Sebelum pasukan pemerintah melakukan penyerbuan ke San-hai-koan, dua orang pendekar telah lebih dahulu memasuki kota benteng itu. Mereka adalah Cia Sun dan Siangkoan Ci Kang. Seperti kita ketahui, dua orang pendekar muda ini pergi ke San-hai-koan untuk mencari jejak Toan Hui Cu yang dilarikan ayah kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis.   Dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda ini berhasil menyelundup memasuki kota benteng San-hai-koan dan mereka lalu berpencar, mencari jalan sendiri-sendiri setelah mereka berjanji bahwa sebuah kelenteng tua di sudut barat kota itu menjadi tempat pertemuan mereka.   "Jika menemukan sesuatu yang penting, kita harus saling berhubungan," kata Cia Sun sebelum mereka berpisah. "Dan di belakang kuil ini, tepat jam dua belas malam, kita dapat mengadakan pertemuan."   Mereka lalu berpisah dan menyelinap dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan malam. Ci Kang merasa bingung, bagaimana dia akan dapat bersembunyi di waktu siang, akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Ketika dia melihat banyaknya orang berpakaian tentara yang ketika saling berpapasan di jalan tidak saling menegur seperti tidak saling mengenal, dia memperoleh akal. Dia dapat menduga bahwa saking banyaknya jumlah perajurit, apalagi mengingat bahwa banyak pula orang-orang kaum sesat yang membantu pasukan pemberontak, tentu di antara mereka banyak yang tidak saling mengenal. Dia mencari kesempatan baik dan ketika melihat seorang perajurit yang tubuhnya sebesar dia berjalan seorang diri di tempat yang agak sunyi, dia telah menotoknya dan perajurit itupun roboh pingsan tanpa sempat melihat siapa yang merobohkannya. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali pukul saja dia mampu membunuh perajurit itu. Akan tetapi, semenjak berguru kepada Ciu-sian Lo-kai, hatinya semakin mantap untuk tidak sembarangan melakukan kekerasan-kekerasan terutama sekali membunuh, seperti yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dan para kaum sesat pada umumnya. Diapun tidak membunuh perajurit itu, melainkan hanya melucuti pakaiannya dan melemparkan tubuh yang pingsan itu ke balik semak-semak. Setelah perajurit itu siuman kembali, tentu saja dia merasa heran dan ketakutan setengah mati. Dia tidak melihat siapa penyerangnya, tahu-tahu pingsan dan telanjang, hanya memakai pakaian dalam, terbaring di semak-semak. Maka diapun diam saja, merasa malu untuk bercerita kepada orang lain bahwa dia telah dibawa "siluman" dan hal ini menguntungkan Ci Kang yang tidak menarik perhatian atas kecurigaan orang lain.   Mudah bagi Ci Kang untuk berkeliaran di kota benteng itu, bahkan di siang haripun dia berani jalan-jalan. Kalau berpapasan dengan rombongan perajurit yang tidek mengenalnya, rombongan itu tidak menjadi curiga karena memang banyak perajurit yang tidak saling mengenal di tempat itu.   Demikianlah, ketika ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dikepung dan dikeroyok oleh para perajurit, dengan mudah tanpa dicurigai siapapun juga, Ci Kang dapat menyelundup dan ikut pula mengeroyok. Dia mengikuti semua percakapan antara ketua Cin-ling-pai itu dengan Ji-ciangkun dan Raja Iblis, dan dia merasa bingung sekali. Kalau dia turun tangan menolong dengan kekerasan, walaupun ketua Cin-ling-pai itu lihai, namun dia tahu bahwa mercka berdua tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak perajurit. Maka diapun cepat mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh untuk membisiki Cia Kong Liang agar menyerah saja karena dia maklum bahwa Raja Iblis tidak menghendaki ketua Cin-ling-pai itu dibunuh, melainkan hendak ditawan saja dan dijadikan sandera. Dan ketua Cin-ling-pai itupun menurut sehingga ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan dan dijaga dengan ketat.   Karena Ci Kang dapat pula menyelundup ke dalam tempat penjagaan penjara, maka diapun pada malam hari itu berhasil menyelundupkan sehelai surat yang dilipat-lipat kecil dan dilemparkannya mengenai tangan ketua Cin-ling-pai yang kedua lengannya diborgol di depan.   Kong Liang memandang ke arah perajurit tinggi tegap itu dan tahulah dia bahwa perajurit itu pula yang berbisik kepadanya agar dia menyerah. Dia mengangguk perlahan sambil mengepal lipatan surat itu. Setelah dia dibiarkan sendiri dan memperoleh kesempatan, dia membuka lipatan surat itu yang hanya terisi beberapa huruf yang isinya memperkenalkan perajurit muda itu bernama Siangkoan Ci Kang murid Ciu-sian Lo-kai yang menentang Raja Iblis. Dan surat itu mengatakan pula bahwa untuk sementara, penjara itu merupakan tempat yang aman bagi Cia Kong Liang dan ketua itu diminta untuk bersabar karena kalau sudah tiba saatnya yang baik, tentu Ci Kang akan membebaskannya. Membaca surat ini, Kong Liang merasa girang dan berterima kasih sekali, juga kagum akan kecerdikan pemuda itu. Dia merasa setuju bahwa untuk sementara penjara ini memang merupakan tempat aman baginya. Andaikata dia melepaskan belenggu kaki tangannya sekalipun, agaknya aken sukarlah baginya untuk dapat lolos dari San-hai-koan yang terjaga kuat itu, apalagi di situ terdapat banyak sekali orang yang amat lihai. Dia lalu menggunakan tenaga sin-kangnya untuk meremas sampai hancur kertas surat itu dan bersila dengan tenang, walaupun sukar baginya menekan kegelisahannya memikirkan keadaan isteri, ayah mertua, dan murid-muridnya yang masih berada di Ceng-tek.   Bagaimana dengan pengalaman Cia Sun? Pemuda ini seperti juga Ci Kang, mendapatkan akal untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang perajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Go-bi San-jin, dia bertindak keras dan tanpa ampun kepada perajurit yang ditangkapnya untuk diambil pakaiannya. Dia membunuh perajurit pemberontak itu dan mengenakan pakaiannya sendiri kepada mayat perajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas seketika tanpa luka. Orang yang menemukan perajurit itu tentu akan mengira bahwa perajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak!   Pada suatu malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian perajurit pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam perajurit. Cia Sun yang maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang perajurit yang sedang bertugas ronda. Untung baginya bahwa Raja Iblis dan empat orang pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga melihatnya dan tidak curiga karena memang banyak perajurit berkeliaran di dekat bangunan besar itu. Ketika Raja Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa pula di depan pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Sebuah pintu tembusan saja dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang penting pula.   Akan tetapi dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itupun kini berada di situ. Cia Sun lalu mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat, dia menerjang dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun juga. Cia Sun lalu memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas tanah, lalu mengatur mereka sedemikian rupa sehingga mereka itu seolah-olah tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan. Kalau ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua orang perajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak masing-masing.   Setelah itu, dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap. Giranglah hatinya ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya tadi keluar dari dalam bangunan besar dan kini dengan langkah lebar menuju ke sebuah bangunan kecil di belakang taman. Raja Iblis membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke dalam. Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak terdapat lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam. Akan tetapi, apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar keras karena dia mengenal suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.   "Iblis tua, mau apalagi engkau datang ke sini?" terdengar suara Hui Cu menyambut Raja Iblis dengan kata-kata pedas.   Kini terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh, akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan kecil itu. "Hui Cu, aku datang untuk memperingatkanmu yang penghabisan kalinya. Tinggal kaupilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku. Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apalagi kalau dapat menurunkan anak laki-laki untukku. Kalau menjadi anakku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"   "Iblis tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."   Diam-diam Cia Sun kagum kepada Hui Cu. Biarpun Hui Cu puteri tunggal pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi ternyata Hui Cu memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang ayahnya, walaupun ia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir sekali. Kalau Raja Iblis turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin akan dapat menolong Hui Cu.   Akan tetapi hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu, bahkan kini nampak Raja Iblis keluar dari situ bersama empat orang pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata, "Su-kwi, kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai ia lolos dan andaikata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya. Awas, kalau sampai ia lolos dari sini, kepala kalian menjadi gantinya."   Empat orang itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tinggal di ruang depan bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat. Sejenak Cia Sun termangu-mangu. Menurutkan dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui Cu. Akan tetapi, dia ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu Iblis! Padahal Ratu Iblis memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dan empat orang ini disebut Su-kwi (Empat Setan) oleh Raja Ibils, maka teringatlah Cia Sun akan keterangan gurunya, Go-bi San-jin bahwa di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit)! Agaknya empat orang Inilah mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan mampu mengalahkan empat orang ini. Andaikata mampu sekalipun, tentu akan memakan waktu dan keributan itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu, dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu. Maka diapun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini ia tidak akan diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong Hui Cu.   Menjelang tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil sunyi. Mereka berbisik-bisik saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Mendengar betapa ketua Cin-ling-pai yang masih terhitung paman dari ayahnya itu ternyata kini berbalik menjadi musuh Raja Iblis dan menjadi tawanan, hati Cia Sun merasa lega. Tadinya diapun ikut prihatin mendengar betapa paman ayahnya itu bersekutu dengan kaum sesat. Apalagi mendengar dari Ci Kang bahwa ketua Cin-ling-pai itu tertipu dan kini untuk sementara aman di dalam kamar tahanan karena Raja Iblis tidak berniat membunuhnya sekarang. Dia lalu menceritakan kepada Ci Kang tentang Hui Cu yang ditahan di dalam sebuah bangunan kecil, dan percakapan antara ayah dan anak itu seperti yang telah didengarnya. Mendengar betapa Raja Iblis hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, dan betapa Hui Cu lebih memilih mati, Ci Kang mengepalkan tinjunya.   "Manusia itu sungguh lebih keji daripada iblis! Anak kandungnya sendiri akan diperisteri!"   "Akan tetapi sikap Hui Cu sungguh mengagumkan. Di depan iblis itu sendiri ia berani mengatakan bahwa ia tidak sudi menjadi anaknya atau isterinya, menantang mati!" kata Cia Sun.   "Gadis itu memang hebat, Cia Sun, dan ia mencintamu!"   Wajah Cia Sun berobah merah. "Hemm, dalam keadaan seperti sekarang ini, jangan kau berkelakar, Ci Kang!"   "Tidak, Cia Sun, aku mengatakan sejujurnya. Gadis itu tergila-gila kepadamu dan jatuh cinta kepadamu."   Cia Sun mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang sampai tiga kali. Dia percaya kepada Ci Kang dan pemuda perkasa di depannya ini tidak akan mau membohonginya. Maka diapun merasa kasihan sekali kepada Hui Cu. "Kasihan Hui Cu..." katanya, kata-kata yang tanpa disadarinya keluar dari mulut, langsung dari dalam hatinya.   Ci Kang menatap tajam, berusaha menembus kegelapan malam untuk menjenguk isi hati sahabat yang dikaguminya ini. "Cia Sun, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau tidak membalas cintanya?"   Cia Sun menggeleng kepalanya.   "Ahh, kalau begitu kasihan sekali Hui Cu...!" kata Ci Kang yang mengerutkan alisnya mengenang nasib gadis yang patut dikasihani itu.   "Memang kasihan sekali Hui Cu. Akan tetapi aku harus berterus terang, aku mencinta seorang gadis lain, jadi tak mungkin aku mencintanya."   Ci Kang memandang tajam sesaat lamanya, lalu berkata, "Sudahlah, mari kita menolongnya sebelum terlambat."   Dua orang pemuda perkasa yang sama-sama berpakaian sebagai perajurit pemberontak itu lalu berangkat menuju ke bangunan yang dimaksudkan Cia Sun. Dia menjadi penunjuk jalan dan Ci Kang mengikutinya di belakangnya. Mereka bergerak cepat menyusup-nyusup, dan kadang-kadang kalau ada perajurit-perajurit lain mereka bersikap wajar, bergandengan dan sempoyongan seperti dua orang perajurit setengah mabok, pemandangan yang biasa saja.   Setelah tiba di dekat pondok di mana Hui Cu ditahan, dua orang pemuda itu bergerak perlahan sesuai rencana yang telah mereka atur ketika mereka menuju ke tempat itu. Ci Kang dan Cia Sun kini berpencar. Ci Kang menghampiri empat orang penjaga yang duduk sambil bercakap-cakap itu dari depan, sedangkan Cia Sun menyelinap dari samping pondok di mana terdapat jendela yang dipergunakan untuk mendengarkan percakapan tadi. Sesuai yang telah direncanakan, Ci Kang berpura-pura mabok, berjalan terhuyung-huyung ke arah empat orang Hui-thian Su-kwi yang sedang duduk di atas bangku di depan pondok. Melihat seorang perajurit mabok menghampiri mereka, Su-kwi menjadi marah.   "Hei, perajurit tolol! Pergi dari sini dan jangan ganggu kami!" bentak seorang dari mereka yang bermuka pucat.   "Heh-heh-hoh-hoh...!" Ci Kang tertawa seperti orang mabok. "Sobat, mari kau temani aku minum arak. Kau perlu minum banyak arak agar mukamu tidak pucat seperti mayat, heh-heh-heh!" Dia menunjuk ke arah muka yang menegurnya tadi.   Si muka pucat itu menjadi marah dan bangkit berdiri. "Manusia goblok! Berani kau mengeluarkan kata-kata sembarangan terhadap kami? Kami adalah Hui-thian Su-kwi, pengawal pribadi Toan Ong-ya!"   "Hah-hah, agaknya majikanmu kurang memberi upah kepadamu sehingga badanmu kurus mukamu pucat kurang makan..."   "Eh, keparat mulut lancang! Kuhancurkan mulutmu...!" Si muka pucat menjadi marah sekali dan sekali menggerakkan tubuhnya, tubuh itu sudah mencelat ke depan Ci Kang dan tangannya menampar ke arah mulut Ci Kang dengan keras sekali karena si muka pucat itu agaknya hendak benar-benar menghancurkan mulut perajurit yang berani menghinanya itu. Diam-diam Ci Kang terkejut menyaksikan gerakan gin-kang yang demikian ringan dan cepatnya dan tahulah dia mengapa mereka ini dijuluki Hui-thian (Terbang ke Langit). Kiranya mereka adalah ahli-ahli gin-kang yang cukup tinggi tingkat kepandaiannya. Akan tetapi tamparan tangan itu menunjukkan tenaga yang tidak perlu dikhawatirkan. Maka dia hanya mundur sedikit sambil miringkan mukanya sehingga bukan mulutnya yang kena tampar, melainkan pipinya.   "Plakkk...!" Ci Kang sempoyongan dan hampir roboh, ditertawai oleh empat orang itu.   Ci Kang bangkit dan mengusap pipinya yang menjadi merah, matanya melotot dan diapun maju sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang yang tadi menamparnya. "Kau monyet tak tahu malu, manusia tidak mengenal budi. Diajak minum arak malah memukul. Aku harus membalas pukulanmu!" Dan dengan gerakan sembarangan saja diapun menerjang maju hendak memukul kepala si muka pucat. Melihat gerakan Ci Kang, si muka pucat tentu saja memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tangannya hendak menangkis dan menangkap lengan lawan untuk dipuntir dan ditelikung. Akan tetapi, tangan yang memukul kepalanya itu berkelebat aneh dan tahu-tahu pipinya telah kena ditampar.   "Plakkk...!" keras sekali tamparan itu, membuat kepala si muka pucat terasa nanar dan tentu saja ia menjadi marah bukan main. Kemarahan membuat dia lengah dan dia masih tetap memandang rendah kepada perajurit mabok ini ketika dia membalas pula dengan tendangan tenaga yang cukup kuat. Akan tetapi, Ci Kang dengan mudah mengelak dengan lagak sempoyongan dan pada saat kaki lawan masih terangkat, ujung sepatunya menotok ke arah lutut kaki lawan yang masih berpijak di atas tanah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka pucat itupun terpelanting!   "Ha-ha!" Ci Kang tertawa-tawa seperti orang mabok dan bertepuk-tepuk tangan kegirangan sambil memandang orang yang terpelanting itu.   Kini tiga orang lainnya juga bangkit berdiri. Orang yang mampu menampar teman mereka, bahkan mampu merobohkan dalam segebrakan saja, pasti bukan perajurit biasa!   "Siapa engkau?" bentak mereka dan kini mereka sudah mengurung bersama si muka pucat yang sudah bangkit kembali.   Akan tetapi Ci Kang bersikap pura-pura takut dikurung empat orang itu dan tiba-tiba diapun melompat ke belakang menjauhi empat orang itu yang kini menjadi semakin terkejut karena mereka yang mengurung itu ternyata tidak mampu menahan perajurit yang melompat jauh ke belakang itu. Dan cara melompat Ci Kang juga mengejutkan mereka. Ci Kang melayang ke arah belakang begitu saja dan berjungkir balik sampai lima kali! Mereka dapat menduga bahwa orang yang berpakaian perajurit dan bersikap mabok-mabokan itu tentulah orang lihai yang mungkin adalah mata-mata musuh! Maka, kini empat orang Hui-thian Su-kwi itu lalu mencabut pedang mereka dan melakukan pengejaran. Ci Kang sengaja memancing mereka agar menjauhi pondok dan pada saat itu, Cia Sun sudah cepat menyelinap masuk melalui jendela yang dibongkarya dari luar.   Dan benar saja, tepat seperti yang diduganya, di dalam pondok itu terdapat Hui Cu yang dibelenggu kaki tangannya dan rebah di atas sebuah pembaringan! Cia Sun tidak banyak bicara, cepat dia menghampiri dan menggunakan sin-kangnya mematahkan belenggu yang mengikat kaki dan tangan Hui Cu. Gadis itu terbelalak dan wajahnya berseri-seri ketika mengenal siapa pemuda yang menolong-nya.   "Cia-toako...!" keluhnya setelah kaki tangannya bebas dan ia hendak berlari menghampiri, akan tetapi karena terlalu lama kakinya dibelenggu, aliran darahnya terganggu dan iapun terhuyung dan tentu terbanting kalau saja Cia Sun tidak cepat menyambarnya dan merangkulnya. Hui Cu menjadi merah mukanya akan tetapi ia tersenyum dan balas merangkul leher Cia Sun dengan mesra dan penuh penyerahan. Ketika pemuda itu merasa betapa rangkulan Hui Cu tidak sewajarnya, melainkan rangkulan yang penuh arti, dia terkejut dan teringat akan ucapan Ci Kang bahwa gadis itu jatuh hati kepadanya, maka diapun cepat melepaskan rangkulannya dan membiarkan gadis itu berdiri.   "Aku harus membantu Ci Kang yang sedang bertempur melawan Hui-thian Su-kwi," katanya melihat betapa gadis itu memandang kecewa karena merasa betapa Cia Sun melepaskan rangkulan tadi dengan tiba-tiba dan agak kasar.   "Ahhh...!" Hui Cu seperti baru sadar. "Mereka itu lihai sekali. Akan tetapi jangan tinggalkan aku, lebih dulu bawa aku ke tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ibu dan aku. Mari...!" Ia menggandeng tangan Cia Sun dan diajaknya pcmuda itu melarikan diri melalui pintu belakang. Gadis itu terus membawanya ke dalam taman dan membuka sebuah semak-semak yang cukup tebal. Ternyata di bawah semak-semak ini terdapat sebuah bundaran besi yang segera digesernya dan nampaklah lubang. Hui Cu mengajak Cia Sun memasuki lubang itu dan ternyata di bawahnya terdapat tangga batu. Hui Cu menutupkan kembali bundaran besi dan segera otomatis semak-semak itupun ikut bergerak menutupi tempat rahasia itu. Hui Cu terus berjalan turun sambil menggandeng tangan Cia Sun. Tempat itu tidak begitu gelap dan sinar remang-remang keluar dari depan. Dan ternyata lorong yang menyambung tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan segi empat. Sebuah ruangan bawah tanah pula! Matahari dapat memasukkan sinarnya dari lubang-lubang yang terdapat pada retakan-retakan batu-batu yang berada di atas guha bawah tanah ini. Dan ternyata di ruangan itu terdapat sebuah lilin besar yang bernyala di atas meja. Nyala itu kecil saja karena sumbunya kecil, akan tetapi lilinnya besar sekali, sehingga kalau dibiarkan bernyala, mungkin dalam waktu sebulan belum habis! Dari nyala lilin inilah datangnya sinar remang-remang sampai ke lorong tadi.   "Tempat ini aman, toako. Hanya diketahui oleh ibu saja. Ibu yang memberitahukan kepadaku agar kalau sewaktu-waktu aku dapat lolos dari tangan iblis tua itu, aku dapat bersembunyi dengan aman di sini. Ibu sengaja menyuruh seorang ahli bersama rombongannya membuat tempat ini dalam waktu dua hari setelah aku ditangkap iblis itu."   Cia Sun mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu selain engkau dan ibumu, masih ada beberapa orang lain yang mengetahui rahasia tempat ini, yaitu para pembuatnya,"   "Tidak, mereka itu berjumlah sembilan orang dan begitu tempat ini selesai, ibu telah membunuh mereka semua dan ibu bahkan menanam mayat mereka di dalam tanah di belakang ruangan ini!"   Diam-diam Cia Sun bergidik mendengar kekejaman luar biasa itu. Ayah kandung gadis ini sudah jahat sekali, ternyata ibunya juga tidak kalah jahatnya. Yang amat mengherankan adalah gadis ini yang ternyata memiliki perangai yang jauh bedanya dengan ayah bundanya, seperti bumi langit!   "Hui Cu, aku sekarang harus keluar membantu Ci Kang."   Akan tetapi Hui Cu menghampirinya dan merangkulnya. "Jangan, toako... jangan tinggalkan aku lagi. Aku takut kalau engkau celaka... lalu... bagaimana dengan aku? Kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi, toako. Aku... cinta padamu..." Gadis itu mempererat pelukannya.   Cia Sun menjadi bingung akan tetapi dia adalah seorang gagah yang harus berani bertindak tegas dan tepat. Dengan halus dia memegang kedua pundak Hui Cu dan mendorongnya ke belakang dan kini mereka saling pandang. Dengan sinar mata penuh iba Cia Sun menatap wajah cantik yang agak pucat itu.   "Hui Cu, dengarlah baik-baik. Aku suka padamu, aku sayang padamu dan aku suka menjadi kakakmu. Akan tetapi sebelum aku bertemu denganmu, aku... aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain..."   "Ahhh...! Kalau begitu engkau tentu akan meninggalkan aku, toako..."   "Tidak, biarpun aku tidak dapat berjodoh denganmu, aku akan selalu memperhatikan keadaanmu dan kalau perlu melindungimu. Aku sudah berhutang budi dan nyawa kepadamu, engkau seorang gadis baik... ah, aku harus membantu Ci Kang sekarang!"   "Toako..." Hui Cu menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya basah. "Aku ikut keluar lagi membantu kalian..."   "Jangan! Aku dan Ci Kang sudah susah-susah berusaha membebaskanmu, sekarang sudah bebas engkau hendak terjun kembali ke tempat berbahaya. Biarlah aku membantunya dulu, baru kami berdua masuk ke sini dan kita bicara."   Gadis itu mengangguk. "Baiklah, toako. Aku percaya padamu, dan kalau engkau tidak kembali ke sini, sampai matipun aku tidak akan mau keluar dari tempat ini!"   Cia Sun merasa terharu sekali. Dia mendekat, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dengan penuh rasa terharu dan sayang dia mencium kepala gadis itu, lalu berkelebat keluar dari ruangan melalui lorong dan naik kembali ke atas taman dengan membuka penutup besi dan menyingkap semak-semak. Ketika dia berlari ke depan pondok, ternyata Ci Kang dikurung oleh empat orang itu dan betapapun lihainya Ci Kang, dia terdesak juga oleh gerakan empat orang yang mengeroyoknya. Gerakan Hui-thian Su-kwi itu memang benar-benar cepat dan ringan, dapat berloncatan seperti kijang saja.   Melihat kawannya terdesak, Cia Sun cepat meloncat dan begitu dia menyerang kepungan terhadap Ci Kang itu pecah dan kini empat orang itu terkejut bukan main. Seorang perajurit lain datang dan ternyata perajurit yang baru datang ini kepandaiannya tidak kalah lihainya dari perajurit pertama!   Setelah Cia Sun membantu, keadaan menjadi berobah. Sebentar saja kedua orang pendekar muda ini dapat mendesak empat orang lawan itu, bahkan mereka berdua mampu merampas pedang dan membuat dua orang lawan terpelanting. Hui-thian Su-kwi menjadi gentar juga dan tiba-tiba mereka teringat kepada tawanan mereka. Tanpa mereka sadari, mereka telah terpancing menjauhi pondok dan perkelahian itupun terjadi jauh dari pondok. Teringat akan hal ini, juga gentar terhadap dua orang perajurit muda yang amat lihai itu, mereka lalu berloncatan meninggalkan gelanggang perkelahian dan kembali ke dalam pondok untuk menjaga agar tawanan mereka jangan sampai lolos. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika mereka memasuki pondok, ternyata tawanan itu telah lenyap, hanya tinggal borgol kosong berserakan di atas pembaringan!   "Celaka...!" teriak si muka pucat dan merekapun keluar dari pondok dan berteriak-teriak minta tolong. Mendengar teriakan-teriakan ini, berbondong-bondong berdatanganlah perajurit-perajurit penjaga dan keadaan menjadi kalut. Ketika Hui-thian Su-kwi mencari-cari, dua orang pemuda yang berpakaian perajurit itu telah lenyap pula dari situ! Mereka mengatur pasukan penjaga dan mencari-cari tanpa hasil.   Tentu saja mereka tidak berhasil menemukan Ci Kang dan Cia Sun karena dua orang pemuda ini sudah aman berada di dalam guha bawah tanah bersama Hui Cu! Ketika melihat Hui-thian Su-kwi tadi lari ke pondok, Cia Sun lalu menarik tangan Ci Kang dan mengajaknya menyusul Hui Cu di tempat persembunyiannya.   Hui Cu merasa girang sekali melihat mereka masuk ke dalam guha bawah tanah, akan tetapi kegirangan itu hanya sebentar saja karena dara ini lalu duduk termenung dengan wajah murung, teringat bahwa cintanya terhadap Cia Sun tidak mendapatkan sambutan. Ci Kang tidak tahu mengapa gadis itu nampak murung, maka untuk memecahkan kesunyian yang mencekam di antara mereka, sambil duduk di atas lantai bersandar dinding batu, dia berkata. "Sungguh aneh nasib kita bertiga ini. Untuk kedua kalinya kita bertiga berkumpul menjadi satu di tempat persembunyian yang hampir serupa, di dalam guha bawah tanah. Inilah yang dinamakan jodoh barangkali!"   Ucapan ini tidak disengaja menyindir sesuatu, akan tetapi Cia Sun dan Hui Cu yang baru saja bicara tentang cinta itu merasa tersindir dan wajah Cia Sun menjadi merah, sebaliknya wajah Hui Cu menjadi semakin muram. Gadis itu dari tempat duduknya, sebuah bangku satu yang berada di situ, memandang kepada Cia Sun yang juga duduk di atas lantai bersandar dinding batu untuk memulihkan tenaga dan tiba-tiba gadis itu bertanya, suaranya lirih dan polos.   "Cia-toako, siapakah gadis yang kau cinta itu?"   Pertanyaan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga ini bukan hanya mengejutkan Cia Sun, akan tetapi juga Ci Kang. Barulah Ci Kang mengerti bahwa agaknya Cia Sun sudah memberi tahu kepada Hui Cu bahwa dia tidak dapat menerima cintanya karena telah mencinta gadis lain! Pantas saja wajah gadis yang cantik itu nampak muram saja sejak tadi. Dia merasa kasihan sekali dan tidak berani memandang wajah cantik itu lama-lama karena makin dipandang makin menimbulkan rasa iba.   "Hui Cu, tak perlu aku mengatakan siapa gadis itu. Engkaupun tidak akan mengenalnya."   Suasana menjadi sunyi sekali karena ucapan itu keluar dari mulut Cia Sun dengan suara tergetar. Mereka bertiga termenung dalam lamunan masing-masing. Ci Kang dan Hui Cu tidak tahu bahwa keadaan Cia Sun tiada bedanya dengan mereka. Hui Cu mencinta Cia Sun akan tetapi tidak terbalas. Cia Sun mencinta Sui Cin namun gadis itupun agaknya tidak dapat membalas cintanya. Apalagi Ci Kang yang mencinta Sui Cin akan tetapi malah melakukan suatu hal yang amat buruk terhadap gadis itu sehingga tidak mungkin gadis itu akan membalas cintanya. Tiga orang muda ini tenggelam dalam kesedihan masing-masing karena cinta yang bertepuk scbelah tangan, cinta gagal!   Cinta asmara yang condong kepada pemuasan nafsu diri pribadi selalu menimbulkan lebih banyak duka daripada suka. Cinta seperti ini selalu menuntut balasan, cinta seperti ini selalu ingin menguasai, ingin memiliki, ingin dimiliki! Ingin menyenangkan dan disenangkan, memuaskan dan dipuaskan. Banyak sekali yang dituntut oleh cinta seperti ini dan satu saja di antara tuntutan-tuntutannya itu tidak terlaksana atau tercapai, maka hal ini sudah cukup untuk menghancurkan cinta itu! Dan akibatnya hanyalah kegagalan dan kedukaan. Cinta seperti ini mengikat, membuat kita lekat kepada yang kita cinta dan sekali waktu kalau saatnya tiba untuk perpisahan, hati kita menjadi luka dan timbul pula duka.   Cinta yang tidak terbalas menimbulkan duka. Cinta yang dihantui keraguan menimbulkan cemburu dan duka. Separti segala macam nafsu yang meramaikan hidup ini, maka cinta seperti ini bersumber kepada keakuan, kepada keinginan menyenangkan diri sendiri dan orang yang dicintanya itu dengan sendirinya hanya menjadi alat, menjadi prabot atau sarana untuk menyenangkan dan memuaskan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa cinta seperti ini mudah berobah menjadi benci kalau dirinya sudah tidak disenangkan atau dipuaskan lagi. Ini kenyataan yang terjadi dalam hidup kita, dalam kisah cinta mencinta.   Akan tetapi, benarkah itu patut dinamakan cinta kalau hanya menimbulkan duka? Benarkah itu namanya cinta kalau dapat berobah menjadi benci? Benarkah itu cinta kasih kalau hanya sarat dengan beban berupa cemburu, nafsu berahi, ingin menguasai dan pementingan diri sendiri? Sudah jelas bukan! Cinta kasih tidak mungkin menimbulkan hal-hal yang buruk. Cinta kasih itu suci, murni, baik dan benar, wajar tidak dibuat-buat, tanpa pamrih!   Orang lalu mempersoalkan, menjadikannya sebagai bahan tanya jawab, mencari-cari apakah sesungguhnya Cinta Kasih itu! Dan semua pendapat, semua jawaban, tidak benar atau dapat disanggah, dapat dibantah dan didebat, karena semua pendapat itu selalu mengandung pementingan diri sendiri. Pendapat datang dari satu sumber yang tentu saja tergantung sepenuhnya dari keadaan sumber itu sendiri. Cinta Kasih terlalu lembut, terlalu tinggi, terlalu luas dan terlalu rumit bagi otak kita yang lemah ini. Membicarakan Cinta Kasih seperti membicarakan Tuhan, membicarakan kekuasaan Alam Semesta. Tidak terbatas! Tidak terjangkau oleh akal budi, perasaan dan pikiran. Yang dapat kita selidiki dan mengerti hanyalah YANG BUKAN CINTA KASIH. Nafsu berahi bukanlah cinta kasih, walaupun nafsu berahi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan ini sendiri.   Kalau kita menyingkirkan semua hal yang menjadikan Bukan Cinta Kasih, mungkin saja kita dapat melihat berkelebatnya Cinta Kasih. Cinta Kasih tidak mungkin dapat dipelajari, dipupuk maupun dikejar dicari. Seperti juga cahaya terang yang tidak dapat menembus rumah yang daun pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat. Bukalah semua penutup itu dan cahaya terang itu akan masuk. Seperti juga sinar lampu yang menjadi suram karena bola lampunya tertutup kotoran dan debu. Bersihkan semua kotoran itu, singkirkan debu dan kotoran, maka sinar lampu itu akan menjadi terang. Lenyapnya cemburu, iri hati, keinginan menyenangkan diri sendiri, keinginan ingin menguasai, ingin memiliki, lenyapnya ikatan, sama artinya dengan lenyapnya kotoran dan debu yang menempel pada bola lampu, dan sinar cinta kasih akan bercahaya terang. Membiarkan pintu dan jendela terbuka sama dengan membiarkan diri sendiri terbuka, tanpa pamrih, wajar, peka, kosong dan cahaya terang cinta kasih, seperti cahaya matahari, akan masuk dan nampak.   Tiga orang muda itu duduk termenung menyedihi nasib masing-masing. Nasib yang seperti segala macam sebutan nasib, tercipta oleh ulah sendiri. Orang yang bijaksana akan selalu mencari kesalahan pada diri sendiri setiap kali menghadapi atau tertimpa keadaan yang dianggap tidak menyenangkan. Akan tetapi orang yang picik akan selalu mencari sebab dan kesalahan pada orang lain, atau melemparkannya kepada nasib! Tak dapat disangkal lagi bahwa ada peristiwa-peristiwa terjadi di luar kemampuan kita untuk memikirkan sebab-sebabnya, peristiwa yang merupakan rahasia-rahasia. Namun, tetap saja akan tepat dan baik sekali kalau kita mencari segala kesalahan yang menjadi sebab suatu peristiwa di dalam diri sendiri, karena sesungguhnyalah bahwa sumber segala peristiwa yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri pula. Kalau sudah begini, tidak ada lagi pencarian kambing hitam, tidak menyalahkan orang lain, tidak mengeluh kepada Tuhan, tidak mengutuk kepada setan, melainkan melihat dengan penuh kewaspadaan bahwa sumber segala peristiwa terdapat dalam diri sendiri. Dari sini timbul penghentian segala tindakan yang tidak benar dan yang hanya akan menimbulkan akibat buruk.   Tiba-tiba Cia Sun dan Ci Kang meloncat berdiri dan dengan mata tajam memandang ke arah lorong dan siap siaga. Mereka mendengar gerakan orang dan tak lama kemudian berkelebat bayangan orang dan disusul munculnya Ratu Iblis di ruang itu. Wajah nenek yang biasanya pucat kehijauan itu kini nampak makin menyeramkan dengan sepasang mata yang mencorong dan liar memandang kepada dua orang pemuda itu.   "Kalian lagi!" terdengar Ratu Iblis membentak marah. "Sekali ini kalian harus mati untuk menyimpan rahasia tempat ini!" Dan cepat iapun sudat menyerang ke depan, pedangnya menyambar dalam bentuk sinar berkilat ke arah dada Ci Kang sedang rambutnya yang panjang menyambar dalam bentuk sinar putih ke arah leher Cia Sun. Nenek ini sudah mempergunakan dua senjatanya yang ampuh untuk merobohkan dua orang muda itu dan jangan dikira bahwa serangan rambutnya itu tidak berbahaya. Bahkan dibandingkan dengan serangan pedangnya, mungkin lebih berbahaya.   Akan tetapi dua orang muda perkasa itu sudah siap dan karena mereka maklum akan kelihaian nenek itu, merekapun cepat meloncat ke belakang sehingga serangan pedang dan rambut itu tidak mengenai sasaran. Dan loncatan itu membuat Cia Sun dan Ci Kang berjauhan sehingga tak mungkin bagi nenek itu untuk melakukan serangan ganda kepada mereka. Terpaksa ia menyerang orang terdekat, yaitu Ci Kang, dengan sambaran pedangnya. Serangan itu hebat sekali, membuat Ci Kang terdesak dan berloncatan ke belakang menghindarkan pedang yang menyambar-nyambar susul-menyusul itu. Melihat ini, Cia Sun menerjang maju mengirim totokan ke arah punggung nenek itu untuk menolong sahabatnya. Ratu Iblis mendengar desir angin dari belakang, membalikkan kepala dan rambutnya menyambut tangan Cia Sun yang menotok, bermaksud menangkap pergelangan tangan itu dengan rambutnya. Namun Cia Sun yang menyerang hanya untuk membantu sahabatnya dan mengurangi penekanan terhadap Ci Kang, mengelak dengan cara menarik kembali tangannya.   "Ibu, jangan...!" Hui Cu berseru dan ia sudah meloncat ke depan, menghadang di depan ibunya.   Sejenak ibu dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan ia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari depan pindah ke belakang. "Hui Cu, dahulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kauulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!" Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.   "Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka ini yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka harus kubela mereka."   "Budi tahi kucing!" Nenek itu membentak marah. "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tidak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"   "Ibu jangan mengukur orang lain sepergi teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan akupun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak ke sini untuk bersembunyi dan siapapun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"   Sejenak nenek itu ragu-ragu, akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Ia terlalu mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya ia bahkan berani menentang suaminya, walaupun secara diam-diam.   "Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"   "Baik, kami berjanji," kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biarpun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.   "Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!" kata pula nenek itu. Diam-diam dua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu diapun berkata dengan suara sungguh-sungguh.   "Baik, kami berjanji!"   Setelah dua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.   "Hui Cu, jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu," pesannya kepada puterinya dan nenek inipun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu.   Setelah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu, "Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."   Cia Sun tersenyum. "Hui Cu, sungguh aku merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis dapat mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"   Gadis itu menjadi agak cerah wajahnya mendengar pujian Cia Sun ini walaupun pandang matanya masih suram dan iapun lalu mempersiapkan bahan-bahan masakan yang terdapat banyak di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar.   Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat menahan mereka. "Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-ling-pai yang juga menjadi tawanan di sini. Mungkin kalau kami berhasil, kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andaikata kami gagal, kami tentu akan kembali ke sini malam ini juga."   Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang perajurit. Mereka bersikap hati-hati sekali karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Su-kwi menceritakan pengalamannyam tentu kini para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai perajurit pasukan mereka.   Untung bagi mereka bahwa keadaan di kota San-hai-koan malam itu tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para perajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Inilah sebabnya maka para perajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka sudah membuat persiapan pertempuran sehingga tidak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup di antara banyak perajurit yang berseliweran itu. Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, akan tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Kalau Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota San-hai-koan, bukan tidak mungkin ketua Cin-ling-pai itu kini terancam bahaya besar.   Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.   "Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!" bentaknya dengan sikap curiga.   "Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ong-ya sendiri!" kata Ci Kang.   Perwira itu terkejut dan sikapnya berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ong-ya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.   "Kalau benar kalian utusan Toan Ong-ya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"   Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah. "Apa? Kau tidak mempercaya kami sebagai utusan Toan Ong-ya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baik, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ong-ya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ong-ya!"   Wajah perwira itu menjadi pucat. "Ah, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus tahu bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ong-ya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"   "Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh dan terancam bahaya ini, mana Toan Ong-ya sempat memberi tanda pengenal segela macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."   "Ketua Cin-ling-pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahken untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ong-ya."   "Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?" Ci Kang bertanya dengan suara menantang.   Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan. "Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena akupun mempunyai tanggung jawab. Kalau kalian hanya mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-ling-pai itu terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ong-ya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ong-ya sendiri, siapapun tidak boleh membawa tawanan itu!"   Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk. "Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Kami diutus Toan Ong-ya untuk membunuh ketua Cin-ling-pai itu, dengan tangan kami sendiri!"   Diam-diam Ci Kang terkejut akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja walaupun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik. Perwira itu sendiri nampak lega. "Ah, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"   Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandang mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun mempergunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-ling-pai, maka diapun diam saja. Tak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan berkat pengawalan perwira itu dan dari jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-ling-pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.   "Nah, itu dia," kata sang perwira.   Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang perajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ong-ya, untuk membunuh ketua Cin-ling-pai, merasa tertarik dan merekapun datang bergerombol untuk menonton, berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.   "Ciangkun, karena kami tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"   Wajah perwira itu berseri dan dia segera mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Cia Sun. "Ah, sungguh pedangku memperoleh kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-ling-pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"   Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apalagi dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya.   Perwira itu dengan gembira membuka pintu penjara dan semua perajurit penjaga penjara itu berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-ling-pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata, "Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku akan melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua perajurit dapat melihatnya." Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ, dan kalau semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-ling-pai melarikan diri. Perwira itu menjadi semakin girang den bangga. "Hayo bangun dan ikut kami!" bentaknya sembil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri. Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu diapun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-ling-pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sin-kang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang amat ulet dan lentur sehingga tenaga sin-kang tidak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya. Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta pinjam pedang. Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Pula, ketua Cin-ling-pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja. Dia minta agar tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerek kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu maka diapun sudah bersiap-siap. Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi para perajurit penjaga yang hendak nonton pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-ling-pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.   "Pangcu, aku menerima perintah dari Toan Ong-ya untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu. Maka, kuminta agar engkau suka menyerahkan nyawa dengan ikhlas dan memasang dirimu agar pedang ini dapat melaksanakan tugas sebaiknya!"   Cia Kong Liang memandang wajah pemuda itu dan diapun menjawab dengan suara lantang dan gagah, "Aku akan menghadapi kematian dengan berdiri!" Dan diapun menjulurkan kedua lengan yang diikat menjadi satu, juga kedua kakinya agak direntangkan.   "Baik, bersiaplah!" Cia Sun berkata dan semua mata kini dengan terbelalak memandang ke arah pedang yang sudah diangkat ke atas kepala oleh Cia Sun. Tiba-tiba pedang itu berkelebat ke bawah dua kali dan putuslah tali sutera pengikat lengan dan kaki Cia Kong Liang sehingga ketua itu menjadi bebas!   "Heiii...!" Perwira itu berterisk akan tetapi teriakannya terhenti di tengah jalan karena dia sudah roboh dan pingsan oleh tamparan Ci Kang yang mengenai tengkuknya. Gegerlah keadaan di situ! Pedang yang tadi membikin putus belenggu kaki tangan Cia Kong Liang, kini telah berada di tangan ketua itu dan bersama Cia Sun dan Ci Kang, dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok yang masih panik karena perubahan keadaan yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangka itu.   "Locianpwe, mari kita pergi!" Ci Kang berkata sambil mendekati Cia Kong Liang yang mengamuk dengan pedangnya itu.   "Baik!" kata ketua Cin-ling-pai karena diapun tahu bahwa mereka bertiga saja, betapapun lihainya, tidak mungkin akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak sekali perajurit, apalagi mereka berada di dalam benteng musuh. Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, pasukan pemerintah yang mengepung benteng itu mulai bergerak dan pertempuran mulai terjadi di sepanjang tembok benteng sehingga ketika ketiganya melarikan diri, keadaan di luar penjara cukup kacau balau sehingga sukarlah bagi para pengejar mereka untuk dapat mengikuti jejak mereka. Apalagi para pengejar itupun merasa gentar menyaksikan kelihaian tiga orang itu yang dalam waktu singkat saja sudah merobohkan puluhan orang pengeroyok.   Setelah menyusup-nyusup, akhirnya dua orang pendekar muda itu berhasil mengajak Cia Kong Liang memasuki guha rahasia di bawah tanah dan mereka disambut dengan girang oleh Hui Cu. Melihat gadis ini, Cia Kong Liang merasa heran dan dia segera bertanya.   "Siapakah nona ini?" Bagaimanapun juga, dia tentu saja ingin mengenal semua orang yang berada di situ, mengingat bahwa mereka semua masih berada di tempat yang berbahaya.   "Lociainpwe, nona ini adalah Toan Hui Cu, puteri dari... Pangeran Toan Jit Ong." Ci Kang hampir saja menyebut nama Raja Iblis, akan tetapi diubahnya ketika dia teringat bahwa gadis itu tentu akan merasa tersinggung dan tidak enak kalau ayahnya disebut Raja Iblis.   Akan tetapi, mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Toan Jit Ong, berarti puteri Raja Iblis, ketua Cin-ling-pal itu terbelalak dan mukanya berobah merah. Tangannya yang masih memegang pedang tadi bergerak dan dia sudah menyerang Hui Cu dengan pedangnya! Akan tetapi dia terkejut karena tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap dan ternyata dengan gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya, gadis itu telah melompat jauh ke belakang sambil mengerutkan alisnya.   "Toako, kenapa kalian membawa orang sejahat itu ke sini?" teriak Hui Cu penasaran.   Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang cepat melerai dan berkata. "Harap locianpwe suka menyimpan kembali pedang itu. Biarpun ia puteri Pangeran Toan, akan tetapi ia sama sekali tidak boleh disamakan dengan ayahnya atau ibunya. Ia menentang kejahatan orang tuanya dan ia pernah menyelamatkan nyawa kami, bahkan sekarangpun kalau tidak ada ia yang menunjukkan tempat rahasia ini, kita bertiga jangan harap dapat lolos dari San-hai-koan."   Cia Kong Liang menarik napas panjang dan diapun melepaskan pedangnya yang jatuh berdenting ke atas lantai. Dia teringat akan isterinya. Bukankah isterinya juga puteri seorang datuk sesat? Isterinya juga tidak dapat dikatakan berwatak penjahat, walaupun dia tahu bahwa ayah mertuanya, yang sudah lama mencuci tangan, kini agaknya kumat lagi dan bersekutu dengan pemberontak yang dipimpin datuk-datuk sesat. "Maafkan aku," katanya lirih kepada Hui Cu yang kini berani mendekat lagi.   "Nona Toan Hui Cu ini bahkan dimusuhi oleh ayahnya sendiri," Ci Kang menambahkan.   Cia Kong Liang menggeleng-geleng kepala keheranan, lalu memandang kepada Ci Kang dengan sinar mata mengandung kagum dan terima kasih. "Dan sekarang baru kita sempat bicara, orang muda. Siapakah engkau dan mengapa engkau dengan berani mati telah menolongku?"   Ci Kang tersenyum pahit dan diapun menjawab, "Locianpwe, keadaan saya tidak banyak bedanya dengan keadaan nona Hui Cu. Nama saya Siangkoan Ci Kang dan ayah saya adalah mendiang Siangkoan Lo-jin..."   "Ahhh...!" Kembali Cia Kong Liang terkejut sekali. Dia tahu siapa adanya Siangkoan Lo-jin alias Si Iblis Buta! Seorang datuk sesat yang terkenal jahat, yang mengepalai para datuk sesat untuk mengeruhkan dunia kang-ouw. Dan pemuda yang amat disukanya dan dikaguminya ini, pemuda yang sudah menolongnya secara cerdik dan berani, adalah putera datuk sesat itu!   "Saudara Siangkoan Ci Kang ini, walaupun orang tuanya menjadi datuk sesat, namun dia sendiri berjiwa pendekar sejati yang selalu menentang kejahatan, dan memang benar bahwa agaknya keadaannya tidak berbeda dengan nona Toan Hui Cu." Cia Sun menerangkan.   Cia Kong Liang menarik napas panjang beberapa kali sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang," akhirnya dia berkata, "kalau melihat putera seorang pendekar menjadi orang gagah, hal itu tidaklah aneh dan tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi putera seorang raja datuk sesat menjadi seorang pendekar budiman, sungguh hal ini merupakan suatu yang luar biasa dan amat mengagumkan." Kemudian dia memandang kepada Cia Sun. "Dan engkau sendiri, orang muda. Siapakah kau?"   Cia Sun menjura dengan hormat. "Harap locianpwe suka memaafkan kalau saya bersikap kurang pantas. Sesungguhnya, saya adalah cucu keponakan locianpwe sendiri, nama saya Cia Sun dan ayah bernama Cia Han Tiong."   Sepasang mata ketua Cin-ling-pai itu terbelalak dan wajahnya berseri ketika dia mengulur tangan dan memegang lengan pemuda itu. "Ahh...! Kiranya engkau putera Cia Han Tiong? Pantas... Cia Sun, bagaimana kabarnya dengan ayah dan ibumu? Apakah masih tinggal di Lembah Naga?"   "Terima kasih, ayah baik-baik saja dan masih berada di Lembah Naga, akan tetapi ibu telah tewas terbunuh orang jahat." Cia Sun lalu menceritakan keadaan keluarganya dengan singkat dan percakapan lalu menjurus ke arah pemberontakan itu sendiri.   "Aku telah tertipu! Aku telah khilaf karena kesembronoanku sendiri!" Ketua Cin-ling-pai itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. "Tanpa penyelidikan lebih dahulu aku telah membawa keluarga dan murid-murid Cin-ling-pai untuk membantu pasukan pemberontak, karena tadinya kukira bahwa pemberontak Ji-ciangkun adalah suatu perjuangan yang menentang pemerintah lalim. Siapa kira, Ji-ciangkun sendiri diperalat oleh para datuk sesat yang hendak mencari kedudukan. Aku memberontak terhadap mereka dan ditawan, dan entah bagaimana nasib keluarga dan para muridku di Ceng-tek."   Tiba-tiba terdengar suara keras dan gaduh di sebelah atas. "Ah, di atas terjadi pertempuran besar!" kata Hui Cu ketika mereka semua terkejut mendengar kegaduhan itu.   "Kota ini telah dikepung oleh pasukan besar pemerintah dan mungkin sekali kini telah terjadi pertempuran," kata Ci Kang.   "Bagus!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan mengambil pedang yang tadinya dilemparkan ke atas lantai. "Inilah kesempatan baik begiku untuk menebus dosa. Aku harus keluar membantu pasukan pemerintah dan menyerang para pemberontak laknat itu!"   "Akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, locianpwe. Sebelum benteng ini bobol, kita bertiga saja mana mungkin dapat menghadapi pasukan besar," Ci Kang membantah.   "Tentu saja kita harus melihat keadaan," kata Cia Kong Liang yang sudah bangkit kembali semangatnya. "Mari kita keluar, kita melakukan pembakaran-pembakaran dan pengrusakan-pengrusakan untuk menimbulkan kekacauan dari dalam."   Cia Sun memandang kagum. Ketua Cin-ling-pai ini memang gagah perkasa dan penuh semangat, sayang sekali tadinya agak ceroboh sehingga mudah tertipu. "Memang sebaiknya kalau kita keluar melakukan penyelidikan daripada menduga-duga di tempat ini dan tidak berbuat apa-apa."   "Harap kalian jangan pergi meninggalkan aku lagi!" kata Hui Cu. "Atau kalau kalian terpaksa pergi juga, aku akan ikut!"   "Hui Cu, kami keluar untuk melawan anak buah orang tuamu, sebaiknya engkau tinggal saja di sini menunggu kedatangan ibumu. Tak mungkin engkau melawan ayahmu sendiri," kata Ci Kang. Mendengar ini, wajah yang cantik dan agak pucat itu menjadi murung den gadis itu hampir menangis, kini memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata penuh permohonan.   Cia Sun merasa kasihan dan memegang tangan gadis itu. "Hui Cu, kami terpaksa meninggalkanmu di sini. Tinggallah kau di sini. Kalau engkau ikut dan terlihat oleh ayahmu, tentu engkau terancam bahaya besar dan kami sudah berjanji kepada ibumu untuk menjagamu. Tinggallah di sini dan aku berjanji bahwa kalau pertempuran sudah selesai, aku pasti menjemputmu di sini."   Akhirnya Hui Cu tidak membantah lagi, akan tetapi tidak lama setelah tiga orang itu keluar, Hui Cu tidak tahan untuk berada di tempat itu seorang diri saja dan iapun segera menyelinap keluar.   Hati Sui Cin girang sekali bahwa ia telah berhasil mengantar Hui Song, Siang Wi dan para murid Cin-ling-pai keluar dari dalam benteng Ceng-tek dengan selamat. Ia berpisah dari mereka dan kembali ke Ceng-tek untuk membantu pasukan suku bangsa, yang dipimpin Yelu Kim menyerbu Ceng-tek. Ia bergerak di antara para perajurit dan mencari gurunya. Pasukan para suku bangsa utara itu telah memperoleh kemajuan, telah menyerbu ke dalam dan kini terjadi pertempuran-pertempuran sengit di sebelah dalam kota benteng Ceng-tek di mana pihak penyerbu mulai mendesak pasukan pemberontak yang bertahan.   Akhirnya Sui Cin menemukan gurunya, nenek Yelu Kim sedang memimpin pasukan pengawal di depan sebuah gedung. Yelu Kim juga girang melihat muridnya. Tadi ia sudah merasa khawatir karena belum juga melihat gadis itu yang bertugas sebagai penyelundup untuk mengacau sebelah dalam benteng musuh.   Tiba-tiba dari dalam gedung itu bermunculan serombongan orang yang langsung menyerbu pasukan pengawal Yelu Kim. Ada tiga belas orang yang menerjang itu dan ternyata mereka semua memiliki gerakan yang cepat dan kuat, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Beberapa orand perajurit pengawal Yelu Kim sudah roboh dalam segebrakan saja. Ketika Sui Cin memandang, ternyata mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang diperbantukan di Ceng-tek oleh Raja Iblis. Tiga belas orang itu dipimpin oleh Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo dan Tho-tee-kwi, tiga orang dari Cap-sha-kui yang lihai!   "Hati-hati, subo, tiga orang itu adalah orang-orang Cap-sha-kui yang lihai!" katanya memperingatkan gurunya dan ia sendiri sudah menerjang maju dengan cepatnya. Gerakannya yang lincah ini disambut oleh Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo. Koai-pian Hek-mo sudah menggerakkan pecut bajanya yang panjang dilecutkan ke arah kepala Sui Cin, sedangkan Hwa Hwa Kui-bo juga sudah menyambut dengan tusukan pedang.   "Wuuuuttt...!" Secara luar biasa sekali tubuh Sui Cin yang masih melayang di udara itu menukik dan mengelak bagaikan seekor burung walet saja gesitnya dan serangan dua orang itu luput. Kini Sui Cin sudah turun dan berhadapan dengan mereka sambil tersenyum-senyum ia bertolak pinggang. Ia mentertawakan dua orang musuh besarnya ini dan teringat betapa kurang lebih empat tahun lalu ia pernah bertanding menghadapi dua orang tokoh Cap-sha-kui ini.   "Hi-hik, kiranya dua orang tua bangka Cap-sha-kui yang sudah bosan hidup! Beberapa tahun yang lalupun kalian tidak menang melawanku, apalagi sekarang. Kalian sudah menjadi semakin tua, sedangkan kepandaianku semakin maju!"   Tadinya dua orang tokoh Cap-sha-kui itu tidak mengenal Sui Cin, akan tetapi setelah gadis itu bicara dan tertawa, mereka teringat dan keduanya merasa kaget dan marah sekali. Sepasang mata di balik kedok hitam dari Hwa Hwa Kui-bo itu mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya yang lebar dengan gigi besar-besar putih itu terbuka. "Kiranya engkau bocah setan! Sekarang aku tidak akan mengampuni kamu lagi!" Dan secepat kilat tangan kirinya bergerak dan dua sinar hitam menyambar ke arah tubuh Sui Cin. Gadis ini sudah maklum bahwa nenek ini pandai menggunakan jarum-jarum beracun sebagai senjata rahasia, maka ia sudah siap siaga dan sekali ia mengebutkan tangan kirinya, ada angin menyambar kuat sekali dan jarum-jarum itu runtuh, bahkan ada sebagian yang menyambar kembali ke arah muka berkedok itu! Hwa Hwa Kuibo terkejut, mengeluarkan teriakan dan mengelak, lalu pedangnya bergerak melakukan serangan ganas. Gerakannya ini diikuti pula oleh menyambarnya paku di ujung pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo. Dua orang tokoh muara Sungai Huang-ho ini lalu mengamuk dengan buasnya mengeroyok Sui Cin. Akan tetapi, gadis ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tubuhnya sudah berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, dengan enaknya ia mempermainkan dan semua sambaran senjata lawan selalu luput, sebaliknva iapun membagi-bagi tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya, bahkan yang membuat dua orang itu gentar dan terdesak mundur.   Tho-tee-kwi (Setan Bumi), kakek raksasa yang menyeramkan itu, yang memiliki kebiasaan mengerikan, yakni makan daging anak-anak manusia, seorang tokoh Cap-sha-kui yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo, kini ditandingi oleh Yelu Kim yang dibantu oleh perwira-perwira pengawal yang lihai pula. Adapun para datuk lain dikeroyok oleh pasukan pengawal. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian. Akan tetapi karena pihak pasukan pengawal jauh lebih banyak jumlahnya, kini para datuk itu segera terdesak hebat.   Sui Cin tadinya ingin mempermainkan dua orang musuh lama itu, sesuai dengan wataknya yang meinang nakal. Akan tetapi iapun tahu betapa lihainya Tho-tee-kwi dan ia harus dapat cepat membantu gurunya menghadapi kakek raksasa itu. Maka iapun mempercepat gerakannya.   "Singggg...!" Tiba-tiba Hwa Hwa Kuibo yang licik itu menyerangnya dengan merendahkan diri dan pedang itu membabat ke arah kedua kaki Sui Cin. Serangan ini berbahaya sekali karena pada saat itu Sui Cin sedang menghadapi serangan paku di ujung cambuk Koai-pian Hek-mo yang menyambar ke arah matanya.   "Tingggg...!" Sui Cin menggunakan jari tangannya menyentil ke arah paku sehingga paku di ujung cambuk itu mencelat dan membalik, menyambar ke arah muka pemiliknya sedangkan tubuh gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan babatan pedang nenek Hwa Hwa Kui-bo. Gerakannya cepat dan kuat. Koai-pian Hek-mo terkejut melihat pakunya membalik dan menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi sekali menggerakkan gagang cambuk, paku itu berhenti menyambar dan kini cambuknya yang panjang ia gerakkan ke arah tubuh Sui Cin yang masih meloncat ke atas ketika menghindarkan babatan pedang tadi.   Sui Cin mengulur tangan menangkap ujung cambuk! Gerakan ini terlalu berani akan tetapi gadis itu telah membuat perhitungan yang matang. Ketika jari tangannya berhasil menangkap paku di ujung cambuk, secepat kilat ia meminjam tenaga gerakan cambuk, melontarkan paku itu ke arah Hwa Hwa Kui-bo. Paku di ujung cambuk itu meluncur bersama cambuk panjang itu ke arah kepala Hwa Hwa Kui-bo. Nenek ini sama sekali tidak pernah menyangka dan tahu-tahu ujung cambuk kawannya sendiri telah melayang ke arah kepalanya. Ia tidak keburu mengelak lagi.   "Cappp...! Aiiiiiihhh...!" Nenek itu menjerit, paku menancap batok kepalanya dan melihat ini, Koai-pian Hek-mo terkejut setengah mati. Ditariknya cambuknya dan paku itu tercabut keluar, diikuti muncratnya darah dari kepala nenek itu. Dengan mata mendelik yang memandang dari belakang kedoknya, Hwa Hwa Kui-bo menubruk ke depan dan tahu-tahu pedangnya telah menembus dada Koai-pian Hek-mo! Dasar orang sesat, karena paku di ujung cambuk temannya mengenai kepalanya, Hwa Hwa Kui-bo sudah menjadi marah kepada temannya sendiri dan menyerangnya dengan tiba-tiba. Koai-pian Hek-mo berteriak dan terjengkang roboh, darah muncrat dari dadanya. Hwa Hwa Kui-bo tertawa bergelak akan tetapi lalu terjengkang juga dan berkelojotan, tewas dalam waktu hampir berbareng dengan temannya. Sui Cin sudah tidak memperdulikan mereka lagi, langsung saja ia terjun ke dalam pertempuran membantu nenek Yelu Kim yang dibantu oleh beberapa orang perwira pengawal mengepung Tho-tee-kwi yang lihai. Majunya Sui Cin membawa perubahan. Kalau tadinya Tho-tee-kwi masih nampak gagah perkasa dan agaknya sukar bagi Yelu Kim untuk dapat merobohkan raksasa ini walaupun ia dibantu oleh para perwira pasukan pengawal, kini setelah Sui Cin maju dan menghujankan pukulan dan tamparan ampuh kepada Tho-tee-kwi, kakek itu terdesak hebat! Bahkan sebuah tamparan yang amat kuat dari tangan kiri Sui Cin mengenai pundak kakek itu yang membuatnya terhuyung ke belakang. Kesempaten ini dipergunakan oleh Yelu Kim untuk menggerakkan kebutannya yang berwarna putih. Ujung kebutan menjadi kaku dan menotok ke arah tiga jalan darah di tubuh kakek raksasa. Tho-tee-kwi sempat menangkis dua totokan, akan tetapi totokan ketiga mengenai tengkuknya dan tubuhnya seketika menjadi kejang. Saat ini kekebalannyapun lenyap dan ketika dua orang perwira pengawal menusukkan pedangnya, pedang itu amblas dan memasuki lambung dan dadanya. Padahal tadi, sebelum terkena totokan, pedang para perwira itu tidak mampu menembus kekebalan kulitnya!   Robohnya Tho-tee-kwi berarti berakhirnya perlawanan gigih para datuk sesat. Tiga orang Cap-sha-kui yang menjadi pimpinan mereka itu telah roboh dan tewas, tentu saja semangat mereka menjadi kecil dan dengan mudah merekapun dapat dirobohkan. Habislah tiga belas orang datuk sesat itu, semua tewas di tangan rombongan Yelu Kim walaupun pihak Yelu Kim juga menderita kematian belasan orang pasukan pengawal.   Setelah bertempur semalam suntuk, Ceng-tek jatuh ke tangan pasukan Yelu Kim. Akan tetapi, kini datanglah balabantuan dari San-hai-koan, yaitu pasukan pemberontak sehingga kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit lagi. Akan tetapi kini pihak Yelu Kim yang mempertahankan benteng Ceng-tek, sedangkan pihak pasukan pemberontak yang menjadi penyerang dari luar.   Hebat bukan main pertempuran ini. Pihak pasukan Yelu Kim sudah lelah setelah mengerahkan tenaga merebut benteng Ceng-tek, sedangkan pasukan pemberontak dari San-hai-koan masih segar dan jumlah merekapun lebih banyak. Akan tetapi, dengan pandainya Yelu Kim dapat menyusun kekuatan dan benteng Ceng-tek yang pintu-pintunya rusak telah diperbaiki. Kini benteng itu menjadi kokoh kuat sehingga tidak mudah bagi pasukan pemberontak untuk merebut kembali benteng itu. Sampai lima hari lamanya pasukan pemberontak mengepung Ceng-tek dan setiap hari terjadi penyerbuan, namun tetap saja benteng itu dapat dipertahankan oleh pasukan Yelu Kim. Bagaimanapun juga, nenek itu mulai merasa gelisah. Kalau pengepungan itu dilanjutkan, paling lama sebulan saja pasukannya akan kehabisan ransum dan ini berarti mereka akan menderita kekalahan dan terpaksa melepaskan kembali Ceng-tek yang telah mereka kuasai. Bagaimanapun juga, nenek itu mengambil keputusan untuk mempertahankan Ceng-tek sampai kekuatan terakhir, karena sekali mereka meninggalkan benteng itu, akan sukarlah bagi mereka untuk memperoleh benteng baru di mana mereka akan dapat menyusun kekuatan untuk melakukan penyerangan ke selatan.   Sui Cin masih tinggal di Ceng-tek mendampingi gurunya. Gadis ini sudah bertekad membantu pasukan Yelu Kim selama pasukan ini bertempur melawan pasukan pemberontak dan iapun ikut prihatin melihat betapa pasukan gurunya terkurung di Ceng-tek dan benteng itu sudah dikepung oleh pasukan pemberontak yang besar jumlahnya.   ***   Sementara itu, pertempuran di San-hai-koan juga terjadi dengan amat serunya. Sisa pasukan pemberontak yang berada di San-hai-koan terkejut bukan main melihat betapa tiba-tiba saja pasukan pemerintah yang berjumlah besar sekali telah mengepung San-hai-koan. Mereka dipimpin oleh Ji-ciangkun dan para pembantunya melawan dengan gigih dan mempertahankan benteng San-hai-koan mati-matian. Juga para pembantu Raja Iblis, yaitu datuk-datuk sesat dan tokoh-tokoh dunia hitam, membantu pasukan pemberontak mempertahankan benteng itu. Akan tetapi, pasukan pemerintah jauh lebih kuat dan pasukan inipun dibantu oleh para pendekar yang kini membalas dendam kepada pasukan pemberontak, maka dalam waktu sehari semalam saja benteng itupun bobol dan pertempuran terjadi dengan serunya di dalam kota San-hai-koan.   Cia Sun dan Ci Kang kini mengikuti Cia Kong Liang yang memimpin mereka untuk menggempur para pemberontak dari dalam. Mereka bertiga mengemuk sampai mereka dapat bertemu dengan para pendekar yang membantu pemerintah. Melihat betapa ketua Cin-ling-pai kini membantu pasukan pemerintah menggempur pemberontak, para pendekar menjadi girang dan mereka menganggap bahwa berita tentang Cin-ling-pai yang bersekutu dengan pemberontak ternyata tidak benar, atau mungkin juga ketua Cin-ling-pai menggunakan siasat pura-pura bersekutu dengan pemberontak untuk dapat menggempur dari sebelah dalam!   Setelah para pemberontak akhirnya tidak mampu melawan lagi, sebagian besar tewas, sebagian melarikan diri dan sebagian pula menakluk, Ci Kang dan Cia Sun cepat kembali ke tempat rahasia di mana Hui Cu tadi mereka tinggalkan. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah hati mereka ketika mereka tidak lagi melihat gadis itu di tempat itu. Hui Cu telah hilang dan mereka berdua tidak tahu apakah gadis itu pergi sendiri dari situ ataukah dilarikan orang. Juga dalam penyerbuan itu, walaupun mereka semua sudah mencari-cari bersama para pendekar lain, tidak ditemukan jejak Raja dan Ratu Iblis bersama Hui-thian Su-kwi dan beberapa orang datuk sesat lain. Juga Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tidak dapat mereka temukan. Hanya Ji-ciangkun yang akhirnya dapat tertawan hidup-hidup dalam keadaan luka-luka dan panglima pemberontak inipun tidak dapat menjawab ke mana larinya Raja Iblis dan kaki tangannya itu. Tentu saja para pendekar merasa menyesal sekali. Mereka tadinya sudah siap-siap untuk mengeroyok dan membasmi para datuk sesat. Kiranya tokoh-tokoh terpenting mereka depat melarikan diri.   Setelah San-hai-koan jatuh tanpa mengerahkan terlalu banyak tenaga bagi pasukan pemerintah, Yang-ciangkun lalu mengerahkan pasukan untuk menuju ke Ceng-tek. Seperti yang telah diperhitungkannya, pasukan-pasukan pemberontak sedang mengepung Ceng-tek dan menghamburkan banyak tenaga untuk mencoba membobolkan benteng Ceng-tek yang sudah diduduki puukan Yelu Kim. Dan selagi kedua pihak itu kelelahan, muncullah pasukan pemerintah dari San-hai-koan yang keadaannya masih segar dan dalam jumlah yang besar, dibantu pula oleh para pendekar yang penuh semangat.   Tentu saja pasukan pemberontak yang sedang mengepung Ceng-tek menjadi terkejut dan panik ketika tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan pemerintah dari belakang. Apalagi setelah mereka mendengar berita bahwa benteng pertama mereka, San-hai-koan, telah direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Berarti mereka telah kehilangan kedua benteng itu. Ceng-tek direbut oleh pasukan suku bangsa utara dan San-hai-koan dirampas oleh pasukan pemerintah. Pasukan pemberontak mencoba untuk melakuken perlawanan, akan tetapi mereka dihimpit dari depan dan belakang dan dalam waktu sehari saja merekapun hancur lebur dan cerai berai, sebagian besar melarikan diri atau menakluk.   Dan terjadilah perubahan pula di Ceng-tek. Pasukan Yelu Kim masih tetap mempertahankan kota itu dan kini yang mengepung kota itu adalah pasukan pemerintah yang jauh lebih kuat lagi dibandingkan pasukan pemberontak tadi.   Yang-ciangkun adalah seorang panglima yang pandai dan bijaksana. Biarpun dia sudah mendengar bahwa Yelu Kim memimpin para kepala suku bangsa utara untuk bergerak, pertama-tama menduduki bentmg Ceng-tek untuk kemudian menyerbu ke selatan untuk menegakkan kembali kekuasaan bangsa utara di selatan, namun dia menganggap bahwa Yelu Kim telah berjasa bagi pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Dia tahu bahwa tidak ada untungnya menanam bibit permusuhan dengan suku-suku bangsa liar yang kalau sudah bersatu akan menjadi amat kuat itu. Lebih baik mengambil jalan damai dengan mereka, baru kalau tidak ada jalan lain, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Oleh karena itu, Yang-ciangkun lalu menyuruh para pembantunya untuk menyuruh penyiar yang suaranya keras untuk menyampaikan pesan dan usulnya kepada pimpinan pasukan para suku bangsa utara. Beberapa orang yang memiliki suara nyaring dan memang bertugas untuk itu, maju ke depan dengan corong-corong di depan mulut mereka dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka bergema dengan amat kuatnya.   "Para pimpinan suku bangsa yang gagah, dengarlah baik-baik pesan Yang-ciangkun! Kami tidak menganggap kalian sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat yang telah membantu kami membasmi para pemberontak. Oleh karena itu, kami harap agar suka menyerahkan benteng Ceng-tek kembali kepada kami agar persahabatan di antara kita tidak terganggu!"   Berkali-kali kalimat-kalimat itu diteriakkan oleh para penyiar sehingga terdengar oleh mereka yang berjaga di pintu gerbang atau di atas tembok benteng dan tentu saja segera disampaikan kepada Yelu Kim.   Nenek itu berada di atas menara yang menjadi pusat di mana ia memimpin para kepala suku bangsa dan pasukan mereka. Nenek ini merasa bimbang sekali dan ia duduk berdua saja dengan Sui Cin. Ketika menerima laporan tentang usul yang diteriakkan oleh Yang-ciangkun, nenek itu mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa penasaran, akan tetapi juga ragu-ragu.   "Keparat! Dengan susah payah kita merebut kota ini, dengan pengorbanan ribuan jiwa pasukan, dengan cucuran keringat dan darah. Dan sekarang hendak diminta begitu saja? Mana mungkin aku dapat memberikan kepada mereka?"   Sui Cin sejak tadi memandang wajah nenek itu. Ia merasa kagum terhadap nenek ini yang dengan gagah dan pandainya memimpin pasukan utara itu sehingga berhasil menduduki Ceng-tek. Akan tetapi iapun tahu bahwa kini, setelah pasukan pernerintah datang dan berhadapan dengan pasukan Yelu Kim, ia sendiri tidak mungkin membantu nenek yang menjadi penolong dan gurunya ini. Maka, mendengar usul yang diajukan oleh Yang-ciangkun, Sui Cin melihat suatu cara yang baik untuk turun tangan, yaitu membujuk nenek ini agar suka menerima uluran tangan Yang-ciangkun.   "Subo..." katanya lirih dan hati-hati.   "Hemm...?" Nenek yang sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri itu agak kaget dan memandang muridnya.   "Subo tentu percaya kepadaku, bukan?"   "Percaya apa?"   "Percaya bahwa aku selalu beriktikad baik terhadap subo dan pasukan yang subo pimpin."   Nenek itu memperlebar matanya dan memandang tajam. "Tentu saja. Sudah banyak yang kaulakukan untukku, Sui Cin, dan untuk itu aku berterima kasih sekali. Kalau aku tidak percaya padamu, tentu engkau tidak kuberi tugas yang panting-penting sclama ini."   "Terima kasih! Aku suka menjadi murid dan pembantu subo, bukan hanya karena terikat perjanjian, bukan pula hanya karena aku sudah menerima budi pertolongan subo, melainkan karena aku merasa suka kepada subo yang gagah perkasa dan bijaksana, juga aku suka melihat pasukan suku bangsa utara yang demikian gagah berani. Nah, karena rasa suka saya itulah maka aku hendak mengemukakan pendapatku tentang penawaran Yang-ciangkun kepada subo, akan tetapi kuharap subo tidak akan merasa tersinggung dan menjadi marah."   Nenek itu tersenyum dan memandang lembut. "Muridku, apa kaukira aku belum mengenalmu dan tidak tahu akan isi hatimu? Engkau membantuku karena melihat aku menentang para pemberontak. Engkau seorang gadis pendekar dan tentu engkau menentang para kaum sesat yang menunggangi pasukan pemberontak. Kalau kami berhadapan dengan pasukan pemerintah, jelas bahwa engkau tidak akan membantu kami walaupun aku percaya engkau tidak akan tega untuk mengkhianatiku. Bukankah demikian?"   Sui Cin terkejut dan memandang nenek itu dengan kagum. Sungguh seorang wanita tua yang cerdik dan bijaksana. Pantaslah kalau menjadi keturunan Yelu Ce-tai yang amat terkenal di jaman awal pemerintah Mongol itu.   "Sungguh tepat sekali wawasan subo."   "Nah, sekarang katakanlah apa yang menjadi pendapatmu mengenai keadaan kita sekarang ini."   "Begini, subo. Ceng-tek telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya. Tanpa diserang sekalipun, baru dikepung saja sampai sebulan lebih, kita akan kehabisan ransum dan akan celaka. Andaikata kita melawanpun, tidak mungkin dapat menang. Aku yakin subo tidak akan sebodoh itu, membiarkan pasukan hancur lebur hanya untuk mempertahankan sebuah benteng kecil seperti Ceng-tek ini. Kalau menurut pendapatku, jauh lebih menguntungkan untuk menerima usul Yang-ciangkun, menyerahkan kembali benteng ini dalam suasana damai dan bersahabat daripada mempertahankannya dengan kekerasan untuk akhirnya melihat pasukan subo dihancurkan."   "Pendapatmu memang tepat dan cocok sekali dengan apa yang kupikirkan, muridku. Akan tetapi, pantaskah kalau aku memberikan kota ini begitu saja sehingga semua pengorbanan yang telah kita lakukan itu, kematian ribuan orang saudara itu, menjadi sia-sia dan tanpa guna sama sekali bagi bangsa kami?"   "Subo, Yang-ciangkun mengulurkan tangan sebagai sahabat. Seorang sahabat yang baik tentu tidak hanya pandai minta saja, akan tetapi juga pandai pula memberi. Minta dan memberi merupakan syarat persahabatan yang baik. Kalau subo menyerahkan kota ini dengan damai, tentu subo dapat pula mengajukan permintaan-permintaan yang kiranya berguna bagi bangsa-bangsa di utara sehingga pengorbanan itu tidak sia-sia belaka melainkan ada pula hasilnya, bukan?"   "Aih, benar sekali, Sui Cin!" Nenek itu bangkit dan merangkul muridnya. "Mengapa aku tidak berpikir sampai ke situ? Engkau benar sekali. Aku akan menyusun permintaan-permintaan itu dan aku tahu siapa yang akan menjadi utusan dan wakilku. Engkaulah orangnya yang akan menyampaikan permintaan dan usul kami itu kepada Yang-ciangkun!"   Sui Cin gembira sekali. "Aku bersedia, subo!"   Nenek itu lalu memerintahkan pembantunya untuk menjawab teriakan-teriakan dari bawah itu, menyatakan bahwa jawabannya akan dikirim besok pagi-pagi setelah matahari terbit. Setelah jawaban diteriakkan ke bawah, tidak terdengar lagi teriakan-teriakan dari bawah dan keadaan menjadi sunyi. Yang mengepung kota tinggal diam saja dan tidak melakukan gerakan apa-apa, malam itu membuat api unggun, sedangkan yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan atas tembok benteng juga nampak tenang-tenang saja. Bahkan kedua pihak begitu percaya satu sama lain sehingga para pemimpinnya dapat tidur nyenyak pada malam hari itu.   Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Sui Cin menerima gulungan kertas berisi permintaan-permintaan atau usul-usul dari Yelu Kim yang ditujukan kepada pemerintah Beng-tiauw melalui Yang-ciangkun yang tentu saja berwenang memutuskan peraturan di perbatasan utara karena di perbatasan, yang berlaku adalah peraturan-peraturan militer. Akan tetapi gadis itu tidak keluar sendirian, melainkan diantar sampai keluar pintu gerbang oleh Yelu Kim sendiri. Hal ini selain untuk memperlihatkan niat baik Yelu Kim, juga nenek ini merasa khawatir kalau-kalau ada di antara para kepala suku bangsa yang tidak setuju dan hendak mengganggu muridnya. Untuk keperluan menyampaikan surat itu, Sui Cin menunggang seekor kuda putih yang telah dipersiapkan oleh penjaga di pintu gerbang.   Pintu gerbang dibuka dan dengan diantar oleh Yelu Kim sampai keluar pintu gerbang, Sui Cin menuntun kuda putih dan setelah berpamit kepada gurunya, gadis itu lalu meloncat ke atas kudanya sambil membawa gulungan kertas itu.   Tiba-tiba nampak berkelebat dua bayangan orang yang menghadang kuda yang ditunggangi Sui Cin. Gadis ini terkejut sekali, apalagi setelah mengenal bahwa dua orang itu bukan lain adalah Raja dan Ratu Iblis sendiri!   Gadis itu berpikir cepat. Tentu kemunculan dua iblis ini ada huburgannya dengan surat yang dibawanya. "Kalian mau apa?" bentaknya marah.   "Menyerahlah dengan baik!" kata Ratu Iblis.   "Huh, kalian kira aku takut? Sampai mati aku tidak sudi menyerah!" Dan tiba-tiba Sui Cin membalapkan kudanya. Akan tetapi ia tidak mudah lolos begitu saja. Tangan Raja Iblis bergerak dan hawa pukulan yang amat kuat membuat kuda yang ditungganginya terpelanting ke kiri! Untung Sui Cin masih memiliki ketenangan sehingga dengan gin-kangnya yang tinggi, ia dapat melompat dan tidak ikut terbanting. Kuda itu terbanting akan tetapi tidak terluka, hanya terkejut saja dan meringkik ketakutan.   Sementara itu, nenek Yelu Kim yang juga melihat munculnya dua bayangan itu, tidak masuk kembali ke dalam pintu gerbang, melainkan cepat lari menghampiri tempat itu yang tidak begitu jauh dari tempat ia berdiri.   "Sui Cin, suratnya...!" nenek ini berseru.   Sui Cin maklum apa yang dikehendaki gurunya, cepat gulungan kertas itu ia lemparkan ke arah nenek yang cepat menyambarnya. Nenek itu langsung meloncat ke atas punggung kuda yang ketakutan dan ia membalapkan kuda itu untuk menggantikan Sui Cin menghadap Yang-ciangkun menyerahkan sendiri surat tuntutan atau permintaan bangsanya itu.   Akan ketapi kembali Raja Iblis menggerakkan tangannya dan sekali ini bukan untuk melakukan pukulan jarak jauh seperti yang dilakukan terhadap kuda tadi, melainkan ada benda bersinar putih meluncur dari tangan itu menuju ke arah tubuh Yelu Kim yang sedang melarikan kuda. Benda itu berputar-putar cepat seperti hidup dan tahu-tahu sudah hinggap di atas punggung Yelu Kim. Nenek ini merasa betapa punggungnya panas dan perih sekali. Ia cepat mencengkeram ke arah benda di punggungnya itu dan menariknya dari punggung. Ketika dilihatnya, ternyata itu adalah sebuah tengkorak kecil, agaknya tengkorak seorang anak kecil. Nenek ini terkejut dan membanting tengkorak itu ke atas tanah. Tengkorak pecah berantakan dan dari dalamnya keluar asap hitam! Nenek itu merasa betapa rasa panas menjalar cepat ke seluruh tubuh dan tahulah ia bahwa ia terkena senjata beracun yang amat ampuh. Akan tetapi ia terus saja membalapkan kuda ke depan, ke arah perkemahan pasukan pemerintah yang mengepung kota Ceng-tek dari jarak antara dua tiga li jauhnya. Ia menahan rasa nyeri yang menyengat-nyengat tubuhnya, terus melarikan kuda putihnya yang kabur karena sudah ketakutan. Nenek itu berhasil mencapai perkemahan dan terpelanting dari atas kudanya sambil masih mencengkeram gulungan kertas.   Para perejurit yang menyaksikan peristiwa itu cepat mengangkutnya ke dalam kemah besar, ke hadapan Yang-ciangkun. Panglima ini cepat menerima gulungan kertas dan nenek Yelu Kim hanya sempat mengeluarkan kata-kata begini, "Tai-ciangkun... demi kejujuran seorang pemimpin, kota Ceng-tek kuserahkan akan tetapi penuhilah permintaan-permintaan kami yang pantas ini..." dan nenek yang gagah perkasa inipun menghembuskan napas terakhir di depan Yang-ciangkun. Berita tentang kegagahan nenek Yelu Kim ini tersiar luas dan sampai puluhan tahun mendatangkan namanya menjadi kebanggaan suku bangsa di timur dan dikagumi pula para pendekar selatan. Tuntutannya adalah pembebasan pajak bagi suku bangsa utara yang membawa barang dagangan keluar masuk perbatasan dan hal ini disetujui oleh Yang-ciangkun sehingga keadaan para pedagang suku bangsa utara menjadi jauh lebih baik.   Sementara itu, Sui Cin dengan nekat melakukan perlawanan. Melihat betapa nenek Yelu Kim berhasil lari walaupun agaknya terluka, gadis ini menjadi marah. "Kalian ini iblis-iblis busuk!" bentaknya dan iapun sudah menerjang mereka dengan tangan kosong, menggunakan ilmu pukulannya yang ampuh sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.   Akan tetapi, yang diserangnya adalah Raja Iblis yang luar biasa tangguhnya. Setiap kali kakek bermuka pucat kehijauan itu menangkis, Sui Cin merasa betapa lengannya nyeri dan tergetar hebat. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang terus sehingga kakek itu menjadi marah. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Sui Cin tidak dapat dibilang rendah dan sampai belasan kali tubrukan balasan Raja Iblis tidak mampu menangkap Sui Cin yang lincah dan menggunakan gin-kangnya untuk mengelak ke sana-sini itu.   Sui Cin tidak membiarkan dirinya ditangkap, bahkan membalas dan ketika ia mengelak dari cengkeraman kedua tangan Raja Iblis, tiba-tiba ia membalik dan dengan kedua tangannya yang terbuka telapak tangannya, ia melakukan pukulan yang dilakukan dengan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Angin dahsyat menyambar ke arah Raja Iblis yang diam-diam merasa kagum juga kepada gadis yang pernah membikin ia penasaran dan repot ketika Sui Cin dahulu merampas Tongkat Suci dari tangannya. Kini, kembali dia tidak mampu menangkap gadis ini dalam waktu singkat. Raja Iblis merasa penasaran sekali. Dia dan isterinya telah gagal dalam pemberontakan membonceng pasukan Ji-ciangkun dan kedua kota benteng telah jatuh ke tangan pemerintah. Melihat betapa pasukan pemerintah berhadapan dengan pasukan liar dari utara, dia masih mempunyai harapan agar kedua pihak berperang sehingga keduanya lemah. Akan tetapi ternyata Yelu Kim menerima tawaran dan uluran tangan Yang-ciangkun untuk berdamai. Oleh karena itu, dia lalu keluar bersama isterinya untuk menggagalkan ini, merampas surat dan juga menawan Sui Cin untuk dijadikan sandera. Akan tetapi, terayata nenek Yelu Kim berhasil melarikan surat, dan mengorbankan nyawa sendiri dan kini tinggal gadis itu yang juga tidak mudah ditangkap!   Melihat betapa gadis itu malah menyerangnya dengan dahsyat, kakek seperti setan itu mengeluarkan suara mencicit seperti burung dari dalam mulutnya dan diapun mengulur kedua tangan ke depan menyambut pukulan Sui Cin.   "Plakk!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan Raja Iblis merasa betapa tubuhnya tergetar! Semakin kagumlah dia, akan tetapi sebaliknya Sui Cin merasa betapa telapak kedua tangannya melekat pada telapak tangan Raja Iblis. Dia berusaha menarik kedua tangannya akan tetapi merasa betapa ada tenaga menyedot dari kedua telapak tangan iblis itu yang membuat kedua tangannya melekat. Dan pada saat itu, Ratu Iblis sudah bergerak menotok punggungnya. Sui Cin tidak mampu mengelak dan iapun roboh dengan lemas lalu dipanggul oleh Ratu Iblis.   Pada saat itu, serombongan perajurit Yelu Kim sudah menghampiri tempat itu dan mengurung dengan senjata ditodongkan. Akan tetapi nenek Ratu Iblis membentak mereka, "Majulah dan nona ini akan kubunuh dulu, baru kalian!"   Melihat betapa Sui Cin yang mereka kenal sebagai pembantu dan murid nenek Yelu Kim sudah tertawan, dan mendengar ancaman Ratu Iblis, pasukan itu tidak berani menyerang dan terpaksa membiarkan saja kakek dan nenek itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Sui Cin yang sudah tidak mampu bergerak.   Sementara itu, Cia Sun dan Ci Kang yang bersama Cia Kong Liang sudah bergabung dengan para pendekar dan ikut pula membantu pasukan pemerintah yang mengurung Ceng-tek, melihat betapa nenek Yelu Kim tewas di tangan Raja Iblis. Dari jauh mereka melihat kakek dan nenek itu yang melarikan diri tanpa diganggu oleh pasukan suku utara. Keduanya segera berlari cepat menuju ke depan pintu gerbang Ceng-tek. Semua orang mengenal Ci Kang yang gagah perkasa karena Ci Kang pernah dicalonkan menjadi jagoan bahkan hampir memperoleh kemenangan kalau tidak dikalahkan oleh Sui Cin.   "Apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak menahan dua orang kakek dan nenek itu tadi?" tanya Ci Kang.   "Mereka menawan nona Sui Cin, kami tidak berani turun tangan."   "Apa?" Cia Sun terkejut mendengar bahwa Sui Cin ditawan Raja dan Ratu Iblis. "Ke mana mereka lari?"   "Ke sana...!" Seorang perwira menunjuk ke arah sebuah bukit yang nampak gundul dari tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi, seperti sudah berunding lebih dahulu, Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun berlari menuju ke bukit itu, mempergunakan ilmu berlari cepat.   Ketika keduanya tiba di kaki bukit itu, mereka bertemu dengan Hui Song dan sisa murid-murid Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Hui Song dan Siang Wi bersama murid-murid Cin-ling-pai, berhasil dibawa keluar dari Ceng-tek oleh Sui Cin. Akan tetapi ketika mereka pergi ke San-hai-koan untuk mencari ketua mereka, ternyata San-hai-koan sedang dalam perang sehingga mereka tidak dapat masuk kota benteng itu. Terpaksa mereka menjauhkan diri karena mereka merasa khawatir terjadi salah paham dari pasukan pemerintah yang agaknya sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai bersekutu dengan pemberontak. Barulah setelah perang berakhir, Hui Song, Siang Wi dan saudara-saudara seperguruan mereka mendengar bahwa Cia Kong Liang kini membantu pasukan pemerintah menyerang ke Ceng-tek, sehingga mereka merasa gembira sekali dan merekapun mengejar ke Ceng-tek.   Biarpun hati Hui Song tetap tidak senang melihat Ci Kang, akan tetapi malihat Cia Sun dia segera bertanya, "Cia Sun, engkau hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan di Ceng-tek? Apakah engkau bertemu dengan ayah?"   Cia Sun mengangguk. "Kami bersama-sama dengan ayahmu dan beliau kini berada di antara pasukan yang mengepung Ceng-tek. Kami berdua hendak mengejar Raja dan Ratu Iblis yang telah menawan dan melarikan nona Sui Cin..."   "Apa...?" Hui Song menjadi pucat wajahnya. "Ke mana ia dibawa lari?"   "Ke bukit itu, dan kita akan mencarinya!" kata Cia Sun dan diapun cepat mengejar Ci Kang yang agaknya tidak mau banyak cakap dan sudah lari lagi.   "Aku ikut...!" kata Hui Song. "Sumoi, bawa saudara-saudara menemui ayah di luar Ceng-tek!" Dan diapun cepat mengerahkan tenaganya untuk mengejar Ci Kang dan Cia Sun. Mereka bertiga seperti orang berlomba lari menuju ke bukit yang nampak gundul dan hitam dari tempat itu.   Bukit itu memang gundul dan kering. Setelah didekati, nampak bahwa bukit itu hanya terdiri dari padang pasir dan batu-batu karang belaka, tidak nampak sedikitpun tumbuh-tumbuhan. Dan di sebuah lereng bukit karang, mereka melihat pemandangan yang menegangkan hati dari jauh sehingga dengan sendirinya ketiganya berhenti dan memandang ke arah depan. Di sana, dalam jarak puluhan meter, nampak Sui Cin sedeng berdiri bersandar tiang dan jelas bahwa gadis itu diikat pada tiang itu.   "Itu Sui Cin...!" Hui Song berteriak dan dialah yang lebih dulu meloncat dan lari, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang.   "Cin-moi...!" Hui Song berseru setelah tiba dekat.   "Song-ko! Jangan mendekat...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru dan seruan ini mengejutkan tiga orang pemuda itu. Mereka berdiri memandang dengan alis berkerut dan memperhatikan keadaan.   Ternyata Sui Cin terikat pada sebuah tiang baja yang terletak di tengah-tengah lingkaran segi delapan. Pat-kwa atau Segi Delapan itu terbuat dari batu dan bentuknya biasa saja, akan tetapi amat mencurigakan. Garis tengahnya kurang lebih enam meter dan jarak dari sisi segi delapan itu ke tiang di mana Sui Cin terikat, sekitar tiga meter. Tempat di mana Sui Cin diikat itu tidak dapat dijangkau dengan tangan dan untuk meghampiri atau menolongnya, orang terpaksa harus naik dan menginjak batu segi delapan yang tebalnya antara dua kaki itu. Dilihat begitu saja, tentu akan mudah melepaskan belenggu yang mengikat kedua lengan Sui Cin pada tiang di belakangnya. Akan tetapi tiga orang muda itu bukan orang sembarangan, apalagi ada cegahan Sui Cin yang membuat mereka mengerti bahwa segi delapan ini merupakan jebakan yang mengandung rahasia yang amat berbahaya apabila diinjak oleh orang yang hendak menolong gadis itu.   "Jangan mendekat dari depan. Tadi ada seorang pendekar yang tewas karena hendak menolongku. Pasir di depan itu adalah pasir yang dapat membunuh, menyedot oirang yang menginjaknya. Ah, mengeriken sekali...! Aku melihat orang yang hendak menolongku itu tersedot, menangis tanpa aku mampu menolongnya sampai dia lenyap ke bawah permukaan pasir..." Suara gadis itu tergetar hebat. "Raja Iblis sengaja menaruh aku di sini untuk menjebak kalian yang tentu datang mencoba untuk menolongku. Hati-hati, jangan sembarangan bergerak."   Tentu saja tiga orang pemuda itu menjadi terkejut sekali dan bingung. Mereka berdiri agak jauh di depan Sui Cin. Kini gadis itu dapat melihat mereka semua dan wajahnya berseri gembira. Tak disangkanya bahwa tiga orang pemuda itulah yang datang hendak merolongnya, tiga orang pemuda yang begitu dekat dengan hatinya! Baru kini seperti terbuka matanya bahwa mereka itu, Cia Sun, Cia Hui Song, dan Siangkoan Ci Kang, semua mencintanya, jatuh hati kepadanya! Dan melihat mereka bertiga itu berdiri barjajar di depannya, hati Sui Cin yakin bahwa sesungguhnya perasaan hatinya lebih condong kepada Hui Song. Apapun kekurangan pemuda ini kalau dibandingkan dengan dua orang pemuda yang lain, tetap saja perasaan Sui Cin lebih dekat dengannya dan ia tahu bahwa Hui Song memiliki watak dan citarasa yang mirip dengannya. Hanya dengan Hui Song dia dapat bergembira, dapat bertengkar, berbaik kembali, berbantahan dan saling mengalah. Cia Sun terlalu serius, terlalu halus perasaannya sehingga tentu mudah tersinggung. Siangkoan Ci Kang mungkin yang paling gagah di antara mereka, penuh daya tarik kejantanan, akan tetapi juga pendiam dan bahkan agak dingin. Kini, dalam keadaan terancam bahaya seperti itu, memang lucu sekali, gadis ini mengambil keputusan bahwa yang dicintanya hanyalah Hui Song.   "Cin-moi, aku harus menolongmu. Aku dapat meloncat ke atas batu dan membebaskanmu, tanpa menginjak tanah di tepi batu pat-kwa ini!" kata Hui Song.   "Jangan...! Berhati-hatilah, Song-ko, engkau akan celaka nanti. Batu pat-kwa ini mengandung alat-alat rahasia yang mengerikan. Aku melihat sendiri betapa Raja dan Ratu Iblis melakukan langkah-langkah aneh ketika menginjak batu pat-kwa ini, dan aku yakin bahwa sekali saja salah langkah dan menginjak bagian yang ada alat rahasianya, akan terjadi hal-hal yang mengerikan."   "Aku tidak takut, kalau perlu aku boleh saja mati untuk menolongmu!"   "Nanti dulu, paman Hui Song! Kalau alat rahasia itu mengakibatkan kematianmu masih baik, akan tetapi bagaimana kalau alat rahasia itu bekerja membunuh Sui Cin?" kata Cia Sun dan Hui Song berubah agak pucat wajahnya karena dia teringat akan kemungkinan ini dan membayangkan kematian mengerikan bagi Sui Cin sebagai akibat perbuatannya yang gegabah!   "Begini saja!" tiba-tiba Ci Kang berkata. "Aku yang mencoba menghampiri nona Ceng dengan jalan di atas batu pat-kwa. Kalau terjadi apa-apa dengan diriku, biarlah, aku rela mati. Dan kalau terjadi sesuatu dengan nona Ceng, kalian berdua berjaga-jaga dan melindunginya."   "Biar aku saja yang mencobanya, Ci Kang," kata Cia Sun. "Engkau dan paman Hui Song yang berjaga-jaga melindungi Cin-moi."   "Jangan...!" Kini Hui Song yang berteriak. "Apakah kalian mau mempermainkan keselamatan Cin-moi? Tidak, tidak boleh gegabah! Kita harus menyelidiki dulu keadaan batu pat-kwa ini dan sekelilingnya!"   "Lalu apa yang akan kaulakukan, paman Hui Song?"   "Kita selidiki dulu tanah di sekelilingnya pat-kwa ini." Hui Song mengambil batu-batu sebesar kepala orang. Dia melemparkan batu itu di dekat batu pat-kwa di depan Sui Cin dan benar saja, tiba-tiba begitu tersentuh batu, pasir di depan batu pat-kwa itu bergerak memutar dan batu itupun disedot dengan cepat sekali ke bawah! Hui Song mencoba lagi untuk melihat di mana batas pasir berputar itu dan ternyata sampai sejauh tiga meter di bagian itu masih berbahaya.   Kini Cia Sun dan Ci Kang tanpa diminta membantu pemuda Cin-ling-pai itu. Mereka menggunakan batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu untuk menyelidiki tanah di sekeliling batu pat-kwa. Ada bagian yang kalau diinjak atau kejatuhan batu mengeluarkan paku-paku beracun, ada pula yang mengeluarkan asap beracun sehingga tidaklah mungkin menghampiri batu pat-kwa dengan menginjak tanah di sekelilingnya, kecuali satu bagian saja yang ketika dijatuhi batu tidak mengakibatkan apa?apa. Bagian ini berada di sebelah kiri Sui Cin. Ketika beberapa kali mereka melempukan batu di segi itu dan tidak terjadi reaksi apa-apa seperti yang terjadi pada tujuh segi yang lain, mereka menjadi girang.   "Bagian ini tidak mengandung perangkap!" kata Hui Song.   "Biar aku sekarang mencoba naik ke batu pat-kwa," kata Ci Kang sambil melangkah maju.   "Tidak! Engkau tidak boleh mendekatinya. Akulah yang berhak menolong Cin-moi, bukan engkau!" Hui Song yang masih membenci Ci Kang karena perbuatannya yang lalu terhadap Sui Cin, membentak marah.   "Hemm, mengapa harus engkau saja?" Ci Kang merasa mendongkol dan membantah.   "Karena ia... ia... adalah orang yang kucinta!" dengan jujur Hui Song mengaku begitu saja sehingga wajah Sui Cin menjadi merah dan hatinya juga mendongkol mengapa Hui Song begitu lancang untuk bicara soal cinta di depan orang-orang lain dalam keadaan seperti itu.   "Hemm, engkau sungguh terlalu tinggi hati," kata Ci Kang tak puas.   "Paman Hui Song, siapapun orangnya boleh saja jatuh cinta kepada Cin-moi dan hanya ialah yang akan menentukan siapa yang berhak memiliki hatinya. Akan tetapi untuk menolongya kukira tidak ada perbedaan, semuapun berhak."   "Tidak! Biar aku yang mencobanya lebih dulu, dan kuharap engkau suka menjaga kalau-kalau ada sesuatu yang mengancam dirinya, Cia Sun." Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang pemuda yang lain, Hui Song melangkah ke atas tanah yang tadi sudah dicoba berkali-kali dengan lemparan batu dan tidak terjadi sesuatu. Sui Cin yang tadi merasa bingung melihat betapa terjadi pertengkaran di antara mereka, memandang dengan hati khawatir.   Tiba-tiba terdengar ledakan dan Hui Song cepat meloncat ke belakang sambil berjungkir balik. Untung dia dapat bergerak cepat dan bersikap waspada. Kiranya tanah yang tadi sudah dicoba dengan lemparan batu dan tidak berbahaya itu, begitu terkena injakan kakinya lalu melemparkan batu dan pasir ke atas disertai suara ledakan dari bawah!   "Sungguh aneh! Kenapa tadi ketika dicoba dengan batu tidak apa-apa?" tanya Hui Song. Cia Sun juga merasa heran dan dia sudah melemparkan lagi sebuah batu ke tempat itu. Kembali terdengar ledakan dan pasir bersama batu menyambar ke atas disertai ledakan dari bawah!   "Ah, aku tahu sekarang!" kata Ci Kang yang menusuk-nusukkan sebatang kayu yang didapatnya ke atas tanah di sebelah kanan bagian yang meledak tadi. Dan di bagian itu, ketika ditusuk-tusuk, tidak terjadi apa-apa. Padahal tadi bagian itu kalau disentuh mengeluarkan paku-paku beracun! "Aku mengerti sekarang. Lihat, bayangan tiang itu tadi tiba di segi yang meledakkan pasir dan ketika dicoba tidak apa-apa. Kini bayangan tiang sudah bergeser ke kanan, jatuh di bagian ini dan bagian ini yang tadi menyemburkan paku kini tidak berbahaya. Sebaliknya, bagian yang tadi terkena bayangan dan tidak berbahaya, kini menjadi berbahaya! Agaknya bayangan tiang itu membuat alat rahasia di bagian atau segi yang tertutup bayangan menjadi lumpuh dan alat rahasia itu tidak bekerja!"   Dua orang pemuda yang lain mencoba-coba dan memang benar. Kini bagian yang terkena bayangan yang nampak melintang hitam di satu segi dari batu pat-kwa, ketika dilempar batu tanah di depannya, tidak terjadi apa-apa.   "Aku anak naik, harap kalian menjaga nona Sui Cin!" kata Ci Kang dan dengan berani dia sudah melangkah ke depan. Tanah itu diinjaknya dan tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah menghampiri batu pat-kwa, dipandang dengan jantung berdebar oleh Sui Cin. Dua orang pemuda yang lain, karena kedahuluan Ci Kang terpaksa hanya berdiri dengan sikap penuh kewaspadaan mereka menjaga kalau-kalau Sui Cin akan terancam bahaya bekerjanya alat rahasia.   Ci Kang sudah tiba di dekat batu pat-kwa. Dia tidak mau gegabah naik ke atas batu-batu pat-kwa itu, akan tetapi lebih dahulu menggunakan tongkat kayu tadi memukul permukaan batu pada kotak pertama. Setelah tidak terjadi sesuatu, dia lalu naik dan menginjak bagian itu. Dengan tongkatnya, dia memukul lagi bagian depan, juga tidak terjadi apa-apa. Kotak ketiga di depan dibagi menjadi dua oleh sebuah garis. Ci Kang meragu. Yang mana yang harus dipukul untuk mencari landasan yang aman. Dia memukulkan tongkatnya dengan hati-hati ke atas kotak yang kiri dan tiba-tiba saja bagian itu terbuka dan nampak berkelebat dua sinar hitam, satu ke arah Ci Kang dan yang lain ke arah Sui Cin!   Ci Kang cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik melompat ke bawah batu pat-kwa sehingga anak panah hitam itu meluncur lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Dan pada saat itu, Hui Song melemparkan sebuah batu besar menyambit anak panah yang meluncur dan menyambar ke arah Sui Cin.   "Takkk...!" Anak panah itu terpukul batu dan mencelat jauh keluar batu pat-kwa. Wajah Sui Cin menjadi agak pucat dan wajah tiga orang pemuda itupun diliputi ketegangan.   "Sungguh berbahaya!" kata Cia Sun. "Biarlah aku yang sekarang mencobanya, harap kalian suka menjaga baik-baik." Tanpa menanti jawaban, diapun menghampiri bagian segi yang tadi dilalui Ci Kang. Seperti juga Ci Kang, dia berhasil naik sampai ke dalam kotak kedua dan di sini, dengan hati-hati dia menggunakan ujung kakinya menekan kotak yang kanan dari kotak yang terbagi dua itu dan ternyata di sini aman, tidak seperti di bagian kiri yang tadi menyemburkan anak panah. Dua orang pemuda lain memandang penuh ketegangan.   Di depan kotak ketiga yang terbagi dua itupun terdapat kotak yang terbagi dua. Satu segi dari batu pat-kwa itu terbagi menjadi lima kotak dengan garis melintang dan di bagian yang dilalui Cia Sun itu kotak ketiga dan keempat terbagi menjadi dua. Di sini Cia Sun menjadi ragu lagi. Kotak mana yang harus dilaluinya. Dia sudah dekat dengan Sui Cin, akan tetapi belum dapat menjangkau ke depan untuk melepaskan belenggu pada kedua pergelangan lengan gadis itu. Dia masih harus melalui dua bagian lagi ke depan. Dengan hati-hati dan secara untung-untungan, kakinya menginjak bagian kanan dari kotak yang terbagi dua itu.   "Blarrr...!" Bagian itu terbuka dan dengan desis yang mengerikan, keluarlah dua ekor ular sendok yang agaknya sudah kelaparan karena dua ekor ular itu tiba-tiba menyerang ke arah Cia Sun dan Sui Cin. Dalam keadaan berdiri dengan sebelah kaki seperti itu, tentu saja Cia Sun tidak dapat melawan serangan ular dan menghindarkan diri, dia melempar tubuh ke belakang seperti yang dilakukan oleh Ci Kang tadi. Akan tetapi, Ci Kang dan Hui Song yang sudah siap siaga, menggerakkan tangan dan dua buah batu menghantam dua ekor ular itu sehingga dua binatang berbisa itu terlempar jauh dengan kepala hancur oleh dua buah batu yang disambitkan dengan kekuatan besar itu.   Kini mereka bertiga saling pandang dengan muka pucat. "Berbahaya sekali!" kata Cia Sun. "Sungguh tidak mungkin menghampiri Sui Cin melalui atas batu pat-kwa, terlalu berbahaya baginya, harus dicari jalan lain."   "Aku tahu," kata Hui Song "Aku akan meloncat ke atas tiang itu. Dengan demikian aku akan melewati batu pat-kwa dan dari atas tiang, aku dapat membebaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin."   "Jangan, Song-ko, terlalu berbahaya. Bagaimana kalau sampai engkau terjebak dan celaka?" seru Sui Cin penuh kekhawatiran. Bukan main gembiranya rasa hati Hui Song mendengar dan melibat kekhawatiran gadis itu. Mungkinkah Sui Cin begitu mengkhawatirkan keselamatan dirinya karena mencintanya?   "Ah, apa artinya malapetaka bagiku, Cin-moi? Yang penting asal engkau selamat dan bebas dari tempat ini!"   Setelah berkata demikian, dengan penuh semangat karena terdorong rasa gembiranya, Hui Song sudah meloncat ke atas. Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dia melayang ke arah tiang di tengah batu pat-kwa dan hinggap di puncak tiang itu. Akan tetapi, begitu kedua kakinya menginjak tiang, tiba-tiba terdengar suara keras dan tiang itupun berputar dengan cepat sekali, membawa tubuh Sui Cin dan Hui Song berputaran dengan cepat. Karena Sui Cin tidak dapat bergerak, kedua pergelangan tangannya diikat di belakang tiang, ia merasa ngeri dan hanya memejamkan kedua matanya, menanti datangnya maut yang mungkin tak dapat dihindarkannya lagi. Tubuh Hui Song yang berdiri di atas tiang dengan sebelah kaki, berpusing dengan amat cepatnya pula. Pemuda inipun bingung sekali karena dia tidak mungkin dapat menghentikan geraken tiang yang berputar dengan amat cepatnya itu, yang membawa tubuhnya berpusing seperti kitiran. Betapapun pandainya, mana mungkin dia dapat menggunakan tenaga untuk melawan perputaran tiang. Yang membingungkan hatinya adalah karena dia memikirkan keselamatan gadis yang dicintanya, yang juga berpusing di sebelah bawahnya. Dia tidak begitu memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi lebih mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin. Semua orang yang berada di luar batu pat-kwa juga terbelalak bingung. Kalau tiang itu tidak cepat dapat dihentikan, kalau kedua orang itu terus berpusing seperti itu cepatnya, akan berbahayalah keadaan mereka. Orang akan dapat tewas hanya karena diputar secepat itu, atau setidaknya akan gila karena ketakutan.   "Hui Song, cepat meloncat turun!" tiba?tiba Ci Kang membentak dan nyaring. Dia tidak ingat lagi akan segala ketidaksenangan hatinya dan menyebut nama Hui Song begitu saja di luar kesadarannya, saking gelisahnya melihat Sui Cin dan Hui Song berpusing seperti itu.   Barulah Cia Sun teringat dan iapun cepat meneriaki Hui Song agar segera meloncat turun. Tadinya, Hui Song sendiri tidak sadar dan mengambil keputusan untuk mati bersama Sui Cin. Akan tetapi, mendengar teriakan-teriakan kedua orang pemuda di bawah itu, teringatlah dia bahwa berpusingnya tiang karena terinjak olehnya dan besar sekali kemungkinan tiang itu akan berhenti kalau tidak diinjak. Akan tetapi, meloncat turun sampai di luar batu pat-kwa dalam keadaan berputar secepat itu bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Betapapun juga, teringat akan keselamatan Sui Cin, dia tidak memperdulikan lagi bahaya apapun yang akan mengancamnya dan setelah mengumpulkan tenaga, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat meninggalkan tiang. Tentu saja dia tidak dapat mempergunakan perhitungan karena pandang matanya sudah kabur dan dia tidak dapat melihat ke arah mana dia melompat. Bayangan kedua orang pemuda di luar batu pat-kwa itupun sudah tidak nampak olehnya saking cepatnya tubuhnya berpusing.   Begitu tubuhnya meloncat terlepas dari tiang, tubuh itu terbawa oleh tenaga dorongan ketika berpusing itu dan loncatannya menjadi jauh sekali! Tubuhnya seperti sebuah batu dilemparkan dengan tenaga raksasa. Kalau bukan Hui Song yang berkepandaian tinggi, tentu akan celakalah orang yang dilontarkan seperti itu. Akan tetapi Hui Song tidak kehilangan ketenangannya sehingga dalam keadaan yang amat berbahaya itu dia dapat mengambil tindakan tepat. Dia cepat mengerahkan tenaganya dan dengan gerakan kaki tangannya dia mampu meloncat jungkir balik sedemikian rupa sehingga tubuhnya melayang ke atas dan dorongan tenaga berpusing tadipun dapat dihindarkan. Tubuhnya masih berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia dapat hinggap ke atas tanah dengan selamat, walaupun mukanya menjadi pucat sekali dan tubuhnya basah oleh peluh. Ketika memandang, kepalanya pening dan dia memejamkan mata sebentar, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya dia dapat menguasai keadaannya. Dibukanya matanya dan ternyata dia telah terlempar sampai puluhan meter jauhnya! Dia melihat betapa tiang itu masih berputar, akan tetapi tidak cepat lagi dan perlahan-lahan berhenti. Tubuh Sui Cin masih terikat dan gadis itu nampak lemas, kepalanya terkulai dan matanya terpejam. Gads itu telah jatuh pingsan!   "Cin-moi...!" Hui Song berseru dengan hati penuh kegelisahan dan dia berlompatan menuju ke batu pat-kwa itu.   "Ia tidak apa-apa, hanya pingsan. Pernapasannya berjalan seperti biasa," kata Cia Sun.   "Untung ia pingsan, itu lebih baik bagi syarafnya," sambung Ci Kang.   Hui Song memandang penuh perhatian dan hatinyapun lega. Memang gadis itu hanya pingsan, dan kini tiang itu telah berbenti sama sekali seperti tadi. Kiranya kalau tiang itu diinjak atau disentuh dari atas, ada alat yang menggerakkannya sehingga berputar sampai dia dan Sui Cin tidak kuat lagi. Sungguh berbahaya!   "Aihh, bagaimana kita dapat membebaskannya?" Dia mengeluh khawatir.   "Kita harus berhati-hati. Agaknya Raja Iblis sengaja menggunakan Sui Cin sebagai umpan agar para penolong celaka," kata Cia Sun.   "Atau dia sengaja memancing para pendekar agar berkumpul di sini dengan maksud-maksud tertentu. Dia tentu tidak jauh dari sini. Kalau kita bisa menemukan Hui Cu, tentu gadis itu dapat memberi tahu kepada kita rahasis batu pat-kwa ini," kata Ci Kang.   "Aku tidak perduli Iblis itu menggunakan siasat apapun, aku tidak perduli siapa celaka asal dapat membebaskan Cin-moi!" kata Hui Song penuh nafsu.   Cia Sun mengerutkan alisnya. "Membebaskan Sui Cin memang amat penting, akan tetapi keselamatan orug lain juga penting," katanya seperti kepada diri sendiri. Ci Kang diam saja dan Hui Song sadar betapa dia terlalu mementingkan keselamatan Sui Cin saja sehingga meremehkan keselamatan orang lain.   "Maksudku, aku tidak perduli aku celaka atau mati sekalipun asalkan ia dapat diselamatkan dan dibebaskan dari situ," katanya lagi.   Pada saat itu terdengar suara keluhan dan mereka bertiga cepat mengangkat muka memandang kepada Sui Cin yang baru saja siuman. Gadis itu membuka matanya dan segera menutupkannya kembali. Seperti juga Hui Song tadi, ia merasa betapa sekelilingnya masih berpusing.   "Kumpulkan hawa murni, Cin-moi, sebentar juga pening itu akan hilang," kata Hui Song.   Mendengar suara Hui Song, legalah hati Sut Cin. Tadi ia sudah merasa khawatir sekali akan nasib Hui Song. Ia yang terbelenggu pada tiang saja, merasa berpusing sedemikian cepatnya dan ia mengkhawatirkan Hui Song yang juga ikut terputar di atasnya. Ia lalu menarik napas panjang berkali-kali, mengumpulkan hawa murni dan akhirnya ia dapat menguasai dirinya dan membuka matanya.   "Kalian berhati-hatilah, jangan gegabah," katanya. "Jangan sampai menolongku gagal, kalian malah tertimpa bahaya." Ia mengangkat mukanya memandang ke depan dan tiba-tiba gadis itu berkata. "Ah, siapa yang datang itu...?"   Tiga orang muda itu memandang dan mereka mangerutkan alis. Dari jauh, di atas sebuah bukit, nampak dua sosok bayangan besar dan kecil bergerak cepat sekali menuruni bukit itu menuju ke arah mereka.   "Hemm, kalau itu Raja dan Ratu Iblis yang datang, aku akan mengadu nyawa dengan mereka!" kata Hui Song mengepal tinju.   "Raja Iblis tidak segendut itu!" kata Ci Kang.   "Dan yang seorang lagi itu terlalu pendek untuk menjadi Ratu Iblis," kata Cia Sun.   "Heiii, itu suhu... tak salah lagi, itu suhu Wu-yi Lo-jin!" kata Sui Cin dengan suara gembira.   "Dan yang gendut itu adalah suhu Siang-kiang Lo-jin!" Hui Song juga berseru girang ketika mengenal kakek gendut botak itu.   Dan memang benarlah. Setelah tiba dekat, ternyata mereka adalah dua orang kakek aneh sakti yang pernah menggembleng Sui Cin dan Hui Song selama tiga tahun. Begitu tiba di situ, Wu-yi Lo-jin yang berjuluk Dewa Arak itu terkekeh dan menudingkan telunjuknya kepada Sui Cin.   "Heh-heh, bocah nakal, kau sedang mengapa di situ?"   "Suhu, aku tertawan oleh Raja Iblis dan diikat di sini. Suhu, jangan dekat-dekat, mereka bertiga tadi hampir celaka ketika mencoba menolongku! Batu pat-kwa ini mengandung alat rahasia yang amat berbahaya!"   Mendengar seruan muridnya ini, kakek yang berkepala gundul dengan alis, kumis dan jenggot putih panjang sampai ke perut itu menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Wah, wah kalau begitu, bagaimana harus menolongmu?"   "Locianpwe, kami bertiga tadi sudah mencoba-coba, akan tetapi selalu gagal, bahkan bukan saja membahayakan penolongnya, juga membahayakan pula nona Sui Cin."   Mendengar ucapan Ci Kang ini, Hui Song yang sudah mendekati gurunya barkata, "Suhu, tolonglah suhu memberi petunjuk, bagaimana teecu dapat membebaskan Cin-moi dari tiang itu tanpa membahayakan keselamatannya?"   Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas nampak tertegun memandang batu pat-kwa itu, alisnya berkerut dan sebentar saja penggunaan pikiran yang diperas itu membuat tubuh gendut itu mandi keringat. Terpaksa dia menggerakkan kipasnya yang lebar untuk mengipasi tubuhnya yang bagian depannya nampak karena bajunya tidak dapat dikancingkan itu.   "Ha-ha-ha, Si Dewa Kipas yang terlalu banyak makan, mana mampu memecahkan masalah rumit seperti ini? Aku berani bert&ruh bahwa dia tidak akan mampu, ha-ha!" Wu-yi Lo-jin yang suka berkelakar dan menggoda orang itu tertawa-tawa mengejek.   Kerut di antara alis mata Si Dewa Kipas makin mendalam dan agaknya otaknya diperas lebih keras lagi untuk mencari akal. "Aahhh, apa sih sukarnya? Biar batu pat-kwa ini mengandung banyak alat rahasia, kalau kugempur tentu hancur!"   "Jangan, suhu!" kata Hui Song. "Baru diinjak saja sudah mengeluarken senjata-senjata rahasia yang berbahaya, apalagi digempur!"   "Gendut, enak saja kau bicara! Kalau digempur dan alat-alat rahasia menggerakkan senjata-senjata maut menyerang muridku, berarti kau membunuhnya dan kalau terjadi demikian, mau tidak mau terpaksa aku akan menggempur perut gendutmu itu!" kata Wu-yi Lo-jin dengan mata terbelatak dan mulut cemberut. Dia marah sungguh-sungguh akan tetapi tetap saja mukanya nampak lucu sehingga sama sekali tidak menyeramkan.   "Huh!" Siang-kiang Lo-jin mencela. "Lalu apa gunanya engkau si kerdil ini hadir di sini? Aku menggempur batu pat-kwa dan engkau berjaga-jaga, kalau muridmu terancam bahaya, engkau menghalau serangan-serangan itu. Apa sukarnya? Kalau kau tidak mampu, berarti kau tidak berguna di sini dan lebih baik kau pergi agar tidak memuakkan saja!"   "Wah, wah! Kau menghina, ya? Aku ini memuakkan? Engkaulah yang memuakkan. Lihat perutmu, orang macam engkau ini yang menyebabkan banyak orang kelaparan. Makan sepuluh orang kauhabiskan sendiri!"   "Dan engkau ini si kerdil yang mabok-mabokan. Engkau ini namanya orang yang tidak tahu terima kasih kepada alam, biar alam melimpahkan segala untukmu, engkau tetap kurus kering, seperti cecak mati. Aku ini yang namanya mengenal budi dan selalu bersyukur sehingga tubuhku subur."   "Subur apanya? Perut gendut itu sarang cacing dan penyakit!"   Dua orang kakek itu berhadapan dan agaknya seperti dua orang anak kecil yang siap untuk berhantam. Melihat ini, Sui Cin berseru, "Suhu, aku tak berdaya dan perlu pertolongan, akan tetapi suhu ribut-ribut sendiri saja bercekcok! Ini namanya suhu tidak sayang kepadaku!"   Ditegur demikian oleh Sui Cin, Wu-yi Lo-jin mundur menjauhi Siang-kiang Lo-jin dan kini dia memandang ke arah batu pat-kwa dengan alis bergerak-gerak. Sampai lama dia termenung. Melihat ini, Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak, memegangi perut gendutnya yang kembang kempis bergelombang. "Hua-ha-ha, otakmu terlalu kecil untuk dapat memecahkan persoalan ini!"   Akan tetapi Wu-yi Lo-jin tidak melayani dan dia bertanya kepada Hui Song "Kalian tadi sudah mencoba dan menyelidiki keadaan batu pat-kwa ini? Coba ceritakan, apa rahasianya!"   "Begini, locianpwe. Delapan segi dari batu ini semua mengandung alat rahasia yang kalau diinjak atau disentuh lalu mengeluarkan serangan senjata-senjata rahasia yang berbahaya. Bahkan setiap kotak satu segi itu mempunyai senjata rahasia sendiri-sendiri. Bahkan tanah di sekeliling batu pat-kwa inipun mengandung jebakan yang amat berbahaya sehingga mendekati batu pat-kwa itu saja sudah berbahaya. Hanya bagian tanah di luar segi pat-kwa yang tertutup bayangan tiang itu saja yang agaknya menjadi lumpuh dah tidak berdaya lagi alat rahasianya. Akan tetapi yang lumpuh itu hanya tanah di luarnya saja, sedangkan batu pat-kwa itu sendiri masih bekerja. Kami telah mencoba dari berbagai jurusan, namun selalu gagal dan membahayakan keselamatan Cin-moi. Bahkan saya sendiri sudah mencoba dengan meloncat melewati batu dan hinggap di tiang itu akan tetapi begitu terinjak, tiang itupun berpusing dengan amat cepatnya sehingga amat membahayakan dan tidak memungkinkan saya menolong dan membebaskan Cin-moi." Hui Song yang merasa gelisah sekali melihat keadaan Sui Cin lalu menyambung dengan suara memobon, "Locianpwe, tolonglah... tolonglah Cin-moi...!"   Melihat muridnya memohon kepada kakek kerdil itu, Siang-kiang Lo-jin mengejek, "Hemm, sudah kukatakan, otaknya terlalu kecil untuk dapat berpikir besar!"   Akan tetapi tiba-tiba kakek katai itu meloncat dan wajahnya nampak berseri, "Nah, sudah tahu aku bagaimana harus membebaskan muridku!"   Hui Song memandang girang. "Bagaimana, locianpwe?"   "Membebaskannya melalui batu patkwa tidak mungkin, meloncat ke tiang itupun tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk menolongnya hanyalah membuka ikatan tangannya tanpa menyentuh batu pat-kwa atau tiang. Bukankah sederhana saja cara itu?"   Tiba-tiba kakek gendut itu tertawa bergelak. Kakek kerdil mengerutkan alis memandang kepadanya dengan marah. "Ndut, kenapa kau tertawa? Engkau mentertawakan akalku yang amat bagus itu?"   "Akal bagus tahi kucing! Akalmu itu hanya dapat dilakukan oleh Sun Go Kong (Si Raja Monyet dalam dongeng See-yu)! Hanya Sun Go Kong yang bisa mengulur lengannya sampai satu li panjangnya atau pian-hwa (berganti rupa) menjadi seekor lalat yang dapat terbang ke tangan muridmu itu tanpa menyentuh tiang, terapung di udara! Omong kosong akalmu itu!"   Biarpun ucapan kakek gendut itu bernada mengejek, berkelakar atau menggoda, namun tiga orang pemuda dan Sui Cin yang mendengarkan, mau tidak mau harus membenarkan dan mereka menganggap akal Wu-yi Lo-jin itu biarpun benar akan tetapi tidak mungkin dapat dilaksanakan.   Akan tetapi kakek kerdil itu bertolak pinggang dan memandang kakek gendut dengan mata melotot. "Nah, ini buktinya bahwa biar kecil, aku seperti sebuah ciu-ouw (guci arak) yang penuh dengan arak wangi, sebaliknya engkau biar besar, seperti sebuah gentong air yang kosong melompong! Kalau aku tahu akalnya, tentu aku tahu pula caranya untuk melaksanakan akal itu."   "Bagaimana caranya, suhu?" Sui Cin yang sudah tidak sabar mendengarkan perdebatan itu bertanya.   "Tenanglah, muridku. Selama ada gurumu di sini, tentu engkau akan selamat." Dan dia lalu menghadapi Siang-kiang Lo-jin. "Kita adalah laki-laki berisi, bukan boneka-boneka lemah. Kita bentuk jembatan manusia. Engkaup San-sian (Dewa Kipas), karena engkau paling gendut dan paling berat, juga untuk hukumanmu telah berani mengejek akalku, engkau menjadi tiang penyangga paling bawah. Kemudian pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu." dia menunjuk kepada Ci Kang, "menjadi tiang penahan. Dia ini," ditunjuknya Cia Sun, "dan muridmu menjadi dua tiang penghubung yang melengkung ke arah muridku. Aku sendiri menjadi bagian paling atas untuk mencapai muridku dan membebaskannya dari belenggu. Nah, mengertikah engkau?"   