Suara Bouw In Bwee! Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya dan jantung pemuda itu berdebar tegang. Mau apa gadis itu malam-malan datang mengunjunginya dan dalam keadaan yang demikian mencurigakan? Apakah ini merupakan perangkap dan tipu muslihat pula dari pihak lawan? Dia harus berhati-hati. Pihak lawan agaknya tidak akan pernah berhenti dalam usaha mereka untuk mendapatkan kunci emas itu. Dan siapa tahu, gadis cantik inipun merupaken seorang di antara mereka, walaupun menurut penyelidikannya siang tadi, agaknya tidak mungkinlah kalau seorang gadis seperti In Bwee menjadi kaki tangan penjahat! Akan tetapi siapa tahu?   Sebelum dia menjawab, daun pintu didorong jebol dari luar dan gadis itu dengan pakaian serba hitam yang ringkas dan ketat, yang membuat tubuhnya nampak demikian menggairahkan dengan lekuk lengkung sempurna, meloncat masuk dengan ringannya lalu cepat-cepat menutupkan kembali daun pintu itu.   "Ah, nona Bouw In Bwee...! Kenapa masuk seperti itu dan menutupkan daun jendela?" tegur Thian Sin sambil tersenyum dan melompat turun.   In Bwee membalikkan tubuhnya dan sejenak mereka bertukar pandang. Di bawah sinar lilin tunggal itu, wajah yang halus manis itu nampak kemerahan.   "Habis, apakah aku harus berkunjung dengan terang-terangan dan biar kelihatan oleh orang lain? Betapa janggalnya seorang gadis berkunjung di tengah malam melalui pintu depan begitu saja!"   "Lalu... tentu ada hal penting sekali maka gadis itu datang berkunjung di tengah malam melalui atas genteng dan membongkar jendela!" kata pula Thlan Sin, masih tersenyum.   Wajah gadis itu menjadi semakin merah seperti terbakar api lilin dan mukanya menunduk, akan tetapi segera diangkatnya kembali dan dengan mata berseri ia memandang pemuda itu. "Apakah engkau menyesal atas kedatanganku, taihiap? Kalau begitu, biarlah aku pergi saja..." Dan ia membuat gerakan hendak membuka daun jendela. Akan tetapi Thian Sin bukan anak kecil. Sudah beberapa kali dia bergaul dengan wanita dan dia sudah mengenal benar kemanjaan dan kepura-puraan dalam sikap wanita seperti yang diperlihatkan gadis itu. Diapun memegang tangan gadis itu.   "Tunggu dulu, nona. Siapa bilang aku menyesal? Aku merasa girang sekali, seolah-olah kejatuhan bulan dan aku merasa terhormat sekali!"   In Bwee membalik lagi. Tangan kirinya yang kecil lembut itu dipegang oleh Thian Sin. Tangan itu menggelepar hangat, terasa oleh Thian Sin seperti seekor burung pipit dalam genggamannya. Lalu In Bwee menarik perlahan tangannya, dan sambil tersenyum simpul ia bertanya, "Beginikah menerima tamu? Tidak disuruh duduk? Betapa sopannya..."   Thian Sin tertawa. "Aih, maaf. Silahkan duduk, nona."   In Bwee duduk di atas kursi sedangkan Thian Sin duduk pula di atas pembaringan. Sejenak mereka berpandangan kembali dan gadis itu tersenyum manis.   "Kau bilang tadi girang seperti kejatuhan bulan? Kalau benar kejatuhan bulan, mungkinkah masih dapat bergirang hati? Aku pernah membaca dalam kitab kuno bahwa bulan hanya indah dan kecil nampak dari sini. Padahal merupakan sebuah dunia yang besar!"   Thian Sin tersenyum. "Bukan itu maksudku. Akan tetapi bulan demikian indahnya dan wajahmu juga indah dan manis seperti bulan..."   "Ihh...! Engkau perayu benar, Ceng Taihiap!" In Bwee melempar senyum dan kerling tajam memikat.   Thian Sin menduga-duga apa gerangan yang tersembunyi di balik senyum dan kerling itu. Kalau benar gadis ini merupakan kaki tangan penjahat, tentu mudah diterka. Senyum dan kerling itu adalah daya pikat, untuk memikatnya. Pihak lawan yang agaknya kewalahan untuk menundukkannya melalui kekerasan, tentu mungkin saja mempergunakan kecantikan seorang gadis seperti In Bwee ini untuk menjatuhkannya. Akan tetapi, mungkinkah In Bwee menjadi kaki tangan penjahat? Ia adalah puteri seorang hartawan besar, pandai silat dan hidupnya terhormat, juga terkenal sebagai seorang gadis gagah perkasa yang budiman. Mana mungkin menjadi kaki tangan penjahat?   "Nona, katakanlah terus terang saja, apa maksud kedatangan nona mengunjungiku di tengah malam seperti ini? Sungguh mati, aku merasa heran sekali dan ingin tahu."   GADIS itu tersenyum lagi, lebih manis dan ia memandang langsung dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. "Ceng Taihiap, coba katakan, apakah sepatutnya yang menyebabkan seorang gadis seperti aku ini malam-malam datang mengunjungi seorang pendekar sepertimu?" Sungguh merapakan jawaban yang sekaligus merupakan pertanyaan yang jelas menantang! Diam-diant Thian Sin merasa semakin tegang dan terheran. Apakah gadis ini merupakan seorang petualang asmara? Ini lebih besar kemungkinannya, mengingat ia seorang gadis kaya dan lihai. Apalagi kalau bukan seorang petualang cinta? Akan tetapi, pikirannya masih terikat akan urusan peta dan kunci emasnya, maka iapun mencoba dan memancing.   "Hemm, kalau gadis itu selihai engkau, nona Bouw, maka besar kemungkinan kunjunganmu ini untak membalas dendam kepadaku."   In Bwee menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada urusan apa-apa antara engkau dan aku yang boleh membuat aku sakit hati. Pula, kalau aku hendak membalas dendam, apakah caranya mengunjungi seperti ini, dalam keadaan akrab? Tentu sudah tadi-tadi kucoba untuk menyerangmu, baik dari atas genteng, dari luar jendela, atau sekarang. Bukan mengajakmu bercakap-cakap secara santai begini."   "Kemungkinan ke dua adalah bahwa kunjunganmu ini mengandung suatu maksud tertentu..."   "Tentu saja, yang kutanyakan adalah apakah kira-kira maksud itu?"   "Mungkin untuk menyelidiki aku." Thian Sin memandang wajah itu dengan tajam ketika mengucapkan kata-kata pancingan ini.   "Menyelidikimu?" Biarpun sinar lilin itu tidak cukup terang, namun Thian Sin yang memandang penuh perhatian itu dapat melihat perobahan pada wajah cantik itu. "Menyelidiki apanya?"   "Hemm... misalnya... menyelidiki tentang kunci emas..."   Kini aadis itu benar-benar terkejut. "Kunci... kunci emas...? Apa... apa maksudmu, taihiap?"   Thian Sin tertawa. "Maksudku adalah seperti yang kaumaksudkan."   "Ah, harap jangan mengada-ada, taihiap. Aku datang sebetulnya..."   Melihat keraguan gadis itu Thian Sin mendesak. "Sebetulnya begaimana?"   "Karena aku... kagum sekali kepadamu. Semenjak kita bertemu di restoran itu, aku merasa amat kagum dan..."   "Ya? Bagaimana?"   "Aku... aku ingin mempererat persahabatanku denganmu."   "Begitukah? Sungguh beruntung sekali aku! Tentu saja kuterima dengan tanga dan hati terbuka!"   Gadis itu mengangkat muka. Wajah yang tersorot cahaya lilin kemerahan itu sunggub cantik manis. "Dengan hati terbuka? Kulihat hatimu sudah tertutup, penuh oleh enci Kim Hong..."   Thian Sin tersenyum. Kiranya benar, gadis cantik manis yang kaya raya ini adalah seorang petualang asmara! Mungkin juga hendak memikatnya. Kita sama lihat saja, pikirnya. Siapa yang terpikat nanti! "Ha-ha, In Bwee yang manis, dalam hatiku masih terbuka ruang yang lebar untuk seorang gadis seperti engkau!" Dan diapun meraih dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu ditariknya ke arah dirinya.   "Ih, mau apa kau!" Gadis itu berseru dan kedua tangannya sudah mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah muka, leher dan dada Thian Sin. Serangan yang sungguh-sungguh, bukan main-main dan dilakukan pada jarak amat dekat. Namun, tentu saja serangan itu tidak terlalu berbahaya bagi Thian Sin.   "Plak-plak-plak-plak!" Empat kali pukulan gadis itu dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Thian Sin dan tangkisan terakhir disertai tangkap pada kedua pergelangan tangan itu sehingga In Bwee hanya dapat mcronta-ronta tanpa dapat memukul lagi.   "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" serunya dengan suara lirih karena iapun tidak ingin membangunkan para tamu di kamar-kamar lain.   Akan tetapi Thian Sin belum mau melepaskan pegangan kedua tangannya. "Sungguh hebat. Tengah malam engkau datang memasuki kamarku, kemudian merayu lalu sekarang hendak membunuhku. Nona Bouw In Bwee, sebenarnya apa sih yang kaukehendaki dariku?"   "Lepaskan aku...! Kau... laki-laki kurang ajar!" In Bwee masih meronta-ronta, namun pegangan kedua tangan pemuda itu sungguh kuat bukan main.   "Dengar baik-baik, nona manis. Aku Ceng Thian Sin selama hidupku belum pernah menggunakan kekerasan untuk memaksa seorang wanita mencintaku. Aku bukan seorang jai-hwa-cat, aku bukan pula seorang hidung belang. Aku hanya mau mendekati wanita kalau wanita itupun menghendakiku. Maka, jangan khawatir, nona. Ingat, yang datang ke kamarku malam-malam adalah engkau." Setelah berkata demikian, Thian Sin menarik nona itu mendekat, lalu memegang kedua pergelangan tangan yang kecil itu dengan jari-jari tangan kanannya, dan dengan tangan kirinya yang kini bebas itu dia menjambak rambut In Bwee, menarik mukanya mendekat lalu mencium bibir itu.   "Uhh... uhhh...!" In Bwee meronta-ronta, akan tetapi makin meronta, ciuman itu semakin kuat dan akhirnya tubuhnya terkulai lemas, ia menyerah dan terisak. Ketika Thian Sin melepaskannya, ia jatuh terkulai di atas pembaringan.   "Itu tadi adalah hukumanmu karena engkau telah datang di sini pada tengah malam, mencoba merayuku kemudian menyerangku tanpa memberitahukan sebab-sebabnya. Selayaknya engkau dipukul, akan tetapi aku tidak tega. Nah, ciaman itu tadi adalah hukumannya sebagai pengganti pukulan. Sekarang, bicaralah atau keluarlah!"   In Bwee yang menerima tugas dari suhunya untuk merayu dan menjatuhkan pemuda ini, mempergunakan kecantikannya, kini mengerti bahwa usahanya yang dilakukan secara terpaksa itu telah gagal sama sekali. Ketika tadi ditangkap kedua lengannya tanpa ia mampu melepaskan diri, kemudian ketika ia dicium, hatinya sudah jatuh terhadap kegagahan pria ini. Seorang pria yang luar biasa! Kini ia mengangkat tubuhnya, duduk dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah dan berlinang air mata. Ia teringat akan keadaan dirinya, akan tekanan yang dilakukan oleh pamannya atau gurunya dan tiba-tiba iapun menangis sesenggukan.   "Hemm, masih belum terlambat bagimu untuk memperbaiki semua kesalahan, nona. Jangan menangis, aku paling tidak tahan melihat wanita cantik menangis." Thian Sin berkata halus sambil meraba pundak yang bergoyang-goyang itu. Mendengar ucapan halus ini, tangis In BWee makin menjadi dan iapun merangkul dan menangis di atas dada Thian Sin, menangis sampai mengguguk.   Thian Sin mengerti bahwa tangis ini bukanlah air mata buaya, bukan tangis buatan untak menundukkan hatinya, melainkan tangis yang timbul dari hati duka dan menyesal. Maka diapun merasa kasihan, lalu merangkul dan menggunakan tangannya untuk mengelus rambut kepala yang agak kusut itu. Sentuhan tangannya, rabaan dan elusan tangan yang lembut itu sama sekali tidak mengandung gelora berahi, melainkan rasa iba ygng tulus dan hal ini terasa oleh In Bwee yang menjadi makin terharu. " Maafkan aku... ah, Ceng-taihiap, maafkan aku..." Demikian ia berbisik-bisik di antara isaknya.   Thian Sin mendekap tubuh itu, dipeluknya dengan erat, diciumnya rambut yang harum itu dan diapun berkata. "Menangislah sepuasmu, kemudian kalau engkau suka, ceritakan padaku apa artinya semua ini, In Bwee."   Gadis itu tidak menjawab, menghabiskah isaknya di atas dada pemuda itu, membasahi baju Thian Sin dengan air matanya dan air hidungnya. Setelah hatinya yang tadinya terhimpit itu terasa lapang, seolah-olah himpitannya terbawa keluar oleh air mata, iapun mulai bicara.   "Taihiap, aku tahu bahwa engkau adalah Pendekar Sadis."   Tentu saja kalimat pertama ini amat mengejutkan Thian Sin, sungguhpun tidak terlalu mengherankan karena memang sebagai Pendekar Sadis dia pernah menggegerkan kota raja sehingga sedikit banyak tentu ada juga yang mengenalnya. Dia hanya terkejut oleh pernyataan tiba-tiba ini karena tadinya dia tidak pernah menyangka bahwa gadis ini mengenalnya pula. Karena kagetnya, dia memegang kedua pundak gadis itu dan mendorongnya agar dia dapat memandang wajahnya.   Wajah itu masih pucat dan basah, dan matanya agak kemerahan, memandang sayu. "Taihiap, anak buah suhu mengenalmu dan aku diberi tahu oleh suhuku..."   "Suhumu...?" Kini Thian Sin mengerti. Keluarga gadis itu tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia harta karun Jenghis Khan, akan tetapi di sana ada suhunya!   "Ya, suhuku... juga pamanku..."   "Ah, sekarang aku mengerti! Tentu dia itu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, bukan?"   Gadis itu menarik napas panjang dan mengangguk. "Taihiap, aku bertugas untuk menundukkanmu dengan rayuan, aku terpaksa... akan tetapi... mana mungkin hal itu kulakukan terhadapmu yang telah kukagumi sejak kita pertama kali bertemu?"   Thian Sin menarik tubuh itu dan kembali memeluknya, diam-diam tersenyum senang. "Nona... eh, In Bwee, adik yang manis, di antara kita telah terasa adanya suatu ikatan persahabatan yang akrab. Mana mungkin kita saling menundukkan? Engkau telah tahu bahwa aku dahulu memang pernah berjuluk Pendekar Sadis, julukan yang sebenarnya kubenci. Dan tentu engkau tahu pula bahwa aku datang ke sini sebagai wakil keluarga Ciang yang malang itu, untuk menemukan kembali peta harta karun Jenghis Khan yang dirampas dari tangan Ciang Kim Su. Nah, engkau telah tahu akan semua keadaanku, maka sebagai sahabat, sudah adil kalau akupun mengetahui latar belakang semua perbuatanmu ini."   Sampai lama In Bwee berdiam diri dalam pelukan Thian Sin. Akhirnya pemuda itu mengangkat mukanya dan mencium bibir itu. Ciuman yang halus dan mesra, bukan paksaan seperti tadi dan sekali ini, terdengar In Bwee mengeluh dan memejamkan kedua matanya, merasa seperti dihanyutkan dan tenggelam ke dalam kemesraan. Setelah Thian Sin melepaskan ciumannya, In Bwee menarik napas panjang dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu.   "Taihiap... betapa mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepada seorang pria seperti engkau. Akan tetapi aku tahu bahwa engkau dan enci Kim Hong saling mencinta, hidup sebagai suami isteri..."   "Hemm, pamanmu itu agaknya menyebar banyak mata-mata."   "Benar, aku tahu dan aku iri sekali kepada enci Kim Hong. Betapa bahagianya mempunyai seorang suami atau kekasih sepertimu, taihiap. Aku... aku seorang wanita yang malang, yang ternoda dan terhimpit..."   "Ceritakanlah, aku siap untuk membantumu."   "Sejak kecil aku dilatih ilmu silat oleh pamanku yang memiliki kepandaian tinggi. Engkau sudah mengenal namanya, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Dia benar-benar amat sakti, taihiap, harap engkau berhati-hati menghadapi dia. Ah, betapa aku telah mengkhianati guru dan pamanku dan aku takkan dibiarkan hidup kalau dia mengetahui hal ini."   "Jangan khawatir, aku akan melindungi dan membelamu, adik In Bwee. Teruskan ceritamu."   "Aku sendiri tidak tahu benar tentang rahasia harta karun Jenghis Khan. Aku tidak pernah mencampuri urusan guruku, karena aku tidak suka akan cara hidupnya yang bergelimang dengan kejahatan dan dia selalu bergaul dengan para tokoh jahat. Ayah sendiri membencinya, bahkan tidak mengakui lagi sebagai adiknya. Yang kutahu dari penuturan suhu hanyalah bahwa dia telah menguasai sebuah peta, akan tetapi tanpa adanya kunci emas, peta itu tidak ada gunanya. Dan menurut suhu kunci emas itu ada pada kalian, yaitu padamu dan enci Kim Hung. Maka aku lalu diperintah oleh suhu untuk menyelidikimu, untuk menundukkanmu dengan rayuan, bahkan kalau perlu mengorbankan diri dan kehormatan asalkan aku bisa mendapatkan kunci emas itu atau setidaknya keterangan darimu tentang kunci emas itu. Nah, sadah kuceritakan semua! Lega hatiku sekarang, akan tatapi juga khawatir, karena pengakuan ini mungkin merupakan keputusan mati bagiku..." Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak memandang ke arah pintu dan jendela, seolah-olah ia merasa takut kalau-kalau ceritanya tadi dicuri dengar orang lain.   "Jangan takut, tidak ada orang yang mendengarkan, kecuali aku. Kalau ada orang mendekat, aku tentu mengetahuinya." kata Thin Sin yang mengerti akan isi hati gadis itu. "Akan tetapi, Bwee-moi, sungguh aku merasa heran sekali. Kalau engkau memang tidak suka akan semua perbuatan dan watak suhumu, kenapa engkau mau saja diperintah olehnya! Kenapa engkau tidak menjauhinya saja?"   Ditanya demikian, kembali In Bwew menangis, air matanya mengalir keluar dan dihapusnya dengan ujung lengan bajunya yang sudah basah, "Aku terpaksa, terhimpit... aku... aku pernah menyelewang, ketika aku berusia delapan belas tahun, aku menyerahkan diri, ternoda oleh seorang suhengku, murid suhu juga. Semua murid suhu adalah orang-orang dunia hitam! Suhu mengetahui hal ini, murid itu tidak mau bertanggung jawab dan suhu menggunakan rahasia itu untuk menekanku. Kalau aku tidak menurut, bukan saja dio akan membuka rahasiaku itu agar diketahui oleh ayah ibu dan oleh umum, akan tetapi dia mengancam pula untuk membunuh ayah ibu dan keluargaku. Aku terpaksa, taihiap... aku terpaksa dan... aku takut..."   Thian Sin masih merangkul dan memeluknya. Diam-diam diapun merasa kasihan kepada gadis ini. Seorang gadis yang lemah sehingga dalam hidupnya telah tersandung dan terjatuh. Betapa sukar dan beratnya menjadi wanita, pikirnya. Kehormatan seorang wanita diukur dari keperawanannya. Sekali saja ia lemah dan tergelincir, hal itu merupakan malapetaka yang akan merobah jalan hidupnya, akan mempengaruhi sepanjang kehidupannya. Rasa takut akan membayanginya selalu, takut kalau ketahuan aib yang menimpa dirinya. Noda yang satu kali itu seolah-olah merupakan noda yang melekat kuat lahir batinnya, tidak dapat terhapus lagi sampai orangnya mati! Seolah-olah, tidak ada kejahatan di dunia ini yang lebih hebat dari pada seorang gadis kehilangan keperawanannya! Gadis seperti itu, seperti In Bwee itu, tidak akan diampuni, akan dikutuk, dicaci, dihina dan tidak ada seorangpun laki-laki agaknya yang akan mau mengambilnya sebagai isteri! Seorang gadis yang kehilangan keperawanannya seolah-olah merupakan manusia yang paling kotor di dunia ini!   Thian Sin menarik napas panjang. Persoalan ini pernah dia bicarakan dengan Kim Hong dan mereka sependapat. Tentu saja, senrang gadis yang menyerahkan keperawanannya begitu saja kepada seorang pria tanpa melalui sebuah pernikahan yang sudah menjadi hukum dan kebiasaan umum, merupakan perbuatan yang bodoh, terdorong oleh nafsu dan kelemahan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa selama hidup yang tak dapat sembuh dan sama sekali tidak adil kalau dijadikan semacam noda kotor yang menjijikkan sehingga para pria menolaknya sebagai barang hina! Apa lagi bagi Kim Hong yang menyerahkan keperawanannya kepada Thian Sin tanpa syarat, karena ikatan sumpah dan karena memang cinta. Anggapan yang sudah merupakan pendapat umum tentang hal itu amat ditentangnya. Kim Hong sudah banyak memperbincangkan hal ini dengan Thian Sin, bahkan berdebat. Upacara dan pesta pernikahan adalah suatu hal untuk umum, akan tetapi hubungan sex dan cinta adalah urusan pribadi dua orang yang bersangkutan. Orang yang benar-benar mencinta, tak mungkin akan mau mencelakaken orang yang dicintanya itu. Kalau ada seorang pemuda mencinta seorang dara, benar-benar mencintanya, bukan sekedar suka karena dorongan nafsu, tentu pemuda itu akan selalu menjaga agar orang yang dicintanya itu tidak sampai mengalami bencana, apa lagi kalau bencana itu terjadi karena ulahnya. Pandangan umum dan tradisi memutuskan bahwa hubungan sex di luar nikah adalah suatu hal yang buruk dan hina dan pelanggarnya, khususnya kaum wanita, akan dipandang rendah dan menderita aib. Karena sudah mengerti akan hal itu, pemuda yang mencinta pacarnya, benar-benar mencintainya, tentu tidak akan mau membujuk pacarnya untuk melakukan hubungan sex di luar nikah. Kalau dia melakukannya, berarti bahwa cintanya itu adalah cinta berahi belaka! Untuk memuaskan hasrat berahinya, dia lupa bahwa pacarnya, yang katanya merupakan satu-satunya wanita yang dicintainya, terancam malapetaka hebat kalau terjatuh oleh bujuk rayunya. Dan banyak terjadi kenyataan bahwa setelah nafsu sexnya terpuaskan, pemuda itu baru melihat bahwa sesungguhnya dia tidak mencinta wanita itu, seolah-olah seorang kehausan yang setelah minum air sepuasnya lalu tidak lagi menginginkan air.   Akan tetapi, dengan Thian Sin dan Kim Hong soalnya berbeda lagi. Mereka berdua hidup sebagai suami isteri walaupun belum disahkan dengan upacara dan pesta pernikahan, bukan sekedar dorongan sex semata. Ada pertalian cinta yang mendalam di antara mereka dan hanya karena pandangan keduanya yang ingin bebas dan memberontak dari pada segala aturan yang dianggap merupakan ikatan yang memuakkan maka mereka tidak perduli tentang upacara dan pesta pernikahan.   "Aku memang pengecut..." Akhirnya gadis itu mengeluh dan melepaskan diri dari rangkulan Thian Sin, "dan aku... aku lemah terhadap rayuan pria. Aku tidak berani menentang pamanku yang sesat itu dan aku... aku begini mudah jatuh hati kepadamu, padahal... padahal aku telah jatuh cinta kepada seorang lain...! Ah, Bu Kok Siang, betapa kelirunya engkau jatuh cinta kepada seorang gadis seperti aku..." Dan gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan, nampaknya menyesal sekali.   Thian Sin memegang kedua lengan gadis itu, tidak lagi bersikap mesra. "Maafkan aku, In Bwee, bukan maksudku merayumu. Ah, kita ini memang manusia-manusia lemah. Berdekatan dengan seorang seperti engkau ini, hati siapa takkan tertarik? Engkau saling mencinta dengan sasterawan itu? Bagus, dia seorang pemuda yang hebat. Dan memang sepantasnya seorang gadis seperti engkau ini, tidak usah takut-takut untuk menentang kelaliman dan kejahatan. Matipun tidak akan penasaran kalau kita berada di atas kebenaran, In Bwee. Dan akupun akan melindungimu terhadap ancaman iblis yang menjadi pamanmu itu. Sekarang katakan, di mana aku dapat bertemu dengan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng itu?"   "Biarpun namanya amat terkenal di kotar aja, namun tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalnya. Bahkan para pendekarpun tidak mampu menemukan tempatnya itu."   "Tapi engkau tahu tempatnya?"   Gadis itu mengangguk. Lalu dia mengangkat mukanya memandang wajah Thian Sin yang tampan dan menarik itu. "Ceng-taihiap, begitu inginkah engkau dan enci Kim Hong mendapatkan pusaka harta karun Jenghis Khan itu? Kalau cuma uang yang kalian butuhkan, kiranya aku akan dapat membantu..."   Thian Sin tersenyum. "Maksudmu?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang cantik itu.   "Pamanku itu amat lihai, taihiap. Bukan hanya dia amat lihai, akan tetapi juga dia mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Boleh dibilang semua tokoh sesat di kota raja adalah kaki tangannya, atau setidaknya tunduk kepadanya. Selain itu, juga di belakangnya ada pasukan pemerintah yang mendukung dan siap membantunya. Kalau hanya untuk uang, amat berbahaya kalau taihiap menentangnya. Lebih baik taihiap berikan kunci emas itu kepadanya, dan saya akan suka membantu taihiap, kalau memang uang yang..."   "Hushhh... kaupikir kami ini orang-orang yang haus akan harta, In Bwee? Tidak, kami tidak butuh uang. Akan tetapi kami adalah petualang-petualang yang selalu tertarik akan hal-hal yang berbahaya dan penuh rahasia. Kami melihat betapa seorang petani tua dibunuh, juga isterinya, bahkan betapa putera petani itupun agaknya sudah dibunuh orang pula. Kami melihat kejahatan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mata kami, tak mungkin kami mendiamkannya saja. Pula, kami ingin juga menemukan pemuda petani itu dan kepadanyalah kami akan menyerahkan harta karun itu, karena dialah satu-satunya orang yang berhak memperolehnya."   Mendengar ini, gadis itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Nama Pendekar Sadis selama ini membuat aku merasa serem dan takut, akan tetapi setelah bertemu orangnya, ternyata taihiap adalah seorang pendekar yang berhati mulia, budiman dan sama sekali tidak menyeramkan, bahkan amat menarik. Betapapun juga, hatiku khawatir sekali membayangkan betapa taihiap akan berhadapan dengan pamanku dan semua kaki tangannya."   "Jangan khawatir dan engkau tidak perlu ikut-ikut, In Bwee. Katakan saja di mana tempat persembunyian pamarmu yang sesat itu."   In Bwee kembali menoleh ke luar jendela, seolah-olah takut kalau-kalau kata-katanya itu terdengar orang lain. Kemudian, dengan suara lirih dan agak gemetar, seolah-olah ia membukakan suatu rahasia yang amat besar, ia berkata. "Pamanku itu bersembunyi... di gedung jaksa..."   "Ehh...?" Thian Sin terbelalak, merasa heran bukan main. "Di rumah jaksa? Bukankah jaksa itu seorang pembesar yang bertugas memberantas dan menuntut para penjahat? Bukankah jaksa itu tugasnya melindungi rakyat dari pada kesewenang-wenangan dan himpitan orang-orang jahat?"   In Bwee tersenyum pahit. "Ceng-taihiap, agaknya biarpun engkau seorang pendekar yang sudab banyak bertualang, akan tetapi engkau masih belum tahu benar akan keadaan di kota raja ini. Di sini, para petugas dan penjaga keamanan itu sama sekali tidak melindungi rakyat, melainkan melindungi orang yang mampu memberi kesenangan kepada mereka, terutama sekali yang mampu memberi uang. Mereka itu tiada bedanya dengan tukang-tukang pukul boyaran, hanya bedanya mereka itu mengandalkan pakaian seragam dan kedudukan. Di sini, uang bisa membeli apa saja, taihiap. Uang bisa membeli kehormatan, bisa membeli kebenaran, bisa membeli keadilan."   "Hemm, kau hendak mengatakan bahwa keadilan dan kebenaran dapat diperjual-belikan di kota raja ini? Dan apakah jaksa itupun dibeli oleh Pat-pi Mo-ko dengan sogokan harta?"   "Tidak dengan harta. Paman adalah seorang yang tak dapat dikatakan kaya. Segala harta yang diperolehnya juga dihamburkan seperti pasir. Bahkan dia banyak minta kepadaku. Akan tetapi, sejak dahulu paman menjadi sahabat baik jaksa Phang-taijin. Aku sendiri tidak tahu bagaimana paman dapat mempengaruhi dan menundukkan Phang-taijin seperti itu, akan tetapi persembunyiannya di sanapun hanya aku yang mengetahui, di samping tentu saja kaki tangannya yang telah dipercayanya benar."   "Seperti Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko itu?"   Gadis itu mengangguk. "Akan tetapi harap engkau jangan memandang rendah, taihiap. Mungkin mereka itu tidak merupakan lawan tangguh bagimu, akan tetapi suhu itu..."   Thian Sin mengusap dagu yang halus itu. "Jangan khawatir, kami akan bertindak dengan hati-hati sekali dan terima kasih atas segala keterangambu. Tanpa bantuanmu itu, agaknya kami akan sukar untuk mencari pamanmu itu."   "Akan tetapi aku... suhu tentu akan marah sekali dan mungkin akan menjatuhken hukuman karena aku telah gagal merayumu..."   "Siapa bilang gagal? Ah, tidak percayakah engkau bahwa aku sudah hampir jatuh hati kepadamu, In Bwee? Engkau begini manis, jelita dan menawan hati. Kalau saja engkau tadi tidak mengatakan bahwa engkau saling mencinta dengan Bu Kok Siang, hemm... agaknya sekarang juga aku masih akan mau untuk bercinta denganmu. Akan tetapi, tidak! Engkau seorang gadis baik dan engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang baik sekali dari Bu Kok Siang."   In Bwee bangkit dan memandang dengan wajah berseri. "Memang, dia amat cinta kepadaku, taihiap. Dia sudah kuberi tahu tentang keadaanku, akan tetapi, seperti juga engkau, dia tidak menghinaku, bahkan dia kasihan kepadaku. Biarlah, kalau suhu hendak membunuhku, terserah! Aku telah berjumpa dengan Bu Kok Siang yang mencintaku, dengan engkau yang begini baik kepadaku, kalau sekarang suhu membunuhkupun aku tidak akan penasaran lagi."   "Hushh, siapa bicara tentang mati? Engkau akan hidup seratus tahun lagi, In Bwee. Tentang suhumu, jangan khawatir. Kalau dia menuntut hasil rayuanmu, nah, kauberikan ini kepadanya."   Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya dan memberikannya kepada In Bwee. Gadis ini terbelalak memandang kunci emas itu, lalu ia menatap wajah Pendekar Sadis.   "Taihiap, bukankah taihiap tadi mengatakan bahwa taihiap harus mendapatkan harta karun itu dan menyerahkan kepada yang berhak?"   Thian Sin tersenyum dan di dalam hatinya dia tahu bahwa gadis ini benar-benar telah berobah, sudah berpihak kepadanya dan diam-diam mulai menentang dan memusuhi guru atau pamannya. Diapun bangkit berdiri dan memegang kedua lengan gadis itu.   "In Bwee, adikku yang manis, jangan kau khawatir. Serahkan saja kunci emas ini, karena kunci ini akan menyelamatkanmu dari kecurigaan dan ancamannya. Kunci inipun tidak akan ada gunanya bagi Pat-pi Mo-ko. Percayalah engkau padaku..."   "Hemm, kunci palsu?" bisik gadis itu.   Thian Sin tersenyum. "Engkau jauh lebih cerdas dari pada para kaki tangan Pat-pi Mo-ko. Nah, kau kembalilah dan tenangkan hatimu."   Berseri wajah In Bwee. Memang, dengan membawa kunci emas itu, baik aseli ataupun palsu, akan menolongnya kerena itu merupakan bukti bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan suhunya tidak mempunyai alasan untuk marah kepadanya. Andaikata kunci emas itu palsu sekalipun, hal itu bukanlah kesalahannya, karena mana ia tahu kalau kunci itu palsu? Ia akan selamat, akan dapat bertemu kembali dengan Bu Kok Siang dengan selamat dan siapa tahu, hubungannya dengan Kok Siang akan bertumbuh dengan baik dan akhirnya ia masih akan dapat menjadi isteri orang yang mencintanya dan tidak memandang rendah kepadanya.   "Terima kasih, taihiap, terima kasih..." Katanya dan sejenak In Bwee membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya terdekap di dada yang bidang itu. Ia merasa betapa aman dan tenteramnya berada di dalam pelukan pria ini, akan tetapi ia segera teringat akan Kok Siang dan ingat pula kepada Kim Hong, maka dilepaskanya pelukannya dan iapun lalu keluar dari kamar itu, melalui jendela.   Setelah melihat bahwa gadis itu pergi jauh dan tidak ada gerakan lain yans menunjukkan bahwa ada orang yang membayangi dan mengancam In Bwee, Thian Sin menutupkan kembali jendela dan pintu kamarnya, lalu merebahkan diri terlentang di atas pembaringan kamarnya, tersenyum-senyum puas. Dia mengepal tinju. Dia telah berhasil memperoleh rahasia Pat-pi Mo-ko, di mana sembunyinya iblis itu dan tentu iblis itu yang telah menguasai peta rahasia yang harus dirampasnya kembali. Juga tentu iblis ini yang tahu di mana adanya Ciang Kim Su atau apa yang telah terjadi dengan pemuda petani itu. Hatinya terasa girang dan sambil menanti sampai kembalinya Kim Hong, diapun dapat tidur pulas. *** Akan tetapi Kim Hong yang ditunggu-tunggu oleh Thian Sin itu tidak juga kunjung datang! Tentu saja Thian Sin merasa heran sekali di samping kegelisahannya. Kekasihnya itu melakukan penyelidikan atas diri Bu Kok Siang, sudah sejak kemarin, akan tetapi mengapa sehari semalam telah lewat dan Kim Hong belum juga pulang? Dia tidak merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong jatuh cinta kepada sastrawan itu. Cemburu tidak pernah menyelinap di dalam hatinya seperti juga Kim Hong tidak pernah memperlihatkan cemburu terhadap dirinya, walaupan sering gadis itu menyinggung tentang sifatnya yang mata keranjang! Cemburu hanya meracuni cinta! Cinta kasih membutuhkan kepercayaan yang mutlak, cinta kasih berarti memberi kebebasan kepada orang yang dicinta. Cinta kasih antara dua orang, pria dan wanita, adalah cinta kasih kedua pihak, yang dirasakan oleh kedua pihak itu sendiri. Tidak mungkin ada unsur pemaksaan di sini. Yang ada hanyalah mencinta atau tidak! Kalau mendrita, dengan sendirinya tidak ada penyelewengen, sebaliknya kalau tidak mencinta, takkan mungkin dipaksakan, karena itu hanya akan menjadi cinta palsu den pura-pura belaka.   Kegelisahan di hati Thian Sin adalah karena mengingat bahwa dia dan kekasihnya menghadapi komplotan yang lihai, orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh sesat yang berbahaya. Siapa tahu, sastrawan muda itupun termasuk komplotan jahat, sungguhpun In Bwee telah menyatakan saling mencinta dengan sasterawan muda itu. Tentu saja dia percaya penuh kepada kekasihnya. Tidak sembarangan orang akan mampu menandingi Kim Hong. Akan tetapi, menghadapi orang-orang dari dunia sesat amatlah berbahaya dan tidak boleh hanya mengandalkan kepandaian tinggi saja. Kaum sesat itu amat berbahaya dengan kelicikan dan kecurangan mereka, penuh tipu muslihat yang berbahaya. Akan tetapi dia tidak tahu ke mana Kim Hong menyelidiki pemuda sasterawan itu. Pula kalau dia menyusul, tentu Kim Hong akan menjadi marah dan akan mengira bahwa dia tidak percaya kepada Kim Hong, bahkan mungkin akan dikira cemburu! Maka, biarpun hatinya gelisah, Thian Sin terpaksa menanti sampai sehari lagi. Dan malam hari itu, In Bwee kembali datang ke kamarnya melalui jendela! Akan tetapi, begitu melihat bahwa yang masuk adalah gadis itu dan dia segera menyalakan lilin dan memandang kepada wajah yang cantik itu, maklumlah dia bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Wajah itu amat pucat dan ada bekas-bekas menangis pada mata yang indah namun agak merah itu. "Ada apakah, In Bwee?" tanya Thian Sin. "Celaka, taihiap... celaka, kau tolonglah dia..." kata In Bwee dengan suara setengah meratap. Melihat gadis yang kelihatan amat gelisah dan kedua kakinya gemetaran itu, Thian Sin lalu memegang tangannya dan menariknya ke sebuah kursi, menyuruhnya duduk dengan halus. "Tenangkanlah hatimu, In Bwee, dan ceritakan apa yang telah terjadi." "Mereka... mereka ditawan... ohhh... aku khawatir sekali..." "Tenanglah. Begitukah sikap seorang gagah? Tenanglah dan bicara yang jelas!" Sikap Thian Sin itu ada pengaruhnya dan setelah memandang wajah yang tenang itu, In Bwee dapat menguasai keguncangan hatinya. "Ceng-taihiap, mereka kemarin telah tertawan. Enci Kim Hong dan Bu-koko... eh, maksudku Bu Kok Siang."   "Tertangkap oleh Pat-pi Mo-ko maksudmu?"   Gadis itu mengangguk dan menarik napas panjang, menunduk. "Mereka dikeroyok di taman ketika mereka sedang bercakap-cakap, mereka mengamuk akan tetapi akhirnya datang pasukan penjaga keamanan..."   "Hemm, pasukan yang dikerahkan jaksa Phang?"   "Benar. Mereka menyerah ketika melihat pasukan pemerintah, mengira akan diadili dengan sebagaimana mestinya. Akan tetapi mereka dibawa ke tempat tahanan jaksa, di mana terdapat kamar jebakan. Mereka terjebak dan dibius, dan tertawan, kini berada dalam kekuasaan suhu..."   Thian Sin mengerutkan alisnya. "Cepat, beritahukan aku di mana tempat tahanan itu dan bagaimana keadaan di sana."   In Bwee memberitahukan tempat itu, akan tetapi iapun tidak tahu benar seluk-beluk tempat itu karena belum pernah ke sana. Namun bagi Thian Sin hal itu tidak ada artinya. Baginya, yang terpenting tahu di mana kekasihnya itu ditawan.   "Pulanglah, aku akan cepat menolong mereka. Jangan khawatir." katanya dan gadis itupun lalu pergi meninggalkan rumah penginapan untuk kembali ke rumahnya sendiri dengan hati gelisah. Akan tetapi baru saja tiba tak jauh dari rumahnya, ia terkejut melihat sesosok tubuh tinggi besar menghadangnya di tengah jalan. Gurunya, atau juga pamannya yang amat ditakutinya itu!   "Paman..."   "Hemm, apa maksudmu mengunjungi Pendekar Sadis?" suara pamannya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan.   "Aku..." In Bwee merasa takut sekali, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan anjuran Thian Sin agar jangan takut menghadapi siapapun juga asalkan berada dalam kebenaran. Maka iapun mengeraskan hatinya, memandang wajah pamannya itu dan berkata lantang, "Paman, aku dan Bu Kok Siang saling mencinta. Maka, melihat ia kautawan, hatiku menjadi gelisah sekali dan aku pergi mengunjungi Pendekar Sadis itu untuk minta tolong agar dia suka menolong dan membebaskan Bu Kok Siang."   Kakek itu memandang tajam. "Hanya untuk itu saja?"   "Habis untuk apa lagi? Bukankah saya telah mendapatkan kunci emas itu dan sudah saya serahkan kepada paman? Saya tidak akan berani mengkhianati paman, akan tetapi melihat Bu Kok Siang ditawan, saya khawatir dan untuk dia... saya rela mengorbankan nyawa sekalipun."     Sejenak kakek itu diam, lalu tiba-tiba tangannya bergerak dan sebelum keponakan atau juga muridnya itu mampu menghindarkan diri, kakek itu telah menotoknya, lalu menyambar tubuhnya dan dibawanya pergi dengan cepat. Kejadian itu tak dilihat oleh siapapun juga karena terjadi di tempat sunyi dan gelap.   "Kalau begitu, engkau harus ikut denganku. Siapa tahu ada gunanya nanti."   Sementara itu, Kim Hong dan Kok Siang juga tidak mengalami keadaan yang menyenangkan. Seperti kita ketahui, dua orang muda itu terjebak dalam kamar bawah tanah dan kemudian roboh pingsan oleh asap pembius yang tak mungkin dapat mereka elakkan. Ketika mereka siuman kembali, mereka mendapatkan diri mereka telah terbelenggu di atas dua dipan yang terdapat dalam sebuah kamar yang luas. Agaknya dipan itu bukan dipan yang biasa dipakai tidur, melainkan dipan yang khusus dibuat untuk menyiksa orang! Dan teringatlah mereka bahwa mereka kini terjatuh ke dalam tangan petugas pemerintah yang entah mengapa telah menjebak dan menangkap mereka. Dipan itu terbuat dari pada besi, ditanam di dalam lantai dan kuat sekali. Dan dipan itu diperlengkapi dengan kalung-kalung baja untuk membelenggu kaki dan tangan, juga ada alat putaran untuk menyiksa orang, menarik kedua kaki, menjepit jari-jari kaki atau tangan, bahkan ada alat pemanasan untuk dibakar yang berada di bawah dipan.   Ketika siuman, Kim Hong segera teringat keadaannya dan sekali pandang, tahulah ia bahwa ia sungguh tidak dapat berdaya. Selain gelang baja yang membelenggu kaki tangannya itu terlalu kuat, juga ia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya berada di bawah pengaruh totokan. Andaikata pengaruh totokan itu sudah hilang sekalipun. belum tentu ia akan mampu membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Ia melirik ke kiri dan melihat betapa Kok Siang juga sudah siuman, bahkan pemuda itu menoleh ke kanan, memandang kepadanya dan tersenyum lebar! Tersenyum dalam keadaan seperti itu. Sungguh luar biasa! Diam-diam Kim Hong merasa heran dan juga kagum.   "Engkau masih bisa tersenyum?" tanyanya.   "Kenapa tidak?" jawab pemuda itu dan senyumnya melebar. "Hadapilah segala sesuatu dalam hidup ini dengan senyum! Kematianpun rasanya ringan jika dihadapi dengan senyum. Sama-sama menggerakkan mulut, dan sama-sama tidak akan mampu merobah keadaan, mengapa tidak memilih senyum di antara senyum dan tangis? Ha-ha, kalau dipikir lucu juga, ya?"   Diam-diam kekaguman Kim Hong terhadap pemuda ini melonjak. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Seorang pemuda yang ahli sastra, memiliki ilmu silat yang tidak rendah, juga memiliki keberanian yang mengagumkan, hampir menyamai Thian Sin, dan patut dijadikan seorang sahabat baik. Di samping itu, masih menyimpan rahasia peta yang amat menarik itu!   "Apanya yang lucu?" tanyanya untuk menanggapi sikap gembira yang mengagumkan hatinya itu.   "Masa tidak lucu? Kita dikeroyok penjahat di taman, lalu pasukan pemerintah datang untuk menangkap semua orang yang berkelahi, termasuk kita. Tapi, pasukan pemerintah malah menjebak kita dan menawan kita dengan cara kaum penjahat, menggunakan jebakan dan obat bius. Dan sekarang kita telah dibelenggu di sini, seperti penjahat-penjahat besar! Sungguh lucu dan aneh. Siapakah yang jahat? Para pengeroyok itu, pasukan pemerintah, apakah kita?"   "Tentu saja kita!" Kim Hong menjawab sambil tersenyum. "Buktinya kita yang dibelenggu dan ditelikung seperti babi akan disembelih di sini!"   "Ha-ha-ha, seperti babi akan disembelih? Kurang tepat penggambaranmu itu, nona. Kita terlalu kurus kalau disamakan dengan babi, tidak berdaging dan penyembelihnya hanya akan menemukan kulit dan tulang belaka!"   Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan masuklah beberapa orang pria ke dalam kamar yang luas itu. Kalau tadinya Kim Hong dan Kok Siang menduga bahwa mereka berada di tangan pasukan dan yang memasuki ruangan itu tentulah komandan, mereka kecelik. Yang masuk adalah delapan orang yang berpakaian biasa saja, sungguhpun kebanyakan dari mereka besikap keren dan menyeramkan. Kim Hong memandang penuh perhatian dan iapun tahu siapakah mereka itu. Ada empat orang pria berusia empat puluh tahun yang dikenalnya sebagai sisa dari Siang-to Ngo-houw, lima jagoan yang kehilangan seorang anggautanya karena tewas oleh anak panah yang hendak membungkam mulut orang itu, kemungkinan besar dilepas oleh kepala mereka sendiri. Kemudian Kim Hong mengenal Hai-pa-cu Can Hoa yang pernah membikin ribut di rumah makan dan dihajar oleh Kok Bu Siang itu. Juga Jiat-ciang Lui Cai Ko yang perutnya gendut, matanya juling dan rambutnym riap-riapan nampak pula di antara mereka. Kim Hong tidak heran pula melihat munculnya Su Tong Hak di antara mereka dan kini orang itu memperlihatkan air mukanya yang sesungguhnya, tanpa kedok manis seperti ketika ia dan Thian Sin mengunjunginya. Pedagang ini sekarang kelihatan sekali betapa mukanya penuh dengan nafsu, mulutnya menyeringai, matanya berkilat penuh kecerdikan dan tahulah Kim Hong bahwa selama ini paman dari Ciang Kim Su ini memang bersekongkol dengan para penjahat. Adapun orang yang ke delapan, yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, berusia lima puluh tahun lebih, mudah saja diduganya. Siapa lagi orang ini kalau bukan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, pikir Kim Hong. Dari gerak-gerik dan pandang matanya, Kim Hong dapat menduga bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi dan mungkin orang ini pula yang membuatnya gagal mendobrak pintu ketika ia terjeblos ke dalam kamar rahasia itu, yang memiliki hawa pukulan amat kuat.   Sementara itu, Kok Siang juga memandang mereka penuh perhatian. Dia sungguh merasa terkejut ketika melihat bahwa yang menjebaknya bukanlah pasukan pemerintah, melainkan orang-orang jahat itu. Dan pemuda yang cerdik inipun tahu bahwa tentu jaksa itu bersekutu dengan para penjahat ini. Akan tetapi dia berpura-pura bodoh dan begitu melihat mereka masuk, diapun berteriak-teriak.   "Heiii! Apa-apaan ini? Penasaran! Kami tidak berdosa, kenapa ditangkap? Di mana adanya keadilan? Dan siapa kalian ini? Kenapa bukan komandan pasukan yang datang? Kami menuntut keadilan!"   Hai-pa-cu Can Hoa yang bertubuh tinggi besar, kumis dan jenggotnya malang melintang tak terpelihara itu sudah melangkah maju mendekati Kok Siang, tangan kirinya yang besar itu bergerak menampar.   "Plakk! Plakk!" Dua kali muka Kok Siang ditampar dengan keras dan karena Kok Siang sendiri juga masih terpengaruh oleh totokan sehingga ia tidak mampu mengerahkan sin-kang, maka tentu saja tamparan itu harus diterimanya dengan mandah dan pipi kanannya menjadi merah membengkak.   "Wah, bukankah engkau ini bajingan yang pernah mengacau di rumah makan? Ha-ha, sobat, kiranya engkaupun seorang pengecut, beraninya hanya setelah aku terjebak dan dibelenggu. Coba lepaskan belenggu ini dan aku akan membuat engkau tak mampu bangun kembali!"   "Siucai sombong!" Kembali tangan kanan Can Hoa bergerak menampar dua kali. "Plak! Plakk!"   "Cukuplah!" Tiba-tiba kakek hitam tinggi besar yang sejak masuk tadi memandang kepada Kim Hong, berkata dan Hai-pa-cu Can Hoa menghentikan tamparannya. Kakek hitam itu lalu menghampiri Kok Siang yang kini kedua pipinya telah menjadi merah dan agak membengkak oleh tamparan-tamparan Hai-pa-cu Can Hoa tadi. Sejenak mata yang lebar dan tajam itu seperti hendak menembus dada Kok Siang, kemudian terdengar kakek itu berkata, suaranya dalam dan tenang, namun penuh wibawa.   "Apa engkau yang dikenal sebagai Im-yang Siang-pit Bu Siucai dari Thian-cin?"   Seperti juga Kim Hong, pemuda ini sudah dapat menduga siapa adanya kakek hitam tinggi besar ini. Dia belum pernah jumpa dengan kakek ini, akan tetapi nama besarnya sudah lama didengarnya dan bahkan belum lama ini dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng adalah paman dari gadis yang dicintanya, yaitu Bouw In Bwee! Jadi inilah orangnya yang telah menindas kekasihnya itu. Dan dia hampir merasa yakin bahwa orang ini pulalah, atau setidaknya juga kaki tangannya, yang telah membunuh pamannya sendiri, yaitu Louw siucai! Akan tetapi dia menekan perasaannya dan ketika dia ditanya, diapun mengangguk.   "Benar." jawabnya. "Teman-temanku menyebutku Im-yang Siang-pit Bu Siucai, dan aku datang dari Thian-cin. Tidak tahu siapakag engkau! Dan bagaimana kami yang tadinya menjadi tangkapan pasukan pemerintah, kini bisa terjatuh ke tangan kalian?"   "Tutup mulutmu yang lancang dan jawab saja semua pertanyaan!" bentak Hai-pa-cu dengan sikap galak. Jagoan dari Yen-tai ini nemang merasa sakit hati kepada Kok Siang yang pernah menghajar dan mempermainkannya, membuatnya malu di restoran tempo hari. Kalau tidak takut kepada Pat-pi Mo-ko, tentu dia akan menghajar habis-habisan den mungkin membunuh pemuda yang dibencinya itu.   "Bu Siucai," kata pula Pat-pi Mo-ko, suaranya tenang akan tetapi mengandung nada yang penuh ancaman. "Tahukah engkau siapa aku?"   Kok Siang menggeleng kepalanya. "Tidak, aku tidak tahu. Yang kukenal hanyalah penjahat kecil yang pernah mengacau di rumah makan ini, dan juga si juling yang mengeroyok kami di taman. Yang lain-lain, aku tidak tahu..."   "Engkau berhadapan dengan Pat-pi Mo-ko!" kata kakek hitam itu, dan matanya berkilat ketika dia melihat pemuda yang terbelenggu itu nampak terkejut.   "Ah...! Tapi... tapi mengapa aku ditangkap? Dan bukankah yang menangkapku adalah pasukan pemerintah?" Kok Siang berpura-pura bodoh.   "Itu bukan urusanmu. Yang jelas, engkau telah berani menentangku dan siapapun yang berani menentangku di dunia ini, tentu dia sudah bosan hidup. Bu Siucai, namamu terkenal di Thian-cin sebagai seorang gagah yang tidak pernah lancang tangan. Sekarang engkau muncul di kota raja, apakah kehendakmu?" Sepsang mata itu memandang tajam penuh selidik.   Kok Siang bukan seorang yang bodoh. Dia sudah menduga bahwa Louw siucai, pamannya itu, tentu terbunuh oleh iblis-iblis ini, maka kalau dia mengaku bahwa dia adalah keponakan Louw siucai yang hendak mencari pembunuh pamannya, sama saja dengan membunuh diri.   "Apa yang hendak kulakukan di kota raja? Tentu saja melancong, apa lagi?"   "Hemm, kalau engkau tidak bergulang-gulung dengan nona ini, mungkin aku dapat percaya omonganmu." Pat-pi Mo-ko menuding ke arah Kim Hong.   "Ah, nona ini? Kami berkenalan secara kebetulan saja, di rumah makan. Tentu jagoan Yen-tai itu sudah menceritakan kepadamu. Pat-pi Mo-ko, namamu terkenal sebagai orang besar, maka harap kau suka membebaskan kami yang tidak bersalah apa-apa. Terutama nona ini. Bagaimana kalau dunia kang-ouw mendengar bahwa Pat-pi Mo-ko yang besat itu menawan seorang nona muda dengan cara menjebaknya dan bersekongkol dengan pasukan pemerintah?"   "Tutup mulutmu! Kau sudah bosan hidup?" Hai-pa-cu Can Hoa membentak dan mendekat, akan tetapi Kok Siang hanya tersenyum saja. Dia tadi memang sengaja hendak menggerakkan harga diri Pat-pi Mo-ko, memanaskan hatinya.   Akan tetapi kakek iblis hitam itupun cerdik dan tidak mudah dibakar hatinya. Dia lalu menghampiri Kim Hong dan Kok Siang mengikuti gerakan kakek itu dengan jantung berdebar tegang dan khawatir. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia tahu benar betapa berbahayanya bagi seorang gadis cantik seperti Kim Hong kalau terjatuh ke tangan orang-orang macam ini. Ada bahaya penghinaaan yang lebib hebat dari pada kematian bagi gadis itu. Akan tetapi, dia yang tentu saja tidak akan mampu melindungi Kim Hong dengan kekuatan badannya yang sudah tidak berdaya, merasa yakin bahwa dia akan mampu menyelamatkan Kim Hong dalam saat terakhir, karena dia masih memegang kunci rahasia yang amat penting, yaitu peta yang aseli! Dengan ini dia akan dapat menebus diri Kim Hong, kalau perlu.   "Nona, engkau bernama Toan Kim Hong dan menjadi sahabat dan kekasih Pendekar Sadis, bukan? Hemm, kasihan Pendekar Sadis, tidak tahu bahwa kekasihnya main gila dengan setiap orang pemuda ganteng seperti Bu Siucai di luaran!" Pat-pi Mo-ko tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mendapat kenyataan bahwa kekasih Pendekar Sadis mempermainkan pendekar itu. Hal ini saja sudah dapat menimbulkan dugaan dalam hati Kim Hong dan Kok Siang bahwa penjahat ini agaknya membenci Thian Sin. Akan tetapi, tanpa diketahui oleh siapapun juga, diam-diam Kok Siang terkejut setengah mati mendengar disebutnya Pendekar Sadis. Diapun merasa seperti pernah mendengar nama Ceng Thian Sin ketika mereka saling berkenalan di rumah makan, akan tetapi sama sekali dia tidak pernah menduga bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis yang pernah menggegerkan seluruh kota raja! Akan tetapi, dia dapat menyembunyikan keheranannya dan pura-pura tidak terpengaruh sama sekali oleh sebutan itu.   Akan tetapi, Kim Hong sama sekali tidak mau memberi jawaban dan hanya memandang dengan senyum mengejek, dan pandang matanya menghina sekali. Melihat ini Tiat-ciang Lui Cai Ko yang bermata juling itu mendekat.   "Twako, biarlah kusiksa dulu gadis ini biar mau bersikap lunak dan mau menjawab pertanyaanmu!" Agaknya sudah gatal-gatal rasa tangan penjahat ini untuk menyiksa Kim Hong. Jari-jari tangannya sudah terbuka dan siap mencengkeram. Akan tetapi Pat-pi Mo-ko tersenyum dan menggeleng kepalanya.   "Sabarlah, Cai Ko. Belum tiba waktunya untuk itu." Dan kepala penjahat ini menghadapi Kim Hong lagi. "Nona, biarpun engkau tidak mengaku, kami sudah tahu bahwa engkau dan Pendekar Sadis datang sebagai utusan mendiang petani Ciang Gun, membawa kunci emas dan engkau tahu tentang rahasia harta karun Jenghis Khan itu. Marilah kita bicara secara terbuka saja karena kita sudah sama- sama tahu akan hal itu. Kami telah menggeledah dan tidak temukan kunci emas di tubuhmu atau pakaianmu. Nah, katakan. Di manakah adanya kunci emas itu? Apakah dibawa oleh Pendekar Sadis?"   Diam-diam Kim Hong merasa mendongkol sekali. Kiranya dalam keadaan pingsan tadi tubuhnya telah digeledah, tentu saja digerayangi tangan-tangan yang kotor dan kurang ajar itu. Untung tidak terjadi sesuatu dengan dirinya. Hal ini tentu saja karena kepala penjahat ini masih membutuhkan keterangan-keterangannya, masih melihat manfaat pada dirinya. Akan tetapi kalau sekarang ia masih selamat, hal itu hanya soal waktu saja. Kalau ia sudah tidak dibutuhkan lagi, tentu ia akan dilempar kepada orang-orang kasar itu, untuk disiksa, diperkosa dan dipermainkan, seperti segumpal daging dilempar kepada anjing-anjing kelaparan. Atau mungkin Pat-pi Mo-ko ini sendiri yang akan mempeloporinya, melihat sinar mata yang juga penuh mengandung nafsu ketika memandangnya itu. Akan tetapi, ia sengaja tidak mau membuka mulut dan otaknya dikerjakan. Apa perlunya ia menjawab? Iblis ini tahu bahwa kunci emas masih berada di tangan Pendekar Sadis, jadi iblis itu tidak akan dapat berbuat sesuatu dan kiranya tidak akan mengganggunya secara sangguh-sungguh sebelum kunci itu didapatnya. Mungkin ia akan dijadikan umpan untuk memancing datang Pendekar Sadis. Hampir Kim Hong tersenyum. Tanpa dipancing sekalipun, Thian Sin pasti akan datang untuk menolongnya. Hal ini ia yakin benar. Akan tetapi iapun merasa khawatir karena sekali ini mereka menghadapi penjahat-penjahat yang selain kejam, juga kuat dan curang sekali. Ia sendiri sudah amat berhati-hati dan kalau saja tidak ada pasukan pemerintah yang turun tangan, belum tentu ia akan begitu lengah sehingga dapat ditangkap begitu saja!   