"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."   Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.   "Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa di sini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat seperti Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.   Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka seringkali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya. Dan tak lama kemudian, Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin terlibat dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.   "Ji-wi, harap perlahan dulu!"   Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin dan isterinya berhenti melangkah dan menengok dengan heran.   "Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.   "Kalau tadi saya tidak salah dengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi adalah ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"   "Benar, apakah engkau mengenal anakku?" Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan. Selama ini mereka berdua sudah mencari-cari akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan kini, tanpa disangkanya ia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!   "Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.   Ceng Thian Sin memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita di mana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya. "Orang muda, sungguh Thian telah menuntun kami untuk bertemu denganmu di sini. Siapakah namamu, orang muda?"   "Nama saya Siangkoan Ci Kang."   "Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.   "Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.   "Ah, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."   "Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."   "Ahh...!" Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat. Kini merekapun menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi mengapa pemua ini membela puteri Raja Iblis? Mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.   "Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Di manakah kini anak kami Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.   "Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Ia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."   "Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.   "Orang muda, di mana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian Sin bertanya.   "Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada di sana bersama rombongan masing-masing."   "Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinva sekarang juga." Thian Sin bersama isterinya lalu mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Su Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu. Setelah mereka pergi, pemuda itu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya. Saat ini, yang terpenting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka diapun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.   ***   Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itupun tibalah. Malam bulan purnama dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia. Malam itu, tidak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan dan pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat dalam suatu kelompok.   Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu telah mewakili sebagian besar dari para perguruan silat dan cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan. Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukan sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah kaum sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa. Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Kalau sampai mereka berhasil, kalau sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang sekarang menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.   Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang amat luas, yang kini menjadi padang rumput karena tidak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar. Di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan di antara mereka tidak terdapat golongan pimpinan. Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua, melainkan juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Di antara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai yang hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walaupun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.   Hanya kaum tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini dan memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka ini adalah Ciu-sian Lo-kai, Go-bi San-jin, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Guru Ci Kang, Go-bi San-jin menjadi guru Cia Sun. Seperti telah kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai adalah Wu-yi Lo-jin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siang-kiang Lo-jin menjadi guru Hui Song. Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat di antara tokoh penting di dunia persilatan yang telah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis dan mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu. Dua orang di antara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek inipun tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan ketika mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan merencanakan pemberontakan setelah berhasil menguasai para datuk golongan hitam. Dan sepertli kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang memang sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.   Pernah terjadi kelucuan di antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi Lo-jin, puluhan tahun yang lalu. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadi keributan di antara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak). Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sin-kang. Dalam pertandingan ini, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah kalah setelah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya cukup untuk menjamu dua ratus orang! Dan mulai saat itu kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wu-yi Lo-jin, biarpun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya.   Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini dan beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar berbagai aliran. Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini dipandang sebagai pimpinan, apalagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis dan kesaktiannya yang amat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan.   Wu-yi Lo-jin yang usianya sudah amat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak, alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah. Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata, "Matipun aku tidak akan dapat memejamkan mataku kalau Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"   "Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang sukar!" Ciu-sian Lo-kai yang selalu mempunyai perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang perajurit. Dia sudah menguasai San-hai-koan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."   "Benar, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak mungkin melawan laksaan orang perajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis dengan antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, telah kusuruh melakukan penyelidikan di antara para kepala suku karena di sanapun teriadi pergerakan-pergerakan. Hui Song, coba kauceritakan semua yang kauketahui," kata Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu. Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya, kepalanya botak, dengan rambut sedikit saja di belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih inipun masih nampak sehat.   Hui Song lalu bangkit berdiri di antara mereka yang duduk membentuk lingkaran dan semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai kepada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.   "Para kepala suku liar itu sudeh mengambil keputusan untuk mempergunakan kesempatan dengan adanya pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang sudah diduduki oleh para pemberontak, menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri ceritanya.   Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Ah, kalau begitu, sama dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini. "Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka itu berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah maupun pasukan pemberontak. Muridku telah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, ceritakan pengalamanmu."   Cia Sun bangkit berdiri dan dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang merupakan tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis. "Akan tetapi, kiranya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."   "Biarpun demikian," bantah Go-bi San-jin, "kalau sampai pasukan pemberontak itu dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari ke sana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."   "Semua itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "yang penting sekarang adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."   Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata, "Locianpwe, saya telah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Ia kini membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Ia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, ia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."   "Bagus sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ah, muridku memang cerdik. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Kita harus berpencar, dan masing-masing mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan maupun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya." Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih suka bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walaupun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis. Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira. Hanya Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak kelihatan gembira. Kemuraman tipis menyelubungi wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya. Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar, bukan karena melihat Ci Kang, melainkan karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, gerakan orang-orang ini dapat ia duga apa artinya.   Kakek ini tiba-tiba meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru, "Semua berpencar! Kita dikepung!"   Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai nampak gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka merekapun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.   "Berpenear dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.   "Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.   "Buka jalan darah dan usaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawanpun tidak akan menguntungkan.   Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang perajurit yang kini menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak. Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya. Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama.   Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang aneh pakaiannya dan perawakannya, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain. Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya. Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa dan para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.   Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang juga amat gagah gerakannya. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?   Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Beberapa hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasen dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biarpun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali. Sebaliknya, biarpun ia sedang sibuk dengan segala urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu. Pemuda inipun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di depannya, dia memandang sembil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan dan keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.   "Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona di tempat seperti ini. Suatu kejutan yang amat menggembirakan hati. Dari mana hendak ke manakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"   Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Ia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu. "Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"   Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik dan menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apalagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.   "Nona, aku bernama Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"   Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya. "Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"   "Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apalagi seorang laki-laki seperti aku."   "Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku dan pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."   "Akupun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki tangankupun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Eh, none belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"   Siang Hwa makin tertarik dan iapun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya. "Aih, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama." Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik dan pandai merayu itu timbul gairah dan kegembiraan dalam hati Siang Hwa. Ia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, dan ia membutuhkan hiburan sebagui selingan dan pemuda ini, baik wajahnya, bentuk tubuhnya maupun sikapnya menjanjiken hiburan manis yang menyenangkan.   Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apabila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantikpun tidak kalah menggembirakannya. Maka diapun lalu meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.   "Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, tidak biasa aku bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.   Siang Hwa tersenyum gembira dan menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Iapun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.   "Baik, apa taruhannya?"   "Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.   "Akur! Apapun yang kuperintahkan harus kautaati. Dan kalau aku kalah?"   "Tentu sama juga, semua permintaanku harus kaupenuhi."   Keduanya saling pandang dan tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik teruhan itu.   "Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!" Siang Hwa membentak dan iapun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu. Pemuda itu melihat datangnya serangan yang amat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Diapun menggerakkan tangannya menangkis.   "Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.   "Aihh...!" Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi. Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai daripada yang diduganya, diapun cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik dan tentu saja tidak suka saling melukai, akan tetapi bagaimanapun juga, keduanya ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah daripada mentaati perintah.   Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa girang sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya! Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan yang akan memberatkan dirinya dan tidak seperti yang diharapkannya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya! Maka, diapun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu, lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka ketika tangan Siang Hwa mendorong dadanya, diapun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilam rumput tebal. Sebelum dia dapat meloncat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik, "Engkau sudah kalah!"   Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula. "Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."   "Bagus! Nah, kaupeluklah aku, kaucintailah aku!"   Thian Bu terbelalak girang, lalu merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya. "Ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"   "Kaukira aku tidak tahu?" Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul. Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang kedua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang amat cocok dan menyenangkan. Sampai matahari naik tinggi mereka lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.   Setelah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan memandangnya dengan sinar mata mesra, ia berkata, "Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"   Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang amat terkenal di dunia dan diapun sejak tadi dapat menduga bahwa wanita yang amat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tidak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walaupun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.   "Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."   "Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"   Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.   "Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.   Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka diapun menggeleng kepala. "Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."   Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu. "Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku di sini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."   "Engkau? Mengapa bisa begitu?"   "Karena aku adalah satu di antara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."   "Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."   "Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."   Demikianiah, sejak saat itu, Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat ia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subonya itupun menerima Thian Bu dengan girang.   Dan dalam penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.   Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun, mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja. Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih. Akan tetapi, jumlah pasukan itu jauh lebih besar dan di antara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula di antara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang perajurit. Para pendekar terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.   Akhirnya, hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi saja di antara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar tewas di dalam pertempuran itu dan selebihnya lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di situ tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!   Biarpun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik membasmi sebagian para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian. Dalam kesempatan ini, Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya kepada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang perajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.   ***   San-hai-koan telah menjadi kota benteng pemberontak. Pintu gerbangnya dijaga oleh pengawal-pengawal pasukan pemberontak dan setiap orang yang memasuki kota itu tentu akan digeledah dan diperiksa. Penjagaan amat ketat. Selain San-hai-koan, juga dusun-dusun di sekitar daerah itu telah diduduki pasukan pemberontak.   Pada suatu pagi, San-hai-koan didatangi tiga orang tamu yang disambut dengan amat hormat. Bahkan begitu tiba tiga orang itu diterima di dalam markas. Panglima Ji Sun Ki lalu mengadakan perjamuan kehormatan dan dalam kesempatan ini Raja dan Ratu Iblis sendiri ikut hadir!   Siapakah tamu-tamu yang amat dihormati itu? Mereka bertiga kini sudah berada di dalam sebuah ruangan yang luas, menghadapi meja besar panjang, berhadapan dengan Ji Sun Ki sendiri yang berpskaian panglima gemerlapan. Pangeran Toan Jit Ong berpakaian agak pantas, berwarna kuning gading, akan tetapi rambutnya yang putih itu tetap saja riap-riapan, mukanya yang kehijauan nampak serius dan hanya jenggot kumis yang pendek terpelihara rapi itu yang membuat dia nampak agak pantas. Isterinya juga hadir, pakaiannya juga putih dan kuning kainnya baru dan bersih, akan tetapi rambutnya juga masih riap-riapan. Suami isteri ini duduk dengan sikapnya yang angkuh di sebelah kanan Panglima Ji yang amat menghormati mereka. Di sebelah kiri panglima itu duduk lima orang panglima pembantu dan di deretan lain duduklah orang-orang aneh yang sikapnya menyeramkan. Mereka adalah orang-orang Cap-sha-kui yang kini sudah berkumpul dan menjadi pembantu-pembantu Raja Iblis. Nampak Koai-pian Hek-mo, kakek berusia enam puluh lima tahun yang tinggi besar dan bermuka hitam, mata bulat dan hidungnya besar, mulutnya lebar tertutup kumis dan jenggot yang brewok. Di punggungnya nampak sebatang cambuk baja yang panjang dan ujungnya dipasangi paku. Di sebelahnya duduk Hwa Hwa Kui-bo, nenek berusia lima puluh empat tahun yang mukanya memakai kedok hitam dan yang nampak hanya mata, hidung dan bibir saja. Mulutnya besar dan buruk, tubuhnya ramping dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Koai-pian Hek-mo dan Hwa Hwa Kui-bo ini adalah tokoh-tokoh muara Huang-ho dan merupakan tokoh Cap-sha-kui yang terkenal.   Kemudian nampak pula Tho-te-kwi (Setan Malaikat Bumi), kakek raksasa yang usianya sudah enam puluh tahun lebih. Kakek ini amat menyeramkan, tingginya satu setengah orang biasa, perawakannya serba besar. Pakaiannya hijau agak utuh, tidak compang camping seperti biasanya, kaki tangannya memakai gelang emas yang besar dan berat. Kakek peranakan Nepal bekas pendeta Lama ini duduk melenggut, sikapnya tidak perduli. Masih nampak lagi empat orang laki-laki berusia antara lima puluhan tahun yang pakaiannya seragam seperti orang-orang dari satu pasukan. Semua berjumlah tujuh orang dan memang, Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) kini tinggal tujuh orang lagi, karena yang enam orang telah tewas.   Tiga orang tamu itu terdiri dari seorang kakek yang sudah amat tua, usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih, akan tetapi dia masih nampak segar dan penuh semangat. Tubuhnya pendek tegap dan kepalanya botak hampir gundul sama sekali, sikapnya dan bicaranya gagah. Sebatang pedang panjang model samurai Jepang tergantung di punggungnya. Kakek ini bukan orang sembarangan. Pernah namanya terkenal di dunia persilatan karena dia pernah menjadi seorang datuk sesat yang amat ditakuti di bagian timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur). Dia seorang berbangsa Jepang yang sejak muda sudah tinggal di pantai timur. Nama aselinya Minamoto telah berubah menjadi Bin Mo To. Orang kedua adalah Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Bin Mo To. Ketua Cin-ling-pai ini sudah berusia lima puluh empat tahun, namun masih nampak tampan dan gagah. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang terkenal, dia nampak berwibawa dan angkuh, seperti tidak memandang mata kepada orang-orang aneh di depannya walaupun dia tahu bahwa Raja Iblis dan teman-temannya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Isterinya, yang bernama Bin Biauw, peranakan Jepang Korea itu, duduk di sebelahnya. Wanita yang berusia hampir lima puluh tahun ini berpakaian sederhana, namun nampak gagah dengan pedang yang tergantung di punggungnya.   Seperti telah kita ketahui, atas bujukan ayah mertuanya dan isterinya, akhirnya ketua Cin-ling-pai ini menyetujui untuk membantu para pemberontak yang hendak menggulingkan Kaisar Ceng Tek yang dianggapnya tidak cakap itu. Sebagai seorang pendekar, Cia Kong Liang membenci pemerintahan yang penuh dengan koruptor, penuh dengan pembesar-pembesar penindas rakyat dan semua ini adalah kesalahan kaisarnya, oleh karena itu, dia mau membantu mereka yang berusaha menggulingkan kaisar, agar kerajaan dipimpin oleh kaisar lain yang lebih baik. Tentu saja tidak demikian pendapat ayah mertuanya. Ketua Cin-ling-pai ini keras hati dan tindakannya hanya didasari pendapatnya sendiri yang memang tidak menyeleweng daripada jalan benar. Cia Kong Liang tidak mempunyai pamrih pribadi ketika dia mengunjungi San-hai-koan. Satu-satunya tujuan yang ada dalam batinnya hanyalah menggulingkan kaisar yang dianggapnya tidak becus agar diganti oleh kaisar lain sehingga kehidupan rakyat akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, Bin Mo To dan anak perempuannya mempunyai ambisi besar, yaitu agar ketua Cin-ling-pai itu memperoleh kedudukan tinggi apabila gerakan itu berhasil!   Kedatangan tiga orang tamu ini tentu saja menggirangkan hati Panglima Ji dan juga Raja Iblis. Bantuan tiga orang ini amat penting, karena di belakang ketua Cin-ling-pai ini terdapat para anggota Cin-ling-pai dan sekali Cin-ling-pai bergerak besar harapannya akan diikuti pula oleh perkumpulan pendekar yang lain. Dan yang hadir dalam ruangan itu, selain tujuh orang Cap-sha-kui sebagai pembantu-pembantu Raja Iblis masih terdapat beberapa orang pula tokoh-tokoh sesat dan di deretan belakang, sebagai kaum muda, nampak Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa!   Setelah berkenalan secara singkat, Cia Kong Liang menyatakan maksud kedatangannya, yaitu hendak membantu gerakan para pemberontak untuk menentang dan menggulingkan kekuasaan kaisar yang dianggap tidak mampu menjadi pemimpin rakyat itu. Ji Sun Ki mendengarkan dengan wajah berseri gembira dan setelah tamunya selesai bicara, dia mengangguk-angguk.   "Alangkah bahagianya hati kami menerima kunjungan Cia Pangcu (Ketua Cia), apalagi mendengar pernyataan pangcu. Memang sesungguhnyalah, kaisar yang sekarang berkuasa adalah kaisar lalim yang dikelilingi oleh menteri-menteri korup dan jahat. Kalau kekuasaan mereka yang duduk di tampuk pemerintahan yang sekarang tidak digulingkan, maka kehidupan rakyat akan menjadi semakin sengsara. Sebaiknya kini kami mohon pendapat Toan Ong-ya untuk menyambut uluran bantuan Cia Pangcu itu," kata panglima itu sambil menoleh dengan sikap hormat kepada Raja Iblis yang duduk di sebelah kanannya. Pangeran Toan Jit Ong itu mengangguk, kemudian menoleh ke sebelah kanannya memberi isyarat kepada isterinya. Seperti biasa, Raja Iblis ini tidak pernah atau jarang sekali bicara sendiri dan isterinya menjadi wakil pembicara. Ratu Iblis mengangguk dan memandang kepada semua yang hadir dan menghentikan pandang matanya kepada tiga orang tamu itu.   "Perlu cu-wi ketahui bahwa selama puluhan tahun Toan Ong-ya bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan duniawi. Akan tetapi setelah beliau mendengar akan kelaliman kaisar yang masih terhitung cucu beliau sendiri, beliau merasa penasaran dan bertanggung jawab untuk turun tangan. Sungguh kebetulan sekali bahwa beliau dapat bekerja sama dengan Ji-ciangkun sehingga bantuan orang-orang gagah, dapat diharapkan kita bersama akan dapat menyerbu ke selatan dan menggulingkan pemerintahan yang lalim dan lemah itu. Bantuan Cia Pangcu untuk bekerja sama dengan kami sungguh merupakan hal yang amat baik dan mudah-mudahan akan ditiru oleh semua orang gagah di dunia. Dengan persatuan antara kita sambil melupakan urusan pribadi, maka perjuangan ini akan dapat berhasil lebih cepat lagi. Kemudian, mengenai rencana siasat pergerakan kita, harap Ji-ciangkun yang menjelaskan sesuai dengan rencana kita bersama yang telah diambil." Ratu Iblis lalu mengangguk dengan anggun dan berwibawa.   Cia Kong Liang yang semula merasa ragu-ragu melihat keadaan dan sikap pangeran itu dan anak buahnya yang kelihatan kasar-kasar, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam, setelah mendengar ucapan Ratu Iblis merasa tertarik. Dari kata-katanya jelas dapat diketahui bahwa nenek itu adalah seorang terpelajar dan berpengetahuan luas dan sikap Toan Jit Ong juga begitu penuh wibawa, seperti seorang raja besar layaknya.   Panglima Ji segera menjelaskan. "Kita sudah beruntung dapat menduduki San-hai-koan ini yang dapat kita pergunakan sebagai benteng pusat, juga kita sudah berhasil menduduki dusun-dusun di sekitar daerah San-hai-koan. Kedudukan kita sudah cukup kuat untuk melanjutkan penyerbuan ke selatan. Akan tetapi sungguh menggemaskan, di utara terdapat pergerakan para suku bangsa Nomad yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan bangsa Mongol yang sudah hancur. Oleh karena itu, kita diancam bahaya dari utara. Dan untuk memperkokoh kedudukan, kita harus cepat merampas kota benteng Ceng-tek. Dengan demikian kita mempunyai dua benteng, San-hai-koan dapat kita pergunakan untuk menahan serbuan para suku bangsa dari utara, sedangkan benteng Ceng-tek dapat kita pergunakan sebagai benteng pertahanan untuk bergerak ke selatan."   Mereka lalu mengadakan perundingan, mencari siasat bagaimana akan dapat merampas benteng Ceng-tek yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah itu. Dalam perundingan itu, ketua Cin-ling-pai bersama isteri dan ayah mertuanya juga diikutsertakan, yang menjadi tanda bukti bahwa mereka bertiga itu telah diterima sebagai sekutu!   "Untuk gerakan ini, Toan Ong-ya telah lama membuat gambaran rencana penyerbuan dan siasat memancing mereka keluar dari sarang," kata Ratu Iblis yang menyampaikan segulung kertas. Ji-ciangkun menerima gulungan kertas itu lalu membukanya dan menggantung kertas yang sudah dibuka itu agar semua yang hadir dapat melihat dengan jelas.   Melihat gambar siasat penyerbuan itu, Cia Kong Liang merasa kagum. Di situ digambarkan siasat yang diatur oleh Pangeran Toan Jit Ong. Dengan gambar dan tulisan dijelaskan siasat itu. Pertama-tama pasukan yang tidak besar jumlahnya harus dapat diselundupkan ke kota Ceng-tek untuk mengatur siasat dan bergerilya membantu pasukan mereka kalau saatnya penyerbuan tiba. Kemudian, pasukan besar dari San-hai-koan akan meninggalkan benteng San-hai-koan dengan berpencar-pencar dan membuat gerakan seolah-olah hendak meluaskan wilayah dan menyerangi dusun-dusun di empat penjuru. Yang ditinggalkan di benteng hanya seperempat saja dari jumlah pasukan mereka, karena benteng San-hai-koan sudah dibuat sedemikian kokohnya sehingga musuh yang jumlahnya jauh lebih besar sekalipun tidak akan mudah menjatuhkan benteng itu. Sementara itu, tiga perempat dari pasukan itu yang tadinya meninggalkan benteng dan dipencar, diam-diam bersatu kembali dan menanti kesempatan baik. Kalau diketahui oleh para pemimpin pasukan pemerintah di Ceng-tek bahwa benteng San-hai-koan ditinggalkan oleh sebagian besar pasukan pemberontak, tentu Ceng-tek akan mengirim pasukan untuk menggempur dan merampas kembali benteng itu. Nah, dalam kesempatan inllah pasukan yang tiga perempat jumlahnya dan sudah bersatu itu lalu mengadakan penyerbuan kilat ke Ceng-tek, dibantu oleh mata-mata yang sudah menyelundup ke dalam kota Ceng-tek.   "Rencana siasat yang bagus sekali!" Ji-ciangkun berkata gembira, "Dan untuk tugas penyelundupan ke Ceng-tek, kami mohon bantuan Cia-pangcu dan para pendekar Cin-ling-pai. Dapatkah pangcu membantu?"   "Tentu saja Cia-pangcu dapat membantu!" Bin Mo To yang mendahului mantunya. "Memang para anggota Cin-ling-pai sudah siap di luar."   Memang, ketua Cin-ling-pai itu sudah mempersiapkan lima puluh orang anggota Cin-ling-pai untuk membantu gerakan pemberontakan itu dan mereka telah siap menanti di luar kota benteng San-hai-koan. Segera mereka dihubungi dan malam hari itu juga pasukan istimewa Cin-ling-pai ini dijamu dengan penuh penghormatan.   Dan beberapa hari kemudian, siasat itu dijalankan dengan baiknya. Pasukan di Ceng-tek yang dipimpin oleh Bhe-ciangkun terpancing, ketika para penyelidik melaporkan adanya gerakan besar-besaran dari pasukan pemberontak yang meninggalkan benteng sehingga benteng di San-hai-koan hampir kosong. Panglima Bhe yang masih menanti keputusan dari kota raja atas laporannya bahwa Ji-ciangkun dari San-hai-koan memberontak dan menguasai San-hai-koan, melihat kesempatan baik untuk merebut kembali kota benteng itu. Maka diapun mengerahkan pasukannya untuk menyerang San-hai-koan. Akan tetapi benteng ini ternyata amat kuat walaupun hanya dijaga oleh pasukan pemberontak yang tidak begitu banyak jumlahnya. Dan selagi pasukan pemerintah sibuk berusaha merampas kembali San-hai-koan, diterima berita bahwa benteng Ceng-tek diserbu oleh pasukan pemberontak yang kuat sekali! Dan dalam waktu semalam saja benteng itu jebol dan diduduki oleh pasukan pemberontak! Tentu saja pasukan pemerintah menjadi kacau, apalagi ketika sebagian dari pasukan yang merampas Ceng-tek itu lalu dipergunakan oleh Ji-ciangkun untuk menyerang pasukan pemerintah dari belakang. Terpaksa Bhe-ciangkun menarik mundur pasukannya dan melarikan diri ke selatan sampai di Tembok Besar dan cepat mengirim berita ke kota raja untuk minta bantuan.   ***   Cin-ling-pai mempunyai jasa besar dalam penyerbuan kota Ceng-tek karena perkumpulan orang gagah inilah yang dipimpin sendiri oleh Cia Kong Liang, isteri dan mertuanya, yang menyelundup ke dalam kota Ceng-tek. Ketika terjadi penyerbuan, mereka telah membantu dari dalam, membakari tempat-tempat penting, menyerang pembesar-pembesar sehingga kekacauan ini menyebabkan pertahanan kota Ceng-tek menjadi lemah dan mudah ditundukkan dan dirampas.   Untuk menyenangkan hati para pendekar Cin-ling-pai, atas petunjuk Raja Iblis, Ji-ciangkun lalu mengangkat Cia Kong Liang sebagai pimpinan pasukan keamanan di kota itu, sedangkan para anggota Cin-ling-pai diangkat menjadi perwira-perwira pasukan keamanan kota Ceng-tek. Mereka itu, dari para murid sampai kctuanya, bertugas dengan penuh disiplin dan semangat tinggi, merasa bahwa mereka telah menjadi pejuang-pejuang yang menegakkan keadilan dan menentang pemerintah lalim demi kebaikan rakyat dan negara. Hanya Bin Mo To den puterinya yang diam-diam merasa gembira dengan pengangkatan itu. Ini merupakan permulaan yang baik bagi Cia Kong Liang untuk menuju ke tangga kedudukan yang kelak tentu akan jauh lebih tinggi kalau pemberontakan itu berhasil. Bin Mo To yang diam-diam telah mengadakan kontak dengan Raja Iblis dapat menyimpan rahasianya dan ketika berjumpa di San-hai-koan, dia berpura-pura tidak mengenal pangeran itu. Kakek ini memang sejak puterinya menikah dengan Cia Kong Liang, tidak lagi terjun ke dalam dunia kejahatan, akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak mampu melawan dorongan ambisinya untuk melihat anak mantunya menjadi seorang yang berkedudukan tinggi sehingga dia sendiri otomatis akan terangkat martabatnya.   Setelah Ceng-tek terjatuh ke tangan para pemberontak, kekuasaan para pemberontak menjadi semakin besar dan mereka semakin rajin menyerbu ke dusun-dusun. Yang paling rajin di antara para pembantu Ji-ciangkun adalah Sim Thian Bu. Orang ini selain menjadi kekasih Siang Hwa, juga menjadi kepercayaan Raja Iblis dan Ji-ciangkun karena memang sudah banyak jasanya. Sim Thian Bu selama ini memperlihatkan kesetiaannya dan kesungguhan hatinya dalam membantu pasukan pemberontak menaklukkan dusun-dusun dan melakukan perampokan-perampokan. Oleh karena itu dia dipercaya memimpin pasukan besar sebanyak seribu orang, bahkan dia boleh menentukan sendiri gerakan-gerakan aksinya ke dusun-dusun. Thian Bu tidak mau sembarangan menyerang dusun-dusun yang miskin. Dia selalu menyelidiki lebih dabulu apakah terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi penyerbuan pasukannya. Kalau di dusun itu terdapat harta kekayaan, atau setidaknya ternak atau bahan makanan, terutama sekali kalau terdapat wanita-wanitanya yang muda, tentu dia akan mengerahkan anak buahnya menyerbu.   Pada suatu pagi, Sim Thian Bu menunggang kuda seorang diri. Dia mendengar dari seorang penyelidiknya bahwa ada serombongan orang suku bangsa Mancu memasuki sebuah dusun yang sudah kosong karena semua penghuninya telah pergi, yaitu sisa dari mereka yang terbunuh oleh pasukannya. Yang tinggal hanya sisa-sisa rumah mereka yang sudah rusak dan sebagian terbakar. Mendengar berita bahwa rombongan itu terdiri dari kurang lebih seratus orang dan dalam rombongan terdapat banyak wanita cantik, hati Sim Thian Bu tergerak. Maka, pada pagi hari itu dengan menunggang kuda dia pergi sendiri melakukan penyelidikan.   Dusun itu berada di sebuah lereng bukit, tidak begitu jauh dari Ceng-tek. Sebuah dusun yang keadaannya amat menyedihkhn karena hanya tinggal belasan orang pondok yang masih utuh, selebihnya sudah menjadi puing bekas dibakar. Ketika memasuki dusun itu, Thian Bu memandang dengan senyum bangga karena keadaan dusun itu merupakan hasil atau bekas tangan pasukannya. Lumayan juga hasil yang diperolehnya dari dusun ini ketika dirampoknya dua pekan yang lalu karena di situ terdapat serombongan pengungsi dari utara yang membawa harta benda cukup banyak.   Puluhan ekor kuda yang ditambatkan di lapangan rumput dekat dusun membuat Thian Bu memandang dengan gembira. Baru puluhan ekor kuda itu saja sudah akan menjadi hasil serbuan yang lumayan. Kemudian ada pemandangan lain yang menggirangkan hatinya, yaitu jemuran pakaian-pakaian wanita yang indah-indah! Dia meloncat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan memasuki dusun itu sambil berindap dan menyelinap di antara pohon-pohon. Kemudian dia mulai melihat beberapa orang laki-laki berjalan keluar dari dalam pondok. Mereka adalah orang-orang Mancu dan melihat pakaian mereka yang serba bagus, dia dapat menduga bahwa rombongan itu merupakan makanan yang berdaging.   Tiba-tiba perhatian Thian Bu tertarik kepada lima orang wanita yang baru muncul dari dalam pondok sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Sepasang mata Thian Bu terbelalak. Wanita-wanita itu muda-muda, antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan semua cantik-cantik. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa di tempat seperti itu dia akan dapat melihat demikian banyaknya wanita muda cantik. Wanita-wanita muda bangsa Mancu yang cantik dan berpakaian indah-indah, memakai perhiasan badan dari emas permata! Agaknya rombongan orang kaya raya yang kini berada di dusun ini, pikirnya dengan mulut berliur. Karena lima orang wanita itu membawa keranjang berisi pakaian dan keluar dari pondok menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempat itu. Thian Bu tidak dapat menahan diri lagi dan diam-diam dia membayangi mereka. Soal menyerbu rombongan orang Mancu dalam dusun itu adalah soal nanti, yang terpenting baginya sekarang juga dia harus dapat melarikan seorang di antara lima gadis cantik itu. Selama menjadi pembantu Raja Iblis, dia kekurangan hiburan karena waktu luangnya habis oleh Siang Hwa yang tidak pernah mau melepaskannya. Dan wataknya sebagai seorang penjahat cabul, membuat dia tidak puas kalau hanya berdekatan dengan satu orang wanita yang itu-itu juga.   Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati laki-laki cabul ini ketika dia melihat lima orang wanita itu menuruni lorong kecil menuju ke anak sungal itu dan mereka berlima lalu melepas jubah luar dan mandi-mandi sambil mencuci pakaian! Dia dapat melihat dengan jelas sekali bentuk tubuh mereka dan kecantikan mereka sehingga sukarlah dia memilih yang mana yang akan dilarikannya. Kesemuanya cantik manis dan memiliki daya tarik khas sendiri-sendiri. Bagaikan seorang anak nakal Thian Bu bersembunyi, mendekam di balik semak-semak tak jauh dari tempat mereka mencuci pakaian dan berendam di air atau duduk di batu-batu besar itu. Matanya tak pernah berkedip, mukanya menjadi kemerahan dan buah lehernya turun naik.   "Laki-laki tidak sopan, tidak malu kau mengintai wanita-wanita mandi?" tiba-tiba terdengar bentakan yang mengejutkan hati Thian Bu. Dia terkejut bukan karena perbuatannya diketahui orang, melainkan karena ada orang yang muncul di situ dan berada di belakangnya tanpa dia ketahui kedatangannya.   Thian Bu menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan periang. Karena hatinya sedang gembira, diapun menaruh telunjuk ke depan mulut dan berbisik, "Sobat, kalau engkau ingin menikmati pemandangan indah bersamaku, ke sinilah dan jangan ribut-ribut!"   Pemuda itu mengerutkan alisnya dan mukanya berobah merah, pandang matanya mengandung kemarahan. "Aku bukan laki-laki cabul macam engkau! Sobat, pergilah dan jangan kurang ajar, kalau tidak..."   "Kalau tidak, bagaimana?" Thian Bu menjadi marah pula dan meloncat dari balik semak-semak, berdiri menghadapi pemuda itu sambil bertolak pinggang. Orang ini mengganggu kesenangannya, dan karena menganggap pemuda ini seorang pemuda biasa saja, maka diapun bersikap sabar.   "Kalau tidak, terpaksa aku menyeretmu dan melemparmu pergi dari tempat ini!" kata pemuda itu dengan suara tegas. Tentu saja Sim Thian Bu menjadi marah bukan main. Dia, yang jarang menemui tandingan, bahkan kini menjadi seorang penting dari pasukan pemberontak, pembantu Raja Iblis dan Panglima Ji yang dipercaya, juga kekasih murid Raja Iblis, mau diseret dan dilempar begitu saja oleh seorang pemuda dusun!   "Jahanam lancang mulut! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan maka berani membuka mulut sembarangan. Untuk itu engkau pengganggu kesenanganku. harus mampus!" Berkata demikian, Sim Thian Bu lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang ampuh, mengerahkan tenaga sin-kang karena dia ingin sekali pukul membuat kepala pemuda dusun ini pecah untuk melampiaskan kemengkalan hatinya. Apalagi lima orang wanita cantik itu mendengar suara ribut-ribut lalu berkemas dan meninggalkan tempat itu, membawa cucian mereka sambil berlari-lari kecil!   Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Bu melihat pemuda dusun yang pakaiannya aneh-aneh itu berani menangkis pukulannya yang mengandung sin-kang kuat itu. Dia tersenyum mengejek dan melanjutkan pukulannya dengan keyakinan hati bahwa tulang lengan lawan itu akan patah-patah dan tangannya tentu akan tetap dapat mengenai kepalanya.   "Dukkk...!"   Untuk kedua kalinya Thian Bu terkejut, akan tetapi sekali ini dia terkejut dan heran, juga kesakitan karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya yang kena tangkis tadi tergetar hebat dan terasa nyeri seolah-olah tulang lengannya akan patah rasanya! Barulah dia tahu bahwa pemuda dusun ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian silat yang tinggi!   "Siapa... siapakah engkau?" tanyanya terdorong oleh rasa kaget dan heran yang besar.   Pemuda itu tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu ikut tersenyum, dan kelihatan jenaka dan nakal. "Manusia cabul, kiranya engkau memiliki pula kepandaian yang tidak rendah. Aku tidak tahu orang macam apa adanya engkau dan apa keinginanmu maka mengintai para wanita yang sedang mandi, akan tetapi kalau kau ingin tahu namaku adalah Cia Hui Song."   Thian Bu terkejut. Dia sudah mendengar nama ini walaupun belum mengenal orangnya. Dengan hati-hati dia bertanya, "Apa bubunganmu dengan ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Kong Liang?"   Kini Hui Song terkejut. Kiranya orang ini sudah mengenal nama dan kedudukan ayahnya. Tentu bukan orang sembarangan. Tadipun dia sudah merasakan betapa orang itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali.   "Dia adalah ayahku. Sobat, siapakah engkau yang mengenal nama ayahku?" "Pendekar manakah yang tidak mengenal nama besar Cin-ling-pai dan ketuanya? Maafkan tadi aku tidak mengenalmu, Cia-taihiap. Aku bernama Sim Thian Bu. Maafkan, ketika aku melakukan perjalanan lewat di sini, melihat wanita-wanita itu mandi... mereka begitu gembira, aku tertarik dan mengintai..."   Kalau saja ketika terjadi penyergapan oleh pasukan gerombolan terhadap para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang terjadi pada siang hari, tentu Hui Song akan mengenal orang ini sebagai pembantu Gui Siang Hwa yang memimpin penyergapan itu. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia tidak mengenal Thian Bu dan dia percaya akan keterangannya. Bagaimanapun juga, dia maklum kalau seorang laki-laki mengintai wanita-wanita yang sedang mandi, apalagi kalau yang mandi itu adalah selir-selir Lam-nong yang demikian cantik manis dan periang.   "Sudahlah, harap engkau tinggalkan tempat ini. Wanita-wanita itu adalah isteri dari Lam-nong, harap jangan diganggu karena Lam-nong adalah sahabatku."   "Lam-nong...? Siapa dia?" Thian Bu bertanya, tidak mau sembrono menentang pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini yang sekarang telah menjadi sekutu Raja Iblis, apalagi karena amat berbahaya melawan pemuda yang tadi sudah dia rasakan kekuatannya ketika menangkis pukulannya.   "Lam-nong adalah kepala suku Mancu Timur. Eh, saudara Sim, apakah engkau juga hadir ketika terjadi penyergapan terhadap para pendekar oleh pasukan pemberontak?"   Dengan cerdik dan hati-hati Thian Bu menggeleng kepala dan menark napas panjang. "Sayang sekali aku datang terlambat, taihiap. Ketika aku datang ke benteng Jeng-hwa-pang, tidak ada seorangpun di sana kecuali bekas-bekas pertempuran hebat. Lalu apakah yang menjadi keputusan para pendekar yang mengadakan pertemuan di tempat itu?"   Akan tetapi Hui Song juga bukan seorang yang bodoh dan ceroboh. Dia belum mengenal betul laki-laki ini, tidak tahu siapa dia sebenarnya, oleh karena itu tentu saja dia tidak mau sembarangan saja menceritakan tentang hasil pertemuan para pendekar yang diserbu oleh pasukan pemberontak itu.   "Keputusan-keputusan itu hanya boleh diketahui oleh mereka yang hadir. Maaf, aku tidak dapat memberi tahu padamu."   Diam-diam Thian Bu merasa penasaran. Dia tahu bahwa putera ketua Cin-ling-pai tidak percaya kepadanya dan dia dapat menduga pula bahwa Hui Song ini tentu belum tahu bahwa ayahnya kini berada di Ceng-tek membantu Raja Iblis, membantu para pemberontak! Bagaimanapun juga, dia gembira sekali mendengar keterangan tentang Lam-nong, kepala suku Mancu Timur yang kini bersama rombongannya berada di dusun itu.   "Sekali lagi maafkan kelancanganku, taihiap, dan perkenankan aku pergi," akhirnya dia berkata karena dia melihat datangnya beberapa orang Mancu menuju ke tempat itu. Hui Song mengangguk dan Sim Thian Bu lalu pergi dengan cepat, diikuti pandang mata Hui Song yang masih menduga-duga orang macam apa adanya laki-laki yang berpakaian mewah dan berkepandaian tinggi itu.   Enam orang Mancu yang datang itu adalah Lam-nong dan para pengawalnya. Melihat Hui Song, Lam-nong segera mengulur tangan dan memegang tangan sahabatnya itu. "Isteri-isteriku telah bercerita bahwa engkau datang dan bertengkar dengan seorang laki-laki. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dia?"   Hui Song tidak mau menyembunyikan urusan itu kepada sababatnya. "Dia kulihat mengintai isteri-isterimu yang sedang mandi, maka kutegur dia dan kusuruh dia pergi. Saudara Lam-nong, engkau dan rombonganmu hendak pergi ke manakah?"   "Ke mana lagi kalau tidak pulang? Daerah ini berbahaya. Pasukan pemberontak membuat pembersihan di mana-mana. Mereka menyerbu dusun-dusun, membunuhi orang-orang dan merampok. Lihat, dusun inipun habis dirampok dan dibakar. Kami hanya beristirahat dan bermalam di sini, besok pagi kami melanjutkan perjalanan ke timur, pulang ke kampung halaman kami sendiri."   "Engkau tidak membantu nenek Yelu Kim?"   Lam-nong menggeleng kepala dan menggandeng tangan sahabatnya diajak kembali ke dalam dusun. Mereka memasuki sebuah pondok yang telah dibersihkan dan dijadikan tempat bermalam Lam-nong dan para selirnya. Kedatangan Hui Song disambut dengan gembira oleh para selir yang sudah mengenalnya dan mereka semua lalu duduk di atas lantai yang ditilami tikar. Sambil menjamu sahabatnya, Lam-nong mengajak Hui Song bercakap-cakap, sedangkan para selir hanya duduk mendengarkan. Mereka semua suka kepada Hui Song yang gagah, tampan dan sopan itu. Menghadapi pemuda ini dan bicara dengannya, para selir ini tidak merasa canggung atau malu-malu lagi, apalagi karena suami mereka juga amat suka dan percaye kepada pendekar itu.   "Bagaimana mungkin aku merendahkan diri mentaati perintah-perintah seorang wanita, sudah nenek-nenek pula? Tidak, aku tidak akan begitu merendahkan diri, lebih baik aku kembali ke timur dan lebih baik aku membantu seorang pemimpin bangsa Mancu yang kupercaya sekali waktu akan bangkit dan menjadi lebih besar daripada suku-suku lain di utara," Lam-nong berhenti sebentar, lalu memandang kepada pendekar itu. "Dan engkau sendiri, dari mana dan hendak ke mana, Cia-taihiap? Bagaimana kabarnya dengan kepergianmu yang katanya hendak mengunjungi kawan-kawanmu itu?"   "Tidak baik sekali, kami yang sedang mengadakan pertemuan telah diserbu oleh pasukan pemberontak. Banyak di antara teman-teman kami tewas."   "Ah, kalau begitu mari engkau ikut bersama kami saja ke timur, Cia-taihiap. Aku akan merasa beruntung sekali kalau kelak engkau dapat membantu pergerakan kami orang-orang Mancu, kalau waktunya sudah tiba untuk itu," kata Lam-nong yang merasa amat suka kepada sahabat barunya ini.   Hui Song menarik napas panjang, memandang kepada Lam-nong dan isteri-isterinya. Mereka semua menatap wajahnya dengan sinar mata penuh harapan agar dia mau menemani mereka. Betapa baiknya orang-orang ini, pikirnya. "Sayang sekali, saudara Lam-nong. Sebetulnya aku sendiripun merasa amat suka bersama dengan kalian, akan tetapi kiranya tidak mungkin. Aku harus menentang para pemberontak, karena mereka dipimpin oleh orang-orang jahat. Andaikata suku bangsamu mengangkat senjata menentang mereka, sudah pasti aku akan membantumu sekuat tenaga."   Lam-nong juga menarik napas panjang. "Sayang sekali. Akan tetapi aku tidak akan melakukan gerakan sekarang. Untuk itu bangsaku belum siap dan untuk bekerja di bawah perintah seorang nenek-nenek akupun tidak sudi. Marilah kita bersenang-senang malam ini sebagai melam perpisahan, Cia-taihiap. Siapa tahu kita tidak akan saling bertemu kembali walaupun aku sungguh mengharapkan itu."   Hui Song dijamu dan mereka makan minum dengan gembira pada malam harinya. Hui Song ditahan untuk bermalam di situ bukan bermalam untuk tidur melainkan melewatkan malam bercakap-cakap dan makan minum dengan gembira bersama Lam-nong dan isteri-isterinya.   Mereka yang sedang bergembira dalam malam perpisahan ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa malam perpisahan itu merupakan malam perpisahan yang sungguh-sungguh dan amat menyedihkan, menjadi malam malapetaka besar bagi keluarga Lam-nong dan rombongannya yang tidak besar jumlahnya itu.   Bencana ini datang dari Sim Thian Bu. Pria ini tentu saja mempersiapkan segalanya karena yang diincarnya ini bukan hanya rombongan yang diduganya membawa banyak harta, melainkan juga rombongan di mana terdapat wanita-wanita mudanya yang cantik manis! Pertemuannya dengan Hui Song yang memberi tahu kepadanya bahwa rombongan Lam-nong itu adalah sahabat putera ketua Cin-ling-pai itu, membuat Thian Bu semakin hati-hati. Pemuda itu tinggi ilmu silatnya dan amat berbahaya, pikirnya. Apalagi pemuda itu adalah putera ketua Cin-ling-pai yang tentu saja tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, kalau pemuda itu memihak Lam-nong dan rombongannya, terpaksa dia turun tangan dan mengandalkan pasukannya yang amat besar itu, dia tidak takut menghadapi Cia Hui Song! Maka, untuk meyakinkan keberhasilan pasukannya, dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah seribu orang itu! Anak buah pasukan itu sendiri mengira bahwa mereka tentu dibawa menyerbu musuh yang besar jumlahnya dan kuat kedudukannya, maka tentu saja mereka merasa terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka serbu itu hanyalah serombongan orang yang kekuatannya tidak lebih dari tiga puluh orang lebih saja!   Dapat dibayangkan betapa paniknya tiga puluh orang lebih itu ketika tiba-tiba dusun itu sudah dikurung dan banyak sekali pasukan menyerbu mereka. Lam-nong yang sedang makan minum bersama Hui Song, terkejut dan bersama pendekar itu mengamuk dan membela diri mati-matian. Bahkan selir-selirnyapun, yang sedikit banyak pernah belajar ilmu membela diri karena mereka hidup di perantauan, ikut melawan dan membela diri. Hui Song marah sekali dan dialah yang mengamuk seperti harimau kelaparan. Begitu ada penyerbuan itu, dia sudah dapat menduga bahwa penyerbu ini tentulah pasukan pemberontak, sama dengan pasukan yang menyergap para pendekar di benteng kuno Jeng-hwa-pang. Maka diapun mengamuk dengan hebatnya dan entah berapa banyak anak buah pasukan yang roboh dan terlempar oleh tamparan-tamparan dan tendangannya.   Akan tetapi jumiah lawan terlampau banyak dan Hui Song maklum bahwa betapapun gagahnya, menghadapi lawan yang nampaknya tidak pernah akan habis ini, akhirnya dia akan celaka sendiri, dan yang terpenting adalah menyelamatkan Lam-nong. Maka, melihat Lam-nong yang membela diri dengan pedangnya dan mengamuk dengan gagahnya itu dikepung oleh belasan orang musuh, diapun mengeluarkan suara melengking dan merobohkan beberapa orang ketika dia menerjang dan mendekati Lam-nong.   "Mari kita pergi, biar kulindungi engkau!" katanya kepada Lam-nong. Kepala suku inipun maklum betapa sia-sianya melawan. Diapun lalu mengikuti Hui Song yang membuka jalan keluar dan setelah merobohkan belasan orang dan membuat yang lain menjadi gentar dan mundur, diapun menyambar tubuh kawannya itu dan dibawanya berloncatan dan lari menjauhkan diri. Akhirnya mereka dapat terbebas dan lolos dari kepungan pasukan dan Hui Song melarikan kawannya itu ke dalam hutan yang dekat.   "Berhenti... lepaskan aku di sini, Cia-taihiap..." kata Lam-nong yang masih terengah-engah. Dan ketika Hui Song melepaskannya, Lam-nong berkata, "Taihiap, kasihanilah aku, engkau bebaskanlah isteri-isteriku... kasihan mereka..."   Hui Song berdiri dan tertegun, kemudian menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Saudara Lam-nong, betapa mungkin itu? Kulihat pasukan itu besar sekali jumlahnya, tentu ada ratusan orang. Mana mungkin aku depat menyelamatkan isteri-isterimu yang begitu banyak?"   Tiba-tiba Lam-nong menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Song. "Tidak semua, taihiap, hanya seorang saja, hanya isteri ke tujuh. Engkau tahu yang mana yang kumaksudkan. Aku cinta sekali padanya dan tanpa ia di sampingku, aku takkan dapat hidup lagi. Tolonglah, tolonglah aku, taihiap, selamatken kekasihku itu...!"   Hui Song merasa kasihan sekali. Dia tahu betapa bahayanya memasuki dusun itu kembali, seperti orang menolong orang dari dalam sebuah rumah yang sudah terbakar dan apinya sedang berkobar saja. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada Lam-nong dan diapun merasa bahwa kalau hanya menyelamatkan seorang saja, kiranya dia masih akan sanggup dan akan dapat berhasil. Bagaimanapun banyaknya, para perajurit pasukan pemberontak itu hanyalah orang-orang yang hanya mengandalkan pengeroyokan saja dan tidak ada yang memiliki kepandaian yang berarti.   "Baiklah, tunggu saja di sini, aku akan berusaha menyelamatkannya!" kata Hui Song dan tanpa menanti sahabatnya itu berterima kasih, dia sudah berkelebat lenyap. Dengan cepat dia memasuki dusun yang masih ribut itu dan menyerbu ke dalam. Dan mudah saja baginya untuk memasuki rumah di mana tadi Lam-nong dan isteri-isterinya tinggal. Akan tetapi rumah itu telah kosong! Dan selagi dia kebingungan tidak tahu harus mencari ke mana, terdengar sorak sorai dan rumah itupun sudah dikepung dengan ketat. Kiranya dia memang dijebak dan kini seperti seekor harimau yang jatuh ke dalam perangkap, dan para perajurit pasukan pemberontak itu menyorakinya! Hui Song menggigit gigi dan mengepal tinju. Dia akan membela diri dan melawan mati-matian, kalau perlu dia akan menumpas semua anak buah pasukan pemberontak ini, walau hal itu nampaknya tidak mungkin mengingat betapa banyaknya jumlah mereka. Akan tetapi, diapun yakin bahwa andaikata dia tidak dapat menemukan lagi isteri-isteri Lam-nong yang entah berada di mana itu, masih tidak terlalu sukar baginya untuk menerjang ke luar dan membuka jalan darah meloloskan diri.   Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang membuat Hui Song terbelalak dan mukanya menjadi merah, metanya memancarkan api kemarahan. Laki-laki itu bukan lain adalah Sim Thian Bu! Kini mengertilah dia! Kiranya siang tadi orang ini datang bukan hanya untuk mengintai wanita mandi, melainkan untuk memata-matai dan menyelidiki keadaan di dusun itu! Dan orang ini ternyata adalah seorang pemimpin pasukan pemberontak!   "Jahanam busuk! Kiranya engkau adalah seorang pemberontak?" bentak Hui Song. "Bagus, aku tidak akan dapat mengampunimu lagi!"   Akan tetapi, Sim Thian Bu melintangkan pedangnya dan berkata, "Cia-taihiap, aku tidak ingin memusuhimu. Ketahuilah bahwa banyak orang gagah membantu kami untuk menghadapi kaisar lalim. Menyerahlah dan engkau akan kami sambut sebagai seorang pembantu kami yang terhormat."   "Tutup mulutmu yang busuk! Siapa sudi bersekutu dengan pemberontak busuk?" Hui Song menyerang dengan cepat sekali. Akan tetapi, Sim Thian Bu menyelinap di antara para perajurit dan belasan orang perajurit dengan berbagai macam senjata menyambut terjangan Hui Song. Dua orang terdepan terjengkang muntah darah diterjang Hui Song dan yang lain-lain mundur. Akan tetapi, kepungan semakin diperketat dan puluhan batang senjata menyambar-nyambar. Hui Song yang hanya bertangan kosong itu, cepat merampas dua batang pedang dan kini dengan sepasang pedang, dia mengamuk, menangkisi semua senjata dengan sepasang pedangnya dan merobohkan banyak sekali pengeroyok dengan tendangan-tendangannya! Akan tetapi, betapapun lihainya, dia hanya seorang manusia biasa dan tenaganya tentu saja terbatas. Setelah merobohkan tiga puluh orang lebih, dan bajunya sudah robek-robek terkena senjata, akhirnya Sim Thian Bu berhasil melukai pahanya dan selagi Hui Song terhuyung, belasan orang menubruknya dan diapun akhirnya lemas terkena totokan Sim Thian Bu yang lihai. Thian Bu melarang orang-orangnya untuk membunuh Hui Song dan dia sendiri menyeret tubuh Hui Song ke dalam sebuah kamar. Dia menembahkan beberapa totokan ke pundak dan punggung Hui Song, membuat pemuda ini menjadi lemas dan tidak mampu mengerahkan sin-kang, seperti setengah lumpuh kaki tangannya.   "Ha-ha, Cia-taihiap, Lihat, kalau aku mau membunuhmu, betapa mudahnya. Akan tetapi aku tidak akan membunuhmu. Aku bahkan akan membikin senang hatimu karena aku mengharapkan engkau kelak suka membantu kami."   "Pemberontak hina, kalau engkau mau membunuhku, lakukanlah, daripada bersekutu dengan pemberontak, lebih baik aku mati. Kalau engkau gagah dan memiliki kepandaian, mari kita bertanding satu lawan satu!" Dengan suara lemah Hui Song berkata, akan tetapi Thian Bu hanya tertawa saja, tertawa dengan sikap mengejek. Setelah memerintahkan seregu pasukan pengawal untuk berjaga dengan ketat di luar kamar, dia lalu meninggalkan Hui Song.   Hanya Lam-nong seorang yang dapat lolos dari serbuan para perajurit pemberontak itu. Belasan orang wanita ditawan dan semua laki-laki dibunuh dengan kejam! Thian Bu sendiri lalu mendatangi para tawanan wanita yang bersimpuh di atas lantai sambil menangis. Di antara para selir dan para pelayan itu, dia memilih empat orang selir Lam-nong yang paling muda dan paling cantik, kemudian dia membawa empat orang wanita tawanan ini ke dalam bekas kamar Lam-nong. Empat orang wanita itu menangis dan menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar itu ketika Thian Bu membawa mereka masuk dan menutupkan pintunya.   "Ha-ha, nona-nona manis. Sekarang akulah yang menjadi suamimu, pengganti Lam-nong. Lihat, aku tidak kalah ganteng dan gagah dibandingkan dengan dia, bukan?" Dia menyeringai dan membuka kancing bajunya, memperlihatkan dadanya yang bidang. Pria cabul ini memang berwajah tampan, berpakaian mewah dan bertubuh tegap. Memang dia memiliki daya tarik yang kuat bagi wanita. Akan tetapi, empat orang selir itu yang masih ketakutan dan berduka karena malapetaka yang menimpa suami dan keluarga mereka, tentu saja tidak tertarik oleh gayanya ini dan mereka hanya berlutut di lantai, menundukkan muka dan menangis.   Melihat mereka itu menangis, Thian Bu mengerutkan alisnya yang tebal, hatinya merasa jengkel sekali. "Sudah, jangan menangis!" bentaknya. "Kalian kuajak ke sini bukan untuk bertangis-tangisan, melainkan untuk bersenang-senang!"   Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan wanita. Mendengar ini, empat orang wanita itupun menjadi ketakutan dan menangis semakin keras. Mereka mengenal suara jerit tangis itu sebagai suara tangis wanita-wanita yang tadi tidak terpilih oleh Thian Bu. Belasan orang wanita, yaitu selir-selir Lam-nong dan para pelayan, oleh Thian Bu dihadiahkan kepada para pembantunya yang terdiri dari belasan orang perwira. Tentu saja orang-orang kasar ini segera berebutan dan sebentar saja wanita-wanita itu ditarik dan dibetot sana-sini dan dipondong, dibawa ke tempat-tempat terpisah oleh orang-orang itu dan merekapun menjerit-jerit dan menangis.   Mendengar jerit tangis itu, Thian Bu menyeringai. "Nah, dengar itu. Mereka terpaksa harus melayani para perajurit itu dan mengingat jumlah para perajurit, tentu mereka akan hancur dan mati sebelum semua orang kebagian. Apakah kalian ingin kulemparkan kepada para perajurit itu?"   Empat orang wanita itu mengangkat muka dan mata mereka terbelalak memandang kepada Thian Bu. Muka mereka pucat dan mereka menggeleng-geleng kepala, merasa ngeri membayangkan betapa mereka akan menjadi rebutan para perajurit yang kasar itu, seperti seekor kelinci dijadikan rebutan ratusan ekor harimau. Mereka tentu akan dicabik-cabik sampai tubuh mereka hancur binasa!   "Tidak... tidak... jangan...!" teriak mereka memohon.   Thian Bu tersenyum. "Jadi kalian memilih untuk melayani aku daripada para perajurit itu? Nah, kalau begitu, hentikan tangis kalian dan bersikaplah manis!"   Saking takutnya kalau-kalau mereka dilemparkan kepada para perajurit yang buas seperti segerombolan anjing serigala itu, empat orang wanita ini lalu memaksakan diri menghentikan tangis mereka. Sim Thian Bu menjadi girang sekali dan mulailah dia membelai dan mempermainkan mereka. Biarpun hati mereka terasa hancur, empat orang itu terpaksa mandah saja dipermainkan sesuka hati oleh Sim Thian Bu. Pria ini memang ganteng dan banyak pengalamannya dengan wanita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang wanita yang tadinya menangis sedih itu, akhirnya menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan mulai timbul kegembiraan mereka melayani pria yang ganteng dan pandai mengambil hati itu.   Ada seorang tawanan lain yang bukan wanita. Seorang kakek yang terluka pundaknya. Oleh Thian Bu, kakek ini tidak boleh dibunuh, bahkan diobati lukanya. Pada keesokan harinya, Thian Bu membawa kakek ini ke sebuah kamar, lalu dia berkata, "Lihat baik-baik, dan laporkan kepada Lam-nong agar lain kali dia berhati-hati memilih kawan. Kepercayaannya kepada Cia Hui Song menghancurkan dia. Ayah pemuda itu, ketua Cin-ling-pai, adalah seorang tokoh di antara pasukan kami yang sedang berjuang. Lihat, kini dia bersenang-senang dengan kami!" Setelah berkata demikian, Thian Bu membuka daun pintu kamar itu dan membiarkan kakek Mancu menjenguk ke dalam. Setelah melihat ke dalam, kakek itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan makian.   Apakah yang dilihatnya? Cia Hui Song, pemuda yang selama ini dianggap sebagai sahabat baik Lam-nong, yang telah disambut sebagai tamu kehormatan oleh kepada sukunya itu, kini nampak rebah di atas pembaringan dengan pakaian setengah telanjang dan empat orang wanita cantik yang hampir tidak berpakaian sama sekali malang melintang rebah di sisi dan di atas tubuh pendekar itu, bahkan ada yang merangkulnya! Melihat ini, tentu saja kakek itu menjadi marah karena empat orang wanita itu adalah selir-selir kepala sukunya!   "Nah, kau sudah melihat jelas? Kakek, sekarang engkau boleh pergi, cari Lam-nong dan laporkan semua yang kaulihat," kata Thian Bu sambil menutupkan lagi daun pintu kamar itu.   "Akan tetapi... kenapa... kenapa engkau membebaskan aku sedangkan semua kawanku telah dibunuh?"   "Kakek, bersyukurlah kepada para dewa bahwa wajahmu mirip sekali dengan mendiang ayahku. Itulah sebabnya mengapa aku tidak membolehkan anak buahku membunuhmu. Nah, pergilah cepat!" katanya dan kakek itupun tanpa banyak cakap lagi lalu pergi meninggalkan dusun itu.   Apakah yang telah terjadi? Mengapa empat orang wanita itu kini berada di atas pembaringan bersama Hui Song? Ini adalah akal Thian Bu yang memang licik sekali. Setelah puas bermain-main dengan empat orang wanita itu semalam suntuk, dia lalu menyuruh mereka memasuki kamar di mana Hui Song rebah tak berdaya.   "Sekarang kalian bantulah aku. Kalian tentu mengenal Cia Hui Song sahabat suami kalian itu, bukan? Nah, kalau kalian tidak ingin kuserahkan kepada para perajurit, kalian berempat sekarang harus melayani dia! Rayulah dia agar suka bermain-main dengan kalian dan kalian boleh tidur di atas pembaringannya melepaskan lelah."   Empat orang wanita yang kelelahan itu lalu digiring ke dalam kamar di mana Hui Song nampak rebah di atas pembaringan seorang diri. Empat orang wanita itu dalam keadaan setengah atas hampir telanjang sama sekali, menghampiri pembaringan. Melihat Hui Song yang mereka suka dan yang menjadi kepercayaan suami mereka, mereka merasa seperti bertemu dengan seorang sahabat baik, apalagi mengingat akan kelihaian Hui Song, mungkin mereka dapat mengharapkan pertolongannya. Maka tanpa diperintah lagi mereka lalu lari dan menubruk pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu hanya dapat bergerak dengan lemah saja. Di dalam hatinya, Hui Song terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa ucapan Thian Bu tadi dibuktikannya, yaitu bahwa Thian Bu hendak menyenangkan hatinya, bahkan dengan cara yang membuat darahnya tersirap. Dia menjadi rikuh dan malu sekali melihat betapa empat orang selir-selir Lam-nong yang paling cantik menghampirinya dengan pakaian hampir telanjang, apalagi ketika mereka menubruk dan merangkulnya. Akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kaki tangan untuk menolak atau mengelak. Dia diam saja dan membiarkan mereka menangis di pundaknya, di dadanya dan mungkin terpengaruh oleh rayuan-rayuan Thian Bu tadi, dan teringat akan ancaman Thian Bu, mereka bahkan mulai membelai tubuh Hui Song!   "Pergilah... jangan ganggu aku...!" kata Hui Song lemah akan tetapi empat orang wanita itu tidak menghentikan usaha mereka. Dalam keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke dalam kamar. Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lam-nong itu, yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, berbalik malah menjadi musuh dan melakukan hal-hal yang amat tidak patut, yaitu menjinai isteri-isteri kepala sukunya.   Kakek Mancu itu tahu bahwa kepala sukunya, Lam-nong, berhasil menyelamatkan dirinya, dan dia tahu pula di mana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena pernah mereka melewati sebuah hutan sebelum tiba di dusun itu dan Lam-nong pernah mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan pasukan kalau kelak terjadi perang di tempat itu. Maka diapun lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, mencari-cari dan memanggil-manggil. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab dan muncullah Lam-nong dari balik semak-semak belukar.   Melihat pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Lam-nong merangkul satu-satunya anak buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan betapa marah hatinya mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buahnya dalam rombongannya telah habis dan tewas semua, dan betapa isteri-isterinya telah menjadi korban perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang tokoh pemberontak dan juga ikut pula menjinai empat orang isterinya yang paling disayangnya!   "Mustahil!" Dia membentak. "Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah menyelamatkan aku sampai ke sini!"   "Saya melihat sendiri dia dan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam keadaan yang amat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!" kata kakek itu.   Lam-nong mengerutkan alianya dan hatinya mulai terasa panas. "Akan tetapi... kenapa dia bersikap begitu baik ketika menjadi tamu kita, dan dia sama sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda isteri-isteriku. Kenapa sikapnya berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"   "Dia tentu bertindak sebagai mata-mata ketika menjadi tamu kita, dan dia sengaja menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap isteri-isteri paduka. Bagaimanapun juga, sepasang mata saya tidak dapat ditipu dan saya melihatnya sendiri." Lalu kakek Mancu ini menceritakan kembali dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang isteri Lam-nong yang telanjang bulat. Mendengar penggambaran itu, hati Lam-nong menjadi semakin panas. Dia sudah terpukul sekali mendengar akan terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan seorang selirnya yang paling dicinta, siapa tahu pemuda itu malah menjinai selirnya itu dengan selir-selir lain pula.   "Keparat jahanam Cia Hui Song!" dia mengutuk, akan tetapi Lam-nong lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Kasihan isteri-isteriku yang malang..." dan diapun menangis! Kakek Mancu itu menjadi terharu sekali melihat pemimpinnya menangis dan diapun teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula, make tak dapat ditahannya, diapun kini menangis. Dua orang laki?laki itu menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang hebat.   Dan memang sepatutnya Lam-nong menangisi isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang laki-laki cabul yang berhati kejam bukan main. Dia tidak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap wanita seperti makanan atau pakaian saja. Kalau sudah kenyang dimakannya, maka sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, bekasnya akan dicampakkan begitu saja. Demikian pula setelah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu, untuk menyenangkan hati anak buahnya, Thian Bu lalu menghadiahkan empat orang tawanan itu kepada anak buahnya. Empat orang wanita yang sejak dahulu hidup berbahagia di samping Lam-nong kini mengalami nasib yang mengerikan. Mereka itu diperebutkan dan dipermainkan banyak orang kasar sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului mereka!   Akan tetapi mengapakah Thian Bu memperlakukan Hui Song seperti itu? Mengapa dia membiarkan kakek Mancu lolos setelah memberinya kesempatan melihat seolah-olah Hui Song sedang berjina dengan empat orang selir Lam-nong? Thian Bu melakukannya bukan hanya sekedar untuk melampiaskan kemarahannya kepada Hui Song ketika pemuda itu menggagalkan dia yang hendak menculik wanita ketika dia mengintai wanita-wanita yang sedang mandi itu. Dia melakukannya dengan perhitungan. Dia membiarkan kakek Mancu lolos bukan sekali-kali karena kakek itu mirip dengan ayahnya, sama sekali tidak. Itu hanya suatu alasan belaka. Dia sengaja membiarkan kakek itu hidup agar kakek itu dapat menghubungi Lam-nong! Dan dia sengaja membiarkan kakek itu melihat seolah-olah Hui Song bermain gila dengan para selir Lam-nong agar timbul kebencian dan permusuhan antara suku bangsa itu dengan Hui Song. Dia tidak mau membunuh Hui Song, mengingat bahwa ayah pemuda itu menjadi sekutu Raja Iblis, akan tetapi dia ingin memberi kesan buruk terhadap pemuda ini kepada suku bangsa Mancu. Kalau sudah demikian, tidak mungkin lagi Hui Song kelak membantu orang-orang Mancu. Dan dia hendak merusak nama baik Hui Song, bukan hanya untuk melampiaskan kebenciannya terhadap pemuda ini akan tetapi secara tidak langsung dia hendak menghantam pula nama baik ketua Cin-ling-pai. Betapapun juga, keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu adalah musuh-musuh yang dibencinya, orang-orang dari golongan pendekar yang selelu memusuhi golongannya. Dan di samping semua alasan ini, juga Thian Bu hendak main-main untuk merendahkan dan membikin malu Hui Song.   Karena memang sudah diaturnya, ketika kakek itu melarikan diri. Diam-diam Thian Bu menyuruh belasan orang pengawalnya untuk membayanginya dan kalau kakek itu sudah bertemu dengan Lam-nong, agar menangkap mereka tanpa membunuhnya karena dia masih memiliki rencana lebih jauh dengan kepala suku Mancu Timur itu.   Demikianlah, ketika Lam-nong dan kakek Mancu itu bertangisan di dalam hutan, tiba-tiba muncul tiga belas orang perajurit pengawal pilihan yang sudah mengurung mereka dan membentak agar keduanya suka menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi, Lam-nong yang sedang dilanda duka dan dendam itu, tentu saja tidak sudi menyerah. Dia mencabut pedangnya dan mengamuk, dibantu oleh kakek Mancu yang sudah luka pundaknya. Mereka mengamuk dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri sehingga agak kewalahanlah tiga belas orang pengawal itu. Kalau saja mereka diperintahkan membunuh, tentu dua orang itu sudah terbunuh sejak tadi. Akan tetapi mereka dilarang membunuh, melainkan disuruh menangkap mereka berdua itu hidup-hidup dan inilah sukarnya. Dua orang itu nekat, membuat para pengeroyok itu sukar menangkapnya hidup-hidup. Betapapun juga, karena dikeroyok oleh banyak orang, perlahan-lahan Lam-nong dan pembantunya mulai kehabisan tenaga dan napas mereka sudah terengah-engah, tubuh sudah basah oleh keringat. Agaknya tidak lama lagi mereka akan roboh sendiri kehabisan tenaga sehingga akan mudah ditawan.   Pemimpin regu pengawal pemberontak itu tahu akan hal ini, maka dalam suatu kesempatan yang baik, kakinya terayun dan tepat mengenai lutut kanan Lam-nong yang roboh terguling. Empat orang menubruknya dan kakek Mancu yang sudah kehabisan tenaga itupun dapat tertangkap dari belakang dan keduanya lalu dibelenggu. Lam-nong meronta-ronta dan memaki-maki, akan tetapi dia segera tidak berdaya setelah kaki tangannya diikat.   Pada seat itu terdengar bentakan nyaring dan dua orang perajurit terpelanting disusul oleh dua orang perajurit juga terpelanting ke kanan kiri. Semua orang melihat dan ternyata yang datang adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang gagah perkasa. Begitu mereka berdua itu menggerakkan tangan tadi, empat orang telah terpelanting den hal ini amat mengejutkan hati pasukan itu, juga membuat mereka marah. Sembilan orang sisa pasukan pengawal itu segera mencabut senjata dan tanpa banyak cakap mereka lalu menerjang dan mengeroyok laki-laki den wanita yang baru datang itu. Akan tetapi, dengan gerakan ringan den mudah saja, dua orang itu mengelak dan begitu mereka menggerakkan kaki tangan membalas, sembilan orang itu terpelanting satu demi satu! Untung bagi tiga belas orang perajurit pemberontak itu bahwa laki-laki dan wanita ini agaknya tidak berhati kejam dan tidak bermaksud membunuh sehingga mereka itu hanya menderita luka-luka ringan saja. Akan tetapi merekapun maklum bahwa dua orang ini adalah orang-orang sakti. Hati mereka menjadi gentar dan tanpa menanti koniando lagi mereka lalu berloncatan tunggang langgang melarikan diri dari tempat berbahaya itu, meninggalkan dua orang tawanan yang sudah mereka belenggu.   Suami isteri setengah tua yang gagah perkasa itu adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong. Tidak mengherankan kalau dalam segebrakan saja tiga belas orang perajurit pemberontak itu terpelanting semua. Setelah semua perajurit melarikan diri, Ceng Thian Sin lalu melepaskan ikatan tangan kaki Lam-nong dan pembantunya.   Setelah dibebaskan dart belenggu, Lam-nong berdiri memandang kedua orang penolongnya itu dengan penuh perhatian, kemudian dia bertanya dengan suara kaku, dalam bahasa Han. "Apakah kalian ini dua orang pendekar dari selatan?"   Tentu saja suami isteri itu merasa heran melihat sikap dan mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi sambil tersenyum Thian Sin mengangguk. "Benar, kami datang dari selatan. Sobat, siapakah engkau dan mengapa kalian ditangkap oleh pasukan itu?"   Tiba-tiba Lam-nong mengepal tinju dan memandang marah. "Sudahlah! Aku tidak mau berurusan dengan segala pendekar dari selatan yang berhati palsu. Daripada nanti kalian akan mengkhianati aku lebih baik kalian membunuhku sekarang juga!" Berkata demikian, tiba-tiba saja Lam-nong menyerang kalang kabut kepada Thian Sin. Tentu saja pendekar ini menjadi kaget dan terheran-heran, cepat mengelak.   "Manusia tak kenal budi memang lebih baik mampus!" Toan Kim Hong berseru marah dan tangannya bergerak hendak menghajar orang yang diselamatkan akan tetapi berbalik memusuhi mereka itu. Akan tetapi suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya menyerang Lam-nong. Dan dia sendiri lalu menghadapi Lam-nong dan ketika tangan orang itu menyambar ke depan, dia menangkap dan tubuh Lam-nong tidak mampu bergerak lagi.   "Nantl dulu, sobat. Segala perkara harus dibicarakan dulu, tidak membabi buta menuduh dan menyerang orang. Apakah yang telah terjadi dan mengapa engkau membenci para pendekfir dari selatan?"   Akan tetapi Lam-nong tidak menjawab dan ketika Thian Sin melepaskan tangannya, diapun menutupi mukanya dan menangis lagi! Hal ini tentu saja mengejutkan hati suami isteri itu dan Thian Sin lalu bertanya kepada pembantu Lam-nong yang hanya berdiri dengan wajah kusut dan muram.   "Sobat, sebenarnya apakah yang telah terjadi kepada kalian?"   Kakek Mancu itu menarik napas panjang lalu menjawab dalam bahasa Han yang kaku akan tetapi cukup jelas. "Dia ini adalah pemimpin kami bernama Lam-nong kepala suku Mancu Timur yang biasa hidup tenteram. Akan tetapi dalam perjalanan sekali ini kami tertimpa bencana. Semua anggota rombongan kami terbunuh oleh pasukan pemberontak, harta benda dirampok dan wanita-wanita kami ditawan. Yang amat menyedihkan dan menggemaskan hati, semua ini gara-gara pengkhianatan seorang pendekar dari selatan."   "Hemm, gara-gara seorang pendekar dari selatan? Apa yang telah dilakukan pendekar itu?"   "Pemimpin kami telah bertemu dan bersahabat dengan seorang pendekar dan memperlakukannya sebagai tamu agung dan sebagai sahabat. Akan tetapi, ketika rombongan kami diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemberontak, baru ternyata bahwa pendekar yang tadinya kami kira seorang sahabat itu bukan lain adalah seorang mata-mata pemberontak yang amat keji dan telah mengkhianati kami!" Kakek itu mengepal tinju dan suaranya terdengar marah.   Agaknya Lam-nong kini sudah dapat menguasai dirinya. Dia menambahkan. "Coba saja bayangkan, seorang yang kuanggap sebagai sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri, ketika rombonganku, anak buahku semua tertimpa bencana dan tewas, dia... dia malah menodai isteri-isteriku... dan aku takin bahwa dia tentu menggunakan paksaan, kalau tidak, tidak mungkin isteri-isteriku bertindak serong dan berjina!"   Suami isteri itu terkejut juga. Kalau seperti itu perbuatan pendekar itu, maka dia sama sekali bukan pendekar melainkan seorang penjahat yang mengaku sebagai pendekar. "Ah, dia itu penjahat keji yang terkutuk, bukan pendekar!" Toan Kim Hong berseru marah.   "Akan tetapi dia seorang pendekar, bahkan putera seorang tokoh yang terkenal. Menurut keterangannya, ayahnya adalah seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang besar."   "Tidak, Cia Hui Song adalah seorang pendekar, akan tetapi ternyata hatinya busuk dan penuh khianat keji!"   "Apa...? Siapa...?" Ceng Thian Sin berseru kaget dan dia memegang lengan Lam-nong dengan kuat sehingga kepala suku itu menyeringai kesakitan. Thian Sin sadar dan melepaskan cengkeramannya dan ternyata baju pada lengan Lam-nong hancur lebur! Kepala suku itu memandang dengan wajah pucat, akan tetapi dia tersenyum.   "Aku tahu, pendekar-pendekar selatan memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi hatinya palsu dan busuk. Nah, kau bunuhlah aku!" tantangnya.   "Nanti dulu, saudara Lam-nong. Tentu ada kesalahpahaman di sini. Kalau memang benar dia itu pendekar Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai, tidak mungkin dia melakukan hal yang kotor itu. Dan andaikata benar dia melakukannya, tentu dia bukan putera ketua Cin-ling-pai atau semua itu hanya fitnah belaka."   "Fitnah? Orangku ini menyaksikan dengan kepala sendiri dan masih dianggap fitnah? Kalian pendekar-pendekar selatan tentu saja membela!" kata Lam-nong dan dia menyuruh pembantunya menceritakan kembali semua yang telah terjadi. Kakek Mancu itu menceritakan sejak terjadinya penyerbuan pasukan pemberontak sampai ketika dia tertawan dan dia dilepas karena mirip wajah pemimpin pasukan pemberontakg dan betapa dia menyaksikan Hui Song berjina dengan empat orang isteri Lam-nong yang tertawan, betapa wanita-wanita lainnya menjadi korban perkosaan yang biadab.   Mendengar penuturan ini, Thian Sin dan isterinya saling pandang dan pendekar ini menggeleng-geleng kepalanya, "Sungguh sukar untuk dipercaya!" serunya.   "Sungguh membingungkan!" kata pula Toan Kim Hong. Mereka sudah mendengar dari puteri mereka akan nama Cia Hui Song itu yang oleh puterinya dipuji-puji sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi menurut penuturan dua orang Mancu ini, ternyata Hui Song adalah seorang mata keranjang yang cabul den berwatak busuk dan palsu. Tentu saja mereka belum mau percaya sepenuhnya hanya dengan mendengar penuturan dua orang ini walaupun jelas bahwa dua orang yang keadaannya seperti itu, kehilangan semua kawan yang terbunuh habis, kiranya tidak akan sempat lagi untuk berbohong-bohong. Tidak mungkin mereka ini menceritakan fitnah, akan tetapi besar kemungkinannya pendekar yang menjadi sahabat mereka itu bukan putera Cin-ling-pai yang sebenarnya, melainkan akuan saja. Betapapun juga, di dalam lubuk hatinya, suami istri ini kurang begitu suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap berwatak angkuh.   "Kami akan menyelidiki kebenaran keterangan kalian itu," akhirnya Thian Sin berkata. "Kalau benar orang itu melakukan hal yang demikian jahat, kami akan menghajarnya. Akan tetapi, dapatkah kalian menolong kami menceritakan di mana adanya nenek yang bernama Yelu Kim?"   Mendengar pertanyaan ini, sepasang alis Lam-nong berkerut dan diapun memandang penuh kecurigaan dan ejekan. "Hemm, kiranya kalian ini pendekar-pendekar dari selatan yang ingin mengabdi kepada nenek Yelu Kim untuk memberontak terhadap pemerintah kalian di selatan?"   "Tutup mulutmu dan jangan menduga yang bukan-bukan!" Toan Kim Hong membentak marah.   Akan tetapi Thian Sin tersenyum dan dia maklum mengapa kepala suku ini demikian penuh dendam dan benci kepada para pendekar dari selatan. "Sobat Lam-nong, mengapa kau menduga demikian?"   "Karena petualang-petualang dari selatan itu berkeliaran di sini hanya untuk mencari kedudukan atau kekayaan. Nenek Yelu Kim sendiripun sekarang telah dibantu oleh seorang pendekar wanita dari selatan..."   "Ah, pendekar wanita itulah yang kami cari!" Toan Kim Hong berseru. "Bukankah ia masih muda sekali, cantik dan lihai, dan namanya Ceng Sui Cin?"   Lam-nong menggeleng kepala. "Aku tidak mengenal namanya, akan tetapi memang ia muda, cantik dan lihai bukan main. Aku hanya mendengar bahwa ia menjadi murid dan pembantu nenek Yelu Kim, bahkan ialah yang memenangkan sayembara pemilihan jagoon sehingga kemenangannya membuat nenek Yelu Kim diangkat menjadi pimpinan para kepala suku."   "Ah, tentu ia itu puteri kami Ceng Sui Cin!" Toan Kim Hong berseru dan suaranya agak gemetar.   "Putert kalian? Ah, menarik sekali!" kata Lam-nong.   "Saudara Lam-nong, berlakulah baik kepada kami dan tolonglah tunjukkan di mana adanya nenek Yelu Kim agar kami dapat mencari puteri kami," kata Thian Sin, suaranya halus membujuk.   "Hemm, mengingat betapa kalian tadi baru saja menyelamatkan kami dari tangan pasukan pemberontak sudah cukup untuk kubalas dengan pertolongan apapun. Akan tetapi apakah arti pertolonganmu tadi sebagai pendekar dari selatan dibandingkan dengan kekejian yang dilakukan lain pendekar selatan kepada kami? Oleh karena itu, aku mau membantumu, bahkan bukan hanya menunjukkan melainkan mengantarmu ke sana kalau engkau mau berjanji bahwa engkau akan membantuku pula menangkap dan menyeret si jahanam Cia Hui Song ke depan kakiku! Bagaimana?"   Thian Sin saling pandang dengan isterinya. Janji yang berat. Bagaimana kalau ternyata bahwa pendekar itu benar-benar putera ketua Cin-ling-pai? Bukankah itu berarti bahwa mereka akan berhadapan sebagai lawan dan musuh dengan keluarga Cin-ling-pai? Demikian Thian Sin berpikir.   "Baik, kami setuju!" Tiba-tiba Toan Kim Hong berseru. "Siapapun juga adanya pendekar itu, kalau benar dia melakukan kekejian seperti itu, tentu akan kami hadapi sebagai lawan dan musuh!" Ucapan ini menyadarkan Thian Sin akan kewajibannya sebagai seorang gagah, yaitu menentang siapa saja tanpa pilih bulu, menentang siapa saja yang melakukan perbuatan jahat.   "Benar, kami setuju. Mari antar kami kepada tempat kediaman nenek Yelu Kim!" katanya.   Lam-nong nampak gembira. Janji ini merupakan sinar terang dalam kegelapan hatinya. Dia baru akan merasa puas kalau dapat membalas dendam kepada Cia Hui Song, atas perbuatannya yang biadab kepada isteri-isterinya!   Memang kelihatannya aneh sikap Lam-nong ini, akan tetapi memang sudah demikianlah sifat dendam yang mengotori batin kita semua. Perbuatan merugikan kita yang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita terasa jauh lebih menyakitkan daripada kalau dilakukan oleh orang lain yang asing bagi kita. Inilah sebabnya mengapa kebencian yang menyelinap dalam batin terhadap seorang bekas teman baik atau keluarga jauh lebih mendalam daripada kebencian terhadap orang asing. Lam-nong seolah-olah melupakan parbuatan para pemberontak yang telah membasmi keluarga dan rombongannya, juga seperti lupa akan cerita kakek pembantunya betapa selir-selirnya yang lain diperkosa secara biadab oleh mereka. Yang diingatnya dengan penuh rasa sakit hati hanyalah perbuatan Hui Song yang berjina dengan empat orang isterinya!   "Baiklah, akan kuantar sampai ke depan nenek Yelu Nim. Bahkan aku akan mintai pertanggungan jawabnya atas pertstiwa yang menimpa rombonganku, karena bukankah ia telah menamakan dirinya pemimpin para kepala suku? Mari, mari kita pergi. Tapi, siapakah ji-wi? Aku belum mengenal nama ji-wi."   Thian Sin tersenyum. "Namaku Ceng Thian Sin dan ini adalah isteriku."   Lam-nong mengangguk-angguk, baru sekarang teringat dia betapa lihainya suami isteri ini ketika tadi membubarkan pasukan pemberontak. "Mari, taihiap dan toanio, mari kita berangkat."   ***   Bagaimana dengan Cia Hui Song? Pemuda ini merasa marah dan mendongkol sekali ketika dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya, dia melihat empat orang isteri sahabatnya memasuki kamarnya itu dalam keadaan hampir telanjang bulat. Dia melihat betapa wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan pandang mata penuh takut dan duka. Dia tahu bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayunya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan, akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dia tidak berdaya sama sekali.   Untung baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemaninya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup lagi. Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tak lama kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa ke mana oleh Thian Bu.   Pada keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha melepaskan diri dengan cara menariknya putus.   "Aha, Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam sudah kaupertimbangkan?"   "Aku tidak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kaubunuh sekalipun, aku tidak perduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai mampus!"   "Aih, mengapa galak amat? Bukankah aku telah memperlakukanmu dengan amat baik? Bahkan telah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau menerimanya. Cia-taihitip, ketahuilah bahwa aku bersikap baik kepadamu bukan tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah ibumu, juga kakekmu, kini telah berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai pasukan keamanan di Ceng-tek?"   "Bohong! Siapa sudi percaya omongan busukmu?" bentak Hui Song. "Sim Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku. Perbuatanmu semalam dengan memaksa empat orang isteri Lam-nong dalam keadaan tak tahu malu itu ke sini saja sudah melampaui batas dan untuk itu, mau rasanya aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kauapakan mereka itu?"   "Ha-ha-ha, karena mereka tidak berhasil membujukmu, mereka kuhadiahkan kepada orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita itu harus melayani ratusan orang perajurit..."   "Jahanam keparat kau!" Hui Song membentak dan wajahnya berobah merah sekali, hatinya perih membayangkan nasib para isteri Lam-nong.   Sim Thian Bu sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang mendengarkan. Seorang laki-laki yang berpakaian seragam perajurit berdiri di luar kamar itu, dengan sikap bertugas jaga, akan tetapi sebenarnya dia sedang mendengarkan dengan teliti apa yang sedang dibicarakan di dalam kamar. Perajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong tajam.   Perajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis dan isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk mencari puteri mereka.   Setelah berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin nelangsa karena mereka itu adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya, membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini lalu mengambil keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu. Dia harus dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya melebihi iblis. Gadis itu sudah dua kali menyelamatkannya, pertama kali ketika dia bersama Cia Sun terjeblos ke dalam guha bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Sekarang, dia tahu bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus berusaha untuk menolongnya, biarpun untuk itu keselamatan nyawanya sendiri akan terancam.   Dalam perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang di dusun itu. Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim Thian Bu itu, yang telah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di bawah pimpinan Lam-nong. Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia mendengar dari penyelidikannya betapa sutenya itu telah sedemikian jahatnya membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa wanita-wanitanya. Akan tetapi kedatangannya terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan sutenya. Pula, Ci Kang tidaklah begitu bodoh untuk langsung menemui Thian Bu dan menegurnya. Bagaimanapun juga, jalan hidup antara mereka telah terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang. Sutenya itu, setelah kini memimpin ratusan orang perajurit, mana mungkin mau mentaatinya? Tentu tidak takut kepadanya dan dia akan dianggap musuh dan dikeroyok. Karena itulah, Ci Kang diam-diam lalu menculik seorang perajurit yang perawakannya seperti dia, membawa perajurit itu ke dalam sebuah hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakalannya, dan dengan berpakaian perajurit dia kembali ke dalam dusun. Dengan mudah dia menyelinap di dntara perajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia berhasil masuk ke dalam pondok di mana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan itu dan tahulah dia bahwa pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu sedang dibujuk oleh sutenya untuk membantu pemberontak. Sutenya, Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lo-jin, guru sutenya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh pemberontak. Dan biarpun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada dalam kamar bersama Sui Cin, namun dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati. Diapun sudah mendengar tentang ketua Cin-ling-pai yang membantu gerakan para pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song. Sedikit banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Biarpun ayah pemuda ini seorang pendekar besar, ketua Cin-ling-pai, akan tetapi sekarang menyeleweng dan membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian menentang pemberontak dan lebih memilih mati daripada harus menjadi kaki tangan pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.   "Hui Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!" Akhirnya Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi. "Melihat muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan tidak membunuhmu walaupun engkau telah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku telah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu, akan tetapi engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah kubawa ke Ceng-tek dan bertemu dengan ayah ibumu." Dia mendengus marah. "Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus sampai ke Ceng-tek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!" Dengan uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Ceng-tek. Tak disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-ling-pai.   "Jaga dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!" perintah Sim Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar. Dua orang pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan dengan tombak di tangan.   Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang amat ringan, bayangan ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau mempertahankan diri. Dua kali totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu, menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras ketika terbanting ke atas lantai.   Hui Song terbelalak ketika mengenal siapa adanya perajurit tinggi tegap yang merobohkan dua orang pengawal itu.   "Hemmm...kau...?" gumamnya, sama sekali tidak girang mtlihat kedatangan penolong ini, bahkan matanya mengandung sinar kemarahan. Andaikata dia tidak dalam keadaan terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang! Ci Kang dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-ling-pai itu dan diapun maklum. "Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."   "Benar, dan yang menawan adalah murid ayahmu!" Hui Song mengejek.   "Simpan ejekanmu itu, sobat! Biarpun dia suteku, akan tetapi jalan hidup kami tidak sejalur. Biarpun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi tak dapat kausamakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu dengan ayahmu yang kini mengabdi pemberontak..."   "Tutup mulut! Kalian pembohong...!" Hui Song membentak.   "Sstttt kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus dapat lari dari tempat ini," berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui Song. Biarpun bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa kesemutan dan setengah lumpuh, namun Hui Song memaksa diri meloncat turun dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!   "Jahanam busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui Cin!" Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah mengenal kelihalan lawan ini cepat mengelak.   "Sabar dulu, sobat. Masih banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding. Sekarang yang penting kita herus meloloskan diri dari dusun ini!" Ci Kang berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk den mencium Sui Cin, sudah menerjang lagi kalang kabut. Tentu saja Ci Kang menjadi bingung sekali dan sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga, maka setelah mengelak dan menangkis, diapun mulai balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik perhatian para pengawal yang cepat datang melihat. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu telah bebas dan kini sedang berkelahi melawan seorang rekan perajurit sedangkan dua orang perajurit pengawal sudah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini, para perajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah seorang di antara kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini dikeroyok!   Pemuda yang sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sutenya, Sim Thian Bu yang licik itu.   "Huh, Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!" Dan diapun mengamuk merobohkan empat orang perajurit dengan sekali serang! Pada saat itu, Sim Thian Bu yang diberi tahu oleh anak buahnya datang dan diapun terkejut bukan main ketika mengenal perajurit tinggi tegap itu yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang! Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah sekali. Kalau tadi ketika dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih mempertahankan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dulu, kini setelah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sutenya itu makin berkobar.   "Sim Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia menyerang Sim Thian Bu!   Thian Bu maklum akan kelihaian putera suhunya ini. Maka cepat dia menangkis dengan lengan kanannya.   "Dukkk...!" Dan tubuh Thian Bu terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa suhengnya itu ternyata telah menjadi semakin lihai saja. Maka diapun berteriak kepada para perajuritnya.   "Dia perajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"   Tadi para perajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan perajurit itu, bahkan mereka kaget melihat betapa dalam segebrakan saja komandan mereka yang biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa perajurit itu adalah seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja segera mereka mengeroyok Ci Kang!   Hui Song sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok, tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara. Akan tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit seperti juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan sungguh-sungguh, baru dia pereaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim Thian Bu dan pasukannya! Dia masih bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, diapun menerjang dan membuka jalan darah. Segera dua orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas dan terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang maupun Hui Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan perajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu. Mereka tentu akan kehabisan tenaga. Oleh karena itu, seperti telah berunding lebih dulu saja keduanya menyerang ke depan dan menyelinap lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang perajurit yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini, para perajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar.   Thian Bu yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Karena mengandalkan jumlah banyak pasukan itu melakukan pengejaran, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari jauh dan tidak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para perajurit mencari ke sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpah-nyumpahi mereka karena pengejaran itu gagal sama sekali. Sim Thian Bu cukup maklum bahwa perajurit-perajurit itu tidak dapat disalahkan karena memang kedua orang pemuda itu amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia memaki-maki para perajuritnya.   Biarpun tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari ke satu jurusan. Agaknya mereka itu keduanya tidak mau mengambil jalan lain atau memisahkan diri, khawatir kalau disangka takut atau sengaja melarikan diri menghindarkan perkelahian.   Dan setelah mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, di sebuah tanah datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan dan berdiri saling berhadapan.   "Cia Hui Song, masih tidak percayakah kau kepadaku? Aku juga menentang kaum pemberontak!"   "Boleh jadi engkau menentang pemberontak, akan tetapi aku tidak mungkin dapat mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!" bentak Hui Song dan diapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Ci Kang merasa betapa pemuda ini keterlaluan sekali mendesaknya. Biarpun ada dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul berahinya sehingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, namun dia tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis, bahkan lalu membalas sehingga dua orang muda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian, walaupun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan untuk menyerang. Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk membenci pemuda ini, maka diapun hanya membela diri dan menghadapi seorang lawan selihai Hui Song, kalau hanya membela diri dengan menangkis atau mengelak saja sungguh amat berbahaya dan tidak cukup aman. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tidak kalah dahsyatnya, hanya dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap dirinya.   Dua orang ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan keduanya pada akhir-akhir ini selama tiga tahun telah digembleng oleh orang-orang sakti yang segolongan. Oleh karena itu, sukar dikatakan siapa yang lebih kuat di antara mereka. Hui Song adalah putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai yang tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang diterimanya dari Siang-kiang Lo-jin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya, Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai juga mematangkan ilmu-ilmunya. Maka pertandingan antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga sakti yang tidak mau saling mengalah.   Setelah perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu lebih sukar dikalahkan seperti yang mereka sangka semula, oleh karena itu kini bergerak dengan hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.   "Dukkk...!" Kembali terjadi adu tenaga yang amat dahsyat yang mengakibatkan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang dan keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam agar jangan sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu. Dan pada saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di depan Hui Song, dan seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.   "Suheng, harap jangan berkelahi...!" Gadis itu berteriak.   "Ci Kang, tahan dulu...!" Pemuda itu berseru pula.   Melihat gadis itu yang menghadangnya, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga Ci Kang segera menghentikan gerakannya ketika dia mengenal siapa yang menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun!   Bagaimanakah dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat itu? Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang terlampau banyak. Ketika dia sedang melarikan diri tiba-tiba dia melihat seorang gadis yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit yang agaknya hendak menangkap gadis cantik itu hidup-hidup. Akan tetapi, gadis cantik itu memainkan sepasang pedang secara hebat sehingga dua puluh lebih orang perajurit itu sukar dapat menangkapnya, dan hanya mengepung dan menyerang dari jauh dengan tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap. Gadis itu adalah Tan Siang Wi.   Sejak muda, Tan Siang Wi telah biasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis kang-ouw yang disegani. Ia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai, bahkan menerima petunjuk pula dari ketua Cin-ling-pai sehingga tentu saja ia amat lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat itu. Karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw ia dijuluki Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa)! Maka, biarpun kini dikepung dan dikeroyok dua puluh orang lebih, ia mengamuk dan sedikitpun tidak menjadi gentar. Gadis ini mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini ia merantau dengan hati penuh duka, mencari-cart Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu dalam kamar oleh Siang Hwa, membuat ia cemburu dan marah sekali. Akan tetapi akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suhengnya bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa hatinya walaupun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa. Akan tetapi, baginya, rasanya lebih suka mati di tangan wanita itu daripada melihat suhengnya berkawan dengan iblis betina itu dan ia disuruh pergi. Akan tetapi, suhengnya yang menyuruhnya dan ia tidak dapat membantah.   Dengan hati dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang. Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi terutama sekali karena ia mengharapkan akan bertemu dengan suhengnya. Ia percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suhengnya itu pasti akan hadir pula di sana.   Demikianlah, ia tiba di antara para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang, menyelinap di antara mereka, tidak berani muncul berterang karena ia tidak mewakili siapa-siapa dan iapun tidak datang atas nama perguruan Cin-ling-pai. Hatinya merasa girang sekali ketika ia melihat Hui Song berada di situ pula, bahkan membuat pelaporan. Ia merasa ikut bangga akan tetapi ia tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suhengnya itu setelah pertemuan selesai. Hatinya lega karena ia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suhengnya dahulu. Akan tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya kalau mengingat akan sikap suhengnya yang dingin terhadap dirinya, sikap yang tidak membalas cintanya, teringat pula betapa manis sikap suhengnya terhadap Ceng Sui Cin, kemudian terhadap wanita iblis itu.   Dan ketika pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar. Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan bekas benteng itu, ia dikepung oleh dua puluh orang lebih perajurit pemberontak dan kembali ia mengamuk membela diri dan sama sekali tidak merasa gentar walaupun pihak lawan terlampau banyak baginya.   Dalam keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu. Walaupun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa gadis yang dikeroyok para perajurit pemberontak itu tentulah seorang di antara para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Serbuan Cia Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang perajurit pemberontak itu kocar kacir dan banyak di antara mereka yang roboh tak dapat bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, melarikan diri.   "Saudara yang gagah, terima kasih atas bantuanmu," kata Siang Wi sambil menjura setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.   "Lebih baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lain datang!" jawab Cia Sun tidak memperdulikan ucapan terima kasih orang dan diapun lari dengan cepat, diikuti oleh Siang Wi. Gadis ini tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini menjadi semakin kagum karena pemuda itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, sehingga ia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak memperlambat larinya.   Demikianlah, setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka cepat ia memberi hormat ketika mendengar bahwa ia berhadapan dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.   "Sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga! Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya dengan ilmu dari Cin-ling-pai?"   "Benar, nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Dan akupun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-ling-pai. Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-ling-pai yang kulihat tadi hadir pula? Ataukah sebagai wakil Cin-ling-pai?"   "Cia-toako, pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah kalau diselidiki benar, di antara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan? Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk... mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako, apakah engkau melihat ke mana larinya suheng tadi?"   "Maksudmu Cia Hui Song? Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Akupun tidak melihatnya. Mana mungkin bisa melihatnya di antara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak itu?"   Siang Wi mengepal tinju. "Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apalagi iblis betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"   Diam-diam Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapapun lihaimu. Murid Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya. "Siauw-moi, apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"   "Tentu saja! Ia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan ialah wanita cabul yang pernah merayu... suhengku. Aku benci padanya! Dan sekarang, ia mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang dan banyak kawan kita yang tewas. Dan aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu ke mana harus mencarinya sekarang?"   Cia Sun memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan keberanian.   "Wi-moi, benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang mereka?"   "Eh, eh, kenapa engkau masih bertanya? Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku, toako?"   "Begini, Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... eh, apakah engkau belum mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subomu juga berada di utara sini?"   Siang Wi kaget akan tetapi juga girang. "Aih! Benarkah itu? Di mana mereka sekarang? Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo? Kenapa mereka tidak nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"   Cia Sun menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik. "Siauw-moi, agaknya engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subomu. Tahukah engkau kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Ceng-tek?"   Siang Wi memandang bingung. "Aku tidak tahu, toako. Mereka di Ceng-tek? Apa yang terjadi dengan mereka?"   "Mereka... membantu para pemberontak menyerbu Ceng-tek dan kini menjadi tokoh pemberontak di Ceng-tek..."   "Ahh...! Tidak mungkin!" seru gadis itu.   "Aku sendiri ketika mendengar berita itu untuk pertama kalinya, tidak percaya dan merasa penasaran sekali. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tidak mungkin kalau sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita itu sudah kuselidiki kebenarannya dan temyata memang paman Cia Kong Liang bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji Sun Ki yang memberontak. Aku tidak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang mustahil itu."   Siang Wi termenung dengan wajah pucat. Ia dapat menduga. Tentu ini gara-gara kakek Jepang yang menjadi mertua suhunya itu. Bagaimana juga, ia sebagai murid subonya tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk sesat yang kini memberontak, dan berhasil membujuk suhunya untuk membantu pemberontak!   "Aku harus mencari mereka... harus menyadarkan mereka...!" Ia berkata berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri.   Cia Sun merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Biarpun mendengar betapa suhu dan subonya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan ia hendak menyadarkan suhu dan subonya dari kesesatan itu. "Wi-moi, telah menjadi keputusan rapat bahwa kita terpaksa harus bertindak sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang temyata kini bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil menghadapi mereka kalau tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena itu, mari kita melakukan penyelidikan ke Ceng-tek, dan kita bantu gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan kalau sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak, alangkah baiknya."   Siang Wi yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka tiba di tempat sunyi di lereng bukit di mana Ci Kang sedang berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.   "Suhengku melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!" kata Siang Wi, dan ia sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun. "Jangan tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu seorang yang gagah perkasa yang juga menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan baik!" Setelah berkata demikian, mereka lalu meloncat ke dalam gelanggang perkelahian. Siang Wi menghentikan suhengnya den Cia Sun menahan Ci Kang. Baik Ci Kang maupun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang Wi dan Cia Sun melerai, walaupun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali. Cia Sun segera memberi hormat kepada Hui Song. Walaupun usia mereka sebaya, dia hanya satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut "abu" dia jauh lebih muda dan Hui Song masih terhitung pamannya. Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya. Kakek Cia Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, sedangkan kakeknya sendiri, Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah berlainan ibu. "Harap paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani meleral dan menghentikan perkelahian ini," katanya. Hui Song sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang masih keluarga Cia juga. Dan biarpun dia terhitung paman paman dari pemuda itu, karena mereka sebaya, diapun cepat membalas penghormatan itu. "Engkau tentu Cia Sun, bukan? Sebetulnya senang sekali dapat berkenalan dengan anggota keluarga sendiri, dan aku sudah melihatmu di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam ini?" Dia menuding ke arah Ci Kang. "Kalau engkau sudah tahu dia siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"   "Aku tidak lupa, suheng, dan tadipun aku sudah hendak membantumu. Akan tetapi Sun-toako mencegah."   "Paman Hui Song, akupun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin..."   "Putera Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!" Hui Song menambahkan.   "Benar, akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lo-kai dan dia selalu menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."   "Hemm, engkau kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri kejahatannya! Ketahullah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin dia sudah... memperkosa Sui Cin!"   "Ahhh...!" Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah tahu sendiri betapa pemuda itu tidak mau menyerah memilih mati ketika dirayu Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu berahi dan agaknya tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin! "Ci Kang, benarkah itu...?" tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya.   Ci Kang menghela napas panjang. "Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu bernafsu memusuhiku sehingga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Cia Sun, engkau telah mengenalku, kita sama-sama telah menghadapi ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui Cin, akan tetapi apa yang kulakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku dikuasai nafsu dan gairah yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku terluka dan menerima obat dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal keji? Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justeru dalam obat itu!"   "Alasan yang dicari-cari!" Hui Song membentak marah.   "Terserah, akan tetapi kenyataannya demikianlah. Bukan aku mencari alasan untuk membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!" kata Ci Kang dengan sikap dingin. Mendengar ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimanapun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, bahkan kekasihnyapun bukan karena gadis itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia ribut-ribut?   "Hemm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng marah dan mendendam, akan tetapi kalau kelak ia mencarimu untuk membuat perhitungan, aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!" katanya menahan kemarahan.   "Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak telah merebut Ceng-tek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara kita ribut sendiri, bagaimana kita dapat menentang mereka? Seperti telah diputuskan di dalam pertemuan itu, kita harus bergerak sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."   "Benar, suheng," Siang Wi menyambung. "Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Ceng-tek."   "Ke Ceng-tek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?" tanya Hui Song.   "Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..." Tiba-tiba Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang.   Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang, "Ci Kang, mari kita pergi."   Ci Kang mengangguk. "Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."   "Hui Cu? Ada apa dengannya?"   "Ia telah tertawan oleh Raja Iblis..."   "Ahhh...!" Cia Sun merasa terkejut bukan main.   "Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, mari kaubantu aku mencarinya dan menyelamatkannya."   Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song. Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata, "Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Ceng-tek, juga semua saudara anggota Cin-ling-pai."   Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu tentang orang tuanya. "Ada... ada apakah mereka berada di Ceng-tek?" tanyanya gagap dan gelisah.   Siang Wi dapat menduga bahwa suhengnya belum mendengar tentang hal yang amat mengejutkan mengenai gurunya itu. "Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama para murid Cin-ling-pai telah berada di Ceng-tek karena mereka semua membantu pemberontak..."   "Tak mungkin!" Hui Song berteriak. "Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"   "Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, akupun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."   "Ahh...!" Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Tidak kelirukah Cia Sun ketika bercerita kepadamu?"   "Suheng, kalau saja yang berterita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tidak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."   "Mari kita ke Ceng-tek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"   Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Ceng-tek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-ling-pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.   ***   "Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat," seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya.   Semenjak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-ling-pai yang lebih dulu menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Ceng-tek, ketua Cin-ling-pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu. Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-ling-pai mendapat pelayanan yang mewah dan hormat oleh pasukan pemberontak dan dianggap berjasa besar.   Pagi hari itu, ketua Cin-ling-pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di dalam gedungnya yang megah, menerima lima orang murid kepala Cin-ling-pai yang menghadap sebagai wakil semua murid. Mendengar ucapan seorang di antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam. Dia sendiri pada hari-hari terakhir ini merasa tidak tenang dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh serombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.   "Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim," katanya memancing pendapat.   "Akan tetapi, suhu," kata murid kedua, "Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"   Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya. "Hemm, benarkah semua itu? Apalagi yang kalian dengar atau lihat?"   "Teecu tidak berbohong, suhu!" kata orang ketiga. "Selama dalam perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu sudah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang kini berdiam di San-hai-koan. Akan tetapi kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Ceng-tek ini dan kalau bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"   "Bukan itu saja, suhu," kata orang keempat, "teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kui-bo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"   Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali. "Cap-sha-kui...?" Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walaupun dia belum pernah bertemu dengan mereka. Dia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!   "Apalagi yang kalian ketahui?" tanyanya.   "Satu hal lagi yang amat mengejutkan, suhu," kata seorang murid lain. "Teecu... teceu takut mengatakan..." Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.   "Takut apa? Tak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andaikata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada di sini!"   Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-ling-pai ini menjadi besar hati dan biarpun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya, "Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis...!"   "Ahhh...!" Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"   "Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena keteranganmu itu kalau tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!" kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini. Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak agar suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikitpun ia tidak pernah menduga bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat! Seperti juga suaminya, biarpun tidak jelas benar, pernah ia mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Nyonya ketua Cin-ling-pai ini, biarpun puteri bekas datuk sesat, sejak muda tidak suka akan kejahatan dan apalagi setelah ia menjadi isteri ketua Cin-ling-pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.   "Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah bicara dengan beberapa orang anggauta pasukan pemberotak yang sedang mabok dan mereka itu agaknya tidak mampu menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan sepasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerbu ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."   "Sssttt...!" Tiba-tiba Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya supaya jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar. Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-ling-pai ini sudah meloncat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorangpun di situ. Betapapun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-ling-pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegeng. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.   "Mulai sekarang, kalian harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Kawan-kawanmu semua agar dibisiki agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"   "Ada satu lagi, suhu," kata murid pembicara pertama, "teecu mendengar bahwa serombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."   Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu keduanya mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri. Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya. "Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Kalau benar demikian, mengapa gak-hu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"   Isterinya menggeleng. "Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya yang hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di San-hai-koan dan kita berada di sini, mana aku tahu?"   "Sebaiknya ayahmu harus diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang amat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang hendak memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."   "Baik, akan kucari dia dalam kamarnya," kata isterinya. Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng. Sebagai seorang isteri ketua Cin-ling-pai yang juga memiliki ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, ia tidak melihat seorangpun dan ia terkejut. Orang tadi benar-benar memiliki gin-kang yang amat hebat, jauh lebih tinggi daripada gin-kangnya sendiri. Maka setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, iapun turun kembali dan tak lama kemudian ia mengetuk daun pintu ayahnya. Ayahnya belum tidur dan sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruangan belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pentas dan bersama puterinya pergi ke dalam ruangan.   "Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?" tanya ayah itu dengan sikap heran.   "Ada urusan penting sekali, ayah. Kita bicarakan saja di dalam nanti," jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itupun tidak bertanya-tanya lagi.   Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya. "Ada urusan penting apakah...?" Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi ia melihat bayangan orang.   "Tidak kaukejar?" tanya suaminya.   "Sudah, akan tetapi orang itu memiliki gin-kang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."   "Hemm, makin mencurigakan lagi..." gumam Cia Kong Liang.   "Aih, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?" kakek Bin Mo To bertanya.   Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik dan diapun berkata, "Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"   Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan sebenarnya, akan tetapi dia masih berpura-pura tidak mengerti. "Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"   "Maksud saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"   Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepala. "Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."   "Bukan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"   Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata, "Benarkah itu? Aku tidak tahu..."   Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandai menguasai dirinya, sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, segera berkata, "Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimanapun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar seperti Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"   Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan mantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya. "Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."   "Kalau ayah tahu mengapa menyeret kami ke sini?" puterinya berseru kaget dan marah.   "Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!" kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan tidak lagi mau berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat?   Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang mantu dan anaknya dengan sinar mata tajam. "Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itupun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."   "Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimanapun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat," bantah Cia Kong Liang.   "Apa salahnya?" Mertuanya menjawab. "Bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Kalau kelak perjuangan berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"   "TIdak! Tidak mungkin!" Cia Kong Liang bangkit berdiri. "Aku telah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-ling-pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!" Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.   "Apa yang akan kaulakukan? Ke mana engkau hendak pergi?" Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir.   Cia Kong Liang berhenti dan menepuk-nepuk pundak isterinya. "Aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke San-hai-koan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting daripada sekedar keselamatan nyawa."   "Aku ikut!" kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat.   Suaminya menggeleng kepala. "Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-ling-pai berada di sini. Aku menyelidiki ke San-hai-koan dan engkau mengumpulkan semua murid dan mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Ceng-tek. Kita kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan aku akan menemui Ji-ciangkun!"   Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantahpun tidak ada gunanya. Apalagi karena memang apa yang dikatakan suaminya itu tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Ceng-tek. Iapun mengangguk lemah menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya. Setelah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang lalu meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.   "Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!" Bin Biauw kini menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.   "Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"   "Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku dan keluarganya, dan kau mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kaukira kebahagiaanku terletak dalam kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"   "Tenanglah, dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi kelak. Kalau pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarangpun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Ceng-tek. Ini baru permulaan. Kelak, kalau gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, berkedudukan tinggi dan mulia, dihormati semua orang dan bukankah dengan demikian nama dan kehormatannya akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"   "Akan tetapi, ayah telah menggunakan cara yang amat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!" bantah puterinya.   Kakek itu tertawa. "Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apapun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"   Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya. Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.   "Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"   Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu. Orang-orang tua selalu ingin mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula. Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar! Mereka, orang-orang tua kurang pikir ini, hampir tidak ada atau sedikit sekali memperhatikan selera anak mereka, pilihan anak mereka, mencari kesalahan-kesalahan dalam pilihan anak-anak mereka dan menonjolkan kebaikan-kebaikan mereka sendiri, membujuk si anak, baik dengan halus maupun keras. Akibatnya, si anak yang terpaksa mentaati karena takut, karena tergantung, diam-diam merasa tersiksa karena harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukai, menganut agama-agama yang tidak cocok dengan hati nuraninya, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak cocok dengan dirinya, bahkan hidup berdua dengan jodoh-jodoh yang sama sekali tidak dicintanya. Demi orang tua! Dan siapa yang senang dan lega? Si orang tua itulah! Dengan demikian, sebenarnya orang-orang tua ini hanya mencari kesenangan diri sendiri belaka, mencari kepuasan diri sendiri belaka, dengan melalui anak-anak mereka! Orang-orang tua yang bijaksana tidak akan memperhitungkan selera diri sendiri, melainkan mementingkan selera anak-anaknya, tentu saja bukan berarti melepaskan pengawasan dan pengarahan, melainkan dengan dasar membahagiakan si anak, bukan si diri sendiri! Bukan tidak mungkin selera anaknya bertolak belakang dengan selera diri sendiri, namun demi cinta kasih terhadap anaknya, harus berani mengesampingkan selera dan pendapat diri pribadi.   Juga pendapat Bin Mo To tentang mementingkan tujuan merupakan penyakit yang banyak menghinggapi batin kita. Cara apapun yang dilakukan, dianggap baik kalau saja cara itu dipergunakan untuk TUJUAN BAIK. Betapa kita terlalu sering ditipu oleh istilah "tujuan baik" ini sehingga kita terjebak ke dalam perbuatan-perbuatan yang sama sekali tidak baik atau bersih, dengan alasan bahwa perbuatan itu merupakan cara untuk mencapai tujuan baik tadi! Bagi orang yang dihinggapi penyakit ini, maka pegangannya adalah : Tujuan menghalalkan segala cara!   Sepintas lalu kita mudah terbujuk dan tertipu oleh tujuan baik, cita-cita mulia, dan sebagainya lagi. Maka terjadilah di dunia ini sebuah perang yang dianggap suatu cara terbaik untuk mencegah terjadinya perang, sebuah perang yang dianggap cara terbaik untuk mencapai perdamaian dan sebagainya lagi. Betapa menyesatkan! Mungkinkah kita dapat hidup damai dengan seseorang dengan cara memukuli dan menaklukkan orang itu? Mungkin saja perdamaian di satu pihak, yaitu pihak yang menang, akan tetapi yang dipukul dan ditaklukkan itu hanya mau berdamai karena terpaksa, karena kalah, karena takut. Akan tetapi berilah yang kalah itu suatu kesempatan, suatu ketika maka dia akan memberontak dan membalas dendam!   Tidaklah mungkin sama sekali tujuan baik dicapai dengan cara yang buruk! Kalau caranya kotor, maka yang tercapai tentulah kotor pula. Tujuan hanya suatu gambaran yang kita buat, jadi bukan kenyataan dan sama sekali tidak ada sangkut paut atau hubungannya dengan perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan. Yang terpenting sekali adalah CARA itulah! Cara ini menentukan segalanya, karena cara berarti perbuatan kita sekarang ini, saat ini! Kalau cara ini didikte oleh tujuan, maka cara ini menjadi palsu! Akan tetapi kalau cara atau perbuatan ini tanpa tujuan dan didasari cinta kasih, maka itulah cara hidup yang benar! Tanpa tujuan tertentu, berarti TANPA PAMRIH. Dan hanya cinta kasih sajalah yang menciptakan perbuatan tanpa tujuan, tanpa pamrih.   Bin Mo To, mungkin tanpa disadarinya lagi sebetulnya mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.   "Aku harus mengumpulkan para murid..."   "Nanti dulu!" Ayahnya mencegah. "hal itu belum perlu, pula kalau kita memanggil mereka semua ke sini, tentu akan menimbulkan kecurigaan saja. Sebaiknya kalau memanggil beberapa orang di antara mereka, sebaiknya para murid kepala..."   Tiba-tiba dua orang murid Cin-ling-pai masuk dengan tergesa-gesa, ke dalam ruangan itu. Muka mereka pucat sekali sehingga Bin Biauw yang tadinya hendak marah melihat mereka berani masuk tanpa dipanggil, berbalik bertanya, "Ada apakah? Mengapa kalian kelihatan begitu takut?"   "Subo... celaka, subo... celaka...!" kata seorang di antara mereka dan agaknya lidahnya menjadi kaku sehingga sukar baginya untuk bicara.   "Tenanglah! Ada apa? Apa yang terjadi?" Bin Mo To membentak tak sabar.   "Celaka... lima orang suheng... mereka... mereka telah tewas...!"   "Apa?" Bin Biauw dan ayahnya berteriak kaget sekali. "Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan mereka!"   Dengan suara patah-patah, dua orang murid itu menceritakan betapa lima orang murid kepala itu telah tewas semua, yang tiga orang tewas dalam kamar masing-masing dan dua orang lagi tewas di luar rumah jaga. Tidak ada orang mendengar mereka itu berkelahi.   "Di mana mereka sekarang?"   "Jenazah mereka... kami kumpulkan di ruangan besar markas kami..."   Tanpa membuang waktu lagi, Bin Biauw dan Bin Mo To lari bersama dua orang murid itu menuju ke markas yang menjadi tempat tinggal para anggota Cin-ling-pai yang dianggap oleh pasukan pemberontak sebagai pasukan istimewa yang berjasa dan menjadi tamu terhormat.   Ketika memeriksa keadaan lima jenazah itu, hati Bin Biauw terharu, akan tetapi juga terkejut. Lima orang murid itu adalah murid-murid kepala yang sore tadi masih bicara dengan ia dan suaminya. Dan kini ia merasa yakin bahwa mereka itu dibunuh karena tadi telah melaporkan kepada guru mereka tentang Raja dan Ratu Iblis yang dibantu Cap-sha-kui. Sudah pasti ini sebabnya, dan pembunuhnya tentulah bayangan yang telah dikejarnya dan lenyap tadi, juga yang menimbulkan suara sehingga suaminya mencoba pula untuk mengejar akan tetapi tidak melihat siapapun di atas genteng. Bayangan itu lihai dan lime orang murid inipun tewas oleh orang yang lihai sekali. Lima orang itu adalah murid-murid kepala, tentu saja tingkat kepandaiannya sudah lumayan tingginya. Akan tetapi, mereka tewas tanpa mengeluarkan teriakan dan tubuh mereka tidak terluka parah, hanya di kepala mereka ada bekas telapak jari tangan menghitam! Mereka itu terbunuh dengan tiba-tiba atau lebih dahulu dirobohkan dengan pukulan atau benda beracun. Ini memperkuat dugaannya bahwa musuh yang membunuh lima orang murid ini tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan jelas merupakan seorang tokoh kaum sesat yang biasa mempergunakan racun.   Bin Mo To juga memeriksa dengan teliti dan kakek ini mengerutkan alisnya. "Hemm, benarkah mereka akan melanggar janji?" gumamnya kepada diri sendiri. "Benarkah mereka mengingkari janji kerja sama dan tidak akan mengganggu anak buah Cin-ling-pai? Kita sudah berjasa besar dan mereka masih tega membunuh lima orang murid kepala secara ini?" Kakek itu menjadi marah, mengepal tinju dan mukanya berobah merah.   Melihat sikap ayahnya ini, Bin Biauw berbisik, "Hemm, kiranya ayah memang sudah bersekutu dengan mereka?"   "Anakku, aku bukan ingin berbaik dengan mereka, hanya kulihat kesempatan baik untuk meraih kedudukan bagi suamimu, maka biarlah persekutuan ini dijadikan jembatan untuk mencari kedudukan. Tak kusangka mereka sekeji ini..."   Para anggota Cin-ling-pai sudah mendengar akan adanya kaum sesat yang membantu pemberontakan Ji-ciangkun dan mereka itu yang sejak dahulu digembleng dengan keras oleh Cia Kong Liang untuk menjadi pendekar-pendekar sejati, merasa penasaran sekali. Apalagi melihat tewasnya lima orang saudara tua mereka ini, mereka merasa marah dan ingin mengamuk.   "Subo, apa yang harus kami lakukan?"   "Subo, di mana suhu?"   "Subo, haruskah kita berdiam diri saja?"   Lontaran-lontaran penasaran ini membuat Bin Biauw semakin bingung. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya kepada ayahnya.   Kakek itupun merasa bingung dan gelisah. Baru dia merasa menyesal sekarang telah bermain api, telah menyeret anak dan mantunya, bahkan sebagian besar anggauta Cin-ling-pai yang pada waktu itu dapat dihubungi, untuk bersekutu dengan orang-orang macam Cap-sha-kui dan para datuk yang membantu Raja dan Ratu Iblis. Kesetiaan orang-orang seperti mereka itu memang sama sekali tidek boleh dipercaya. Andaikata pemberontakan berhasil sekalipun, belum tentu mantunya akan bisa memperoleh kedudukan dan kemuliaan tanpa adanya pengkhianatan-pengkhianatan dari orang-orang golongan hitam itu.   "Tidak ada lain jalan kecuali menanti kembalinya suamimu." Jawaban ini cocok dengan pendapat Bin Biauw, maka wanita ini lalu berkata kepada para murid Cin-ling-pai.   "Kuminta kalian jangan bertindak sendiri-sendiri dengan ceroboh. Kita harus menanti sampai suhu kalian pulang, baru kita akan berunding tindakan apa yang selanjutkan akan kita lakukan."   "Akan tetapi, subo. Kelau kita terlambat, mungkin kita semua akan mereka bunuh selagi kita berada di sini."   "Subo, ke manakah perginya suhu?" Kembali suara-suara terdengar di antara para murid Cin-ling-pai yang marah itu.   "Suhu kalian sedang melakukan penyelidikan ke San-hai-koan..."   ".... dan menjadi tawanan di sana!" tiba-tiba terdengar suara wanita memotong, "dan kalian orang-orang Cin-ling-pai yang hendak berkhianat, menyerahlah daripada harus kubasmi semua!"   Bin Biauw dan Bin Mo To cepat membalikkan tubuh dan mereka melihat betapa yang bicara itu adalah Gui Siang Hwa dan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tampan pesolek, yaitu Sim Thian Bu!   "Kalian sudah dikepung, melawanpun percuma!" kata Sim Thian Bu dengan suara mengejek.   Wajah Bin Mo To menjadi merah sekali. "Apa maksud kalian?" bentaknya dengan kedua tangan dikepal. "Kami adalah orang-orang yang telah berjasa dalam menduduki Ceng-tek! Kami bukan pengkhianat melainkan pejuang-pejuang gagah berani!"   Sim Thian Bu tertawa."Ha-ha-ha, Tung-hai-sian, mungkin engkau adalah segolongan dengan kami, akan tetapi orang-orang Cin-ling-pai itu jelas bukan! Karena engkau bergabung dengan Cin-ling-pai, engkaupun harus menyerah!"   Tung-hai-sian yang sekarang bernama Bin Mo To dan sudah lama membuang nama julukan ketika dia masih menjadi datuk sesat itu menjadi marah sekali. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya bicara dengan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa rencananya menjadi berantakan begini. Dan semua ini adalah karena ulahnya. Mantunya yang pergi menyelidiki ke San-hai-koan sudah diketahui musuh dan tentu terjebak. Cin-ling-pai juga sudah dikepung dan menghadapi bahaya besar. Semua ini dia yang menjadi biang keladinya. Oleh karena itu dia pula yang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan orang-orang Cin-ling-pai.   "Serbu keluar! Berpencar dan mencari jalan keluar sendiri-sendiri! Kita kembali ke Cin-ling-san!" teriaknya dengan penuh geram. Suaranya nyaring melengking dan para anggota Cin-ling-pai yang maklum pula akan adanya bahaya yang mengancam lalu tumbuh semangat dan merekapun bergerak mencabut senjata masing-masing dan menyerbu keluar! Bin Mo To dan Bin Biauw sendiri sudah mencabut pedang mereka dan menerjang Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu.   Siang Hwa dan Thian Bu mengelak, dan wanita itu berteriak memberi komando kepada pasukan yang mengepung tempat itu untuk menyergap. Ia sendiripun sudah mencabut pedangnya dan menangkis kuat-kuat ketika Bin Biauw kembali menyerang.   "Cringgg...!" Dan Bin Biauw terkejut bukan main karena merasa betapa lengannya yang memegang pedang tergetar dan pedangnya terpental. Siang Hwa tertawa mengejek dan balas menyerang. Bin Biauw memutar pedangnya melindungi diri dan sebentar saja ia sudah terdesak hebat. Bagaimanapun juga, ia adalah isteri ketua Cin-ling-pai dan sedikit banyak sudah menerima banyak petunjuk suaminya dalam ilmu silat. Maka biarpun tingkat ilmu pedangnya kalah tinggi dan tenaganya kalah kuat dibandingkan Siang Hwa, ia membela diri mati-matian dan terjadilah perkelahian yang amat seru.   Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itupun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, diapun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran. Akan tetapi sekali ini, dia terpaksa bertanding mati-matian dan lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek dan lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik daripada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.   Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali, "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!" Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas dan kedua tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika ia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.   "Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling dan tak bergerak lagi.   Bin Mo To terkejut bukan main dan hal ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar dan mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.   Sementara itu, para murid Cin-ling-pai sejak tadi sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru yang berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang perajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.   Biarpun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, namun jumlah lawan terlampau banyak. Setiap orang Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Ketika Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar para perajurit. Keadaan yang kacau timbul dari kejar-kejaran ini memberi kesempatan kepada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri. Akan tetapi, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota. Ada belasan orang saja yang akhirnya dapat lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka di tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!   Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek telah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang. Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang sehau memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!   Cia Kong Liang yang memiliki watak keras dan gagah perkasa itu memasuki San-hai-koan pada keesokan harinya setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tak pernah berhenti. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.   Biarpun hari masih amat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak perduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tak dapat ditahannya lagi dan diapun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Merekapun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.   "Aku ingin bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"   Setelah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakah masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di situ telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.   "Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi sekali pangcu sudah mencariku, ada unusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.   Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, baru dia berkata, "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi sebuah hal yang teramat penting memaksaku malam-malam meninggalkan Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."   Panglima itu tersenyum ramah. "Ah, kalau begitu tentu penting sekali urusan itu. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"   Sambil memandang tajam Cia Kong Liang melontarkan pertanyaannya, "Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"   Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Sungguh mengejutkan pertanyaan pangcu ini dan aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga keisar yang sudah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Sekarang melihat keadaan pemerintah demikian lalim, beliau turun gunung."   "Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"   "Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak memperhatikan perkara itu, pangcu, dan andaikata benarpun, apa bedanya?"   "Apa bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"   Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Aku tahu atau memang dapat menduga. Akan tetapi apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah dan pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran aseli..."   "Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"   Panglima Ji memandang dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali. "Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh. Lalu apa yang akan kaulakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"   "Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tidak menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"   Wajah panglima itu menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan. "Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah engkau hendak melarang dan mengatur apa yang kulakukan? Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"   "Brakkk...!" Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di depannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!   "Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"   Panglima itupun bangkit berdiri dan memandang marah. "Orang she Cia, engkau orang yang sombong dun angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"   Tiba-tiba tLrdengar suara dengusan dan disusul suara wanita, "Ketua Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"   Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis dan Ratu Iblis sudah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap menakutkan, seperti dua mayat hidup saja wajah mereka yang kehijauan. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang perajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.   Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia telah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Diapun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apalagt ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri melawan musuh yang sekian banyaknya itu? Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya membalik dan meloncat ke arah Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-ling-pai itu menyerangya, dia lalu menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!   Akan tetapi, dengan mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan dan sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya. Ketika dia mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hong-cu?kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil mwempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan, "Kalau ada yang menyerangku, panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"   Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Ratu Iblis mengejek. "Heh-heh, pangcu, kau boleh bunuh panglima tujuh kali dan kami masih mampu mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat mengangkat penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi tetap engkau tidak akan mampu lolos dari kami!"   Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan pemberontak itu bukan Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu. Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnyapun tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka diapun membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.   "Nah, ciangkun, harap jangan bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"   Setelah terbebas dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahan. "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"   Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis sudah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat. "Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"   Cia Kong Liang meloncat dan pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, tiba-tiba Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya sudah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.   "Tranggg...!" Keduanya meloncat ke belakang dan memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang menyerang lagi dengan dahsyatnya, disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dialakkan atau ditangkis.   Lewat belasan jurus, tiba-tiba Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, akan tetapi rambutnyapun sudah berobah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang. Pendekar ini terkejut sekali dan maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuhnya dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, diapun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan kini tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu.   Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya ketika bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan main. Dengan sendirinya ia tidak memandang rendah lawan dan dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya selihai itu! Maka iapun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan dan Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus merupakan gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang.   Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak mampu mengalahkan, apalagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju! Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berobah sama sekali karena dia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghunjam ke arah dada lawan. Nenek itu cepat menangkis, akan tetapi ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras ketika pedeng di tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut tadi memang hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh daripada pedang si nenek. Akan tetapi pada saat itu, rambut itu menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan kedua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.   Biarpun Cia Kong Liang sudah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat hebat dari samping dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya. Dia cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa memperdulikan dirinya. Cara Raja Iblis tadi merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu. Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, malah merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga, diapun meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak, "Kembalikan pedangku!"   Akan tetapi, Ratu Iblis yang sudah kehilangan pedang pula, meloncat dan menyambut serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.   "Desss...!" Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan ia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, sedangkan tubuh pendekar itu tetap tegak.   "Ji-ciangkun, tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah den terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.   "Kepung dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.   Mendengar bentaken Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi marah sekali dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Betapa bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi antek-antek Raja Iblis!   "Majulah jangan dikira aku takut!" bentaknya dan diapun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali perajurit pengawal. Akan tetapi, jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang perajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba perajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa perajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.   "Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!" Di dalam suara itu terkandung nasihat dan juga bujukan dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa perajurit ini tentu bermaksud baik, maka diapun berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung dan dibelenggu.   "Bunuh saja dia!" Terdengar Ji-ciangkun berkata. "Kalau tidak tentu mereka akan menyusahkan saja di kemudian hari."   "Tidak, masukkan saja dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu kita bisa membutuhkan dia," terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua Cin-ling-pai lalu diseret oleh beberapa orang perajurit pengawal, dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang perajurit pengawal. Cia Kong Liang mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi perajurit yang tadi berbisik kepadanya sudah lenyap menyelinap di antara banyak perajurit di situ.   ***   Gerakan para pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu setia terhadap pemerintah, oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa San-hai-koan diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya. Mungkin ada pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan lebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh. Penyelidikan dilakukan dan terkejutlah kaisar dan para pembantunya ketika mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan diduduki, bahkan Ceng-tek juga sudah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.   Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, seorang panglima muda yang cerdik berkata, "Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Dan pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Setelah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."   Kaisar dan para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.   Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan amat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka agar mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan. Untuk bertempur, mereka itu tidak perlu dilatih lagi karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, biasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang mahir, pemanah-pemanah yang terlatih dan orang-orang yang berani mati.   Karena nampaknya pihak pemerintah selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak berapa kuat, Yelu Kim lalu merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apalagi setelah ia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak. Dianggapnya telah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidak sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan setelah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim lalu mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan kepada para pemberontak yang menduduki Ceng-tek. Kota itu akan diserbu dari delapan jurusan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, kemudian jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantu yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada saat para pembantu menimbulkan kekacauan di empat pintu gerbang, maka mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting. Kebakaran ini yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru, yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.   Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasatnya sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak perajurit pasukan suku bangsa utara! Setelah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa orang datuk sesat yang membantu dua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lain tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!   Kaum pemberontak itu bukanlah pejuang-pejuang sejati, melainkan segerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, setelah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula. Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Dan tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?   Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggu, baik dengan ucapan-ucapan ataupun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.   Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar. Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, kalau sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.   Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang. "Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya dan para penjaga yang jumlahnya selosin orang itupun keluar semua. Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai. Wanita muda itu agaknya tidak perduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuen ini keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar tadi. "Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat. Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka biarpun ia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.   "Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.   "Aih, kenapa terburu-buru amat?"   "Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."   "Siapa sih namamu, manis?"   "Berapa usiamu?"   "Di mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"   Dengan sikap ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.   "Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.   "Ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kata kepala jaga sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.   "Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.   "Orang lain harus membayar uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm, engkau tahu sendiri, nona."   "Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.   Kepala jaga itu menyeringai lebar. "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar makanan, melainkan lapar wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."   "Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar berapi. "Sudah kusangka! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!" Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.   "Bresss...!" Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya di belakangnya. Dia mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.   "Perempuan keparat! Tangkap dia...!"   Akan tetapi gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan diapun mengaduh-aduh kesakitan. Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak, "Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap ia hidup-hidup, kita permainkan ia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"   Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin! Seperti kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena ia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, ia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, ia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada saat penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui dan menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.   Andaikata para penjaga itu mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, menggunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andaikata mereka mempergunakan senjata tajam sekalipun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini. Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini! Mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali karena tulang mereka patah atau retak-retak dihantam kayu melintang di depan gerobak. Setelah mereka semua roboh dan mereka berteriak-teriak minta tolong, Sui Cin cepat menyalakan api membakar jerami di dalam gerobaknya, kemudian mendorong gerobak yang berkobar-kobar itu sampai masuk ke dalam pondok penjagaan sampai pondok itu terbakar pula. Ia melihat datangnya puluhan orang perajurit dari dalam. Cepat Sui Cin menyambar dua batang golok dari atas tanah dan berlari menghampiri alat pemutar pintu gerbang. Pintu gerbang yang berat itu dibuka atau ditutup dengan menggunakan alat putaran yang kuat, kini Sui Cin menghajar rantai besar itu dengan sepasang goloknya, membacoki rantai itu sehingga sepasang goloknya rompal akan tetapi rantai itupun putus! Kini daun pintu gerbang tidak dapat ditutup kembali setelah rantai itu putus.   Ketika puluhan orang perajurit menyerbu dan mengeroyoknya, Sui Cin mengamuk, menggunakan sepasang goloknya yang sudah rompal. Ia sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada teman temannya bergerak. Memang pada saat yang sama, di tiga pintu gerbang lainnya terjadi pula kekacauan yang ditimbulkan oleh pembantu-pembantu Yelu Kim, yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mereka itu datang sedikitnya berlima, tidak seperti Sui Cin yang bekerja seorang diri saja.   Tiba-tiba saat yang ditunggu-tunggu oleh Sui Cin sambil mengamuk itupun tiba. Terdengar suara teriakan-teriakan riuh rendah di sebelah dalam kota dan nampaklah api berkobar tinggi. Ternyata teman-teman yang menyelundup ke dalam itu kini sudah mulai dengan aksi mereka membakari tempat-tempat penting. Tentu saja ada di antara mereka yang kepergok dan dikeroyok sehingga mulailah terjadi pertempuran-pertempuran antara para mata-mata dengan para petugas keamanan. Melihat ini Sui Cin tidak mau melayani para pengeroyoknya. Cuaca mulai menjadi gelap dan iapun mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melompat dan melarikan diri memasuki kota Ceng-tek, meloncat ke atas wuwungan rumah rumah orang dan lenyap dari kejaran para penjaga. Keadaan menjadi kacau ketika para penjaga melihat bahwa pintu gerbang tidak dapat ditutup dan betapa di dalam kota sudah terjadi pembakaran-pembakaran dan pertempuran-pertempuran.   Dan pada saat itulah terdengar ledakan-ledakan disusul bunyi terompet dan tambur, dan dari delapan penjuru pasukan-pasukan Yelu Kim menyerbu. Kacau balaulah pertahanan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Siang Hwa. Begitu mereka mencurahkan perhatian untuk menahan serbuan musuh ke empat pintu gerbang, datang serbuan melalui tembok-tembok benteng dan datang hujan panah dari luar tembok. Penyerbuan di waktu malam gelap ini sungguh telah diperhitungkan dengan masak-masak oleh Yelu Kim. Pasukannya mempunyai sasaran yang jelas, yaitu benteng itu. Dan di dalam kota benteng itu terdapat penerangan yang cukup sehingga mereka mampu melihat keadaan musuh. Sebaliknya, pasukan pemberontak yang berada di dalam benteng menjadi bingung karena pihak musuh datang dari tempat gelap, tidak tahu dari arah mana yang tepat, dan pihak musuh sama sekali tidak membawa obor. Mereka bahkan tidak tahu siapakah musuh mereka dan berapa jumlahnya. Maka tanpa banyak susah payah, menjelang tengah malam pasukan-pasukan Yelu Kim mulai dapat mendesak masuk melalui pintu gerbang dan melalui tembok-tembok benteng!   Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu tak dapat disangkal adalah dua orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi dalam hal ilmu perang, mereka bukan ahli dan tidak berpengalaman, maka menghadapi penyerbuan yang dilakukan dengan taktik yang matang dari Yelu Kim ini, mereka menjadi bingung. Dan seperti ahli-ahli silat, mereka hanya mengandalkan kepandaian silat untuk bertahan, lupa bahwa perang antara pasukan tidak dapat disamakan dengan perkelahian antar perorangan di mana ilmu silat memegang peran yang menentukan kalah menang. Karena pasukan mereka kalah banyak, juga karena mereka diserbu secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga, pertahanan mereka akhirnya bobol den terjadilah pertempuran di dalam kota benteng itu antara pasukan pemberontak dan suku bangsa utara yang berani mati.   Sebelum melakukan penyerbuan, Sui Cin sudah mendengar dari para mata-mata Mancu bahwa perkumpulan Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya sendiri membantu pemberontakan Raja Iblis, bahkan ketika pasukan pemberontak menyerbu Ceng-tek dan akhirnya menguasainya, orang-orang Cin-ling-pai berjasa besar. Kemudian iapun mendengar bahwa orang-orang Cin-ling-pai kini bertugas sebagai perwira-perwira dan kepala-kepala pasukan penjaga untuk menjaga keamanan Ceng-tek.   Oleh karena itu, ketika ia berhasil mengacau pintu gerbang timur dan teman-temannya, baik yang berada di dalam maupun di luar sudah mulai bergerak, ia lalu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain, mencari-cari. Ketika ia mendengar akan hal Cin-ling-pai, ia hampir tidak percaya dan merasa prihatin sekali. Benarkah orang-orang Cin-ling-pai ikut memberontak, bersekutu dengan Raja Iblis? Bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, ayah Hui Song? Sukar untuk dipercaya. Bukankah Hui Song sendiri seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman? Dan biarpun ayah bundanya nampaknya tidak suka kepada ketua Cin-ling-pai yang mereka anggap angkuh dan sombong, namun merekapun mengakui bahwa ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar yang lihai dan gagah perkasa. Mana mungkin kini pendekar itu bersama murid-muridnya malah bersekutu dengan Raja Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui?   "Tidak mungkin...!" katanya pada diri sendiri, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin mendekam di atas wuwungan ketika ia melihat berkelebatnya dua orang dari dalam sebuah gedung di bawah. Ketika dua orang itn berdiri di bawah penerangan, ia segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa dan Sim Thian Bu!   Melihat dua orang musuh besar yang dibencinya itu, Sui Cin lupa diri, lupa bahwa dua orang itu amat lihai dan terlalu berbahaya baginya kalau menghadapi mereka berdua itu sendirian saja. Akan tetapi kemarahan sudah membuat ia melompat ke bawah sambil berseru marah, "Jahanam-jahanam busuk hendak lari ke mana kalian?" Memang dua orang itu nampaknya sudah bersiap-siap untuk lari. Mereka membawa buntalan yang kelihatan berat di punggung masing-masing dan agaknya mereka hendak melarikan diri sambil membawa barang-barang berharga dari dalam kota benteng itu.   Siang Hwa dan Thian Bu terkejut sekali. Keduanya mencabut pedang den ketika mengenal Sui Cin, merekapun marah dan tanpa banyak cakap lagi keduanya menyerang Sui Cin. Gadis ini cepat mengelak. Dua orang yang melihat betapa gadis ini bertangan kosong dan sendirian saja, mempercepat serangan mereka, dengan penuh nafsu melancarkan serangan-serangan maut untuk membunuh Sui Cin.   Akan tetapi, Sui Cin telah menguasai Ilmu Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, gerakannya cepat bagaikan beterbangan saja dan dua pedang di tangan Siang Hwa dan Thian Bu tidak dapat menyentuhnya. Dua orang lawan itu terkejut melihat kecepatan gerak Sui Cin dan mereka terus mendesak. Biarpun Sui Cin mampu mengelak dan berloncatan ke sana-sini, namun ia tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.   Untung baginya bahwa dua orang lawannya itu nampak gugup. Pertempuran telah memasuki kota dan mereka itu tergesa-gesa hendak melarikan diri. Munculnya Sui Cin merupakan bahaya bagi mereka, bahaya terlambat melarikan diri. Make mereka menyerang terus kalang kabut membuat Sui Cin terpaksa harus mengerahkan ilmu gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari libatan dua gulung sinar pedang itu.   Tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah nampak Hui Song den Siang Wi! Siang Wi sudah menggunakan sepasang pedangnya menyerang Siang Hwa sedangkan Hui Song juga membantu Sui Cin menghadapi Thian Bu. Munculnya dua orang muda ini tentu saja amat mengejutkan hati Siang Hwa dan Thian Bu. Apalagi ketika melihat betapa hebatnya gerakan Hui Song dan betapa sepasang pedang dari Siang Wi itupun tidak boleh dipandang rendah.   "Lari...!" Thian Bu berseru sambil memutar pedangnya mendesak Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong itu mundur. Keduanya meloncat dan lari ke dalam gelap.   Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi tidak mengejar. Sui Cin dan Hui Song merasa girang sekali dapat bertemu di situ.   "Cin-moi, engkau selamat, aku gembira sekali bertemu denganmu di sini!" kata Hui Song sambil memegang tangan gadis itu. Sui Cin membiarkan saja tangannya digenggam sejenak oleh pemuda itu, kemudian sambil melirik kepada Siang Wi ia melepaskan tangannya. "Song-ko, mari kita bantu pasukan suku bangsa utara menyerang pasukan pemberontak!"   "Nanti dulu, kami hendak menyelidiki apakah benar ayah dan ibu berada di sini," kata Hui Song, suaranya mengandung rasa penasaran. Sui Cin menatap wajah pemuda itu dengan hati tegang. Agaknya pemuda inipun sudah mendengar tentang Cin-ling-pai yang kabarnya membantu Raja Iblis!   "Sejak tadi akupun mencari-cari apakah benar ada anggota Cin-ling-pai yang..."   "Jadi engkau sudah tahu pula, Cin-moi?" Hui Song bertanya kaget. "Jadi... benarkah berita tentang..."   "Aku sudah mendengar beritanya dan aku tidak percaya, Song-ko. Akupun tidak melihat adanya orang Cin-ling-pai... akan tetapi mungkin mereka memakai pakaian seragam dan aku tidak mengenal mereka..."   "Tunggu...!" Tubuh Hui Song berkelebat dan tak lama kemudian dia sudah kembali lagi sambil mengempit tubuh seorang perajurit pemberontak yang menggigil ketakutan namun tidak mampu bergerak itu. Hui Song melemparkan tubuh orang itu ke atas tanah dan meminjam sebatang pedang dari Siang Wi, lalu menodongkan senjata itu ke dada tawanannya.   "Hayo ceritakan di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai!" bentak Hui Song. Orang itu sudah amat ketakutan karena tadi secara tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan lalu "diterbangkan" orang tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi melihat sikap Hui Song yang agaknya bukan sahabat orang-orang Cin-ling-pai, dia mengira bahwa pemuda ini mencari musuh-musuhnya, maka dengan memberanikan hati diapun menjawab.   "Orang-orang Cin-ling-pai telah dibasmi, banyak yang tewas dan sebagian sudah ditahan dalam penjara. Pengkhianat-pengkhianat itu..." Dia tidak mampu melanjutkan karena Hui Song telah menendangnya sehingga perajurit itu pingsan.   "Bagus!" Hui Song berseru gembira.   "Biarpun ayah mengajak saudara-saudara Cin-ling-pai ke sini, ternyata bukan untuk menjadi sekutu, melainkan untuk melawan. Mari kita cari di dalam penjara!" Sui Cin ikut pula dengan kakak beradik seperguruan itu dan merekapun berloncatan ke atas genteng. Akhirnya mereka dapat menemukan tempat para tahanan yang merupakan penjara di dalam kota benteng itu.   Penjara itu hanya dijaga oleh belasan orang saja karena sebagian besar para penjaga sudah menjadi panik dengan datangnya penyerbuan musuh dan kini mereka sudah ikut membantu pasukan untuk mempertahankan kota Ceng-tek dari serbuan pasukan-pasukan suku bangsa utara.   Karena hanya ada belasan orang penjaga, Sui Cin dan Siang Wi berdua saja sudah cukup untuk melayang turun dan menghadapi mereka, sedangkan Hui Song tanpa membuang banyak waktu sudah memaksa pintu penjara terbuka. Dia membebaskan semua tawanan dan akhirnya dia melihat murid-murid Cin-ling-pai yang diborgol di dalam sebuah kamar tahanan besar.   Para murid Cin-ling-pai gembira bukan main melihat munculnya Hui Song dan mereka segera merangkulnya sambil menangis. Hal ini mengejutkan dan mengherankan hati Hui Song, karena dia tahu bahwa murid-murid ayahnya amat gagah dan bukan merupakan orang-orang cengeng.   "Aih, kenapa kalian malah menangis setelah aku datang membebaskan kalian?" tanyanya dengan alis berkerut.   "Sute... ah, sute... kami telah mengalami malapetaka! Sedikitnya empat puluh orang saudara Cin-ling-pai tewas..."   "Hemm, itu sudah menjadi resiko perjuangan! Perjuangan menuntut pengorbanan, mengapa kalian menangis?" Hui Song mencela karena hatinya merasa tidak puas melihat sikap cengeng saudara-saudara seperguruannya.   "Aih, sute... subo... subo dan sukong... mereka juga tewas..."   "Apa...?" Wajah Hui Song pucat dan matanya terbelalak mendengar bahwa kedua orang tua itu, terutama sekali ibunya, tewas pula dan beberapa lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Siang Wi sudah langsung menangis terisak-isak mendengar subonya tewas.   Beginilah keadaan batin kita pada umumnya. Kalau orang lain yang terkena musibah, pandai-pandai kita menghibur dan menasihatinya dengan kata-kata yang indah. Hal ini lumrah karena kita sendiri tidak merasakan kedukaan akibat musibah yang menimpa itu. Akan tetapi kalau kita sendiri yang terkena, entah ke mana perginya segala nasihat kita tadi, sudah terlupa sama sekali dan kita tenggelam ke dalam kedukaan dan kemarahan. Ketika tadi melihat saudara-saudara seperguruan itu menangis dan mendengar mereka melaporkan bahwa banyak saudara yang tewas, Hui Song masih menghibur dan mengatakan bahwa perjuangan mereka merlukan pengorbanan. Akan tetapi begitu mendengar ibu kandungnya sendiri tewas, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Perlahan-lahan muka yang amat pucat tadi berobah merah oleh dendam.   "Siapa yang membunuh mereka?" pertanyaan ini keluar dengan datar.   "Sukong tewas oleh Sim Thian Bu dan subo tewas di tangan Gui Siang Hwa," jawab murid Cin-ling-pai itu yang sudah mengenal murid Iblis Buta dan murid Raja Iblis yang menjadi tokoh-tokoh besar dalam pemberontakan itu.   Mendengar siapa pembunuh ibu dan kakeknya, kemarahan Hui Song memuncak. Dia mengepal tinju. "Jahanam keparat mereka itu! Aku harus bunuh mereka...!"   Tiba-tiba ada tangan menyentuh lengannya, tangan yang berkulit halus dengan sentuhan hangat namun dengan cengkeraman yang mengandung teguran. "Song-ko, mereka itu korban-korban perjuangan." Lirih saja ucapan ini, akan tetapi langsung terasa oleh hati Hui Song dan diapun menoleh, memandang kepada Sui Cin dan menggunakan punggung tangan untuk menghapus dua titik air mata yang tergantung di pelupuk matanya. Dia menarik napas panjang dan mengangguk. "Engkau benar, Cin-moi," bisiknya kembali dan sesaat kemudian pemuda perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya, memandang kepada saudara-saudara seperguruannya yang masih merubungnya.   "Semua ini adalah pengorbanan untuk perjuangan, mereka gugur sebagai orang-orang gagah yang menentang golongan jahat. Nah, sekarang ceritakan tanpa ragu-ragu, di mana ayahku?"   "Sebelum kami disergap oleh pasukan pemberontak itu, suhu telah pergi meninggalkan Ceng-tek untuk melakukan penyelidikan ke San-hai-koan, dan sejak itu tidak pernah kembali."   Hui Song mengerutkan alisnya. Pertempuran di luar penjara itu masih tardengar ramal sekali dan semua tahanan, kecuali anak buah Cin-ling-pai, sudah berlarian keluar untuk mencari kebebasan atau ada pula yang lari untuk ikut bertempur, tentu saja memihak para penyerbu. Atau ada pula tahanan orang-orang jahat yang keluar untuk mengail di air keruh, mencari keuntungan selagi keadaan kacau oleh pertempuran.   "Sebetulnya, apa yang telah terjadi? Mengapa kalian berada di sini? Mengapa ayah berada di sini? Ceritakan dengan singkat!"   "Suhu telah terbujuk dan membawa kami ke sini untuk membantu pemberontak. Suhu tadinya mengira bahwa pasukan pemberontak yang dipimpin Ji-ciangkun mempunyai tujuan perjuangan yang murni, untuk menggulingkan pemerintahan lalim. Kemudian ternyata bahwa pemberontak bersekutu, bahkan dipimpin oleh datuk sesat Raja Iblis. Setelah mengetahui hal ini, suhu marah sekali dan suhu pergi ke San-hai-koan untuk menyelidik. Agaknya hal ini diketahui oleh pihak kaum sesat, maka mereka telah bertindak lebih dahulu, kami diserbu dan kami melakukan perlawanan sedapat mungkin. Akan tetapi fihak musuh terlampau banyak dan dalam pertempuran ini, subo dan sukong, juga banyak saudara kita tewas, kami ditangkap karena telah roboh dan tidak mampu melawan lagi."   "Kalau begitu mari kita keluar dan mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!" Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.   "Tahan dulu...!" Tiba-tiba Sui Cin berseru. "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."   "Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa kaukatakan tidak benar?" tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut. Ia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suhengnya dan Sui Cin, dan bagaimanapun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.   "Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?" Hui Song juga bertanya dan memandang heran.   "Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."   "Kami tidak takut mati!" Siang Wi membentak. Gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya sejak tadi dan mukanya masih basah air mata ketika ia menangisi kematian subonya tadi.   Sui Cin tersenyum melihat sikap Siang Wi itu, dan ia mengalihkan pandang matanya kepada Hui Song. "Song-ko, engkau tahu bahwa semua orang gagah tidak takut mati. Akan tetapi menceburkan diri dalam pertempuran adalah perbuatan nekat atau membunuh diri. Harus diirgat bahwa yang mtnyerbu Ceng-tek ini adalah barisan suku bangsa utara dan mereka sudah mendengar bahwa Cin-ling-pai membantu pemberontak. Mereka itu tidak akan percaya semua alasan kita dan mereka tentu akan menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh pula. Dan kita berada di dalam kota benteng seperti sekumpulan burung dalam sangkar perangkap. Kalau kita sekarang menyerbu keluar dan ikut bertempur di dalam kota, akhirnya kita semua akan tewas..."   "Itulah resiko perjuangan! Kalau kau takut, tak perlu ikut dengan kami!" Siang Wi berseru.   "Sumoi, diamlah!" Hui Song mencela sumoinya. "Cin-moi, lanjutkan bicaramu." Dia mulai tertarik. Dia sudah mengenal siapa Sui Cin, gadis perkasa yang suka bertualang dan memiliki keberanian yang amat besar, dan tidak mungkin gadis seperti Sui Cin takut bertempur.   Sui Cin tetap tersenyum, tidak marah melihat sikap Siang Wi. "Sumoimu memang penuh semangat, Song-ko. Sudah kukatakan tadi bahwa kalau kita menceburkan diri dalam pertempuran, berarti kita nekat dan membunuh diri. Dan perjuangan bukanlah usaha nekat dan bunuh diri! Mati konyol karena kenekatan itu malah merugikan perjuangan dan tiada gunanya sama sekali. Lebih berguna kalau kita berlaku cerdik. Kenekatan bukah perbuatan gagah perkasa, bukan suatu keberanian melainkan kebodohan orang yang sudah putus asa dan kehilangan akal. Kalau masih bisa dicari jalan yang lebih baik, kenapa mesti nekat dan mati konyol?"   "Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan, Cin-moi?"   "Kita menyerbu keluar, akan tetapi bukan untuk menceburkan diri dalam pertempuran melawan pemberontak dan membantu suku bangsa utara, melainkan untuk membuka jalan darah dan meloloskan diri keluar dari kota benteng ini."   "Apa? Melarikan diri? Aku tidak mau menjadi pengecut!" Siang Wi kembali berteriak. Hui Song memandang sumoinya dengan alis berkerut dan memberi isyarat kepadanya agar tidak banyak bicara.   "Melarikan diri bukan karena takut, melainkan dengan perhitungan. Kalau kita sudah lolos dari kota benteng ini, kita dapat menyusun kekuatan dan siasat baru untuk bertindak selanjutnya menghadapi perkembangan dan dapat menarik keuntungan sebesarnya bagi perjuangan kita. Apakah itu pengecut namanya? Dalam urusan besar, tidak boleh hanya mengandalkan perasaan dan nafsu dendam belaka, melainkan harus mempergunakan kecerdikan dan ketenangan."   Hui Song mengangguk-angguk. "Benar sekali apa yang diucapkan Cin-moi. Kita semua tidak boleh membuang nyawa sia-sia belaka. Kita keluar dari kota ini. Aku harus mencari ayah di San-hai-koan dan kalau dapat berjumpa dengan ayah, baru kita tentukan langkah selanjutnya. Mari kita keluar, berpencar dan mencari jalan keluar, lalu berkumpul di sebelah selatan kota raja, di dalam hutan cemara itu!"   Siang Wi terpaksa tidak membantah perintah suhengnya dan merekapun lalu keluar dan menyerbu sambil berpencar, mencari jalan keluar dan merobohkan setiap orang perajurit pemberontak yang berani menghalang di depan mereka.   Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya antara pasukan para suku bangsa utara dan pasukan pemberontak. Penyerbu sudah berhasil membobolkan pintu benteng dan kini pertempuran terjadi di mana-mana, di seluruh kota walaupun yang paling ramai terjadi di pintu-pintu gerbang yang kini semua telah dibuka secara paksa oleh pihak penyerbu.   Karena ada Sui Cin di samping mereka, orang-orang Cin-ling-pai hanya dihalangi oleh para perajurit pemberontak saja. Perajurit-perajurit suku bangsa utara semua mengenal Sui Cin sehingga gadis ini dapat mencegah para penyerbu itu menyerang orang-orang Cin-ling-pai. Dengan demikian, akhirnya mereka dapat lolos keluar dari kota benteng Ceng-tek walaupun jumlah mereka sudah berkurang pula.   Setibanya di dalam hutan cemara, Hui Song lalu mengajak Siang Wi dan para saudara lainnya untuk pergi ke San-hai-koan mencari ayahnya. Sui Cin tidak mau ikut.   "Song-ko, aku harus tinggal di sini membantu subo Yelu Kim menghancurkan pemberontak."   Hui Song terbelalak. "Apa? Dan engkau sudah tahu bahwa nenek itu mempunyai niat untuk menyerbu ke selatan! Apakah engkau akan membantu pemberontaken baru yang direncanakan oleh suku bangsa liar itu?"   Sui Cin tersenyum dan menggeleng kepala. "Song-ko, engkau tentu tahu bahwa aku hanya mau membantu mereka menentang dan menyerbu para pemberontak yang dipimpin Raja Iblis. Kalau tiba saatnya mereka akan menentang pemerintah kita, tentu aku tidak akan membantu mereka, bahkan menentang mereka. Siapa tahu dengan halus aku dapat membujuk subo Yelu Kim untuk tidak melanjutkan rencananya yang gila itu. Nah, bukankah perjuangan dapat dilakukan dengan bermacem cara, pokoknya membela nusa dan bangsa?"   Hui Song merasa kecewa sekali harus berpisah lagi dari gadis yang dicintanya itu, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia harus mengeraskan hatinya dan mengesampingkan semua urusan dan perasaan pribadi. Dia harus mencari ayahnya, dan apa yang dikatakan Sui Cin tadi memang tepat. Gadis ini bukan orang sembarangan dan selalu memakai perhitungan yang matang. Mungkin apa yang mampu dilakukan Sui Cin pada waktu itu akan jauh lebih besar gunanya daripada apa yang mampu dilakukan oleh para pendekar lain. Maka diapun berpamit dan bersama rombongannya pemuda ini lalu meninggalkan Sui Cin. Gadis inipun segera kembali ke induk pasukan dan bertemu dengan Yelu Kim membuat laporan. Nenek itu merasa girang sekali dan memuji-muji muridnya. Pertempuran masih terus berlangsung. Biarpun pihak penyerbu berhasil membobolkan pintu gerbang, namun kekuatan pasukan pemberontak juga cukup besar sehingga pertempuran itu berlangsung sampai semalam suntuk.   Dan pada keesokan harinya, setelah bertempur mati-matian, akhirnya pasukan Yelu Kim mulai mendesak pasukan pemberontak yang mempertahankan kota Ceng-tek, dan pasukan pemberontak mulai melarikan diri keluar kota. Selagi pasukan Yelu Kim mengobrak-abrik kota dan siap mendudukinya, tiba-tiba datang pasukan balabantuan dari San-hai-koan dan kembali terjadi pertempuran yang hebat lagi. Sekali ini, pasukan Yelu Kim yang sudah menduduki benteng itu menjadi pihak yang bertahan, mempertahankan benteng itu, sedangkan barisan pemberontak yang datang dari San-hai-koan itu menjadi pihak penyerbu!   ***   Perhitungan Panglima Yang Ting Houw memang tepat sekali. Dia tidak tergesa-gesa mengerahkan pasukan pemerintah untuk menggempur pasukan pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, melainkan memimpin balatentara ke utara secara diam-diam dan membiarkan pihak pemberontak bertempur melawan pasukan suku bangsa liar di utara. Peristiwa penyerbuan Ceng-tek oleh pasukan suku bangsa di utara itu diikuti dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw dan para perwira pembantunya, juga mereka melihat betapa San-hai-koan dikerahkan untuk menolong Ceng-tek.   Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh Panglima Yang itu. Pasukannya sudah berkumpul dan kini pasukan yang besar jumlahnya itu dia bagi dua, yang sebagian menyerbu San-hai-koan dan sebagian lagi menyerang pasukan pemberontak yang sedang berusaha merebut kembali Ceng-tek itu dari belakang, setelah membiarkan pasukan pemberontak itu mati-matian bertempur melawan pasukan utara yang telah menduduki Ceng-tek. Dan dalam penyerbuan ke San-hai-koan ini, pasukan pemerintah dibantu oleh orang-orang gagah yang datang menawarkan tenaganya dan yang diterima dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw.