Ketika mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lalu dimasukkan ke mulutnya, mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang. Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang sudah mendekati lubang kubur ini, maka sia-sialah agaknya perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru, Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang nampak kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat. Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara karena memang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang tak dapat dibantah lagi kekuatannya. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat. Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanya seorang nenek tua renta seperti ini. Nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Ketika Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan alisnya, tanpa menengok ia berkata kepada seorang di antara lima orang gadis cantik itu. “A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?” Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan saputangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghina, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas. “Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?” akhirnya dia bertanya dengan suara nyaring. Dia melihat betapa wajah lima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya itu tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini amat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian. Thian Sin, dan tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus, “Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?” Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini sungguh memandang rendah kepadanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus, rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, dan hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga. “Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!” “Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!” “Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!” “Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah yang berusaha meniru lagak seorang siucai!” Hampir meledak rasanya dada Thian Sin saking mendongkolnya. Nenek ini ternyata seorang yang pandai berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, semakin cerewet, maka dia pikir kalau harus berdebat adu mulut, dia akan kalah. Lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol. “Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, engkau mengundangku mau apakah?” Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Thian Sin kini melihat dari samping sebuah wajah yang berkeriputan kedua pipinya, dengan hidung kecil dan bibir kering mengejek. “Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada saat aku makah maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan menghadapi kematianmu.” Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seolah-olah nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia melangkah maju dan berkata dengan nada tidak kalah mengejeknya, “Memang sebaiknya orang yang akan mati makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kauserahkan dan gunakan untuk bertindak curang.” Dan Thian Sinpun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga mereka kini dapat saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan bermacam-macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi. Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa serem sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh nampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan. Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tidak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan tadi melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini. Setelah sejenak saling pandang dan nenek itupun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali inilah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, nenek itu sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin. Setelah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya ia berkata, “Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!” Memang saat itu sudah menjelang senja dan cuaca di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tidak kebagian sinar matahari lagi dan menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung di sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguhpun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa sinar yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng. “Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!” kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh seorang pelayan. Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis, itu. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga. Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, Si Nenek akan tiba-tiba melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi. Nenek itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat. “Pendekar Sadis, beranikah engkau minum arak dalam cawanmu itu?” Berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama. Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa. Seorang datuk sudah terlalu percaya kepada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan golongan penjahat rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri dan Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan menggunakan racun. Apalagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya sehingga datuk ini tidak mungkin merasa gentar kepadanya sehingga sampai begitu merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin tersenyum memandang kepadanya. “Andaikata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia ini, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi daripada seorang penjahat yang paling hina sekalipun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?” Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis. “Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!” Nenek itupun lalu minum araknya, akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu ia letakkan kembali cawannya di atas meja. “Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, setelah kita makan baru kita bicara nanti!” Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa itu mendatangkan rasa serem di hati siapapun jugap bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apabila mendengar nama mereka, duduk berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang dan dapat dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka itu akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan. Namun, melihat betapa mereka itu duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan selera yang balk dan kelihatan enak, seolah-olah mereka berdua itu bukan dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Keduanya makan dengan enak, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu berlumba makan. Biarpun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa diantara mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu. Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biarpun kelihatan makan dengan sama gembiranya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, juga mengambil sayur atau daging yang kecil-kecil potongannya. Malah araknyapun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras. Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Setelah membersihkan mulut dengan minum teh yang dihidangkan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersamadhi sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa makan minum telah selesai dan mereka tanpa diperintah lagi membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itupun bersih dan tidak ada sedikitpun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain. “Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri,” tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang. Lima orang pelayan itu saling pandang, nampak ragu-ragu. “Dan para pengawal...?” tanya Si Baju Ungu. “Tinggalkan! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapapun juga memasuki rumahku. Dan kalian jangan keluar dari kamar kalau tidak kupanggil!” “Baik, pangcu...” jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu kelihatan marah. Setelah menjura ke arah Thian Sin merekapun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal inipun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga ia tak mau dibantu oleh siapapun juga! Pantaslah menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini. SETELAH lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itupun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, diapun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, terhalang meja. “Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?” Thian Sin tersenyum dan mengangguk. “Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir.” Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. “Huh, aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walaupun jangan dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!” Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang belum pernah dijumpai selamanya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis. “Benarkah engkau tahu siapa diriku sebenarnya?” Thian Sin memancing dengan suara menantang. “Kalau aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku den mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, kalau aku tahu pula semua riwayatmu sejak kau kecil, siapa orang tuamu. Nah, kalau aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku dan menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang siapa kalah di antara kita?” Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya. “Baik, nah coba kaukatakan sekarang siapa aku.” “Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?” Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya. “Dan engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Hen Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?” Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Luar biasa sekali nenek ini. “Hemmm, kiranya engkau memiliki jaringan mata-mata yang amat luas, Lam-sin. Aku tidak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kaukatakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?” “Ayah bundamu meninggal karena dikeroyok oleh pasukan dan setelah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lalu membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sian-jin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?” Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi lalu duduk kembali. Ini sudah keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya? “Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu? Mengapa aku menantangmu?” Nenek itu menyeringai yang tentu saja dimaksudkan tersenyum. Thian Sin membuang pandang matanya agar tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata, “Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan? Dan engkau mempergunakan Thi-khi-i-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku.” “Hemm, jadi engkaukah kiranya bayangan itu yang menyerangku dengan dua kerikil kecil?” “Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku tahu tentang Thi-khi-i-beng dan aku tidak takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?” “Hemm, kenapa tidak kaulakukan kecurangan itu! Sekarangpun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, akupun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau tahu semua tentang diriku, tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan undur selangkahpun andaikata engkau mengeroyokku.” “Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!” Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. “Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan...” Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. “Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!” Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengetuarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya. Sin?ko, Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku. Ciu Lian Hong. Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin. “Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi? Aku tidak pernah mengenal tulisannya.” “Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini.” “Apa? Tiong-ko sudah datang ke sini?” “Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!” Dan memang nenek itu masih merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat! Thian Sin terrdenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid! “Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!” Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. “Apa...? Apa maksudmu...?” “Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong.” Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah. “Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia.” “Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!” “Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini.” Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya! Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah. “Ceng Thian Sin, kita ini sama!” Thian Sin memandang heran. “Sama? Sama bagaimana?” “Sama sebatangkara, sama kesepian.” “Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?” “Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin.” Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka! “Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?” Nenek itu menggeleng kepala. “Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga...” Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas. “Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka.” Nenek itu terkekeh. “Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan.” Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan diapun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing lukisan. Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno. “Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?” Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi alat-alat musik itu. “Dan pandai bermain musik pula?” “Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak.” “Meniup suling? Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!” Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan mulailah ia mainkan kawat-kawat yang-kim itu sehingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!” “Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?” kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa. Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastra dan sajak terdapat di situ! Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut. “Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang amat menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!” Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia telah bertemu dengan Tung-hai?sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan bahkan kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu. “Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?” tiba-tiba nenek tua itu bertanya. Thian Sin mengerutkan alisnya. “Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas? Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?” “Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik.” Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa ia akan menang nanti, hal ini sudah berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata. “Lam-sin, memang kau benar, akan tetapi kematian bisa menimpa siapa saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak.” “Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!” Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu. Merekapun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di sudut kanan kamar. Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sinpun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan sajak tulisan Thian Sin. “Lam-sin datuk dunia selatan mendatangkan kagum dan heran aku melihat perpaduan antara ketuaan dan kesegaran keganasan dan kelembutan!” Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya. “Pendekar Sadis yang tersohor kiranya hanya seorang pemuda hijau yang lemah lembut dan halus pandai bersuling dan bersajak betapa amat mengagumkan!” Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain! “Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah,” Thian Sin memuji. “Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis,” Nenek itu berkata. Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata. “Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?” “Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap jahat? Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan engkaupun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu mengapa aku menolong Lian Hong dan menganggapnya sebagai murid? Karena ia hendak diperkosa orang dan tahukah engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!” “Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta.” Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanyao “Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?” Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu secara tiba-tiba saja menyebut namanya selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu “Cinta? Jatuh cinta? Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta...? Ah, aku tidak mengerti...” “Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?” Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini. “Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira saja pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku.” Thian Sin berhenti sebentar, lalu menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, “Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?” Nenek itu menggeleng kepalanya. “Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!” Setelah menjawab demikian, iapun menyambung cepat, “Mari kita ke lian-bu-thia!” Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu. Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukan dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini? Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa kalau dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya. Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini? Dan kalau dia kalahpun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat mundur lagi. Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Ruangan lian-bu-thia ini selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula. “Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kaukehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang dan mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?” Thian Sin mengangguk. “Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang...” “Sekarang bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!” Merah muka Thian Sin. “Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu.” “Engkau membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu tidak cukup untuk membuat aku membunuhmu?” Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh. “Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Mari, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!” Dan pemuda itu, lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak dengan sikap tenang. Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri. “Menurut penuturan Lian Hong, ergkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mujijat itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!” Lam-sin menantang. Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka diapun bertanya, “Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?” Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. “Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak? Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa tanya pakai senjata atau tidak? Kalau engkau sendiri memiliki seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak undur selangkahpun!” “Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!” Thian Sin lalu menampar dengan gerakan sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin cepat mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun. Akan tetapi jangan kira pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan itu mengandung tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah. Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat sekali dan setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat. Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan gin-kang, dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya, menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya. Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu. Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan tenaga yang dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi. “Haiiittt...!” Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan. “Hemmm...!” Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu. “Dukkk...!” Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan lawan yang dapat menandinginya dalam hal gin-kang dan sin-kang. Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya. “Desss...!” Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin. Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan ternyata sinar hitam seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin mencium keharuman kembang. Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya hebat, kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu. Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya. Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu. Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim pukulan. Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak. “Lihat jarumku!” tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat. Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan. Kipasnya telah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya karena pemuda ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, namun dia tetap terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat. Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat. “Trang! Cringgg...!” Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka iapun cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai! Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya. Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras! Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan. Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah? Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan. Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, “Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?” Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak! “Kau... kau kenapakah, nek?” Thian Sin bertanya sambil mendekati. “Aku sudah kalah... lebih baik mati...!” Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri. “Jangan...!” Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu. Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis. Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara! “Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?” Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu. “Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?” Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, “Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!” Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara? Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak. “Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!” Thian Sin berkata. “Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu.” “Kau... kau mau...?” Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya. “Benarkah kau... kau mau...?” Nenek itu seolah-olah tidak percaya. Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia mencium bau harum minyak wangi. “Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin.” Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, “Ke kiri... melalui pintu kiri itu...” Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar! Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya. Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk. “Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?” tanya nenek itu. “Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan.” Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah. Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu. Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” tanyanya, suaranya lirih dan gemetar. Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu. “Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor...” “Nanti...” kembali Lam-sin menarik kakinya. “Kau... kaupadamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian Sin...” Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu. Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang benar-benar selamnaya belum pernah berdekatan dengan seorang pria! Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu. “Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya... maafkan aku.” Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis. Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan. Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut! Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. “Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!” Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, “Aku... aku malu...” “Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walaupun tidak sah? Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku...” “Thian Sin, jangan merayu engkau!” “Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku...” “Kepada Lam-sin nenek tua renta?” “Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah.” Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan... dia terpesona! Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu. “Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!” katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lalu menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut. “Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?” “Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!” “Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku telah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi sumpahku.” Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. “Dan aku merasa terharu, merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku.” “Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu.” Terkejut juga Thian Sin mendengar ini. Sungguh aneh sekali, dia melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis sekali wanita ini, dan memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan diapun agaknya tidak keberatan untuk mendampingi gadis ini selamanya! Akan tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang disangkanya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka dapat menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya? “Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium. Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biarpun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu. Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat bicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?” “Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan. “Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kila bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan daripada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian.” Sikap wanita yang semalam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api berahi yang bernyala-nyala, kini berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah! Thian Sin tersenyum. “Memang bijaksana sekali keputusan itu. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Setelah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Kiranya nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit tipis sekali dan ada rambut putih di bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali kalau meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan. “Ah, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?” kata Thian Sin. “Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu dan lapat-lapat terdengar suara berkeliling di luar kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapapun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar. “Cepat, ambilkan tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin. “Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota.” Setelah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuahpun kata. Setelah mereka pergi, Lam-sin lalu mengajak Thian Sin makan pagi. Setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar dan Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke sebelah belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggauta Bu-tek Kai-pang berkumpul. Melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang. Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya sedikitnya ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan diapun melihat tiga orang ketua kai-pang itu dengan rebah di atas usungan, hadir pula. Wajah mereka masih pucat dan mereka memandang kepada Thian Sin dengan mata mendelik dan muka marah. Merekapun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa. “Para anggota kai-pang sekalian.” terdengar “nenek” itu berkata, suaranya lantang berwibawa dan semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, “dengarkan baik-baik segala perintahku pagi hari ini yang merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!” Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu? “Aku perintahkan semua anggauta, baik yang kini hadir maupun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, untuk mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak memimpin kalian lagi, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan tanpa adanya aku di sini, kalian akan dibancurkan golongan lain. Kalian boleh memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang main curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Setelah aku pergi, tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan namaku lagi, dan semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di manapun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!” “Pangcu...!” Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan merekapun menangis! Dan hal ini menular kepada beberapa orang anggota kai-pang dan sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis! Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Ia sendiri menarik napas panjang beberapa kali dan nampaknya juga berduka, akan tetapi ia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak “Cukup...! Bukan sikap orang-orang gagah kalau membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang hendak mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini.” “TAPI... tapi, locianpwe...” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang telah membunuh begitu banyak anggauta kami?” Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, “Dia datang untuk membalas kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis sudah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!” “Ahhh...!” Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar. “Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?” Tiga orang ketua itu berkata. “Kami mengerti!” dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti. Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya untuk masuk lagi ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan. Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal.” Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan setelah keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat meninggalkan kota Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?” “Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah kita bicara tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara. Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir dan akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia. Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka. Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan di antara pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali. Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu dan membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biarpun agaknya sudah lama tempat itu tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali. Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira sekali. “Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada jika hatiku sedang risau. Kini aku bebas...! Bebas...!” Dan iapun mengembangkan kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali. “Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu. Lam-sin mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!” “Eh... kenapa begini? Bukankah... bukankah...” “Mari kita keluar dan engkau saksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!” “Apa... apa maksudmu...?” Thian Sin semakin kaget. Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di situ hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak bisa tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, ia berkata, “Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?” “Membuat api unggun? Untuk apa...? Tapi baiklah...” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biarpun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun? Tapi melihat sikap Lam-sin begitu sungguh-sungguh, diapun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita tua. Setelah memperoleh kayu kering cukup, Lam-sin menumpuknya di atas batu-batu yang sudah diatur di tempat itu, dan iapun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api bernyala cukup besar dan nenek itu lalu meraba ke arah mukanya. “Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!” Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu. Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!” “Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!” kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya. Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika pemuda itu hendak menciumnya. “Nanti dulu, engkau belum mengenalku!” bisiknya. “Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam...” Thian Sin tersenyum. “Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.” “Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku...” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak. “Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya. “Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal. Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, terdengar suaranya lirih, “Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah...” Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya! Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali! “Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong...” “Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!” “Aku she Toan...” “Ehh...?” Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan. Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kaubunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.” Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat! “Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.” “Aku tidak peduli akan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!” “Ahhh...!” “Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar.” “Ah, kalau begitu... engkau masih keluarga kaisar...” “Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita adalah keluarga-keluarga jauh yang sudah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, akupun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak, sehingga dia memperoleh tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayah bertemu dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang amat terkenal. Mereka saling jatuh cinta dah hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk menikah dengan terang-terangan.” “Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan. Kim Hong mengangguk. “Akupun berpendapat demikian.” Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik ketika mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia! Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya, atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan yang bernama Ouwyang Ci, bersama-sama melarikan diri di daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer. Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci lalu tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), sebuah pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tinggal kosong. Namung kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah. Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali Toan Su ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahir seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong. Dan mereka terus bertapa dan memperdalam ilmu-ilmu mereka, bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo-sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis). Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapapun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai daripada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi, anak itu tidak menjadi canggeng, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka iapun mempelajari semua ilmu yang lain di samping ilmu silat, yaitu ilmu kesusasteraan dari ayahnya, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya sedangkan dari ibunya iapun mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu. Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan ia mendengar bahwa kaisar telah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari di mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya dan dengan terengah-engah saking tegang dan girang hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini ia menceritakan kepada suaminya. “Suamiku! Engkau telah bebas! Engkau telah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ah, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali. Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya. “Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin. “Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau kan seorang pangeran? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran...” “Tidak...!” Tiba-tiba Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggauta keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!” “Tidak mungkin!” Ouwyang Ci juga membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tidak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup seperti pertapa di tempat terasing! Aku tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.” “Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.” “Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!” Percekcokan menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap dan akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran inipun berkelahi! Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya dapat menangis. Segala jeritannya untuk melerai sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seolah-olah menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semua. Semua jurus ilmu silat mereka telah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama mainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama. Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang sempurna dan ia melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri. Terutama sekali ketika ayah ibunya berkelahi melihat Hok-mo Sin-kun, ia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan dan otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan! Akhirnya, terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah seperti kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Matanya terbelalak dan ketika ia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, ia menjerit lalu menubruk suaminya yang sudah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu telah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri! Kalau kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi, cobalah kita membuka mata dan memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan tentang “cinta” yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua. Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, namun sedikit saja selisihnya. Betapa banyak suami isteri yang hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu menumpahkan rasa kasih sayang masing-masing, dengan ringan kata-kata “aku cinta padamu” meluncur keluar dari mulut mereka, pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata penuh dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan benci, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan-serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata, bahkan ada kalanya beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru semalam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang! Begitukah cinta kasih? Ataukah semalam itu yang terjadi hanyalah gelora nafsu berahi belaka? Dan setelah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbul kemarahan dan kebencian sebagai penggantinya? Kemudian setelah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Ataukah hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain? Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan bahkan berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintaimu sebagai sahabat karena engkau baik kepadaku? Dan dengan demikian, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku? Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang kepada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia itu merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, seperti jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Kalau sudah tidak memporoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih? Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tidak akan menyinarkan cahaya selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rase takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itupun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci. Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal oleh perbuatannya sendiri itu lalu memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Ia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat den suaminya tidak sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi dan menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya. Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Ia menjadi sakit-sakitan dan ia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun den ketika Kim Hong telah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan ia lebih lihai jari ibunya sekarang! Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa malapetaka itu terjadi karena ia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Ia menghendaki agar puterinya menjadi isteri seorang pria yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena ia akhirnya sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta dan kalau ia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu. “Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaannya, dan akupun hidup sebatangkara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku agar aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan dapat mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek untuk mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.” Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. “Dan muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.” “Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku latu turun tangan, membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tidak pernah mau mengakui namaku. Makin banyak golongan sesat yang menentangku dan aku basmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, setelah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.” “Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?” “Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapit Lam-thian Kai-ong meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya ketika melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Dan akupun lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.” “Dan sekarang?” “Sekarang? Aku telah bebas... aaahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kaulihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas...” “Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin...” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul. “Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.” “Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu. Demikiantah, dua orang muda itu tenggelam dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Harus si calon suami lebih tua beberapa tahun daripada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu. Akan tetapi, dua orang muda ini tidak terikat oleh apapun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itupun hampir tidak mempedulikan soal cinta atau tidak cinta. Mereka suka untuk saling bercumbu, saling berdekatan, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apapun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan. Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa segala-galanya, seperti sepasang pengantin yang berbulan madu. Sebulan kemudian, ketika mereka berdua mandi di sumber air tak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di situ tidak ada orang lain kecuali mereka, Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong berenang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah. “Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin, memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu. Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Mengapa tidak? Bukankah kita berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?” Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu tentu akam menimbulkan kebosanan, bukan?” Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya dan ia mendorong dada Thian Sin dengan kuat. “Eh-eh...!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja. “Byuuuuurrr...!” Thian Sin berenang menghampiri lagi. “Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu. “Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang dan diapun cepat menyelam dan menjauh. “Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki gadis itu, menariknya dan Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya. “Kenapa kau tadi bilang bosan?” “Dengarlah dulu, aku tidak bosan sekarang, akan tetapi aku tahu benar bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku maupun kepadamu. Hidup rasanya hambar kalau setiap hari harus bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar dan menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang. Baru namanya hidup. Aku sudah terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau hendak meniru mendiang ayah bundamu yang menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita perlu melihat dunia ramai!” Kim Hong termenung, lalu mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlampau terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru kepada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.” “Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku ingin mencari dan menantang, juga ingin mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!” “Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan mempunyai banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!” “Justeru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?” Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya ketika ia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya. “Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?” “Terdengamya menarik juga. Tapi, mengapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?” “Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hati saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Aku ingin mengobrak-abrik mereka dan berarti aku telah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka aku berarti telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Kalau engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sesungguhnya, aku pernah mengukur kepandaian mereka dan pernah menang ketika bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Lalu dia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu. Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan akupun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.” “Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?” Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan gua mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?” Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang. “Kim Hong, terus terang saja, dahulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?” Kim Hong menggeleng dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!” “Ih, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah engkau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya untuk selingan hidup, mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi kalau sudah bosan merantau.” “Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.” “Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciuminya dan sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya. “Eh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!” “Lapar? Wah, setelah kauingatkan, akupun merasa lapar sekali!” “Tunggu apa lagi? Bubur menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!” Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak kecil berlumba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ. Melihat keadaan muda-mudi ini, timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaam itu adalah : Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu? Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai dan dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tidak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, walaupun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu. Mereka itu hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu, tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak kepada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang sudah seperti mereka itu keadaannya, seperti satu badan dan tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti kalau kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri. Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat. *** Thian Sin dan Kim Hong membuat perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya tidak tergesa-gesa karena Kim Hong yang selama empat lima tahun ini selama tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka kini memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, ia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh karena itu, mereka melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau seperti sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis, di kuil-kuil kuno, dan kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri. Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, seringkali mereka cekcok, walaupun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena ini, maka sering kali mereka cekcok, walaupun sebentar kemudian mereka sudah saling cium dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang! Di dalam perjalanan itu, Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang kelihaian-kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebetulnya malah lebih lihai daripada suhengnya itu. Dan memesan kepada Kim Hong agar berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong. “Tingkat ilmu kepandaian silatmu kiranya tidak perlu kalah berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tidak kalah lihai. Hanya dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Aku dahulu pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.” “Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?” Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam. “Eh, kenapa engkau memandangku seperti ini...?” Tiba-tiba Kim Hong yang melihat perbedaan pandang mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena ia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya. “Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Engkau hendak melawanpun percuma karena kedua tanganmu tak dapat kaugerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!” Di dalam suara Thian Sin itupun mengandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan ia mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi... benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapapun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat. Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapapun engkau hendak mengelak dan menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!” Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup! Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!” Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi ia benar-benar menjadi gentar. “Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, maka engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.” “Thian Sin, kauajarkan aku ilmu ini, agar aku dapat melawannya!” “Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya dapat dipelajari kalau engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, di dalam perjalanan ini akan kuajarkan kepadamu bagaimana agar engkau dapat menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal engkau tidak sampai ditarik perhatianmu olehnya, dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.” Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khi-kang yang amat kuat, maka latihan seperti itu amat mudah baginya dan sebentar saja ia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga tidak akan mudah diseret perhatiannya oleh lawan. Ketika mereka memasuki kota Si-ning keduanya lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu dan dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Mereka membuat sajak-sajak sambil berperahu, makan daging panggang dan kacang, minum arak wangi dan setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning. Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga. Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberitahu oleh anak buahnya tentang adanya Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu telah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya. Cepat See-thian-ong mengumpulkan para murid dan pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoinya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini telah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu telah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoinya ini. Selain kedua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang pria yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biarpun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling maupun Ciang Gu Sik, akan tetapi kalau kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang amat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka. Lima orang ini sekarang yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk “membereskan” urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu. Yang hadir, selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang selain berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu. “Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dahulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan dia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui.” Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya. “Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!” kata So Cian Ling kepada gurunya. “Hemm, kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apalagi setelah kedua tanganmu cacad,” jawab gurunya. “Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta.” Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah agar mereka semua siap siaga, pertemuan itu dibubarkan dan ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya. Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja. “Bagus!” kata See-thian-ong. “Usulmu memang baik sekali.” See-thian-ong tertawa. “Memang dugaanmu tepat. Betapapun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapapun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kausuruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kausuruh melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, ketika mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!” “Lalu bagaimana rencana suhu?” tanya Ciang Gu Sik, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ. “Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlalu enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku akan menentukan selanjutnya.” Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam. “Engkau kenapa?” Cian Ling menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa.” “Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?” Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. “Laki-laki jahanam itu!” “Engkau cemburu?” “Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Dia membuat aku kehilanga kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!” kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya. Akan tetapi suaminya yang sudah amat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pclukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Itu saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Hal inilah yang membuat Gu Sik semakin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu kiranya tidak kalah oleh kebencian suhunya terhadap pemuda itu! “Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi.” “Tugas apakah, suheng?” Memang aneh sekali dua orang ini. Biarpun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka telah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut sumoi dan suheng! Dan bubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan inipun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan subengnya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik amat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suhengnya, hanya perasaan berhutang budi saja, dan untuk itu ia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya. “Begini, sumoi, seperti kauketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin telah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu agar engkau pergi menemui Thian Sin dan menggunakan perhubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, sebaiknya kauusahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian.” Cian Ling mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kulakukan itu.” “Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu.” Kembali Cian Ling mengangguk dan alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak mencari akal bagaimana untuk dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya dan terbayanglah kembali kenang-kenangan lama ketika pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan! Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling! “Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?” “Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong.” Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin tentang gadis itu, maka ia berjebi dan membuang muka. “Kau mau membacanya?” “Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!” “Ha-ha, kau cemburu?” Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. “Siapa bilang cemburu? Biar kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tidak akan peduli! Kalau engkau menggandeng lain wanita, berarti engkau tidak suka lagi kepadaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!” Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimanapun juga, dia merasa amat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dahulupun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong. “Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kaubacalah suratnya, atau kaudengarkan, kubacakan. Ada jalan yang baik sekali untok menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling.” Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu. Ceng Thian Sin, Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan. Tertanda : So Cian Ling. “Hemm, agaknya ia rindu padamu,” kata Kim Hong, tersenyum mengejek. “Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak memikirkannya, Kim Hong. Kupikir, sebaiknya kalau kutemui wanita ini untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui.” “Sesukamulah!” jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimanapun juga ada perasaan tidak sedap di datam hatinya. Ia merasa marah kepada hatinya sendiri. Ia tidak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lama? Inikah yang dinamakan cemburu? Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa cemburu tentu timbul di mana terdapat si aku yang mementingkan kesenangan sendiri. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbul iri hati atau cemburu. Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah atau tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau tidak, telah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan baginya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang! Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, ia selalu berdua dengan Thian Sin dan telah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang ia marah kepada Thian Sin, kadang-kadang ia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya. AKAN tetapi semua itu lenyap setelah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, ia tidak ingin berpisah sedikitpun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan ia merasa betapa tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu! Ia dan Thian Sin sering bicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu sama lain. Oleh karena itu pula maka ia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar ia tidak mengandung dari hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itupun menyetujuinya. Kalau ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena suatu ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau kalau keduanya menghendaki, tentu hubungan itu dapat bertahan selama hidup! Kini Kim Hong merasa betapa sangat sunyi dan kosongnya rasa hatinya setelah Thian Sin pergi. Hal ini membuat ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta benar-benar kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, ia sebenarnya telah terikat secara batiniah. “Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!” Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Ia tidak akan bebas kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini? Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi ia mondar-mandir di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir ia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, tidak akan mengetuk pintu! “Siapa?” tanyanya sambil menghentikan kakinya. “Saya, toanio, pelayan.” Kim Hong mengenal suara pelayan yang melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin tadi. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat. “Ada apa?” tanyanya tidak senang. “Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita penting sekali bagi toanio,” kata pelayan itu. Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu membentak, “Siapa tadi yang memberi surat yang kauberikan... suamiku?” “Saya... saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, entah siapa...” Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa. “Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?” “Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, sayapun tidak mengenalnya.” Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, lalu metangkah keluar. Di ruangan depan, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang, telah menantinya. Laki-laki itu memberi hormat ketika Kim Hong tiba di situ dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik. “Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?” Kim Hong bertanya. “Apakah nona... eh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?” pria ini bertanya. “Benar. Siapa kau dan ada apa?” Pria itu memandang ke kanan kiri. “Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh.” “Ehh...?” “Nona, marilah kita bicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya.” Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan. Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, lalu mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, di bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik. “Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita...?” “Nanti dulu, siapakah engkau?” Pria itu menjura dan berkata, “Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang penting, Ceng-taihiap telah terjebak dalam perangkap musuh...” “Musuh siapa?” “Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuh dengan datuk itu...” Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya omongan orang. Ia adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali. “Lalu apa maksudmu memberitahukan hal itu kepadaku?” “Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini dan kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang telah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk bersama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap.” Diam-diam Kim Hong terkejut sekali dan jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya membuat hatinya gelisah bukan main. Ia mengangguk. “Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar.” Tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tak jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker. “Mereka telah berkumpul menanti kita di ruangan belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah...” Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan ke samping gedung dan menuju ke pintu belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu dan mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Sunyi sekali, tidak terdengar suara seorangpun di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup, lalu berkata kepada Kim Hong. “Nona, silakan masuk, mereka berkumpul di ruangan dalam,” berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya. Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata, “Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja.” Orang itu menarik napas panjang. “Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah sahabat-sahabat yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu.” Dia membuka pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah kamar atau ruangan yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah lubong pintu yang kelihatan gelap. Karena melihat orang itu sudah melangkah masuk, Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu telah meloncat dengan cepat sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat iapun meloncat, namun tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya, dari mana ia masuk tadi tertutup, tubuhnya sudah mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di ambang pintu dan mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar. “Desss...!” Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras dan tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi ketika gadis itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan kedua tangan mendorongnya kembali. Kim Hong marah dan iapun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya. “Dukkk...!” Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakangg sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga langkah ke dalam kamar dan... tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah. “Haiiiiittt...!” Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya yang sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi. “Dukk!” tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan kini tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi. Maklum bahwa ia telah terjebak, Kim Hong mengerahkan gin-kangnya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, ternyata di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga ia dapat mendarat dengan selamat. Gelap sekali tempat itu. Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai ia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah kamar yang luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter. Ia meloncat dan mendorong langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang amat kuat. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan tetapi ia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama ia masih hidup, ia tidak akan kehilingan harapan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu gelap behingga ia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiripun tidak nampak, apalagi benda lain. Dan tiba-tiba ia mencium bau yang harum dan keras. Celaka, keluhnya karena ia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Ia tahu bahwa melawanpun tidak ada gunanya, membuang tenaga sia-sia belaka. Kalau ia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja, akhirnya ia akan tidak dapat lolos pula dari asap yang ia duga tentu mengandung obat bius itu. Kalau ia melawan dan menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik ia menyerah kepada keadaan yang tak mungkin dapat dilawannya lagi, untuk menghemat tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai dan melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat sarafnya agar jangan menegang. Karena ia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh. Kim Hong yang sudah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan ia jatuh pingsan dengan hati tenang. *** “Cian Ling...!” “Thian Sin, ah, Thian Sin...!” Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis. Thian Sin mengelus rambut kepala itu, membiarkan Cian Ling menangis sejenak di dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang di langit itu. “Engkau kurus...” kata Thian Sin dan memang wanita itu nampak kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu. “Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku... aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu... suhu menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku.” Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar mata sedih. “Ah, maafkan aku, Cian Ling.” Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian. “Engkau menderita karena aku.” “Dan engkau agaknya sudah senang sekarang, ya? Lupa kepadaku dan sudah memperoleh gantinya?” “Ah, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah engkau sudah menjadi isteri suhengmu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kaubicarakan denganku?” “Apa pertemuan antara kita ini tidak kauanggap penting?” “Memang, akan tetapi tentu ada yang lebih daripada itu yang hendak kausampaikan kepadaku.” “Aku diutus suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmiu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?” Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Betapapun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang. “Ah, engkau diutus menyelidiki aku akan tetapi mengapa engkau berterus terang begini kepadaku?” Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya. “Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau telah meninggalkan aku, karena engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi... tapi... mana bisa aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku dan suamiku dan semua kaki tangannya telah siap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau hati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini.” “Cian Ling, kenapa kaulakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhumu dan suamimu...?” Than Sin bertanya, terharu juga. “Aku... ohhh...” Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya. “Aku girang bahwa aku berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Biarpun engkau tidak mencintaku, namun engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita.” “Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan.” Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong dan para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai. “Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Mereka itu, kalau maju bersama, lebih lihai daripada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang kini semakin tua menjadi semakin lihai. Engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?” “Ya, sebaiknya katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhumu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku.” “Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?” “Dia memang pantas ditentang, apalagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu.” “Ah, aku khawatir sekali!” “Tak usah khawatir, aku dapat menjaga diri.” “Selamat berpisah.” Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lalu terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong ke dua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu berahi. Dia sendiri tidak tahu apakah terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapapun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya, hatinya dan pada saat inipun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban kedua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biarpun See-thian-ong mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak! Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, ia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tidak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya ia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tidak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam. Akan tetapi, ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat maupun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu pergi meninggalkannya karena marah dan cemburu. Akan tetapi, buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, namun tidak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya. “Engkau melihat nona?” tanyanya kepada pelayan itu. “Tidak, tuan...” Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu. “Baikiah,” katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, diapun memasuki kamarnya. Akan tetapi cepat sekali diapun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut. “Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamamya...” “Baik, kami akan menjemputnya,” kata seorang di antara tiga orang itu. Thian Sin cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan. “Tok-tok-tokk!” Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, barulah dia menjawab dengan suara mengantuk, “Siapa di luar?” “Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu Pendekar Sadis!” Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Kalau See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan. “Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja.” Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi ketika melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dan orangnya itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang. “Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!” kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli. Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia menyeringai dan berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya. “Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku.” “Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?” Sikap Thian Sin tetap tenang saja dan justeru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar. Dua orang tinggi besar yang menanti dan berjaga-jaga di luar kamar itupun menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan agak gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Mereka bertiga kini menghadapi Thian Sin, siap dengan golok di tangan dan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh. “Pendekar Sadis,” kata seorang yang pertama tadi. “Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami menghadap beliau tanpa banyak ribut.” Thian Sin tersenyum. “Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?” Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah sebelum menjawab, merasa sukar bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya. “Kalau... kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi setelah matahari terbit, wanita itu akan mati...” “Wanita...?” Thian Sin pura-pura bodoh. “Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!” Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. “Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tidak akan kalah olehmu dalam menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Sedikit saja engkau mengganggu kami, kawanmu yang cantik itu besok sebelum matahari terbit, akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tidak berupa manusia lagi!” Thian Sin masih bersikap tak acuh. “Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?” Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan melemparkannya ke arah Thian Sin sembil berkata. “Lihat ini!” Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah sampai ke lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh. “Hemm, di manakah ia?” Orang pertama tertawa, suara ketawanya seperti suara burung hantu, lalu berkata, “Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau menghendaki ia selamat!” Thian Sin berpikir sejenak. Diapun tahu bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti tidak mengenal bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, melainkan dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam. Dan kini baru dimengerti bahwa So Cian Ling telah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas, hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk membuatnya meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu dapat menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri. Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat diketahuinya kalau dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini dan tidak muncul sampai besok pagi, tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka. “Baiklah, aku ikut dengan kalian!” katanya sambil bangkit berdiri. “Ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis,” kata orang pertama. “lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, karena di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu.” “Kami harus melucutimu dulu,” kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin dan mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang. “Mari kita berangkat!” kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu. Thian Sin berjalan di tengah-tengah mereka, seperti seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus dan para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu. Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka. “Setelah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha!” kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya. Hemm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di mana? Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tidak percuma berjuluk datuk kaum sesat. Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakitkan hatinya. Tiba-tiba Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakitkan hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan alau demikian halnya, maka TIDAK MUNGKIN kalau Kim Hong akan dibebaskan setelah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya! Mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota sekarang dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam itu amat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit-apit sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata. “Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya.” Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya. “Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu agar kau... hukkk!” Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti dan diapun terjengkang memegangi perut. Dua orang kawannya terkejut sekali dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat daripada tangan mereka yang mencabut golok dan gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin. Mereka hanya pingsan dan tidak mati, karena memang Thian Sin belum hendak membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana Kim Hong ditahan, Thian Sin sengaja menanti sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang akan dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu. Ketika tiga orang itu siuman mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki tangan mereka lumpuh sama sekali dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin lalu menyeret seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut ketika kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis. “Jangan takut,” bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, “dia tidak mampu mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita.” Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan. “Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!” kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman. Si Codet menelan ludahnya, akan tetapi dia teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan senyum masam yang membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan menyeramkan. “Hemm, kaukira aku takut dengan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan kalau sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar Sadis.” “Begitukah? Kita lihat saja nanti!” Thian Sin berkata dan dengan cekatan lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lalu dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon. Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk dan orang itupun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian dengan tenangnya lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak. Thian Sin tidak menjawab, terus menyalakan api unggun dan asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi semakin takut ketika mulai merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya. Dengan panik dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup! Dia mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan melihat sedikitpun tidak, melainkan menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak. “Ahhhhh... akhhh... aku... ah, lepaskan aku... Pendekar Sadis...” Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Akan tetapi sebenarnya dia terus memasang pendengarannya dan memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah sudah ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah. “Aduuhhh... panas... aughhh... dengar Pendekar Sadis... gadismu itu... berada di... pesanggrahan... auhhhhh, lekas turunkan... aku akan mengaku...” Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu. “Jelaskan, di mana ia ditahan?” Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh See-thian-ong kalau dia berani mengkhianatinya, kalau dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan. “Aku tidak mau tawar-menawar lagi kalau engkau tidak mau mengaku, api akan kubesarkan dan tidak ada apapun yang akan dapat mengubah keadaanmu!” “Nanti... nanti dulu... ia... ia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami...” Orang itu merintih dan menangis, tahu bahwa dia telah menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat karena andaikata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tidak akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan. Akan tetapi, karena api unggun tidak begitu besar lagi dan biarpun masih mendatangkan panas dan asap namun tidak begitu menyiksanya lagi, diapun akhirnya menghentikan tangisnya, apalagi ketika melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu dan menyeretnya keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang. Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka diapun mendahului dengan suara ketawa. “Ha-ha, Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tidak akan bicara, dan biar engkau membunuh kami sekalipun, engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!” Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan cepat menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sin-kangnya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lalu ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang memasuki lubang dalam keadaan telentang. Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi ketika Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang menimbuninya dari kaki ke atas dan berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa... apa yang hendak kaulakukan...?” tanyanya, suaranya gemetar. Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang disengaja menimbuninya sampai ke dada saja membiarkan bagian muka itu terbuka. “Katakan di mana adanya gadis itu!” katanya, suaranya halus dan tenang saja, namun mengandung sikap dingin yang mengerikan. Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, walaupun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap. Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, suara ketawanya memang agaknya tidak takut mati. “Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar Sadis, biar kaubunuh sekali kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak ikut bersama kami menghadap See-thian-ong! Ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya. Ha-ha-ha!” Thian Sin mengerutkan alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia menahan diri, lalu mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka Si Jenggot. Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis, akan tetapi Thian Sin tidak peduli, walaupun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mah mengaku. Biarpun orang pertama sudah mengaku, namun Thian Sin masih belum puas, dan masih belum yakin benar hatinya. Orang-orang macam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya makin kurang ketika mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup dan Si Codet memejamkan matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup daripada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal telah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang, dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu. Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis daripada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiripun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus dan tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja! Setelah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu bergunduk merupakan sebuah kuburan baru. Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk. “A-ciang...!” Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah sambil memandang dengan mata melotot. “A-ciang...! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya dengan hati ngeri. Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andaikata temannya dapat mendengarnya sekalipun, tentu teman itu tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya. Si Codet tidak memanggil lagi ketika Thian Sin sudah mendatangi dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan tiga orang itu. Orang ini memiliki kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu mirip dengan muka seekor monyet. Ketika Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan. “Pendekar Sadis, apa yang kaulakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya. Thian Sin tidak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sutenya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sutenya tadi tentu telah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sutenya itu belum mati, maka dia bertanya “Tauw-sute, di mana Ciang-sute?” Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba mata A-tauw itu terbelalak seperti orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan diapun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kepala yang penuh tanah itu kini keluar, matanya berkedip-kedip karena kemasukan tanah, mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula. Kiranya Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati dan ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah dan dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya. Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku.” Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu memaki dengan suara seperti orang yang dicekik lehernya, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin. Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan seperti harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil. “Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam untuk menyiksa temanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong dan seluruh anak buahnyapun akan kusiksa sampai mati semua. Dan kalian memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.” Berkata demikian, tiba-tiba leher Si Muka Mohyet itu telah dibelit sabuknya sendiri dan sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin telah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya! Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya, sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar dan tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya. Thian Sin melepaskan ujung sabuk dan tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang. “Nah, apa yang hendak kaukatakan?” katanya kemudian. “Gadis itu... ia... ditawan... di pondok merah... dekat Telaga Ching-hai...” Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasan. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu sudah menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya! Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya untuk lari menuju ke Telaga Ching-hai! *** Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, ia mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri dan ketika ia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika ia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah ia bahwa ia telah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius. Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Ia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Ia tahu bahwa ia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa ia masih hidup sampai saat ini. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan mempunyai suatu rencana mengapa ia masih dibiarkan hidup. Dan selama ia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan. Pandang matanya menyatakan bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Ia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana ia rebah miring. Kedua kakinya bebas, akan tetapi kedua lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah ia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi telah melukai kedua pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat. Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, ia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apalagi bermusuhan. Jelaslah bahwa ia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin. Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan ia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya dan berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal ini yang dikehendaki oleh pihak musuh yaitu memancing datangnya Thian Sin. Ini berarti bahwa ia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa ia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sinlah yang terancam. Ia harus dapat lolos untuk memperingatkan Thian Sin! Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di tepi pembaringan. Pertama-tama, ia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, ia masih akan mampu menjaga dan melindungi dirinya. Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya kedua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapapun juga, ia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Ia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu. Akan tetapi, hal ini jauh lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Dengan pengerahan sin-kang, mungkin saja ia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu ia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan kalau sampai urat besarnya yang terluka, dapat berbahaya juga. Apalagi ketika ia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, ia memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tidak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidaknya harus ada tangan orang lain yang membukanya. Kim Hong bangkit dan memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka diapun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, dan mulailah ia menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat. Lebih dari dua jam ia bekerja, mengerahkan tenaga, dan hasilnya baru sedikit saja, baru mulai dapat merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh memakan banyak sekali tenaga dalam badan. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya dan Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi. Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang kesemuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja ia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang akan dipancing dan dijebak, tentu ia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi ia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Kalau mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek. Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah ia bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi. Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya memiliki kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walaupun tingkatnya belum setinggi tingkat para suhengnya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia dan dua orang sutenya yang bertugas menjaga di situ memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong. Si Jangkung tersenyum mengejek ketika melihat gadis itu agaknya hendak melawan namun tidak berdaya dan dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka di pergelangan lengannya. “Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?” “Persetan dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?” Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu. “Nona manis, simpanlah kegalakanmu. Engkau sekarang telah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong.” “Ahhhhh...!” Dengan sengaja Kim Hong memperlihatkan kekagetannya dan juga memperlihatkan rasa takut. Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu.” Kim Hong masih memperlihatkan sikapnya yang ketakutan dan iapun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?” Ia disuruh berjalan di muka dan tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biarpun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin bahwa dengan kedua kakinya saja, ia akan mampu merobohkan tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak ia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, ia tidak akan mau bertindak sembrono karena ia akan gagal kalau harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan kedua tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini ia harus mempergunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad. Ruangan itu luas dan See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam ia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia memandang marah. “Duduk!” bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai. Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi ia menegakkan kepalanya memandang kepada See-thian-ong, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut kini. Baru sekarang ia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit hitam ini. Selama ia menjadi Lam-sin, ia baru mendengar nama saja dari “rekan” ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa. “Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya. Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis yang berpakaian mewah dan pesolek, sedangkan di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Ia dapat menduga bahwa tentu wanita ini murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tidak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai. Melihat So Cian Ling berada di situ, Kim Hong yang tadinya tidak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?” See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya amat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapapun banyaknya arak memasuki perutnya. “Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkaupun cukup manis. Siapakah namamu, nona?” “Namaku Kim Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya. She Toan adalah she yang terkenal sebagal she ketuarga kaisar, maka ia tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka ia she Kim dan bernama Hong. “Nama yang manis seperti orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis.” “Apa maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu. “Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya kalau Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandang mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu. Dan memang sesungguhnyalah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Ia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suhengnya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja ia merasa iri sekali. “Perempuan rendah,” kata So Cian Ling. “dengarlah baik-baik. Kami telah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Kalau sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan sampai mati. Pertama-tama, engkau akan diserahkan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!” Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah. Tapi engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, sampai engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik daripada nasibmu.” “Perempuan rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang. “Cian Ling, jangan!” terdengar See-thian-ong berkata sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuknya!” perintahnya kepada seorang murid, dan di antara murid-muridnya yang mengurung tempat itu segera maju dan membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil. “Letakkan piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini. KIM Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti dan daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja ia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena ia tidak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Ia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Kalau menuruti hatinya, tentu saja ia lebih baik memilih mati daripada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa mereka ini, kecuali Cian Ling mungkin, amat membenci Thian Sin, karena itupun tentu saja membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat ia terhina, dan ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas. Kalau ia menolak suguhan ini, berarti ia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini amat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai ia kelaparan, ia akan lemas dan ilmu silatnyapun takkan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka, Kim Hong lalu mendiamkan pikirannya sehingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, dan iapun lalu menekuk tubuhnya ke depan. “Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan. Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan seperti seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring dan perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanya merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu! Biarpun agak sukar, piring itu kadang-kadang terdorong ke depan dan terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering dan ia ingin sekali minum. “See-thian-ong, aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”! “Ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali. Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu dan sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lalu mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu. Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Dia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari tiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu. Tidak sukar menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dia memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok. Dengan perlindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk, kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong. Dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, diapun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia dapat menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong. Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Kalau saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati! Kalau See-thian-ong cerdik, tentu akan dibunuhnya Kim Hong seketika itu juga, tidak mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dan diapun mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja. Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi. “Bawa ia kembali ke kamar tahanan,” kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak berharga menjadi lawan yang ditakuti. “Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!” Maka terhindariah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguhpun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Ia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa ia akan diperkosa oleh dua puluh orang apabila Thian Sin tidak muncul, justeru merupakan pertanda bahwa kalau Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu ia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi. Tiada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan ia seperti itu. Akan tetapi kalau Thian Sin terkena pancingan dan datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan ia diperkosa oleh banyak orang di depan matanya. Hal ini ia yakin benar! Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, dan membiarkan ia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika ia kelak “dibantai” oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri. Sementara itu, Thian Sin mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka diapun dengan cepat dan hati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, dan mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan. Ketika mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng segera mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu. “Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok,” bisik Si Muka Bopeng. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi ditahannya dan ia bergegas memasuki kamar tahanan itu. “Nanti dulu,” kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong. Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu kedua pergelangan tangan agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong dan gadis ini menggigit bibirnya. Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih ia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan daripada kekurangajaran dua orang temannya. “Awas kau kubunuh kau lebih dulu nanti...!” kata suara hati Kim Hong ketika Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya. Thian Sin melihat ini semua. Tangannyapun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil teman-temannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Diapun lalu meneliti keadaan kamar itu. Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang berjeruji atasnya. Untuk memasuki dari pintu tidak mungkin. Maka diapun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu amat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apalagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal. Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga nampak paku itu, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu. Akhirnya, berhasillah dia membongkar papan persegi selebar satu meter itu dan mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan. Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang sudah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lalu gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu. Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka iapun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan “aman”. Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara. Tanpa bicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian diapun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua lengan kekasihnya. Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu. “Mereka sedang bermain kartu...” bisiknya. “Hanya bertiga itu?” bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk. “Kita pancing mereka masuk,” kata Thian Sin. Kim Hong mengangguk. “Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan yang terdekat, dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara,” bisik gadis itu dengan sikap tenang. Diam-diam Thian Sin kagum. Tidak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, karena memang sikapnya bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali. See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran. Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lain, dia melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang mengamuk dari dua jurusan itu. See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah sinar api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, dan kedua orang muda itu dikepung. Thian Sin menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek. “Hemm, kiranya See-thian-ong yang katanya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu...!” kata Kim Hong. “Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!” Thian Sin menambahkan. Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Kedua matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu. “Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!” bentaknya. “Wah, betulkah? Apakah ada yang bisa mengantarku ke kematian? Hemm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!” Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali. Akan tetapi, biarpun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah kepadanya. Maka diapun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah setingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan setingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin! “Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!” Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seolah-olah melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali. Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek, tidak memegang senjata, belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlumba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam telah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka! Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan ia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggauta rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan. Hanya terdengar suara “tokk!” dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar. Hanya terdengar suara “Plak-plak!” dan dua orang itupun roboh dengan kepala retak. Lima orang itupun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika! Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan kaget bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas dalam segebrakan saja, menjadi marah dan mereka telah mencabut senjata masing-masing. Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar sudah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal lihai sekali dengan permainan tongkat Giam-lo-pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuhnya, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka. Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu ia bergerak, semua orang terkejut karena tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya nampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah muncrat di sana-sini dan sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Ketika dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya! See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut, mengerutkan alisnya dan membentak, “Bukankah itu Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?” bentakan ini disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam. Betapapun juga, Lam-sin dapat dibilang masih “rekan”, sama-sama datuk kaum sesat, maka kalau sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia penasaran sekali. “Heii, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kauhadapi itu?” kata Thian Sin mengejek. See-thian-ong terbelalak, akan tetapi masih belum mengerti benar, atau kalaupun dia mengerti, dia sama sekali tidak percaya. “Tapi... Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh...!” katanya. “See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa engkau memperlakukan sebagai anjing semalam?” Wajah See?thian?ong menjadi pucat. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin mempermainkannya, atau sengaja mempergunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar. “Siapapun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!” katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar dan Kim Hong cepat mengerahkan sin-kang untuk menyambutnya, dengan pengerahan Ilmu Bian-kun (Tangan Kapas). Tenaga sin-kang yang amat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekalipun tanpa terluka. “Plakk!” See-thian-ong terkejut sekali ketika merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan diapun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang sudah menyambar ganas. “Benarkah... engkau... Lam-sin...?” See-thian-ong berseru, kaget bukan main karena diapun pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin. “Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!” “Nona, jawablab, siapakah engkau sebenarnya?” Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mujijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut dan maklum bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir. Maka dengan cepat iapun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi. “Aku... aku...” “See-thian-ong, manusia curang!” Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. “Mundurlah, Kim Hong. Tua bangka ini lawanku!” Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut dan melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu. “Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!” Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru. See-thian-ong mengangguk dan Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar di tangan kanan dan rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang ia berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya di balik punggung lagi setelah ia merobohkan semua pengeroyok. Sementara itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik, kemudian tiba-tiba dia membentak dengan suara mengguntur, “Ceng Thian Sin, engkau takkan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!” Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dikembangkan ke depan, dengan jari-jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang amat kuatnya, mempunyai daya sihir yang berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong, ketika melihat pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa! “Ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kautipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!” Kakek itu maklum bahwa musuhnya ternyata kini telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka diapun tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, “Bocah sombong mampuslah!” Begitu menyerang, See-thian-ong telah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak dan ketika kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin. Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek inipun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, kini ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin dan beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya. Namun, Thian Sin sekarang bukanlah Thian Sin dahulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekah tidak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong-sin-ciang sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang. Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Akan tetapi setelah mereka menyerang dengan bertubi-tubi dengan cara yang amat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah ia bahwa lima orang ini kalau maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya. Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang amat kuat, kadang-kadang mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) dan kadang-kadang berubah pula dengan barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera ia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat berbahaya, maka terpaksa Kim Hong lalu mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu dan melawan dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, di satu pihak pertandingan antara Thian Sin dan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong. Betapapun lihainya Ching-hai Ngo-liong menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja tidak cepat mereka saling melindungi lagi. Sepasang pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh amat berbahaya. Kalau saja senjata-senjata rahasia jarum merah gadis ini tidak dirampas musuh semalamt tentu sejak tadi sudah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu. Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini menjadi bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Ia merasa bahwa ia kini tidak berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga menghadapi lawan-lawan berat itu, bantuannya boleh dibilang tidak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok Kim Hongpun ia merasa bahwa tenaganya terlalu lemah. Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu akan membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya. Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menampakkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Setelah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa lawannya kini sungguh amat tangguh, jauh lebih lihai daripada satu setengah tahun yang lalu. Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh amat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dengan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri daripada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam. Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia telah mempelajari secara yang salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa kalau dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri. Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau, dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu dan mau tidak mau kadang-kadang dia tanpa disengaja teringat dan mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung dan sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walaupun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu. See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, sejak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi setelah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapapun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat! “Singgg...!” Demikian kuatnya dia menyambar dan menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang. Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda inipun maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo-pang-hoat, maka biarpun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tidak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang. Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan, bahwa dia mampu menggungguli See-thian-ong dengan mudahnya, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosongpun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut. Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong sibuk sekali dan pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir. Melihat ini, Cian Ling tidak dapat tinggal diam saja. Biarpun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat ia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, ia masih setingkat lebih lihai daripada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Ia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan kalau bekerja sama, kini kerja sama mereka kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya. Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka iapun menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan. Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan. Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu. Melihat isterinya yang juga sumoinya itu telah terjun ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa gurunya terdesak hebat tadi, dan kini setelah gurunya mempergunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu, Ciang Gu Sik lalu mempersiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang amat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu. See-thian-ong kini mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih amat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan diapun maklum bahwa sekali ini, kalau dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiripun agaknya takkan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat. Maka, setelah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, diapun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali dan menubruk ke depan, tongkatnya menyambar-nyambar ganas, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras. Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinva memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin! “Dukkk...!” Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, akan tetapi karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, pukulan itu tidak melukainya. “Desss...!” Pada detik berikutnya, pundak Thian Sin disambar ujung joan-pian, membuat bajunya robek dan juga kulit dan sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa dia masih melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong tadi, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu mengenai pundaknya. Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada saat Thian Sin menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhunya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu ditinggalkan kekuatan sin-kang karena baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak dapat melindungi pundaknya yang terjuka oleh senjata itu. Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik, akan tetapi murid See-thian-ong yang cerdik ini sudah meloncat jauh ke belakang sehingga terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri dan membuat dia marah. Seperti kita ketahui, Cian Ling tadi ikut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong dan ketika melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suhengnya, wanita ini menjadi khawatir sekali. Betapapun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian dan berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik. Kini, melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu masih siap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, Cian Ling menjadi marah dengan tiba-tiba. Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebat, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang. Tanpa banyak cakap, Cian Ling meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang telah dapat mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lalu menyerbu ke dalam medan perkelahlan yang lain itu bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, melainkan untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping! Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu untuk menyerang dirinya, maka dia tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak lalu terbelalak memandang kepada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya. Peristiwa yang tak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba See-thian-ong menubruk ke depan dan memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang! Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya. Cian Ling kena terpukul dadanya dan wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan diapun terguling roboh tak jauh dari isterinya. “Cian Ling... kenapa kau... kau membunuhku...?” “Suheng... maaf... aku cinta padanya...” Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas dan pedang Gin-hwa-kiam dan diserangnya See-thian-ong dengan hebatnya. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya dan membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian. Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sudah sejak tadi ia mampu merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dianggapnya cukup hebat itu, dan pula, ia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya. Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, iapun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi, tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin akan terkena serangan mendadak dari Gu Sik sehingga terluka pundaknya. Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu dan lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apalagi sekarang Cian Ling tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika. Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut tiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itupun roboh dengan jantung tertembus pedang! Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya dan mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka iapun mengambil senjata rahasia ini. Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih dapat melawan dengan tidak kurang kuatnya daripada tadi. “Thian Sin, mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!” kata Kim Hong dengan suara gembira. Thian Sin meloncat ke belakang. Tentu saja kalau dilanjutkan, akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu ingin sekali mencoba kepandaian datuk barat! “Maju dan cobalah macan tua ompong ini!” katanya. Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang. See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya telah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini sedemikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin! “Tranggg!” See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, lalu membentak, “Benarkah engkau Lam-sin?” Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada aku Toan Kim Hong!” katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata. “Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!” “Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa, aku sekarang bukan lagi Lam-sin, melainkan gadis biasa saja Toan Kim Hong yang ingin mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!” “Bagus, bocah sombong mampuslah!” Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka biarpun nanti dia akan kalah, kalau dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya mengapa kakek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya. Thian Sin kini menghampiri Cian Ling dan memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkcjut sekali melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, ia tersenyum. “Cian Ling...!” Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya. “Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?” “Thian Sin... aku... aku cinta padamu... aku tidak tahan melihat engkau terancam... dan aku... tidak dapat hidup... tanpa engkau...” Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan kepada gadis ini. Bagaimanapun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguhpun dia suka sekali kepadanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling? “Ciang Ling...” Thian Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, diapun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul kekhawatirannya dan diapun bangkit berdiri. “Thian Sin...” Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini. “Kau... kau cinta padanya...?” Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini dan diapun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walaupun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itu yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling. “Ah... ia... ia bahagia... aku... aku... iri kepadanya...” Napas gadis itu tinggal satu-satu dan Thian Sin memandang dengan hati kasihan. “Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!” Dia membesarkan hati gadis itu. Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. “Thian Sin... maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman...” Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba dan diapun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, dan kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada saat dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah. Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tidak sempat mengelak, maka dia menangkis dan “desss...!” Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya. “Eh... kau sudah gila...?” “Engkau yang gila, bukan aku!” bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya! Thian Sin menangkis beberapa kali, lalu meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata gin-kang dari gadis ini yang paling hebat dan dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong! Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang dari Kim Hong yang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan mendesak Thian Sin dengan tongkatnya. Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah menggunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul. “Desss...!” Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang dan diapun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat. “Engkau telah menghinaku!” bentak Kim Hong kepada pemuda itu. Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. “Eh, kenapakah...?” Lalu dia teringat dan dia tersenyum. “Eh, apakah engkau... marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau tahu, ia... ia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman, ia sudah mati, harap kau tidak cemburu!” “Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampuspun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Kalau memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!” Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka diapun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong! “Hemm, kalian tidak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!” Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan... terdengar suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi! Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tidak dapat melarikan diri. Maka, daripada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri! Thian Sin mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tidak melihat lagi Kim Hong di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkannya. “Kim Hong...!” Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkah bekas. Akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong dan anak buahnya. Akan tetapi tempat itu telah menjadi sunyi sekali. Kebakaran telah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tidak seorangpun berada di tempat itu. Juga ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, tidak nampak seorangpun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong telah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong. Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama dunia kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu. Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu. Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan mampu mengalahkan See-thian-ong bahkan mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk dan semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka. Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuhnya dan para muridnya itu mestinya amat menggirangkan hati Thian Sin. Akan tetapi, ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau girang, bahkan merasa gelisah dan bingung. Semua ini, dia tahu, disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian dan kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia bertemu dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu? Thian Sin mengeraskan hatinya. Kalau Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, diapun tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apapun! Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, kalau seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan hubungan itupun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biarpun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu. Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja kalau Kim Hong tidak ingin bertemu dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari kesemuanya itu, Kim Hong memiliki gin-kang yang lebih tinggi daripada dia sehingga andaikata ia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri dia tidak akan mampu mengejar dan menyusulnya. Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, diapun lalu pergi menuju ke Tai-goan. Dia telah berhasil menundukkan dua di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong telah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itupun merupakan musuhnya, dan sekali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong. SETELAH membiarkan Kim Hong menghadapi dan “merasakan” kelihaian datuk utara itu selama lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Thian Sin lalu melompat, meninggalkan empat orang pengeroyoknya dan menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong. “Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!” Kim Hong tertawa dan gadis inipun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka diapun menjadi marah sekali. “Perempuan hina, rasakan pembalasanku!” Yang-kimnya menyerang ganas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda! Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yang-kim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, iapun mengerahkan semua tenaganya. “Trakkk!” Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, yang-kimnya pecah ujungnya terbabat pedang hitam! Dan Kim Hong terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali ia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat cmpat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat. Apalagi Siangkoan Wi Hong sudah mengalami kekagetan karena yang-kimnya patah ujungnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya mesra itu ternyata memiliki kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiripun tidak mampu mengalahkannya. Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin melawan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perobahan. Kini Thian Sin mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan sinar lampu di depan pondok itu biarpun hanya suram saja masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Thian Sin terus mendesaknya, dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang. “Tranggggg...!” Kembali kedua senjata itu bertemu dan sekali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui sudah menggerakkan lengan kirinya yang dapat memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu telah menangkap kaki kanan Thian Sin. Pemuda ini mernang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak marnpu mempertahankan dan diapun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang telah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah. “Crokk! Aughhhhh...!” Pak-san-kui meloncat berdiri dan terhuyung ke belakang, akan tetapi lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku! Akan tetapi, tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia terus menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah. “Trang! Tranggg...!” Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada saat kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, kini mempergunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin. Pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan tiba-tiba Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng! “Ahhh...!” Pak-san-kui terkejut sekali. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki ilmu Thi-khi?i?beng yang mujijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangkanya bahwa pemuda itu akan mempergunakannya pada saat itu. Kini huncwenya melekat pada tangan pemuda itu dan pada saat dia mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot, pemuda itu mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sin-kang yang tersalur lewat tangan kanannya. Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dan menghentikan pengerahan sin-kangnya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lwee-kangnya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba merenggut lepas huncwenya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui. “Prakkk!” Huncwe itu remuk, pecah berantakan, tetapi tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah! Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu dan meloncat mendekati untuk memeriksa apakah lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat. “Desss...!” Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam. Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang setelah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun. “Cusss...!” Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Disangkanya bahkan kakek itu mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi! Kiranya setelah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruknya tadi, kakek itu telah tewas! Tenaganya yang terakhir dipergunakan dalam tendangan tadi dan setelah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi. Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Diapun tidak membantu, hanya menonton sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia semakin kagum kepada Kim Hong. Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Namun, jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu. Dara ini membagi-bagi serangah seenaknya, dan dengan gin-kangnya yang luar biasa ia seperti beterbangan ke sana ke mari, seperti seekor kupu-kupu lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara berdesing-desing dan yang membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali. Bahkan barisan Sha-kak-tin itupun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong ikut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dengan segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biarpun dasar ilmu silat mereka dari satu sumber, akan tetapi kehadiran Siangkoan Wi Hong ini tidak memungkinkan lagi mereka memainkan Sha-kak-tin dengan sempurna. Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan merekapun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Akibatnya malah mereka sendiri yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam! Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Ia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi belum mau merobohkan mereka. Ia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah ia tersenyum. “Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringkan guru kalian ke neraka!” Dan gerakan pedangnyapun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali sinar hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang marah sekali menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali sinar hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus terbabat sinar hitam pedang Hok-mo Siang-kiam. Tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat melarikan diri lagi maka diapun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yang-kimnya ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu! Akan tetapi, dengan mudah Kim Hong mengelak dari sambaran yang-kim, dan sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, ia sudah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu telah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang amat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher! Siangkoan Wi Hong terkejut dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong memutar kepalanya dan tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa putaran itu, diputar beberapa kali dengan amat kuat. Tubuh Siangkoan Wi Hong melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi membuatnya tidak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tidak mampu mengelak lagi. “Prokk!” Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak oleh tamparan Thian Sin dan diapun tewas tak jauh dari mayat ayahnya. Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan. “Kim Hong...” “Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Baru setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan, mereka berhenti. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walaupun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong! Mereka berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorangpun manusia lain di sekitarnya. “Kim Hong,” kata Thian Sin yang sejak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dada, karena ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah hendak mengajaknya berlumba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.” Kim Hong tersenyum, menggunakan saputangan sutera hijau untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya, kemudian ia menggunakan saputangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, iapun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum. “Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan. Thian Sin mengerutkan alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya dan dia menjadi tidak sabaran. Diapun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau. “Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa... engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?” Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian ia mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih seperti deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu. “Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Kalau engkau tidak mengerti mengapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tinggal tolol dan aku tidak mau memberitahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kausohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan ketika aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku mencegahmu. Aku sengaja bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya dan melihat keadaan mereka amat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau mampu mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, engkau lari dan diam-diam aku membayangimu, tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya dan tiga orang muridnya menyerbu, bukankah hal itu yang kautunggu-tunggu?” Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong mengelak. “Kim Hong, maafkan aku. Kiranya engkau melakukan semua itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kaumaafkan aku!” Bibir bawah yang lunak itu mencibir, “Hemm, untuk kesalahpengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya kalau engkau salah mengerti agar penyelidikanku menjadi sempurna.” “Kim Hong, kalau engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.” “Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek. “Kim Hong... aku minta kepadamu, jangan kaubiarkan aku dalam kebingungan, jelaskanlah mengapa engkau meninggalkan aku dan mengapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.” Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberitahu, akan tetapi kalau sesudah ini engkau tidak minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Dengarlah baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di depan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan pria lain, tidak peduli siapapun pria itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu engkau membayangi kami dan aku ingin engkau melihatnya! Nah, aku sudah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu. Thian Sin menjadi bengong sejenak, kemudian melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walaupun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka diapun lalu menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan diapun berkata, “Kim Hong, kauampunkanlah aku, Kim Hong.” Sikap dan ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini ia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan. “Kim Hong, aku mengaku salah... aku... tidak sengaja, melihat ia menghadapi kematian, aku terharu dan... ah, ampunkan aku, Kim Hong, aku... cinta padamu.” Akan tetapi walaupun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di depannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis dan menutupi mukanya dengan saputangan. “Kim Hong, maukah engkau mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang. Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu sejak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kaukira saat ini kau masih dapat hidup?” Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang diapun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia takkan mungkin dapat menang. Menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong maka kalau Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apalagi di situ masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu dia telah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapapun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya. “Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh aku yang tolol, dan aku amat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?” Kim Hong meniatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, kalau aku tidak cinta padamu, apa kaukira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?” “Kim Hong...” Mereka berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan semua kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta berahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas. Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar, yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya. Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula. Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa sanggama adalah suatu hal yang “kotor” untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila kalau membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si “aku”? Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang “berbudaya”, yang “sopan” yang “bersusila”? Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walaupun tidak seorangpun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya? Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya untuk sekedar mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin “makan” lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama, kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan sanggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung. Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan, di situ yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah sanggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah sanggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang. Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih apabila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor. Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor karena di situ terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Perlu anak-anak kita mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia. Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita, pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si “aku” yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan. Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya. Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk. Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walaupun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri. *** “Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapapun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!” “Ibu, apakah ibu hendak menonjolkan kedudukan di sini?” puteranya membantah. Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walaupun dia mewarisi kekerasan hati ibunya. “Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumupun sejak muda adalah seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu sudah mendengar perkumpulan macam apa yang disebut Mo-kiam-pang yang diketuai dan didirikan oleh Tung-hai-sian itu, menguasai seluruh dunia perbajakan.” “Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin agar menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu bicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya dan sadar bahwa dia bicara terlalu keras kepada ibunya, maka disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi ketika aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan seorang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?” “Betapapun juga, orang tua dan keluarga tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaahmu.” Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain dan terjadilah perselisihan dan kalau sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapapun tepat semua pendirianmu tadi, namun kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampurtanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekalipun, biasanya tidak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kauingat akan hal ini.” Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itupun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya? Ia tahu benar akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya ia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi ia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan betapa sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, ia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan kepada isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya berjodoh dengan seorang dara yang memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu. “Pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.” Mendengar ini, Yap In Hong mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyum penuh harapan. “Itulah harapanku dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.” Kong Liang maklum benar apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi dalam perasaan ibunya. Maka diapun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. “Percayalah, ibu, aku selama ini banyak bertemu dengan wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Ia selain cantik jelita, juga amat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan gerak-geriknya, pakaiannya, amat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walaupun ia anak orang kaya.” Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Ayahmu dulupun menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!” “Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!” Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira dan suasana menjadi tenang dan akrab kembali. Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka melihat kenyataan betapa putera mereka memang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biarpun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu telah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andaikata gagal sekalipun tidak langsung membikin malu.” Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya apabila melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya. Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat gembira dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Juga dia mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan. Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah hal yang remeh dan patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kauakui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih amat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan ditunda dulu beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.” Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga sekali itu memperoleh kesempatan untuk menikmati kebanggaannya. Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh amat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggauta Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru, diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah lebih dulu datang dan terjadi pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan. Tung-hai-sian Bin Mo To merasa amat berbahagia dan bangga. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, biarpun keturunan samurai sekalipun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh orang Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapapun juga, tidak dapat diingkari bahwa dia merupakan seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar di antara dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar. Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengah putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar. Karena itu, biarpun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau kaum pendekar, dikirimi undangan. Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aselinya Minamoto itu dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan amat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, penuh dengan para tamu. Minuman berlimpahan disuguhkan berikut kuih-kuih ringan sebelum hidangan dikeluarkan dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah nampak gembira seperti biasa nampak dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan bertemu dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk semeja. Kelompok memilih kelompok dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik. Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Untuk keperluan ini, Bin Mo To tidak melupakan asal-usulnya dan dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seeker harimau. Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, kemudian merekapun muncul di pinggiran. Bagaimanapun juga, Bin Mo To merasa sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahung juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, merupakan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dengan pakaian yang khas Korea masih nampak cantik. Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka iapun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walaupun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara ini memiliki bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biarpun ia menjadi tokoh utama dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, namun pakaiannya yang indah itu tidak terlalu menyolok, bahkan mukanya tidak dibedak terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon mantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiripun merasa puas. Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak berwibawa walaupun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pedang Hong-cu-kiam pada saat itu menjadi sabuk atau ikat pinggangnya. Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih nampak gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam. Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini mempunyai sikap yang agak tinggi hati. Betapapun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai. Tempat pesta sudah penuh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu murid-murid atau anggauta-anggauta dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal. Ketika Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu dia berjalan ke tepi panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisikpun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu. “Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi telah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.” Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya. “Bagi kami, ikatan perjodohan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Dan untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kamipun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Kami hendak mencuci tangan membersihkan diri agar tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini lalu mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya. Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggauta dari Mo-kiam-pang, bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Papan nama itu tentu saja terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian. Sejenak, kakek ini memandang papan nama itu dengan muka agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang dan begitu tangannya bergerak, nampak bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkatat “Mulai saat ini, Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggauta Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.” Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan dan perlindungan Mo-kiam-pang! Sungguh merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat maupun kaum pendekar. Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya dan suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!” Semua drang memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, tidak ada sebutan Datuk Dunia Timur! Mulal saat ini, saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!” Pengumuman ini sungguh mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan dan nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka menjadi lemah. Apalagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tidak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar karena memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya malah melebihi kekejaman golongan sesat yang manapun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk inipun mengundurkan diri. Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di situ bangkit berdiri dan berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?” Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, dengan murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, dan Lam-sin dikabarkan lenyap tak meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul di selatan pula. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka tentu saja semua orang dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan dan semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu. “Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walaupun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang telah berani memandang rendah kepadanya seperti itu! “Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.” Bagaimanapun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena merekapun rata-rata merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya dan melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah. “Telah kunyatakan tadi bahwa setelah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tidak mungkin lagi melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimanapun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapapun juga.” “Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!” Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang dan semua mata memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang bicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikitpun ia tidak nampak malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandang mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya. Tung-hai-sian Bin Mo To memandang kepada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tidak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi karena yang memakinya bohong dan penakut hanya seorang gadis muda remaja, tentu saja sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, Bin Mo To terpaksa menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum dan berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang. “Agaknya nona hendak mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali. Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali dan tubuhnya sudah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena ia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu gin-kang yang amat tinggi. Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Gin-kang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya sudah tinggi. Maka, diapun tidak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat. “Kiranya nona adalah seorang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau kami sebagai tuan rumah yang sudah tua tidak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.” “Aku bernama Toan Kim Hong. Kenapa aku tadi mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindarkan Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu untuk menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjedi seorang penakut?” Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai tentu dia sudah mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanya sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apa artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Maka, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit. “Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekalipun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab yang jelas, apalagi sekarang setelah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.” Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum. Ketika Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai dan isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada saat itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu, sudah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian sehingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah. “Tung-hai-sian! Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, kalau engkau tidak berani, katakan saja, bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!” Wajah Bin Mo To menjadi pucat dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?” Dan nampak sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw sudah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah lehernya. Akan tetapi, ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yanm memegang pedang itut menahan serangan puterinya. SETELAH membiarkan Kim Hong menghadapi dan “merasakan” kelihaian datuk utara itu selama lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Thian Sin lalu melompat, meninggalkan empat orang pengeroyoknya dan menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong. “Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!” Kim Hong tertawa dan gadis inipun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka diapun menjadi marah sekali. “Perempuan hina, rasakan pembalasanku!” Yang-kimnya menyerang ganas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda! Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yang-kim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, iapun mengerahkan semua tenaganya. “Trakkk!” Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, yang-kimnya pecah ujungnya terbabat pedang hitam! Dan Kim Hong terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali ia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat cmpat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat. Apalagi Siangkoan Wi Hong sudah mengalami kekagetan karena yang-kimnya patah ujungnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya mesra itu ternyata memiliki kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiripun tidak mampu mengalahkannya. Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin melawan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perobahan. Kini Thian Sin mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan sinar lampu di depan pondok itu biarpun hanya suram saja masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Thian Sin terus mendesaknya, dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang. “Tranggggg...!” Kembali kedua senjata itu bertemu dan sekali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui sudah menggerakkan lengan kirinya yang dapat memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu telah menangkap kaki kanan Thian Sin. Pemuda ini mernang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak marnpu mempertahankan dan diapun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang telah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah. “Crokk! Aughhhhh...!” Pak-san-kui meloncat berdiri dan terhuyung ke belakang, akan tetapi lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku! Akan tetapi, tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia terus menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah. “Trang! Tranggg...!” Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada saat kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, kini mempergunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin. Pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan tiba-tiba Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng! “Ahhh...!” Pak-san-kui terkejut sekali. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki ilmu Thi-khi?i?beng yang mujijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangkanya bahwa pemuda itu akan mempergunakannya pada saat itu. Kini huncwenya melekat pada tangan pemuda itu dan pada saat dia mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot, pemuda itu mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sin-kang yang tersalur lewat tangan kanannya. Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dan menghentikan pengerahan sin-kangnya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lwee-kangnya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba merenggut lepas huncwenya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui. “Prakkk!” Huncwe itu remuk, pecah berantakan, tetapi tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah! Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu dan meloncat mendekati untuk memeriksa apakah lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat. “Desss...!” Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam. Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang setelah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun. “Cusss...!” Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Disangkanya bahkan kakek itu mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi! Kiranya setelah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruknya tadi, kakek itu telah tewas! Tenaganya yang terakhir dipergunakan dalam tendangan tadi dan setelah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi. Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Diapun tidak membantu, hanya menonton sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia semakin kagum kepada Kim Hong. Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Namun, jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu. Dara ini membagi-bagi serangah seenaknya, dan dengan gin-kangnya yang luar biasa ia seperti beterbangan ke sana ke mari, seperti seekor kupu-kupu lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara berdesing-desing dan yang membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali. Bahkan barisan Sha-kak-tin itupun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong ikut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dengan segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biarpun dasar ilmu silat mereka dari satu sumber, akan tetapi kehadiran Siangkoan Wi Hong ini tidak memungkinkan lagi mereka memainkan Sha-kak-tin dengan sempurna. Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan merekapun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Akibatnya malah mereka sendiri yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam! Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Ia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi belum mau merobohkan mereka. Ia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah ia tersenyum. “Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringkan guru kalian ke neraka!” Dan gerakan pedangnyapun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali sinar hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang marah sekali menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali sinar hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus terbabat sinar hitam pedang Hok-mo Siang-kiam. Tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat melarikan diri lagi maka diapun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yang-kimnya ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu! Akan tetapi, dengan mudah Kim Hong mengelak dari sambaran yang-kim, dan sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, ia sudah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu telah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang amat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher! Siangkoan Wi Hong terkejut dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong memutar kepalanya dan tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa putaran itu, diputar beberapa kali dengan amat kuat. Tubuh Siangkoan Wi Hong melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi membuatnya tidak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tidak mampu mengelak lagi. “Prokk!” Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak oleh tamparan Thian Sin dan diapun tewas tak jauh dari mayat ayahnya. Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan. “Kim Hong...” “Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Baru setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan, mereka berhenti. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walaupun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong! Mereka berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorangpun manusia lain di sekitarnya. “Kim Hong,” kata Thian Sin yang sejak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dada, karena ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah hendak mengajaknya berlumba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.” Kim Hong tersenyum, menggunakan saputangan sutera hijau untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya, kemudian ia menggunakan saputangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, iapun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum. “Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan. Thian Sin mengerutkan alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya dan dia menjadi tidak sabaran. Diapun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau. “Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa... engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?” Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian ia mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih seperti deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu. “Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Kalau engkau tidak mengerti mengapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tinggal tolol dan aku tidak mau memberitahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kausohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan ketika aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku mencegahmu. Aku sengaja bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya dan melihat keadaan mereka amat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau mampu mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, engkau lari dan diam-diam aku membayangimu, tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya dan tiga orang muridnya menyerbu, bukankah hal itu yang kautunggu-tunggu?” Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong mengelak. “Kim Hong, maafkan aku. Kiranya engkau melakukan semua itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kaumaafkan aku!” Bibir bawah yang lunak itu mencibir, “Hemm, untuk kesalahpengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya kalau engkau salah mengerti agar penyelidikanku menjadi sempurna.” “Kim Hong, kalau engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.” “Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek. “Kim Hong... aku minta kepadamu, jangan kaubiarkan aku dalam kebingungan, jelaskanlah mengapa engkau meninggalkan aku dan mengapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.” Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberitahu, akan tetapi kalau sesudah ini engkau tidak minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Dengarlah baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di depan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan pria lain, tidak peduli siapapun pria itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu engkau membayangi kami dan aku ingin engkau melihatnya! Nah, aku sudah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu. Thian Sin menjadi bengong sejenak, kemudian melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walaupun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka diapun lalu menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan diapun berkata, “Kim Hong, kauampunkanlah aku, Kim Hong.” Sikap dan ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini ia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan. “Kim Hong, aku mengaku salah... aku... tidak sengaja, melihat ia menghadapi kematian, aku terharu dan... ah, ampunkan aku, Kim Hong, aku... cinta padamu.” Akan tetapi walaupun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di depannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis dan menutupi mukanya dengan saputangan. “Kim Hong, maukah engkau mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang. Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu sejak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kaukira saat ini kau masih dapat hidup?” Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang diapun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia takkan mungkin dapat menang. Menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong maka kalau Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apalagi di situ masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu dia telah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapapun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya. “Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh aku yang tolol, dan aku amat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?” Kim Hong meniatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, kalau aku tidak cinta padamu, apa kaukira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?” “Kim Hong...” Mereka berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan semua kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta berahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas. Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar, yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya. Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula. Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa sanggama adalah suatu hal yang “kotor” untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila kalau membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si “aku”? Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang “berbudaya”, yang “sopan” yang “bersusila”? Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walaupun tidak seorangpun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya? Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya untuk sekedar mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin “makan” lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama, kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan sanggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung. Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan, di situ yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah sanggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah sanggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang. Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih apabila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor. Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor karena di situ terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Perlu anak-anak kita mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia. Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita, pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si “aku” yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.