Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada saat itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.   "Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"   "Hemm, dengan lain kata-kata, engkau menanyakan pembunuh ibumu untuk dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"   "Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Kalau sebagai anak ibu aku tidak mencari pembunuhnya dan membalas sakit hatinya, apakah ibu tidak akan menjadi setan penasaran?"   "Cia Sun!" Ayahnya membentak dan dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, melainkan memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang telah meninggal dunia itu kini menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"   Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"   "Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang akan kaulakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, melainkan keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."   Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul karena dia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.   "Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka ia sampai dibunuh orang?"   Cia Han Tiong menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas-membalas, baik membalas budi maupun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam kepada keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, ibumu dan belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu tentang mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"   Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.   "Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkaupun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tidak kaukenal untuk kaubunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"   Cia Sun terkejut, tak mengira bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"   "Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh-membunuh, menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas-membelas tiada akhirnya? Mata rantai itu kini berada di tanganmu, mau kaupatahkan ataukah mau kausambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, mencari pembunuh ibu dan para suhengmu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kaukira sudah selesai sampai di situ saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, merekapun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus-menerus begitu, tiada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga dan rantai belenggu itupun patah."   Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti akan penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"   "Andaikata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu dan suheng-suhengmu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."   "Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."   "Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua datang jauh dari negeri Sailan untuk mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas den-dam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku seke-luarga. Dan dalam perkelahian itu, para suhengmu dan ibumu jatuh sebagai kor-ban dan tewas."   "Dan kedua iblis itu?"   "Mereka telah pergi dalam keadaan luka."   "Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kong-kong? Meng-apa mereka hanya membunuh ibu dan pa-ra suheng, dan melepaskan ayah?"   Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu ka-rena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."   Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"   Ayahnya mengangguk. "Mereka itu lihai bukan mainm akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."   "Dan melukai mereka?"   "Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"   "Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."   "Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, me-mandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah telah mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"   Ayahnya mengangguk. "Aku sendiripun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan akupun tidak luput daripada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarge akan terperosok semakin dalam kalau aku menuruti nafsu kebencian, ma-ka aku sengaja membiarkan mereka per-gi."   "Dan dengan perbuatan itu ayah me-rasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan putus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka berusaha untuk membunuh kita? Apakah kitapun harus diam saja menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.   Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa merekapun telah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa menyesal sekali. Dan andaikata benar seperti yang kaukatakan tadi, andaikata mereka itu pada suatu hari datang dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita tentu saja kita akan melawan mereka."   "Hemm, bukankah itu sama saja namanya, ayah? Kitapun akan menggunakan kekerasan apabila diserang dan kalau mereka itu lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas dalam perkelahian itu?"   "Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Kalau kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya den sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri berusaha melepaskan diri daripada ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."   Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang amat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.   "Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tidak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batin sendiri dari cengkeraman beracun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."   Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.   Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.   Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam. Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya. Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya di mana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.   Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis. Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah di antara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.   Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya, "Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"   Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap. Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.   "Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.   "Ha-ha-ha!" Kakek itu tertaa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"   Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan na-danya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebenci-an, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.   "Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan u-rusan kematian ibuku?"   "Ha-ha, engkau belum tahu siapa pem-bunuh ibumu, hanya mendengar nama sa-ja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!" Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. "Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara memben-tak.   "Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku me-miliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah pu-tera seorang pendeker yang berhati lemah, yang tidak mmiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."   "Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.   "Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"   Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga. Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!   Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan, "Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!" Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.   Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa! Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya. Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahakakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat. Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian. Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat di antara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.   "Wuuuttt... singgg...!" Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdengar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.   "Plak! Plak!" Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.   Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar. "Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?" Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang den menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.   "Desss...!" Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya ke arah kepala dan dada Cia Sun.   "Heh!" Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dengah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!   "Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!" Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya. Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!   "Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"   Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu me-nerjangnya dengan tendangan- tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya ke-na tendangan dan diapun terguling lagi. Dan sekali ini, sebelumdia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.   "Iblis busuk, kalau engkau hendak membasmi kelurga kami, lakukanlah. Bunuhlah, aku tidak takut mati!"   "Ha-ha-ha!" kakek itu menarik tangannya dan melangkah mundur. "Orang muda, kalau aku ini Hek-hiat Lo-mo, apa kaukira engkau masih hidup sekarang ini?"   Sadarlah Cia Sun bahwa kakek ini sesungguhnya bukanlah musuh, melainkan seorang aneh yang agaknya tadi sengaja hendak menguji ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa banyak sekali orang pandai di dunia ini yang berwatak aneh dan agaknya kakek inipun seorang di antara orang-orang aneh itu yang tidak dikenalnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun lalu bangkit duduk dan berlutut menghadap kakek itu.   "Maaf kalau saya keliru menilai orang. Siapakah locianpwe sebenarnya?" tanyanya dengan sikap hormat.   "Orang muda, siapa adanya aku tidaklah begitu penting dan baru akan kujawab satelah engkau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku."   Kini sudah hilang rasa marah di hati Cia Sun terhadap orang aneh yang dia percaya adalah seorang sakti ini. "Silakan bertanya, locianpwe."   "Engkau adalah putera keluarga gagah perkasa yang selalu mengutamakan kebaikan. Ibumu adalah seorang wanita gagah yang berhati mulia, dan murid-murid Pek-liong-pai adalah pendekar-pendekar yang baik hati. Akan tetapi pada suatu hari, malapetaka datang menimpa. Dua orang manusia berhati iblis telah menyebar maut, membunuh ibumu dan para suhengmu, yang sama sekali tidak bersalah terhadap dua orang itu. Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau ingin membiarkan saja kejahatan itu, sama sekali tidak mendendam dan tidak ingin mencari dan membunuh kedua orang itu untuk membalas dan juga untuk membasmi orang-orang yang demikian jahatnya?"   Cia Sun mengepal tinju, hatinya terasa seperti api disiram minyak, semangatnya semakin berkobar. "Tentu saja, locianpwe! Saya akan berusaha mencari dan membunuh kedua iblis jahat itu!"   Kakek itu mengangguk-angguk. "Benarkah itu? Bukankah ayahmu, ketua Pek-liong-pai yang berhati mulia dan suka mengalah itu tidak menghendaki demikian?"   Diam-diam Cia Sun terkejut. Orang aneh ini agaknya tahu segala-galanya, bukan hanya yang menimpa keluarganya, akan tetapi juga tahu akan watak ayahnya. Tentu saja hatinya memberontak dan dia ingin mempertahankan kehormatan dan nama ayahnya, ingin membenarkan dan membela pendirian ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu batinnya sudah terlalu panas oleh dendam sehingga pertanyaan itu bahkan membut dia melihat lebih jelas lagi akan kesalahan dalam pendapat ayahnya itu.   "Mungkin ayah berpendapat demikian, akan tetapi saya tidak! Saya tidak ingin menjadi orang selemah itu dan membiarkan kejahatan berlangsung tanpa memberi hukuman dan tanpa membalas!"   "Jadi engkau ingin membelas dendam? Tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"   "Mereka adalah Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo."   "Tahukah pula engkau di mana adanya mereka?"   Cia Sun memandang bingung dan menggeleng kepala. "Saya tidak tahu, locianpwe. Akan saya cari mereka sampai dapat!"   "Orang muda, semangatmu cukup besar, akan tetapi jangan mengira akan mudah saja mencari mereka. Mereka itu adalah pendatang dari Sailan dan kini menyembunyikan diri. Pula, andaikata dapat bertemu, belum tentu engkau dapat mengalahkan mereka. Sekarang begini. Aku tertarik kepadamu, kagum akan kelihaianmu dan kegagahanmu. Ilmu silatmu sudah hebat dan jarang ada yang akan dapat menandingimu kalau ilmu-ilmu yang kaumiliki itu sudah dapat kaukuasai sampai matang. Ibarat buah engkau masih belum matang benar, dan ibarat batu giok engkau belum digosok. Maukah engkau menjadi muridku dan membiarkan aku membimbingmu selama satu tahun kemudian kutunjukkan kepadamu di mana adanya dua orang musuh besarmu itu?"   Bukan main girangnya hati Cia Sun. Tanpa banyak sangsi lagi dia lalu memberi hormat sambil berlutut dan menjawab. "Saya bersedia dan saya mau, locianpwe!"   "Nah, kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah Go-bi San-jin, seorang pertapa usil yang tidak terkenal dan mulai sekarang engkau harus ikut bersamaku tanpa memberi tahu ayahmu."   "Baik, suhu. Teecu mentaati perintah suhu," kata Cia Sun dan malam hari itu juga dari makam ibunya dia langsung saja pergi mengikuti gurunya tanpa memberitahukan ayahnya! Dendamnya sudah sedemikian besarnya sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat membalas kematian ibunya dan para suhengnya.   ***   Rumah besar di Ta-tung itu tentu akan dianggap sebagai rumah seorang hartawan atau setidaknya rumah bangsawan oleh orang-orang yang baru datang di kota itu. Penduduk Ta-tung juga hanya mengetahui bahwa rumah besar itu adalah milik seorang hartawan kaya raya bershe (marga) Siangkoan. Akan tetapi hartawan yang kabarnya usianya sudah amat lanjut dan sakit-sakitan itu jarang kelihatan orang, kabarnya selalu bersembunyi di dalam kamarnya dan dilayani oleh belasan orang pelayan! Hanya kadang-kadang saja orang melihat kakek hartawan ini keluar rumah memasuki sebuah kereta yang mewah, entah pergi ke mana. Pendeknya, pemilik rumah besar itu diketahui orang sebagai Siangkoan-wangwe (Hartawan Siangkoan) yang sudah tidak kelihatan aktip berdagang lagi, agaknya seorang kakek pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan harta kekayaannya. Akan tetapi kalau saja orang dapat melihat tembus tembok tebal itu dan menyaksikan apa yang seringkali terjadi di dalam rumah itu, orang akan terheran-heran dan terkejut bukan main. Kiranya kakek hartawan yang kabarnya sakit-sakitan ini sebetulnya adalah seorang datuk kaum sesat yang ditakuti hampir semua anggauta dunia hitam. Juga para pendekar di dunia kang-ouw merasa serem kalau mendengar namanya. Dia adalah Siangkoan Lo-jin (Kakek Siangkoan) yang lebih terkenal dengan julukan Iblis Buta! Dengan menyamar sebagai seorang hartawan tua renta yang sakit-sakitan, Siangkoan Lo-jin dapat terbebas dari gangguan, dan lolos dari pengamatan para pendekar dan juga dari pemerintah yang pada waktu itu sedang sibuk mencarinya sehubungan dengan aksi gerakan pembersihan yang dilakukan oleh para petugas pemerintah atas perintah dari kaisar sendiri. Siangkoan Lo-jin dikenal sebagai pemimpin semua gerakan rahasia, persekutuan yang bekerja untuk kepentingan Liu-thaikam yang sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman mati itu. Akan tetapi, alat pemerintah tidak berhasil menemukannya, bahkan tidak berhasil pula menemukan para tokoh sesat Cap-sha-kui yang menjadi para pembantu utama dari Siangkoan Lo-jin. Pemerintah hanya mampu membasmi anak buah penjahat saja seperti perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang dan lain-lain.   ***   Pada suatu malam setelah gerakan pembersihan dari pasukan pemerintah agak mereda di kota Ta-tung yang dekat dengan kota raja, di sebelah dalam rumah besar itu terjadi kesibukan. Para komandan keamanan di kota Ta-tung bisa mati berdiri kalau tahu apa yang terjadi di dalam rumah besar itu. Kiranya pada malam hari itu, seluruh tokoh pemberontak yang dicari-cari pemerintah telah berkumpul di rumah itu. Di malam gelap itu, seperti iblis-iblis gentayangan, berturut-turut datang berkelebatan bayangan-bayangan hitam memasuki rumah besar. Mereka ini adalah tokoh-tokoh sesat dari Cap-sha-kui yang terilbat dalam pemberontakan di bawah pimpinan Liu-thaikam yang datang untuk memenuhi panggilan Siangkoan Lo-jin yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka dalam persekutuan itu.   Menjelang tengah malam, di waktu kota Ta-tung menjadi sunyi dan sebagiab besar penduduknya sudah tidur nyenyak, lengkaplah para tamu aneh yang berdatangan ke rumah besar menghadap Siangkoan Lo-jin. Di dalam ruangen di belakang, sebuah ruangan luas, mereka berkumpul, duduk menghadapi meja besar panjang dengan berkeliling. Para pelayan Siangkoan Lo-jin yang sesungguhnya bukan orang-orang biasa melainkan anak buah yang rata-rata memiliki ilmu silat tangguh, kini mengadakan penjagaan ketat walaupun mereka yakin bahwa rumah itu aman dan tidak pernah dicurigai orang.   Ruangan itu luas dan terang sehingga nampak jelas wajah mereka yang duduk mengelilingi meja besar panjang. Di kepala meja duduk Siangkoan Lo-jin sendiri, seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dengan pakaian hitam sederhana, pakaiannya sebagai Si Iblis Buta, berbeda dari pakaian hartawan yang dikenakannya kalau dia kebetulan keluar sebagai pemilik rumah. Kini pakaian hitamnya amat sederhana dan longgar. Kedua matanya mengerikan, nampak putihnya saja dan tak pernah berkedip. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat kayu cendana hitam yang selain menjadi pembantunya dalam meraba-raba mencari jalan, juga merupakan sebuah senjatanya yang ampuh sekali. Sebetulnya kakek buta ini memiliki sebuah rumah di Pao-ci, di Propinsi Shen-si, akan tetapi semenjak kegagalan persekutuannya yang mengabdi kepada Liu-thaikam, terpaksa dia bersembunyi di Ta-tung ini, di mana dia dikenal sebagai seorang hartawan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa lagi.   Di sebelah kirinya duduk seorang pemuda, yaitu Siangkoan Ci Kang, putera tunggalnya. Ci Kang tidak dapat mengingat ibu kandungnya dengan baik. Seingatnya, ketika masih kecil pernah dia diasuh oleh seorang wanita yang menurut ayahnya adalah ibunya yang tewas ketika dia masih kecil. Dia hidup bersama ayahnya, digembleng oleh ayahnya yang buta dan harus diakuinya bahwa ayahnya amat mencintanya, walaupun dengan caranya sendiri yang aneh. Seluruh ilmu kepandaian ayahnya diwariskan kepadanya dan karena memang dia amat berbakat, biarpun kini usianya baru delapan belas tahun lebih, namun dia telah dapat mewarisi kepandaian itu. Siangkoan Ci Kang duduk seperti arca, diam dan wajahnya membayangkan hati yang dingin dan tidak perdulian. Pakaiannya seperti ayahnya, amat sederhana, bahkan jubahnya terbuat dari kulit harimau yang kuat. Usianya baru delapan belas tahun, akan tetpi tubuhnya tinggi tegap. Pada saat itu dia duduk dengan sepasang alis berkerut seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuat dia merasa tidak gembira. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sejak semula, dia sudah tidak setuju mendengar ayahnya memimpin Cap-sha-kui dan para tokoh sesat untuk menjadi antek pembesar korup Liu-thaikam. Dia tidak setuju, akan tetapi betapapun juga, sebagai seorang anak yang mencinta ayahnya, dia selalu membantu ayahnya, walaupun bantuan itu lebih merupakan perlindungan karena dia tidak pernah mau membantu kalau teman-teman ayahnya melakukan kejahatan. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang datuk sesat, akan tetapi diapun tahu, bahkan merasa yakin, bahwa sesungguhnya ayahnya bukanlah orang jahat, melainkan orang yang diracuni dendam setelah kedua matanya menjadi buta. Ayahnya hanya ingin menonjol, ingin menjadi orang nomor satu dalam dunia sesat, dan dia merasa kasihan melihat ayahnya yang buta, juga kagum bahwa ayahnya yang buta itu ternyata masih mampu menguasai dan memimpin orang-orang sesat yang jahat seperti iblis macam gerombolan Cap-sha-kui itu.   Berturut-turut mereka datang dan kini sudah berkumpul di situ dengan lengkap. Semua tokoh Cap-sha-kui yang pernah bekerja sama dengan Siangkoan Lo-jin. Mereka adalah Koa-i Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dan Tho-tee-kwi Si Setan Bumi. Memang hanya enam orang ini saja dari Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis) yang tersangkut dalam gerakan membantu Liu-thaikam yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin. Sebenarnya Cap-sha-kui bukan merupakan suatu gerombolan dari tiga belas orang datuk sesat, akan tetapi mereka itu masing-masing memiliki nama besar dan keistimewaan sehingga dunia kang-ouw mengenal mereka sebagai Tiga Belas Iblis. Karena nama sebutan ini maka mereka, tiga belas orang tokoh sesat, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikat mereka satu sama lain, yaitu nama itulah. Sedikit banyak nama sebutan Tiga Belas Iblis itu mendatangkan semacam perasaan setia-kawan dalam hati mereka. Akan tetapi, kecuali yang enam orang ini, yang lain dari mereka tidak tertarik dan tidak mau mencampuri urusan pemberontakan itu.   Mereka sedang bercakap-cakap dengan wajah muram dan lesu, membicarakan kegagalan mereka dan hancurnya persekutuan mereka dengan ditangkap dan dihukum matinya Liu-thaikam yang merupakan sumber uang dan harapan mereka untuk dapat meraih kedudukan. Terutama sekali Siangkoan Lo-jin menjadi kecewa dan penasaran sekali.   "Brakkk!" Dia menggebrak meja sampai ruangan itu tergetar oleh hawa pukulan yang keluar dari gerakannya. "Sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Bagaimana untuk pekerjaan membunuh dua orang pejabat saja sampai gagal, bukan saja gagal, bahkan membuat usaha kita hancur dan Liu-thaikam sampai terhukum mati. Kegagalan itu sendiri tidaklah begitu menyedihkan, akan tetapi telah menyeret nama kita ke dalam lumpur. Masa kita, yang sudah dikenal sebagai tokoh-tokoh utama, sampai gagal dan hancur dalam usaha membunuh dua orang pejabat saja?"   Kui-kok Lo-mo yang mewakili teman-temannya berkata dengan suara lirih, jelas bahwa diapun jerih terhadap kakek buta itu. "Lo-jin, harap maafkan kami. Bukan sekali-kali karena kami kurang hati-hati. Semua rencana sudah kami atur sebaik-baiknya, bahkan kami dibantu oleh tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sungguh menjemukan pemuda Cin-ling-pai itu! Dia pula yang menggagalkan rencana kita. Dia yang dahulu menyamar sebagai Menteri Liang, dan dia pula yang menylamatkan Jenderal Ciang dari dalam pesta Ang-kaumu. Dan ternyata bahwa pesta itupun agaknya telah diatur oleh pemuda itu untuk menjebak dan memancing kami. Kalau tidak ada pemuda itu, tentu tugas kami telah berhasil dengan baik semua."   Pemuda keparat itu pula yang telah menyelamatkan ketua Kang-jiu-pang Song Pak Lun ketika aku dan Hwa-hwa Kui-bo menyerbu!" kata Koai-pian Hek-mo dengan suara lantang dan marah.   "Bukan hanya pemuda putera ketua Cin-ling-pai, bahkan juga anak setan puteri Pendekar Sadis itu yang menghalangi pekerjaan kita!" Suara Kiu-bwe Coa-li melengking ketika ia ikut bicara. Semua orang menengok kepadanya dan ada yang terkejut.   "Anak Pendekar Sadis? Yang mana?" tanya Kui-kok Lo-bo, terkejut mendengar disebutnya nama Pendekar Sadis oleh rekannya itu. Juga suaminya nampak kaget.   "Hi-hik, sungguh lucu kalau sampai ketua Kui-kok-pang dapat dikibuli dah tidak mengenalnya. Aku sudah menyelidiki dan aku tahu rahasianya. Ia adalah pute-ri atau anak tunggal Pendekar Sadis, kadang-kadang ia memakai pakaian wa-nita biasa, kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Ilmu ke-pandaian gadis itu tinggi sekali, agaknya telah mewarisi semua kepandaian ayah ibunya," kata Kiu-bwe Coa-li, agaknya gembira karena suami isteri Kui-kok-san itu tidak tahu akan rahasia itu sehingga ia yang tahu berarti lebih waspada dan lebih cerdik daripada mereka.   "Aihh, perempuan setan itukah yang kaumaksudkan?" Hwa-hwa Kui-bo berseru kaget. "Apakah ia yang pernah kita jum-pai di kuil Dewi Laut di Ceng-tao?" Ia memandang kepada rekannnya, Koai-pian Hek-mo dengan mata terbelalak dan re-kannya itu mengangguk-angguk, merasa ngeri. Kakek iblis ini bersama Hwa-hwa Kui-bo pernah bertemu dan bertanding melawan seorang gadis yang luar biasa lihainya sehingga mereka berdua kalah. Kiranya gadis itu adalah puteri Pendekar Sadis! Memang, di antara para tokoh se-sat yang dijuluki Cap-sha-kui, dua orang tokoh ini memiliki tingkat kepandaian yang paling rendah maka biarpun mengeroyok, mereka itu masih belum mampu menandingi Sui Cin.   "Brakkk!" kembali Siangkoan Lo-jin menggebrak meja. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa kedua matanya buta sehingga biarpun dia lihai akan tetapi dia tidak dapat menyaksikan sendiri semua itu dan tidak dapat mengenal kedua orang muda yang telah menggagalkan semua usahanya. Kini Liu-thaikam telah dihukum mati semua hartanya telah disita dan ini berarti bahwa usahanya yang dipupuknya selama ini berantakan sama sekali. "Sungguh amat menjemukan! Campur tangan dua orang muda saja telah membuat semua usaha kita gagal. Ci Kang, apakah engkau juga tidak mampu menandingi orang-orang muda itu?" tiba-tiba ayah itu menoleh ke kiri, bertanya kepada puteranya.   Sejak tadi Ci Kang mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut. Mendengar pertanyaan ayahnya, diapun menarik napas panjang. "Aku sudah pernah bertemu dengan mereka, dan menurut penglihatanku, biarpun mereka itu merupakan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidaklah luar biasa!"   "Kalau begitu, mengapa usaha kita sampai gagal?" bentak ayahnya.   "Karena mereka berada di pibak benar dan di belakang mereka terdapat pasukan pemerintah!" jawab pemuda itu dengan singkat.   "Keparat! Tanpa sebab Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis memusuhi kita. Kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus membalas dendam atas gangguan mereka ini!"   Enam orang tokoh Cap-sha-kui itu mengangguk-angguk, akan tetapi, tiba-tiba Tho-tee-kwi yang sejak tadi diam saja mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. Raksasa yang tinggi besar dengan ukuran satu setengah kali orang biasa ini biarpun kasar dan liar, akan tetapi cerdik dan cukup berpengalaman sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yang sembono tanpa perhitungan.   "Heh, bukan aku takut menghadapi mereka, akan tetapi memusuhi ketua Cin-ling-pai dan terutama sekali Pendekar Sadis tanpa perhitungan, bukankah itu sama saja dengan menabrak batu karang dan kita mencari mati konyol!" Suaranya itu membuat para rekannya saling pandang dengan muka berobah agak pucat. Memang, bagaimanapun juga mereka sudah mendengar akan kehebatan tokoh-tokoh yang hendak mereka gempur itu, dan terutama sekali nama besar Pendekar Sadis membuat mereka harus menghitung sampai seratus kali sebelum turun tangan memusuhinya.   "Dalam hal ini, nama Cap-sha-kui tersangkut. Kalau kalian semua sebanyak tiga belas orang maju, apakah masih takut juga? Dan aku sendiripun tidak akan tinggal diam. Setidaknya, anakku Ci Kang akan mewakili aku untuk menghadapi anak-anak ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."   "Tidak, ayah, aku tidak mau!"   Ucapan Ci Kang ini membuat semua orang terkejut dan para tokoh Cap-sha-kui memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda yang berani membantah ayahnya itu. Suasana menjadi sunyi sekali selama beberapa detik setelah Ci Kang mengeluarkan bantahannya, kesunyian yang mendebarkan hati.   "Apa...? Apa kau bilang tadi, Ci Kang?" Akhirnya terdengar suara Siangkoan Lo-jin, lambat dan lirih, akan tetapi penuh dengan kemarahan yang ditahan-tahan.   Siangkoan Ci Kang tetap tenang saja walaupun dia tahu bahwa ayahnya dan sekutu ayahnya itu tentu akan marah menghadapi pembangkangannya. "Aku tidak mau mewakili ayah untuk memusuhi Cin-ling-pai dan keluarga Pendekar Sadis."   Terdengar suara keras disusul meluncurnya sinar hitam dan tahu-tahu dinding di belakang tempat Ci Kang duduk berlubang disambar ujung tongkat kayu cendana. Kalau bukan Ci Kang, agaknya bukan dinding yang berlubang, melainkan tubuh orang yang telah berani membantah dan membangkang terhadap kehendak Si Iblis Buta itu. Melihat betapa tongkat itu menyambar cepat sukar diikuti pandang mata dan betapa besar bahaya maut mengancam kalau diserang oleh kekek buta itu, enam orang Cap-sha-kui diam-diam bergidik. Hebat bukan main kepandaian kakek buta itu dan mereka merasa gentar untuk menghadapinya sebagai lawan, walaupun mereka juga tahu bahwa dengan majunya mereka berenam, apalagi kalau lengkap tiga belas orang, kakek buta itupun belum tentu akan mampu melawan mereka.   "Ci Kang, apa artinya ucapanmu itu? Apakah engkau akan menjadi anak durhaka, mengkhianati ayahmu sendiri?"   "Tidak, ayah. Akan tetapi sejak dahulupun aku sudah tidak setuju dengan persekutuan ini. Ayah bermain api terlalu besar dan berbahaya dan kegagalan yang sudah semestinya menjadi peringatan agar ayah menghentikan semua kegiatan yang tidak sehat itu. Aku tidak suka melihat ayah melakukan kejahatan dan mengumpulkan orang-orang jahat untuk bekerja sama."   "Brakkk!" Ujung tepi meja itu hancur luluh dicengkeram tangan Siangkoan Lo-jin, sedangkan tangan sebelah yang memegang tongkat nampak gemetar. Kakek buta ini marah bukan main.   "Ci Kang, aku sudah tua dan aku sudah mempunyai rencana untuk mengundurkan diri dan mengangkat engkau sebagai penggantiku, memimpin para rekan di dunia hitam. Engkau harus lebih berhasil daripada aku, anakku, dan..."   "Maaf, ayah. Aku tidak sanggup, dan aku tidak mau melumuri hidupku dengan kejahatan dalam bentuk apapun juga. Aku tidak mau mengganggu orang lain..."   "Tutup mulutmu! Kau kira selama ini engkau makan apa kalau tidak hasil pekerjaan ayahmu? Kaukira dari mana kita memperoleh semua harta kekayaan..." Kakek itu menahan diri karena baru dia teringat bahwa di situ terdapat orang--orang lain yang mendengarkan sehingga tidak semestinya dia membuka semua ra-hasia keluarganya.   "Ayah, aku tidak menghendaki semua harta itu. Aku lebih baik hidup miskin dan tidak mempunyai apa-apa daripada harus mendapatkan harta kekayaan melalui kejahatan."   "Sombong engkau! Katakan saja eng-kau jerih dan takut terhadap Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis, engkau takut meng-hadapi manusia-manusia sombong yang menamakan diri mereka kaum bersih, go-longan putih atau para pendekar. Engkau pengecut, penakut..."   "Aku tidak takut kepada siapa juga, ayah. Akan tetapi kurasa penghidupan para pendekar itu jauh lebih bersih dari- pada penghidupan kaum sesat..."   "Anak durhaka...!" Tongkat hitam itu kini berkelebat menyambar ke arah kepala Ci Kang dengan pukulan maut yang amat dahsyat. Akan tetapi pemuda itu sudah mampu mengelak dan melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi dengan berjungkir balik dia sudah meloncat bangun dan berdiri kembali. Akan tetapi ayahnya yang menjadi semakin marah karena serangan-nya gagal, telah menerjangnya lagi dengan tongkatnya, kini melakukan serangan yang lebih hebat lagi. Biarpun buta, namun Siangkoan Lo-jin memiliki pende-ngaran yang luar biasa tajamnya, jauh lebih tajam daripada orang lain, sehingga dalam menghadapi lawan, dia sepenuhnya bergantung kepada pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan dan mengetahui di mana lawan berada! Melihat ayahnya sudah nekat dan menyerangnya mati-matian, kembali Ci Kang mengelak dan me-loncat agak jauh dekat pintu.   "Ayah!" teriak Ci Kang penasaran. "Ayah sendiri dahulu menentang kejahatan dan karena dibikin buta, ayah lalu berubah dan menjadi pemimpin para datuk sesat. Kalau ayah hendak memaksaku menjadi penjahat, tidak cukup ayah mem-bikin buta, akan tetapi harus lebih dulu membunuhku!"   "Keparat, kalau begitu aku akan membunuhmu!" Siangkoan Lo-jin yang merasa kecewa dan menjadi marah sekali itu sudah meloncat ke arah puteranya dan menusukkan tongkatnya. Akan tetapi Ci Kang sudah menguasai semua ilmu ayahnya, maka diapun tahu akan kehebatan serangan itu, dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke kiri dan ketika dia turun ke atas lantai, kedua kakinya tidak menge-luarkan bunyi. Pemuda ini telah mempergunakan gin-kang yang paling hebat sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali dan di situ dia berdiri tegak, sama seka-li tidak bergerak, bahkan pernapasannyapun ditahan dan diatur sehingga tidak mengeluarkan bunyi. Dia tahu akan kelemahan ayahnya yang hanya mengandalkan pendengaran, maka kini, setelah dia tidak mengeluarkan bunyi, ayahnya juga berdiri bingung, tidak tahu ke mana perginya Ci Kang!   "Anak durhaka, jangan lari kau! Di mana engkau? Kurang ajar! Heii, kalian ini apakah sudah berobah menjadi patung semua? Hayo bantu aku menangkap dan membunub anak durhaka itu!" Teriakan ini ditujukan kepada enam orang Cap-sha-kui yang sejak tadi hanya duduk diam saja dengan penuh perhatian dan kegembiraan melihat bentrokan antara ayah dan anak itu. Kini, mendengar bentakan Siangkoan Lo-jin mereka serentak bangkit. Akan tetapi mereka merasa ragu-ragu. Mereka mengenal Ci Kang, den selalu mereka segan kepada pemuda remaja putera Iblis Buta yang selain amat lihai juga pen-diam dan tidak banyak cakap itu. Kini pemuda itu memandang kepada mereka dengan wajah dingin dan mata berkilat membuat mereka menjadi gentar juga. Kalau mereka maju, kemudian ayah dan anak itu bersatu, mereka tentu akan ma-ti konyol.   "Lo-jin, puteramu berada di sebelah kananmu, dekat pintu keluar!" tiba-tiba Kui-kok Lo-mo berseru dan teman-te-mannya menjadi lega. Memang mereka tadi ragu-ragu dan kini mereka hendak melihat sikap anak dan ayah itu sebelum mereka turun tangan membantu Siangko-an Lo-jin. Begitu mendengar ucapan ini, tiba-tiba Siangkoan Lo-jin meloncat ke kanan dengan kecepatan luar biasa tong-katnya diputar dan dihantamkan ke arah kepala puteranya. Ketika Siangkoan Ci Kang mengelak, gerakannya terdengar oleh ayahnya dan ayah yang sudah marah ini lalu mengulur tangan kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala putera-nya. Suatu serangan yang amat berbaha-ya dan cepat, mengandung maut! Meng-elak dari serangan ini selagi tongkat itu mengancam dari lain jurusan, amat ber-bahaya dan jalan satu-satunya hanyalah menangkis, pikir Ci Kang. Dia sebetulnya tidak ingin menghadapi ayahnya dengan kekerasan, akan tetapi untuk melindungi dirinya dari tangan maut yang menceng-keram, terpaksa dia harus mengerahkan tenaganya menangkis. "Dukk...!" Dua tenaga besar itu ber-temu dan akibatnya, Siangkoan Lo-jin be-rusaha meloncat ke belakang untuk mema-tahkan tenaga yang membuat dia terdorong ke belakang, sedangkan Ci Kang sendiri terlempar keluar pintu ruangan itu! Melihat betapa Siangkoan Lo-jin benar-benar hendak membunuh puteranya, enam orang Cap-sha-kui itu menjadi berani dan merekapun melakukan pengejaran keluar ruangan. "Orang muda, perlahan dulu!" teriak Kui-kok Lo-mo yang melompat paling depan sambil mengirim serangan dengan kedua tangannya. Angin keras menyambar disertai uap tipis putih keluar dari kedua telapak tangan ketua Kui-kok-pang ini ketika dia menyerang ke arah Ci Kang. "Jangan kalian mencampuri urusan pribadiku!" bentak Ci Kang dan diapun mengerahkan tenaganya, membalik dan mendorong untuk menyambut serangan lawan.   "Desss...!" Keduanya terpental dan Kui-kok Lo-mo terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga pemuda remaja itu benar-benar amat hebat dan mampu membuat dirinya terpental. Juga isterinya yang datang menyusul di belakangnya, terkejut melihat suaminya sampai terpental. Karena suami isteri ini kelihatan tercengang dan ragu-ragu, para tokoh sesat lainnya yang memiliki tingkat lebih rendah, menjadi ragu-ragu sehingga Ci Kang memperoleh kesempatan untuk meloncat keluar rumah dan melarikan diri.   Marahlah hati Siangkoan Lo-jin ketika memperoleh kenyataan bahwa puteranya berhasil lolos. "Kalian ini sungguh seke-lompok orang tak berguna. Kalian mem-biarkan anak durhaka itu lolos begitu sa-ja, tanpa mengejar?"   "Jangan salah mengerti, Lo-jin. Kami masih ragu-ragu untuk mengejar, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera tunggalmu, kami masih belum yakin benar -apakah engkau hendak melihat dia terbunuh oleh kami," kata Kui-kok Lo-mo dengan cerdik.   "Bodoh! Siapa main-main! Daripada melihat anakku sendiri durhaka dan me-nentangku, lebih baik melihat dia mam-pus. Sekarang kuperintahkan kepada kalian, semua anggauta Cap-sha-kui, untuk selain memusuhi Cin-ling-pai dan Pende-kar Sadis, juga mencari dan menyeret a-nak durhaka itu ke depan kakiku agar a-ku dapat menghukumnya sendiri! Nah, pergilah kalian, aku tak ingin diganggu lagi!"   Enam orang itu lalu berkelebatan pergi dan kakek buta itu kini berada seorang diri di dalam ruangan. Dia berdiri seperti patung, termenung, dan dia membayangkan puteranya sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa, yang menentang kejahatan sehingga namanya dipuja dan dikagumi semua pendekar di dunia kang-ouw. Tak terasa lagi, bibirnya yang kering itu tersenyum. Teringatlah dia akan dirinya sendiri. Menjadi seorang gagah yang dikagumi seluruh dunia adalah cita-citanya, dan karena cita-cita itu tidak terlaksana melalui kebaikan, dia hendak mengejar nama besar itu melalui kejahatan dengan memimpin kaum sesat dan menjadi orang jahat nomor satu! Kalau puteranya bisa menjadi orang yang paling menonjol dan terkenal, tidak perduli sebagai penjahat nomor satu atau pendekar nomor satu, dia akan merasa bangga!   Akan tetapi dia telah memerintahkan Cap-sha-kui untuk memusuhi anaknya! Ti-dak apa, memang seharusnya begitu. Ka-lau anakku itu ingin menjadi pendekar nomor satu, dia harus mampu mengha-dapi Cap-sha-kui, bahkan dia harus mam-pu membasmi Cap-sha-kui! Kalau anaknya yang tidak mau menjadi penjahat nomor satu itu tidak bisa menjadi pendekar nomor satu, biar anaknya mati saja daripada menjadi manusia yang tidak terkenal sama sekali!   Pemikiran seperti yang berada dalam batin Siangkoan Lo-jin itu mungkin akan kita anggap gila dan tidak lumrah. Akan tatapit kalau kita mau membuka mata mengamati kehidupan di sekeliling kita, akan kita temui bahwa hampir setiap orang tidak jauh bedanya dengan Siangkoan Lo-jin ini.   Kita semua ini haus akan kehormatan, haus akan penonjolan diri, bahkan watak ini sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh kita. Lihatlah betapa banyaknya orang yang dengan nada suara penuh kebanggaan menceritakan betapa kakeknya dahulu adalah seorang maling terbesar, seorang jagoan terbesar, seorang penjudi terbesar dan sebagainya? Mereka ini bercerita dengan nada suara sama bangganya dengan mereka yang menceritakan betapa kakek mereka dahulunya seorang yang paling terhormat, terkaya atau tertinggi kedudukannya. Juga, hampir semua orang menceritakan dengan bangga bahwa anaknya adalah yang paling nakal, paling bandel, dan sebagainya, sama bangganya dengan mereka yang menceritakan dengan suara malu-malu den rendah hati bahwa anak mereka adalah yang paling patuh, paling pintar dan sebagainya. Kita sudah berwatak ingin menonjolkan diri, diri sendiri atau perkembangan dari diri sendiri yang menjadi anakku, keluargaku, bangsaku dan selanjutnya.   Membayangkan betapa puteranya akan menjadi seorang yang amat terkenal, kakek itu terkenang akan keadaan dirinya sendiri yang serba gagal, dan dia lalu meraba-raba dengan tongkatnya, menemukan sebuah kursi, menjatuhkan dirinya di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua tetes air mata yang jatuh ke atas pipi.   ***   Restoran itu cukup ramai dan besar dan malam hari itu restoran ini dikunjungi banyak tamu. Restoran Ban Lok memang merupakan sebuah restoran yang terkenal mempunyai masakan enak, paling terkenal di seluruh kota Cin-an. Ketika Ci Kang memasuki restoran itu, untung baginya dia masih kebagian meja yang paling sudut. Dia memasuki restoran, tidak perduli akan pandangan orang kepadanya, memang agak menyolok pakaian pemuda ini, tidak mewah seperti pakaian para tamu lain. Pakaian Ci Kang yang sederhana, dengan jubah kulit harimau, membuatnya nampak sebagai seorang pemburu, tidak ada keduanya di restoran itu. Ketika dia melewati serombongan orang yang duduk mengelilingi meja bundar besar, ada empat pasang mata yang memandangnya dengan senyum mengejek dan hidung agak dikembang-kempiskan seperti orang mencium bau busuk, akan tetapi ada dua pasang mata halus yang memandang kepadanya, ke arah wajahnya, dengan pandang mata kagum. Empat pasang mata yang terutama memandang kepada bajunya itu adalah mata empat orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian mewah, akan tetapi sekali pandang saja tahulah Ci Kang bahwa mereka adalah orang-orang yang ter-golong penjahat yang suka melakukan hal-hal yang tidak baik untuk mencari uang. Dan dua pasang mata halus itu adalah mata dua orang wanita yang juga berpa-kaian mewah. Mereka itu adalah dua o-rang wanita muda yang usianya antara dua puluh tahun, cantik manis akan te-tapi melihat sikap mereka yang genit dengan gaya yang dibuat-buat untuk me-mikat hati orang, Ci Kang juga menge-nal sifat berandalan pada dua orang wa-nita itu dan dapat menduga bahwa me-reka tentu pelacur-pelacur yang dibawa ke restoran untuk pesta oleh empat o-rang itu yang agaknya baru saja mem-peroleh hasil banyak dari pekerjaan ko-tor mereka. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan duduk memesan nasi, sayur dan air teh panas. Sudah menjadi watak-nya untuk tidak mencampuri urusan o-rang dan tidak memperhatikan orang lain. Sekali pandang saja dia sudah dapat melihat keadaan dan kalau tadi dia me-mandang ke arah enam orang itu hanyalah karena kewaspadaan saja, bukan ka-rena ingin tahu.   Setelah hidangan yang dipesannya datang, diantar oleh seorang pelayan, pada saat Ci Kang mengangkat muka untuk menerima hidangan itu, kembali dia melihat betapa dua orang wanita cantik yang genit-genit itu memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum dan melempar kerling. Bahkan keduanya cekikikan sambil saling berbisik dan memandang kepadanya, jelas sekali mereka itu sedang membicarakan dirinya. Melihat ini, Ci Kang cepat menundukkan muka dan menghindarkan pertemuan pandang mata dengan mereka. Hatinya sedang murung dan sikap kedua orang wanita cantik itu menambah kemurungan hatinya. Dia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi di dalam pertemuan antara ayahnya dengan para tokoh Cap-sha-kui itu. Dia sungguh menyesali sikap ayahnya yang demikian keras dan kejam, bahkan tega hendak membunuhnya. Dia yakin benar akan napsu membunuh ayahnya ketika ayahnya menyerang dalam keadaan marah dan hal ini sungguh amat menya-kitkan hatinya. Dia merasa benar betapa ayahnya amat mencintanya, amat sayang kepadanya dan telah mencurahkan kasih sayangnya itu sejak dia kecil. Akan tetapi dia juga tahu bahwa ayahnya me-ngejar ambisi dan untuk itu, ayahnya da-pat bersikap dan berbuat kejam, seperti yang telah diperlihatkannya dengan cara hendak membunuhnya, putera kandung-nya sendiri.   "Heii, kalian melihat siapa sih? Kena-pa lirak-lirik dan senyam-senyum saja kepada orang itu?" terdengar seorang di antara empat pria itu menegur. Ci Kang mendengar ini dan sudah dapat menduga bahwa yang ditegur tentulah dua orang pelacur itu dan yang dimaksudkan dengan "orang itu" tentulah dia sendiri. Akan te-tapi dia terus makan minum dan tidak perduli.   "Percuma kami keluarkan banyak uang kalau kalian main mata dengan pria lain!" tegur suara kedua.   "Apakah pelacur-pelacur masih mata keranjang melihat orang muda dan tampan?" orang ketiga berkata.   "Uhh, biar muda dan tampan, kalau kotor seperti itu, sungguh menjijikkan. Agaknya tak pernah berganti pakaian dan siapa tahu makanan itu takkan dibayarnya!" ejek orang keempat dan mereka berempat tertawa-tawa. Dua orang pelacur itupun ikut tertawa walaupun suara ketawa mereka itu paksaan atau terdorong oleh kegenitan mereka.   Tentu saja Ci Kang mendengar itu semua dan tahu bahwa mereka molontarkan hinaan-hinaan kepada dirinya, bahkan mendengar suara mereka meludah-ludah ketika orang keempat mengatakan dia kotor dan menjijikkan. Akan tetapi di dalam batin Ci Kang tersenyum, mentertawakan orang-orang itu karena dari sikap mereka itu mereka seperti memperlihatkan kepada umum orang-orang macam apa adanya mereka. Dia tidak mau melayani dan melanjutkan makan nasi dan sayur dengan cepat, lalu minum sedikit arak dan teh. Setelah selesai, diapun cepat membayar harga makanan dan hendak meninggalkan restoran yang masih banyak pengunjungnya itu.   Empat orang itu memang jagoan-jagoan yang terkenal bengis dan ditakuti orang di Cin-an. Maka, biarpun semua orang juga mendengar ucapan-ucapan mereka yang menghina orang, tidak ada yang mau mencampuri karena mencampuri urusan empat orang itu berarti mencari penyakit. Sedangkan empat orang jagoan itu memang tadi sengaja melontarkan kata-kata untuk menghina dan memancing kemarahan Ci Kang. Pemuda itu makan di restoran tidak mengganggu siapapun juga, bahkan tidak pernah menoleh kepada mereka, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk mengganggu Ci Kang. Maka, karena hati mereka panas melihat betapa dua orang pelacur yang mereka bawa itu nampaknya tertarik kepada Ci Kang, mereka lalu melontarkan kata-kata hinaan untuk memancing agar pemuda itu marah-marah sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghajarnya. Siapa kira, pemuda itu sama sekali tidak mau menyambut atau saking tolol atau takutnya tidak berani menjawab. Melihat betapa pemuda itu sudah bangkit dan hendak pergi, dan kini dua orang pelacur memperoleh kesempatan untuk memandang wajah pemuda itu dengan kagum, empat orang itu tidak dapat menahan kemarahan dan iri hati mereka. Setelah saling pandang dan mengangguk, mereka bangkit dari kursi mereka dan berloncatan menghadang Ci Kang yang hendak keluar dari restoran. Melihat ini, para tamu yang sudah mengenal empat orang jagoan itu menjadi ketakutan dan sebagian cepat menyingkir ke tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati khawatir.   Melihat empat orang itu berdiri menghadangnya, Ci Kang mengerutkan alisnya. Jelaslah bahwa empat orang yang menyeringai ini sengaja mencari keributan. Dia masih mencoba untuk menghindar dan mencari jalan keluar lain, akan tetapi gerakan ini oleh empat orang itu dianggap sebagai tanda takut, maka mereka lalu mengurungnya sambil tersenyum lebar. Ci Kang kehabisan jalan dan terpaksa dia mengangkat muka memandang mereka satu demi satu. Empat orang itu terkejut melihat sinar mata mencorong itu, akan tetapi karena sikap pemuda itu yang sejak tadi tidak pernah memperli-hatkan perlawanan membuat hati mereka menjadi besar. Mereka sengaja hendak berlagak di depan dua orang pelacur itu dan ingin membikin malu kepada pemuda yang agaknya telah menarik hati dan di-kagumi oleh dua orang pelecur yang me-reka sewa.   "Ha-ha-ha, bocah petani busuk, ber-sihkan dulu sepatu kami baru engkau bo-leh pergi dari sini!" kata seorang di an-tara mereka yang berkumis lebat. Tiga orang temannya tertawa sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan me-mandang rendah.   Ci Kang tidak marah, hanya merasa muak dengan sikap mereka. Tanpa mem-perdulikan mereka, dia lalu melangkah maju dan ketika si kumis tebal yang berada di depannya itu mengangkat tangan hendak memukul, dia tidak perduli den melangkah terus hendak menabrak tubuh si kumis tebal. Tentu saja si kumis tebal menjadi marah dan melanjutkan pukulannya ke arah kepala Ci Kang dan melihat ini, tiga orang kawannya juga sudah menggerakkan tangan menyerang Ci Kang da-ri kanan kiri dan belakang. Sekaligus, pemuda remaja itu diserang oleh empat orang dari empat jurusan, akan dipukuli begitu saja tanpa salah apa-apa.   Sejenak empat orang itu mengira bahwa pemuda itu takkan melawan dan akan mandah saja mereka pukuli karena tubuh Ci Kang same sekali tidak nampak bergerak atau bersiap melawan. Akan tetapi, ketika tangan empat orang itu sudah tiba dekat tubuhnya, tiba-tiba Ci Kang menggerakkan tubuhnya, mengangkat kedua tangan sambil memutar tubuh menggeser kaki dan terdengarlah suara tulang patah berturut-turut dan empat orang itu mengaduh-aduh sambil terpelanting ke belakang, jatuh dan memegangi tangan yang dipakai menyerang tadi karena lengan tangan itu telah patah-patah tulangnya ketika disambar tangan pemuda itu. Ci Kang sama sekali tidak memperdulikan mereka lagi. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, pemuda ini dengan wajah dingin dan langkah tenang meninggalkan restoran itu, diikuti pandang mata semua orang yang terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Empat orang itu seperti empat orang anak kecil yang karena tololnya memukul benda keras sehingga tangan mereka sakit sendiri. Akan tetapi merekapun maklum bahwa pemuda berwajah dingin yang hendak mereka jadikan korban penghinaan mereka itu ternyata adalah seorang pemuda yang sakti, maka merekapun hanya berani memandang dengan muka pucat karena gentar dan karena menahan rasa nyeri dan tidak berani mengejar.   Peristiwa di dalam restoran itu tentu saja menjadi buah bibir para tamu setelah mereka meninggalkan restoran, akan tetapi karena Ci Kang tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata dalam peristiwa itu, orang-orang hanya dapat menduga-duga siapa gerangan pemuda remaja berwajah dingin yang amat lihai itu.   Sementara itu, Ci Kang terus melanjutkan perjalanannya meninggalkan Cin-an pada malam hari itu juga karena dia tidak ingin dirinya terlibat lagi dalam keributan lain sebagai lanjutan dari peristiwa dalam restoran tadi. Sebagai putera seorang datuk sesat yang sudah banyak mengenal watak para penjahat, Ci Kang mengerti bahwa orang-orang macam penjahat-penjahat kecil seperti yang beraksi di restoran tadi, tentu mempunyai kepala atau pemimpin dan orang-orang semacam itu tidak pernah mau mengenal kelemahan sendiri. Mereka tentu tidak mau sudah begitu saja, melapor kepada kepala mereka atau mengumpulkan kawan-kawan mereka kemudian mencarinya untuk melakukan pembalasan. Orang-orang seperti itu tidak memiliki kejantanan sedikitpun juga, tidak malu-malu untuk mengandalkan pengeroyokan dan kecurangan lain. Oleh karena dia tidak ingin direpotkan oleh urusan tetek bengek macam itu, maka lebih baik dia pergi meninggalkan Cin-an malam itu juga, bukan karena takut melainkan karena segan berurusan dengan penjahat-penjahat kecil itu.   Ci Kang tidak pernah menduga bahwa urusan kecil di rumah makan itu memang tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan mendatangkan akibat yang amat besar. Peristiwa itu menjadi buah bibir orang di Cin-an karena disebar oleh para tamu restoran yang menyaksikan keributan itu dan terdengar pula oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kebetulan pada keesokan harinya tiba di kota itu.   "Heh, tak salah lagi, pemuda berjubah kulit harimau itu tentulah Siangkoan Ci Kang," kata Kiu-bwe Coa-li.   "Benar, dan kita harus cepat mengejarnya!" kata Kui-kok Lo-mo.   "Mengapa? Apa perlunya kita mengejarnya?" tanya Tho-tee-kwi dengan suara tak acuh. Yang lain-lain juga memandang kepada kakek jubah putih itu. Selain tingkat kepandaiannya paling tinggi, juga Kui-kok Lo-mo selain berdua dengan isterinya yang juga amat lihai sehingga suami isteri ini dianggap sebagai pemuka oleh empat orang rekannya.   "Apa perlunya? Tentu saja untuk menangkapnya dan menyeretnya kepada Siangkoan Lo-jin, hidup atau mati." jawab Kui-kok Lo-mo.   "Mengapa kita harus mencampuri urusan ayah dan anak itu?"   Kembali yang bertanya itu adalah Tho-tee-kwi. Di antara empat orang rekan suami isteri dari Kui-kok-san itu, hanya raksasa inilah yang kelihatan tidak gentar menentangnya dan sikapnya selalu kasar, liar dan tak acuh. Tiga orang rekan yang lain menanti jawaban pertanyaan ini yang mereka anggap mewakili keraguan hati mereka sendiri untuk mencampuri urusan keluarga Siangkoan.   "Begitu bodohkah engkau maka hal itu saja engkau tidak mengerti? Apakah kalian merasa senang selalu diperkuda oleh Siangkoan Lo-jin? Cap-sha-kui yang selama ini merajalela dan merajai dunia persilatan, kini harus tunduk kepada seorang kakek buta! Lihat, di antara kita tiga belas orang, hanya kita berenam saja yang tolol dan mau saja diperkuda olehnya. Kalau kita tempo hari merendahkan diri dan mau membantunya, hal itu adalah karena harapan imbalannya yang amat besar, selain harta benda juga mungkin kedudukan tinggi yang akan kita terima dari Liu-thaikam. Akan tetapi sekarang? Liu-thaikam sudah tidak ada, untuk apa kita masih terus merendahkan diri di bawah kekuasaan kakek buta itu lagi?"   "Nah, kalau begitu, mengapa sekarang kita masih harus mentaati perintahnya untuk menyeret pemuda itu ke depan kakinya?" Hwa-hwa Kui-bo bertanya heran.   "Kakek buta itu tentu tidak akan mengampuni kita kalau mendengar bahwa kita menentangnya. Dan kakek itu sendiri sebetulnya hanya seorang tua bangka buta, betapapun lihainya. Yang membuat dia kuat adalah puteranya itu. Kalau dia dan puteranya maju bersama sungguh sukar untuk ditundukkan. Sekarang mereka itu saling bentrok. Kita harus dapat mempergunakan kesempatan yang baik ini untuk menghancurkan kekuatan ayah dan anak itu. Kalau kita sudah dapat membunuh anaknya, apa sukarnya bagi kita untuk menghadapi tua bangka buta itu? Dia telah menyeret kita ke dalam persekutuan itu, berarti telah merugikan kita, dan sudah cukup lama dia meremehken dan merendahkan kita sebagai pembantu-pembantunya. Sekaranglah tiba saat pembalasan kita!"   Kehidupan para kaum sesat sepenuhnya dipengaruhi oleh nafsu angkara murka dan dendam kebencian, maka pendapat Kui-kok Lo-mo ini segera mendapatkan persetujuan para rekannya dan berangkatlah mereka bergegas untuk mencari jejak Siangkoan Ci Kang dan melakukan pengejaran.   Tidak mengherankan kalau pada keesokan harinya, selagi Ci Kang berjalan sendirian di luar sebuah dusun yang sunyi, di bawah terik matahari, tiba-tiba saja dia mendengar orang-orang berteriak memanggil namanya dan ketika dia berhenti, dia tersusul oleh enam orang tokoh Cap-sha-kui yang kini berdiri di depannya dan setengah mengepungnya.   Ci Kang memandang heran dan mengerutkan alisnya. Sejak pertama kali orang-orang ini membantu ayahnya, dia memang sudah tidak suka kepada mereka. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo amat menjemukan hatinya karena kedua orang kakek dan nenek ini seakan-akan berlomba untuk memikatnya. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang nenek kejam yang mengerikan dengan tubuh dan wajahnya yang buruk, ditambah lagi suka bermain-main dengan ular, menjijikkan. Suami isteri dari Kui-kok-san itupun menimbulkan rasa muak karena mereka berdua itu seperti mayat hidup saja. Adapun Tho-tee-kwi yang suka makan daging manusia itu menjemukan hatinya.   "Ada keperluan apakah cu-wi memanggil-manggil dan menyusulku?" tanyanya singkat.   Yang menjawab adalah Kui-kok Lo-mo, mewakili rekan-rekannya, "Siangkoan Ci Kang, kami disuruh ayahmu untuk membawamu pulang."   Ci Kang mengangkat muka memandang kakek itu dan tahu akan adanya perubahan karena kakek itu biasanya tidak memanggil namanya begitu saja. Biasanya, mereka itu menyebutnya Siangkoan kongcu atau Siangkoan sicu dengan sikap dan nada menghormat.   "Kalau aku tidak mau?" tanyanya sebagai jawaban.   "Kami telah diberi wewenang untuk memaksamu dan membawamu pulang, hidup atau mati. Kalau engkau menolak, kami akan menggunakan kekerasan!"   Tanpa menanti jawaban Ci Kang, begitu Kui-kok Lo-mo berkata demikian, isterinya telah menerjang pemuda itu dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas. Serangan ini dilakukan oleh Kui-kok Lo-bo dari samping kiri dan tangan kanannya menyambar ke arah pelipis kiri Ci Kang. Pemuda ini maklum betapa ampuhnya tamparan nenek itu, maka cepat diapun mengelak, dengan menggeser kaki ke belakang dan menarik tubuh atasnya ke belakang. Tamparan itu luput dan lewat di depannya sehingga terasa hawa panas menyambar mukanya. Pada saat itu, Kui-kok Lo-mo yang melihat isterinya sudah mulai menyerang, juga menerjang ke depan dan melakukan serangan yang tidak kalah ampuhnya. Ci Kang menangkis dan segera pemuda itu dikeroyok dua oleh suami isteri dari Kui-kok-san itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru.   Tak dapat disangkal lagi bahwa Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda re-maja yang istimewa, bakatnya menonjol sekali sehingga dalam usia delapan belas tahun dia telah berhasil menguasai semua ilmu ayahnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan suami isteri itu tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah latihan, ka-lah matang ilmu silatnya. Dan mengingat bahwa Kui-kok Lo-mo den Kui-kok Lo-bo adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang tinggi ilmunya, tentu saja dikeroyok dua Ci Kang menjadi repot dan terdesak hebat. Andaikata suami isteri itu maju satu de-mi satu, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan Ci Kang. Akan tetapi begitu maju bersama, suami isteri yang tentu saja dapat beker-ja sama dengan baik sekali dalam serangan-serangan mereka, Ci Kang terdesak hebat dan lewat lima puluh jurus saja dia sudah terus mundur dan hanya mam-pu mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis, tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan tubuhnya sudah menerima beberapa han-taman den tendangan yang berkat keke-balannya membuat dia belum juga dapat dirobohkan. Ci Kang yang keras hati itu tidak pernah mengeluh dan sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri. Dia bertekad untuk melawan sampai mati. Pula, apa gunanya lari? Di situ terdapat enam orang tokoh Cap-sha-kui sehingga laripun, dalam keadaan terluka-luka, akan percuma saja. Dan diapun tahu bahwa ti-dak ada harapan baginya untuk lolos. Ba-ru suami isteri Kui-kok-san saja sudah begini hebat, apalagi kalau empat orang tokoh lain itu maju mengeroyok. Melihat cara kedua orang suami isteri itu menyerang, dengan pukulan-pukulan maut, tahulah Ci Kang bahwa mereka itu menghendaki kematiannya, make diapun membela diri sebaik mungkin dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main sepak terjang pemuda ini. Biarpun terdesak hebat, namun tidak mudah bagi suami isteri itu untuk merobohkannya. Lengah sedikit saja pemuda itu akan membalas serangan maut yang berbahaya. Pada saat itu, entah dari mana da-tangnya, tiba-tiba saja di belakang Ci Kang berdiri seorang kakek tinggi kurus. Kakek ini bajunya tambal-tambalan, ta-ngan kanan memegang sebatang tongkat bambu kuning dan di punggungnya nam-pak sebuah ciu-ouw (guci arak). Kakek yang usianya kurang lebih enam puluh li-ma tahun ini memandang perkelahian sambil mengelus jenggotnya, lalu mengomel, "Terlalu, terlalu...! Suami isteri tua bangka mengeroyok seorang bocah ingusan. Sungguh terlalu...!" Kemudian tiba-tiba dia menggerakkan tubuhnya sambil terus bicara, "Nah, anak baik, bagus begitu! Lawanlah, jangan mau kalah terhadap sepasang mayat itu. Pukul, nah, bagus, begitu haittt... begini... bagus!" Kakek jembel ini, seperti orang gila, lalu meniru-niru gerakan Ci Kang bersilat, akan tetapi karena tangannya memegang tongkat maka tongkatnya bergerak pula dengan lucunya. Dia bukan mengajari Ci Kang, melainkan menirukan gerakan Ci Kang yang berloncatan ke sana-sini mengelak dari serangan suami isteri itu.   Dan... terjadilah hal yang luar biasa sekali. Tiba-tiba saja suami isteri itu merasa betapa tangkisan tangan Ci Kang menjadi sedemikian kuatnya sehingga mereka merasa lengan mereka nyeri dan tubuh mereka terpelanting! Ada angin pukulan dahsyat keluar dari kedua tangan Ci Kang. Pemuda ini sendiri merasa heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek jembel aneh itu telah membantunya dengan tenaga sakti yang luar biasa.   Sementara itu, empat orang tokoh Cap-sha-kui yang lain bukan orang-orang tolol. Kemunculan kakek jembel yang aneh ini dan terdesaknya suami isteri Kui-kok-san tentu ada hubungannya, pi-kir mereka. Tanpa banyak cakap lagi mereka berempat lalu maju menyerang kakek jembel yang masih mencak-mencak menirukan gerakan Ci Kang karena kini suami isteri itu sudah menyerang lagi.   Hwa-hwa Kui-bo menyerang dengan pedangnya yang beracun, ditemani Koai-pian Hek-mo yang menggerakkan senjata-nya, yaitu sebatang pecut baja yang ujungnya berpaku. Kiu-bwe Coa-li meledakkan cambuk hitam ekor sembi-lan, menyerang dari depan bersama Thio-tee-kui yang menggerakkan kedua lengan-nya sehingga dua buah gelang emas yang berat di kedua lengannya itu saling ber-adu mengeluarkan bunyi nyaring. Dike-pung empat orang tokoh sesat yang lihai ini, kakek jembel itu malah tertawa bergelak.   "Ha-ha-ha, bagus, bagus!" Dan tiba-ti-ba saja tubuhnya sudah berkelebatan di antara sinar senjata empat orang penge-royoknya yang bergulung-gulung itu. Ten-tu saja empat orang pengeroyok itu ter-kejut bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa kakek jembel itu sedemi-klan lihainya dan seperti pandai menghi-lang saja saking cepatnya dan ringannya gerakan tubuhnya. Ternyata kakek ini bu-kan hanya mampu menghindarkan diri da-ri sambaran senjata-senjata ampuh itu, bahkan dengan gerakan-gerakannya seper-ti tadi masih dapat pula membantu Ci Kang sehingga kini pemuda itu dapat membalas serangan kedua orang penge-royoknya karena setiap serangan kedua suami isteri itu selalu tertumbuk pada tenaga yang tidak nampak akan tetapi yang kuat sekali.   "Ha-ha-ha, menggembirakan sekali!" kakek itu menari-nari ketika senjata-sen-jata lawan berobah menjadi sinar bergu-lung-gulung dan menyambar-nyambar.   "Tar-tar-tarrr...!" Senjata cambuk hitam ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak, diselingi ledakan satu-satu dan nyaring dari cambuk baja di tangan Koai-pian Hek-mo.   "Singggg... tring-tringgg...!" Suara pedang di tangan Hwa-hwa Kui-bo dan sepasang gelang emas di lengan Tho-tee-kui juga terdengar nyaring membuat kakek jembel yang dikeroyok itu menjadi semakin girang seperti seorang anak kecil melihat permainan yang menarik.   "Tar-tar-tarr...!" Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Coa-li meledak-ledak di atas kepala kakek itu. Sembilan ekor cambuk itu seperti hidup, seperti sembilan ekor ular yang menyambar-nyambar turun. Akan tetapi kakek itu meng-gunakan jari tangannya menyentil setiap kali ujung cambuk menyambar. Tiga kali dia menggunakan telunjuk tangannya me-nyentil dan ekor cambuk itu menyeleweng dan melesat amat cepatnya ke a-rah tiga orang pengeroyok lain. Hal ini sama sekali tidak diduga-duga dan tahu-tahu Hwa-hwa Kui-bo, Koai-pian Hek-mo, dan Tho-tee-kwi berteriak kaget dan tu-buh mereka terpelanting berturut-turut karena tahu-tahu tubuh mereka sudah tertotok oleh ujung cambuk Kiu-bwe Coa-li yang disentil menyeleweng tadi. Melihat robohnya tiga orang itu, kakek jembel tertawa dan mengangkat kedua tangan depan dada, menjura ke arah Kiu-bwe Coa-li.   "Terima kasih, engkau baik sekali te-lah menolongku dengan cambukmu!" Kiu-bwe Coa-li masih terbelalak saking ka-getnya melihat betapa ujung cambuknya malah menotok dan merobohkan tiga orang kawannya sendiri, tiba-tiba merasa ada sambaran angin dari depan ketika kakek itu menjura. Dengan cepat ia hen-dak mengelak, akan tetapi tidak keburu dan ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tubuhnya terjengkang dan dada-nya terasa sesak, seperti telah dipukul o-rang dengan keras! Empat orang itu me-rangkak bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui, bagaimana mungkin dapat dirobohkan se-mudah itu oleh kakek jembel ini? Si ka-kek jembel tertawa-tawa.   "Ha-ha-ha, kalian memang amat baik hati, pantas kusuguhi arak!" Dan diapun menurunkan guci araknya, mendekatkan bibir arak ke mulutnya, minum beberapa teguk kemudian dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah empat orang bekas lawan. Empat orang datuk itu terkejut dan berusaha menghindar, akan tetapi masih terasa oleh mereka betapa kulit tubuh mereka yang terkena percikan air yang disemburkan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Bahkan percikan arak itu menembus baju mereka dan mengenai kulit.   Sementara itu, memperoleh kenyataan bantuan rahasia dari kakek aneh, kini Ci Kang mendesak kedua lawannya dan akhirnya dialah yang berada di pihak menyerang. Tiba-tiba terdengar suara kakek itu, "Tendang pantat mereka! Tendeng pantat mereka!" Aneh sekali, di dalam suara itu seperti terkandung tenaga mujijat yang membuat Ci Kang tak dapat menahan diri lagi dan kakinyapun menyambar dan menendang berturut-turut ke arah pinggul dua orang lawannya. Hebatnya, dua orang suami isteri itu tidak kuasa mengelak seolah-olah tubuh mereka terhalang sesuatu.   "Bukk! Bukk!" Dua kali kaki Ci Kang menendang dan dua orang suami isteri itupun terbanting ke atas tanah. Mereka berloncatan bangun sambil meringis dan setelah saling pandang dengan rekan-rekannya, mereka lalu melarikan diri tanpa berani mengeluarkan kata-kata lagi. Peristiwa itu terlampau hebat bagi mereka. Belum pernah selama hidup mereka dikalahkan orang secara ini. Akan tetepi, ketika kakek tadi menyembur dengan arak, wajah mereka pucat karena mereka teringat akan nama seorang yang selama ini dikabarkan sudah mati atau telah menjadi dewa, yaitu Ciu-sian Lo-kai (Jembel Tua Dewa Arak). Memang orang sakti ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, akan tetapi ada beberapa orang tokoh kang-ouw pernah melihat kesaktiannya sehingga namanya dikenal sebagai seorang di antara tokoh-tokoh rahasia yang amat sakti. Maka, enam orang datuk sesat itu segera mengambil langkah seribu. Biarpun mereka itu sudah menjadi datuk yang berkedudukan tinggi, akan tetapi karena mereka adalah golongan sesat, maka melarikan diri bukanlah hal yang dipantang oleh mereka.   Ci Kang berdiri memandang sambil bertolak pinggeng, sama sekali tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.   "Orang muda, kenapa engkau tidak mengejar mereka?"   Ci Kang menoleh kepada kakek jembel itu. "Kenapa aku harus mengejar mereka?" dia balas bertanya sambil memandang tajam kepada kakek jembel yang sakti itu, yang entah mengapa telah mencampuri urusannya dan membantunya. Harus diakuinya dalam hati bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut dikeroyok orang-orang Cap-sha-kui tadi.   "Lhoh! Bukankah mereka tadi mati-matian hendak membunuhmu?"   "Benar, akan tetapi aku tidak ingin membunuh mereka."   Kakek jembel itu melangkah dekat dan memandang sambil tersenyum lebar, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. "Orang muda, apakah engkau tidak menaruh dendam kepada mereka yang hendak membunuhmu?"   "Tidak, mereka suka kekerasan dan suka membunuh, aku tidak."   "Bagus! Andaikata mereka itu mem-bunuh ayahmu, apakah engkau juga tidak sakit hati dan mendendam?"   Ci Kang teringat akan ayahnya yang hidup sebagai datuk sesat. Kalau ayahnya terbunuh orang, hal itu hanya terjadi ka-rena kesalahan ayahnya sendiri. Orang yang suka bermain dengan api seperti ayahnya, kalau sekali waktu terbakar, ti-dak perlu penasaran lagi. Maka diapun menggeleng kepala.   Kakek jembel itu kelihatan semakin girang. "Wah, inilah orangnya yang kucari selama ini. Orang muda, engkau bernama Siangkoan Ci Kang, bukan? Engkau putera tunggal Siangkoan Lo-jin?"   Pemuda itu menjadi semakin heran dan dia mengangguk.   "Heh-heh, bagus! Ayahnya menjadi pimpinan kaum sesat mengumbar nafsu, puteranya malah bebas dari nafau den-dam. Siangkoan Ci Kang, baru saja kalau tidak ada aku, engkau tentu sudah mati di tangan badut-badut itu. Nah, untuk membalas budi itu, apa yang ingin kaula-kukan untukku?"   Ci Kang mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Locianpwe, walaupun locianpwe telah mengusir orang-orang yang mengeroyokku dan menyelamatkan aku, hendaknya locianpwe ingat bahwa aku tidak pernah minta tolong kepadamu. Jadi aku tidak berhutang budi atau apapun kepada locianpwe."   Orang lain tentu akan merasa pena-saran dan marah sekali mendengar jawab-an orang yang pernah diselamatkan nya-wanya seperti itu, akan tetapi sungguh kakek itu berwatak aneh. Dia malah ter-tawa senang! "Ha-ha-ha, cocok! Bagus! Tidak pernah hutang budi, tidak pernah menghutangkan budi, berarti tidak pula pernah mendendam. Ha-ha, orang muda, engkaulah orang yang kucari-cari!"   Ci Kang merasa semakin heran. Kakek ini sungguh luar biasa, tidak saja menge-tahui keadaannya, akan tetapi juga omongannya aneh dan sikapnya luar biasa.   "Mengapa locianpwe berkata demiki-an? Mengapa locianpwe mencari-cari a-ku?"   "Aku mencari murid dan engkaulah o-rangnya yang paling cocok. Orang muda, tidak kusangkal bahwa engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan jarang ada orang dapat menandingimu. Akan tetapi sayang, ilmu-ilmumu masih mentah. Tadipun andaikata ilmumu sudah matang, tanpa kubantu sekalipun engkau akan menang menghadapi para pengeroyokmu."   Ci Kang menggeleng kepala. "Tidak mungkin, locianpwe. Mereka itu adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang berilmu tinggi. Bahkan ayah sendiripun agaknya tidak akan kuat kalau menghadapi pengeroyokan mereka."   "Ha-ha, engkau sudah melihat betapa dengan mudah aku menghadapi mereka. Siangkoan Ci Kang, mari kau ikut bersa-maku setahun saja dan aku akan mama-tangkan ilmumu."   Ci Kang mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. Tentu saja dia yang sejak kecil belajar silat, merasa girang kalau sampai dapat menjadi murid kakek yang dia tahu memiliki kepandaian hebat ini. Akan tetapi diapun memiliki watak yang bebas, tidak mau terikat.   "Apakah locianpwe hendak mengambil murid kepadaku sebagai balas budi?"   "Ha-ha-ha, akupun seorang yang suka bebas dari pada segala macam hutang budi seperti engkau. Aku ingin mengambil murid karena kulihat engkau berbakat sekali, dan karena aku merasa cocok dengan watakmu."   Giranglah rasa hati Ci Kang mendengar ucapan ini. Tanpa ragu-ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. "Baiklah, suhu, teecu terima dengan gembira sekali."   Kakek itu juga merasa gembira bukan main. Sambil tertawa-tawa dia lalu menarik tangan Ci Kang dan diajaklah pemuda itu pergi dari situ untuk mulai menggemblengnya sebagai murid. Kakek itu adalah Ciu-sian Lo-kai, tokoh sakti aneh yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan yang pernah mengunjungi Lembah Naga tempo hari. Seperti kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai berbeda pendapat dan berbantahan dengan Go-bi San-jin tentang sikap Pendekar Cia Han Tiong mengenai dendam dan ikatan. Dan karena mereka meran sudah terlalu tua untuk saling gempur, keduanya lalu berjanji untuk mencari murid dan mendidik murid itu menurut pandangan hidup masing-masing, tentu saja dengan maksud untuk kemudian diuji siapa yang lebih berhasil. Go-bi San-jin lalu berhasil membujuk Cia Sun yang sedang dicekam dendam karena kematian ibu dan para suhengnya, sedangkan Ci Kang yang jemu dengan dunia hi-tam dan kejahatan, kini menjadi murid kakek jembel itu.   ***   Pulau Teratai Marah merupakan sebuah di antara pulau-pulau kecil yang berada di Lautan Tiongkok Timur, beberapa li jauhnya dari pantai. Kalau dilihat dari pantai, hanya nampak bintik-bintik kecil di sebelah timur yang tidak menarik perhatian. Bahkan para nelayan hanya mengenal pulau-pulau kecil itu sebagai pulau-pulau kosong dan sebagian besar hanya merupakan pulau-pulau batu karang yang tiada gunanya karena tidak memiliki tanah subur, tidak memiliki air tawar. Akan tetapi ada beberapa buah pulau yang ditumbuhi pohon-pohon liar dan di antara pulau-pulau inilah yang dinamakan Pulau Teratai Merah. Pulau ini mempunyai tanah yang cukup subur, bahkan ada sumber airnya, dan ada bukit kecilnya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, pulau inipun hanya dilewati saja oleh para nelayan karena hanya terisi pohon-pohon liar dan binatang-binatang berba-haya. Akan tetapi, pulau ini telah dipi-hh oleh Pangeran Toan Su-ong, pangeran pelarian yang meninggalkan kota raja, seorang bangsawan yang menentang ke-luarga kaisar sendiri, dan seorang ahli silat yang amat pandai. Di pulau inilah Pangeran Toan Su-ong bersembunyi, hidup bersama isterinya yang tercinta, yang bernama Ouwyang Ci. Isterinya itu me-miliki kitab pusaka peninggalan Panglima The Hoo yang terkenal dan di tempat sunyi ini, Pangeran Toan Su-ong dan Ouwyang Ci yang menjadi isterinya, te-kun memperdalam ilmu silat, bahkan berhasil menciptakan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang hebat. Di tempat itu pula mereka mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Toan Kim Hong yang kemu-dian menjadi datuk selatan Lam-sin dan akhirnya menjadi isteri Pendekar Sadis (baca cerita Pendekar Sadis). Pangeran bersame isterinya itu membabat hutan di pulau itu, menanami tanah pulau itu de-ngan pohon-pohon yang berguna, sayur-sayuran, bahkan akhirnya mereka berdua menanam bunga-bunga, membuat telaga kecil dari air sumber yang dialirkan ke situ dan sebentar saja mereka dapat memperkembangbiakkan bunga teratai merah. Pulau itu berobah menjadi tem-pat yang indah dan subur dan mereka memberi nama Pulau Teratai Merah.   Demikianlah riwayat singkat Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah) itu yang kini menjadi tempat tinggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Lam-sin Toan Kim Hong. Setelah Pendekar Sadis dan isterinya yang memang ahli waris pulau itu tinggal di situ, pulau itu menjadi semakin indah dan terawat baik. Apalagi karena pendekar ini mempergunakan belasan orang pelayan untuk merawat pulau, tempat itu menjadi sebuah pulau yang mewah. Ceng Thian Sin telah menjadi seorang yang kaya raya, memiliki sebuah bangunan gedung seperti istana di atas pulau. Para pembaca cerita serial Pendekar Sadis tentu maklum, be-tapa suami isteri pendekar ini telah memperoleh harta karun Jenghis Khan yang amat besar nilainya dan yang membuat suami isteri itu menjadi kaya raya.   Biarpun sudah lama suami isteri pendekar ini tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw, melainkan hidup makmur dan tenteram di Pulau Teratai Merah, namun hal ini bukan berarti mereka mengasingkan diri dari pergaulan. Sama sekali tidak, karena keluarga Ceng ini mengadakan hubungan dengan kota Ning-po, kota pelabuhan terbesar di daratan yang terdekat dengan Pulau Teratai Merah. Para penghuni kota Ning-po, dari pembesar sampai kepada para pelayannya, tahu di mana letaknya pulau itu dan siapa keluarga yang tinggal di sana. Bahkan Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Propinsi Ce-kiang dan daerah selatan, berkenan datang berkunjung beberapa hari ke pulau indah itu dan menjadi tamu kehormatan keluarga Ceng. Terjalin persahabatan antara keluarga Ceng dan keluarga Can, apalagi setelah pangeran yang masih berdarah keluarga kaisar di kota raja itu mengetahui bahwa isteri Pendekar Sadis adalah keturunan Pangeran Toan Su-ong yang amat terkenal itu. Bagaimanapun juga, masih ada hubungan keluarga, biarpun jauh, antara keluarga Can Seng Ong dan isteri Pendekar Sadis. Selain itu, sudah beberapa kali suami isteri majikan Pulau Teratai Merah itu berjasa dengan beberapa kali mengusir dan membasmi penjahat-penjahat yang berani merajalela di Ning-po dan sekitarnya, yang tidak dapat ditanggulangi oleh para petugas keamanan.   Pada suatu siang yang panas, sebuah perahu kecil meluncur meninggalkan Pan-tai Ning-po menuju ke timur, ke arah pulau-pulau kecil yang nampak seperti titik-titik hitam itu. Perahu itu didayung gadis berpakaian sederhana dan setelah agak ke tengah, gadis itu me-ngembangkan layar yang segera menang-kap angin dan meluncurlah perahu itu dengan lajunya, dikemudikan tangan-ta-ngan kecil halus dengan sikap cekatan. Jelaslah bahwa gadis ini tidak asing dengan lautan dan perahu. Hal ini bukanlah aneh kalau diketahui bahwa gadis itu lahir dan dibesarkan di Pulau Teratai Merah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!   Setelah peristiwa pembongkaran rahasia Liu-thaikam di istana selesai dan pembesar korup itu tertangkap dan dihukum mati, Sui Cin bersama Cia Hui Song meninggalkan kota raja. Tadinya Hui Song hendak mengantar Sui Cin sampai ke Pulau Teratai Merah karena pemuda yang sudah jatuh cinta ini selain ingin memperpanjang perjalanannya bersama dara itu, juga ingin berkunjung ke pulau itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan isterinya yang sudah lama dia kagumi namanya itu. Akan tetapi Sui Cin mencegahnya.   "Twako, harap kau jangan dulu berkunjung ke rumah kami. Ayah ibuku akan marah kepadaku kalau membawa teman tanpa memberi tahu lebih dahulu. Tidak begitu mudah untuk mendatangi Pulau Teratai Merah tanpa mendapat perkenan ayah ibu. Aku sudah lama merantau meninggalkan mereka. Kalau aku pulang membawa teman tanpa lebih dahulu mendapat ijin, aku tentu akan kena marah. Lain kali saja engkau datang kalau aku sudah menceritakan tentang dirimu kepada mereka."   Hui Song merasa kecewa akan tetapi tidak berani memaksa. "Cin-moi, akupun tidak berani lancang mengunjungi Pulau Teratai Merah tanpa ijin orang tuamu. Biarlah aku mengantarmu sampai ke pantai dan engkau lebih dahulu menyeberang ke pulau dan melaporkan kepada orang tuamu. Kalau mereka setuju, baru aku akan ke sana. Bagaimana?"   Tentu saja tidak ada alasan bagi Sui Cin untuk menolak. Apalagi ia memang suka kepada pemuda yang jenaka dan lincah akan tetapi gagah perkasa dan berbudi ini. Ia tahu benar bahwa Hui Song mencintanya dan hal ini mendatangkan rasa senang di dalam hatinya, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti apakah iapun mencinta pemuda ini. Ia suka kepada Hui Song, sebagai seorang sahabat, hal ini sudah jelas. Senang bekerja sama dengan pemuda yang gagah perkasa itu, melakukan perjalanan bersama, bersendau-gurau dan bicara tentang ilmu silat. Dan bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa cintanya pemuda itu kepadanya menda-tangkan semacam rasa bangga dalam hatinya.   Mereka lalu melakukan perjalanan ke selatan dan setelah mereka tiba di kota Ning-po, Sui Cin berkata, "Song-twako, harap engkau suka menanti di kota ini lebih dulu. Paling lambat tiga hari aku pasti akan memberi kabar kepadamu, entah aku datang sendiri atau menyuruh pelayan, mengabarkan kepadamu apakah engkau sudah boleh menyeberang ke pu-lau ataukah tidak."   "Baik, Cin-moi. Aku menanti di peng-inapan ini, mudah-mudahan orang tuamu berkenan menerima kunjunganku. Selamat jalan, Cin-moi."   "Selamat tinggal, sampai jumpa kembali."   Sui Cin meninggalkan pemuda itu dan berlayar seorang diri menuju ke Pulau Teratai Merah. Wajahnya gembira sekali, berseri-seri dan senyum menghias bibirnya. Hatinya terasa nyaman dan gembira karena begitu ia berlayar menuju ke pulaunya, barulah terasa betapa sebetulnya ia merasa amat rindu kepada ayah bundanya, kepada pulaunya, bahkan rindu kepada air laut di mana ia biasa bermain-main semenjak ia kecil. Kini, setelah ia mangemudikan perahunya yang ngebut menuju ke timur, hatinya riang sekali. Dalam keriangannya itu teringatlah ia akan sajak yang dibuat ibunya dan yang dihafalnya ketika ia masih kecil. Kini, tak terasa lagi bibirnya bergerak dan terdengarlah alunan suaranya yang nyaring merdu di antara suara percikan air pecah dibelah ujung perahunya.   "Laut! Hidupmu penuh rahasia airmu luas tak terjangkau mata bergerak berobah tiada hentinya tak berdaya namun penuh kuasa!   Kadang marah liar mengganas kadang lembut halus dan lemas kadang riang gembira penuh tawa kadang meraung menangis penuh duka!   Laut! Penuh sgala kemungkinan rahasia cermin batin setiap manusia!   Dahulu, di waktu ia masih kecil, biarpun ia hafal akan kata-kata nyanyian itu, namun ia tidak mengerti apa yang termaksud dalam sajak itu. Memang penggambaran lautan itu dapat dimengerti. Lautan selalu berobah. Kalau sedang tenang halus, amat mentakjubkan karena indahnya, bagaikan sutera biru terhampar, atau bagaikan padang rumput segar tertiup angin, seolah-olah melambai mengajak orang menikmati keindahannya. Akan tetapi ada kalanya laut membuat ia berlari menjauh, bersembunyi aman di dalam rumah karena laut mengamuk, mengganas, mengeluarkan suara yang mengerikan, gelombang menderu meraung-raung, kadang-kadang menangis mendesis-desis, menggelegar menghantam batu karang di pantai, demikian perkasa dan menyeramkan. Akan tetapi hanya sampai di situ saja batas kemampuannya untuk menyelami arti sajak buatan ibunya itu. Bahkan setahun yang lalu ketika ia meninggalkan pulau, ia masih tidak perduli akan isi sajak itu, tidak berminat untuk menyelami artinya lebih mendalam. Akan tetapi sekarang, pada saat ia bernyanyi, artinya meresap ke dalam kalbu dan ia mengerti sepenuhnya akan isi kalimat terakhir dari sajak itu. "Laut! Penuh segala kemungkinan rahasia, cermin batin setiap manusia!"   Memang ada gerakan tiada hentinya dalam batin manusia, seperti lautan. Kadang-kadang manusia dapat bersikap lembut, terkadang ganas dan kejam, dan selama ini ia sudah melihat betapa banyaknya manusia melakukan kekejaman-kekejaman dan kebuasan yang lebih mengerikan daripada kebuasan lautan!   Baru saja Sui Cin menghentikan nyanyiannya, perhatiannya tertarik oleh beberapa buah perahu yang agaknya baru saja meninggalkan Pulau Teratai Merah. Sebuah perahu besar mewah dikawal oleh empat buah perahu kecil. Begitu melihat perahu besar itu, Sui Cin tersenyum. Tentu saja ia mengenal perahu mewah yang berbendera besar itu. Perahu siapa lagi kalau bukan perahu Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur atau Raja Muda dan mempunyai rumah di Ning-po itu! Ia mengenal keluarga itu, juga me-ngenal putera tunggal raja muda itu, se-orang yang usianya lima enam tahun lebih tua daripada usianya dan yang disukainya karena pemuda bangsawan yang bernama Can Koan Ti itu wataknya ceriwis, suka menggodanya dengan sikap yang kurang ajar! Akan tetapi dalam pergaulan biasa, tentu saja ia tidak me-nyatakan sikap tidak senang itu, karena ia maklum bahwa orang tuanya adalah sahabat baik keluarga Can. Agaknya yang membuat ia tidak suka adalah kemewahan yang terlalu berlebihan itu. Ibunya sendiri seorang wanita cantik jelita yang pesolek dan suka mengenakan pakaian-pakaian indah, demikian pula ayahnya. Dan keluarga Can itu seolah-olah berlomba dalam menonjolkan kekayaan mereka. Hal-hal inilah yang tidak disukai Sui Cin. Entah bagaimana, ia tidak suka bersolek, tidak suka menonjolkan kekayaan dan kadang-kadang selagi ia kecil, ia ngambek kalau oleh ibunya dipaksa mengenakan pakaian-pakaian indah. Ia lebih mengutamakan keenakan pakaian yang menempel di tubuh daripada keindahannya. Karena ini-lah maka Sui Cin seringkali memakai pakaian yang aneh-aneh dan nyentrik, semata-mata dilakukan bukan untuk menarik perhatian, melainkan karena ia mengutamakan keenakan pada pakaian yang dipa-kainya itu.   "Haiii... Ceng Siocia...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari perahu besar dan seorang laki-laki menjenguk dari atas pagar besi di tepi geladak perahu. Orang itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Wajahnya tidak berapa tampang akan tetapi karena dia pesolek, dengan kulit muka biasa dibedaki, rambut tersisir rapi dan mengkilat karena minyak, pakaiannya mewah sekali, maka dia nampak sebagai seorang pria yang ganteng. Sui Cin segera mengenalnya karena pemuda itu bukan lain adalah Can Koan Ti, putera tunggal Raja Muda Can Seng Ong atau gubernur Ce-kiang itu. Bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya setelah lebih dari setahun berpisah mendatangkan kegembiraan. Sui Cin segera melupakan sifat-sifat yang tidak disukanya pada diri putera pembesar itu dan iapun melambaikan tangan.   "Heiii, Cong-kongcu... selamat berjumpa!" teriaknya riang.   Pemuda itu melambaikan tangan dengan gembira, lalu terdengar suaranya nyaring dan sengaja dinyaringkan karena perahu mereka sudah meluncur berpapasan, "Haiii... engkau semakin cantik saja..."   Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdengar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdengar banyak orang, "Engkau... ceriwis dan brengsek...!"   Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendengar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak, "Apaaaa...? Kau bicara apa, nona...?"   Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!   Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!   Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian sela-tan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna. Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan a-yah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi. Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bu-nga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan. Ia menye-lam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tem-pat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi me-rantau. Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ke-tika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.   Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata me-miliki kepandaian silat lumayan itu sela-lu bersikap waspada. Oleh karena itu, ti-dak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.   "Ayah...!" Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.   "Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.   Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya, "Ibu...!"   Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya. "Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."   Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.   "Ihh, rembutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!" Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.   Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya den teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.   "Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!" Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu ma-sih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang ba-gus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah se-perti pakaian seorang hartawan aseli, se-patunya mengkilap dan baru. Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya di-sanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, ke-dua telinganya dihias anting-anting mu-tiara besar, juga kalung batu-batu per-mata tergantung di luar bejunya yang amat indah. Gaun itu disulam gambar se-ekor burung hong dari benang emas, se-suai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.   Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata, "Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."   Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya. "Sudah-lah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap se-perti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan be-rita penting sekali mengenai dirimu."   Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.   "Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengen perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung ke sini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.   "Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung ke sini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritaken kepadamu!"   Sui Cin mengerutkan alis. "Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"   "Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.   Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara. "Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"   Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.   "Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.   "Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."   "Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.   "Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitu-kah ayah dan ibu?"   "Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"   "Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.   "Maafkan, ayah." Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.   "Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."   "Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar te-gang.   "Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."   "Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."   "Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"   Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang. "Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"   "Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!" Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah. "Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"   Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan. "Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"   "Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"   Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya. "Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"   Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai. "Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.   "Kalau ayah dan ibu ingin melihat a-ku berbahagia, janganlah memaksaku ka-win dengan siapapun juga. Tunggu sam-pai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."   "Ehh...?" Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan! "Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Kenapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."   "Karena aku benci! Aku benci pada o-rang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati, sombong dan korup! Aku benci ke-pada pembesar-pembesar yang korup, ma-cam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."   "Hemm, jadi engkaukah satu di antara mereka yang berhasil menjatuhkan o-rang she Liu itu?" Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thai-kam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar per-sekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.   "Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."   "Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Eng-kau harus ceritakan semua pengalaman-mu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, me-rangkul puterinya dan mengajaknya ma-auk ke dalam kamar.   Kepada ayah ibunya Sui Cin menceri-takan semua pengalamannya, juga perte-muannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas ke-cuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ning-po, menanti "lampu hijau" da-rinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.   Ketika Sui Cin bercerita tentang mu-rid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, i-bunya mengerutkan alis. "Ah, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan meman-dang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"   "Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah per-kasa yang selalu menjunjung tinggi kebe-naran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-ling-pai."   "Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak ang-kuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya." La-lu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan un-tuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ning-po.   "Cia Hui Song juga menyatakan keka-gumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya ia memancing.   "Hemm, tidak usah ke sini... aku su-dah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin ti-dak berani lagi mendesak. Munculnya u-rusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia memba-wa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus se-gera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po. Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibu-nya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu. "Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan ke-marahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya. Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya. "Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-o-leh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan peran-tauanku."   "Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"   Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.   "Ibu, apa yang kaumaksudkan? Menjatuhkan hatiku?" Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.   "Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kausuka?"   Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru. "Ah, itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."   "Bukan begitu maksudku."   "Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.   "Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"   "Ohh...!" Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."   "Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"   Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata, "Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"   Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"   Sui Cin menggeleng kepala. "Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."   Ibunya mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."   "Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"   Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri. "Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin." Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya! Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas! Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.   Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.   Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.   "Cin-moi...! Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"   "Song-twako, engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.   "Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."   "Eh? Engkau... tidak kembali ke pengi-napan?"   Pemuda itu membantunya menarik pe-rahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.   "Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."   Sui Cin menahan tawanya. "Ihh, eng-kau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"   "Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"   Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.   "Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"   Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan teta-pi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepa-da Cin-ling-pai, dan bukan hanya berke-beratan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.   "Maafkan, twako. Pada waktu ini, a-yah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."   "Ah, sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekas Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.   Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasih-an dan cepat ia berkata, "Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."   Tentu saja perkataan ini mengheran-kan hati Hui Song. "Apa? Apa maksud-mu? Engkau tidak akan pulang?"   Sui Cin menggeleng. "Tidak, aku akan pergi lagi merantau."   Hui Song mengerutkan alisnya. "Eh, kenapa begitu, Cin-moi? Bukankah eng-kau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."   "Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.   Hui Song memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya, Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepa-da orang tuamu sendiri."   "Bukan hanya itu, twako. Yang mem-buat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gu-bernur!"   Hati Hui Song berdebar setelah tera-sa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."   "Selamat hidungmu!" Sui Cin mem-bentak jengkel. "Engkau malah ingin me-nambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bang-sawan ceriwis itu!"   Hui Song merasa betapa suatu kele-gaan dan kegembiraan luar biasa menye-linap di hatinya mendengar kata-kata se-tengah teriakan dari gadis itu. Akan te-tapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius. "Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah pu-tera seorang gubernur itu merupakan ca-lon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."   Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia ti-dak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat ber-tahan marah terlalu lama. Kini ia me-mandang pemuda itu dengan wajah bar-seri dan mulut tersenyum. "Hemm, eng-kau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."   "Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."   Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kauterka itu. Sedikitpun aku belum me-mikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seper-ti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."   Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini meran girang sekali karena kini dia tahu bahwa gedis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.   "Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"   "Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"   "Kalau begitu, marilah ikut bersama-ku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin--ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."   Sui Cin mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Le-bih baik mempergunakan perahu menyu-suri pantai ke utara dan mendarat di Hang-couw, baru kita melanjutkan perja-lanan melalui daratan."   "Kenapa begitu?"   "Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, ja-ngan harap dapat lolos dari kejaran me-reka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergi-anku."   Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang me-nuju ke utara. Sementara itu, malam te-lah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.   "Song-twako, sekali ini aku benar-be-nar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."   "Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menye-bar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempu-nyai bekal cukup kalau hanya untuk bia-ya di perjalanan saja."   "Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"   "Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"   Sui Cin menggeleng kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah." Kedua-nya tersenyum dan perahu meluncur de-ngan laju. Indah bukan main pemandang-an di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan ka-dang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yaeg jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar.   ***   Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka. Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rekyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.   Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang! Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sin-yang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!   Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya. Pemuda ini bahkan sudah dise-tujui oleh keluarga lurah Coa sendiri un-tuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lu-rah Coa.   Betapa hati Lan Kim tidak akan ber-duka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Ia dipaksa untuk menjadi isteri o-rang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbaha-gia bersama pemuda itu. Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumah-nya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mende-ngar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.   Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, ti-dak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa o-rang wanita yang bertugas menemaninya.   "Sudahlah, Lan Kim. Mengapa mena-ngis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan meniadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang keme-wahan, kenapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai di-rias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.   "Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."   "Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Sang, bukan?"   "Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."   "Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"   "Ibu...!"   "Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah de-ngan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"   Demikianlah sang ibu membujuk pute-rinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu, akan kuco-bakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," kata nyonya Coa.   Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang memba-wa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"   Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"   "Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"   Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin. Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang.   Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya! Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan ke-amanan dikerahkan, bahkan semua pendu-duk menjadi ikut gelisah dan ikut men-cari-cari ke mana perginya pengantin wanita.   Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat me-narik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba di situ, memasuki dusun Lok-cun da-lam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san. Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa pen-duduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sa-na-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-o-rang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penja-ga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka ber-tambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung me-reka dengan senjata tajam di tangan.   "Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.   "Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.   "Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di sini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"   "Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah ma-ju untuk menangkap lengan Sui Cin. A-kan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepa-tunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.   "Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.   Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mu-di inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka. Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dustin ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pe-dang. Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.   "Tenanglah saudera-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song. Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba di situ dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia da-pat menduga bahwa pemuda ini tentu se-orang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.   "Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."   "Eh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.   "Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas sete-lah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap." Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.   Hui Song dan Sui Cin mendengarkan penuh perhatian. "Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu." Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.   Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah ber-batu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk ber-sila di depan sebuah guha yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali katena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, se-orang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan!   Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru.   Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kokek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.   "Heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang pendek mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"   Tentu saja Hui Song dan Sui Cin ter-kejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab, "Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"   Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, no-na manis, apa sukarnya? Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan memperguna-kan ilmu berlari cepat seperti dua orang pebdekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."   Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki ke-pandaian tinggi, maka dia bersikap hor-mat dan menjura. "Maaf kalau kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bu-kanlah pendekar, akan tetapi dugaan lo-cianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."   "Membantu apa?" kakek itu memo-tong.   "Hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apa-kah engkau tahu di mana adanya pengan-tin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.   Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan ha-ti. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantip wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"   "Uhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.   Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"   Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda den menjadi bahan ejekan orang.   Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"   Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.   "Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"   Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi. "Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"   Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam guha dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan. Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang di-culik orang itu? Dan kakek ini penculik-nya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?   "Eh, enci, benarkah engkau puteri lu-rah Coa, yang akan menjadi pergantin la-lu diculik kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.   Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar perta-nyaan Sui Cin, ia mengangguk. "Aku a-dalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan me-mang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menen-tang. Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.   "Suamimu? Calon suamimu? Bagaima-na pula ini? Kalau engkau mau dikawin-kan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.   "Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" Lan Kim berkata. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sin-yang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."   "Ah, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kaukawini sendiri? Sungguh berani dan..."   "Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" Kakek katai ikut bicara. "Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!" "Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song diper-mainkan. "Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka." Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalahpahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hu-bungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pa-da suatu hari datanglah pinangan pembe-sar di kota Sin-yang terhadap diriku. A-yah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan di-cambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di guha ini." Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengam-bil keputusan membunuh diri saja daripa-da melihat kekasihku menikah dengan o-rang lain dan aku sendiri kehilangan pe-kerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul lo-cianpwe ini menyelamatkan aku dan ke-tika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku ke sini, me-nyuruh aku menunggu di dalam guha ini dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali membawa Lan Kim. Kini kami ber-dua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."   Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budi-man.   "Aah, kiranya engkau benar-benar se-orang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.   "Harap locianpwe maafkan kalau ka-mi menyangka buruk."   "Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah tekebur dan ingin berlagak pendekar-pen-dekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"   "Tentu saya akan menentangnya!" ka-ta Hui Song.   "Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada o-rang tuanya, kek," sambung Sui Cin.   "Bagus, nah, kalau begitu kalian ma-julah, hendak kulihat sampai di mana ke-lihaian kalian."   "Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.   "Hemm, andaikata aku penjahat, apa-kah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana keli-haian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin di-ganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ke-tika tangannya bergerak, tangan itu su-dah menampar ke arah dada Hui Song.   "Eeiiitt...!" Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.   "Dukk!" Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sin-kangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memi-liki sin-kang yang hebat. Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berke-lebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.   "Lihat seranganku!" Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya me-notok ke arah iga bawah ketiak dari le-ngan kakek yang mencengkeram itu. To-tokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatal-kan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan ta-ngan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih ti-pis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antera ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.   "Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pa-da saat Sui Cin diserang sehingga andai-kata Sui Cin tidak mempergunakan kece-patan gerakannya mengelak sekalipun, se-rangan kakek itu akan depat digagalkan-nya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pe-muda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tena-ga sakti Thian-te Sin-kang!   Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.   "Nantl dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.   "Kek, kami belum kalah kenapa ber-henti?" Sui Cin yang sudah merasa gem-bira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa be-nar dalam hatinya bahwa kakek itu bu-kan orang jahat dan pertandingan itu ha-nya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gem-bira.   "Heh-heh-heh, akupun belum kalah. A-ku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian be-gitu tekebur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku ka-lah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"   Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"   Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini tekeburkah kakek ini? Dia tahu a-kan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis pu-teri Pendekar Sadis itu. Menandingi me-reka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini me-nantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.   "Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"   "Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka bu-ruk lagi kepadaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."   "Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.   "Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."   Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya? Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?   "Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.   "Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.   Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri? Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.   "Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"   Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!   Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.   "Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke manapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!   Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.   "Hi-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"   "Heh-heh-heh, siapa mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khi-kang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga. Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sin-kang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khi-kang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur! Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan gin-kang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada gin-kang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.   Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.   "Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.   Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu. Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!   "Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"   Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cid. cemberut.   "Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"   "Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingmu. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengentin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"   "Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."   "Namaku Ceng Sui Cin."   "Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"   Karena maklum bahwa kakek ini ten-tu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song mera-sa tidak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."   Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus jenggot panjangnya dan terta-wa-tawa. "Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja aku harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus, kalau bukan kalian, ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini dengar baik-baik rencanaku untuk menolong ga-dis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di sana sudah dipersiapkan untuk sore nanti mengantar pengantin wanita ke Sin-yang."   "Eh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin dan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut ka-kek dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.   "Ingat, kalian sudah kalah dan berjan-ji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."   "Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.   Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin. "Engkau meng-antar gadis Coa itu kembali karena eng-kau tadi berjanji untuk mencarinya. Ka-takan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"   "Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kauculik!" Sui Cin mengomel.   "Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."   "Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kaubawa ke sini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.   Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut guha dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya ber-ubah merah.   "Locianpwe, apa maksudmu?"   Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia" itu. "Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."   "Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.   "Hi-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.   "Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.   "Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus diaukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.   "Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.   Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik daripada kalau engkau yang merusak mukanya."   Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun ta-ngan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja ails-nya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku. Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin den selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam guha.   Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Ka-rena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembe-sar di Sin-yang agar ia dapat hidup ber-sama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak me-rasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin.   Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang menarik Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi ia berhasil merampasnya kembali. "Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."   Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan di-jamu seperti seorang tamu agung yang amat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberitahukan bahwa kawannya kini masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.   Lan Kim didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Biarpun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.   Setelah saatnya tiba, muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?   Kedudukannya terlalu tinggi untuk merendahkan dia turun ke dusun menjemput sendiri calon isterinya kelima, dan para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apalagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu. Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu terdapat gangguan gerombolan penjahat dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itupun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?   Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lain. Tangis para keluar-ga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tra-disi yang tidak mungkin dapat ditinggal-kan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.   Menyedihkan memang kalau kita be-nar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehi-dupan kita. Tangis kita, tawa kita, keba-nyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau me-nyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita. Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memak-sa mulut untuk tersenyum atau sebalik-nya batin yang tidak sedang perihatin memaksa mata untuk menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, ber-sikap atau berbuat yang berlawanan dengan batin! Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, an-tara batin, ucapan dan perbuatan, meru-pakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita. Kesemuanya itu bahkan seperti sudah menjadi suatu ke-harusan, suatu kebiasaan bagi kita. Da-pat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis. Benarkah semua itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura sa-ja, sekedar memenuhi syarat umum agar dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa begini? Tidak dapatkah kita ber-sikap wajar dan selalu ada keserasian an-tara batin, ucapan dan perbuatan?   ***   Rombongan pengantin itu hanya melalui sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang ju-ga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Maka, para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengan-tin. Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan perampok atau penja-hat lain di hutan itu. Tadipun ketika me-reka pergi ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tidak terjadi gangguan. Pu-la, siapa berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!   Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut den senja mendatang, membuat cuaca dalam hutan menjadi re-mang-remang karena sinar matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang da-un pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar teriak-an yang amat nyaring dari samping kiri, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.   "Berhenti den serahkan nona pengan-tin!"   Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan o-rang itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan membe-ranikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai ditunjuk sebagai pengawal dan pelindung nona pengantin.   Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup. "Kalian bertahan di sini, biar a-ku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu dan mendorong-nya sendiri sambil berlari keluar dari hu-tan.   Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang re-maja, akan tetapi dia memakai kedok le-bar yang menutupi semua wajahnya, ha-nya memperlihatkan dua buah mata yang mencorong di balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata, "Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"   Kalau tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka tersenyum mengejek. Kiranya hanya seorang anak kecil yang menghadang mereka, yang hendak menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka itu dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.   "Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan berlutut minta ampun telah mengejutkan hati kami!"   "Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"   Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannyapun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.   "Plakk! Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka menerjang.   "Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan dan belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.   Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi. Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.   Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.   Sui Cin berpura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Eh, kenapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"   Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lalu menceritakan betapa mereka diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja Sui Cin diam-diam merasa geli karena ia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.   "Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan penejaran," katanya. Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yan berupa gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tidak menyadari bahwa joli atau berobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat daripada tadi.   Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin tiba di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan. Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri kelima, apalagi kalau wanita itu hanya seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di situ tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu. Apalagi ketika para penjemput itu dengan bermacam gaya menceritakan tentang pencegatan, orang aneh yang amat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lalu tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja dalam jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pcngantin! Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang ikut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia memperkenankan pengawal cantik ini ikut masuk pula.   Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari- pada gadis desa yang diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apalagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya. Pembesar yang usianya sudah enam puluh tatun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita dibeli dengan harta dan kedudukannya. Baginya, wanita tentu tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, biarpun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.   Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang kelima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit ikut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.   "Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.   Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh para pelayan keluar dari dalam kamar. "Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu. Para pelayan itu cekikikan dan berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu selain bertugas sebagai pelayan juga kadang-kadang memperoleh giliran menemaninya dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.   Setelah semua pclayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Sekali ini dia mengamati wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita secantik ini, apalagi kalau wanita ini memiliki kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!   "Nona, siapakah namamu?"   Sui Cin mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya, belum juga melihat calon isteri yaag masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi ia pura-pura tersenyum manis dan melirik menja.   "Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."   "Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."   "Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."   "Eh, jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aih, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.   "Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Eh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di depannya dalam pakaian pengantin wanita!   Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang, kini berlenggak-lenggok genit seperti seorang perempuan, tentu saja dengan gaya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... kenapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku di malam pertama ini? Aihhh, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu tercinta. Mari, peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."   Pembesar itu menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar seperti suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.   "Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri dan mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!" Akan tetapi suara tikoan itu terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song telah menotoknya, pada jalan darah di leher yang membuat tikoan itu tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song memendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan. Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi, wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentu sekutu gadis i-tu! Dan jantungnya hampir berhenti sa-king takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.   "Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, aku akan membunuhmu!" Setelah berkata de-mikian, Hui Song menepuk lehernya dan Su-tikoan mampu lagi bicara.   "Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... di mana pengantinku...?"   "Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri kelima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, agar tidak terjatuh ke tangan srigala tua macam engkau. Nah, cepat keluarkan uang saratus tail emas untuk bekal pe-ngantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan menggunakan harta dan kekuasaan!"   Tubuh pembesar itu menggigil. "Baik... baik..." katanya akan tetapi dari pandang matanya yang berkilat tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Juga Sui Cin dapat men-duga hal ini maka gadis itupun menghar-dik.   "Engkau adalah seorang pejabat ting-gi, seorang pembesar yang sepatutnya menjadi pelindung rakyat, menjadi tela-dan bagi rakyat. Akan tetapi, engkau lu-pa bahwa engkaupun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau suka berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, menggunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."   Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.   "Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.   "Baik... baik...!" Kakek gendut itu lalu menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba pembesar itu membuka daun jendela dan berteriak, "Pengawal...! Toloonggg...!"   "Keparat!" Hui Song berseru dan tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.   "Brukk...!" Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah, karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.   "Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.   Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin mengambil emas dan perak itu, membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat dalam lemari. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sudah berjaga-jaga di pintu, tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.   "Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan merekapun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu. Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu telah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa telah dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Biarpun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh. Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan bertemu dengan lengan-lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apalagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan segerombolan tikus.   Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"   "Heh-heh-heh, kalian sudah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang. Gegerlah gedung pembesar Su itu, apalagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengucur darah yang melumuri seluruh mukanya. Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu luka-luka parah pada mukanya. Akan tetapi setelah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya yang remuk. Biarpun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak dan membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu. Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.   Setelah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin dan kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Sepertu dapat kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua men-jatuhkan diri berlutut di depan tiga o-rang penyelamat mereka itu dan akhirnya mereka berdua dinasihatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.   Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang ha-tiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."   "Ahh, engkau terlalu merendahkan di-ri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kamipun engkau tentu akan mampu membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.   "Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wani-ta seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, seti-daknya aku dapat bertemu dan berkenal-an dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."   "Locianpwe telah mengenal kami ber-dua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."   "Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."   "Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, seka-rang perutku kosong dan lapar bukan main!"   "Jangan khawatir, kek. Aku akan ma-sak makanan untukmu asal engkau suka memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkus-an kecil dari buntalan pakaiannya. Bung-kusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.   "Kau bisa masak?"   Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri dan bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang akan membuat lidahmu menari-nari!"   "Ibumu? Aih, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"   "Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"   "Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan aku sekarang menjadi seorang kakek, maka apalagi namaku, kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha!"   "Huh, engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau mankanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru maask. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."   "Ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Kalau benar-benar masakanmu lebih enak daripada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"   "Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kauberikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"   "Tentu saja selamanya aku tidak pernah bohong."   "Ah, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."   "Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.   "Bagaimana enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"   "Ah, tidak mungkin. Perutku lapar begini, kalau ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."   "Baik, aku akan mencari behan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar guha.   Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berobah serius. "Hui Song, gin-kang gadis itu hebat sekali. Kabarnya ibunya yang memiliki gin-kang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."   Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andaikata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya mempunyai satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu?   Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan dan seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biarpun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itupun tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan nikmat.   "Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong? Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melenmpar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Hui Song tanpa diperintah lagi se-gera mencari kayu bakar dan membuat api unggun.   Kakek itu memandang terbelalak mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya geleng-geleng kepala, lalu menelan ludah dan bertanya, "Anak baik, bagaimam mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu? Mana naganya dan burung Hongnya?"   Sui Cin tersenyum, mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan naganya!"   "Kadal itu? Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"   Sui Cin cemberut den melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"   "Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.   "Biar kau kelaparan, siapa peduli?"   "Aih, anak baik, jangan marah. Ma-saklah, masaklah apa saja, hendak kuli-hat apakah engkau benar-benar pandai masak."   "Baik, akan tetapi, engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang kuperlukan saat ini."   "Boleh, boleh! Apa saja?"   Sui Cin menghitung-hitung dengan ja-rinya sambil mengerutkan alisnya. "Per-tama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari ja-he, kulit jeruk dan bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, akupun i-ngin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."   "Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema dan kakek itu sudah lenyap da-ri situ!   Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.   "Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"   "Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu? Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kauminta darinya?"   Sui Cin tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa semenjak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu? Aku dapat minta diajari gin-kangya itu!"   Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.   "Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako? Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"   "Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... aku... seperti merasa tidak enak hati semenjak dia muncul..." Dan pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu kepada kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cem-buru. Pemuda ini tidak tahu bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walaupun orang lain itu seorang kakek tua renta! Dan hatinya mera-sa lebih tidak enak lagi mendengar bah-wa Sui Cin akan minta diajari gin-kang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dia akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia kha-watir bahwa kalau sampai terjadi demi-kian, gadis itu memandang rendah kepa-danya.   Terdengar suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kaubutuhkan!"   Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh amat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.   Dengan girang Sui Cin menerima se-mua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah gadis itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Adapun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut guha, memejamkan mata dan sebentar saja terdengar suara mendengkur! Dari pernapasannya, dua o-rang muda yang juga memiliki ilmu ke-pandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat secara seketika tidur pulas hanya-lah orang yang sudah amat kuat batinnnya yang begitu mengosongkan batin se-gera tenggelam dalam kepulasan. Kepan-daian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu samadhi.   Sui Cin memang seorang gadis yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang gadis ini gemar memasak sehingga dalam perantauannya, ia selalu mempelajari ilmu ini dan memperdalamnya. Setiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, ia tentu segera menghubungi kokinya dan tidak segan-segan ia mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya. Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya ia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Ia tahu bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, menghilangkan rasa pahit pada beberapa macara sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.   Dengan dibantu Hui Song yang me-mandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, tak lama kemudian ter-ciumlah bau sedap ketika masakan-ma-sakan itu matang. Dan sungguh luar bia-sa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara!   "Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!" Dan dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang dan menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.   "Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak daripada masakanku!"   Wu-yi Lo-jin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedo-doran itu dia mengeluarkan sebuah mang-kok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makan-an dengan mata meram-melek, jelas se-kali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merase la-par, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga meman-dang sambil tersenyum girang.   "Bagaimana, kek? Bagaimana penda-patmu? Bukankah masakanku enak seka-li?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi se-telah dua macam masakan itu habis le-nyap ke dalam perut kakek katai itu.   Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak daripada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.   "Hi-hik, kakek curang, kaukira aku ti-dak tahu isi hatimu? Kaukira aku dapat kau bodohi begitu saja? Kalau tidak le-zat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali? Cih, dan masih ti-dak malu untuk menyangkal bahwa me-sakanku sangat lezat?"   Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada la-gi? Jangan kaubohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang be-lum kauhidangkan!" Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum a-rak dengan suara menggelogok.   Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"   "Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"   "Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan? Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"   "Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa? Aku hanya punya guci arak ini, boleh kauminta setelah araknya habis kuminum nanti!"   "Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"   "Apa...?" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini? Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan -sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"   "Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."   "Hemm, lalu apa yang kauminta? Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini? Ataukah pakaianku? Aih, ku-rasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"   "Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan gin-kang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"   Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.   "Ah, tidak bisa... tidak bisa...!"   "Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janji-janji penting!"   "Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."   "Aku tidak perduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu gin-kangmu."   "Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."   "Kami sendiripun belum makan, kek."   "Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, mengeluarkan roti kering dari buntalannya.   Sui Cin terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikitpun kepada dua o-rang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.   Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu nampok kekenyangan, menutup guci-nya dan menggantung gucinya kembali di punggung, mengusap bibir dengan saputangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.   "Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik."   "Wu-yi Lo-jin, kau sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku." Sui Cin memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.   Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan kiri. Hal ini mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.   "Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kautakuti?"   "Ssstt... mari kita keluar dari guha dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan guha itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur cepat mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin duduk di atas batu depan guha, menanti mereka.   "Nah, di sini kita bicara agar tidak ada yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang a-mat hebat, tua bangka seperti aku ini mau apa keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apalagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi se-suatu yan amat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Ma-ka, bagaimanpun juga, terpaksa aku ha-rus keluar dari tempat partapaanku dan di sini aku bertemu dengan kalian."   Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main, saling pandang, kemudian memandang lagi kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.   "Apakah yang telah terjadi, kek? Sia-pa yang mengancam kehidupan dan kese-lamatan manusia?"   Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang. "Kalau di-ingat, memang memalukan sekali. Terja-dinya sudah puluhan tahun yang lalu. Ka-mi, sekelompok delapan jagoan yang da-hulu menjadi datuk-datuk dunia persilat-an, sebelum muncul datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Lam-sin sebagai datuk selatan dan Pak-san-kui se-bagai datuk utara. Kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Ke-tika itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"   Kembali kakek katai itu kelihatan ge-lisah dan memandang ke kanan kiri. Ka-lau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa serem di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.   "Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.   "Raja Iblis itu seorang pangeran aseli yang melarikan diri dari istana. Dia ber-sama isterinya terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahken se-cara mutlak, termasuk aku. Kepandaian mereka memang hebat bukah main, mi-rip iblis-iblis saja mereka itu. Kami de-lapan orang datuk bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk ke-pada kami selama hidup. Dengan tanda itu, kami tidak akan berani melawan me-reka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murld kami secara otematis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah ja-lan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mere-ka."   Bukan main hebatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Pe-ristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua me-reka masih kecil, akan tetapi mengapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya se-mua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang di dunia persilatan terdapat ba-nyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.   "Jadi selama puluhan tabun ini locian-pwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.   "Benar, aku tidak pernah melihat dunia ramai, bahkan jarang bertemu manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."   "Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."   "Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, merekapun bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah hebat. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan ini berbehaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga kepada semua pendekar mereka merasa benci. Jadi, dapat kaubayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, akupun meninggalkan pertapaanku. Biarlah kalau perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhir, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."   "Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"   "Sudah tiga bulan. Dan selama ini aku menyelidiki jejak mereka. Dan terdengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk kaum sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"   "Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Di mana mereka itu, kek?"   "Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui di mana mereka berada? Akan tetapi, aku mendengar bahwa pada akhir bulan depan para datuk itu, termasuk Cap-sha-kui, akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada di sini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku karena kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerima sebagai murid walaupun aku akan meng-ajarken gin-kang kepadamu, Sui Cin. Ka-lau aku menerimamu sebagai murid, ber-arti engkau akan terikat pula oleh sum-pah kami terhadap kedua iblis itu."   "Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.   "Benar, akupun siap membantumu, kek. Iblis-iblis itu sudah sepatutnya di-hadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apalagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."   Wu-yi Lo-jin tersenyum geli. "Biarpun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-a-nak ayam mencoba untuk menantang sri-gala! Akan tetapi semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimanapun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian sudah siap membantu, marilah kita pergi melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."   Berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai di mana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.   ***   Dusun di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu disebut dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempa-rempa yang ditanam oleh para penghuni dusun seki-tarnya dan di dusun itulah semua hasil rempa-rempa itu dikumpulkan, dan orang-orang kota banyak yang datang untuk membeli rempa-rempa itu. kemudian di-muatkan gerobak dibawa ke kota.   Sebuah kedai makan baru dibuka orang. Tidak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja saja dengan beberapa buah bangku. Akan tetapi kalau melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini. Pelayannya hanya seorang saja, seorang pemuda yang berwajah tampan, walaupun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Ia seorang gadis yang amat manis, walaupun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang sampai ke perut.   Mudah diduga siapa mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya. "Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."   Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin membuka warung nasi dengan menyewa sebuah rumah pondok kecil. Semua ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara saja menjelang datangnya hari di mana para datuk sesat menghadapi Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.   Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempa-rempa. Terpaksa mereka melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok ketika mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis. Mereka bukan ingin mencari keuntungan, maka makin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka dan makin lelah mereka melayani. Bahkan kakek na-kal itu, saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, se-ngaja mencampurkan keringat kepada ma-sakannya, bahkan kadang-kadang dia ma-sak sembarangan saja. Akan tetapi aneh-nya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!   "Wah, kek, kalau begini terus aku ti-dak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Kalau aku tahu hanya akan dijadi-kan bahan sikap dan ucapan jorok mela-yani orang-orang kasar itu, aku tidak su-di. Pula, katanya kau hendak melatih gin-kang kepadaku. Kalau setiap hari bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan hendak mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"   "Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mende-ngar tentang mereka, tunggulah saja."   Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung itu masih sepi dan tiga orang sedang membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya nampak besar dan bulat pada kakek ini. Kepalanya besar bulat, botak licin bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tertinggal di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut di kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Kedua telinganya seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah. Bajunya yang biru kedodoran itu tidak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan. Ketika memasuki warung kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini memiliki tugas ganda. Dapat dipakai untuk mengipas kalau kegerahan, gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat dan mung-kin saja benda itu dapat dipergunakan sebagai semacam senjata toya.   Begitu memasuki warung, hidung kakek itu berkembang kempis mencium-cium seperti seekor anjing mencari je-jak. "Heh-heh, sedap! Perutku lapar, bi-sakah aku mendapatkan sarapan di wa-rung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.   Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang di antara para datuk yang hendak mengha-dap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.   "Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."   "Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!" Dan melihat beberapa buah prabot dapur di atas meja, karena baru saja dicuci, di antaranya sepasang sum-pit besar yang biasa dipergunaken untuk masak, kakek gendut itu mengambil se-pasang sumpit besar itu. "Heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan lebih enak!"   Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu -kepada tamunya. Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di lantai. Mangkok terisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan dan terdengar suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.