Siang-kiang Lo-jin adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal kecerdikan, dia memang kalah oleh kakek kerdil itu. Agaknya memang orang yang bertubuh kecil biasanya lebih gesit dan cerdik daripada orang yang bertubuh besar. Dia menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti..."   "Suhu, aku sudah mengerti dan memang akal Wu-yi locianpwe itu hebat kali! Mari kita laksanakan!" kata Hui Song.   Akan tetapi Siang-kiang Lo-jin masih belum mengerti dan melihat ini. Wu-yi Lo-jin berkata tidak sabar, "Kalau tidak mengerti, turut saja perintahku! Tak perlu membuang waktu banyak lagi. Nah, gendut, engkau rebahlah di dekat batu pat-kwa di bagian yang ditimpa bayangan tiang. Engkau rebah terlentang di atas tanah dan persiapkan tenagamu. Apakah engkau masih kuat menyangga empat orang?"   Biarpun belum mengerti benar, akan tetapi pertanyaan ini dianggap tantangan oleh Dewa Kipas. "Jangankan hanya empat orang, biar sepuluh orang masih dapat kuangkat!" jawabnya.   "Bagus, kalau begitu cepat kaurebahken dirimu terlentang, mukamu menghadap ke tiang!"   Siang-kiang Lo-jin menurut dan merebahkan dirinya terlentang di luar batu pat-kwa, di bagian segi yang tertutup bayangan tiang. "Sekarang engkau orang muda!" kata Wu-yi Lo-jin kepada Ci Kang. "Sebaiknya lepas bajumu agar pegangan menjadi kuat, tidak berpegang kepada baju yang dapat robek."   Ci Kang membuka bajunya, diturut pula oleh Cia Sun dan Hui Song. Kemudian Ci Kang berdiri di depan tubuh Dewa Kipas, di antara kedua kakinya. Kini Dewa Kipas sudah mulai mengerti, maka ketika pemuda tinggi besar itu mengulurkan lengan kanannya yang kokoh kuat, Dewa Kipas memegang tangan Ci Kang dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang pangkal lengan pemuda itu. Ci Kang menekuk kedua kakinya dan Cia Sun lalu meloncat ke atas kedua paha yang melintang itu, membiarkan kedua lengannya ke belakang untuk ditangkap oleh tangan kiri Ci Kang. Atas isyarat Wu-yi Lo-jin, kini Hui Song lalu memanjat ke atas dan dengan ilmu meringankan tubuhnya, dia berhasil duduk di atas kedua pundak Cia Sun, menjepit leher Cia Sun dengan kedua pahanya, kedua kakinya ditekuk ke belakang melalui kedua ketiak Cia Sun dan mengait punggung. Setelah itu, Wu-yi Lo-jin sendiri dengan sekali lompatan saja, seperti seekor burung, sudah melayang ke atas pundak Hui Song dan seperti juga Hui Song, kedua kakinya menghimpit leher dan mengait ke punggung pemuda itu. Jadilah lima orang itu sebuah tiang yang cukup tinggi.   "Sekarang, perlahan-lahan melengkung ke depan, kita membentuk jembatan!" kata Wu-yi Lo-jin. "Heii, gendut. Hati-hati kau, pegang yang kuat dan kerahkan tenagamu. Kalau kau gagal kami semua akan mampus!"   Tiang lima manusia ini mulai condong ke arah Sui Cin yang berdiri dengan hati tegang dan gadis ini menoleh ke belakang karena pada saat itu, matahari berada di depannya dan bayangan tiang itu berada di belakangnya sehingga lima orang itu beraksi di sebelah belakangnya.   "Ha-ha, engkau ringan seperti ampas kering, tidak perlu mengerahkan tenagapun aku masih sanggup menahanmu!" Siang-kiang Lo-jin yang menahan tubuh empat orang itu masih sempat tertawa dan bicara. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga karena maklum bahwa biarpun dia berada paling bawah dan seperti diremehkan, namun sesungguhnya kepercayaan kakek kerdil itu dipusatkan kepadanya dan dialah yang kini memegang keselamatan mereka semua!   "Melengkung lagi, sedikit lagi!" kata Wu-yi Lo-jin. Tubuh Ci Kang yang menjadi tiang penahan itu nampak kokoh, urat-urat melingkar-lingkar di kedua lengan dan dadanya yang telanjang. Akhirnya, tiang manusia itu melengkung dan kedua tangan Wu-yi Lo-jin dapat mencapai ikatan tangan Sui Cin! Mereka akhirnya dapat mendekati Sui Cin tanpa menyentuh batu pat-kwa maupun tiang. Dan jari-jari tangan kakek kerdil yang kecil namun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat itu dengan mudah melepaskan tali sutera pengikat kedua pergelangan tangan Sui Cin.   "Hati-hati, jangan bergerak, lemaskan tubuhmu. Biar kulemparkan engkau keluar batu pat-kwa," bisik kakek itu. Lalu dia berkata ke bawah, "Kalian kerahkan tenaga, aku akan membuat gerakan melempar tubuh muridku keluar batu pat-kwa!"   Sui Cin menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini berada tepat di depan gurunya, tidak terhalang tiang dan gurunya memegang kedua pundaknya, lalu dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba dia mengangkat dan melemparkan tubuh muridnya itu ke arah samping. Tubuh gadis itu melayang jauh dengan cara berjungkir balik, Sui Cin menambah kecepatan luncuran tubuhnya dan akhirnya dengan lunak dara itu mendarat beberapa meter di luar daerah tanah berbahaya di luar batu pat-kwa!   Tiang manusia itupun terbongkar setelah Wu-yi Lo-jin meloncat turun, disusul oleh Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang. Mereka semua berdiri dengan wajah berseri karena gembira melihat betapa mereka telah berhasil membebaskan Sui Cin.   "Suhu...!" Sui Cin lari menghampiri Wu-yi Lo-jin yang melompat turun terlebih dahulu dan kakek kerdil itu merangkul muridnya sambil terkekeh gembira.   "Anak nakal, lain kali kalau mau main-main di tempat berbahaya, ajak gurumu!"   Sui Cin yang merasa gembira dan terharu sekali setelah mengalami ketegangan luar biasa kini lari menghampiri Hui Song yang sudah melompat turun. Mereka itu saling menghampiri dan kini berhadapan, berpegangan tangan dan saling bertatapan dengan penuh kebahagiaan. Pada saat itu Sui Cin merasa betapa ia mencinta pemuda ini dan dari dua pasang tangan itu keluar getaran-getaran kasih yang hanya dapat terasa oleh mereka berdua.   "Heh-he-he, kalian memang pasangan yang cocok sekali. Bukankah begitu, gendut?" kata kakek kerdil.   "Benar katamu!" kata Siang-kiang Lo-jin, hilang marahnya karena dia kagum akan kecerdikan kawannya yang berkepala kecil dan berotak sedikit itu.   Mendengar ucapan dua orang kakek itu, Sui Cin tersipu dan merasa mukanya menjadi panas. Muka itu kemerahan dan dua ini sudah melepaskan pegangan tangannya, lalu menghampiri Cia Sun.   "Sun-toako, terima kasih atas bantuanmu," katanya dengan sikap halus.   "Berterima kasihlah kepada suhumu, Cin-moi. Beliau yang memperoleh akal itu," jawab Cia Sun.   Ci Kang merasa risi dan sungkan sekali, di dalam hatinya dia tidak ingin berhadapan dengan Sui Cin karena hal ini hanya membuatnya malu. Akan tetapi gadis itu menghampirinya dan berkata halus, "Saudara Ci Kang, terima kasih!"   Ci Kang mengankat muka memandang dan melihat betapa sinar mata Sui Cin kepadanya sama sekali tidak nampak marah atau benci, jantungnya berdebar keras dan dia merasa terharu sekali. Dia hanya mengangguk dan kata-kata sukar keluar dari mulutnya. "Aku... aku tidak ada artinya, nona..."   Diam-diam Hui Song merasa mendongkol bukan main melihat betapa Sui Cin bercakap-cakap dengan Ci Kang. Kalau menurutkan perasaan hatinya, dia ingin meneriaki Ci Kang dan memakinya. Orang macam itu tidak pantas bercakap-cakap dengan Sui Cin! Akan tetapi mengingat bahwa bagaimanapun juga Ci Kang membantu pertolongan kepada Sui Cin, dia menahan kepanasan hatinya.   "Di mana adanya datuk sesat Raja dan Ratu Iblis itu, Cin-moi?" Hui Song meluapkan perasaan tidak senangnya kepada Ci Kang dengan pertanyaan itu. "Aku akan mengadu nyawa dengan mereka dan harus kubasmi iblis-iblis kaum sesat!"   Berkata demikian, dia melirik ke arah Ci Kang seperti hendak mengingatkan bahwa pemuda inipun putera seorang datuk sesat.   "Mereka setelah mengikatku di sini lalu pergi ke puncak bukit hitam di utara itu. Entah sekarang masih di sana ataukah sudah pergi," jawab Sui Cin.   "Kita harus cari mereka. Mari kita cari di bukit itu. Sebelum dua orang iblis itu dihancurkan, tentu akan timbul kekacauan-kekacauan yang lebih hebat lagi." kata Cia Sun dan semua orang merasa setuju. Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu berlari cepat meninggalkan batu pat-kwa yang berbahaya itu dan menuju ke bukit hitam di sebelah utara. Akan tetapi, sampai matahari tenggelam ke barat, mereka tidak menemukan apa-apa di bukit itu dan jejak suami isteri iblis itupun tidak mereka temukan. Agaknya dua iblis itu tadi berada di bukit hanya untuk mengamati batu pat-kwa itu dari jauh, karena dari puncak bukit memang dapat terlihat batu pat-kwa itu dengan jelas sehingga segala hal yang terjadi di situ dapat terlihat dari puncak bukit. Agaknya suami isteri iblis itu ketika melihat betapa Sui Cin dapat tertolong oleh orang-orang pandai yang lima orang jumlahnya, enam orang bersama Sui Cin sendiri yang cukup lihai, mereka menjadi gentar dan meninggalkan tempat itu.   "Wah, iblis-iblis itu telah kabur agaknya!" kata Wu-yi Lo-jin dengan kecewa.   "Hemm, ke mana kita dapat mencari mereka yang dapat datang dan pergi seperti iblis itu?" Hui Song juga berkata jengkel.   "Aku tahu di mana mereka dapat dicari!" tiba-tiba Ci Kang berkata dan semua mata memandang kepadanya. Hui Song sudah memandang dengan sinar mata sinis, dan hatinya berbisik, "Tentu saja kau tahu karena engkau segolongan dengan mereka." Akan tetapi pada saat itu terdengar Cia Sun berkata,   "Benar, Ci Kang dan aku tahu di mana mereka berada. Mari kita cari mereka di sarang rahasia mereka!"   Ci Kang dan Cia Sun sebagai penunjuk jalan lalu lari cepat diikuti oleh yang lain. Ketika melihat bahwa dua orang pemuda itu mengambil jalan menuju ke San-hai-koan, Hui Song berseru kaget,   "Eh, kenapa ke San-hai-koan?"   "Memang, di sanalah mereka bersembunyi. Tempat rahasia mereka berada di San-hai-koan, dan tentu saja hal ini tidak terduga-duga oleh siapapun sehingga di sana mereka dapat bersembunyi dengan aman," kata Cia Sun.   Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi malam sudah sangat larut, bahkan hampir pagi ketika akhirnya mereka tiba di San-hai-koan.   ***   Perang sudah selesai setelah San-hai-koan dan Ceng-tek direbut kembali oleh balatentara pemerintah. Ketika enam orang pendekar itu memasuki San-hai-koan, mereka disambut dengan ramah oleh Yang-tai-ciangkun dan para pendekar yang tadinya membantu pasukan dan kini masih berada di San-hai-koan.   Ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Iblis diduga keras bersembunyi di dalam sebuah tempat rahasia di San-hai-koan dan tempat itu diketahui oleh Ci Kang dan Cia Sun, Yang-ciangkun terkejut sekali dan cepat menyerahkan seratus orang pasukan pengawal untuk membantu enam orang pendekar itu mengepung tempat rahasia.   Pagi hari itu juga, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, Cia Sun, Hui Song, Ci Kang dan Sui Cin berangkat ke tempat rahasia itu diikuti pula oleh beberapa orang pendekar yang merasa tertarik walaupun mereka merasa jerih juga mendengar bahwa enam orang itu hendak menyergap Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, juga diikuti oleh seratus orang perajurit pengawal pilihan.   Tempat rahasia itu dikepung oleh pasukan dan enam orang pendekar berjaga di luar lubang sumur dan lubang terowongan di balik semak-semak yang merupakan dua jalan keluar dari tempat rahasia itu.   "Kami akan bersembunyi dulu," kata Wu-yi Lo-jin kepada para pendekar muda, "kalau Raja Iblis melihat kami dan dia mempergunakan tongkat sakti itu, bagaimanapun juga kami berdua tidak dapat melanggar sumpah sendiri dan tidak akan dapat melawan."   "Baiklah, suhu," kata Sui Cin, "Nanti saja kalau kami sudah mengeroyoknya, suhu dan Siang-kiang locianpwe keluar membantu sehingga dia tidak sempat mengeluarkan tongkatnya itu."   Setelah dua orang kakek yang takut melanggar sumpah terhadap tongkat sakti yang berada di tangan Raja Iblis itu bersembunyi, Hui Song lalu menjenguk ke dalam lubang sumur dan berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya. "Pangeran Toan Jit Ong, Raja Iblis yang terkutuk, keluarlah menerima kematian!"   Tidak ada jawaban dari bawah, juga tidak nampak gerakan sesuatu. Yang ada hanya gema suara teriakan Hui Song yang terdengar mengaum dan menyeramkan, seperti jawaban atas teriakan tadi, jawaban yang bukan keluar dari mulut manusia.   Melihat ini, seorang perwira yang memimpin pasukan pengawal itu menjadi tidak sabar lagi. "Siapkan kayu bakar dan tiupkan asap ke dalam sumur!" Perwira ini hendak menggunaken siasat mengisi tempat persembunyian itu dengan asap agar mereka yang berada di sebelah da-lam akan terpaksa keluar karena tidak tahan diasapi dari luar.   Melihat kesibukan para perajurit pengawal mempersiapkan perintah sang per-wira, Wu-yi Lo-jin yang berada dalam persembunyiannya terkekeh. "Heh-heh-heh, kelinci-kelinci yang diasapi tentu akan keluar sekarang!"   Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan delapan orang perajurit yang berada paling dekat de-ngan lubang sumur berteriak dan roboh terjengkang. Mereka tewas seketika ka-rena jarum-jarum beracun telah menyam-bar tenggorokan mereka. Dan dari dalam lubang sumur itu kini melayang dua so-sok tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, tampan dan cantik dan keduanya mengenakan pakaian indah pesolek. Tentu saja para perajurit pengawal men-jadi kaget dan marah melihat robohnya delapan orang teman mereka. Dengan senjata golok atau tombak mereka segera mengepung dan menyerang. Akan tetapi, dua orang muda itu amat lihai dan begi-tu mereka berdua menggerakkan pedang kembali robohlah empat orang perajurit yang mengeroyok mereka.   Sementara itu, ketika mengenal bah-wa dua orang itu adalah Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, Ci Kang sudah marah sekali. Sim Thian Bu adalah murid mendiang ayahnya dan terhitung sutenya walaupun Thian Bu lebih tua darinya. Dia sudah meloncat maju, hampir berbareng dengan Sui Cin yang juga sudah marah sekali melihat Siang Hwa.   "Sim Thian Bu manusia keparat!" Ci Kang membentak marah. "Hayo menye-rah sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!" Ternyata gemblengan Ciu-sian Lo-kai telah merobah sifat pemuda ini. Biarpun dia marah sekali dan tahu bah-wa bekas sutenya ini adalah seorang ja-hat yang sepatutnya dibasmi, namun dia ingin memberi kesempatan kepada Thian Bu untuk menyerah dan menerima hukuman, kalau mungkin merobah sifatnya yang jahat.   Akan tetapi, Sim Thian Bu tersenyum mengejek. "Siangkoan Ci Kang manusia busuk! Engkau seperti harimau berkedok domba, ha-ha-ha! Siapa tidak tahu bah-wa engkau adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta? Engkau pura-pura alim dan menjadi pendekar? Ha-ha-ha, alangkah lucunya!" Setelah berkata demikian, Sim Thian Bu sudah mengge-rakkan pedangnya menusuk dada Ci Kang. Namun, dengan mudah saja, Ci Kang mengelak dan menendang ke arah perge-langan lengan lawan yang juga dapat di-elakkan. Mereka segera berkelahi dengan seru walaupun Ci Kang hanya bertangan kosong dan lawannya berpedang.   Sementara itu, Sui Cin yang marah melihat murid Raja Iblis itu sudah menyerang tanpa banyak cakap lagi. Iapun menggunakan tangan kosong saja, menubruk dan mencengkeram ke arah pundak Siang Hwa sambil membentak, "Perempuan iblis, bersiaplah untuk mati!"   Siang Hwa, seperti juga Thian Bu, maklum bahwa ia telah terkepung banyak orang pandai, maka tanpa banyak cakap iapun juga mengelak dan mengelebatkan pedangnya membalas serangan Sui Cin dengan nekat. Akan tetapi sabetan pedangnya juga hanya mengenai tempat ko-song, bahkan ia terkejut bukan main melihat tubuh lawannya berkelebat lenyap dan tahu-tahu telah menyerang dengan tamparan ke arah kepalanya dari sam-ping! Tahulah ia bahwa gadis cantik yang menjadi lawannya ini adalah seorang ahli gin-kang yang tangguh, maka iapun cepat meloncat ke belakang sambil me-mutar pedangnya melindungi tubuh. Terjadi perkelahian yang cepat dan mati-matian antara Sui Cin dan Siang Hwa.   Cia Sun dan Hui Song hanya menon-ton dan siap-siap membantu dua orang teman mereka kalau perlu, akan tetapi mereka tidak mengeroyok karena mak-lum bahwa Ci Kang dan Sui Cin akan mampu menundukkan dua orang musuh i-tu. Membantu teman yang lebih kuat da-ripada lawan merupakan pantangan bagi mereka.   Tiba-tiba terdengar suara ledakan ke-ras dan tanah dengan batu muncrat dari tempat tidak jauh dari situ. Ledakan itu ternyata mengakibatkan tanah itu berlu-bang besar dan dari dalam lubang itu nampak empat orang yang memanggul kayu pikulan berbentuk joli tanpa atap berloncatan keluar dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka adalah empat orang yang berpakaian seragam, bukan pakaian perajurit melainkan pakaian jago silat dan di atas joli terbuka itu duduk dua o-rang yang membuat semua orang terke-jut dan ngeri melihatnya. Dua orang itu adalah Raja dan Ratu Iblis!   Tentu saja para perajurit segera me-ngepungnya dan belasan batang tombak dan golok berkelebatan menyerang empat orang pemikul joli terbuka itu. Akan tetapi, segera terjadi kekacauan dan semua orang terkejut melihat betapa empat orang pemikul joli itu memiliki gerakan yang bukan main cepatnya. Kadang-kadang mereka berloncatan seperti terbang, lalu turun dan lari, sedangkan kakek dan nenek yang kadang-kadang duduk kadang-kadang bangkit berdiri itu menggerak-gerakkan tangan mereka dan hawa pukulan menyambar dahsyat, membuat belasan o-rang perajurit terpelanting ke kanan kiri tanpa dapat bangkit kembali! Tentu saja hal ini menggegerkan para perajurit dan perwira mereka memberi aba-aba agar terus mengepung dan mengejar.   Melihat betapa Raja dan Ratu Iblis sudah keluar, Hui Song mengeluarkan bentakan dan diapun sudah berloncatan diantara para perajurit untuk membantu mereka mengepung dan mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Cia Sun mengenal empat orang penggotong tandu atau joli tanpa atap itu. Mereka berempat itu bukan lain adalah Hui-thian Su-kwi, empat orang Cap-sha-kui yang memang memiliki gin-kang yang luar biasa sekali. Maka diapun cepat lari menghampiri dan ikut pula mengepung. Juga para pendekar ikut membantu sehingga kini empat orang pemikul tandu itu dikepung dari empat jurusan!   Akan tetapi, gerakan Hui-thian Su-kwi sungguh luar biasa cepatnya. Sebentar mereka berloncatan ke atas kepala para perajurit dan dua orang kakek dan nenek di atas tandu itu menyebar maut dengan pu-kulan-pukulan jarak jauh mereka. Hanya para pendekar yang dapat menghindarkan diri atau menangkis sambaran angin dah-syat itu, akan tetapi para perajurit pengawal banyak yang roboh dan tewas.   Agaknya Raja Iblis yang lebih banyak menyebar maut sedangkan Ratu Iblis "mengemudi" empat orang pemanggul tandu itu dengan teriakan-teriakannya, "Kanan...! Maju...! Mundur... ke kiri!" Dan Hui-thian Su-kwi mempergunakan kecepatan gerak kaki mereka untuk berloncatan sesuai dengan petunjuk Ratu Iblis. Sambil berloncatan, kaki merekapun tidak pernah bergerak dengan sia-sia, karena tendangan-tendangan mereka lakukan yang merobohkan pula banyak perajurit pengawal yang mengepung.   "Kejar! Kepung, robohkan para pemi-kul tandu!" Perwira pasukan memberi aba-aba dan kini empat orang pemikul tandu itu berloncatan tinggi sampai di tenda besar yang didirikan oleh para perajurit setiba mereka di situ. Tenda itu diterjang dan tiang-tiangnya roboh oleh tendangan empat orang pemikul tandu yang berloncatan ke atas. Dan hantaman-han-taman yang dilakukan oleh telapak to-ngan Raja Iblis sedemikian hebatnya se-hingga mayat-mayat para pengeroyok ro-boh berserakan.   "Kepung rapat!" teriak perwira pasu-kan ketika melihat empat orang pemikul tandu itu meloncat tinggi dan hinggap di atas tiang-tiang kayu bekas tenda besar. Para perajurit mengepung dan menyerang dengan tombak.   "Loncat turun ke depan!" terdengar Ratu Iblis mengomando dan Raja Iblis me-lancarkan pukulan ke arah tiang melin-tang di depannya.   "Krakkkk...!" Tiang yang besar itu patah tengahnya dan tiang-tiang itupun roboh menimpa para perajurit sedangkan empat orang pemikul tandu meloncat jauh ke depan.   Melihat betapa Raja Iblis menyebar maut, Hui Song dan Cia Sun menjadi marah sekali. Mereka tidak dapat leluasa bergerak karena kesimpang-siuran para perajurit yang mengeroyok.   "Kita serang berbareng dengan loncatan ke atas!" tiba-tiba Cia Sun berbisik dan Hui Song mengangguk.   Tiba-tiba dua orang pemuda perkasa ini meloncat jauh ke atas, melampaui kepala beberapa orang perajurit dan mereka itu langsung menerjang Raja Iblis dari kanan dan belakang! Memang mereka sudah memperhitungkan agar loncatan mereka tiba di sebelah kanan dan belakang Raja Iblis dan mereka menyerang dengan berbareng. Sambil meloncat itu, dari sebelah kanan Cia Sun sudah mengirimkan pukulan dengan sejurus Hok-mo Cap-sha-ciang, sebuah ilmu pukulan tangan kosong yang mujijat dan luar biasa ampuhnya. Pukulan itu mendatangkan angin kuat dan nampak seperti ada sinar ke-merahan menyambar dahsyat ke arah leher Raja Iblis. Pada saat yang sama pula, Hui Song sudah menyerang dengan pukulan Thian-te Sin-ciang yang juga merupakan pukulan amat ampuh, ditujukan ke arah punggung Raja Iblis.   Menghadapi penyerangan dua orang pemuda yang amat lihai ini, Raja Iblis mengeluarkan suara mendengus marah dan juga kaget. Cepat dia memutar tubuhnya ke kanan, tangan kirinya diputar menahan pukulan Cia Sun sedangkan tangan kanannya menangkis pukulan Hui Song. Sementara itu, Ratu Iblis tidak tinggal diam melihat suaminya menghadapi penyerangan dahsyat itu dan iapun mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan mendorong ke arah Cia Sun dan Hui Song dari sebelah kanan suaminya.   "Plakkk! Desss...!" Tubuh Hui Song dan Cia Sun yang menyerang sambil melompat itu, karena tidak mempunyai tempat berpijak dan saking kuatnya tenaga Raja dan Ratu Iblis, terpental ke belakang dan terpaksa berjungkir balik menghindarkan diri dari berbanting, akan tetapi tenaga mereka juga demikian kuatnya sehingga Raja dan Ratu Iblis yang tadi mengerahkan tenaga, membuat empat orang Hui-thian Su-kwi terhuyung karena tiba-tiba saja panggulan mereka menjadi berat luar biasa.   Sementara itu, perkelahian antara Sui Cin dan Gui Siang Hwa terjadi amat serunya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Siang Hwa harus mengakui keunggulan Sui Cin. Sebelum gadis ini digembleng oleh Wu-yi Lo-jin, belum tentu Sui Cin akan dapat mengalahkan Siang Hwa dengan mudah. Akan tetapi, selama tiga tahun ini Sui Cin mengalami gemblengan yang amat mendalam sehingga ilmu-ilmunya yang banyak macamnya, yang diwarisinya dari ayah ibunya itu, kini menjadi matang. Oleh karena itu, biarpun Siang Hwa mempergunakan pedang, bahkan telah mempergunakan pula saputangan suteranya yang mengandung racun, ia sama sekali tidak berdaya dan semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh Sui Cin, sebaliknya desakan gadis Pulau Teratai Merah ini membuat ia repot dan terhuyung-huyung. Beberapa kali ia sudah menerima tamparan Sui Cin dan hanya kekebalan dirinya saja yang membuat Siang Hwa masih dapat bertahan sampai puluhan jurus. Akan tetapi, ketika jari tangan Sui Cin yang kecil mungil dan meruncing itu menyambar pundaknya dengan totokan yang amat cepat, Siang Hwa terpelanting dan pedangnya terlepas ketika tangan kanannya ditendang oleh Sui Cin. Pada saat itulah para perajurit menubruk dengan tombak dan golok mereka sehing-ga wanita cabul itu tewas dalam keadaan mengerikan, tubuhnya hancur oleh belas-an batang golok dan tombak.   Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ci Kang juga sudah merobohkan sutenya, yaitu, Sim Thian Bu. Memang sejak semula Sim Thian Bu sendiri sudah gentar menghadapi putera mendiang gurunya ini. Sejak dahulu dia tidak pernah dapat menang terhadap Ci Kang. Apalagi setelah Ci Kang digembleng dengan hebatnya oleh Ciu-sian Lo-kai, tentu saja gerakan-gerakannya menjadi semakin matang dan kuat. Namun, karena perasaan Ci Kang menjadi halus dan lembut, dia merasa tidak tega untuk membunuh bekas sutenya. Beberapa kali dia membujuk agar Thian Bu menyerah saja dan kalau mau bertobat, dia yang akan mintakan ampun kepada Yang Tai-ciangkun. Akan tetapi semua bujukannya disambut dengan ucapan-ucapan menghina oleh Thian Bu sehingga perkelahian itu menjadi lama. Akhirnya, sebuah tendangan yang dilakukan dengan posisi miring dari Ci Kang amat tidak terduga oleh Thian Bu. Tendangan itu mengenai lambung Sim Thian Bu, mam-buatnya tersungkur roboh. Pada saat itu, para perajurit juga menubruk dan menghunjamkan senjata mereka. Namun, sebelum tewas, Thian Bu masih sempat me-lontarkan pedangnya membunuh seorang di antara mereka. Dia sendiri, seperti juga Siang Hwa, tewas di ujung belasan batang tombak dan golok.   Pada saat Hui-thian Su-kwi terhuyung karena pertemuan tenaga antara Raja den Ratu Iblis melawan Hui Song dan Cia Sun, tiba-tiba muncullah Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin! Dua orang kakek ini melihat kesempatan baik se-kali. Pada saat itu, Raja Iblis tidak memegang tongkat yang mereka takuti. Mereka melayang seperti yang dilakukan Hui Song dan Cia Sun tadi, dan mereka sudah menerjang ke arah Raja dan Ratu Iblis yang berdiri di atas joli terbuka. Empat orang pemikul sedang terhuyung maka tidak sempat membawa pemimpin mereka meloncat dan terpaksa Raja den Ratu Iblis yang kaget melihat munculnya dua orang kakek ini, menyambut serangan mereka dengan dorongan tangan. Raja Iblis menyambut hantaman tangan Siang-kiang Lo-jin sedangkan Ratu Iblis juga menyambut pukulan Wu-yi Lo-jin dengan dorongan kedua telapak tangannya.   "Wuuuuttt... desss...!" Pertemuan tenaga sin-kang sekali ini lebih hebat lagi. Akibatnya, tubuh Raja dan Ratu Iblis terdorong dan condong ke belakang sedangkan tubuh dua orang kakek penyerang yang tadi meloncat terdorong ke belakang dan hampir mereka terjengkang, akan tetapi empat orang Hui-thian Su-kwi sampai jatuh berjongkok karena kaki mereka tiba-tiba tidak kuat lagi menahan tenaga yang menekan dari atas!   Pada saat itu Sui Cin, Ci Kang, Hui Song dan Cia Sun sudah menerjang maju, masing-masing menyerang seorang dari Hui-thian Su-kwi. Empat orang tokoh Cap-sha-kui ini terkejut sekali. Mereka baru saja jatuh berjongkok dan serangan em-pat orang muda itu sedemikian dahsyat-nya sehingga mereka terpaksa melepas-kan pikulan joli dan bangkit untuk meloncat mengelak atau menangkis. Segera terjadi perkelahian antara mereka dan empat orang muda itu dan joli itupun terlempar ke samping! Akan tetapi, Raja dan Ratu Iblis sudah berloncatan turun dan ketika Wu-yi Lo-jin dan Siang-kang Lo-jin hendak menyerang, tiba-tiba me-reka berdua terbelalak dan mundur kare-na Raja Iblis sudah mengangkat tinggi-tinggi tongkat saktinya!   Para pendekar yang hadir cepat maju menyerang, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja mereka terpental roboh dan kini para perajurit pengawal menge-pung lagi, mengeroyok kakek dan nenek itu. Akan tetapi, para perajurit ini se-perti sekelompok nyamuk menyerang api lilin saja, setiap kali kakek den nenek i-tu menggerakkan tangan, tentu banyak orang yang roboh terpelanting. Karena i-tu, para perajurit menjadi gentar dan Raja Iblis bersama isterinya dengan mudah berloncatan lalu melarikan diri dengan cepat sekali, tak pernah dapat disusul oleh para pengejarnya. Apalagi karena para pengejarnya itu sudah gentar, bahkan dua orang kakek yang paling lihai di antara mereka, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, juga mengejar dari jauh saja karena mereka itu juga gentar, bukan gentar terhadap Raja dan Ratu Iblis, melainkan terhadap tongkat sakti itu! Mereka takut kepada sumpah mereka sendiri, takut melanggar sumpah. Hal ini membuat kakek dan nenek iblis itu dengan mudah keluar dari San-hai-koan dan melarikan diri menuju ke padang pasir di sebelah selatan, kemudian membelok ke barat.   Sementara itu, dalam keadaan panik dan juga karena memang jauh kalah tinggi tingkat kepandaiannya, keempat orang Hui-thian Su-kwi yang menghadapi empat orang pendekar muda sudah roboh semua. Su Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun juga melihat betapa Raja dan Ratu Iblis melarikan diri. Maka mereka memperhebat serangan mereka sehingga empat orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan lari mengejar pula. Walaupun mereka itu tadi tertinggal jauh, karena kehebatan ilmu gin-kang mereka, akhirnya mereka dapat juga menyusul Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin yang tidak berani terlalu cepat.   "Suhu, di mana mereka?" tanya Sui Cin.   "Wah, mereka tadi menghilang di balik bukit sana itu," kata Wu-yi Lo-jin kepada Sui Cin.   "Sayang kami berdua tidak berani mengejar terlalu cepat. Si laknat itu telah memegang tongkatnya!" kata pula Si Dewa Kipas.   "Akan tetapi kami tidak takut tongkat iblisnya itu!" kata Hui Song dengan gemas dan diapun terus berlari cepat ke depan, diikuti oleh tiga orang pendekar muda lainnya, sedangkan dua orang kakek itu terpaksa mengejar pula dari belakang mereka dengan gelisah.   Dari arah jalan yang diambil oleh Raja dan Ratu Iblis, Ci Kang dan Cia Sun teringat akan tempat persembunyian Raja Iblis di sebuah gedung tua di lereng bukit itu, di mana terdapat guha dalam tanah dan di sana untuk pertama kali mereka bertemu dengan Hui Cu.   Tidak salah lagi, tentu ke sana Raja dan Ratu Iblis pergi! Maka, mereka lalu menjadi penunjuk jalan dan berlari cepat ke arah bukit itu. Kini yang melakukan pengejaran hanya tinggal mereka berenam lagi karena pasukan pengawal dari San-hai-koan bersama para pendekar sudah tidak mengejar, tidak sanggup mengejar secepat itu, dan pula, mereka lebih sibuk dan mementingkan untuk menolong teman-teman yang terluka dan mengurus mereka yang tewas ketika terjadi pengeroyokan atas diri Raja dan Ratu Iblis bersama pembantu-pembantu mereka yang pandai   ***   Para pengejar itu mempercepat lari mereka ketika mereka melihat betapa di sebelah depan, pada persimpangan jalan menuju ke Ceng-tek dan ke bukit tempat gedung kuno persembunyian Raja dan Ra-tu Iblis, terdapat keributan. Agaknya di sana terjadi pertempuran yang seru an-tara banyak orang yang melakukan pengeroyokan.   "Ayah...!" Hui Song berseru kaget sekali ketika melihat bahwa yang mengeroyok Raja dan Ratu Iblis adalah ayahnya bersama sumoinya Tan Siang Wi, dan tiga puluh lebih orang anggota Cin-ling-pai, sisa dari para murid Cin-ling-pai.   Betapa lihainya Raja dan Ratu Iblis, namun dikeroyok oleh puluhan orang mu-rid Cin-ling-pai yang dipimpin sendiri o-leh ketuanya, mereka harus bersikap ha-ti-hati. Mereka berdua dikurung ketat dan para murid Cin-ling-pai yang merasa dendam kepada Raja Iblis, berkelahi dengan semangat tinggi dan mati-matian. Memang sudah ada lima enam orang di antara murid Cin-ling-pai yang roboh a-kan tetapi mereka masih bersemangat. Juga ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, nampak terluka pada pahanya, akan tetapi pendekar ini masih bergerak dengan gagah perkasa, mendesak Raja Iblis dibantu oleh Tan Siang Wi dan puluhan orang murid Cin-ling-pai.   Ketika Cia Kong Liang melihat munculnya puteranya, dia merasa girang sekali. Sebaliknya, Raja Iblis menjadi terkejut bukan main. Menghadapi orang-orang Cin-ling-pai mereka tidak merasa takut dan biarpun harus mengerahkan kepandaian dan dalam waktu yang agak lama, mereka yakin akan mampu mengalahkan puluhan orang musuh itu. Akan tetapi kemunculan empat pendekar muda dan dua orang kakek itu membuat mereka gentar juga! Memang benar bahwa dua orang kakek itu tidak akan berani turun tangan melihat tongkat sakti di tangan Raja Iblis, akan tetapi empat orang pendekar muda itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mereka berempat itu bahkan lebih tangguh daripada ketua Cin-ling-pai sendiri!   Kini tanpa banyak cakap lagi, Hui Song, Sui Cin, Cia Sun dan Ci Kang sudah menerjang maju mengeroyok Raja dan Ratu Iblis. Para murid Cin-ling-pai bernapas lega dari mereka yang merasa bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh berada di bawah untuk dapat mengimbangi perkelahian antara orang-orang sakti itu, lalu mundur dan hanya mengurung tempat itu sambil menonton dan siap-siap membantu pihak mereka.   Perkelahian kini menjadi seru bukan main setelah Sui Cin, Hui Song, Cia Sun dan Ci Kang maju mengeroyok Raja den Ratu Iblis! Benar-benar merupakan perkelahian tingkat tinggi di mana setiap orang mengeluarkan semua kepandaian mereka dan mengerahkan seluruh tenaga. Empat orang muda itu tangkas dan lihai, dengan jurus-jurus mereka yang merupakan ilmu-ilmu silat pilihan. Cia Sun dan kawan-kawannya maklum akan kelihalan kakek dan nenek itu, maka mereka berempat tidak merasa sungkan untuk maju berempat melawan dua orang. Bahkan Cia Kong Liang berdiri bengong penuh kagum. Puteranya itu kini telah memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan berani bertemu tangan beradu sin-kang melawan Raja Iblis! Diapun hanya berdiri di pinggir dan siap membantu kalau-kalau puteranya dan para pendekar muda itu terancam bahaya.   Dua orang kakek Si Dewa Arak dan Dewa Kipas hanya nonton di antara para murid Cin-ling-pai tanpa berani turun tangan. Akan tetapi, Wu-yi Lo-jin mendapat akal. Dia melihat betapa gerakan-gerakan muridnya, Sui Cin, walaupun sudah hebat sekali, namun ada beberapa bagian yang masih lemah. Dia lalu berteriak-teriak memberi petunjuk kepada Sui Cin dan begitu gadis ini mendengar petunjuk-petunjuk gurunya, ia menyerang makin dahsyat membuat Ratu Iblis kewalahan! Melihat ini, segera Siang-kiang Lo-jin berteriak memberi petunjuk kepada Hui Song yang segera dapat memperbaiki dan memperhebat gerakan-gerakannya setelah mendengar petunjuk-petunjuk dari kakek gendut itu. Melihat ini, Cia Kong Liang semakin heran dan baru dia dapat menduga bahwa kakek gendut ini tentu seorang guru baru dari puteranya.   Selagi dua orang kakek itu berlomba memberi petunjuk kepada murid masing-masing, tiba-tiba terdengar suara dua orang lain yang berseru memberi petunjuk kepada Cia Sun dan Ci Kang! Dua orang kakek ini girang sekali karena mengenal suara guru-guru mereka, Ciu-sian Lo--kai dan Go-bi San-jin! Lengkaplah sudah guru keempat pendekar muda itu. Mereka berempat berada di situ akan tetapi karena tongkat sakti di tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong, mereka berempat tidak berani berkutik dan hanya dapat memberi petunjuk kepada murid masing-masing. Akan tetapi petunjuk-petunjuk ini berharga sekali karena kini gerakan keempat orang muda itu menjadi semakin dahsyat sehingga Raja dan Ratu Iblis sendiri menjadi repot, terdesak dan permainan silat mereka menjadi kalang kabut. Selain itu, mereka berdua sudah amat tua sehingga dalam hal daya tahan tubuh dan pernapasan, mereka kalah jauh dibandingkan empat orang lawan mereka.   Empat orang muda itu mengeroyok secara bergantian dan mereka seperti membentuk barisan segi empat, membuat suami isteri iblis itu kewalahan. Ketika memperoleh kesempatan yang baik, tiba-tiba Sui Cin menubruk maju dari tamparan tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang itu mengenai punggung Ratu Iblis.   "Uakkk...!" Ratu Iblis tidak roboh akan tetapi dari mulutnya muncrat darah segar, tanda bahwa tamparan itu telah melukainya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, dengan jurus Hok-mo Cap--sha-ciang yang mujijat, Cia Sun juga sudah berhasil memukul lambung Raja Iblis.   "Desss...!" Demikian hebatnya pukulan itu, akan tetapi juga demikian lihainya Raja Iblis sehingga Cia Sun yang memukul malah terpelanting sendiri! Akan tetapi dari dalam dada Raja Iblis itu keluar suara keluhan pendek, kemudian dia dan isterinya secara tiba-tiba meloncat dan melarikan diri ke arah bukit!   "Cepat kejar!" Hui Song berseru dan mereka berempat lalu mengejar, diikuti oleh empat orang kakek, Cia Kong Liang dan para murid Cin-ling-pai yang tertinggal jauh di belakang.   Kakek dan nenek itu berlari seperti terbang cepatnya menuju ke arah gedung kuno di lereng bukit. Melihat ini, Ci Kang berseru, "Cepat, kalau mereka memasuki gedung, akan sukar bagi kita karena ge-dung itu menyimpan banyak rahasia! Mungkin mereka bisa lolos melalui jalan rahasia!"   Mendengar ucapan ini, semua orang melakukan pengejaran secepatnya. Akan tetapi mereka kalah dulu dan kini kakek dan nenek itu sudah tiba di depan ge-dung. Hal ini membuat delapan orang pengejar itu menjadi gelisah. Juga Cia Kong Liang mendengar ucapan Ci Kang tadi dan diapun yang berada agak jauh di belakang delapan orang itu merasa geli-sah.   Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras sekali dan gedung kuno di depan itu hancur berantakan! Kakek dan nenek itu tentu saja merasa terkejut sekali dan Raja Iblis terbelalak memandang kepada seorang gadis yang baru saja muncul dari belakang gedung yang sudah hancur i-tu.   "Hui Cu...!" Ratu Iblis berseru kaget. "Apa yang telah kaulakukan?"   Gadis itu memandang kepada ibunya dengan wajah muram, lalu berbalik me-mandang kepada Raja Iblis dengan sinar mata penuh kemarahan. "Maafkan aku, i-bu. Terpaksa aku menghancurkan gedung ini. Bagaimanapun juga aku harus menen-tang kejahatannya!" Ia menuding ke arah muka Raja Iblis.   "Anak keparat! Kalau begitu, engkau harus mampus!" Raja Iblis tiba-tiba me-loncat ke depan dan menyerang Hui Cu dengan pukulannya yang dahsyat. Pukulan itu dahsyat bukan main, datang mener-jang Hui Cu seperti kilat menyambar. Gadis itu menggerakkan kedua tangannya menangkis untuk melindungi tubuhnya.   "Desss...!" Tubuh gadis itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi, berkat latihan-latihan yang diterima dari ibunya, gadis itu tadi dapat melindungi dirinya dengan sin-kang sehingga ia hanya kesakitan saja dan tidak sampai terluka parah, maka ia hanya mengeluh dan perlahan-lahan bangkit lagi. Melihat ini, Ra-ja Iblis menjadi penasaran dan semakin marah.   "Heh, satu kali pukulan belum cukup, ya?" katanya dan dia sudah menerjang lagi ke depan untuk menyusulkan pukulan maut kepada puterinya. Akan tetapi pada saat itu, Ratu Iblis sudah meloncat men-dahului suaminya dan menghadang di de-pan suaminya.   "Jangan bunuh anakku!" katanya de-ngan sinar mata mencorong seperti see-kor harimau betina yang melindungi anak-nya.   Sepasang mata Raja Iblis yang biasa-nya jarang bergerak itu kini terbelalak. Hampir dia tidak percaya melihat isteri-nya kini berdiri menghadang dan menentangnya. Selama ini, isterinya amat taat kepadanya, melaksanakan segala perintah-nya dengan taruhan nyawa sekalipun. A-kan tetapi sekali ini, isterinya menghadapinya dengan sikap seorang musuh! Dia tidak tahu betapa di atas segalanya, seorang ibu mencinta anak tunggalnya dan berani menentang apa saja, berani kehilangan apa saja demi anaknya itu.   "Kau... kau berani menentang aku?" tanyanya, masih tidak dapat percaya.   "Jangan bunuh anakku!" Hanya itulah yang dapat dikatakan Ratu Iblis karena sesungguhnya, nenek ini amat takut dan juga cinta kepada Raja Iblis, akan tetapi agaknya, kasihnya terhadap anak kandung yang tunggal itu lebih besar lagi.   "Kau membela anak keparat yang sudah menghancurkan tempat kita itu?" tanyanya lagi.   "Jangan bunuh anakku!"   "Hemm, kalau begitu kalian harus mampus!" Dan Raja Iblis sudah mener-jang isterinya dengan dahsyat. Ratu Iblis menangkis dan iapun terjengkang, sung-guhpun tidak sehebat puterinya tadi. Ia meloneat bangun dan kini Hui Cu juga sudah meloncat dekat ibunya. Ketika Ra-ja Iblis menyerang lagi, dia disambut o-leh isterinya dan puterinya!   Terjadilah perkelahian yang seru dan yang membuat para pendekar yang sudah tiba di situ memandang bengong dan me-reka tidak tahu harus berbuat apa. Me-reka mengejar Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi kini musuh-musuh yang dikejar itu bahkan saling hantam sendiri. Hal ini membuat mereka bingung, tidak tahu ha-rus membantu siapa!   Betapapun lihainya Ratu Iblis, meng-hadapi suaminya sama saja dengan meng-hadapi gurunya. Dan kepandaian Hui Cu belum ada artinya kalau dibandingkan de-ngan ayahnya itu, maka dalam waktu ti-ga puluh jurus saja, pukulan tangan kiri Raja Iblis telah menyambar dengan tepat mengenai dada isterinya sendiri.   "Dukkk...!" Tubuh nenek itu terjengkang dan terbanting keras.   "Ibu...!" Hui Cu menubruk ibunya dan pada saat itu, dengan kemarahan meluap Raja Iblis menyerang anaknya. Akan tetapi, Sui Cin, Hui Song, Ci Kang dan Cia Sun seperti dikomando telah menerjang maju, menyerang Raja Iblis yang sedang hendak membunuh puterinya itu.   Serangan empat orang muda yang parkasa itu sungguh dahsyat, membuat Raja Iblis terpaksa menarik kembali serangan-nya terhadap Hui Cu dan berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang berbahaya itu. Kini, gedung kuno yang menjadi harapannya untuk dapat menyembunyikan atau mela-rikan diri telah dihancurkan puterinya sendiri, dan pembantunya yang paling da-pat diandalkan, yaitu Ratu Iblis, telah tewas atau setidaknya sudah tidak mam-pu membantunya lagi. Melarikan diri da-ri empat orang muda perkasa inipun percuma karena dia sendiri sudah amat le-lah dan kalau disuruh berlomba lari, ten-tu dia akan kehabisan napas dan akhirnya tersusul juga. Kini, lalu mengeluarkan suara pekik melengking dan selagi tena-ganya masih ada, tiada lain jalan bagi Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis kecuali melawan dan berusaha mengamuk, menjatuhkan semua lawan yang empat ini karena empat orang kakek itu tidak ada yang berani maju melanggar sumpah mereka sendiri. Oleh karena itu, Raja Iblis lalu mengeluarkan suara pekik me-lengking dan membalas serangan empat orang pengeroyoknya yang cepat meng-hindar pula.   Kini terjadilah perkelahian yang hebat dan mati-matian antara Raja Iblis yang dikeroyok oleh empat orang pendekar muda perkasa itu. Dan kini, empat orang kakek sakti tidak perlu lagi memberi pe-tunjuk kepada murid masing-masing. Denga-n hilangnya Ratu Iblis, maka kekuatan Raja Iblis banyak berkurang dan empat orang muda itu mulai mendesak dan memperketat pengepungan mereka. Bah-kan Ci Kang dan Hui Song berhasil me-nyarangkan pukulan masing-masing ke tu-buh Raja Iblis. Akan tetapi, kakek ini memiliki kekebalan yang amat kuat se-hingga nampaknya pukulan dua orang mu-da itu tidak berbekas. Betapapun juga, sama sekali tidak berarti bahwa pukulan itu tidak ada artinya. Biarpun kulit ke-bal dapat membuat pukulan-pukulan itu membalik, namun di sebelah dalam tubuhnya, Raja Iblis mengalami getaran hebat dan diapun telah mengerahkan terlampau banyak tenaga untuk menahan pukulan-pukulan tadi. Gerakannya jelas nampak semakin lemah dan semakin lambat. Hal ini membuat empat orang pengeroyoknya bertambah semangat dan kembali tubuh kakek itu terkena pukulan, sekali ini Sui Cin yang menampar lambungnya, disusul Cia Sun mendaratkan pukulannya ke arah pundak. Kakek itu terhuyung ke belakang dan ketika Hui Song menyusulkan sebuah tendangan keras yang mengenai perut-nya, kakek itu mencelat ke belakang dan dari mulutnya tersembur darah segar. Namun, dia memekik dan menubruk ma-ju. Hampir saja Sui Cin kena dicengke-ram kalau saja Hui Song tidak cepat me-nolongnya dengan tangkisan yang mem-buat pemuda itu terjengkang, akan tetapi Sui Cin 1uput dari cengkeraman maut! Ci Kang menampar pula dari belakang, tam-paran yang keras mengenai tengkuk Raja Iblis. Tubuh kakek itu terputar dan kembali dia terhuyung-huyung. Dan tiba-tiba saja kakek itu terpelanting dan jatuh menelungkup tak bergerak lagi.   Empat orang pendekar muda itu tidak berani mendekat, khawatir kalau-kalau Raja Iblis hanya pura-pura roboh dan kalau mereka mendekat dengan gegabah, mereka mungkin celaka oleh serangan mendadak. Akan tetapi, beberapa menit mereka menanti, tubuh kakek itu tetap tidak bergerak dan tiba-tiba terdengar Ciu-sian Lo-kai terkekeh. "Ha-ha, akhirnya Raja Iblis mati juga!"   Mendengar ucapan suhunya ini, baru-lah Ci Kang berani menghampiri dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Nampak darah memenuhi tanah di bawah tubuh dan ternyata sebatang pe-dang telah menancap di dada kakek itu. Pedangnya sendiri! Kakek itu, setelah melihat bahwa dia tidak akan menang, lalu membunuh diri, memilih mati di ta-ngan sendiri daripada di tangan empat o-rang muda itu!   Kini mereka semua menujukan perha-tian kepada Hui Cu yang masih menangisi ibunya. Nenek itu masih belum tewas walaupun napasnya sudah empas-empis. Tiba-tiba ia berkata, "Yang mana yang bernama Cia Sun...?"   Mendengar pertanyaan ini, Cia Sun mendekat dan berlutut di sebelah Hui Cu yang masih terisak menangis. Melihat Cia Sun, nenek itu mengangguk lemah. Ia sudah mengenal pemuda ini, sudah pernah jumpa di dalam guha bawah tanah. "Eng-kau seorang pemuda yang gagah, dan aku girang Hui Cu mencintamu. Cia Sun, maukah kau berjanji untuk melindungi a-nakku Hui Cu dan menjadi suaminya? Ia mencintamu..." suaranya lemah dan agaknya nenek ini telah mengerahkan tenaga terakhir untuk bicara itu.   Cia Sun mengerutkan alisnya. Dia tidak perduli terhadap nenek ini yang dia tahu adalah seorang nenek yang keji dan jahat sekali. Akan tetapi dia harus mengakui pada diri sendiri bahwa dia merasa suka dan sayang kepada Hui Cu yang dianggapnya seorang gadis yang amat baik. Tadi saja sudah terbukti bahwa Hui Cu menentang kejahatan dengan membakar gedung kuno itu. Akan tetapi, dia tidak mencinta Hui Cu dan hal ini sudah dia katakan terus terang kepada Hui Cu! Hal seperti ini mana mungkin dibicarakan di depan orang banyak? Hanya akan membuat Hui Cu berduka dan malu saja. Akan tetapi, nenek itu berada dalam sa-kratulmaut dan dia harus bicara terus terang.   "Sayang, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku akan melindungi Hui Cu sebagai seorang sahabat, akan tetapi... aku tidak bisa menjadi suaminya..."   Nenek itu terbelalak dan tangis Hui Cu semakin menjadi. "Apa? Kau... kau tidak cinta padanya? Engkau berani menolak?" Nenek itu tiba-tiba bangkit dan mengerahkan tenaga untuk menyerang Cia Sun, akan tetapi ia terpelanting dan napasnya putus.   Hui Cu bangkit, mukanya pucat ketika ia memandang kepada mayat ibunya. "Ibu... kau... kau kejam... kejam...!" Dan gadis itupun melarikan diri dengan amat cepatnya.   "Hui Cu...!" Cia Sun memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh dan terus lari dengan amat cepatnya. Cia Sun tidak dapat berbuat lain kecuali menghela napas panjang.   Sementara itu, Hui Song menghampiri ayahnya dan merekapun saling pandang dengan wajah muram dan hati berduka.   "Ayah... kongkong dan ibu..."   Cia Kong Liang mengangguk. "Aku sudah tahu, mereka tewas oleh Raja dan Ratu Iblis, dan engkau sudah membalas-kan kematian mereka."   "Ayah...!" Hui Song menahan air matanya, mendekati ayahnya dan merekapun saling berpegang tangan. Dari tangan mereka terasa getaran dan kedua orang pria yang kuat ini saling menghibur dengan pegangan tangan mereka itu.   "Aku telah tertipu, Song-ji..."   "Sudahlah, ayah. Aku sudah mendengar dari para suheng. Akan tetapi, ayah te-lah cepat berbalik pikiran setelah mengetahuinya dan bagaimanapun juga, Cin-ling-pai telah banyak membantu pemerintah dalam menentang pemberontak."   "Song-ji, perkenalkan aku dengan para locianpwe ini. Apakah locianpwe itu gu-rumu?" ketua Cin-ling-pai berkata. "Juga siapakah gadis gagah itu? Siangkoan Ci Kang dan Cia Sun aku sudah kenal."   Hui Song lalu memperkenalkan Siang-kiang Lo-jin sebagai gurunya, juga Wu-yi Lo-jin guru Sui Cin, Ciu-sian Lo-kai guru Ci Kang dan Go-bi San-jin guru Cia Sun. "Dan ini adalah nona Ceng Sui Cin, pu-teri tunggal dari locianpwe Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah."   "Ah, puteri Pendekar Sadis?" Ketua Cin-ling-pai bertanya sambil memandang penuh perhatian kepada Sui Cin. "Pantas lihai bukan main!"   "Dan ia adalah gadis yang kucinta, ayah, sudah kucalonkan ia menjadi isteri-ku!" kata Hui Song dengan cepat sambil mengerling ke arah Ci Kang dan Cia Sun. Dia tahu bahwa dua orang muda itu agaknya juga menaruh hati kepada Sui Cin, maka kini di depan banyak orang, dengen terang-terangan dia mengaku cintanya kepada gadis itu kepada ayahnya.   Mendengar ucapan muridnya itu, Siang-kiang Lo-jin tertawa dan perutnya yang gendut itu bergerak-gerak. "Ha-ha-ha-ha, ketua Cin-ling-pai sungguh beruntung mempunyai seorang putera yang jujur dan berani berterus terang tidak malu-malu kucing!"   Cia Kong Liang tersenyum. Di dalam hati kecilnya, dia kurang suka kalau puteranya berjodoh dengan puteri Pendekar Sadis, karena dalam pandangannya, Pen-dekar Sadis adalah seorang pendekar yang terlalu kejam terhadap musuhnya. Akan tetapi dia sudah memperoleh banyak pengalaman dalam peristiwa pemberontakan itu sehingga dia menekan perasaannya dan dia menjura kepada kakek gendut itu. "Berkat bimbingan locianpwe anakku yang bodoh menjadi tabah. Nona Ceng, terus terang saja, setelah mendengar ka-ta-kata anakku, bagaimana pendapatmu tentang itu?"   Pertanyaan yang diajukan ketua Cin-ling-pai ini lebih terang-terangan lagi daripada puteranya. Pendekar ini berta-nya kepada seorang gadis begitu saja tentang pendapatnya mengenai pemyata-an cinta puteranya!   Sui Cin adalah seorang gadis yang berwatak polos, jenaka dan bebas. Ter-utama sekali ia mencinta kebebasan yang sejak kecil memang diberikan oleh ayah bundanya kepadanya maka sikap Hui Song dan ayahnya itu tidak membuat ia bingung walaupun kedua pipinya kini menjadi le-bih merah daripada biasanya.   "Locianpwe, Song-ko adalah seorang sahabatku yang baik. Aku suka kepadanya..."   "Suka ataukah cinta? He-he, kukira muridku juga bukan seorang yang pemalu dan berpura-pura. Sui Cin, suka berbeda dengan cinta!" Tiba-tiba Wu-yi Lo-jin berkata sambil terkekeh. Sui Cin melirik kepada gurunya. Sialan. Gurunya ini lebih terang-terangan lagi sehingga ia merasa tersudut. "Yaah, mungkin aku juga cinta padanya dan tentang perjodohan... wah, biarlah hal itu ayah ibuku yang memutuskan!"   Jawaban ini membuat semua orang tersenyum dan Hui Song nampak girang bukan main. Cia Sun diam-diam menarik napas panjang dan diapun hanya menun-dukkan muka saja, sedangkan Ci Kang juga menundukkan muka. Hanya mereka sendirilah yang dapat merasakan kepahit-an yang sejenak menyelubungi hati me-reka mendengar jawaban Sui Cin yang terang-terangan menyatakan cintanya kepada Hui Song itu.   Cia Kong Liang mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau memang kalian saling mencinta, kelak aku akan menemui Pen-dekar Sadis untuk membicarakan soal perjodohan kalian. Sekarang aku harus mengucapkan terima kasih kepada para locianpwe yang telah menolong calon mantuku ini, juga tidak lupa aku berterima kasih sekali kepada Ci Kang dan Cia Sun, ter-utama Ci Kang karena tanpa adanya dia ini, mungkin aku sekarang sudah mati di-keroyok oleh para pemberontak anak buah Raja Iblis."   "Nanti dulu, ayah!" tiba-tiba Hui Song berkata dengan suara nyaring sehingga mengejutkan hati semua orang. Hati pendekar muda ini yang sedang bergelora penuh cinta asmara terhadap Sui Cin, agaknya masih belum dapat melenyapkan rasa marah dan cemburu teringat akan perbuatan yang pernah dilakukan Siangkoan Ci Kang kepada kekasihnya. Membayangkan peristiwa yang lalu, betapa Ci Kang dengan kekerasan merangkul dan menciumi Sui Cin, hatinya menjadi panas dan kini mendengar Ci Kang dipuji-puji ayah-nya, dia tidak dapat menerimanya. "Kita tidak dapat menilai hati orang melalui satu perbuatannya saja. Siapa tahu ketika Siangkoan Ci Kang menolong ayah, hal itu dilakukan secara kebetulan atau me-mang untuk mencari muka. Dia itu se-sungguhnya seorang yang jahat, seorang tokoh sesat, ayah!"   Siangkoan Ci Kang mengangkat muka memandang kepada Hui Song. Sedikitpun tidak nampak penyesalan pada wajahnya yang gagah, bahkan sinar matanya masih lembut seperti biasa. Dia maklum apa yang sedang terjadi di dalam batin pe-muda tampan itu. Dia tahu betapa cem-buru dan kemarahan membuat Hui Song membenci padanya, atas perbuatannya kepada Sui Cin tempo hari. Dan dia ti-dak menyalahkan Hui Song. Apalagi Hui Song, dia sendiripun marah dan menyesal sekali atas peristiwa yang terjadi itu dan sukar baginya untuk memaafkan diri sen-diri. Oleh karena itu, dia menanti saja apa yang hendak dikatakan Hui Song yang nampaknya penasaran sekali dan siap membuka keburukan namanya di depan semua orang.   Akan tetapi, jawaban Cia Kong Liang sungguh di luar dugean semua orang, terutama sekali Hui Song. Ketua Cin-ling-pai itu menjawab tenang, "Hui Song, agaknya aku lebih mengenal dia daripada engkau. Aku sudah tahu, dan dia mengaku sendiri bahwa dia adalah putera tunggal mendiang Siangkoan Lo-jin..."   "Baik sekali kalau ayah sudah mengetahuinya," kata Hui Song memotong. "Akan tetapi tahu jugakah ayah bahwa Siangkoan Lo-jin itu adalah Si Iblis Buta, yang sebelum muncul Raja dan Ratu Iblis menjadi datuk kaum sesat yang dibantu oleh Cap-sha-kui!"   Ayahnya menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku tahu kesemuanya itu, Song-ji, dan keadaan keluarganya itu bahkan semakin mengagumkan hatiku terhadap Ci Kang, karena dia bagaikan sekuntum bunga teratai yang hidup di tengah lumpur, tetap indah dan bersih. Aku melihat sendiri betapa hebat sepak terjangnya dalam menentang kejahatan..."   "Ayah belum tahu apa yang tersembunyi di balik kedok domba itu! Ayah, dia jahat sekali! Dia pernah berusaha untuk memperkosa adik Sui Cin...!"   "Song-ko...!" Sui Cin terkejut dan menegur karena ia menganggap bahwa tidak pantas pemuda itu membuka rahasia itu.   "Cin-moi, kalau tidak kuberitahukan sekarang, tentu semua orang menganggap dia seorang yang sebaik-baiknya dan hal itu amat berbahaya," bantah Hui Sang.   Cia Kong Liang mengerutkan alisnya, sejenak matanya memandang kepada puteranya dengan marah. Sebagai seorang yang berpandangan tajam diapun dapat menduga bahwa di dalam batin puteranya itu penuh dengan kebencian dan cemburu. Kemudian dia mengalihkan pandang matanya, memandang wajah Siangkoan Ci Kang dan pemuda itu sama sekali tidak membantah, hanya menundukkan mukanya yang menjadi agak pucat, wajah yang membayangkan penyesalan besar.   Ucapan Hui Song itu membuat semua orang terkejut. Bahkan Cia Sun yang tadinya amat percaya dan suka kepada Ci Kang yang gagah perkasa, kini meman-dang dengan alis berkerut dan kakek Ciu-sian Lo-kai yang biasanya suka berkela-kar dan jenaka itu, wajahnya berobah dan alisnya berkerut ketika dia meman-dang kepada muridnya.   "Siangkoan Ci Kang!" tiba-tiba kakek tinggi kurus yang berpakaian pengemis ini berkata, suaranya keras galak, matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Benarkah apa yang dituduhkan orang kepadamu? Be-narkan itu bahwa engkau pernah hendak memperkosa nona Ceng Sui Cin ini?"   Semua orang kini memandang kepada Ci Kang, terutama sekali Cia Sun yang merasa bingung dan sukar dapat memper-caya berita bahwa sahabatnya itu pernah hendak memperkosa Sui Cin. Ci Kang mengangkat mukanya yang agak pucat i-tu, pertama-tama memandang ke arah Sui Cin yang juga memandang kepadanya, kemudian dia memandang kepada guru-nya, lalu menunduk kembali dan suaranya lirih dan jelas.   "Benar, suhu. Saya pernah melakukan hal itu."   Sepasang mata Ciu-sian Lo-kai terbelalak, juga semua orang terkejut mende-ngar pengakuan blak-blakan ini. "Ci Kang! Engkau memalukan aku yang menjadi gu-rumu! Aku tidak pernah mengajarkan engkau untuk bertindak biadab seperti itu!"   Dengan sikap tenang Ci Kang menja-wab, "Suhu mengajarkan agar saya ber-sikap jujur dan berani mempertanggung-jawabkan semua tindakan saya."   "Hemm, engkau telah melakukan per-buatan terkutuk, lalu apa tanggung ja-wabmu?" desak kakek tinggi kurus itu dengan marah.   "Saya akan menerima segala hukuman yang dijatuhkan kepada saya untuk per-buatan itu, suhu," jawab Ci Kang dengan tenang dan sedikitpun tidak kelihatan gentar.   Kakek tinggi kurus itu menarik napas panjang dan wajahnya nampak lega. "Ah, setidaknya engkau cukup gagah untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Nah, aku yang akan menghukummu di depan orang banyak ini. Aku harus men-cabut sebagian kepandaianmu dan melumpuhkan separuh badanmu!" Berkata demikian, Ciu-sian Lo-kai melangkah maju menghampiri muridnya dan Ci Kang ha-nya berdiri tenang sambil menundukkan mukanya saja, menanti datangnya hukum-an dengan pasrah.   "Nanti dulu!" Tiba-tiba Cia Sun me-loncat ke depan dan menghadang Ciu-sian Lo-kai. "Locianpwe, harap maafkan ka-lau aku mencampuri urusan ini karena Ci Kang adalah sababatku yang baik dan a-ku mengenal benar kegagahannya. Kita semua sudah mendengar tuduhan paman Cia Hui Song dan juga Ci Kang tidak menyangkal tuduhan itu dan dia demikian gagahnya untuk mempertanggunjawabkan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. A-kan tetapi di sini kita mempunyai seorang saksi utama yang belum menyatakan kesaksiannya. Cin-moi, mengapa engkau berdiam diri saja? Pendapat semua orang bisa saja keliru, hanya engkau seoranglah yang dapat menjelaskan apa sesungguhnya yang telah teriadi. Aku hanya dapat mempercaya keteranganmu saja dalam hal ini. Benarkah tuduhan paman Hui Song terhadap Ci Kang tadi?"   Kini semua orang memandang kepada Sui Cin. Gadis itu sejak tadi menjadi merah mukanya dan ia sampai kehilangan suaranya saking kaget dan malunya men-dengar betapa Hui Song membuka rahasia Ci Kang itu. Kini, secara langsung Cia Sun bertanya kepadanya dan iapun mena-rik napas panjang lalu memandang kepa-da Ci Keng dengan sinar mata kasihan.   "Apa yang dituduhkan Song-ko memang benar dan tadinya akupun menyangka bahwa saudara Ci Kang melakukan perbuat-an yang amat jahat terhadap diriku. Hal itu terjadi ketika dia dan aku menjadi wakil suku bangsa untuk memilih pimpin-an dan dia terluka oleh jarum-jarumku. Karena merasa menyesal, akupun mengun-junginya dalam perkemahan den meng-obatinya. Akan tetapi, setelah dia sadar, dia malah melakukan usaha untuk memaksaku... dan pada saat itu, Song-ko muncul dan terjadi perkelahian sampai saudara Ci Kang melarikan diri. Pada waktu itu, tentu saja Song-ko menyangka bahwa saudara Ci Kang hendak memperkosaku, bahkan aku sendiripun mempunyai dugaan demikian."   "Nah, sudah jelas! Tunggu apa lagi?" seru Hui Song.   "Nanti dulu, Song-ko!" kata Sui Cin, mengerutkan alisnya. "Hati yang penuh cemburu mengundang kebencian dan sela-lu berprasangka buruk. Aku tadi menga-takan bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, akupun menduga bahwa saudara Ci Kang telah melakukan perbuatan yang rendah dan jahat. Akan tetapi, kemudian baru aku tahu bahwa hal memalukan itu terjadi bukan karena kesalahannya! Sama sekali dia tidak bersalah!"   Hui Song memandang dengan mata terbelalak dan wajah Cia Sun berseri. Sudah dia duga. Dia tidak akan mungkin dapat percaya bahwa sahabatnya itu me-lakukan hal yang sedemikian rendahnya. Dia, biarpun belum lama bergaul dengan Ci Kang, sudah mengenal pemuda ini se-bagai seorang jantan yang berjiwa gagah perkasa.   "Nona Ceng Sui Cin, bicaralah yang jelas. Nona mengakui bahwa muridku ini telah berusaha memperkosamu, akan tetapi selanjutnya nona katakan bahwa dia tidak bersalah! Apa artinya keteranganmu yang bertentangan itu?" Ciu-sian Lo-kai mendesak.   Kini Ci Kang sendiri merasa amat tertarik. Selama ini, dia hanya merasa amat menyesal atas perbuatannya terhadap Sui Cin itu. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia sampai melakukan hal terkutuk itu. Kini, mendengar keterangan Sui Cin, tentu saja dia tertarik sekali dan dia meng-angkat muka memandang kepada gadis i-tu.   "Ketika aku mengunjungi perkemahan saudara Ci Kang untuk mengobatinya, a-ku membawa juga obat dari subo Yelu Kim. Dan ternyata obat itu manjur. A-kan tetapi baru kemudian aku mendengar dari subo Yelu Kim bahwa obat itu me-ngandung racun perangsang den racun i-nilah yang membuat saudara Ci Keng melakukan perbuatan itu terhadap diriku. Dia keracunan, bukan sengaja hendak berbuat keji terhadap diriku. Dia tidak ber-salah, yang salah adalah obat pemberian subo Yelu Kim itu."   Bukan main lega rasa hati Cia Sun, Ciu-sian Lo-kai dan terutama Ci Kang sendiri. Pemuda ini menjadi merah lagi mukanya dan dia memandang kepada Sui Cin dengan perasaan terima kasih yang besar. Gadis itu seolah-olah telah mengangkatnya keluar dari dalam jurang ke-hinaan yang membuatnya berduka dan murung. Akan tetapi diapun marah kepada nenek Yelu Kim dan dia mengepal tinju. "Ah, nenek Yelu Kim sungguh keji dan jahat!" katanya.   "Saudara Ci Kang hendaknya tidak salah sangka terhadap subo Yelu Kim!" Sui Cin berkata melihat sikap pemuda itu. "Subo Yelu Kim tidak berniat jahat dengan pemberian obat itu."   "Tidak jahat? Nona, ia hampir membuat aku menjadi seorang hina, membuat aku hampir putus asa karena penyesalan, dan engkau masih mengatakan bahwa dia tidak jahat?" Ci Kang berseru heran.   Sui Cin menggeleng kepala dan tersenyum simpul. "Tidak, ia sama sekali tidak jahat, saudara Ci Kang. Semua terjadi karena selah pengertian. Ketika subo melihat betapa aku merasa menyesal me-lukaimu dan hendak mengobatimu, ia sa-lah sangka. Ia mengira bahwa aku jatuh cinta padamu... dan... dengan obat itu, ia bermaksud hendak membantuku...! Ingat, subo adalah pemimpin suku-suku liar, jadi... dalam hal itu, mungkin saja cara berpikirnya dan kebiasaan suku liar itu sendiri jauh berbeda dengan kita..."   Cia Kong Liang memandang kepada puteranya. "Song-ji, engkau sudah mende-ngar sendiri sekarang! Lain kali, jangan sembarangan menjatuhkan tuduhan kalau belum mengerti benar apa yang menjadi sebab-sebab perbuatan itu. Tuduban ywg tanpa dasar bisa merupakan fitnah keji."   Wajah Hui Song menjadi merah pa-dam, akan tetapi dengan gagah diapun menjura kepada Ci Kang. "Siangkoan Ci Kang, maafkanlah aku. Akan tetapi, siapa dapat menduga tentang racun itu? Cin-moi sendiri sebelum mendengar dari nenek Yelu Kim juga tidak tahu. Jadi, aku tidak menuduh secara membabi-buta, harap kau dapat memakluminya."   Diam-diam Ci Kang merasa kagum. Pemuda itu, biarpun karena cemburunya menjatuhkan tuduhan penuh kebencian kepadanya, namun kini mau mengakui ke-salahannya secara gagah perkasa dan minta maaf. Seperti juga ayahnya yang telah melakukan salah langkah yang amat he-bat dan membawa anak buah membantu para pemberontak, akan tetapi setelah sadar berani bertindak membetulkan langkah, bahkan dengan pengorbanan nyawa isteri dan ayah mertuanya, dan banyak pula anak murid yang menjadi korban.   "Sui Cin! Apa saja yang telah kaulakukan selama ini?" Tiba-tiba terdengar suara teguran yang nyaring, suara seorang wanita dan begitu suara itu berhenti, nampak dua bayangan orang berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan gagah, bersama seorang wanita yang usianya sebaya, cantik dan berpakaian mewah indah seperti pria itu pula. Mereka ini adalah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis, bersama isterinya, Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan).   "Ayah...! Ibu...!" Sui Cin berseru girang bukan main dan cepat ia lari menghampiri mereka dan saling rangkul dengan ibunya. Gadis itu pakaiannya sederhana saja, bahkan agak nyentrik, sedangkan ibunya berpakaian rapi dan mewah, sungguh besar perbedaan pakaian mereka. Akan tetapi wajah mereka sama-sama cantik dan manis.   "Ayah, ibu, mari kuperkenalkan kepada orang-orang gagah ini!" kata Sui Cin dengan lincah gembira sambil menuntun tangan ibunya. "Cu-wi yang gagah, mere-ka ini adalah ayahku dan ibuku! Ayah, i-bu, empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh sakti yang memimpin para pende-kar menghadapi Raja Iblis dan kaki ta-ngannya. Ini adalah suhu Wu-yi Lo-jin yang terkenal dengan sebutan Dewa Arak dan beliau ini telah menjadi guruku, membimbingku selama tiga tahun."   "Heh-heh, aku tua bangka ini telah lancang dan tak tahu diri berani menjadi guru puteri Pendekar Sadis yang amat lihai!" kata Wu-yi Lo-jin. Akan tetapi sambil tertawa Ceng Thian Sin menjura.   "Bimbingan locianpwe terhadap anak kami yang bodoh merupakan budi yang besar sekali dan kami berterima kasih."   Sui Cin melanjutkan. "Dan ini adalah locianpwe Siang-kiang Lo-jin yang disebut Dewa Kipas, lihai dan lucu, juga amat baik hati. Dan yang ini locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin. Pemuda ini adalah Cia Sun toako, putera dari paman Cia Han Tiong..."   Cia Sun cepat memberi hormat kepada Pendekar Sadis dan isterinya. Ceng Thian Sin girang sekali melihat Cia Sun dan memegang pundak pemuda itu sambil memandang wajahnya dengan penuh per-hatian. "Ah, kanda Cia Han Tiong me-miliki seorang putera yang gagah perkasa, aku girang sekali."   "Ayah dan ibu, ini adalah enci Tan Siang Wi dan ini koko Cia Hui Song dan ayahnya, ketua Cin-ling-pai, lociawpwe Cia Kong Liang."   Mereka berhadapan dan saling pandang, kemudian Ceng Thian Sin dan isterinya menjura dengan hormat kepada ketua Cin-ling-pai yang dibalas dengan si-kap sederhana oleh Cia Kong Liang sam-bil berkata, "Gembira sekali dapat ber-temu lagi dengan ji-wi di tempat ini."   Sebelum mereka sempat bercakap-ca-kap, tiba-tiba nampak seorang laki-laki berlari-lari mendatangi dan dengan napas agak terengah-engah, pria ini lalu maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Hui Song.   "Itu dia! Itulah dia si Jahanam Cia Hui Song, keparat tak mengenal budi. Penjahat keji yang terkutuk itu!" Orang itu lalu menoleh ke arah Pendekar Sadis dan isterinya. "Orang gagah, engkau te-lah berjanji, cepat tangkap dan seret dia seperti yang telah kaujanjikan!"   Sementara itu, melihat pria ini, Hui Song sudah melangkah maju. "Eh-eh, saudaraku, Lam-nong, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau bersikap seperti ini?"   Lam-nong meloncat ke belakang dan matanya melotot. "Jangan sentuh aku! Apakah engkau mau bunuh aku juga? Sebelum engkau membunuhku, biarlah semua orang gagah ini mendengar perbuatan apa yang telah kaulakukan ke-pada keluargaku, kepada suku kami!"   Hui Song mengerutkan alisnya dan memandang bingung. Apakah Lam-nong telah menjadi gila, pikirnya. "Saudara Lam-nong, mengapa kau begini?"   "Tak usah berpura-pura. Anak buahku sendiri melihat dengan mata sendiri, dan dia tidak mungkin berbohong. Kami telah menerimamu sebagai seorang sahabat baik, membagimu makanan yang kami makan, minuman yang kami minum. Akan tetapi engkau telah membalas dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah mem-bantu pemberontak, menghancurkan se-mua anak buahku, bahkan engkau telah merampas isteri-isteriku, memaksa mere-ka untuk berjina denganmu dan akhirnya membunuh mereka. Engkau manusia iblis! Terkutuk!" Lam-nong maju menyerang dengan nekat, akan tetapi sekali dorong saja Hui Song membuat dia terpelanting.   Ceng Thian Sin sudah maju dan me-nangkis tangan Hui Song yang hendak menampar Lam-nong. "Dukkk...!" Dan Hui Song merasa lengannya tergetar hebat, maka diapun meloncat ke belakang.   "Aku dan isteriku bertemu dengan dia ini yang hampir gila karena duka mende-ngar betapa keluarganya hancur. Dan a-nak buahnya melihat sendiri semua yang telah diceritakannya tadi, karena itu, se-belum kesemuanya jelas, jangan persalahkan dia."   "Tapi, tapi... saya tidak..." Hui Song tergagap, tentu saja tidak berani melawan ayah Sui Cin!   "Song-ji!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya membentak marah. "Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Tak mungkin orang menuduhmu membabi-buta tanpa sebab! Heyo ceritakan sejujurnya!"   "Ayah, sungguh mati aku tidak pernah melakukan perbuatan itu..."   "Cia Hui Song, engkau selain jahat juga pengecut, tidek berani mengakui per-buatan sendiri! Anak buahku melihat dengan mata kepala sendiri. Dia melihat engkau dalam kamar bersama isteri-isteriku yang kaupaksa melayanimu! Hayo katakan, tidak benarkah engkau berada di dalam kamar tidur bersama mereka?"   Hui song maklum bahwa terjadi kesalahpahaman yang hebat. Memang kalau orang melihat ketika dia ditawan Sim Thian Bu, melihat betapa selir-selir Lam-nong dipaksa datang melayaninya, orang bisa saja salah paham. "Aku tidak menyangkal. Memang aku berada dalam kamar bersama isteri-isterimu, akan tetapi..."   "Nah, taihiap sudah mendengar sendi-ri. Harap taihiap tangkapkan penjahat ini untukku seperti yang telah taihiap janji-kan!" kata Lam-nong kepada suami isteri Pulau Teratai Merah itu.   "Pemuda tak tahu malu!" tiba-tiba Toan Kim Hong membentak dan tubuhnya sudah menyambar ke depan, ke arah Hui Song. Tangannya terulur untuk mencengkeram pundak Hui Song karena nyonya ini sudah menjadi marah sekali dan merasa yakin akan keterangan Lam-nong.   "Dukkk...!" Tiba-tiba Ci Kong Liang menggerakkan tubuhnya dan dengan cepatnya dia telah menangkis lengan wanita itu sehingga keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat oleh pertemuan tenaga dahsyat itu. Toan Kim Hong memandang dan tersenyum mengejek, sinar matanya berkilat.   "Hemmm, bagus sekali! Tadinya ketua Cin-ling-pai telah melakukan salah perhi-tungan dan membantu pemberontak yang bersekutu dengan kaum sesat, apakah kini hendak mengulang lagi dengan mem-bantu anak yang menyeleweng dan mela-kukan perbuatan-perbuatan rendah?"   Akan tetapi dengan sikap angkuh dan tenang, Cia Kong Liang menjawab, "Ke-salahan anak harus dipertanggungjawabkan orang tuanya! Aku sebagai ayahnya masih hidup, mana bisa aku membiarkan saja orang lain hendak menghukum anak-ku? Aku sendiri masih dapat menghajarnya!" Campur tangan Toan Kim Hong ta-di membuat ketua Cin-ling-pai tersing-gung sekali dan kemarahannya tentu saja ditumpahkannya kepada Hui Song yang dianggap menjadi biang keladinya. Tangannya bergerak ke kiri dan tahu-tahu dia sudah mencabut pedang yang tadinya tergantung di punggung Siang Wi. Muridnya terkejut bukan main.   "Suhu...!" Siang Wi berseru dengan muka pucat, akan tetapi gurunya memandang dengan mata penuh teguran sehingga gadis ini menunduk dan takut, akan tetapi mukanya yang pucat menjadi semakin pucat ketika ia melirik ke arah Hui Song.   "Hui Song, engkau tahu bahwa kita orang-orang Cin-ling-pai selalu berani mempertanggungjawabkan perbuatan kita dan bahwa kita selalu siap menerima hukuman untuk perbuatan kita. Nah, untuk perbuatanmu itu, aku perintahkan engkau untuk membuang sebelah lenganmu. Engkau hendak melakukannya sendiri ataukah harus aku yang melaksanakannya?"   Semua orang terbelalak dan Sui Cin mengeluarkan seruan tertahan, matanya dibuka lebar-lebar memandang kepada Hui Song. Ia sendiri tidak dapat percaya bahwa pemuda yang dicintanya itu telah melakukan perbuatan yang demikian jahatnya seperti yang dituduhkan Lam-nong. Akan tetapi kalau saksi telah ada, bahkan ayah bundanya sendiri sudah percaya, apa yang dapat ia lakukan? Hatinya me-rasa tegang bukan main dan rasanya ia ingin lari saja meninggalkan tempat yang menegangkan itu.   Hui Song yang biasanya lincah gembi-ra itu, kini wajahnya menjadi agak pucat dan lesu. Dia mengenal watak ayahnya yang keras dan memegang peraturan de-ngan patuh, sedikitpun tidak dapat dita-war-tawar lagi. Membantah ayahnya tia-da gunanya, hanya menimbulkan gambar-an bahwa dia tidak berani menghadapi akibat daripada hukuman itu saja. Akan tetapi, menerima hukuman itupun meru-pakan sesuatu yang amat penasaran ka-rena dia sama sekali tidak pernah mela-kukan perbuatan laknat seperti yang dituduhkan Lam-nong kepadanya.   "Ayah, aku bukan seorang pengecut yang suka mengelak hukuman, kalau me-mang aku bersalah. Dan aku merasa tidak bersalah. Akan tetapi, kalau ayah menetapkan demikian, terserah kepada a-yah!" Dengan berani dia menatap pan-dang mata ayahnya dan melihat betapa sinar mata orang tua itu suram dan layu. Teringatlah dia bahwa baru saja ayahnya kehilangan ibunya dan juga kongkongnya. Dia tahu betapa hebat penderitaan yang terasa dalam batin ayahnya dan kini ha-rus menghadapi urusannya pula. Dia me-rasa kasihan sekali.   "Ayah, kalau hal itu menyenangkan hatimu, laksanakanlah hukuman itu!" ka-tanya dengan gagah dan ikhlas.   Ucapan Hui Song ini oleh Cia Kong Liang yang sedang merasa terhimpit batinnya itu diterima sebagai tantangan dan keikhlasan itu dianggap sebagai pengakuan bersalah, maka dis mengambil ke-putusan bulat untuk melaksanakan hukuman itu atas diri putera tunggalnya! Hatinya akan hancur dan kecewa sekali, akan tetapi di samping itu masih akan terhi-bur oleh rasa bangga bahwa keluarganya tetap bersikap jantan dan tidak lari dari-pada pertangungan jawab! Maka, karena tahu akan kelihaian puteranya, diapun menggerakkan pedangnya dengan jurus yang diambil dari ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut. Bukan main hebatnya serangan ini, ketika pedang yang dipinjamnya dari Siang Wi karena pedangnya sendiri lenyap ketika dia tertawan, berkelebat menyam-bar ke arah lengan Hui Song!   Biarpun yang hadir di situ adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, na-mun tak seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri. Apa yang se-dang terjadi itu adalah urusan antara a-nak dan ayah dan sang ayah adalah ke-tua Cin-ling-pai yang sikapnya demikian keras, angkuh dan penuh wibawa. Mereka semua hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati diliputi ketegangan.   "Crakkkk...!" Terdengar jeritan Siang Wi dan Sui Cin dan nampak sebuah lengan kiri sebatas siku terbabat putus dan jatuh ke atas tanah, darahpun muncrat keluar dari lengan yang buntung.   "Ci Kang...!" Cia Sun dan Ciu-sian Lo-kai menubruk Ci Kang yang agak terhuyung itu. Kiranya tadi, ketika melihat pedang menyambar ke arah tubuh Hui Song, Ci Kang yang berdiri dekat dengan Hui Song, cepat menangkis dengan lengan kirinya. Dia sudah mengerahkan sin-kang ketika me-nangkis. Akan tetapi, gerakan pedang itu bukanlah gerakan biasa, melainkan meru-pakan jurus ampuh dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum), maka tak dapat dihindarkan la-gi, lengan kiri Ci Kang mulai bawah siku terbabat buntung!   Cia Sun merangkul sahabatnya dan Ciu-sian Lo-kai menyuruh muridnya du-duk bersila, lalu dia menotok jalan darah di pundak dan pangkal lengan untuk menghentikan darah yang bercucuren keluar.   "Aku membawa obat luka yang amat manjur!" kata Toan Kim Hong yang bersama suaminya bersikap biasa saja. Mereka berdua ini sudah terlalu sering menyaksikan hal-hal yang amat hebat terjadi di dunia persilatan, dilakukan oleh kaum persilatan yang memang berwatak aneh-aneh. Biarpun mereka terkejut juga melihat kenekatan Ci Kang, namun mereka tidak sampai menjadi bingung seperti yang lain. Dengan cekatan nyonya ini lalu menaruhkan obat bubuknya pada lengan yang buntung dan membalut lengan buntung itu dengan sehelai saputa-ngan bersih. Ci Kang tadi duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri dan kini sudah ber-sikap biasa.   Cia Kong Liang yang terbelalak kaget melihat betapa pedangnya ditangkis orang dan malah membuntungkan lengan Ci Kang yang dikaguminya, melepaskan pe-dang itu dan dia hanya dapat mengeluh dan menghapus peluhnya dengan saputa-ngan, tak mampu mengeluarkan kata-ka-ta.   Setelah pemuda itu diobati dan semua orang memandang kepadanya, barulah ke-tua Cin-ling-pai itu berkata kepada Ci Kang, "Ci Kang, apa artinya perbuatan-mu itu? Mengapa engkau melakukan itu?"   Ci Kang mengangkat muka meman-dang ketua Cin-ling-pai itu dan tersenyum masam. "Locianpwe tidak boleh menghukum orang yang tidak bersalah dan aku-lah agaknya satu-satunya orang yang menjadi saksi bahwa Cia Hui Song me-mang tidak bersalah."   Tentu saja ketua Cin-ling-pai itu terkejut bukan main, juga semua orang yang hadir di situ kini memandang Ci Kang dengan penuh perhatian. Lam-nong melangkah maju dengan marah. "Orang muda, apa yang kaulakukan ini memang aneh dan gagah perkasa, dan untuk pengorbanan lenganmu guna orang lain ini sudah membuat aku kagum sekali. Akan tetapi jangan kau main-main dengan kesaksian itu. Ingat, orang-orangku sendiri sampai mati tidak akan berbohong dan mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa Cia Hui Song ini telah..."   "Harap suka dengarkan dulu penjelasanku. Akupun mendengar rahasia itu secara kebetulan saja dan dibicarakan oleh pelaku-pelakunya sendiri." Dia lalu dengan singkat menceritakan betapa dia melihat Hui Song ditawan oleh Sim Thian Bu dan kemudian mendengar pula percakapan antara Sim Thian Bu dan Hui Song, betapa Sim Thian Bu membujuk Hui Song untuk menakluk kepada Raja Iblis, juga mendengar betapa Thian Bu telah memaksa isteri-isteri Lam-nong untuk merayu Hui Song dan sengaja membiarkan kakek anak buah Lam-nong untuk melihat adegan itu sehingga nama baik Hui Song akan tercemar dan akan terjadi bentrok antara Lam-nong dan Hui Song.   "Semua itu kudengar sendiri dan aku tahu siapa Sim Thian Bu. Dia adalah be-kas suteku dan aku tahu akan kejahatan-nya. Cia Hui Song telah difitnah dan la-poran kakek anak buah bangsa Mancu itu memang benar, hanya dia tidak tahu bahwa pada waktu dia melihat empat orang isteri-isteri saudara Lam-nong berada da-lam satu kamar bersama Hui Song, dia sedang dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak."   "Ahhh...!" Lam-nong berseru dan laki-laki ini lalu menangis! Dia sudah dihimpit kedukaan karena keluarganya binasa semua, kini ditambah lagi dengan kekeliruan sangka sehingga mengakibatkan sahabat baiknya Cia Hui Song hampir saja terhukum.   "Hemm...!" Cia Kong Liang juga mengeluarkan seruan tertahan dan bermacam perasaan terkandung dalam seruan itu. Ada perasaan lega karena ternyata putera kandungnya itu tidak berdosa, a-kan tetapi juga ada perasaan menyesal karena pedangnya, walaupun tidak dise-ngaja, telah membuntungkan lengan Ci Kang yang gagah perkasa.   "Ci Kang... ah, Ci Kang...!" Tiba-tiba Hui Song menjatuhkan dirinya berlutut di depan Ci Kang dan merangkul pundak pemuda tinggi besar itu. Biarpun Hui Song seorang pemuda perkasa yang gagah berani dan berbatin kuat, namun sekali ini keharuan membuat dia tidak kuasa menahan mengalirnya air matanya.   "Aku... aku telah berdosa kepadamu dan engkau malah melimpahkan budi tiada hentinya kepadaku! Engkau pernah membebaskan aku dari tawanan Sim Thian Bu dan aku malah mengajakmu berkelahi. Engkau datang ke benteng Jeng-hwa-pang untuk bergabung dengan para pendekar dan aku malah menghinamu dan mengajak para pendekar menyerangmu karena engkau putera mendiang Iblis Buta. Dan aku... tadi aku telah menuduhmu melakukan perbuatan keji terhadap Cin-moi... dan kini... engkau malah membelaku, engkau membersihkan namaku dan engkau... engkau bahkan rela mengorbankan sebuah lenganmu untukku...! Ci Kang, mengapa engkau begini baik sedangkan aku begini jahat dan kejam karena cemburu?"   Ci Kang menepuk-nepuk pundak Hui Song dengan tangan kanannya, lalu dia bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan ba-junya dengan tangan kanan, wajahnya pu-cat dan senyumnya pahit. "Sudahlah Hui Song. Aku melakukan ini memang sudah seharusnya, dan di samping itu, aku... aku..." Dia mellrik ke arah Sui Cin, "aku tidak ingin melihat nona Sui Cin menderita, dan kalau lenganmu buntung, tentu nona Sui Cin akan menderita. Aku... aku hanya anak seorang datuk sesat yang amat jahat, biarlah buntungnya lenganku ini sedikit meringankan hukuman bagi ayah kandungku di neraka... nah, selamat tinggal. Suhu, ampunkan teecu, selamat tinggal!" Dia menjura kepada Ciu-sian Lo-kai, lalu memungut buntungan lengannya dari atas tanah.   "Ci Kang...! Kau... maafkanlah aku...!" Sui Cin terisak sambil menyentuh lengan kanan pemuda itu. Sejenak Ci Kang memandang kepada wajah gadis i-tu, menarik napas panjang dan berbisik lirih.   "Nona... semoga engkau berbahagia..." Dan diapun cepat meloncat dan melarikan diri pergi dari tempat itu.   Tiba-tiba Ciu-sian Lo-kai tertawa ber-gelak. "Ha-ha-ha, Go-bi San-jin, bagaimana sekarang? Masih engkau menganggap keliru sikap pendekar besar Cia Han Tiong? Lihat, bagaimana seorang putera datuk sesat yang amat kejam dan jahat telah berobah menjadi seorang pendekar budiman yang mengagumkan. Ha-ha-ha!"   Go-bi San-jin mengelus mukanya dan diapun menarik napas panjang. "Engkau benar... engkau benar... akan tetapi ba-gaimanapun juga, muridku tidak berobah menjadi seorang yang jahat, melainkan tetap seorang pendekar yang adil dan ju-jur." Tentu saja tidak ada yang mengerti apa maksudnya percakapan antara dua o-rang kakek itu, bahkan Cia Sun sendiri hanya memandang heran mendengar be-tapa nama ayahnya terbawa dalam percakapan itu.   Sementara itu, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin melangkah maju dan kedua-nya tertawa ha-ha-hi-hi setelah tadi sa-ling memberi isyarat dengan pandang mata mereka. Mereka itu seperti saling do-rong dengan sikap mereka, seperti dua orang anak-anak yang malu-malu ingin mengatakan sesuatu, dan akhirnya Wu-yi Lo-jin mengalah dan kakek pendek inilah yang bicara.   "Heh-heh-heh, kebetulan sekali di sini hadir orang-orang gagah Cia Kong Liang dan suami isteri Ceng Thian Sin, dan ju-ga anak-anak mereka atau murid-murid kami. Sungguh kebetulan sekali karena saat inilah yang teramat baik untuk bi-cara soal perjodohan. Pangcu dari Cin-ling-pai sudah mendengar bahwa putera-nya jatuh cinta kepada muridku, Ceng Sui Cin dan bagaimana pendapat pangcu kalau saat pertemuan ini, selagi kita se-mua berkumpul, dibicarakan tentang ikatan jodoh antara Hui Song dan Sui Cin?"   Ketua Cin-ling-pai itu mengerutkan alisnya, memandang kepada kakek pendek itu lalu menarik napas panjang dua kali. "Locianpwe, sudah banyak aku mencam-puri urusan dan semuanya menjadi gagal dan rusak. Oleh karena itu, urusan perjo-dohan Hui Song terserah kepadanya dan kepada locianpwe yang sudah menjadi gu-runya. Aku sih setuju saja, akan tetapi sekarang aku masih mempunyai kepentingan lain, biarlah lain hari saja kita bica-rakan hal itu. Cu-wi maafkan, aku harus pergi dulu. Song-ji, mari bantu aku mencari dan mengurus jenazah ibumu dan kong-kongmu."   Mendengar ini, semua orang terkejut dan baru teringat bahwa ketua Cin-ling-pai ini baru saja tertimpa musibah, bah-kan belum sempat mencari jenazah iste-rinya dan ayah mertuanya. Juga Hui Song tidak berani membantah perintah ini, maka pemuda itupun menoleh kepada Sui Cin, melempar pandang mata penuh arti lalu memberi hormat kepada empat orang kakek itu dan juga kepada Ceng Thian Sin dan isterinya. Kemudian ketua Cin-ling-pai menjura kepada semua orang lalu pergi dengan cepat diikuti Hui Song, Siang Wi dan para anggota Cin-ling-pai.   Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin saling pandang, keduanya menggerakkan pundak seperti kehabisan akal, akan te-tapi Siang-kiang Lo-jin tidak kekurangan akal. "Aha, sayang sekali ketua Cin-ling-pai mempunyai urusan yang amat penting, akan tetapi di sini masih ada orang tua dan juga guru dari Ceng Sui Cin, masih ada kesempatan untuk membicarakan urusan itu walaupun hanya sepihak."   Mendengar ini, Wu-yi Lo-jin juga ter-tawa. "Heh-heh, benar juga, benar juga. Bagaimana, Ceng-sicu dan juga toanio, ji-wi sudah mendengar bahwa antara pu-teri ji-wi dan putera ketua Cin-ling-pai itu ada hubungan kasih dan mereka ber-dua sudah bersepakat untuk mengikat perjodohan, dan kami berdua sebagai guru-guru mereka sudah merasa cocok sekali!"   "Hemm, aku tidak suka mempunyai mantu pemuda itu!" tiba-tiba Toan Kim Hong berseru.   Suaminya menyambung, "Sesungguhnya, keluarga Cia dari Cin-ling-pai itu terlalu angkuh dan ketinggian hati itu membuat kami tidak suka untuk berbesan dengan mereka..."   "Ayah! Ibu!" Sui Cin berteriak marah, "Agaknya ayah dan ibu masih ingin me-maksaku untuk menerima pinangan si pe-solek Can Koan Ti itu, ya? Ayah dan ibu ingin sekali berbesan dengan Pangeran Can Seng Ong, seorang pangeran dan ju-ga gubernur di Ce-kiang! Baiklah, ayah dan ibu saja yang menikah dengan mere-ka. Akan tetapi aku tidak sudi!" Setelah berkata demikian, Sui Cin meloncat dan melarikan diri sambil menangis!   "Sui Cin...!" teriak Pendekar Sadis marah, akan tetapi anaknya tidak perduli dan sudah lari cepat lenyap dari situ. Ketika dia mendengar suara gerakan halus dan menengok, ternyata Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin, dua orang kakek, telah lenyap pula dari situ.   "Hemm, anak itu menjadi besar kepala karena ulah dua orang kakek itu," kata Toan Kim Hong marah. "Setelah merantau dan berguru, Sui Cin malah menjadi seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya! Kakek itu perlu dihajar!"   Dan nyonya yang galak itu sudah melompat untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi ia dipeluk dari belakang oleh sua-minya.   "Eh, eh, eh, jangan marah-marah du-lu. Ingat, dua orang kakek itu adalah o-rang-orang sakti yang mencinta Sui Cin dan bermaksud baik. Pula, jangan kira bahwa kita akan mudah saja dapat me-ngalahkan mereka."   "Aku tidak takut!"   "Eit-eitt, nanti dulu. Tentu saja kita tidak mengenal takut, akan tetapi itu kalau berhadapan dengan orang-orang ja-hat dan untuk menentang kejahatan. Se-karang persoalannya lain lagi. Mereka bukan orang jahat, bahkan guru Sui Cin dan mereka berniat baik. Mari kita ke-jar mereka dan kita bicara dengan baik. Ingat, Sui Cin hanya anak tunggal kita, demi kebahagiaannya kita harus dapat merundingkan hal ini dengan perlahan den dengan baik."   Setelah dibujuk suaminya, Toan Kim Hong mulai sabar dan merekapun meninggalkan tempat itu. Kini di situ tinggal Cia Sun dan dua orang kakek, Ciu-sian Lo-kai dan Go-bi San-jin yang sejak tadi hanya menjadi penonton.   Ciu-sian Lo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, betapa lucunya manusia di dunia ini, sungguh dunia ini tiada lain hanya sebuah panggung sandiwara dan manusia-manusianya menjadi badut-badut yang ka-dang-kadang tidak lucu sama sekali. Lihat itu Raja Iblis dan Ratu Iblis. Raja Iblis tadinya seorang pangeran besar, bahkan kemudian dia sudah merobah diri menjadi seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, ternyata dia masih belum puas dengan hidupnya dan menjangkau yang lebih tinggi. Dan apa jadinya sekarang? Dia dan isterinya ha-nya merupakan seonggok daging!" kakek itu menggeleng-geleng kepala.   Go-bi San-jin juga menarik napas panjang. "Manusia berbunuh-bunuhan, mayat berserakan, semua itu hanya untuk me-ngejar cita-cita kosong dan saling mem-pertahankan kebenaran masing-masing, kebenaran kosong! Lihat itu...!" Dia menunjuk ke arah pasukan yang sudah tiba di situ dan kini sedang mengurus mayat-mayat yang berserakan. "Semua kalau su-dah menjadi mayat, ya sama saja, sama-sama membusuk. Ketika masih hidup, ju-ga bergelimang dalam kebusukan walau-pun semua cita-cita untuk kebaikan. Be-tapa lucunya, lucu dan menyedihkan. Be-tapa hidup hampir dipenuhi sengsara be-laka."   Mendengar percakapan kedua orang kakek itu, Cia Sun teringat kepada ayah-nya dan tiba-tiba saja dia melihat betapa ayahnya adalah seorang bijaksana dan berbatin mulia. Ayahnya tidak mendendam, walaupun kehilangan isteri. Ayahnya da-pat menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang, penuh kewaspada-an, tidak dikuasai oleh nafsu-nafsu ama-rah dan kebencian. Dan tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada ayahnya. Juga dia harus menemui ayahnya untuk suatu hal. Dia tahu bahwa Sui Cin tidak dapat di-harapkannya lagi, bahwa Sui Cin mencin-ta Hui Song. Akan tetapi pertemuan dan perkenalannya dengan Tan Siang Wi, mu-rid Cin-ling-pai itu, menghidupkan kembali harapannya untuk dapat berbahagia di samping seorang wanita. Dia amat tertarik kepada Siang Wi, gadis yang manis dan gagah perkasa itu. Diapun tahu bah-wa gadis itu sebetulnya mencinta Hui Song, dan seperti juga dia mencinta tan-pa balasan, hanya bertepuk tangan sebe-lah. Siang Wi mencinta Hui Song dan dia mencinta Sui Cin, akan tetapi dua orang yang mereka cinta itu ternyata saling mencinta. Maka, kalau kini dia tertarik kepada Siang Wi, alangkah baiknya kalau dia berjodoh dengan Siang Wi, dengan demikian, rasa penasaran terobati dan mereka dapat saling menghibur!   "Suhu, teecu ingin menengok ayah," tiba-tiba dia berkata kepada Go-bi San-jin.   Kakek ini maklum akan isi hati muridnya. Dia tahu bahwa muridnya ini agak-nya patah hati karena cintanya terhadap Sui Cin tidak terbalas. Sebagai orang-o-rang yang waspada, baik Ciu-sian Lo-kai maupun Go-bi San-jin sama-sama maklum bahwa murid masing-masing itu telah ja-tuh cinta kepada puteri Pendekar Sadis, dan keduanya telah ditolak karena gadis itu ternyata mencinta putera ketua Cin-ling-pai.   "Engkau mau pulang ke Lembah Naga? Baiklah, karena pekerjaan di sinipun sudah selesai, pulanglah dan laporkan se-gala yang terjadi kepada ayahmu. Kelak, kalau ada jodoh kita pasti akan bertemu lagi," kata Go-bi San-jin.   Cia Sun lalu pergi dan diikuti pandang mata dua orang kakek itu. Mereka berdua itu masih tenggelam ke dalam pi-kiran masing-masing, menyaksikan semua peristiwa di dunia ini, melihat semua ulah manusia yang berlomba mencari ke-bahagiaan namun hanya berakhir dengan kesengsaraan.   Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebabagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini, bahagia itu terbatas sekali dan hanya berumur beberapa lama saja karena kepuasan inipun hanya sementara, dan segera berobah dengan kebosan-an. Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, karena kesenangan hanyalah pemuasan nafsu belaka, rasa nyaman dan enak bagi badan kita dan pikiran, dan kese-nangan inipun hanya sementara saja, a-mat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diseling kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesu-sahan, seperti tawa dan tangis yang da-tang silih berganti seperti datangnya mu-sim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?   Bagaimana kita dapat menggambarkan kebahagiaan kalau kita sendiri selalu berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati, bukan sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai. Kalau kita menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan, mengejar-ngejar kebaha-giaan itu sendiri, kalau kita sudah tidak terseret lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, ka-lau sudah tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dan gambaran yang kita ingin-kan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGE-JAR APA-APA, tidak menginginkan apa-apa yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin sekali kita akan dapat me-rasakan dan mengerti apa artinya baha-gia itu.   Jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapatkan kesenangan itu. De-ngan demikian, kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.   Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan ber-ada di luar diri, kita mengejar keluar, kita merobah-robah yang berada di luar. Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah pe-rang. Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa bahwa sesungguhnya, yang indah itu berada di dalam, yang indah itu timbul dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri. Tinggal di dalam sebuah gedung memang senang a-kan tetapi belum tentu bahagia, sebalik-nya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan ti-dak berada di dalam gedung indah, tidak berada dalam makanan lezat, tidak ber-ada dalam kedudukan tinggi atau di an-tara tumpukan emas.   Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar jangkauan kita, maka batin itu a-kan menjadi tenteram dan kita dapat menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas kare-na kewaspadaan membuat kita mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenya-taan dan kenyataan itu mengandung ke-indahan. Segala sesuatu di dunia ini me-ngandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun pa-nas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.   Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain! Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula. Perasaan enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat. Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, seperti yang terjadi pada Raja dan Ratu Iblis, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pclacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran kesenangan itu.   Akan tetapi, orang yang tidak menge-jar kesenangan, menganggap segala hal yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana ti-dak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan karena memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memper-oleh minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun minuman yang mahal harganya. Kenik-matan terdapat pula di dalam nasi sam-bal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak me-ngejar.   Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang ber-manfaat dan yang sesuai dengan minat-nya sehingga di dalam pekerjaan itu sen-diri dia sudah mengecap kenikmatan! U-ang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam du-nia yang kesemuanya sudah diukur de-ngan uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar me-lalui pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dila-kukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang me-nipu dan memalsu, manipulasi, penyelun-dupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagang-an.   Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman sudah berusaha mati-matian un-tuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah diciptakan ma-nusia dengan berbagai paham (isme), ber-bagai garis hidup telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan! Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!   Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik "monyet putih" yang bercokol di dalam pikiran kita.   ***   Gadis itu menangis sejadi-jadinya sambil duduk di bawah pohon di tempat sunyi itu. Ia tidak perduli pakaiannya kotor terkena tanah yang agak basah. Ia duduk dan menopang kepala yang ditundukkan, muka yang disembunyikan di an-tara kedua lengannya yang bersilang dan melintang di atas kedua lututnya.   Sui Cin adalah seorang gadis yang biasanya keras hati, berandalan, gembira dan tidak pernah menangis. Bahkan tangis di-anggapnya suatu kecengengan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang gagah. Akan tetapi sekali ini, makin diingat ke-adaan dirinya, makin sedih hatinya dan makin keras tangisnya. Apalagi di situ tidak terdapat orang lain sehingga ia bo-leh menangis sepuas hatinya tanpa dili-hat orang lain.   Betapa hatinya tidak akan berduka? Peristiwa yang menimpa diri Ci Kang, yang mengakibatkan buntungnya lengan kiri pemuda itu, membuat hatinya terasa pedih karena ia tahu bahwa Ci Kang mengorbankan lengannya semata-mata untuk dirinya, karena Ci Kang hendak melindungi Hui Song yang diketahuinya men-jadi pilihan hatinya. Juga ia maklum bahwa biarpun tidak menyatakan sesuatu, Cia Sun juga patah hati karena cinta kepadanya dan tidak dibalasnya. Hatinya telah melekat kepada Hui Song dan ha-nya pemuda itulah yang telah menawan hatinya. Ia mencinta Hui Song dan mengharapkan untuk menjadi isteri putera ke-tua Cin-ling-pai itu. Akan tetapi, ayah dan ibunya tidak setuju! Dan mengingat betapa setelah bertahun-tahun berpisah dari ayah bundanya, kini begitu bertemu ia terpaksa berselisih paham dengan me-reka, sungguh merupakan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Kalau menu-rutkan perasaan hatinya, ia boleh tidak ambil perduli terhadap ayah bundanya dan langsung saja menemui Hui Song dan hidup bersama pemuda itu selamanya. A-kan tetapi ia tahu bahwa perbuatannya itu akan menghancurkan perasaan hati o-rang tuanya yang hanya mempunyai anak ia seorang saja.   "Hu-hu-huuuhhh...!" Ia tersedu lagi dan menyembunyikan mukanya di antara lengan, tubuhnya terguncang karena tangisnya.   Sebuah tangan dengan halus menyen-tuh pundaknya dan terdengar suara ketawa terkekeh. "Heh-heh-heh, sungguh lucu melihat engkau menangis! Engkau sama sekali tidak pantas kalau menangis, Sui Cin, seperti masakan kurang garam!"   Sui Cin mengangkat mukanya dan me-mandang kepada kakek katai yang men-jadi gurunya itu dengan mulut cemberut. "Suhu malah mengejek, ya? Tidak tahu orang sedang susah, malah diejek. Apa artinya orang menangis seperti masakan kurang garam?" katanya dengan marah.   "Heh-heh-heh, bagaimana rasanya ma-sakan kurang garam? Tentu saja hambar dan tidak enak. Tangismu juga demikian, tidak enak dipandang, tidak sedap dide-ngar, tidak menyedihkan malah menggeli-kan. Maka, jangan menangis!"   Akan tetapi, Sui Cin teringat kembali akan keadaan dirinya dan tanpa memper-dulikan ejekan gurunya, iapun menangis lagi.   "Ha-ha-ha, muridmu ternyata hanya seorang bocah perempuan yang cengeng dan lemah sekali, Ciu-sian! Ha-ha-ha!"   Sui Cin kembali mengangkat mukanya dan memandang kepada Siang-kiang Lo-jin dengan mata melotot. "Siapa cengeng?" katanya marah. "Kalau kalian berdua yang mengalami hal seperti aku, mungkin su-dah membunuh diri!"   Dua orang kakek itu saling berpan-dangan lalu keduanya tertawa bergelak. "Kami tidak pernah jatuh cinta, apalagi kerepotan dalam memilih jodoh!" kata kakek pendek berjenggot panjang Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak. "Sudahlah, Sui Cin, engkau adalah muridku yang baik, yang gagah perkasa, yang berbatin kuat. Kena-pa kini menangis seperti anak kecil ha-nya karena sikap orang tuamu?"   "Aih, suhu. Bagaimana aku tidak akan menjadi sedih? Ayah dan ibu memperli-hatkan sikap keras dan terang-terangan menolak ikatan jodoh antara aku dan Song-ko. Lalu apa yang harus kulakukan? Me-nurut mereka yang hendak menjodohkan aku dengan putera Gubernur Ce-kiang? Aku tidak sudi!"   "Wah, kenapa harus memikirkan orang tua yang tidak ingin membahagiakan anak?" Kakek pendek itu berseru.   "Tapi, suhu. Ayah Song-ko juga mengambil sikap tidak perduli, bahkan tidak mau mengambil keputusan ketika suhu berdua mengajukan pertanyaan. Lalu apa yang dapat kulakukan?"   "Ha-ha-ha, kenapa gelisah? Kalau ayah Hui Song tidak mau mengurusi lagi puteranya, masih ada aku gurunya yang dapat mewakili dan akulah yang akan mengajukan pinangan untuk muridku Hui Song. Beres, kan?"   "Tapi, kalau locianpwe meminangku kepada ayah dan ditolak?"   "Heh-heh-heh, masih ada aku di sini! Jangan perdulikan orang tuamu yang mau senang sendiri itu. Aku adalah gurumu dan aku berhak mewakili mereka dan menerima pinangan si gendut ini!" kata Wu-yi Lo-jin.   Siang-kiang Lo-jin tertawa bergelak. "Benar! Benar! Orang-orang tua yang ti-dak becus seperti ayah bundamu dan ayah Hui Song itu biar kita tinggalkan saja!"   "Itu benar, Sui Cin. Kalau ayah bundamu hendak memaksamu menikah dengan orang yang tidak kausukai, biarkan mereka berdua saja yang menikah dengan pilihan mereka!" kata Wu-yi Lo-jin penuh semangat.   "Tepat! Orang tua yang tidak dapat membahagiakan anaknya, berarti orang tua itu tidak mencinta anaknya, melain-kan mencinta dirinya sendiri saja dan patut kita tentang!" sambung Siang-kiang Lo-jin.   "Jangan takut, Sui Cin. Kalau ayah ibumu marah dan hendak memaksamu, kami berdua yang akan menentang mere-ka dan melindungimu!" gurunya berkata dengan penuh semangat.   Tiba-tiba saja kedua orang kakek itu berhenti bicara dan memandang ke kiri. Sui Cin juga mendengar suara mencurigakan dari sebelah kiri dan terkejutlah gadis ini ketika melihat berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu di situ te-lah muncul Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, ayahnya! Pendekar ini nampak gagah perkasa, dengan pakaiannya yang indah dan baru, dengan topinya yang dihias bu-lu. Seorang pendekar yang tampan gagah walaupun usianya sudah hampir lima pu-luh tahun dan sikapnya penuh wibawa ke-tika dia berdiri memandang kepada Sui Cin dengan sinar mata mencorong ma-rah.   "Sui Cin!" bentak pendekar ini. "Engkau hendak menentang orang tuamu?"   Suara pendekar ini penuh kemarahan dan Sui Cin menjadi gentar sekali. Belum pernah ayahnya marah seperti itu terha-dap dirinya. Belum pernah ia melihat si-nar mata ayahnya mencorong seperti itu, seolah-olah mengeluarkan api yang hen-dak membakar dirinya. Gadis ini dengan sikap gentar lalu menyembunyikan diri atau beraling di belakang tubuh Wu-yi Lo-jin yang pendek kecil. Sejenak, Dewa Arak dan Dewa Kipas terbelalak memandang kepada Pendekar Sadis yang sudah berdiri di depan mereka dengan gagahnya. Kalau tadi mereka mengeluarkan ucapan-ucapan keras terhadap Pendekar Sadis don isterinya, hal itu hanya mereka lakukan untuk menghibur hati Sui Cin. Kini, setelah orang yang tadi dicela dan ditantangnya berdiri di depan mereka, keduanya menjadi bingung dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa. "Suhu... locianpwe... lekas kalian bertindak...!" Sui Cin berbisik dari belakang tubuh Dewa Arak, karena ia sendiri merasa takut untuk menghadapi ayahnya yang sedang marah itu. Akan tetapi dua orang itu hanya saling pandang, lalu memandang kepada Ceng Thian Sin, saling pandang lagi dan keduanya seperti sudah kehilangan suara. "Suhu... locianpwe... ingat janji kalian tadi..." kembali Sui Cin berbisik. "Heh, kerdil tua bangka, muridmu benar, engkau harus ingat janjimu tadi!" Tiba-tiba Dewa Kipas berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah dahi Dewa Arak. "Apa? Gendut brengsek! Engkau yang berjanji akan melindunginya!" Si kakek kerdil membalas, tangan kanannya mendorong perut gendut dan telunjuk kirinya membalas menuding ke arah dahi si gendut dan untuk ini, terpaksa dia harus berjingkat karena terlalu pendek.   "Kau yang berjanji!"   "Kau juga berjanji!"   Keduanya tidak mau mengalah dan agaknya siap untuk saling hantam sendiri. Sebetulnya, tentu saja dua orang sakti seperti Dewa Arak dan Dewa Gendut bukan orang-orang pengecut yang tidak berani bertanggung jawab. Akan tetapi karena mereka tidak setulus hati menentang Pendekar Sadis dan kini mereka saling dorong dan saling tuduh, maka terjadilah keributan di antara mereka sendiri yang memang suka bersaing.   Ceng Thian Sin tadinya berdiri dengan sikap marah dan kedua tangan terkepal, akan tetapi melihat tingkah dua orang kakek itu, sinar matanya yang tadi mencorong marah kini berobah. Mulut yang tadi cemberut kini mengarah senyum. Memang sebenarnya Ceng Thian Sin tidak benar-benar marah. Tadi, dengan ilmu kepandaiannya, dia dan isterinya sebentar saja dapat menyusul Sui Cin dan ketika mereka tiba di tempat itu, mereka berdua sempat mendengar bualan atau tantangan-tantangan yang diucapkan oleh dua orang kakek sakti. Biarpun mereka berdua tadi mengeluarken kata-kata yang kasar dan keras seolah-olah menantang, akan tetapi Pendekar Sadis dan isterinya adalah dua orang pendekar yang berpengalaman dan mereka berduapun maklum bahwa dua orang kakek sakti itu sudah tahu akan kedatangan mereka dan bahwa kedua orang kakek itu sengaja menantang-nantang sambil mengerahkan khi-kang agar suara mereka terdengar oleh suami isteri yang sudah datang dan bersembunyi di balik batu karang itu. Dua orang suami isteri itu mendengar semua percakapan dan semua tantangan, dan mereka berdua kinipun yakin bahwa puteri mereka mencinta Hui Song dan betapa dua orang kakek yang menjadi guru Hui Song dan Sui Cin itu telah menyetujui perjodohan mereka. Hal ini saja sudah meyakinkan hati keduanya bahwa pilihan hati puteri mereka tidaklah keliru, karena kalau demikian halnya, tentu dua orang kakek sakti itu tidak akan mati-matian membelanya.   Pendekar Sadis yang berpura-pura marah itu, ketika melihat betapa dua orang kakek saling tuding, tidak dapat menahan kegelian hatinya dan pada saat itu, bayangan lain lalu berkelebat dan isterinya sudah berdiri di sisinya. Melihat ini, dua orang kakek itu agaknya menjadi semakin ketakutan.   "Nah, hayo keluarkan kegarangarmu tadi, tua bangka kerdil!" bentak Dewa Kipas.   "Dan, di mana kegagahanmu? Engkau memikirkan enaknya perutmu sendiri saja, tidak memikirkan kepentingan muridmu!" balas Dewa Arak.   Tiba-tiba terdengar Pendekar Sadis tertawa bergelak, diikuti oleh isterinya. Melihat kedua suami isteri ini tertawa-ta-wa, Sui Cin terbelalak heran dan dua o-rang kakek yang tadinya ribut-ribut itu-pun berdiri bengong memandang.   "Sudahlah, ji-wi locianpwe tidak perlu bersandiwara lagi. Kami berdua bukanlah orang tua yang tidak ingin melihat keba-hagiaan anak tunggal kami," kata Toan Kim Hong dengan suara lantang kepada dua orang kakek itu.   "Ayah...! Ibu...! Benarkah... benarkah ayah ibu menyetujui...?" Sui Cin berteriak dan lari menghampiri ayah bundanya. Dua orang tua itu hanya membuka lengan mereka menyambut dan di lain saat Sui Cin sudah berada dalam rangkulan ayah bundanya, menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi, sekali ini menangis saking bahagia dan terharu.   Toan Kim Hong menciumi muka anaknya dan Ceng Thian Sin menepuk-nepuk pundak Sui Cin sambil berkata, "Kami hanya ingin menguji dan melihat sampai di mana cintamu terhadap Hui Song, ma-ka kami berpura-pura tidak setuju."   "Ayah dan ibu... ah, betapa bahagianya hatiku. Suhu dan Siang-kiang Locianpwe, lihat betapa ayah ibuku sudah setuju. Tinggal kalian yang harus memenuhi janji!" kini Sui Cin dengan muka masih basah air mata, dengan sepasang mata masih basah kemerahan, menghadapi dua orang kakek itu sambil tersenyum.   "Wah, cebol, kita ditagih!" Siang-kiang Lo-jin berseru tertawa dan tiba-tiba dia menjura kepada Wu-yi Lo-jin sambil ber-kata dengan sikap sungguh-sungguh dan serius sekali, "Wu-yi Lo-jin, aku sebagai guru dari Cia Hui Song, dengan ini me-nyatakan meminang muridmu yang berna-ma Ceng Sui Cin!"   Wu-yi Lo-jin juga menanggalkan sikap pura-pura dan gurauannya, kini diapun menjura dengan hormat kepada Siang-kiang Lo-jin dan berkata, "Aku sebagai guru Ceng Sui Cin, menerima dengan baik pinangan itu dan merasa setuju sekali kalau muridku menjadi calon jodoh muridmu."   Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu menghadapi Ceng Thian Sin dan isterinya, memandang tajam dan seolah-olah menanti keputusan mereka. Ceng Thian Sin menarik napas panjang. "Perjodohan adalah urusan yang ditentukan oleh Thian, dan syarat utamanya adalah cinta kasih antara pria dan wanita yang hendak mengikatkan diri satu sama lain melalui pernikahan. Kami sebagai orang tua pihak wanita, hanya dapat menanti datangnya pinangan dari orang tua pihak pria. Hal ini tentu saja ji-wi locianpwe cukup maklum dan kami menanti di Pulau Teratai Merah! Sui Cin, mari kita pulang." Sui Cin yang sudah merasa berbahagia sekali melihat orang tuanya menyetujui perjodohannya dengan Hui Song, mengerti akan maksud ayahnya. Tentu saja, seba-gai seorang gadis, ia hanya dapat me-nanti datangnya pinangan dari orang tua atau wakil Hui Song. Maka iapun meng-hadapi dua orang kakek itu, "Sampai sekarang, janji-janji kalian dua orang kakek yang kucinta dan kuhormati belum dipenuhi. Aku hanya dapat menanti kalian di Pulau Teratai Merah dan di sana aku akan membuatkan masakan-masakan istimewa untuk kalian." Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Sui Cin memberi hormat kepada dua orang kakek itu lalu berkelebat pergi. Tinggal dua orang kakek itu yang bengong lalu saling pandang dan menarik napas panjang. "Waaah, ini akibat kelancanganmu main-main, gendut!" kata Wu-yi Lo-jin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak berambut. "Kini kita harus mendatangi ketua Cin-ling-pai dan harus dapat membujuknya untuk pergi ke Pulau Teratai Merah untuk melakukan pinangan itu." "Jangan khawatir!" Dewa Kipas menepuk-nepuk perutnya yang gendut. "Aku yakin ketua Cin-ling-pai akan cukup bijaksana untuk mau mengunjungi Pulau Teratai Merah. Pengalaman pahitnya dalam urusan pemberontakan itu tentu merupakan obat yang membuatnya sadar bahwa hidup ini tidak berguna kalau ti-dak dapat membahagiakan orang lain, terutama orang-orang yang terdekat dengannya. Demi kebabagiaan puteranya, tentu dia mau merendahkan diri sedikit untuk berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Ma-ri kita berdua pergi mengunjunginya dan membujuknya." Dua orang kakek itupun lalu pergi dengan langkah santai. ***   Pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di ru-mah perkumpulan Cin-ling-pai itu meriah sekali. Lebih dari seribu orang tamu me-merlukan datang menghadiri perayaan itu dari berbagai penjuru. Sebagian besar dari para tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan. Hal i-ni tidaklah mengherankan karena nama besar Cin-ling-pai sudah dikenal di dunia persilatan. Apalagi mengingat siapa ada-nya keluarga besan-besan dari ketua Cin-ling-pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid perem-puannya itu. Putera ketua Cin-ling-pai, Cia Hui Song, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri tunggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terke-nal. Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal dari ketua Pek-liong-pang, pendekar dari Lembah Naga yang juga terkenal. Tiga besar itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, bersepa-kat untuk merayakan dua pernikahan itu di Cin-ling-pai, karena bagaimanapun ju-ga, mereka semua adalah pendekar-pen-dekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Nama besar tiga keluarga ini menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu dengan aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira. Pesta dilakukan sejak pagi sampai jauh malam dan semua tamu meninggalkan Cin-ling-pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan perut kenyang. Setelah semua tamu pulang, keadaan di Cin-ling-pai sunyi kembali. Dua pasang pengantin sudah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka. Akan tetapi, di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar di mana dua pasang pengantin itu berasyik-mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam ia berada di dalam kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya terguncang-guncang. Bayangan itu menangis. Lirih hampir tanpa suara, akan tetapi air matanya bercucuran yang dicobanya untuk diusap dengan kedua tangannya yang gemetar. Bayangan itu adalah Toan Hui Cu! Gadis ini merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya. Semenjak kecil ia hidup terasing, kemudian ia terancam oleh ayah kandungnya sendiri yang jahat seperti iblis. Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini mereka telah tewas. Ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini, sebatangkara, tidak memiliki apa-apa dan terpaksa harus menghadapi kehidupan yang dianggapnya amat mengerikan dan kejam. Ia tidak berpengalaman hidup di dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya digantungkan kepada Cia Sun. Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik wanita lain dan ia tahu bahwa bagaimanapun juga, ia tidak berhak mendekati Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya. Melihat Cia Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Maka, dapat dibayangkan betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tidak berani melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu. "Ibu... oh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..." Ia merintih dan tangisnya makin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah ibunya, satu-satunya orang yang pernah mencintanya dan kini ibunyapun sudah meninggalkannya. "Ibu...!" Kedua pundaknya terguncang-guncang. "Hui Cu..." Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus.   Hui Cu tertegun. Suara Cia Sun-kah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti ia sendiri, sudah lama berada di situ, menangis seperti ia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin! "Hui Cu, engkau menangis?" "Engkau juga menangis..." Engkau... kehilangan Cia Sun...?" "Dan engkau kehilangan Sui Cin..." Hui Cu berhenti sebentar dan memandang ke arah lengan kiri yang buntung itu, "... dan kehilangan lengan kirimu karena Sui Cin pula..." Mengertilah Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan mengintai sehingga tahu akan apa yang terjadi selanjutnya, tentang buntungnya lengannya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing. Setelah keduanya diam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci Kang menarik napas panjang dan mengangguk. "Ya, aku kehilangan lengan kiri, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat kawakan yang rendah dan hina." "Akupun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang paling besar. Kita sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..." Tangan kanan yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu. "Engkau benar, Hui Cu. Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung gagak berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita, yang senasib sependeritaan ini, mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup yang kejam ini di sampingku, untuk selamanya, suka sama dinikmati, duka sama diderita? Maukah engkau?" Mereka saling berpandangan. Dua pasang mata itu sampai lama tidak berkedip, saling pandang dengan tajam, seolah-olah ingin menyelami isi hati masing-masing. "Tapi... tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?" Senyum pahit menghias bibir pemuda itu. "Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka dan kagum padamu." Hui Cu menarik napas panjang dan Ci Kang merasa betapa pundak yang tadinya meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat "Akupun kagum padamu, suka dan akupun kasihan padamu. Aku tidak tahu apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk cinta. Akan tetapi, aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku... aku... ahhh..." Gadis itu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis, menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu. Dengan hati merasa seperti tanah kering merekah menerima si-raman air segar, Ci Kang merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Se-jenak mereka berdiri seperti itu, tak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang ber-goyang-goyang oleh tangisnya yang tidak berbunyi. Setelah tangis itu mereda, Ci Kang berbisik, "Hui Cu, sudah bulatkah hatimu menerimaku? Ingat, aku seorang yang cacat, lengan kiriku buntung..." "Tapi hatimu tidak cacat, Ci Kang." Dan gadis itupun membiarkan dirinya di-tarik dan diajak pergi dari situ. Mereka berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan perlahan-lahan hati mereka menjadi semakin cerah dan tabah karena kini mereka me-rasa yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, dan mereka akan hadapi dengan tabah apapun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya. Kebahagiaan adalah urusan hati, seba-liknya kesenangan adalah urusan badan. Selama batin dikeruhkan oleh segala urusan badan yang selalu mengejar kesenangan, maka kebahagiaanpun akan tiada, ba-gaikan cahaya yang tidak dapat bersinar menembus kaca yang kotor penuh debu. Kebahagiaan, hanya terdapat dalam batin yang jernih, yang bebas daripada segala ikatan, yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, di mana tidak ada lagi konflik-kon-flik atau pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara ke-nyataan dan apa yang diharap-harapkan. Kebahagiaan tidak akan lenyap walaupun badan boleh jadi tersiksa oleh sakit, oleh kemiskinan, oleh penghinaan dan sebagainya selama batin dapat menerima dan menghadapi semua itu sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menimbulkan gun-cangan. Kebahagiaan adalah TIDAK ADA-NYA penentangan batin terhadap sesuatu yang menimpa diri, dan kebahagiaan ada-lah cinta kasih. Sampai di sini, ijinkan pengarang menyudahi kisah Asmara Berdarah ini de-ngan harapan mudah-mudahan di samping merupakan sebuah bacaan penghibur hati di kala senggang, cerita inipun mampu menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kesempatan. T A M A T Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt