi para datuk ilmu silat seperti Pak-san-kui dan juga See-thian-ong ini, kalau bukan kedudukan tinggi tentu juga ilmu silat. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, “Locianpwe, apakah yang dapat kuberikan kepada locianpwe? Harta milikku hanya pedang itu, dan beberapa macam ilmu silat yang telah dikalahkan olehmu.” “Ha-ha-ha, memang ilmu apapun yang kaukeluarkan, tidak mungkin engkau dapat menandingi See-thian-ong! Akan tetapi, di antara semua ilmu itu, aku tertarik sekali melihat ilmumu jungkir balik tadi. Nah, bagaimana kalau engkau memberi tahu padaku tentang ilmu jungkir balik itu sebagai pengganti nyawamu?” Thian Sin menarik napas panjang. “Ilmu itu adalah peninggalan dari mendiang ayahku, Ceng Han Houw dan merupakan ilmu pusaka. Akan tetapi karena locianpwe dapat dikatakan orang sendiri, biarlah kuberikan kalau locianpwe hendak mempelajarinya. Bebaskan aku, dan kitab ilmu itu akan kupinjamkan kepada locianpwe.” Girang sekali hati kakek itu. Dia bersikap memandang rendah ilmu itu padahal sebenarnya dia ingin sekali mempelajarinya. Dengan cepat tongkatnya bergerak dan bagaikan seekor ular mematuk, ujung tongkat itu dua kali mengenai leher dan pundak Thian Sin, dan pemuda itu seketika dapat bergerak kembali. “Thian Sin, engkau sembuh kembali!” Cian Ling berkata dengan girang sambil memegang lengan pemuda itu. “Dan engkaupun ikut bertanggung jawah, Cian Ling. Maka engkaupun berjasa dan engkau boleh minta upah sepuasnya dari pemuda ini, ha-ha-ha! Nah, keluarkanlah kitab itu, Thian Sin.” Thian Sin segera mengeluarkan kitab peninggalan ayahnya itu, kitab pelajaran Ilmu Silat Hok-te Sin-kun dan menyerahkannya kepada See-thian-ong sambil berkata, “Locianpwe, kitab ini adalah tulisan ayah sendiri dan merupakan kitab pusaka bagiku maka aku hanya dapat meminjamkannya kepadamu selama tiga bulan saja. Setelah lewat tiga bulan, harap locianpwe mengembalikannya kepadaku.” “Ha-ha, tentu saja. Tidak ada ilmu yang membutuhkan waktu demikian lamanya untuk kupelajari!” katanya sambil membuka-buka kitab itu. Thian Sin memungut pedangnya dari atas tanah dan menyarungkannya kembali, lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, dibantu oleh Cian Ling. “Apakah selama suhu mempelajari kitabnya itu dia boleh tinggal bersamaku?” Cian Ling bertanya. Gurunya tertawa. “Tentu saja! Dia menjadi tamu kita dan engkau boleh melayaninya sepuasmu, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali melompat kakek itu lenyap di balik pohon-pohon. “Untung engkau selamat, Thian Sin,” Cian Ling berkata sambil merangkulnya. Thian Sin balas merangkul dan menarik napas panjang. “Karena bantuanmu, Cian Ling. Engkau telah menolong dan aku berhutang budi padamu, entah bagaimana dapat membalasmu.” “Ihh, masa kau tidak tahu bagaimana harus membalasnya? Asal engkau selalu bersikap manis, dan mencintaku, biar harus berkorban nyawa untukmupun aku rela, kekasihku.” Demikianlah, melalui Cian Ling akhirnya Thian Sin berhasil berhadapan dengan See-thian-ong bahkan telah berhasil menguji kepandaian datuk itu. Diapun tahu bahwa kalau datuk itu tidak mempergunakan sihir, dia akan mampu melawan dan menandinginya, bahkan mengalahkannya. Hanya ilmu sihir datuk itulah yang amat berbahaya dan tidak dapat dilawannya, maka, jalan satu-satunya untuk dapat mengalahkan datuk barat ini hanyalah menghadapi dan mengalahkan sihirnya. Semenjak hari itu, Thian Sin diajak pulang ke Si-ning oleh Cian Ling. Gadis ini tinggal di Si-ning, di mana terdapat sebuah rumah besar milik See-thian-ong, di mana kakek itu tinggal bersama selir-selirnya. Dan di sisi rumah besar itu terdapat pavilyun-pavilyun kecil di mana tinggal So Cian Ling di bangunan kecil sebelah kanan sedangkan Ciang Gu Sik tinggal di bangunan sebelah kiri. Masih ada lagi beberapa orang murid See-thian-ong yang tinggal di bangunan sebelah belakang dan mereka itu menjadi murid merangkap pelayan-pelayan yang mengurus rumah gedung guru mereka. Ciang Gu Sik, murid kepala yang telah lama jatuh cinta kepada Cian Ling, tentu saja merasa mendongkol, cemburu dan panas hatinya melihat betapa pemuda putera pangeran itu menjadi tamu dan tinggal bersama dengan sumoinya itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu karena hal itu telah disetujui oleh gurunya. So Clan Ling semakin tergila-gila kepada Thian Sin. Selama petualangannya dengan kaum pria, yaitu semenjak dara itu dipaksa menyerahkan dirinya kepada gurunya, dan kemudian, dengan watak yang terbentuk oleh pendidikan gurunya ia menjadi tidak peduli akan urusan susila dan mendekati pria mana saja yang dikehendakinya, baru sekali ini ia benar-benar jatuh cinta! Bukan cinta nafsu berahi belaka, melainkan sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Thian Sin dan timbul keinginan hatinya untuk selamanya tidak akan berpisah lagi dari pemuda itu. Karena inilah, maka semua permintaan Thian Sin dilaksanakannya dengan hati penuh kerelaan dan kesetiaan. Juga, ketika Thian Sin bertanya bagaimana dia dapat menghadapi ilmu sihir dari See-thian-ong dapat “menghliang” itu, Cian Ling lalu berusaha sedapatnya untuk memecahkan rahasia gurunya. Dia sendiri memang sudah pernah mempelajari ilmu sihir dari gurunya. Akan tetapi sihirnya itu hanya terbatas pada mempengaruhi pikiran orang saja. Dengan ilmu sihirnya ini, Cian Ling dapat menundukkan laki-laki yang berani menolaknya, dan membuat laki-laki itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya. Akan tetapi ilmu sihir mempengaruhi pikiran orang lain ini akan terbentur batu kalau berhadapan dengan orang yang kuat batinnya. Buktinya, semua ilmu sihir dari See-thian-ong yang sifatnya mempengaruhi pikiran orang lain dan membalikkan pandangan atau pendengaran orang lain melalui pikiran, dapat dibuyarkan oleh Thian Sin melalui pengerahan khi-kangnya. Akan tetapi, ilmu sihir membuat dirinya lenyap dari pandangan mata lawan itu berbeda lagi dan Cian Ling sendiri belum pernah mempelajarinya. Menurut suhunya, ilmu itu tidak mudah dimiliki orang, melainkan dapat dimiliki melalui pertapaan bertahun-tahun dan melalui pantangan-pantangan yang amat berat. Ilmu itu termasuk ilmu hitam, yang berdekatan dengan kekuatan-kekuatan gaib alam halus atau dengan lain kata-kata ilmu bantuan roh atau setan. Ketika Thian Sin minta kepadanya agar gadis itu suka memberi tahu kepadanya tentang rahasia ilmu menghilang dari See-thian-ong itu, Cian Ling mula-mula menjadi bingung sekali. “Kekasihku, sungguh mati aku sendiri tidak pernah mempelajari ilmu itu. Ilmu itu terlalu jahat dan terlalu sulit dan cara memperoleh ilmu itu amat mengerikan, di antaranya bahkan harus tidur satu peti dengan mayat. Mana aku berani mempelajarinya? Dan aku tidak tahu bagaimana caranya melawan ilmu itu.” Thian Sin kecewa sekali dan dengan sikap marah dia menjawab, “Cian Ling, kalau benar engkau cinta padaku, engkau harus dapat memecahkan rahasia ilmu itu. Aku penasaran dikalahkan suhumu hanya karena ilmu itu, maka aku harus dapat menghadapi dan menandinginya. Kalau engkau tidak dapat memecahkan rahasia ilmu itu kepadaku, apa artinya aku dekat denganmu?” Karena takut kehilangan cinta pemuda itu, Cian Ling minta waktu tiga hari dan pergilah gadis ini menemui gurunya. Dengan segala kepandaiannya merayu, Cian Ling mendekati gurunya. Mula-mula See-thian-ong mentertawakannya. “Heh-heh-heh, apa artinya ini, muridku yang manis? Bukankah engkau mempunyai putera pangeran itu untuk bersenang-senang? Kenapa tiba-tiba engkau mendekati aku Si Tua Bangka?” Cian Ling merangkul leher kakek itu. “Aih, jangan berkata begitu, suhu. Bukankah sebelum aku berdekatan dengan pria manapun juga, suhu yang merupakan pria pertama dalam hidupku? Suhu merupakan suhuku, orang tuaku, juga cinta pertamaku. Terlalu lama dengan pemuda itu membuat aku bosan, dan aku sudah rindu sekali kepadamu, suhu.” Dengan amat pandainya, gadis yang muda ini akhirnya membuat datuk itu menyerah ke dalam gelora nafsu yang membuatnya menjadi buta, tidak dapat membedakan lagi mana yang sungguh-sungguh dan mana yang palsu. Dan dengan amat cerdiknya, setelah merayu gurunya selama dua hari, membuat gurunya mabuk karena di dalam hati kecilnya memang datuk ini amat sayang kepada Cian Ling, gadis ini membawa urusan ilmu menghilang itu dalam percakapan. “Aku melihat ilmu menghliang dari suhu itu amat berguna dan hebat. Ah, kalau saia aku dapat memiliki ilmu itu... betapa senangnya,” kata Cian Ling ketika mereka rebah berdampingan di atas pembaringan dan Cian Ling membelai rambut suhunya yang panjang dan sudah bercampur uban itu. “Heh-heh, bukankah sudah kukatakan bahwa mempelajarinya amat sukar dan juga memakan waktu lama? Untuk apa ilmu itu bagimu? Ilmu yang kuajarkan padamu sudah cukup.” “Tapi, melihat betapa suhu baru dapat menundukkan putera pangeran itu setelah menghilang, terasa olehku betapa pentingnya menguasai ilmu itu.” “Ha-ha-ha-ha, siapa bilang bahwa hanya dengan ilmu itu saja aku dapat mengalahkannya? Hanya karena dia memiliki peninggalan ilmu dari ayahnya, ilmu jungkir balik bernama Hok-te Sin-kun itu sajalah yang membuat dia lihai. Akan tetapi Ilmu Hok-te Sin-kun telah mulai dapat kukuasai, tanpa ilmu menghilang sekalipun dia akan mudah dapat kutundukkan!” “Tapi... tapi aku ingin sekali mempunyai ilmu menghilang itu, suhu!” “Untuk apa?” “Bayangkan saja betapa senangnya. Dengan ilmu itu aku akan dapat memasuki rumah orang tanpa diketahui, dan memasuki kamar-kamar para pengantin baru dan menyaksikan pemandangan yang amat bagus tanpa diketahui orang.” Ucapan gadis ini bagi orang biasa tentu akan dianggap cabul dan menunjukkan betapa hati gadis itu penuh dengan kecabulan. Akan tetapi tidak demikianiah anggapan orang-orang di golongan sesat itu. Kakek itu tertawa bergelak, senang sekali. “Ha-ha-ha, sungguh jalan pikiranmu sama benar dengan jalan pikiranku. Dahulu, ketika aku haru saja berhasil memiliki ilmu itu, akupun suka memasuki kamar pengantin baru dan menikmati pemandangan dari apa yang mereka lakukan, dan kalau aku tertarik, aku lalu menggunakan si pengantin pria setelah membuat dia tidak berdaya. Ha-ha-ha, engkau memang cocok dan berjodoh menjadi muridku. Tapi, mempelajari ilmu itu sungguh tidak mudah. Mana mungkin engkau dapat bertahan untuk bertapa selama tiga tahun, menjauhi segala kesenangan, menjauhi pria?” “Suhu, kalau aku tidak dapat mempelajari setidaknya aku harus dapat menghadapi ilmu itu. Bagaimana kalau aku bertemu lawan yang memiliki ilmu menghliang seperti itu? Ih, betapa mengerikan kalau dipikir. Coba bayangkan, andaikata sekarang ini ada musuh yang memiliki ilmu itu berada di dalam kamar ini dan melihat apa yang kita lakukan!” Gadis itu bergidik. Gurunya merangkuinya dan tertawa. “Andaikata begitu, habis mengapa? Paling-pailing dia akan iri hati dan ingin, ha-ha-ha. Dan tidak mungkin ada orang yang mampu mempergunakan ilmu itu tanpa dapat kulihat. Jangan kau khawatir, Cian Ling.” “Tentu saja, bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus menerus berada di dekat suhu. Bagaimana kalau aku sedang merantau sendirian dan bertemu dengan orang yang memiliki ilmu menghilang atau ilmu hitam lain lagi yang lihai?” Akhirnya, setelah menggunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling memperoleh rahasia itu dari gurunya. Dengan hati girang ia berpisah dari suhunya dan segera menemui Thian Sin yang sudah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga. Karena ia memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak mudah, Cian Ling juga menjual mahal. Ia membuat Thian Sin melayaninya dan menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum ia membuka rahasia itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar. “Kalau engkau menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah tanah dan sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi.” Bukan main girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian Ling, dan dengan sabar dia menanti sampai lewat tiga bulan. Dia hendak membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan petunjuk-petunjuk dalam kitab itu, bukan memperoleh yang hebat melainkan malah merusak dirinya sendiri! Setelah lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantar oleh Cian Ling. Setelah menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. “Locianpwe, waktu tiga bulan telah lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku.” Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, kenapa engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?” “Suhu, aku hendak pergi merantau bersama dia!” jawab muridnya. “Ho-ha-ha, Ceng Thian Sin. Aku telah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu.” Thian Sin mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi, dengan tenang dia menjawab, “Kalau aku tidak mau melayanimu, bagaimana, locianpwe?” “Hemm, kalau engkau tidak mau melayanikupun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali kitab-kitabmu.” “Maksud locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku menang?” “Ha-ha-ha, kau menang?” Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu. Sebelum dia mempelajari kitab-kitab pemuda itu, Thian Sin sudah mampu dikalahkannya, mana mungkin sekarang dapat menang? “Kalau kau menang, tentu saja engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian Ling.” “Dan kalau aku kalah?” Thian Sin bertanya. “Kalau kau kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha! Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!” Ucapan itu terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah merah. “Locianpwe, karena pertandingan antara kita dahulu terjadi di tempat sunyi itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di tempat itu. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di sana sekarang juga!” Setelah berkata demikian, Thian Sin lari keluar dari tempat itu untuk pergi ke tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya. Setelah kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan lebih tidak senang lagi hatinya melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin. Tidak mengapa baginya kalau muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan pria-pria lain. Akan tetapi dia tidak ingin kehilangan Cian Ling untuk selamanya karena selain dia amat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang amat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai daripada murid kepala di situ, yaitu Ciang Gu Sik. “Gu Sik...!” Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring. Muridnya yang setia itu segera lari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Teecu berada di sini, suhu.” “Gu Sik, tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku den kalau menang dia akan membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoimu akan ikut pergi bersamanya?” Pria muda berwajah pucat itu menarik napas panjang. “Suhu, sumoi masih terlalu muda sehingga ia lemah dan mudah dihanyutkan oleh perasaannya, harap suka suhu memaafkannya.” “Ha, engkau selalu membela sumoimu.” “Memang teecu amat mencintanya dan teecu telah menghargai sumoi daripada nyawa teecu sendiri.” “Bukankah itu juga suatu kebodohan?” “Memang, tapi teecu tidak berdaya...” “Sudahlah, memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sutemu, juga undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus disaksikan banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan dan dia sudah berjanji kalau kalah akan menjadi pembantuku!” Ciang Gu Sik mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoinya! “Suhu, kalau dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan, akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bisa berbahaya bagi yang memeliharanya.” “Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia di depan banyak orang.” “Baik, suhu. Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan.” Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya. Sementara itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya. Cian Ling menyusulnya dan setelah tiba di tempat itu, ia berkata dengan suara khawatir, “Thian Sin, engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apalagi setelah suhu mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia telah mengenal ilmu-ilmumu yang paling kauandalkan.” Thian Sin tersenyum tenang. “Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhumu, Cian Ling. Sekali ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!” “Tapi, sungguh amat sukar untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah... sekali ini belum tentu aku akan dapat menolongmu...” “Kalau sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling. Engkau sudah cukup banyak membantuku.” “Dan kalau engkau menang?” “Aku akan meninggalkan tempal ini!” “Dan engkau akan mengajak aku, bukan?” Thian Sin menggeleng kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi.” “Tapi... aku... aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin... ah, aku akan merana, aku akan merindukanmu, aku cinta padamu...” Thian Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus pergi, sendirian saja.” Wajah Cian Ling berubah agak pucat. “Aku... aku akan kehilangan...” Hampir ia menangis. Gadis ini sejak kecil hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah ia merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum ia bertemu dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya. Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini lain sama sekali. Bukan hanya hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu. Thian Sin tersenyum ramah kepadanya. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah berjasa besar kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong, kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu. Bagaimanapun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang baik, seorang penolong. Akan tetapi tak mungkin dia menerima gadis ini sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta itu, bagaimanapun juga, akan membosankan. “Tidak ada pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita bersilang, dan kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja, akan tetapi kelak kita akan saling bertemu, karena bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling.” Sebelum gadis itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara orang banyak datang dari luar hutan dan bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu dan murid-murid suhunya, juga diantara mereka ia melihat banyak orang-orang kang-ouw di Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan main. Permainan apa yang akan dilakukan suhunya ini, mendatangkan semua pembantu dan kenalan? “Hati-hati... mereka adalah orang-orangnya suhu...” Cian Ling berbisik. Tak lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang penjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu berseri-seri dan sepasang mata yang lebar dan bersinar tajam itu nampak gembira. Memang hatinya gembira, karena dia melihat betapa banyak juga orang kang-ouw berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dia gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera Pangeran Ceng Han Houw dengan disaksikan banyak orang. Kalau saja pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan bersusah payah mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apalagi kalau diingat betapa pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu tinggi dari Cin-ling-pai! Yang ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi kini dia telah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan mampu menundukkan lawan kalau pemuda itu mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan. Melihat kakek raksasa itu, Thian Sin melangkah maju. Baginya, berkumpulnya banyak orang itu tidak menimbulkan gentar, karena dia merasa yakin bahwa seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan memiliki kesaktian seperti See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan keroyokan untuk menghadapi lawan. Bahkan mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Setidaknya, kakek yang tentu banyak akalnya itu karena banyak orang yang menyaksikan, akan merasa malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun penuh tantangan. “Locianpwe See-thian-ong telah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini, aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, dan kitab-kitab yang kutitipkan kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu agar dipegang orang lain dan siapa menang berhak menerima kitab itu.” See-thian-ong tertawa bergelak, senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di depan orang banyak betapa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dipelajarinya. Memang sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga kakek ini tidak akan menggunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya, mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang bisa membahayakan dirinya. “Ha-ha-ha, kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sekarang engkau berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu engkau telah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa dengan sia-sia. Bagaimana kalau engkau mengaku kalah, berlutut delapan kali dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada See-thian-ong?” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu, karena memang maksudnya agar terdengar oleh semua orang. Thian Sin menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tidak mau dipengaruhi kemarahan. Dia memandang ke sekeliling dan melihat, betapa wajah orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik berdiri di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran. Thian Sin menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu. “Locianpwe, kalah menang dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa dikatakan kalah atau menang kalau sudah dibuktikan. Maka, harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu.” “Ha-ha-ha, kitab-kitab macam ini tidak ada harganya!” Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat. Melihat itu, semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, melainkan demonstrasi kekuatan khi-kang dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke manapun dia suka. “Harap locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai pemegangnya,” Thian Sin berkata lagi. Kakek itu masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam! Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Ia berhasil menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang. “Ceng Thian Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan ilmu-ilmu dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu itu!” kata See-thian ong dan kini mengertilah Cian Ling mengapa suhunya mengumpulkan semua orang kang-ouw di daerah itu. Kiranya suhunya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia telah dapat mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han Houw, untuk mengangkat namanya lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat menduga maksud hati lawannya, maka diapun tidak mau banyak bicara lagi. “Awas serangan!” Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong. Kedua tangannya yang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat. Namun, kakek tinggi besar itu telah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat sekali sehingga dia tidak takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya. Thian Sin hanya mainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan setelah beberapa kali mereka saling serang dan mengadu lengan, Thian Sin sudah mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang. Juga ilmu silat yang membuat kedua lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa jurus saja, disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai. Memang pemuda ini sengaja menahan dulu dan tidak mengeluarkan ilmu simpanannya yang dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk mengecohkan lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Hal ini membuat lawahnya penasaran. Justeru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan. “Ceng Thian Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw? Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!” Thian Sin memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia mengeluarkan pekik melengking dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang amat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya. Melihat pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal gerakan ini, dan cepat dia bersiap-siap menandinginya dan sudah tahu bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini. Akan tetapi, ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lain merupakan pancingan dan juga gertakan belaka. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang juga mengandung inti tenaga dalam jurus itu. Akan tetapi kenyataannya berbeda sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan serangan seperti yang terdapat dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan “kosong”, dan begitu ditangkisnya, tiba-tiba dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik! Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lalu bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Biarpun dia dapat meloloskan diri, namun sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api! “Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!” Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang! Akan tetapi kini kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlalu mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang telah dipelajarinya, walaupun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, namun amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia telah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini! Betapapun juga, dia penasaran. Ketika Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa diapun depat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga cepat berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, kembali dia kecelik dan setelah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya inipun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini! Ketika Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya namun tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan. Maka diapun tidak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, maka dia mengira bahwa saat inilah yang terbaik untuk mendahului lawan. Maka begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan sedangkan tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi segera kakek itu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dulu datangnya daripada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung. “Desss...!” Jalan darah di pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tidak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mujijat dari sin-kang yang diperolehnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar! Terkejutlah semua orang yang hadir di situ! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting dan terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula. Akan tetapi, kakek itu tidak percuma disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Wajahnya yang berkulit hitam itu mula-mula agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali ketika darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya. Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar. “Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tidak hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.” Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo-pang-hoat yang dahsyat itu. Angin bersuitan dari segala penjuru ketika dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu amat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan. Terjadilah pertandingan yang amat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang-kadang keduanya lenyap dan nampak hanya bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh. Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka kini kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang amat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara terkejut ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, namun gerakannya masih dapat tertangkap oleh telinga mereka. Thian Sin hanya mengandalkan ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis, kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak. “Bukk!” Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting. “Ha-ha-ha...!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih den mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu. “Ahhh...!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun! Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis diapun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat. “Desss...!” Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya jungkir balik itu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras dan tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung. Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, telah menerjang Thian Sin dengan menggunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini, Thian Sin tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu. “Thian Sin, tunggu...!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suhengnya dan gurunya sudah bendiri di depannya menghadang. Melihat gurunya memandang kepadanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi. “Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali. “Suhu...!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan melihat gurunya melangkah maju mendekatinya. “Plakkk!” Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong monyambar pipi kanan wanita itu, membuatnya terpelanting keras. “Engkau pengkhianat! Engkau telah membuka rahasia kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?” “Suhu, aku... aku cinta padanya...” “Tidak peduli engkau cinta padanya, engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak lagi hidup!” See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang-kadang menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut dan mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor. “Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya. “Trang...!” Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikapnya melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apalagi melawan dengan senjata. Akan tetapi, See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tidak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunyapun tidaklah aneh. Apalagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik inipun kadang-kadang meniadi kekasih gurunya itu! “Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan diapun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga. “Suhu, jangan bunuh sumoi...!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan dan dengan senjata ruyungnya diapun membantu sumoinya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoinya itu. Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan biarpun kini ada Gu Sik yang membantu sumoinya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat dan beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut. See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati kareana dikhianati muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak disangkanya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani pula menentangnya. Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega, pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, melainkan dipergunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoinya itu dari ancaman senjata See-thian-ong. Dihadapi dua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apalagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar dan di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling. Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoinya dan menghalangi suhunya. “Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoinya. “Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhumu pula? Hendak membela pengkhianat?” “Suhu, teecu mencintainya.” “Karena dia cantik dan muda?” “Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.” “Kalau begitu, aku ubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.” “Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi “krek-krek” dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk. Dengan demikian, biarpun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk memiliki ilmu kepandaian tinggi sudah tidak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat. Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan cukup kuat tulang yang tersambung lagi. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, biarpun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali. Cian Ling menjadi penderita cacad dan ia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, dibandingkan dengan wanita biasa, ia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, ia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa. Menerima hukuman seperti itu, yang amat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoinya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouwpun bubarlah, tidak ada yang berani bicara, apalagi membicarakan kekalahan datuk itu! Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani bicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di depan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu. Setelah luka-lukanya akibat hukuman suhunya sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa ia harus menjadi isteri suhengnya itu. Ia menerimanya setengah terpaksa, karena kalau ia menolak, ia tahu bahwa gurunya tentu tidak akan mengampuninya dan akan membunuhnya. Melawanpun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhunya merupakan hal yang amat tidak mungkin. Ke manapun ia melarikan diri, akhirnya ia tentu akan tertangkap juga. Kalau saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu ia tidak takut menghadapi suhunya. Akan tetapi, Thian Sin meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa ia menerima keputusan itu. Dan ke tiga, karena ia melihat kenyataan betapa Cian Gu Sik, suhengnya itu, benar-benar amat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah dan tubuhnya, bukah sekedar cinta berahi seperti yang selama ini ia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi. Thian Sin melarikan diri dengan hati girang. Dia telah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, karena dia menganggap belum tiba waktunya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya. Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa benar-benar kuat, barulah dia akan turun tangan, membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita ayah kandungnya. Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah merupakan kemenangan tipis, belum mutlak. Maka dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya secara sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan kalau mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw! Maka, dengan hati mantap, Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himlaya! Kita tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, keluarga Ciu telah tertimpa malapetaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat memberontak. Dalam keributan itu, Lian Hong lenyap tak meninggalkan jejak. Apakah yang telah terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu? KETIKA terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua terkejut dan mengamuk ketika melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai itu telah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan. Lian Hong juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi akhirnya setelah ia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, ia berhasil juga mendekati depan rumah di mana tadi ayah ibu dan keluarganya dikeroyok. Dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, telah menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas. “Ibuuuuu...! Ayaahhh...!” Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi ia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya, dara ini terguling dan pingsan di dekat mayat keluarganya. Tiba-tiba di antara para pengeroyok itu nampak seorang pengemis muda yang usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan itu tertawa. “A-khun, jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!” seorang di antara mereka berseru. Yang lain tertawa. “Jangan khawatir!” jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari Lian Hong meninggalkan tempat itu. A-khun adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang dalam penyerbuan itu ikut membantu pasukan karena memang dalam usahanya berhubungan dengan pemberontak, pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam. Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai. Dengan cepat A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota dan membawa dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di tepi jalan. Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tidak ada penghuninya dan tempat itu siang tadi dipergunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu. Dengan hati berdebar girang dan tegang, A-khun memasuki kuil itu. Tadi dia melihat kecantikan Lian Hong dan segera merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang kalau dara ini dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu dengan Phoa-taijin. A-khun memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Oleh karena itu, melihat kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak menyia-nyiakan dan bukankah keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona inipun harus dibunuh, akan tetapi sebelum itu..., dia menyeringai ketika merebahkantubuh gadis itu di atas lantai di bagian belakang kuil. Dengan tenang saja A-khun lalu membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di atas meja tua bekas meja sembahyang sehingga ruangan yang gelap itu kini menjadi terang. Dengan sepasang mata bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya, diam-diam memberi selamat kepada diri sendiri karena sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang berada dalam keadaan pingsan. Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala dan tengkuk Lian Hong. Gadis itu mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu ia membuka mata dan menjadi silau oleh sinar lilin, ia terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di sebelah kanan, ia menengok dan melibat sebuah wajah pucat seorang pria yang berlutut di dekatnya, ia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi ia didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong. “Apa...siapa...?” “Nona manis, jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Engkau cantik manis, aku suka padamu...” “Keparat busuk! Engkau... engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu...!” Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi pada saat itu, ia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka ia hanya memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di depan mulut harimau yang siap menerkamnya. “Ha-ha-ha, benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan malam ini engkau menjadi milikku... ha-ha!” Tangan kanan pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari tubub Lian Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba saja menjadi kaku! “Ehhh...?” A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia merintih ketika melihat bahwa di punggung tangannya itu nampak sebatang jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini mampuslah aku! “Binatang, berani engkau melanggar laranganku?” tiba-tiba terdengar suara halus merdu, suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan masih berlutut dia memutar tubuhnya menghadap ke arah seorang wanita yang baru saja masuk di ruangan itu tanpa diketahuinya. “Pangcu... am... ampunkan... saya...” Dengan seluruh tubuh menggigil seperti orang yang sedang mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah. Sementara itu, Lian Hong yang masih rebah tertotok memandang dengan jantung berdebar tegang dan seram. Dari tempat ia rebah, ia memperhatikan wanita itu. Seorang nenek yang berwajah menyeramkan! Rambut di atas kepala itu lebat sekali, akan tetapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai ke kulit leher dihias cacad bekas pebyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi kulit bagian tubuh lain karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi, kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam. Pakaiannya kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih memiliki kesegaran dan kekuatan tubuh. Sukar menaksir usianya, akan tetapi melihat rambut yang putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tidak akan kurang dart tujuh puluh tahun! Hanya sepasang matanya saja yang masih amat tajam, bahkan mencorong seperti mata orang-orang sakti. Di punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang, dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya seperti tubuh ular. Dari sebutan yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong dapat menduga bahwa tentu nenek ini merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Ia merasa semakin serem. Kalau anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apalagi ketuanya! Teringat akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat akan bayangan mayat-mayat ketuarganya, Lian Hong tak dapat menahan keluarnya air matanya. Akan tetapi ia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa ia akan berkumpul dengan keluarganya. “Berapa lama engkau menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?” Kembali terdengar suara lembut merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya langsung keluar dari dalam mulut. “Satu... dua... tahun...” “Apa larangan pertama dari perkumpulan kita?” “Berkhianat terhadap perkumpulan.” “Dan ke dua?” “Bicara tentang Pangcu...” “Dan ke tiga?” “Ke tiga... eh... ampunkan saya, Pangcu... saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di sini, saya... saya tidak tahu Pangcu akan datang...” “Apa larangan ke tiga?” suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya tak pernah berkedip. Mengerikan sekali. “Larangan ke tiga... eh... memperkosa wanita... akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus dibunuh juga?” A-khun mencoba untuk membela diri. Tangan kiri nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah mengenai lehernya tanpa dapat dielakkannya. “Semua anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan tetapi tak seorangpun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?” kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan tetapi makin menakutkan bagi A-khun. “Karena... karena... Pangcu adalah seorang wanita pula...” “Karena ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria yang memperkosa wanita!” Kembali tangan itu bergerak. “Pangcu, ampuuuuun...!” Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam! Kini nenek itu melangkah maju menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya, pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian. “Mana pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu?” tiba-tiba suara merdu itu bertanya dan Lian Hong terkejut. Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin, dan baru ia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi pasukan. “Aku tidak tahu!” jawabnya ketus. “Ah, aku ingin sekali melawan dia. Katanya mereka itu lihai, putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu...” Nenek itu berkata dan kelihatan termenung. “Kalau ada Tiong koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan membunuhmu!” Lian Hong berseru penuh semangat ketika ia teringat kepada pemuda yang dikaguminya itu. Nenek yang tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka dan memandang kepada Lian Hong, sinar matanya seperti kilat menyambar. “Begitukah? Apamukah pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu?” Lian Hong tahu bahwa ia menghadapi kematian, maka ia hendak mempergunakan saat terakhir itu untuk membanggakan dirinya. “Dia adalah tunanganku, calon suamiku!” “Hemm, akan tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu.” “Siapa takut mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukan apa-apa bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, kalau mau bunuh, lekas bunuhlah. Biar aku menyusul orang tuaku!” Lian Hong menantang. Tangan yang bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini sama sekali tidak berkedip, karena ia hendak menyambut maut dengan mata terbuka. “Ceppp!” Ujung tombak itu amblas ke dalam lantai, hanya satu senti saja dari pipi Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak. “Tidak, engkau tidak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Eh, maukah engkau menjadi muridku?” Ditanya seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar ia suka menjadi muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapapun juga, pembunuh orang tuanya adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau ia dapat menjadi murid nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak ia akan dapat membalas dendam kematian orang tuanya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka iapun menjawab, “Kalau locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja teecu akan senang sekali.” Nenek itu tertawa, suara ketawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba saja ia sudah dapat bergerak kembali! Dengan girang iapun lalu berlutut di depan kaki nenek sakti itu. “Muridku yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?” “Kalau teecu tidak salah menduga, locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), betulkah?” “Hemm, tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku tapi masih dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan bicara dengan aku dan bahkan menjadi muridku.” Diam-diam Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh amat luar biasa, sombong bukan main, agaknya seolah-olah menganggap dirinya benar-benar seorang malaikat, bukan manusla lagi. Akan tetapi iapun bukan seorang dara yang bodoh, maka ia cepat berkata, “Kalau begitu, sungguh teecu memiliki keberuntungan besar dan teecu menghaturkan terima kasih kepada subo.” “Hemm, kaukira aku menolongmu karena hendak melepas budi? Uh, jangan salah kira, ya? Aku melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri!” Mendengar suara merdu itu tiba-tiba ketus, Lian Hong semakin terkejut dan heran. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya menganggap bahwa gurunya ini memang seorang yang memiliki watak yang aneh. “Hayo, kauikuti aku!” Tiba-tiba nonek itu berkata dan ternyata ia sudah mencabut tongkatnya dan sekali mencokel dengan tongkatnya ke arah punggung Lian Hong, dara ini merasa ada hawa dingin memasuki punggungnya, seperti diguyur air es, membuat ia cepat melonjak dan bangkit berdiri. Ketika ia melihat gurunya itu telah berjalan pergi dan ia cepat-cepat mengikutinya. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lian Hong ketika melihat bahwa nenek itu membawanya kembali ke Lok-yang! Akan tetapi kekagetan ini bercampur kegirangan karena ia ingin melihat kembali keadaan keluarganya yang terbasmi malam itu. Dan ternyata nenek itu memang membawanya kembali ke rumahnya! Akan tetapi, ketika itu malam telah berganti pagi dan semua mayat tidak nampak lagi di situ, kecuali sisa-sisa darah yang membuat tempat itu berbau amis dan mengerikan. Ketika tiba di daerah rumah tinggalnya, tiba-tiba nenek itu memegang lengannya dan di lain saat tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng rumah seorang tetangganya! Lian Hong merasa kagum sekali. Gurunya ini memang sakti dan dengan memegang lengannya dapat membawanya meloncat, seperti terbang menunjukkan betapa lihai gin-kangnya. “Lekas, kauberitabukan kepada tetanggamu bahwa engkau akan pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan agar dua orang pemuda itu dapat menyusulmu!” kata nenek itu ketika mereka berada di atas genteng rumah seorang tetangga keluarga Ciu. Lian Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu, maka ia hanya memandang bingung. “Tapi... tapi teecu ingin tahu tentang ayah ibu...” Suaranya tertahan oleh isak. “Taati perintahku! Apa kau ingin terlihat oleh pasukan dan dibunuh, juga? Hayo kau turun dan katakan kepada tetanggamu seperti yang kuperintahkan tadi!” bentak nenek itu dengan lirih. Lian Hong tidak tahu mengapa gurunya memerintahkan demikian, akan tetapi perintah ini membuat ia makin percaya kepada gurunya. Dengan perintah itu, berarti gurunya tidak bermaksud buruk, bahkan menghendaki agar dua orang pemuda itu dapat menyusulnya. Maka iapun meloncat turun dan cepat ia menghampiri kelompok keluarga tetangganya yang berkumpul di belakang rumah. Agaknya mereka itu masih ketakutan akan apa yang telah terjadi semalam, malapetaka mengerikan yang menimpa keluarga Ciu, tetangga mereka. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa kaget hati suami isteri dan tiga orang anaknya itu ketika tiba-tiba mereka melihat munculnya Lian Hong dari arah belakang rumah mereka. “Ciu-siocia...!” Tuan rumah berseru dengan muka pucat, karena dia maklum betapa akan berbahayanya bagi keluarganya kalau sampai fihak tentara melihat nona itu berada di tempatnya! Stmentara itu, isterinya sudah menangis tersedu-sedu melihat nona itu, merasa kasihan sekali mengingat betapa seluruh keluarga nona itu telah tewas secara mengerikan. “Paman Ong, di manakah... eh, jenazah mereka...?” Lian Hong menguatkan hatinya bertanya. “Jenazah keluargamu telah dibawa pergi oleh pasukan, nona, dan kami semua tidak berdaya, tidak ada yang berani mencampuri... maklumlah...” Lian Hong menahan kemarahan dan kedukaannya, mengepal tinju. “Sudahlah, sekarang aku hendak minta tolong kepadamu, Paman Ong...” “Maaf... nona, kami tidak berani...” “Aku hanya ingin agar jika Kanda Cia Han Tiong, engkau tahu, seorang di antara dua pemuda tamu yang pernah tinggal di rumah kami baru-baru ini, jika dia datang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa aku pergi ke Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, bersama...” “Cukup!” Terdengar bentakan merdu dan tiba-tiba saja, ada bayangdn hitam berkelebat menyambar tubuh Lian Hong dan lenyap dari depan keluarga Ong yang memandang bengong itu. Tentu saja mereka menjadi ketakutan dan mengira bahwa yang muncul tadi mungkin saja arwah dari nona Ciu, maka merekapun berlutut dan sampai lama tidak berani mengangkat muka mereka! Sementara itu, Lian Hong sudah dibawa pergi keluar dari kota Lok-yang oleh Nenek Lam-sin, dan dengan menggunakan kesaktiannya, berkelebat cepat sehingga tidak sampai diketahui oleh para penjaga, mereka keluar dari pintu gerbang, lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Lam-sin adalah nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, sebagai datuk kaum sesat dari daerah selatan. Biarpun jarang ada orang pernah melihatnya, namun namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan di daerah selatan, tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar nama ini. Apalagi nama ini didukung dan dijunjung tinggi oleh perkumpulan pengemis Bu-tek Kai-pang yang merajai dunia kang-ouw di selatan. Benarkah kini manusia sakti ini mengangkat murid kepada Lian Hong? Sesungguhnya tidak demikian. Sebagai datuk golongan hitam, tentu saja tidak ada rasa kasihan dalam hati seseorang seperti Nenek Lam-sin ini. Seperti semua datuk kaum sesat, bagi mereka yang ada hanyalah kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu berdasarkan perhitungan untung rugi. Oleh karena itu, Lam-sin mengangkat Lian Hong sebagai muridpun hanya merupakan siasatnya untuk memancing datangnya dua orang pemuda yang baru muncul dan sudah menggemparkan dunia persilatan itu. Ia sudah mendengar dari anak buahnya akan sepak terjang putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga, maka ia ingin sekali dapat bertemu dan mengadu ilmu dengan mereka. Apalagi ketika mendengar babwa ada beberapa orang anak buahnya yang tewas oleh putera Pangeran Ceng Han Houw, datuk ini menjadi penasaran sekali. Dengan mengangkat dara itu sebagai murid, maka ia mengharapkan akan dapat berjumpa dengan mereka. Selain itus memang ia paling benci melihat pria yang memperkosa wanita. Inipun bukan berdasarkan keluhuran budi melainkan karena ia sendiri seorang wanita, maka ia tidak suka bahkan membenci sekali pria yang suka memperkosa wanita. Lian Hong yang maklum bahwa ia sendiri tentu menjadi buronan pemerintah, dan karena untuk saat itu ia sendiri tidak tahu siapa yang akan dapat menolongnya dan apa yang dapat dilakukannya. Maka ia pasrah kepada gurunya. Memang ada ingatan untuk mencari tunangannya, yaitu Cia Han Tiong. Akan tetapi bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan tompat yang amat jauh itu? Ia belum pernah tahu di mana adanya Lembah Naga, yang kabarnya amat jauh di utara, bahkan lewat Tembok Besar utara. Bagaimana kalau ia tidak berhasil menemukan tempat itu? Dan perjalanan selauh itu, apalagi melalui tempat-tempat berbahaya, kiranya tak mungkin dapat ditempuhnya dengan selamat dan berhasil. Maka, jalan satu-satunya adalah pasrah kepada gurunya, Lam-sin, nenek yang sakti itu. Kalau ia sudah mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini sehingga bekal kepandaian padanya cukup kuat, baru ia akan pergi mencari Lembah Naga, di mana tinggal pamannya, yaitu Pendekar Lembah Naga, atau juga yang menjadi calon ayah mertuanya. Karena mempunyai cita-cita seperti ini, Lian Hong bersikap taat di sepanjang perjalanan kepada nenek itu, berusaha untuk melayani subonya. Akan tetapi, nenek itu sungguh seorang yang luar biasa sekali. Agaknya tidak pernah suka bertemu orang lain sehingga selama dalam perjalanan, Lam-sin memilih tempat-tempat yang sunyi dan sukar dilalui. Kadang-kadang, kalau melalui jurang-jurang yang amat curam, Lam-sin menggandeng tangan muridnya yang merasa ngeri dan ketakutan. Biarpun Lian Hong juga seorang dara perkasa, namun melakukan perjalanan melalui jurang-jurang maut seperti yang dilalui nenek itu sungguh merupakan pengalaman pertama yang menegangkan. Dan selama dalam perjalanan itu, Nenek Lam-sin jarang bicara. Kalau kemalaman, mereka tidur begitu saja di dalam hutan! Hanya ada satu hal yang mengherankan hati Lian Hong, akan tetapi juga menguntungkan. Biarpun nenek itu tidur di sembarang tempat, bahkan kalau malam tidurnya sambil duduk bersila, namun nenek itu sama sekali tidak jorok. Bahkan selalu bersih, terkena kotoran sedikit saja lalu dicuci tangannya yang bersarung tangan hitam. Dan pakaiannya selalu diganti setiap hari! Lian Hong juga diberi pakaian dua stel, sehingga terpaksa gadis itupun mengenakan pakaian Si Nenek yang ternyata memiliki potongan tubuh yang tidak berbeda banyak dengan dirinya. Selain ini, nenek itu ternyata amat royal kalau makan! Setiap melewati kota, tentu Lian Hong disuruh membeli bahan-bahan masakan yang mahal-mahal seperti daging kering, ikan kering yang bermutu tinggi dan mahal, bumbu-bumbu masak yang baik, jamur-jamur dan sayur-sayur. Semua bahan ini dipergunakan untuk dimasak dalam hutan. Akan tetapi kalau kebetulan mereka lewat di kota pada siang atau malam hari, tidak jarang Lian Hong harus mengunjungi restoran dan membeli bermacam-macam masakan yang mahal-mahal dan membawanya ke tempat subonya menanti di luar keta. Semua ini masih ditambah lagi dengan arak wangi! Subonya adalah seorang wanita yang pembersih, dan suka makan! Akan tetapi, hanya itulah saja yang diketahuinya dari nenek keriputan berambut putih itu. Lam-sin jarang bicara dan karena sikapnya yang amat dingin ini, Lian Hong juga tidak berani banyak bertanya. Beberapa pekan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah mereka di kota Heng-yang. Kota ini berada di Propirisi Hu-nan di selatan, dan menjadi kota pusat perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana juga tinggal Lam-sin. Kembali Lian Hong kagum dan terheran-heran melihat betapa gurunya itu mempunyai sebuah rumah yang amat mewah! Bangunannya tidak begitu besar, hanya mempunyai lima buah kamar saja yang kosong, karena hanya sebuah kamar saja yang ditempati nenek itu. Akan tetapi rumah itu penuh dengan perabot rumah yang mahal dan halus buatannya, seperti perabot rumah istana raja saja, dengan permadani di mana-mana, meja kursi yang juga merupakan barang seni yang halus dan mahal, di dinding penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis kenamaan dan tulisan-tulisan indah. Juga di mana-mana terdapat pot bunga, dengan bunga-bunga segar terawat baik yang agaknya didatangkan dari seluruh penjuru Tiongkok! Sungguh pandai sekali orang yang mengatur dan menghias rumah itu, dan ketika kemudian Lian Hong mendengar bahwa pengaturnya adalah nenek itu sendiri, kekagumannya terhadap nenek itu bertambah. Ketika Lam-sin mengajak Lian Hong memasuki gedung kecil mungil itu, lima orang wanita muda yang cantik-cantik menyambut mereka dengan penuh kehormatan. “Mereka berlima ini adalah pelayan-pelayanku, Lian Hong.” Mendengar keterangan ini, Lian Hong kaget. Mereka itu begitu muda dan cantik, dan sikap serta pakaian mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka adalah pelayan. “Ini adalah Ciu-siocia yang menjadi muridku, kalian harus melayaninya baik-baik.” Terdengar nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya. Lima orang wanita muda itu segera memberi hormat kepada Lian Hong dan serentak mereka berkata dengan sikap ramah, “Selamat datang, Ciu-siocia!” Lian Hong cepat berkata dengan senyum, “Cici berlima baik sekali, terima kasih. Sebagai murid subo, akupun harus melayaninya, maka aku akan membantu pekerjaan cici berlima.” Demiklanlah, karena sikapnya yang baik, maka lima orang pelayan yang ternyata masing-masing memiliki kepandaian silat cukup tinggi karena mendapatkan pelajaran dari Lam-sin itu merasa suka sekali kepada Lian Hong. Juga nenek Lam-sin merasa suka dan mulai mengajarkan beberapa jurus ilmu silat tinggi kepada dara itu, dan sering kali mengajak dara itu menemaninya berjalan-jalan keluar kota. Nenek itu sungguh anch sekali cara hidupnya. Yang mengenalnya sebagai Lam-sin hanyalan para pelayan dan juga para anggauta Bu-tek Kai-pang saja agaknya. Buktinya, kalau ia pergi berjalan-jalan bersama Lian Hong, memasuki pasar atau tempat pelesiran, tidak ada orang yang tahu bahwa nenek itu adalah Lam-sin, datuk dunia selatan yang tersohor. Nenek itu sering kali bertanya kepada Lian Hong tentang diri Ceng Thian Sin dan Cia Han Tiong sehingga diam-diam Lian Hong menjadi heran sekali. “Apakah subo pernah bertemu dengan mereka?” tanyanya. Nenek itu menggeleng kepalanya. “Belum, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka, dan mencoba kepandaian mereka. Eh, menurut pendapatmu, siapa diantara putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu yang lebih lihai, Lian Hong?” Ditanya tentang dua orang pemuda itu, Lian Hong membayangkan keadaan mereka. Hatinya terharu dan timbul rindunya kepada Han Tiong yang diam-diam telah menarik cinta hatinya itu. “Teecu tidak tahu, subo. Mereka itu keduanya sama lihainya, keduanya menerima latihan dari Paman Cia Sin Liong, Pendekar lembah Naga.” Lam-sin sudah banyak mendengar tentang mereka berdua dari para anak buah Bu-tek Kai-pang, terutama sekali tentang putera Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya amat lihai itu. Kalau saja ingin bertemu dengin mereka, terutama dengan putera Pangeran Ceng, tentu ia tidak akan membawa Lian Hong sebagai muridnya, melainkan sudah dibunuhnya dara itu. Sepasang mata yang jeli dan mencorong dari nenek itu berkilat. “Ya, aku ingin sekali bertemu dengan mereka, menguji kepandaian mereka!” “Tapi, subo... karena teecu telah menjadi murid, teecu harap subo tidak memusuhi mereka. Mereka itu adalah putera-putera dari Paman teecu sendiri... dan... dan Han Tiong koko adalah tunangan teecu.” “Siapa hendak memusuhi mereka? Aku hanya ingin menguji apakah benar mereka itu selihai yang dikabarkan orang.” Lian Hong tidak banyak membantah lagi. Diam-diam ia merasa kagum dan juga heran melihat gurunya ini. Nenek ini kelihatan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan rambutnya sudah putih semua, akan tetapi sepasang matanya mencorong, jeli dan indah seperti mata orang muda, dan gerek-geriknya amat gesit, tubuhnya juga amat langsing padat walaupun tertutup pakaian sederhana. Sungguh seorang nenek yang amat aneh, yang memiliki suara merdu, kadang-kadang dingin sekali, kadang-kadang lemah lembut dan kadang-kadang suara itu, sinar mata itu, mengandung kedukaan besar. Dan kadang-kadang ia bergidik melihat sepasang mata mencorong itu, karena mengandung penuh kekejaman. Akan tetapi, di samping semua itu, ia merasa yakin akan kesaktian subonya. Oleh karena itu iapun belajar dengan tekun, dengan harapan bahwa ia akan dapat mewarisi ilmu silat tinggi agar kelak ia dapat membalas kematian keluarganya. Kalau ia terihgat akan ayah kandungnya dan kakaknya, Lian Hong tidak dapat menahan kesedihannya dan menangislah ia di waktu ia tidur sendirian dalam kamarnya. *** Pada suatu hari, setelah tinggal di Heng-yang selama kurang lebih tiga bulan, Lian Hong diajak subonya untuk pergi berbelanja ke pasar. Memang nenek itu mempunyai suatu kesukaan, yaitu makan enak yang kadang-kadang dimasaknya sendiri, dan untuk keperluan itu ia suka pergi berbelanja sendiri ke pasar. Seperti biasa, di dalam pasar ini tidak ada yang mengenal nenek yang diikuti seorang nona muda cantik jelita ini. Selama tiga bulan itu, baru satu kali saja Lian Hong melihat ada orang yang mengenal Si Nenek, yaitu ketika mereka berdua berbelanja di pasar juga. Yang mengenal nenek itu adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Begitu melihat nenek itu, laki-laki ini lalu menjura dengan sikap amat menghormat dan berkata, “Maaf, tidak mengira bertemu dengan locianpwe di sini. Harap locianpwe dalam keadaan baik-baik saja.” Dan hebatnya, nenek itu hanya mengangguk sedikit dan melanjutkan perjalanan, sama sekali tidak mempedulikan penghormatan orang. Setelah jauh, Lian Hong tidak dapat menahan diri lagi dan bertanya kepada gurunya siapa gerangan laki-laki tadi. Dengan sikap tak acuh, nenek itu menjawab bahwa laki-laki itu adalah seorang guru silat yang paling terkenal di Shao-koan sebelah selatan dan berjuluk Kim-liong-eng (Pendekar Naga Emas)! Diam-diam Lian Hong terkejut. Seorang guru silat paling terkenal akan tetapi bersikap demikian merendahkan diri terhadap gurunya! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa nenek itu biarpun tidak dikenal oleh orang-orang biasa karena memang selalu menyembunyikan diri, namun dikenal baik oleh tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bahkan ditakuti sesuai dengan julukannya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan! Pagi hari itu, Nenek Lam-sin asyik sekali memilih sayur sawi kembang yang amat segar karena baru pagi itu masuk dari desa. Lian Hong ikut memilih dan dara ini sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di antara kumpulan banyak orang yang berbelanja di pasar, terdapat seorang pemuda yang memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak, penuh keheranan dan juga perhatian. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong! Seperti diketahui, pemuda ini meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari tunangannya yang lenyap dalam keributan ketika rumahnya diserbu pasukan itu. Orang tuanya sendiri yang memerintahkan dia pergi menyelidiki dan mencari Lian Hong. Tentu saja Han Tiong langsung pergi ke Lok-yang untuk menyelidiki. Dengan hati-hati dia mulai menyelidiki, akan tatapi agaknya tidak ada orang yang tahu ke mana perginya Nona Ciu Lian Hong. Yang mereka ketahui hanya bahwa keluarga Ciu itu terbasmi dan tewas oleh pasukan yang menuduh mereka itu keluarga pemberontak. Harta benda keluarga itu disita pemerintah, dan jenazah keluarga itu oleh pemerintah dikubur di kuburan para penjahat di dekat penjara! Mendengar ini, Han Tiong merasa berduka sekali. Akan tetapi ketika secara kebetulan dia bertemu dan bertanya kepada tetangga di sebelah kanan bekas rumah keluarga Ciu yang kini tertutup itu, dengan sikap takut-takut orang she Ong itu memberitahukan kepadanya akan pesan dari Lian Hong. “Nona Ciu Lian Hong meninggalkan pesan kepada seorang kongcu bernama Cia Han Tiong...” “Sayalah Ciu Han Tiong,” kata Han Tiong cepat. Orang she Ong itu mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, kami pernah melihat kongcu ketika menjadi tamu mereka. Nona Ciu mengatakan bahwa ia pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan.” “Apalagi pesannya?” tanya Han Tiong, jantungnya berdebar girang mendengar bahwa tunangannya itu betapapun juga belum tewas! “Tidak ada apa-apa lagi, begitu meninggalkan pesan, ia lenyap begitu saja!” Orang she Ong itu bergidik. Mendengar suara orang itu dan melihat sikapnya yang ketakutan, Han Tiong mengerutkan alisnya. “Tapi... tapi ia masih hidup, bukan?” Dan betapa kaget hatinya mellhat orang itu menggeleng kepala. “Tidak tahu, kongcu. Entahlah, akan tetapi setelah bicara, ia menghilang begitu saja seperti... seperti setan...” Tentu saia hati Han Tiong terasa amat tidak enak. Akan tetapi dia tidak percaya kalau nona itu telah tewas dan arwahnya yang meninggalkan pesan. Tidak mungkin, sungguhpun dia sendiri merasa heran bagaimana nona itu dapat “menghilang”. Dia tahu bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang memiliki kepandaian silat yang lumayan. Mungkin saja nona itu, dalam kekhawatirannya ketahuan pasukan, meloncat dengan cepat dan oleh orang ini disangka menghliang. Betapapun juga, Lian Hong sudah meninggalkan pesan pergi ke Heng-yang. Dia harus pergi menyusul dan mencarinya! Maka tanpa banyak bicara lagi dia lalu menghaturkan terima kasih dan cepat pergi ke selatan, menuju ke kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan. Di kota ini dia bermalam di sebuah rumah penginapan kecil dan setelah berputar-putar selama tiga hari, akhirnya pada pagi hari itu dia melihat Lian Hong berjalan bersama seorang nenek memasuki pasar! Han Tiong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak langsung menegur, melainkan membayangi dan mengamati penuh perhatian. Dia melihat betapa sikap Lian Hong amat hormat terhadap nenek itu. Dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa nenek itu bukanlah orang sembarangan. Seorang nenek tua yang memiliki mata mencorong seperti itu, tubuh yang masih segar dan padat, memiliki gerakan yang demikian gesit dan memiliki wibawa besar yang tersembunyi di bilik kesederhanaannya, tentulah bukan orang biasa saja! Tadinya, ketika mendengar bahwa Lian Hong pergi ke Heng-yang, dia menaruh curiga. Jangan-jangan datuk dunia selatan, yaitu yang bernama Lam-sin dan katanya juga tinggal di Heng-yang, memegang peran dalam hilangnya Lian Hong. Maka kini dia amat berhati-hati. Siapa tahu nenek itu adalah seorang di antara anak buah Lam-sin! Dia harus mengetahui lebih dulu di mana nenek itu akan pergi bersama Lian Hong. Sementara ini, dia melihat bahwa Lian Hong tidak perlu dibela. Nona itu dalam keadaan sehat dan selamat, walaupun ada kedukaan membayang di wajahnya yang jelita. Kalau Lian Hong sama sekali tidak tahu bahwa Han Tiong berada di dalam pasar itu dan membayangi perjalanannya bersama gurunya, sebaliknya Nenek Lam-sin telah tahu sejak tadi! Tidak percuma nenek ini berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) dan menjadi datuk kaum sesat di wilayah selatan. Ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sikapnya selalu waspoda sehingga sedikit perubahan saja di sekitarnya ia sudah mengetahuinya sehingga adanya pemuda yang membayanginya itu tentu saja tidak terluput dari pengamatannya. Bahkan dengan sikap yang tidak kentara, ia audah dapat mencuri lihat wajah pemuda itu dan dapat menduga bahwa pemuda itulah putera Pendekar Lembah Naga, pemuda yang sering disebut-sebut oleh muridnya, yang bernama Cia Han Tiong! Bahkan sambil berbelanja, nenek ini telah dapat mengirim isyarat rahasia kepada anak buahnya! Jangan dikira bahwa nenek itu sama sekali tidak dikawal! Ke manapun ia pergi, tentu ada orang-orang Bu-tek Kai-pang yang siap untuk sewaktu-waktu menerima perintah ketuanya ini. Maka, tidak sukarlah bagi Nenek Lam-sin untuk menyampaikan perintahnya kepada anak buahnya yang mengemis di luar pasar dan segera anak buah ini sudah siap melakukan perintah yang hanya diberikan oleh nenek itu melalui gerakan-gerakan jari-jari tangan saja. Nenek Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong, ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju ke utara di mana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat. “Eh, kenapa kita melalui jalan ini, subo?” tanya Lian Hong heran. “Kau ikut sajalah, aku ingin mengambil jalan ini,” jawab nenek itu dengan suara biasa saja sehingga Lian Hong tidak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak subonya yang memang luar biasa itu. Akan tetapi, hati dara ini menjadl semakin heran ketika melihat bahwa subonya mengajaknya keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah barat kota Heng-yang! “Subo, kenapa kita memasuki hutan?” “Diamlah, engkau akan tahu sendiri nanti,” kata Nenek Lam-sin yang diam-diam memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang. Ia kagum sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga biarpun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri kalau tidak waspada dan sudah melihatnya sejak tadi, tentu tidak akan mendengar gerakan pemuda itu. Mereka berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong terkejut sekali akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata. “Mari kita melihat apa yang terjadi di belakang itu.” Lian Hong mengikuti gurunya kembali dan ketika mereka tiba di padang rumput, Lian Hong melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggauta Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong! Melihat pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, dan juga girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi dan iapun sudah menjerit dengan tangis, “Tiong-koko...!” Dan larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah lapangan. “Hong-moi...!” katanya dan menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis tersedu-sedu itu. “Tiong-ko... ah, Tiong-ko...!” Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya. Baru sekaranglah gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya, ia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada yang dapat ia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis itu. “Tenanglah, Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi... agaknya Thian sudah menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu.” “Lian Hong, ke sini engkau!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek Lam-sin. Lian Hong mengangkat mukanya dan berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan pemuda itu. “Subo, inilah Tiong-koko, dia... tunangan teecu itu...” “Hong-moi, siapa nenek itu? Subomu...?” Han Tiong bertanya heran. “Benar, Tiong-ko. Dia adalah... Lam-sin, penolongku juga guruku...” Bukan main kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan menjadi gurunya. “Hemm, Lian Hong, siapa menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?” Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat. “Harap locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.” “Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima terima kasihmu. Lian Hong tidak ada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajak bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!” “Ah, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding.” Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong menjura dan merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan. “Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, engkau sudah bersikap gagah-gagahan ketika berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?” Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak dapat mudah dibakar, karena memang pemuda ini sejak kecilnya sudah memiliki pembawaan yang bijaksana. “Locianpwe, di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apalagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga sudah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Pula, di antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?” “Hemm, begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!” “Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong. “Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!” Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya. “Plakk!” Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong dan ia tersenyum mengejek. “Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya. “Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.” “Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat. “Plak, plak!” Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sin-kang mereka seimbang. Terpaksa tadi Han Tiong menangkis karena serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya. “Begitu lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang. Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu. Dia merasa tidak enak sekali. Bagaimanapun juga, nenek ini telah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apalagi merobohkannya? Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main. Setiap pukulan nenek itu mengandung sin-kang yang amat kuat dan memiliki kecepatan seperti kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia telah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sin-kang ini, dan untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun. Akan tetapi, makin lama, gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini memiliki kelebihan dalam hal gin-kang. Tubuhnya berkelebatan seperti pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak memiliki gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul. Nenek itu berkelebatan di sekeliling dirinya menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sin-kang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini mengandung hawa sin-kang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga beberapa kali tubuh Han Tiong tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu! Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih mainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri. Betapapun juga, sikap Han Tiong yang tidak ingin mengalahkan ini merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah. Sebaliknya malah. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan setangguh ini. Andaikata dia membalas dan berusaha merobohkan lawan sekalipun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apalagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya! “Plakk!” Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci. “Ihhh...!” Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya. Akan tetapi, ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itupun tidak terluka hebat. Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Iapun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda dan tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas. Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya, dan biarpun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri. Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya dan benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong! Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang membiarkan rambut itu menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh! Han Tiong merasa serba salah. Mempertabankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Kalau melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan nenek itu sudah menyerang lagi. Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, kedua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat. “Desssss...!” Sekali ini, nenek yang tidak mengira akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh! Namun ia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat iapun meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih. Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena penyesalan ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu. “Bukk!” dan sekali ini Han Tiong terbanting keras setelah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan baru lega hatinya melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas. “Hi-hi-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan. “Desss...!” Tubuh nenek itu terpental dan ia terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru ia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang telah menangkisnya tadi. Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya.