Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua o-rang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, namun terlam-bat karena tahu-tahu kakek buta itu te-lah mencelat ke depan, tongkatnya me-nyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit la-lu roboh terlentang, ujung tongkat me-nempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru meroboh-kan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu! "Mulut lancang! Kausa-makan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"   Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berobah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku..." ia meratap.   "Lojin, harap maafkan ia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tan-pa dia dapat menolongnya itu.   Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau aku tidak mengampuni-nya, apakah sekarang ia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau me-nyesal telah bersalah kepadaku?"   "Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.   "Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Bu-ta. Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itu-lah penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasa-nya amat galak dan kejam itu kini berlu-tut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!   "Sekali lagi!" bentak iblis itu dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.   "Sudah, mundurlah dan mari kita lan-jutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Kita ber-kumpul di sini untuk mengadakan perte-muan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita se-mua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar mengadakan pertemuan di Pun-cak Bukit Perahu dengan acara pokok menentang dan beruseha menumpas kita semua."   Hening sejenak setelah Iblis Buta ber-henti bicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-ma-nusia sombong itu!"   "Bunuh semua pendekar!"   "Serang mereka pada pertemuan itu!"   Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas dan suara gaduh itu berhenti.   "Mengadakan perlawanan memang harus, akan tetapi menghadapi para pendekar kita harus berhati-hati karena di an-tara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin menggunakan keke-rasan dan harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan pe-laporan kalian masing-masing tentang ke-adaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."   Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perha-tian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, anak buah kami membayangi kai-sar yang sedang lolos dari istana mela-kukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia diba-yangi dan dilindungi oleh dua orang per-wira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."   "Jangan ganggu kaisar! Jangan meng-ganggu seujung rambutnya. Aku sendiri akan membunuh siapa yang berani meng-ganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru. Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti, tidak merasa heran, akan te-tapi tidak demikian dengan para tokoh lain. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.   "Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah kita semua sekarang harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengap pemerintah?"   "Remnwn, bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama de-ngan para pejabat di manapun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan me-reka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam, dan kalau sampai Liu-thaikam ke-hilangan kekuasaannya, kita tidak mem-punyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kitapun tidak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"   Semua orang mengangguk. "Aihh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang mempunyai niatan buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."   Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kaukatakan bahwa ada dua pang-awal rahasia yang melindungi kaisar?"   "Akan tetapi, lojin. Sekali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah o-rang-orang Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berke-pala botak.   Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tidak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian mengerahkan teman-teman di muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"   Koai-pian Hek-mo den Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, make mereka berdua serentak menyatakan sanggup.   "Bagus, setelah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi me-lakukan tugas den keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula ka-kek buta. Memang bagi kakek ini, kesela-matan Kaisar Ceng Tek amatlah penting. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama antara mereka. Beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan musuh-musuh rahasianya, yaitu para pembesar yang menentangnya dan yang menghendaki kaisar terbebas dari kekuasaannya. Tugas itu di-laksanakan oleh Siangkoan-lojin, yang me-nyuruh anak buahnya, dengan mudah dan baik. Beberapa orang musuh itu lenyap secara aneh dan tak ditemukan mayat-mayat mereka. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.   "Ada dua tugas yang agak berat na-mun penting sekali," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua o-rang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yai-tu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Kuserahkan tugas ini kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja ka-lau nenek itu berani!"     Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..! Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"   "Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Ka-lau engkau gagal, aku akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping men-teri yang lemah itu terdapat seorang selirnya dan seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."   "Heh-heh-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga sendiri hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.   "Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Sekarang pembe-sar kedua yang harus dienyahkan, dia a-dalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"   Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin lak-saan orang pasukan! "Akan tetapi... ma-na mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu orang pasu-kan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa ban-tuan pasukan besar pula, lojin? Dan me-ngerahkan pasukan besar berarti pemberontakan dan perang..."   Pertanyaan ini keluar dari mulut se-orang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang nampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya be-sar dan gerek-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya terbayang sifat yang ke-jam dan suka mempergunakan kekerasan. Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.   "Kalian semua bodoh kalau berpendirian demikian. Memang, Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi, diapun seorang manusia biasa dan tidaklah mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali- waktu tentu dia akan menyendiri, dengan kcluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tidak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"   Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.   "Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Setelah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu dan kemudian hasilnya laporkan kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang ada laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan dan menyambung, "Bukankah kalian sebelum berkumpul di sini sudah menyelidiki ten-tang pertemuan para pendekar? Siapa sa-ja yang akan hadir dan apakah kalian su-dah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"   Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri. "Blarrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka. Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang yang terkena kayu terba-kar dan pecahan batu karang. Akan te-tapi karena mereka semua adalah golong-an orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang ter-kejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat luar biasa, dapat me-ngetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.   "Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia kalau kau menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nam-pak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.   "Ampun, lojin, maksudkan hanya untuk mengusir nyamuk..."   "Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa membuat lapor-an?"   "Aku bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku banyak kehilangan ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu namun selihai itu. Masing-masing da-ri mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pende-kar."   Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Kalau dua orang muda dapat menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa di pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, pada-hal mereka masih begitu muda!   "Aku sempat bertemu dengan suami -isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, dan aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seo-rang tokoh lain yang suaranya mirip bu-nyi tikus, mencicit. Ada pula yang mela-por telah berhasil melukai seorang peser-ta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan telah membunuh bebe-rapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu amat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.   "Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan lemah!"   Tiba-tiba si cebol botak yang tadi pernah bicara, maju ke depan sambil me-nyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan kawan-kawan itu masih tidak ada artinya kalau dibandingkan de-ngan yang kuhasilkan!" katanya menyom-bong dan dengan sikap menjilat.   Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar daripada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Kalau orang mau memperhatikan daun telinganya, di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.   "Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.   "Lojin, dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."   "Kenapa ditawan?"   "Ha-ha, ia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."   "Mana tawanan itu?"   Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Gadis itu berpakaian pendekar dan ia segera menggulingkan tubuhnya dan biarpun kaki tangannya terbelenggu, ia berusaha untuk memberontak. "Hemm, kiranya para iblis kaum sesat berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya. Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halusa sekali yang menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak. Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap. "Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kaubiarkan lolos?" "Tapi dia terluka..." "Apa kaukira tidak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi. Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang telah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka cepat meloncat ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.   Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.   "Brukkkk!" Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara "tuk!" perlahan ketika ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali. Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!   Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi kalau kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kitapun bisa terdapat kekejaman seperti itu.   Betapa mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, bahkan sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tiada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu! Dan, tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merobahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas daripada kekotor-an itu.   Bahkan ketika si cebol botak masih berkelojotan dalam sekarat, percakapan mereka lanjutkan, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.   "Sekarang kita harus melakukan persi-apan. Kita mendekati Puncak Bukit Pe-rahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak berapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan biar me-reka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang sudah siap untuk dapat diperguna-kan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.   Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang sudah siap dan ternyata jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, dan kita yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap bersembunyi di dalam hutan selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua se-perti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"   Tiba-tiba Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar se-mua orang diam. Dia sendiri lalu melang-kah ke kanan, mendekati tebing dari ma-na dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu. Semua orang ikut memandang dan tidak melihat sesua-tu, juga yang mereka dengar hanya ge-merciknya air sungai. Akan tetapi agak-nya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Dan se-mua orang saling pandang dengan gelisah dan jantung berdebar karena memang be-nar, lapat-lapat kini merekapun mulai dapat mendengar suara yang-kim. Yang-kim adalah semacam siter yang memakai senar-senar kawat berbunyi nyaring me-lengking dan kini di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim di-mainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu! Di bawah sinar bulan purnama yang seperti perak, nampak sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yong liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang dapat naik perahu enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liar dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.   Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Tidak nampak jelas bentuk mukanya, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasa sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.   Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu memasuki telinga demikian nyaringnya sehinga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk. Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sin-kangnya sudah menjadi lemas dan mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seolah-olah dapat menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila melakukan siulian (samadhi) untuk memperkuat sin-kangnya menahan daya serangan suara yang-kim itu.   Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksa-sa baju hijau yang sudah memiliki ting-kat kepandaian dan tenaga sin-kang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apalagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, diapun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing se-hingga diapun tidak dapat mendekatinya. Akan tetapi, kakek buta ini memang he-bat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak pe-rahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.   "Krakkk...!" Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, den tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih bermain yang-kim! Memang hebat sekali Siangkoan-lojin ini. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tidak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah "awas" dibandingkan orang yang tidak buta. Para tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak den wajah berseri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menduga bahwa tentu perahu itu bersama penghuninya akan hancur lebur tertimpa batu yang demikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.   Akan tetapi, kakek berjenggot itu agaknya sama sekali tidak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!   "Blarrrr...!" Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus den suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.   Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, menarik napas panjang. "Hemm, gara-gara si tolol ini!" ketanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tak bergerak lagi itupun kena ditendangnya dan melayang menuruni tebing yang curam! "Dia yang memancing datangnya orang pandai memata-matai tempat ini. Kita harus cepat bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan sembarangan bergerak. Kalau aku sudah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang men-dahuluiku. Mengerti?"   Bagaimanapun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu be-nar-benar lihai. Kalau banyak yang se-perti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh. Bagaimanapun juga, mere-ka adalah orang-orang lihai yang biasa-nya mengandalkan kekuatan sendiri. Apalagi mereka mempunyai anak buah yang banyak dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka, biarpun peristiwa tadi mengecut-kan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.   Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu telah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang semalam telah mengadakan perte-muan rahasia itu. Mereka semua telah mengurung dan bersembunyi, siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.   Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai mntahari naik tinggi dan keadaan puncak itupun sunyi-sunyi saja. Akhirnya, mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah! Karena melihat ka-kek itu sudah tiba, para gerombolan se-gera menyerbu ke atas dipimpin oleh ke-pala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi, setelah mereka tiba di atas puncak, mereka termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-ma-rah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pohon-pohon dan mere-mukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorangpun pendekar di situ! Tahulah Iblis Buta Siang-koan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka itu menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Dan teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang pemain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.   Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, setelah kita gagal di sini karena rahasia telah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal dalam tugas lain yang semalam telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini dan berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan kalau ada gangguan dari para pendekar, agar dapat bersatu-padu menghadapi mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Kalau terjadi peristiwa penting, laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan kalau bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"   Setelah menerima perintah ini, merekapun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri. Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Kemudian sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-sen-kok itupun pergi berdua untuk pergi membunuh Jenderal Ciang yang merupakan tugas paling berat.   Tokoh-tokoh yang lain juga bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali. Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Mereka sudah mendapatkan keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggauta gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.   Memang dugaan Iblis Buta itu tepat sekali. Para pendekar yang tadinya hen-dak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi telah mende-ngar bahwa pertemuan itu dibatalkan dan semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama munculnya Iblis Buta, nama yang amat menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.   "Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberitahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggautanya terdiri dari murid-mu-rid Siauw-lim-pai. "Apalagi jumlah mere-ka amat banyak dan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Maka terpaksa per-temuan dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing mengadakan usaha perorangan untuk me-nentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."   Pek-ho-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan. Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai dan karena dia se-orang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Si-lat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), ma-ka diapun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para mu-rid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendali-kan. Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting dan karena Hwa Siong Hwesio sen-diri sudah terlalu tua, sudah mendekati sembilan puluh tahun usianya, maka per-kumpulan itu diserahkan kepengurusannya kepada murid-murid kepala. Akan tetapi ketika Hwa Siong Hwesio mendengar akan kekacauan yang terjadi di mana-mana, apalagi mendengar bahwa Cap-sha-kui gentayangan seperti iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.   Akan tetapi, pada malam hari itu, perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim di punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini yang memberitahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu. Mendengar berita mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai lalu menyebar murid-murid mereka untuk menghadang dan memberi tahu para pendekar yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha ini, maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka mendapatkan tempat kosong!   Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari atas tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, di antara para pendekar dia disebut Shantung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shantung). Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung), dua orang suhengnya telah meninggal dunia dan dia sendiri sudah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri, dia suka berkelana dan sudah bertahun-tahun tidak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan menanggalkan pedangnya dan menggantikannya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.   Akan tetapi, ketika melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shantung Lo-kiam terpaksa keluar juga, dan biarpun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia dapat mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Diapun mendengar akan undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.   Demikianlah, pertemuan para pendekar dibatalkan demi keamanan, akan tetapi, para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui sudah ber-gerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, kini kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!   Seperti juga para pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika berada di lereng bawah puncak, bertemu pula malam itu dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.   Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan pendekar wanita ini tetap tenang saja. Ia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa orang itu dan entah kawan atau lawan, maka ia bersikap tenang saja dan diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.   "Nona, apakah nona seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki sete-ngah tua, berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba pu-tih. Pertanyaannya diajukan dengan suara sopan akan tetapi sikapnya ragu-ragu ka-rena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar.   Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum di-kenalnya. Ia harus berlaku hati-hati, ka-rena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.   "Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" ia balas bertanya, pan-dang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.   Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya a-dalah anggauta Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."   "Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.   "Maaf, harap nona sudi memperkenal-kan diri lebih dulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."   Sui Cin tersenyum. Dia dapat memak-lumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Ia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai merupakan perkumpulan yang mem-pelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai. "Akupun boleh meragukan dirimu!" katanya dan tiba-tiba saja gadis ini sudah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!   Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka diapun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu si-latnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini. Akan tetapi, tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, hanya me-mancing saja. Kalau ia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan lawannya. Setelah ia melihat gerakan laki-laki itu yang mem-bentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan kelima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru ia percaya dan iapun me-lompat ke belakang.   "Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebe-tulan lewat dan mendengar tentang per-temuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."   Tentu saja omongan ini tidak diperdu-likan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki il-mu silat yang hebat dan memiliki keee-patan gerak yang luar biasa. Diapun ti-dak mengenal nama itu, akan tetapi se-bagai peninjau, gadis inipun perlu diberi tahu.   "Maaf, nona. Saya diberi tugas mem-beritahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para Pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka me-ninggalkan tempat ini sekarang juga ka-rena Cap-sha-kui dan gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan me-ngurung dan menyerbu tempat ini."   Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apaiagi mendengar se-butnya nama Si Iblis Buta. "Ah, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?   "Saya tidak dapat menerangkan ba-nyak, nona. Akan tetapi demikianlah pe-rintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan meng hilang dalam gelap.   Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali dan termenung. Ia tidak tahu persoalannya dan ia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan. Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja iapun tidak boleh mencampuri. Apa- lagi ia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa ia telah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.   Selagi ia termenung, tiba-tiba berke-lebat bayangan orang lagi. Karena tadi-nya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu musuh, maka sekali ini ber-kelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan iapun otomatis melon-cat berdiri dan siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.   Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."   Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Iapun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.   "Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu ia teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"   Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."   "Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."   "Dibatalkan?" Sim Thian Bu nampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan dan belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, kenapa dibatalkan?"   "Karena besok tempat ini akan diku-rung dan diserbu oleh para penjahat..."   "Hemmm..."   "Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."   "Benarkah...?"   "Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."   "Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"   "Tidak, hanya namanya saja yang ku-kenal."   "Kalau begitu, nona juga akan pergi dari sini, tidak jadi menghadiri pertemu-an para pendekar?"   "Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"   "Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."   "Kita...?"   "Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"   Sui Cin tersenyum. "Hemm, tidak selalu kenalan berarti sahabat."   Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."   "Kenapa?"   "Karena engkau lihai..."   "Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"   "Mana mungkin engkau tidak li-hai kalau engkau puteri Pendekar Sadis?"   Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, seperti pakaian seorang sasterawan muda yang kaya. Un-tuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih me-narik daripada Cia Sun walaupun tentu saja terhadap Cia Sun ia sudah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpe-ngaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun a-dalah putera tunggal Cia Han Tiong, ka-kak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya walaupun kelihatannya pantas menjadi se-orang pendekar pula.   "Hati-hati berhadapan dengan manu-sia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasihat. "Di dunia ini penuh dengan manusia yang palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesung-guhnya adalah manusia jahat yang berba-haya, seperti harimau bertopeng domba." Ia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan biarpun ia merasa suka ber-gaul dengan pemuda tampan yang berwa-jah gembira dan pandai bicara ini, namun ia belum menyerahkan seluruh keperca-yaannya dan diam-diam bersikap waspa-da.   "Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Ia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk mele-watkan malam di tempat itu dan mem-buntal semua pakaiannya.   "Ke Mana? Ha-ha, nona, sudah kube-ritahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal dapat meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang amat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka." Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga menyenangkan ha-ti Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan pera-saan gadis itu.   "Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin. Ia mengambil keputusan untuk bar-senang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.   ***   Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat re-kreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur. Di luar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Di sini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang da-pat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya. Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pe-lesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.   Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pu-la yang sedang duduk di perahunya me-mancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak. Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya. Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.   "... gerakan air dan awan berobah setiap saat tanpa bekas, tanpa tujuan..."   Penyair itu bertepuk tangan dengan girang. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair ter-kandung lukisan, keduanya tak dapat di-pisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah me-reka."   Si pelukis memandang ke arah pemu-kaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyi-kan muka mereka, dan dari bawah ca-ping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang se-dang mendayung perahu seorang diri sam-bil minum arak! Dua orang bercaping le-bar itu memiliki bentuk tubuh yang te-gap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat seba-tang pedang.   Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan ber-sama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mung-kin karena keduanya seniman. Usia mere-ka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sastera-wan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek seder-hana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka. Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!   Memang demikianlah. Dua orang ka-kek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Ba-ja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan per-kumpulan itu berpusat di Cin-an. Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menen-tang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia ti-dak mendendam karena dikeluarkan, me-lainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan o-leh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun sela-lu bersikap menentang. Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia me-miliki banyak murid yang menjadi ang-gauta Kang-jiu-pang. Ketika dia mende-ngar bahwa kaisar dalam penyamaran se-dang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertin-dak. Kaisar harus ditawan, diculik, demi-klan keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hen-dak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancam-an nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik ba-ginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!   Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pri-badi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pe-ngawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat se-tia kepida kaisar!   Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut ke-setiaan sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri! Siapakah yang setia dan ke-pada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang menerima ke-untungan atau kebaikan, pendeknya menerima sesuatu yang menyenangkan dan ke-setiaan itu ditujukan kepada orang atau golongan yang mendatangkan kesenangan itu! Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini seringkali terjadi ke-setiaan yang kemudian berobah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu ti-dak diterimanya lagi, maka kesetiaanpun akan mengalami perobahan.   Liu-thaikam setia kepada kaisar, se-betulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri-pun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan ba-tiniah berupa nama terhormat dan seba-gainya.   Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk ber-sih menyegarkan di pagi hari itu. Pemu-da itu berpakaian seperti seorang sastra-wan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!   Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita. Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pan-dai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa mem-perdulikan urusan pemerintah. Dan satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggal-kan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, mening-galkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!   Keadaan kaisar muda ini dapat terja-di demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya. Dan betapa ba-nyaknya manusia di dunia ini yang beker-ja atau mengerjakan sesuatu bukan kare-na mencintai pekerjaannya, melainkan karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh do-rongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Banyak orang tua me-ngirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong cita-cita muluk dan setelah kelak si anak berhasil lulus, dia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga dia mera-sa tersiksa batinnya selama hidup! Ba-nyak pula yang melakukan suatu peker-jaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat di waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disukai mendatangkan rasa jemu dan ka-lau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa. Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat meli-hat kenyataan ini, betapa manusia be-kerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiman karena memang pada hake-katnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki ta-ngannya selama hidup itu! Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat mele-paskan diri atau mencoba untuk melepas-kan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bu-kanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia ma-sih mempergunakan haknya sebagai kai-sar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pela-rian ini adalah kekacauan! Roda peme-rintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda. Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil terse-nyum-senyum gembira, mengira bahwa ti-dak ada seorangpun yang mengetahui ke-adaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa ti-dak jauh dari perahunya, dua orang tu-kang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.   Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang dan yang bertugas memim-pin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan ti-ba-tiba perahu mereka itu menabrak pe-rahu dua orang tukang pancing yang ber-caping dan yang tidak menyangka-nyang-ka itu.   "Heiii...!" Seorang di antara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja si-kap dua orang kakek seniman itu berobah.   Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.   "Heiiiittt!"   "Hyaaattt...!"   Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mu-lai berkelahi dengan seru. Dua orang se-niman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan tali-nya itu bergoyang-goyang keras dan se-tiap saat perahu-perahu itu dapat saja ter-guling.   Kaisar Ceng Tek yang perahunya ber-ada tak jauh dari situ, terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang sa-ling serang dengen hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bang-kit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira! Satu di antara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan si-lat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.   "Ceppp...!" Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!   "Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.   "Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding me-lawan dua orang bercaping itu.   Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri ka-rena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau me-reka kehendaki. Jalan satu-satunya ha-nyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat mem-bunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tidak nampak ada pe-tugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat meno-longnya dari orang-orang ini.   Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang melon-cat ke dalam perahu kecil itu.   "Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami daripada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," kata seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."   Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya ber-debar penuh ketegangan, bahkan ada se-dikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan men-darat. Akan tetapi, pada saat delapan o-rang itu mendarat semua, tiba-tiba ter-dengar suara bentakan nyaring.   "Tikus-tikus bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wa-nita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.   "Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua. Para anggauta Kang-jiu-pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ke-tawa mengejek.   "Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula se-orang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang pan-jang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jo-rok dan kotor.   Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.   "Ji-wi locianpwe, harap jangan men-campuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya de-ngan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang de-ngan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hu-bungannya dengan golongan manapun, se-hingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi peker-jaan mereka.   "Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"   Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!   Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua ta-ngan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu. Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mem-pertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senja-ta mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pu-la.   Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu. Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut me-ngeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menon-ton dengan heran dan kagum. Dia mera-sa heran mengapa orang-orang yang ke-lihatannya seperti pendekar-pendekar ga-gah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.   Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para su-tenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki ta-ngan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang ha-nya sementara itu.   "Berhenti, atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelelak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.   Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka akan takut akan kemarahan Iblis Buta.   Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut, "Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."   Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk. Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini mera-sa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya ber-gerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan da-da murid Kang-jiu-pang yang masih ping-san, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru da-tang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!   Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang te-lah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deret-an gigi putih yang besar-besar.   Pemuda itu memang ganteng. Tubuh-nya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajah-nya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gem-bira. Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agak-nya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pe-muda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seo-rang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa se-pasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban me-nyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.   Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang me-nyamar sebagai dua orang seniman, da-tang berlarian dengan pakaian basah ku-yup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.   "Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan o-rang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.   Kaisar Ceng Tek merasa jengkel me-lihat penyamarannya dikenal orang. Ra-hasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun me-ngerutkan alisnya bertanya, "Kalian siapa?" "Hamba berdua adalah perwira peng-awal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka." "Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar. "Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh--tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini." Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat. Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gen-tar. Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi ne-nek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawab-annya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.   "Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi pa-duka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami bas-mi sampai habis semua anggautanya!"   Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan ta-dipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculik-nya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tam-pan yang pakaiannya nyentrik itu.   "Dan engkau siapa?"   Pemuda itu menjura dengan sikap hormat. "Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, ter-ancam bahaya, hamba merasa berkewa-jiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."   Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaiing kepada dua orang perwira pengawal, "Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada ka-kek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang peng-awalnya.   Setelah kaisar pergi, nenek itu terke-keh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"   "Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari pergu-ruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"   "Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman ti-durnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.   "Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.   Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku ti-dak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"   "Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.   "Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kauminta tentu terlaksana."   "Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.   "Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang mengairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi di situ, telah pergi dengan diam-diam tanpa me-reka ketahui karena mereka hanya men-curahkan perhatian untuk mencari keme-nangan!   "Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.   "Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"   "Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di an-tara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"   "Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.   "Akupun belum!"   "Mari kita lanjutkan!"   "Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"   "Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga. Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.   Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sa-rang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah per-kumpulan persilatan, tempat itu dikeli-lingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh bebeapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba di situ, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu di-pimpin oleh Song Pak Lun yang lihai se-kali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna i-tu. Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka kare-na bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang meng-hadapi pemberontak, jadi tentu saja me-reka berdua merasa mendapat angin.   Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan ang-ker. Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang! Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara me-ngerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.   Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memper-lihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.   "Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.   Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-mu-rid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.   Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata, "Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"   "Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.   "Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.   Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, se-pasang matanya lebar terbelalak dan se-perti mengeluarkan api. Tadi dia terke-jut mendengar disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mende-ngar kesombongan nenek itu.   "Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagah-an. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan me-rasa malu walaupun memperoleh kerne-nangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah ha-dapi aku satu lawan satu, kalau aku ka-lah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk me-nyembahyangi arwah delapan orang murid kami."   Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru, "Kami da-tang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"   Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Mela-wan ketua itulah yang berat. Kalau me-reka berdua maju bersama, tentu terpak-sa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka ber-dua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan me-ngeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!   Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bu-kan tidak masuk akal ini. Seorang di an-tara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata, "Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."   Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja. Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.   "Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.   "Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!" Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!   Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.   "Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"   Pemuda itu tertawa. "Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."   Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanasken hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.   "Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.   Sementara itu, Song Pak Lun meman-dang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala di belakangnya membisikkan bahwa perwida ini-lah yang pernah membantu dua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan ke-marahan. Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini bendak membantu Kang-jiu-pang mengha-dapi mereka. Ini tentu pura-pura, atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.   "Kang-jiu-pang tidak pernah mengha-rapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentak-nya.   Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas lalu menjura. "Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuse-lidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Walaupun aku sendiri tidak menyetujui caramu, akan tetapi baru kuketahui bah-wa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."   "Hemm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur ta-nganmu, tentu usaha kami telah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima ban-tuan orang yang telah mencelakakan kami!"   Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara ti-dak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, -akan tetapi juga berwatak baja yang ke-ras. Diapun menggerakkan kedua pundaknya.   "Terserah, kalau tidak boleh memban-tu akupun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempu-nyai perhitungan dengan dua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Hei, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, akan kusudahi perkara ini kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"   Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget daripada marah. Ada seorang muda berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina. Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidaknya seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik. Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa amat dipandang rendah. Terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka dan terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung pecut baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.   "Eh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.   "Wuuuuttt... singgg...!" Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang kelihatannya begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.   "Tar-tar-tar-tarrr...!" Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak nampak gugup, namun ujung pecut yang kelihatannya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.   "Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.   Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biarpun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang. Akan tetapi tentu saja hal ini amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat memiliki gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidaklah begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.   "Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Kedua tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berobah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo. Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, maka iapun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.   "Tranggg...!"   Nenek berkedok itu terkejut bukan main. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seolah-olah pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat! Barulah ia tahu sekarang bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka dan nenek inipun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadi perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggauta Kang-jiu-pang dengan hati tegang.   Akan tetapi, ketegangan karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak ketika mereka itu menyaksikan per-kelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Bahkan, para anggauta Kang-jiu-pang kadang-kadang tak dapat menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya di samping me-reka menjadi terheran-heran, bahkan de-mikian kagum sampai bengong.   Pemuda itu benar-benar memiliki ge-rakan yang amat lincah. Dia tidak meng-andalkan kecepatan ketika menghadapi pecut baja lawan, melainkan mengandal-kan gerak kaki yang demikian indah dan mantap, kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya sehingga tubuhnya dapat selalu menghindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia menterta-wakan lawannya.   "Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."   "Sing...! Wirrr... singgg...!"   "Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlalu lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"   "Wuuuuttt... sing...!"   "Apa kubilang, luput lagi...!"   "Keparat!" Kakek itu memaki dan me-mutar cambuk bajanya lebih cepat lagi. Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.   "Perlahan dulu!"   Kakek itupun terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipa-sangi paku itu telah tertahan dan terje-pit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya! Semua o-rang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biarpun masih muda, lawannya ini benar-benar tak bo-leh dipandang ringan! Dia mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sin-kang yang amat kuat, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, kiranya bukan bual belaka dan memang pemuda ini "berisi". Dia mengerahkan tenaga lagi sambil menarik dan tiba-tiba "Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya. "Uhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berobah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri. "Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala pecut dan paku yang tiada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang bersorak. Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia hampir celaka. Hatinya menjadi penasaran sekali. "Orang muda, beritahukan namamu agar aku tahu dengan siapa aku bertanding!" Pemuda itu tersenyum. "Eh, kenapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak kalau mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi, biarlah agar engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu, aku she Cia bernama Hui Song!" "Dari perguruan mana?" "Cerewet! Memangnya kita ini kong-kauw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.   "Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya. "Tar-tar-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ubun-ubun kepala Cia Hui Song.   Akan tetapi, sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.   "Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!   Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting ketika Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan bahkan diapun lalu membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya sehingga angin pukulannya saja membuat rambut dan baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.   Kini baru benar-benar Hek-mo terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa amat penasaran dan malu. Dia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya dan siapa kira, bocah ini malah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia hanya ingin menjadi gurunyapun tidak mampu menandinginya!   Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan sepasang tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa lelah sekali karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar. Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" iapun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali. Iapun tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini, lambat laun ia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan. Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka diapun cepat mengelak mundur sambil menggunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum sehingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dahulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.   Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."   Song Pak Lun menarik napas panjang. "Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"   Hui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."   "Ahh...!" Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!   "Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.   "Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"   Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga me-reka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sa-rang yang kosong karena semua burung-nya telah terbang pergi entah ke mana.   Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang men-jadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.   Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih. Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat. Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling men-cinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mere-ka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayah-nya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun -sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas. Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mu-danya berwatak keras, pendiam dan se-rius, bahkan agak angkuh dan tinggi ha-ti. Agaknya Hui Song menuruni watak i-bunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga se-ringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya. Akan tetapi dia ti-dak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayah-nya merasa bosan sendiri dan membiar-kan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakai-an seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.   Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an di mana secara kebetulan dia da-pat menyelamatkan kaisar kemudian ber-balik membantu Kang-jiu-pang mengha-dapi dua orang kakek dan nenek iblis.   Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi da-ri kota itu. Diapun merasa khawatir ka-lau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua o-rang iblis itu ternyata adalah kaki ta-ngan pemerintah pula! Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melin-dungi kaisar. Apakah dunia ini sudah ter-balik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya? Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.   Pada keesokan harinya, Hui Song te-lah pergi jauh dari Cin-an menuju ke se-latan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya ten-tang kegagalan atau pembatalan perte-muan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an. Se-belum dia turun tangan membantu Kang--jiu-pang, dia telah melakukan penyelidik-an kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu ce-pat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.   Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini me-ngaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berte-duh. Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang mencip-takan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera ter-tidur setelah dia merebahkan diri terlen-tang di atas anyaman bambu di gubuk i-tu. Dia tertidur amat nyenyak dan nik-matnya.   Kita condong beranggapan bahwa se-gala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah mem-beli masakan-masakan yang mahal harga-nya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya? Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makan-ahnya yang sederhana, dengan kenikmat-an yang tidak dibuat-buat. Mengapa de-mikian? Karena badannya sehat dan ba-tinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wa-jar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita me-lihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat la-hir batinnya. Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa ba-nyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama ge-lisah di atas tempat tidurnya yang em-puk dan bertilamkan sutera di dalam se-buah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.   Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!   Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan se-gala letih dan kantuk.   Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.   "Brakkkkk...!" Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biar-pun baru satu kali bertemu dengan ma-khluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia -berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada wa-laupun mulutnya bergerak membuat se-nyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.   "Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"   Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.   "Bocah sombong, kami datang mena-gih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.   "Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.   "Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!" Tangkisan itu dilakukan dengan pengerah-an tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya. Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Se-rangan Hek-mo dari samping cukup dah-syat, dengan pukulan keras ke arah lam-bung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.   "Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng me-nyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo de-ngan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!   "Plakk! Plakk...! Ihhh...!" Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.   Tidak percuma Hui Song menjadi pu-tera tunggal ketua Cin-ling-pai yang te-lah digembleng dengan keras sejak dia masih kecil dan sekarang dia sudah me-warisi semua ilmu ayah dan ibunya se-hingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri. Maka tentu saja dia da-pat bergerak dengan amat sigapnya dan biarpun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengim-bangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sin-kang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membi-ngungkan kedua orang pengeroyoknya.   Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, si raksasa berjubah hijau compang-camping menjadi tidak sabar la-gi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri dan sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu sudah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!   "Kalian berdua mundurlah dan biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua po-tong!" katanya. Dua orang rekannya me-rasa girang dan cepat meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apalagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan sen-jata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!   Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang sudah berdiri di de-pannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pe-muda yang memiliki tubuh cukup tinggi beser. Akan tetapi, berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betis-nya! Tho-tee-kwi menyeringai sambil me-mandang pemuda itu. "Orang muda, eng-kau boleh juga dapat dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"   "Hemm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi? Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk se-sat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkaupun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song meng-ejek, tidak tahu siapa sebenarnya yang mempergunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terke-nal datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.   "Ha-ha, orang muda, menurut kete-rangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat engkau pernah berjasa, aku memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, ke-sempatan ini hanya kuberikan satu kali saja," kata Tho-tee-kwi yang sebenarnya lebih suka kalau dapat bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.   "Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat? Dengan Cap-sha-kui? Wah, engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan menjadi Empat Belas Setan? Tak usah, ya! Terima kasih. Pe-nawaranmu kutolak dan kalian menjemu-kan hatiku. Pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa kalau tadi tidak ada tahi tikus men-jatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.   "Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya? Baiklah, kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihen-takkan dan bumipun tergetar hebat. Se-perti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang be-sar-besar telah menyambar dengan se-rangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh kedua tangan yang mengandung kekuatan dahsyat.   Hui Song mengenal serangen berbaha-ya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang memiliki tenaga kasar yang kuat sekali sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan men-cari penyakit. Maka diapun bersikap cer-dik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat. Akan tetapi, ternyata di samping kekuat-annya yang dahsyat, raksasa itupun me-miliki gerakan cepat. Sikunya telah dite-kuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjut-kan dengan cengkeraman untuk menang-kap pergelangan tangan pemuda itu dan tiba-tiba kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song! Bantingan kaki itu sungguh membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet ta-ngan yang lebar dan kuat itu.   "Desss...!" Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat telah mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang dipelajarinya dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak mendatangkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting dan Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tidak sampai terbanting jatuh. Dengan jungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka diapun ha-rus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, diapun mengerahkan sin-kang dan dari dalam pe-rutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehh!" dan lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi mengge-tarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan te-nang dan balas menyerang dengan pukul-an-pukulan Thian-te Sin-ciang. Dia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang dipergunakan untuk melindungi tu-buhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu amat kuat dan kebal.   Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan biarpun pemuda itu lebih banyak bertahan daripada menyerangp na-mun tidak mudah bagi si raksaaa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru sekali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali.   Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebib lihai daripada mereka itupun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pomuda itu, menjadi semakin penasaran dan marah. Tak disangka oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata memiliki tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang amat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya. Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menerjang memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan sebagai pentolan Cap-sha-kui itupun diam-diam enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!   "Ihh, bangkotan-bangkotan tebal mu-ka, main keroyokan seperti bajingan-ba-jingan kecil saja!" tiba-tiba terdenar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan sen-jata aneh, yakni sebuah payung butut! Akan tetapi jangan dipandang rendah pa-yung butut itu karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang ba-ja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini menye-rang Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!   "Eh, engkau...?" teriak Hwa-hwa Kui-bo dengan kaget dan Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan ia yang mengamuk dengan payung butut itu?   "Ya, aku!" kata Sui Cin tertawa mengejek. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai ketika kita sa-ling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Se-karang, jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hi--hi!"   Tho-tee-kui juga kaget bukan main melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk membuat dua orang rekannya kalang-ka-but dan dua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kui-bo mencabut pedangnya.   Tentu saja di samping merasa kaget dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, Hui Song juga merasa girang sekali. Apalagi mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa gembira.   "Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar se-kali, hadiahi pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya dan nenek topeng tikus itu lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"   Sepasang mata Sui Cin berkilat dan iapun menahan senyum geli. Tapi dengan galak ia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"   "Lhoh! Disebut nona manis kok ma-rah, bagaimana sih? Apa lebih suka ke-lau kusebut engkau nona jelek dan galak?"   "Plak-plak... dukkkk!" Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.   "Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!" Pada saat ia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah ke-pada dua orang lawannya sehingga seper-ti juga Hui Song, ia terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi ka-rena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebib lihai dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payung-nya, ia mampu menggagalkan semua se-rangan itu dan balas mendesak lagi.   Hati Hui Song semakin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu ma-sih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaian-nya seperti gelandangan akan tetapi ber-sih, wajahnya manis dan gerakannya lin-cah, mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang pa-nas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.   "Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, ku-sebut nona yang setengah manis setengah galak... wuuuuttt...!" Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tidak berani banyak cakap lagi karena kakek raksasa itu telah mendesaknya lagi dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.   Setelah kini kedua orang muda itu ti-dak lagi bicara, mereka dapat mengha-dapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itupun maklum bahwa keada-an tidak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat me-ngenal dengan samar-samar ilmu silat mereka dan diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerak-an-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!   "Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru dan dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya. Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka iapun meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh dan melarikan diri bersama raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.   Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan mempergunakan cara-cara yang keji dan curang. Sui Cin juga tidak mengejar karena ia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Ia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi iapun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan ia kepada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ah, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!   Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Diapun tadi melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan banyak mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Diapun menduga-duga. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai telah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada murid-murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang dapat memainkan ilmu-il-mu silat Cin-ling-pai, akan tetapi meli-hat kehebatan gadis remaja ini, jelas bahwa ia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?   Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan karena keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling pandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang. Pandang mata pemuda itu penuh kagum dan agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentarpun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka iapun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia sudah digembleng oleh ayah bundanya untuk mempertajam panca inderanya, terutama sekali mat. Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seper-ti itu, pandang matanya menjadi tajam. Ia mampu mengikuti gerakan senjata la-wan, dan ia mampu bertahan tidak ber-kedip sampai berjam-jam!   Akan tetapi, pandang mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tidak mungkin dapat berta-ban lebih lama lagi, apa pula setelah ia merasa darahnya naik dan api kemarah-annya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak, "Kau melihat apa? Matamu melotot seperti mata iblis!"   Dibentak demikian, Hui Song baru sa-dar bahwa sejak tadi dia memandang de-ngan bengong. Dia dapat merasakan ke-adaan yang lucu di antara mereka, maka diapun tersenyum lebar.   "Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin makin marah karena merasa ditertawakan. Orang yang sedang dikuasai nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah kalau hati diracuni nafsu amarah.   Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!   "Ha-ha-ha, sungguh lucu engkau, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... eh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.   "Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.   Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau begini cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."   "Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya sudah bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!   "Wuuutt... singgg...! Heeiiittt...!" Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.   "Wah, tahan dulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau menyelamatkan nyawaku, akan tetapi kenapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kautusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"   "Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus dan kini Hui Song mendapatkan kegembiraan lain, yaitu dia memperoleh kesempatan untuk menguji kepandaian orang yang dikagumi ini dan yang juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa he-bat den berbahayanya ilmu silat dara itu, dan bahwa watak keras dara itu mem-buat serangan-serangannya tidak main-main lagi, diapun tidak berani meman-dang rendah dan terpaksa dia mengerah-kan seluruh kepandaiannya untuk menan-dangi Sui Cin. Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu sedemikian li-hainya sehingga tidak mungkin dia ber-tahan terus tanpa balas menyerang, ka-rena hal itu amat berbahaya. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun un-tuk bertahan diri dan kadang-kadang membalas serangan lawan dengan tam-paran-tamparan Thian-te Sin-ciang.   Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar amat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir daripada ia sendiri. Sampai lima puluh jurus mereka berkelahi dan belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.   "Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang. Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi den lehernya agak basah oleh peluhnya den matanya bersinar-sinar.   "Belum ada yang kalah kenapa ber-henti?" bentak Sui Cin penasaran.   Hui Song tersenyum dan wajahnya bersungguh-sungguh. "Terus terang saja, selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh ketika iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau merupakan lawan yang lebih tang-guh lagi daripada mereka. Nona, kita sa-ma-sama mengetahui bahwa kita berdua adalah saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."   "Aku bukan murid Cin-ling-pai!" ben-tak Sui Cin. "Apa kaukira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu ber-silat?"   Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar, sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri, mu-lutnya tersenyum. Sui Cin sendiri terse-nyum di dalam hati dan mengaku bahwa tidak mungkin marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.   "Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata mengenalku sebagai pu-tera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimanapun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apalagi me-nikah!"   Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walaupun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.   "Siapa perduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian ia meninggal-kan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.   Melihat dara yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut. "Eh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."   Akan tetapi Sui Cin mempercepat langkahnya dan kini ia mengerahkan gin--kangnya berlari cepat seperti terbang. Melihat ini, Hui Song penasaran dan dia-pun mengerahkan tenaga dan kepandaian-nya, mengejar sekuat tenaga. Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu ber-lari cepat merekapun memiliki tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa le-lah den iapun cepat mengambil jalan me-mutar menuju ke tempat di mana tadi ia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enak makan rumput di bawah pohon, ia lalu menceng-klaknya dan membalapkan kudanya!   "Heiii, tunggu...!" Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar. Tadinya dia memandang rendah ketika melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata dapat berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis, kuda itu masih terus membalap. Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari kalau dia tidak mau napasnya putus. Dia berhenti dan mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati!   Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Pada dasarnya memang ada daya tarik yang amat kuat antar lawan jenis, antara pria dan wanita dan daya tarik ini adalah alamiah, sesuai dengan kekuatan Im dan Yang, dua kekuatan yang saling berlawanan, saling tarik, yang membuat bumi berputar, yang mem-buat segala sesuatu menjadi hidup berkembang. Seorang pria, setelah memasuki masa remaja dan akil balikh, akan terta-rik melihat seorang wanita, atau sebalik-nya. Hal ini sudah wajar. Kelenjar-kelen-jar dalam tubuh bekerja, otak yang pe-nuh ingatan bekerja, dan tentu saja, rasa tertarik itu diperkuat dengan adanya selera sehingga menimbulkan pilihan-pilihan menurut selera masing-masing. Dan ini tentu saja penting sekali karena kalau selera kaum pria serupa, tentu setiap orang wanita akan diperebutkan oleh ba-nyak pria, atau juga sebaliknya.   Pertemuan pertama antara pria dan wanita, terutama yang cocok dengan se-lera masing-masing, menimbulkan kesan pertama. Akan tetapi, hal ini tidak atau jarang sekali berarti timbulnya rasa cinta asmara. Rasa cinta asmara biasanya timbul setelah masing-masing bergaul dan berdekatan, setelah masing-masing mengenal keadaan satu sama lain. Betapapun juga, pertemuan pertama merupakan goresan awal yang bukan tidak mungkin berlanjut dengan perkenalan dan saling mencinta. Bunga-bunga api asmara suka berpijar di sudut kerling mata dan di ujung senyum bibir, dan apabila memperoleh bahan bakarnya, bunga api yang berpijar itu akan membakar hati. Dan kalau dua hati sudah saling mencinta, tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya. Dengan kekerasan, badan boleh dipisah, akan tetapi terikatnya dua hati yang saling mencinta akan dibawa sampai mati.   Setelah kuda kecil yang membawa pergi Sui Cin lenyap tak dapat diikuti pandang mata lagi, Hui Song menjatuhkan diri di bawah pohon, di atas rumput gemuk, melepaskan lelah. Peluhnya membasahi badan dan dengan hati mengkal dia menyusut peluh dari muka dan lehernya. Hatinya mendongkol dan kecewa sekali. Tentu saja dia tidak dapat mengatakan apakah dia suka kepada dara itu, apalagi mencinta. Tidak, belum sejauh itu lamunannya. Dia hanya merasa amat tertarik dan ingin sekali mengenal dara itu, ingin tahu siapa adanya dara remaja yang usianya tentu paling banyak enam belas tahun itu, yang demikian lihainya, demikian manisnya, dan demikian bengalnya! Dia merasa tertarik melihat kesederhanaan dara itu, dengan pakaiannya yang bersahaja namun bersih, pakaian yang agak nyentrik dengan payung bututnya yang dapat dijadikan senjata ampuh. Dia menduga-duga siapa gerangan dara itu, anak atau murid siapa? Dia pernah mendengar dari ayahnya bahwa banyaklah pendekar-pendekar sakti yang masih ada hubungan dengan Cin-ling-pai, di antaranya yang amat terkenal adalah ketua Pek-liong-pai di Lembah Naga jauh di utara sana, kemudian Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah. Hanya itu yang diketahuinya, dan dia tidak pernah mendengar tentang keadaan mereka, apalagi tokoh-tokoh lain yang tidak diceritakan oleh ayahnya, akan tetapi yang menurut ayahnya banyak terdapat di dunia ini. Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!   "Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!" Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya? Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu? Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu?   "Aku akan mengucapkan terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri.   Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini? Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.   Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendirt ini menjadi sorga atau neraka! Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendi-rian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir da-ripada pertemuan. Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa ta-kut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Ju-ga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi o-leh hukum. Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyal isteri, anak, keluarga, sahabat, harta ben-da, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita! Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan ber-arti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin me-miliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih pen-deritaan.   Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita. Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!   Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.   Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.   Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.   Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang. Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui. Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk men-cari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.   Begitu memasuki pasar, Hui Song ter-tarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang dile-takkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang diben-tangkan di atas tanah begitu saja. Ke-ramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira se-kali. Hatinya tertarik dan diapun melang-kah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubung sesuatu. Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tam-bal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga su-kar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya ber-sinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam pe-nuh! Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jem-bel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya. Ki-ni bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bah-kan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-ma-lu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.   Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.   Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda jembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik. Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel? Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian? Biar bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan de-pan pasar itu menjadi berkurang ramai-nya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di si-tu, akan tetapi wajah merekapun mem-bayangkan rasa takut. Sebaliknya, pemu-da jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepa-sang mata jembel muda itu bertemu de-ngan pandang mata Hui Song. Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu! Dia meng-ingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab daripada bubarnya semua orang tadi.   Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru! Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja. Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini. Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum.   Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul? Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Dahulu, ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan int terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis. Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.   Hwa-i Kai-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali. Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan. Segala perintah pe-kerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuas-kan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia den ju-jur. Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui. Den tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan ke-dudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawa-nya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetisan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.   Bukan hanya Cap-sha-kui yang terke-na bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulan-per-kumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-i Kai-pang yang kini berpusat di Cin-an dan sebagian membuka ca-bang di kota raja. Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi ka-ki tangan yang setia dari Liu-thaikam.   Kepercayaan dari orang penting ber-arti kekuasaan dan kekuasaan merupa-kan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.   Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi. Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cin-an, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Manyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah.   Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-i Kai-pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda. Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.   Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu. Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda jembel yang mem-bagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pe-muda remaja itu memandang heran, ter-senyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suara-nya lantang gembira.   "Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."   Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek penge-mis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata, "Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah berseri.   Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya men-jadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang di antara dua kakek pengemis baju kembang tadi.   "Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..." Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.   "Plakkk!" Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak jembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tampar-an yang amat keras tadi.   "Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek pengemis. Banyak orang menonton peris-tiwa itu dan kakek pengemis kedua ber-diri dengan tongkat melintang dan pan-dang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.   "Ampun... aku tidak berani lagi, ampun...!" Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.   "Ulurkan lenganmu! Cepat!" bentaknya.   "Tidak... tidak... ampunkan aku..." Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya aken dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.   "Apa? Engkau berani membantah? Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya daripada kedua lenganmu?"   "Ohhh... ampunkan aku...!" Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.   "Berani engkau melarikan diri? Engkau layak dibunuh!" Kakek itu membentak sehingga si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.   "Aduh, ampun...!" Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.   "Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song! Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua le-ngannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.   Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat me-lintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman. "Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pe-ngemis yang bertahi lalat di dagunya itu.   Hui Song tersenyum mengejek. "Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kali-an inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi me-makai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa se-kali, tidak lumrah manusia. Siapakah ka-lian?"   Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak, "Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!" Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.   Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, se-dikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang. "Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apa-kah kalian ini pengemis merangkap tu-kang pukul?"   "Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.   "Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.   "Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."   "Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!" Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali, "Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?" Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.   "Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!" Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.   "Plak! Plak!" Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka- sambil tersenyum-senyum mengejek.   "Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kaupukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.   "Takk! Takk!" Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan. Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.   "Bagus... bagus... hantam terus...!" Terdengar suara orang bersorak dan ternyata yang bersorak itu adalah Sui Cin yang menyamar sebagai jembel muda yang membagi-bagi uang tadi. Siapa lagi jembel muda yang membagi-bagi uang itu kalau bukan Ceng Sui Cin? Biarpun ia selalu menyamar sebagai jembel muda atau gadis perantau yang tidak mewah, namun sesungguhnya dara ini kaya raya. Orang tuanya, Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah, adalah orang yang memiliki harta benda amat besar, terutama setelah pendekar sakti ini menjadi ahli waris dari Harta Karun Jenghis-Khan. Maka, sesungguhnya tidaklah terlalu mengherankan kalau Sui Cin dapat menghambur-hamburkan uang receh itu seperti orang membuang pasir saja. Ketika Hui Song muncul, seketika Sui Cin mengenal pemuda tinggi besar lihai yang menjadi putera ketua Cin-ling-pai ini dan hatinya merasa gembira. Terutama sekali karena ia sudah menyamar sebagai seorang jembel muda dan ia merasa yakin bahwa putera Cin-ling-pai itu tidak akan mengenalnya dalam penyamaran. Kini, melihat betapa pemuda yang lincah jenaka itu mengha-dapi dua orang kakek pengemis galak dan mempermainkan mereka, hatinya menjadi gembira dan iapun bersorak. Orang-orang di depan pasar itu lari menjauhkan diri melihat perkelahian yang dilakukan oleh dua orang kakek Hwa-i Kai-pang, takut terlibat dan terseret. Akan tetapi bagaimana mungkin jembel muda yang menjadi biang keladi kemarahan orang-orang Hwa-i Kai-pang itu malah bersorak-sorak me-lihat dua orang tokoh pengemis itu ter-kena pukulan lawan? Ini sama dengan mencari mati namanya!   Mendengar sorakan pemuda jembel itu, Hui Song tertawa. Kembali dia ber-temu dengan seorang muda yang hebat, pikirnya. Seorang jembel yang bukan sa-ja menghamburkan uang untuk memberi sedekah seperti menghamburkan pasir, akan tetapi juga yang memiliki nyali cu-kup besar untuk berani mentertawakan dan mengejek dua orang kakek pengemis yang galak dan yang agaknya ditakuti semua orang itu. Memperoleh dukungan jembel muda itu, Hui Song makin hebat mempermainkan dua orang kakek penge-mis itu. Jitakan pertama masih terasa oleh mereka berdua ketika tendangannya membuat mereka roboh dan karena yang ditendang itu pinggul mereka, maka aki-batnya tidak membuat mereka lumpuh melainkan hanya nyeri yang memaksa mereka meringis kesakitan lagi. Tentu saja mereka menjadi semakin marah ka-rena merasa dipermainkan. Sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka mengenal orang pandai, dan mereka juga maklum bahwa mereka bukanlah lawan pemuda itu. Akan tetapi tentu saja mereka merasa malu untuk mundur atau mengaku kalah. De-ngan kemarahan meluap merekapun me-nyerang lagi, kini serangan mereka yang didorong luapan amarah menjadi memba-bi-buta. Dan tentu saja lebih mudah lagi bagi Hui Song untuk melayani dan mem-permainkan mereka. Beberapa kali kaki atau tangannya membuat dua orang lawan itu jatuh bangun dengan muka matang biru dan tubuh babak bundas.   Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan dari luar masuklah banyak orang ke da-lam lapangan depan pasar. Orang-orang yang tadinya masih berani nonton perke-lahian itu dari jarak jauh, kini pergi un-tuk tidak kembali. Mereka ketakutan me-lihat munculnya belasan orang anggauta Hwa-i Kai-pang bersama sepasukan pen-jaga keamanan kota yang terdiri dari dua puluh orang lebih dan pasukan ini bersen-jata lengkap, golok dan tombak! Tanpa banyak cakap lagi, tiga puluh orang le-bih itu dengan kacau-balau mengurung, menyerbu dan menyerang Hui Song!   Tentu saja Hui Song harus mempergunakan semua kelincahannya untuk meng-hadapi pengeroyokan orang yang demi-kian banyaknya. Di dalam hatinya, dia merasa penasaran dan juga heran. Ka-wanan pengemis Hwa-i Kai-pang ini je-las bukanlah golongan baik-baik, terlalu kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Orang-orang seperti ini biasanya digolongkan penjahat-penjahat, akan tetapi mengapa kini pasukan pemerintah malah membantu mereka? Dua kali sudah dia menemui hal-hal yang aneh. Pertama kali, datuk-datuk sesat macam Cap-sha-kui melindungi kaisar, dan kedua kalinya, kini pasukan pemerintah membantu gerombolan seperti orang-orang Hwa-i Kai-pang dan menyerang rakyat baik-baik! Dia merasa penasaran sekali dan biarpun dia tidak ingin membunuh orang, kini dia menambah tenaga dalam tamparan-tam-parannya sehingga dalam waktu singkat, enam orang sudah dia robohkan dengan tulang lengan, kaki atau pundak patah-patah, membuat mereka tidak mampu melakukan pengeroyokan lagi.   Bagaimanapun juga, jumlah pengeroyok itu teramat banyak dan para ang-gauta Hwa-i Kai-pang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi maka Hui Song merasa repot juga. Kalau dia mau melarikan diri, tentu tidak begitu sukar baginya karena sekali mempergunakan gin-kang dan meloncat keluar lalu lari, kira-nya mereka itu tidak akan mampu me-nyusulnya. Akan tetapi, yang membuat dia merasa malu untuk lari adalah sorakan dan teriakan pemuda jembel tadi.   "Hayo, gasak saja tikus-tikus itu! Ha-ha-ha, robohkan mereka semua satu demi satu, baru gagah namanya!" Teriakan-teriakan ini membuat hati Hui Song mendongkol. Kurang ajar, pikirnya, enak saja pemuda jembel itu membikin dia menjadi tontonan tanpa bayar. Dan kata-katanya membuat dia merasa malu kalau harus melarikan diri, takut dianggap penakut dan tidak gagah!   Teriakan Sui Cin itu tidak hanya membuat Hui Song mendongkol, akan tetapi juga membuat para pengeroyok menjadi marah. Mereka yang tidak dapat ikut mengeroyok pemuda itu karena jumlah mereka yang terlalu banyak, kini membalik dan mengepung Sui Cin sambil mengacung-acungkan senjata, siap untuk mangeroyoknya. Melihat ini, Hui Song tertawa.   "Rasakan kamu sekarang!" teriaknya ke arah pemuda jembel itu, akan tetapi diam-diam dia mendekati dan siap untuk melindunginya kalau ternyata pemuda jembel itu hanya baik hati dan bengal saja akan tetapi tidak becus menjaga diri dari serangan banyak orang bersenjata.   Akan tetapi, pemuda ini terbelalak kaget ketika melihat si pemuda jembel, sambil tersenyum mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangannya dan uang-uang logam yang digenggamnya beterbangan ke depan, meluncur seperti peluru-peluru ke arah orang-orang yang datang hendak mengeroyoknya. Terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan empat orang melemparkan senjata mereka, terpincang-pincang berusaha mencabut uang logam yang menancap hampir lenyap ke dalam paha atau betis mereka.   "Aduh... aduhh... kakiku...!" Mereka berteriak-teriak dan berloncatan. Darah mengalir membasahi celana mereka.   Sui Cin tertawa-tawa dan bertepuk tangan gembira. "Ha-ha-hi-hi-hi, kalian seperti sekumpulan monyet menari-nari... heh-heh!"   Para perajurit lainnya marah dan menyerbu. Akan tetapi mereka disambut oleh hujan uang logam yang kalau mengenai tubuh mereka amat tajam dan run-cing seperti senjata rahasia piauw saja. Uang logam itu menembus pakaian dan kulit, menyusup ke dalam tulang. Tentu saja mereka yang terkena sambaran sen-jata rahasia yang istimewa itu.   Melihat kelihaian pemuda jembel itu, Hui Song menjadi girang bukan main. Tak disangkanya pemuda jembel bengal seperti itu ternyata lihai sekali. Sui Cin sendiri girang melihat hasil sambitan-sambitannya. "Ha-ha-ha, uang ini benar-benar serba guna, dapat diberikan orang-orang baik untuk membeli makanan penahan kelaparan, dapat pula dipergunakan untuk menghajar orang-orang jahat."   Ketika tanpa disengaja sebuah di antara uang logam yang disambit-sambitkan itu tepat mengenai tulang kering seorang pengeroyok sehingga orang itu berjingkrak-jingkrak saking nyeri dan kiut-miut rasa tulang keringnya, Sui Cin menjadi gembira bukan main dan sambil masih tertawa-tawa dara inipun kini membidikkan sambit-sambitannya ke arah tulang kering kaki para pengeroyok itu. Makin banyak yang terkena sambaran uang lo-gam tulang kering kakinya, makin banyak pula yang berjingkrak seperti orang-orang menari dengan gaya yang lucu dan makin terbahaklah Sui Cin. Akan tetapi kini pasukan pemerintah datang semakin banyak dan karena banyaknya pengeroyok, Sui Cin tidak dapat mengandalkan lagi uang-uang logam itu dan diserbu dari be-lakang, terpaksa iapun berloncatan dan melakukan perlawanan seperti Hui Song, dengan tangan kosong. Setiap kali me-nyamar sebagai pemuda jembel, ia selalu meninggalkan payungnya. Payung dan ku-da cebolnya itu hanya dipergunakan ka-lau ia berpakaian sebagai wanita saja. Dan sekarang kuda dan payungnya itu di-titipkannya di tempat yang aman.   Hui Song menjadi semakin kagum melihat betapa selain pandai memperguna-kan uang logam sebagai senjata rahasia yang ampuh, ternyata pemuda jembel itu-pun lihai sekali ilmu silatnya sehingga dengan tangan kosong berani menyerbu banyak pengeroyok yang mempergunakan senjata tajam. Akan tetapi kekagumannya kini bercampur dengan keheranan karena dia segera mengenal gerakan-gerakan jurus ilmu silat yang dimainkan pemuda itu. Lagi-lagi seorang ahli silat keluarga Cin-ling-pai, pikirnya. Hatinya penasaran sekali dan tiba-tiba saja diapun teringat. Pantas dia merasa pernah bertemu de-ngan pemuda ini. Mata itu! Senyum itu! Kebengalan itu dan akhirnya ilmu silat itu. Sama benar dengan dara remajan nyentrik yang pernah dijumpainya! Akan teta-pi jembel ini adalah seorang pemuda. Tentu saudaranya! Ataukah saudara seperguruan?   "Heii, sobat muda yang baik, tidak benar melanjutkan perlawanan terhadap pasukan pemerintah. Hayo kita pergi!" kata Hui Song ketika melihat betapa pa-sukan pemerintah semakin banyak berda-tangan dan melakukan pengeroyokan.   Sui Cin juga merasa tidak enak kalau melanjutkan amukannya melihat betapa kini tempat itu penuh dengan perajurit pemerintah. Ayahnya tentu akan marah bukan main kalau mendengar bahwa ia bermusuhan dengan pasukan pemerintah karena hal ini hanya dapat diartikan bahwa ia telah menjadi pemberontak! Maka, mendengar ucapan Hui Song, iapun ter-tawa dan meloncat sambil membawa dua genggam uang logam. Hui Song juga me-loncat jauh dan ketika para pengeroyok melakukan pengejaran, Sui Cin melem-par-lemparkan uang logam dua genggam itu sehingga para pengeroyok dan penge-jar menjadi jerih. Dengan mudah mereka berdua lari meninggalkan kota Cin-an dan keluar dari pintu gerbang sebelah utara.   Hui Song mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi dengan kagum dan he-ran dia mendapat kenyataan betapa jem-bel muda itu dapat mengimbangi kecepatannya! Perkelahian dikeroyok banyak la-wan itu membuat keduanya puas benar. Kedua orang itu memang suka sekali bersilat, apalagi menghadapi pengeroyokan banyak orang di mana mereka berdua da-pat melampiaskan hati sepuasnya dengan menghajar para lawannya. Dan mengingat akan kelucuan pemuda jembel itu mero-bohkan lawan dengan melempar-lemparkan uang logam, keduanya berlari sambil tertawa-tawa. Setelah mereka tiba di de-kat hutan jauh di luar kota, dan tidak melihat adanya pengejar, berhentilah mereka terengah-engah akan tetapi masih tertawa gembira. Begitu melihat wajah pemuda jembel itu yang tertawa-tawa, hati Hui Song sudah tertarik sekali dan dia merasa amat suka kepada pemuda itu. Mereka berdua merasa lelah, bukan hanya karena perkelahian tadi, akan te-tapi juga karena berlari cepat dan di-tambah lagi karena tertawa-tawa dan mereka berdua menjatuhkan diri di atas rumput tebal di bawah pohon. Sui Cin menurunkan buntalannya dari atas pung-gungnya dan berkata sambil tersenyum, "Aah, perkelahian yang amat menyenang-kan!"   "Dan engkau hebat sekali, sobat muda!" kata Hui Song dengan sungguh-sungguh. "Engkau masih begini muda, akan tetapi engkau telah memiliki kedermawanan besar dan memiliki kepandaian yang amat mengagumkan, terutama... eh, ilmu menyambit dengan uang logam tadi!" "Hemm, kebisaanku apa artinya kalau dibandingkan dengan kelihaianmu?" Sui Cin berkata sejujurnya karena iapun ka-gum akan kepandaian pemuda putera ke-tua Cin-ling-pai ini. Ia sudah banyak mendengar tentang ketua Cin-ling-pai dari ayahnya. Menurut penuturan ayahnya, ketua Cin-ling-pai bernama Cia Kong Liang, pendekar yang telah mewarisi ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, seorang yang menurut ayahnya berwatak keras dan agak tinggi hati. Dari penuturan ayahnya, ia dapat menduga bahwa ayahnya tidak be-gitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang tinggi hati itu. Dan Cia Kong Liang ini menikah dengan puteri bekas datuk sesat. Mungkin karena pengaruh cerita ayahnya itulah hati Sui Cin masih belum percaya bahwa Hui Song dan sedang meraba-raba apakah pemuda ini juga tinggi hati se-perti ayahnya.   "Sobat muda, aku tidak hanya memuji kosong saja. Jarang aku memuji orang, akan tetapi aku sungguh kagum kepadamu. Engkau mengingatkan aku akan..."   "Nanti saja kita lanjutkan percakapan kita. Sekarang perutku lapar, apakah engkau mau makan bersamaku?"   Hui Song tertegun karena pembicaraannya diputus seperti itu. "Lapar? Makan? Ah... tentu saja, akupun lapar," katanya gembira karena melihat kelucuan ini.   Sui Cin membuka buntalan pakaiannya, akan tetapi tidak dibukanya semua, hanya sedikit saja untuk mengambil bungkusan kertas tebal dari dalamnya, lalu menutup kembali buntalan pakaiannya, seolah-olah ia tidak ingin Hui Song melihat isi buntalannya. Dan memang tentu saja ia tidak menginginkan pemuda itu melihat bekal pakaian wanita yang disimpan di dalam buntalannya itu. Untuk mengalihkan perhatian pemuda itu yang mengamati gerak-geriknya, Sui Cin bertanya, "Sobat, makanan apakah yang paling kausukai?"   "Aku...?" Hul Song tersenyum sehingga wajahnya yang gagah itu berseri. "Aku suka makan... kodok!"   "Hah? Katak? Katak buduk?" Sui Cin menggoda, berlagak kaget dan membelalakkan matanya. Sejenak Hui Song terpesona. Mata itu demikian lebar dan indahnya, mengingatkan dia kepada dara yang galak tempo hari.   "Ha-ha-ha, tentu saja bukan katak buduk yang beracun. Melainkan katak swike yang terdapat di sawah, atau katak hijau, atau kalau ada sih katak batu yang besar-besar dan lembut dagingnya itu!"   Sui Cin tersenyum mengejek. "Di hutan begini, mana ada yang menjual swike? Bahkan restoranpun harus yang besar kalau mau mencari makanan itu. Nih, adanya hanya nasi cap-jai, kalau engkau lapar boleh makan bersama aku. Boleh saja makan sambil membayangkan kodok batu, atau kalau tidak ada kodoknya, batunya juga boleh kan?"   "Ha-ha-ha-ha! Engkau sungguh lucu sekali!" Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin membuka bungkusan kertas dan ternyata di dalamnya terdapat bungkusan dengan daun lebar yang ketika dibuka terisi cap-jai dan nasi.   "Nah, silakan makan," kata Sui Cin.   "Tapi... tidak ada mangkok tidak ada sumpit, bagaimana harus makan?" Hui Song bertanya.   "Alaaaa, aksi dan genit amat sih! Tidak ada mangkok, kan ada daun ini? Tidak ada sumpit katamu? Sumpit hanya dua batang, sedangkan kita mempunyai lima batang sumpit alam, untuk apa kalau tidak dipergunakan?" Berkata demikian, langsung saja Sui Cin menggunakan lima sumpit alam alias lima jari tangan kanannya untuk menjumput nasi dan sayur lalu dimakannya dengan lahap.   Melihat ini, Hui Song terbelalak, memandang tangannya. Ingin dia mengatakan bahwa tangannya harus dicuci dulu, akan tetapi karena malu dikatakan aksi dan genit, diapun nekat dan menggunakan tangannya itu, tanpa dicuci atau dibersihkan, untuk menjumput makanan dengan kaku dan makan. Mereka berdua makan dengan tangan begitu saja dengan makanannyapun berada di atas daun, seperti dua orang dusun yang amat bersahaja. Diam-diam Hui Song semakin kagum kepada pemuda remaja jembel ini yang agaknya sudah terbiasa hidup serba kekurangan dan dapat menyesuaikan diri dengan kesederhanaan yang begitu polos dan tidak dibuat-buat. Dan mengingat bahwa pemuda ini tadi menghamburkan uang sedemikian banyaknya seperti pasir! Padahal, kalau dia mau mempergunakan uang sekarung itu untuk diri sendiri, tentu dia akan dapat makan enak di restoran, dengan mangkok perak dan sumpit gading sekalipun! Makin kagumlah dia. Dia sendiripun suka hidup ugal-ugalan atau tidak berbasa-basi, biasa berkelana dan suka akan kebebasan hidup sederhana, akan tetapi belum pernah dia makan menggunakan lima sumpit alamnya, maka makannyapun tidak kelihatan selahap dan seenak pemuda jembel itu. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan makanan itu berhenti di tenggorokannya.   "Ada apa?" Sui Cin bertanya sambil memandang wajah Hui Song yang tiba-tiba berobah itu. "Apakah ada tulang me-lintang di kerongkonganmu?"   Pertanyaan itu lucu dan mengundang kembali kegembiraan hati Hui Song akan tetapi tidak dapat mengusir dugaan yang menyelinap di dalam pikirannya. Bahkan pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat mulutnya mengucapkan isi hatinya. "Apakah... apakah makanan ini sisa makanan yang kaudapatkan dari rumah makan?"   Dugaan itu timbul ketika dia teringat bahwa pemuda remaja itu seorang pengemis dan bukankah sudah menjadi kebiasaan para pengemis untuk mengemis sisa makanan dari restoran-restoran? Teringat bahwa yang ditelannya adalah sisa makanan yang dikumpulkan dari restoran itulah yang membuat lehernya seperti tercekik tadi.   Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Sui Cin menjadi merah. Dengan gerakan marah ia lalu membuang bungkusan makanan yang sedang mereka ma-kan itu sehingga isinya tumpah berserak-an di atas tanah. Hampir Sui Cin mena-ngis, akan tetapi ditahannya karena ia teringat bahwa ia sedang menyamar sebagai seorang pemuda sehingga akan janggallah kalau menangis. Hui Song terkejut bukan main.   "Ada apakah? Mengapa... ah, maafkan aku, bukan maksudku untuk menghi-na." katanya gagap setelah dia sadar bah-wa dia telah salah bicara tadi. Sungguh watak yang aneh sekali, pikirnya. Seo-rang jembel muda membagi-bagi uang dan kini marah-marah ketika ditanyakan apakah makanannya didapat dari menge-mis sisa makanan. Di mana bisa didapat-kan seorang jembel seperti ini? Dan pakaiannya memang jembel, mukanya penuh debu.   "Aku bukan pengemis!" Sui Cin berkata dengan suara agak ketus.   Hui Song mengangguk-angguk. "Aku lupa bahwa engkau pernah membagi-bagi banyak uang. Tentu engkau seorang Sin-touw (Maling Sakti)..."   "Aku bukan maling!" Bentakan Sui Cin lebih keras lagi, mengejutkan hati Hui Song. Keduanya diam dan termenung sambil memandang makanan yang berserakan di atas tanah. Tentu saja makanan itu kotor dan tidak dapat dimakan lagi, padahal perut mereka masih lapar. Jelas nampak kekecewaan membayang di wajah kedua orang muda itu.   Tiba-tiba, agaknya melihat masakan itu tidak dapat diraih padahal demikian dekatnya, terdengar bunyi perut berkeruyuk saling sahut. Keduanya mengangkat muka saling pandang dan seketika kebe-kuan di antara mereka mencair.   "Perutmu berkeruyuk!" Hui Song ber-kata menahan senyum geli.   "Perutmu juga!" jawab Sui Cin dan keduanya tertawa geli. "Salahmu!" Sui Cin mengomel akan tetapi wajahnya kini berseri kembali. "Dugaanmu yang keji membuat aku marah dan membuang ma-kanan kita. Sekarang kita lapar dan aku hanya tinggal mempunyai roti tawar ke-ring saja."   "Roti tawar amat enak dimakan ke-tika perut lapar."   "Memang."   "Dan dapat mengenyangkan perut," kata pula Hui Song.   "Memang."   Biarpun membenarkan ucapan pemuda itu, namun Sui Cin belum juga mengeluarkan roti tawar yang tersimpan dalam buntalannya dan ia nampak termenung.   Hui Song memandang heran. "Kalau kita lapar sekali... dan roti tawar itu cukup enak..."   Tiba-tiba Sui Cin mengangkat mukanya dan memotong. "Engkau suka swike...?"   Tentu saja Hui Song terkejut mendapat pertanyaan mendadak seperti serangan pedang runcing ditusukkan ke jantungnya itu. "Apa...?"   "Engkau suka swike, terutama kodok batu...?" Kembali Sui Cin bertanya dan ia menoleh ke kiri, memandang ke puncak bukit di mana nampak beberapa ekor burung pipit beterbangan. Hui Song memandang dengan mata terbelalak kepada wajah yang kotor berdebu itu, alisnya berkerut, takut kalau-kalu pemuda jembel ini mempunyai keistimewaan lain lagi yang tidak menguntungkan, yaitu otaknya miring!   Orang yang tidak beres ingatannya harus disetujui saja kata-katanya, tidak boleh dibantah, demikian pikirnya. Maka diapun mengangguk pasti. "Ya, ya... aku suka sekali."   "Kalau begitu tunggu di sini sebentar, jangan pergi ke mana-mana!" Dan sebelum Hui Song sempat menjawab, Sui Cin telah meloncat dan berkelebat lenyap dari situ, seperti terbang cepatnya ia berlari ke arah puncak bukit yang sejak tadi dipandanginya itu. Hui Song bengong saja mengikuti bayangan itu sampai lenyap ditelan rimbunnya pohon-pohon dan semak-semak.   Tak lama kemudian, sambil tertawa-tawa pemuda jembel itu datang lagi. Kedua tangannya memegang kaki belakang empat ekor katak yang besar-besar dan gemuk-gemuk! Keempat katak itu bergantung tak bergerak, dan dari kaki belakang sampai kepala, panjangnya tidak kurang hampir dua kaki! Seperti katak raksasa saja! Kulitnya hitam-hitam kehijauan, lorek-lorek indah.   Sui Cin melemparkan empat ekor katak yang sudah mati itu ke atas tanah di depan Hui Song sambil tertawa gembira. Hui Song juga tertawa.   "Wah, engkau pintar sekali menangkap katak-katak raksasa ini," katanya sejujurnya.   "Engkau tidak tahu katak apa ini? Bukan katak raksasa. Inilah katak batu yang tulen! Terpaksa kupecahkan kepalanya dengan batu karena kodok batu ini liar dan ganas sekali!"   "Tapi yang biasa kubeli di restoran dagingnya lunak."   "Memang dagingnya lunak, akan tetapi kodok-kodok ini liar dan ganas. Hayo bantu aku membersihkannya. Potong kepalanya, ujung keempat kakinya. Akan tetapi jangan buang kulitnya. Kodok batu kulitnya tipis dan tidak ulet, enak dimakan bersama dagingnya. Babkan kalau kulitnya dilepas, dagingnya yang terlalu lunak itu akan hancur kalau dimasak. Nah, begitu. Mari kita cuci di sumber air sana. Aku melihatnya tadi ketika kembali ke sini."   Sui Cin membawa buntalannya dan dibantu oleh Hui Song, mereka berdua menuju ke sumber air untuk mencuci empat ekor katak besar itu. Mereka melakukan kerjaan ini sambil bercakap-cakap gembira, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak lama, padahal mereka bahkan belum saling berkenalan!   "Kenapa kodok batu yang dagingnya lunak kaunamakan kodok liar dan ganas?" Hui Song bertanya.   "Kodok batu termasuk kodok yang cerdik dan ganas. Engkau tahu apa yang dimakannya?"   "Tentu nyamuk, serangga lain atau lumut dan ujung daun..."   "Salah sama sekali! Engkau melihat burung-burung yang beterbangan di atas itu? Nah, itulah makanannya!"   "Tak mungkin! Mana bisa kodok yang berada di darat makan burung yang terbang di atas?"   "Kodok batu adalah pengail yang amat pandai dan sabar. Dia memancing burung itu untuk turun dan menyambar umpannya."   "Apa umpannya dan bagaimana cara memancing burung?"   "Umpannya dirinya sendiri. Seekor kodok batu yang kelaparan dan ingin makan burung, sengaja rebah terlentang di atas batu, kalau perlu sampai berjam-jam, tanpa bergerak sehingga siapapun akan menyangka dia sudah mati. Bangkai kodok itu menarik perhatian burung yang terbang turun untuk menyantapnya, akan tetapi begitu burung itu mematuk perutnya, seperti ikan menyambar umpan di mata kail, kodok batu itu akan menyergap dan menangkapnya dengan empat kaki dan menggigitnya. Nah, bukankah kodok batu itu liar den ganas?"   Hui Song mendengarkan dengan penuh kagum. Ternyata pemuda jembel ini banyak sekali pengetahuannya. Ketika membersihkan tubuh katak itu, dia mendapat kenyataan bahwa kulit yang lorek-lorek itu memang tipis dan halus.   "Heran, kodok yang liar dan ganas pemakan burung tapi kulitnya demikian tipis," katanya.   "Ya, dan kulitnya enak untuk dimakan, maka kodok batu selalu dimasak berikut kulitnya. Kulit katak hijau, biarpun lebih kecil dan pemakan nyamuk dan serangga, lebih ulet dan karena itu, kulit katak hijau tidak ikut dimasak. Mudah saja mengupas kulit katak. Kalau kepalanya sudah dipotong, sekali pencet saja tubuhnya akan keluar dari kulitnya. Tapi bodoh kalau membuang kulit katak hijau, karena kalau digoreng, rasanya enak sekali, tidak kalah oleh goreng kulit atau usus ayam!"   "Ha-ha-ha, sobat muda, agaknya engkau juga ahli tentang masakan!"   "Ahli makan sudah jelas, kalau ahli masak... hemm, harus dibuktikan lebih dulu. Sayang kita tidak mempunyai alat untuk masak, tidak mempunyai bumbu kecuali garam yang selalu kubawa dalam buntalan pakaian. Daging kodok batu ini kalau dimasak dengan tao-co, wah, gurih sekali. Kalau dimasak dengan jahe, hemm, sedap! Dan kalau dimasak dengan tape beras atau sedikit arak merah, lezat sekali." Hui Song makin kagum den mulutnya menjadi basah karena bangkit seleranya oleh keterangan tentang masakan-masakan sedap itu. "Dan bagaimana kalau digoreng?" "Kurang tepat. Daging kodok batu terlalu lunak kalau digoreng bisa hancur. Untuk gorengan, lebih enak daging kodok hijau biasa. Dan daging katak ini terpaksa kita panggang saja, dengan diberi sedikit garam. Habis tidak mempunyai alat masak dan bumbunya sih." "Panggang daging kodok batu dimakan dengan roti tawar... hemm, enak seka-li!" kata Hui Song.   "Memang! Akan tetapi daging ini takkan matang kalau kita hanya omong-omong saja. Hayo cepat kumpulkan kayu bakar dan bikin api untuk panggang daging kodok ini!"   Tak lama kemudian, tercium bau panggang yang gurih dan segera mereka makan lagi, roti tawar dengan panggang kodok. Ternyata memang lezat dan mereka makan lebih lahap dan gembira daripada tadi.   "Hemm, belum pernah aku makan selezat ini!" Hui Song mengaku sejujurnya sambil mengelus perutnya setelah mereka selesai makan dan minum air tawar yang segar. "Bukan main sedapnya! Sobat, engkau sungguh luar biasa sekali. Pandai engkau membuat masakan, seperti seorang wanita saja engkau!"   Sui Cin sedang mencuci kedua tangannya maka kepalanya menunduk sehingga Hui Song tidak melihat betapa muka yang kotor berdebu itu berobah merah sekali. "Biarpun lezat, daging kodok batu ini cukup amis. Kalau diberi air jeruk di waktu makan amisnya akan berkurang. Maka tangan harus dicuci bersih betul, baru hilang bau amisnya. Aku memang mempelajari ilmu memasak."   "Ah, pantas kalau begitu? Siapa gurumu memasak?"   "Guruku...? Ia... enciku sendiri."   Tiba-tiba Hui Song meloncat bangkit dan memandang pemuda jembel itu dengan sepasang mata tajam penuh selidik akan tetapi mulutnya tersenyum. "Ha! Aku tahu siapa encimu!"   "Eh?" Pemuda jembel itu memandang heran. "Benarkah? Kalau tahu, siapa nama enciku dan dari mana ia datang?"   "Wah, itu aku belum tahu. Akan tetapi, maksudku, aku sudah mengenalnya, sudah pernah bertemu dengannya. Malah ia telah menyelamatkan aku, membantuku ketika aku dikeroyok oleh tiga orang dari Cap-sha-kui. Dan tadi di pasar engkaupun membantuku, jadi kalian adik dan enci selalu membantuku. Sungguh aku patut untuk berterima kasih kepada kalian. Adik yang baik, ketika aku bertemu dengan encimu, ia tidak sempat memperkenalkan diri. Maukah engkau memberi tahu, siapa nama encimu dan siapa pula orang tua atau gurunya? Aku melihat betapa ilmu silatmu dan ilmu silat encimu sesumber dengan ilmu silatku."   Sui Cin diam-diam merasa geli dan wataknya yang bengal membuat ia ingin mempermainkan pemuda ini. "Mana aku tahu bahwa engkau benar-benar pernah bertemu dengan enciku? Kalau benar pernah bertemu, hayo ceritakan bagaimana wajahnya dan apa keistimewaannya?"   "Ah, mudah sekali itu. Mana bisa aku melupakannya?" kata Hui Song sambil menatap tajam wajah pemuda jembel itu. "Rambutnya hitam sekali, gemuk dan panjang, dengan anak rambut halus menutupi bagian atas dahinya yang halus. Wajahnya bulat telur dengan dagu agak meruncing, potongan wajahnya manis, sepasang matanya lebar dan jeli, kedua ujungnya agak naik dan seperti ditambah guratan hitam, bulu matanya lentik panjang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah, bentuknya manis sekali, kalau tertawa ada lesung pipit di pipi kirinya, kulit mukanya putih halus seperti salju..."   "Eh, kau ini menggambarkan wajah enciku akan tetapi kenapa matamu terbelalak memandang aku?" pemuda jembel itu menegur, merasa sungkan dan tidak enak sekali melihat sepasang mata itu tanpa berkedip terus-menerus memandanginya.   "Habis, wajah encimu itu seperti pinang dibelah dua dengan wajahmu!" kata Hui Song sambil tersenyum lebar.   "Teruskan, teruskan...!"   "Pendeknya, encimu itu seorang dara remaja yang belum pernah kulihat keduanya di dunia ini. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya aneh-aneh dan nyentrik, selalu membawa payung butut yang dapat menjadi senjata yang ampuh, naik seekor keledai... eh, kuda yang mirip keledai karena kecil dan pendeknya..."   "Cukup, engkau memang sudah mengenalnya." kata pemuda jembel itu, menyembunyikan perasaan girang dan juga malu di hatinya. Bagaimana ia tidak akan merasa girang akan tetapi juga jengah mendengar orang memuji-muji kecantikannya di depannya secara begitu terbuka sehingga kecantikannya diperinci? "Memang aku sudah mengenalnya, bahkan kami sudah berkelahi bahu-membahu melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui! Sayang aku belum mengenal namanya. Maka, sobat muda yang baik, kauberitahukanlah aku siapa nama encimu dan bagaimana pula keadaan keluargamu." "Nanti dulu, sobat. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Terus terang saja, aku dan enciku tidak biasa memperkenalkan diri kepada orang lain. Maka, sebaiknya engkau bercerita tentang dirimu sebelum aku memperkenalkan enciku." Hui Song adalah seorang pemuda yang lincah jenaka, bahkan suka sekali menggoda orang, wataknya agak berandalan. Akan tetapi diapun cerdik dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan putera atau murid orang pandai yang masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai, maka diapun tidak segan-segan untuk bersikap hormat dan mengalah, walaupun dia merasa jauh lebih tua daripada jembel muda ini. "Baiklah, sobat muda. Aku bernama Cia Hui Song. Ayahku adalah ketua Cin-ling-pai dan aku adalah putera tunggal. Tadinya aku mewakili Cin-ling-pai untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang diadakan di Puncak Bukit Perahu. Pertemuan itu gagal dan tidak jadi, maka aku hendak kembali ke Cin-ling-pai. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan aku dikeroyok, nyaris celaka kalau tidak muncul encimu yang lihai dan yang membantuku sehingga kami berhasil mengusir tiga orang iblis itu. Nah, itulah keadaanku."   Sui Cin mengangguk-angguk. "Aih, kiranya putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihainya. Siapa tidak mengenal pendekar sakti Cia Kong Liang yang berilmu tinggi, kedudukannya setinggi langit menjadi ketua perkumpulan besar yang amat terkenal di seluruh dunia, yaitu Cin-ling-pai? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku untuk dapat mengenalmu, Cia-taihiap!" Sui Cin yang mendengar dari ayahnya tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai, lalu berdiri den memberi hormat, sengaja menyebut taihiap kepada pemuda itu untuk menguji apakah pemuda itupun memiliki kecongkakan seperti ayahnya.   "Aihh, adik yang baik, minta ampun jangan menyebutku taihiap!"   "Kenapa? Bukankah engkau seorang pendekar besar, putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang dihormati dan disegani orang-orang gagah di seluruh dunia?"   "Wah, tidak kuat aku menerima sebutan itu. Selama hidup belum pernah aku disebut orang taihiap, dan aku tidak pernah merasa menjadi taihiap. Apalagi pendekar besar, menjadi pendekar yang paling kecilpun aku bukan! Karena engkau jauh lebih muda dari aku, sebut saja aku kakak atau paman juga boleh!"   Sui Cin tertawa. Hatinya senang sekali. Pemuda ini sama sekali tidak congkak. Apakah berita tentang ketinggian hati ketua Cin-ling-pai itu tidak benar? Kalau benar bapaknya berhati congkak, mengapa putera tunggalnya demikian ramah, polos, jenaka den rendah hati malah?   "Baiklah, aku akan menyebutmu kakek. Bagaimanapun, engkau hanya lebih tua beberapa tahun saja daripada aku."   "Beberapa tahun? Engkau paling banyak berusia empat belas tahun!"   "Aku sudah enam belas tahun... eh, hampir! Song-twako, engkau paling banyak berusia dua puluh empat tahun." "Aku baru dua puluh satu tahun, karena tinggi besar, mungkin nampak lebih tua," kata Hut Song. "Dan sekarang ceritakanlah keadaan kalian..."   "Nanti dulu, Song-twako. Aku belum tahu benar akan keadaanmu. Apakah... apakah engkau sudah menikah?"   Hui Song tertawa. "Ha-ha-ha, apakah aku kelihatan seperti orang yang sudah menikah? Belum, adik yang baik. Aku belum menikah dan mungkin takkan menikah!"   "Eh, kenapa? Semua orang menikah kalau sudah berusia dua puluh tahun lebih."   "Apakah itu suatu keharusan? Aku tidak mau kalau dipaksa menikah, kecuali kalau memang hatiku ingin."   "Sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, tentu sejak kecil engkau sudah ditunangkan dengan puteri seorang yang berkedudukan tinggi dan terkenal pula."   Hui Song tersenyum lebar dan menggeleng kepala. "Tidak, aku belum bertunangan dan tidak akan ditunangkan di luar keinginanku. Nah, sekarang ceritakanlah, siapa nama encimu?"   "Hei, Song-twako. Engkau berhadapan dan berkenalan dengan aku, kenapa yang kautanyakan hanya enciku melulu?"   Hui Song tertawa menutupi rasa malunya. "Baiklah, aku tanyakan namamu dahulu. Siapa namamu, adik yang baik?"   "Namaku Ceng Sui Cin..."   Hui Song bangkit berdiri dan matanya terbelalak, wajahnya berseri. "She Ceng? Ah, sudah kuduga dalam hatiku. Engkau putera Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang amat terkenal itu!"   "Hemmm... engkau sudah tahu ba-nyak tentang ayahku?" Sui Cin bertanya, matanya memandang penuh selidik. Kalau benar pemuda ini sudah banyak mengetahui tentang keadaan ayahnya, tiada gunanya lagi permainannya menyamar sebagai adik Sui Cin yang bernama Sui Cin itu!   Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pemuda itu menggeleng kepala. "Tentu saja aku tahu tentang ayahmu dari penuturan ayahku. Akan tetapi yang kuketahui hanya bahwa ayahmu Ceng Thian Sin berjuluk Pendekar Sadis dan memiliki kepandaian amat hebat. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa tentang beliau karena ayah tidak menceritakan lebih banyak lagi, agaknya ayah memang tidak tahu banyak tentang ayahmu."   Memang tinggi hati ketua Cin-ling-pai itu, pikir Sui Cin. Bagaimanapun juga, ayahnya mempunyai hubungan dekat sekali dengan Cin-ling-pai, akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu tidak banyak bercerita tentang ayahnya kepada puteranya.   Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ketua Cin-ling-pai itu adalah seorang yang congkak, tinggi hati. Akan tetapi, begaimanapun juga, keadaan ini melegakan hatinya. Ia lebih senang keadaan keluarganya tidak diketahui oleh Hui Song karena dengan demikian ia boleh mempermainkan pemuda itu sesuka hatinya.   "Sekarang ceritakan, siapa nama encimu itu, Cin-te (adik Cin)?"   Sui Cin tersenyum. "Song-twako, terus terang saja, aku tidak berani melanggar pantangan enci. Kalau aku menceritakan tentu aku akan ditamparnya. Ia galak sekali lho. Sebaiknya kelak saja kalau engkau berjumpa lagi dengannya, tanyakan sendiri, Song-twako."   Hui Song mengerutkan alisnya, akan tetapi dia sendiri sudah pernah berjumpa dengan dara itu dan tahu akan watak yang aneh dan keras, maka diapun tidak terlalu menyalahkan Sui Cin kalau takut dengan encinya yang galak itu. Karena memang wataknya terbuka dan ramah, Hui Song dapat membuang kekecewaannya. Bagaimanapun juga dia telah berkenalan den bersahabat dengan adik dara itu, inipun sudah merupakan suatu hal yang amat menguntungkan. Dan kalau dia sudah berkenalan dan bersahabat dengan adiknya, maka jalan menuju ke arah perkenalan dengan encinya tentu saja jauh lebih dekat dan mudah. Dan bagaimanapun juga, dia merasa bangga hati dapat berkenalan dengan seorang putera dari Pendekar Sadis yang amat terkenal dan sudah lama dikaguminya itu.   "Cin-te, apakah sekarang engkau hendak pulang ke rumah orang tuamu? Di manakah mereka tinggal?" tanyanya.   "Kami tinggal jauh di selatan, di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi aku belum mau pulang, aku hendak pergi ke kota raja untuk... eh, untuk mencari enciku di sana."   "Ah, bagus sekali! Aku hendak pergi ke kota raja. Kita dapat jalan bersama kalau begitu." Hui Song berseru gembira.   Sui Cin tersenyum menggoda. "Eh, katanya tadi bilang hendak ke Cin-ling-pai? Mengapa sekarang tiba-tiba hendak pergi ke kota raja?"   Mendengar nada suara yang mentertawakan ini, Hui Song tertawa. "Wah, terus terang saja, memang aku ingin sekali dapat segera bertemu dan berkenalan dengan encimu. Akan tetapi, sesungguhnya, selain keinginanku berkenalan dengan encimu, juga ada hal-hal penting yang mendorong aku pergi ke kota raja melakukan penyelidikan."   Sui Cin merasa tertarik. "Hal-hal penting apakah, twako?"   "Aku mengalami dua hal yang amat aneh di Cin-an. Pertama kali ketika aku melihat kaisar dalam penyamaran dilindungi oleh datuk-datuk Cap-sha-kui, dan kedua kalinya melihat gerombolan ganas seperti Hwa-i Kai-pang itu bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Bukankah hal itu penting den aneh sekali? Aku ingin menyelidiki keanehan itu di kota raja. Pasti terjadi apa-apa yang luar biasa di kota raja, kalau tidak demikian, tidak mungkin para penjahat keji bersekutu dengan pemerintah."   Sui Cin mengangguk-angguk. "Engkau benar. Tidak terpikirkan olehku tentang keanehan kerja sama antara penjahat dan petugas keamanan itu. Kalau begitu, mari kita berangkat dan kita selidiki bersama, twako."   "Baiklah, dan akupun akan membantumu mencari encimu di kota raja," kata Hui Song dan Sui Cin hanya tertawa saja.   ***   Istana tua di Lembah Naga itu dahulu merupakan tempat yang amat sunyi, akan tetapi semenjak pendekar sakti Cia Han Tiong mendirikan perkumpulan Pek-liong-pai (Partai Naga Putih), tempat terpencil itu tidaklah begitu sunyi lagi. Di kanan kiri gedung istana tua itu kini didirikan bangunan-bangunan pondok di mana murid-murid Pek-liong-pai tinggal dan tempat itu kini terawat baik dan bersih. Para murid atau anggauta Pek-liong-pai selain belajar ilmu silat di tempat itu, juga mereka bekerja dengan rajin, menjaga baik-baik tempat itu dan ada pula yang bertani, memelihara ternak dan sebagainya.   Banyak sudah murid yang tamat belajar lalu meninggalkan Lembah Naga, terjun ke dunia ramai sebagai pendekar-pendekar budiman sehingga mereka inilah yang memperkenalkan dan mengharumkan nama Pek-liong-pai di dunia kang-ouw. Karena sepak terjang para murid lulusan Pek-liong-pai yang gagah perkasa, apalagi mendengar bahwa Pek-liong-pai didirikan oleh putera Pendekar Lembah Naga yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan, maka nama perkumpulan itupun mendatangkan rasa hormat dan segan di hati para pendekar, dan ditakuti oleh para penjahat.   Dalam mengajarkan ilmu-ilmunya, Cia Han Tiong ketua Pek-liong-pai bersikap sangat keras dan berdisiplin. Setiap orang murid yang mengajukan permohonan belajar di situ akan mengalami ujian dulu, diteliti watak dan bakatnya. Setelah belajar, sebelum dinyatakan tamat, murid ini sama sekali tidak boleh meninggalkan lembah. Pendekar ini maklum bahwa pelajar silat masih mentah sajalah yang tidak mampu menguasai dirinya dan suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan ilmu silatnya dan hal ini selain amat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, juga akan menyeret nama Pek-liong-pai ke dalam lumpur.   Ketika dia mendirikan Pek-liong-pai, belasan tahun yang lalu, ayah ibunya masih hidup. Ayahnya, mendiang Cia Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan berjuluk Pendekar Lembah Naga, juga mendiang ibunya adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Menjelang hari akhirnya, Cia Sin Liong dan isterinya hidup tenang di lembah itu, lebih banyak bersamadhi dan menyendiri. Akan tetapi pendekar sakti ini merestui niat puteranya untuk mendirikan perkumpulan agar ilmu keluarga mereka tidak musnah, bahkan pendekar sakti Cia Sin Liong membantu puteranya untuk memberi gemblengan ahlak kepada para murid Pek-liong-pai, dengan mempelajari budi pekerti dan ilmu kesusasteraan. Setelah kemudian suami isteri Pendekar Lembah Naga meninggal dunia dalam usia tua, Han Tiong melanjutkan pendidikan budi pekerti itu dengan tekun dan berdisiplin. Semua anak murid Pek-liong-pai diharuskan bersumpah untuk tidak membunuh orang lain.   "Tiada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacad di dunia ini," demikian antara lain dia menasihatkan murid-murid Pek-liong-pai. "Dan kita sendiripun adalah manusia, maka kitapun tidak terlepas daripada cacad-cacad itu. Setiap orang manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, memiliki kebaikannya dan keburukannya masing-masing. Orang yang sedang tersesat atau melakukan perbuatan yang kita sebut jahat, hanyalah merupakan manusia yang sedang dihinggapi penyakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya. Akan tetapi, seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin inipun dapat sembuh. Orang yang hari ini sakit, besok atau lusa bisa sembuh, orang yang ini hari melakukan peebuatan sesat, besok atau lusa bisa bertobat. Sebaliknya orang yang sedang sehat, jangan sekali-kali te-kebur karena sewaktu-waktu bisa saja dia dihinggapi penyakit batin itu. Jadi, sebagai seorang pendekar yang mengetahui ini semua, yakin bahwa diri sendiripun sewaktu-waktu bisa saja sakit, kita tidak boleh meremehkan dan memandang rendah kepada orang-orang yang sedang sakit batinnya. Yang kita berantas adalah penyakit batinnya itu, bukan orangnya. Sebaliknya kita menyadarkan mereka, dan itu berarti mengusahakan pengobatan. Kalau perlu memang kita dapat menggunakan ilmu silat kita untuk menundukkannya, menghajarnya, agar dia jera. Akan tetapi ingat, seorang yang bagaimana jahatnyapun adalah seorang manusia, sama dengan kita, maka tidak berhaklah kita untuk membunuhnya."   "Akan tetapi, suhu," ada seorang murid yang memberanikan diri untuk membantah, "bagaimana kalau ada orang jahat yang sesudah dihajar berkali-kali, belum juga mau bertobat dan masih saja melanjutkan kejahatannya?"   Cia Han Tiong tersenyum lebar. "Ada juga penyakit badan yang sukar diobati. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kita lalu boleh membunuh saja orang sakit yang tidak mudah diobati itu! Cepat atau lambatnya dia bertobat tergantung dari keadaan badannya, tergantung dari berat ringannya penyakitnya. Tidak ada istilah bosan dalam usaha pengobatan, baik pengobatan terhadap penyakit badan maupun penyakit batin."   "Maaf, suhu," seorang murid lain membantah. "bagaimana kalau kita bertemu dengan orang jahat, atau yang suhu sebut sebagai orang yang sedang sakit batinnya, dan orang itu menyerang dan hendak membunuh kita? Apakah kita harus membiarkan diri sendiri terbunuh olehnya karena kita tidak boleh membunuhnya?"   "Jangan kalian salah paham," Han Tiong menjawab. "yang dinamakan membunuh hanyalah perbuatan yang kita sengaja lakukan karena kebencian di hati. Menjaga dan melindungi diri sendiri dari kehancuran dan kematian merupakan suatu keharusan dalam hidup. Kalau untuk membela diri, untuk melindungi diri, baik terhadap ancaman maut di tangan binatang atau manusia, terpaksa kita mero-bohkan penyerang itu sampai dia tewas, bukan pembunuhan yang kita lakukan de-ngan sengaja, maka hal itu tidaklah bu-ruk. Aku tidak melarang perbuatan tidak disengaja seperti itu. Akan tetapi, seda-pat mungkin, cegahlah serangan yang da-pat mematikan lawan."   Demikianlah antarsa lain gemblengan batin yang diberikan oleh Cia Hen Tiong terhadap murid-muridnya. Oleh karena i-tu, para murid yang dinyatakan lulus kemudian terjun ke dalam dunia ramai se-bagai seorang pendekar Pek-liong-pai, dengan pakaian putih mereka, selalu men-datangkan kagum di dunia kang-ouw. Pa-ra pendekar menghormati nama Pek-liong-pai yang menentang kejahatan tanpa rasa benci perorangan kepada pelaku-pelaku kejahatan itu sendiri. Jarang sekali ter-jadi seorang penjahat tewas di tangan murid Pek-liong-pai, walaupun dengan il-mu silatnya yang tinggi murid Pek-liong-pai itu menekan si penjahat untuk meng-hentikan kejahatannya.   Cia Han Tiong den isterinya hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Sun. Seperti juga para murid lain dari Pek-liong-pai, Cia Sun juga digembleng oleh ayahnya, bahkan penggemblengan terhadap dirinya lebih hebat tentu saja sehingga dalam usia dua puluh tahun sa-ja Cia Sun telah mewarisi semua ilmu kepandaian ayahnya. Juga dia mewarisi watak ayahnya yang pendiam, halus pe-nuh perasaan, berwibawa, jujur den setia, seorang kuncu atau budiman lahir batin seperti yang dimaksudkan dalam pelajar-an Nabi Khong Cu.   Pada pagi hari yang cerah itu, Cia Han Tiong dan isterinya bercakap-cakap sambil duduk di serambi depan istana kuno yang menjadi tempat tinggal mereka. Pagi itu cerah sekali dan hawanya segar, membuat orang merasa tubuhnya sehat den batinnya tenteram. Cia Han Tiong sudah berusia empat puluh tujuh tahun kurang sedikit, akan tetapi dia masih kelihatan gagah perkasa dan wa-jahnya membayangkan watak yang budi-man, halus peramah. Tubuhnya yang tegap membayangkan tenaga yang kuat dan patutlah kalau dia menjadi ketua Pek-liong-pai yang gagah perkasa. Isterinya, Ciu Lian Hong, sudah berusia empat pu-luh dua tahun, masih nampak muda dan cantik. Mereka bercakap-cakap dan membicarakan putera mereka yang pergi me-wakili Pek-liong-pai menghadiri pertemu-an para pendekar di Puncak Bukit Pe-rahu.   "Mudah-mudahan tidak terjadi keributan di selatan sana," kata Cia Han Tiong kepada isterinya. "Aku tidak ingin melihat Cia Sun terlibat dalam permusuhan yang tiada hentinya antara golongan hitam dan golongan putih. Kalau dia terlibat, berarti seluruh Pek-liong-pai akan terlibat pula."   Isterinya menarik napas panjang. "Aku selalu menghargai pendirianmu, suamiku, dan memang aku dapat melihat bahwa kekerasan tidak mungkin dapat melenyapkan kekerasan. Akan tetapi, golongan hitam dan golongan putih merupakan dua golongan yang berdiri saling berhadapan dan saling bertentangan. Mana mungkin mencegah kedua golongan yang saling bertentangan itu untuk tidak bentrok dan bermusuhan?"   "Aaah, itulah yang kadang-kadang menyedihkan hati sekali. Golongan hitam dianggap melakukan kejahatan dengan menggunakan kekerasan. Kemudian golongan putih menentang mereka dengan kekeras-an pula. Kalau keduanya sudah menggu-nakan kekerasan, maka sukarlah untuk dinilai siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk. Seyogianya mereka yang menamakan dirinya golongan putih itu melenyapkan dulu perasaan dendam dan benci dari hati mereka sehingga tin-dakan mereka bukan dilandasi kebencian melainkan dilandasi cinta kasih..."   "Cinta kasih? Cinta kasih terhadap kaum sesat yang jahat seperti iblis...?" Isterinya bertanya, kaget sendiri akan kenyataan sikap suaminya yang dianggap tak masuk akal ini.   Suaminya menggeleng kepala. "Bukan terhadap golongan tertentu. Melainkan cinta kasih antara manusia. Dan manusia itu siapa saja, tidak memilih golongan. Dengan dasar ini, maka mereka yang merasa bersih itu bertindak dengan dasar menyadarkan, membersihkan, membimbing ke arah yang benar."   Ciu Lian Hong bangkit berdiri. Pusing ia kalau sudah bicara tentang kehidupan dengan suaminya. Pandangan suaminya berbeda dengan umum, karena itu kadang-kadang membingungkannya. "Ah, kalau saja Cia Sun pulang..." katanya dan iapun berdiri di depan serambi, memandang ke depan, jauh ke arah hutan yang membentang luas di depan istana Lembah Naga. Suaminya juga bangkit lalu menghampiri isterinya, berdiri di samping isterinya.   "Hong-moi, aku tahu bahwa engkau ingin sekali melihat Sun-ji menikah dan engkau ingin sekali menimang cucu. Biarlah kalau dia pulang aku akan bicara mengenai hal itu dan secepatnya aku akan mencari adik Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah..."   Ciu Lian Hong menoleh kepada suaminya, "Jangan dulu, suamiku. Biarkanlah anak kita itu meluaskan pengalamannya. Siapa tahu dia akan bertemu sendiri dengan calon jodohnya. Dalam perjodohan, kita tidak boleh memaksa dan memperkosa hatinya. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri. Setujukah engkau, suamiku?" Berkata demikian, isteri yang mencinta suaminya itu menaruh tangannya di pundak suaminya, menggelendot dan bersandar pada pundak suaminya yang kuat dengan sikap manja dan mesra.   Han Tiong menahan senyumnya dan menarik napas panjang sambil merangkul isterinya yang tercinta. Selalu isterinya mengatakan demikian kalau dia bicara tentang niat hatinya menjodohkan Cia Sun dengan puteri Ceng Thian Sin. Siapa lagi nama anak perempuan Ceng Thian Sin, anak perempuan yang ketika kecilnya sudah nampak bengal dan berwatak keras itu? Ceng Sui Cin, ya, begitulah namanya. Pernah anak itu ikut ayahnya ketika berkunjung kira-kira sepuluh tehun yang lalu! Dan dia tahu betul mengapa isterinya kelihatan tidak setuju dan tidak rela menjodohkan Cia Sun dengan Ceng Sui Sin. Bukan karena anak perempuan itu sendiri karena mereka berdua belum tahu bagaimana keadaan anak perempuan itu sekarang setelah dewasa. Akan tetapi, isterinya itu terutama sekali merasa enggan untuk berbesan dengan Pendekar Sadis! Hal ini tidaklah aneh karena di waktu masih gadis dulu, hubungan antara Lian Hong dan Thian Sin erat sekali. Bahkan dia tahu benar betapa Thian Sin pernah mencinta Lian Hong setengah mati, dan seolah-olah terjadi perebutan di dalam hatinya antara dia dan Thian Sin terhadap Lian Hong. Dia bersedia mengalah, akan tetapi akhirnya ternyata bahwa Lian Hong memilih dia dan menjadi isterinya, sedangkan Ceng Thian Sin menikah, atau lebih tepat, hidup bersama sebagai suami isteri dengan Toan Kim Hong. Satu di antara sebab yang membuat Lian Hong memilihnya adalah karena Thian Sin berwatak kejam, bahkan menjadi Pendekar Sadis yang ditakuti orang. Hubungan itulah, dan watak Thian Sin yang kejam sebagai pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis itulah yang membuat Lian Hong kini berkeberatan untuk menjodohkan puteranya dengan puteri Pendekar Sadis. Jadi, bukan gadis itu yang memberatkan hatinya, melainkan ia tidak mau berbesan dengan Thian Sin!   Pada pagi hari itu, dari luar hutan yang menjadi batas terakhir dari Lembah Naga, nampak seorang kakek dan seorang nenek berjalan memasuki hutan. Kakek dan nenek itu tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan melihat keadaan-nya, mereka itu seperti seorang kakek dan seorang nenek petani biasa saja. Ke-duanya berjalan dibantu oleh tongkat me-reka. Kakek itu bertongkat hitam den si nenek bertongkat putih. Baju mereka longgar dan kepala mereka dilindungi caping lebar dari kulit bambu. Ketika mereka tiba di tengah hutan itu dan melihat ada gundukan besar dari tiga batu bertumpuk, mereka berhenti, termenung sejenak.   "Benar di sinilah tempat itu, kanda?" tanya si nenek dengan suara halus dan penuh kemesraan sambil memandang gundukan tiga bongkah batu bertumpuk itu. Kelau menggunakan tenaga orang biasa, agaknya akan dibutuhkan puluhan orang untuk mengangkat den menumpuk tiga buah batu besar yang amat berat itu.   "Benar, adinda. Di sinilah. Lihat di permukaan batu paling bawah, bukankah di situ masih ada tulisannya?" jawab si kakek. Mereka berdua memandang tulisan huruf asing di atas permukaan batu paling bawah.   TEMPAT GUGURNYA BIBI GURU HEK-HIAT MO-LI   "Tidak salah lagi, suhu kita yang me-numpuk tiga bongkah batu ini untuk memperingati kematian nenek guru Hek-hiat Mo-li. Ahh, tenaga suhu sudah begini hebat akan tetapi tidak mampu mengalah-kan musuh," kata lagi si nenek.   "Jangan keliru. Pada waktu itu, suhu hanya memiliki tenaga yang kuat saja akan tetapi belum menyempurnakan Ilmu Im-kan Sin-hoat (Ilmu Sakti Akhirat), dan sekarang setelah berhasil menyempurnakan ilmu itu, suhu kehabisan tenaga dan meninggal dunia sebelum dapat mencari ke sini."   "Engkau benar, kanda. Untunglah bah-wa dia telah mewariskan ilmu itu kepada kita dan setelah kita melatih diri dengan sempurna, kini tiba saatnya bagi kita un-tuk membalas dendam kepada Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"   "Mau keturunannya, atau muridnya, akan kita gempur dan basmi sampai ha-bis seakar-akarnya!"   Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tumpukan tiga bongkah batu itu memberi hormat, kemudian seje-nak mereka bersamadhi di tempat itu se-perti orang mohon berkah. Ketika akhirnya mereka bangkit berdiri, wajah me-reka penuh semangat dan dengan langkah tegap mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Istana Lembah Naga.   Ketika mereka keluar dari hutan dan melihat bangunan kuno menjulang tinggi di depan, mereka berhenti lagi. Bagaima-napun juga, wajah mereka nampak tegang dan agaknya mereka gentar juga melihat istana tua yang kokoh itu, seolah-olah melambangkan kekokohan dan kekuatan para penghuninya. Kemunculan mereka itu bukan dari depan istana, melainkan dari samping kanan, maka mereka tidak melihat bahwa pada saat itu ketua Pek-liong-pai dan isterinya sedang berdiri di serambi depan. Sebaliknya, empat ang-gauta Pek-liong-pang yang bertugas di sebelah kanan istana itu, melihat kemun-culan kakek dan nenek yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu. Tentu saja mereka merasa heran dan cepat me-reka menunda pekerjaan mereka. Dua o-rang di antara mereka menghampiri dan melihat bahwa yang datang adalah dua orang tua, dua murid Pek-liong-pai cepat memberi hormat. Itulah satu di antara ajaran yang mereka dapatkan di perguru-an Pek-liong-pai, yaitu menghormat o-rang yang lebih tua.   "Maaf, lopek berdua hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara dua murid Pek-liong-pai itu.   Kakek dan nenek itu memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, ke-mudian si kakek bertanya, suaranya ter-dengar asing dan kaku, tanda bahwa dia adalah seorang asing, "Kami mencari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong!"   Dua orang murid tingkat tiga dari Pek-liong-pai itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kakek dan nenek ini mencari kakek guru mereka yang telah meninggal dunia!   "Tapi... beliau telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu..."   Kini kakek dan nenek itu saling pandang dengan wajah membayangkan kekecewaan. Kakek itu lalu menoleh ke arah istana tua dan bertanya, "Lalu, siapa yang tinggal di dalam istana itu?"   "Yang tinggal di situ adalah suhu dan subo..."   "Siapakah mereka?" tanya si nenek dengan cepat.   "Suhu adalah ketua Pek-liong-pai, perkumpulan kami..."   "Apa hubungannya dengan Pendekar Lembah Naga?"   Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, dua orang murid Pek-liong-pai mengerutkan alisnya. Kakek dan nenek ini jelas orang asing, akan tetapi sungguh tidak sopan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi seperti hakim memeriksa pesakitan saja. Akan tetapi demi kesopanan terhadap orang yang jauh lebih tua, mereka menjawab juga.   "Suhu adalah putera beliau."   Dua pasang mata tua itu memancarkan sinar yang mengejutkan hati dua orang murid Pek-liong-pai itu. "Jadi kalian adalah cucu murid Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong si jahanam?" teriak si nenek marah.   Dua orang laki-laki yang usianya mendekati tiga puluh tahun itu terkejut akan tetapi mengangguk. Tiba-tiba nampak sinar berkelebat ketika kakek dan nenek itu menggerakkan tongkat mereka ke depan. Dua orang murid Pek-liong-pai terkejut sekali dan berusaha menghindarkan diri dari serangan kilat itu. Namun, gerakan mereka jauh kalah cepat.   "Kekkk! Kekk!" Dua orang murid Pek-liong-pai itu terjengkang roboh dan tewas seketika dengan lubang tepat di tenggorokan mereka yang mengucurkan darah hitam! Mereka roboh dan tewas tanpa berkelojotan lagi. Sungguh mengerikan dan hebat bukan main serangan kakek dan nenek itu.   Dua orang murid lain yang melihat betapa dua orang saudara seperguruan mereka roboh dan tidak bangkit kembali, menjadi kaget dan merekapun cepat lari menghampiri ke tempat itu. Ketika mereka melihat kenyataan yang mengejutkan bahwa dua orang saudara mereka itu telah tewas dengan mata mendelik dan leher berlubang, tentu saja keduanya marah bukan main.   "Kenapa kalian membunuh dua orang sute kami?" bentak seorang di antara mereka.   "Mampuslah!" Kakek itu membentak dan kembali dua batang tongkat kakek dan nenek itu menyambar ke depan. Akan tetapi, dua orang murid Pek-liong-pai itu selain lebih tangkas daripada dua orang sute mereka yang tewas, juga mereka telah siap sedia karena sudah tahu bahwa kakek dan nenek itu adalah orang orang yang memusuhi mereka, maka sambaran tongkat itu dapat mereka elakkan dengan cara melempar tubuh ke belakang.   Akan tetapi kakek dan nenek itu menyerang terus dengan gerakan yang amat dahsyat. Mereka hanya mampu mengelak beberapa kali dan ketika terpaksa mereka menangkis, terdengar suara nyaring dan tulang lengan mereka patah bertemu tongkat. Seorang di antara mereka sempat mengeluarkan pekik melengking untuk memperingatkan semua murid Pek-liong-pai sebelum mereka berdua roboh, sekali ini bukan oleh tusukan ujung tongkat, melainkan karena tamparan tangan kiri kakek dan nenek itu. Tamparan itu hebat bukan main karena sama sekali tidak dapat dielakkan lagi dan robohlah mereka dengan tubuh utuh. Kepala mereka yang kena ditampar dan tanpa kelihatan terluka, mereka roboh dan tewas seketika. Hanya nampak tanda menghitam di pelipis mereka bekas tangan kakek dan nenek itu. Ternyata isi kepala mereka telah terguncang dan rusak oleh tenaga tamparan yang amat ampuh itu!   Akan tetapi pekik melengking yang dikeluarkan oleh seorang di antara dua murid Pek-liong-pai sebelum mereka tewas tadi, mengejutkan semua murid Pek-liong-pai. Pada waktu itu, di Lembah Naga terdapat tidak kurang dari empat puluh orang murid, terdiri dari tingkat pertama, kedua dan ketiga. Akan tetapi pada saat itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, ada pula yang berburu binatang sehingga pada pagi hari itu, yang berada di sekitar istana hanya ada dua puluh lima orang termasuk empat yang tewas itu. Dan di antara dua puluh lima orang ini, yang tingkat satu dan hanya menanti dinyatakan lulus hanya ada tiga orang, selebihnya adalah murid-murid tingkat dua dan tiga.   Kakek dan nenek itu menyeringai penuh ejekan ketika mereka melihat dua puluh orang murid Pek-liong-pai yang rata-rata mengenakan pakaian putih itu berdatangan dari segenap penjuru ada yang masih membawa cangkul, sapu dan lain-lain. Biarpun sudah melihat bahwa empat orang saudara mereka tewas dan pembunuhnya tentu kakek dan nenek itu, namun mentaati ajaran dan perintah guru mereka, dua puluh orang lebih murid-murid Pek-liong-pai itu tidak sembrono turun tangan mengeroyok, melainkan mengepung saja agar kakek dan nenek pemhunuh itu tidak dapat melarikan diri. Tiga orang murid tingkat pertama yang berada di situ bertindak sebagai pemimpin. Mereka berdiri menghadapi kakek dan nenek itu, dan seorang di antara mereka yang usianya sudah hampir empat puluh tahun, melangkah maju dan memberi hormat.   "Siapakah locianpwe berdua dan apa kesalahan adik-adik seperguruan kami maka ji-wi locianpwe (dua orang gagah) turun tangan membunuh mereka dan kami terpaksa menuntut agar ji-wi suka menyerah dan menghadap ketua kami?"