Serial Pedang Kayu Harum (8) Asmara Berdarah mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Kota Ceng-tao terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang besar di Propinsi Shan-tung. Setiap hari perahu-perahu dagang yang besar berlabuh di situ, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam keluar. Bukan hanya perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahu-perahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai. Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah la-utan di mana mereka bekerja, semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil penangkapan ikan mereka yang meme-nuhi perahu mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bu-kan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar dan memperoleh untung yang kadang-kadang lebih besar daripada para nelayan itu sendiri. Kadang-kadang nampak pula peman-dangan yang mengharukan, menyedihkan den mendatangkan rasa penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu ha-nya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang untuk memberikan perahu-perahu, jala-jala den alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentu-kan harga jika para nelayan kembali da-ri tengah laut. Harga ditekan sedemikian rupa dan para nelayan tidak berani me-lawan karena mereka telah terbenam da-lam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak ja-rang terjadi pemukulan-pemukulan di te-pi pantai itu oleh para tukang pukul ter-hadap nelayan yang berani membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada anggauta keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan. Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan te-lah turun sejak malam tadi. Karena hu-jan badai membuat air laut meliar, para nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi tanpa memperoleh hasil. Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan te-tapi masih juga turun rincik-rincik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga oleh orang berlalu-lalang me-makai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin. Nampak pula gerobak-gerobak yang membawa barang-ba-rang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya, berbondong-bondong me-nuju ke pasar yang berada di tengah ko-ta. Ada pula tukang-tukang pikul yang memikul barang-barang berat menuju ke pasar. Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan. Tubuh yang berkeri-ngat itu menjadi semakin basah. Air hu-jan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, nampak kuat dengan otot-otot menjendol. Namun mereka ti-dak terganggu oleh air hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah.   Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat diketahui siapa di antara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka. Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berke-dudukan biasanya mengangkat muka ting-gi-tinggi, merasa lebih daripada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang mera-sa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan meren-dahkan diri.   Akan tetapi pada pagi hari itu, ter-dapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara. Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak ber-sih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih gerimis dan matahari masih tertu-tup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air selokan yang menampung air hujan dan segala kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pa-gi yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.   Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik, walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu, pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang mulai pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan untuk berjaga di luar dan tertimpa air hujan. Pula, dalam keadaan aman seperti hart itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.   Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba, dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, merekapun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan makin didengarkan, makin tertariklah hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.   "Tok-tak-tok-tak hujan turun bertitik Top-tap-top-tap langkah kudaku cantik! Hiiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)   Biar hujan biar panas, manusia tetap mengeluh biar panas biar hujan, kuda takkan mengaduh! Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)   Manusia memang pintar, pandai berkeluh-kesah kudaku memang tolol, tak kenal hati susah! Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda) Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!"   Para penjaga dalam gardu kini meng-hentikan permainan kartu mereka dan be-berapa orang di antara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orangnya yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik i-tu.   Tak lama kemudian nampaklah orang-nya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik kalau lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Ti-dak mengherankan kalau dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya tadi. Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk, kadang-kadang berdongak kalau meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia nampak gembira dan lega karena tersi-ram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan te-rik matahari. Air hujan itu amat menye-nangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi. Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan kudanya sendiri. Ia seorang wanita muda, seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dan tidak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, dijahit seenaknya saja se-hingga kebesaran dan kedodoran, lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, bahkan ada bagian pundak yang robek. Mukanya kotor berdebu, muka yang amat lincah gembira penuh senyum dan matanya juga bersinar-sinar memba-yangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada. Lu-cunya, dara remaja yang aneh ini meme-gang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai pa-yung butut dan bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat yang se-lucu ini dan merekapun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka. Akan tetapi, setelah dara dan kuda-nya datang semakin dekat, nampaklah o-leh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang ugal-ugalan itu ma-sih dapat dilihat bentuk wajah yang ma-nis dan bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar, mulai menunjukkan le-kuk lekung tubuh yang amat indah bagai-kan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usia-nya kurang lebih lima belas tahun. Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penung-gang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itupun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, iapun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi semakin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua o-rang di antara mereka, yaitu kepala pen-jaga dan pembantunya, bangkit dan ke-luar dari gardu sambil berseru, "Heii, nona manis, tunggu dulu!"   Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, akan tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.   "Hemm, kalian tahu aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu i-tu, paling-paling hanya akan mencium-nya. Kalau ia mau, boleh kita bawa ke sini dan kita ajak main-main, kalau ia tidak maupun aku tidak akan memaksa." Dengan kata-kata demikian, para teman-nya hanya tertawa gembira. Bagaimana-pun juga, mereka adalah perajurit-pera-jurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan suka main-main untuk mem-perlihatkan kekuasaan dirinya.   Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala di bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar. Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok. Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang di tengah-tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, ke arah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai.   Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa ia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar iapun berkata, "Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!"   Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapatkan kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biarpun kulit mukanya kotor penuh debu, namun sesungguhnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu nampak mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata.   "Ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dulu!" kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya bergerak-gerak.   Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah banyak aku keluar pintu gerbang, dan pintu gerbang yang inipun sudah banyak dilewati orang setiap hari, akan tetapi tidak pernah ada orang lewat diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah belum pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!"   "Ha-ha-ha, engkau ini nona manis tapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentutpun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang saat ini, yang berkuasa di pintu gerbang ini telah mengharuskan engkau membayar pajak. Jadi, engkau tidak boleh membangkang, nona, karena pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap dan dijebloskan penjara!"   "Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?"   "Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?" Si gendut menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.   "Wah, ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!" Dara remaja itu berteriak dan sebetulnya sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu. Kalau nona itu seorang gadis biasa, tak mungkin sikapnya sebe-rani dan secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apalagi dari dusun, baru bertemu dengan penjaga dan dihar-dik sedikit saja sudah akan bersikap ke-takutan.   "Jangan banyak cerewet!" Si kurus si-pit membentak. "Taati perintah kepala jaga kami kalau engkau tidak ingin cela-ka!"   "Hemm, jadi pajak ini bukan peratur-an pemerintah melainkan peraturan ka-lian sendiri?"   "Benar, kami yang berkuasa di sini!" kata si gendut.   "Dan hasil pungutan pajak liar ini ka-lian nikmati sendiri, bukan untuk peme-rintah?"   "Tentu saja!"   "Wah, kalau begitu kalian adalah pe-rampok-perampok seragam yang menya-mar sebagai pejabat pemerintah!"   "Hush, tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penja-ra!"   "Huh, pantasnya orang-orang macam kalian ini yang ditangkap dan dipenjara-kan. Kalian merongrong kewibawaan pe-merintah dengan tingkah laku kalian, ka-lian mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan perut dan kantong sendiri, dan kalian ini-lah pengkhianat-pengkhianat dan musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!"   "Hei, perempuan gila, tutup mulut-mu!" Si tinggi kurus membentak, akan tetapi si gendut menyeringai.   "Gadis liar, makin menyenangkan ka-lau nanti dapat kutundukkan! Hayo, engkau harus mentaati peraturan dan mem-bayar pajak, nona manis."   "Berapa pajaknya?" Gadis itu berta-nya sambil bersungut-sungut.   "Ha-ha-ha, itulah anehnya. Pajak yang harus kaubayar adalah... dua kali ciuman pada kami!"   Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau tadi ia marah karena per-aturan pajak yang dianggapnya pemeras-an itu, kini kemarahannya lenyap dan ia merasa betapa permintaan pajak cium itu amat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan dan kelincahan dara itu. Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika ia berbantah tentang pajak dan pemerasan.   "Bagus, kiranya kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman! Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?"   Mendengar ucapan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu, karena tadinya si gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira. Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan kini malah menantang ciuman!   "Ha-ha-ha, coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!"   "Engkau mana dapat bertahan dua kali? Satu kalipun cukup. Dan engkau, sobat kurus, engkau minta ciuman kanan atau kiri?"   Si tinggi kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah menawarkan ciuman kepadanya. "Eh, aku... hemm, yang kiripun bolehlah!"   Kembali para penjaga tertawa riuh-rendah dan mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena mereka semua kini ingin minta ciuman dari gadis yang agaknya suka membagi-bagi ciuman itu. Dara itu turun dari atas punggung kudanya dan memandang kepada mereka dengan senyum-simpul, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Mata si gendut berminyak ketika dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya seperti batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda menghampirinya.   "Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!"   Mendengar ucapan ini, si gendut dengan lagak lucu menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap menerima ciuman sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.   "Plakk! Plakkk!"   Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting dan terbanting jatuh berguling-an. Mereka mengaduh-aduh sambil meme-gangi pipi masing-masing, dan ketika me-reka merangkak bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut bengkok dan biru sedangkan bibirnya mengalir darah karena empat buah gigi di ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pi-pi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah. Kiranya gadis tadi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya me-nyambar pipi kiri si kurus. Tendangan itu selain cepat, juga mengandung tenaga besar sekali, membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.   "Hei, kenapa engkau menendang orang?" Empat orang penjaga yang meli-hat adegan itu menjadi terkejut dan marah, lalu berlari mendatangi dan mengu-rung gadis itu sambil mencabut golok.   "Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?" Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.   "Itu bukan ciuman!" bentak seorang di antara para penjaga.   "Aku tadi tidak mengatakan cium de-ngan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aih, tak usah, ya? Aku su-dah memberi ciuman dengan ujung sepa-tu, masing-masing satu kali, kalau ku-rang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian cium-an?"   Pada saat itu, si gendut dan pemban-tunya sudah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri daripada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyeri dan lebih mendatangkan den-dam daripada kewaspadaan. Sesungguhnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, sudah cukup membuk-tikan bahwa dia berhadapan dengan seo-rang gadis yang berilmu tinggi. Akan te-tapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.   "Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh...!" Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menye-rang gadis itu dengan amat ganasnya. Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh. Si-nar golok mereka berkilauan tertimpa si-nar matahari yang mulai menimpakan ca-hayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik.   Akan tetapi, pandang mata enam o-rang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak ba-yangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada saat golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain. Ke-tika tiba-tiba si gendut melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil ter-senyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya. Karena didorong oleh kemarahan dan nafsu membunuh yang berkobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan da-lam gerakan silat. Pantangan ini adalah mempergunakan seluruh tenaga dalam se-rangan. Seharusnya, dalam setiap serang-an, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga un-tuk memperkuat kedudukan kaki dan un-tuk persiapan penjapan diri. Namun, si gendut melakukan serangan dengan me-ngerahkan seluruh tenaga. Maka, ketika gadis itu dengan amat lincahnya meng-elak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan diapun terdorong oleh tenaganya sendiri tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.   "Ngekk...!" Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu. Sambil tersenyum, nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah si gendut yang memandang terbelalak dan wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba golok itu dilepas oleh si no-na dan meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut. "Krekkkk...!" Si gendut mengeluh akan tetapi sukar mengeluarkan suara karena mulutnya dipenuhi gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan kini dia mendelik, menggunakan kedua tangan untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam dalam mulutnya. Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloneat ke atas punggung ku-danya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok akan tetapi tiba-tiba nona itu mengeluarkan pekik melengking dan kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh lima orang penjaga itu terpelanting se-mua dan terbanting roboh seperti terlan-da angin yang amat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu telah lari memasuki kota. "Kejar...!" teriak si mata sipit dan mereka berlima meninggalkan si gendut yang masih mengeluh dan meratapi giginya itu, melakukan pengejaran. Namun, nona dan kudanya telah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tidak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao. Berita akan munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan la-gu aneh pula dan setelah dengan mudah-nya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau ia bukan Dewi Laut? Di dalam kota itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun-temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dahulunya adalah nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan. Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya. Bahkan ada dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu "turun" ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya. Betapapun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah dan menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas.   Kalau sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersum-ber dari kuil itu sendiri. Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan dan rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Kalau sudah begitu maka berbon-donglah orang-orang datang bersembah-yang dan memberi sedekah! Dan hal ini perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil.   Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat. Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Setelah turun-temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka.   Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hat Cu Nikouw. Ia sengaja memakai julukan Hat Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja. Hat Cu Nikouw bukanlah nikouw biasa yang lemah. Tidak, ia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut. Hat Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suhengnya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih Lihai daripada sumoinya.   Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hat Cu Nikouw juga mendengarnya. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya ia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walaupun ia sendiri adalah pemuja Dewi Laut. Dan kini ia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw. Iapun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu diganggu sehingga mengamuk dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sian-li.   Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan menggemparkan. Apalagi ketika diterima kabar oleh penduduk dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa patung Dewi Laut semalam telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itupun tidak tahu kapan dan ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.   Apalagi penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri terkejut dan merasa heran ketika menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut telah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tidak mungkin ada pencuri berani melakukan hal itu. Akan tetapi... kenyataannya, patung itu lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ah, tak mungkin!   Nikouw tua itu segera menghubungi suhengnya dan merekapun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata kepada mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw dan pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.   "Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka, jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!" demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suhengnya. Ia adalah seorang wanita yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerut, sepasang matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin akan kemampuan dirinya. Tubuhnya kecil, agak tinggi dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru mulai hari itulah ia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa ia ditantang orang.   Suhengnya menarik napas panjang. "Tenanglah, sumoi. Kalau memang benar pencuri patung itu menantangmu, kenapa sampai sekarang dia tidak muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan ia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis muda kang-ouw seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka."   Hwesio itu berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung di lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Tongkat ini selain menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, juga merupakan senjatanya yang ampuh.   Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut ketika hwesio tua itu mengunjungi sumoinya, setelah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu dan dihubungi oleh sumoinya. Keadaan sunyi di kuil itu. Para nikouw sibuk berjaga karena patung itu lenyap malam kemarin, Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur. Maka merekapun malam ini tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran. Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih dari atas datangnya, disusul suara orang mendengus dan mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu telah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoinya sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan. Nampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat. "Iblis betina, engkau hendak lari ke mana?" bentak Hai Cu Nikouw sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suhengnya. Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa gin-kang dari bayangan di depan itu amat hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun kalau dikejar ke bawah, tahu-tahu sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain. Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya den kedua orang pendeta itu terkejut dan merasa heran sekali setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Dan tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali dan kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu.   "Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian benar-benar hendak menentang den melawan Dewi Laut?"   Mendengar bentakan suara yang mengandung wibawa itu, Hai Cu Nikouw den suhengnya terkejut dan menjadi bimbang. Benarkah bayangan ini adalah bayangan Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, akan tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.   "Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakan menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?"   Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimanapun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan. Melihat sumoinya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru, "Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sian-li."   Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus dan mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena bulan sepo-tong selain kurang terang sinarnya, juga berada di belakang kepalanya sehingga wajah bayangan itu tertutup kegelapan.   "Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarlah baik-baik. Para penghuni kota Ceng-tao mulai kurang ke-percayaannya kepadaku, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan kepada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan masih panas-panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka dan yang tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas me-nara. Awas, kalau permintaanku tidak di-taati, bukan hanya kuil ini kubakar, akan tetapi juga akan kudatangkan badai be-sar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!"   Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka dan hati mereka memang merasa gentar juga, walaupun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Ketika suara itu lenyap, mereka mengangkat muka memandang dan ter-nyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara! Mereka berdua memandang ke kanan kiri dan tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin dan kedua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui.   Mereka berdua lalu meloncat turun dan ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan seorang di antara mereka berkata, "Subo... patung... patung itu..."   "Ada apa? Bicara yang benar!" bentak Hai Cu Nikouw.   "Patung itu sudah kembali...!"   Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, ke ruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya!   Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, lalu berunding di dalam ruangan. "Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?"   Suhengnya menghela napas panjang dan menggeleng kepala. "Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua sudah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi, permintaan tadi sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat dan diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi."   "Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..."   Suhengnya mengangguk-angguk. "Engkau tentu tahu betapa banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali dan tidak sepatutnya kalau kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan."   "Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?"   "Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini." Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itupun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau ko-tanya diganggu penjahat. Maka diapun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menya-mar sebagai Dewi Laut itu. Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu sa-ja bukan pemuda biasa, melainkan dua o-rang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga ga-gah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi. Kamar di menara itu adalah sebuah kamar atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih samadhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja. Suheng dan sumoi itu ber-sama kepala daerah dan para perwira la-lu memasang perangkap dan mengatur baris pendam. Pasukan pilihan bersembu-nyi di kanan kiri anak tangga, dan seki-tar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersem-bunyi di atas genteng menara, siap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang membawa barang yang dipesan penjahat yang menya-mar Dewi Laut, diam-diam juga mem-perlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar. Malam itu, bulan lebih terang daripada malam kemarin. Langit cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang ber-sembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang. Biarpun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai, bahkan di dalam menara telah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang amat lihai. Di samping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri ia memikirkan kemungkinan ini, biarpun suhengnya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut.   Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana amat sunyi dan semakin menyeramkan. Suara burung melam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang berilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah kaget.   Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke menara melalui anak tangga. Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, berpakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga. Seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah den di baki itu terdepat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas. Mereka telah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia den pedang pendek yang mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru den bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa di situ banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang den agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yong mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.   Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang terbuka dengan mudah karena memang tidak terkunci. Ruangan itu kosong. Se-buah ruangan bersih berbau harum dupa den bunga, dan lantainya ditilami perma-dani den kasur tipis. Mereka berdua sa-ling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di situ. Dengan hati-hati mereka membuka sepa-tu dan memasuki ruangan itu, meletak-kan baki masakan den emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di su-dut ruangan itu hampir padam, seorang di antara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut den kamar itu men-jadi terang.   Agaknya sinar terang kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang. Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio den Hai Cu Nikouw yang berjaga di atas genteng, hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada.   Akan tetapi, ternyata bayangan yang berkelebat cepat tadi bukan burung, me-lainkan bayangan sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya den bersembu-nyi di balik wuwungan menara. Sinar li-lin besar yang menyorot keluar dari gen-teng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang mempunyai lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil den mulut yang bibirnya lebar dan amat me-rah. Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya ataupun berapa usianya.   Agaknya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang kini mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya be-yangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga. Akan tetapi baru saja ia menaruh kakinya pada anak tang-ga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga bermunculan den menyerbunya dengan senjata mereka. Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak terkejut sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit dan seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dan sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap o-leh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya.   Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian dan nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian, dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga di situ semua telah roboh berkelojotan, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk ke situ tanpa mereka ketahui?   "Iblis jahat, terimalah hukumanmu!" bentak Hai Cu Nikouw sambil menerjang ke depan, menggunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu. Dua sinar putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silang adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan main serangan nenek pendeta ini.   "Cringgg...!" Sepasang pedang itu saling serempet sendiri akan tetapi leher yang menjadi sasaran sudah tidak ada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.   "Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!"   Thian Kong Hwesio sudah menerjang pula, menggunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itupun dapat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.   "Wuuuttt...!" Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi, dua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangan dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping dan terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.   "Singgg...!" Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya dan nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya. Begitu ia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wa-nita iblis itu. Kembali mereka menerjang dan sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang ge-rakannya amgt ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan su-moi itu terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya aneh dan ganas itu. Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu segera merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira de-ngan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis.     Wanita berkedok itu kini terdesak dan iapun memaki-maki dengan kata-kata ko-tor. Hal ini makin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoinya bahwa tidak mungkin kalau wanita berkedok ini pen-jelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Merekapun menyerang dan mendesak dengan sengit. Karena kini dikeroyok ba-nyak orang, wanita berkedok yang mulai terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga dan menuju ke ruangan tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas di mana ia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa. Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa. Kalau bukan dikeroyok sampai delapan orang, rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan karena mereka yang membantu dua orang pendeta itu adalah para perwira, belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Ia sudah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia. Den baiknya para perajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya setelah empat orang yang ikut-ikutan maju roboh den tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira.   Kini wanita berkedok itu mulai merasa repot dan mencari-cari jalan keluar yang sudah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi ia kerepotan, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.   "Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"   Terjadi kekacauan di dekat pintu dan enam orang anggauta pasukan roboh mandi darah disusul munculnya seorang kakek yang usianya sudah ada hampir enam puluh tahun. Kakek ini bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dan sederhana, sepatunya butut dan mukanya membayangkan kekasaran. Metanya lebar bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak kelihatan tertutup kumis dan jenggot. Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, akan tetapi ketika dia membobolkan kepungan pasukan dari belakang, dia merobohkan enam orang perajurit itu dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang seperti tangan baja itu. Sekali cengkeram, pecahlah kepala orang-orang itu dan merekapun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan!   Biarpun kakek itu datang sambil me-maki si wanita iblis, namun melihat be-tapa dia membunuh enam orang peraju-rit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek inipun bukan orang baik-baik dan bukan kawan. Maka merekapun menyambutnya dengan serangan sen-jata mereka. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu mengge-rakkan cambuknya dan robohlah seorang di antara enam orang perwira itu. Dahi-nya, antara kedua mata, berlubang me-ngeluarkan darah dan diapun tewas seke-tika. Kiranya di ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda dari baja seperti paku dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu.   Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian terjadi semakin sengit di mana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira yang kini tinggal lima orang yang mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja dan mereka segera terdesak he-bat.   "Kakek hina-dina, aku tidak butuh bantuanmu!" berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.   "Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan me-reka ini!" kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula.   Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya lima orang perwira itupun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouwpun terdesak, bahkan telah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis! Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka roboh semua, berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio dan sumoinya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itupun lari cerai-berai!   Kini tinggal nenek iblis itu dan si kakek lihai yang berdiri saling berhadapan dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.   "Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Nenek iblis itu membentak.   Kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam dengan tangan kiri, mengusap peluhnya. "Hwa-hwa Kui-bo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih congkak begini terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"   "Tua bangka hina, mampuslah!" Nenek berkedok itupun cepat menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.   "Cring, tranggg...!" Cambuk itu bergerak dan gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya dan keduanya melangkah mundur tiga kali.   "Kui-bo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tidak boleh terlalu menghamburkan tenaga, dan dua orang pemuda sekaligus akan menghabiskan tenagamu, padahal kita memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apa kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?"   Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendengus. "Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!" Akan tetapi sambil berkata demikian, ia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.   "Ha-ha-ha, akupun sudah ikut bersu-sah payah tadi, sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagiannya pula." Dan diapun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga.   Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat betapa lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tidak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apa-lagi mereka! Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya. Biarpun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang sejak kecil digembleng ke-gagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti datangnya kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan ka-nan dan senjata rahasia piauw (pisau ter-bang) di tangan kiri.   Begitu Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pin-tu, dua orang muda itu menyerang de-ngan sambitan piauw mereka! Akan te-tapi, sedikitpun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kaget. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya telah mampu menyampok run-tuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah dan menancap ke atas lantai kamar menara yang berbuat dari papan tebal. Kini dua orang muda itu menye-rang dengan pedang mereka secara ne-kat.   "Ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita me-nyambut dengan hangat!" Koai-pian Hek-mo tertawa dan diapun menyambut pe-dang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu me-notok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar dalam rang-kulannya. Pemuda kedua menyerang Hwa-hwa Kui-bo juga mengalami nasib yang sama. Pedangnya terpukul jatuh dan dia-pun ditotok lalu dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo sudah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kui-bo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.   "Ha-ha-ha, Kui-bo, engkau masih jengah dan malu-malu lagi? Ha-ha-ha!" kakek iblis itu mentertawakan temannya yang tidak menjawab. Kamar itu menjadi gelap dan dari luar tidak terdengar apa-apa lagi.   Sementara itu, kepala daerah yang mendengar laporan tentang gagalnya pasukan keamanan menghadapi penjahat yang mengacau di kuil Dewi Laut, menjadi terkejut sekali den marah. Dia memerintahkan semua perwira yang ada untuk mengirim pasukan baru den membantu kawan-kawan mereka. Thian Kong Hwesio den Hat Cu Nikouw, setelah mengobati luka-luka mereka, juga membantu para perwira melakukan pengepungan terhadap kuil dan terutama menara itu. Mereka semua melihat betapa menara itu gelap, lilin di dalamnya telah dipadamkan orang dan tidak terdengar suara apapun dari luar.   Ketika para perwira membuat gerakan untuk memerintahkan anak buahnya menyerbu menara, Thian Kong Hwesio cepat mengangkat tangan dan menggeleng kepala. "Jangan sembarangan bergerak! Mereka berada di tempat gelap dalam kamar den mereka itu lihai sekali. Menyerbu mereka yang berada dalam gelap sama dengan mengantar nyawa saja. Biar kita kepung saja den menanti sampai mereka keluar, baru kita serbu den keroyok."   Karena sudah melihat bekas tangan dua orang iblis yang amat lihai itu, para perwira mentaati nasihat Thian Kong Hwesio dan merekapun kini hanya mengepung menara dengan penjagaan yang ketat sekali. Pasukan anak panah dipasang di sayap kiri, sayap kanan adalah pasukan tombak, dari depan berjaga pasukan sepasang golok, dan dari belakang dijaga oleh pasukan pedang. Semua telah diatur rapi dan agaknya kalau dua orang penja-hat itu hendak keluar, mereka akan menghadapi pengepungan rapat yang akan amat sukar mereka lalui.   Thian Kong Hwesio sendiri berulang kali menarik napas panjang. Dia mengkhawatirkan keselamatan dua orang muridnya, akan tetapi dia sendiri tidak berdaya menolong mereka. Pihak musuh terlalu lihai dan diam-diam diapun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat siapa gerangan dua orang iblis yang mengacau Ceng-tao dan kini dengan berani menguasai menara kuil Dewi Laut, agaknya enak-enakan saja di dalam tanpa memperdulikan kepungan pasukan penjaga keamanan.   Di dunia kang-ouw, nama Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) telah amat terkenal. Tiga belas orang manusia golongan hitam atau kaum sesat ini merajalela di seluruh penjuru, merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia hitam. Akan tetapi karena mereka ini biasanya tidak turun tangan sendiri dan hanya mengandalkan murid-murid atau anak buah mereka untuk mencari nafkah secara haram, hanya nama mereka saja yang dikenal. Akan teta-pi jarang ada orang pernah berjumpa de-ngan mereka. Maka, tidak mengherankan kalau Thian Kong Hwesio yang sudah luas pengetahuan dan pengalamannya di dunia kang-ouw itupun tidak mengenal dua orang iblis ini. Koai-pian Hek-mo (Iblis Hitam Cambuk Aneh) dan Hwa-hwa Kui-bo (Biang Iblis Boneka) adalah dua orang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan). Kakek itu disebut Hek-mo karena memang mukanya kasar dan hitam sedangkan nenek itu dijuluki Hwa-hwa yang dapat diartikan boneka atau juga dapat diartikan Wanita Cabul karena memang ia merupakan seorang wanita yang suka mempermainkan pemuda-pemuda tampan yang terutama masih perjaka secara pak-sa! Koai-pian Hek-mo mempunyai watak yang aneh pula, suatu kelainan batin yang membuat diapun suka memperkosa pemuda-pemuda dan dia tidak suka mendekati wanita! Karena sama-sama suka mempermainkan pemuda tampan inilah maka terjadi semacam persaingan antara Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Pernah beberapa kali mereka memperebutkan seorang pemuda tampan dan mereka sempat pula berkelahi mati-matian, akan tetapi tingkat kepandaian mereka seimbang sehingga belum pernah di antara mereka ada yang kalah atau menang. Dan karena mereka merupakan tokoh hitam dari daerah yang sama, yaitu daerah Muara Sungai Kuning, maka mereka saling berjumpa dan bersaingan. Hanya karena mereka itu merasa masih "bersaudara" dalam kesatuan Cap-sha-kui sajalah maka sampai sedemikian jauhnya mereka belum saling bunuh.   Dengan gelisah, marah dan tegang, Thian Kong Hwesio, Hai Cu Nikouw dan para perwira menjaga terus mengepung menara. Mereka merasa penasaran karena sampai lewat tengah malam, dua iblis itu belum juga keluar dari dalam menara. Menjelang pagi, Thian Kong Hwesio dan sumoinya dengan kaget melihat berkelebatnya sesosok bayangan ke arah menara. Mereka cepat memberi isyarat dan semua anggauta pasukan siap. Dua orang pendeta itu terheran-heran. Mereka melakukan penjagaen dan mengharapkan dua orung jahat itu keluar dari manara, mengapa kini ada bayangan berkelebat den agaknym malah menuju ke menara! Dan bagaimanakah bayangan ini dapat melalui semua penjagaan yang demikian ketatnya? Mereka berdua saling pandang dan bingung, juga merasa ngeri karena melihat munculnya demikian banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.   Tiba-tiba para penjaga itu mendengar suara hiruk-pikuk dan bentakan-bentakan yang keluar dari dalam menara, bahkan kini ada sinar lilin bernyala di dalam kamar. Dari luar, nampak di balik tirai jendela bayangan orang-orang berkelahi dengan gerakan yang amat cepatnya!   Apakah yang sesungguhnya telah terjadi dalam kamar itu? Apakah kedua o-rang anggauta Cap-sha-kui itu kambuh kembali penyakit mereka dan saling ber-hantam sendiri? Sama sekali tidak de-mikian. Keadaan di dalam kamar tadi masih gelap dan sunyi, seolah-olah orang-orang yang berada di dalamnya sudah tidur nyenyak. Akan tetapi, tiba-tiba ter-dengar suara perlahan dan daun pintu terbuka dari luar, sesosok bayangan me-nyelinap masuk lalu terdengar suara seorang wanita menegur dengan suara mengejek.   "Huhh, tua bangka-tua bangka yang tidak tahu malu! Perbuatan hina kalian sungguh terkutuk dan akan menyeret ka-lian ke neraka jahanam!"   Yang pertama-tama bergerak adalah cambuk panjang Koai-pian Hek-mo. Ter-dengar suara meledak ketika cambuk panjang itu melecut dan menyambar ke arah datangnya suara wanita yang mene-gur mereka tadi. Akan tetapi, sebelum mengenai sasarannya, ujung cambuk itu membalik kepadanya dan tentu saja Koai-pian Hek-mo menjadi kaget sekali. "Siapa kau...?" bentaknya. Jawabannya hanya suara ketawa merdu seorang wanita.   Di dalam kegelapan, Hwa-hwa Kui-bo agaknya dapat menangkap gerakan sera-ngan cambuk tadi dan dapat menduga bahwa serangan kawannya itu gagal. Ma-ka iapun menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum beracun kini menyambar ke arah suara ketawa wanita itu. Akan te-tapi, terdengar suara berkerintingan dan jarum-jarum itu runtuh semua ke atas lantai, tanda bahwa yang diserangnya te-lah dapat menangkis semua jarum itu di dalam gelap! Melihat kenyataan ini, Hwa-hwa Kui-bo cepat menyalakan api dan tak lama kemudian lilin besar di sudut itupun sudah bernyala dan sinar terang memenuhi kamar itu, mengusir kegelap-an. Dua orang tokoh iblis itu sudah me-loncat berdiri dan memandang dengan heran ketika mereka melihat bahwa yang berani mengganggu dan mengejek mereka hanyalah seorang gadis remaja yang pa-kaiannya aneh dengan potongan tidak ka-ruan! Seorang gadis remaja yang usianya antara lima belas atau enam belas tahun dengan rambut dikuncir menjadi dua, se-pasang matanya lincah bersinar, mulutnya mengulum senyum mengejek. Tentu saja mereka berdua tidak memandang sebelah mata kepada anak perempuan ini. Mereka berdua hanya suka kepada pemuda-pemu-da remaja tampan, dan tidak suka, bah-kan membenci wanita-wanita muda yang cantik. Maka kini merekapun memandang dengan sinar mata penuh kemarahan ke-pada gadis itu. Melihat bahwa yang datang hanya se-orang dara remaja yang sempat membuat mereka terkejut, kedua orang tokoh be-sar itu merasa malu dan terhina. Perasa-an ini tumbuh menjadi kemarahan dan kebencian, maka tanpa banyak cakap la-gi Hwa-hwa Kui-bo sudah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah perut dara itu sedangkan tangan kirinya membentuk cakar dan langsung mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan! Sungguh merupakan serangan gabungan yang amat hebat bagi seorang dara remaja seperti itu. Biarpun hanya tangan kosong, harus diakui bahwa cengkeraman itu bahkan le-bih mengerikan dan lebih berbahaya dari-pada tusukan pedang. Akan tetapi, nenek yang sudah mera-sa yakin bahwa satu di antara kedua ta-ngannya yang melakukan serangan itu pasti akan memperoleh hasil, berteriak kaget ketika melihat betapa dara itu de-ngan lincah dan ringannya telah memi-ringkan tubuh mengelak dari tusukan pe-dang, sedangkan tangan kiri yang men-cengkeram itu disambutnya dengan tam-paran tangan terbuka.   "Plakkk!!" Dan tubuh nenek berkedok itu terhuyung ke belakang, tubuhnya te-rasa panas dan kaku seperti kemasukan hawa yang amat kuat dan aneh!   "Ihhh...!" Nenek itu berseru dan ber-gidik karena baru sekarang ia merasakan akibat yang demikian anehnya ketika ta-ngannya bertemu dengan tangan lawan, apalagi lawannya hanya seorang bocah!   Maklum bahwa bagaimanapun juga, dara remaja itu ternyata memiliki ke-pandaian hebat, Koai-pian Hek-mo meng-gerakkan cambuknya yang meledak den menyambar secara bertubi-tubi, sekali bergerak telah mematuk ke arah tiga ja-lan darah di bagian depan tubuh dara itu yang kesemuanya merupakan patukan me-matikan.   "Ting-ting-cringggg...!" Tiga kali ujung cambuk yang ada pakunya itu terpental dan yang ketiga kalinya bahkan terpen-tal keras dan menyambar ke arah muka pemegang cambuk itu sendiri! Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut dan cepat menarik kembali cambuknya agar paku di ujung cambuk tidak mematuk hidungnya sendiri. Kini, dua orang tokoh besar dunia hitam itu terbuka matanya. Dengan hati-hati merekapun menyerang dari ka-nan kiri. Namun, dara itu melayani me-reka dengan tangan kosong saja! Begitu ringan gerakan tubuhnya, bagaikan sehe-lai bulu saja yang sukar sekali diserang, seolah-olah diterbangkan oleh gerakan senjata-senjata mereka sehingga sebelum senjata mengenai sasaran, tubuh itu su-dah mendahului pergi.   Dua orang tokoh jahat itu memancing-mancing untuk mengenal gerakan si dara. Akan tetapi, gerakan dara itu aneh bu-kan main. Mirip-mirip dasar gerakan il-mu silat dari Siauw-lim-pai, ada pula un-sur gerakan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan bahkan semua ilmu silat dari perguruan-perguruan besar dicampur aduk menjadi satu! Yang amat hebat, selain kecepatan gerak, juga tenaga yang terkandung da-lam kedua tangan yang kecil halus itu. Dara itu jelas jauh lebih lihai daripada dua orang lawannya, akan tetapi, agak-nya ia memang berwatak bengal, jenaka dan suka main-main. Ia sengaja memper-mainkan dua orang yang ia tahu menyelidiki gerakan-gerakannya itu, ia sengaja membuat gerakan kacau-balau, bahkan kalau balas menyerang ia meng-gunakan cara memukul anak-anak yang tidak pernah bejejar silat sehingga kelihatan lemah, namun diam-diam ia me-ngerahkan sin-kangnya sehingga serangan balasannya itu luar biasa anehnya. Dika-takan kuat, cara memukulnya sembarang-an saja, akan tetapi dinamakan lemah, pukulan itu mengandung tenaga yang a-mat ampuh. Jadi berat-berat ringan, juga ringan-ringan berat, cukup membingungkan kedua orang lawannya. Bukan hanya bingung dalam hal menerka ilmu silat la-wan itu, akan tetapi juga bingung bagaimana harus menghindarkan diri dari se-rangan-serangan balasan itu.   Bagaimanapun juga, dara remaja itu hanya bertangan kosong dan yang menge-royoknya adalah dua orang tokoh yang amat lihai, dua orang di antara Cap-sha-kui yang mempergunakan senjata ampuh andalan mereka masing-masing, maka akhirnya dara itupun merasa bahwa permainannya sekali ini amat berbahaya. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara pekik melengking aneh dan pendek dan tahu-ta-hu dengan jari telunjuknya ia menyentil ujung cambuk yang menyambar ke arah lehernya. Ujung cambuk itu terpental ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan serangan pedang nenek itu dihindarkannya dengan mengelak ke belakang. Tentu saja nenek yang disambar ujung cambuk mukanya menjadi terkejut.   "Gila kau...!" bentaknya kepada kawannya karena ia mengira bahwa kawannya itu salah sasaran. Sebaliknya, kakek itupun kaget dan cepat menarik cambuknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh dara itu untuk balas menyerang. Tangannya meluncur ke arah ubun-ubun kepala Hwa-hwa Kui-bo, sedangkan kakinya menendang atau menyepak ke arah perut Koai-pian Hek-mo yang berada di belakangnya.   Serangan itu amat cepat gerakannya dan ketika kedua orang iblis itu melon-cat untuk menghindar, tiba-tiba tubuh dara itu berjungkir balik, kepala di ba-wah kaki di atas. Tangan kirinya menunjang badan dan kini tiba-tiba saja ia me-lanjutkan serangannya dengan membalik, yaitu kakinya menyerang ubun-ubun ke-pala Koai-pian Hek-mo sedangkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Hwa-hwa Kui-bo! Dan hebatnya, di dalam serangan-serangannya itu terkandung hawa pukulan yang jauh lebih kuat daripada tadi, sehingga biarpun dua orang iblis itu berusaha menangkis den mengelak, te-tap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung-huyung den hampir roboh! Melihat kehebatan ini, mereka menjadi pu-cat den tanpa diberi komando, keduanya lalu meloncat keluar dari menara itu, menggunakan gin-kang mereka yang be-bat, sekali melayang mereka sudah le-nyap ditelan kegelapan malam larut itu.   Dara itu tidak mengejar, melainkan menengok den memandang ke arah dua orang pemuda yang berada di sudut kanan dan kiri. sekilas pandang saja ia lalu membuang muka dengan kulit muka berobah merah dan juga alis berkerut. Dua orang pemuda itu ternyata telah tewas dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya, keduanya mungkin menolak atau me-lawan sehingga setelah dipaksa mereka lalu dibunuh secara kejam oleh dua o-rang manusia iblis tadi. Karena dua o-rang lawannya telah melarikan diri, dara itupun lalu meloncat keluar dari pintu kamar menara.   "Iblis betina hendak lari ke mane engkau?" Terdengar bentakan-bentakan den serombongan anak panah menyambutnya dari samping!   "Eh, gila...!" Dara itu berseru, akan tetapi karena puluhan batang anak panah yang menyambar ke arahnya itu tidak mungkin dapat diusirnya hanya dengan seruan, terpaksa ia melempar diri ke belakang den bergulingan. Ia lupa bahwa ia bukan sedang berada di atas tanah, melainkan di wuwungan rumah dekat menara, maka tentu saja lantai genteng tidak rata itu membuat ia terguling-guling kacau dan genteng-genteng banyak yang patah dan pecah. Setelah ia moloncat bangun, ia sudah dikepung dan dikeroyok oleh barisan tombak!   "Eh, eh, bagaimana ini?" teriaknya akan tetapi iapun harus cepat mengelak ke sana-sini karena para perajurit itu ti-dak mau banyak cakap lagi. Semua orang mengira bahwa tentu gadis ini iblis beti-na yang telah menyamar sebagai Dewi Laut. Apalagi ketika beberapa orang di antara mereka mengenal gadis ini seperti yang digambarkan sebagai gadis aneh menunggang kuda yang mengacau di pin-tu gerbang kemarin dulu, mereka merasa yakin bahwa gadis inilah iblis betina itu.   Repot jugalah gadis itu dikeroyok o-rang sedemikian banyaknya. Apalagi ka-rena ia tidak ingin melukai mereka, apa-lagi membunuhnya. Dengan gerakan lin-cah sekali ia mengelak ke sana-sini, membagi-bagi tendangan hanya untuk merobohkan beberapa orang tanpa mendatangkan luka berat. Kalau kemarin dulu ia me-matahkan semua gigi di mulut kepala ja-ga yang gendut, hal itu adalah karena si gendut bersikap kurang ajar kepadanya. Kini ia tidak tega untuk mencelakai o-rang-orang yang mengeroyoknya, maklum bahwa mereka itu salah duga den mengi-ra ialah penjahatnya yang mengacau di kuil itu.   Ketika para penjaga yang bersembu-nyi di bagian lain bermunculan, gadis itu tiba-tiba masuk kembali ke dalam kamar menara. Semua orang tidak berani me-ngejarnya masuk, hanya mengurung me-nara itu dengan senjata siap di tangan.   Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari dalam dan muncullah seo-rang pemuda tampan! Pasukan yang me-megang busur dan siap dengan anak pa-nah mereka, tidak jadi melepaskan anak panah. Dan dari belakang terdengar se-ruan Thian Kong Hwesio, "Tahan, jangan serang, dia murid pinceng!"   Akan tetapi, pemuda yang dikenalnya sebagai muridnya karena mengenakan pa-kaian satu di antara dua pemuda itu, ki-ni berlari ke depan, menggunakan kesem-patan selagi orang lengah, meloncat den melayang di atas kepala mereka ke arah wuwungan kuil di depan kemudian ber-loncatan dan lenyap ditelan malam yang sudah hampir terganti pagi namun masih amat gelap itu. Barulah Thian Kong Hwe-sio sadar bahwa yang disangka muridnya tadi bukanlah muridnya, melainkan gadis itu yang mengenakan pakaian muridnya itu! Para perwira memerintahkan a-nak buahnya untuk mengejar. Pengejaran dilakukan akan tetapi para pengejar itu meraba-raba di tempat gelap, tidak tahu ke arah mana gadis itu menghilang. Se-mentara itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw memasuki kamar menara dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat dua orang murid yang telah menjadi mayat itu. Hidangan yang dibawa oleh dua orang muda itu telah habis dimakan, akan tetapi buntalan emas masih berada di situ, tidak sempat diba-wa pergi penjahat.   Sementara itu, di dalam sebuah hutan di luar kota Ceng-tao, Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo saling berbantahan dan saling menyalahkan.   "Dasar engkau yang mata keranjang dan ceroboh!" Si muka hitam itu meng-omel. "Kalau memang ketagihan pemuda, kenapa tidak menangkap saja beberapa orang dan membawanya ke tempat sepi seperti hutan ini? Kenapa harus dinikmati di kuil yang keramat? Engkau mencari penyakit saja!"   Wanita itu kini telah menanggalkan kedoknya dan kalau orang melihat muka-nya pada saat itu baru mereka akan tahu mengapa wanita ini suka memakai kedok. Kiranya pipi kanannya terdapat codet atau luka bekas goretan yang dalam dan panjang, membuat muka itu nampak me-nyeramkan dan menjijikkan. Sambil me-ludah Hwa-hwa Kui-bo menudingkan te-lunjuknya ke arah hidung kakek itu.   "Cih, tak tahu malu! Engkau sendiri-pun ikut menikmatinya, sekarang hendak menyalahkan aku? Keparat, apakah eng-kau hendak mencoba-coba kepandaianku?"   Kakek itu menarik napas panjang dan melambaikan tangannya dengan hati ke-sal. "Sudahlah, jangan bicara tentang kepandaian. Kaukira kita ini memiliki ke-pandaian macam apa? Mengeroyok seo-rang bocah bertangan kosong saja tidak becus mengalahkannya!"   Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi meng-hunus pedangnya dan nampak termangu-mangu. "Aku masih heran, siapakah ge-rangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat me-ngenal ilmu silatnya yang aneh-aneh i-tu..."   "Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mujijat dari Pendekar Sadis..."   "Ehhh...!" Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.   "Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sung-guh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid se-orang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"   Wanita itu mengangguk-angguk. "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita ti-dak boleh tinggal diam saja kalau mere-ka mengadakan pertemuan. Apakah sau-dara-saudara kita yang lain juga akan datang?"   "Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk me-lakukan penyelidikan sendiri."   "Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi." Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.   "Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menja-di buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya a-kan berdatangan ke bukit itu pula."   Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.   ***   Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, di antara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan. Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.   "Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?"   "Dan kabarnya, dihujani anak panah wanita itu hanya tertawa saja!" Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.   Biarpun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan mencari untung sebanyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan. Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang sudah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah. Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat dan mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak perduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kelaparan.   Sekelompok anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sang pelayan berdiri sambil menonton anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan seperti sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah setelah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.   Ada jembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja pula bermodalkan suara mengharukan minta dikasihani, dan kadang-kadang ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini. Dia adalah seorang raja kecil pengemis di pasar itu yang "melindungi" para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang bermalas-malasan karena sudah memperoleh hasil mengemis dan sudah kenyang perutnya. Pekerjaan yang amat mudah itu sungguh membuat mereka merasa malas. Ada pula seorang ibu mengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan o-rang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan ia hidup men-janda. Padahal, seorang laki-laki penge-mis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama ka-wan-kawan pengemis lain.   Akan tetapi, sebagian besar daripada mereka yang berada di pasar, baik para penjual maupun para pembeli, sudah ter-biasa dengan penglihatan ini dan tidak memperdulikan. Mereka melihat adanya banyak pengemis di pasar ini sebagai ba-gian yang tak terpisahkan dari pasar, dan andaikata pada suatu hari tidak ada se-orangpun pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan.   Di antara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seo-rang pemuda jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nong-krong memandang ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.   "Mereka... mereka memukulku...!" re-ngek adiknya.   "Sudahlah, merekapun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biar aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah..." kakaknya menghibur.   Jembel muda yang duduk nongkrong itu tak terasa lagi mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung ta-ngan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan ke-dua mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tu-kang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya. Bau se-dap keluar ketika uap dari tempat pe-manasan bakpao itu mengepul dan si pemuda jembel menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat dan putih dan panas beruap itu.   Melihat seorang pemuda jembel ber-pakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut menghardik, "Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!"   "Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang berada di telapak tangan ka-nannya. "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."   Si gendut memandang dan begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan. "Setan ci-lik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kauminta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membe-li, akan tetapi mau merampok!" Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda jembel itu.   Pemuda jembel itu berjebi, menyeri-ngai dan mentertawakan dengan sikap mengejek sekali. "Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"   Tentu saja penjual bakpao itu marah sekali. "Apa kaubilang? Ke sini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"   "Coba kaulakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kausembelih dan dagingnya kaupakai isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"   Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao dan diapun keluar dari kedainya melakukan pengejar-an. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati. Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bak-pao itu kepada anak-anak jembel yang berada di dalam pasar.   Ketika si gendut kembali ke kedainya dan mencak-mencak melihat bakpao-bak-paonya hilang, jembel muda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak jembel makan bakpao sedemikian lahapnya sampai tercekik leher mereka. Ketika tertawa, nampak deretan gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di me-nara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!   Melihat bakpao yang dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu keli-hatan masih belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan diapun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, kemudian mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu.   Dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh pandang mata tiga orang laki-laki setengah tua. Ketika dia memegang lagi sebuah bakpao yang masih terlalu panas, dia terkejut dan mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang!   Si gendut tukang bakpao menoleh dan melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada di situ membawa beberapa buah bakpao dan kini dipegangi kedua lengannya oleh dua orang seperti menangkapnya, menjadi marah. "Nah, ini dia maling bakpaoku!" Dan diapun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda jembel itu. "Duk!" Seorang di antara tiga orang itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan. "Jangan sembarangan memukul!" hardik orang ketiga itu. "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!" Mendengar bahwa tiga orang ini ada-lah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap dan melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapapun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keaman-an, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah. Petugas keamanan amat ditakuti rakyat dan dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugi-an saja, dianggap sebagai golongan orang yang tidak dapat dipercaya dan yang le-bih baik dijauhi atau dihindari. Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara manapun juga sela-ma para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaannya daripada kewajiban-nya, membuat mereka menjadi penindas dan pemeras yang bermodal kekuasaan dan kedudukan mereka. Pemuda jembel itupun yang tadinya mengerutkan alisnya dan bersikap melawan, menjadi lunak, apalagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari si-kap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar. Dan diapun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jem-bel dan gelandangan yang ditangkapi. Maka diapun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya, menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan. Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Maka diapun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya tentang penjahat-penjahat semalam itu, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan. Yang ditangkap adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang dicurigai, akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar. Bersama dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tang-kapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagal-an. Di sepanjang jalan, mereka menjadi tontonan orang dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa petugas-petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda. Di dalam gedung yang terletak di daerah markas pasukan keamanan itu, terja-dilah pemeriksaan terhadap para tawan-an. Komandan keamanan sendiri yang melakukan pemeriksaan dengan keras. Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak seperti harimau haus da-rah. Pemeriksaan dilakukan satu demi sa-tu, dengan kekerasan dan banyak di an-tara para tawanan harus menderita gebukan dan cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang ingin ditumpahkan. Tukang-tukang siksa yang sudah siap ber-ada di kamar pemeriksaan, agaknya su-dah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus di-siksa sampai mengaku atau mampus!   Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan dibawa ma-suk, lalu disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lain yang belum dipe-riksa menjadi panik dan ketakutan dan belum juga diperiksa, sebagian sudah me-nangis ketakutan.   Pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya diam-diam menye-linap dan tahu-tahu dia sudah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang diperiksa. Ketika dia di-bentak dan diseret tangannya oleh seo-rang petugas, dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berke-lebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu kini telah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin. Pemuda itu gagah perkasa, pakaiannya rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biarpun raut mukanya tidak dapat dinamakan tampan, akan tetapi diapun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.   Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.   "Siapakah penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan mengapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semua kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!" Komandan itu meng-hardik den matanya yang besar itu se-perti hendak meloncat keluar. Dia sudah terlalu lelah den pemuda jembel ini me-rupakan orang terakhir yang diperiksanya. Dia sudah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tidak dapat mengungkapkan rahasia pen-jahat yang dicarinya. Hatinya kesal seka-li dan dia ingin menumpahkan kemarahannya kepada pemuda jembel bertubuh ke-cil yang wajahnya berseri-seri den cengar-cengir ini. "Tidak tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya.   Seorang di antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, berkata kepada sang komandan, "Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."   Komandan itu mengerutkan alisnya den hampir dia membentak marah kepada bawahannya mengapa pencuri bakpao sa-ja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia menghardik, "Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"   Pemuda jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih, "Nama saya Cin..."   "Hanya Cin saja?"   "Hanya Cin saja."   "Apa she-nya (nama marganya)?"   "Sudah lupa."   "Brakkk!" Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa she-nya sendiri?"   "Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."   "Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"   "Jembel? Apakah itu, tuan besar?"   "Jembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."   "Sejak lahir." Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Seba-nyak itu orang yang diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan. "Sejak lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Ha-yo mengaku terus terang sebelum kusu-ruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!" "Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!" Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun dan komandan itu sendiri bangkit dari kursinya dan mengepal tin-ju. "Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!" Wajah pemuda jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut. "Saya tidak berbo-hong. Gedung inipun rumahku, bukan-kah buktinya aku sekarang tinggal di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembat-an, semua tempat adalah tempat tinggalku..." "Setan! Kau mau main-main?" "Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi a-dalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..." "Cukup!" Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan mengusap peluh dari dahinya. Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyi-langkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini menderita penya-kit miring otak.   "Jadi engkau seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke mana-mana. Jadi, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut? Hayo mengaku!" Ko-mandan itu memberi isyarat dan dua o-rang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.   "Aku tahu... aku tahu..." Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.   "Bagus sekali!" Wajah komandan itu berseri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."   "Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, dan membunuh-bunuhi orang-orang yang terlalu banyak dosanya. Jadi yang mengacau adalah para hwesio den nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."   "Brakkk!" Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya. "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"   Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tu-buh yang kecil ini berarti mencambuki-nya sampai mati! Mereka menangkap ta-ngan pemuda itu dan seorang di antara mereka menghardik, "Buka bajunya!"   "Jangan... ah, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru dan kini suara aselinya keluar, suara seorang gadis!   Dua orang algojo itu tertegun dan melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak. "Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu... aughhh...!" Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening sekali. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantu.   "Bawa dia pergi... tahan dia dalam sel... dia orang penting, besok kulanjutkan pemeriksaan, kepalaku pusing..."   Para perajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu. Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat. Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya.   Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu?   Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga. Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kai-sar karena mendiang ayahnya adalah se-orang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bah-kan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-i-beng yang mujijat itu sudah dikuasainya. Dia mewa-risi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pende-kar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memain-kan sabuk sebagai senjata. Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.   Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya. Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Gin-kangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sin-kangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mujijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan! Demikianlah sedikit perkenalon dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja. Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidaklah mengherankan kalau dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka iapun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran akan hidup yang sudah ditanamkan sejak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar dirinya.   Akan tetapi, karena di waktu muda mereka, Ceng Thian Sin maupun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Ia suka bertualang dan menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak perduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, ia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas. Di dalam perantuannya yang sudah memakan waktu tiga bulan itu, ia tiba di Ceng-tao dan ia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih. Ayah bundanya sendiri tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya, tak pernah ia jumpai. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh "bersih" itu segan mendekatinya. Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi juga dapat dinamakan tokoh hitam karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang. Dan diam-diam iapun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri. Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah. Sejak kecil, Sui Cin hidup sebagai anak kaya, akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu dan di dalam perantauannya, ia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Ia merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin daripada kalau ia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal. Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain dan tempat sendiri, betapapun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan kalau tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain. Pulau kosong yang ditinggali keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya amat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu telah memperkembang biak bunda-bunga teratai merah di situ sehingga kini pulau itu pe-nuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.   Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah i-bunya, sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya. Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia seorang dara yang gagah, ringan tangan ta-pi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan o-leh ayah bundanya sejak ia kecil. Ayah bundanya di waktu muda amat bengis, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlalu suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu dan menanamkan ke dalam batin anak tunggal me-reka agar jangan terlalu mudah membu-nuh orang.   Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini ia, sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, telah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin la-lu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat dan tidak mungkin dengan tenaga kasar saja membongkarnya. Akan tetapi, karena ia tidak dibelenggu, iapun merasa tenang dan le-luasa. Dicobanya pula kekuatan jeruji be-si sebesar-besar lengannya itu. Tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Ia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasan-nya yang agak memburu. Sementara itu, di luar mulai gelap dan di dalam sel yang tidak diberi penerangan itupun menjadi semakin gelap.   "Sialan, lilinpun tidak diberi!" Sui Cin mengomel akan tetapi ia diam saja, bahkan lalu duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga. Ia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan ia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa ia besok pagi akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.   Akan tetapi ternyata ia tidak perlu menanti terlalu lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam dapat menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang berada di luarpun hanya remang-remang sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.   "Sssttt...!" Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut ketika Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu. "Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."   Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serlus, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, diam-diam tersenyum dan merasa geli.   "Bagaimana aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau ia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan ia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya dan membuka pintu tahanan itu dengan kunci.   "Begini..." kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan kedua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri. Melihat ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Ia sendiri tadi sudah mencobanya dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini dapat menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.   "Cepat, keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin.   Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Ia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka iapun lalu berkata dengan suara lantang sekali, "Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tak bersalah ditangkapi dan disiksa..."   "Ssttt...! Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.   "Kenapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"   "Hushhhh...!" Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, namun terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu terdengar sudah oleh para penjaga dan dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.   "Tawanan lolos...!"   "Kepung! Tangkap...!"   Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.   Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu dan Sui Cin dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, akan tetapi sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.   "Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.   "Ke mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sesungguhnya ia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.   Pemuda itu nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!" Dan pada saat itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayun kakinya dan empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar gerakan kaki seorang ahli. Akan tetapi pada saat itu, si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.   "Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak, sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Ia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam suatu perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, iapun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari dan berloncatan di atas genteng dan bahwa takkan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.   "Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"   Pemuda itu mengomel, "Aku ingin menolongmu, mengapa engkau bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"   Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.   "Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati den pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."   "Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak. "Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah-olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.   Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja den bengal. Ia bertolak pinggang den memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kautolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kautolong hanya aku seorang? Kenapa yang lain-lain kaudiamkan saja?" Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.   Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-ka-lau engkau akan celaka di tangan mere-ka."   "Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan per-duli. Engkau hanya menjadi penolong pe-rempuan saja? Hemm, di situ sudah ter-dapat pamrih yang kotor!"   Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tu-buhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!" Pemuda itu meloncat dan le-nyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl marah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlithatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesuiltan-kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali, tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!   Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga me-wakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan te-tapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. A-yahnya melarangnya untuk melibatkan di-ri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.   Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah dice-ritakan bahwa Cia Han Tiong putera da-ri Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun den saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong me-wariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua pu-luh dua tahun sekarang ini, Cia Sun te-lah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, na-mun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar kare-na pendiam dan seriusnya.   Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.   Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya. Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.   Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di du-sun-dusun yang amat jauh. Ketika mere-ka hidup berdua, hal ini sama sekali ti-dak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, me-reka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tem-pat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja. Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid. Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh men-jadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang se-hingga nama perkumpulan ini mulai dike-nal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan ca-lon-calon pendekar di utara.   Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penesaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia mem-bayangi mereka dan dengan memperguna-kan ilmu kepandaiannya yang tinggi, ti-dak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke da-lam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan. Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pe-ngemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia me-mang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya ka-lau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut. Akan tetapi, ketika melihat bahwa jem-bel muda itu adalah seorang dara, hati-nya merasa tidak tega. Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan de-rah di dekat pelipis komandan gendut i-tu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu di-suruh tahan dalam sel. Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh di luar dugaannya bah-wa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, ma-lah marah-marah!   Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dili-hatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mence-moohkannya, terbayang saja di depan matanya.   "Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibu-nya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah. Dia selalu menolak karena me-mang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mem-punyai cucu! Teringat akan hal itu, wa-jahnya menjadi merah. Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otak-nya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali diba-canya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu? Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu "kehormatan" dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!   Satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan. Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik. Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimanapun juga.   ***   Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri). Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim. Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya. Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaiscr Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali kare-na para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.   Pria yang dikebiri itu tidak lagi da-pat berhubungan dengan wanita, akan te-tapi karena nafsunya masih ada, make sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, den kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin den pandai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.   Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek te-lah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak me-ngenai urusan dalam istana berada di ta-ngannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingat-kannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.   Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar mu-da amat lemah dan kurang memperhati-kan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena si-kapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya, pemerintah kelihat-an kurang perduli den lemah. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, wereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.   Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang. Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.   "Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."   Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengeta-hui bahwa gadis jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dika-guminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nye-nyak karena selalu membayangkan waiah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.   Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakai-annya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera. Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejan-tanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa ga-dis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menung-gang seekor kuda kecil cebol dan mela-rikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bah-wa baru saja pemuda yang semalam me-nolongnya itu juga melalui jalan ini de-ngan berlari cepat menuju ke barat.   Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih ku-rang dua hari lagi, maka jalan masih su-nyi dan selama itu Cia Sun belum ber-jumpa dengan pendekar lain yang dike-nalnya atau orang-orang yang patut didu-ga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.   Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar daripada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.   Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.   Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.   "Krekkk!" Ular itu terkulai dan perla-han-lahan, libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-ge-liat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-pa-tah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali. Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat be-tapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berba-gai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.   "Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr... hi-hik!"   Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bong-kok tahu-tahu sudah berada di situ, me-megang sebatang cambuk yang ekornya sembilan. Nenek itu membunyikan cam-buknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuk-nya, diseling suara ketawa terkekeh me-nyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenya-taan bahwa ular-ular itu agaknya terken-dali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.   Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-liong-pang yang su-dah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seo-rang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menu-rut yang didengarnya, di antara Tiga Be-las Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatir-kannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.   "Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang. "Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hi-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru! Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendeketinya, sedang-kan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat me-nyambar ke arah ular-ular itu dan belas-an ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin. Mellhat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang beru-jung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdepat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang keme-rahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun! "Hemmm!" Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya. Pada saat dia merobohkan ular-ular terbang, kembali terdengar ledakan dan sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lenganpun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah di bagian lengan dan hal itupun cukup berbabaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat dan menyambut ujung cambuk lawan itu.   "Tukk...!" Bagaikan seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik dan melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya ia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu. Ia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), semacam ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi-i-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.   Nenek itu mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan iapun bersikap hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan kalau harus menghadapi demikian banyaknya ular, apalagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.   Sementara itu, nenek pawang ular tadi mulai terkekeh melihat pemuda itu kewalahan dan ia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu.   "Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"   Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang telah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya ia melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, ia merasa geli, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya sudah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat. Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon, terdengar suara ranting patah dan ketika ia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.   "Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan daripada ular-ularmu!" Sui Cin berseru den iapun sudah menerjang ke depan, menggerakkan sen-jatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu. Sebagai puteri suami isteri pen-dekar sakti yang sejak kecil sudah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini, senjata tidak begitu dibutuhkan lagi. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang amat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakan-nya sebagai senjata kalau perlu. Kalau kini ia mempergunakan ranting itu seba-gai senjata adalah karena ia melihat betapa nenek itu memegang cambuk ekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amatlah berbahaya dilawan dengan tangan kosong den senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.   "Syuuttuuttt... wirrr...!" Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat. Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang ren-dah kepada gadis ini kalau saja ia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya den menyebut namanya. Se-orang gadis yang dapat mengenalnya be-gitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang saatnya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapat diduga bahwa seper-ti si pemuda lihai, gadis inipun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar iapun menggerakkan cambuknya sambil menge-rahkan tenaganya.   "Tarrr... pyuuurrr...!" Nenek itu terkejut sekali. Bukan hanya dapat ia merasakan adanya tenaga kuat tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, aka tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja ia menjadi repot mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah karena mendengar gadis itu mentertawakannya. "Hi-hik, julukanmu diroban saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!" Sui Cin yang maklum bahwa nenek itu lihai sekali, biarpun mentertawakan dan mengejek, namun ia sama sekali tidak berani main-main dan sambil tertawa iapun sudah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan kedua tangannya karena ia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan. Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut mengenal ilmu silat yang amat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi da-tuk selatan kaum sesat yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas! Terjadilah perkelahian yang seru antara Siu Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan setelah kini nenek itu mengerahkan se-luruh kepandaian dan tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi, gadis ini menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.   Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu. Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, ten-tu dia tidak akan mau percaya. Gadis itu ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, adalah seorang gadis yang lemah biarpun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahanpun tidak mau membebaskan dirinya. Kalau bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi bagaimana kini ia muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penub tambalan dan potongannya lucu, membayangkan ke-miskinan, akan tetspi memiliki kepandai-an yang tinggi sehingga mampu menan-dingi seorang datuk sesat lihai seperti Kiu-bwee Coa-li? Dan tiba-tiba saja wajahnya berobah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pu-ra-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan teta-pi, suaranya sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.   Bagaimanapun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinyat apalagi melihat gadis itu kini berkelahi menggunakan ranting. Baru dia seperti diberi ingat bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti gadis itulah yang paling tepat. Diapun berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet tentu melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi. Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apalagi karena kini tidak ada komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, lari meninggalkan bangkai te-man-teman mereka dan teman-teman yang melingkar-lingkar terluka tak mampu me-larikan diri lagi itu.   Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun membalikkan tubuhnya dan me-nonton perkelahian antara gadis jembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, terbelalak malah ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu sa-ja dia mengenal Thai-kek Sin-kun! Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepa-danya dan ilmu ini memang tepat sekali dipergunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu aseli dan itulah Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu?   Akan tetapi Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini pada saat itu. Bagai-manapun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-ling-pai, maka tanpa banyak bicara lagi diapun sudah langsung me-nyerbu dengan senjata rantingnya. Kini dua batang ranting yang digerakkan de-ngan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang segera terdesak hebat. Baru menghadapi dara remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum mampu merobohkannya, hanya mampu mendesak saja. Apalagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya. Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian, ia harus menang dan kalau berbahaya, ia tentu akan lari. Ma-ka iapun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang dan dari ujung cambuk itu me-luncurlah jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.   "Awas senjata rahasia beracun!" seru Cia Sun memperingatkan gadis itu. Akan tetapi, tidak perlu Sui Cin diperingatkan. Seorang gadis yang sudah memiliki ting-kat kepandaian seperti Sui Cin akan se-lalu waspada dan serangan tiba-tiba itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan si-nar hijau dan jarum-jarum yang menyam-bar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung memba-lik dan meluncur, mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang melarikan di-ri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri. Sedangkan Cia Sun sudah meloncat ke samping menghindarkan diri dari jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika me-reka memandang ke depan, nenek itu te-lah lenyap, telah lari jauh sekali maka mereka berduapun tidak mengejar.   Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata, "Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini akupun sudah membantumu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"   Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya seperti disedot rasanya dan dia meman-dang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pen-diam, serius, tidak suka berkelakar, den sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira se-kali dan diapun menanggapi.   "None, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan perto-longan. Akan tetapi sekarang, kalau eng-kau tidak muncul den membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan teran-cam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan teri-ma kasih atas budi pertolonganmu tadi."   "Hemm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran den menolong tanpa se-ngaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi."   Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang ter-pesona. Melihat betapa pemuda itu me-mandangnya dengan bengong seperti o-rang bingung, Sui Cin tersenyum geli.   "He, apa yang kaupandang?" tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.   "Eh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."   "Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"   "Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Ba-gaimana nona dapat mempelajari ilmu i-tu?" "Hemm, dan engkau, bagaimana eng-kau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?" Suara itu lebih heran den lebih curiga. "Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-ling-pai..." "Kalau begitu..." "Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?" "Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?" "Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-ling-pai...? Siapakah namamu, nona?" "Namamu dulu." "Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..." "Haiii...! Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah...! Aku... aku she Ceng..." "Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?" Sui Cin cemberut dan menghardik, "Siapa yang bengal?" Cia Sun tersenyum lebar dan menjura. "Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"   "Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"   "Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau ke pada dahiku yang dahulu membenjol se-besar telur ayam karena kausambit de-ngan batu?"   Sui Cin tertawa dan menutupi mulut-nya walaupun suara ketawanya lepas be-bas. Lalu disambungnya dengan kata-kata, "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibu-ku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begi-tu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"   "Melapor bahwa engkau menyamar sebagai jembel, bahkan sebagai pemuda jembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."   "... bengal...?"   "Tidak! Tidak...! Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kaumainkan amat indah dan hebat."   "Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kaubantu, apa kaukira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dem mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"   "Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"   "Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo."   Cia Sun mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."   "Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?" Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun. Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.   "Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"   "Akupun hendak berkunjung ke sana."   "Mewakili orang tuamu?"   "Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"   "Aku mewakili Pek-liong-pang, mewakili ayah."   "Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."   "Baiklah, Cin-moi. Kaunaiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."   Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah-nya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di de-kat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedang-kan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa la-par dan haus, keduanya duduk mengha-dapi api unggun dan melanjutkan perca-kapan mereka.   "Sun-ko, sudah banyak sekah aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayah-mulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."   Cia Sun menghela napas. "Di antara ayah kita berdua memang terjalin perta-lian persaudaraan yang amat kuat, mele-bihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan sa-tu-satunya orang yang amat disayang o-leh ayahku."   "Kalau begitu, orang tua kita memi-liki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat di-bilang masih keluarga sendiri, bukan?"   "Begitulah, siauw-moi."   "Ih, jangan sebuat aku siauw-moi (a-dik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"   "Lima belas tahun masih kecil nama-nya."   "Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."   "Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."   "Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari-pada aku."   "Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."   "Engkau tentu sudah menikah..."   Perkataan ini membuat Cia Sun ter-kejut den tertegung sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima per-tanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk. Akan te-tapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat se-suatu dalam sinar mata gadis itu melain-kan kejujuran dan pertanyaan yang ter-buka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng. "Kenapa engkau menyangka demikian?"   "Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."   "Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"   Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu ti-ba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah se-orang pendekar yang perkasa. Akan teta-pi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan ha-tinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, se-kali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun.   Cia Sun kebingungan, merasa diterta-wakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dare itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya, "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"   Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas, "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-liong-pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."   Wajah pendekar itu berobah merah. "Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."   "Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm... sudahlah, aku mau tidur." Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering.   Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.   ***   Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini. Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia... hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sa-ma sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan te-tapi bagaimana? Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis jembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam! Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang per-jalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin me-mang dekat sekali. Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat. Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, kadang-kadang seper-ti kanak-kanak, kadang-kadang sudah ma-tang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berla-wanan dengan watak Cia Sun yang pen-diam, serius, dan tidak banyak cakap. Namun, suatu keanehan terjadi dalam ba-tin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat ter-tarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, ba-ginya nampak demikian memikat dan me-nyenangkan! Asmara memang merupakan suatu ke-kuasaan yang amat jahil dan suka meng-goda hati manusia! Demikian kuatnya as-mara sehingga tidak ada seorangpun ma-nusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa re-maja, asmara mulai mengintai dan men-cari korban di antara manusia. Dan se-kali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terja-dilah perobahan besar-besaran dalam diri-nya. Hebatnya, asmara dapat mendatang-kan sorga pada seseorang sehingga batin-nya merasa bergembira, segalanya nam-pak indah, hidup penuh arti yang menye-nangkan. Di lain saat, asmara dapat me-runtuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh de-rita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil!   Dan Cia Sun, untuk yang pertama ka-li selama hidupnya, terkena panah asma-ra tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pen-dekar yang budiman, sopan dan meme-gang teguh peraturan, sesuai dengan si-fat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya.   Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu te-lah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan se-perti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat su-bur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huang-ho yang terkenal subur.   Selagi keduanya melanjutkan perjalan-an, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan. "Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?"   Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu ada-lah seorang wanita, cepat meloncat tu-run dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu. Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang di-perkosa dan dibunuh secara kejam. Ke-jam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memi-liki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu. Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.   "Kenapa ia?" tanya Cia Sun mende-ngar helaan napas gadis itu.   "Diperkosa lalu dibunuh. Lihatlah sen-diri betapa kejamnya pembunuh itu. Tak perlu sungkan, tubuhnya sudah kututupi."   Sebenarnya, andaikata di situ tidak a-da Sui Cin, tentu Cia Sun tidak begitu sungkan untuk memeriksa karena bagai-manapun juga, yang terbujur di atas ta-nah itu adalah tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Akan tetapi, dengan ha-dirnya gadis itu dia merasa tidak sampai hati untuk memandang ketika dilihatnya tubuh gadis itu terbuka telanjang.   Mendengar ucapan Sui Cin, Cia Sun berlutut dan atas petunjuk Sui Cin, de-ngan mudah dia menemukan sebab kematian. Totokan jari tangan yang amat ga-nas pada pelipis gadis itu merusak otak dan menghentikan aliran darah, menda-tangkan kematian yang amat menyiksa karena gadis itu matinya perlahan-lahan setelah mengalami rasa nyeri yang hebat tanpa dapat berkutik!   "Bedebah! Seorang jai-hwa-cat yang amat jahat!" kata Cia Sun.   "Dan gadis inipun bukan seorang ga-dis biasa, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat. Lihat, di pinggang-nya masih terdapat kantung piauw yang belum habis dipergunakan, den lengan ki-rinya ada cacat goresan pedang yang su-dah lama."   "Ah, ini berarti bahwa jai-hwa-cat itu adalah satu di antara golongan hitam yang sengaja hendak mengacau pertemuan pa-ra pendekar, seperti tiga orang iblis dari Cap-sha-kui yang kau telah jumpai itu, Cin-moi."   "Kurasa begitu. Kasihan gadis yang masih begini muda harus tewas dalam keadaan begini menyedihkan. Mengapa ia melakukan perjalanan seorang diri ke tempat berbahaya ini?"   "Ingat, Cin-moi, bukankah engkaupun seorang gadis muda yang melakukan per-jalanan sendirian saja sebelum bertemu denganku? Kurasa iapun mengandalkan kepandaiannya maka berani melakukan perjalanan sendiri, sungguh kasihan sekali."   "Atau ia terpisah dari rombongannya, siapa tahu..."   "Mungkin juga. Mari kita cepat mengubur mayatnya."   Dua orang pendekar muda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah itu secara sederhana sekali, memberi tan-da di atas kuburan itu dengan sebongkah batu yang berbentuk tinggi lurus.   Setelah selesai mereka maju lagi dan mulai mendaki bukit. Ketika memasuki hutan pertama yang kecil, mereka dike-jutkan oleh penemuan kedua. Sekali ini mereka melihat tiga orang laki-laki muda yang sudah menjadi mayat dan tubuh mereka berserakan di tepi jalan. Seperti mayat gadis pertama tadi, jenazah mere-kapun tidak terdapat cacat, tidak ada luka, hanya ada tanda satu jari hitam saja di bagian-bagian yang mematikan. Seorang di tengkuk, seorang lagi di ulu hati dan seorang lagi di kepala. Jelaslah bahwa mereka itu hanya terbunuh oleh satu kali serangan sebuah jari tangan sa-ja yang meninggalkan bekas hitam!   "Jahanam, aku harus membasmi Si Jari Hitam yang kejam ini!" Cia Sun me-ngepal tjnju dan di dekat tiga mayat itu dia menemukan tiga batang pedang. Agaknya tentu senjata mereka yang terlepas dari tangan.   "Tentu ada hubungan dengan kematian gadis yang diperkosa," kata Sui Cin. "Eng-kau tadi menduga benar, Sun-ko. Gadis itu tadi tentu serombongan dengan mere-ka ini."   Kembali mereka menggali lubang, ki-ni cukup besar untuk mengubur tiga buah mayat itu sekaligus. Mereka berkeringat juga setelah selesai meletakkan batu be-sar di atas makam baru ini dan mataha-ri telah condong ke barat ketika mereka melanjutkan perjalanan dengan hati tera-sa semakin panas terhadap pelaku pem-bunuhan-pembunuban kejam itu. Menje-lang senja mereka tiba di lereng bukit itu dan tiba-tiba mereka melihat dua o-rang laki-laki sedang berkelahi dengan serunya. Cepat keduanya menghampiri dan Sul Cin segera meloncat turun dari atas kudanya. Bersama Cia Sun ia mem-perhatikan dua orang yang sedang berke-lahi mati-matian itu.   Orang pertama yang melakukan se-rangan membabi-buta adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bercambang bauk dan jelas memiliki potongan penjahat yang serba kasar dan sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Orang ini mempergunakan se-batang golok besar yang tebal dan berat untuk menyerang lawannya. Goloknya membentuk gulungan sinar yang berkilau-an tertimpa cahaya matahari senja yang kemerahan. Orang kedua yang menjadi lawannya amat menarik perhatian Sui Cin dan Cia Sun. Orang itu masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan lincah gembi-ra karena menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawannya itu dia masih dapat tersenyum-senyum! Pakaiannya rapi dan bahkan agak mewah dan indah, pantas sekali dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang tampan. Potongan seorang pendekar tulen, pendekar yang halus dan agaknya terpelajar, menilik dari pakaian dan gerak-geriknya. Pemuda ini berta-ngan kosong dan pada tubuhnya tidak nampak adanya senjata. Hanya di punggungnya terdapat sebuah buntalan pakai-an dan rambutnya yang hitam lebat itu digelung ke atas, kemudian kepalanya di-lindungi oleh sebuah caping bulat yang lebar sekali. Begitu seenaknya dia menghadapi lawan sehingga topi lebar itupun ti-dak dilepasnya dan caping itu mengang-guk-angguk dan melambai-lambai meng-ikuti gerakan-gerakannya.   Sui Cin dan Cia Sun memperhatikan gerakan pemuda itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Biarpun sambaran go-lok itu cukup dahsyat, namun tubuh pe-muda itu seperti kapas saja yang sukar disentuh golok, seolah-olah sambaran go-lok itu cukup membuat tubuhnya terdorong menghindar sehingga sebelum golok-nya tiba, tubuhnya sudah lebih dulu me-nyingkir. Tentu saja Sui Cin dan Cia Sun kagum dan mengerti bahwa pemuda ber-caping lebar itu adalah seorang ahli gin--kang yang hebat. Sui Cin sendiri telah mewarisi gin-kang yang hebat dari ibu kandungnya, akan tetapi melihat gerakan pemuda bercaping itu, iapun merasa kagum dan diam-diam ia ingin sekali mencoba gin-kangnya melawan pemuda itu! Karena mereka tidak tahu urusannya, maka tentu saja mereka hanya menonton dan tidak berani sembarangan turun ta-ngan.   Sementara itu, pemuda bercaping agaknya tidak pernah melihat kedatangan Sui Cin dan Cia Sui, karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi oleh la-wannya. Namun semua serangan dapat dihindarkannya dengan baik dan tiba-tiba dia membuat gerakan cepat sekali de-ngan kakinya.   "Hyaaat! Robohlah!" Dan seperti mentaati perintah pemuda bercaping itu, tiba-tiba saja lawannya itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangun lagi karena tendangan si pemuda telah membuat sambungan lutut kanannya terlepas. Tendangan yang hebat tadi dapat dilihat jelas oleh Cia Sun dan Sui Cin dan mereka kembali merasa kagum. Itu adalah semacam ilmu tendang yang amat berbahaya, pikir mereka. Kini pemuda itu melangkah maju menghampiri. Tiba-tiba Sui Cin hampir menjerit melihat betapa laki-laki tinggi besar yang sudah roboh itu secara mendadak menggerakkan goloknya membabat ke arah kaki dan serangan ini dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut. Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya. Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.   "Krekkk!" Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.   "Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"   "Aku... aku mengaku, tapi..."   "Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kaupilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukan engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih." Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilat saja.   Si tinggi besar menarik napas panjang. "Aku sudah kalah, siapa takut mati?" Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri. Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus. Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnva tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.   "AH, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertenwan para pendekar seperti saya juga, bukan?"   Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji, "Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"   "Begitukah, nona? Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."   "Maaf, saudara tadi mengatakan bah-wa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apa-kah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.   Pemuda bercaping itu memandang ke-padanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan teta-pi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan seba-gai sahabat dan kawan seperjalanan dari-pada Cia Sun yang pendiam sekali itu.   "Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan perta-nyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, se-yogianyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?" Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia mengang-gap bahwa orang ini pandai bicara Pan-dai pula membawa diri. "Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bu-kan? Aku tidak datang dari satu golong-an atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mem-pelajari bermacam-macam ilmu silat, ma-ka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bu-kit Perahu, aku segera bermaksud meng-hadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ke-tika melewati hutan di bawah, aku meli-hat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu me-ngejar lagi dan akhirnya berhasil menyu-sulnya di tempat ini."   Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji, "Sungguh engkau dapat bergerak cepat hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kamipun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."   "Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"   Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja hanya memandang tajam kepada pe-muda tampan itu, maka ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab. "Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak mi-sanku bernama Cia Sun."   Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan ha-nya Cia Sun yang melihatnya karena me-mang sejak tadi dia memperhatikan o-rang itu.   "Di dalam dunia persilatan terdapat dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis dan Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."   "Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sini itu.   "Ah, kiranya ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang amat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap ku-rang hormat. Maaf, aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jum-pa di tempat pertemuan!" Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tu-buhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu gin-kangnya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar mu-da itupun merasa kagum.   "Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.   Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.   "Apa yang kaulakukan, Sun-ko?"   "Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.   "Wah, kita mengubur lagi?"   "Mayat-mayat yang tadipun kita kubur." "Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Ka-lau kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat, kita bisa men-jadi tukang pengubur jenazah!"   "Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini apa, bedanya?" Cia Sun bekerja terus. Sui Cin mengangkat pundak lalu membantu pe-kerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Me-reka bekerja keras dan sebentar saja me-reka sudah mengubur jenazah itu.   Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu, "Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang pernah kaulakukan sewaktu hidupmu sehingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"   "Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."   "Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas..."   "Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatlah engkau bagaimana matinya em-pat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan te-tapi, orang yang kita kubur ini, dia ber-kelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"   Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang ia teringat akan hal itu dan segera otaknya yang cerdik itu bekerja. "Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehigga bukan tidak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang li-hai den lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totok-nya dan menggunakan golok."   Pemuda itu menggeleng kepala. "Me-ragukan sekali. Biarpun permainan golok-nya tadi memang cukup lihai, akan teta-pi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, ka-lau benar penjahat, adalah penjahat yang kasar dan belum tinggi tingkatnya."   "Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita mendengar sendiri pengakuannya ta-di sebelum dia membunuh diri."   "Itulah yang amat membingungkan ha-tiku, Cin-moi. Akan tetapi, biarpun dia mengaku memperkosa den membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang di-perkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mence-gah untuk menanyainya secara teliti."   "Sekarang akupun menjadi ragu, Sun-ko. Andaikata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri ga-dis dan tiga orang pemuda itu berarti..."   "Berarti bahwa seorang pemerkosa den pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan be-nyak orang, terutama kaum pendekar."   Mereka melanjutkan perjalanan men-daki lereng bukit den Sui Cin mengomel, "Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"   "Eh, apa salahnya karena memang ke-nyataannya begitu?"   "Aku tidak suka! Aku ingin hidup be-bas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kaulihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan kea-daan diriku sebagai puteri Pendekar Sa-dis."   "Mengapa, Cin-moi? Seharusnya eng-kau bangga mempunyai ayah seperti pa-man Ceng Thian Sin."   "Hemm, ayahku Pendekar Sadis. Ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu." Gadis itu cemberut dan kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung, semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.   Mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng di tengah malam itu untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata, "Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah."   Ucapan ini sungguh tak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam terkejutnya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Kenapa sekarang mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan hatinya merasa seperti disayat?   "Akan tetapi kenapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu sudah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."   "Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!" Tanpa menanti bantahan lagi, Sui Cin sudah membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu seperti menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.   ***   Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu terdapat sebuah daerah liar yang jarang didatangi orang kerena tem-pat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat cu-ram, juga merupakan daerah berbatu-ba-tu, penuh dengan guha-guha gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang bi-natang-binatang buas dan binatang-bina-tang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap se-telah memasuki daerah ini. Akan tetapi, sehari sebelum pertemu-an para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang di-kelilingi batu-batu dan guha-guha nampak didatangi banyak orang. Melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata menyeram-kan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menama-kan golongan ini sebagai kaum sesat. Memang amat menyedihkan melihat betapa manusia telah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan oleh segala macam golongan. Karena berpisah dan menjadi anggauta dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing membuat mereka itu kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri. Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengundang sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diaki-batkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekalipun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya ketika dilahirkan itupun menjadi akibat dari suatu sebab. Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat karena merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas. Dan setiap orang ma-nusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya erat sekali dengan ke-senangan dan sekali orang melakukannya, tanpa adanya kesadaran, maka akan men-jadi berlarut-larut dan menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.   Orang yang baru tersesat disebut pen-jahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Ini -yang akhirnya membuat mereka ini merasa terancam dan merekapun lalu me-milih teman, berkelompok dan terjadilah penggolongan. Mereka dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor. Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar ke-pada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan se-bagai balasan, merekapun menamakan golongan para pendekar itu sebagai go-longan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada yang menamakannya kaum munafik!   Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan perte-muan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan kaum sesat itupun sege-ra bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan per-temuan rahasia ini tidak tanggung-tang-gung karena pengundangnya adalah Cap-sha-kui. Berbondonglah mereka yang me-rasa dirinya sudah "tokoh" untuk meng-hadiri pertemuan rahasia itu. Dan me-mang sesungguhnyalah, kalau tidak memi-liki kepandaian tinggi, jangan harap akan bisa mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya da-lam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepan-daiannya tidak akan berani atau dapat datang.   Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi. Biasanya, mereka tidak pernah memperdulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi agaknya sekali ini, karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itupun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.   Malam itu bulan yang bulat amat te-rangnya. Tidak ada awan hitam yang ge-lap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan lembut-nya. Suasana di tanah lapang dekat din-ding guha-guha itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apapun, sepi dan lengang. Akan tetapi, menjelang tengah malam, terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengeri-kan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin ke-ras, menyayat hati seperti anak yang da-lam kesakitan. Setelah tangis yang ma-kin meninggi itu sampai di titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suara-nya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan me-nakutkan, sampai beberapa lamanya. Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak ter-dengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itupun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, se-perti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu ter-henti dan kembali lengang. Menegangkan dan mengerikan!   Dan di dalam suasana yang menegangkan itu, tiba-tiba saja nampak dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seolah-olah pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya karena geraken mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ. Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Kalau didekati, memang mereka itu amat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah! Kalau dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Sepasang mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.   Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput, demikian kurus muka itu sehingga hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala! Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa di waktu mudanya nenek ini seorang wanita cantik. Akan tetapi wajahnya pucat sekali, bahkan bibirnya agak kebiruan, dengan sepasang mata yang mencorong itu ia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat. Dan mereka itupun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis) sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang amat berbahaya dan jarang ada orang, betapapun pandai-nya berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya. Mereka tidak pernah mema-kai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mere-ka tidak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang juga merupakan murid-murid mere-ka. Perkumpulan itupun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggauta atau muridnya berpakai-an putih berkabung.   "Hemm, belum nampak seorangpun datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan sua-ra mengomel.   "Mereka itu memang bermalas-malas-an kalau ada tugas pekerjaan, coba di-beritahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan da-tang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian da-ri tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.   Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam. Terdengar dari jauh sekali dan suami isteri yang tua ini saling pandang dan wajah mereka yang seperti mayat itu tidak memperlihatkan perobah-an apapun, akan tetapi mata mereka ber-sinar-sinar.   "Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.   "Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.   Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara duk-duk langkah kaki yang amat berat. Muncullah dari balik guha seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng. Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tak terpelihara dan pakaian seperti jembel, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh amat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya kalau diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang! Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya den dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Dia makan daging anak-anak mentah-mentah! Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Kalau kakek dan nenek tadi datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapat dibayangkan betapa besar tenaganya. Diam-diam kakek den nenek itupun kagum dan harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang demikian hebatnya.   Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti. Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia amat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Dan seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi inipun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia peranakan Nepal dan di waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Ka-rena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu se-sat dan ilmu hitam dan akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.   Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke balik ju-rang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.   "Heh-heh, Lo-bo, apanya yang me-muakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.   "Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.   "Ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tidak bisa mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu terta-wa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.   "Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.   "Segala macam daging yang kaumakan itu apakah bukan bangkai? Bangkai binatang yang kaumakan, dan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"   "Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.   "Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walaupun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."   Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimanapun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan kepada suaminya. Lo-mo mengangguk dan berkata. "Karena yang lain belum datang, boleh saja engkau main-main me-lawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita." Kalau tidak melihat wajahnya yang se-perti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi baha-sanya.   Setelah mendapat persetujuan suami-nya, dengan gerakan yang amat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu ia su-dah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya dan se-cepat kilat nenek itu sudah menggerak-kan tangannya ke depan. Terdengar suara mencicit seperti suara kelelawar ketika jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.   "Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyam-bar ke arah perutnya. Itulah semacam il-mu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Ma-ka diapun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biarpun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata diapun dapat bergerak sigap. Dia meloncat ke bela-kang dan lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk me-nangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia membarengi dengan uluran lengan kiri menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.   Sebetulnya pertandingan itu hanyalah semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa dan mereka ingin sekali mengukur kepandaian atau kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, biarpun hanya merupakan pertandingan dan bukan perkelahian karena dendam, keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.   Menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya, Tho-tee-kwi terkejut bukan main.   "Eh, eh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.   Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah kalau engkau tidak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"   Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!" Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah sedemikian kerasnya sehingga tanah itu terguncang seperti ada gempa bumi. Tubuh nenek itu ikut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Hebat memang ilmu ini dan agaknya ketika pertama muncul tadi, si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu. Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi, si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya dan menyusuli serangan-serangan yang amat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya membuat daun-daun pohon yang agak jauh tergoyang-goyang dan nenek itupun mulai terdesak! Ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan gin-kang yang jauh lebih lihai, ia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.   Melihat betapa isterinya terdesak dan kalau dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia sudah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.   "Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya. Nenek itupun tahu diri, akan tetapi ia tidak mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur ia berseru mengejek.   "Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"   "Ha-ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.   "Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!" Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isteri-nya atau raksasa itu, bahkan berbeda de-ngan lagak den sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat itu biasanya berlagak aneh, kasar dan ti-dak memperdulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwi-bawa, lebih mendekati sikap seorang to-koh pendekar daripada seorang tokoh sesat. Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat dan di waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biarpun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.   "Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.   "Sambutlah!" kata Lo-mo dan diapun mulai menyerang. Serangannya nampak ringan saja, akan tetapi karena gerakan-nya amat cepat maka tahu-tahu telapak tangannya sudah menyambar ke arah le-her Tho-tee-kwi. Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kali-nya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama de-ngan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak ta-ngan itu bukan hanya mengeluarkan bunyi den hawa panas, akan tetapi juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis. Diapun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seper-ti terguncang-guncang den kedua lengan-nya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulan-nya itu terkandung tenaga yang benar-benar mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, seperti angin badai den mengeluarkan suara bersuitan.   Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo berjalan seru, lebih ramai daripada keti-ka kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi setelah lewat se-ratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaima-napun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak dapat diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itupun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apabila terlanda anginnya. Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apalagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada saat itu bermunculanlah rekan-rekan mereka dari dunia hitam. Memang di te-ngah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka den mereka menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan me-reka menikmati pertandingan itu, apalagi melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.   Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul den ne-nek ini terkekeh girang menyaksikan per-tandingan itu, diam-diam dia sebagai se-orang tokoh besar yang berilmu tinggi, menikmati perkelahian ini karena ia da-pat mencurahkan perhatian mengikuti se-tiap gerakan untuk mempelajari ilmu dua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing mengeluarkan il-mu simpanan baru itu.   Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwe Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga sudah hadir. Keduanya juga menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang lebih tinggi tingkat kepan-daiannya itu.   Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hemm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"   Suara itu lirih akan tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul. Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek sudah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tidak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya sinar mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah, "Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?"   Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget dan keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata, dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka. Memang, mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andaikata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam segebrakan saja. Biarpun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu! Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah sinar bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan ti-dak akan menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang memandangnya. Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo, usianya juga sudah tujuh puluh ta-hun, pakaiannya serba hitam dan bentuk-nya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!   Kiranya kakek ini adalah seorang bu-ta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-to-koh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tak mengenal takut, kini kelihatan gen-tar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)! Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walaupun kedua matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggau-ta Cap-sha-kui, karena dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang memiliki pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya! Karena kepandaiannya yang amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah kepadanya, ke manapun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup membuat se-orang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.   Siangkoan-lojin adalah seorang aneh yang menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan petunjuknya sedikit saja. Baru setengah tahun lamanya dia turun gunung, tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walaupun pakaiannya sebagai seo-rang petani sederhana. Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal ber-sama seorang putera tunggalnya dan be-lasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya sudah lama meninggal ketika putera tunggalnya ma-sih kecil. Kakek ini mempunyai beberapa orang murid yang lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada pu-tera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.   Demikianlah sedikit keadaan Siang-koan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu me-mandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sesung-guhnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehen-dak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.   Siangkoan-lojin sendiri, setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, hidup dalam dua dunia. Yang satu di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, royal sekali mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan. Pendeknya, dalam pergaulan umum, dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorangpun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar sudah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para pendekar pernah melihatnya.   "Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.   "Benar, lojin, kami hanya main-main, aku hanya minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.   "Diam!" bentak kakek buta itu dan suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung, membuat wajah kakek raksasa yang menyeringai tadi tiba-tiba saja berobah pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beritahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"   Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, namun mereka tidak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Seperti lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu. Kakek ini sekarang kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeremkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.   Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana tadi mereka setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa kakek buta itu dengan bengis memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu. Ada dua puluh satu orang termasuk Siangkoan-lojin yang hadir. Mereka ini masing-masing mempunyai anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tidak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Selain tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk dapat mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu. Tempat itu dikelilingi jurang yang curam dan di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang liar airnya dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya kalau naik perahu mele-watinya. Pula, dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk men-daki ke atas tebing walaupun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar dari tempat pertemuan rahasia itu. Diahat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bu-lan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.   "Hanya ada dua puluh dua orang se-muanya?" Tiba-tiba Siangkoan-lojin berta-nya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mere-kapun tertegun ketika mendapat kenya-taan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang be-gitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah! Tentu saja, tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apalagi tiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tidak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini memiliki perasaan yang amat peka, pen-dengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan meng-andalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka dengan telinganya, dan mencium bau yang berlainan dengan hidungnya. Bahkan dalam perkelahian, kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat meng-andalkan ketajaman pendengarannya se-hingga setiap gerakan lawan dapat diketahuinya dengan seksama, bahkan lebih cepat daripada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.   "Benar, lojin. Yang hadir ada dua pu-luh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.   "Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"   "Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena iapun hendak memberitahukan raja datuk itu bahwa iapun hadir.   "Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berke-rut.   "Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."