Melihat gadis itu tinggal diam, Pat-pi Mo-ko tersenyum. Kalau lain orang, tentu sudah marah sekali. Akan tetapi iblis ini bukan penjahat sembarangan dan karena itu dia dijadikan semacam raja tanpa mahkota oleh para penjahat lain di kota raja. Dia cerdik sekali.   "Nona, apa gunanya nona bersikap diam dan membisu? Biarpun Pendekar Sadis memegang kunci emas, apa gunanya kalau dia tidak memiliki peta rahasia itu! Dan petanya berada di tangan kami! Kini engkau sudah berada di dalam kekuasaan kami. Pendekar Sadis akhirnya tentu akan menyerahkan kunci itu kalau memang dia sayang kepadamu."   Kim Hong hanya tersenyum mengejek saja, memandang dengan sinar mata menghina, bahkan lalu membuang muka. Sikapnya sungguh memandang rendah sekali.   Pat-pi Mo-ko bangkit berdiri, mukanya agak merah walaupun dia masih belum memperlihatkan kekecewaan dan kemarahannya. "Baiklah, mari kita lihat siapa yang lebih keras hati di antara kita. Kami melihat bahwa engkau bermain cinta dengan sasterawan ganteng ini di taman. Nah, karena dia ini tidak ada gunanya bagi kami, maka biarlah engkau melibat ia tersiksa dan mampus di depan matamu. Hendak kulihat, apakah engkau akan tega melihat kekasih barumu ini tersiksa sampai mati dan tetap menutup mulut?"   Kim Hong yang membuang muka tadi telah memandang ke arah Kok Siang. Dilihatnya pemuda itu berkedip memberi isyarat agar jangan mau tunduk, akan tetapi diam-diam hati Kim Hong merasa khawatir. Pemuda itu merupakan orang yang amat penting, terpenting malah karena pemuda itu menguasai peta aseli atau mengetahui tempat peta aseli itu. Tentu saja pemuda itu sekali-kali tidak boleh tewas begitu saja. Betapapun juga, ia tidak mau tunduk oleh gertakan dan hendak dilihatnya dulu apakah benar iblis ini seorang yang memenuhi kata-katanya, bukan hanya penjahat besar mulut yang suka main gertak belaka. Inipun perlu baginya untuk mengenal watak dan sifat Pat-pi Mo-ko yang merupakon seorang lawan tangguh dan licik sekali.   Dan Pat-pi Mo-ko agaknyapun bukan orang yang suka h~ cakap. Tanpa menoleh kepada Kim Hong untuk melihat apa reaksi kata-katanya terhadap gadis itu, diapun sudah memberi isyarat kepada para pembantunya. Hai-pa-cu Can Hoa segera melangkah maju dan mulutnya menyeringai puas sekali. Inilah yang dinanti-nantinya. Kebenciannya kepada sesterawan muda itu kini akan terpuaskan, dendamnya akan terbalas.   "Heh-heh-heh, semalam aku memang sudah mimpi melihat engkau terbakar hangus. Aku tidak mau memulai dengan siksaan-siksaan kecil, melainkan langsung saja membakarmu. Eh, kutu buku busuk, pernahkah engkau dipanggang hidup-hidup?"   Kok Siang tentu saja tahu apa yang dihadapinya. Akan tetapi dia adalah seorang pendekar sejati yang tidak takut menghadapi apapun juga. Maka, melihat wajah yang menyeringai itu, diapun tersenyum lalu menjawab dengan suara lantang.   "Pernah memang aku melihat, akan tetapi engkau yang dipanggang di api neraka, sehingga si Macan Tutul Laut berobah menjadi bangkai macan hangus, ha-ha-ha!"   "Keparat!" bentak Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut) Can Hoa dan dengan tangan membentuk cakar dia hendak menyerang pemuda yang terbelenggu di atas dipan besi itu.   "Can Hoa!" terdengar Pat-pi Mo-ko membentak dan jagoan dari Yen-tai itu tidak melanjutkan serangannya melainkan menarik sebuah pipa besi mononjol di bawah dipan. Terdengar suara berkerotokan dan dari dalam lubang rahasia muncullah sebuah panci baja terisi minyak yang sudah bernyala, minyak bernyala itu berada tepat di bawah dipan dan sebentar saja Kok Siang sudah merasa betapa dipan yang ditidurinya berobah menjadi hangat, lalu panas, makin lama semakin panas. Dalam waktu beberapa menit saja, seluruh tubuhnya sudah menjadi basah, membasahi pakaiannya dan uap mengepul dari dipan itu. Akan tetapi, tidak terdengar sedikitpun keluhan dari mulut pemuda itu. Dia hanya memejamkan kedua matanya dan karena dia tidak mampu mengerahkan sin-kang, diapun hanya menyerahkan nasib kepada Tuhan saja. Akan tetapi, hawa panas itu ternyata menolongnya karena dia merasa betapa pengaruh totokan itu telah pudar dan bebas. Maka diapun mengumpulkan tenaga sin-kang dan mengerahkan hawa di tubuhnya untuk melawan rasa panas sehingga keadannya tidaklah sehebat tadi, penderitaannya berkurang, walaupun kalau dilanjutkan, akhirnya dia tentu akan terbakar hangus.   Tiba-tiba terdengar suara Kim Hung lantang, akan tetapi nadanya masih mencemoohkan dan memandang rendah. "Huh, biar kau bakar dia, biar kau cincang dia, apa hubungannya dengan kami? Kalau dia kalian bunuh, aku akan menganggap dia mati karena aku, maka kalian berhutang nyawa kepadaku!"   Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko memberi isyarat dan dengan kecewa sekali Hai-pa-cu Can Hoa menyingkirkan panci minyak bernyala itu dengan menarik pipa besi. Panci bersama api bernyala itu lenyap dalam lubang rahasia. Dan Kok Siang bahkan makin tersiksa lagi. Setelah tadi mengerahkan sin-kang melawan panas yang luar biasa, kini tiba-tiba saja api itu disingkirkan dan diapun menggigil! Kim Hong melihat hal ini, akan tetapi tahu bahwa pemuda itu telah terhindar dari bencana. Diam-diam dicatatnya di dalam hati tentang perbuatan Hai-pa-cu Can Hoa ini. Pat-pi Mo-ko menghampiri Kim Hong. "Aku tidak ingin menanam kebencian di hatimu, nona. Nah, mari kita bicara dengan baik. Benarkah engkau den Pendekar Sadis telah menemukan kunci emas itu? Hanya kunci emas saja? Tidak bersama petanya?" Kim Hong teringat akan pemberitahuan Kok Siang tentang peta palsu dan diam-diam iapun tertawa di dalam hati, mentertawakan iblis ini. Pertanyaan yang diajukan oleh iblis ini, tentang peta membuktikan kebenaran omongan Kok Siang dan agaknya iblis ini sudah tahu pula bahwa yang dikuasainya itu hanyalah peta palsu belaka! Su Tong Hak yang agaknya juga menaruh perhatian kepada seluruh peristiwa itu, tiba-tiba saja ikut bicara. "Nona, sebaiknya kalau kalian bekerja sama. Bouw-sicu. Kalian akan depat ikut menikmati hasilnya. Kalau menentang, berarti akan membuang nyawa dengan sia-sia dan tidakkah sayang sekali seorang muda seperti nona mati konyol?" "Ha-ha-ha, ucapan berbau busuk!" terdengar suara Kok Siang. Semua orang menoleh karena terkejut. Pemuda yang baru saja tersiksa itu sudah dapat tertawa dan mengejek lagi! "Mati muda dalam kebenaran adalah matinya seorang gagah, akan tetapi matinya seorang jahat dalam kehinaan sama dengan matinya seekor babi!" Kim Hung juga memandang kepada pedagang itu dan membentak. "Su Thong Hak! Engkau pengkhianat tak tahu malu, sudah mencelakakan keluarga kakakmu senndiri sampai Ciang Gun dan isterinya terbunuh, juga keponakanmu Ciang Kim Su terbunuh. Sekarang masih berani membuka mulut di depanku?" Bentakan dan ejekan Kim Hong dan Kok Siang sungguh mengejutkan hati orang she Su ini, apalagi bentakan Kim Hong yang mengingatkan dia akan perbuatannya yang kejam itu. "Tidak... tidak...!" Dia menggeleng kepala. "Aku tidak membunuh mereka... dan Kim Su tidak mati..."   "Diam!" Pat-pi Mo-ko membentak dan orang itu surut ke belakang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tentu saja Kim Hong mencatat semua ini di dalam hatinya.   "Nah, nona Toan, kami bemaksud baik dan berniat untuk kerja sama dengan engkau dan Pendekar Sadis. Maka, harap kauceriterakan semua yang kalian ketahui tentang rahasia harta pusaka ini."   Kim Hong maklum bahwa baginya tidak ada jalan lain kecuali menceritakannya, karena menceritakan hal itupun tidak ada salahnya. Akan tetapi ia tetap bersikap angkuh. "Hemm, Pat-pi Mo-ko, engkau tentu mengerti bahwa dunia kita berlainan, kita saling berselisih jalan, engkau berkecimpung dalam dunia sesat dan kami bukanlah orang-orang yang suka mengejar harta dengan kejahatan. Mana mungkin kita dapat bekerja sama?"   Si tinggi besar itu menarik napas panjang dan berkata dengan suara bersungguh hati. "Nona Toan, engkau tentu maklum bahwa tidak ada orang di dunia ini mau menempuh jalan sesat yang penuh dengan bahaya kalau tidak terpaksa. Kalau kita berhasil memperoleh harta karun Jenghis Khan dan bagianku lebih dari cukup, untuk apa lagi aku mengambil jalan sesat? Aku akan mencuci tangan dan hidup makmur dan tenteram dengan harta itu."   "Hemm, hal itu masih harus dibuktikan. Akan tetapi, engkau bicara tentang kerja sama. Apakah begini caramu bekerja sama, Pat-pi Mo-ko? Yang diajak kerja sama harus terlentang di dipan penyiksaan dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok?"   "Maafkan dulu, nona. Engkau adalah seorang yang lihai dan dalam keadaan bebas akan mendatangkan banyak repot bagi kami. Aku harus yakin dulu bahwa engkau benar-benar mau bekerja sama, dan setelah aku yakin barulah kita akan bicara seperti antara sahabat dan rekan yang bekerja sama. Nah, sekarang ceritakanlah. Ceritamu akan menjadi pertimbangan apakah benar engkau mau bekerja sama denganku."   Seorang penjahat yang matang dan cerdik sekali. Seorang lawan yang tangguh dan berbahaya, pikir Kim Hong.   "Baiklah. Denjarkan. Kami berdua tidak sengaja mencampuri urusan harta karun Jenghis Khan ini. Di An-keng kami melihat kakek Ciang Gun dikejar-kejar dan diserang anak buah Liong-kut-pian Ban Lok. Kami turun tangan, akan tetapi tidak berhasil menyelamatkan kakek petani itu walaupun kami dapat membunuh Liong-kut-pian dan dari kakek itu kami menerima kunci emas dan kami ditugaskan untuk mencari puteranya, Ciang Kim Su, membantunya untuk mencari harta karun yang menjadi haknya. Sampai di sini, kami mendengar dari orang she Su ini bahwa peta itu dibagi dua antara dia dan Kim Su dan bahwa peta bagiannya hilang dan Kim Su pun lenyap entah ke mana. Nah, selanjutnya tentu engkau sudah tahu sampai aku terjebak olehmu waktu ini." Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal. "Kakek Ciang Gun itu tidak memberikan sebuah peta lain kepada kalian berdua?" tanyanya sambil memandang tajam. Kim Hong maklum apa artinya pertanyaan ini. Kembali bukti kebenaran dan pemberitahuan Kok Siang tentang peta tulen. Penjahat ini bukan hanya mencari emas, melainkan juga peta aselinya! Ia menggeleng kepala dan berkata. "Kami justeru hendak mencari peta itu yang katanya hilang dan kami yakin bahwa engkaulah yang menguasai peta itu, bukan?" Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Memang benar." "Akan tetapi peta itu tiada gunanya kalau engkau tidak memiliki kunci emasnya, bukankah begitu?" Kim Hong memancing karena kiranya tidak perlu disembunyiken lagi kenyataan bahwa mereka saling memperebutkan peta dan kunci emas. Kakek itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah benda. "Sudah ada padaku." Kim Hong terkejut, bahkan Kok Siang mengeluarkan seruan heran melihat bahwa benda di tangan kakek itu adalah sebuah kunci emas! Kim Hong segera mengenal kunci emas palsu yang biasanya dibawa oleh Thian Sin! Tentu saja jantungnya berdebar tegang. Bagaimana mungkin kunci emas itu, kunci emas yang palsu dapat dikuasai oleh kakek ini. "Dari mana engkau memperoleh kunci emas itu?" Kakek itu tersenyum. "Tak perlu kau tahu, pokoknya kunci emasnya telah berada padaku." Hening sejenak dan dengan pandang matanya yang tajam Kim Hong menatap wajah orang. Ia dapat melihat bahwa di dalam mata kakek ini tidak ada sinar tanda kebanggaan atau kemenangan, maka hatinyapun lega. Entah bagaimana kunci itu dapat diambilnya, akan tetapi ia merasa yakin bahwa Thian Sin dalam keadaan selamat. Kalau kakek ini mampu merobohkan atau membunuh Thian Sin, tentu kakek ini akan merasa bangga sekali, akan membual di depannya atau setidaknya akan nampak dalam sinar matanya.   "Hemm, Pat-pi Mo-ko, peta sudah ada padamu juga kunci emasnya sudah ada padamu. Kenapa pula engkau masih mengganggu dan menjebakku? Apa artinya perbuatanmu yang curang ini?"   Kakek hitam tinggi besar itu nampak kecewa dan penasaran sekali. Dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku dekat dipan dimana Kim Hong terbelenggu dan sambil menetap tajam wajah Kim Hong dia menggeleng kepala. "Peta yang dibagi dua antara Ciang Kim Su dan Su Tong Hak itu adalah peta palsu! Sudah kuselidiki menurut peta dan aku tidak dapat menemukan apa-apa."   "Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Kok Siang tertawa bergelak dan diam-diam Kim Hong merasa kaget dan khawatir sekali. Apakah pemuda itu tidak dapat melihat suasana sehingga berani tertawa, mentertawakan iblis yang sedang dilanda kekecewaan dan penasaran itu? Benar saja, Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng menoleh ke arah pemada itu dan mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah, matanya mengeluarkan sinar kilat dan Kim Hong takkan merasa heran kalau iblis itu segera turun tangan membunuh Kok Siang.   "Orang she Bu, kenapa kau tertawa?" Suara iblis itu terdengar tenang saja, akan tetapi di balik ketenangan itu jelas terbayang kemarahan besar.   Kok Siang yang sudah terbebas dari totokan oleh hawa panas tadi, masih tertawa geli, kemudian berkata. "Siapa tidak akan tertawa mendengar kelucuan itu? Harta karun Jenghis Khan, sudah mengorbankan banyak nyawa, tenaga dan pikiran, dan ternyata hanya merupakan lelucon dari Jenghis Khan! Ha-ha, raja itu memang hebat, pandai, kuat, gagah, keras, kejam dan juga seorang pelawak besar!"   Pat-pi Mo-ko bangkit dari tempat duduknya, dan pada saat itu, Kim Hong yang melihat bahwa kemarahan iblis itu mungkin saja akan berarti tewasnya Kok Siang yang mengeluarkan ejeken bukan pada saat yang tepat itu, segera berkata. "Hemm, Pat-pi Mo-ko, ternyata engkau yang sudah menjadi seorang tokoh kawakan di dunia kang-ouw, mudah saja ditipu orang. Kiranya tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen."   Ucapan Kim Hong ini seporti sinar terang di antara kegelapan yang menyelubungi pikiran Pat-pi Mo-ko, juga membuat semua orang yang hadir di situ memandang ke arahnya. Tidak ketinggalan Kok Siang menoleh dan memandang kepada Kim Hong dengan alis berkerut dan pandang mata kaget.   Pat-pi Mo-ko sudah sering mendengar akan kelihaian dan kecerdikan Pendekar Sadis. Dan karena wanita cantik ini adalah sahabat dan kekasih Pendekar Sadis, maka tentu bukan merupakan seorang wanita sembarangan. Timbullah harapan di dalim hatinya. Sudah berbulan-bulan dia tersiksa oleh rahasia harta karun Jenghis Khan ini. Ketika dia mula-mula dihubungi oleh Su Tong Hak, dia tidak percaya dan tidak begitu menaruh perhatian. Dia mengenal saudagar ini melalui Phang-taijin, jaksa di kota raja yang kini menjadi sahabat baik dan pelindungnya.   Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang berilmu tinggi dan baru dua tahun dia tinggal dl kota raja setelah meninggalkan guha pertapaannya di sebuah gunung di barat. Begitu terjun ke dunia kang-ouw, dia mengalahkan dan menundukkan semua tokoh sesat dan diapun akhirnya diakui sebagai raja tanpa mahkota di antara tokoh sesat di kota raja dan daerahnya. Banyak tokoh-tokoh dari luar kota yang merasa penasaran dan datang untuk menentang jagoan baru ini, akan tetapi satu demi satu roboh di tangan Pat-pi Mo-ko sehingga akhirnya tak seorangpun lagi yang berani menantangnya. Akan tetapi, kota raja bukaniah merupakan tempat di mana seorang tokoh sesat dapat bersimaharajalela seenaknya saja karena selain di kota raja terdapat banyak orang pandai dan pendekar-pendekar, juga jagoan-jagoan istana banyak yang memiliki kepandaian tinggi, di samping adanya para penjaga keamanan yang amat kuat dan terlampau kuat bagi para penjahat. Oleh karena itu, Pat-pi Mo-ko juga tidak berani menonjolkan dirinya.   Iblis tinggi besar berkulit hitam ini memang mempunyai seorang saudara, seorang adik yang kaya raya dan terkenal dengan sebutan Bouw wan-gwe (hartawan Bouw), yang tinggal di kota raja. Akan tetapi, adiknya ini sejak muda tidak suka kepada kakaknya yang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang lain dari pada dia. Kalau dia sejak kecil tekun berdagang dan mencari uang, kakaknya itu lebih suka berkeliaran, belajar ilmu silat, bergulang-gulung dengan orang-orang jahat. Maka Bouw wan-gwe inipun diam-diam merasa tidak suka kepada Pat-pi Mo-ko! Bouw Kim Seng, biarpun dengan terpaksa karena takut dia juga memberi uang dan bahkan membelikan rumah untuk kakaknya itu. Dan pada suatu hari, Bouw wan-gwe memperkenalkan kakaknya itu dengan Phang-taijin, jaksa di kota raja yang pada waktu itu membutuhkan bantuan seorang yang berkepandaian tinggi, yaitu untuk menyingkirkan beberapa orang musuhnya. Sebagai seorang jaksa, Phang-taijin mempunyai tiga orang musuh, dua di antaranya adalah sesama rekannya yang menentangnya karena persoalan sogokan orang yang terlibat dalam perkara dan dua orang itu mengancam untuk melaporkan kecurangannya dalam menangani perkara itu kepada atasan. Yang seorang lagi adalah seorang penjahat yang merasa dilakukan dad diadili secara sewenang-wenang oleh Phang-taijin. Melihat bahwa kedudukan jaksa Phang-taijin akan dapat melindunginya, maka dengan senang hati Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng memenuhi permintaan ini dan dengan mudah dia dapat membunuh tiga orang musuh yang membahayakan keselamatan Phang-taijin itu tanpa ada yang mengetahui dan menyangkanya. Mulai saat itulah Pat-pi Mo-ko menjadi orang kepercayaan Phang-taijin. Pat-pi Mo-ko melindungi pembesar itu dari para saingannya, sebaliknya pembesar itu melindungi si penjahat untuk bersembunyi di kejaksaan. Bahkan dengan mudahnya Pat-pi Mo-ko menghubungi para tokoh penjahat di ibu kota, menguasai mereka dan menekan mereka agar mereka semua melakukan operasi di luar kota raja. Dengan demikian, mereka tidak akan bentrok dengan kedudukan dan tugas Phang-taijin, sebaliknya pembesar inipun menutupkan matanya terhadap pembantunya yang menjadi raja tanpa mahkota diantara para tokoh penjahat di kota raja.   Ketika Pat-pi Mo-ko berhubungan dengan Su Tong Hak, dia berhasil menguasai dua peta yang berada di tangan Su Tong Hak dan Ciang Kim Su dan dengan perjanjian akan bekerja sama dan memperoleh bagian masing-masing, mereka berdua lalu mencari tempat rahasia menurut petunjuk peta itu. Namun, hasilnya selalu nihil dan gagal! Sampai berbulan-bulan mereka mencari-cari, namun ternyata peta itu tidak membawa mereka ke tempat penyimpanan harta karun yang diidam-idamkan itu. Apa lagi kunci emas belum juga dapat ditemukan. Mereka mendengar tentang kunci emas ini baru belakangan ini dan ketika Pat-pi Mo-ko mengutus orangnya menuju ke dusun Cin-bun-tang di daerah An-keng, utusan itu kembali dengan tangan kosong mengatakan bahwa kakek petani itu dan isterinya telah tidak ada lagi di dusun. Isterinya terbunuh orang jahat dan kakek itu sendiri lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya!   Tentu saja Pat-pi Mo-ko menjadi penasaran, marah dan kecewa. Sampai akhirnya dia mendengar dari sisa anak buah Liong-kut-pian Ban Lok yang dilaporkan oleh para pembantunya bahwa Ban Lok dan kawan-kawannya yang telah membunuh suami isteri petani itu juga betapa Ban Lok terbunuh oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang lihai sekali, juga bahwa diduga, kunci emas itu berada di tangan pemuda dan dara itu. Maka mulailah anak buahnya melakukan pengejaran dan pencarian, juga dia mengutus muridnya untuk mendekati mereka setelah dia mendengar bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis!   Setelah dia berhasil menerima kunci emas dari muridnya sebagai hasil bujuk rayu muridnya atau keponakannya yang cantik itu terhadap Pendekar Sadis, hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran lagi. Kunci emas sudah didapatkan, akan tetapi peta itu ternyata palsu dan tidak mampu membawanya ke tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Inilah yang membuat dia semakin kecewa dan penasaran. Kini, dalam keadaan hampir putus asa mendengar ucapan Kim Hong yang mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen, tentu saja semangatnya tergugah dan harapannya timbul kembali. Wajahnya berseri ketika dia mendekati dipan di mana Kim Hong terbelenggu.   "Nona Toan, maukah engkau bekerja sama dengan kami?"   Kim Hong mengerutkan alisnya, mengambil sikap seperti orang berpikir. Padahal, ia memang sengaja mencari kesempatan untuk membuat penjahat ini membutuhkannya. Melihat kunci emas itu telah berada di tangan penjahat ini, biarpun ia tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya mengalami bencana, namun hatinya merasa gelisah dan ragu. Bagaimanapun juga, kenyataan membuktikan bahwa kekasihnya telah menyerahkan kunci itu atau dipaksa menyerahkan dan tentu telah terjadi sesuatu dengan Thian Sin. Kalau hal ini benar, maka sebaiknyalah kalau ia mendekati dan berbaik dengan Pat-pi Mo-ko, bukan karena harta karun itu karena ia tahu bahwa kepala penjahat ini hanya memiliki peta dan kunci palsu belaka. Akan tetapi ia harus lebih dulu tahu bagaimana keadaan Thian Sin. Pula, ia harus pula melindungi Kok Siang yang masih terthwan, karena ia berkeyakinan bahwa pemuda inilah yang menguasai peta aselinya, sedangkan kunci emas yang aselinya ada pada ia dan Thian Sin.   "Pat-pi Mo-ko, kita sama-sama adalah petualang-petualang dan di mana ada kesempatan memperoleh keuntungan besar, tentu saja kami mau bekerja sama denganmu. Akan tetapi, bekerja sama yang bagaimana maksudmu?"   "Engkau membantuku dahulu mencari peta aseli dan menemukan harta karun Jenghis Khan."   "Imbalannya?"   "Engkau mendapatkan seperempat bagian."   "Aka tidak mau menyerahkan sebagian dari hakku yang setengahnya atas harta karun itu kepadanya!" Tiba-tiba Su Tong Hak berkata.   "Diam dan jangan mencampuri urusan kami!" Bouw Kim Seng membentak dan pedagang itu undur kembali dengan alis berkerut.   "Pat-pi Mo-ko, engkau berkali-kaii mengajak aku untuk bekerja sama, akan tetapi engkau memperlakukan aku sebagai tawanan. Mana mungkin ini?"   "Maukah engkau? Berjanjilah lebih dahulu dan aku akan membebaskanmu."   "Aku berjanji akan bekerja sama denganmu!" Kim Hong berkata dengan suara bersungguh-sungguh.   "Toan Kim Hong!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak dan nampak marah sekali "Kiranya sebegitu saja keteguhan hatimu! Setelah terjepit, nampak belangmu dan engkau mau saja bekerja sama dengan kaum sesat? Huh, kiranya engkau hanyal petualang yang haus akan harta kekayaan!"   "Bu Kok Siang! Tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusanku!" Kim Hong juga membentak dengan marah.   "Engkau tak tahu malu! Engkau pengecut, huh, kalau aku bebas, sebelum menggempur para penjahat ini, engkau akan kuhancurkan lebih dulu!" Kok Siang berteriak marah.   "Kutu buku yang pura-pura menjadi orang gagah! Siapa takut akan ancamanmu? Engkau takkan lolos dari tempat ini dengan hidup!" Kim Hong memaki dan kedua orang itu saling mencela dan memaki. Melihat ini, Pat-pi Mo-ko diam-diam memandang dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri. Lalu dia menghampiri Kim Hong dan dengan kedua tangannya sendiri dia melepaskan belenggu besi dari kaki dan tangan gadis itu dengan kunci, kemudian memulihkan jalan darah gadis itu yang masih tertotok. Kim Hong mengurut-urut pergelangan kaki dan tangannya yang terasa nyeri bekas belenggu besi. Pat-pi Mo-ko den para pembantunya siap menghadapi kalau-kalau gadis itu akan melanggar janjinya dan mengamuk. Akan tetapi Kim Hong tidak mengamuk, membereskan pakaiannya, lalu memandang kepada Pat-pi Mo-ko sambil tersenyum. "Mana siang-kiamku, apakah tidak dikembalikan kepadaku setelah kita menjadi rekan?"   "Nanti dulu, nona Toan, jangan tergesa-gesa. Pedang pasangan itu berada padaku dan kalau engkau membutuhkan, tentu akan kuberikan kepadamu. Sekarang katakan dulu, apa maksudmu tadi mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen?"   Kim Hong duduk di atas dipan bekas tempat ia dibelenggu, melonjorkan kedua kakinya dan menarik otot-ototnya yang tegang sebelum menjawab. Ia menatap wajah penjahat besar itu dan tahu bahwa ia harus berhati-hati. Sikap Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya jelas menaruh kecurigaan besar kepadanya. Ia harus berdaya upaya menarik kepercayaan mereka. Hanya dengan demikianlah ia akan dapat mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat itu, juga untuk menyelamatkan Kok Siang, dan kalau perlu menolong Thian Sin, kalau benar seperti yang dikhawatirkannya bahwa kekasihnya itu mungkin saja terjebak pula seperti ia dan Kok Siang.   "Pat-pi Mo-ko, apa sih sukarnya menyelidiki hal itu? Pertama-tama, pembawa peta itu adalah Ciang Kim Su dan dialah orang pertama yang mungkin saja menyembunyikan peta aseli karena dia penemunya dan menggantikannya dengan peta palau untuk melindungi yang tulen kalau terjadi sesuatu. Maka kepadanyalah harus ditanyakan di mana adanya peta yang tulen, yakni kalau dia masih hidup."   Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Sudah kami lakukan itu akan tetapi tanpa hasil."   "Hemm, apa sukarnya menyiksanya sampai dia mengaku? Dia hanya seorang pemuda petani lemah, disiksa sedikit saja tentu akan mengaku." kata pula Kim Hong dengan sikap kejam. "Aku tahu tentang beberapa cara penyiksaan yang akan membuat orang lemah mengaku. Misalnya, mencabuti kuku jari kaki dan tangan satu demi satu, menusukkan jerum ke bawah kuku jari tangan, merobek kulit pelipis melalui tarikan rambut pelipis ke atas. Biarkan aku yang menyiksanya, tentu dia mengaku."   "Tidak, jangan siksa lagi dia! Dia sudah hampir... hampir mati..."   "Plakk!" Tubuh pedagang itu terpelanting ketika terkena sambaran tangan Pat-pi Mo-ko yang menamparnya.   "Sudah beberapa kali kuperingatkan. Jangan engkau lancang mulut den mencampuri urusan ini! Sekali lagi melanggar, aku akan lupa diri dan akan membunuhmu pula!"   Su Tong Hak yang tadinya merasa menjadi sekutu tokoh sesat itu, kini berdiri dengan muka pucat dan baru dia menyadari bahwa dia sendiri berada di dalam bahaya, bahwa nyawanya seperti telor di ujung tanduk. Mulailah dia merasa ketakutan dan bingung, hanya mengangguk-angguk dan mundur sampai ke sudut ruangan.   Tentu saja semua ucapan dan sikap ini tidak terlepas dari pandang mata Kim Hong yang tajam. Ia menduga bahwa agaknya pemuda petani itu masih hidup, akan tetapi dalam keadaan parah karena disiksa. Mulailah ia dapat mengerti dan menggambarkan keadaan. Agaknya pemuda petani itu telah datang ke kota raja dan diantar oleh pamannya yang berhati busuk itu kepada Louw siucai. Dan siucai tua itu telah menterjemahkan peta, akan tetapi mungkin sekali siucai itu telah menukarnya dengan yang palsu. Peta itu setelah diterjemahkan lalu diterima oleh Kim Su dan dibagi dengan pamannya. Akan tetapi agaknya Su Tong Hak bersekongkol dengan Pat-pi Mo-ko dan pemuda petani yang sedang menuju pulang itu lalu dicidik dan dirampas bagian petanya. Kemudian, setelah gagal menemukan tempat rahasia harta karun melalui peta, Pat-pi Mo-ko baru sadar bahwa peta itu palsu dan mereka lalu menyiksa Ciang Kim Su yang mereka kira mengetahui di mana adanya peta yang aseli.   "Nona Toan, perkiraanmu itupun telah menjadi perkiraan kami. Akan tetapi agaknya peta tulen tidak berada di tangan pemuda petani itu."   "Kalau begitu, masih ada beberapa kemungkinan lain. Peta tulen itu bisa saja berada di tangan sasterawan yang menterjemahkan itu yang menukarnya dengan yang palsu. Akan tetapi, sasterawan itu kabarnya telah mati terbunuh, jadi tentu peta itu berada di tangan pembunuhnya." Berkata demikian, Kim Hong menanti dan memandang penuh perhatian.   "Tidak! Tidak...!" Tiba-tiba Su Tong Hak berteriak ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong. "Kami sudah memeriksa dengan teliti dan tidak menemukan apa-apa di rumahnya. Tanya saja kepada Hai-pa-cu Can Hoa kalau tidak percaya!"   "Sesungguhnyalah, kami berdua tidak menemukan apa-apa di sana." Kata Hai-pa-cu Can Hoa dengan suara tenang. Tentu saja jawaban kedua orang ini sudah menjelaskan kepada Kim Hong dan juga kepada Kok Siang siapa orangnya yang membunuh Louw siucai. Bukan lain adalah Su Tong Hak yang mungkin menjadi petunjuk jalan dan yang melaksanakan adalah Hai-pa-cu Can Hoa! Akan tetapi Kok Siang sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apapun pada wajahnya yang masih memandang kepada Kim Hong dengan marah.   "Hemm, dalam urusan ini banyak orang tersangkut dan kita tidak tahu siapa yang palsu. Akan tetapi, kalau kita bekerja sama, aku akan menemukan peta itu, Pat-pi Mo-ko! Aku berjanji akan menemukannya dan menemukan orangnya yang bertindak curang kepadamu!"   Pat-pi Mo-ko tersenyum, "Bagaimanapun juga, engkau yang tadi masih menjadi musuh kami, mana mungkin dapat kupercaya kalau tidak ada bukti tentang kesetia kawananmu lebih dulu?"   "Engkau hendak mencoba? Cobalah!" kata Kim Hong.   "Memang, kami harus menguji kesetiaanmu. Malam ini juga. Engkau harus membantu kami menundukkan saingan kita. Engkau sudah membunuh Liong-kut-pian Ban Lok. Nah, gerombolannya itulah saingan kita dan hampir saja mereka berhasil merampas kunci emas dari kakek Ciang Gun. Liong-kut-pian Ban Lok masih mempunyai seorang suheng yang jauh lebih lihai dari padanya, dan suhengnya itulah yang kini memimpin gerombolan mereka untuk menyaingi kita. Siapa tahu, mereka telah berhasil mendapatkan peta yant tulen! Maka, sebelum mereka bergerak mendapatkan kunci emasnya yang telah ada padaku, kita harus mendahului mereka dan menghancurkan mereka. Musuh-musuh yang akan mendatangkan kerepotan harus sampai ke akar?akarnya. Nah, sanggupkah engkou membantuku?"   "Baik, aku akan membantumu, Mo-ko. Akan tetapi kutu buku itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita. Lebih baik tendang dia keluar saja!"   Pat-pi Mo-ko memandang tajam. "Apakah engkau tidak ingin melihat dia tersiksa dan terbunuh dan menghendaki dia bebas, nona?"   Kim Hong tersenyum mengejek. "Apa peduliku dengan dia? Kami bukan apa-apa, hanya secara kebetulan saja berkenalan!"   "Kalau begitu, biarlah dia sementara menjadi tahanan kita di sini sampai selesai urusan ini. Kalau sekarang dia dibiarkan bebas, tentu dia hanya akan mendatangkan kerepotan saja. Dia telah berani menentangku, karena itu dia harus dihukum!" Pat-pi Mo-ko lalu memerintahkan anak buahnya untak menjaga baik-baik pemuda itu agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga melarang pemuda itu diganggu atau dibunuh. Setelah itu, diapun mengajak Kim Hong pergi meninggalkan Kok Siang.   Ketika Kim Hong melihat bahwa pasukan yang hendak dibawa oleh tokoh sesat itu sama sekali bukan anak buahnya atau orang-orang biasa, melainkan pasukan pemerintah, ia merasa heran sekali. Ditanyakannya hal ini kepada Bouw Kim Seng dan orang ini tertawa.   "Memang sebaiknya kita berlindung di balik pasukan pemerintah yang hendak mengadakan pembersihan terhadap sarang penjahat, bukan? Ha-ha-ha, nona Toan. Orang harus mempergunakan kecerdikan otak, bukan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka."   "Di mana pedangku?"   "Jangan khawatir, pedangmu sudah dibawa dan sewaktu-waktu kau membutuhkan tentu akan kuserahkan kepadamu."   "Mo-ko, engkau masih tidak percaya kepadaku! Hemm, andaikata aku melanggar janjiku, sekarangpun aku dapat berbalik melawanmu, tidak perlu mempergunakan pedang!" kata Kim Hong mendongkol.   KAKEK hitam itu tertawa. "Engkau takkan menentangku, nona. Engkau terlampau cerdik untuk melakukan kebodohan itu. Pertama, engkau sudah mengeluarkan janji membantuku. Ke dua, kalau engkau memberontak, engkau akan berhadapen langsung dengan aku dan pasukan pemerintah. Ke tiga, pemuda sasterawan itu akan kami bunuh lebih dulu. Ke empat, engkau tidak akan mendapatkan bagian harta karun Jenghis Khan. Ha-ha-ha, tidak, engkau tidak sebodoh itu."   Kim Hong merasa lega. Setidaknya, ia merasa yakin bahwa untuk sementara waktu Kok Siang berada dalam keadaan aman. Ia tadi memang sengaja memperlihatkan sikap mengejek dan menghina kepada Kok Siang yang ditanggapi dengan baik sekali oleh pemuda sasterawan yang cerdas itu. Mereka memperlihatkan sikap yang saling mengejek dan bermusuhan sehingga dengan demikian pemuda itu dijauhkan dari prasangka buruk. Kalau sampai diketahui atau terduga oleh Mo-ko bahwa peta aselinya berada di tangan pemuda itu, tentu keselamatan Kok Siang takkan dapat dijamin lagi. Untuk sementara ini, ia harus berpura-pura menurut dan bekerja sama dengan iblis ini. Kalau tidak, selain nyawa Kok Siang terancam, juga ia sendiri dapat terancam bahaya besar. Ia harus menyelamatkan Kok Siang dulu, baru ia akan meloloskan diri sendiri dan hal ini agaknya tidak akan mudah, harus menanti saat yang baik.   Penyerbuan ke sarang penjahat bekas pimpinan Liong-kut-pian Ban Lok berjalan dengan amat lancar. Anak buah penjahat yang jumlahnya hanya kurang lebih dua puluh lima orang itu tidak mampu mengadakan perlawanan yang berarti terhadap serbuan seratus orang pasukan keamanan. Mereka dirobohkan atau ditangkap dengan alasan melakukan kejahatan dan kekacauan di kota raja. Mereka tentu saja melakukan perlawanan, namun segera mereka itu tertangkap semua karena kalah banyak. Hanya seorang saja yang masih mengamuk dan dia ini adalah Sin-siang-to Tang Kin. Sesuai dengan julukannya, Sin-siang-to (Sepasang Golok Sakti) memutar sepasang goloknya dan tidak ada anggauta pasukan yang mampu mendekatinya, apa lagi menangkapnya. Sepasang goloknya membentuk sinar bergulung-gulung yang dahsyat dan setiap ada senjata perajurit yang mendekat, tentu terpental atau patah-patah. Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko erteriak menyuruh komandan pasukan menarik mundur para perajurit yang mengeroyok Sin-siang-to Tang Kin. Dia sendiri bersama Kim Hong menghampiri kepala gerombolan itu. Kim Hong memandang dengan penuh perhatian. Kepala gerombolan itu adalah seorang kakek yang usianya sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus. Suheng dari mendiang Liong-kut-pian Ban Lok ini memang jauh lebih lihai dari pada sutenya. Dari permainan sepasang golok tadi Kim Hong sudah melihat betapa lihainya sepasang golok itu. Ia sendiri tadi membantu Mo-ko, dengan mudah merobohkan beberapa orang anak buah gerombolan musuh.   Sin-siang-to Tang Kin melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan memandang kepada Pat-pi Mo-ko dan Kim Hong dengan mata mendelik marah. Tadi dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya sebelum mereka itu ditangkap semua bahwa penyerbuan pasukan pemerintah ini dipimpin oleh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, tokoh jahat di kota raja yang seolah-olah menjadi raja di antara para penjahat, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri itu. Dan diapun mendengar bahwa wanita cantik yang membunuh satenya juga datang bersama Pat-pi Mo-ko. Kini, biarpun dia belum pernah bertemu dengan mereka berdua, begitu berhadapan, dia tahu bahwa inilah dua orang itu.   "Hemm, sekarang nampaklah belangmu, Pat-pi Mo-ko!" katanya mengejek. "Kiranya engkau berlindung di bawah naungan pasukan pemerintah. Huh, tokoh kang-ouw macam apa engkau ini?"   Pat-pi Mo-ko hanya tertawa dan tidak menjadi marah. "Sin-siang-to, sudah lama aku mendengar namamu yang menggempartan di pantai timur dan baru karena kebetulan kita saling bertemu di sini. Engkau melanjutkan gerakan sutemu, memimpin anak buah mengacau di kota raja. Kalau kami pasukan datang membasmi gorombolanmu, hal itu sudah jamak dan jangan kau menyalahkan aku. Aku menentang sutemu karena dia telah berani menyaingi aku. Sekarang, semua anak buahnya telah diringkus. Kalau engkau membantuku dan bekerja untukku, biarlah aku ampuni engkau dan kita bekerja sama!"   "Lebih baik mampus! Siapa takut padamu?" bentak Sin-siang-to sambil mengelebatkan goloknya.   "Ha-ha, sudah kuduga bahwa engkau akan keras seperti itu, aku sengaja mengajak nona Toan ini untuk membunuhmu seperti yang telah dilakukannya kepada sutemu."   Sin-siang-to Tang Kin kini memandang kepada Kim Hong. Sambil menudingkan golok kanannya ke arah muka Kim Hong, dia berkata, "Aku sudah mendengar bahwa suteku tewas di tanganmu. Hal ini kuanggap lumrah karena memang suteku bermain api. Akan tetapi, sekarang ternyata bahwa engkau hanyalah kaki tangan Pat-pi Mo-ko, maka marilah kita membuat perhitangan atas kematian sute!" Setelah berkata demikian, Sin-siang-to sudah menerjang ke depan dan dua sinar berkelebat menyambar dari kanan kiri, ke arah leher dan pinggagg Kim Hong.   Kim Hong dapat menduga orang macam apa adanya ahli golok ini. Seorang tokoh sesat juga, maka iapun tidak ragu-ragu untuk menghadapinya. Menyingkirkan seorang seperti ini bukan hanya perlu untuk menumbuhkan kepercayaan Pat-pi Mo-ko kepadanya, akan tetapi juga berarti menyingkirkan sebuah sumber penyakit dari rakyat jelata. Karena ia mendapat kenyataan bahwa Pat-pi Mo-ko tidak juga memberikan sepasang pedangnya kepadanya, maka iapun bergerak cepat mengelak dari dua serangan yang cukup berbahaya itu. Gerakannya memang gesit sekali, karena gin-kang dari nona ini sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga Sin-siang-to Tang Kin terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat nona itu menghilang! Akan tetapi dia dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, maka dia cepat membalikkan tubuh dan kembali sepasang dari goloknya bersilang dan berkelebat dari atas dan bawah! Memang hebat permainan golok pasangan dari kakek ini sehingga Kim Hong terpaksa harus mempergunakan kecepatan gerakannya lagi untuk menghindarkm diri dari sambaran golok. Terjadilah perkelahian yang nampaknya berat sebelah karena kakek itu selalu menghujankan serangan sedangkan Kim Hong hanya mengelak ke sana sini dengan amat cepatnya. Hanya kadang-kadang saja kalau ada kesempatan membalas dengan tendangan atau pukulan tangannya. Akan tetapi, kesempatan itu sedikit sekali karena gerakan sepasang golok itu membentuk sinar bergulung-gulung yang amat cepat dan luas.   Kim Hong adalah seorang wanita yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat cerdik. Ia sedang menanti kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dan untuk dapat membebaskan Kok Siang. Dan untuk mendapatkan kepercayaan ia harus menyembunyikan kepandaian, agar iblis itu tidak merasa khawatir dan akan menganggapnya tidak berbahaya. Oleh karena itu, ia harus melayani Sin-siang-to ini dengan sedapat mungkin menyembunyikan kepandaian aselinya, hanya mengeluarkan ilmu yang sederhana saja. Akan tetapi, celakanya, Sin-siang-to Tang Kin bukanlah lawan sembarangan yang boleh dihadapi dengan ilmu yang rendah. Sepasang goloknya sedemikian lihainya sehingga kalau Kim Hong ingin selamat, ia harus mengerahkan gin-kangnya. Apa lagi untuk merobohkannya. Tentu ia harus menggunakan ilmunya yang tinggi. Hal ini membuat Kim Hong kerepotan juga. Di satu pihak ia ingin menyembunyikan kepandaiannya dari mata Mo-ko yang ia tahu membiarkan ia menghadapi Sin-siang-to untuk mencobanya, mencoba kepandaiannya dan mencoba kesetiaannya. Di lain pihak ia harus mengerahkan kepandaian untuk dapat mengimbangi kelihaian lawan ini. Maka ia menjadi serba salah dan ragu-ragu dan terdesak hebat!   Pat-pi Mo-ko melihat perkelahian itu dengan penuh perhatian. Dia membiarkan gadis itu terdesak sampai puluhan jurus dan diam-diam dia mengagumi gin-kang yang hebat dari gadis itu, mengaku bahwa dia sendiripun kalau harus bertanding dalam hal gin-kang, tidak akan dapat menandingi gadis itu. Dari gerakannya saja dia dapat menduga bahwa kalau gadis itu memperoleh kembali sepasang pedangnya, tentu akan mampu menandingi Sin-siang-to walaupun belum tentu akan dapat menang. Ilmu sepasang golok dari Tang Kin memang istimewa dan lihai sekali.   "Tahan...!" Bentaknya dan nampak dua gulungan sinar hitam ketika kakek tinggi besar ini menerjang ke depan. "Sin-siang-to, perlihatkan kepandaianmu kepadaku!" Den sepasang pedang bersinar hitam di tangan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sudah bergerak menyerang dengan gerakan dahsyat sekali.   Kim Hong yang sudah meloncat ke belakang itu terkejut dan mendongkol. Ternyata yang dipergunakan oleh Pat-pi Mo-ko adalah sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedangnya yang dirampas ketika ia pingsan. Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa gemas ini dan diam-diam ia memperhatikan permainan pedang itu. Kiranya iblis inipun merupakan seorang ahli ilmu silat pedang pasangan! Din ia mendapat kenyataan betapa ganas dan dahsyatnya sepasang pedangnya itu ketika dimainkan oleh Pat-pi Mo-ko benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh, yang harus dihadapi dengan hati-hati. Agaknya tingkat kepandaian kakek iblis hitam ini tidak berada di bawah tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya beberapa tahun yang lalu!   Agaknya memang Pat-pi Mo-ko sengaja hendak memamerkan kepandaiannya. Dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dan menekan sepasang golok di tangan Sin-siang-to yang berusaba keras untuk menandingi sepasang pedang hitam itu. Namun semua hasilnya sia-sia belaka. Sinar goloknya menjadi semakin sempit terhimpit dan belum ada tiga puluh jurus semenjak ia melayani terjangan Pat-pi Mo-ko, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjengkang, sepasang goloknya terlepas dan ada darah mancur dari tenggorokannya! Tubuh Sin-siang-to berkelojotan seperti ayam disembelih dan memang lehernya telah tertembus pedang sehingga dia mirip seekor ayam yang disembelih.   Kini sambil tersenyum Pat-pi Mo-ko mengembalikan sepasang pedang hitam kepada pemiliknya sambil meloloskan sarung pedang itu yang tadinya disembunyikan di bawah jubahnya. Tanpa bicara Kim Hong menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, memasangnya di pinggang. Pat-pi Mo-ko mengeluarkan sepasang pedang lain, yang putih seperti perak dan berkata.   "Pedang hitammu hebat, nona. Akan tetapi kalau tadi aku mempergunakan sepasang pek-kong siang-kiam (Sepasang Pedang Sinar Putih) milikku ini, aku pasti akan dapat merobohkan dalam waktu yang jauh lebih singkat."   Kim Hong menjura dan berkata, "Ilmu pedangmu sungguh hebat, Pat-pi Mo-ko."   Iblis hitam tinggi besar itu tertawa dan menjawab untuk merendahkan diri akan tetapi ada kebanggaan terkandung dalam suaranya, "Ah, ilmu silatmu juga luar biasa, nona. Engkau memang patut sekali menjadi pembantuku yang terutama!" "Jadi aku sudah lulus ujian?" tanya Kim Hong tersenyum. "Belum, masih ada satu lagi ujian." "Hemm, apa itu?" "Mari kita pulang dan engkau akan tahu." kakek itu lalu mengajaknya untuk melakukan penggeledahan bersama pasukan. Akan tetapi ternyata di sarang gerombolan itu mereka tidak menemukan apa yang dicari oleh Pat-pi Mo-ko, yaitu peta harta karun atau tanda-tanda tentang peta itu. Pat-pi Mo-ko memang tidak terlalu mengharapkan akan menemukan apa yang dicarinya di situ. Dia sudah merasa puas telah dapat membasmi saingan yang dianggapnya hanya mendatangkan kesulitan saja baginya itu dan diapun mengajak Kim Hong untuk kembali ke rumah Phang-taijin. Di kompleks perumahan pembesar Phang, jaksa kota raja ini, Pat-pi Mo-ko memperoleh kebebasan dan menempati bagian belakang di mana selain dipergunakan untuk kantor dan tempat tahanan, juga terpasang banyak kamar-kamar rahasia. Karena mereka tiba di gedung itu sudah malam, Bouw Kim Seng mempersilakan Kim Hong untuk beristirahat. Gadis itu memperoleh sebuah kamar tidur di bagian tengah dan Kim Hong Maklum bahwa semua gerak geriknya diawasi dan bahwa tempatnya mengaso itupun dijaga ketat sehingga tidak mungkin ia dapat meninggalkan kamar tanpa diketahui orang. Akan tetapi, gadis ini memang tidak berniat untuk meloloskan diri sebelum ia dapat membebaskan Kok Siang. Ia tidak tahu di mana pemuda itu ditahan, maka iapun bersabar menanti sampai besok karena tubuhnya juga terasa lelah dan ia perlu beristirahat mengumpulkan tenaga. Satu-satunya hal yang menggelisahkan hatinya adalah Thian Sin. Apa yang telah terjadi dengan kekasihnya itu dan bagaimana kunci emas palsu itu sampai dapat jatuh ke tangan Pat-pi Mo-ko? Ia tidak berani bertanya dengan terus terang kepada penjahat itu, khawatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan dan hal itu hanya akan menambah kewaspadaan pihak lawan saja. Pada sore hari berikutnya, barulah Pat-pi Mo-ko mengatakan apa adanya ujian ke dua itu. Kim Hong dibawa ke dalam ruangan yang luas, ruangan yang agaknya menjadi tempat berlatih silat atau juga mungkin menjadi tempat penyiksaan di kompleks perumahan kejaksaan bagian penjara itu. Dan di dalam ruangan yang tertutup oleh jendela-jendela besi baja dan pintu baja pula, yang terjaga ketat oleh pasukan penjaga dan para pembantu iblis itu. Kim Hong melihat Kok Siang duduk di atas bangku besi dengan kaki dirantai! Pemuda itu agak pucat, akan tetapi tersenyum mengejek ketika melihatnya masuk bersama Pat-pi Mo-ko. Di dalam ruangan itupun sudah hadir para pembantu iblis itu, yaitu keempat Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan tidak ketinggalan terdapat pula Su Tong Hak yang wajahnya agak pucat dan sikapnya tidak segembira ketika Kim Hong melihatnya kemarin.   "Nona Toan." kata Pat-pi Mo-ko kepada Kim Hong yang sedang menduga-duga apa yang harus dilakukannya kali ini. "Engkau tahu sendiri bahwa Bu Kok Siang itu adalah seorang jagoan dari Thian-cin dan dia sudah berani menentangku. Lebih dari itu, dia berani menghinamu yang membantuku, berarti dia telah menghinaku juga. Untuk itu saja dia sudah pantas dibunuh! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau yang paling dihinanya dengan makian-makiannya, maka aku serahkan dia kepadamu. Kalau dia bisa mengalahkan engkau, biarlah dia boleh pergi dengan bebas. Sebaliknya tentu saja aku percaya penuh bahwa engkau akan dapat merobohkannya dan biarpun tidak sampai membunuhnya, setidaknya memberi hajaran yang layak kepadanya."   Tentu saja Kim Hong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa ia akan diadu dengan Kok Siang! Dan ia bersama Kok Siang sudah terlanjur memperlihatkan sikap bermusuhan kemarin, maka alasan untuk menolak tidak ada sama sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menolak tidak mungkin, dan tentu akan menimbulkan kecurigaan dan hal itu membahayakan ia dan juga Kok Siang.   Sementara itu, diam-diam Kok Siang juga terkejut. Pat-pi Mo-ko memberi isyarat kepada Siang-to Ngo-houw yang tinggal empat orang itu dan mereka lalu membuka belenggu pada kaki Kok Siang, kemudian bersama Pat-pi Mo-ko, mereka semua itu cepat meninggalkan ruangan itu yang segera pintunya ditutup dari luar. Mereka semua menonton dari luar, seperti nonton adu ayam atau lebih tepat lagi mengadu dua ekor singa berbahaya sehingga para penonton berdiri di luar kerangkeng. Memang tadinya Kim Hong bermaksud untuk mengajak Kok Siang memberontak dan bersama-sama menerjang begitu kakinya dibebaskan. Akan tetapi, pemuda itu tidak memberi reaksi dan iapun mengeluh. Kalau Thian Sin yang menjadi Kok Siang pada saat itu, dengan pandang mata saja ia dapat memberi isyarat dan menerimanya pula. Akan tetapi Kok Siang agaknya tidak mengerti akan isyarat pandang matanya dan pemuda itu tentu akan terlambat kalau harus diteriakinya lebih dulu. Kalau sampai pemuda itu dirobohkan lebih dulu oleh mereka dan tertawan kembali, apa artinya ia memberontak? Saat yang baik belum tiba dan Kim Hong hanya dapat memandang dengan menyesal ketika melihat Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya keluar dari ruangan itu dan berdiri di luar pintu, menonton dari balik jeruji pintu dan jendelia. Terpaksa ia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Kok Siang. Karena ia berdiri membelakangi mereka, ia berani mengedipkan mata kepada Kok Siang, tanda bahwa ia mengajak pemada itu untuk bersandiwara. Kok Siang tidak memperlihatkan tanda bahwa dia mengerti, tetapi dia tertawa mengejek.   "Ha-ha-ha, pendekar wanita yang berobah menjadi penjahat wanita kaki tangan para iblis jahat kini datang untuk membunuh bekas teman sendiri! Bagus, majulah. Aku memang ingin memberi beberapa kali tamparan padamu. Kim Hong!"   "Kok Siang manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Lihat, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!" Dengan sikap memandang rendah Kim Hong melepaskan sarung pedangnya dan melempar sarung berikut sepasang pedang hitamnya itu ke atas lantai, di sehelah dalam, jauh dari pintu dan jendela. Setelah membuat gerakan ini, tanpa menanti reaksi dari Kok Siang yang tidak mengerti maksudnya, ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kok Siang dengan pukulan cepat dan dahsyat.   "Hemm...!" Kok Siang cepat mengelak. Kim Hong menyerang terus bertubi-tubi, sengaja mendesak pemuda itu sehingga Kok Siang terus berloncatan mundur menjauhi pintu. Agaknya pemuda inipun cerdik untak melihat keinginan Kim Hong mendesaknya agar mereka dapat menjauhi mereka dan pada saat Kim Hong menyerang dengan tubuh membelakangi mereka, gadis itu berbisik lembut sekali sambil mengerahkan sin-kang sehingga gerakan kedua tangannya mendatangkan suara bersuitan menutupi suara bisikannya.   "Aku mengalah, kau robohkan dengan totokan..."   Tentu saja Kok Siang terkejut mendenger ini. Dia mengalahkan Toan Kim Hong? Tentu saja kalau hanya bersandiwara bisa saja dia menang, akan tetapi apa maksudnya? Apa baiknya kalau dia menang dan dapat menotok roboh gadis ini?   "Kita siap memberontak..." Kim Hong menambahkan. "Totok kin-ceng-hiat..."   Kim Hong mendesak lagi dan tidak mengeluarkan kata-kata karena tahu betapa bahayanya hal itu. Orang selihai Mo-ko akan dapat melihatnya atau menduganya, dan para pembantu iblis itupun bukan orang lemah. Akan tetapi ia merasa girang melihat pemuda itu akhirnya mengangguk ketika mengelak, tanda bahwa pemuda itu sudah maklum kini akan siasatnya.   Kim Hong memang sengaja mengeluarkan ilmu silat Hok-mo-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis) untuk mendesak Kok Siang. Pemuda ini kagum bukan main dan diapun berusaha untuk menahan serangan-serangan itu dengan seluruh kepandaiannya. Namun sia-sia belaka karena memang tingkatnya kalah jauh, dia terdesak terus dan dua kali dia terpelanting oleh sapuan kaki dan dorongan tangan kiri Kim Hong. Terdengar suara memuji girang dari luar pintu ketika pemuda itu dua kali terpelanting. Memang hal ini disengaja oleh Kim Hong sehingga ketika Kok Siang mengambil sepasang senjata Siang-koan-pit yang memang telah dikembalikan kepadanya dan diletakkan di dekat dia duduk tadi, maka hal ini sudahlah sewajarnya.   Kini Kok Siang mainkan senjatanya itu dengan dahsyat. Memang hebat sekali kim-pit dan gin-pit itu, dua batang alat tulis dari emas dan perak. Nampak gulungan sinar emas dan perak saling kejar dan bersilang-silang menyilaukan mata. Dua sinar itu semakin ganas saja dan kini Kim Hong nampak terdesak! Mereka yang nonton di luar memandang dengan penuh perhatian. Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal dan beberapa kali menggeleng kepala, seolah-olah merasa kecewa bahwa "jagonya" terdesak. Sesungguhnya dia sedang merasa keheranan sekali. Dia pernah menyaksikan gadis itu ketika melawan Sin-siang-to Tang Kin dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada sebelah bawah tingkat Sin-siang-to. Padahal pemuda sasterawan itu, melihat gerakan-gerakannya, tidak mungkin lebih lihai dari pada Sin-siang-to. Apakah pemuda itu mempunyai kepandaian simpanan yang kedahsyatannya tidak nampak oleh mata? Apakah di dalam gerakan sepasang pit itu terkandung suatu kekuatan yang amat hehat?   "None Toan, cepat pergunakan pedangmu!" Bouw Kim Seng berteriak ketika melihat betapa hampir saja pelipis kanan nona itu terkena sambaran pit emas yang mematuk dari atas seperti paruh seekor rajawali. Sungguh berbahaya sekali serangan-serangan kedua pit itu.   Akan tetapi Kim Hong tidak mau mengambil sepasang pedangnya, biarpun ia semakin terdesak dengan hebat.   "Nona, pergunakan pedangmu! Apa engkau sengaja hendak membiarkan dirimu kalah?" Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng kini berteriak nyaring.   Sekalii ini agaknya Kim Hong menurut karena ia mengirim pukulan yang dahsyat, membuat lawannya terpaksa mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke arah sepasang pedangnya. Akan tetapi karena letak pedangnya itu agak di belakang Kok Siang, terpaksa loncatannya itupun lewat dekat pemuda itu dan pada saat itu, secepat kilat pemuda itu mengirim serangan yang tiba-tiba. Kim Hong masih berusaha untuk menggulingkan tubuhnya yang sedang meloncat, akan tetapi sebuah totokan yang cepat sekali mengenai pundak kirinya dan jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok. Terdengar gadis itu mengeluh dan tubuhnya terguling roboh dan lemas tak mampu bergerak pula!   Mereka yang nonton di luar memandang dengan mata terbelalak. Pat-pi Mo-ko lalu berkata kepada ke empat Siang-to Ngo-houw, "Tangkap bocah itu!"   Empat orang bekas tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang ini segera memasuki ruangan itu setelah daun pintunya dibuka. Begitu mereka masuk, daun pintu ruangan itu ditutup kembali dari luar. Dengan kedua tangan masih memegang sepasang senjata pit, Kok Siang menghadapi empat orang itu. Empat orang itu masih merasa sakit hatinya karena seorang saudara mereka tewas. Biarpun tewasnya itu di tangan Mo-ko sendiri, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah Kim Hong. Gadis itu yang merobohkan saudara mereka itu dan Mo-ko terpaksa membunuhnya agar dia tidak sampai membocorkan rahasia. Kini, menerima perintah untuk menangkap Kok Siang, mereka maju dengan penuh semangat. Begitu menerjang, mereka berempat telah mainkan ilmu andalan mereka, yaitu Ngo-lian to-hoat (Ilmu Golok Lima Teratai).   Tingkat kepandaian empat orang pengeroyok ini rata-rata hanya sedikit di bawah tingkat Bu Kok Sing. Andaikata mereka maju satu demi satu, tentu Kok Siang akan dapat mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, karena mereka kini maju bersama, dengan kerja sama yang amat baik, tentu saja mereka itu merupakan lawan yang terlampau berat bagi Kok Siang. Sebentar saja Kok Siang terdesak hebat dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran kedua senjatanya yang terlampau kecil dan pendek, juga terlampau ringan untuk menghadapi pengeroyokan delapan buah golok itu. Agaknya, keempat Siang-to Ngo-houw itu bernafsu sekali untuk merobohkan Kok Siang, kalau perlu dengan melukai berat atau membunuh sekalipun.   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh Kim Hong yang tadinya menggeletak di atas tanah itu mencelat ke atas dan sekali bergerak, ia sudah menyambar sepasang pedangnya dan nampaklah sinar hitam berkelebatan dan dua orang di antara Siang-to Ngo-houw roboh mandi darah dan tewas seketika karena dada mereka tertembus pedang! Kok Siang yang sudah tahu atau sudah dapat menduga akan hal ini, menjadi bersemangat dan sepasang pitnya juga bergerak cepat merobohkah seorang pengeroyok. Tinggal seorang lagi yang tidak dapat menahan serangan berikutnya dari Kim Hong. Robohlah dia dan empat orang itu kini menggeletak dan tewas!   Tentu saja semua orang yang berada di luar ruangan itu terkejut, kecuali Pat-pi Mo-ko yang agaknya memang sudah setengah menduga akan hal ini. Karena itulah maka tadi dia hanya menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw untak menangkap Kok Siang, membiarkan mereka lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Dia telah mengorbankan empat orang pembantunya itu untuk membuka rahasia Kim Hong. Dan hal ini bukan tanpa sebab. Mo-ko maklum bahwa setelah dia membunuh seorang di antara Siang-to Ngo-houw, membunuh secara terpaksa untuk menutup mulutnya, tentu empat orang yang lain diam-diam merasa menyesal dan tidak suka kepadanya. Maka, dia mengorbankan empat orang itu dan sekaligus diapun berhasil membuka rahasia Kim Hong yang tadi berpura-pura roboh oleh Kok Siang! Kekalahan Kim Hong oleh Kok Siang tidak dapat diterima begitu saja oleh kakek iblis yang amat cerdik ini, maka dia tidak mau bersikap lengah. Dan melihat betapa Kok Siang memperoleh kemenangan itu, biarpun ada kemungkinan kecil bahwa memang Kim Hong yang lengah sehingga roboh tertotok, Mo-ko lalu menyuruh empat orang pembantunya itu untuk mengeroyoknya. Kalau Kim Hong tidak berpura-pura, berarti memang Kok Siang merupakan lawan yang tangguh dan perlu dilenyapkan seketika. Sedangkan kalau Kim Hong berpura-pura, tentu gadis sakti itu akan turun tangan dan tidak membiarkan Kok Siang celaka dan kalau hal ini terjadi, paling-paling dia hanya akan kehilangan empat orang pembantunya yang sudah tidak dipercayanya lagi itu karena dugaan bahwa mereka mendendam kepadanya karena kematian seorang saudara mereka. Dengan demikian, dapat diketahui betapa licik dan matangnya siasat Mo-ko yang telah memperhitungkan dengan cermat segala tindakannya.   Memang benar kecurigaannya itu terhadap Kim Hong. Gadis ini memang bersandiwara, dibantu oleh Kok Siang yang dapat menangkap keinginan gadis yang luar biasa ini. Ketika melihat kesempatan terbuka, Kok Siang menotok jalan darah di pundak gadis itu seperti yang dimintanya tadi. Dia tahu bahwa totokannya itu cukup hebat dan akan membuat lawan pingsan dan lemas tak mampu bergerak sampai sedikitnya setengah jam. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa kalau Kim Hong menyuruh dia menotok jalan darah itu, tentu gadis yang lihai itu sudah mempunyai akal untuk menahan totokan ini.   Akan tetapi, sungguh sama sekali di luar perhitungan Kim Hong bahwa Mo-ko tidak maju sendiri memasuki ruangan, bahkan menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw yang masuk dan pintu ruangan itu ditutup kembali. Tak disangkanya bahwa Mo-ko secerdik itu. Tadinya, Kim Hong ingin melanjutkan sandiwaranya dan pura-pura pingsan, menanti sampai terbuka kesempatan unjuk dapat meloloskan diri dari situ bersama-sama Kok Siang. Akan tetapi, teryata Kok Siang tidak dapat menandingi keempat orang pengeroyoknya dan melihat bahaya mengancam diri Kok Siang, tentu saja Kim Hong tidak dapat tinggal diam saja membiarkan pemuda itu tewas dalam pengeroyokan. Maka secara terpaksa iapun menghentikan permainan sandiwaranya dan meloncat menyambar Hok-mo Siang-kiam, dan merabohkan tiga di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang seorang lagi dirobohkan oleh Kok Siang.   "Bu-twako, mari serbu keluar!" Kim Hong berteriak setelah mereka berhasil merobohkan empat orang lawan itu. Akan tetapi terlambat sudah. Dari luar, Mo-ko sudah menggerakkan alat rshasia dan itu pula menunjukkan betapa cerdiknya penjahat besar ini. Dia memang sudah sejak pertama kalinya mengatur sehingga peristiwa diadunya Kok Siang dengan Kim Hong itu terjadi dalam sebuah ruangan yang mengandung alat rahasia jebakan berbahaya!   Ketika Kim Hong dan Kok Siang hendak menyerbu ke pintu yang sudah tertutup itu, tiba-tiba saja terdengar angin menyambar dari empat penjuru dan ada anak panah yang banyak sekali jumlahnya menyambar-nyambar ke arah mereka. Tentu saja Kim Hong dan Kok Siang cepat menggunakan senjata mereka untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, mendadak lantai yang mereka injak itu bergeser dengan cepatnya, terpisah menjadi dua dan dengan cepat tertarik ke kanan kiri memasuki dinding ruangan. Tentu saja tubuh kedua orang itu terjatuh ke bawah! Kiranya, penyerangan anak panah yang banyak tadipun hanya merupakan siasat untuk mengalihkan perhatian mereka yang terjebak sehingga ketika lantai bergeser, mereka kurang perhatian dan baru sadar setelah terlambat. Betapapun pandainya Kim Hong, sekali ini iapun tidak berdaya dan bersama dengan Kok Siang, tubuhnya terjatuh ke bawah. "Byuurrr...! Byuuurrrr...!" Dan mereka berdua terjatuh ke dalam air yang dingin dan dalam! "Mo-ko...! Peta aseli itu berada pada kami...!" Itulah suara Kok Siang yang kemudian ditelan oleh suara air karena pemuda ini tidak pandai renang. Kim Hong dapat renang walaupun tidak begitu pandai, maka ketika dalam kegelapan itu ia berusaha menolong Kok Siang, pemuda ini dalam kepanikannya memeluknya sehingga keduanya tak dapat dihindarkan lagi tenggelam ke dalam air yang dalam itu! *** Ketika Thian Sin mendengar berita dari In Bwee tentang tertawannya Kim Hong dan Kok Siang oleh Pat-pi Mo-ko yang menggunakan pasukan pemerintah dan agaknya dibantu oleh Jaksa Phang, diam-diam dia merasa tekejut bukan main. Kalau sampai Pat-pi Mo-ko mampu menjebak dan menawan Kim Hong dan Kok Siang, hal itu berarti bahwa Pat-pi Mo-ko merupakan lawan yang jauh lebih tangguh dan berbahaya dari pada yang dikiranya semula. Apa lagi setelah dia tahu bahwa kepala penjahat itu bersekongkol dan dibantu oleh jaksa yang memimpin pasukan penjaga keamanan yang kuat! Sungguh merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan.  Diapun cepat menghilang ke dalam kegelapan malam dan sebentar saja dia telah berada di halaman sebelah belakang kompleks gedung Phang-taijin. Gedung-gedung besar itu merupakan tempat tinggal, juga kantor dan tempat-tempat tahanan. Biarpun tidak jelas benar, dia sudah memperoleh gambaran tentang kompleks perumahan jaksa ini. In Bwee sendiri tidak hafal dan tidak mengenal betul tempat ini, akan tetapi mengetahui di mana kekasihnya ditawan, sudah cukup bagi Thian Sin. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menyelidiki. Demikianlah pikirnya. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, diam-diam dia terkejut. Tempat itu dijaga dengan ketat sekali! Bahkan di atas genteng-genteng ditaruh penjaga sehingga seekor kucing sekalipun yang memasuki kompleks itu tentu akan ketahuan oleh para penjaga!   Thian Sin maklum bahwa kalau sampat dia sendiri gagal dan tertawan, akan habislah riwayat mereka berdua! Dia harus berlaku hati-hati sekali. Ketika dia melihat sebuah kereta memasuki halaman depan dan ternyata yang keluar dari kereta itu adalah Su Tong Hak, dia memperoleh akal yang baik sekali. Kiranya Su Tong Hak, paman dari petani Ciang Kim Su, adalah seorang yang curang dan telah mengkhianati keluarganya sendiri. Hadirnya Su Tong Hak di situ menjelaskan banyak hal baginya. Tentu pencurian peta, lenyapnya Ciang Kim Su, merupakan akibat dari pada persekongkolan pedagang itu dengan Pat-pi Mo-ko! Tahulah dia bahwa dari orang ini dia dapat memperoleh banyak keterangan. Maka dengan kecepatan kilat, sebelum orang itu memasuki pintu gerbang, dia menyelinap dan dengan gerakan kilat, dia sudah dapat menyambar tubuh pedagang itu yang tidak sempat berteriak karena urat gagunya telah dicengkeram oleh Thian Sin. Pendekar Sadis ini membawanya agak menjauh, ke tempat gelap dan membawanya loncat ke atas pohon yang tinggi.   Tentu saja Su Tong Hak terkejut setengah mati, apa lagi ketika dia dapat melihat wajah orang yang menangkapnya itu, yang dikenalnya sebagai pemuda yang diutus oleh kakak iparnya, Ciang Gun, dan yang telah didengarnya dari Pat-pi Mo-ko sebagai Pendekar Sadis! Tubuhnya menggigil dan dia hampir pingsan saking takutnya, apa lagi ketika dia dibawa ke atas pohon yang tinggi itu. Akan tetapi, di dalam pikiran pedagang yang cerdik ini, di samping rasa takutnya, muncul pula sebuah harapan baru. Pada beberapa hari terakhir ini dia selalu gelisah, makan tak enak dan tidur tidak nyenyak, memikirkan perobahan sikap dari Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terhadap dirinya. Dia bahkan mempunyai perasaan yang amat mengerikan, yaitu bahwa kalau semua ini telah selesai, bukan saja dia tidak akan diberi apa-apa oleh penjahat itu, bahkan mungkin untuk menutup rahasia, dia akan dibunuh, seperti yang telah dilakukan terhadap Louw siucai! Kini, melihat munculnya Pendekar Sadis, satu-satunya lawan yang tangguh dan agaknya ditakuti oleh Mo-ko, timbul pikiran yang amat baik. Mengapa dia tidak bekerja sama dan berlindung kepada yang kuat? Yang penting adalah menyelamatkan diri, dan tentu saja mendapatkan harta karun Jenghis Khan itu. "Su Tong Hak, kiranya engkau adalah komplotan Pat-pi Mo-ko. Nah, sekarang engkau harus menjelaskan segalanya kalau tidak ingin kucekik mampus dan kulemparkan dari atas pohon ini!" Thian Sin mengancam dengan suara mendesis. "Taihiap... ampunkan saya, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kita dapat saling membantu, taihiap. Jangan mengira bahwa saya komplotan mereka, bahkan nyawa saya terancam..." "Huh, siapa percaya omonganmu? Jangan mencoba untuk membujuk atau menipu, karena sebelum kubasmi mereka, engkau akan kubunuh lebih dulu dengan penyiksaan yang akan membuat engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini." "Taihiap... sungguh, percayalah padaku. Memang, tadinya aku sekutu Mo-ko. Akan tetapi sekarang dia berobah, dia tentu akan menguasai seluruh harta dan kemudian membunuhku. Taihiap, aku tahu bahwa pendekar wanita sahabatmu itu telah tertawan. Mari kita bekerja sama. Aku akan membantuanu agar engkau dapat menolong sahabat-sahabatmu itu. Dan sebagai gantinya..." "Sebagai gentinya apa? Orang she Su, ingat, engkaulah yang menjadi tawananku dan kalau aku menghendaki, sekali lempar engkau akan jatuh dan remuk. Bukan engkau yang mengajukan syarat, melainkan aku!" "Ampun... ah, tentu saja, taihiap... akan tetapi, saya hanya minta agar dilindungi terhadap ancaman mereka. Saya mau membantumu dan... dan memperoleh bagian atas harta pusaka itu..." Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Thian Sin melemparkan pedagang yang loba ini ke bawah. Akan tetapi, dia membutuhkannya, maka ditekannya perasaan muak dan marahnya. "Nah, baiklah. Aku ingin menolong mereka yang tertawan. Bagaimana engkau dapat menyelundupkan aku ke dalam?"   "Dengan menyamar sebagai perajurit penjaga atau sebagai pengawalku." jawab pedagang yang cukup cerdik itu.   Akhirnya, Thian Sin, dengan sedikit penyamaran pada wajahnya, berhasil memasuki kompleks kejaksaan itu bersama dengan Su Tong Hak dan setelah memperoleh keterangan lengkap dari pedagang itu tentang keadaan di dalam, tentang jalan-jalan rahasianya, Thian Sin lalu membekuk seorang penjaga, menelikungnya dan menyumbat mulutnya lalu menyembunyikannya di tempat gelap, kemudian melucuti pakaiannya. Dia lalu menyamar sebagai seorang perajurit dan dengan mudahnya dia lalu menggunakan pengetahuannya tentang keadaan di tempat itu untuk melakukan penyelidikan ke dalam.   Ketika Thian Sin berhasil mencampurkan diri dengan para penjaga di tempat gelap dan ikut mengurung ruangan tahanan di mana kekasihnya ditawan, kedatangannya tepat pada saat Kim Hong berkelahi dengan Kok Siang. Tentu saja ia terkejut sekali melihat mereka itu saling serang sendiri. Akan tetapi, begitu dia melihat para penjahat di luar pintu dan jendela berjeruji sebagai penonton, dan melihat gerakan-gerakan kekasihnya yang membuat die maklum bahwa Kim Hong sengaja mengalah terhadap Kok Siang. Tahulah pendekar yang cerdik ini bahwa dua orang itu sengaja diadu oleh pihak penjahat dengah maksud menguji. Dia sudah mendapatkan keterangan dari Su Tong Hak tadi bahwa Kim Hong telah menyerah dan taluk, bahkan telah membantu Pat-pi Mo-ko untuk membasmi Sin-siang-to Tang Kin dan anak buahnya yang menjadi saingan. Mendengar ini, pendekar itu tidak merasa heran dan dapat menduga bahwa tentu di balik penyerahan diri dari kekasihnya ini ada suatu pamrih yang merupakan siasat tertentu. Entah karena terpaksa atau tentu ada hal lain. Dan kini, melihat betapa kekasihnya mengalah terhadap Kok Siang, diapun dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentu sedang bersandiwara. Tentu saja kedua tangannya sudah gatal-gatal untuk menyerbu para tokoh penjahat ini dan monolong mereka berdua yang diadu seperti binatang. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk melihat kenyataan bahwa kalau dia menyerbu, keadaan dua orang kawannya itu malah terancam bahaya. Selain para tokoh sesat yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama Pat-pi Mo-ko, juga tempat itu dikurung oleh pasukan pemerintah dan anak buah penjahat. Maka diapun hanya ikut menonton dan mencari kesempatan. Dia tahu bahwa kalau Kim Hong dan Kok Siang masih ditahan, bahkan diadu, tentu ada maksud-maksud tertentu dari Pat-pi Mo-ko. Kalau kedua orang itu tidak dibutuhkan, tentu sudah dibunuh oleh pihak penjahat. Keyakinan akan hal ini membuat Thian Sin bersabar menanti, walaupun hatinya terasa tegang dan khawatir sekali.   Ketika dia melihat Kim Hong roboh tertotok oleh pit di tangan Kok Siang, Thian Sin mengepal tinju. Dia maklum bahwa Kim Hong memiliki ilmu memindahkan jalan darah sehingga totokan yang nampaknya tepat sekali itu tentu dapat diterimanya tanpa membuat tubuhnya menjadi lemas atau lumpuh. Akan tetapi dia tahu jelas bahwa itu hanya merupakan gerakan pura-pura belaka. Bagi orang lain mungkin akan tertipu, akan tetapi mungkinkah seorang tokoh jahat seperti Pat-pi Mo-ko dapat ditipu sedemikian mudahnya? Dan permainan apakah yang sedang dimainkan oleh Kim Hong dan Kok Siang? Dia tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau malah akan mengacaukan rencana kedua orang itu yang agaknya sudah diatur lebih dulu dan dilaksanakan dengan baiknya.   Ketika kakek tinggi besar muka hitam memerintahkan empat orang sisa Siang-to Ngo-houw untuk menangkap Kok Siang dan melihat mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutupkan kembali, Thian Sin mengerutkan alisnya. Kalau dia tidak keliru perhitungan, agaknya kekasihnya itu merencanakan pemberontakan bersama Kok Siang, dengan pura-pura berkelahi sungguh-sungguh dan membiarkan ia kelihatan kalah. Akan tetapi, dia merasa sangsi apakah akal itu akan berhasil melihat betapa empat orang Siang-to Ngo-houw saja yang disuruh masuk dan pintu besi itu ditutup kembali. Dia melihat kebenaran dugaannya ketika Kim Hong "bangkit" dari keadaan tertotok tadi dan bersama dengan Kok Siang merobohkan empat orang lawannya. Thian Sin kini merasa yakin bahwa dugaannya benar, bahwa kekasihnya bersama Kok Siang hendak melakukan penyerbuan keluar untuk meloloskan diri. Akan tetapi, baru saja dia hendak turun tangan membantu, tiba-tiba kakek hitam tinggi besar sudah menggerakkan alat rahasia dan Thian Sin sempat melihat kekasihnya dan Kok Siang terjatuh ke bawah karena lantai ruangan itu bergeser cepat ke kanan kiri. Dia hendak meloncat, akan tetapi tiba-tiba didengarnya teriakan Kok Siang "Mo-ko! Peta aseli itu berada pada kami!"   Thian Sin menahan gerakannya. Dia tahu bahwa kalau dia mengamuk sekalipun, dia tidak keburu menolong dua orang itu lagi, yang agaknya terjatuh ke dalam air di bawah ruangan rahasia itu. Dan teriakan Kok Siang itu ternyata amat berpengaruh. Dia melihat kakek hitam tinggi besar yang kini diduganya tentu Pat-pi Mo-ko adanya nampak gugup.   "Cepat...! Selamatkan mereka. Tawan mereka, jangan sampai mereka itu tewas dalam air!"   Perintah dari tokoh jahat ini membuat hati Thian Sin terasa lega dan diapun tidak mau lancang turun tangan, yang tidak banyak artinya untuk dapat menyelamatkan kekasihnya dan Kok Siang. Maka diapun hanya berjaga-jaga karena melihat para perajurit lain juga melakukan penjagaan ketat menerima perintah dari komandan mereka. Ketika komandan pasukan mengumpulkan pasukannya untuk melakukan pemeriksaan, dengan menggunakan kepandaiannya, Thian Sin menyelinap pergi dan diapun mendapatkan sebuah tempat persembunyian di dalam gudang barang lapuk di belakang. Tempat inipun adalah tempat sembunyi yang ditunjukkan oleh Su Tong Hak baginya, di mana dia dapat menyembunyikan dirinya.   Sementara itu, dalam keadaan lemas dan setengah pingsan, Kim Hong dan Kok Siang tertawan lagi. Ketika mereka sadar, keduanya mendapatkan diri mereka sudah terbelenggu lagi di atas dipan, dalam keadaan terlentang dan kaki tangan mereka dibelenggu dengan rantai baja yang kuat. Pakaian mereka masih basah, juga rambut mereka. Di dalam ruangan itu nampak Pat-pi Mo-ko duduk bersama dengan Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, Su Tong Hak dan di luar kamar itu nampak penjagaan yang ketat, oleh pasukan penjaga.   Wajah kakek berkulit hitam itu nampak berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat ketika dia memandang kepada dua orang tawanan yang mulai siuman itu. Kemudian dia menghampiri Kok Siang dan melihat pemuda itu membuka mata, mengejap-ngejapkan matanya kemudian memandangnya dan wajah yang tampan itu nampak pucat akan tetapi sadar sepenuhnya.   "Selamat hidup kembali, Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" kata Pat-pi Mo-ko dengan suara lantang. "Engkau tahu, apa yang menyebabkan kami menyelamatkan kalian dari bahaya tewas tenggelam dalam air. Nah, Bu Siucai, sekarang ceriterakanlah kepada kami tentang peta aseli itu!"   "Kalau aku menceriterakannya, engkau akan membebaskan kami berdua, Mo-ko?" tanya Kok Siang, suaranya meragu karena sesungguhnya dia tidak percaya kalau penjahat ini mau membebaskan mereka.   "Tentu saja! Bukankah kami juga sudah menyelamatkan kalian dari kematian baru saja ini? Ceritakan dengan sesungguhnya tentang peta itu dan kami akan membebaskan kalian. Kami sesungguhnya tidak bermaksud memusuhi kalian. Bukankah kami telah menawarkan kerjasama dengan sebaiknya kepada nona Toan? Sayang, ia mengkhianati kami. Akan tetapi, kami akan melupakan semua itu kalau kalian suka menceritakan tentang peta sehingga kami dapat memperolehnya."   "Dia bohong, Bu-twako. Jangan percaya omongannya!" tiba-tiba Kim Hong berkata.   "Hemm, yang membohong adalah engkau, nona Toan. Kami dengan sungguh-sungguh menarikmu sebagai kawan, akan tetapi engkau malah mengkhianati kami, membunuh empat orang sisa Siong-te Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu kami. Dan engkau pura-pura kalah ketika melawan Bu Siucai, apa disangka kami tidak tahu?"   "Mo-ko, engkaupun menipuku. Pura-pura mengulurkan tangan bekerja sama, akan tetapi begitu aku memasuki ruangan itu dan pintu dikunci dan kalian menonton di luar, aku tahu bahwa kalian hanya menipuku. Apa kaukira aku juga begitu bodoh untuk tidak melihat siasatmu? Bu-twako, jangan ceritakan apa-apa!"   Wajah Pat-pi Mo-ko yang hitam itu menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke mukanya karena marah. "Bocah she Bu! Kalau engkau menuruti kata-kata perempuan ini, apakah engkau lebih sayang peta dari pada nyawamu? Aku tidak akan ragu-ragu untuk membunuhtmu!"   "Bu-twako, jangan percaya omongannya! Dia tidak akan membunuh kita karena peta itu masih ada pada kita! Peta itulah satu-satunya gantungan hidup kita saat ini!" kata pula Kim Hong.   Kok Siang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga, nona Toan. Heii, Mo-ko, apa kaukira kami begitu bodoh? Kalau aku menyerahkan peta, tentu engkau akan segera membunuh kami! Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang peta, aku sudah lupa lagi, ha-ha!"   Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang sudah kenyang akan asam garam di dunia kang-ouw maka diapun tahulah bahwa tidak ada gunanya untuk menggertak dua orang muda ini lagi.   "Bagus, katakanlah bahwa pendapat kalian benar. Aku tidak dapat membunuh kalian, akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak dapat memaksa kalian bicara. Ada hal-hal lain yang lebih hebat dari kematian!" Dia lalu menghampiri dipan di mana Kim Hong menggeletak terlentang dengan kaki dan tangan dibelenggu rantai besi. "Bu-siucai, hendak kulihat apakah engkau tetap hendak menutup mulut kalau melihat gadis ini diperkosa dan dihina di depan matamu!" Lalu jari-jari tangannya bergerak ke depan.   "Breeetttt...!" Terdengor kain robek dan pakaian luar yang menutup tubuh Kim Hong terkoyak-koyak oleh jari-jari tangan yang hitam besar dan kuat itu. Nampaklah kulit tubuh yang putih mulus di balik pakaian dalam yang tipis!   Akan tetapi, demikian hebatnya kekuatan dalam yang dikuasai oleh Kim Hong sehingga tidak ada segarispun uratnya bergerak. Ia hanya memejamkan matanya dan wajahnya tidak memperlihatkan perobahan apapun! Tidak demikian dengan Kok Siang yang menoleh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat tubuh pendekar wanita itu, yang kini terancam bahaya yang amat hebat.   "Siapa di antara kalian yang man menikmati tubuh wanita ini?" teriak Pat-pi Mo-ko keluar, ke arah para penjaga. Tidak ada yang menjawab, akan tetapi belasan orang penjaga itu mendekat dengan mulut menyeringai dan muka merah. Mereka memandang ke arah tubuh itu dengan mata penuh gairah dan nafsu berahi! Thian Sin yang sudah berada di antara para penjaga itu mengepal tinju, akan tetapi wajahayapun tidak memperlihatkan tanda sesuatu.   "Masih belum mau bicara, Bu-siucai? Bagaimana kalau kubuka sedikit lagi?" Tangan itu kembali bergerak, terdengar kain robek dan kini penutup dada Kim Hung terbuka sama sekali. Tubuhnya bagian depan dari perut ke atas nampak! Gadis itu tetap memejamkan matanya dan wajahnya tetap biasa saja! Demikian hebat gadis ini sehingga dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat bersikap tenang dan seolah-olah ia telah dapat mematikan rasa.   