"Cukuplah sudah kita bermain-main, Can-kongcu?" Hay Hay berkata, tersenyum ramah, sama sekali tidak mengejek. "Belum!" bentak Sun Hok, "Mari kita mencoba kelihaian dalam hal mempermainkan senjata!" Berkata demikian, dia lalu memegang suling dengan tangan kiri dan yang-kim dengan tangan kanan! Melihat ini, Hay Hay terbelalak. Baru sekarang dia melihat lawan yang menggunakan suling dan yang-kim sebagai senjata. Dia sendiri suka memperguhakan sulingnya sebagai senjata, walaupun hal ini jarang sekali dia lakukan. Melihat betapa pemuda itu menggunakan alat musik sebagai senjata, Hay Hay juga mencabut sulingnya dan menghadapi Sun Hok sambil tersenyum lebar . "Wah, kita ini mau main silat ataukah mau main musik?" tanyanya. Sun Hok menjawab dengan serangannya. Sulingnya meluncur dan terdengarlah suara mengaung ketika suling itu menusuk dada seperti sebatang pedang dan memang dia memainkan ilmu pedang yang baru dipelajarinya dari kitab lama. Ilmu pedang ini inamakan Kwi-ong-kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis), peninggalan dari kakek gurunya, Si Raja Iblis. Sementara itu, yang-kim di tangan kanannya juga menyambar ke arah kepala lawan. Hay Hay terkejut lagi. Ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari pemuda bangsawan itu pun hebat sekali, bukan seperti ilmu pedang biasa. Dia pun menggerakkan tubuhnya mengelak dan membalas tusukan pedang dari samping ke arah pundak kanan. Namun yang-kim itu bergerak menangkis suling dan kembali suling di tangan kiri Sun Hok sudah membabat, sekali ini membabat pinggang sambil mengeluarkan suara mengaung yang menyeramkan. Hay Hay cepat menggeser kakinya dan kembali mengandalkan langkah ajaibnya untuk menghindarkan diri. Sambil menghindar, jari tangan kirinya menyentil ke arah tali-tali yang-kim sehingga terdengarlah nada-nada yang merdu! Untuk belasan jurus lamanya, Hay Hay memperhatikan gerakan lawan. Setelah tahu bahwa dia menang jauh dalam hal kecepatan, dan bahwa langkah-langkah ajaib Jiauw-pou-poan-soan sudah cukup baginya untuk menyelamatkan diri, mulailah Hay Hay meniup sulingnya dengan satu tangan dan dia pun sengaja memainkan lagu yang dinyanyikan oleh Siauw Cin! Tangan kirinya dia pergunakan untuk kadang-kadang menangkis dan balas menotok atau menampar. Perkelahian itu terjadi dengan cepat sekali dan Siauw Cin bersama tiga orang pelayap itu memandang bengong. Bagaimana mereka tidak akan menjadi bengong melihat betapa tubuh kedua orang pemuda itu lenyap menjadi bayangan dua sosok berkelebatan, dan terdengar suara suling ditiup melagukan nyanyian tentang murai dan bulan purnama tadi? Can Sun Hok bukan seorang yang tidak tahu diri. Berulang kali dia dikejutkan oleh kehebatan ilmu lawan dan kini lawannya hanya menghadapinya dengan langkah-langkah ajaib itu dengan tangan kiri yang kadang menangkis atau bahkan balas menyerang, dan tangan kanan meniup suling memainkan lagu tadi! Kalau dia tidak mengalaminya sendiri, tak mungkin dia mau percaya. Baru sekarang inilah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan yang begini sakti, dan diam-diam dia pun takluk! Sun Hok melompat ke belakang, lalu menjura. "Sobat, ilmu kepandaianmu sungguh berlipat kali lebih tinggi dariku. Aku mengaku kalah!" katanya tanpa malu-malu lagi. Sikap ini membuat Hay Hay menjadi kagum dan suka sekali kepada, pemuda bangsawan ini. Benar kata Jaksa Kwan.Pemuda ini adalah seorang gagah seorang yang berjiwa pendekar walaupun ilmu silatnya merupakan ilmu kaum sesat. Dengan wajah sungguh-sungguh dia pun balas memberi hormat. "Can-kongcu, harap jangan merendahkan diri. Kepandaianmu juga hebat sekali, dan maukah engkau sekarang menerimaku untuk bicara tentang gerakan kaum sesat itu?" Sun Hok menarik napas panjang. Dia memang selalu masih ingat akan nasihat pendekar wanita Ceng Sui Cin yang pernah dianggapnya sebagai musuh besar itu. Satu-satunya jalan untuk berbakti kepada mendiang ibu kandungnya adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang baik seperti seorang pendekar sehingga dengan perbuatan-perbuatan itu, dia seolah-olah dapat mencuci noda dan dosa ibunya yang pernah menjadi tokoh wanita sesat! Dia kagum kepada pemuda di depannya ini, yang teramat lihai. Ingin dia bersahabat dengan pemuda ini dan tentu dia akan mendapat tambahan pengetahua walaupun pemuda ini lebih muda darinya. Akan tetapi mengingat betapa pemuda ini pandai merayu, timbul perasaan cemburu di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini bukan hanya berhasil menarik rasa suka dan kagumnya, akan tetapi malah menarik hati dan membuat Siauw Cin tergila-gila kepadanya! "Tidak perlu lagi banyak bicara." katanya. " Aku pasti akan pergi menyelidiki sarang Lam-hai Giam-lo di Yunan dan untuk itu, aku lebih suka bekerja seorang diri tanpa kawan." Hay Hay maklum bahwa kehadirannya tidak dikehendaki dan dia pun tahu mengapa. Dia tersenyum lalu menjura kepada tuan rumah. "Baiklah, Can-kongcu, aku percaya akan kesanggupanmu dan aku merasa girang sekali bahwa engkau telah berjanji untuk mengulurkan tangan membantu." Kemudian ia pun menoleh ke arah Siauw Cin yang rnasih memandang dengan terheran-heran, lalu berkata dengan halus. "Nona, jangan bersedih hati tentang murai dan bulan purnama. Kalau dua hati sudah saling mencinta, apa pun dapat terjadi. Percayalah!" Setelah berkata demikian, Hay Hay mempergunakan ilmu kepandaiannya, sekali berkelebat dia sudah lenyap dari tempat itu. Hal ini amat mengejutkan Siauw Cin dan tiga orang pelayan itu, dan amat mengagumkan hati Sun Hok. Siauw Cin bangkit dan mendekati Sun Hok, takut-takut. "Kongcu... apakah dia tadi itu… manusia atau a setan…?” Sun Hok memegang tangan gadis itu yang terasa dingin. "Jangan takut, dia itu setengah manusia setengah setan. Karena itu, jangan mudah terkena rayuannya." Siauw Cin mengerling tajam. "Aih, Kongcu. Kaukira aku demikian mudah dirayu orang? Walaupun dia memang luar biasa, akan tetapi, bagi saya tidak ada seorang pun pria yang lebih baik daripada engkau, Kongcu." Mereka berdua, diikuti oleh tiga orang pelayan, lalu memasuki rumah. Malam mulai larut dan hawa mulai dingin. Tiga orang pelayan langsung menuju ke kamar masing-masing di belakang, akan tetapi Siauw Cin masih berada di ruangan dalam bersama Sun Hok. Wajah keduanya merah dan tanpa kata-kata Sun Hok menggandeng tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka bergetar, akan tetapi ketika Sun Hok menuntun Siauw Cin menuju ke kamarnya, gadis itu menahan diri dan menghentikan langkahnya. Mereka berdiri saling pandang berhadapan dekat sekali. Sun Hok merasa tubuhnya gemetar dan napasnya terengah-engah. Dari pandang matanya memcncar kemesraan dan permintaan, permintaan setiap orang pria yang jatuh cinta dan ingin menumpahkan semua rasa sayangnya kepada wanita yang dicintanya. Melihat sinar mata yang biasanya hanya mengandung rasa iba dan cinta, kini mengandung berahi, Siauw Cin menundukkan mukanya, kemudian perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya. "Jangan, Kongcu... jangan... sekarang…." katanya lirih. Sun Hok mempererat pegangannya pada tangan yang masih merasa dingin itu. "Kenapa, Siauw Cin? Aku cinta padamu, dan bukankah engkau pun cinta padaku?" bisiknya dengan suara gemetar. Selama hidupnya, belum pernah dia berdekatan dengan wanita dan kini tiba-tiba saja timbul gairah dan hasratnya untuk tidur bersama gadis yang dicintanya ini! Siauw Cin mengangkat mukanya dan Sun Hok melihat betapa sepasang mata itu menjadi basah, "Saya cinta padamu, Kongcu, cinta dengan sepenuh jiwa raga saya. Akan tetapi... saya tahu di mana tempat saya, Kongcu. Engkau adalah seorang perjaka, engkau belum pernah hubungan dengan wanita, sedangkan aku... ah, aku tidak layak. Kelak, kalau Kongcu sudah menikah, sudah mempunyai seorang isteri yang pantas mendampingimu sebagai isteri yang sah, barulah saya akan menyerahkan diri, menjadi selir, atau pelayan, atau apa saja. Tapi jangan sekarang, Kongcu….” "Apa... apa bedanya? Apa salahnya kalau sekarang?" "Tidak... sama sekali salah. Apa akan kata orang nanti. Engkaulah yang akan malu... ah, mengertilah, Kongcu. Saya cinta padamu, dan biarlah sementara ini saya menjadi pelayanmu. Kelak saja, kalau Kongcu sudah beristeri, kalau Kongcu masih menghendaki diriku, diriku ini bukan untuk pria lain, sampai saya mati, kecuali hanya untukmu, Kongcu…." Gadis itu menarik tangannya, lalu berlari sambil terisak menuju ke kamarnya, di bagian belakang. Sun Hok berdiri termenung seperti patung. Dia sungguh bingung, tidak mengerti akan sikap gadis itu. Akan tetapi dia tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa gadis itu menolaknya. Bukan menolak karena tidak mau atau tidak cinta, melainkan karena gadis itu ingin menjaga nama baiknya, dan gadis itu sungguh tahu diri. Ah, adakah wanita lain seperti Siauw Cin di dunia ini? Cjnta memang sesuatu yang aneh. Cinta dapat melanda hati siapapun juga, pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, bahkan seorang wanita yang dicap sebagai wanita pengobral cinta, seorang pelacur tidak terluput dari serangan cinta. Cinta yang lain daripada yang dijualnya untuk ,mencari uang, atau karena terpaksa, atau karena kebutuhan jasmani maupun batin. Cinta yang satu ini lain lagi. Cinta yang satu ini meniadakan kepentingan diri pribadi, melainkan mementingkan kepentingan orang yang dicintanya. Seorang pelacur adalah seorang yang sedang menderita sakit, seperti para penyeleweng dan pelanggar hukum dan susila lainnya, seperti pencuri, penjahat dan sebagainya. Sedang sakit. Bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Dan orang yang sakit, baik sakit badan maupun sakit batin, dapat sembuh, dapat pula kambuh, tergantung dari pemeliharaan batin itu selanjutnya. Karena itu, mencemooh dan merendahkan orang yang sedang dilanda sakit, baik badan maupun batinnya, adalah suatu perbuatan yag tidak patut dan tidak terpuji. Seyogianya mengulurkan tangan, memberi jalan keluar, memberi pengobatan. Harus selalu diingat bahwa yang sakit, baik sakit badan maupun batin dapat sembuh sama sekali, sebaliknya yang sedang sehat, baik badan maupun batinnya, sekali waktu dapat saja jatuh sakit! Seperti juga penyakit badan, maka penyakit batin timbul dari berbagai macam sebab dan keadaan. Mungkin juga seperti badan yang lemah, batin dapat pula lemah sehingga mudah terserang penyakit. Olahraga menguatkan badan sehingga tak mudah diserang penyakit, juga olah batin menguatkan batin sehingga tidak mudah diserang penyakit pula. Olah batin adalah perenungan tentang kehidupan, tentang kebenaran, tentang kemanusiaan, tentang Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah orang yang dapat menjaga kesehatan badan dan batinnya, karena keduanya haruslah seimbang. Kalau sampai sakit salah satu, maka yang lain akan terpengaruh dan kebahagiaan tak mungkin dapat dirasakan lagi. *** Hay Hay melakukan perjalanan seorang diri di daerah pegunungan yang sunyi itu. Enak berjalan di padang rumput itu, dan pemandangan alamnya sungguh menyenangkan hati dan menyedapkan mata. Serba hijau dan bau rumput dan tanah, juga pohon-pohonan amatlah sedapnya. Dia menyedot napas sekuatnya sampai seluruh paru-parunya penuh dan hawa murni itu terus turun mendesak ke bawah, terasa nikmat dan penuh, baru dihembuskannya perlahan-lahan. Bukan main nyamannya. Hidup adalah bahagia! Karena bahagia hanyalah suara perasaan, suatu sebutan, seperti juga hidup. Hidup juga hanya suatu perasaan. Merasa hidup! Siapa yang merasa bahagia? Siapa yang merasa hidup? Hanya kesadaran pikiran bahwa ada aku yang merasakannya! Kalau kesadaran tertutup sementara selagi tidur, tidak ada lagi itu yang dinamakan hidup atau kebahagiaan, atau bahkan kedudukan, kesenangan dan sebagainya lagi. Semua itu kosong! Sesungguhnya tidak apa-apa, yang ada itu hanyalah permainan pikiran sendiri belaka! Pagi itu cerah sekali. Sinar matahari pagi menghidupkan segala yang semalam tadi tertidur, mendatangkan kesegaran, kehangatan, kenyamanan dan keindahan. Sinar mataharilah yang menghidupkan segala sesuatunya. Bahkan sinar matahari pagi sempat membawa batin Hay Hay ke alam yang penuh semangat dan gembira, mendorongnya untuk melepaskan riang lewat nyanyian. Dan ketika dia membuka mulut bernyanyi, tanpa disengaja dia menyanyikan lagu yang pernah didengarnya dari mulut gadis pelayan dari Can Sun Hok itu! Nyanyi tentang burung murai betina yang bodoh, yang merindukan bulan purnama! Burung yang tidak mampu mencapai bulan purnama, lalu mengejar bulan di dalam air dan akhirnya tenggelam, tewas! Setelah nyanyian itu selesai dinyanyikan, baru dia sadar bahwa tanpa disengaja dia menyanyikan lagu baru itu. Dan Hay Hay tertawa sendiri. Burung murai bodoh, pikirnya mencela. Itulah kalau menginginkan sesuatu yang tidak terjangkau! Akhirnya akan mencelakakan diri sendiri! Tiba-tiba dia berhenti melangkah. Kisah burung murai itu, bukankah itu kisah semua manusia? Bukankah setiap orang manusia itu selalu menginginkan keadaan yang lebih! Lebih indah, lebih enak, lebih banyak, pendeknya, semua manusia menginginkan yang serba lebih. Saling berebutan dan bersaing untuk memperoleh yang serba lebih itu, kalau perlu saling serang, saling menjatuhkan, dengan cara apa saja demi memperoleh yang serba lebih itu! Seperti si murai bodoh. Karena pengejaran akan yang serba lebih inilah maka mata menjadi buta dan tidak lagi dapat melihat dan menikmati YANG ADA! Mata ditujukan jauh ke depan, kepada yang dianggap serba lebih itu, yang dikejarnya dan tak terjangkau olehnya. Akhirnya hanya ada dua hal yang terjadi sebagai akibat dari pengejaran itu, setelah dalam pengejaran itu menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan. Kalau yang dikejar terdapat, belum tentu akan terasa seindah sebelum didapat, seindah seperti ketika masih dikejar karena hati ini sudah dipenuhi dengan pengejaran terhadap yang lain lagi, yang lebih lagi daripada yang sudah didapat! Dan kalau gagal? Kecewa, menyesal, berduka dan sengsara! Hay Hay melompat dan tertawa. "Ha-ha-ha, berbahagialah orang yang tidak mengejar apa-apa, tidak menginginkan apa-apa yang tidak ada padanya! Berbahagialah orang yang membuka mata melihat apa yang ada padanya saja, melihat keindahan dari apa YANG ADA." Dia menarik napas panjang lagi dan merasakan benar betapa nikmatnya menghirup udara bersih seperti itu! Dia mengamati semua yang terbentang luas di depahnya. Rumput-rumput hijau luas, pohon-pohon tinggi besar, bunga-bunga, burung-burung yang beterbangan di angkasa yang terhias awan-awan putih seperti sekelompok domba putih bergerak, sinar matahari pagi menerobos menembus celah-celah daun pohon. Betapa indah semua itu, indah tak terlukiskan kata-kata! Dan semua itu tentu takkan nampak oleh mata yang dibutakan oleh keinginan mendapatkan sesuatu yang tidak ada dan tidak dimiliki! Tiba-tiba perutnya berkeruyuk. "Hish, tak tahu malu." Dia menepuk perutnya sendiri dan baru teringat bahwa sejak kemarin siang dia belum makan. Semalam, setelah mengunjungi istana tua tempat tinggal Sun Hok, dia pun melanjutkan perjalanan keluar dari kota Siang-tan, kemalaman di tengah jalan dan melewatkan malam di sebuah gubuk petani di tengah sawah, tanpa makan. Pagi tadi, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan melanjutkan perjalanan, mendaki bukit dan kini berjalan di padang rumput. "Wah, perut lapar di tempat seperti ini. Mana ada makanan?" Dia lalu menoleh ke kiri. Di lereng itu terdapat hutan. Kalau dia bisa menangkap seekor kelinci, atau ayam hutan, atau kijang muda, tentu tuntutan perutnya yang lapar akan dapat dipenuhi. Dan hutan serimbun itu sudah pasti ada binatangnya. Dia lalu berlari ke arah hutan itu. Dengan berindap-indap Hay Hay memasuki hutan, mulai mengintai mencari mangsa, calon pengisi perutnya yang lapar. Bagaikan seekor harimau kelaparan, dia pun jalan perlahan-lahan, jangan sampai mengeluarkan suara sehingga mengejutkan binatang yang dicarinya, yaitu ayam hutan, kelenci atau kijang. Hanya daging tiga binatang ini saja yang dia suka. Dia tidak suka makandaging kera, ular atau binatang lain. Akan tetapi, yang dilihatnya hanyalah beberapa ekor kera dan dua ekor ular besar saja. Dia berjalan terus dan akhirnya melihat seekor kijang muda sedang minum di tepi anak sungai. Ketika angin bertiup, baru dia menyadari bahwa angin dari arahnya. Benar saja, kijang itu menangkap bau manusia melalui angin itu dan binatang itu pun meloncat berlari cepat sebelum Hay Hay sempat mendekatinya. Hay Hay juga melompat dan melakukan pengejaran. Kijang itu berloncatan cepat bukan main, meloncati semak-semak belukar, kadang-kadang menghilang ke dalam semak-semak, lari lagi mendaki bukit. Hay Hay mengejar terus dan akhirnya dia melihat kijang itu terhalang sebuah jurang yang curam di tebing bukit. Binatang itu kebingungan, lari ke kanan kiri di tepi jurang. Kalau ia meloncat, akan lenyaplah binatang itu, akan tetapi tentu akan hancur terbanting ke bawah jurang. Binatang itu agaknya maklum pula bahwa tak mungkin baginya meloncat turun. Hay Hay sudah siap sejak tadi, mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya. Dia merasa heran mengapa binatang itu tidak lari ke barat di mana terdapat semak-semak belukar, seolah-olah di sana terdapat sesuatu yang menakutkan, melainkan lari ke kanan lalu ke kiri seperti dikepung. Setelah binatang itu berhenti sejenak melepas lelah sambil terengah-engah, Hay Hay menggerakkan tangannya. Batu itu melucur cepat mengarah tengkuk binatang itu, bagian yang sekali kena akan mematikan. Dan dia melihat kijang itu roboh terguling, tak bergerak lagi. Hay Hay berloncatan dengan girang dan hampir saja dia berteriak-teriak dan bersorak kegirangan ketika tiba-tiba dari balik semak belukar di sebelah barat itu pun melompat keluar seorang gadis yang berlari seperti terbang cepatnya menghampiri bangkai kijang. Gadis itu memeriksa sebentar, tersenyum girang lalu memegang ekor kijang untuk diseret dan dibawa pergi. "Heii…..! Nanti dulu…!” Hay Hay berteriak dan berlari cepat ke tempat itu. Gadis itu terkejut sekali, tidak mengira akan ada orang berteriak seperti itu di tempat sunyi itu. Saking tersentak kaget, pegangannya pada ekor kijang itu terlepas dan ia menoleh menghadapi Hay Hay dengan mata terbelalak. Dan Hay Hay terpesona! Dia kini tiba di depan gadis itu, berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter. Hay Hay seperti terpukau, tak bergerak seperti patung, hanya mengamati wajah gadis di depannya itu. Seorang gadis yang usianya masih muda, takkan lebih dari delapan belas tahun. Pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik, setengah pakaian pemburu, setengah pakaian puteri; agak kedodoran namun tidak menyembunyikan tubuh yang padat dan sempurna lekuk-lengkungnya, tubuh seorang gadis yang bagaikan sekuntum bunga mulai mekar meranum. Rambutnya awut-awutan, terlepas dari gelungnya, namun menjadi penambah manis wajah yang sudah amat manis itu. Anak rambut di pelipis dan sinom di dahi itu bergerak-gerak lembut, wajah yang bulat telur itu berdagu runcing, sepasang matanya tajam seperti mata kucing tapi lebih indah, dan hidung itu kecil mancung dan ujungnya seperti kemerahan dan dapat bergerak lucu, mulutnya memiliki bibir yang penuh dan tipis, seperti kulit buah tomat yang mudah pecah, merah basah. Mata yang indah itu mengerling seperti gunting saja tajamnya, akan tetapi nampak galak. Gadis yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget dan melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri seperti patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu. "Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?" gadis itu membentak. Ketika bicara, bibirnya bergerak-gerak dan nampak kilatan giginya, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona. "Bukan main... hemmm, bukan main…..!" katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu. Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah. "Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?" "Wah-wah-wah, belum pernah aku melihat yang seperti ini selama hidupku! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan main, ya cantik, ya gagah, ya berani!" "Hei, apakah engkau ini orang gila?" gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay. "Aku? Tidak, belum gila, Nona, walaupun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan dan bukit ini?" Gadis itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay. "Apa kaubilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kaukira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau…." Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri. “Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Kalau engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?" Gadis ini cemberut dan memandang perut bangkai kijang itu. "Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!" Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya. "Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu punyaku!" Hay Hay mencela dan dia pun melangkah maju menghampiri. Kini nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seolah-olah dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya gadis itu. "Apa kaubilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi orang seperti tolol, kemudian mengatakan orang mahluk penjaga gunung, dan sekarang engkau malah berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah dan sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!" "Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi." "Apa? Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!" "Hemm, aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!" Hay Hay membantah, penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja. "Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?" "Hemm, sebaiknya dilihat dulu buktinya, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?" "Mengenai kepalanya, tepat di antara matanya! Kau berani mengira aku membohongimu?" Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay. "Lihat ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?" "Aku pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan." kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu. Gadis itu mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada tanda menghitam bekas sambitan. Ia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya. "Tak peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku, aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?" "Tidak mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang lapar." "Hemm, kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!" "Apakah engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?" "Tidak, aku hanya seorang diri." "Kalau begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih daripada cukup!” "Itu urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa dan menolak memberi siapa pun. Dan aku tidak akan memberi padamu yang tolol dan kurang ajar!" "Ehh? Aku kurang ajar?" "Semua laki-laki kurang ajar!" Hay Hay merasa penasaran dan perutnya terasa panas. Gadis ini keterlaluan galaknya, tidak ketulungan lagi. "Dan semua perempuan tak tahu diri!" Gadis itu membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding hampir mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu melangkah mundur. "Apa kaubilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tak tahu diri? Apakah Ibumu bukan perempuan? Kalau begitu Ibumu juga tak tahu diri?" "Dan engkau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah Ayahmu bukan laki-laki? Kalau begitu Ayahmu juga kurang ajar?" "Sialan engkau berani memaki Ayahku!" bentak gadis itu. "Engkau juga lebih dulu memaki Ibuku!" "Apa ? Jadi engkau hendak menantang aku herkelahi? Boleh, kalau memang engkau sudah hosan hidup!" Gadis itu memasang kuda-kuda. "Siapa mau herkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi kalau engkau memang sudah hegitu kelaparan, kalau dapat menghahiskan semua daging kijang ini, silakan, aku dapat mencari yang lain." Hay Hay mundur dan menghindarkan perkelahian. Bagaimanapun juga, dia kagum kepada gadis ini walaupun gadis ini liar, herani, dan galaknya hukan huatan lagi. "Nah, hilang saja kalau tidak herani!" Gadis itu mengomel dan memanggul lagi hangkai kijang. Ketika ia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih. "Huh, gembulnya! Apa tidak akan meledak pecah perut kecil itu nanti!" Kaki yang sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu dibanting. "Kaubilang apa tadi? Aku gemhul dan perutku akan pecah kalau makan daging kijang ini?" Hay Hay tersenyum mengejek. "Aih, engkau memang pemarah, Nona. Siapa bilang engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapapun juga!" Kembali bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan kekuatan sihirnya. "Sungguh aneh, Nona cantik mengaku menangkap kijang, padahal yang dipanggulnya bangkal anjig!" Kembali kaki yang baru melangkah lima tindak itu ditahan dan gadis itu kembali menengok, siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu ia melirik ke arah kepala kijang yang berada di atas pundaknya. "Ehhhh….??" Ia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang, melainkan bangkai anjing! Matanya terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah ia salah pungut tadi? Di mana bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata, "Kalau aku memang merobohkan seekor kijang aseli!" .Dengan pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan kini ia terbelalak kaget. Bangkai "anjing" yang dilemparkannya tadi, ketika kini dipanggul oleh pemuda itu, mendadak berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi! "Hei, keparat, tunggu!" bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui Hay Hay dan kini menghadang di depannya. "Hemm, mau apa lagi? Apakah ingin minta sebagian daging kijangku karena perutmu sudah lapar sekali seperti perutku?" "Keparat, kembalikan kijangku!" gadis itu membentak dan sikapnya siap untuk menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah. "Hemm, kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang setelah diambil orang lain, ribut-ribut dan memintanya kembali." "Habis, tadi kulihat seperti….." ia menahan kelanjutan kata-katanya, lalu melanjutkan ketus, "Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?" Hay Hay menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang dan dipanggulnya lagi, siap untuk pergi cepat-cepat dari situ. Akan tetapi Hay Hay cepat berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya, "Sungguh aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan, kini memanggul bangkai seekor ular besar! Apakah ia doyan daging ular?" Gadis itu tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu ia melihat bangkai di pundaknya, wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya, melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan licin. Menjijikkan! Akan tetapi gadis itu agaknya kini mengeraskan hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya. "Tidak peduli biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau bangkai setan sekalipun!" Agaknya ia mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya dan ia pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu dan setelah tidak nampak lagi, tentu ia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang menjijikkan itu! Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu. Seorang gadis yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun, gagah dan galak namun wajahnya manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Mulut, itu nampak manis selalu, baik sedang cemberut, marah atau sedang terkejut dan ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu seperti bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan hati laki-laki yang bagaimana pun alimya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya tarik yang istimewa dan lain lagi daripada gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Dan melihat betapa gadis itu dengan sekali sambit, mengenai kepala kijang, di antara kedua matanya, dapat dilihat bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Cara ia mengangkat dan memanggul kijang itu saja sudah membuktikan pula akan kekuatannya. "Wah, hati-hati, Nona! Hati-hati, ular itu masih hidup! Dan ular seperti itu gigitannya membahayakan, mengandung racun!" Tiba-tiba Hay Hay berseru keras. Sesungguhnya gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan ia sudah mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat. Selagi ia hendak berhenti dan membuang bangkai ular itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara pemuda itu tepat di belakangnya! Peringatan itu membuat ia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah, apalagi ketika ia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai mati itu, kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan. "Ihhh…!!" Ia menjerit dan tentu saja ia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup kembali itu ke atas tanah dan ia pun melompat ke belakang dengan muka pucat. Ketika ia berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu memiliki ilmu berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan hampir tertinggal. Maka dia pun cepat tadi meneriakkan kata-kata yang mengandung sihir. Saking kaget dan jijiknya, gadis itu sampai tidak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu ternyata mampu mengejarnya. Dengan mata terbelalak saking jijik dan ngerinya, ia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah. "Kalau engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena memang kijang ini hakku, Nona!" kata pemuda itu dan kini, tiba-tiba saja gadis itu melihat bahwa "ular hidup" itu bukan lain adalah bangkai kijang tadi yang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya, kedua tangan pemuda.itu masing-masing memegang dua kaki depan dan belakang bangkai kijang. Pemuda itu melompat dan melarikan diri. Gadis itu membanting kaki kanannya dan secepat kilat ia pun mengejar. Ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) memang hebat, dan sebentar saja ia sudah dapat menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak. "Berhenti dulu kamu!" Hay Hay masih tersenyum. "Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah akhirnya engkau menuntut bagian separuh dari daging kijang ini yang memang menjadi hakmu? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan…." "Cukup!" Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang melangkah mundur selangkah. "Kiranya engkau ini iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!" Berkata demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan. kiri yang menyambar ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main melihat betapa pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara pukulan itu dan mendatangkan hawa pukulan yang amat kuat, juga amat cepatnya sehingga hampir saja tiada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa ia melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik. "Crakkk…!" Dan tubuh bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek perutnya oleh cengkeraman tangan gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang dan memandang dengan mata terbelalak. Kiranya pukulan itu walaupun sudah dapat dia hindarkan, berubah menjadi cengkeraman dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman kalau tidak ada perisai istimewa berupa perut kijang! Perut itu terobek dan isi perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk sesaat dia terpukau. Tentu saja gadis ini hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi kalau mengetahui siapa ia. Gadis. ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis! Cia Kui Hong bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh tahun yang lalu (bacaAsmara Berdarah ), akan tetapi bahkan selama tiga tahun ia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal pula. Kakeknya adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, sedangkan neneknya tak kalah lihainya, yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi "datuk" kaum sesat dengan julukan Lam Sin. Tentu saja, setelah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu kepandaian Kui Hong meningkat dengan pesatnya dan kini ia menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat lihai, gagah perkasa, galak dan juga manis dan agak ugal-ugalan! "Wah, wah, tobat, nanti dulu, Nona…!" kata Hay Hay ketika melihat gadis itu menerjangnya lagi dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi. Melihat betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi mampu menghindarkan dirinya dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang dipergunakan, kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang sembarangan, maka ia cepat menyerang lagi dan kini ia sengaja mengeluarkan ilmu silat yang paling rumit dan sulit ketika ia pelajari dari kakeknya. Ilmu silat itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, namun delapan jurus yang teramat hebat, dan sukar dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya kepada cucunya, dia mengajarkannya kepada cucunya walaupun tidak mudah bagi Kui Hong untuk menguasainya. Namun, biar belum sempurna ia menguasai ilmu silat itu, sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan. "Wuuuutttt…!" Demikianlah angin menyambar kuat ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuhhya sampai berjongkok itu tiba-tiba menerjang ke arah Hay Hay dengan pukulan kedua tangan, didorongkan dan mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking. "Haiiiiittt…!" Hay Hay melihat dan mengenal pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang ugal-ugalan, dan suka sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka dia pun sambil tersenyum mendorongkan kedua tangan menyambut pukulan itu. "'Dessss….!" Dua kekuatan yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah, akan tetapi di lain pihak, Kui Hong tak dapat menahan kekuatan dorongan yang amat hebatnya, yang membuat tenaganya membalik dan tubuhnya terdorong ke belakang sampai ia terjengkang dan terpaksa ia harus bergulingan agar tidak terbanting hebat! Akan tetapi, ia sudah mampu mengerahkan sin-kangnya sehingga tidak sampai terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik tadi, dan baru setelah tubuhnya menabrak batang pohon, ia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat, lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena ia menjadi marah dan juga malu! Menurut kakeknya, pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu amat hebatnya, jarang ada orang yang mampu menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa lawan itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Sementara itu, melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran. "Ah, harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Sungguh aku tidak sengaja untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?" Sikap baik dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Ia merasa diejek dan perutnya terasa panas bukan main. "Manusia iblis, kaukira aku sudah mengaku kalah?" Berkata demikian, ia pun menerjang lagi dan sekali ini, walaupun pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih cepat daripada tadi. Memang, Kui Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang lebih kuat. Maka, ia pun menyerang dengan mengandalkan gin-kangnya. Gadis ini sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), yang dipelajarinya dari ibunya, disempurnakan oleh gemblengan neneknya yang memiliki gin-kang lebih hebat lagi. Dan untuk lebih memperhebat gin-kangnya, ia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh pandang mata. "Ih, engkau memang lihai sekali, Nona!" kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka sama sekali! Dia menjadi semakin kagum. Gadis ini lihai ilmu silatnya, kuat sin-kangnya dan hebat pula gin-kangnya. Kiranya hanya Kok Hui Lian sajalah yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat betapa kini gadis itu menggunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia pun melayaninya dengan gerakan cepat. Namun, diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan dan tak pernah membalas. Akan tetapi, biarpun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong. Karena Hay Hay sama sekali tidak membalas, hanya mengelak dengan amat cepatnya, dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka ia pun menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini amat memandang rendah kepadanya dan sedang mempermainkannya! Namun, diam-diam ia pun terkejut bukan main karena baru sekarang ia tahu benar betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Dia yang mampu menahan pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, bukan watak Kui Hong untuk merasa jerih dan mau mengaku kalah! Ia memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga ia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu. Menghadapi seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerangnya bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu. Hay Hay mulai merasa bingung. Ia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya. Amukan gadis ini pun karena tadi ia mempergunakan sihir dan ia dimaki sebagai manusia iblis dan dukun lepus! "Haiiii, Nona, tahan dulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!" teriaknya berkali-kali. Akan tetapi, agaknya Kui Hong sudah menulikan telinga, tidak sudi mendengarkan omongannya lagi, bahkan menyerang terus walaupun kini leher dan dahinya telah berkeringat, dan napasnya sudah agak memburu karena sejak tadi ia menyerang dengan sepenuh tenaga dan telah mengerahkan ginkangnya. "Nona yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tidak mengapa!" teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung. Kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan kehabisan napas dan tenaga dan ini membahayakan pula gadis yang nekat itu. Maka dia pun melompat lagi lalu melarikan diri ke arah puncak bukit! Akan tetapi, Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan pengejaran dengan amat nekat. Celaka, pikir Hay Hay. Gadis itu justeru memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu melewati puncak bukit akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana dan dia akan mampu bersembunyi. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah lelah dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu. Perhitungan Hay Hay memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya, Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi dengan nekat ia berusaha mengejar dan menyusul. Hatinya gemas bukan main terhadap pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Ia harus dapat menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun! Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika dia tiba di puncak bukit itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak terdapat jalan turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan lain bagian bukit itu selebar kurang lebih dua ratus meter. Tidak mungkin dilompati, kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung! Sementara itu, Kui Hong sudah dapat menyusulnya dan biarpun kini napas gadis itu sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat. "Cukuplah, Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!" kata Hay Hay yang merasa terjebak dan tidak mampu lari lagi mengelak. Akan tetapi, tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong sudah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya terlepas dari gelungnya, rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan cambuk saja. Bukan main! Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau sampai mengenai muka, terutama mata, dapat mencelakai lawan! Menghadapi lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay melepaskan pegangannya dan meloncat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangan untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin pukulannya, dan beberapa batang jarum merah itu pun runtuh. Hay Hay semakin kaget. Jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya. Diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi hal ini bahkan membuat ia merasa penasaran sekali dan kini ia maju lagi sambil mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah. Melihat pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran. Apakah akhirnya gadis ini sudah kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum merah? Dia mencoba untuk menangkis pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah benar gadis itu sudah kehabisan tenaga. "Plakk…!" Dan Hay Hay terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan lunak sekali. Itulah Rian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya saja lunak, namun begitu halusnya sehingga tenaga sin-kang dan kekerasan pihak lawan akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja! Ketika merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada pegangan pokok bahwa dengan kelemahan mengalahkan kekerasan! Dia cepat meloncat lagi ke belakang, akan tetapi tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga ketika dengan sepenuh tenaga Hay Hay meloncat ke belakang, tubuh Kui Hong terbawa pula. Dan, karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi, dia sampai lengah, tidak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melalui tepi tebing dan mereka, tanpa dapat dicegah lagi, terjun melayang ke dalam jurang yang amat curam itu! "Ihhh…!" Saking kagetnya, Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan ia melihat betapa tubuh mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya, namun ia seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi kematian, maka karena ia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan dirinya, dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan. Ia tidak memejamkan mata, bahkan membuka matanya lebar-lebar, seolah-olah ia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya dan dengan mata terbuka! Hay Hay terkejut bukan main. Akan tetapi, seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut, bahkan dia membuka mata dan siap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika dibebani oleh tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimanapun juga, masih lebih cepat daripada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak dibandingkan gadis itu. Ketika di sebelah bawahnya dia melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing, menonjol keluar atau seperti tumbuh miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan terobek, bahkan mungkin terkoyak dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan keras. Hidup dan mati adalah suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tidak dikuasai dan tidak pula dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri. Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggauta tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita. Kita ini diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya maupun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh Dia pula! Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, biar kita bersembunyi di dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekalipun, tetap saja maut akan datang menjemput! Demikian pula dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup sehingga biarpun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan menurut perhitungan akal manusia, sudah wajarlah kalau dia mati di dasar jurang yang curam itu dengan tubuh hancur, namun secara "kebetulan" sekali, di tengah tebing itu ada sebuah pohon tumbuh menonjol dan "kebetulan" pula Hay Hay melihatnya, kemudian "kebetulan" ke tiga adalah bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk meraih cabang pohon yang mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andaikata tidak ada kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu Hay Hay akan tamat riwayatnya! Begitu tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh gadis itu pun meluncur ke bawah, tak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya. "Cepat tangkap kakiku!" teriak Hay Hay sekuat tenaga. Agaknya Kui Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi Tuhan agaknya masih menghendaki ia hidup, maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan ia pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu. Sentakan ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia sudah mengerahkan sin-kangnya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas! Demikianlah, pemuda dan gadis itu bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah mereka, maut ternganga lebar siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan tubuh mereka berdua. Akan tetapi, perhatiannya yang sedang melakukan penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada betis dan pegangan kaki kirinya. . "Hemm, nyawamu berada di tanganku." kata gadis itu, agaknya kini kemarahannya bangkit kembali setelah melihat bahwa mereka selamat biarpun hanya untuk sementara waktu. "Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan mampus!" Hay Hay tersenyum. Pemuda ini memang luar biasa sekali. Dalam keadaan seperti itu, dia masih dapat tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan kejenakaannya. Betapa bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dalam segala keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu. Apakah sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut syarat, hanyalah satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh keinginan-keinginan akan hal yang tidak ada! Berarti menerima segala sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian, takkan pernah ada kekecewaan, takkan pernah mengeluh, karena memang tidak mengharapkan hal-hal yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi. "Ha-ha-ha, Nona manis. Engkau agaknya lupa diri. Kalau aku kaubunuh, tentu tanganku akan terlepas dari cabang ini dan kaukira engkau akan dapat selamat kalau bersama mayatku meluncur ke bawah sana itu?" Agaknya Kui Hong baru teringat akan hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi hatinya. Ia marah bukan hanya teringat akan perebutan kijang, bukan hanya karena berkali-kali ia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding ia tidak mampu mengalahkan pemuda itu, akan tetapi ia marah terutama karena mengingat bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak melompat ke jurang, tentu ia pun tidak akan terbawa! Kini, mendengar ucapan itu, ia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk! Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, namun pelukannya pada kaki kiri Hay Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi semakin lebar senyumnya. Memang dia nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi dia pun suka menggoda! "Nona, kalau aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua tanganmu yang merangkul kaki kiriku dan engkau akan terlepas dan jatuh. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak sekejam dan seganas engkau yang haus darah ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di bawah sana." Kui Hong merasa betapla mukanya panas dan ia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke telinganya. Untung bahwa ia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak dapat melihat mukanya yang ditundukkan. "Sudahlah, tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan berbahaya ini!” Akhirnya ia berkata, bersungut-sungut. Sejak tadi Hay Hay sudah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat ter tanam dan terbelit di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang amat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal tidak mungkin sama sekali melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada sama sekali tempat untuk berpijak dan berpegang. "Naikkanlah kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!" Kui Hong berkata lagi. Tentu saja ia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan dilakukannya karena ia merasa malu. Seolah-olah ia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu kalau ia merayap naik melalui tubuhnya! "Dan setelah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku terjatuh, begitukah?" Hay Hay bertanya. "Berjanjilah dulu bahwa engkau tidak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku." Kui Hong menjadi semakin gemas. Akan tetapi ia pun teringat betapa ia telah bersikap terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu terdapat luka bekas sambitan. Tak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tidak bersalah. Akan tetapi sikapnya itu. Seperti mempermainkan, itulah yang membuat ia marah. Dan pemuda itu tukang sihir pula! Ia bergidik. "Baiklah, aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu hitammu itu!" Hay Hay tertawa. "Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah ehgkau, Nona?" Kui Hong mengerutkan alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya! Menggunakan kemenangannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung, mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik daripada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut bersama-sama. Dan pemuda itu telah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang aneh, tanpa nama keturunan. "Namaku Kui Hong." katanya, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama keturunan). "Kui Hong... Kui Hong... nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya…" Hay Hay memuji. Kalau pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tidak pernah ingin mengambil hati atau merayu. Justeru karena dia menyukai keindahan, maka dia memuji seperti yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu! "Sudahlah, tutup mulutmu dan angkat kakimu agar aku dapat naik ke cabang itu!" Kui Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa girang oleh pujian itu. Hay Hay lalu mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu lalu meraih cabang pohon di sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini ia sudah duduk di atas cabang pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum. Untung ada pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui," kata Hay Hay, kini sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua mata gadis itu. Mendengar sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan ia pun tersenyum. Lenyaplah semua kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona. "Aih, Nona Kui. Kenapa engkau tidak memperbanyak senyummu itu? Bukan main! Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!" Senyum ini pun lenyap seketika. "Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!" Hay Hay membelalakkan matanya. “Memualkan perut? Wah aneh! Akan tetapi biarlah, hanya aku ingin tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?" "Ada beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum." kata Kui Hong. "Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui. Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku." "Aih, begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama keturunan?" "Hemm, sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?" Kui Hong mencela. Hay Hay memandang wajah yang manis itu, keduanya saling pandang dan Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aih Nona Hong!" Dia merobah panggilannya, tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong. "Jangan engkau main-main!" "Main-main? Aku... ?', Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang main-main kini malah mengatakan ia yang main-main! "Di tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek dan…." "Tolol!" "Memang aku tolol, tapi mengapa…" "Maksudku bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku, namamu Hay Hay, tanpa menyebutkan she-mu. Tidak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she Hay di dunia ini? Kalau engkau tidak mau menyebutkan shemu, apakah aku perlu memperkenalkan sheku?" Hay Hay tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang-kadang mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, ia bergidik dan segera menundukkan mukanya, tidak berani terlalu lama bertemu pandang. "Ah, kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, biarpun selama ini aku ini tidak pernah mempergunakan sheku, akan tetapi nama keturunanku adalan Tang jadi nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka dikenal sebagai Hay Hay saja." “Aneh kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!" kata Kui Hong. " Aku sendiri she Cia " "Heiiii…!" Kui Hong sampai tersentak kaget. "Gilakah engkau? Teriak-teriak mengejutkan orang! Ada apa sih engkau berteriak mendengar nama keturunanku?" "She Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suhengku. Menurut keterangan seorang di antara guru-guruku, beliau mempunyai seorang murid yang juga she Cia, nama lengkapnya Cia Sun " "Ihhhh…!" Kini bagian Hay Hay yang tersentak kaget. "Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget. Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama Suhengku itu? Apakah engkau mengenalnya?" "Mengenal? Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai." Hay Hay mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengar akan keluarga Cin-ling-pai. Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?" "Aku puteri ketuanya!" kata Kui Hong sambil mengangkat dada. Kembali Hay Hay kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika diangkat dada itu, membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik. "Wah-wah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat. Engkau puteri Ketua Cin-ling-pai, keluarga Cia yang amat terkenal, sedangkan aku hanya seorang perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi…” "Sudahlah. Mengapa kita mengobrol ke barat dan timur tanpa arah ini? Lebih baik kita bicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?" kata Kui Hong, sambil menatap wajah Hay Hay. Yang ditatap tersenyum lebar, dan Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya pertanyaan itu. Tentu tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup selamanya di pohon itu! "Ya, aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!" Lenyap senyum Kui Hong dan mukanya kembali menjadi merah, akan tetapi matanya mencorong dan alisnya berkerut. "Engkau mau mempermainkan aku dan kurang ajar lagi?" "Tidak, tidak, mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka bergurau. Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, mari kita selidiki tempat ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Untuk turun juga tidak mungkin, dinding tebingnya.sama, bahkan lebih jauh daripada kalau naik. Akan tetapi di sana itu terdapat sebuah guha. Lihat!" Kui Hong memandang ke bawah sebelah kanan dan benar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang pohon itu, nampak sebuah guha yang cukup besar. “Akan tetapi guha itu ter lalu jauh, bahkan ke situ pun tidak mungkin merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu." kata Kui Hong. "Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sin-kang untuk menggunakan kedua tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke guha itu.” "Akan tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa, dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, mungkin bisa mencari makanan di dalam guha itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di batang pohon dan akhirnya kita akan mati kelaparan. Sayang, bangkai kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!" Diingatkan akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk. "Nah, perut siapa yang berkeruyuk?" kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana agar gembira. Wajah Kui Hong berubah merah sekali. "Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku berkeruyuk?" bentaknya marah. "Aih, siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku hanya mendengar suara perut berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk." "Perutku tidak!" Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku. "Pula, perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan kalau terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah, dengar, berkeruyuk lagi…!" Benar saja, terdengar perut Hay Hay berkeruyuk karena memang sejak berburu kijang, dia sudah lapar sekali. Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi! "Wah, jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!" kata Hay Hay tertawa dan kini Kui Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Ia tidak merasa malu lagi karena jelas perut Hay Hay terdengar lebih dulu berkeruyuk, lebih nyaring lagi! "Kalau tinggal di sini terus, walau kita kuat bertahan, perut kita ini yang tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari…." “Hay Hay, lihat…!!" tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah guha. Hay Hay tersenvum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya kalau saja dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh gadis itu. Ketika dia menoleh ke arah guha, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut. Sebuah muka yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir berapa usianya. Tentu lebih dari enam puluh tahun melihat keriput pada ripinya. Namun, wajah itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila. "Hi-hi-hik," nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas saja nampak kempot dan kisut. Andaikata nenek itu masih bergigi, tentu kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan mulus seperti dahi dan leher orang muda saja. "Sepasang monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!" Hay Hay dan Kui Hong mengamati nenek itu yang kini kelihatan lebih banyak dari bagian tubuhnya yang lain, sampai sebatas pinggang. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda! Kini mereka melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke mulutnya dan begitu ia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu pecahan dari batu keras, menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan! "Awas…!" Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika dia miringkan kepala. Dia terkejut bukan main karena telapak tangannya merasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu kerikil itu kuat bukan main! Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan dengan mudahnya ia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di dekat kepalanya. Hay Hay membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil tajam dan runcing, akan tetapi bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi mempergunakan mulut meniup? Kui Hong kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil sebagai senjata rahasia dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum kepada Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke arah mukanya. Ia sendiri harus mengaku bahwa ia tidak akan mampu melakukannya, kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi. Sementara itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran. "Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!" Nenek itu kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, dua buah yang lain lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar daripada tadi! Kui Hong yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua sinar menyambar, ia sudah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kehebatan ilmunya, dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil menangkap dua buah kerikil itu! "Nenek iblis jahat!" bentak Kui Hong marah. "Hay Hay, balas iblis itu, serang ia dengan kerikil-kerikil itu!" Hay Hay menggeleng kepalanya. "Kalau engkau tidak mau, kesinikan kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!" Kui Hong marah sekali dan tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau ia menggunakan jarum-jarum merahnya, hasilnya tidak akan memuaskan. "Jangan, biarkan aku bicara dengannya." Sementara itu, melihat kembali mereka berdua mampu menghindarkan diri, apalagi melihat betapa dua butir kerikilnya dapat ditangkap oleh pemuda itu, nenek itu berseru. "Celaka, kalian tentu urusannya untuk datang membunuhku! Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian hendak menghindar ke mana?" Melihat nenek itu sudah siap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lalu berseru nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa, "Nenek yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu, dan aku bahkan suamimu sendiri. Lihatlah, apa engkau sudah lupa kepada suamimu sendiri?" "Gilakah engkau, Hay Hay?" Kui Hong berkata, akan tetapi segera gadis ini teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka ia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa tentu pemuda itu kini sedang mempergunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu. Ia melihat betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay- Hay, nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya sendiri dengan punggung tangan kanan, memandang lagi, dan... nenek itu seketika menjadi merah mukanya dan kelihatan marah bukan main. "Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang datang untuk membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!" Dan tiba-tiba saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau ditiupkan, semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang bertubi-tubi dan semua itu dilepas dengan kekuatan dahsyat, bahkan masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis. Diam-diam Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi ia pun kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau ia yang diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk mampu menyelamatkan diri. Dan diam-diam ia merasa khawatir sekali, maka ia pun segera mengerahkan khikang dan dengan suara nyaring mengandung kekuatan khi-kang ia pun berteriak. "Nenek tolol! Lihat baik-baik, dia itu seorang pemuda bernama Hay Hay, sama sekali bukan suamimu yang bernama Lauw Kin!" Ternyata lengkingan suara ini mampu menembus dan pada saat itu Hay Hay juga menyimpan kekuatan sihirnya. Nenek itu memandang heran dan segera menghentikan serangannya. Hay Hay berdiri di atas cabang pohon, mukanya masih agak pucat dan diam-diam dia memaki diri sendiri. Tolol, kiranya nenek ini agaknya bermusuhan dengan suaminya sendiri! Setelah melihat bahwa yang diserangnya mati-matian tadi bukan suaminya melainkan seorang pemuda, nenek itu terbelalak dan kelihatan bingung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hay Hay untuk membujuknya. "Nenek yang baik, kami tidak mempunyai kesalahan kepadamu, kenapa engkau memusuhi kami? Manusia hidup harus saling tolong-menolong. Kami sedang berada dalam kesulitan, terjatuh dari atas dan tertolong oleh pohon ini, akan tetapi kami tidak dapat naik atau turun dari sini. Tolonglah kami, Nek, siapa tahu, kami juga akan dapat menolongmu kelak." Nenek itu agaknya berpikir sampai lama, memandang kepada Hay Hay dan Kui Hong, lalu mengangguk-angguk. "Aku telah salah sangka, kalian jelas bukan musuh, bukan utusan suamiku, akan tetapi kalian lihai. Memang benar, kalian tentu akan dapat menolong aku yang hidup sengsara ini... uhu-hu-huhh... aku yang sengsara, disengsarakan oleh seorang laki-laki yang jahat " Dan nenek itu menangis sampai sesenggukan. Tangis itu seperti tiada hentinya, dan kedua orang muda di atas pohon itu saling pandang. Karena menanti tangis nenek itu sampai lama akan tetapi tangis itu tak pernah berhenti, Kui Hong kehilangan kesabarannya. "Sudahlah, Nek, hentikan tangismu itu dan kalau memang engkau dapat, tolonglah kami! Baru kita bicara tentang masalahmu dan aku akan menolongmu!" kata Kui Hong sebelum dapat dicegah oleh Hay Hay. Khawatir kalau-kalau nenek itu marah lagi, cepat Hay Hay menyambung sambil mengerahkan ilmu sihirnya untuk menguasai nenek ini. "Benar, Nek. Percayalah kepada kami. Kami bukan orang jahat dan kalau engkau dapat menolong kami, tentu kami juga akan berusaha menolongmu untuk membalas budimu." Nenek itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Hay Hay, kemudian ia mengangguk. "Baik, baik, jangan khawatir. Aku pasti akan menolong katian." Tiba-tiba tubuh bagian atas dan kepala nenek itu lenyap agaknya ia masuk ke dalam guha. Dua orang muda di atas pohon itu saling pandang lagi, dan tentu saja keadaan ini amat menegangkan bagi mereka. Mereka masih meragukan karena bagaimana mungkin nenek itu akan dapat menolong mereka? “Nona, dengarlah….” "Hay Hay, kalau engkau menyebut nona lagi kepadaku, selamanya aku takkan sudi bicara denganmu! Namaku Kui Hong, engkau tahu ini, dan tidak ada tuan-tuan atau nona-nonaan!" Hay Hay tersenyum, dalam hatinya merasa gembira sekali. Sejak tadi di luar dugaannya gadis ini menyebut namanya ketika melihat nenek dalam guha, dia sudah menduga bahwa gadis itu telah hilang kemarahannya terhadap dirinya dan mulai percaya kepadanya. "Baiklah, Kui Hong, dan terima kasih. Sekarang dengar baik-baik sebelum ia muncul." katanya dengan suara halus dan lirih setengah berbisik. "Kalau nenek itu nanti benar menolong kita, biar aku yang lebih dahulu ditolongnya, karena aku masih curiga kepadanya. Jangan-jangan ia menolong hanya untuk menjebak kita." Kui Hong memang kini sudah percaya kepada Hay Hay. Percaya sepenuhnya, terutama sekali mengenai tingkat kepandaian mereka. Ia tahu bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat tinggi ilmunya. Ia sudah melihat sendiri betapa pemuda itu bukan hanya mampu menyambar kerikil itu, bahkan dapat menyelamatkan diri ketika dihujani batu kerikil, hanya dengan bantuan topinya! Mendengar suara bisikan itu, ia pun mengangguk karena ia sendiri juga belum percaya benar kepada nenek itu dan memang sebaiknya Hay Hay yang lebih dahulu berhadapan dengan nenek itu, yang jelas memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi pula dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya. Pada saat itu, nongollah kembali kepala Si Nenek tadi dan kini ia membawa segulung tali! Melihat tali itu, mengertilah Hay Hay dan wajahnya berubah gembira. Tak disangkanya bahwa nenek itu memiliki gulungan tali yang nampaknya panjang dan kuat itu! Kini dia pun mengerti bagaimana nenek itu akan menolong mereka, yaitu mengajak mereka ke dalam guha itu, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu lebih baik daripada di atas pohon yang mencuat keluar dari tebing itu! Akan tetapi Kui Hong cemberut. "Hemm, tali sebegitu, mana cukup untuk dipakai turun ke bawah?" katanya. Mendengar ucapan ini, Si Nenek tertawa, kini suara ketawanya tidak mengejek seperti tadi, walaupun masih kelihatan sama, mulut itu tidak bergigi lagi. "Mau apa turun ke bawah? Kalau sudah turun ke dasar jurang, tidak ada kemungkinan naik kembali, kecuali menunggang burung rajawali!" kata nenek itu dengan suara sungguh-sungguh. "Akan tetapi sayang tak pernah kulihat selama bertahun-tahun ini seekor pun burung rajawali di daerah ini. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri hanyalah melalui guha ini." "Baiklah, Nenek yang baik. Lekas lontarkan ujung tali itu ke sini!" kata Hay Hay. "Heh-heh, engkau lebih cerdik. Dan engkau pun lihai sekali, orang muda. Aku percaya hanya engkau dan Nona itu yang dapat membantuku menghadapi musuh besarku. Nah, sambutlah tali ini!" Nenek itu melontarkan ujung tali dan dari perbuatan ini saja sudah dapat dilihat betapa lihainya nenek itu. Kekuatan lontarannya demikian hebatnya sehingga bagaikan dibawa anak panah saja, ujung tali itu meluncur dengan cepatnya ke arah pohon itu. Dan ternyata ujung tali itu dengan tepat sekali membelit batang pohon itu, melilit seperti seekor ular melilitkan ekornya! Hay Hay cepat menghampiri batang pohon itu dan mengikatkan ujung tali dengan kuatnya pada batang pohon yang besarnya sepinggangnya, cukup kuat untuk menahan berat badannya. Dia memeriksa tali itu dan merasa kagum. Tali itu adalah tali yang amat kuat, dipintal dengan rapi, agaknya dikerjakan oleh tangan yang tekun dan bahannya semacam rumput yang ulet sekali dan sudah kering. Dia tidak tahu dari bahan apa tali itu dibuatnya, namun dia dapat menduga tentu dari semacam rumput yang amat kuat. "Sudah kuikat kuat, Nek. Tariklah biar tegang!" Kemudian dia berbisik kepada Kui Hong. "Kui Hong, kalau nanti engkau menyeberang, jangan berjalan di atas tali. Berbahaya kalau ia melepaskan tali di ujung sana. Bergantung saja seperti yang aku lakukan." Nenek di guha itu sudah menarik talinya dan kini tali itu menegang, merupakan jembatan tali sehelai dari atas ke bawah, akan tetapi tidak terlalu menurun sehingga kalau saja tidak takut dikhianati nenek itu, akan lebih mudah bagi Hay Hay kalau dia berjalan atau berlari saja di atas tali itu. Akan tetapi kalau dia melakukan hal ini, sekali nenek itu melepaskan talinya, tubuhnya tentu akan terjatuh ke bawah sana. "Kui .Hong, aku menyeberang lebih dulu, perhatikan!" bisiknya kepada nona itu dan dia pun berteriak ke arah guha, " Aku mulai menyeberang, Nek!" Dan dia pun memegang tali itu dengan kedua tangannya dan meloncat dari atas cabang pohon. Kini tubuhnya bergantung pada tali itu dan melihat betapa tali itu benar cukup kuat seperti yang diduganya, mulailah dia bergerak maju, menggunakan kedua tangannya merayap maju sambil bergantung. Dengan cara demikian, andaikata nenek itu berlaku curang dan melepaskan tali, tubuhnya akan terjatuh ke bawah, akan tetapi karena dia berpegang kepada tali tentu pohon itu cukup kuat menahan tubuhnya dan dia akan selamat kembali ke pohon tadi. Hal ini dimengerti pula oleh Kui Hong dan dia semakin kagum. Pemuda itu selain lihai, juga cerdik sekali. Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek. "Orang muda, agaknya engkau tidak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, kalau aku bermaksud buruk, biarpun engkau bergantungan, apa kaukira aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, kalau sekarang aku menghujankan kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?" "Aku akan menghindarkan seranganmu begini, nenek yang baik!" Dan tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali, atau bermain sulap. Akan tetapi gerakannya ini lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan amat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu terkejut dan kagum. Memang akan sukarlah menyerang pemuda itu karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil berputaran, kedua tangan Hay Hay terus melangkah dan akhirnya dia tiba di mulut guha dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu. Dan Hay Hay terkejut bukan main melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya dalam celana hitam yang terkulai lemas itu, dia dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah. "Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena engkau membutuhkan bantuanku." katanya sambil tersenyum. "Hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu karena engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, gadis itu tidak kubutuhkan bantuannya, karena itu ia lebih baik dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang dan karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan di tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi! "Hei, Nek, engkau memegang ular di tangan kananmu, untuk apakah?" Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi mendengar bentakan itu, gerakannya terhenti di tengah jalan. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung. “Ular…?” Dan ia pun mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan ia pun menjerit. “Ihhh…!” Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai guha. Saat itu, Hay Hay sudah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedangnya sambil mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan guha itu hanya tiga puluh meter, dengan “langkah” sebanyak lima puluh kaki saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut guha dan melompat ke dalam dengan selamat. Nenek itu sudah memungut kembali pedangnya dan kini ia berdiri, atau lebih tepat lagi duduk karena ia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut, karena seperti juga Hay Hay, ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya! Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah kedua kakinya, nenek itu berkata. "Kalian tidak mengira bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku lumpuh, aku tidak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!" Tiba-tiba nenek itu kelihatan beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Pedang di tangannya lalu dimainkan, menyambar-nyambar ganas. "Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!" Pedang itu menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-g:ulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu. "Crakkk!" nampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu. "Seperti inilah dia akan kucincang….!” Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu kini menjadi puluhan potong! Tiba-tiba seperti permulaannya tadi, ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian kepada pedangnya dan ia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, melainkan hanya sepotong batu besar! "Uhu-hu-huuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara…" dan tiba-tiba, pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya dan ia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!" "Krekkk!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong. "Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar guha, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu. Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan juga kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudahnya dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang amat baik. Akan tetapi dengan amat mudahnya, nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini pun membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu. "Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami tentu akan suka membantumu, asal saja engkau dapat menunjukkan jalan keluar bagi kami." kata Kui Hong agak terharu juga melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja ia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya. "Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam guha ini?" Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis, sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, akan tetapi tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu. Setelah menangis beberapa lamanya, nenek itu menghentikan tangisnya dan berkata, seperti menjawab pertanyaan-pertanyaan Kui Hong tadi. "Jalan keluar satu-satunya dari jurang ini adalah melalui guha ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, biar kalian sudah berada di dalam guha ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah…" "Tapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)." kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau amat lihai, memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau mengenal jalan rahasia itu, kenapa tidak keluar selama ini?" “Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini, setan itu lebih dahulu membuat kedua kakiku lumpuh? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekalipun, kalau dia tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, jangan harap dapat keluar. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini." “ Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran dan ia tidak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon. "Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri." "Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong, semakin penasaran dan sebagai seorang wanita, tentu saja segera ia merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu, menentang suami nenek itu yang demikian kejam dan jahatnya. Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lalu menarik napas panjang dan dengan sikap sedih ia menundukkan mukanya. "Laki-laki mana yang dapat dipercaya di dunia ini? Sebelum didapatkannya seorang wanita, dia merayu dengan kata-kata manis, semanis madu. Akan tetapi setelah wanita berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan dan mencari lain wanita! Dan aku sebagai isterinya, tentu saja merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu. Akan tetapi dia membela wanita itu, dan dia amat lihai. Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!" "Jahanam keparat laki-laki itu!” Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya sudah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya. "Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Akan tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?" "Guha ini luas sekali, memiliki banyak terowongan, bahkan ada beberapa di antaranya yang menembus ke dinding tebing, menjadi guha kecil lain, di suatu guha kecil-kecil itu terdapat banyak se,kali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku dapat makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang ditinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki guha-guha kecil itu dan daging ular lezat sekali. Dan di dalam terowongan terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan ada tanaman di muka guha kecil yang mengeluarkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini." "Dan Locianpwe masih punya waktu untuk memintal tali itu dan berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?" "Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, banyak waktu luang selama ini, dan aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar dan meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilih dari semacan rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud untuk menggunakan tali itu keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal." "Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara." Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu memancing, menyembunyikan kecurigaannya karena memang aneh melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun masih mampu bicara sedemikian lancarnya. Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, mendatangkan kesan aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali. "Heh-heh, tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, maupun yang mati seperti batu, jamur dan pohon…" "Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, pemuda ini sudah memperoleh kembali kejenakaanya. "Hemm, maksudku yang tidak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu bicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan di tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini." "Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang. "Akan tetapi yang penting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, kiranya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya." "Hay Hay, engkau tentu juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan agaknya biarpun lumpuh, amat cerdik dan juga lihai ini. Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji, maka janji itu hatus ditepatinya, maka Hay Hay mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, lalu berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa. "Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini, dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga." Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu…!” Kemudian ia menundukkan muka dan nampaknya bingung. Melihat ini, Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay. "Hay Hay, permainan apa vang kaulakukan ini?" Ia merasa tidak senang karena ia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya! Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main Locianpwe,dan marilah kita berangkat sekarang juga keluar dari sini." Nenek itu mengangkat mukanya perlahan dan menjawab. "Aku tahu engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini.” Ia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay. Kui Hong tidak mengerti, permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Namun, ia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu. "Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu. " Aku... kakiku... tidak dapat berjalan…." kata nenek itu. Agaknya baru Hay Hay dan Kui Hong sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti pasti ia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam guha itu! Kui Hong tersenyum. "Aih, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya. Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!" Karena sihirnya itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mentaati kata-kata Hay Hay, dan mendengar ucapan Kui Hong, ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus. "Ihh! Kaukira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona." Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tak bertulang saja. Ia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik. "Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa ia agar suka kaugendong!" Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Ia tidak mungkin dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini." Biar ia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapapun juga, ia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Pula, di lubuk hatinya, dia masih belum percaya kepada wanita ini. Kalau dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, kalau Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari marabahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tidak boleh dipercaya begitu saja. Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!" Hay Hay ingin tertawa besar namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya merangkul pundak Kui Hong dan mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong. Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu bergantungan di kedua sisinya. Terpaksa ia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. “Mari kita berangkat!" Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?" Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita." Kui Hong merasa semakin mendongkol. Sambil mengerling ke arah Hay Hay, sambil bersungut-sungut ia berkata, “Seenak perutya sendiri saja!” Dan kembali Hay Hay menahan ketawanya dan mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ. "Wah, jalan ini buntu, Nek!" Kui Hong berteriak penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?" Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada di dekat telinganya, maka suara ketawa itu terdengar mengerikan. "Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!" Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara bergerit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, satu meter lebarnya dan dua meter tingginya, tepat untuk masuk satu orang. Kui Hong merasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi ia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat ia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu. "Hati-hati, Nona. Jalan ini selain sempit, gelap, juga menanjak dan licin bukan main. Di bagian yang paling berbahaya di mana engkau harus merangkak atau meloncati lubang, akan kuberitahukan. Karena itu, jangan melangkah terlampau cepat, satu-satu saja." Berkata demikian, nenek itu mengulur tangan ke kanan, meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu. Hay Hay sudah melepaskan pengaruh sihirnya karena dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Locianpwe tadi sudah memperkenalkan nama suami Locianpwe yang bernama Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami." Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dahulu memperkenalkan nama kalian walaupun aku sudah tahu dari cara kalian saling panggil nama." Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan ia bernama Kui Hong." "Namaku... Ma Kim Siu." kata nenek itu singkat dan Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lain karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang berguha itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia! Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena ia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu, akan berbahaya sekali. Ketika ia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali ia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Ia sudah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay. Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira. "Di depan terang!" teriaknya, dan ia melangkah lebar . "Tenanglah, Kui Hong." kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!" Benar saja. Kui Hong kini berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya ada empat meter. Namun, ia yang memiliki gin-kang yang cukup tinggi tingkatnya, dengan mudah sambil menggendong tubuh yang ringan itu, dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay. "Nah, kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa ia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah,ia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu! Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, terlalu menyilaukan!" Selama berada di dalam guha, ia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena guha itu menghadap ke barat sehingga tak pernah ia tertimpa sinar matahari siang. Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain daripada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang! Setelah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Ia cepat mengusap kedua matanya dan mulutnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih ia memandang ke sekeliling. Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi ia merasa lelah sekali, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu. "Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat." katanya kepada nenek itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, ia akan roboh dan tewas! "Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu. "Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!" Hay Hay tersenyum dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah dan engkau sendiri pun merasa lelah. Kita perlu beristirahat dan turunlah dari punggung Kui Hong." Dia mengerahkan kekuatan sihir untuk menalukkan sikap melawan nenek itu. Akan tetapi, sekali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh! "Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hihi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, cepat engkau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kaucinta ini!" Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh oleh sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta! "Kalau begitu... tadi, di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya, melongo. "Tentu saja, setelah kalian berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku mempercayai omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!" "Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan…..") "Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enciku.” "Ia... seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena ia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu. "Memang dan aku ini adiknya." "Tapi, bagaimana engkau bisa tahu…?” "Kui Hong, tentu ketika kita bicara di pohon itu, ia sudah lama mengintai dan mendengarkan. Pantas saja begitu muncul ia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, ia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay. "Hi-hi-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah, sejak dari dalam guha aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, kalau engkau memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan gadis kekasihmu ini akan mampus!" "Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah dan biarpun ia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya, ia tidak takut sedikit pun juga. "Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabuhi mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh! Pemuda itu mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan kalau engkau banyak tingkah, engkau benar-benar akan kubunuh!" "Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kaucari itu?" "Heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja, menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh dari sini. Mudah-mudahan jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!” Hay Hay melangkah ke depan, menurut petunjuk nenek itu. Diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, agar pria itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena kalau tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut. Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya amat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seorang yang sudah memiliki sin-kang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apalagi setelah selama puluhan tahun digemblengnya dan dilatihnya di dalam guha, tentu tidak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, dapat dilawannya dengan sin-kangnya. Memang untuk pertama kalinya, nenek itu terpengaruh karena ia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi, segera ia dapat merasakan dan menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan ia dapat berpura-pura terpengaruh untuk melaksanakan sandiwaranya sehingga kini ia dapat menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera. Memang tidak jauh tempat yang dimaksudkan oleh Kiu-bwe Tok-li itu. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah guha dan nenek itu memberi isarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi ia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian dengan suara melengking nyaring, Kiu-bwe Tok-li berteriak ke arah guha yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter. "Hek-hiat-kwi, laki-laki berhati binatang, kejam dan tak berperikemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!" Suara melengking itu bergema sampai jauh dan setelah gaungnya tak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam guha. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak, wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur. Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di, atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. "Kim Siu…! Benar engkaukah ini? Masih… masih hidup…?” "Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu, biarpun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!" Sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. "Ah, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian di hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?" Nenek itu gemetar seluruh tubuhnya, terasa benar oleh Kui Hong, dan ia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi, cengkeraman di tengkuknya, tidak pernah sedikit pun mengendur sehingga ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu. "Huh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya dia meninggal dunia! Gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ah, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong! Akan tetapi Hay Hay bersikap tenang saja, sambil tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dibunuhnya gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia! "Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran begitu saja, yang menyerang orang tanpa tahu sebabnya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak." “Tapi kau sudah berjanji!" "Berjanji membantumu, memang. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!" "Tak peduli! Kalau Engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!" Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lalu berkata. "Locianpwe, sebenarnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, akan tetapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya." Pria tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang pernah menjadi isterinya itu. "Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" . "Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi engkau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali. Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang mudat siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi di antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin hidup dalam dunia hitam, aku mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat ia tidak senang sehingga sejak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam, ia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku." "Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!” Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main. Kakek itu tersenyum sedih. Kui Hong yang mendengarkan umpatan nenek dipunggungnya itu, melihat betapa sedetik pun nenek itu tidak pernah melepaskan ancamannya pada tengkuknya sehingga tidak ada kemungkinan baginya untuk membebaskan diri. Namun ia terkejut mendengar bahwa kakek di depannya itu adalah murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Ia pernah mendengar cerita dari ibunya tentang suami isteri Iblis Berdarah Hitam itu. Menurut cerita ibunya, suami isteri iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Lembah Naga karena Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong yang dahulu membunuh Hek-hiat Mo-li yang menurunkan mereka. Suami isteri itu menyerbu ke Lembah Naga dan berhasil membunuh banyak murid Pek-liong-pai perkumpulan yang didirikan di Lembah Naga dan diketahui oleh Cia Han Tiong, ayah kandung Cia Sun. Bukan hanya murid-murid yang terbunuh, bahkan ibu kandung Cia Sun juga terbunuh oleh mereka! Dan kakek di depannya ini adalah murid suami isteri itu! Agaknya nenek itu merasa betapa gadis yang menggendongnya terkejut, maka ia membentak, "Ada apa kau? Kenapa terkejut?" Dan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu makin kuat. Kui Hong terkejut dan ia tidak membohong ketika berkata. "Aku terkejut mendengar nama suami isteri Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Bukankah mereka itu yang pernah menyerang Lembah Naga, membunuh banyak orang Pek-liong-pai, bahkan membunuh pula ibu dari Cia Sun?" Nenek itu terkekeh. "Heh-heh, aku lupa! Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai tentu saja engkau tahu akan hal itu, heh-heh!" "Ya Tuhan….!" Kakek itu berseru kaget. "Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai? Kim Siu, apakah engkau sudah menjadi gila? Bebaskan Nona itu!" "Huh, sebelum pemuda itu membunuhmu, aku takkan membebaskannya. Hay Hay, hayo cepat serang dia!" Akan tetapi Hay Hay berkata kepada Hek-hiat-kwi Lauw Kin. "Locianpwe, harap lanjutkan keteranganmu tadi. Aku harus tahu sebab-sebabnya Locianpwe bermusuhan dengan Kiu-bwe Tok-li." Kakek itu nampak bingung dan khawatir memandang Kui Hong, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, akan kuceritakan semuanya. Justeru peristiwa yang terjadi di Lembah Naga itulah yang membuat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan jalan sesat. Kedua orang guruku itu menyerang keluarga Lembah Naga dan berhasil menewaskan banyak murid, juga menewaskan isteri ketua Pek-liong-pang. Akan tetapi mereka berdua kalah oleh Ketua Pek-liong-pang, pendekar Cia Han Tiong. Mereka berdua sudah tidak berdaya dan pendekar itu hanya tinggal mengangkat tangan saja untuk membunuh mereka. Akan tetapi, pendekar itu tidak melakukannya! Tidak membunuh Suhu dan Subo bahkan mengampuni mereka, dan menasihati mereka tentang buruknya dendam! Ah, Suhu dan Subo menceritakan hal itu sambil menangis kepadaku, dan aku pun merasa terharu sekali dan seketika terbuka kesadaranku betapa selama itu kami semua hidup bergelimang kejahatan. Betapa mulianya pendekar Cia dari Lembah Naga itu. Nah, karena Suhu dan Subo juga merasa menyesal dan bertaubat, lalu kembali ke Sailan untuk menjadi hwesio dan nikouw, aku pun lalu mengajak isteriku untuk menebus dosa dan bertapa di tempat ini." "Huh, menjemukan! Bilang saja nyali kalian guru dan murid menjadi sempit karena takut menghadapi pendekar Cia dari Lembah Naga itu!" teriak Si Nenek penasaran. "Keputusanku itu agaknya membuat isteriku merasa kesal dan mulailah terjadi kerenggangan antara kami, isteriku bersikap dingin dan marah-marah dan sering kali meninggalkan aku seorang diri." "Siapa sudi membusuk di dalam guha kotor itu?" nenek yang dahulu menjadi isterinya yang cantik dan tercinta itu mencela. "Pada suatu hari, ia datang bersama seorang laki-laki." kakek itu melanjutkan tanpa mempedulikan celaan isterinya. "Isteriku dan laki-laki tampan itu terang-terangan menyatakan kepadaku bahwa mereka saling mencinta. Aku mencinta isteriku dengan hati yang tulus dan setelah aku menjadi pertapa dan banyak merenungkan kehidupan, aku pun mengenal arti cinta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aku merelakan isteriku kalau memang ia hendak meninggalkan aku dan hidup bersama laki-laki itu. Akan tetapi mereka berdua tidak mau pergi begitu saja dan berkeras hendak membunuhku lebih dahulu karena tidak percaya bahwa aku merelakan isteriku dan mereka takut kalau aku kelak akan mengejar dan menyusahkan mereka. Mereka lalu menyerangku dan berusaha membunuhku." "Ihhh…..!" Kui Hong beerseru dan menurutkan kata hatinya yang menjadi marah sekali, ingin ia melemparkan tubuh nenek itu dari atas punggungnya. Akan tetapi, cengkeraman nenek itu kuat sekali dan begitu ia bergerak, tengkuknya terasa nyeri sekali sehingga terpaksa ia menghentikan penyaluran tenaganya. "Heh-heh, dia tolol, bukan? Dan engkau pun akan mati konyol kalau engkau berani melakukan kebodohan!" Kiu-bwe Tok-li berkata di dekat telinga Kui Hong. "Locianpwe, sungguh apa yang Locianpwe lakukan itu membutuhkan kesabaran dan kebesaran hati yang luar biasa." kata pula Hay Hay dengan kagum. “Aih, orang muda. Aku hanya belajar dari pendekar Cia di Lembah Naga itu dengan perbuatannya terhadap kedua orang Guruku. Dibandingkan dia, sikapku ini bukan apa-apa. Aku dikeroyok oleh mereka dan terpaksa aku membela diri. Akhirnya, karena aku terancam maut oleh pukulan berbahaya dari laki-laki itu yang amat lihai, terpaksa aku pun mengeluarkan jurus simpanan untuk menandinginya. Dalam adu tenaga itulah, dia kalah dan terluka parah. Akan tetapi, aku tidak mau melukai isteriku sehingga aku terkena beberapa pukulannya yang beracun. Melihat kekasihnya pingsan dan terluka, ia lalu memondongnya pergi dengan cepat. Aku mengobati luka-lukaku dan setelah sembuh, aku mengkhawatirkan keadaan isteriku. Kucari ke mana-mana tanpa hasil, maka akhirnya aku kembali bertapa di sini dengan tekun. Dan ini hari ia muncul dalam keadaan lumpuh dan penuh dendam hendak membunuhku." Mendengar cerita itu, Hay Hay mengerutkan alisnya dan menghadapi Kiu-bwe Tok-li. "Tok-li, benarkah apa yang diceritakan suamimu tadi?" "Benar atau tidak benar, engkau harus menyerangnya. Engkau sudah berjanji dan kalau engkau melanggar janji, gadis ini tentu akan kubunuh lebih dahulu!" "Akan tetapi, kalau yang dlceritakannya itu benar, bagaimana engkau kini menjadi lumpuh? Padahal, dalam perkelahian itu engkau tidak terluka oleh suamimu!" kata Hay Hay. "Kiu-bwe Tok-li, sebelum aku memenuhi permintaanmu, ceritakanlah dahulu bagaimana engkau menjadi lumpuh dan tinggal puluhan tahun dalam guha itu, dan mana pula adanya laki-laki kekasihmu itu?" “Pertanyaan itu tepat, Kim Siu, apakah yang telah terjadi? Engkau tahu benar bahwa bukan aku yang membuat engkau menjadi lumpuh begini…" “Sama saja! Engkaulah penyebabnya!" bentak nenek itu. "Engkau telah melukainya secara hebat. Aku membawanya pergi dan dia mengenal tempat rahasia itu, sumur yang mempunyai lorong dan tembus sampai ke dalam guha di tengah tebing itu. Dia menyuruh aku membawanya ke sana. Setelah tiba di dalam guha itu, aku berusaha merawat lukanya. Akan tetapi lukanya terlampau parah. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat sembuh. Dia tidak ingin aku meninggalkannya lagi, ingin agar aku selamanya menemaninya di dalam guha itu, maka tiba-tiba dia lalu menyerangku dengan pukulan dahsyat yang membuat kedua kakiku lumpuh sehingga aku tidak akan dapat keluar dari dalam guha itu tanpa bantuan orang lain." "Ih, betapa kejamnya orang itu!" Kui Hong berseru, jijik. "Bocah tolol! Dia melakukan itu karena cintanya kepadaku! Dia mengerahkan tenaga terakhir untuk membuat aku lumpuh agar aku tidak meninggalkannya lagi. Dia melumpuhkan kedua kakiku karena terlalu cinta padaku." Nenek itu lalu menangis! Hay Hay, Kui Hong dan Lauw Kin suami nenek itu tertegun dan tenggelam dalam perasaan masing-masing. "Lalu, di mana dia? Ketika kami memasuki guha, kami tidak melihatnya." kata Hay Hay. "Pengerahan tenaga dahsyat yang dipergunakannya untuk melumpuhkan kedua kakiku itu membuat lukanya semakin parah. Akhlrnya, dalam waktu beberapa bulan saja dia meninggal dunia dalam pelukanku, dan aku hidup sendirian di sana, penuh dendam kepada keparat ini. Aku menghabiskan waktu puluhan tahun untuk memperdalam ilmu, dalam keadaan lumpuh tak mampu keluar, dan dendamku kepada keparat ini semakin berkobar." "Semoga Tuhan mengampuni dosa kita semua…" Kakek itu mengeluh, “Sudahlah, Kim Siu, turunlah engkau dari punggung Nona itu. Bagaimanapun juga, engkau adalah isteriku dan aku tetap cinta kepadamu. Turunlah dan mari kuusahakan untuk mengobati kakimu sampai sembuh…" Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan mereka semakin kagum kepada kakek itu. Tak dapat disangsikan lagi. Cinta kasih kakek itu sungguh murni! Akan tetapi, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu membentak. "Tidak! Engkau harus mampus di tanganku. Engkaulah yang menyebabkan aku kehilangan dia, dan menyebabkan aku selama puluhan tahun menderita sengsara! Hay Hay, cepat maju dan serang dia, tidak perlu banyak cakap lagi. Kalau engkau membantah, gadis ini akan mampus!” Dan tangannya yang mencengkeram tengkuk Kui Hong diperkuat, membuat gadis itu menyeringai karena nyeri. Hay Hay tidak melihat jalan lain. "Baiklah! Locianpwe, terpaksa aku akan menyerangmu!" Hay Hay lalu maju, menyerang kakek itu yang cepat mengelak ketika melihat betapa cepat dan kuatnya gerakan pemuda yang menyerangnya. Tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda ini terpaksa menaati perintah Ma Kim Siu karena gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu telah ditawan dan dijadikan sandera. Perih rasa hatinya. Dia maklum karena dapat menduga bahwa tentu pemuda dan gadis itu telah menolong Ma Kim Siu keluar dari dalam guha, akan tetapi sebagai balas jasa, nenek itu malah menyandera dan memaksa mereka membantunya. Bagaimanapun juga, puteri Ketua Cin-ling-pai itu harus diselamatkan, demikian pikir Hek-hiat-kwi Lauw Kin. Inilah kesempatan baginya untuk menebus dosa suhu dan subonya terhadap keluarga Cia! Suhu dan subo telah membunuh isteri Cia, Han Tiong, dan kalau sekarang dia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatka seorang gadis keturunan keluarga Cia, biarpun sedikit berarti dia telah mengurangi dosa suhu dan subonya. Dia harus berkorban, itulah satu-satunya jalan. Kalau dia kalah dan roboh terbunuh oleh pemuda ini, tentu gadis puteri Ketua Cin-ling-pai itu akan dibebaskan. Akan tetapi, dia tahu akan kecerdikan isterinya. Kalau isterinya mengetahui bahwa dia mengalah dan berkorban, belum tentu gadis itu dibebaskan. Untung baginya, pemuda itu lihai sekali, melihat dari gerakannya dan tenaganya, sehingga tidak akan terlalu sukar baginya untuk berpura-pura kalah sehingga menerima pukulan maut yang akan dapat menewaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan. Maka, dia pun kini menangkis dan membalas serangan sehingga seolah-olah terjadi perkelahian sungguh-sungguh dan mati-matian antara Hek-hiat-kwi Lauw Kin dan Hay Hay! Bagaimanapun juga, Hek-hiat-kwi adalah seorang yang sejak mudanya berkecimpung dalam dunia persilatan, maka seperti para tokoh persilatan pada umumnya, dia pun memiliki satu kelemahan, yaitu ingin sekali melihat atau menguji ilmu silat apabila bertemu lawan yang pandai! Kini, berhadapan dengan Hay Hay dan melihat gerakan yang amat hebat dari pemuda ini, timbullah kegembiraan dalam hatinya dan biarpun dia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan puteri Ketua Cin-ling-pai, dia akan memuaskan hatinya lebih dulu dengan menguji kepandaian pemuda ini! Sebaliknya, penyakit yang serupa juga melanda watak Hay Hay. Ketika pemuda ini melihat gerakan kakek itu, merasakan kekuatan yang terkandung dalam kedua lengannya, dia pun merasa gembira dan ingin menguji sampai di mana kelihaian kakek itu. Inilah sebabnya maka kedua orang ini mengeluarkan kepandaian dan mengerahkan tenaga secara sungguh-sungguh dan nampak keduanya seperti terlibat dalam perkelahian yang mati-matian! Demikian hebat gerakan kedua orang ini sehingga Kui Hong sendiri, juga nenek iblis itu, dapat dikelabuhi! Setelah bertanding dan merasa puas melihat betapa pemuda itu benar-benar hebat dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tidak kalah olehnya, Hek-hiat-kwi baru merasa puas dan dia pun kini ingin mengakhiri perkelahian dengan mengorbankan nyawanya. Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat, dengan tangan kiri mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin pukulannya menyambar ganas. Hek-hiat-kwi sengaja memppelambat gerakannya mengelak dan menangkis dan dia merasa yakin bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya terutama bagian ubun-ubunnya agar dia dapat tewas dengan cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat, sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya sehingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seolah-olah terelak atau tertangkis! Dan pada saat dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang! Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran. Ini tidak mungkin, pikirnya! Tadi dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, dan semua tendangan dapat dihindarkan pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja dapat mengenai paha dan membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadi pun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya? Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena ia berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan dia pun bukan orang bodoh. Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan suatu siasat! Maka, biarpun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara! "Engkau masih belum menyerah kalah?" bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat. Tadi, semua ilmu simpanannya dapat digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu segera kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung, dan main mundur saja! Kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat. Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru. “Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!" Mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permaian sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabuhi Kiu-bwe Tok-li agar mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka dia pun mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay. "Tok-li, lihat, dia makin payah!" kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir. "Hemm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!" kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu. "Tapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!" Kui Hong membantah. "Desss….!" pada saat itu, Hay Hay terkena pukulan pada pundaknya dan sekali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar! Sejak tadi saja Hay Hay menaruh perhatian akan percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar. Sekali ini Kiu-bwe Tok-1i terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang parah, ia lalu berkata, "Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!" Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang amat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat -kwi terkejut. Kiranya puteri Ketua Cin-ling-pai itu pun memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sekali! Dia merasa kagum. Akan tetapi karena gadis itu telah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, dia pun meloncat ke belakang. Hay Hay bangkit dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu tetap hanya mempergunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, sedangkan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka dia pun maju lagi dan membantu nenek itu mengcroyok Hek-hiat-kwi. Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan kagum dia melihat betapa isterinya, walaupun kedua kakinya lumpuh, telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya, dan juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main. Biarpun lumpuh, karena digendong seorang gadis yang memiliki gin-kang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi semakin lincah. Cambuk itu meledak-ledak dari sembilan penjuru karena cambuk sembilan ekor bergerak dengan aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar bagian tubuh yang berbahaya! Hay Hay yang beraksi telah menderita luka itu, membantu dengan kacau sehingga seringkali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir. Hek-hiat-kwi kini melihat kesempatan bagaimana untuk menolong nona itu, tanpa mengorbankan nyawanya walaupun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tak berdaya agar nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya. "Tar-tar-tarrr …!" Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari. Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak, bahkan langsung menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya gencar memukul, akan tetapi pukulan-pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan bahkan hawa pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap yang tiga ujung lainnya, kemudian dengan sebelah tangan berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa pukulan Hay Hay tadi. Nenek itu terkejut. Tak disangkanya bahwa bekas suaminya kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang sembilan ekor itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Ia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, tak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk. Melihat ini, sejenak ia lupa diri, lupa bahwa ia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya! Sejak tengkuknya dicengkeram nenek itu, tak pernah sedetik pun Kui Hong lengah. Ia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya. Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, ia mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya, tubuhnya diguncang dan ia pun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa adanya kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas. Pada saat yang sama, Hay Hay sudah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, dia pun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tak mampu bergerak lagi, di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian. "Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!" kata Kui Hong" siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin. "Tahan dulu, Kui Hong!" kata Hay Hay. "Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabuhi nenek ini. Aku pura-pura terdesalk agar Kiu-bwe Tok-li maju, dan siasat kami berhasil baik.” "Ohhh…?" Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri. "Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!" “Nona… jangan….!” Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya. "Kalau ia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah aku sebagai suaminya yang mintakan ampun." Berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan menyingkir. "Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biarpun ia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimanapun juga, ia telah menyelamatkan kita dari pohon itu." Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di guha tebing yang amat curam itu. Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main. "Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak, mengenai riwayat Ji-wi dan bicara tentang para pendekar, akan tetapi lebih dulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya ingin aku mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya., siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang perkasa?” Sebetulnya jarang sekali Hay Hay menyebut nama guru-gurunya, maka menghadapi pertanyaan ini, dia menjadi ragu-ragu. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata, "Biarlah kita bicara kelak saja, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, agar aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat dan terima kasihku." "Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih kepada kami?" tanya Kui Hong yang telah mendapatkan kembali kelincahannya. Semenjak ia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang ia merasa memperoleh kernbali kebebasannya. "Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apa pun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kami yang sepatutnya berterima kasih." sambung Hay Hay. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti. "Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing dan telah berhasil mempertemukan kami suami isteri, dan tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam guha dan aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama." Kakek itu lalu memondong tubuh ister inya yang masih lemas oleh totokan Hay Hay, dan setelah saling pandang, dua orang muda itu mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, ialah ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main! Guha itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya. "Sobat-sobat muda, di sudut sana terdapat sayur-sayur, daging kering, beras, buah-buahan boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti setelah aku mengobati isteriku, kita makan sambil bicara dengan leluasa." Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya di bagian paling dalam dari guha itu. Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar guha, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke arah sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini, Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, .bahkan menutup mulut agar suara tawanya jangan sampai terlepas. Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat dibutuhkan mereka saat itu. Daging dendeng ker ing asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar itu. Di situ terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap! "Heh-heh, makan besar kita sekali ini!” Hay Hay berbisik. "Kita masak di luar guha saja, kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya." bisik pula Kui Hong. Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar guha di mana terdapat batu-batu yang telah dlsusun sedemikian rupa untuk menjadi tempat perapian. Agaknya Hek-hiat-kwi juga kadang-kadang masak di luar guha. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah appel di situ, juga jeruk yang manis. Tak lama kemudian, setelah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, tiba-tiba mereka mendengar jerit melengking dari dalam guha. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam guha dan langsung menghampiri kamar guha yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak. Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Adapun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur. “Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, mampuslah engkau sekarang, mampuslah di tanganku… ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka…. aughhhhh…!" Dan tubuh itu terkulait tewas! “Kim Siu…..!” Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap. "Locianpwe, apa yang telah terjadi?" Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga. "Kim Siu….. ah, takkusangka ...ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sin-kangt mencoba mengusir hawa dari pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, ia siuman dan tiba-tiba saja ia menyerangku dengan pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... sin-kang dari kedua tanganku tanpa terkendali lagi juga menyusup liar ke tubuhnya dan ia... ia terluka parah dan tewas dan... dan…" "Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu." kata Hay Hay yang cepat menghampiri kakek itu dan merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah. "Lihat..." kakek itu terengah, "Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..." kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai dan ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat, lebih parah daripada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar. "Gila… sungguh gila…” Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja walaupun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian. "Mari kita keluar dari sini." ajaknya. Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh oleh dorongannya,memasangnya kembali. "Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang." "Hemm, mengapa kaulakukan itu?” tanya Kui Hong. "Kita biarkan saja mereka di dalam kamar guha, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka takkan diganggu binatang buas." Kui Hong membantu Hay Hay mendorong masuk guha itu sebuah batu besar dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekor pun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu dua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar. "Mari kita makan dulu sebelum pergi." kata pula Hay Hay. Peristiwa yang terjadi dalam kamar guha itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya ia tidak mau makan karena biarpun perutnya amat lapar namun lenyap sama sekali nafsu makannya, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya mau juga dara itu makan sedikit nasi dengan sayur. Ia lebih banyak makan buah untuk mengisi perut yang kosong. Setelah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat masak ke dalam guha dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar guha yang sudah tertutup batu besar. "Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe memperoleh kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe." Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti berdoa itu. Mereka lalu keluar dari dalam guha, menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun terasa kelegaan menyusup ke dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang mengerikan itu. *** Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan…. menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya, dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran. Semenjak bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali. "Kui Hong mengapa engkau menangis?" Akhirnya Hay Hay bertanya lembut setelah dia pun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh ke dalam jurang. Gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya. Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu. "Ihh, Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!" Dan Kui Hini tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada umumnya. "Lho! Bagaimana pula ini?" kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang tadi dicekam keheranan. "Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?" Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala. "Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!" Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk. " Ah, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong." “Beruntung? Apa maksudmu?" “Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga engkau memperoleh kembali watakmu yang aseli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak…” Sepasang mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut. "Aku? Kau berani mengatakan aku galak?" Hay Hay tertawa. "Nah… nah… baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main,kaumaafkan aku, Nona manis." Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berka lirih, “Gila, sungguh gila….!” Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu. "Ah, sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!" "Dua kali?" Gadis ini pun bertanya heran. “Iya, ketika kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkau pun mengatakan demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kaukatakan gila itu?” "Mereka, kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta." Kata Kui Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja. Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya. "Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka tnenjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay. Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali. "Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li." Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-lakl lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita." "Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu pun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin di tinggalkan. Dan nenek i tu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?" "Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas." "Itulah, bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri. Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil. "Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan." Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih “hijau” ini dapat bicara demikian panjang lepar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji. "Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!" Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!" Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?" "Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aklu sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kaukira aku ini petualang cinta ?" "Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?” "Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!" " Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?" "Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?" Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?" "Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!" "Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?" "Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!" "Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kaubilang aku hidung belang." dia mengelus hidungnya. yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejakkecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?" Kui Hong membanting .kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?" "Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!" Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu. "Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah shidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat " Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali. "Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai…!" Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar. Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat ia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Ia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia berseru. "Cukup….!!" Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan ia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar, penuh selidik. Akan tetapi ia tidak menemukan kekurangajaran di dalam pandang mata pemuda itu. "Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukan seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Laki-laki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!" Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walaupun ia merasa malu dan canggung, Akhirnya ia mengangkat muka dan kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?" "Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong." Kui Hong tidak cemberut kali ini, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Ia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, demikian pandai memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, namun tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tidak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali. "Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay." Hay Hay tertawa girang. Dia bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!” Dia lalu memandang ke sekeliling. "Akan tetapi senja telah larut dan malam hampir tiba. Tidakkah sebaiknya kita melanjutkan perjalanan mencari dusun agar kita mendapatkan rumah untuk melewatkan malam?" Kui Hong menggeleng kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal di sini sediri!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan. "Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!" "Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?" "Batu bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras seperti baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak." "Engkau harus bercerita lebih dulu." kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan agaknya tak jauh dari situ terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air. "Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab." "Hay Hay, tadi ketika engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak dan kemudian ternyata engkau bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis. Andaikata engkau tidak mengalah, apakah engkau akan dapat mengalahkan Hek-hiat-kwi?" "Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya aneh dan matang, tenaga saktinya juga amat kuat. Akan tetapi, aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh." jawab Hay Hay sejujurnya. Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai ilmu silatmu, jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bahkan engkau pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun…" "Eh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu…." "Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?" "Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, pantas mendapatkan keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat adalah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu. Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Pohai, dan See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu guru suheng Cia Sun. Yang mematangkan ilmu-ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin." Kui Hong memandang penun kagum. "Pantas engkau hebat. Kiranya yang menjadi guru-gurumu dalam ilmu silat adalah dua di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kong-kong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri…" "Ah, jangan mengejek, Kui Hong! Siapa sudi kepada orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!" "Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi." "Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh." "Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?" Sekali ini, lenyaplah seri wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang diliputi mendung. "Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu siapa nama Ibuku. Aku pun tidak pernah melihat Ayah Ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil, dan Ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana.” "Ohhhh…!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay…" Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan kepada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau memang sudah semestinya begitu keadaan hidupku?" "Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal Ayah Ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?" Hay Hay merasa canggung sekali, akan tetapi karena sudah berjanji, dia terpaksa menceritakan sebagian dari riwayatnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku masih kecil sekali, agaknya Ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Perahu itu terguling, Ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong." "Nanti dulu." bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kaupengaruhi dengan ilmu sihirmu?" "Ah, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biarpun aku sudah tahu bahwa Ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu." "Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, adapun Ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis…" "Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kong-kongmu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kaudapat dari orang tuamu." "Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari Kakek dan Nenekku." "Pantas! Ilmu silatmu demikian lihai, Kui Hong. Apalagi dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan taluk." "Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau." kata Kui Hong yang tidak ingin bicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan tentang keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?" Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce. "Menurut keterangan kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana ketika perutku terasa lapar dan aku berburu kijang itu dan bertemu denganmu.” Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?” “Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepatutnya dihancurkan karena dia dapat menjadi seorang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali. Hay Hay terkejut dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?" "Kalau hanya murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari hanya seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah." "Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?" "Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang sejak kecil ditolong oleh Kakek dan Nenekku, diambil murid dan digembleng. Aku sendiri ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang lalu, dia minggat dari pulau membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah Kakek dan Nenek lalu mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya." "Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia mempunyai ahlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik Kakekmu?" "Menurut Kakek dan Nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang Kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)." "Aih, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu karena engkau memang cantik menggairahkan, hanya dia tidak mampu melawan nafsu berahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti semua keindahan, menjadi berbahaya sekali kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan,." "Hemm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka akan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?" "Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik akan kecantikan bunga-bunga yang beraneka warna dan bentuk. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi, aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi berahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila." Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa sinar api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya, sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut. "Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?" Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik. Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong." "Bersukur? Kenapa mesti bersukur?" "Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung dalam sangkar. Aku tidak ingin terkurung dalam sangkar atau terikat kakiku, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta." "Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apalagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tak perlu kita bicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?" "Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo seorang datuk sesat yang amat sakti, dan banyak tokoh sesat yang lihai bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan." "Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu, di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay." "Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!" "Kenapa senang?” Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimanapun juga, hati gadis ini senang mendengar pujian-pujian pemuda itu dan menginginkan lebih banyak mendengarnya. "Kenapa? Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong." "Hushh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!" “Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul." "Apalagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihh, mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil mengenang tentang setan dan iblis. "Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini ngeri dan takut soal setan dan iblis? Sesungguhnya, merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar. "Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Akan tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, mahluk-mahluk halus, hiiihh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang. Ketika melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah bicara atau berpikir tentang setan, maka ia pun tidak pernah takut. Kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringat ia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia. "Kui Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?" Kui Hong menggeleng kepala menyangkal. "Kalau belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan “Hay Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat, namun toh ada dan harus dipercaya keadaannya. Siapa dapat melihat adanya angin? Siapa dapat melihat adanya nyawa? Siapa dapat melihat adanya Tuhan? Namun, kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang didongengkan orang." Hay Hay mengangguk. "Memang, di dalam ilmu sihir, ada ilmu yang disebut ilmu hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walaupun tak dapat dilihat, namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak jantung kita sendiri, dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh kehidupan diri kita. Kalau Tuhan itu sumber segala kebenaran dan kebaikan, maka sebaliknya, setan itu sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil….” "Ihhh... sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini. Lihat bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh menyeramkan!" Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Ia menambahkan kayu pada api unggun sehingga api membesar. "Aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main." katanya dan ia pun merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan. "Tidulah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan takut akan diganggu setan…." Tiba-tiba Kui Hong menahan jeritnya dan meloncat duduk dengan mata terbelalak memandang ke sebelah kirinya. "Kui Hong! Ada apakah?" tanya Hay Hay dan dia pun menoleh. Dia pun terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah bentuk yang amat menyeramkan, seorang manusia seperti raksasa, tinggi besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya bertaring! Pendeknya, bukan bentuk manusia umum yang muncul dari dalam asap hitam itu, melainkan ujud yang biasanya dimiliki setan datam dongeng! Kui Hong yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa itu dan ia menyerang dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi, gadis itu menahan pekiknya ketika tangannya tembus saja seolah-olah ia memukul bayangan! Dan "raksasa" itu tertawa bergelak, giginya yang besar-besar nampak dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia biasa. "Kui Hong, mundurlah dan biarkan aku menghadapinya." terdengar suara Hay Hay di belakangnya dan Kui Hong cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar ia ikut duduk di atas rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul leher pemuda itu, minta perlindungan. " Aku... aku takut…" bisiknya dan suaranya juga gemetar. Api unggun kini padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan sudah muncul sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka pucat dan mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa kini, bersama dengan mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok aayangan lain yang kesemuanya merupakan mahluk-mahluk mengerikan yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran dari depan. Kui Hong merasa semakin takut dan di luar kesadarannya, kedua lengannya merangkul pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang ketakutan dan minta perlindungan dalam dekapan ibunya. "Tenanglah, Kui Hong, itu hanya permainan kanak-kanak!" bisik Hay Hay. Padahal, di dalam hatinya, pemuda ini juga terkejut karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang cukup kuat. Bayangan-bayangan menyeramkan itu adalah jadi-jadian atau ujud yang muncul karena kekuatan sihir ilmu hitam! Hay Hay mengerahkan kekuatan batinnya, tangannya mengambil tanah di bawah rumput, kemudian menujukan pandang matanya ke arah lima sosok bayangan setan yang menyeramkan itu. Bayangan-bayangan itu masih mengeluarkan suara ketawa yang tidak seperti suara manusia. "Kalian datang dari tiada, kembalilah kepada tiada!" serunya dan tangannya melontarkan tanah ke arah bayangan-bayangan itu. Tanah itu melayang berpencar lebar dan mengenai lima sosok bayangan. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan lima sosok bayangan setan itu menghilang, berubah menjadi asap hitam dan kini lima gumpal asap itu menjadi satu, hitam dan tebal bergerak perlahan, membentuk sosok bayangan yang amat panjang dan ternyata berubah menjadi seekor naga hitam yang amat mengerikan! “Ihhh…!" Kui Hong menggigil ketakutan. Gadis ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan memiliki keberanian menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, karena sebelumnya tadi ia sudah merasa ngeri ketika bicara tentang setan dengan Hay Hay, maka kini begitu muncul apa yang disangkanya setan benar-benar, ia kehilangan ketabahannya dan merasa takut bukan main. Ia menganggap bahwa semua ilmu silatnya tidak ada artinya sama sekali untuk melawan setan, dan kemunculan bentuk-bentuk yang menyeramkan itu menambah rasa takutnya. Apalagi tadi sudah dicobanya, ketika ia memukul, tangannya tembus saja tanpa mempengaruhi sedikit pun terhadap bayangan-bayangan itu. Kini rasa takut membuat wajahnya pucat, kepalanya pening dan tubuhnya lemas seolah-olah semua tenaganya lenyap meninggalkan tubuhnya. Melihat betapa Kui Hong ketakutan, Hay Hay menjadi mendongkol juga kepada lima orang yang sedang mengganggu mereka dengan ilmu hitam. Dia mengerahkan semua tenaganya karena kini lima orang itu, dengan mempersatukan kekuatan sihir mereka, telah membentuk bayangan seekor naga hitam. Seperti yang pernah dipelajarinya dari Pek-mau San-jin, kembali tangannya mencengkeram segenggam tanah, mulutnya membaca mantra yang artinya. "Ngo-heng (Lima Unsur Inti) menjadi senjataku, Im-yang (Positip Negatip) rnenjadi perisaliku, kekuasaan Tuhan menjadi peganganku, dan hancurlah semua anasir jahat!" Dia melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga yang amat menyeramkan itu, yang kini agaknya hendak menerkam kedua orang muda itu, dengan mata yang bernyala, dengan mulut terbuka nampak gigi dan lidahya yang mengeluarkan asap dan suara geraman dahsyat. "Darrr….!" Terdengar bunyi ledakan dan bayangan naga hitam itu pun lenyap berubah menjadi asap hitam dan kini nampaklah lima orang laki-laki berpakaian pendeta dengan gambar bunga teratai di jubah bagian dada mereka. Lima orang itu nampak marah sekali dan dengan cepat mereka menerjang ke arah Hay Hay dengan gaya masing-masing. Ada yang menubruk seperti seekor harimau menubruk kambing, ada yang menghantamkan kedua tangan ke arah kepala Hay Hay, ada pula yang melakukan tendangan kilat, dan ada pula yang mempergunakan tenaga dalam untuk menghantamkan kedua telapak tangan ke arah pemuda itu. Gerakan mereka itu berbareng, dan agaknya memang disengaja agar pemuda itu tidak lagi mampu menghindarkan diri dari pengeroyokan itu. Akan tetapi mereka itu terlalu memandang rendah kepada pemuda sederhana ini. Pengalaman mereka tadi saja, ketika mereka menggabungkan kekuatan sihir dan dibikin hancur dengan mudah oleh Hay Hay, mestinya telah memperingatkan mereka bahwa mereka menghadapi seorang pemuda yang amat lihai. Akan tetapi agaknya mereka memang bandel dan belum mengaku kalah. Kui Hong masih ketakutan, seperti lemas dan hanya bersandar kepada Hay Hay. Ia masih bingung dan masih menganggap bahwa lima orang itu adalah setan-setan atau para siluman menyeramkan, yang tidak dapat dilawan dengan ilmu silat. Maka, melihat betapa mereka kini menerjang Hay Hay, ia pun hanya menonton saja dengan tubuh masih gemetar. Akan tetapi, melihat serangan mereka, Hay Hay yang waspada sudah dapat mengukur tenaga mereka, maka dia pun masih tetap saja duduk dan untuk menghadapi serangan mereka itu, dia menyambutnya dengan dorongan kedua tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke depan. “Haiiittt….!" Pemuda itu membentak dan suaranya mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat menyambut serangan lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan keras dan tubuh lima orang itu terjengkang dan terbanting roboh! Mereka baru terkejut bukan main, baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada mereka, maka tanpa dikomando lagi, lima orang itu pun lalu berloncatan dan lari menghilang di dalam kegelapan bayangan-bayangan pohon. Setelah lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu pergi, baru Hay Hay memperhatikan keadaan Kui Hong. Gadis itu masih merangkulnya dan dengan tubuh lemas bersandar kepadanya, seperti orang kehabisan tenaga, dengan tubuh masih agak dingin gemetar, seperti seekor kelenci ketakutan yang baru saja terhindar dari terkaman harimau. "Tenanglah, Kui Hong, mereka sudah pergi." kata Hay Hay dengan hati iba. Dia tahu bahwa Kui Hong bukan seorang pengecut atau penakut, akan tetapi pada saat itu gadis ini sedang dilanda rasa takut dan kengerian terhadap setan yang ia merasa takkan mampu melawannya. Mendengar ucapan Hay Hay itu, Kui Hong rnengeluh tanda lega hatinya, akan tetapi ketegangan hatinya masih belum lenyap dan ia pun masih menyandarkan kepalanya di pundak Hay Hay dan untuk melepaskan ketegangan hatinya, ia memejamkan kedua matanya. "Aku... aku tadi takut sekali…" desahnya. Hay Hay tersenyum dan menunduk. Dilihatnya wajah yang manis itu masih pucat, bahkan nampak lebih pucat karena sinar bulan yang memang membuat suasana nampak pucat itu. Rambut itu terurai dan nampak leher yang panjang, kulit leher yang demikian halusnya seperti lilin, putih mulus dan menantang. Hay Hay terbayang akan semua pengalamannya, pertama dengan Ji Sun Bi, kemudian dengan Kok Hui Lian dan tergeraklah hatinya, bernyalalah api gairah dalam dirinya dan bagaikan orang yang tak sadar, dia pun mendekatkan bibirnya dan di lain saat dengan lembut mulutnya sudah mencium leher Kui Hong. Leher itu menegang sesaat, akan tetapi lalu lemas kernbali. Kui Hong tetap memejamkan kedua matanya dan napasnya terengah-engah, akan tetapi Hay Hay merasa betapa leher itu menjadi hangat dan lembut. Dia menjadi semakin lupa diri, tenggelam dalam perasaan mesra yang mendalam. Bibirnya mengecup kulit leher itu, ujung lidahnya menjilat-jilat dan Kui Hong mengeluarkan keluhan lirih, memanjang dan tubuhnya menggelinjang. Bibir Hay Hay menciumi leher itu dengan lembut, lalu ke atas, ke bawah dagu dan ke bawah daun teiinga. Kui Hong mendesah tanpa membuka mata, bahkan ketika mulut Hay Hay bergerak lembut ke atas pipinya dan sampai ke ujung mulutnya, ia menengok, menyambut dan dua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra. Rintihan halus terdengar dari leher Kui Hong, dan ketika Hay Hay merasa betapa mulut yang panas dan basah itu menyambutnya seperti bunga merekah, dia terkejut dan melepaskan ciuman dan rangkulannya. Napasnya terengah-engah, berpacu dengan napas Kui Hong yang juga memburu. Ketika Hay Hay melepaskan dekapannya, Kui Hong seperti baru sadar dan keduanya, seperti tersentak kaget, lalu saling menjauhi, Kui Hong terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Hay Hay merasa menyesal bukan main bahwa dia tadi telah lupa diri. "Setan kau! Iblis kau! Berani menggodaku!" bentak Hay Hay sambil memukul tanah tiga kali. "Hay Hay… apa… mengapa….” Kui Hong berkata gagap karena hatinya masih terguncang hebat oleh peristiwa tadi, sejak munculnya setan-setan itu sampai pengalaman yang amat mengguncang hatinya, ketika kemesraan menenggelamkannya, pengalaman yang selama hidupnya baru sekali ini pernah dirasakannya dan yang membuatnya bingung. Hay Hay cepat menghadapi gadis itu. "Ah, Kui Hong, kaumaafkanlah aku, kau ampunkanlah aku…. aku... aku telah tergoda setan! Benar-benar setan dan iblis sendiri yang telah menggodaku tadi, menggoda kita sehingga kita... kita lupa diri….” Kui Hong memandang dengan muka merah karena malu dan canggung, dengan sinar mata bingung tidak mengerti. "Akan tetapi... apa salahnya... kalau kita... kita saling mencinta... apa salahnya…?” Hay Hay merasa terharu dan juga terkejut. Terharu karena gadis ini sungguh polos dan jujur, masih bersih dan suci dan dia yang telah menodai kebersihan batin gadis itu! Dan dia terkejut mendengar ucapan Kui Hong yang jelas menyatakan gadis itu mencintanya! Pernyataan bahwa mereka saling mencinta itu saja sudah cukup jelas membuktikan bahwa gadis itu cinta padanya dan mengira bahwa dia pun cinta pada Kui Hong! Akan tetapi, dia tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu gadis yang hebat seperti Kui Hong ini. Memang, alangkah mudahnya untuk menyatakan cinta kepada seorang gadis sehebat Kui Hong, akan tetapi pernyataan itu hanya merupakan suatu kebohongan belaka. Di lubuk hatinya, dia tidak merasakan adanya cinta seperti yang dimaksudkan Kui Hong, cinta yang akan mendorong pria dan wanita untuk menjadi suami isteri dan hidup bersama untuk selamanya. Tidak, dia tidak menghendaki itu, dia tidak ingin, menjadi suami Kui Hong atau suami wanita manapun juga. Dia suka kepada Kui Hong, kagum dan mungkin mencintanya, akan tetapi bukan cinta untuk kemudian diikat menjadi suami! Bukan pula cinta nafsu karena bagaima.napun juga, biarpun dia kagum bukan main akan kecantikan gadis ini, dia masih dapat mengatasi kekuasaan nafsu berahinya. Tanpa berani memandang kepada Kui Hong, Hay Hay yang masih duduk di atas rumput itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Kui Hong, aku menyesal sekali... akan tetapi aku... terus terang saja, aku tidak mencintamu seperti yang kaumaksudkan. Aku kagum padamu, aku suka padamu, bahkan aku cinta padamu, akan tetapi bukan cinta untuk kelak menjadi jodohmu, Kui Hong! Aku tidak ingin mencinta seperti itu, tidak ingin menjadi suami wanita mana pun, aku… aku…” Kui Hong sudah meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan kini beberapa butir air mata mengalir keluar membasahi pipinya. “Kau…! Kau tidak cinta padaku akan tetapi tadi engkau berani menciumku! Aku cinta, padamu dan engkau hanya mempermainkan aku…! Ahh... hu-hu-huhhh... aku benci padamu! Aku benci padamu…” Kui Hong menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat jauh dari tempat itu, membawa pergi isak tangisnya. "Kui Hong…." Hay Hay memanggil sambil berdiri, akan tetapi gadis itu tidak nampak lagi, hanya terdengar isaknya lapat-lapat dari jauh dan Hay Hay tidak mengejarnya. Dia menjatuhkan diri ke atas rumput, lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Kau goblok! Kau tolol, membiarkan setan menggodamu!" Dia memaki-maki diri sendiri, maklum bahwa dia telah menyinggung perasaan hati Kui Hong, bahkan telah menghancurkan cintanya, dan menumbuhkan kebencian dalam hati gadis yang dikaguminya itu. Akhirnya dia tidak peduli lagi dan tak lama kemudian, Hay Hay sudah tidur pulas di tempat itu, tanpa api unggun, di bawah sinar bulan dan di dalam hawa yang semakin dingin. Jauh dari situ, Kui Hong menjatuhkan diri di bawah pohon dan ia pun menangis sejadi-jadinya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan kesedihan menyelimuti seluruh dirinya. Ingin ia membunuh Hay Hay, akan tetapi dua hal tidak memungkinkan hal itu terjadi. Pertama, ia kalah jauh dan tidak akan mungkin dapat menangkan pertandingan melawan pemuda lihai itu. Ke dua, ia tidak akan tega membunuhnya, karena selain ia telah berhutang budi dan nyawa, juga ia sadar betul bahwa telah jatuh cinta kepada Hay Hay. Ia mencinta pemuda itu sepenuh hatinya. Semua gerak-gerik pemuda itu menyenangkan hatinya dan mendatangkan perasaan kagum. Betapa pemuda itu dapat menundukkan musuh-musuh yang lihai, bahkan setan yang mengganggu malam itu, secara jantan dan hebat. Betapa ia akan berbahagia berada di samping pemuda itu selama hidupnya. Akan tetapi, kenyataan pahit yang tak dapat ditolak lagi, pemuda itu dengan mulutnya sendiri menyatakan bahwa dia tidak cinta padanya! Padahal, kalau ia membayangkan apa yang baru saja terjadi, betapa mesranya pemuda itu membelainya dan menciumnya, ia hampir tidak mau percaya bahwa Hay Hay tidak cinta padanya. Akan tetapi kenyataannya, dengan mulutnya sendiri pemuda itu mengatakan bahwa dia tidak cinta padanya atau wanita lain. Cintanya bukan untuk berjodoh! Kui Hong menangis dan ingin ia mengamuk, bukan kepada Hay Hay, akan tetapi kepada siapa saja. Kalau saja pada saat itu ada musuh di depannya, tak peduli manusia atau setan, akan diamuknya. Biar setan-setan itu muncul kembali, ia tidak akan merasa takut sekarang. Akan diamuknya sampai membunuh mereka semua atau ia dibunuh mereka! Lebih baik lagi karena ia tidak akan menderita sakit hati seperti sekarang ini. Akhirnya, Kui Hong juga dapat tidur di bawah pohon itu, " tidak peduli akan keselamatan dirinya lagi. Akan tetapi, seperti juga Hay Hay, tidurnya gelisah, kadang-kadang tersenyum penuh kebahagiaan kalau ia bermimpi tentang kemesraannya bersama Hay Hay, lalu terganti isak tangis. Pada keesokan harinya, ketika kicau .burung dan kokok ayam hutan membangunkannya, Kui Hong segera meninggalkan tempat itu. Ia hendak pergi ke Pegunungan Yunan, bukan untuk membantu Hay Hay yang hendak menyelidiki ke sana, melainkan untuk mencari Ciang Ki Liong, murid murtad dari Pulau Teratai Merah itu. Dan inilah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Menyeret Ciang Ki Liong, hidup atau mati, kembali ke Pulau Teratai Merah agar menerima hukuman dari kakek dan neneknya! *** Bukan watak Hay Hay untuk membiarkan diri tenggelam dalam duka. Dia memang merasa menyesal bukan main bahwa dia telah lupa diri dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan, bahkan menyeret Kui Hong sehingga gadis itu mengira bahwa dia mencintanya. Kemudian, karena dia tidak membohong atau menipu, biarpun pahit, dia berterus terang dan tentu saja gadis itu tersinggung dan menjadi benci kepadanya. Hanya sehari dua hari saja dia kelihatan muram dan menyesal, akan tetapi beberapa hari kemudian, dia sudah melupakan pengalaman yang tidak enak itu. Dia sudah pulih kembali, menjadi seorang yang riang jenaka dan memandang dunia ini dari segi yang terang benderang. Senyumnya kembali lagi, tak pernah meninggalkan sudut bibirnya dan matanya kembali bersinar-sinar, wajahnya kembali berseri-seri. Biarlah yang lewat berlalu sudah, tak per lu dikenang lagi. Inilah pendiriannya sehingga Hay Hay tidak pernah mau menyimpan semua pengalaman yang lalu, maklum bahwa mengingat kembali hal-hal lalu hanya akan mendatangkan sesal dan duka, kecewa dan dendam. Dengan gembira dia melanjutkan perjalanan, menuju ke selatan, Pegunungan Yunan. Hay Hay tahu bahwa yang mengganggu dia dan Kui Hong semalam adalah lima orang pendeta Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang selain memiliki ilmu silat yang cukup lihai, juga pandai ilmu sihir sehingga membikin takut kepada Kui Hong. Dia berhasil mengusir mereka tanpa perkelahian, hanya dengan mengalahkan ilmu sihir mereka dan menangkis serangan mereka dengan tenaga saktinya yang jauh lebih kuat daripada tenaga mereka. Disangkanya bahwa lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi takut dan melarikan diri. Dia tidak tahu bahwa peristiwa semalam itu membuat orang-orang Pek-lian-kauw menjadi curiga dan waspada kepadanya sehingga perjalanannya selalu dibayangi dari jauh. Mereka melihat seorang lawan yang amat berbahaya dalam diri pemuda ini, apalagi ketika melihat bahwa pemuda itu melakukan perjalanan ke selatan! Kecurigaan mereka semakin besar ketika mereka tahu bahwa di dalam perjalanannya, ketika melewati sebuah kota pemuda itu mencari keterangan kepada orang-orang di jalan tentang Pegunungan Yunan. Jelaslah bahwa pemuda itu hendak pergi ke Pegunungan Yunan. Walaupun pemuda itu tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga apa urusannya di Pegunungan Yunan, namun pihak Pek-lian-kauw sudah dapat menduga bahwa tentu pemuda ini hendak mencari sarang persekutuan mereka! Karena itulah, maka jauh sebelum Hay Hay tiba di perbatasan Pegunungan Yunan, para pimpinan persekutuan kaum sesat itu telah lebih dulu tahu akan keadaan dirinya. Dari keterangan yang diperolehnya di perjalanan, Hay Hay mendengar bahwa yang disebut Dataran Tinggi Yunan adalah daerah di bagian utara Propinsi Yunan yang berbatasan dengan Propinsi Secuan dan Kwei-couw. Di perbatasan itu terdapat Sungai Cin-sa, yang menjadi anak sungai besar Yang-ce-kiang. Menurut keterangan Menteri Yang Ting Hoo, sarang Lam-hai Giam-lo itu berada di lembah sungai itu, di antara kedua gunung besar atau Pegunungan Heng-tuan-san di barat dan Pegunungan Tatiang-san di timur, dan pegunungan atau dataran tinggi Yunan itu terapit oleh dua pegunungan ini. Hay Hay mengambil jalan melewati Propinsi Kwei-couw, dan pada suatu hari tibalah dia di kota Wei-ning. Kota ini terletak di dekat sebuah telaga besar yang disebut Cao-hai (Lautan Cao) atau juga Cao-hu (Telaga Cao). Sebuah telaga yang amat indah, terletak di lereng bawah Pegunungan Wu-meng-san, di dekat tapal batas sebelah barat dari Propinsi Kwei-couw, tak berapa jauh lagi dari daerah Yunan sebelah timur. Karena melihat telaga yang demikian indahnya di dekat kota Wei-ning, Hay Hay tidak dapat menahan hatinya untuk tidak berhenti di kota itu dan menikmati keindahan telaga itu selama beberapa hari. Sudah terlalu lama dia melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, bukit-bukit yang luas, melalui dusun dan kota, akan tetapi baru sekali ini dia melihat sebuah telaga besar yang airnya kebiruan dan demikian luasnya. Pantaslah kalau Telaga Cao itu kadang-kadang disebut Lautan Cao, karena memang airnya biru saking dalamnya, seperti air laut. Apalagi dilihat dari ketinggian sebelum Hay Hay memasuki kota Wei-ning, telaga itu nampak amat indahnya. Banyak pohon tumbuh di sekelilingnya, dan di bagian selatan nampak sekelompok pohon cemara yang indah, tumbuh di lereng di tepi telaga. Rumah-rumah para penduduk kampung berada di sebelah barat dan utara, sedangkan di bagian timur telaga itu adalah daerah kota Wei-ning. Para penghuni rumah perkampungan di sekitar telaga itu pada umumnya adalah para petani dan nelayan karena telaga itu selain dapat mengairi sawah sehingga para petani dapat menanam bermacam padi-padian sepanjang tahun, juga telaga itu sendiri mengandung ikan yang seakan-akan tiada habisnya biarpun setiap hari dikail dan dijala oleh para nelayan. Burung camar nampak beterbangan di permukaan air telaga kadang-kadang menyambar turun dan ketika melayang naik lagi, paruh mereka telah menangkap seekor ikan. Riuh rendah suara mereka seperti sedang bekerja mencari nafkah dengan gembira dan bersendau-gurau di antara teman. Banyak pula nampak perahu nelayan dan perahu-perahu indah di mana orang-orang kota, baik dari Wei-ning maupun dari kota lain yang sengaja datang berkunjung dan bersenang-senang di telaga. Perahu para nelayan memilih bagian yang sepi, jauh di barat dan di tepi-tepi yang sunyi, karena akan sia-sia sajalah usaha mereka mencari ikan kalau berdekatan dengan perahu-perahu pelesiran yang selalu gaduh itu. Memang sebagian besar perahu-perahu pelesiran itu disediakan untuk para pria yang ingin bersenang-senang. Ada yang bermain kartu sambil minum arak, ada pula yang minum arak saja sampai mabok. Ada pula yang memanggil gadis-gadis penyanyi dan penari, dan banyak pula yang memanggil gadis panggilan atau pelacur-pelacur untuk menemani mereka minum arak atau menemani mereka tidur di bilik-bilik perahu besar itu. Ada pula pria-pria tua muda yang lebih suka menyendiri, menyewa perahu-perahu kecil dan mereka itu ada yang mencoba peruntungan mereka mengail ikan, ada pula yang hanya duduk membaca buku, ada yang bermain musik sendirian, meniup suling atau bermain yangkim, ada yang melukis atau menulis sanjak sambil minum arak. Tak lama kemudian, perahu yang ditumpangi Hay Hay sudah menyelinap di antara ratusan buah perahu yang lain. Dia menyewa sebuah perahu kecil yang dicat merah, membawa bekal makanan dan minuman yang dibelinya di pantai tempat menyewa perahu, lalu mendayung perahu itu meluncur ke tengah telaga, bercampur dengan ratusan buah perahu lain. Hay Hay merasa lapar dan dia memilih tempat yang agak sunyi, jauh di tengah, lalu membuka buntalan daging ayam panggang, saus tomat semacam sayur hijau yang menjadi masakan, beberapa butir buah pir dan appel, juga seguci kecil arak dan seguci kecil air teh. Mulailah dia makan minum seorang diri dengan hati lapang. Sungguh lezat makan di atas perahu, di tengah telaga dengan hawa yang sejuk nyaman dan bersih. Ah, kalau saja ada Kui Hong di dalam perahunya, pikirnya dan ingin Hay Hay menampar kepalanya sendiri. Kenapa mendadak saja dia merasa kesepian dan teringat kepada Kui Hong? Gadis itu tentu akan marah-marah dan mungkin akan menyerangnya di atas perahu! Mengingat akan hal ini, Hay Hay tersenyum lucu. Tentu mereka keduanya akan tercebur ke dalam air telaga dan akan mengalami hal-hal aneh dan berbahaya lagi bersama-sama! Tidak, tak boleh dia mengharapkan kehadiran Kui Hong. Bagaimana kalau Bi Lian? Setelah pikirannya menolak kehadiran Kui Hong, Hay Hay teringat kepada Bi Lian. Cu Bi Lian yang berjuluk Tiat-sim Sian-li itu. Murid dari dua di antara Empat Setan, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Bukan main gadis itu! Tidak kalah oleh Kui Hong dalam segala hal. Cantiknya, lincahnya, galaknya! Bahkan lebih galak di banding Kui Hong, walaupun belum tentu menang lihai. Akan tetapi Bi Lian juga lihai bukan main, dengan ilmu yang aneh-aneh. Tahi lalat di dagunya itu, bukan main manisnya! Tapi kemunculan Bi Lian tentu juga hanya akan mendatangkan keributan, karena bukankah gadis itu pernah mengancamnya bahwa kalau bertemu lagi, gadis itu tentu akan menyerangnya dan tidak akan memberi ampun? Dia tersenyum gembira teringat kepada Bi Lian. Seorang gadis yang hebat dan dia kagum dan suka sekali kepa.da gadis itu. Akan tetapi tidak, terlalu berbahaya kalau di tempat ini berjumpa dengan Bi Lian. Kalau sampai Bi Lian menggulingkan perahu! Memang benar, selama tinggal bersama suhunya yang ke dua, yaitu Ciu Sian Lokai yang menjadi majikan di Pulau Hiu, dia sering kali mandi di laut dan sudah pandai dan menguasai ilmu renang, akan tetapi ilmunya ini tidak cukup tinggi untuk dapat melindungi diri di dalam air kalau sampai dj.a diserang musuh. Tidak, lebih baik jauh dari Bi Lian kalau dia ingin bersantai di telaga itu. Begitu dia mengusir bayangan Bi Lian dengan tahi lalat di dagunya yang manis itu, tiba-tiba saja muncul bayangan Pek Eng! Hay Hay mengeluh. Ada apakah dengan dirinya hari ini? Kenapa perempuan melulu yang memenuhi benaknya? Bayangan gadis-gadis cantik saja yang teringat olehnya? Biarpun dia mencela diri sendiri, tetap saja kini nampak wajah Pek Eng yang lucu dan manis menarik itu. Hitam manis, mata sipit yang indah, hidung yang ujungnya agak menjungkat naik, bibir yang selalu merah membasah, dan lesung pipit di pipi kiri itu. Aihh, gadis remaja yang segar, dengan tubuh tinggi semampai yang menggairahkan.Lincah jenaka dan manja! Hay Hay tersenyum ketika teringat betapa Pek Eng pernah mencium pipinya, mengira bahwa dia adalah kakaknya yang bernama Pek Han Siong! Gadis yang amat menyenangkan, kalau saja berada di dalam perahunya, tentu akan diajaknya bersendau-gurau! Dan Pek Eng tidak akan membahayakan dirinya. Pek Eng sudah memaafkannya karena kesalahpahaman itu, ketika gadis itu marah-marah sebab menciumnya, mencium orang yang salah. Kembali Hay Hay tersenyum dan tanpa disadarinya, tangan kirinya mengusap pipi kiri yang pernah disentuh hidung dan bibir lembut Pek Eng. Tapi, aku tidak mencinta Pek Eng, juga tidak mencinta Bi Lian atau Kui Hong walaupun terhadap mereka ada rasa suka yang mendalam di lubuk hatinya. Dia tidak mencinta mereka dan sebaiknya kalau dia tidak dekat dengan mereka. Selalu timbul keributan kalau dia dekat dengan seorang gadis. Bagaimana kalau Hui Lian? Jantungnya berdebar kencang karena dia membayangkan apa yang pernah terjadi antara dia dengan Hui Lian, janda muda itu. Bau tubuhnya yang harum! Bagaimana dia dapat melupakan wanita itu? Takkan pernah dia mampu melupakan Hui Lian! Dengan Hui Lian, hampir saja dia tak dapat menguasai dirinya lagi, hampir saja terjadi pelanggaran antara mereka. Dan dia tidak pernah menyalahkan dirinya. Pria mana yang akan mampu bertahan kalau sudah bergaul demikian dekatnya dengan seorang wanita seperti Hui Lian? Baru keharuman tubuhnya saja sudah membuat pria menjadi mabok. Ah, kalau ada Hui Lian di situ, di dalam perahu bersamanya, tentu dia akan merasa semakin gembira. Tidak akan ada bahaya diserang Hui Lian, yang ada hanyalah diserang gairah nafsunya sendiri. Dan ini bahkan jauh lebih berbahaya daripada kalau dia diserang orang! Bagaimana dengan keadaan Hui Lian sekarang? Di mana ia berada dan apa saja yang dilakukannya? Tiba-tiba ia merasa rindu sekali kepada Hui Lian, apalagi karena dia pun yakin bahwa Hui Lian cinta kepadanya. Dia tahu bahwa andaikata dia menanggapi cinta itu, sudah pasti mereka berdua takkan pernah saling berpisah lagi. Ah, betapa akan senangnya kalau kini mereka berdua berperahu di telaga itu, makan bersama dan bersenda gurau bersama. Dia tidak membayangkan hal-hal yang mesra, hanya ingin dekat dan bercakap-cakap dengan wanita yang luar biasa itu! "Hay Hay….!" Hay Hay terlonjak kaget. Suara Hui Lian! Gila benar! Apakah lamunannya tentang wanita itu tadi membuat dia menjadi gila sehingga dia mendengar suaranya? Biarpun dia tidak percaya bahwa itu adalah suara Hui Lian yang sesungguhnya, namun dia menengok juga ke kanan dan... tak salah lagi! Yang memanggilnya tadi bukan lain adalah Kok Hui Lian! Wanita itu nampak semakin cantik, wajahnya segar berseri tidak seperti dahulu yang agak diliputi mendung kedukaan. Wanita itu duduk di dalam sebuah perahu yang sedang besarnya dan melambai kepadanya. Dapat dibayangkan betapa girangnya rasa hati Hay Hay. Baru saja dirindukan, dilamunkan dan kini benar-benar berada di situ, di atas perahu yang jaraknya hanya sekitar lima meter dari perahunya, Hui Lian yang cantik jelita, Hui Lian yang manis, Hui Lian yang harum! Saking gembiranya, Hay Hay bangkit berdiri dan sekali loncat, tubuhya sudah melayang ke arah perahu Hui Lian. Untung bahwa mereka berada di bagian yang sepi sehingga perbuatan Hay Hay itu tidaklah kelihatan orang lain yang tentu akan menimbulkan kekaguman dan perhatian. "Enci Hui Lian…!" teriaknya. "Ah, Enci Hui Lian, betapa rindu aku padamu…!" “Hay Hay, tak kusangka akan berjumpa denganmu di sini!" kata Hui Lian, juga dengan suara yang gembira sekali. Begitu kedua kakinya hinggap di atas perahu Hui Lian, Hay Hay lalu menghampiri dan memegang kedua tangan wanita itu sambil mengamati Hui Lian dari ujung rambut kepala sampai ke kaki. "Aih, engkau nampak segar dan semakin cantik saja, Enci Hui Lian!" "Hushhh…! Engkau masih juga belum berubah, pemuda mata keranjang!" kata Hui Lian sambil tertawa geli, akan tetapi kedua tangannya juga membalas remasan tangan Hay Hay, tanda bahwa ia girang dan gembira sekali bertemu dengan pemuda itu. Pada saat itu terdengar suara batuk-batuk dan seorang laki-laki muncul dari dalam bilik perahu itu. Hay Hay merasa terkejut dan heran, akan tetapi Hui Lian bersikap tenang dan biasa saja, bahkan ia belum melepaskan kedua tangan pemuda itu dari genggamannya, hanya menoleh dan memandang kepada pria yang baru muncul itu sambil tersenyum girang. "Suheng, inilah pemuda luar biasa yang pernah kuceritakan padamu itu, yang bernama Hay Hay!" katanya gembira!" Hay Hay memandang kepada pria yang disebut suheng (kakak seperguruan) oleh Hui Lian dan diam-diam dia pun kagum. Seorang pria yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, lengan kirinya buntung sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya membayangkan kejujuran, keterbukaan dan wibawa yang besar sehingga dia nampak gagah perkasa biarpun lengan kirinya buntung. Mengingat akan hebat dan tingginya ilmu kepandaian Hui Lian, dapat dia bayangkan bahwa tingkat suheng wanjta itu sudah tentu lebih hebat lagi. "Hay Hay, perkenalkanlah. Dia itu adalah Suheng Ciang Su Kiat. Dia Suhengku, juga Guruku, juga suamiku." "Ahhh…!" Mendengar kata "suamiku" itu, cepat-cepat Hay Hay melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi saling berpegangan dengan kedua tangan Hui Lian, dan mukanya berubah kemerahan, sikapnya menjadi kikuk sekali. Ciang Su Kiat memandang dengan sikap keren, sepasang alisnya yang tebal berkerut dan matanya mengamati wajah Hay Hay dengan tajam. "Hemm, kiranya inikah pemuda itu? Pantas! Dia tampan menarik dan pandai merayu, seorang pemuda lihai yang mata keranjang. Sumoi, kausebut dia pendekar mata keranjang? Hai, orang muda, kenapa engkau melepaskan kedua tanganmu setelah mengetahui bahwa Hui Lian adalah isteriku? Itu adalah suatu sikap pengecut yang sama sekali tidak dapat kuhargai. Bukankah ia nampak segar dan makin cantik katamu tadi? Ataukah itu pun hanya sekedar rayuan belaka?" "Suheng…!" Hui Lian terbelalak memandang suaminya, terkejut karena belum pernah suaminya memperlihatkan sikap kurang senang seperti itu dan tahulah ia bahwa suaminya secara tiba-tiba dilanda cemburu! "Sumoi, aku meragukan ceritamu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sikapnya menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang perayu yang mata keranjang, dan tidak mampu menguasai perasaan hatinya sendiri. Orang muda, mari kita bicara di pantai agar tidak nampak orang lain." "Tapi… baiklah!" kata Hay Hay yang tadinya meragu akan tetapi melihat sinar mata demikian jujur dan gagah dari Si Lengan Buntung, juga melihat sikap Hui Lian yang meragu dan agaknya gelisah, dia mengambil keputusan untuk menghadapi persoalan ini sampai tuntas. Dia harus berani bertanggung jawab, untuk membela diri yang memang tidak mempunyai niat buruk, juga untuk mencuci nama baik Hui Lian dari kecurigaan suaminya. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya secara jantan! Maka, sekali melompat dia pun sudah melayang ke atas perarunya sendiri. Dia menanti sambil memegang dayung dan untuk sesaat lamanya, kedua orang pria itu saling pandang dari atas perahu masing-masing. Hay Hay mengangguk kepada Su Kiat, memberi tanda bahwa dia akan mengikutinya dan Su Kiat lalu mendayung perahunya menuju ke pantai yang sepi. Hay Hay mengikutinya dari belakang, diam-diam mengagumi suami isteri itu karena selama mendayung perahu ke tepi, keduanya diam saja dan sama sekali tidak kelihatan mereka bertengkar. Sungguh sikap dua orang yang sudah matang dan tidak hanya menurutkan perasaan hati saja. Biarpun hatinya merasa tegang, namun diam-diam Hui Lian ingin sekali melihat apa yang akan terjadi antara suaminya dan Hay Hay. Diam-diam ia pun mendongkol sekali terhadap suaminya. Tidak tahukah suaminya bahwa cintanya hanya untuk suaminya, dan terhadap Hay Hay ia hanya merasa suka dan kagum, seperti seorang enci terhadap adiknya saja? Memang, tidak disangkal bahwa ia pernah tergila-gila kepada pemuda ini, terdorong oleh gairah nafsu berahinya, akan tetapi itu terjadi dahulu sebelum ia menjadi isteri suhengnya. Sekarang, tentu saja tidak ada lagi gairah nafsu terhadap pria lain karena ia telah mendapatkan segala-galanya dari suammya yang amat dicintanya. Biarlah, dia cemburu dan hendak kulihat apa yang akan dilakukan terhadap Hay Hay, pikirnya. Ia tidak merasa khawatir karena ia mengenal benar Hay Hay yang sudah pasti tidak akan mencelakakan suaminya dan dia pun tahu bahwa suaminya tidak akan dapat mencelakakan Hay Hay yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Pula, suaminya adalah seorang pendekar perkasa, tidak mungkin mau berbuat jahat terhadap orang lain hanya karena cemburu buta yang tidak beralasan sama sekali! Ketika suami isteri itu meloncat ke darat, Hay Hay juga sudah tiba di darat dan dia pun meloncat dengan sigapnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali. "Toa-ko, aku masih tidak tahu apa maksudmu mengundangku ke tepi. Kalau kau menganggap aku bersalah karena kegembiraanku bertemu dengan Enci Hui Lian yang belum kuketahui bahwa ia sekarang telah menjadi isterimu, maka harap engkau suka memaafkan aku. Sungguh, aku tidak mempunyai maksud buruk, aku hanya demikian gembira dan hanya luapan kegembiraanlah yang membuat aku tadi memegang kedua tangan isterimu." "Hemm, orang muda. Aku sudah mendengar tentang dirimu dari isteriku dan aku menghargai kejujuranmu. Melihat kemunculanmu dan engkau berpegang tangan dengan Sumoi Hui Lian, aku tidak apa-apa karena aku maklum bahwa tentu engkau bergembira bertemu dengannya, seperti juga isteriku bergembira bertemu denganmu. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa aku suaminya, engkau segera melepaskan pegangan tanganmu. Hal ini kuanggap bahwa engkau tidak jujur, bahwa engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita. Timbul dugaanku bahwa kalau dulu engkau tidak sampai melanjutkan pelanggaran susila terhadap Sumoi, hanya karena engkau tidak berani menghadapi kelihaian Sumoi. Kalau engkau sekarang mampu memperlihatkan bahwa tingkat ilmu yang kaumiliki lebih tinggi dari tingkat Sumoi atau tingkatku, barulah aku percaya bahwa engkau memang tidak mau melakukan pelanggaran susila, dan baru aku akan percaya kejujuranmu. Nah, bersiaplah untuk menandingiku, orang muda, dan kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, maka aku akan menghajarmu karena engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang perayu wamta yang hina!” “Suheng!” Hui Lian berseru. “Jangan menuduh sedemikian keji terhadap Hay Hay! Dia bukanlah orang yang seperti kauduga itu, dan engkau takkan menang melawan dia, Suheng! Engkau dibikin buta oleh cemburu!" Ciang Su Kiat mengangguk-angguk akan tetapi tersenyum kepada isterinya, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap marah kepada isterinya yang amat dicintanya itu. "Memang benar, aku merasa cemburu, Sumoi. Belum pernah aku merasa cemburu seperti sekarang ini! Akan tetapi alasanku untuk merasa cemburu kuat sekali, bukan cemburu karena menyangka engkau tidak setia kepadaku. Sama sekali bukan. Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan seperti itu kepadamu, Sumoi. Akan tetapi aku merasa cemburu oleh sikap pemuda ini dan sebelum dia menunjukkan bahwa persangkaanku terhadap dirinya tidak benar, yaitu dengan mengalahkan aku. Sebelum dia mengalahkan aku, hatiku akan selalu digoda cemburu dan prasangka buruk terhadap dirinya.” "Tapi, sudah kuceritakan kepadamu betapa dia seorang yang kuat lahir batin, dan memang aku pernah tergila-gila kepadanya dan andaikata bukan dia yang kuat batinnya sehingga mengingatkan aku, tentu akan terjadi pelanggaran susila. Dialah yang mencegah terjadinya pelanggaran itu, Suheng. Semua itu telah kuceritakan kepadamu." "Aku percaya padamu, Sumoi. Akan tetapi aku tidak percaya padanya. Dia bukan dewa, dan tidak mungkin dia kuat menolak dirimu! Kalau dia melakukan hal itu, tentu karena dia takut akan akibatnya, takut akan kelihaianmu dan takut menghadapi kemarahanmu kemudian. Nah, orang muda, majulah dan kita akan melihat bukti kejujuranmu." "Suheng, engkau takkan menang." kata pula Hui Lian. "Kalau begitu, baru hatiku puas dan aku akan minta maaf kepadanya, juga kepadamu, Sumoi. Marilah, orang muda." "Hay Hay, layani dia. Si Keras Hati ini memang harus diperlihatkan buktinya, kalau tidak, dia akan gelisah terus, tak enak makan tak enak tidur!" Akhirnya Hui Lian berkata.