“Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata laki-laki yang menangkis tadi. “Ayah...! Ibu...!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar. Kiranya yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka merekapun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan bersama Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula. Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini lalu melakukan penyelidikan di antana para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggauta-anggauta Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin. “Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur puteranya karena sejak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuhnya sehingga terkena pukulan lawan. “Ayah, locianpwe ini adalah Locianpwe Lam-sin yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong,” jawab Han Tiong. Sementara itu, Nenek Lam-sin telah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam ia merasa gentar juga. Kepandaian puteranya itu sudah hebat dan iapun tadi merasa heran mengapa pemuda itu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang baru ia tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan demikian berarti bahwa pemuda itu memang lihai sekali, dan andaikata melawannya dengan sepenuh hati, belum tentu ia akan dapat menang. Kalau pemuda itu saja sudah sedemikian lihainya, apalagi ayahnya dan ibunya ini. “Aih, kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Kami sudah lama mendengar kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan.” Nenek itu berkata dan kini ia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cia Sin Liong! “Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang amat menggirangkan hatiku.” “Huh, siapa sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?” Bhe Bi Cu berkata dengan suara menghina. Hati wanita yang keras ini sudah marah ketika tadi melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apalagi ketika mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah. Cia Sin Liong tidaklah segalak isterinya, akan tetapi tentu saja diapun tidak ingin berkenalan dengan seorang datuk kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka diapun membalas penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin. “Kami menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapapun juga.” Melihat sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengar suara orang menggereng marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga orang di antara mereka yang dianggap sebagai pimpinan. Jumlah para anggauta Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan di antara yang dua puluh empat itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama. Sebetulnya, dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan perkumpulan ini, membunuh ketuanya yang berjuluk Bu-tek Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Tanding), perkumpulan ini berjumlah benyak. Lam-sin muncul, membunuh banyak anggauta kai-pang, dan membunuh ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang, dipimpin oleh tiga orang kakek ini, takluk den menyerah. Melihat bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang baik, nenek itu menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan aturan-aturan dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh. Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya sehingga kepandaian mereka maju banyak sekali. Dan semenjak dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini benar-benar menjadi “bu-tek” (tanpa tending). Para pengemis inilah yart membuat nama Lam-sin terkenal tanpa Si Nenek itu turun tengan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu rata-rata berusia enam puluh tahun, den mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan tongkat akar bahar yang berada di punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka semua den yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan. Para pengemis ini amat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju den makmur. Maka, tadi ketika mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan Cia Han Tiong akan tetapi tidak berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka. Ketika ketua mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua mereka tentu akan dapat mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga itu demikian angkuh, merendahkan ketua mereka yang sudah bersikap manis, tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali. Mereka menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin memandang kepada mereka, seorang di antara mereka memberi isyarat dengan tangan minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum dan mengangguk sedikit, hampir tidak kentara. “Cia-taihiap, kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!” tiga orang itu berkata dan meloncat ke depan pendekar itu sambil mencabut senjata masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti tubuh ular itu. Bhe Bi Cu hendak maju dengan muka merah, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi tiga orang kakek itu. “Kami datang bukan untuk mengadu ilmu.” “Pangcu kami telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami.” “Kalau kalian penasaran, majulah!” kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan bersikap dingin. Keadaan menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian. Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum. Tiga orang pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, kemudian mereka mengangguk dan ada isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk menyerang berbareng. Mereka itu tentu saja sudah mendengar tentang nama besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini. Tiba-tiba mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khi-kang sehingga tempat itu tergetar dan bagaikan tiga ekor naga, mereka sudah menerjang dari tiga jurusan, menggunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian tubuh yang berbahaya dari pendekar itu. PENDEKAR Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang diantara lawan yang menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam perutnya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini, disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar dan tenaga sin-kang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali! “Thi-khi-i-beng! Simpan tenaga kalian...!” Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin, akan tetapi sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan pengerahan sin-kang, tiba-tiba tubuh mereka terangkat dan terlempar ke arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin! Lam-sin mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali. Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau menghendaki tadi tentu sudah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi ragu-ragu dan gentar hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat dengan pandang mata agar mereka mundur. Biarpun selama ini Cia Sin Liong telah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat diserang amarah, sekali ini mukanya agak merah dan dia berkata kepada nenek itu, “Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan teapi bukan berarti bahwa kami takut. Kalau engkau hendak mencari gara-gara dan penyakit, majulah!” Akan tetapi Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan biarpun belum tentu ia akan kalah namun di situ masih ada isteri pendekar itu yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia ketahui kelihaiannya. Tidak, kalau ia maju, biarpun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebib baik bersikap baik terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di fihak yang lebih lemah. “Tidak, Cia-taihiap, akupun tidak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Maafkan mereka ini,” katanya sambil menjura. “Kalau begitu, kami hendak pergi sekarang!” kata Cia Sin Liong yang memberi isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat itu. Lian Hong memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapapun juga, nenek itu pernah menyelamatkannya dari malapetaka yang lebih hebat daripada maut, dan melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak berani, ia merasa kasihan. “Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini tidak lagi menyebut subo. Nenek itu menarik napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih. Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi dan barulah di tengah perjalanan, keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggauta Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong menghela napas panjang. “Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi mengapa ia menjadi datuk kaum sesat?” Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru. “Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beritahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!” Kemudian, nenek itu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, ia merasa penasaran dan juga berduka. Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan, Han Tiong tidak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin. Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang amat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu. “Ayah dan ibu harap pulang dulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum bertemu dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!” “Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?” “Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, kalau tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Kita sudah berkumpul sekeluarga sekarang, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian.” “Maaf, ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimam nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku akan mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.” Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam merekapun bangga akan cinta dan setia hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus, “Ah, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?” Gadis itu sejak tadi menundukkan mukanya saja. Ia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapapun juga, ia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang amat menyayang adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas iapun menjawab, “Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya... dalam keadaan berkabung ini... saya... belum dapat berpikir tentang pernikahan...” Suami isteri itu menarik napas panjang dan merasa kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja telah kehilangan segala-galanya, orang tuanya, rumah dan harta miliknya. “Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menanti kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.” Maka berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga. *** Kita kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia berhasil mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, walaupun kemenangannya itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri ketika hendak dikeroyok. Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu kalau ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dicita-citakan ayahnya dahulu. Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya dahulu bahwa mendiang ayahnya mempelajari ilmu-ilmu yang ditulisnya dalam kitab-kitab itu dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi yang belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja. Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu, dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya. Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan dan kedinginan yang amat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia amat tergesa-gesa mencari tempat perlindungan dan dari bawah, dilihatnya sebuah mulut guha di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil mencapai guha itu dan setelah dia berada di dalam guha, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut guha sambil mengeluarkan suara mengerikan. Lewat kurang lebih satu jam, setelah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin memperhatikan guha yang telah menyelamatkannya itu. Guha itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia masuk ke dalam dan ternyata guha itu membelok ke kiri. Ketika dia masuk terus ke kiri, di sudut guha itu, dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan kedua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat. Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, kenapa tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itupun masih lemas, belum kaku, belum beku. Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walaupun amat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguhpun tiga perempat mati. Thian Sin segera mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah. Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenal bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan... guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinyapun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya! Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianowe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat. Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara, “Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku... hemmm...” Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lalu dihiburnya dengan pendapat bahwa itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu? Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai sebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah daripada hasil tanamannya sendiri. Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lainnya di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma inipun hanya menjadi pengetahuan mati belaka, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja. Orang sudah tahu bahwa menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan. Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Demikian seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat... Putusnya rantai ini adalah pada kita sendiri! Seseorang menghina saya. Itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah dan memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, dapat menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lain lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita. Akan tetapi, kalau orang itu menghina saya dan saya hanya mengamati saja penuh perhatian, penuh kewaspadaan, tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tidak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itupun pytus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita, inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya. Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri inipun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja agar kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan? Tidak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannnya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tidak disengaja untuk berbaik-baik, melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih kepada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih daripada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin. “Locianpwe, teecu mohon petunjuk...” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin telah bertemu dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri.” Kakek itu menarik napas panjang melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal. “Ah, apa artinya nama? Kalau orang-orang nacan aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?” “Ah, ada, lociahpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering. Kakek itu segera menyambar roti dan daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu dapat menghabiskan seperempat potong saja. Diapun menyerahkan guci air yang diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara. “Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau mendatangkan kehidupan lagi bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang amat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?” “Locianpwe, terus terang saja, teecu merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan selain mencari guru-guru yang pandai, juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.” Kakek itu tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha, akupun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu pertama di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).” Mendengar ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin berjumpa dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.” “Oho, sungguh menarik. Coba kauceritakan lebih jelas lagi, barangkali aku akan dapat menolongmu.” Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lalu bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata, “Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ah, hal itu mudah saja. Setiap orangpun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.” “Locianpwe, kalau begitu teecu mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong.” Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuahpun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering! “Mudah saja... ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau dapat memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?” “Untuk minta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari.” “Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?” “Teecu sudah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu.” “Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?” “Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih.” Kakek itu tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekalipun bisa mati! Tapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan guha ini, bersamadhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, dan mengulangi mantra, seperti yang akan kuajarkan kepadamu.” “Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?” “Bodoh, siapa pernah melihatnya? Bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia akan muncul.” Demikianlah, mulai saat itu, Thian Sin bertapa di dalam gua di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Bersamadhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan kepada banyagan seorang kakek yang sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, dan bibirnya terus sampai ke hatinya, membisikkan mantram terus-menerus, diulang-ulang. Mantram adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau yang dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang amat hebat bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apalagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri. Dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat “bertemu” dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk kepadanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga samadhi dengan jungkir balik. Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam guha itu, bukan hanya menyempurnakan latihannya atas ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya ketika melawan Pak-san-kui dan See-thian-ong. Di samping ini, diapun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni gua itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati. Enam bulan lewat dengan amat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan guha turun dari puncak. Akan tetapi, kalau orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran. Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah aikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek. Gerak-geriknya lebih halus daripada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja! Tujuan pertama adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu yang kini menjadi raja, Raja Agahai, adalah seorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja Agahai adalah seorang di antara musuh-musuh besarnya yang harus dibalasnya lebih dulu! Maka, tanpa ragu-ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara Tembok Besar itu. Dia tidak mau melewati Lembah Naga, melainkan mengambil jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah yang amat luas, melalui banyak padang pasir dan pegunungan, hutan-hutan lebat. Perjalanan yang amat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja. Di manapun dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat. Dia menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya. Karena itu, maka sebentar saja namanya menjadi amat terkenal sekali dan mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan Thian Sin memang pantas disebut Pendekar Sadis. Di luarnya, dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun, juga ramah-tamah gerak-gerik dan tutur- sapanya, amat tampan wajahnya. Juga suara suling yant ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati gadis yang manapun juga. Akan tetapi, kalau dia sudah turun tangan terhadap penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami malapetaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu cacad dan tersiksa hebat! Pada suatu hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi Ching-hai, setelah sepekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau yang juga disebut Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah. Di telaga itu, ketika dia pesiar sepekan lamanya, diapun menghajar banyak penjahat sehingga namanya menjadi semakin terkenal. Bahkan ketika dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis sudah mendahuluinya dan para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka dan nama itu sudah menimbulkan kegemparan. Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri, sungguhpun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya. Pada pagi hari itu, setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota Si-ning, Thian Sin lalu keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan seperti seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya. Ketika dia berjalan melalui sebuah gedung po-koan (bandar judi) di mana diadakan perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya dan membuatnya menahan langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan dan memandang penuh perhatian. Biasanya, Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu. Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang suka bermain curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tidak peduli karena kalau ada orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang itu sendiri. Sekarang, dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan seorang gadis cilik memasuki po-koan itu. Gadis itu usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu membujuk dan membentaknya, dan dari percakapan mereka, Thian Sin dapat mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja. Hatinya tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, setelah dua orang itu memasuki rumah perjudian, diapun lalu menyelinap di belakang rumah besar itu dan di lain asat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan saja. “Ayah, aku takut...” Dara remaja itu berbisik ketika ia diajak ayahnya memasuki rumah perjudian itu. “Hussshhh... tidak apa-apa, jangan takut.” “Ayah, aku takut, biar aku pulang saja. Ah, di sana banyak orang, semua laki-laki...” “Siapa bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan masuk penjara...” Dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping bukan ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya juling. Dia tersenyum melihat kakek itu dan menegur, “Eh, engkau sudah kembali, A Piang? Dan ini... ia inikah anakmu?” Senyumnya menyeringai dan matanya makin menjuling. “Benar, di mana cukong?” tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu. “Terus saja, dia sudah menanti di dalam kamarnya,” kata Si Juling menyeringai. Kakek yang bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar terdapat dua orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tidak peduli ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan ketakutan. “Siapa di luar?” terdengar suara berat di dalam kamar. “Saya... saya A Piang...” Kakek itu menjawab. “Hemm, sudah habis-habisan mencariku, ada apa?” tanya suara itu tanpa menyuruhnya masuk atau membuka pintu. “Saya datang... eh, mengantar anak perempuan saya...” Hening sejenak. Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang diantara dua penjaga itu. “A Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?” Seorang di antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, lalu menjawab, “Lumayan juga, loya. Masih muda sekali!” “Bagus. Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci,” terdengar suara itu. Sambil menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki sebuah kamar yang besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang menghisap huncwe (pipa tembakau) yang mengeluarkan asap tebal. Dia seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, bajunya yang tebal dan indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampak kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apalagi ketika dia memandang kepada gadis itu. “A Piang berapa banyak hutangmu kepada bandar?” Laki-laki itu bertanya, akan tetapi matanya terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian. “Empat puluh lima tail... loya...” “Hemm, dan engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?” “Saya... saya sudah memberi tahu pembantu loya... saya butuh enam puluh tail... dipotong hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi... dan biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan di sini selama satu bulan...” “Sebulan? Dan anakmu sudah mau?” Kakek A Piang menoleh kepada anaknya yang menunduk. “Kui Cin... kau dengar sudah... kautolonglah ayahmu, kau hanya bekerja di sini satu bulan lalu kujemput pulang, nak. Kaudengarlah dan taati semua perintah loya ini... maukah engkau menolongku, nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara...” Kui Cin, gadis itu, mengangguk. Tentu saja ia mau menolong ayahnya. Kalau cuma bekerja sebagai pelayan, apalagi hanya satu bulan, tentu saja ia sanggup. Sejak kecil ia sudah biasa bekerja keras. “Baiklah, ayah, asal sebulan kemudian ayah menjemputku di sini.” “Nah, anak saya sudah mau, loya. Ia anak yang berbakti dan baik...” “Bagus, jadi aku harus menambah lima belas tail. Nih, terimalah!” Majikan rumah judi itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil oleh Kakek A Piang. “Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja di sini. Ia harus mentaati semua perintahku. Ia tidak boleh membantah dan harus melakukan segala pekerjaan yang kuperintahkan. Mengerti?” “Mengerti, loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?” “Baiklah, ayah. Aku akan bekerja keras di sini.” “Nah, pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!” kata majikan itu. A Piang lalu menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang sudah gila judi itu tidak membawa sisa uang itu pulang, melainkan langsung saja memasuki ruangan lebar di mana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi itu. Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan. Akan tetapi, segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lalu lambat laun menjadi kebiasaan yang tak mudah dilepaskan... Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan lupa segala. Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang paling besar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk mengejar kekalahannya itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya dapat diraihnya kembali. Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk menambah kemenangannya itu sebanyak mungkin. Dan di dalam perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembangbiakkan menjadi amat luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besarpun akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, biarpun jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat dua orang teman baik itu menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah. Judi memupuk iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri. Betapa banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan karena kepala keluarganya kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang dan jahat setelah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus. A Piang adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia telah menjadi setan judi yang malas untuk bekerja lagi. Kui Cin berusaha sedapat mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan mereka. Akan tetapi, kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang dan akhirnya, semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi. Perdagangan itu terhenti dan kini, perabot-perabot rumah mulai tanggal satu demi satu, sampai akhirnya rumahpun digadaikan! Mula-mula dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah biasanya racun mulai menguasai manusia dalam perjudian. Kemenangan merupakan pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan, merasakan masuknya uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat, hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang memperoleh uang yang amat mudah. Setelah makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah kalah. Apapun juga akan dilakukan untuk memperoleh modal berjudi lagi, karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia akan menang besar. Namun berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia terlibat hutang dengan bandar judi dan bingung ketika ditagih oleh tukang pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi. “Kalau sudah tidak punya apa-apa kenapa berani berjudi terus dan berani hutang?” Demikian tukang pukul mengancamnya. “Kalau engkau tidak mampu mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau anak dipukuli setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan dalam penjara!” Tukang pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang langganan lama dari rumah perjudian itu. “Aku... aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang kosong sudah kugadaikan...” A Piang meratap. “Engkau bisa pinjam dulu dari seseorang keluargamu.” “Aku tidak mempunyai keluarga...” “Mustahil orang tidak mempunyai keluarga!” “Aku hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuanku... ah, kasihanilah aku, berilah kesempatan...” “Seorang anak perempuan? Berapa usianya?” Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik. “Empat belas... lima belas tahun.” “Bagus, engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!” kata si tukang pukul mata juling itu. Sepasang mata A Piang terbelalak. “Apa? Menggadaikan anak perempuanku? Jangan bicara sembarangan engkau!” “Siapa bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikannya untuk selama satu bulan, atau menyewakan selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi.” “Apa... apa maksudmu?” “Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar... eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan.” “Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?” “Berapa kau butuh?” “Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan di sini... anakku tentu mau menolongku, dia anak baik...” “Kalau begitu, bawalah besok pagi-pagi anakmu itu ke sini menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang.” Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya. A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini sudah kecanduan judi, dan di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan ada timbul pikiran bahwa kalau anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentu dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu! Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan hal ini bukan dongeng belaka. Bahkan banyak sudah terjadi orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja, untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat. Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu : Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini? Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk menangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalan dan menang. Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lahi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnyam, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan itupun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di manapun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga nampak seluruhnya, latar belakangnya, sebab-sebabnya. Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Ia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan mahluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Ia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan iapun siap untuk melakukan pekerjaan betapa beratpun untuk membalas budi. “Siapa namamu?” terdengar pria itu bertanya. Kui Cin sejak tadi berdiri sambil menunduk, dan kini ia memberanikan diri menjawab lirih. “Nama saya Kui Cin, loya.” “Coba angkat mukamu dan pandang aku.” Kui Cin merasa malu-malu dan takut. Lebih baik dia disuruh bekerja berat daripada menerima perintah ini. Akan tetapi iapun segera mengangkat mukanya memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang pria yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar seperti menelanjanginya. “Ke sinilah kau, Kui Cin.” Gadis itu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, ia seperti mendapat firasat buruk, seolah-olah merasa ada bahaya mengancamnya. Setelah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, ia berhenti dan menunduk. “Majulah mendekat.” “Di... di sini saja, loya...” “Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apalagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!” Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, iapun melangkah maju beberapa tindak sampai ia berdiri dekat di depan laki-laki itu. “Engkau manis...!” kata orang itu sambil menyentuh dagunya. “Ah, loya...!” Kui Cin berkata dengan suara gemetar. “Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!” Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Lalu ia mundur dan menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak...! Tidak mau...!” Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum. “Hemm, ingat engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?” “Tapi... tapi... saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apapun akan saya lalukan, bukan... bukan ini...” “Taat tetap taat, dan inipun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!” “Tidak...! Tidak...!” “Hemm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apapun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!” “Tidak...! Ohh, ayaaahh...!” Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu. Akan tetapi baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu berdiri di situ dengan sikap mengancam. “Tutup pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta main kucing-kucingan!” kata si majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja. Kemudian sambil tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin. Gadis ini menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu sudah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti ini menambah gairahnya. Kui Cin menjadi pucat mukanya dan ia berusaha lari terus dan mengelak dari tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya semakin gembira. Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itupun sudah cukup bising dengan suara orang. Hanya dua orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu, seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran yang mengasyikkan dan menggembirakan pula. Biasanya, tidak akan lama gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu akan mampu mengelak terus. Mereka itu yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar gadis itu menjerit, mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, dan suara-suara lain yang cukup menimbulkan gairah mereka. Akan tetapi, kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu, malah kini terdengar suara majikan mereka mengeluarkan jerit mengerikan. Dua orang tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai, pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah, dan tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi tubuhnya, dan mulutnya tersenyum. Ketika mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol di bagian dahinya. Melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan main karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya. Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding dan kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia berseru, “Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!” Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan dan tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah membuat mereka penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiripun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya roboh terguling! “Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang amat kejam!” Pemuda itu mencokel dengan kakinya dan sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian nampak sinar berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu. Darah bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, mandi darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu! Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tidak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya gerakan golok itu, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak. “Memetik buah daripada kejatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang kauperkosa di tempat terkutuk ini?” Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan. “Taihiap... ampunkan saya... ampunkan saya... engkau boleh mengambil berapapun banyak uangku, tapi jangan... jangan membunuhku...” Dan seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan. “Pendekar... Pendekar Sadis...!” Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan. “Celaka, mati aku...” tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah. Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang amat kejam. Dan tadi dia sudah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin! “Ampun... ampunkan...” Dia meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum. “Betapa seringnya engkau sendiri mendengarkan ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kauperkosa, dan pernahkah engkau mengampunkan mereka? Engkau malah semakin bergairah dan semakin senang kalau mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kauterima!” Golok itu menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar dan majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok dan buntung! Tentu saja kecil sekali harapan hidup lagi bagi orang ini. “Kau keluarlah dari sini dan pulanglah.” kata Thian Sin kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan dan karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu dan dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi! Sebelum tiba di ruangan itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak, “Siapa engkau? Apa yang terjadi?” Dan seorang diantara mereka telah lari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka diapun berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata. “Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!” teriaknya. “Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka telah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!” kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum. “Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?” “Bunuh penjahat ini!” teriak seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin. Pemuda ini tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu. Dengan tenang-tenang saja dia mengelak ke kanan kiri sehingga golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan tetapi di lain saat terdengar teriakan susul-menyusul dan lima orang tukang pukul itupun sudah roboh semua. Dan, sebelum mereka sempat bangun berdiri, Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan goloknya membuntungi semua tangan mereka. Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar. “Pendekar Sadis...!” “Pendekar Sadis...!” Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Gempar di situ. Semua perjudian berhenti dan para tamu mau penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Dan sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu. Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu demi satu, dan sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, citau telinga. Pendeknya tidak ada seorangpun dari mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan. Dalam waktu singkat saja pertempuranpun berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih dan memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, lalu terdengar dia membentak halus. “Mana yang bernama Kakek A Piang? Majulah ke sini!” A Piang yang sejak tadi mepet di tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut. “Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!” Pedangnya bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi, “Bawa uang ini untuk modal bekerja, dan ajak anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubiking buntung!” A Piang tidak dapat mengeluarkan suara karena seluruh tubuhnya menggigil, dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, dan dia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar. “Semua orang boleh pergi!” kata pula Thian Sin dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar. Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, menyimpannya dalam bungkusannya sendiri karena dia teringat bahwa bekalnya tinggal sedikit, kemudia dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa para tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan. Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak nampak lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebenarnya dia tidak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu. Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat. BIARPUN rumah-rumah judi itu mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam “pajak” kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam “perlindungan”. Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah. Kalau para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibuyangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tidak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanya tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut. Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar akan peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding. “Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!” kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini lihai sekali ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya berupa jarum-jarum beracun. “Nanti dulu, kita harus berhati-hati,” kata Hui-to Ji Beng Tat. “Menurut berita yang kuterima dari barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu kabarnya telah dibasmi olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan.” “Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,” kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang. “Tapi, Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir gagal,” kata orang pertama Si Kecil Bongkok. “Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, merekapun dengan mudah jatuh dalam rayuan Ang Bwe-nio. Kalau sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?” kata pula Si Tampan. “Sebaiknya kitapun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat segera turun tangan,” kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini. Pemilik rumah penginapan segera dihubungi dan diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu telah dipersilakan keluar dan tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu. Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan diapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan, kalau perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya. Sore itu, setelah mandi, dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata, “Taihiap, kami semua telah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini.” “Ah, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,” jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan. Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya daripada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan dapat bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk dan lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah. Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat, “Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang amat baik. Oleh karena itu, perkenalanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum.” “Ah, membikin repot saja...” kata Thian Sin, akan tetapi hatinya sudah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan cekatan mereka membersihkan meja dalam kamar itu dan mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampak seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut. Tak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum dan membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil. Dengan langkah lemah gemulai ia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan. “Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, termasuk keponakan saya, merasa kagum kepada taihiap yang sudah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya menemani taihiap.” Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi. Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itupun tersenyum dan berkata, “Taihiap, silakan makan.” Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin. “Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap...” “Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak senang makan sendirian saja. Mari, kautemani aku makan. Duduklah, nona.” “Ah, mana pantas? Aku mewakili paman sebagai tuan rumah...” kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu. Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walaupun tak dapat dibilang mata keranjang. Tidak semberangan wanita dapat menarik hatinya, walaupun dia selalu awas den suka memandang wajah yang cantik manis. “Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, akupun tidak dapat menerima suguhan ini.” “Aih, mengapa taihiap begitu...?” Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh. “Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini.” Dengan tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan merekapun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpit, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin. Pemuda inipun tidak mau kalah, mengambil daging-daging kecil dimasukkan ke dalam mangkok depan wanita itu. Merekapun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang-kadang saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan. “Siapakah nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang...” “Namaku Ang Bwe-nio, taihiap. Dan nama taihiap siapakah? Aku hanya mendengar sebutan orang yang mengerikan, Pendekar Sadis...” Thian Sin tersenyum. “Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri... ah, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis.” “Eh, mana bisa begitu?” Wanita itu tertawa manja. “Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu menemani aku?” “Aku... aku bukan gadis, aku... seorang janda...” “Ahhh...!” Hati Thian Sin berdebar girang. Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tidak sepatutnya seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga! “Kiranya nyonya seorang janda... hemm, masih begini muda...” “Usiaku sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua...” “Siapa bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!” “Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging pilihanku,” wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin! Tentu saja pemuda ini tertarik sekali dan sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Diapun membalas dan tak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing. Sikap mereka menjadi semakin berani, dan ketika Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka saling berpegang tangan dan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram. “Bwe-nio, engkau cantik sekali!” Thian Sin memuji sambil mengelus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis. “Dan engkau sungguh gagah dan tampan, taihiap...” Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sesungguhnya ia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa ia “dalam tugas” sehingga ia tidak dapat mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini. Thian Sin sudah setengah mabuk, bukan mabuk arak karena dengan kekuatan dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keraspun. Akan tetapi dia mabok akan kecantikan dan rayuan wanita itu. Betapapun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia memiliki kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini jatuh dan merasa tertarik sekali. Apalagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengannya. Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang. “Eh, kenapa taihiap?” “Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu kalau engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit,” kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu. Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing dengan kemesraan-kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi ia demikian pandainya sehingga mendengar permintaan Thian Sin ini, ia dapat bersikap seperti seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu. Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Ia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut, “Iiiihhh... taihiap... mana bisa begitu...?” “Kenapa tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah...” “Aihhh... aku... aku... ah, malu dan takut... aku tidak mengerti...” “Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang kumaksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, akupun tidak akan mau menerima pemberianmu.” “Aihhh... taihiap...” Ang Bwe-nio mengeluh, akan tetapi kemudian iapun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya dengan bersuara “mmmmm” dan menutup kedua matanya. Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja dua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat dan penuh nafsu. Dan di lain saat mereka telah saling peluk, saling rangkul dan saling cium. Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya dan memejamkan kedua matanya, akan tetapi membalas belaian dan ciuman pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi, semua itu sebenarnya hanya permainan belaka darinya, karena dengan cerdik sekali, selagi Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya di dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam cawan arak pemuda itu! “Kita pindah ke pembaringan...” Thian Sin berbisik di dekat telinga kiri wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu. “Baik, taihiap, aku... aku mau... aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu... ohhh... tapi nanti dulu... aku haus, mari kita minum dulu...” Thian Sin tersenyum dan melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang tinggal setengahnya itu sampai penuh. “Minumlah, taihiap, setelah itu baru kita...” Pandang matanya penuh daya pikat. “Katamu tadi engkau haus, engkau minumlah.” Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak. “Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja...” Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu, Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik dan kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya. Setelah menuangkan air teh, wanita itu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu. “Taihiap.... kokoku yang tampan... marilah, mari kita minum dulu, setelah itu baru... ehmmm...” Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti. Senyumnya makin melebar ketika ia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, ia sendiripun hanya mencucuk sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih, “Ke sinilah... sayang, ke sinilah...” Dan tergulinglah pemuda itu ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan! Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang kepada wajah pemuda itu yang memejamkan mata, lalu ia menunduk dan mencium bibir pemuda itu. “Sayang... kau ganteng... terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri terbunuh...” Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang sedang tidur terlentang itu. “Wuuuuuttt... cesss...!” Sepasang mata yang indah itu terbelalak ketika melihat betapa pisau belatinya “menembus” tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itupun lenyap. “Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, dihuni oleh hati yang palsu.” Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius. Lalu siapa tadi yang rebah kemudian “menghilang”? Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu? Obat biusnya itu telah teruji, jangan hanya seorang saja, biar diminum oleh tiga empat orangpun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi ia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thlan Sin! Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau di pinggangnya. Ketika Thian Sin memeluknya dan menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat di pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai dan meraba-raba tubuh wanha itu. Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu, biarpun kelihatannya dia dimabuk bafsu berahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, ketika Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakan untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir dan wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja. “Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya? Hendak membunuhku?” Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin seperti menusuk jantung terasa oleh Ang Bwe-nio. Wanita itu menjadi ketakutan, ia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. “Taihiap... ampunkan aku...” Thian Sin menyambar pisau yang amat tajam itu dan tersenyum. “Mengampunkanmu? Hemm... engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!” Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwenio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah ia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawanpun tidak akan ada artinya sama sekali. “Ampun, taihiap...” Suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam. “Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapa yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan ini? Butarkah dia itu pamanmu?” “Bukan... bukan dia, dia hanya terpaksa, seperti aku... diapun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai Hui-to Ji Beng Tat...” “Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa mereka menggunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan membunuhku.” “Dapat... dapat taihiap...!” Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya. Memang tadinyapun ia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Ia tahu bahwa mereka berlima itu sudah siap berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga kalau ia gagal. Dan sekarang benar saja, ia telah gagal. Akan tetapi, ia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini. Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini sudah merasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja ia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini. “Panggil mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius. Kalau saja ia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tidak terkunci itu. Akan tetapi, ia tahu bahwa kalau ia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu ia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Ia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian ia bertepuk tangan tiga kali berturut-turut. Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamarpun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang). “Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kaubereskan sekali?” kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan. Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala. “Tidak... tidak berhasil... dia... dia...” Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan maing cepat mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pendekar itu tertawa dan menutupkan pintu, lalu menguncinya, dengan tenang sekali. “Bagus, kalian berlima audah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik.” Thian Sin menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu bersiap-siap menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku dekat meja, mengisi cawan dengan arak dari guci dan meminumnya. “Nah, kita sekarang bisa bicara. Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan membunuhku, akan tetapi ia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian bilang sekarang?” “Pendekar Sadis, ia boleh jadi gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal,” kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram. “Begitukah? Dengan golok terbangmu itu? Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa kalian hendak membunuhku?” “Karena engkau telah mengacau wilayah kami!” “Hemm, tahukah kalian siapa aku?” “Pendekar Sadis!” “Ya, pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan nyawa. Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi.” “Keparat sombong!” teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja di sudah menggerakkan tangannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun yang disambitkan dari jarak dekat. Thian Sin tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang mungkin sekali beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu. Semua jarum runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang mengenai tubuhnya. Melihat ini, Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, akan tetapi kini pendekar itu telah bangkit dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut pedangnya, menyambutnya dengan tusukan kilat. Namun, Thian Sin tidak mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang itu ditangkap begitu saja! Melihat ini, tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya seperti terjepit baja, sama sekali tidak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara “krek” dan pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan. Pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat dan tiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup. Kedua tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itupun beterbangan terlepas dari pegangan masing-masing. Mereka itu adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ditangkis dengan kedua lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu mempertahankan senjata masing-masing. Thian Sin lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi, pisau yang dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya lagi, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat menyambar leher Si Kecil Bongkok. Si Kecil Bongkok ini berusaha mengelak, namun kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin! Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya sehingga begitu leher itu terbabat putus tubuhnya terjengkang dan kepalanya tertinggal di tangannya, dijambak rambutnya! Sungguh mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher berlubang dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri Thian Sin! Ang Bwe-nio menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lalu dengan lemas ia menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka sudah menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher. Orang ke dua berusaha menangkis, namun tangkisannya tembus dan leher itupun terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan tetapi sebelum jatuh ke atas tanah, sudah disambar oleh tangan kiri yang memegang kepala pertama tadi. “Bwe-nio, kaupeganglah dulu kepala-kepala ini!” Thian Sin berseru dan melemparkan dua buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan. “Ayaaaaauuuwww...!” Bwe-nio menjerit dan dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar dari kepala itu. Tiga orang yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang lagi kehilangan kepala mereka melayang ke atas pembaringan, membuat Ang Bwe-nio hampir pingsan melihatnya. Tinggal Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok besarnya. Diapun sudah ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang seperti beterbangan haus darah dan mencari kepala itu. Tiba-tiba Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya terkenal di daerah itu. Akan tetapi, senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Dengan menangkis dengan tangan kirinya, semua golok itu runtuh dan pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat telah mempergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian Sin, “Pengecut, hendak lari ke mana kau?” Dan pemuda ini sudah melemparkan pisau rampasannya yang meluncur cepat sekali. “Creppp...!” Pisau itu menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, di tengkuk Hui-to Ji Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh, Thian Sin sudah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil, menggerakkannya sedemikian rupa sehingga ketika tubuh itu roboh, kepalanya tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus! Ang Bwe-nio sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup ia hanya dapat memandang kqada Thian Sin yang kini melangkah menghampirinya sambil tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tidak terkena darah, demikian pula pakaiannya, sedikitpun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda ini. “Nah, sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!” kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking takutnya. “Wajahmu cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu atau tidak!” Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak menusuk. Ang Bwe-nio menjerit. “Ampun... jangan... bunuh aku...” “Hemm, engkau begitu sayang nyawamu? Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus lenyap!” Tiba-tiba nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu telah buntung dan lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri. Sambil mendekap mukanya yang berdarah, wanita itu berlari keluar dari kamar itu, tidak peduli lagi apakah ia akan dibunuh kalau lari keluar. Sambil tersenyum, Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan diapun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima batang tubuh tanpa kepala itu. Pemilik rumah penginapan dan para pembantunya berada di ruangan depan rumah penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari-lari keluar menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari tangannya. Dan mereka itu terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang mengejarnya. “Dukkkk!” Kepala yang terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol dibantam kepala lain itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lain di atas meja penerima tamu, kemudian diapun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Peristiwa ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal. Semua orang bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini dan terutama sekali para penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan sampai bertemu dengan pendekar itu, juga banyak penjahat yang mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya dan membalas semua kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat. *** Ada perbedaan besar antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang kini mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya, menjadi rakyat yang gagah dan raja itu selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja berhasil mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Dan biarpun kekuasaannya muntlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat kepadanya, Raja Sabutai tidak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tidak pernah mengejar kesenangan diri sendiri dan mengorbankan rakyatnya. Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewah dan senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu berahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya. Diam-diam, rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini memanjakan pasukannya dan biarpun dia tidak mempedulikan rakyatnya, namun dia bersikap royal terhadap pasukannya. Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian, terdiapat perpisahan antara rakyat dan tentara. Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa memiliki pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Kini, rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut karena biasanya, setiap berdekatan atau berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemui kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian. Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya. Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghenraki kehidupan yang layak dan kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa. Keadaan seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah dan kekuasaannya terhadap suku-suku bangwa lain tidak lagi seperti dahulu ketika masih dipimpin Raja Sabutai. Kini, suku-suku bangsa lain mulai bangkit, apalagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri menjadi bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat perbatasan selatan, tidak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu. Puteri Khamila, bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena permaisuri mendiang Raja Sabytai ini merupakan satu-satunya orang yang berani mencelanya, menegur dan menentangnya, apalagi ketika pada suatu hari Puteri Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila. Puteri yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dipenjarakan! Para komandan tua dan pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini, merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorangpun berani menentang keputusan Raja Agahai. Juga rakyat yang mencinta sang puteri ini hanya dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara, masih ingat akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri inipun diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlalu menderita sengsara. Pada waktu itu, Puteri Khamila telah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua ini siang malam hanya berdoa untuk mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw, yang tidak pernah didengar beritanya selama belasan tahun itu. Tak seorangpun yang berani mengabarkan kepadanya bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang amat dicintanya, telah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim roleh Raja Agahai. Juga politik Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak. Mengharapkan bantuan pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, ia rela untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu kerajaan itu. Dalam keadaw seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dan Kerajaan Beng, maka banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan ke situ untuk berdagang. Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya, menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari utara, seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang berharga, dan sebagainya lagi. Perdagangan ini amat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak pedagang yang datang menyeberang Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan Thian Sin karena dia dapat dengan mudah memasuki pintu gerbang kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikitpun. Marah sekali hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara. Bukan dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, melainkan mendiami sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam dingan ketat. Sang puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tidak pernah diperbolehkan keluar sehingga melewatkan penghidupan yang amat kesepian, hanya dilayani oleh dua orang pelayan yang sudah tua pula. Thian Sin maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentera. Pula, kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andaikata dia berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya. Maka diapun segera mempergunakan akal. Dia melihat betapa semua pejabat dan pegawal pemerintah kini mudah sekali makan sogokan. Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal untuk keperluan itu. Make diapun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila. Pada waktu itu, orang-orang Hen yang berdatangan di negeri itu dipandang dengan hormat, tentu saja karena Raja Agahai telah menyatakan tunduk kepada Kerajaan Beng. Oleh karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan, agar dia boleh menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkgn kecurigaan melainkan keheranan. “Sobat, mau apakah engkau hendak menghadap sang puteri?” tanya komandan jaga. “Aku membawa beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera dan permata yang tentu akan disukai oleh seorang puteri.” “Ah, akan tetapi sang puteri tidak akan datang membelinya! Beliau berada dalam penahanan, tidak mempunyai uang untuk membeli barang mahal,” bantah si penjaga dengan heran. “Tidak bisa belipun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil melihat sekali wajah beliau.” “Ah, orang muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap. Biar kulaporkan dulu apakah beliau bersedia menerimamu.” Kepala jaga itu lalu masuk dan melaporkan. Puteri Khamila merasa heran sekali mendengar bahwa ada seorang Han, seorang pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Ia tidak mempunyai uang, dan pula, untuk apa ia membeli barang-barang indah? Akan tetapi, Puteri Khamila bukan seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, iapun memperkenankan orang muda itu datang menghadap. Ketika Thian memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja mengenal neneknya. Biarpun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu ketika dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu. Nenek itu sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi kulit itu masih halus dan sikapnya kelika duduk di kursi itu seperti sikap seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, yang berada di situ hanya dua oran pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi. Ketika dengan perlahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi keraguan. “Siapakah engkau...?” Suara itu agak gemetar dan penuh harap dan puteri itu berbahasa Han yang cukup baik, “dan apa maksudmu datang menemui aku?” Thian Sin merasa terharu sekali dan dia berkata dengan halus, “Apakah saya dapat bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?” Puteri Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu mmgangguk. “Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia dan para penjaga itu betapapun juga tidak berani melakukan pengintaian. Bicaralah!” Thian Sin melangkah maju, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata dengan hati terharu, “Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin, putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai.” “Oohhh... ah, sudah kuduga... ah, wajahmu begitu sama dengan dia...! Ah, cucuku, ke sinilah... ke sinilah...” Thian Sin maju mendekat dan nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak. Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata, “Ah, betapa bahayanya... bagaimana engkau dapat menyelundup ke sini, cucuku? Ah, ketika engkau ke sini dahulu, engkau masih kecil... tapi wajahmu mirip benar dengan ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku... aku...” “Saya sudah tahu segalanya, nek.” “Dan mana ayahmu? Ibumu? Kenapa selama ini mereka tiada berita?” Thian Sin mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu akan malapetaka yang menimpa ayah bundanya itu, dan hatinya makin sakit terhadap Raja Agahai. “Maaf, nek, saya membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku... mereka sudah tewas...” “Ahhh...?” Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar menjeritnya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan merangkul neneknya. Nenek itu menangis sambil menyandarkan mukanya di dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh air mata. Thian Sin diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur neneknya di saat itu tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan neneknya menangis sepuasnya. Dan memang, Puteri Khamila mengeluarkan semua perasaan dukanya yang ditahan-tahan di waktu itu. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu. Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua harapannya. Akhirnya nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya, “Oguthai... anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu... lalu siapakah yang akan datang untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat kita dari si lalim itu...” “Jangan khawatir, nek. Saya mewakili ayah ibu datang ke sini justeru untuk keperluan itulah. Sayalah yang akan menghancurkan Agahai berikut kaki tanganya, karena kematian ayah ibu juga sebagian adalah perbuatan Agahai dan kaki tangannya.” Seketika nenek itu menjadi marah dan lupa akan kedukaannya. “Ahh, keparat! Si bedebah yang tak mengenal budi! Dia sudah diangkat menjadi raja, kini bertindak kejam! Ceritakanlah, bagaimana terjadinya sampai ayah bundamu tewas?” Nenek itu duduk kembali, tangisnya sudah berhenti dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian Sin bercerita tentang kematian ayah bundanya yang dikeroyok oleh banyak pasukan, yaitu pasukan Beng dibantu oleh orang-orang Agahai dan orang-orang dari beberapa tokoh datuk kaum sesat. “Saya telah mempelajari limu sebanyak-banyaknya, nek. Dan sekarang tibalah waktunya bagi saya untuk membasmi musuh-musuh yang telah menewaskan ayah ibu, dan pertama-tama saya akan membasmi Agahai!” “Akan tetapi, engkau hanya seorang diri dan kedudukannya amat kuat, dia memanjakan pasukan sehingga pasukannya amat taat kepadanya. Tak mungkin engkau menentang secara berterang begitu saja...” “Karena itulah saya menjumpai nenek, untuk mohon petunjuk.” “Bagus, itu namanya bekerja dengan teliti dan tidak sembrono. Nah, dengarlah baik-baik, cucuku. Biarpun kekuasaanku telah habis sama sekali, akan tetapi sesungguhnya sebagian besar dari pejabat tua masih setia kepadaku, den hanya karena takut kepada Agahai sajalah mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ada seorang panglima tua yang dahulu amat setia kepada kakekmu, dan sekarang dia hanya diberi jabatan sebagai menteri urusan hiburan. Dia itu amat bijaksana dan cerdik. Kau pergilah kepadanya den bekerja sama dengan dia, tentu dia mempunyai jalan yang baik. Tunggu, kubuatkan surat untuknya.” Nenek itu lalu menuliskan huruf-huruf di atas saputangan putih dan memberikan surat itu kepada Thian Sin. Setelah diberi tahu tentang nama dan tempat tinggal menteri hiburan itu, dan setelah diberi nasihat-nasihat oleh neneknya, juga diberi sebuah kalung peninggalan Raja Sabutai yang dikalungkan di leher Thian Sin, pemuda itu lalu keluar meninggalkan rumah tahanan itu dengan hati lapang dan penuh harapan. Tadinya dia sendiri memang bingung den tidak tahu bagaimana dia akan dapat membalas dendam kepada Raja Agahai, akan tetapi kini terbukalah jalan ydng luas baginya. Dengan mudah dia dapat mengunjungi Abigan, yaitu menteri urusan hiburan, seorang tua yang dahulu pernah menjadi panglima yang setia dari Raja Sabutai. Hanya karena bekas panglima ini terkenal dan dikagumi para tentara sajalah maka Agahai masih memakainya dan diberi kedudukan yang tidak penting, yaitu menteri urusan hiburan. Dia mengurus apabila kerajaan mengadakan pesta-pesta, menyambut tamu-tamu den sebagainya. Ketika menerima kunjungan Thian Sin, tadinya Abigan mengira bahwa Thian Sin seorang pemuda biasa dari selatan yang datang bertamu ke kerajaan kecil ini, akan tetapi begitu Thian Sin menyerahkan surat dari Nenek Khamila, menteri itu terkejut. Apalagi membaca surat perkenalan itu yang menyatakan bahwa pemuda ini adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, dia terkejut, terharu dan juga girang. Segera diajaknya Thian Sin ke sebelah dalam, pemuda ini diberi kamar dan kedatangannya dirahasiakan. Dengan cepat Abigan mengadakan kontak dengan kawan-kawan yang sehaluan, yaitu yang menentang Raja Agahai dengan diam-diam. Mereka berdatangan ke rumah menteri hiburan ini dan diperkenalkan dengan Thian Sin. Mereka lalu mengadakan rapat rahasia dan mengatur rencana untuk “memasukkan” Thian Sin ke dalam istana, bahkan diberi akal agar pemuda itu mendapat kepercayaan dari Raja Agahai. Thian Sin memperoleh banyak keterangan tentang Raja Agahai dalam rapat itu. Dia mendengar bahwa raja itu sebenarnya hanya seorang yang lemah, dan yang menguasai raja itu adalah seorang Koksu yang bernama Torgan, seorang Mancu yang amat cerdik dan juga pandai ilmu silat dan ilmu gulat. Torgan inilah yang mengatur segala-galanya dalam pemerintahan. Torgan ini pula yang membikin mabuk Raja Agahai dengan segala macam kesenangan, terutama wanita-wanita. Selir paksaan dari Raja Agahai amat banyak, tak terhitung lagi banyaknya. Akan tetapi, dari sekian banyaknya selir, baru seorang saja yang berhasil mempunyai keturunan, seorang anak laki-laki yang baru terlahir sebulan yang lalu. Dan di antara para selirnya, yang paling dikasihi adalah seorang selir berbangsa Biaw, justeru bukan selir yang melahirkan anak. Semua ini dipelajari Thian Sin. “Kebetulan sekali, minggu ini pesta besar-besaran oleh keluarga raja untuk merayakan usia sebulan dari pangeran tunggal itu,” kata Menteri Abigan. “Ini merupakan kesempatan baik untuk memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Sri Baginda. Akan tetapi, sebagai apa? Sebagai seorang pedagang muda? Kurang tepat dan tentu akan menimbulkan kecurigaan Koksu Torgan yang bermata tajam dan amat cerdik itu. Andaikata sebagai anak keluargaku dari Mancu dan menyamar sebagai pemuda Mancu, bahasa Ceng-kongcu tentu akan ketahuan, karena kaku. Ah, kita harus berhati-hati, terutama sekali terhadap Torgan yang cerdik. Jangan sampai sebelum tujuan tercapai, kita gagal di tengah jalan.” “Aku ada akal!” kata Thian Sin. “Bukankah di istana, akan diadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran? Nah, bagaimana kalau taijin memperkenalkan aku sebagai seorang pemain sulap?” “Tukang sulap? Apakah kongcu dapat bermain sulap? Hati-hati, Torgan seorang yang pandai sekali, tidak mudah ditipu.” “Harap cu-wi lihat, kalau kedua tanganku berubah menjadi ular seperti ini, apakah dia belum percaya bahwa aku seorang tukang sulap?” Tiba-tiba Thian Sin menggerakkan kedua lengannya dan... semua orang yang hadir dalam rapat itu berseru kaget karena kedua lengan pemuda itu benar-benar telah berubah menjadi ular yang menggerakkan lidah keluar masuk dan menggeliat-geliat mengerikan. “Bagus! Sulap yang mengagumkan!” kata Abigan dengan kagum. Thian Sin tertawa, menurunkan kedua lengannya lagi dan lenyaplah ular-ular itu. Ini hanya sulap biasa saja. Aku masih mampu mainkan suling dan menyanyikan sajak-sajak dan tentang permainan sulap lain, masih banyak macamnya. Misalnya ketrampilan tangan seperti ini!” Thian Sin memegang kedua sumpitnya dan dengan sumpit itu dia melemparkan mangkok yang penuh sayuran ke atas. Mangkok itu melayang ke atas disusul oleh mangkok ke dua yang juga penuh sayur. Dan dia menerima dengan dua batang sumpit itu. Dua batang sumpit itu tepat menerima dua buah mangkok sayur, menyangga di bawahnya dan dengan gerakan pergelangan tangannya, dia membuat dua mangkok itu berputar-putar di atas sumpit tanpa sedikitpun ada kuah sayur yang tumpah. Dan beberapa kali dia melemparkan dua buah mangkok itu ke atas dan diterima oleh ujung sumpit. Tentu saja semua yang melihat kepandaian ini bertepuk tangan memuji. Mereka sudah sering melihat pemain sulap memperlihatkan ketrampilan seperti ini, akan tetapi tidak dengan mangkok yang berisi sayur dengan kuahnya. Thian Sia menghentikan demonstrasinya. “Selain sulap, juga aku dapat menghibur raja dengan permainan suling dan bernyanyi.” katanya sambil tersenyum. Melihat kepandaian putera Pangeran atau cucu dari mendiang Raja Sabutai ini, Menteri Abigan menjadi girang, kagum dan juga terharu, usaha pangeran ini pasti berhasil, pikirnya. Demikian pula para rekannya yang menaruh kepercayaan besar kepada pangeran keturunan Raja Sabutai yang dikenal sebagai Ceng-kongcu ini. Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengambil keputusan bahwa langkah-langkah mereka diatur seperti berikut. Pertama, tentu saja memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Raja Agahai sebagai penghibur dalam pesta dengan permainan sulap, suling dan nyanyi sajak. Ke dua, mereka semua akan diam-diam mengerahkan pengikut-pengikut masing-masing untuk bersiap-siap turun tangan apabila pemuda itu berhasil membunuh Raja Agahai, yaitu dengan mengepung istana dan melucuti atau membasmi semua pasukan pengawal. Ke tiga, mereka akan menyelidiki siapa para perwira dan anak buahnya yang dahulu ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. *** Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang sudah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu. Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw di dunia utara sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan, dan menjadi langganan keluarga raja, menjadi tamu pula. Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasihat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Kedua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapapun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya. Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, aken tetapi isterinya atau selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang amat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja. Kecantikan seliri ini memang menyolok sekali, bukan hanya wajahnya yang cantik jelita den manis, akan tetapi bentuk tubuhnya amat menggairahkan, ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang menarik dan merangsang. Selir yang beruntung mendapatkan keturunan itu, duduk di sebelah kanan Sang Raja, tentu saja karena melahirkan seorang putera, sekakigus kedudukannya naik dan ia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa. Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai daripada kepada anak kecil berusia sebulan itu. Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang sejak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, menghadap Raja Agahai dan berkata. “Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti.” “Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya.” Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembanttinya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringkan beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga raja itu duduk berkumpul. “Ah, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!” kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik. “Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!” kata Thian Sin dengan suara yang diatur bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi! Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, raja dan para selir menjadi tertarik. Raja Agahai tertawa gembira. “Bagus! Bagus sekali, engkau pandai berbahasa daerah, tentu saja kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?” Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu, yang belum diumumkan, telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan! Mendengar ini, Thian Sin mengambil sikap sungguh-sungguh. “Nama untuk putera paduka, ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?” katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja dan melanjutkan. “Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat cahaya di sekitar tubuh putera paduka, ah, benar... cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu...” RAJA Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia ikut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan... dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata! Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu! “Bagus... bagus... memang engkau seorang yang amat pandai. Eh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?” “Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda.” jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada nama itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau mengira bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti. “Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu.” Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia memandang kepada pemuda tampan yang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri. Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai tertawa. “Ah, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap dan permainan suling dan sajak.” Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja. “Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?” Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin. “Menteri Abigan yang membawanya,” kata Raja. “Hamba yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu,” kata menteri tua itu dengan hormat. Koksu itu mengeluarkon suara dari hidung, seperti orang mendengus. “Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau sudah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu kalau sampai dia melakukan yang tidak baik!” Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu. Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir bangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas mengandung kekaguman dan kemesraan! Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Inipun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas. Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Setelah mereka mundur dari situ, melalui seorang pembicara, raja lalu mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin! Tentu saja pengumuman ini disambut dengan tepuk tangan, ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela. Setelah pengumuman itu, pestapun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apalagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta. Berbeda dengan kalau mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang cantik dan genit, suasana menjadi meriah sekali ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada yang ikut pula menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Setelah beberepa tarian dimainkan, akhirnya Menteri Abigan sebagai pengatur acara hiburan, mengumumkan dengan suara lantang. “Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang muda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas den menarik, Hauw Lam!” Terdengar tepuk sorak ketika Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak juga diapun sebetulnya merasa canggung harus berhadapan dengan demikian banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah dia telah menjadi seorang badut! “Cu-wi yang terhormat,” kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya seperti orang bernyanyi. “Hari ini adalah hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Saya sebagai seorang pengembara, hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!” Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru. “Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!” Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terdapat seekor burung dara putih menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap. “Aku tidak melihat burung dara!” Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dan Thian Sin cepat menengok. “Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!” Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tidak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi. Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah. “Ah, maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan tidak tahu burung dara berada di mana!” Lalu Thian Sin menghadapi semua tamu dan bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. “Mohon tanya kepada cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?” “Ada...! Ada...!” Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para selir raja sendiripun berteriak mengatakan ada. Thian Sin menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu seolah-olah tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. “Maaf, Koksu, kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan untuk Anda!” Tiba-tiba Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya dan berteriak nyaring, “Inilah seekor burung bangau botak untuk Koksu!” Dan sungguh mengherankan, di tangannya telah terdapat seekor burung bangau besar yang kepalanya botak, dan pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencoba “kekuatan” koksu itu dan ternyata koksu itu terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya itu, maka dia undur tiga langkah. “Ilmu setan...!” gumamnya dan diapun terus menjauh. “Sayang, bangau, begini buruk rupamu sehingga Sang Koksu tidak menghendakimu! Nah, terbanglah melayang, kembali ke sarang!” Dan bangau itupun terbang ke atas lalu lenyap! Semua orang bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh kecurigaan. Didekatnya Menteri Abigan dan koksu ini berbisik kepadanya. “Menteri Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?” “Bocah setan mana...? Ah, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik sekali, Koksu.” “Bodoh! Dia itu amat berbahaya!” Koksu berkata lirih dan diam-diam Menteri Abigan merasa terkejut sekali. Koku ini sungguh amat cerdik dan berbahaya dan dia mengkhawatirkan keselanatan cucu Puteri Khamila itu. Akan tetapi yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian Sin merasa tenang karena kini dia telah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan dia mengerti bahwa biarpun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu sepenuhnya, namun koksu itu bukan ahli sihir dan juga tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan batinnya. Betapapun juga, melihat Sang Koksu, berbisik-bisik dengan Menteri Abigan, kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seolah-olah memberi perintah sesuatu, dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu menaruh curiga kepadanya dan dia tidak boleh turun tangan pada saat itu, karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal. Maka Thian Sin lalu memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah dia perlihatkan kepada Menteri Abigan dan rekan-rekannya den permainan inipun mendapatkan sambutan tepuk tangan. “Cu-wi, sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tidak salah, saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan? Nah, sekareng, biarlah saya menjadi sasaaran dan cu-wi semua yang duduk di sebelah depan, boleh menyambitkan kacang itu kepada saya. Semua kacang itu akan saya sambut dengan kedua tangan!” Terdengar seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh manapun mereka menyambit. Melihat ini, semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya dan jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di situ telah bertumpuk banyak kacang goreng! Hal ini amat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit! Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang menarik sekali dan dengan senyum simpul penuh daya pikat! “Plakkk!” Tiba-tiba ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Tahulah dia bahwa koksu ini memang memiliki kelebihan dariapda orang lain, akan tetapi dia tidak khawatir. Karena sambitan koksu itupun tersedot oleh kekuatan yang dikerahkannya pada dua telapak tangannya, maka diapun dapat mengukur tenaga koksu itu. Sebaliknya, diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang berpengalaman, baik dalam hal sastera maupun silat. Maka kini diapun menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda inipun pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya. Tidak mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada niat tertentu sembunyi dalam pertunjukkannya ini! Dia tadi sudah mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan, terutama sekali untuk menjaga keselamatan rajanya. “Cukup...! Cukup...! Sayang sekali kalau makanan dibuang-buang begitu saja!” kata Thian Sin sambil tertawa dan... kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlalu kuat sehingga tidak sampai melukai yang menyambit, melainkan membuat mereka tertawa-tawa karena kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka. “Sekarang saya hendak memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya akan membacakan sajak!” Semua orang menghentikan ketawa mereka dan keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang termasuk keluarga raja, seolah-olah dengan sungguh-sungguh hendak mendengarkan permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai orang Han, karena biarpun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku seperti orang-orang Han lainnya. “Pertama-tama, perkenankan saya memainkan lagu ‘Sebatangkara’.” Dan mulailah dia meniup sulingnya. Sejak kecil, Thian Sin memang suka bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat meniup suling ini menjadi makin sempurna dengan tenaga khi-kang yang dimilikinya sehingga ketika meniup, bukan sekedar tupan angin belaka, melainkan tiupan yang mengandung tenaga khi-kang yang kuat. Dia meniup lagu yang sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking tinggi rendah mengalun dan menggetarkan jantung para pendengarnya. Para pendengar itu seolah-olah dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan, hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan saputangan. Dengan nada yang makin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya suling berhenti dan sebelum semua orang yang dihanyutkan perasaannya itu normal kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar penuh perasaan pula. “Bagai awan tunggal di angkasa terbawa angin semilir lembut tanpa tujuan tiada pangkalan sebatangkara tanpa harapan ayah bunda tewas bersama dikeroyok anjing serigala dendam membara membakar dada haruskah diam seribu kata biar diri banjir air mata? atau menjadi kilat bercahaya menggelepar gegap-gempita membersihkan noda dan dosa hutang dibayar budi dibalas?” Semua orang menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apalagi karena dinyanyikan penuh perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tak terasa lagi ada yang menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik saputangan-saputangan sutera harum. Para tamu juga terpesona, sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan mereka tidak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya ditinggal mati ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang ini terasa menusuk hati mereka. Menteri Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani! Nyanyiannya itu terlalu mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran. Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang. Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini. Dia melihat betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut den pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini mengerahkan kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya. “Harap Paduka hati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas dia bukan orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!” Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya. Akan tetapi Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup lagi sulingnya, akan tetapi sekarang dia meniup dan mainkan lagu-lagu yang gembira sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Setelah menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lalu menyanyikan lagu itu dengan kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya. “Kuhaturkan nyanyian ini sebagai doa dan puji kepada Pangeran Temuyin semoga berbahagia abadi bagaikan cahaya bulan bertahta di angkasa bebas dari rintangan awan yang lewat di bawahnya akan tetapi... ya Tuhan...” “Ada yang tidak beres...! Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan itu, menjenguk ke dalam. “Heii... mundur, jangan mendekati Pangeran!” Koksu Torgan berteriak sambil meloncat menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu. Akan tetapi Thian Sin dengan gerakan begitu cepatnya, sehingga tidak nampak oleh siapapun telah menjaman pundak bayi itu dan pemuda ini berseru. “Celaka... Pangeran telah diracuni orang...!” Tentu saja ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendirl meloncat menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, tidak ketinggalan selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu. Semua orang memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit dan suasana menjadi panik. Dalam keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata Thian Sin telah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit dan membelai bukit pinggulnya. Wajah selir ini menjadi merah sekali dan ia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus punggung dan pinggul. Seliri itu, agaknya takut ketahuan orrang, lalu menjauhi Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan. “Jangan dikerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkannya...!” Tiba-tiba Thian Sin berseru dan dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur. Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan dan pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu. harap mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!” “Minggir kau, setan!” Koksu Torgan marah dan mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-geleng kepala. Koksu Torgan dan Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya memeriksa dengan teliti, dan bertanya, “Bagaimana keadaannya?” “Ah, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak tahu mengapa beliau bisa begini...” kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggil tabib...” “Tabib tua akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata. “Tidak, sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu. Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersamadhi. “Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan. “Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan. Akan tetapi raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka teriaknya, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!” Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta telah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main. “Bagaimana dengan anakku?” Tiba-tiba Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak. “Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya...” “Omong kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil, biarlah dia memerika!” Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib mudapun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung. Tabib ini memang seorang yang pandai, walaupun tidak sepandai tabib tua yang berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada diri sendiri. “Ada hawa aneh menguasai tubuhnya... tapi beliau ini sebenarnya tidak sakit... hamba harus memeriksa lebih teliti lagi...” “Hemm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?” Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walaupun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan... hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya manggigil. “Eh, kau kenapa?” Koksu Torgan membentak. Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang diucapkan Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khi-kang itu, menggigil dan berkata gagap, “Hamba... hamba tidak sanggup... melawan...” Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang dan tangis ibu pangeran itu makin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia berkata, “Sri Baginda, kalau paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau.” Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang dan penuh harapan dia lalu menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.” “Tapi... tapi hamba takut kepada Koksu...” “Takut apa?” bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!” Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon agar semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri dengan Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.” Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai lalu memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiripun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan legang. Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itupun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu. Setelah semua orang mundur, Thian Sin lalu menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan demikian adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apalagi menyembuhkannya. Dan biarpun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, namun cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya. Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengaja agar semua orang melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga dan diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran. Ketika memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin sudah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam diapun menekan urat gagunya sehingga biarpun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis. Thian Sin kini meletakkan anak yang terbungkus selimut itu ke atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khi-kang. “Sang Pangeran dipengaruhi roh jahat...! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!” Suasana menjadi tegang kembali walaupun tadinya semua orang sudah merasa lega dan girang melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang memandang setiap gerak-gerik Thian Sin, seperti tersihir dan mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat! Setelah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguhpun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Setelah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya makin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring. “Iblis jahat, siapa takut padamu?” Dan terjadilah “perkelahian” yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak dan tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang “berkelahi” melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Dan kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampak asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang-kadang pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kading-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan. Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sin-kang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap! Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah. “Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri. Dan diapun membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja menangis karena Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya! Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambut dengan mata basah! Bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu dan semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja. “Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?” “Katakan siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju. “Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang ikut mendengarkan rahasia ini,” bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu. Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan memperlihatkan kemarahan sebelum orangnya tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab itu adalah orang-orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan.” “Ahhh...!” Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin...?” Thian Sin tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak dapat percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena Paduka dapat membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan seorang isteri Paduka sendiri...” “Hehhh...! Be... benarkah...? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, sekarang juga engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan. “Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu...” Raja Agahai semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian kepada selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?” “Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan benda kepada Koksu...” “Benda apa? Benda apa, keparat!” Raja Agahai sudah marah sekali. “Hamba tidak tahu benar, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah...” Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta memiliki benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya, yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya! Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar. “Be... benarkah...?” “Sri baginda, kenapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang dan sabar. Kalau hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.” Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu...!” Koksu Torgan sejak tadi mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya! Koksu Torgan terbelalak, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!” Akan tetapi, kalau dalam keadaan biasa dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, kini dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya. Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya. Sementira itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu akan melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu. Dia merasa tenang karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu, tidak merasa bersalah sedikitpun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah! Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu! Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Maka, dengan muka merah itu, dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras, “Tangkap jahanam ini!” Koksu Torgan terkejut bukan main. “Tapi... Sri Baginda...!” Thian Sin sudah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?” Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang-keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di depan rajanya. Dia mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju dan menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat! Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sin-kang itu. “Dessss...!” Thian Sin diam-diam kagum akan kekuatan lawan yang dapat membuat dia merasa terdorong ke belakang dan kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang. Empat orang pengawal raja lalu menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta dan kaki tangannya bergerak dan... empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata, “Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!” Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata mendelik raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?” Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, Apalagi pemuda yang berada di depannya itu benar-benar memiliki kepandaian hebat, diapun lalu menjatuhkan diri berlutut. “Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah...” “Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para pengawal. Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan main, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Semenura itu, Menteri Abigan yang diam-diam girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat berlutut kepada raja. “Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?” Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat. Selagi Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya kalau Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan.” Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan agar semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lain, ia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik inipun lalu masuk kembali ke dalam istana. Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana, Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan. *** Selir bangsa Biauw itu memandang dengan matanya yang indah terbelalak penuh keheranan ketika melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Ia tadi menerima panggilan raja melalui dayang pelayan dan ia tidak merasa heran oleh panggilan ini. Memang raja amat mencintanya dan sering kali ia menerima panggilan pada siang hari, tidak hanya pada malam hari saja. Akan tetapi ketika ia memasuki kamar itu dan melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ, ia terkejut dan terheran-heran schingga ia menahan langkahnya, ragu-ragu apakah ia herus terus masuk atau tidak. “Leng Ci, ke sinilah!” Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja demikian kakunya sehingga membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan. Ia melangkah maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah, iapun segera menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apalagi di situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu ia tidak banyak melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu raja untuk menghibur hati raja, yang agaknya sedang dalam gundah. “Leng Ci, apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?” Tiba-tiba raja bertanya dan wanita itu menjadi makin terkejut. Leng Ci mengangkat muka memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar, dan suaranya juga gagap ketika ia menjawab dengan pertanyaan pula, “Apa... apa... maksud Paduka? Hamba tidak mengerti...” Raja sudah bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi lain segera bangkit dan berkata halus, “Ingat, Sri baginda, harap tenang. Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatkah, ia tidak dalam keadaan wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat.” Sebelumnya tadi memang Thian Sin memberitahukan raja bahwa wanita itupun berada di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah karangannya sendiri saja. sebetulnya, Thian Sin yang tadi ketika mencubit pinggul Leng Ci, mempergunakan kepandaiannya untuk dalam keadaan berdesakan panik itu mencuri peniti burung hong merah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu mendekati bayi, diapun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula. Raja menghela napas panjang. “Baiklah... baiklah...” Thian Sin kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya dan betepa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya. “Nyonya,” Thian Sin mulai bicara dengan suara halus, namun terdengar sungguh-sungguh. “kenalkan nyonya akan benda ini?” tanyanya sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari raja. Leng Ci memandang benda itu dan tiba-tiba tangan kirinya meraba dada. “Aihhh... bagaimana bisa berada di situ...? Itu... itu penitiku...” “Nah, peniti bajumu ini terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu, nyonya.” Wajah Ceng Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya. “Ah, mana mungkin...?” “Kenyataannya demikian, masih mau mungkir?” Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu makin ketakutan. “Hamba... hamba tidak tahu...” “Nyonya, jangan takut. Mengakulah saja.” Sambil berkata demikian, Thian Sin mencurahkan padang mata yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik itu. “Engkau disuruh oleh Koksu untuk membakar kertas jimat hu di bawah ayunan Sang Pangeran, benar tidak?” Leng Ci menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih, “Benar...” Raja Agahai mengepal tinju akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus. “Kemudian, dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya dalam pesta sebagai tanda bahwa engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?” “Be... benar...” “Engkau mau melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkaupun merasa iri dengan lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia mengatakan bahwa kalau engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa mempunyai keturunan. Benar tidak?”, “Benar...” Thian Sin menghadapi raja. “Nah, Paduka mendengar sendiri. Selir Paduka ini telah bersalah. Ia bertindak bukan atas kehendak sendiri, melainkan tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang berat!” “Dia harus dihukum, sekarang juga!” teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan. “Akan tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka ini hanya melakukan hal itu di luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarangpun ia masih berada dalam cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?” Raja Agahai memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia terbelalak. Tanpa diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu! Maka dia mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa serem. “Lalu bagaimana baiknua? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu.” “Hamba sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi, melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya untuk melepaskan sang puteri, oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya di dalam kamar tertutup selama sehari semalam.” “Baik, bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh. Kalau ia sudah sembuh, baru kami akan memutuskan, apa yang harus kami lakukan untuknya.” Raja Agahai sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya itu. Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang kepadanya, apalagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya. Raja mengutus dayang untuk mengantarkan Thian ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena wanita itu sendirl juga masih bingung apa yang telah menimpa dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu. Raja Agahai lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukumm mati kepada Koksu Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya, terkejut bukan main. Mereka semua masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati kepada koksu! Tentu saja, sebagian di antara para teman Torgan merasa terkejut dan penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia kepada Raja Agahai dan menjadi pembantu terbaik dan terpercaya. Tentu saja beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, mengapa dijatuhkan hukuman mati kepada koksu. Raja Agahai berkata, “Kalian semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat, yang hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan nyawanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan lain adalah Koksu Torgan!” “Ahhh...!” Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum sekali terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya sampai berhasil sejauh ini. “Ampun, Sri Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka,” kata mereka. “Hemm, kami telah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia telah menggunakan sihir menguasai seorang di antara isteri kami, membakar hio di bawah ayunan pangeran, dan sampai sekarangpun isteri kami itu masih dalam kekuasaan sihirnya dan sedang diobati oleh Hauw Lam.” Perintah raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal kepala, dan seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang hendak menentang kekuasaan raja. Sementara itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan dia, Thian Sin menutup dan memalang daun pintu kamar, kemudian diapun melepaskan kekuatan sihirnya atas diri wanita itu. Wanita itu sadar dan terkejut mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu, dan wajahnya menjadi merah sekali ketika ia melihat Thian Sin berada di situ, duduk dan memandang kepadanya. Biarpun wanita itu merasa jantungnya berdebar dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguhpun ia mengambil sikap seperti orang marah. “Kenapa aku berada di sini? Biarkan aku keluar!” Ucapannya ini dengan nada membentak dan marah. Thian Sin tersenyum. “Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di dalam saku baju Koksu?” Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. “Ahhh... apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?” “Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi.” Muka itu semakin pucat. “Ah, mana mungkin begitu? Aku... aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu...” “Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda dan semestinya engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati.” “Ahhh...!” Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. “Tapi... tapi mengapa aku berada di kamar ini bersamamu...?” “Aku telah menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau telah terbebas dan engkau telah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala.” “Aihhh...” Leng Ci menggerakkan tangannya dan otomatis tangannya itu memegang lehernya. Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia berkata, “Ah, kalau begitu... engkau telah menyelamatkan nyawaku... tapi... tapi bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku...?” Thian Sin tersenyum. “Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan tetapi, setelah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu imbalan atau hadiah apa yang hendak kauberikan kepadamu?” Wanita itu melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah menyangkut kehidupannya, keselamatannya dan setelah ia teringat akan segala yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan merupakan satu-satunya orang yang mungkin dapat menyelamatkannya. “Kongcu... tolonglah saya... imbalannya apa saja yang kongcu kehendaki, pasti saya akan berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya.” Thian Sin tersenyum. “Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja. Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan.” “Lalu apa yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi...!” Leng Ci berkata dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah. Thian Sin tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat. “Nona Leng Ci, ketika belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku melihat sinar matamu ketika memandangku, gerak bibirmu ketika tersenyum padaku, kemudian ketika kuraba dan kubelai pinggulmu engkau sama sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?” menerima pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya, seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat ia lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali ia cemberut, matanya mengerling penuh tantangan mesra, dan bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan yang membuat bibir itu makin menggairahkan, lalu katanya lirih, “Habis, engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu...” “Bukankah itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu dan mengajakmu saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, engkau akan menerimanya dengan girang?” Menghadapi kata-kata yang luar biasa beraninya, yang membuka segalanya tanpa pura-pura lagi itu, Leng Ci menundukkan mukanya dan ia merasa malu sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa ia amat tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini. “Ihhh... siapa jatuh cinta...?” Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin. “Nona Leng Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan sekarang melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta kepadamu yang cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, bukan pula karena hanya sekedar membalas jasa...” Sambil menghentikan kata-katanya dan memandang dengan sinar mata penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita itu. Biarpun wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak dibuat-buat, namun Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan Thian Sin, membiarkan kedua lengan itu melingkari tubuhnya dan iapun tidak menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga ia terduduk di atas pangkuan pemuda itu. “Engkau senang begini?” tanya Thian Sin. “Bukan hanya untuk membalas budi?” Wanita itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi tubuhnya gemetar dan ia berkata, “Tapi... tapi... Sri Baginda...” Thian Sin melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri. “Ah, kiranya dalam keadaan begini engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?” “Bukan, bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir, setelah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam serbuan itu. Aku dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan diri dan untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu? Akan tetapi... aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui hubungan kita?” “Aku tertarik dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu. Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!” “Tidak... tidak, kongcu... ah, tentu saja aku lebih suka padamu. Biarlah kalau engkau mau melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biar aku mati hidup bersamamu.” Wanita itu menubruk dan merangkulnya. Melihat wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum. “Bagus! Nah, mulai sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?” Wanita cantik itu mengangguk dan menahan isaknya ketika Thian Sin mendekap dan menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin memondongnya dan segera keduanya tenggelam dalam buaian natsu berahi yang amat panas. Semenjak pergi meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, telah lebih dari setengah tahun Than Sin tidak pernah berdekatan atau berhubungan dengan wanita. Dia menggembleng diri bertapa dan memperdalam ilmunya selama berbulan-bulan dan menahan nafsunya. Sedangkan Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria tua yang sebenarnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pertemuan antara mereka seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, di mana ikan itu dapat berenang sepuasnya. DENGAN dalih “mengobati” Leng Ci, Sin dapat bersenang-senang sepuas-puasnya dengan wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tidak berani mengganggunya. Raja itu hanya dapat bertanya dari luar pintu saja menanyakan keadaan selirnya tercinta. “Sedikit lagi Sri Baginda,” jawab Thian Sin dari dalam. “Harap Paduka bersabar dan jangan diganggu...” “Tapi, Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?” bantah Sang Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu. “Justeru itulah!” jawab Thian Sin cepat, “Rohnya yang jahat itu membalas dendam dan mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka.” Dengan alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para dayang yang melayani mereka, mengantar makan minum dan sebagainya, hanya diperbolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk, mereka itu hanya dapat melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu! Tentu saja semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Kini wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, tunduk dan taat karena memang wanita itu sudah jatuh cinta betul-betul kepada Thian Sin. Dan di waktu malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu mengunci semua pintu dan jendela, sedangkan dia sendiri keluar melalui jendela dan mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan rekan-rekannya yang mempersiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan mereka menentang Raja Agahai. Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai menyadarkan para panglima dan pembesar akan kelaliman Agahai, dan melalui beberapa orang panglima yang berpihak kepada komplotan ini mulai memindah-mindahkan tugas penjagaan sehingga pada saat yang sudah direncanakan, para pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka! Tiga hari kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama sekali. Tentu saja berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapapun juga, ada rasa cemburu di dalam hatinya mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita dan manis itu, telah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu kamar. Karena keinginan tahu yang amat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya, maka Raja Agahai menjadi lengah dan dia setengah berlari menuju ke kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan kekasihnya, juga ingin segera dapat memeluk kembali. “Silakan masuk!” terdengar suara Thian Sin, “Daun pintu tidak terkunci.” Raja Agahai mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul. Ketika Raja Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali dan dia melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan langkah kakinya seketika terhenti. Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia kini melangkah lagi maju menghampiri untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi, penglihatan itu tidak berubah, masih seperti tadi, yaitu Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis yang kusut, seperti juga rambutnya, duduk di atas pangkuan pemuda itu! Seperti seekor kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda itu dengan kedua lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan! Dan Thian Sin, seolah-olah tidak melihat kedatangan raja itu, lalu menunduk dan di lain saat keduanya sudah berciuman dengan mesra sekali, dan raja itut melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul semakin ketat. Mereka berciuman lama sekali dan baru Thian Sin menghentikan ciumannya ketika mendengar sang Raja membentak. “Keparat! Apa artinya ini?” Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Thian Sin yang dianggap penyelamat puteranya dan pembongkar rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih meragu. Siapa tahu apa yang dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya! Thian Sin mengangkat muka memandang, tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena kehausan ataukah kepuasan, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan seorang wanita yang sedang dalam puncak berahi. Thian Sin mengecup bibir Leng Ci lalu berkata, “Manist si tua bangka telah datang, kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya.” Leng Ci tersenyum, mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di tengah-tengah pembaringan. Baju dalamnya tersingkap dan nampak bukit buah dadanya yang biasanya amat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, wajah Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking kaget dan marahnya mendengar ucapan Thian Sin tadi. “Hauw Lam! Apa artinya ini?” Kembali dia membentak. Thian Sin turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang menakutkan Sang Raja. “Artinya, Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci telah menjadi kekasihku, bahwa kini tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau telah buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!” Mendengar kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa artinya ini...? Siapa... siapa engkau...?” “Hemm, raja lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha, sungguh engkau manusia yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah berhubungan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan tidak pernah berbuat apa-apa terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang, Agahai?” Tentu saja Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main. “Tapi... mengapa? Apa yang terjadi?” Raja itu berteriak bingung. “Kepadamu aku mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam (putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian Sin...” Raja Agahai undur selangkah. “Apa... kau? Ceng... Ceng Thian Sin...!” “Ha-ha-ha, baru engkau teringat sekarang?” “Thian Sin! Engkau... cucu keponakanku sendiri...!” “Tak perlu bersandiwara lagi, Agahai. Ayah bundaku tewas karena pengeroyokan, dan engkau juga memegang peran dalam pembunuhan itu. Engkau mengirim pasukan pilihan untuk ikut mengeroyoknya. Engkau hutang nyawa ayah bundaku!” Mendengar ini, baru Raja Agahai sadar bahwa dirinya terancam bahaya. Cepat dia membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat den tahu-tahu Thian Sin telah berdiri di depannya, menghadang antara dia dan pintu. Marahlah Agahai. Betapapun juga, dia bukan seorang pria lemah. Dicabutnya pedang dari pinggangnya. “Pengkhianat busuk!” bentaknya dan pedangnya menyambar. Akan tetapi, dengan tenang saja Thian Sin menggerakkan tangannya menyambut pedang itu, mencengkeram pedang dengan tangan kirinya. “Kraakkk!” Pedang itupun patah-patah, seolah-olah terbuat daripada benda yang lunak saja. Agahai memandang dengan mata terbelalak dan kini wajahnya menjadi pucat. “Pengawal...!” teriaknya dengan lantang memanggil para pengawal pribadinya. Akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sunyi saja di luar kamar itu, hanya terdengar suara beradunya senjata agak jauh dari situ, dan suara hiruk-pikuk orang berkelahi. Thian Sin tersenyum. “Semua pengawal dan pembantumu pada saat ini sedang diserbu dan dibasmi. Engkau harus berhadapan dengan aku tanpa bantuan siapapun!” Raja Agahai menjadi ketakutan dan karena ingin meloloskan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan suara seperti seekor srigala kelaparan, dia meloncat dan menerkam pemuda itu dengan kedua tangan menyerang dari kanan kiri. “Plakk!” Thian Sin menampar, tidak mengerahkan tenaga terlalu besar dan raja itu terpelanting, pipi kanannya bengkak dan membiru. Sejenak Agahai nanar dan matanya liar, seperti mata seekor harimau yang tersudut. Thian Sin berdiri dengan bertolak pinggang, menghadang di depan pintu, tersenyum, namun senyum yang mengandung kebencian mengerikan. Agahai sudah bangkit lagi dan mundur-mundur, seperti hendak melakukan ancang-ancang untuk menyerang lagi. Akan tetapi, raja yang cerdik dan licik ini tiba-tiba meloncat ke belakang, ke arah pembaringan! Thian Sin terkejut, akan tetapi Raja Agahai telah dapat menerkam tubuh Leng Ci, menarik dan mencekik leher wanita itu. “Kalau kau maju, ia akan kupatahkan batang lehernya!” Dia mengancam kepada Thian Sin, sedangkan Leng Ci meronta-ronta tak berdaya. “Hayo buka pintu dan minggir, biarkan aku lewat!” Diam-diam Thian Sin kagum juga akan kecerdikan raja itu, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa. Suara ketawanya demikian mengerikan dan aneh karena memang dia mengerahkan tenaga khi-kang dalam suaranya. Raja Agahai memandang dengan heran dan merasa aneh, akan tetapi inilah kesalahannya. Begitu dia memandang dengan peranan tertarik, dia sudah terperangkap dan berada dalam pengaruh kekuasaan ilmu sihir yang dikerahkan pemuda itu. “Ha-ha-ha, Agahai, apakah engkau sudah gila? Lihat baik-baik apa yang kaucengkeram itu? Yang kaucekik hanya sebuah bantal!” Agahai terkejut dan cepat dia memandang kepada Leng Ci yang tadi diringkus dan dicekiknya. Dan hampir dia berteriak kaget dan penuh kekecewaan karena ternyata benar, yang diringkusnya itu bukan lain hanyalah sebuah bantal! Kemarahan yang meluap-luap membuat dia mengangkat “bantal” itu dan melemparkannya dengan tenaga sepenuhnya ke arah dinding. Kini Thian Sin yang terkejut bukan main. Tentu saja yang diringkus oleh raja itu sama sekali bukan bantal, melainkan tubuh Leng Ci yang denok! Dan ketika tubuh itu dilemparkan oleh raja, Thian Sin yang tidak menyangkanya sama sekali tidak mampu lagi mencegah. Terdengar suara keras ketika tubuh itu terbanting dan menghantam dinding. Ketika tubuh itu terjatuh ke lantai, sudah tidak bergerak lagi dan dari kepala yang mengalirkan darah, dari kedudukan leher yang terkulai, tahulah Thian Sin bahwa mata indah yang terbuka lebar itu tidak melihat apa-apa lagi. Leng Ci telah tewas dengan kepala retak! “Agahai, manusia busuk! Manusia keparat kau! Kaubunuh ia... ah, kaubunuh Leng Ci...!” Thian Sin marah sekali. Dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sesungguhnya sehingga permainannya dengan Leng Ci itupun tak dapat dikatakan cinta, melainkan lebih terdorong oleh nafsu berahi belaka. Akan tetapi, melihat Leng Ci yang sama sekali tidak berdosa itu harus tewas dalam keadaan demikian menyedihkan, dan semua itu karena ulahnya, sehingga Leng Ci dapat dibilang mati karena dia, hal ini membuat Thian Sin merasa berduka dan marah sekali. Diterjangnya Raja Agahai. Raja ini mencoba untuk membela diri dan berteriak-teriak memanggil pengawal-pengawal. Namun tidak ada seorangpun pengawal yang datang, dan diapun tentu saja tidak berdaya sama sekali menghadapi tamparan-tamparan Thian Sin. Terdengar suara keras berkali-kali dan ketika raja itu terpelanting dengan muka yang bengkak-bengkak dan berdarah Thian Sin masih menyusulkan tendangan-tendangan yang membuat raja itu jungkir balik dan jatuh bangun. Akan tetapi pemuda ini tidak menggunakan tenaga saktinya, karena dia tidak mau membunuh Agahai begitu saja. Dia masih belum selesai berurusan dengan raja ini, maka betapapun marah dan menyesalnya atas pembunuhan terhadap diri Leng Ci, dia tidak membunuh raja itu, hanya menyiksanya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan. Yang membuat pemuda ini menyesal adalah, bahwa terbunuhnya Leng Ci sesungguhnya karena dia. Raja itu membunuhnya tanpa sengaja, mengira bahwa yang dicengkeramnya tadi benar-benar bantal sehingga dilemparkan bantal itu saking kecewanya. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, dan Thian Sin menghentikan pemukulan-pemukulannya terhadap raja itu ketika melihat bahwa yang muncul adalah Ratu Khamila, neneknya. Kiranya sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Menteri Abigan dan rekan-rekannya, bekas Ratu Khamila yang dipenjara ini dibebaskan dan dibawa ke istana, setelah para pasukan pemberontak menguasai istana dan para pengawal Raja Agahai yang setia, sebagian besar dibinasakan dan sebagian pula yang menyerah lalu ditangkap. Istana dibersihkan dari pengikut-pengikut Agahai dan kini istana dikuasai oleh pasukan penjaga pemberontak. Setelah itu, barulah Ratu Khamila dibebaskan dan dijemput, dibawa ke istana. Dan ratu ini, bersama Menteri Abigan dan beberapa orang panglima dan pengawal, datang ke kamar Thian Sin di mana pemuda itu sedang menghajar Raja Agahai. Raja Agahai yang melihat munculnya Ratu Khamila dan beberapa orang menteri dan panglima, maklum bahwa dia terancam. Dia belum tahu apa yang terjadl di luar tidak tahu bahwa para pengawalnya sudah terbasmi. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun pengawal yang muncul ketika dia berteriak-teriak minta tolong, diapun sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Maka kini melihat munculnya Puteri Khamila, tahulah dia bahwa permainan telah berakhir dan bahwa dia telah kalah. Pemuda itu adalah putera tunggal Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw dan pemuda itu sudah tahu bahwa dia ikut dalam pengeroyokan pangeran itu dan isterinya sampai mati. Tiada harapan lagi baginya, maka diapun tidak banyak tingkah lagi. “Agahai, sudah tahukah engkau akan dosa-dosamu?” kata Ratu Khamila dengan suara halus namun penuh teguran. Ratu ini tidak merasa begitu sakit hatinya ia ditawan seperti ketika ia mendengar bahwa puteranya tewas oleh pengeroyokan yang sebagian dilakukan orang-orangnya Agahai. Agahal yang sudah putus asa itu tertawa. “Hemm, kalian lihat saja nanti kalau pasukan-pasukanku bergerak dan menghancurkan kalian semua!” Seolah-olah menjawab kata-kata Agahai, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan banyak orang yang datangnya dari luar istana. Dan seorang pengawal datang tergopoh-gopoh, melapor kepada Menteri Abigan, didengarkan oleh Thian Sin dan juga oleh Agahai. “Taijin, di luar istana penuh pasukan dan rakyat. Mereka itu berteriak-teriak menuntut penjelasan akan apa yang terjadi di dalam istana. Suasana buruk sekali, di antara mereka itu terjadi perpecahan. Agaknya masih banyak di antara mereka yang mendukung dia!” kata pengawal itu sambil menuding ke arah Agahai dengan penuh kebencian. Mendengar ini, Agahai tertawa bergelak. Wajahnya menyeramkan sekali. Wajah yang bengkak-bengkak dan matang biru, berdarah-darah pula, dan kini wajah itu terangkat dan bergoyang-goyang ketika tertawa, seperti iblis dalam dongeng. Tiba-tiba Thian Sin menangkap leher bajunya, menotoknya sehingga raja itu tidak mampu bergerak lagi, lalu menyeretnya keluar. “Silakan mengikuti saya ke menara istana, saya akan bicara dengan mereka!” Mendengar ini, Ratu Khamila mengangguk dan juga para menteri dan panglima itu mengikuti dari belakang. Thian Sin membawa bekas raja itu naik ke loteng menara dan tak lama kemudian nampaklah dia bersama raja itu di atas menara, di panggung atas bersama Ratu Khamila dan para menteri yang setia. Melihat ini, pasukan dan rakyat yang berjubel di luar istana, semua memandang ke arah panggung menara itu. Teriakan-teriakan yang simpang-siur terdengarlah. “Hidup Puteri Khamila...!” “Hidup Raja Agahai...!” Dari teriakan-teriakan ini saja jelaslah bahwa memang telah terjadi perpecahan, di antara rakyat dan pasukan. Keadaan sungguh gawat dan ada ancaman perang saudara. Biarpun dia sudah tertotok dan tidak berdaya, Raja Agahai tersenyum mendengar teriakan-teriakan yang jelas menyanjungnya itu, dan masih ada secercah harapan di wajahnya. Akan tetapi, ketika Thian Sin menariknya agar lebih tinggi berdiri sehingga seluruh orang yang berada di bawah melihatnya dengan jelas, melihat mukanya yang bengkak-bengkak, penghias kepalanya yang khas sebagai raja itu sudah tidak ada lagi dan rambutnya awut-awutan, ada rasa khawatir pula di dalam hatinya. “Rakyatku, pasukanku, dengarlah!” Tiba-tiba terdengar suara Puteri Khamila, suaranya halus namun cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua orang dan keadaan menjadi sunyi karena semua orang yang berada di bawah ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan oleh bekas ratu ini. “Kalian semua tentu masih ingat kepada putera tunggalku, putera tunggal mendiang Raja Sabutai yang kalian cinta, yaitu Pangeran Oguthai, bukan?” Terdengar sorakan menyambut pertanyaan ini. Tentu saja tiada seorangpun di antara mereka yang tidak tahu siapa adanya Pangeran Oguthai yang pernah berkunjung bersama isteri dan puteranya, dan betapa pangeran yang sakti dan membuat semua orang bangga itu menolak ketika hendak diminta membantu pemerintahan Raja Agahai. Puteri Khamita mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orangpun diamlah. Keadaan menjadi sunyi kembali, “Sekarang dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi raja, telah menyalahgunakan kekuasaan, merampasi anak gadis dan isteri orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya. Lihat, betapa kita telah menjadi lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai tidak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan menasihatinya agar dia menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakitkan hatiku. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia telah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok dan membunuh Pangeran Oguthai dan isterinya!” Semua orang terkejut, baik yang pro maupun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja mereka itu melakukan hal yang kejam ini. “Untung bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih kecil, dapat lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!” Puteri Khamila meneriakkan ucapan ini, walaupun bertentangan dengan suara hatinya. Hanya ia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan Sabutai melainkan keturunah Kaisar Beng-tiauw! Mendengar ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara lantang, diapun berkata, “Saudara-saudara sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku, apakah masih ada yang membela Agahai lagi? Dia seorang raja lalim! Dia malah telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja rmmbunuh selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini selain untuk membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku dari cengkeraman raja lalim macam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana telah kami duduki. Siapa hendak membelanya?” Tidak ada yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak puas dan membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut. “Nah, kalau begitu, aku menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan dengan Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?” “Bunuh dia!” “Bunuh Agahai raja lalim!” “Jangan ampunkan dia!” Teriakan itu makin lama makin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Dan inilah yang dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi dan terdengarlah suaranya yang lantang. “Kalau begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan binatang busuk ini!” Dan sekali menggerakkan kedua lengang melayanglah tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu diapun membebaskan totokannya. Terdengar jerit mengerikan, jerit dari mulut Agahai yang tidak merasa ngeri karena melayang ke bawah melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya. Dan memang tubuhnya terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang mendendam kepadanya itu. Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambaknya sehingga akhirnya tubuhnya terkoyak-koyak habis, dan hanya darah dan potongan daging-daging saja yang tinggal setelah semua orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu. Bersama dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya den para panglima yang dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. Thian Sin menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya. “Betapapun juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan daripada hukuman.” Thian Sin tidak membantah keputusan neneknya ini, karena diapun sudah puas menyaksikan semua pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Bahkan setelah tujuannya datang ke tempat ini telah terlaksana, yaitu membalas dendam atas kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu. Para menteri dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia agar pemuda itu dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya dan sah karena walaupun pemuda itu mempunyai seorang ibu bangsa Han, namun dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja Sabutai sedikitpun juga! Namun usul ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka iapun mencoba untuk membujuk kepada Thian Sin untuk menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin menolaknya, kemudian bahkan memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat Ratu Khamila sebagai ibu suri dan juga sebagai pejabat raja sebelum memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu Khamila untuk memilih raja. Tentu saja Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara tegas, “Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal yang harus saya selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga saya sedikitpun tidak berminat untuk menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut untuk menjadi seorang raja yang baik.” Akhirnya Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin meninggalkan tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja tetap saja adalah putera Agahai sebagai pangeran satu-satunya yang menjadi keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja. *** Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan? Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik “sesuatu” itu merupakan benda ataupun gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu. Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua. Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan. Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang “ini”, selalu mencari-cari dan memandang kepada yang “itu”, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada. Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di kebun sendiri. Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimanapun juga? Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini? Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Dia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang pada waktu itu, Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya. Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan sekali, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar. Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini kalau berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa serem. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main. Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggauta Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri sudah bubar dan musuh besarnya yang ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin sekali di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka diapun membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu. Daerah ini merupakah daerah yang berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh. Katena dia sendiri adalah seorang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di dalam pohon besar di tengah hutang pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur. Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara. Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada sebatang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat lima orang sedang berteriak-teriak mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang telah berhasil menjebak seekor binatang buas. Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan diam-diam dia terkejut. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya. Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara biruang. Akan tetapi tentu seekor biruang yang besar sekali yang telah tertangkap itu. Dia hanya mengintai dan melihat betapa lima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan. Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah ketika dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar. “Cepatlah, kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang. Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tidak nampak berada di dalam lubang dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang. Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya! Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah. “Kita mulai sekarang!” kata seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu. “Kalian cepat di seberang lubang dan menggodanya, memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.” “Tapi... berbahaya sekali untukmu, twako...” “Tidak, aku dapat lari dan naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu. Setelah menerima perintah, sembilan orang itu lalu meninggalkan lubang, berlari-lari dengan cepat mengelilingi jebakan batu dan berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Si pemimpin kini sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan. “Twako, pergilah!” “Larilah!” teriak mereka dengan khawatir. Pemimpin pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah, mencegah binatang itu yang agak hendak merangkak keluar dari dalam lubang. Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu tertangkap oleh binatang itu, terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya. “Dukk...!” Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan diapun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Biarpun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu, terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan! Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang marah, nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya bartering yang mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar. Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biarpun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu! Thian Sin terkejut, dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya! Kini, melihat gerakan orang hutan itu dan melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Diapun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu. Semua pemburu sudah pucat mukanya melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali. Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, diapun melihat pemuda itu dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka merekapun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas lari ke sini...! Cepat...!” Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat pemuda itu tersenyum saja dan memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini berdiri tenang saja dan ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram dan mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlalu lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya. Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itupun menahan napas dan memandang penuh kengerian karena mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tak berapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu. Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Binateng itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini dapat menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri dengan gerakan refleks yang amat cepat, seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi. Serangan ke dua ini lebih cepat daripada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang memang alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan. Biarpun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, namun dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu sudah menyentuh pundaknya dan kalau sampai jari-jari tangan yang kuat itu mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin lalu mengerahkan tenaga dan memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan hantaman keras ke arah perut binatang itu. “Dukkk... Desss...!” Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang amat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu deengan perut yang seperti penuh dengan angin, sehingga kuat bukan main. Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tidak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Kini dia marah bukan main, menyerang bertubi-tubi dengan gerakan kedua lengan panjang itu lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seolah-olah menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Serangan-serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya memiliki kecepatan dan kekuatan alamiah saja, namun tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan kalau dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binaung itu. Dua kali dia memukul dan menendang, membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu memiliki kekebalan yang luar biasa, sudah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas. Sepuluh orang yang tadinya ketakutan dan khawatir akan keselamaten Thian Sin, memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. “Taihiap, harap jangan bunuh dia!” “Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!” “Kalau dia mati, kami tentu takkan diampuni!” Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini. Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apalagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi diapun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini. Dia teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di tepi perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun. Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan dan tendangan itu, marah sekali dan terus menerjang dengan dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada saat tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu. Binatang itu terdorong ke depan dan tak dapat dihindarkan lagi, dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang, binatang itu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang. Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka lalu menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman. “Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Kalau tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang. Thian Sin menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?” Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tidak karuan bentuknya, dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan terlepas dari pundaknya. “Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang telah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku telah menyelamatkan kalian? Siapa mengancam kalian?” Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab dan Si Tinggi Besar itu bahkan berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap... kami... telah salah bicara tadi... kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu.” Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan diapun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah. “Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.” Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, “A Pin... jangan...!” Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin. Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka diapun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah. Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan dengan pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang inipun mengandung racun yang amat hebat. Hal ini diketahuinya dari baunya. Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat, pedang itu telah terampas olehnya dan tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu tersusul hiruk-pikuk di dalam lubang, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan. Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja dan suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas memperoleh seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya. Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak. Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, “Tidak... bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada...” Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah pemburu-pemburu biasa...” Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. “Tak perlu kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Lupakah kalian kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?” Mereka semakin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang merekapun ingatlah kepada pemuda ini. “Ampun, taihiap... ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenal taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu...” “Sikap kalian aneh, seperti ada yang kalian takutkan. Dan temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulempar satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukan yang lain itu.” Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apalagi mengingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut sekali. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita. Sisa para anggauta Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, setelah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka dan membentuk perkampungan. Akan tetapi mereka telah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat, tidak mau mengganggu para pelancog dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain. Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena selain rata-rata, sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, mereka memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan. Mereka hidup aman dan tenteram selama bertahun-tahun, keluarga mereka berkembang-biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan dan berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat. Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan ketika muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, seorang peranakan Han dan Rusia Kozak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan biarpun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih. Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan merekapun lalu menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan diapun menjagoi di perkampungan itu. Kiranya orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya, dirobohkannya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To inipun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah! Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka. Memang benar bahwa Su Lo To tidak menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekeria berat, dan sebagian dari hasil buruan diamblinya sendiri. Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya! Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang memeras orang-orangnya dan mempergunakan tangan besi. Semua orang takut kepadanya, karena Su Lo To ini amat kejam. Beberapa orang telah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya. Laki-laki tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan sudah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka biarpun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya. Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang mantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini datang dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan termasuk seorang wanita yang cantik dan manis. Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan malapetaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Dan timbullah akalnya yang busuk! Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar tak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang anat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan telah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu. Dan Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, setelah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup! “Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku ingin menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka diapun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!” Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka kalau Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menanti dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak dan orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap. “Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tidak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu dapat berada di dalam perangkap itu?” “Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar lagi. Dan binatang itu hebat sekali. Tusukan tombak tidak melukainya, dan dia bahkan berhasil menangkap sebatang tombak dan menarik tombak itu, membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan... teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut kepada ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini...” Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?” “Kami tadi tidak berani mempergunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang, dia tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.” Pada saat itu terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka. “Su Bwee...!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang cepat berlari maju menyambut wanita itu. Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu manis dan pakaiannya, juga rambutnya, awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis. “Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut. “Ia mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku... entah apa yang telah terjadi, taihiap...” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju. “Su Bwee, berhentilah menangis dan ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song. Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya, menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis iapun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya. “Ayah... bunuhlah saja saya...” tangisnya. Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu diapun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan ceritakan apa yang telah terjadi!” Su Bwee menceritaken dengan suara tidak jelas karena betapapun ia menahannya, tetap saja ia bicara sambil menangis sesenggukan. “Setelah ayah dan suami saya pergi... ketua kedatangan seorang tamu... dan untuk menjamu tamu itu... saya dan beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan... kemudian... ketua memaksa saya... uh-hu-huuh... dia... dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan... dan... uh-huu-huuh...” Wanita itu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena ia sudah terguling dan roboh pingsan. Agaknya ia telah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka ia kehabisan napas dan juga kesedihan yang amat besar menghimpit perasaannya. Biarpun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, kepada Su Bwee ini. Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanyat seolah-olah hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Laki-laki tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan diapun lalu berteriak dengan geramnya. “Su Lo To, manusia jahanam! Berani menghinaku seperti ini?” Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kaulihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang berani menentangku!” Dan muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan. Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To dan seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu telah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan kepalanya malah digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain? Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tibe dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan. Sementara itu Gak Song yang sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya. “SU LO TO manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song mempergunakan tombaknya untuk menyerang. Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To tertawa. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan ketika tertawa, nampak giginya yang berwarna kuning menghitam. Ketika mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring dan sekali sambar, dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan semakin kuat, kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia sudah menendang dan Gak Song tak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, juga menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak di tangan pemuda itu patah. Sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya dan pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya. “Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha, sudah bosan hidup, ya?” Tiba-tiba terdengar gerengan yang dahsyat sekali. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan diapun mengerti, lalu tertawa girang. “Aha, si liar itu sudah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah kuberi hadiah pertama dia agar mudah menjadi jinak!” Lalu dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!” Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka sudah menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song dan puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap agar dibunuh oleh orang hutan! Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar dua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya. “Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus. Su Lo To mengernyitkan alisnya dan memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnnya. “Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau bisa berada di sini?” “Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan padamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah. Thian Sin tersenyum. “Aha, kiranya dua ekor srigala busuk telah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!” Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana dia dapat muncul secara tiba-tiba di sini? Bukankah dia telah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu. Maka, biarpun dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Akan tetapi masih ada bekas kaki tangannya yang berhasil menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukan dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya. Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, seorang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya! Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suhengnya yang telah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka. Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suhengnya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai dan dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sutenya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang. Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak dan ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri dan tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu menancap pada batang pohon sampai setengahnya! “Hayo kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu. Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tidak ada seorangpun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biarpun mereka amat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorangpun yang mau mengeroyok Thian Sin. Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga girang melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu. “Hemm, tidak ada seorangpun yang mau mentaati perintahku, ya? Baik, tunggu saja, setelah kubereskan dia, kalianpun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song. Hatinya makin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu telah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, melihat wanita itu lenyap dari kamarnya ketika dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dapat dengan bebas memiliki wanita itu. Tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya. “Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sutenya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sutenya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar. “Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di depannya, dia lalu melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu. Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dehgan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka diapun mengerahkan sin-kangnya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan mengira bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengah mudah dan enaknya Thian Sin mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri. Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti ketika menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang! Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah. “Bagus, kiranya engkau mempunyai sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, sambutlah seranganku ini!” Su Lo To sudah maju menerjang ke depan, kedua lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh dan angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali. Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu, Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang. “Singgg...!” Pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi. “Plakk!” Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas! Tahulah dia kini mengapa sutenya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka diapun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung di punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin! Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang kesemuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebui sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata, harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad. “Mari kita bantu taihiap!” berkata demikian, diapun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati. “Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!” Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi juga menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak, diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya. Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras den sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sutenya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuatnya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar daripada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja. Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya, dia merupakan seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya! Kiranya, dengan ilmu manapun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu peninggalan ayahnya yang telah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu. Oleh karena itu, diapun segera menghadapi serangan-serangan dua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan memang hebat bukan main ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sin-kang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu. Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apalagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak dapat bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang! “Hemm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan kini dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun dan tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik! Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali dan sebelum mereka tahu apa yang telah terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang dan membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut dan merekapun terpelanting dan jatuh! Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah bertemu dengan lawan sehebat ini. Mereka sudah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum dan paku-paku beracun bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum saja, tangan kirinya mencabut kipas dan dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu runtuh. Bahkan bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka. Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, hendak melawan merasa takut! “Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat. Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggeleng kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap di mana terdapat seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tiba-tiba Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!” Kipasnya menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat. Dua orang yang sudah merasa jerih itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong dan terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Kiranya Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangan untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sin-kang dan menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu. Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diseling seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu. Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlalu sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul daripada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan. Akhirnya, setelah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki dan sebuah tangan, kemudian mereka mengerahican tenaga menarik. Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, akan tetapi akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang. Semua orang meloncat mundur dan tak lama kemudian, dua orang itupun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka merekapun berdarah, sungguh menyeramkan sekali keadaan mereka. Thian Sin tersenyum ketika menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.” Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut. Mereka tadinya mengira bahwa setelah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu dan berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka. Karena merasa jerih, tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap... harap suka ampunkan kami...” “Hemm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biarpun antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kaupermarmainkan, dan saudara-saudara yang pernah kausiksa atau kaubunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, semua penjahat tentu akan membuat perhitungan denganku!” Dua orang yang sudah merasa jerih itu, setelah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang pula ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan terpencar agar seorang di antara mereka depat lolos! Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan, sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling dan tak dapat bangkit kembali. Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya. Begitu mendengar gerakan dari belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu telah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik dan mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam seperti gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, dia akan dapat menghancurkan pemuda itu! Akan tetapi, Thian Sin menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara “krek, krek!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu! Thian Sin menendang dan lawannyapun roboh tak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena terasa nyeri bukan main pada kedua pergelangan tangannya! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya. Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin dan berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap dua orang ini?” Thian Sin tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!” “Biar kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, lalu mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi. “Plakk!” Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lalu mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget. “Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlalu enak baginya kalau hanya langsung dipenggal lehernya. Dia ini merusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!” Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu telah menggunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To! Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung dan tubuhnya, berkelojotan. “Dan dia sudah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!” Kembali nampak sinar golok berkelebat dan kini yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu telah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To makin keras berkelojotan, mukanya penuh keringat dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa. Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan ini, bahkan mantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan dalam rangkulan suaminya. Gak Song sendiri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu! “Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suhengnya itu. “Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?” Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suhengnya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tak mampu lagi berkata-kata, hanya memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin. “Engkau tidak mau bicara? Padahal, di depan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok orang tuaku. Nah, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada. Mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya, lenyap terbabat golok sehingga di bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya dan semua orang memandang dengan hati ngeri. “Engkaupun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!” Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu. Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song dan kawan-kawannya lalu berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.” Gak Song menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu. “Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, oleh karena itu, kalau sampai kelak aku medengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!” Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa ia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.” “Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!”