Kok Siang membuang muka dan mengeluarkan suara kutukan. "Demi Tuhan, Mo-ko, engkau bukan manusia! Jangan lanjutkan!"   "Ha-ha-ha, kalau engkau tidak mau mengaku tentang peta itu, aku akan menyuruh dua orang perajurit untuk memperkosanya di depan matamu, Bu-siucai!"   "Bu-toako, jangan dengarkan dia! Dia akan mampu menghina tubuhku, akan tetapi tidak dapat menjamah hatiku. Paling-palling aku mati, atau kalau tidak, hinaan ini tentu akan dibayarnya dengan bunga berlipat ganda! Jangan mengaku, karena sekali engkau mengaku, nyawa kita akan tidak ada harganya lagi!" demikiin Kim Hong berkata, suaranya tetap tenang, sama sekali tidak gemetar.   "Hemm, biarpun hatiku berat sekali rasanya, agaknya engkau benar, nona." jawab Kok Siang.   Pat-pi Mo-ko menjadi semakin marah. Dia sudah menggerakkan tangan lagi untuk merenggut penutup tubuh terakhir, akan tetapi tiba-tiba Su TOng Hak mendekatinya dan berbisik, "Pemuda itu tentu akan menyerah kalau melihat kekasihnya yang terancam!"   Mendengar ini, tiba-tiba Pat-pi Mo-ko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga!" dan sambil tertawa-tawa kakek hitam tinggi besar itu lalu berlari keluar dari dalam ruangan itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menarik tangan seorang gadis setengah menyeeretnya. Gadis itu bermuka pucat dan matanya merah bekas menangis, rambutnya dan pakaiannya kusut.   "Murid durhaka, lihat siapa itu, dan selamatkan nyawanya! Dia akan kubebaskan kalau dia mau mengaku tentang peta aseli!" kata Pat?pi Mo-ku sambil mendorong gadis itu ke depan, ke arah dipan di mana Kok Siang rebah terlentang.   "Siang-koko...!" Gadis itu menubruk, berlutut dan menangis di dekat dipan.   "Bwee-moi... engkaukah ini? Hemm, akhirnya engkau juga merasakan kekejaman iblis yang menjadi guru dan pamanmu sendiri?" kata Kok Siang sambil mengerutkan alisnya. In Bwee merangkulnya dan menangis di dada pemuda itu.   "Siang-koko... demi keselamatanmu, menyerah sajalah, katakanlah kepadanya tentang peta itu... ah, koko, kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi... berikanlah peta itu dan mari kita pergi berdua, tidak mencampuri urusan ini dan aku rela hidup melarat asal selalu bersamamu, koko..."   Gadis itu menangis dan Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak mencela gadis itu bahkan kagum akan cinta gadis itu terhadap Kok Siang. Akan tetapi gadis itu telah memperlihatkan kelemahannya dan hal ini merusak siasat mereka berdua yang hendak mempertahankan peta. Siapa tahu, demi cintanya kepada gadis itu, Kok Siang akhirnya akan menyerah dan kalau sudah begitu, percuma sajalah semua siasat mereka dan akhirnya mereka semua akan celaka!   "Huh, tolol!" Ia membentak. "Apakah kalau peta itu diberikan, iblis itu mau melepaskan kita bertiga? Jangan kira begitu enak, ya? Dia akan segera membunuh kita untuk menutup mulut seperti yang dilakukannya terhadap diri Ciang Kim Su dan juga Louw siucai!" Ia sengaja menyebut nama Louw siucai untuk membakar semangat Kok Siang. Dan ia berhasil. Kok Siang yang tadinya ragu-ragu melihat dan mendengar tangis kekasihnya, kini nampak bersinar-sinar matanya.   "Mo-ko, muslihat apapun yang kaulakukan, peta itu takkan kuberikan kepadamu!" teriak Kok Siang. "Bwee-moi, jangan kecil hati. Kita lawan iblis itu, kalau perlu dengan pengorbanan nyawa dari pada dia berhasil dan akhirnya kita dibunuhnya juga!"   "Keparat!" Pat-pi Mo-ko marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri muridnya dengan tangan kanan menyambar. Akan tetapi, dibangkitkan oleh kata-kata kekasihnya, In Bwee meloncat dan mengelak, lalu menyerang guru dan pamannya sendiri yang biasanya amat ditakutinya itu. Tentu saja kakek itu menjadi kaget dan marah sekali. Jelaslah baginya bahwa muridnya ini sekarang telah berpihak kepada musuh secara berterang. Dia telah menangkap muridnya, ketika mendengar laporan bahwa muridnya itu diam-diam pada malam buta mengunjungi Pendekar Sadis. Dia membayangi dan melihat muridnya bicara dengan Pendekar Sadis, maka murid itu pada waktu pulang lalu ditangkapnya dan dijadikan tawanan.   Kini, melihat In Bwee melawan, cepat diapun turun tangan dan tentu saja gadis itu bukan lawannya. Dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan tubuh lemas dan tak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan tangan seperti lumpuh rasanya.   "Murid murtad! Biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan matanya kalau begitu!"   Tiat-ciang Lai Cai Ko yang perutya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera maju dan menyeringai. "Heh-heh, twako, kalau memang gadis ini hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Telah lama aku tergila-gila kepadanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak berani mengganggu. Sekarang, ia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau memang mau diperkosa, biar aku yang..."   "Boleh, lakukanlah! Tapi di sini dan sekarang juga, biar kekasihnya dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu.   Tiat-ciang Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usuanya sudah empat puluh lima tahun, kejam dan sudah biasa dengan kekerasan. Dia sudah kebal perasaannya, tidak mengenal malu lagi maka biarpun di situ terdapat banyak orang yang menyaksikan, dia tidak malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak di atas lantai dengan lemas itu.   "Mo-ko, manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok Siang berteriak-teriak.   "Brett...!" Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai Ko. Semua mata mereka yang hadir, juga para penjaga, terbelalak dan jantung mereka berdebar tegang membayangkan apa yang akan mereka saksikan di dalam ruangan itu. In Bwee sendiri yang tidak lagi mampu bergerak, hanya terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau.   "Ha-ha-ha, engkau sungguh manis sekali. Aha, sungguh besar untungku malam ini!" Tiat-ciang Lui Cai Ko merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan. Semua orang yang melihat adegan ini, terbelalak, ada yang menelan ludah, ada yang membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari rongga matanya. Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, tidak tahu malu sama sekali dan dia beraksi seolah-plah di tempat itu tidak ada orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee.   "Tahan...!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko, aku mengaku...!"   Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko seperti tidak mendengar ini dan hendak melanjutkan perbuatannya. Baru setelah Mo-ko sendiri melangkah dan menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani membantah.   "Tiat-ciang, kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko. Tiat-ciang Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan kecewa, mendongkol dan marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu, sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan terlepas!   Kim Mong mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sasterawan muda itu. Habislah harapannya. Ia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang biasa yang jalan pikiran dan perasaannya sudah tercetak sejak kecil sehigga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu. Wanita diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan malapetaka yang tak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tidak tahan mempertahankan ketika melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Betapa bodohnya. Apakah kalau pemuda itu sudah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman pemerkosaan atau pembunuhan?   "Mo-ko, aku mau mengaku tentang peta yang aseli, akan tetapt engkau harus berjanji bahwa engkau tidak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang. Kalau engkau tidak mau berjanji, biar apapun yang terjadi, jangan harap aku akan mau mengaku." kata Kok Siang dengan suara lantang.   "Baik, aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa." kata Pat-pi Mo-ko dan wajahnya nampak berseri gembira sekali.   "Ingat, Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu itu, disaksikan oleh semua orang yang mendengarnya."   Wajah hitam itu semakin hitam dan sepasang mata itu mendelik. "Bu-siucai. Kaukira aku ini orang apa maka akan melanggar janji sendiri?"   "Bagus, kalau begitu aku akan mengaku dengan hati lapang. Dengarlah baik-baik. Aku adalah keponakan dari mendiang Louw Siucai."   Semua orang terkejut, terutama sekali Su Tong Hak dan Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi pelaksana dari pembunuhan terhadap Louw siucai. "Hemm, kiranya begitukah?" kata Pat-pi Mo-ko mengangguk-angguk dan dia dapat menduga apa yang telah terjadi "Lanjutkan ceritamu."   "Paman Louw melihat gelagat tidak baik ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang minta diterjemahkannya peta itu. Paman sama sekali tidak menginginkan benda orang lain, akan tetapi dia tahu bahwa Su Tong Hak bukan manusia baik-baik dan bahwa keponakannya, pemuda dusun itu akan tertipu. Maka, diam-diam paman minta waktu sehari untuk menterjemahkannya dan menukar peta yang aseli itu dengan peta palsu. Petanya yang aseli disembunyikannya dengan maksud kelak akan dikembalikan kepada yang berhak. Akan tetapi, pemuda dusun itu lenyap. Paman menulis surat kepadaku dan memberi tahu tentang tempat peta aseli disembunyikan. Ternyata aku terlambat dan paman telah terbunuh oleh kaki tanganmu."   "Dan peta itu? Di mana...?" Pat-pi Mo-ko seolah-olah tidak mendengar cerita itu karena pikirannya segera terpusat kepada peta aseli.   "Di suatu tempat, di kebun rumah mendiang paman Louw."   "Katakan di mana agar kami dapat membuktikan kebenaran omonganmu! Kalau engkau membohong, tentu janjiku takkan berlaku dan aku akan menyuruh dua orang wanita ini diperkosa di depan matamu sampai keduanya mampus, sebelum engkau disiksa sampai mati pula!"   "Di kebun itu ada sebatang pobon tua dekat rumpun bambu, pada cabang yang ke tiga dari bawah terdapat lubang. Di situlah disimpannya peta itu, dalam peti kecil."   Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko lain memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengajaan ketat. "Bunuh saja mereka ini kalau ada tanda-tanda mereka hendak memberontak. Juga kalau Pendekar Sadis berani muncul, bunuh mereka ini dengan alat rahasia dalam kamar!" Pesannya dengan suara lantang. Kemudian, dengan membawa pasukan penjaga yang lima puluh orang banyaknya, Pat-pi Mo-ko sendrii pergi menuju ke rumah Louw siucai di pinggiran kota raja untuk mencari peta seperti yang diceritakan oleh Bu Kok Siang itu.   Malam hari itu juga, Pat-pi Mo-ko datang kembali dengan kegirangan yang meluap-luap. Peta itu telah ditemukan! Dengan wajah berseri diapun memasuki ruangan tempat ditahannya tiga orang muda itu. Dia mengeluarkan peta yang aseli itu dan membebernya di depan Kok Siang dan Kim Hung yang memandang dengan mata berapi.   "Ha-ha-ha, sudah dapat olehku. Ha-ha-ha! Akhirnya harta pusaka itu, harta karun Jenghis Khan, terjatuh ke dalam tanganku!" Kakek hitam itu menyimpan kembali gulungan peta ke dalam tahuh, dan tiba-tiba dia berkata kepada dua orang pembantunya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, "Sekarang, kalian bunuh bocah she Bu dan gadis she Toan ini! Kalau tidak, mereka itu akan menjadi perintang saja!"   Tentu saja Kok Siang terkejut mendengar ini dan In Bwee yang sudah dapat bergerak itu menjerit dan menubruk kaki pamannya sambil menangis. "Paman, jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh dia...!"   Pat-pi Mo-ko menggerakkan kakinya dan tubuh keponakan dan muridnya itu terlempar. "Huh, murid durhaka. Masih baik aku tidak menyuruh bunuh engkau sekali!"   "Paman, jangan bunuh dia... atau bunuh saja aku sekalian bersamanya!" In Bwee menangis.   "Engkau tidak percaya padaku, Bu-twako! Omongan orang macam dia itu mana bisa dipercaya? Begitu peta dikuasainya, tentu kita segera dibunuh!" kata Kim Hong, sama sekali tidak menyesal karena gadis perkasa ini yakin bahwa pada saat itu, Thian Sin tentu sudah bersiap-siap untuk menolongnya. Tadi, lapat-lapat ia mendengar suara burung ekor merah. Burung itu hanya terdapat di sekitar kepulauan yang berada di Laut Timur, terutama di Pulau Teratai Merah di mana mereka tinggal. Karena suara burung itu tidak dikenal oleh semua orang yang berada di situ ketika berbunyi, maka ialah satu-satunya orang yang mengenalnya dan tahu bahwa itu adalah tanda rahasia dari Thian Sin yang tentu berada di sekitar tempat tahanan itu. Maka iapun merasa lega dan tenang saja. Kekasihnya itu tidak mungkin membiarkan ia celaka tanpa turun tangan. Kok Siang marah sekali. Dengan mata mendelik dia memandang kepada Pat-pi Mo-ko, lalu berkata dengan suara nyaring. "Pat-pi Mo-ko, kiranya selain jahat dan kejam, engkau juga seorang pengecut yang suka menjilat ludah sendiri! Engkau telah berjanji..." "Ha-ha-ha, bagaimana janjiku, kutu buku? Semua orang tadi sudah mendengar akan bunyi janjiku itu! Aku berjanji bahwa kalau engkau memberi tahu tentang peta, aku tidak akan membiarkan dua orang gadis ini diperkosa, bukan? Nah, siapa yang hendak memperkosa mereka? Aku tidak berjanji bahwa aku tidak akan membunuh engkau dan sahabat Pendekar Sadis ini! Jadi, kalau sekarang aku menyuruh bunuh kalian, aku tidak menyalahi janji! Ha-ha-ha!" Kok Siang hanya dapat memandang dengan mata mendelik. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu demikian curangnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu membantah lagi. Diapun bukan pengecut yang takut mati, maka melihat sikap Kim Hong yang tenang, diapun merasa malu kalau harus banyak ribut untuk mempertahankan nyawanya. Pada saat itu, Su Tong Hak melangkah maju mendekati Pat-pi Mo-ko. "Kurasa tidak benar kalau membunuh mereka sekarang." "Su Tong Hak! Engkau tadi telah memberi nasihat baik sekali untuk memaksa pemuda itu mengaku. Akan tetapi sekarang, kenapa engkau melarang aku membunuh mereka? Mereka itu berbahaya sekali!" Su Tong Hak tersenyum dan meraba-raba kumisnya yang kecil panjang. "Pat-pi Mo-ko, aku melarangmu dengan perhitungan yang amat matang. Coba dengarkan baik-baik pendapatku. Pemuda itu sama sekali belum waktunya untuk dibunuh. Biarpun kita telah mendapatkan peta itu, akan tetapi siapa berani menanggung kalau peta itu benar-benar aseli? Siapa tahu kalau itupun hanya palsu saja dan yang aseli masih dia sembunyikan di tempat lain?" Pat-pi Mo-ko nampak terkejut dan menoleh, memandang kepada pemuda sasterawan itu yang hanya tersenyum mengejek. Kakek tinggi besar hitam ini mengangguk-angguk, dapat melihat kebenaran pendapat pedagang yang cerdik itu.   "Maka, membunuhnya sekarang sungguh tidak menguntungkan. Kita selidiki dulu apakah peta ini benar, baru kita boleh membunuhnya. Demikian pula dengan nona itu. Bukankah ia itu sahabat baik Pendekar Sadis? Kalau ia masih berada di tangan kita, setidaknya ia berguna untuk menjadi sandera, untuk mencegah Pendekar Sadis mengganggu kita sampai usaha kita berhasil. Bagaimana pendapat ini, tepatkah?"   Sejenak Pat-pi Mo-ko menunduk dan mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Su Tong Hak dan tertawa lebar. "Ha-ha-ha, engkau sungguh berbakat untuk menjadi penasihat. Bagus sekali, aku setuju! Malah kita harus bawa mereka itu bersama ke tempat harta karun seperti yang ditunjukkan oleh peta ini, dan di sanalah nasib mereka itu ditentukan! Ha-ha-ha!"   ***   Thian Sin yang manyamar sebagai perajurit penjaga dan menyaksikan, mendengar semua itu, tentu saja mengalami ketegangan dan kegelisahan yang hebat. Beberapa kali tubuhnya menegang dan beberapa kali hampir saja dia tidak mampu menahan gelora hatinya yang seolah-olah mendorongnya untuk turun tangan. Ketika dia melihat pakaian luar Kim Hong dirobek, dia hanya mengepal tinju saja. Dia tahu bahwa Pat-pi Mo-ko hanya menggertak. Akan tetapi ketika dia melihat In Bwee hampir saja diperkosa, dia menggigit bibirnya untuk menahan hatinya. Dia maklum bahwa dia harus kuat menghadapi semua itu. Keadaan masih tidak menguntungkan baginya. Kalau dia menyerbu, mungkin saja dia mampu menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi amatlah berbahaya bagi keselamatan tiga orang itu. Dia tidak akan mampu melindungi mereka karena di situ banyak terdapat orang-orang pandai yang tak mungkin dapat dirobohkan dalam waktu singkat sehingga selagi dia dikeroyok, Kim Hong, Kok Siang den In Bwee tentu mudah terbunuh lawan. Dan dia tidak menghendaki hal itu terjadi. Terutama sekali dia tidak ingin kehilangan Kim Hong! Maka dia menanti sampai saat yang paling memuncak dan yang akan memaksanya turun tangan. Kalau masih ada harapan, dia akan sabar menanti.   Diapun terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan Kok Siang tentang peta aseli itu. Ah, tak disangkanya bahwa pengakuan Kok Siang ketika mereka berdua itu terjatuh ke dalam air, ternyata bukan hanya siasat pemuda itu, melainkan memang satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri mereka. Kini mengertilah dia mengapa Kim Hong bertahan mati-matian. Kiranya kunci rahasia itu berada di tangan Kok Siang yang menyimpan peta rahasia yang aseli. Dan kunci emasnya yang aseli ada padanya! Kini Kok Siang telah mengaku, tempat itu tentu akan ditemukan oleh Mo-ko. Akan tetapi Thian Sin masih dapat tersenyum geli karena dia tahu bahwa usaha Mo-ko yang telah mendapatken peta aseli itu tetap saja akan sia-sia karena kunci emas yang aseli berada padanya!   Ketika melihat Kim Hong dan Kok Siang hendak dibunuh, dia sudah hampir meloncat ke depan. Akan tetapi hatinya lega ketika dia mendengar Su Tong Hak yang membujuk datuk sesat itu dengan alasan yang amat kuat. Diam-diam Thian Sin mengerti bahwa Su Tong Hak memang merupakan orang yang amat cerdik. Pedagang itu kini menginjak dua perahu, keduanya memungkinkan dia untuk memperoleh keuntungan. Di satu pihak, pedagang itu menyelundupan dia dan menganggap dia sekutunya, tentu dengan harapan untuk selain ada teman menghadapi ancaman Mo-ko yang serakah, juga kalau sampai pihak Mo-ko gagal dan Pendekar Sadis yang menang, setidaknya pedagang itu dapat mengharapkan bagian. Sebaliknya, kalau Pat-pi Mo-ko yang menang, saudagar inipun masih bisa mengharapkan bagian. Maka dia manyelundupkan dan tidak membuka rahasia Thian Sin, akan tetapi di lain pihak, iapun membantu Mo-ko, diantaranya dengan nasihat kejinya untuk memperkosa In Bwee dalam usaha memaksa pengakuan Kok Siang.   Ketika melihat Pat-pi Mo-ko membawa pasukan pergi untuk mengambil peta aseli seperti yang ditunjukkan oleh Kok Siang, Thian Sin tidak ikut membayangi. Sebenarnya, dia telah memperoleh kesempatan baik untuk membayangi datuk itu ke tempat penyimpanan peta aseli dan merampasnya, kalau perlu membunuh kakek tinggi besar hitam itu. Akan tetapi kalau Kim Hong, Kok Siang dan juga In Bwee masih menjadi tawanan, apa artinya itu? Yang penting adalah melindungi mereka. Oleh karena itu, Thian Sin hanya menanti dalam persembunyiannya. Biarlah Pat-pi yang mengambilkan peta itu untuknya, bahkan biarkan datuk itu dengan anak buahnya mencarikan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan itu untuknya!   Demikianlah, ketika pada koesokan harinya, rombongan besar Pat-pi Mo-ko berangkat menuju ke tempat penyimpanan harta karun, diam-diam Thian Sin juga membayangi rombongan itu. Tiga orang tawanan muda itupun dibawa dengan kereta dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri mengepalai pasukan ini dengan menunggang kereta bersama tiga orang tawanannya. Para pembantu utamanya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, naik kuda dan mengawal di kanan kiri kereta. Su Tong Hak tidak ketinggalan, juga duduk di atas kereta di dekat kusir.   Kereta ke dua berjalan di belakang dan di dalam kereta ini duduk Phang-taijin, pembesar yang menjadi sekutu Pat-pi Mo-ko! Setelah mendengar bahwa peta aseli terjatuh ke tangan sekutunya, jaksa ini tak dapat menahan keinginan hatinya untuk ikut menyaksikan pengambilan harta pusaka atau harta karun Jenghis Khan! Seratus orang perajurit pengawal memperkuat rombongan itu, sebagian mengawal di depan, sebagian di belakang. Mereka itu bukan hanya mengawal untuk menjaga agar jangan ada pihak lawan, terutama sekali Pendekar Sadis yang masih mendatangkan rasa gentar di dalam hati Pat-pi Mo-ko, akan tetapi juga dipersiapkan untuk bekerja di tempat penyimpanan harta karun, kalau-kalau untuk itu dibutuhkan banyak tenaga untuk menggali dan sebagainya.   Perjalanan itu cukup jauh dan merupakan perjalanan yang menarik karena tempat itu ternyata berada di luar Tembok Besar! Mula-mula jantung Thian Sin berdebar tegang ketika rombongan itu menyeberang Tembok Besar di sebelah utara kota raja karena jalan itu menuju ke Lembah Naga! Akan tetapi ternyata rombongan itu membelok ke timur. Kalau dari luar Tembok Besar itu dilanjutkan ke utara sampai kaki Pegunungan Khing-an-san di tepi Sungai Huang-ho, di sanalah letaknya Lembah Naga tempat tinggal ayah angkatnya, Si Pendekar Lembah Naga Cia Si Liong! Akan tetapi, ternyata perjalanan ini tidak sejauh itu dan setelah menunda perjalanan semalam di sebuah dusun, pada keesokan harinya mereka tiba di tempat tujuan, yaitu di kota Ying-kouw, sebuah kota pelabuhan yang letaknya di Teluk Cili atau Teluk Po-hai sehelah utara!   Setelah tiba di kota Ying-kouw, kehadiran Jaksa Phang ternyata amat berjasa dan berguna. Pembesar setempat menyambutnya dengan hormat, memberi tempat penginapan yang layak, bahkan menjamu mereka dengan makan minum. Kepada para pembesar setempat Jaksa Phang menjelaskan bahwa dia sebagai jaksa kota raja sedang menyelidiki sebuah perkara pencurian dan menurut penyelidikan, harta yang dicuri itu dilarikan menuju ke tempat ini. Tentu saja para pembesar di kota Ying-kouw terkejut dan bersedia untuk membantu sedapat mungkin. Akan tetapi Jaksa Phang menolak, mengatakan bahwa untuk menemukan harta curian itu dia sudah mempersiapkan para pembantunya, juga pasukan. Sementara itu, tiga orang muda yang menjadi tawanan, yang oleh Jaksa Phang dikatakan sebagai orang-orang yang tersangkut dalam pencurian besar-besaran itu, dimasukkan tahanan dan dijaga ketat sekali. Malam itu, diam-diam Pat-pi Mo-ko bersama Jaksa Phang, juga para pembantunya, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, mempelajari peta aseli yang sudah diterjemahkan itu.   Ternyata menurut catatan dalam peta kuno itu, harta karun yang dimaksudkan itu berada di dalam sebuah di antara guha-guha yang banyak terdapat di tepi pantai yang curam, di luar kota Ying-kouw sebelah timur. Semalam itu mereka tidak dapat tidur, dengan hati tegang mereka menanti datangnya pagi karena mereka ingin cepat-cepat menemukan harta karun Jenghis Khan itu.   Pagi itu cerah sekali. Langit bersih, tiada segumpalpun awan menghalangi cahaya matahari pagi yang muncul dari permukaan laut, kemudian makin meninggi merobah sinar kemerahan menjadi keemasan, kemudian makim meninggi dan sinar itu berobah pula menjadi keperakan. Dan matahari pagi itu agaknya menenangkan lautan yang semalam menggelora dan menyerbu jauh ke pantai. Kini ombak mulai kembali ke lautan dan permukaan laut menjadi tenang, hanya ada keriput-keriput kecil yang membuat bayangan jalan putih matahari itu bergoyang-goyang lucu.   Dari atas tebing, rombongan itu memandang ke bawah. Dari tempat setinggi kurang lebih tiga ratus meter itu, lautan nampaknya semakin lembut dan tenang, seperti permukaannya tertutup beludru biru yang terhampar luas sampai ke kaki langit. Menjenguk dari atas tebing mendatangkan rasa ngeri, membuat bulu tengkuk meremang dan menimbulkan rasa takut. Rasa takut melihat tempat tinggi, seperti juga perassan takut akan apapun juga, timbul oleh bayangan pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita berdiri di atas tebing melihat ke bawah, tidak akan timbul rasa takut kalau saja kita tidak membayangkan sesuatu. Akan tetapi, begitu pikiran membayangkan bagaimana ngerinya kalau sampai tergelincir dan terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya, maka otomatis bulu tengkuk meremang dan muncullah rasa takut yang membuat jantung berdebar dan kaki gemetar.   Tiga orang muda yang menjadi tawanan dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh komandan pasukan, juga oleh Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, sedangkan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sendiri melakukan pemeriksaan dan dengan hati-hati sekali dia menuruni tebing yang curam itu, bergantungan pada batu-batu dan akar-akar pohon. Sementara itu, dengan kaki dan tangan terikat rantai panjang, tiga orang muda itu duduk berkumpul. Seperti biasa pada beberapa hari selama menjadi tawanan ini, Kim Hong nampak tenang saja, memandang kepada Kok Siang yang duduk bersandar batu dan In Bwee yang duduk menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Semenjak In Bwee dijadikan tawanan pula bersama kekasihnya, gadis ini selalu mendekati Kok Siang den nampak sudah begitu pasrah, ingin sehidup semati dengan pemuda itu yang dari pandang matanya juga amat menyayangnya. Malam tadi, ketika dua orang muda yang saling berkasihan itu menyatakan ingin mati bersama, Kim Hong menghibur mereka.   "Jangan putus asa lebih dulu, harapan masih banyak bagi kita untuk lolos." katanya berbisik sehingga tidak terdengar jelas oleh para penjaga di luar kamar tahanan mereka yang agaknya sudah jemu menjaga.   "Hemm, kematian kita sudah berada di depan mata, aku tidak pernah putus asa, akan tetapi akupun tahu apa bila keadaan kita sudah tidak ada kemungkinan untuk lolos pula." kata Kok Siang.   "Aku tidak takut mati selama bersamamu, koko." kata In Bwee sambil merebahkan diri di atas pangkuan kekasihnya.   Kim Hong tersenyum. "Kalian lupa bahwa di luar masih ada kekasihku yang takkan mungkin membiarkan kita mati."   "Pendekar Sadis?" kata In Bwee penasaran. "Kalau memang dia memperdulikan kita, kenapa tidak sejak tadi dia turun tangan?"   "Dia bukan anak kecil yang ceroboh. Dia menanti saat baik. Percayalah kepadanya. Dia akan berusaha dengan taruhan nyawa untuk menyelamatkan kita. Bahaya masih jauh sekali. Kalau tidak, apa kalian kira aku akan enak-enak saja begini?" Berkata demikian, Kim Hong memandang kepada rantai di kaki tangannya. Memang, kalau ia menghendaki, dengan sin-kangnya, ia akan mampu mematahkan belinggu ini dan mengamuk. Pat-pi Mo-ko terlalu memandang rendah kepadanya dan hal ini baik sekali. Memang inilah yang dikehendakinya maka ketika diadu melawan Kok Siang, ia seagaja mengalah. Karena memandang rendah, maka tentu Mo-ko menjadi lengah, bahkan kini memasang rantai belenggu sembarangan saja, tidak melumpuhkannya dengan totokan. Mungkin Kok Siang dan In Bwee tidak akan mampu mematahkan belenggu mereka, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ia akan mampu melakukannya kalau memang tiba saatnya yang baik.   Kedua tangan mereka diikat belenggu pada pergelangan tangan dan kedua lengan itu berada di belakang tubuh. Jarak antara kedua lengan itu hanya kurang lebih tiga puluh sentimeter, namun cukup untuk melalui kepala. Ia pernah mempelajari ilmu Sia-kut-hoat, yaitu semacam ilmu melemaskan diri melepaskan tulang dan dengan ilmu ini, yang membuat tubuhnya menjadl lemas soperti tubuh ular, ia akan dapat menarik kedua lengan itu dari belakang ke atas kepala, lalu diturunkan ke depan dengan menekuk dan melemaskan tulang pangkal lengan sehingga kedua lengannya akan berpindah ke depan! Dengan kedua tangan di depan, ia akan mengerahkan sin-kang mematahkan belenggu itu, atau setidaknya, ia sudah akan dapat menggunakan kedua tangannya untuk membuat para penjaga tidak berdaya dan merampas kunci-kunci belenggu mereka. Akan tetapi saatnya belum tiba dan kalau ia melakukannya sebelum waktunya, tentu ia akan dikeroyok dan sebelum ia mampu meloloskan Kok Siang dan In Bwee, ia tidak akan mau mencobanya. Saat yang ditunggu-tunggu itu adalah saat munculnya Thian Sin dan ia tetap bersabar karena yakin bahwa belum munculnya kekasihnya itu tentu atas dasar perhitungan yang matang.   Setelah menyelidiki sampai ke bawah, Pat-pi Mo-ko lalu naik lagi. Dia sudah mempelajari tebing itu dan maklum bahwa hanya para pembantunya yang pandai ilmu silat sajalah yang akan mampu menuruni tebing itu. Padahal, menurut peta, guha di mana harta karun itu disimpan, tertutup oleh batu-batu karang yang berguguran dari atas selama ratusan tahun dan untuk menyingkirkan batu-batu besar ini dibutuhkan tenaga para perajurit. Mereka semua harus dapat turun ke bawah, ke tepi pantai di mana terdapat guha-guha itu. Setelah tiba di atas tebing, Pat-pi Mo-ko lalu berunding dengan jaksa Phang dan para pembantunya, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan anak buah mereka untuk membuat jalan darurat ke bawah tebing. Mereka memang sudah siap membawa alat-alat dan mulailah seratus orang perajurit itu bekerja, membuat jalan dari atas tebing ke bawah.   Lewah tengah hari, mereka semua telah berhasil menuruni tebing itu dan berkumpul di pantai yang luas di bawah tebing, di mana terdapat guha-guha batu karang yang sebagian besar tertutup oleh batu-batu karang sebesar perut kerbau yang berguguran dari atas. Mulailah mereka bekerja keras membongkari batu?batu karang di depan dan atas sebuah guba menurut petunjuk Mo-ko yang telah mengukur sesuai dengan petunjuk peta. Menurut peta itu, dari bawah ini orang dapat melihat ke atas dan ada tonjolan tebing yang bentuknya seperti kepala naga. Guha itu terletak presis di bawah kepala naga itu. Tenaga seratus orang yang dikerahkan tentu saja dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan cepat. Setelah matahari mulai condong ke barat sehingga tempat itu tidak panas lagi karena sinar matahari tertutup puncak tebing, para perajurit yang bekerja tiba-tiba bersorak ketika mereka melihat guha besar yang tertutup batu-batu tadi. Pat-pi Mo-ko lalu menyuruh mereka semua mundur. Dia sendiri lalu mengajak jaksa Phang, Su Tong Hak, Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Lui Cai Ko, dua orang pembantunya yang menarik rantai yang membelenggu tiga orang muda itu memasuki guha. Para perajurit disuruh menanti di luar. Dengan wajah berseri dan jantung berdebar mereka semua memasuki mulut guha yang cukup lebar itu. Juga Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee merasakan ketegangan dalam hati mereka. Kim Hong dan Kok Siang merasa tegang karena merekapun ingin melihat harta karun itu, sedangkan In Bwee merasa tegang karena ia merasa khawatir kalau-kalau kekasihnya akan dibunuh setelah harta karun itu terdapat oleh pamannya. Guha yang lebar itu ternyata di bagian dalamnya menyempit dan akhirnya mereka berhenti pada sebuah pintu batu. Dari bentuknya, dapat diduga bahwa daun pintu ini tentu buatan manusia, merupakan batu tebal berbentuk segi empat dan di tengah-tengah daun pintu batu itu terdapat sebuah lubang kecil. Itulah lubang kuncinya! "Ah, di sinilah tempatnya! Tak salah lagi!" kata Pat-pi Mo-ko dan suaranya gemetar, juga tangannya ketika dia mengeluarkan sebuah kunci emas dari dalam saku bajunya. Kunci emas yang diterimanya dari In Bwee yang telah berhasil mengambilnya dari tangan Pendekar Sadis! Semua mata para pemhantu Pat-pi Mo-ko memandang dengan penuh ketegangan dan kegembiraan, akan tetapi pandang mata Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee yang sudah tahu bahwa kunci emas itu palsu, adalah kegembiraan yang bercampur dengan kegelian hati, akan tetapi juga tegang karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya nanti setelah datuk sesat itu tidak berhasil membuka dengan kunci palsu. Seperti juga kuncinya, lubang kunci itu terbuat dari pada emas, akan tetapi ketika Pat-pi Mo-ko memasukkan kunci itu ke lubangnya, ternyata ukurannya tidak cocok dan kunci itu sama sekali tidak dapat masuk! "Ehh...?" Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya dan menusuk-nusukkan kunci itu, memutar-mutar, akan tetapi tetap saja kunci emas itu tidak dapat memasuki lubang kecil itu karena memang bukan ukurannya. Lubang itu kecil memanjang dan berlika-liku, harus mempergunakan kunci yang pas ukuran dan cetakannya. Akhirnya Pat-pi Mo-ko menjadi marah karena dia mulai sadar bahwa kunci emas itu adalah palsu! "KEPARAT!" bentaknya sambil mencabut kembali kunci itu, memandang kepada kunci itu kemudian menoleh kepada keponakannya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. "In Bwee! Keparat kau! Kunci apa yang kauberikan kepadaku ini?" "Katanya itu kunci emaas..." "Bohong! Ini kunci palsu!" "Paman, aku hanya menerima dari dia yang mengatakan bahwa itulah kuncinya. Mana aku bisa tahu apakah kunci itu palsu ataukah tulen?" bantah Im Bwee. "Hi-hik, orangnya berhati jahat dan palsu, mendapatkan peta palsu dan setelah akhirnya menemukan peta aseli dengan cara yang keji, masih tidak berhasil karena kuncinyapun palsu!" Kim Hong mentertawakan. "Jahanam!" Pat-pi Mo-ko membentak marah. "Kalau engkau tidak memberikan kuncinya yang tulen, akan kusiksa kau sampai mampus!" "Hi-hik, lucunya! Jangan-jangan setelah kaudapatkan harta karun itu, ternyata harta itupun palsu, Mo-ko! Betapa lucanya! Ingin aku melihat mukamu!" Kim Hong tidak mempedulikan ancaman orang. Mendengar ini, Mo-ko menoleh ke arah pintu yang tak dapat dibukanya itu. Ucapan itu sungguh terasa menusuk perasaannya. Bagaimana kalau benar demikian? Bagaimana kalau sesudah semua jerih payah, semua harapan muluk ini, ternyata harta karun itu palsu dan hanya merupakan permainan orong gila di jaman dahulu belaka? Dia bukan hanya akan kecewa setengah mati, akan tetapi juga amat malu karena namanya tentu akan menjadi buah tertawan orang sedunia kang-ouw dan dia akan dianggap seperti seorang badut! Bayangan ini membuatnya menjadi marah dan penasaran sekali. Sementara itu, ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko tidak mampu membuka pintu itu dengan kunci emasnya, tahulah Su Tong Hak bahwa kunci emas yang katanya diterima oleh In Bwee dari Pendekar Sadis itu adalah palsu. Tentu kunci aselinya masih berada di tangan pendekar itu, pikirnya. Maka bekerjalah otak yang bercabang itu. Kini tidak menguntungkan untuk menempel kepada Pat-pi Mo-ko. Lebib baik sekarang juga berusaha mendekati Pendekar Sadis dan dia merasa yakin bahwa pendekar itu berada di antara para perajurit yang berjaga di luar. Berpikir demikian, diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang dicekam ketegangan melihat betapa kunci itu tidak dapat membuka pintu, Su Tong Hak lalu meninggalkan guha itu dan keluar, menghampiri para perajurit yang sedang beristirahat di luar guha sambil mencari-cari. Para perajurit itupun berkumpul di depan guha, di luar sambil mencoba untuk melihat ke dalam karena merekapun ingin sekali melihat apakah harta karun itu dapat ditemukan. Pat-pi Mo-ko sudah menjadi marah sekali, marah karena kecewa dan merasa dipermainkan. Dia menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang berotot, kekar dan nampak kuat sekali. Dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar, dia mengerahkan tenaga sin-kangnya dan terdengarlah suara berkerotokan dari kedua lengan itu, bahkan nampak uap mengepul dari kedua telapak tangannya. Melihat ini, diam-diam Kim Hong terkejut dan kagum. Ternyata bahwa datuk ini memang telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi dan memiliki sin-kang yang amat kuat. Teringatlah ia ketika pertama kali terjebak dalam kompleks tahanan kantor kejaksaan, ia pernah melompat untuk mendobrak pintu dan disambut oleh pukulan kakek itu sehingga ia terlempar kembali ke bawah. "Hyaaattt...!" Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko menerjang ke depan, ke arah pintu, kedua tangannya menghantam ke arah pintu batu itu dengan maksud untuk menghantam pecah pintu rahasia itu, membukanya tanpa bantuan kunci lagi. Hebat bukan main pukulan kedua telapak tangannya ini. Tiba-tiba saja seluruh ruangan guha itu tergetar keras, disusul oleh gemuruh dari atas guba. Suara bergemuruh itu makin hebat, pintu batu itu retak akan tetapi tidak pecah dan tidak runtuh, dan kini terdengar suara yang amat berisik di luar guha, disusul oleh teriakan-teriakan mengerikan dari para perajurit yang tadi berkumpul di luar guha. Mendengar suara itu, Pat-pi Mo-ko dan semua orang yang berada di dalam guha cepat memutar tubuh dan memandang. Ketika mereka melihat apa yang tejadi di luar guha, mata mereka terbelalak dan pucat. Ternyata dari atas tebing berjatuhan ratusan batu-batu besar, menggelinding ke bawah dan menghantam para perajurit yang berada di luar guha itu bagaikan hujan lebatnya! Ketika akhirnya suara gemuruh berhenti dan tidak ada lagi batu yang melayang turun, semua orang keluar dan penglihatan di luar guha sungguh amat mengerikan. Hampir seluruh perajurit yang seratus orang jumlahnya itu tewas tertimbun dan terhimpit batu-batu besar. Darah mengalir ke mana-mana dan erangan-erangan orang yang terhimpit batu amat mengerikan. Paling banyak tinggal belasan orang saja yang selamat secara ajaib dan hanya mengalami luka-luka kecil. Dan di antara mereka yang tewas terdapat pula Su Tong Hak yang terhimpit batu dengan kepala remuk dan lenyap menjadi berkeping-keping! Melihat ini, pucatlah wajah Jaksa Phang. "Celaka...!" serunya dengan tubuh menggigil melihat betapa pasukannya terbinasa. "Keparat! Harus kubunuh bedebab-bedebah itu!" Dan diapun lari kembali memasuki guha teringat kepada tiga orang tawanannya. Akan tetapa matanya terbelalak melihat betapa Toan Kim Hong dan dua orang yang lain itu telah bebas dari belenggu dan di situ berdiri pula seorang pemuda tampan yang berpakaian sebagai seorang perajurit. Mula-mula dia mengira bahwa tentu dia seorang di antara perajurit yang lolos dari hujan batu. Akan tetapi melihat sikap perajurit itu yang merangkul Kim Hong, jantungnya berdebar tegang dan matanya memandang terbelalak kepada perajurit muda yang tampan dan gagah itu. Perajurit itu bukan lain adalah Thian Sin, Si Pendekar Sadis! Seperti telah kita ketahui, pendekar ini menanti saat baik dan membiarkan pihak musuh mencarikan tempat harta karun itu untuknya. Dia melihat bahwa keselamatan kekasihnya, Kim Hong, Kok Siang dan In Bwee masih terancam. MakA, dia mengikuti semua persiapan Pat-pi Mo-ko yang hendak memimpin rombongan untuk mencari harta karun Jenghis Khan menurut petunjuk peta aseli, kemudian diam-diam diapun membayangi rombongan itu, kadang-kadang menyamar sebagai perajurit, kadang-kadang pula membayangi dari jauh. Ketika rombongan itu tiba di tempat tujuan dan membongkari batu-batu besar, diapun menyamar sebagai perajurit dan ikut pula membantu! Pada waktu Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya memasuki guha untuk membuka pintu rahasia, diapun melihat dari luar, di barisan terdepan sehingga dengan ketajaman matanya dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di dalam guha.   Thian Sin sendiri terkejut bukan main ketika Pat-pi Mo-ko menggunakan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk menghantam pintu rahasia di dalam guha kemudian mengakibatkan hujan batu dari atas. Dia tahu bahwa pukulan itu menggetarkan tebing dan batu-batu karang yang berada di atas guha menjadi terguncang dan longsor. Untung bahwa dia bertindak cepat dan dengan cekatan sekali dia melompat ke depan dan berlindung di dalam guha kecil di samping guha besar itu. Ketika hujan batu mereda dan semua orang yang berada di dalam guha besar itu keluar, dia menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Mula-mula dia menggabungkan diri dengan tenaga Kim Hong untuk mematahkan belenggu dari lengan dan kaki kekasihnya itu. Setelah menciumnya sekali tanpa mengeluarkan kata-kata, Thian Sin dibantu oleh Kim Hong lalu melepaskan belenggu yang merantai tangan dan kaki Kok Siang dan In Bwee. Itulah sebabnya ketika Pat-pi Mo-ko kembali ke dalam guha, mereka telah bebas semua dari belenggu mereka!   Thian Sin tersenyun memandang kepada musuh yang baru pertama kali ini dihadapinya dan dia berkata, "Selamat bertemu, Pat-pi Mo-ko! Bagaimana dengan kiriman kunci emas dariku itu? Cukup menyenangkan?"   "Pendekar Sadis! Engkau menipuku dengan kunci palsu!" Bentak Pat-pi Mo-ko yang dengan mudah dapat menduga siapa adanya pemuda tampan gagah yang menyamar sebagai seorang perajurit ini.   "Kuncinya yang aseli juga ada, Mo-ko, ada padaku. Akan tetapi tidak akan mudah engkau bisa mendapatkannya dariku!" Sambil berkata demikian, Thian Sin mengeluarkan sebuah kunci emas dari saku bajunya dan mengacungkannya ke atas, memamerkannya kepada datuk jahat itu. Hal ini membuat muka Pat-pi Mo-ko menjadi semakin hitam. Pada saat itu, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan Phang-taijin telah masuk pula ke dalam guha. Merekapun terheran dan terkejut melihat betapa tiga orang tawanan itu telah bebas dan kini memandang kepada pemuda yang berpakaian perajurit, yang tahu-tahu telah muncul di dalam guha itu. Hai-pa-cu Can Hoa segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda teman Kim Hong yang pernah dijumpainya di dalam rumah makan ketika dia dikalahkan oleh Kok Siang. Akari tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko memandang dengan heran. Diapun sudah mendengar dari Mo-ko tentang Pendekar Sadis dan berpesan agar berhati-hati karena Pendekar Sadis selain terlibat dalam urusan harta karun, juga tentu takkan tinggal diam karena kekasihnya, Toan Kim Hong, menjadi tawanan mereka. Dan kini, tahu-tahu pada saat-saat terakhir yang menegangkan, ada pemuda menyamar perajurit yang berada di dalam guha dan agaknya telah membebaskan para tawanan. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Pendekar Sadis? Betapapun juga, agak lega hati Tiat-ciang Lui Cai Ko karena pendekar itu ternyata sama sekali tidak mendatangkan kesan yang menyeramkan, bahkan membuat dia agak memandang rendah kepada seorang pemuda tampan seperti itu.   "Berikan kunci itu kepadaku, Pendekar Sadis!" bentak Pat-pi Mo-ko dengan suara penuh geram. "Atau, engkau akan mati di tanganku!"   "Ha-ha-ha, suaramu tinggi amat! Padahal, kalau aku menghendaki, sudah sejak lama namamu tinggal menjadi kenangan saja. Akan tetapi aku menanti sampai engkau membantuku menemukan tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Mau minta kunci? Marilah kita putuskan hal itu di luar, tempat yang lebih luas."   "Baik? Akupun sudah lama mendengar nama Pendekar Sadis dan ingin sekali melihat apakah kepandaianmu juga sehebat namamu!" Berkata demikian, Pat-pi Mo-ko lalu keluar, diikuti oleh Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, dan juga Phang-taijin yang memandang khawatir. Setelah tiba di luar, Phang-taijin segera memberi isyarat kepada sisa pasukannya untuk melindunginya. Enam belas orang perajurit yang sudah payah lahir batin, lahirnya sudah luka-luka dan lemah, batinnya sudah penuh dengan rasa ngeri dan takut, datang mengerumuninya dan entah siapa yang mengharapkan perlindungan siapa! Mereka berkumpul, seperti sekumpulan anak-anak yang ketakutan dan saling membutuhkan hiburan.   Thian Sin bersama tiga orang muda itupun melangkah keluar dari dalam gaha. Di luar, tiga orang tokoh sesat itu sudah berdiri dengan sikap galak dan siap. Dan seperti sikap jagoan-jagoan besar, mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang jagoan besar cukup mengandalkan keampuhan kaki tangannya, dan baru dalam keadaan terpaksa dan terdesak saja dia akan menggunakan senjatanya!   Ketika melangkah keluar, Kok Siang sudah berkata kepada Thian Sin, "Ceng-taihiap, Hai-pa-cu Can Hoa itu bagianku, serahkan saja kepadaku!"   "Dan Pat-pi Mo-ko itu bagianku!" kata pula Kim Hong.   "Tidak, Kim Hong. Biar aku yang menghadapi Mo-ko, engkau bereskan saja si mata juling Tiat-ciang Lui Cai Ko itu."   "Ah, si gendut itu tidak ada harganya untuk dilawan!" kata Kim Hong.   Thian Sin tersenyum. "Bagianmu sudah cukup, Kim Hong. Selama ini aku yang menganggur, maka biarlah kuhadapi Mo-ko itu. Tidak adil kalau dalam perkara ini, engkau saja yang banyak mengeluarkan keringat dan aku enak-enakan saja!" Kim Hung tersenyum dan mengangguk. "Baiklah. Akan tetapi mereka itu orang-orang jahat semua, patut untuk dibasmi habis." "Bagaimana dengan jaksa korup itu?" tanya Thian Sin. "Serahkan saja padaku!" kata Kok Siang yang tersenyum nakal. "Diapun perlu dihajar dengan cara lain." Maka ketika mereka bertiga tiba di luar, diikuti oleh In Bwee yang tentu saja hanya menonton karena ia tidak berani menentang pamannya atau gurunya, mereka sudah siap siaga dan menghampiri lawan masing-masing yang sudah dipilihnya. "Nah, Pat-pi Mo-ko. Kita tiga lawan tiga. Adil, bukan? Di tempat sunyi dan para perajurit itu agaknya sudah tidak mampu lagi untuk membantumu mengeroyok kami." kata Than Sin tersenyum. Tiba-tiba In Bwee yang merasa tidak kebagian pekerjaan itu berkata, "Kalau mereka berani bergerak, biarlah aku yang akan menghajar mereka!" Pat-pi Mo-ko yang biasanya amat pemberani dan tidak pernah mengenal takut itu, kini memandang ke kanan kiri dan mukanya yang hitam itu agak pucat. Penglihatan di situ memang mengerikan. Para perajurit yang terhimpit batu, ada yang tertimbun dan hanya nampak kakinya, ada yang masih merintih, ada yang berkelojotan dan darah di mana-mana! Semua itu merupakan tanda malapetaka hebat di pihaknya. Dan dia tahu bahwa Hai-pa-cu Can Hoa pernah kalah oleh Kok Siang dan kini terpaksa harus menghadapinya lagi. Sedangkan Tiat-ciang Lui Cai Ko juga tidak dapat terlalu diharapkan akan bisa mengatasi Toan Kim Hong. Dia sendiri tidak takut welawan Pendekar Sadis, akan tetapi setelah dia mendengar segala kehebatan Pendekar Sadis di masa lalu, diam-diam dia merasa gentar juga. "Pendekar Sadis, kalau kita saling gempur, tentu satu di antara kita akan tewas sedangkan yang lain besar kemungkinan akan menderita luka pula. Harta karun itu tentu banyak sekali dan tidak akan habis oleh satu pihak saja. Bagaimana kalau aku menawarkan kerja sama sekali lagi dan yang terakhir! Kita bersama temukan harta karun itu dan kita bagi rata!" Thian Sin tersenyum dan bertolak pinggang. "Pat-pi Mo-ko, kalau kami ini merupakan orang-orang hamba nafsu dan pengejar kekayaan macam kalian, mungkin usulmu itu akan kami pertimbangkan. Akan tetapi sayang untukmu, kami adalah orang-orang yang menentang kejahatan dan kalau kami bertanya kepada arwah kakek petani Ciang Gun dan isterinya, lalu arwah Louw siucai yang terbunuh tanpa dosa, akan nasib Ciang Kim Su yang malang, apakah engkau bisa mengharapkan kami sudi bekerja sama dengan kalian?" "Betul-betul engkau tidak mau bekerja sama dengan aku?" Sekali lagi Pat-pi Mo-ko membentak. "Sayang sekali..." Baru sampai di situ Thian Sin bicara, tiba-tiba lawannya sudah menubruk ke depan dan mengirim serangan dahsyat sekali. Agaknya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang sudah maklum akan kehebatan Thian Sin itu ingin merobohkan lawan secepatnya, maka begitu menyerang dia sudah mengerahkan sin-kangnya yang tadi mampu mengguncangkan guha dan membuat batu-batu terbongkar dan longsor. Tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanannya menghantam dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan. Dari kedua tangan itu keluar uap putih dan didahului oleh angin pukulan yang mengeluarkan suara bercuitan. Thian Sin tidak berani memandang rendah karena dia sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dengan tenang diapun menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menampar. Tamparannya kelihatannya sembarangan dan tidak keras, akan tetapi membuat kakek tinggi besar itu terkejut karena sebelum tamparan itu tiba, dia telah merasakan sambaran hawa pukulan panas yang luar biasa kuatnya. Kakek ini mengerahkan tenaga pada lengannya dan menangkis, sengaja hendak mengadu tenaga dengan pendekar yang masih muda itu. "Dukkk...!" Dua tenaga raksasa bertemu dan batu-batu yang bertebaran di sekeliling tempat itu seperti tergetar. Akibat benturan dua tenaga raksasa melalui dua lengan itu, tubuh Thian Sin masih kokoh dan tidak tergoyang sedikitpun juga, akan tetapi Pat-pi Mo-ko terpaksa melangkah ke belakang sampai tiga langkah dan tubuhnya agak menggigil kedinginan! Matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati. Tadi, sambaran hawa pukulan itu terasa panas, akan tetapi setelah beradu lengan, bagaimana ada hawa yang demikian dinginnya menyelinap ke dalam tubuh melalui lengan? Dan kekuatan itu! Bukan main dahsyatnya dan harus diakuinya bahwa tadi dia telah mengerahkan selurub tenaga. Akan tetapi, kalau Pendekar Sadis sama sekali tidak goyah, dia sendiri terdorong sampai tiga langkah. Dari sini saja dapat dia mengerti bahwa dalam hal kekuatan sin-kang, dia tidak mampu menandingi pendekar yang aneh dan hebat itu. Diapun lalu mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang dan begitu dia menggerakkan tubuh dan tangan, nampak dua gulungan sinar membungkus dan menyelimuti bayangan tubuhnya dan terdengar suara mengaung-ngaung seperti suara lebah-lebah mengamuk. Itulah ilmu pedang pasangan Pek-hong-siang-kiam (Ilmu Sepasang Pedang Seratus Lebah) yang menjadi ilmu andalan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Datuk ini dijuluki Pat-pi Mo-ko (Iblis Berlengan Delapan) karena dia memiliki kecepatan gerak tangan yang membuat lengannya seperti nampak menjai banyak akan tetapi menghadapi Pendekar Sadis, dia tidak berani hanya mengandalkan kedua lengannya dan kini mengandalkan sepasang pedangnya yang memang hebat itu.   Akan tetapi, sudah lama Thian Sin seperti telah melupakan senjata di luar kaki tangannya sendiri. Biarpun dia maklum bahwa lawan ini merupakan lawan yang berat, tidak kalah berat dibandingkan dengan para datuk yang pernah dilawannya, namun dia tidak merasa khawatir dan mengandalkan gin-kangnya untuk menghadapi amukan sepasang pedang itu. Tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang seperti kapas ringannya sehingga sebelum pedang menyambar, tubuhnya seperti telah terdorong oleh angin pedang dan dapat menghindar dengan cepatnya, kemudian kedua kaki tangannya tidak tinggal diam den membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan serangan dua pedang lawan.   Hai-pa-cu Can Hoa pernah dikalahkan oleh Kok Siang. Kini, menghadapi pemuda itu, dadanya penuh dengan nafsu membalas dendam atas kekalahannya. Dia tidak merasa gentar karena sekarang dia telah memegang sebatang golok gergaji yang kelihatannya mengerikan. Can Hoa maklum akan kelihaian lawan, maka biarpun tadi dia bertangan kosong, kini melihat Kok Siang telah menghadapinya, diapun tidak ragu-ragu lagi mencabut goloknya. Bukan saja golok besar ini yang membuat hatinya tabah, akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini telah mengalami siksaan dan dibelenggu selama beberapa hari, kurang tidur dan kurang makan. Hal ini tentu melemahkan pemuda sesterawan ini. Selain itu, pemuda ini telah kehilangan senjatanya yang diandalkan, yaitu siangkoan pit dari emas dan perak itu. Sentanya itu terjatuh ketika pemuda ini terjebak ke dalam air dan seperti juga senjata milik Kim Hong, siangkoan pit itu telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan kepada pemuda ini. Maka, dibandingkan dengan pertemuannya pertama kini pihaknya lebih banyak memperoleh keuntungan dan dia merasa yakin bahwa dia sekali ini akan menang dan akan dapat membalas kekalahannya tempo hari. "Kutu buku, bersiaplah untuk mampus! Darahmu akan diminum oleh golokku ini!" Berkata demikian, Hai-pa-cu Can Hoa sudah menerjang ke depan, memutar goloknya dan menyerang kalang kabut. Tiba-tiba nampak sinar emas dan perak berkelebat, bersilang dan menangkis golok itu dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. "Cringgg...!" Hai-pa-cu Can Hoa terkejut bukan main ketika merasa betapa goloknya tergetar hebat dan cepat dia mencabut golok itu dari jepitan sepasang siangkoan pit emas dan perak. "Ehhh...!" Teriaknya kaget dan heran melihat betapa pemuda itu sudah memegang sepasang senjatanya! Tentu deja dia tidak tahu bahwa senjata itu, juga sepasang pedang hitam milik Kim Hong, telah diambil oleh Thian Sin dari tempat penyimpanan senjata di gudang dekat tahanan, dan ketika pemuda itu membayangi rombongan, kedua macam senjata itu dibawanya dan tadi di dalam guha, dia telah mengembalikan senjata itu kepada pemiliknya masing-masing. Kok Siang tersenyum mengejek. "Hai-pa-cu Can Hoa, arwah pamanku Louw siucai telah menanti di sana untuk membuat perhitungan denganmu!" Hai-pa-cu Can Hoa mengeluarkan bentakan nyaring, dan diapun sudah menyerang lagi, goloknya menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi di balik keganasan sikapnya ini, tersembunyi rasa gentar yang hebat, membuat mukanya pucat dan matanya terbelalak. Di lain pihak, Kok Siang bergerak dengan cekatan dan tenang, merasa yakin bahwa dia akhirnya pasti akan mampu mengalahkan penjahat yang hanya besar gertak dan kekasarannya ini. Kim Hong tadinya menghadapi Tiat-ciang Lui Cai Ko dengan tenang, bertangan kosong dan dengan senyum mengejek. "Nah, gendut, sekarang kita berhadapan satu lawan satu! Keluarkanlah semua kepandaianmu!"   Tiat-ciang Lui Cai Ko masih hendak borlagak karena dia melawan seorang gadis cantik. Dia masih merasa malu kalau harus mengeluarkan senjata, maka diapun tertawa dan berkata. "Nona yang manis, kalau sekali ini aku dapat meringkusmu, engkau akar kutelanjangi dan kuperkosa di sini juga!" Dan sebelum kata-katanya habis, dia sudah menubruk ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah dada sedangkan tangan kanan menyusul kaki kanan yang menendang, mencengkeram ke arah pundak. Serangan yang amat hebat dan sekaligus telah menggunakan kedua tangan dan sebelah kaki. Akan tetapi, Kim Hong yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi itu, dengan mudahnya berloncatan mengelak dan ketika tubuhnya turun, kakinya mencuat dengan gerakan kilat yang sama sekali tidak dapat diikuti oleh pandang mata lawan.   "Wuuuuttt... plakk!" Dan sepatunya yang kecil dan terkena lumpur itu telah mengenai dagu lawan, membuat tubuh Tiat-ciang Lui Cai Ko terjengkang dan nyaris jatuh terbanting kalau saja dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya! Setelah bergulingan, dia meloncat bangun lagi. Wajahnya merah, matanya berapi-api dan mulutnya menyeringai, seperti orang tertawa! Dia merasa malu dan marah bukan main. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan lawan! Kini diapun tahu bahwa gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia mengerti bahwa Kim Hong ini adalah seorang yang memiliki gin-kang luar biasa hebatnya, membuat gerakannya cepat sekali, tak dapat diikuti dengan pandang mata, maka tentu merupakan lawan yang berbahaya sekali, walaupun agaknya tenaga wanita ini tidak begitu besar dan tendangannya tadipun tidak begitu kuat. Sungguh pendapat yang didasari kesombongan kosong belaka sehingga membuat dia tidak waspada. Dia tidak melihat bahwa kalau King Hong menghendaki, sekali tendangan tadi saja sudah akan mampu meremukkan tulang gerahamya! Gadis itu memang sengaja hendak mempemainkan, maka belum menurunkan tenaga dalamnya. "Wuuut! Wuuut!" Tiat-ciang Lui Cai Ko menggunakan kedua tangan meraba pinggangnya dan ternyata kini tangan kirinya memegang sebatang pisau yang panjangnya ada tiga puluh senti, ujungnya berkarat dan berwarna kehijauan, tanda bahwa pisau itu direndam dalam cairan beracun! Dan tangan kanannya memegang sebatang sabuk atau cambuk baja yang ujungnya memakai kaitan seperti mata kail! Sungguh senjata-senjata yang amat berbahaya dan hebat, pikir Kim Hong. Akan tetapi karena ia sudah dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawan, iapun tidak merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya dan hanya menanti dengan sikap tenang, dengan kedua kaki ditekuk di bagian lutut dan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri, akan tetapi biarpun nampaknya santai saja, sebenarnya seluruh urat syaraf di tubuhnya telah siap siaga dan tubuh itu telah dipenuhi dengan tenaga sin-kang yang tinggi dan kuat. "Hi-hik, itu senjatamu? Pisau penyembelih babi cocok dengan perutmu yang gendut, dan matamu menjadi juling itu tentu karena terlalu sering memutar cambuk itu. Hati-hati, jangan-jangan kaitan cambukmu akan mengenai matamu sendiri, dari juling menjadi buta!" Kim Hong mengejek tanpa memperdulikan serangan lawan yang sudah menyambar sebelum kata-katanya habis itu. Dengan hanya sedikit menggerakkan leher, mukanya ditarik ke belakang dan sambaran pisau pada lehernya itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Ketika pada detik berikutnya cambuk baja itu melecut dari atas, ke arah ubun-ubun kepalanya, Kim Hong menggeser kakinya, melangkah sambil memutar dan cambuk itu hanya menyambar lewat dan ujungnya yang dipasangi kaitan itu mengenai tanah yang tertutup batu karang. Terdengar suara keras dan debu mengepul, batu karang hancur pinggirnya kena hantem ujung cambuk. Tentu saja Tiat-ciang Lui Cai Ko menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang kalang kabut dan seperti biasanya orang yang dihimpit kemarahan, kewaspadaannya berkurang dan dia hanya menuruti nafsu amarah, menyerang tanpa menggunakan perhitungan lagi. Cambuknya meledak-ledak menyambar dari atas dan bawah, pisaunya juga berkilauan menyambar-nyambar. Namun, dengan amat mudahnya Kim Hong selalu dapat menghindarkan diri, belum juga balas menyerang karena dara ini ingin mempermainkan lawan sampai sepuasnya sebelum turun tangan. Sementara itu, melihat betapa tiga orang itu sudah berkelahi, Phang-taijin yang hampir kehabisan perajurit dan juga kehabisan nyali itu, diam-diam memerintahkan sisa pasukannya yang tinggal enam belas orang itu untuk mengawalnya naik ke tebing dan melarikan diri. Akan tetapi, baru saja dia maju beberapa langkah diiringkan oleh para perajurit, menuju ke jalan darurat menuju naik ke tebing, tiba-tiba tubuh In Bwee berkelebat dan gadis ini sudah mendahuluinya dan menghadangnya sambil bertolak pinggang. "Orang she Phang, engkau hendak lari ke mana? Siapapun tidak boleh pergi dari sini!" kata In Bwee dengan sikap keren. Melihat ini, Phang-taijin membelalakkan matanya. "Nona Bouw, apa engkau tidak tahu siapa aku maka berani melarangku pergi? Ingat, aku bisa menangkapmu dan menuduhmu melawan pejabat!" Phang-taijin menggertak dan bersikap galak. In Bwee tersenyum manis. Dara ini sekarang berbesar hati. Biarpun dibandingkan dengan tiga orang teman lain ilmu silatnya masih terlalu rendah, akan tetapi sebagai murid Pat-pi Mo-ko, pandangannya sudah cukup tajam untuk dapat menilai bahwa keadaan teman-temannya berada di atas angin. Ia teringat akan ucapan Kok Siang tadi yang menyanggupi untuk membereskan dan memberi hukuman yang keras untuk pembesar yang bersekongkol dengan penjahat ini, maka ketika melihat pembesar itu hendak melarikan diri, iapun segera menghadang dan mencegahnya untuk membantu kekasihnya.   "Orang she Phang, pada saat sekarang, engkau masih hendak mengandalkan kedudukanmu? Siapapun tahu bahwa engkau bukanlah pejabat lagi melainkan penjahat atau kaki tangan penjahat, dan urusan di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah." Karena yang menghadang hanya seorang gadis, Phang-taijin lalu menyuruh enam belas orang perajutit itu maju. "Hajar gadis lancang ini!" katanya. Enam belas orang perajurit itu sebenarnya sudah kehabisan semangat seperti bola kempis, dan menurut kehendak hati mereka, satu-satunya keinginan mereka, adalah melarikan diri dari tempat yang berobah menjadi seperti neraka ini. Akan tetapi mereka takut untuk membangkang perintah, apa lagi melihat bahwa gadis itu hendak menghalangi mereka melarikan diri. Maka mereka lalu menjadi nekat dan menyerbu. In Bwee menyambut mereka dengan gerakan kaki tangannya dan terdengar para perajurit itu mengaduh-aduh ketika tubuh mereka terbanting ke sana sini. Ketika Kok Siang melihat kekasihnya dikeroyok oleh para perajurit, dia menjadi marah dan khawatir. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan sepasang siangkoan-pit di tangannya bergerak cepat. Nampak sinar perak berkelebat di depan mulut Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi silau dan di lain saat, sebuah tendangan dengan keras mengenai pergelangan tangan kanannya, membuat goloknya terlempar dan sebelum Si Macam Tutul Laut itu sempat memperbaiki posisinya, sinar emas berkelebat dan menyambar tenggorokannya. "Aughhh...!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Hai-pa-cu Can Hoa roboh dan tewas tak lama kemudian karena pit emas di tangan Kok Siang telah menembus tenggorokan dan menotok jalan darah maut. Kok Siang tidak melihat lagi keadaan lawan yang sudah roboh itu dan cepat dia meloncat ke arah kekasihnya. Akan tetapi kekhawatirannya tadi sama sekali tak beralasan karena kini belasan orang itu sudah dirobohkan semua oleh In Bwee, bahkan belum terkena pukulan atau tendangannya sudah menjatuhkan diri dan pura-pura luka tidak dapat melawan lagi. Tinggal Phang-taijin yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil lemas, tanpa mampu mengeluarkan suara. Melihat betapa Kok Siang sudah merobohkan lawannya, Kim Hong merasa bahwa sudah terlampau lama ia mempemainkan lawan. Ketika cabuk atau cambuk baja itu menyambar lagi ke arah kepalanya, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking dan sinar hitam menyambar, menyambut cambuk itu dan tahu-tahu ujung cambuk itu sudah terbelit oleh ujung rambutnya. Pisau yang menyambar dari arah kanannya itu dielakkan, kemudian tangan kirinya dari bawah menghantam ke atas dan tepat mengenai dada lawan. "Ngukkk!" Tiba-tiba saja tubuh yang perutnya gendut sekali itu menjadi lemas, napasnya terengah, kedua tangan melepaskan senjeta dan mendekap ke arah atas perut gendutnya, matanya semakin juling melihat ke arah perut dan akhirnya diapun roboh terkulai. Pukulan satu kali dari jari tangan halus Kim Hong tadi telah menyalurkan kekuatan sin-kang dan merusak jantung lawan sehingga pukulan itu sudah cukup untuk merenggut nyawa Tiat-ciang Lui Cai Ko yang sebenarnya masih kalah jauh dibandingkan dengan Toan Kim Hong. Kini mereka bertiga menonton perkelahian antara Thian Sin dan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan memang pertandingan ini sajalah yang nampak paling seru dan seimbang. Memang pada waktu itu, Thian Sin sedang berada dalam puncak kelihaiannya. Biarpun dia bertangan kosong dan lawannya yang berilmu tinggi itu menggunakan sepasang pedangnya dengan amat hebatnya, namun Thian Sin sama sekali tidak pernah terdesak. Tubuhnya seperti menyelinap dan beterbangan di antara dua sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Amat mengerikan dipandang kalau diingat betapa sedikit saja tergores sinar itu, tubuh bisa koyak-koyak! Akan tetapi juga amat indahnya. Setelah lewat puluhan jurus dan sepasang pedang yang amat diandalkannya itu tidak mampu mendesak lawan, Pat-pi Mo-ko mulai merasa gentar dan juga takjub sekali. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan sehebat ini. Kini mengertilah dia mengapa datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru dunia beberapa tahun yang lalu kalah semua melawan Pendekar Sadis. Kiranya memang hebat bukan main ilmu kepandaian pemuda ini, hebat dan juga aneh, hampir semua gerakan pemuda ini tidak dikenalnya. Karena merasa kewalahan untuk dapat mendesak lawan, akhirnya Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri saja. Sepasang pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga andaikata ada hujan lebat dari atas sekalipun menimpa dirinya, tidak akan ada setetes air yang mampu mengenai tubuhnya. Demikian rapat sinar pedang bergulung-gulung menyelimutinya, seolah-olah telah berobah menjadi benteng baja yang menutupi tubuhnya dan yang melindunginya dari ancaman apapun dari luar. Melihat siasat lawan ini, Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, akan makan waktu terlalu lama menjatuhkan lawan tangguh ini. Dia lalu diam-diam mengerahkan tenaganya, lalu pada saat lawan mundur, dia merendahkan dirinya dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara melengking nyaring yang menggetarkan jantung lawan, disusul oleh tubuhnya yang tadi merendah itu kini tiba-tiba meluncur ke depan dengan kecepatan kilat dan dengan kekuatan dahsyat sekali. Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terkejut ketika merasa ada angin hebat melanda dirinya. Dia berusaha untuk menggerakkan sepasang pedangnya menyambut ke depan, ke arah bayangan lawan yang meluncur itu. "Bressss...!" Sukar diikuti dengan pandang mata terjadinya benturan itu akan tetapi tahu-tahu tubuh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng yang tinggi besar itu terpelanting dan terjengkang lalu terguling-guling, menabrak batu karang besar dan berhenti. tidak bergerak lagi. Sebatang pedang, pedangnya sendiri, menembus lehernya sampai ke tengkuk, pedang ke dua masih terkepal tangan kiri. Kiranya dalam benturan tadi, saking hebatnya daya serang Thian Sin, pedang kanan itu membalik dan menembus leher sendiri. Tewaslah Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng dan habislah sudah komplotan jahat yang berlindung di balik kedudukan Jaksa Phang di kota raja itu! *** Kota raja geger ketika pada suatu pagi, tubuh Jaksa Phang tergantung tinggi-tinggi di depan kantornya dengan kaki tangan terikat dan ikatan tangannya itu digantungkan di atas wuwungan bagian depan sehingga nampak dari jalan. Hal ini menarik banyak perhatian, apa lagi karena sehelai kain putih yang lebar tergantung dan tubuh jaksa Phang itu penuh dengan tulisan yang rapi dan indah. Ketika orang-orang menolongnya dan membaca tulisan itu, keadaan menjadi semakin geger den berita itu segera menjalar luas di kota raja. Isi tulisan itu membuka rahasia jaksa itu tentang perbuatan-perbuatannya yang korup dan jahat, tentang persekutuannya dengan penjahat-penjahat dan betapa kantor kejaksaan dijadikan tempat persembunyian penjahat besar Pat-pi Mo-ko! Berita ini sumpai ke dalam istana dan kaisar sendiri menjadi marah dan malu, lalu memerintahkan untuk menangkap jaksa Phang itu, dipecat dan dijatuhi hukuman berat. Mudah kita duga bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah Bu Kok Siang orangnya! Setelah Thian Sin muncul dan membebaskan dia, Kim Hong dan In Bwee, kemudian mereka dapat membasmi para datuk sesat bersama anak buahnya, Thian Sin lalu mengajak mereka bertiga, sambil membawa Phang-taijin sebagai tawanan, menuju ke guha di mana terdapat pintu tadi. Kok Siang menotok roboh jaksa itu dan melemparnya ke sudut, kemudian Thian Sin mengeluarkan kunci emas yang aseli dari sakunya dan ternyata kunci itu tepat sekali memasuki lubang kunci dari emas di tengah-tengah daun pintu baja. Thian Sin memasukkan kuncinya dan memutar-mutar, tiba-tiba terdengar suara keras dan semua orang sudah terkejut dan berhati-hati, takut kalau-kalau terjadi longsor batu-batu karang lagi seperti tadi. Akan tetapi ternyata ketika suara keras itu berhenti, lantai di sebelah kanan daun pintu itu amblong dan berlubang. Kiranya kunci itu hanya menggerakkan alat rahasia yang sudah dipasang di situ di mana terdapat batu besar yang digerakkan oleh alat baja bergeser dan menurun. Di balik batu besar itu terdapat lubang dan inilah tempat rahasia penyimpanan harta karun. Bukan di belakang daun pintu, karena belakang pintu itu tidak ada apa-apanya, hanya ada dinding tebing batu karang. Setelah rasa kagetnya hilang, Thin Sin lalu memeriksa lubang dan di sini mereka menemukan empat buah peti kuno berukir. "Ah, inilah harta karun itu!" Thian Sin berseru dan empat orang itu merasa gembira bukan main, seperti sekumpulan anak-anak yang menemukan sesuatu yang menarik. Mereka lalu mengeluarkan empat buah peti kuno itu dan ketika empat buah peti itu dibuka, ternyata berisi emas dan permata intan berlian ratna mutu manikam, logam mulia dan batu mulia berkilau-kilauan menyilaukan mata! Bagaikan anak-anak kecil yang melihat mainan bagus, mereka merakup benda-benda itu, dipermainkannya di antara jari-jari tangan dengan sepasang mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. "Bukan main! Kalau benda sebanyak ini sampai terjatuh ke tangan mereka, sungguh sayang!" akhirnya Kok Siang berkata. "Harta karun Jenghis Khan ini rahasianya ditemukan oleh keluarga Ciang, maka kita harus menyerahkan kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su." kata Kim Hong dengan suara tegas. Mendengar ini, tiba-tiba Kok Siang menjura kepada wanita itu. "Nona Toan, sungguh bijaksana sekali ucapan itu dan aku merasa takluk. Seorang seperti nona ini dan juga Ceng-taihiap, barulah pantas disebut pendekar!" "Sayang, orang yang berhak sudah tidak ada lagi!" kata Thian Sin. "Apa maksudmu, Thian Sin?" Kim Hong bertanya dan Kok Siang bersama In Bwee juga memandang heran. "Aku sudah melihat pemuda petani itu. Dia disiksa untuk dipaksa mengaku tentang peta aseli. Tentu saja dia sendiri tidak tahu dan penyiksaan itu membuat dia terluka parah dan ketika aku mangunjunginya di dalam sel tahanannya di kompleks kejaksaan itu, dia meninggal dunia tanpa dapat ditolong lagi." "Ahhh...!" In Bwee berseru dan merasa kasihan sekali. Karena menemukan harta karun Jenghis Khan, keluarga petani yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu semua telah tewas! Agaknya jalan pikiran In Bwee ini terasa juga oleh tiga orang pendekar itu. Kok Siang menggeleng-geleng kepalanya. "Jenghis Khan terkenal dengan kekerasan dan kekejamannya, dan harta karunnya inipun ternyata membawa kutuk bagi para penemunya. Untung sekali sekarang terjatuh ke tangan kalian, sepasang pendekar budiman. Mudah-mudahan saja harta karun itu akan dapat bermanfaat dan mendatangkan kebaikan bagi banyak orang melalui tangan kalian berdua." "Harta karun ini milik kita bersama sekarang, Bu-twako." kata Kim Hong. "Kita bersama yang telah mendapatkannya, oleh karena itu kita semua pula yang berhak memilikinya. Kita akan bagi rata..." "Tidak, aku tidak mau! Sejak kecil aku menjadi anak orang kaya, dan aku bahkan sering kali melihat betapa kekayaan tidak selalu mendatangkan kebahagiaan. Tidak, aku ingin hidup seadanya dan miskin... di samping Siang-koko..." Dan gadis itu lalu memegang lengan pemuda pujaannya itu sambil memandang mesra. Kok Sing tersenyum. "Baik Bwee-moi, ataupun aku tidak berhak sama sekali, juga tidak membutuhkan. Aku sendiri bukan orang miskin. Aku menerimanya dari paman Louw, dan paman Louw sama sekali tidak berhak. Pula, mendiang pamanku itu memalsu peta, bukan karena ingin menguasai yang aseli, melainkan karena curiga kepada Su Tong Hak dan ingin menolong dan menyerahkannya kelak kepada yang berhak, yaitu Ciang Kim Su. Maka, setelah sekarang jatuh ke tangan kalian yang memang berjasa dan hanya karena adanya kalian maka harta ini dapat ditemukan, maka kalian berdualah yang berhak memilikinya, Ceng-taihiap dan Nona Toan." Thian Sin menghela napas dan memandang kagum kepada Kok Siang dan In Bwee. "Ahh, sungguh jarang dapat ditemukan di dalam dunia ini orang-orang seperti kalian berdua. Biasanya, di mana terdapat harta, tentu terjadi perebutan. Untuk memiliki harta, manusia tidak segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman. Akan tetapi kalian malah menolaknya. Kami sendiri juga tidak membutuhkan harta. Akan tetapi karena harta karun ini telah terjatuh ke tangan kita, sudah seharusnya kalau kita pergunakan untuk kebaikan. Memerangi kejahatan bukan merupakan suatu hal yang mudah dan ringan, juga kadang-kadang membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, harta karun Jenghis Khan yang saya yakin tentu sudah bergelimang darah ini, yang sekarang saja telah membunuh puluhan orang di luar guha, akan dapat kita pakai untuk menebus dosa-dosanya, untuk manfaat banyak orang dan untuk biaya memerangi kejahatan. Engkaupun berhak memperoleh bagianmu, Bu-siucai." Akan tetapi Kok Siang menggeleng kepalanya sambil tersenyum lalu merangkul leher In Bwee yang memegang lengannya. "Tidak, taihiap. Dalam peristiwa perebutan harta karun Jenghis Khan ini, aku telah memperoleh bagianku sendiri, telah memperoleh harta karun yang tiada keduanya di dunia ini, yang jauh lebih berharga dari pada semua harta dalam empat peti itu, yalah Bwee-moi!" Thian Sin dan Kim Hong tersenyum saling pandang, sedangkan In Bwee menjadi merah mukanya dan tersenyum bangga dan bahagia. Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau memaksa lagi dan merekapun lalu meninggalkan tempat itu, membawa empat peti harta karun dan juga membawa Phang-taijin sebagai tawanan. Mereka mempergunakan kereta yang tertinggal di atas tebing dan pada malam itu juga, Kok Siang membereskan Phang-taijin, menulis surat pembeberan rahasia busuk pembesar itu dan menggantungkan pembesar korup dan suratnya ke wuwungan depan rumah gedung pembesar itu. Ketika Kok Siang melakukan hal ini, dia ditemani oleh In Bwee, Thian Sin dan Kim Hong. Akan tetapi Pendekar Sadis dan kekasihnya tidak mau mengganggu dan membiarkan sasterawan perkasa itu untuk memuaskan hatinya dengan melakukan hukuman itu sendiri. Setelah selesai melakukan tugas terakhir dalam urusan harta karun Jenghis Khan itu, mereka berkumpul di tempat sunyi di luar kota raja, di mana telah menanti sebuah kereta yang akan membawa Pendekar Sadis dan kekasihnya meninggalkan kota raja pada malam hari itu juga. Empat buah peti harta karun itu telah disusun rapi di dalam kereta, ditutupi dan tidak nampak dari luar. HK JK Episode 76 Dua pasang orang muda itu kini saling berhadapan di bawah sinar bulan purnama. Cuaca dan pemandangan indah sekali, mendatangkan rasa kegembiraan luar biasa walaupun ada sedikit rasa haru karena mereka hendak saling berpisahan. "Kami harap saja kalian akan dapat menjadi pasangan yang baik dan berbahagia." kata Kim Hong sambil memeluk In Bwee dan gadis hartawan ini mengusap air matanya karena selama beberapa hari menjadi kenalan Kim Hong ia merasa amat kagum dan sayang kepada pendekar wanita itu. "Mudah-mudahan saja kami akan dapat menjadi pasangan berbahagia seperti ji-wi." Kata In Bwee. "Bagaimana rencanamu selanjutnya dengan nona Bouw, Bu-siucai?" Thian Sin bertanya. "Kami akan minta persetujuan orang tua Bwee-moi dengan terang-terangan. Dan kami sudah bersepakat bahwa andaikata orang tuanya tidak menyetujui, kami berdua akan pergi begitu saja!" Kim Hong dan Thian Sin tertawa. "Aih, mudah-mudahan tidak. Kami kira, orang tua adik Bwee akan cukup bijaksana untuk dapat melihat bahwa mereka telah mempunyai seorang calon mantu yang hebat!" kata Kim Hong. "Dan bagaimana dengan ji-wi (kalian berdua)?" tanya Bu Kok Siang. "Kami akan pulang dan beristirahat." Jawab Thian Sin. "Di mana... ah, ji-wi sudah menjelaskan bahwa ji-wi takkan memberitahukan tempat tinggal ji-wi kepada siapapun juga. Biarlah, kami hanya berdoa semoga kelak kita masih akan dapat saling bertemu pula." kata Kok Siang. Setelah bersalaman dan saling memberi hormat, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong memasuki kereta dan Thian Sin melarikan kuda-kuda penarik kereta, diikuti oleh pandang mata Kok Siang dan In Bwee, sampai kereta itu lenyap ditelan kegelapan di sudut sana. Mereka merasa terharu dan kehilangan, akan tetapi ketika mereka teringat bahwa mereka bersama, lenyaplah rasa kehilangan itu dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke kamar mereka di rumah penginapan di mana mereka menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di kamar Kok Siang terdapat sebuah di antara empat peti harta karun itu, dengan isi yang masih penuh dan utuh! Dan di atas peti itu terdapat tulisan: SEMOGA KALIAN BERBAHAGIA. Kedua orang itu saling pandang dan akhirnya In Bwee menubruk calon suaminya sambil menangis, terharu akan kebaikan hati Pendekar Sadis dan kekasihnya. Sementara itu, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua sosok tubuh berada di dalam sebuah perahu layar, dan perahu itu dengan perlahan meninggalkan pantai menuju ke laut bebas. Sebuah perahu layar yang berukuran sedang saja, tidak ada anak perahunya kecuali mereka berdua. Diatas dek perahu terdapat tiga buah peti kuno berukir indah. Mereka itu adalah Thian Sin dan Kim Hong yang sedang berlayar menuju pulang, ke tempat tinggal mereka yaitu di Pulau Teratai Merah, membawa hasil petualangan mereka, yaitu tiga peti terisi harta karun Jenghis Khan! Mereka akan pulang dan beristirahat, tanpa mereka sadari bahwa mereka akan menghadapi pengalaman-pengalaman yang lebih menyeramkan lagi dalam kisah petualangan mereka "SILUMAN GUHA TENGKORAK"! Kita akan berjumpa kembali dengan sepasang pendekar ini dalam kisah yang menyeramkan itu, di mana selain ilmu silat, juga ilmu sihir dipergunakan! Sampai jumpa! TAMAT mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt