Hay Hay menarik napas panjang, lalu melangkah maju menghadapi Su Kiat sambil berkata, "Ciang-toako, aku tidak menyangkal bahwa aku suka akan keindahan, suka akan kecantikan wanita seperti aku suka akan tamasya alam indah, akan bunga-bunga. Aku suka akan keindahan dan kecantikan wanita merupakan suatu keindahan yang mengagumkan. Enci Hui Lian adalah seorang wanita yang luar biasa cantik jelitanya. Kuakui bahwa aku pernah tergila-gila kepadanya. Akan tetapi bukan berarti aku mencintanya. Demikian pula Enci Hui Lian, ia tidak cinta kepadaku. Kami saling tertarik karena saling mengagumi, karena dorongan gairah berahi yang wajar. Katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi jangan mengira bahwa nafsu berahi akan mudah begitu saja mengalahkan aku sehingga aku menjadi mata gelap dan melakukan pelanggaran susila. Dan aku sama sekali bukan takut menghadapi ilmu kepandaian Enci Hui Lian, melainkan takut kalau sampai aku menodainya dan membuat hidupnya sengsara karena merasa ternoda kehormatannya. Sekarang, engkau tidak percaya kepadaku dan hendak mengujiku. Silakan Ciang-toako!" Ciang Su Kiat mengangguk-angguk. "Bagus, nah, kauterimalah seranganku ini!" Dan begitu orang yang buntung lengan kirinya ini menyerang, Hay Hay terkejut dan kagum. Dia sudah menyangka bahwa Si Lengan Kiri Buntung ini tentulah ahli gin-kang yang hebat, mengingat betapa dalam hal gin-kang, Hui Lian juga hebat bukan main. Dan dugaannya memang tepat. Biarpun tadinya Ciang Su Kiat tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri biasa saja, akan tetapi begitu kata-katanya habis, tubuhnya sudah menerjang dengan kecepatan yang akan mengaburkan pandang mata lawan saking cepatnya. Lengan kanannya bergerak menyambar dengan pukulan ke arah dada Hay Hay, nampaknya perlahan saja, akan tetapi datangnya cepat sekali dan dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang dahsyat. Pukulan ini menjadi semakin berbahaya karena dibayangi sambaran ujung lengan baju kosong yang menotok ke arah pelipis kanan Hay Hay! Memang, Su Kiat yang ingin menguji kepandaian pemuda itu, tidak mau membuang banyak waktu dan begitu bergerak, dia telah mainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, ilmu silat sakti peninggalan kitab dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara Delapan Dewa. Tentu saja hebat bukan main serangannya itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah seorang pemuda yang juga menjadi murid dua orang di antara Delapan Dewa, bahkan pemuda ini digembleng oleh dua orang sakti itu sendiri, tidak seperti Ciang Su Kiat yang hanya mempelajari dari peninggalan kitab. Oleh karena itu, kalau dibuat perbandingan, tentu saja Su Kiat masih kalah jauh dalam hal ilmu silat dibandingkan Hay Hay. Akan tetapi, untuk mengurangi jarak kekalahannya dalam pendidikan ilmu silat, si lengan kiri buntung ini telah memiliki tenaga yang luar biasa berkat makan jamur selama sepuluh tahun, jamur aneh yang hanya terdapat dalam sebuah guha di tebing yang terjal, maka kekalahannya itu dapat ditebus oleh kekuatan mujijat itu. Makan jamur selama sepuluh tahun ini membuat Su Kiat dan Hui Lian memiliki tenaga sin-kang dan gin-kang yang istimewa, dan pada Hui Lian bahkan akibatnya membuat wanita ini memiliki keringat yang harum baunya! Melihat datangnya serangan, Hay Hay melangkah ke belakang sambil mengibaskan kedua tangannya menangkis. Akan tetapi, dengan kecepatan yang luar biasa, Su Kiat telah menarik kedua lengannya dan sudah melangkah maju mendesak dan menyerang lagi dengan lebih ganas. Ujung lengan baju kiri itu kini tiba-tiba saja menegang dan menusuk seperti sebatang pedang ke arah muka Hay Hay, di antara kedua matanya, sedangkan tangan kanan sudah melakukan cengkeraman ke arah perut. Dua serangan ini datang secara bertubi dan yang berbahaya adalah karena kecepatannya, dan ujung lengan baju tangan kiri itu juga tak boleh dipandang ringan karena setelah dialiri tenaga sin-kang, menjadi kaku seperti sebatang pedang dan kalau mengenai sasaran antara kedua mata Hay Hay, tentu amat berbahaya. Namun, dengan tenang dan mudah saja, Hay Hay kembali dapat menghindarkan diri dengan memutar tubuh dan mengibaskan kedua tangan menangkis. Dia masih belum mau membalas karena belum merasa perlu dan belum terdesak. Melihat betapa pemuda itu dengan mudahnya dapat menghindarkan diri, Ciang Su Kiat tidak mau memberi hati dan kini dia menyusulkan serangan bertubi-tubi, dengan ujung lengan baju kiri, dengan tangan kanan, bahkan dengan kedua kakinya yang dapat mengirim tendangan istimewa. Kini Hay Hay didesak terus dengan serangan yang datang bagaikan gelombang samudera, susul-menyusul dan tiada hentinya. Dibandingkan dengan Kok Hui Lian, tentu saja tingkat Ciang Su Kiat lebih tinggi, karena sebelum keduanya menemukan kitab-kitab peninggalan dua orang di antara Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok, Su Kiat telah memiliki ilmu silat cukup kuat sebagai murid pilihan Cin-ling-pai sedangkan Hui Lian merupakan gadis cilik yang belum pernah belajar ilmu silat. Kini Hay Hay terkejut dan i harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia hanya main elak dan tangkis saja, akhirnya dia akan terancam bahaya besar. Maka, setelah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus, barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu dia tidak boleh main-main, begitu membalas dia sudah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang! Ilmu ini adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah hebat bukan main walaupun hanya terdiri dari delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang, menjadi hebat bukan main! Begitu Hay Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ke tiga belas, disertai pengerahan sin-kang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis, merasa seperti dilanda badai dan betapa pun dia bertahan, tetap saja tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Dia terhuyung dan akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan sampai terbanting. Melihat betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya. "Engkau melukai suamiku…!" bentaknya marah. Hay Hay terkejut, akan tetapi tidak mengelak dan menerima tamparan itu dengan pundaknya. “Plakk!" Dan tubuh Hay Hay terpelanting! “Sumoi, jangan…!” Ciang Su Kiat membentak. "Aih, Suheng, engkau tidak apa-apa?" Hui Lian membalik dan girang melihat suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah. "Aku tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?" "Kukira... kukira dia telah melukaimu, Suheng…" kata Hui Lian menyesal. Su Kiat menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya. Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan sedikit darah. "Saudara Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku…” Hay Hay tersenyum. "Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah melihat jantannya diganggu!" "Ah, Hay Hay, kaumaafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan menyesal ia meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa pundak yang ditamparnya tadi. Su Kiat tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, dan dia pun merangkul Hay Hay. "Sungguh, engkau seorang pemuda hebat, Hay Hay! Engkau memang patut mendapatkan perhatian dan kasih sayang setiap orang wanita. Engkau begini lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang mencurigaimu. Maafkan aku." Hay Hay tertawa gembira dan dia pun merangkul kedua orang itu seperti dua orang sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, ke arah Hui Lian. "Enci, pilihanmu yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami yang hebat, berkepandaian .tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang isteri yang tiada keduanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian!" Dia pun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga gembira sekali. “Nah, Hay Hay, mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi terganggu." kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga tersenyum. "Engkau datang darimana dan hendak ke mana?" Hay Hay mengangkat tangan dan mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang menegur. "Ih, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri. Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan…." "Ahhh….! Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?" Hui Lian memotong. "Benarkah engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya. Kini Hay Hay memandang mereka dengan mata terbelalak. "Wah, kalian ini bukan saja suami isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai meramal dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin Lam-hai Giam-lo?" "Tentu saja kami dapat menduga karena kami sendiri pun sedang menuju ke sana. Kami sudah mendengar akan persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!" kata Ciang Su Kiat. "Musuh besar kalian?" "Dialah yang membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu dapat menghindarkan diri dan akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah di mana dia bersembunyi." kata Hui Lian. "Baru beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia kini memimpin sebuah persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya hendak mengadakan pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu. Yang penting, kami harus mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami belasan tahun yang lalu,” sambung Su Kiat. "Dan engkau sendiri, apa yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian. Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di rumah Jaksa Kwan. "Engkau tentu masih ingat, Enci Hui Lian, tentang mustika batu kemala milik Jaksa Kwan itu? Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu kepadaku dan di sana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat yang lihai. Di antara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak akan dihancurkan pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Aku pun lalu berangkat dan sampai di sini, tertarik oleh keindahan telaga, aku lalu berhenti dengan maksud untuk menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan." "Hemm, kalau begitu, kami pun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat. "Kebetulan sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Demikianpun kami, Hay Hay. Kami melihat telaga ini dari atas ketika akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga tertarik dan singgah di sini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan itu!” kata Hui Lian gembira. Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum Dia maklum bahwa biarpun Su Kiat kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan tentu akan timbul kembali cemburunya kalau dia melakukan perjalanan bersama mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian. Tidak, dia tidak akan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri yang saling mencinta itu. "Kurasa sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih mudah melakukan penyelidikan kalau kita berpencar? Kita tentu akan saling jumpa di sana dan dapat saling membantu." katanya. Su Kiat mengangguk-angguk. “Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka keadaan di sana itu amat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak musuh." Hui Lian nampak kecewa akan tetapi ia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak suaminya. "Kami sudah berada di sini tiga hari, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan. Kami akan berangkat lebih dulu." Kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu. Hay Hay cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Biarpun dia sudah berhasil mengusir bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetap saja dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah kesepian. Akhirnya dia pun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lalu dia menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari tempat ramai, berjalan-jalan di bagian tepi telaga, yang penuh dengan pohon-pohon rindang. Di situ sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari yang terik. Tidak ada seorang pun di situ, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, merupakan perahu-perahu yang nampak kecil dan memenuhi permukaan telaga di sebelah sana dan di tengah telaga. Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi. Perahu-perahu yang tidak memakai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai berkurang. Tentu mereka yang mempergunakan perahu-perahu terbuka itu kepanasan dan sudah mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada biliknya sajalah yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya asyik sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur. Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sejak pertemuannya dengan para pendeta Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tidak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengintaian. Bahkan ketika dia bertanding melawan Ciang Su Kiat, banyak mata menonton dari jarak aman. Makin teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka takuti itu, menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian lihai pun masih mampu menang! Sebagian dari mereka sudah lama memberi laporan kepada Lam-hai Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu. Dan Lam-hai Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran lalu dia mengutus dua orang pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu. "Kalau dia benar selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah agar dia dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita." Lam-hai Giam-lo memesan kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Kalau kiranya tidak mungkin, daripada dia menjadi ancaman bagi kita, bunuh saja dia." Dengan penuh semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main. "Hay Hay….!" desis Ji Sun Bi dari tempat ia mengintai. "Pemuda setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar. Mereka sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi bahkan memiliki ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang ahli sihir itu tidak mampu menandinginya! Bahkan kini guru dan murid itu sendiri saling pandang dengan sikap ragu- ragu dan was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan, Hay Hay. "Kita harus minta bala bantuan." Kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa malu-malu lagi. Ji Sun Bi mengangguk. "Benar, dan kurasa hanya ada dua orang saja di antara perserikatan kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri, akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan ke dua adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya ke sini untuk memperkuat kita.” Min-san Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang kini dikenal sebagai Sim Ki liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tidak berapa jauh lagi dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan. Dan karena Hay Hay mengambil keputusan untuk tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning dan berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba di situ bersama Ji Sun Bi sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu. Pada hari terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu, dia melihat bahwa di bagian ini justeru banyak sekali ikannya, dan dia ingin sekali mengail ikan di situ dan kalau mendapatkan ikan lalu dipanggangnya di situ pula. Untuk keperluan ini dia sudah membawa bumbu dan gatam dari rumah penginapan. Akan tetapi sial baginya. Sampai satu jam lebih dia duduk di situ, tak seekorpun ikan mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlampau pagi dan agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan. "Huh, apakah kalian masih tidur? Ataukah belum waktunya sarapan pagi? Atau pergi melancong sekeluarga kalian?" Hay Hay mengomel panjang pendek akan tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan tidur? Dan dia termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur? Apakah juga ada waktu makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali? Ataukah asal lapar lalu makan tanpa waktu? Dan pernahkan keluarga ikan itu bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya? Gambaran ini demikian menggelitik hatinya sehingga dia pun tertawa dengan bebas karena ditempat itu tidak terdapat orang lain. "Ha-ha-ha, engkau sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi. Memancing adalah suatu pekerjaan yang mengasyikkan. Kalau dia tidak membiarkan pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan kalau semua perhatiannya ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, keadaannya hampir sama dengan kalau dia bersamadhi. Tenang dan damai, demikian keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan. Dia menjadi lupa waktu, lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah lewat pula dan kini sinar matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai ada yang menciumnya! Tentu saja seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis menuju ke tempat dia mengail. Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai mencium umpannya itu tiba-tiba melepaskan umpan dan permukaan air berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air. "Haiii….!" Dia mengangkat mukanya dan berteriak marah. "Apakah engkau tidak tahu bahwa di sini ada orang sedang mengail ikan? Engkau datang mengganggu sehingga ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan pancingku, kini lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!" Perahu itu telah datang dekat, dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu bangkit berdiri. Karena orang itu tadinya tertutup mukanya oleh sebuah caping lebar pelindung muka itu dari panas matahari, maka setelah orang itu berdiri dan mendorong caping ke belakang, baru nampak oleh Hay Hay bahwa penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang tersenyum manis sekali! Gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaian dan wajahnya sederhana, namun tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajah yang sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang amat kuat, mungkin karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu. "Maaf, aku tidak tahu bahwa aku mengganggumu." kata gadis itu, dan suaranya juga lunak halus. "Maaf, maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh? Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau telah merampas sedikitnya seekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus. Gadis itu masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan. "Ah, kalau begitu aku berhutang seekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang itu!" Gadis itu masih berdiri di atas perahunya, dan dayung itu dipegangnya dengan tangan kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang lagi setelah berhenti meluncur. Tiba-tiba dayungnya menyambar ke bawah, terdengar air terpukul dan gadis itu berjongkok, lalu tangan kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati terpukul dayungnya. "Nah, inilah hutangku padamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke darat, di belakang Hay Hay. Melihat ini Hay Hay terbelalak dan dia semakin tertarik. Gadis remaja yang lembut dan halus sikap dan tutur sapanya itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu kepandalan hebat sehingga dengan mudah dapat menangkap seekor ikan yang dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena agaknya gadis itu hendak memamerkan kepandaiannya. "Hemm, aku ingin mengail, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap ikan semudah seperti yang kaulakukan itu!" Hay Hay bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan tangkai pancirignya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang menggelepar-gelepar. Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk! "Ah, kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi aku telah mengganggu tanpa kusengaja." Gadis itu memberi hormat dari perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke tengah. "Heiii, Nona! Nanti dulu!” Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah padaku dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!" Gadis itu menahan perahunya, alisnya berkerut karena ia mengira bahwa pemuda di pantai itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut penuh kegembiraan, ia bertanya. "Aku memang bersalah, akan tetapi tidak kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kaujatuhkan kepadaku?" "Lihat!" Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi. "Karena ulahmu di sini empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau tidak dimakan dagingnya, itu namanya suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Karena itu, aku akan menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini lezat sekali!" Lenyaplah kerut-merut pada alis gadis itu dan ia pun tertawa, lalu mendayung perahu ke tepi. "Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum. "Aku pun lapar sekali!" Ia meloncat ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan bahwa ia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat. Mereka kini berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, dan tubuhnya indah, memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai bunga yang tidak begitu harum. Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga sederhana yang amat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar dan membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya. Sepasang matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu tersenyum ramah, wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagaikan setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sederhana, namun bahkan menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar Agaknya masing-masing merasa puas dengan apa yang mereka pandang dan nilai, karena keduanya tersenyum dan gadis itu berkata, "Mari kubantu engkau memanggang ikan." Keduanya tidak banyak cakap, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu, membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga dan melumurinya dengan bumbu yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tak lama kemudian masing-masing memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan terciumlah bau yang sedap. "Aduh sedapnya…! Perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali. "Ha-ha-ha, air liurku tak dapat kutahan lagi!" Hay Hay juga berkata dan dia tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira dan indah. Bukan main! Tak lama kemudian, keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu dan terasa gurih, manis dan lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Ia memiliki watak yang terbuka dan polos, namun lembut, tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak, walaupun kadang-kadang sinar matanya mencorong penuh wibawa. Sebentar saja, daging ikan-ikan itu telah habis, tinggal kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja. "Sayang tidak ada minuman…" "Jangan khawatir, Nona. Aku membawa sebotol anggur." Hay Hay mengeluarkan botol anggur dari buntalannya. "Aku kurang begitu suka minum arak." "Ini bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tidak memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!" Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka tutupnya. Gadis itu mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya. "Hemm, baunya memang harum. Akan tetapi mana cawannya? Akan kucoba sedikit, untuk menghilangkan amis ikan tadi dari mulut.” "Aku tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?" "Ihh, mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan panggang ikan." "Apa salahnya? Mulutku juga." kata Hay Hay. Gadis itu tersenyum, kemudian menuangkan isi botol itu, diterima oleh mulutnya yang terbuka sehingga ia dapat minum anggur itu tanpa menyentuh bibir botol dengan bibirnya. Melihat mulut gadis itu terbuka, melihat rongga mulut yang merah sehat, gigi yang putih berkilau dan lidah yang merah jambu, bibir yang basah kemerahan pula, Hay Hay menelan ludah. Seorang gadis yang sehat dan bersih, dan memiliki daya tarik yang amat kuat justeru oleh kesederhanaannya! "Hemm, engkau terlalu sopan, Nona." katanya setelah gadis itu mengembalikan botol anggur. Gadis itu tidak menanggapi, melainkan memuji. "Anggurmu sungguh enak." "Dan ini untuk mencuci dan menyegarkan mulut!" kata Hay Hay, mengeluarkan empat buah pir dan memberikannya kepada gadis itu dua buah. Wajah itu nampak berseri. "Heii! Engkau seperti tahu saja akan buah kesukaanku!" teriaknya dan ia pun segera makan buah pir yang banyak airnya itu, segar dan manis rasanya, dan memang merupakan pencuci mulut yang segar untuk menghilangkan amis dan dari daging ikan tadi. Mereka kini makan buah dan duduk berhadapan di atas rumput. Tiba-tiba Hay Hay tertawa, "Sungguh lucu sekali!" "Apanya yang lucu?" Gadis itu bertanya heran lalu memandangi tubuhnya, membereskan rambutnya yang agak awut-awutan karena ia mengira dirinya yang nampak lucu. "Kita sudah menangkap ikan bersama, makan ikan dan minum anggur, kini makan buah bersama, seperti dua orang sahabat karib yang saling mengenal selama bertahun-tahun. Padahal kita baru saja saling jumpa secara kebetulan, bahkan kita belum mengenal nama masing-masing. Apakah kaukira tidak sepatutnya sudah kalau kita saling memperkenalkan nama? Namaku adalah Hay Hay." "Dan namaku Ling Ling." "Heii! Nama kita juga mirip, hanya satu suku kata yang diulang. Ling Ling, nama yang indah dan manis sekali, sesuai dengan orangnya!" Ling Ling adalah Cia Ling, puteri tunggal dari Cia Sun. Seperti telah kita ketahui, Cia Ling atau panggilannya Ling Ling ini meninggalkan tempat tinggal ayahnya di dusun Ciangsi-bun di sebelah selatan kota raja, berkunjung ke Cin-ling-pai. Kemudian ia meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanannya merantau dan mencari pengalaman sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanannya inilah ia mendengar akan persekutuan para tokoh dunia hitam yang kabarnya bersarang di dataran tinggi Yunan. Ia merasa tertarik. Persekutuan orang jahat itu tentu akan ditentang oleh para pendekar, pikirnya, mengingat akan cerita ayahnya tentang pengalaman ayahnya dahulu ketika masih muda, di mana para pendekar selalu siap untuk menentang gerakan para penjahat di dunia kang-ouw. Inilah kesempatan baik untuk meluaskan pengetahuan, pikirnya. Demikianlah, gadis gagah perkasa ini tanpa ragu lagi lalu melakukan perjalanan menuju ke selatan, ke Yunan. Dan ketika tiba di Telaga Cou, dara perkasa ini tertarik sekali dan menyewa perahu kecil sampai perjumpaannya yang tak disangka-sangka dengan seorang pemuda yang aneh dan menarik hatinya. Gadis ini mengalami cukup banyak godaan dan halangan di sepanjang perjalanannya, namun berkat ilmu silatnya yang tinggi, ia mampu mengatasi semua halangan, bahkan banyak menghajar orang-orang jahat yang berani mengganggunya, baik untuk merampok perbekalannya atau pun untuk mengganggu dirinya sebagai seorang gadis muda yang cukup menarik dan yang melakukan perjalanan senditian saja. Kini, mendengar kata-kata Hay Hay yang mengatakan bahwa namanya indah dan manis sekali sesuai dengan orangnya, gadis ini memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan sepasang alisnya berkerut sedikit. Namun, suaranya masih terdengar lembut dan sabar ketika ia bertanya. "Apa maksudmu?" Ia mulai merasa.curiga, mengira bahwa Hay Hay tiada bedanya dengan para lelaki yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan yaitu pada akhirnya lelaki-lelaki itu hanya ingin merayunya dan menjatuhkannya! Akan tetapi Hay Hay tersenyum lebar dan memandang dengan polos. "Apa maksudku? Sudah jelas. Namamu itu, Ling Ling, terdengar merdu seperti nyayian dan indah manis, seperti pemiliknya. Apakah engkau belum tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang amat menarik, sederhana namun manis dan mengandung daya tarik bagaikan besi sembrani, Adik Ling Ling?" Kalau tadinya Ling Ling sudah siap untuk menegur atau bahkan menghajar pemuda itu andaikata berani kurang ajar, kini gadis itu bimbang. Pemuda ini memang memujinya, bahkan kata-katanya mirip rayuan akan tetapi pandang matanya dan suaranya sama sekali bukan seperti para pria lain yang hendak berkurang ajar kepadanya. Mata itu demikian polos, dan suaranya juga datar saja seolah-olah bicara tentang kecantikannya merupakan hal yang lumrah dan sewajarnya, seperti seorang memuji keindahan setangkai bunga saja! Karena itu, ia pun tidak dapat marah, melainkan mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik. "Hemm, baru sekarang ada orang mengatakan bahwa aku manis menarik. Hay-ko (Kakak Hay ), katakan, apanya sih yang manis menarik?" Senang hati Hay Hay disebut Hay-ko setelah tadi dia menyebut Ling-moi (Adik Ling), terdengar demikian akrab dan mesra, seperti kakak beradik, atau seperti... pacar saja! "Ha-ha, apamu yang menarik, Ling-moi? Entahlah, sukar untuk menentukan. Mungkin matamu yang lembut itu, atau mulutmu yang selalu tersenyum atau juga hidungmu yang cupingnya dapat kembang kempis lucu, atau rambutmu yang hitam panjang awut-awutan itu. Atau kesemuanya ditambah kesederhanaanmu, kelembutanmu, pakaianmu yang sederhana namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhmu, waah, pendeknya engkau manis menarik!" Kini Ling Ling tertawa. Bukan, bukan perayu kurang ajar yang mempunyai niat buruk, pikirnya. Pemuda ini lain sama sekali daripada para pria lainnya. Pria lainnya yang dijumpai, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas membayangkan kebangkitan nafsu berahi, senyum-senyum buatan untuk memikat, kata-kata rayuan yang juga isinya penuh dengan daya pikat, mata dan mulut yang jelas mengandung kekurangajaran. Akan tetapi pemuda ini lain sama sekali. Biarpun rayuannya maut, lebih manis dan menyenangkan dibandingkan semua rayuan yang pernah didengarnya, namun sinar mata pemuda ini polos dan bersih dari nafsu, dan tidak ada nampak bayangan keinginan untuk memikat, apalagi kurang ajar. Maka ia pun tertawa. "Hi-hik, Hay-ko, engkau sungguh seorang perayu besar! Rayuanmu yang maut itu bisa membuat kepala seorang gadis menjadi tujuh keliling dan membuat ia bertekuk lutut dan taluk kepadamu! Apakah engkau seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu wanita?" Hay Hay menarik napas panjang. "Sudah mejadi nasibku barangkali, sudah suratan takdir bahwa selama hidupku, aku akan dicap sebagai seorang laki-laki mata keranjang! Hampir semua wanita menganggap aku mata keranjang dan perayu besar!" "Tapi engkau memang perayu besar, Hay-ko. Selama hidupku, belum pernah aku dipuji laki-laki seperti yang kaulakukan tadi!" Ling Ling berkata, akan tetapi sambil tersenyum Kembali Hay Hay menarik napas panjang. "Itulah nasibku! Aku sama sekali tidak pernah merayumu, Ling-moi. Aku hanya jujur dan terus terang saja, mengatakan apa adanya. Memang engkau manis menarik, habis aku harus berkata bagaimana?" "Apakah engkau selalu memuji setiap orang wanita yang kaujumpai?" “Iya, sebagian besar. Karena bagiku, setiap orang wanita itu seperti juga bunga. Bunga itu bermacam-macam, baik bentuknya maupun warnanya, akan tetapi adakah bunga yang buruk? Semua indah dan semua cantik, dalam coraknya sendiri, memiliki keistimewaan sendiri. Dan aku memandang wanita seperti memandang bunga, aku selalu kagum akan keindahan seorang wanita seperti kagum kepada keindahan bunga. Salahkah kalau aku memuji keindahan itu?" "Memuji keindahan bunga lalu ingin memetiknya?" "Ah, tidak! Aku bukan perayu, Ling-moi! Aku suka akan keindahan, bagaimana mungkin aku ingin merusak keindahan itu? Tidak, aku hanya cukup puas dengan memandangnya, mengamati dan mengagumi kecantikannya." Ling Ling memandang kagum. "Engkau seorang laki-laki yang aneh, terlalu jujur dan tentu banyak mengalami hal-hal yang menyusahkan karena kejujuranmu itu, Hayko." Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang parau dan kasar, "Heh-heh, kiranya engkau sudah berada di sini, Nona manis!" Hay Hay masih duduk dan hanya memutar tubuh untuk memandang saja. Akan tetapi Ling Ling sudah meloncat dan bangkit berdiri. Hay Hay memperhatikan tiga orang yang muncul itu. Mereka itu adalah tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh dan lima puluh tahun. Ketiganya mengenakan pakaian serba putih! Yang dua orang bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat, dengan lengan berotot dan sepasang mata yang liar, muka mereka kehitaman, seorang berjenggot panjang dan seorang lagi tanpa jenggot. Orang ke tiga, yang pakaiannya juga putih seperti dua orang terdahulu, lebih tua beberapa tahun, akan tetapi orang ke tiga ini bertubuh pendek gendut seperti bola. Yang membuat Hay Hay terkejut adalah muka orang ini, karena muka ini agak pucat. Hal ini bukan berarti bahwa orang gendut itu berpenyakitan. Kepucatan mukanya berbeda dengan pucatnya orang yang tidak sehat. Hay Hay mengenal orang itu sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi hanya dengan melihat mukanya. Dia pernah mendengar dari para gurunya bahwa di dunia kang-ouw banyak terdapat ilmu sesat di antaranya latihan hawa sakti yang dapat membuat wajah orang itu menjadi pucat, akan tetapi semakin pucat wajahnya, semakin kuat sin-kang sesat yang dilatihnya. Dugaan Hay Hay ini memang tepat. Tiga orang itu adalah anggauta perkumpulan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis), sebuah perkumpulan di Lembah Iblis yang berada di lereng Gunung Hong-san. Perkumpulan.Kui-kok-pang ini dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kim San, seorang yang berilmu tinggi dan mukanya sepucat mayat. Seperti juga ketuanya, semua anggauta Kui-kok-pang mengenakan pakaian serba putih, dan ketinggian tingkat mereka dapat dilihat dari keadaan muka mereka. Yang iebih pucat berarti lebih tinggi kedudukannya dan ilmu kepandaiannya. Dua orang tinggi besar yang mukanya kehitaman, dengan kepucatan yang hampir tidak nampak karena kulit muka yang hitam, menunjukkan bahwa mereka berdua adalah anggauta-anggauta biasa saja yang masih rendah tingkatnya, dan mereka lebih mengandalkan tenaga otot daripada tenaga sakti. Akan tetapi orang ke tiga, yang bertubuh pendek gendut seperti bola, mukanya pucat dan ini menunjukkan bahwa tingkatnya lebih tinggi daripada kedua orang temannya yang bermuka hitam. Ketika mendengar teguran parau dan kasar tadi, Ling Ling cepat menengok. Ketika melihat dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya kehitaman, seketika wajah Ling Ling berubah merah dan ia pun meloncat bangun, berdiri sambil bertolak pinggang, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ketika memandang kepada mereka. "Hemm, kiranya kalian anjing-anjing hitam yang kurang ajar itu berani muncul kembali! Apakah kalian masih belum jera dan.minta dihajar lagi?" kata Ling Ling. Dua orang laki-laki muka hitam itu saling pandang, kemudian mereka menoleh kepada laki-laki perut gendut sambil berkata. "Nah, engkau dengar sendiri, Suheng! Ia memang seorang gadis yang sombong dan memandang rendah kepada kita!" kata Si Hitam yang berjenggot kambing. Si Pendek perut gendut melangkah maju menghadapi Ling Ling. Sejenak dia tidak bicara apa pun, hanya mengamati wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong, kemudian dia berkata, suaranya kecil seperti suara tikus terpencet, sehingga terdengar lucu dan berlawanan dengan tubuhnya yang gendut. "Nona, agaknya engkau tidak tahu, bahwa kami adalah orang-orang Kui-kok-pang! Agaknya Nona baru saja memasuki dunia kang-ouw, seperti burung yang baru belajar terbang sehingga tidak mengenal kami. Oleh karena itu, kalau Nona mau bersikap manis dan minta maaf, kami pun akan menyudahi urusan ini dan menganggap bahwa Nona masih kanak-kanak yang tidak tahu akan kebesaran Kui-kok-pang." Mendengar disebutnya nama Kui-kok-pang, diam-diam Hay Hay terkejut karena dia sudah mendengar akan nama besar perkumpulan itu. Akan tetapi dia harus tahu dulu akan duduk perkaranya sebelum berpihak, maka sebelum Ling Ling yang bersikap tenang namun marah itu menjawab, dia sudah mendahului. "Ling-moi, apakah yang telah terjadi antara engkau dengandua orang saudara dari Kui-kok-pang ini?" Ling Ling yang sudah siap menjawab kata-kata Si Gendut pendek itu dengan kata-kata keras, mendengar pertanyaan Hay Hay, lalu menoleh kepada pemuda itu. "Hay-ko, aku tidak tahu apakah dua orang jahanam ini anggauta Perkumpulan Lembah Iblis, atau perkumpulan apa, akan tetapi kemarin sore, ketika aku memasuki kota, di tengah perjalanan di luar kota itu, mereka menghadangku dan bersikap kurang ajar, hendak mengganggu aku. Tentu saja aku menghajar mereka sampai mereka lari tunggang-langgang seperti dua ekor anjing dipukul. Dan sekarang, mereka muncul lagi bersama seekor anjing gemuk lainnya yang agaknya hendak menggonggong lebih keras daripada mereka." Hay Hay menahan senyum karena geli hatinya. Kini dia tahu bahwa dua orang Kui-kok-pang yang bertubuh tinggi besar itu, seperti kebanyakan pria yang kasar dan kurang ajar, kemarin mencoba mengganggu Ling Ling yang dianggapnya seorang gadis cantik yang lemah. Mereka tertumbuk batu karang dan dihajar,dan kini mereka datang dengan seorang kawan mereka yang mereka sebut suheng, tentu untuk membalas dendam kepada gadis itu. Hay Hay maklum bahwa kalau dibiarkan saja, tentu Ling Ling akan berkelahi melawan tiga orang Kui-kok-pang itu, maka dia lalu menghadapi laki-laki pendek gendut, menjura dan berkata dengan ramah. "Sobat, kalau adikku ini telah kesalahan tangan terhadap dua orang saudaramu ini, biarlah aku yang memintakan maaf, harap urusan ini dihabiskan sampai di sini saja." Si Pendek Gendut itu memandang sejenak kepada Hay Hay, lalu dengan alis berkerut dia pun berkata, nada suaranya penuh ketinggian hati. "Orang muda, aku tidak tahu siapa engkau dan mengapa pula engkau mencampuri urusan kami. Nona ini yang telah menghina orang-orang kami, maka ialah yang harus minta maaf sendiri dan membuktikan penyesalannya dengan menghibur kami selama sehari semalam. Baru kami mau sudah. Kalau tidak begitu, biar ada seribu orang yang memintakan maaf, kami tidak akan mau menerimanya." Sikap Si Pendek Gendut itu demikian sombong dan Ling Ling sudah menjadi semakin marah saja. "Hay-ko, jangan mencampuri urusan ini. Biar kuhajar manusia busuk ini!" bentak Ling Ling dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Si Pendek Gendut itu. "He, babi gendut, jangan engkau membuka mulut sembarangan saja kalau tidak ingin aku menghancurkan mulutmu yang busuk!" Muka yang pucat itu mendadak menjadi merah sekali, akan tetapi segera menjadi pucat kembali, dan sepasang mata yang sipit dari Si Pendek Gendut itu seperti mengeluarkan sinar berapi. Mendengar makian gadis itu, dia marah sekali. Tadinya dia mengira bahwa setelah mendengar nama besar Kui-kok-pang, gadis itu akan menjadi ketakutan dan menyerah. Tak tahunya gadis itu malah memakinya babi gendut! Padahal dia adalah seorang tokoh Kui-kok-pang, tingkat tiga yang ditakuti orang karena ilmu kepandaiannya sudah tinggi. Di bawah Ketua Kui-kok-pang, hanya ada tiga orang yang bertingkat dua sebagai pembantu-pembantu utama ketua, dan hanya ada lima orang, termasuk dia, yang menduduki tingkat ketika sebagai orang-orang yang dipercaya ketua dan sering bertindak sebagai utusan atau wakil ketua. Dan kini, gadis manis ini berani menghinanya setelah dia tertarik dan ingin memiliki gadis ini untuk menghibur hatinya. "Bocah sombong, berani engkau menghina tuanmu? Agaknya engkau sudah bosan hidup!" Nafsu berahinya yang tadi timbul setelah dua orang anak buahnya membawanya menemui gadis yang pernah menghajar mereka itu, kini lenyap sama sekali oleh penghinaan yang dilontarkan Ling Ling, berubah menjadi kemarahan dan kebencian yang berbau darah dan maut. Begitu kata-katanya berhenti, tubuhnya sudah menerjang dengan dahsyatnya ke depan, kedua tangannya membentuk cakar dan menyerang dengan cakaran dan cengkeraman seperti seekor biruang marah. Dari kerongkongannya juga keluar gerengan seperti binatang buas. Akan tetapi, dari kedua tangan yang membentuk cakar itu, menyambar hawa yang amat kuat, didahului uap putih dan bau yang amis seperti darah! Melihat serangan ini, terkejutlah Hay Hay karena dia mengenal serangan ilmu pukulan yang mengandung racun dan amat jahat, ciri khas pukulan yang biasa dipergunakan para tokoh golongan hitam. Hampir dia berteriak memperingatkan Ling Ling, bahkan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang karena dia pun siap untuk melindungi gadis itu dari serangan dahsyat lawannya, kalau saja dia tidak melihat gerakan Ling Ling yang membuat dia terbelalak. Dengan amat mudahnya, ringan dan bagaikan bulu tertiup angin, gadis itu menggerakkan kakinya dan terkaman yang dahsyat itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya! Yang membuat Hay Hay terbelalak heran bukan karena melihat kelihaian Ling Ling. Sudah banyak dia bertemu gadis yang berilmu tinggi, maka dia tidak akan heran melihat munculnya gadis-gadis lihai lainnya lagi. Akan tetapi dia terbelalak heran karena dia mengenal gerak langkah kaki yang dipergunakan Ling Ling untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat Si Pendek Gendut tadi. Itulah Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Tak salah lagi, walaupun belum scmpurna benar, namun mudah dikenal langkah-langkah rahasia itu! Padahal, ilmu langkah ajaib itu adalah ciptaan gurunya See-thian Lama atau juga yang disebut Go-bi San-jin! Bagaimana gadis itu mampu memainkan langkah ajaib itu? Dan kini lenyapnya kekhawatiran dari hati Hay Hay. Bukan saja gadis itu pandai ilmu Jiauw-pouw-poan-soan yang akan membuat gadis itu pandai menyelamatkan diri dari serangan yang betapa hebat pun, juga gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebat. Dan ketika gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang mengeluarkan angin keras mencicit tanda bahwa telapak tangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat, Hay Hay menahan seruan kagum. Tadi, ketika gadis itu menangkap ikan dengan dayungnya, dia sudah menduga bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian silat. Akan tetapi, perbuatan menangkap ikan itu mudah saja dan dia tidak mengira bahwa gadis itu ternyata memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan dapat memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan! Kini dia tidak khawatir lagi, bahkan mengkhawatirkan nasib Si Pendek Gendut karena dia pun tahu bahwa Ling Ling jauh lebih lihai dibandingkan lawannya. Si Pendek Cendut juga terkejut ketika melihat tamparan gadis itu mengandung angin pukulan bercuitan mengejutkan. Dia mencoba untuk mengelak, bahkan menangkis untuk kemudian dilanjutkan cengkeraman pada lengan Ling Ling. Akan tetapi, begitu lengannya tersentuh lengan Ling Ling yang mengandung kekuatan Thian-te Sin-kang, tubuh Si Gendut itu terjengkang ke belakang dan di lain saat tubuh itu sudah menggelundung seperti sebuah bola ditendang! Akan tetapi, dia sudah meloncat bangun lagi dengan muka merah dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu sebuah pedang pendek yang berwarna hitam, tanda bahwa pedang itu agaknya sudah sering kali dilumuri racun! Dua orang anggauta Kui-kok-pang yang tinggi besar dan berkulit hitam, ketika melihat betapa suheng mereka dalam beberapa jurus saja sudah terjengkang, segera mencabut golok masing-masing dan mereka pun maju mengepung! Gadis itu dikepung tiga orang lawan yang kesemuanya bersenjata tajam! Namun, Ling Ling berdiri tegak sambil bertolak pinggang dengan kedua tangannya, tenang-tenang saja dan tersenyum, seperti seorang guru melihat tingkah tiga orang anak kecil yang bandel dan nakal! Hay Hay juga memandang dengan tersenyum. Dia masih percaya penuh bahwa gadis itu akan mampu melindungi dirinya. Dengan Jiauw-pouw-poan-soan saja, dia percaya gadis itu akan mampu menghindarkan diri dari kepungan tiga batang senjata tajam itu. Apalagi agaknya gadis itu memiliki lain-lain ilmu yang juga amat hebat. Dugaan Hay Hay memang tidak meleset. Tingkat kepandaian Si Pendek Gendut bersama dua orang pembantunya itu masih jauh di bawah tingkat Ling Ling yang sejak kecil menerima gemblengan ayah ibunya. Ketika Si Pendek Gendut menyerang dengan pedangnya, dan dua orang pembantunya juga, menerjang dengan golok mereka, tiba-tiba saja mereka bertiga itu terkejut karena melihat gadis itu menyelinap dan hanya nampak bayangan berkelebat dan orangnya sudah lenyap. Ketika Si Gendut membalik, gadis itu sudah berada di belakangnya, berdiri dengan santai dan tersenyurn manis! Dia membalik, pedangnya membacok lagi dengan golok mereka. Menghadapi pengeroyokan dengan senjata ini, Ling Ling kembali menyelamatkan diri dengan langkah-langkah anehnya. Tubuhnya bergeser ke kanan kiri, memutar dan dara itu sudah keluar dari kepungan tiga senjata tajam. Melihat betapa di antara tiga orang lawannya, yang paling kuat adalah Si Pendek Gendut, maka ia lalu menyerang dengan totokan jari telunjuk. Cepat sekali jari telunjuknya mencuat dan menotok ke arah pundak Si Gendut Pendek. Totokan ltu cepat bukan main dan tak mungkin dapat dihindarkan oleh lawan. Itulah Ilmu Thiam-hiat-hoat (menotok jalan darah) yang amat ampuh, yaitu It-sin-ci (Satu Jari Sakti). Begitu pundaknya tersentuh telunjuk kiri gadis itu, seketika Si Pendek Gendut merasa betapa tubuhnya lemas kehilangan tenaga. Pedangnya terlepas dan tubuhnya terkulai jatuh. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah dia bergulingan dan tak lama kemudian dapat meloncat bangkit kembali sambil menyambar pedangnya yang tadi terlepas. Hal ini mengejutkan hati Ling Ling, juga mengherankan hati Hay Hay. Jelaslah bahwa Si Pendek Gendut itu tadi terkena totokan yang lihai dan melihat dia terkulai, hal itu berarti bahwa totokan mengenai sasarannya dengan tepat. Akan tetapi bagaimana mungkin begitu terkulai jatuh, Si Pendek Gendut itu dapat meloncat bangun kembali setelah bergulingan ? Baik Hay Hay maupun Ling Ling tidak tahu bahwa Kui-kok-pang adalah sebuah perkumpulan golongan sesat yang pernah dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi. Beberapa macam ilmu aneh diturunkan oleh para pimpinan itu, dan Si Pendek Gendut itu ternyata telah pula mewarisi sebuah di antara ilmu-ilmu aneh, yaitu yang disebut Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi. Ilmu ini adalah semacam ilmu kekebalan terhadap totokan lawan. Biarpun tadinya tubuh telah terpengaruh totokan lihai, asal tubuh itu dapat rebah di atas tanah, maka akan timbul kekuatan sehigga dia dapat bergulingan dan pengaruh totokan itu pun akan membuyar dengan sendirinya! Kui-kok-pang didirikan oleh sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Si Suami berjuluk Kui-kok Lo-mo, dan isterinya Kui-kok Lo-bo, yaitu kakek dan nenek Lembah Kui-kok. Mereka selalu berpakaian putih dan muka kedua orang suami isteri ini pun putih seperti muka mayat, dengan mata mencorong. Ilmu kepandaian suami isteri ini hebat bukan main, dan nama Kui-kok-pang perkumpulan yang mereka dirikan, amat terkenal di dunia persilatan. Akan tetapi, suami isteri ini, di dalam kebesarannya, bernasib sial karena bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis, dua orang tokoh yang menjadi datuk terbesar di dunia hitam sehingga Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo tewas di tangan Ratu Iblis yang sakti. Kini yang menjadi Ketua Kui-kok-pang adalah Kim San, seorang murid suami isteri itu yang paling banyak mewarisi ilmu kepandaian mereka. Kui-kok-pang bangkit kembali dan kini menyusun kekuatan dengan bekerja sama di bawah pimpinan Lam-hai Giam-lo. Seperti para pembantu lain yang bersekutu di dalam gerornbolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, para tokoh Kui-kok-pang tidak ketinggalan bekerja keras untuk menggembleng anak buah mereka, juga seperti para pembantu lain, berkeliaran mencari teman baru untuk ditarik menjadi anggauta kelompok mereka untuk memperkuat pasukan yang sedang mereka susun. Si Gendut Pendek bersama beberapa orang anak buahnya juga sedang bertugas mencari teman ketika mereka berkeliaran sampai ke daerah T elaga Cao. Dua orang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, bertemu dengan Ling Ling di tengah jalan yang sepi. Melihat seorang dara muda yang cantik melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menimbulkan nafsu kedua orang anggauta Kui-kok-pang yang sudah. biasa melakukan segala jenis kejahatan itu. Mereka bermaksud menggoda, akan tetapi mereka kecelik dan akibat dari godaan itu, mereka berdua dihajar oleh Ling Ling sehinnga mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan babak-belur. Mereka lalu mengadu kepada pimpinan mereka, yaitu Si Pendek Gendut. Orang ini adalah seorang laki-laki yang lemah terhadap wanita cantik. Mendengar bahwa dua orang anak buahnya baru saja dihajar oleh seorang gadis cantik, hatinya merasa penasaran dan bersama kedua orang anak buahnya itu, dia pun segera mencari gadis itu dan akhirnya dapat menemukan Ling Ling sedang bercengkerama dengan Hay Hay. Demikianlah sedikit tentang Kui-kok-pang. Tidak mengherankan kalau Si Pendek Gendut itu mampu membebaskan pengaruh totokan It-sin-ci dari Ling Ling karena kebetulan dia mewarisi satu di antara ilmu-ilmu yang aneh, yang ditinggalkan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, yaitu Ilmu Kekebalan Trenggiling Besi. Kini Si Gendut telah meloncat bangun dan menyerang lagi, diikuti oleh dua orang pembantunya yang menjadi besar hati melihat betapa suheng mereka tadi, biarpun sempat roboh, dapat bangkit kembali dengan cepat dan agaknya hal ini mengejutkan gadis i tu yang memandang dengan mata terbelalak. Memang kebangkitan Si Gendut yang tidak tersangka-sangka itu agak mengejutkan hati Ling Ling, akan tetapi tidak membuatnya menjadi gugup. Begitu melihat tiga orang itu sudah maju lagi menerjangnya, ia menyelinap di antara bayangan tiga buah senjata tajam itu, menggunakan langkah-langkah ajaibnya, dan setelah membiarkan tiga orang lawannya menyerang sampai empat lima jurus dan ia melihat kesempatan terbuka, tiba-tiba sambil membuat gerakan memutar dalam langkah-langkahnya, ia menyerang secara bertubi-tubi ke arah tiga orang lawan itu dengan jurus-jurus cepat dari Ilmu silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang halus dan hebat. Terdengar teriakan-teriakan ketika tubuh tiga orang itu berturut-turut roboh dan dua batang golok terlepas dari pegangan pemiliknya. Tubuh Si Pendek Gendut untuk kedua kalinya roboh. Kembali dia menggunakan ilmunya Trenggiling Besi, bergulingan dan melompat bangun. Akan tetapi melihat betapa dua orang pembantunya begitu dapat bangun terus melarikan diri dengan terpincang-pincang Si Gendut itu pun agaknya sudah kehabisan nyali dan dia pun tanpa banyak cakap lagi sudah memutar tubuh dan melarikan diri menyusul dua orang anak buahnya! Hay Hay tertawa dan bertepuk tangan memuji. Dia merasa kagum sekali, bukan hanya karena kelihaian Ling Ling, akan tetapi terutama sekali dia merasa girang dan kagum karena jelas nampak olehnya betapa di dalam perkelahian itu, Ling Ling telah mengalah dan sama sekali tidak pernah menggunakan tangan besi. Kalau saja gadis itu menghendaki, dengan mudah ia akan mampu merobohkan mereka bertiga untuk tidak dapat bangun kembali, tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi tidak, gadis itu jelas hanya ingin menundukkan mereka tanpa ingin melukai. Ini saja sudah membuktikan bahwa Ling Ling adalah seorang gadis yang memiliki watak halus, penyabar dan sama sekali tidak kejam. Berbeda dengan banyak pendekar wanita yang ringan tangan dan kadang-kadang ganas terhadap penjahat. Gadis ini seorang pemaaf besar! “Hebat sekali, Ling-moi! Engkau membuat aku kagum!” kata Hay Hay memuji. Ling Ling tersenyum. “Apanya sih yang patut dipuji? Biarpun aku belum pernah melihat kepandaianmu, aku berani memastikan bahwa engkau jauh lebih pandai daripada aku, Hay-ko.” “Hemm, darimana engkau dapat memastikan seperti itu, Adikku yang manis?” “Dari sikapmu, Hay-ko, juga ketika engkau menangkap ikan dengan pancinganmu tadi. Engkau bersikap sederhana hanya untuk menutupi kelihaianmu, Hay-ko.” Hay Hay memandang kagum. “Ling-moi, engkau memang seorang gadis yang luar biasa sekali. Aku masih terheran-heran, darimana engkau mahir memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan itu…?” Kini Ling Ling memandang penuh selidik. "Nah, tidak keliru dugaanku. Baru melihat engkau sudah dapat mengenal gerakanku. Betapa tajamnya pandang ma tamu, Hay-ko. MenurutAyah, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan, jarang atau mungkin tidak ada orang yang mengenalnya, dan engkau begitu melihat gerakanku, segera mengenalnya. Aku mempelajarinya dari Ayah, Hay-ko. Dan bagaimana engkau dapat mengenal ilmu kami itu?" Akan tetapi Hay Hay tidak menjawab, melainkan memandang dengan mata terbelalak, lalu bertanya lagi, "Apakah nama keluargamu Cia?" Ling Ling mengangguk heran. Bagaitnana pula pemuda ini tahu atau dapat menduga akan nama keluarganya? "Dan Ayahmu bernama Cia Sun?" Gadis itu bengong, lalu tersenyum. "Wah, ini namanya sudah keterlaluan, Hay-ko. Engkau membuat aku semakin bingung, heran dan penasaran. Engkau dapat mengetahui segalanya tentang diriku. Apakah engkau menguasai ilmu meramal? Jangan membikin aku bingung keheranan, Hay-ko. Bagaimana engkau dapat menduga demikian tepat?" "Karena ilmu langkah tadilah, Ling-moi. Ketahuilah bahwa Ayahmu yang bernama Cia Sun itu adalah Suhengku." "Ahhh…? Bagaimana mungkin? Ayah tidak pernah bercerita bahwa dia mempunyai seorang sute seperti engkau!" "Memang, dia sendiri pun tidak tahu bahwa aku adalah sutenya." "Tapi... tapi, guru Ayahku ada dua. Yang seorang adalah kakekku sendiri…" "Aku tahu, tentu Kakekmu, pendekar sakti yang tinggal di Lembah Naga itu, bukan? Akan tetapi yang kumaksudkan adalah gurunya yang berjuluk See-thian Lama atau Go-bi San-jin….” "Jadi kalau begitu engkau adalah murid dari Locianpwe itu? Dari Sukong (kakek Guru) Go-bi San-jin?" "Benar, Ling-moi. Karena itu aku mengenal ilmu langkahmu tadi. Ayahmu adalah murid Suhu Go-bi San-jin, oleh karena itu dia adalah suhengku." "Dan engkau adalah paman guruku! Ah, Susiok (Paman Guru) harap maafkan aku yang tadi bersikap kurang hormat karena belum mengenal Susiok." Kata Ling Ling sambil menjura dengan hormat kepada pemuda itu. "Eiiit, jangan begitu, Ling-moi!" kata Hay Hay. Hay Hay cepat membalas penghormatan gadis itu. "Aku lebih senang menjadi kakak dan adik denganmu, seperti sekarang ini. Sebut saja aku Hay-ko seperti tadi, Ling-moi." " Aku tidak berani, Susiok." kata Ling Ling, sikapnya hormat. "Aihh, aku mendadak merasa menjadi tua sekali kalau engkau menyebutku paman guru, Ling-moi. Padahal, usiaku baru dua puluh satu tahun lebih!" Gadis itu menatap wajahnya dan berkata, sikapnya sungguh-sungguh, namun tetap ramah dan halus. "Susiok, satu di antara pelajaran yang kuterima dari Ayah adalah agar aku menghormati orang tua, dan agar aku selalu mengingat akan tatasusila dan sopan santun. Biarpun engkau masih muda, pantas menjadi kakakku, akan tetapi kenyataannya, engkau adalah adik seperguruan dari Ayah. Oleh karena itu maka sudah semestinya dan sepatutnya kalau aku menyebut Susiok kepadamu. Dan harap Susiok jangan menyebut adik kepadaku, karena hal itu tentu akan menjadi bahan tertawaan orang lain." Hay Hay mengerutkan alis. "Aih, masa bodoh pandangan dan pendapat orang lain. Ling-moi, engkau terlalu memegang peraturan!" Gadis itu tersenyum, sikapnya tenang dan halus, dan pandang matanya seperti menggurui. "Susiok, apa akan jadinya dengan manusia kalau tidak memegang peraturan? Hidup tidak mungkin dapat bebas dari peraturan, Susiok. Tanpa peraturan, kehidupan akan menjadi bebas dan liar, tanpa batas-batas lagi sehingga takkan ada bedanya dengan kehidupan binatang. Maaf, Susiok, sejak kecil Ayah mengajarkan kepadaku agar mentaati peraturan, karena itulah aku tidak berani melanggar.” Wajah Hay Hay berubah agak merah dan tiba-tiba dia pun tertawa. "Baiklah, Ling Ling. Biar aku sebut namamu begitu saja kalau engkau bertekad menyebut aku Susiok. Ada benarnya memang pendapatmu tadi. Tanpa peraturan, hidup akan menjadi liar dan kacau. Akan tetapi, terlalu memegang peraturan, hidup pun akan menjadi kaku. Di dalam segala hal memang dibutuhkan kebijaksanaan, karena hanya kebijaksanaanlah yang akan dapat membuat kita mempertimbangkan, mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Baiklah keponakanku yang manis, sekarang ceritakan kepada Paman Gurumu ini, bagaimana engkau, seorang dara remaja, dapat tiba di tempat ini melakukan perjalanan seorang diri. Dan ceritakan pula keadaan Suheng Cia Sun sekeluarganya yang tidak pernah kutemui itu." Dengan singkat Ling Ling menceritakan keadaan orang tuanya betapa ayah dan ibunya tinggal di dusun Ciang-sibun di sebelah selatan kota raja, hidup sederhana dan bertani. "Aku pergi meninggalkan rumah dengan perkenan Ayah dan Ibu, Susiok. Aku ingin meluaskan pengalaman dan juga aku berkunjung ke Cin-ling-pai, karena Ibuku adalah murid ketua yang lama dari Cin-ling-pai dan Ayahku masih keluarga dekat dengan keluarga Cin-ling-pai." Karena urusan di Cin-ling-pai merupakan urusan keluarga, maka Ling Ling tidak bercerita tentang keributan di Cin-ling-pai karena pemunculan Kui Hong, kemudian Hui Lian. Kalau ia menyebut nama kedua orang gadis ini, tentu Hay Hay akan terkejut dan girang karena dia sudah mengenal baik kedua orang gadis itu. "Setelah bertemu keluarga Cin-ling-pai, aku melanjutkan perjalananku dan di tengah perjalanan inilah aku mendengar akan gerakan persekutuan para tokoh kang-ouw yang dipimpin oleh datuk-datuk sesat dan kabarnya yang diangkat menjadi bengcu adalah seorang datuk sesat berjuluk Lam-hai Giam-lo. Kabarnya, persekutuan golongan hitam ini bermaksud hendak mengadakan pemberontakan. Mendengar berita ini, aku merasa yakin bahwa para pendekar tentu akan menentangnya, Susiok. Karena itulah aku akan bermaksud hendak melakukan penyelidikan di sarang mereka, yaitu di Pegunungan Yunan." Hay Hay mengangguk-angguk gembira. "Wah, sungguh kebetulan sekali. Aku pun sedang menuju ke sana, Ling Ling. Aku pun mendengar akan gerakan itu, bahkan aku mendengar sendiri langsung dari Menteri Yang Ting Hoo." Gadis itu terbelalak. "Kaumaksudkan Yang Thai-jin, yang terkenal sebagai seorang menteri yang tiong-sin (setia) itu? Aku mendengar dari Ayah bahwa di kota raja terdapat dua orang menteri setia yang bijaksana, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Cing. Jadi Susiok ini…. utusan pribadi Menteri Yang Ting Hoo? Ah, betapa bangga aku mendengarnya!" Gadis itu memandang dengan wajah berseri, bangga bahwa utusan pribadi seorang yang demikian terkenal bijaksana seperti Menteri Yang ternyata adalah susioknya sendiri! Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya, "Memang aku telah bertemu dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, dan beliau menceritakan semua tentang gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo itu, juga beliau minta bantuanku agar aku suka melakukan penyelidikan ke Pegunungan Yunan. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa aku menjadi utusan pribadi beliau, Ling Ling. Aku bukan seorang pejabat pemerintah." "Ah, Susiok terlalu merendahkan diri. Bagaimanapun juga, Susiok pernah bercakap-cakap dengan Yang Mulia Menteri Yang Ting Hoo, bahkan dimintai tolong untuk membantu pemerintah menentang gerakan itu. Hal ini saja sudah luar biasa sekali, dan aku ikut merasa gembira. Susiok, kebetulan sekali kita saling berjumpa di sini dan kita mempunyai tujuan yang sama. Karena itu, dengan gembira aku akan membantu penyelidikanmu, Susiok. Tadinya aku memang meragu dan bingung, apa yang akan kulakukan. Aku belum mengenal tokoh-tokoh pendekar yang mungkin banyak terdapat didaerah Yunan, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan." "Bagus, kita bekerja sama, Ling Ling. Kulihat kepandaianmu sudah cukup untuk dapat kaupergunakan membela diri, akan tetapi hendaknya engkau berhati-hati, karena menurut keterangan yang kuperoleh, persekutuan itu memiliki banyak sekali tokoh sesat yang amat lihai sebagai anggauta. Dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan lawan-lawan tangguh." " Aku tidak takut, apalagi ada Susiok di sampingku!" kata gadis itu gembira. Hay Hay tersenyum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis yang begitu bertemu telah merasa yakin akan kepandaiannya sehingga sukarlah baginya untuk berpura-pura lagi. Gadis ini memiliki watak yang amat lembut, sabar pemaaf dan sama sekali tidak tinggi hati. “Ling Ling, bagaimana engkau dapat begitu yakin akan kemampuanku?" "Mudah saja, Susiok. Caramu menangkap ikan, sikapmu yang ramah dan terbuka. Kemudian, ketika aku bertanding melawan tiga orang Kui-kok-pang, Susiok diam saja tidak membantu, berarti bahwa Susiok telah tahu bahwa aku akan keluar sebagai pemenang. Semua itu diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa Susiok adalah sute dari Ayah. Bagaimana aku tidak akan merasa yakin bahwa Susiok memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali?" Hay Hay tertawa. "Ha-ha, sungguh aku beruntung sekali. Tanpa mimpi lebih dulu, tahu-tahu aku menemukan seorang keponakan yang sudah begini besar, merupakan seorang gadis yang cantik manis, lembut dan lihai ilmu silatnya, di samping cerdik bukan main." "Wah, Susiok memang pandai sekali memuji orang." kata Ling Ling dan mukanya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum. Jelas bahwa ia merasa senang sekali dan tanpa disadarinya, memang sejak pertemuan pertama tadi gadis ini telah tertarik dan jatuh. "Aku memang suka memuji kepada apa yang memang patut dipuji, Ling Ling. Marlah kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan saja orang-orang Kui-kok-pang tadi sudah jera dan tidak akan datang mengganggumu lagi. Sebaiknya kita masuk ke kota Wei-ning lebih dulu, untuk makan siang dan membeli makanan kering untuk bekal di perjalanan.” Ling Ling setuju dan mereka pun meninggalkan tepi telaga, memasuki kota Wei-ning. Sama sekali Hay Hay tidak menyangka bahwa yang mengintai dan mengancam mereka bukanlah orang-orang Kui-kok-pang saja, melainkan segerombolan orang yang lebih lihai lagi. Mereka adalah anak buah Lam-hai Giam-lo yang sudah bergabung dengan orang-orang Kui-kok-pang yang juga merupakan rekan mereka, dan di antara mereka itu terdapat orang-orang Pek-lian-kauw, juga Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi, dan Sim Ki Liong! Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi merasa jerih ketika melihat bahwa pemuda yang mengalahkan orang-orang Pek-lian-kauw itu bukan lain adalah Hay Hay yang mereka tahu amat lihai itu. Maka, cepat mereka mengundang Sim Ki Liong untuk membantu mereka. Dan kini, pemuda murid Pendekar Sadis itu sudah muncul dan bersama teman-temannya, sudah melakukan pengintaian ketika Hay Hay berjalan bersama seorang gadis yang telah menghajar para anggauta Kui-kok-pang itu memasuki kota Wei-ning. Sim Ki Liong adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dari hasil penyelidikan mata-mata yang disebar oleh Lam-hai Giam-lo, dia tahu bahwa kini di daerah Wei-ning banyak berdatangan orang-orang gagah, pendekar-pendekar yang sikapnya mencurigakan. Dia sudah menduga bahwa tentang kemunculan para pendekar ini sedikit banyak ada hubungannya dengan gerakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, sungguhpun belum ada pendekar yag secara berterang memusuhi mereka. Terutama sekali di kota Wei-ning, dia melihat banyak berkeliaran orang-orang yang dari sikap dan pakaian mereka yang aneh-aneh mudah diduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Oleh karena itu, dia tidak setuju ketika kawan-kawannya bermaksud menyerbu pemuda yang oleh Min-san Mo-ko dikatakan bernama Hay Hay dan katanya amat lihai itu. Apalagi ketika melihat betapa pemuda itu kini bergabung dengan gadis yang menurut laporan para anggauta Kui-kok-pang juga amat lihai. "Kita tidak boleh turun tangan secara gegabah." katanya kepada Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. "Bukan aku takut menghadapi mereka berdua. Dengan kekuatan kita sekarang, kiranya kita akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi harus diingat bahwa di Wei-ning kini terdapat banyak orang aneh yang mungkin saja tidak akan membiarkan kita bergerak. Jangan kita membangunkan macan-macan tidur hanya karena urusan kedua bocah itu. Dan bukankah bengcu kita sudah berpesan bahwa sebaiknya membujuk orang-orang pandai untuk bergabung lebih dulu sebelum turun tangan?" "Lalu apa yang kita lakukan sekarang, Sim-kongcu?" Sim Ki Liong memang oleh para pembantu Lam-hai Giam-lo disebut kongcu (tuan muda) atau juga tai-hiap (pendekar besar) karena pembawaannya yang halus dan berpakaian rapi seperti seorang pelajar, juga karena semua orang tahu betapa pemuda ini memiliki kepandaian yang amat tinggi. "Kalian harap bersembunyi saja dan bersiap-siap menanti tanda dariku. Aku akan mencoba untuk menghubungi mereka secara baik-baik. Siapa tahu aku akan berhasil membujuk mereka, atau setidaknya memancing mereka agar keluar kota. Kalau sudah berada di luar kota, di tempat sepi, barulah kita boleh turun tangan terhadap mereka, kalau mereka tidak mau kubujuk untuk bekerja sama." "Akan tetapi hati-hatilah, Kongcu. Pemuda yang bernama Hay Hay itu memiliki ilmu silat yang amat lihai." Ji Sun Bi memesan. "Juga hati-hati terhadap ilmu sihirnya. Selain ilmu silat yang lihai, juga kekuatan sihirnya berbahaya sekali." sambung Min-san Mo-ko dan para pendeta Pek-lian-kauw yang sudah merasakan kekuatan sihir pemuda itu, mengangguk membenarkan. "Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Ki Liong dengan bangga terhadap diri sendiri. Mereka lalu berpencar dan Ki Liong memasuki kota Wei-ning seorang diri, dengan gaya seorang pelajar tinggi yang sedang melancong. Memang, dilihat dari pakaian, wajah dan sikapnya, takkan ada seorang pun menyangka bahwa pemuda ini adalah tangan kanan dari pimpinan persekutuan kaum sesat. Dia lebih pantas menjadi seorang tuan muda bangsawan kaya raya dan terpelajar, atau seorang pendekar muda yang halus dan sopan gerak-geriknya. Akan tetapi, di balik kehalusan ini, dari sepasang matanya berkilat sinar yang membayangkan kecerdikannya ketika Ki Liong dari jarak yang cukup aman dan jauh membayangi pemuda dan gadis yang berjalan seenaknya memasuki kota Wei-ning itu. Hay Hay dan Ling Ling sama sekali tidak mengira bahwa mereka sedang dibayangi orang dari jauh, bahkan dari jarak yang lebih jauh lagi, dalam keadaan berpencaran, lebih banyak lagi orang membayangi mereka, yaitu Min-san Mo-ko Ji Sun Bi, dan masih banyak lagi orang-orang lihai yang menjadi kaki tangan persekutuan di Pegunungan Yunan itu. Hay Hay mengajak Ling Ling memasuki rumah makan merangkap penginapan Ban Lok di mana dia pernah makan dan masakan restoran itu cukup lezat. Mereka masuk dan ternyata rumah makan itu penuh sekali. Untung masih ada sebuah meja kosong di sudut belakang. Pelayan lalu mempersilakan mereka duduk menghadapi meja kosong itu dan Hay Hay memesan beberapa macam masakan dan nasi putih, juga anggur dan air teh. Ki Liong yang cerdik melihat kesempatan baik sekali. Sekelebatan saja dia pun sudah melihat bahwa restoran itu penuh. Memang ada beberapa buah meja di mana hanya duduk dua atau tiga orang, akan tetapi dengan sengaja, walaupun nampaknya tidak, dia berjalan di antara meja-meja itu sambil matanya mencari-cari tempat kosong. Seorang pelayan menyambutnya dan dengan sikap menyesal pelayan itu berkata, "Maaf, Kongcu. Tempatnya penuh, kalau Kongcu suka menanti sebentar di depan…" Pada saat itu, Ki Liong sudah tiba di ldekat meja Hay Hay yang tentu saja melihat dan mendengar ucapan pelayan itu. Seperti tidak disengaja, Ki Liong menoleh dan memandang ke arah meja Hay Hay. Di situ masih terdapat dua buah bangku kosong, karena meja kecil itu biasanya diperuntukkan empat orang, berbeda dengan meja besar yang biasa dipakai delapan sampai sepuluh orang. "Ah, perutku sudah lapar sekali. Sejak kemarin siang aku belum makan, dan sekarang tempat sudah penuh!" Dia lalu memandang kepada Hay Hay dan Ling Ling, dengan sikap sopan sekali dia lalu melangkah maju dan bersoja sambil membungkuk kepada Hay Hay dan Ling Ling. "Harap Ji-wi (Kalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Kalau sekiranya Ji-wi tidak keberatan, bolehkah saya menumpang di meja ini untuk makan? Kalau Ji-wi keberatan, tidak mengapalah…" Melihat pemuda tampan berpakaian rapi yang bersikap demikian ramah dan sopan, tentu saja Hay Hay dan Ling Ling merasa suka dan mereka pun cepat bangkit membalas penghormatan pemuda itu. Ling Ling lalu memandang kepada Hay Hay seolah hendak menyerahkan keputusannya kepada susioknya itu. Hay Hay tersenyum ramah. "Ah, kita sama-sama merupakan tamu di restoran ini. Kalau Saudara suka, tentu saja boleh duduk bersama kami di meja ini. Silakan!" "Terima kasih, terima kasih… ah, Ji-wi sungguh baik sekali, tepat seperti apa yang saya duga. Eh, Bung, tolong hidangkan nasi putih semangkok dan buatkan dua tiga macam masakan sayuran. Ingat, tidak memakai daging, ya? Saya sedang Ciak-jai (makan sayur, pantang daging). Dan air teh saja." sambungnya kepada pelayan itu yang segera mengangguk dan meninggalkan meja mereka. Mendengar pemuda yang tampan itu tidak makan daging, Hay Hay dan Ling Ling memandang heran. Mereka saling pandang sambil tersenyum. Begitu pandang mata Ki Liong bertemu dengan Ling Ling gadis ini segera menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak kemerahan. Ia menemukan sesuatu pada pandang mata itu, sesuatu yang membuatnya merasa sungkan dan malu. Ia melihat betapa pandang mata pemuda itu tadi dengan lembut menuju ke arah dadanya, dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu meraba-raba tubuhnya! "Ah, agaknya Saudara tidak suka makan barang berjiwa?" Hay Hay bertanya, iseng saja karena tidak tahu apa yang harus dikatakan terhadap orang yang menumpang di mejanya itu. Ki Liong tersenyum. "Tidak demikian, Saudara yang baik. Biasanya saya makan apa saja, juga daging, akan tetapi hari ini tidak karena hari ini adalah hari dan tanggal kematian Ayahku, sembilan belas tahun yang lalu." "Ahh…" Hay Hay diam-diam merasa kagum sekali. Ayah orang ini sudah sembilan belas tahun meninggal dunia, akan tetapi agaknya setiap tahun masih diperingati oleh pemuda ini sebagai hari berkabung sehingga dia tidak makan barang berjiwa untuk mengenang dan berkabung atas kematian ayahnya. Sungguh seorang pemuda yang berbakti! Dan memang kesan inilah yang dikehendaki oleh Ki Liong ketika dia berbohong dan berpura-pura ciak-jai untuk mengenang kematian ayahnya. “Maaf, bukan maksudku untuk mengetahui keadaan hidupmu, Saudara. Akan tetapi hatiku tertarik sekali. Kalau begitu, agaknya engkau masih kecil sekali ketika Ayahmu meninggal dunia." Kata Hay Hay. Ki Liong tersenyum dan mengangguk. "Tidak apalah, Saudara. Keramahan Ji-wi yang sudah menerimaku duduk di sini membuktikan bahwa Ji-wi berhati baik dan berarti bahwa kita telah saling bersahabat, bukan? Memang saya masih kecil sekali ketika Ayah saya meninggal, saya baru berusia satu tahun. Maaf, setelah Ji-wi begitu baik menerima saya di meja ini, maukah Ji-wi menerima saya sebagai kenalan? Saya bernama Sim Ki Liong, dan bolehkah saya mengenal nama Ji-wi yang terhormat?" Inilah kesalahan Ki Liong. Dia memperkenalkan namanya tanpa ragu karena dia merasa yakin bahwa kedua orang muda di depannya itu belum pernah mendengar namanya dan tidak mengenalnya. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Hay Hay pernah mendengar nama ini dari Kui Hong! Maka mendengar nama "Ki Liong" diam-diam Hay Hay terkejut walaupun kemudian dia meragu karena Kui Hong memberitahu kepadanya bahwa murid Pendekar Sadis dan isterinya memiliki nama keturunan Ciang, bukan Sim! Apakah kebetulan namanya saja sama, pikirnya. "Ah, engkau sungguh baik sekali, Saudara Sim. Ketahuilah bahwa saya Hay Hay, dan ia ini bernama Ling Ling." Hay Hay memperkenalkan diri dan gadis itu. Biarpun dengan sikap sopan, Ki Liong tersenyum dan memandang kepada mereka bergantian. "Maaf, walaupun nama Ji-wi itu indah sekali, akan tetapi agaknya Saudara lupa menyebutkan nama keluarga Ji-wi yang mulia." Karena pemuda itu pun sudah menyebutkan nama keluarganya, nama keluarga yang membuatnya menduga-duga apakah pemuda ini murid Pendekar Sadis yang dimaksudkan Kui Hong atau bukan, terpaksa Hay Hay memperkenalkan pula nama keluarganya. "Nama keluarga saya Tang, dan ia ini…. eh, Ling Ling, lupa lagi, siapa nama keluargamu?" Hay Hay berpura-pura, bermaksud untuk menyerahkan kepada Ling Ling sendiri hendak mengaku nama keluarganya ataukah tidak karena bagaimanapun juga, nama keluarga Cia sudah terkenal di dunia kang-ouw dan dapat segera menimbulkan dugaan orang bahwa ada hubungan antara gadis ini dengan keluarga Cia di Cin-ling-pai. Ling Ling adalah seorang gadis yang lembut dan jujur, tanpa prasangka, maka biarpun sinar mata pemuda yang baru dikenalnya itu tidak menyamankan hatinya, mendengar pertanyaan Hay Hay ia memandang pemuda itu dengan heran."Susiok, sungguh heran sekali. Apakah Susiok sudah lupa lagi nama keluargaku? Aku she (bernama keluarga) Cia!" "Aih, kiranya Ji-wi adalah seorang Susiok dan murid keponakannya? Kalau begitu, Ji-wi adalah dua orang pendekar!" Ki Liong berseru. Hay Hay tersenyum. "Kami adalah orang-orang biasa, dan maaf, saya tadi lupa nama keluarganya karena biarpun kami masih paman dan keponakan, namun baru pagi tadi kami saling bertemu." Hay Hay tertawa, tidak khawatir lagi karena Ling Ling sudah berterus terang. "Akan tetapi jangan mengira bahwa kami adalah pendekar!" Kemudian disambungnya, seperti sambil lalu saja, "Saudara Sim menyangka kami pendekar, apakah Saudara sendiri juga seorang ahli silat yang lihai?" Ki Liong tertawa dan nampak wajahnya semakin tampan menarik ketika dia tertawa, dan sepasang matanya yang jernih dan tajam itu menyambar ke arah Ling Ling. Kembali gadis ini merasa betapa sinar mata itu memandang kepadanya tidak sewajarnya, maka ia pun cepat menundukkan pandang matanya. "Ha-ha, saya ingin berterus terang saja. Memang pernah saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya iseng-iseng saja dan sama sekali tidak dapat dikata bahwa saya lihai." Pada saat itu, dua orang pelayan datang membawa pesanan makanan dan minuman mereka. Agaknya karena tiga orang itu duduk semeja, maka pesanan Hay Hay dan Ki Liong dikeluarkan berbareng. Ki Liong menghadapi nasi dan tiga mangkok masakan sayur tanpa daging, sedangkan Hay Hay dan Ling Ling menghadapi nasi dengan lima macam masakan. Hay Hay menawarkan anggurnya, akan tetapi Ki Liong menolak dengan halus. "Hari ini, hanya sayur dan air teh saja untuk saya." katanya. Kemudian dia berkata. "Sebelum kita mulai makan, saya ingin menghaturkan terima kasih dan hormat saya kepada Ji-wi dengan air teh di poci saya. Harap Ji-wi suka menerimanya!" Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk menjawab. Ki Liong sudah mengambil cawan di depan Hay Hay dan menuangkan poci di tangan kanannya ke dalam cawan yang dipegang di tangan kirinya. Sambil tersenyum Hay Hay memandang, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika dia melihat betapa cawannya yang dipegang oleh tangan kiri Ki Liong sudah penuh akan tetapi teh dari poci itu masih di tuang terus! Kini cawan itu terlalu penuh, akan tetapi air tehnya tidak sampai meluber, seolah-olah tertahan oleh sesuatu dan air teh itu berada lebih tinggi daripada bibir cawan, membulat seperti telur yang bergoyang-goyang! "Silakan, Saudara Tang!" kata Ki Liong sambil menyodorkan cawan itu kepada Hay Hay. Hay Hay tersenyum lagi dan kini makin keras dugaannya bahwa pemuda inilah yang dimaksudkan Kui Hong, yaitu murid dari Pendekar Sadis. Pemuda ini telah memperlihatkan kepandaiannya, dan menggunakan sin-kangnya (hawa sakti) untuk menahan air teh di atas cawan itu sehingga tidak sampai meluber dan tumpah. Kalau yang menerimanya tidak memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, ketika menerima cawan itu, tentu air tehnya yang terlalu penuh melebihi ukuran itu akan tumpah. "Saudara Sim, engkau sungguh terlalu sungkan!" katanya sambil menerima cawan yang penuh air teh itu sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. "Aih, air tehmu masih panas!" katanya tersenyum dan ketika Ki Liong memandang, dia kagum. Bukan saja air teh itu tidak meluber dan tumpah, bahkan kini air teh itu mengepulkan uap karena panas! Padahal, biarpun air teh itu masih hangat, ketika dia tuangkan ke dalam cawan. tidak mengeluarkan uap panas! Tahulah dia bahwa benar seperti laporan Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, pemuda ini benar-benar lihai sekali, dan dia harus berhati-hati menghadapinya. Dia tersenyum kagum melihat Hay Hay minum air teh dalam cawan itu sampai habis. "Sekarang harap Nona sudi menerima penghormatan saya dengan secawan air teh!" kata Ki Liong sambil menuangkan poci air teh itu ke dalam cawan yang diambilnya dari depan gadis itu. Seperti tadi, juga sekali ini dia menyodorkan cawan yang terisi air teh terlalu penuh. "Terima kasih!" kata Ling Ling dan dengan sikap tenang ia pun menerima cawan itu sambil mengerahkan tenaganya. Dan ternyata air teh itu sama sekali tidak meluber atau tumpah, bahkan ketika gadis itu mengangkat cawannya dan menuangkan isinya ke mulut, air teh itu tidak dapat turun atau tumpah, tetap melekat pada cawan seolah-olah sudah berubah membeku dan melekat pada cawannya!" "Aih, air tehmu membeku dan biarlah dikembalikan ke poci agar mencair lebih dulu!" kata Ling Ling dan dengan tenang ia membuka tutup poci air teh Ki Liong dan menuangkan isi cawannya ke dalam poci. Demikianlah, sambil mendemonstrasikan kepandaiannya, gadis itu menolak pemberian air teh oleh pemuda itu secara halus! Melihat ini Ki Liong yang cerdik lalu bangkit berdiri dan bersoja dengan hormat. "Aih, sungguh saya bermata akan tetapi seperti buta, tidak melihat bahwa saya berhadapan dengan dua orang yang memiliki kesaktian!" Pemuda ini bicara dengan lirih sehingga tidak terdengar oleh para tamu lainnya. "Saudara Sim, kiranya bukan tempat yang tepat bagi kita untuk bersungkan-sungkan!" kata Hay Hay. Ki Liong mengangguk. "Saudara. Tang benar, mari kita makan hidangan kita dan nanti saja kita bicara di tempat yang lebih layak." Mereka bertiga lalu mulai makan minum dan tidak banyak cakap lagi. Diam-diam Hay Hay merasa hampir yakin bahwa tentu inilah pemuda murid Pendekar Sadis itu dan dia menduga-duga apa hubunganya pemuda ini dengan gerakan para tokoh sesat. Dan apa pula maksud pemuda ini menghubungi dia dan Ling Ling, karena dia tidak percaya bahwa pertemuan ini hanya kebetulan saja. Lebih tepat kalau semua ini telah direncanakan orang! Akan tetapi apa maksudnya? Bagaimanapun juga, dia harus bersikap hati-hati karena maklum bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. Bukan hanya ilmu silatnya yang tinggi, namun mungkin sekali juga amat cerdik dan sikapnya ini merupakan satu di antara siasat yang cerdik. Dia tidak perlu mengisaratkan Ling Ling untuk berhati-hati, karena penolakan suguhan air teh tadi saja sudah menunjukkan bahwa Ling Ling sudah bersikap hati-hati sekali dan tidak mau minum air teh yang disuguhkan berarti bahwa gadis itu tidak begitu percaya kepada pemuda itu. Tiga orang pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata dengan diam-diam mengamati mereka dari sudut lain ruangan rumah makan itu. Sepasang mata ini milik seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki yang gagah perkasa, dengan tubuh yang sedang namun padat dan tegak, nampak kuat. Pakaiannya sederhana namun rapi dan wajahnya memiliki wibawa. Wajah itu gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, wajahnya berkulit segar kemerahan, sepasang matanya bersinar tajam dan lincah membayangkan kecerdikan dan keberanian. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum penuh kejantanan dan daya pikat. Dagunya persegi menambah kegagahannya. Sejak tadi, diam-diam pria ini mengamati tiga orang muda itu dan.ketika Ki Liong menawarkan minuman dari poci, matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar dan mulutnya yang dibayangi senyum itu bergerak memperlebar senyumnya, bahkan dia mengangguk-angguk seorang diri sambil minum Iaraknya. Hay Hay, Ling Ling, dan Ki Liong sudah selesai makan. "Saya mempunyai urusan penting untuk dibicarakan dengan Ji-wi, akan tetapi tentu saja tidak di tempat ini. Maukah Ji-wi menemui saya di luar pintu gerbang kota sebelah barat? Atau sekarang juga ikut dengan saya ke sana agar kita lebih leluasa bicara?" "Kalau memang ada keperluan penting, baiklah Saudara Sim, kami akan menemuimu di sana. Berangkatlah dulu, kami masih ada urusan lain dan sebentar lagi kami menyusul." kata Hay Hay sebelum Ling Ling yang sudah mengerutkan alisnya itu sempat menolak. "Terima kasih, Saudara Tang dan Nona Cia." kata Ki Liong dan cepat-cepat dia meninggalkan mereka, agaknya khawatir kalau-kalau Hay Hay menarik kembali kesanggupannya. Setelah Ki Liong pergi, Ling Ling yang berjalan keluar setelah Hay Hay membayar harga makanan mereka, segera menegur Hay Hay. "Susiok, mengapa kita harus melayani orang itu? Kita baru saja berkenalan dengan dia, kita tidak tahu dia itu orang macam apa. Terus terang saja, ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat aku merasa curiga dan tidak suka." "Justeru itulah, Ling Ling. Aku pun curiga melihat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Kalau dugaanku benar, kalau dia itu merupakan seorang di antara tokoh sesat yang mengadakan gerakan, kebetulan sekali! Ketika makan tadi, aku telah mendapatkan sesuatu siasat yang baik sekali." Hilang penasaran yang tadi membayang di wajah gadis itu mendengar ucapan ini. "Bagaimana siasat itu, Susiok?" "Agaknya dia ingin menghubungi kita dan kalau benar dia tokoh pergerakan, agaknya dia hendak membujuk kita untuk bersekutu. Nah, kesempatan ini akan kupergunakan sebaiknya. Aku akan pura-puta setuju sehingga dengan demikian aku akan dapat memasuki sarang mereka dengan mudah. Kalau aku diterima sebagai kawan, tentu aku akan dapat dengan mudah menyelidiki keadaan mereka dari dalam." Gadis itu membelalakkan matanya, memandang penuh kekhawatiran. Melihat mata itu terbelalak indah, seperti bintang kembar bercahaya, Hay Hay kagum. "Ah, matamu indah sekali, Ling Ling!" katanya. Ling Ling mengerutkan alisnya dan kedua pipinya berubah merah, akan tetapi ia tidak marah, bahkan tersenyum malu. “Ihh, Susiok. Orang bicara dengan serius, ditanggapi dengan sendau-gurau!" "Aku tidak bergurau, Ling Ling. Memang matamu tadi nampak indah bukan main. Jangan engkau khawatir, kalau aku dapat melakukan penyelidikan dari dalam berarti tugasku akan lebih berhasil." "Tapi... tapi... masuk ke dalam sarang mereka? Sungguh berbahaya sekali, Susiok!" "Aku dapat membela diri, Ling Ling. Akan tetapi engkau tidak perlu ikut masuk ke sarang mereka. Engkau menyelidiki dari luar saja. Coba engkau mengadakan kontak dengan para pendekar yang aku yakin banyak terdapat di sekitar daerah ini." "Tapi... tapi, bagaimana kita akan dapat saling bertemu lagi, Susiok? Kalau engkau hendak masuk ke sarang mereka, biar aku ikut. Aku pun tidak takut!" "Ah, jangan, Ling Ling. Biar aku saja. Begini sajalah, dalam waktu tiga hari, aku pasti akan mencarimu di tepi telaga itu. Tempat itu menjadi tempat pertemuan kita... ssttt " Hay Hay memberi isarat dan mehghentikan kata-katanya ketika seorang laki-laki lewat di dekat mereka. Laki-laki setengah tua yang ganteng dan gagah, yang tadi memperhatikan mereka di dalam rumah makan. Akan tetapi orang itu lewat begitu saja, menunduk dan sama sekali tidak melirik ke arah mereka sehingga baik Hay Hay maupun Ling Ling sama sekali tidak menaruh curiga karena didepan restoran itu memang merupakan jalan raya di mana terdapat lalu lintas yang cukup ramai. "Nah, kiranya cukup pesanku, Ling Ling. Pula, semua itu hanya kalau benar dugaanku bahwa dia mempunyai hubungan dengan persekutuan itu. Kalau tidak, tentu saja akan lain lagi jadinya. Kita lihat saja nanti. Hayo, kita menuju ke pintu gerbang sebelah barat." Dua orang muda itu lalu berangkat, tidak tahu betapa sepasang mata yang tajam mengikuti mereka. Laki-laki setengah tua tadi tersenyum dan mengelus jenggotnya, dan dari jauh dia membayangi, menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Hay Hay dan Ling Ling berjalan menuju ke pintu gerbang sebelah barat, berjalan seenaknya. Tiba-tiba Hay Hay menyentuh tangan Ling Ling dan berbisik sampai menoleh, "Ling Ling, jangan menengok dan berjalan biasa saja. Di belakang kita terdapat tujuh orang yang mencurigakan, agaknya mereka membayangi kita.” Ling Ling mengangguk dan jantungnya berdebar. Sebagai seorang gadis yang baru saja meninggalkan tempat tinggal orang tuanya dan merantau, memang sudah beberapa kali ia menghadapi gangguan dan dapat mengatasinya. Akan tetapi baru sekarang ia menyadari bahwa ia berada di daerah yang berbahaya, di mana terdapat banyak orang pandai yang belum dikenalnya dan tidak diketahuinya apakah mereka itu kawan ataukah lawan. Keadaan pemuda bernama Sim Ki Liong itu saja sudah menimbulkan banyak kecurigaan dan rahasia, dan sekarang sebelum rahasia itu terpecahkan, muncul lagi tujuh orang membayangi mereka! Ia ingin sekali melihat siapakah mereka, orang-orang macam apa, akan tetapi ia tidak boleh menengok ke belakang. Tiba-tiba saputangan yang tadi dipegang oleh tangan kiri gadis itu terlepas dan ia pun dengan gerakan seperti tanpa disengaja membungkuk dan berjongkok mengambil saputangannya. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melirik ke belakang dan sekejap saja cukuplah baginya. Enam orang yang berpakaian ringkas dipimpin oleh seorang yang berpakaian tosu (Pendeta To!) Hay Hay tersenyum geli. Tentu saja dia tahu mengapa saputangan Ling Ling terjatuh. Cerdik juga gadis ini, pikirnya. Memang amat tidak enak kalau mengerti bahwa dirinya dibayangi orang akan tetapi tidak boleh melihat siapa orang itu. Tadi pun dia tidak sengaja menoleh dan melihat mereka. Ketika mereka keluar dari pintu gerbang, dari tempat itu sudah kelihatan seorang pemuda berdiri di tempat agak jauh, tempat yang sunyi karena keluar dari pintu gerbang barat itu, yang nampak hanya hutan-hutan pegunungan.Hanya sedikit orang yang lewat, dan kalaupun ada, mereka itu adalah orang-orang suku bangsa Hui dan Miao. Dua suku bangsa ini mudah saja dikenalnya dari pakaian mereka. Orang suku bangsa Hui, pikirnya, selalu memakai sorban putih yang dibelit-belitkan di kepala. Mereka adalah orang-orang beragama Islam. Orang-orang suku bangsa Hui ini terkenal sebagai peternak-peternak, terutama kambing, pejagal dan juga pandai masak sehingga banyak di antara mereka membuka rumah makan di kota-kota. Orang-orang Hui sesungguhnya adalah orang-orang Han juga, perbedaannya antara mereka adalah bahwa orang Hui beragama Islam sedangkan orang Han memiliki banyak macam agama, terutama sekali mereka adalah penganut Agama Buddha, Tao, dan Khong-hucu, walaupun ada pula orang Han dalam jumlah kecil yang menjadi pengikut Agama Islam atau Kristen. Adapun suku bangsa Miao sudah dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, orang-orangnya pendiam dan kasar. Wanitanya mengenakan anting-anting yang khas, seperti gelang yang besar sehingga daun telinga mereka tertarik ke bawah dan memanjang. Suku bangsa Miao yang terdesak oleh orang-orang Han itu kini banyak hidup di pegunungan bagian selatan, bercocok tanam dan juga berternak, dan mereka pun terkenal sebagai pemburu yang pandai. Dengan langkah seenaknya tanpa tergesa-gesa, Hay Hay dan Ling Ling berjalan terus keluar dari pintu gerbang menuju ke arah pemuda yang telah berdiri menanti mereka itu. Diam-diam Hay Hay mengerling ke arah belakang sambil menengok ke kanan seolah-olah bicara dengan Ling Ling dan dia melihat betapa tujuh orang itu telah tiba di pintu gerbang pula, kemudian mereka menyelinap ke kiri dan lenyap di dalam hutan kecil. Ki Liong menyambut mereka dengan senyum ramah. "Terima kasih, ternyata Ji-wi memenuhi janji dengan cepatnya. Marilah, Ji-wi. Kita memasuki hutan ini agar tidak terganggu percakapan kita, karena di jalan ini ada saja orang lewat." Tanpa menanti jawaban, Ki Liong melangkah memasuki hutan, diikuti oleh Hay Hay dan Ling Ling yang masih mengerutkan alisnya karena bagaimanapun juga, gadis ini sama sekali tidak percaya akan kebaikan iktikad pemuda kenalan baru itu. Akhirnya Ki Liong berhenti di bawah sebatang pohon besar. Tempat itu memang enak untuk bercakap-cakap. Tempatnya teduh, terlindung dari terik matahari siang, dan di atas tanah terhampar permadani hijau dari rumput tebal yang segar. Akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah menjadi bangku-bangku yang enak diduduki. Mereka bertiga duduk di atas akar pohon, saling berhadapan. "Maafkan kalau saya bersikap seperti ini, karena Ji-wi jluga maklum bahwa untuk dapat membicarakan urusan penting, kita harus mencari tempat yang sunyi agar tidak terdengar orang lain." "Saudara Sim, kami sudah datang memenuhi undanganmu. Nah, katakanlah apa yang ingin kaubicarakan dengan kami?" kata Hay Hay sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah yang tampan dan penuh senyum manis dan kelembutan itu. Sim Ki Liong memandang Hay Hay dan Ling Ling, dan nampak dia agak gelisah, nampaknya sukar baginya untuk menyatakan kehendak hatinya. Kemudian, dia pun berkata dengan suara yang lembut, "Begitu bertemu dengan Ji-wi, hati saya sudah amat tertarik. Apalagi setelah mendapat keyakinan bahwa Ji-wi memiliki ilmu kepandaian tinggi, saya merasa kagum bukan main. Maka timbullah rasa sayang dan alangkah penasaran rasa hati ini melihat Ji-wi tetap menjadi orang biasa saja, padahal, orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Ji-wi ini sepatutnya menduduki pangkat yang tinggi dan kemuliaan." "Kami tidak mengerti apa maksudmu, Saudara Sim." kata Hay Hay, berpura-pura karena hatinya berdebar tegang melihat betapa tepatnya apa yang diduganya semula. "Maksudku, Ji-wi pantas sekali untuk menjabat pangkat tinggi di kerajaan, sesuai dengan kepandaian Ji-wi." Hay Hay dan Ling Ling saling pandang, kemudian Hay Hay tertawa. "Ha-ha, harap engkau tidak main-main, Saudara Sim! Orang seperti kami ini, mana mungkin menjabat pangkat tinggi?" "Kenapa tidak mungkin? Memang, pemerintah sekarang hanya memilih orang-orang yang menjadi antek mereka! Kedudukan tinggi diberikan kepada orang-orang yang tidak becus dan jahat! Karena itu, saya mengajak Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami yang sedang mempersiapkan perjuangan " Tiba-tiba Sim Ki Liong berhenti bicara dan menoleh ke kiri. Hay Hay dan Ling Ling juga sudah mendengar suara jejak kaki dari arah kiri. Dan tiba-tiba saja, dengan berloncatan, muncullah tujuh orang laki-laki setengah tua, dipimpin oleh seorang di antara mereka, yaitu seorang tosu yang berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat setinggi tubuhnya. Tosu ini berusia lima puluh tahun lebih, wajahnya angker dan berwibawa, sedangkan enam orang lainnya adalah orang-orang berusia antara empat puluh tahun dan di punggung mereka terdapat sebatang pedang bersarung. Sikap mereka juga keren dan berwibawa. Tiba -tiba tosu itu menudingkan tongkat panjangnya ke arah Hay Hay sambil membentak. "Ang-hong-cu! Menyerahlah engkau sebelum pinto terpaksa mempergunakan kekerasan!" Hay Hay terkejut mendengar seruan itu. Juga Sim Ki Liong memandang dengan heran dan jelas nampak betapa dia terkejut dan kini memandang kepada Hay Hay dengan mata penuh selidik. Tak disangkanya bahwa pemuda lihai ini ternyata adalah Ang-hong-cu! Tentu saja dia sudah mendengar nama Ang-hong-cu ini, nama seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang amat tersohor, akan tetapi yang belum pernah diketahui bagaimana wajahnya itu! Gerak-gerik jai-hwa-cat itu penuh rahasia sehingga kabarnya banyak pendekar yang gagal ketika berusaha menangkapnya. Kabarnya lihai seperti setan dan kiranya pemuda ini orangnya! Juga Ling Ling memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. Susioknya ini Ang-hong-cu? Ia pun sudah mendengar berita tentang penjahat perherkosa wanita yang amat keji itu, akan tetapi sungguh sukar dapat dipercaya bahwa susioknya ini orangnya! Hay Hay sendiri bersikap tenang. "Totiang, harap totiang jangan sembarangan saja menuduh orang. Siapakah Totiang dan apa sebabnya Totiang begitu datang lalu menyebut aku Ang-hong-cu dan minta agar aku menyerah? Apa artinya semua ini?" "Hemm, engkau masih mencoba untuk berpura-pura alim? Ang-hong-cu, ketahuilah bahwa pinto adalah Tiong Gi Cinjin, wakil Ketua Bu-tong-pai dan mereka adalah Bu-tong Liok-eng, murid-murid keponakan pinto. Nah, setelah kami memperkenalkan diri, tidaklah sepatutnya kalau engkau segera berlutut menyerahkan diri, Ang-hong-cu?" Tosu itu berkata lagi, agaknya ingin menyelesaikan urusan itu dengan jalan damai, "Kami akan menghadapkan engkau kepada ketua kami agar beliau dapat mengambil keputusan mengenai hukuman atas dosamu terhadap Bu-tong-pai.” Hay Hay teringat akan pengalamannya kurang lebih setahun yang lalu. Pernah dia diserang oleh tiga orang pendekar Bu-tong-pai. Mereka menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan tanpa memberi kesempatan baginya untuk membantahnya, mereka telah menyerangnya kalang kabut sehingga terpaksa dia mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghilangkan dari penglihatan mereka. Kini tahulah dia bahwa wakil ketua Bu-tong-pai ini keluar sendiri untuk menangkapnya. Wah, gawatlah keadaannya kalau begitu. Akan tetapi karena dia masih tetap penasaran, dia pun segera bertanya. "Maaf, Totiang. Sesungguhnya, aku tidak pernah merasa melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai. Kenapa sekarang Totiang, sebagai wakil ketua, dan enam orang saudara ini ingin menangkapku? Jelaskan dulu apa kesalahanku!" Sepasang mata pendeta itu mencorong penuh kemarahan. Sikap yang tidak bertanggung jawab dianggapnya sikap seorang pengecut yang membuat dia marah sekali. "Ang-hong-cu, lupakah engkau akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu ketika engkau diserang oleh tiga orang murid pinto?" Menjemukan, pikir Hay Hay. Dia bukan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah), dan julukan Ang-hong.cu ini selalu membuat dadanya terasa panas dan kepalanya pening karena itu adalah julukan dari seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat besar yang bukan lain adalah… ayah kandungnya! Dia sudah dapat menduga apa yang telan terjadi antara penjahat itu dengan Bu-tong-pai, akan tetapi dia ingin jelas dan yakin. “Aku tidak lupa, Totiang, akan tetapi sampai sekarang pun aku masih bingung dan tidak mengerti mengapa tiga orang murid Bu-tong-pai itu menyerangku mati-matian." Tiong Gi Cinjin menoleh kepada enam orang tokoh Bu-tong-pai yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja, dia lalu menyuruh seorang di antara mereka untuk memberi penjelasan. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis, melangkah maju menghadapi Hay Hay. "Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang suka menuduh membabi-buta saja tanpa bukti. Sepak terjang Ang-hong-cu sudah lama kami kenal, dan pada suatu hari, seorang Sumoi kami menjadi korban! Sebelum tewas, Sumoi telah mengaku bahwa ia menjadi korban Ang-hong-cu. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan bagi kami dan kami menyebar murid-murid untuk mencari sampai dapat penjahat yang telah merusak nama dan kehormatan kami. Kurang lebih setahun yang lalu, tiga orang Sute kami telah berhasil menemukanmu dan menyerangmu. Engkaulah jai-hwa-cat Ang-hong-cu jahanam itu!" "Hemm, apa buktinya?" Hay Hay membantah. "Buktinya? Tiga orang Sute kami melihat betapa engkau memegang sebuah tanda perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang diterima oleh Sumoi kami! Engkaulah Ang-hong-cu, dan harap engkau cukup jantan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!" "Tapi... tapi... aku bukan Ang-hong-cu…" bantah Hay Hay. "Dan perhiasan tawon merah yang ada padamu itu?" bentak Tiong Gi Cinjin penasaran. "Aku... aku hanya kebetulan menemukan benda itu " kata Hay Hay agak gagap karena tentu saja dia tidak mau mengaku dari mana dia memperoleh perhiasan itu dan mengaku bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya! "Susiok, benarkah engkau bukan Ang-hong-cu?" Tiba-tiba Ling Ling yang sejak tadi memandang dan mendengarkan dengan alis berkerut dan wajah agak pucat, kini tiba-tiba bertanya. Mendengar ini, Hay Hay memandang gadis itu dan menggelengkan kepalanya. "Bukan, Ling Ling, percayalah!" Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun! Bagaimana mungkin Susiokku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?” Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata, "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tidak pernah memperlihatkan mukanya, hanya meninggalkan perhiasan tawon merah. Dan pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!" "Ahh….!" Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan. "Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?" "Aku.. aku tidak tahu…" gadis itu menjawab dan melangkah mundur lagi sampai lima langkah. "Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju. “Tidak, Totiang, aku tiak mau menyerah karena aku tidak merasa bersalah terhadap Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu! "Kalau begitu, terpaksa pinto menggunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong-kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh. Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa dan dia pun melangkah maju. "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, kalau Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!" Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu, harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu." "Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Dan memang benar di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, akan tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta agar tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku." Jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman. "Orang she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong-pai) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, tempat umum. Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa Ahg-hong-cu ini tamumu? Kalau engkau hendak melindunginya, berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Susiok harap jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabiskannya!" Berkata demikian, Si Kurus ini lalu memberi isarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam sudah mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi, Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang. "Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira aku takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak! Melihat ini, jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang minggat meninggalkan pulau itu tanpa pamit sambil membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk. sebatang pedang yang dia masih ingat ketika Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak). Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Nampak sinar perak menyilaukan mata dan disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis dan enam orang itu berloncatan ke belakang dengan kaget. Pertemuan ntara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka pun mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu. Sementara itu, Tiong Gi Cinjin sudah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay, "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!" Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum dan menggeleng kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tidak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Kalau Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, dan hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!" Ucapan dan sikap tenang HayHay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tidak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya. "Cappp!" Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong! "Ang-hong-cu, engkau selain jahat juga sombong sekali! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan. "Haiiiitt!" Tosu itu sudah menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu dan Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya, tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya. Bagaimanapun juga, Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas atas kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu dan karena mereka mengira bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka kini mereka rnati-matian berusaha menangkapnya. Jadi, dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan kalau diipikir secara mendalam, yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu! karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biarpun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, namun Hay Hay selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Dia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Betapapun juga, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay kelihatan sibuk sekali dan terdesak. Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik daripada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang menyilaukan dan yang dahsyat sekali sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu. Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu sejak tadi mereka sudah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang bagus dan walaupun menghadapi Ki Liong mereka kalah tingkat, namun permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat. Selagi ramai-ramainya dua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat, penggembala. Entah bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu, berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian, dan penggembala setengah tua itu mengejar di belakang sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya, sehingga kambing-kambing itu menjadi semakin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula. Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah dan para pengeroyok Ki Liong menggunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau. Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki.maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?" Sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang enam orang Bu-tong-pai itu dan kalang-kabut! Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka. Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka walaupun sudah di tangkis, dan bukan i tu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan dengan tenaga yang dahsyat! Dan kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orangBu-tong-pai. Mereka segera berloncatan mundur. Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan serunya, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak dan menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu. "Dukk!" Tongkat itu tidak patah, bahkan Tiong Gi Cinjin dapat merasakan melalui tangannya yang tergetar betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi! Padahal, tadi pun dia sudah merasa bingung melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tidak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, namun sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tidak mampu menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu. "Hayo, siapa yang berani mengganggu kambingku, akan kupukul dengan tongkat ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang. Tiong Gi Cinjin segera berkata sambil mencabut tongkatnya sendiri, suaranya lembut, "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya." Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena para murid Bu-tong-pai tadi pun menendang kambing yang hanya untuk mengusir mereka saja, tanpa niat membunuh. Setelah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa mempedulikan lagi mereka yang kini menghentikan perkelahian. “Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, akan tetapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimanapun juga, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu. Penggembala itu dengan sikap acuh, juga menggiring pergi kambing-kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh dan bahkan ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak nampak, masih terdengar teriakannya. Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala, kambing bangsa Hui tadi bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan karnbing-kambingnya. Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbul suatu niat di dalam hatinya untuk. membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan. "Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!" Setelah berkata demikian, Ki Liong meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya. Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang sejak tadi berdiri mematung. Gadis ini terlalu bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu, hatinya menjadi bimbang sekali. Ia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susioknya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi, kini wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan amat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu. Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat pandai merayu wanita, memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu pun bukan tidak masuk akal. Apalagi para tokoh Bu-tong-pai ter:kenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu? "Ling Ling, jangan engkau memandang padaku seperti itu!" Hay Hay berkata. "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu, penjahat itu!" Ling Ling menggeleng kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat. "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu..." katanya ragu dan bingung, kemudian ia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi saja…” "Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga…..!" Hay Hay mengingatkan gadis itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama agar dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan demikian, akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggauta pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah dan dia akan melarikan diri keluar dan menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguhpun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya. Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi, Hay Hay lalu duduk, menanti kembalinya Ki Liong. Tak lama kemudian, pemuda itu pun datang berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling disitu. "Eh, di mana Nona Cia….?" tanyanya. Hay Hay menarik napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura karena dia tidak perlu membohong pula. "Ia telah pergi, marah karena menduga bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu ia merasa malu mempunyai seorang Susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu." Ki Liong tersenyum. "Saudara Tang, apakah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin… " “Hemm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun dituduh sebagai Ang-hong cu yang tentu usianya Sudah jauh lebih tua ?” Lalu, dengan muka menunjukkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?" Sim Ki Liong tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekalipun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seolah-olah diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Akan tetapi aku, maksud kami, akan dapat menghargaimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tidak akan berani lagi memandang rendah dan meremehkanmu, apalagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi." "Hemm, engkau tadi pun bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kaumaksudkan?" Hay Hay memancing. "Kami sedang menghimpun kekuatan dalam suatu persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar dan para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan " "Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?" "Ki Liong tersenyum. "Bagi kami, bukan pemberontakan melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu, marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia.” Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. Akan tetapi, aku tidak tahu siapa pemimpin kalian, dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggauta pimpinan. "Jangan khawatir, Saudara Tang, Pemimpin kami adalah seorang yang berilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah, seorang yang bijaksana dan aku sendiri diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang kang-ouw yang sudah menggabungkan diri dan jangan engkau heran kalau di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan, urusan pribadi ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari manapun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggauta pimpinan." "Di mana pusat persekutuan kalianitu? "Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Hanya sayang bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana." "la sedang marah tak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?" “Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Tadi, melihat kelihainnya, aku ingin menghubunginya dan melakukan pengejaran. Akan tetapl ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemulkan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui. Kutanya dia tentang laki-laki setengah tua tadi dia hanya bilang bahwa laki-laki itu meminjam kambing-kambingnya itu dah baru saja dikembalikan. Anak itu diberi beberapa potong uang perak dan dia tidak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang telah pergi dengan cepat setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak." "Aneh sekali…" kata Hay Hay, heran. "Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau kalau tidak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami menghadapi orang-orang. Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang.” Hay Hay mengangguk-angguk dan mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu, menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan laki-laki penggembala bangsa Hui itu. Siapakah dia dan apa maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu tadi membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, membuktikanl bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya! Akan tetapi karena dia pun menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa tentu laki-laki setengah tua tadi seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-Hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa o1h Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo! “Hay-ko…! Engkau ini…? Pek Eng berseru dengan gembira sekali ketika ia mengenal Hay Hay. Pemuda itu masuk bersama Ki Liong untuk menghadap Lam hai Giam-lo dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih si1at dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, langsung saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu. Begitu mereka masuk, Hay Hay melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira. "Adik Eng…! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?” Dia pun bertanya terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran putih itu juga bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu. “Ah, kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong, tentu saja hanya pura-pura karena ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini sudah bercerita bahwa ia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama Pek Han Siong, dan orang ke dua yang dicarinya adalah Hay Hay. Dia sendiri mendengar ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, rnurid dari mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi itu. Sementara itu, Lam-hai Giam-lo sudah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi, juga merasa jerih dan mengundang Ki Liong untuk membantu mereka, Kini Ki Liong kembali bersama pemuda itu, agaknya berhasil membujuknya maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin banyak orang pandai membantunya semakin baik. Pek Eng dan Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja kedua pipi gadis itu berubah merah karena ia teringat betapa ia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda ini yang tadinya ia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat ia kagum bukan main. Setelah ia teringat akan peristiwa penciuman itu, tiba-tiba saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata, Sementara itu, melihat. betapa muridnya, juga anak angkatnya, yang amat disayangnya itu telah saling mengenal dengan pemuda yang baru datang itu, Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali. Kalau Eng Eng sudah mengenalnya, akan mudah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya. "Saudara Tang Hay, inilah Bengcu kami yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku tentang semua cita-cita perjuangan kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia da.pat memperoleh bagian jabatan yang tinggi." kata , Sim Ki Liong. Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. "Mari, silakan ikut dengan kami keruangan duduk, orang muda, agar kita dapat bicara dengan lebih leluasa" Mereka memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya amat luas dan nyaman, dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik segera keluar menyuguhkan arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah kaki yang genit "Eng Eng, engkau sudah mengenal pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng dengan suara menyayang. Hay Hay melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda ini yang julukannya Lam-hai Giam-lo, pemimpin dari gerombolan orang sesatyang hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan Pek Eng, dan tadi dia melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini! Suara kakek ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu memiliki sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang aneh dan usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih. "Bengcu, aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi pernah menjadi anak angkat dari orang tuaku.” “Ho-ho-ha-ha…!" Lam-hai Giam-lo tertawa dan suaranya bergema diruangan itu, "kalau begitu, dia ini masih kakak angkatmu sediri?" Pek Eng adalah seorang gadis yang amat cerdik dan tangkas. Ketika Hay Hay muncul tadi, ia sudah rnerasa kaget dan heran bukan main, dan biarpun ia tidak tahu apa maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun ia tahu bahwa kalau kedatangan Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu tidak tahu betapa di tempat itu berkumpul banyak sekali orang yang amat lihai. Maka, mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo, ia pun cepat mengangguk membenarkan. "Begitulah, Bengcu. Dia boleh dibilang kakakku sendiri, kakak angkat karena dia pernah diangkat anak oleh Ayah bundaku” Hay Hay mengangguk-angguk pula, menahan dirinya yang diliputi penuh perasaan heran dan penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya demikian dekat hubungannya dengan Lam-hai Giam-lo, pimpinan pemberontak itu! Padahal keluarga Pek, setahunya, adalah keluarga pendekar yang tentu saja sama sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apalagi kalau pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Namun, dia pun cerdik dan menahan dirinya. Dia akan bertanya tentang keanehan itu dari Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja. "Sobat Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng Eng, kenapa engkau tidak memakai nama keluarga Pek, akan tetapi kini memakai nama 'keluarga Tang?" Pertanyaan yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay, namun sama sekali tidak nampak pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu. “Maaf, Bengcu. Sebelum kita bicara tentang diriku, lebih dulu aku ingin sekali tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai dengan jasa-jasaku?" Wajah Lam-hai Giam-lo berseri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih memperoleh jabatan kelak, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa dan berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajakmu datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan kita dan apa saja jasamu terhadap perjuangan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku tadi." Hay Hay merasa penasaran. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih ingat akan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia menjawab, "Biarpun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan tetapi hanya sebentar, dan aku merasa tidak berhak mempergunakan nama keluarga Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku mempergunakan nama keluarga Ayah kandungku sendiri yang telah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?" Ditanya demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja ia tidak mau membuka rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu. Sebelum Lam-hai Giam-lo bicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di di luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang lantang dan nadanya mengejek. "Eh-eh, kalian ini mau apa? Sudah kukatakan bahwa aku datang mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung orang-orang gagah untuk bekerja sama? Dan kini aku datang, mengapa disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang gagah?" “Orang asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama dan apa kepentinganmu hendak bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami ini, apalagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu,” terdengar seorang anak buah Kui-kok-pang membantah. "Habis kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau menghalangiku? Ha-ha, boleh, kalau kalian mampul" terdengar pula suara lantang itu. Mendengar percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut, Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay. Setelah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki gagah berusia lima puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang! Melihat wajah pria setengah tua yang tampan dengan kumis dan jenggot teratur rapi, bahkan rompinya terbuat dari sutera halus. Ki Liong dan Hay Hay terkejut ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah penggembala kambing suku bangsa Hui yang pernah mengacau perkelahian mereka dengan orang-orang Bu-tong-pai. Ki Liong segera mendekati Lam-hai Giam-lo dan berbisik kepada Bengcu ini, menceritakan dengan singkat akan pengalamannya dengan orang setengah tua itu, "Dia lihai sekali dan mencurigakan, Bengcu, akan tetapi akan dapat menjadi seorang pembantu yang amat baik." Ki Liong mengakhiri bisikannya. Lam-hai Giam-lo memang sudah melihat kelihaian orang setengah tua itu. Belasan orang. anak buahnya seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkerik saja. Siapa dekat, tentu terpental oleh tamparan atau tendangan orang setengah tua itu! Padahal anak buahnya ada yang menggunakan senjata dan orang itu hanya bertangan kosong saja. "Tahan…!" teriak Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti bunyi ringkik kuda. Mendengar ini, semua anak buah Kui-kok-pang berloncatan ke belakang. Orang setengah tua itu pun menghentikan gerakannya, sambil tersenyum simpul dia memutar tubuh menghadapi Lam-hai Giam-lo dan matanya terbelalak, senyumnya melebar ketika dla melihat Hay Hay dan Ki Liong. "Ah, senang sekali dapat bertemu dengan kalian dua orang pemuda yang tampan dan gagah!" Dan dia lalu memandang kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu menjura dan berkata. "Kalau aku tidak salah duga, agaknya saudara yang gagah tentulah yang berjuluk Lam-hai Giam-lo, Bengcu dan pemimpin para pejuang. Dan Nona ini, sungguh gagah perkasa dan cantik jelita!" Pujiannya itu tidak mengandung sikap kurang ajar dan melihat betapa Pek Eng tersipu malu, diam-diam Hay Hay tersenyum dalam hatinya. Pria setengah tua ini agaknya juga seorang yang pandai mengagumi keindahan dan kecantikan wanita! Lam-hai Giam-lo menatap tajam dengan sepasang matanya yang sipit. "Sobat, tidak keliru dugaanmu bahwa kami adalah Bengcu dan berjuluk Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di .tempat kami?" Laki-laki setengah tua itu tertawa dan nampak giginya yang masih berderet rapi dan putih, wajahnya nampak jauh lebih muda ketika dia tertawa. "Bengcu, maafkan kalau aku membikin ribut. Memang aku sengaja datang untuk menghadap Bengcu karena aku mendengar bahwa Bengcu mengumpulkan orang-orang gagah untuk diajak bekeria sama. Nah, kalau memang kerja sama itu dapat menguntungkan aku, tentu saja aku bersedia pula membantu Bengcu." "Nanti dulu," kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang tajam penuh selidik. Dia seorang tokoh sesat yang mengenal banyak orang berilmu tinggi di dunia persilatan, akan tetapi dia merasa belum pernah bertemu dengan orang ini, tidak tahu siapa namanya, dari golongan mana pula datangnya. "Kami sebelumnya ingin mengetahui siapa sebenarnya engkau ini sobat." Kembali laki-laki itu tertawa, "Ha-ha, aku sendiri sudah lupa tidak ingat akan namaku sendiri dan aku pun tidak peduli. Bengcu, biasanya aku hanya menggunakan nama Han Lojin, tempat tinggalku tak menentu, di mana saja asal menyenangkan hatiku, di situ tempat tinggalku.” "Hemmm, terus terang saja. Banyak sudah aku mengenal tokoh dunia kang-ouw, akan tetapi belum pernah aku mendengar akan nama Han Lojin, juga belum pernah bertemu denganmu." "Tentu saja, Bengcu. Selama ini aku memang selalu bersembunyi saja di tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala urusan dunia ramai. Akhirnya aku merasa bosan juga dan begitu aku turun gunung, aku mendengar akan kesempatan yang diberikan oleh Bengcu untuk bekerja sama dengan orang-orang gagah. Aku siap membantu asal saja ada imbalannya yang cukup memuaskan." Berkata demikian dia memandang kepada Pek Eng sambil tersenyum. Gadis itu mengerutkan alisnya dan membuang muka. Pria itu sungguh genit, pikirnya. Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Memang dia ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar gerakannya akan menjadi kuat. "Hemm, Han Lojin, ilmu silat baru dapat dilihat kalau sudah diuji. Tadi engkau sudah memperlihatkan kepandaian ketika menghadapi pengeroyokan anak buah kami. Akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka masih amat rendah, maka hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Saudara Tang Hay, engkau wakililah aku menguji sampai di mana tingkat kepandaian Han Lojjn itu. Nah, marilah kita masuk ke Lian-bu-thia." Hah Lojin tersenyum dan dengan langkah gagah dia pun ikut bersama mereka semua memasuki ruangan berlatih silat itu. Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi segera tersenyum. Untuk dapat menyelidiki keadaan persekutuan itu, dia harus memperoleh kepercayaan mereka dan dia tahu bahwa sekali ini yang diuji bukan hanya kepandaian pria bernama Han Lojin (Kakek Han) itu saja, akan tetapi juga ujian untuk kesetiaan dan kesungguhan hatinya untuk bekerja sama dengan persekutuannya. Maka setelah tiba di dalam ruangan belajar silat itu, dia lalu menghadapi Han Lojin, sedangkan Lam-hai Giam-lo, Pek Eng, dan Ki Liong sudah mengambil tempat duduk untuk menonton pertandingan silat. Kedua orang itu sudah berdiri saling berhadapan, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung, lebih dulu mengamati lawan dengan sinar mata tajam penuh penilaian. Hay Hay melihat betapa Han Lojin menahan senyum dan sikapnya seperti memandang rendah, akan tetapi anehnya wajah itu berseri seolah-olah hati orang itu merasa gembira! Timbullah rasa suka di dalam hatinya. Orang ini berwatak periang, dan dia pun merasa kasihan. Akan dijaganya agar dia tidak sampai melukai atau merobohkan orang ini dengan mudah, agar orang ini terangkat martabatnya di dalam pandangan mata Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu, bermu.lculanlah tokoh-tokoh yang menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo. Mereka itu adalah Ji Sun Bi, Min -san Mo-ko, Kim San Ketua Kui-kok-pang, Hek-hiat Mo-ko, dan beberapa orang pendeta perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka mendengar bahwa Ki Liong telah berhasil membujuk pemuda yang namanya Hay Hay dan terkenal amat lihai itu untuk menghadap Lam-hai Giam-lo dan menjadi sekutu, dan mendengar pula bahwa pemuda itu kini disuruh oleh Bengcu untuk menguji kepandaian seorang tamu yang menyatakan diri hendak bergabung. Mereka tertarik dan berbondong-bondong memasuki lian-bu-thia. Karena mereka bukan anggauta biasa, melainkan serombongan orang yang dianggap sekutu dan rekan, maka mereka diperbolehkan lewat dan masuk oleh para anggauta Kui-kok-pang yang berjaga. Juga Lam-hai Giam-lo diam saja dan hanya membalas penghormatan mereka dengan anggukan kepala ketika melihat mereka masuk dan mengambil tempat duduk di pinggir, dekat dinding. Hay Hay juga melihat masuknya mereka itu, dan merasa heran mengapa dia belum melihat dua pasang suami isteri yang pernah memperebutkannya di waktu dia kecil. "Han Lojin, silakan mulai membuka serangan!" tantangnya karena dia ingin segera menyelesaikan tugas yang tidak enak ini. Dia harus menguji kepandaian orang yang mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. Tak disangkanya, Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha, baru sekaranglah aku mendapat kesempatan untuk bertanding dengan Ang-hong-cu yang tersohor itu, ha-ha-ha!" Semua orang terkejut, kecuali Ki Liong yang sudah tahu akan hal itu. Hay Hay lebih terkejut daripada orang lain. “Han Lojin, apa maksudmu….?” Dia berseru penasaran. "Aku bukan Ang-hong-cu!" Han Lojin masih tertawa, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay sambil berkata. "Orang muda, masih perlukah menyangkal lagi? Kalau engkau bukan Ang-hong-cu, mengapa tosu dan murid Bu-tong-pai itu menyerangmu mati-matian? Sudahlah, orang muda, namamu Tang Hay? Bagus, akui saja karena kita semua yang berada di sini, dari golongan manapun juga, adalah rekan sendiri, bukan? Jadi, tidak perlu malu-malu." "Dia bukan Ang-hong-cu….!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Eng lantang. Gadis ini sudah bangkit berdiri dan matanya memandang marah. Ia tentu saja tahu bahwa Hay Hay bukan Ang-hong-cu, melainkan putera kandung dari penjahat pemetik bunga yang tersohor itu. Hay Hay terkejut, cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Pek Eng, mengerahkan kekuatan shirnya. "Eng-moi, jangan mencampuri dan duduklah saja, biar kuhadapi sendiri tuduhan ini!" Kekuatan sihir itu menguasai Pek Eng yang tiba-tiba duduk kembali dengan muka agak berubah pucat. Ki Liong dan Lam-hai Giam-lo tidak merasa heran dengan seruan Pek Eng tadi. Bukankah Pek Eng sudah mengenal Hay Hay dan tentu gadis itu membela karena mungkin gadis itu tidak tahu bahwa pemuda kenalannya itu adalah Ang-hong-cu. Akan tetapi Ki Liong juga meragukan kebenaran tuduhan itu. "Han Lojln, Saudara Tang Hay terlalu muda untuk menjadi Ang-hong-cu, harap jangan bicarakan urusan itu. Hadapi saja dia dengan ilmu silatmu untuk membuktikan kepada Bengcu bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi rekan kami." kata Ki Liong dengan suara lantang. Han Lojin tersenyum lebar. "Baiklah, orang muda she Tang. Engkaulah yang mulai menyerang karena engkau adalah pengujiku, bukah? Heh-heh-heh!" Kini berkuranglah rasa suka di dalam hati Hay Hay terhadap orang itu. Bagaimanapun juga, orang ini di depan orang banyak telah menuduhnya sebagai Ang-hong-cudan ini berbahaya sekali karena memang dia putera jai-hwa-cat itu. Bagaimanapun juga, kenyataan ini menghancurkan hatinya dan dia tidak mau kenyataan yang pahit itu diketahui orang lain. Pek Eng mengetahuinya, akan tetapi dia berhasil membungkam mulut gadis itu dengan kekuatan sihimya. Dan Han Lojin nampaknya demikian memandang rendah kepadanya. Hemm, dia akan tunjukkan kepada orang tua ini bahwa dia tidak boleh dibuat sembarangan! "Baik, aku akan menyerang. Sambutlah!" bentak Hay Hay dan dia pun sudah menerjang dengan memainkan Ilmu Silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Dengan menggunakan jurus Dewa Pemabok Menepuk Lalat, tangannya menyambar ke arah pundak lawan, kelihatannya perlahan saja namun di dalam tamparan itu terkandung tenaga dahsyat. “Heh!" Han Lojin agaknya kaget juga ketika merasakan sambaran angin pukulan yang amat kuat. Dia maklum bahwa pemuda ini lihai, hal itu dapat dilihatnya ketika pemuda itu menghadapi tosu Bu-tong-pai yang lihai. Akan tetapi tak disangkanya bahwa pemuda itu menggunakan tamparan yang demikian dahsyatnya. Dia pun cepat mengelak, akan tetapi tangan pemuda itu seperti meluncur terus, tamparan ke arah pundak itu kini bahkan meluncur ke arah lehernya, lebih berbahaya daripada sebelum dielakkannya tadi. Tiba-tiba kaki Han Lojin mencuat dan mengirim tendangan ke arah pusar Hay Hay. Serangan balasan ini merupakan juga pembelaan diri karena kakinya lebih panjang daripada lengan Hay Hay. Terpaksa pemuda ini menarik kembali tamparannya karena kaki lawan sudah menyambar cepat. Dia pun mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan membacokkan tangan kiri itu seperti sebatang golok ke arah kaki yang menendangnya! Kembali Han Lojin dapat menyelamatkan kakinya dengan memutar kaki itu sehingga tubuhnya ikut terputar dan luput dari "bacokan" tangan Hay Hay. Han Lojin mengerluarkan seruan nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebatan dengan amat cepatnya sehingga sukar dlikuti oleh pandang mata biasa. Dan dengan gerakan secepat itu, dia menghujankan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah tubuh Hay Hay! Pemuda ini kembali terkejut dan dia pun cepat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Yan-cu Coan-in (Walet Menembus Awan) yang membuat tubuhnya juga dapat berkelebatan seperti seekor burung walet terbang saja. Kini giliran Han Lojin yang mengeluarkan seruan kagum. Para penonton juga memandang kagum dan beberapa kali mereka mengeluarkan seruan kagum karena pertandingan itu memang menarik sekali. Dari gerakan-gerakan Han Lojin, mereka yang berilmu tinggi dan hadir di situ seperti Lam-hai Giam-lo, Ki Liong dan para tokoh lain, dapat mengenal bahwa orang ini menguasai banyak macam ilmu silat. Ada gaya silat Siauw-lim-pai di dalam gerakannya, ada pula gaya silat Kun-lun-pai dan partai persilatan lain. Pendeknya, gerakan Han Lojin penuh dengan gaya berbagai aliran dari utara sampai selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dia telah memiliki pengalaman yang luas sekali, mempelajari banyak macam ilmu silat yang membuatnya amat lihai. Melihat kelihaian Han Lojin, diam-diam semua orang kagum dan Lam-hai Giam-lo merasa girang sekali karena dia membayangkan memperoleh seorang pembantu yang hebat di samping Ki Liong, yaitu Hay Hay dan Han Lojin. Dengan adanya tiga orang pembantu yang tingkat kepandaiannya sudah hampir menyamainya itu, maka dia merasa kuat, apalagi masih ada Kulana di sana. Apalagi mereka yang nonton, bahkan mereka yang sedang bertanding itu pun merasa terkejut dan kagum. Han Lojin berkali-kali mengeluarkan seruan kagum dan memuji karena serangan apa pun yang dia keluarkan, dari pilihan jurus-jurus paling ampuh, semua dapat dihindarkan oleh pemuda itu, baik melalui tangkisan maupun elakan. Dan dalam adu ltenaga, harus diakui bahwa tenaga sin-kang pemuda itu kuat bukan main mungkin lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Di lain pihak Hay Hay juga tertegun ketika melihat kelihaian lawan. Ilmu-ilmu silatnya yang paling hebat telah dikeluarkan, namun sukar baginya untuk merobohkan atau mengalahkan lawan. Apalagi mengalahkan tanpa merobohkan! Lawannya ini sungguh hebat dan seimbang dengan tingkatnya. Dalam hal tenaga sin-kang mungkin dia menang sedikit, akan tetapi dia tidak tega untuk mengerahkan seluruh tenaganya, khawatir kalau sampai melukai atau membunuh orang itu. Setelah melihat kelihaian ilmunya, timbul pula rasa sayang dalam hati Hay Hay. Orang ini belum dikenalnya bagaimana keadaannya, entah dari golongan sesat maupun seorang pendekar aneh. Memang banyak terdapat pendekar-pendekar atau orang-orang sakti yang aheh di dunia ini. Di antaranya guru-gurunya, seperti Pek Mau Sanjin dan Song Lojin, juga termasuk orang-orang aneh. Bahkan dua orang gurunya terdaulu, See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, juga merupakan orang-orang aneh sehingga kalau dibuat perbandingan, lawannya yang mengaku bernama Han Lojin ini belum berapa hebat keanehannya. Dia tidak berniat untuk mencelakakan lawan ini. Di dalam hati kedua orang ini timbul suatu pertanyaan. Dalam uji ilmu silat mereka sudah merasa sukar untuk mendapatkan kemenangan dan pertarungan berjalan seimbang dan seru sekali. Lalu andaikata mereka itu benar-benar berkelahi, alangkah akan seru dan mati-matian! "Heiiiittt….!!" Tiba-tiba Hay Hay sudah menerjang lagi, sekali ini dengan cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun kepala lawan dan tonjokan susulan dengan tangan kiri ke arah dada! "Ihhhh….!" Han Lojin mengeluarkan seruan keras, menarik tubuh atas ke belakang sambil miringkan tubuh sehingga, cengkeraman ke arah ubun-ubunnya itu luput, sedangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan ke arah dadanya, disusul tangan kirinya membalas dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah untuk menusuk ke arah mata lawan! Hay Hay kagum bukan main. Indah dan berbahaya gerakan lawan yang membalas dengan kontan serangannya, maka dia pun menangkis dengan putaran lengannya. "Dukk! Desss!" Dua kali sepasasang tangan itu bertemu dan keduanya terdorong ke belakang. "Hyaaaattt…..!” Tubuh Han Lojin sudah melayan ke atas dengan tendangan kaki terbang! Hay Hay juga menyambut dengan gerakan yang sama, yaitu meloncat ke atas menyambut serangan lawan dengan kedua kakinya pula. “Desss….!" Bentrok hebat tak dapat dicegah lagi terjadi di udara dan keduanya terpelanting dan kalau tidak cepat; cepat Hay Hay berjungkir balik mematahkan luncuran badan terbanting sehingga keduanya kini sudah saling pandang lagi, berhadapan dalam jarak empat meter. Keduanya sudah mengeluarkan keringat dan nampak betapa kalau Hay Hay masih segar, lawannya sudah mulai terengah-engah! "Hebat… engkau hebat, panas menjadi Ang-hong-cu…." kata Han Lojin sambil memandang dengan murut menyeringai. "Aku bukan Ang-hong-cu, setan!" Hay Hay berseru marah dan dia sudah siap menyerang lagi. Saat itu dipergunakan oleh Ki Liong untuk melompat ke depan, di antara mereka dan melerai. "Sudahlah, Saudara Tang Hay! Han Lojin! Ji-wi (Kalian Berdua) sudah memperlihatkan kepandaian dan kiranya sudah cukup, bukankah begitu, Bengcu?" Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Saking tertariknya, dia tadi sampai lupa. Kalau tidak Ki Liong yang cepat maju melerai dan pertandingan itu dilanjutkan sampai seorang di antara kedua jagoan itu terluka atau tewas, sungguh amat sayang sekali dan berarti suatu kerugian besar baginya. Maka dia pun bangkit dan mengangkat kedua tangannya. "Sudah cukup, sudah lebih dari cukup. Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian dan kami kagum sekali. Mulai saat ini, Ji-wi menjadi pembantu-pembantuku yang dapat kami andalkan. Nah, marilah duduk, akan kami perkenalkan kepada rekan-rekan lain." Dengan gembira Lam-hai Giam-lo lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan hidangan besar dengan cepat untuk menghormati kedua orang pembantu baru itu. Terjadi keanehan dalam perkenalan itu. Kalau Han Lojin benar-benar merupakan wajah baru, dan hanya Ki Liong seorang yang pernah bertemu dengannya ketika dia menyamar sebagai seorang suku Hui menggembala kambing, sebaliknya ketika Hay Hay diperkenalkan, banyak wajah yang sudah dikenalnya berada di situ. Tentu saja dia sudah mengenal Ji Sun Bi, wanita pertama yang menanamkan gairah berahi dalam dirinya, juga Min-san Mo-ko bukan orang asing baginya karena sudah beberapa kali dia bertanding dengan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Selagi mereka semua berpesta, muncullah dua pasang suami isteri, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka masuk ke dalam ruangan makan, disambut gembira oleh Lam-hai Giam-lo. "Aih, kebetulan kalian berempat datang. Mari, mari sekalian berpesta dengan kami, menyambut pembantu-pembantu baru yang luar biasa ini!" Dia menunjuk kepada Hay Hay dan Han Lojin yang duduk di kanan kirinya. Melihat Hay Hay, dua pasang suami isteri itu memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kemarahan dan juga kegentaran. "Wah, agaknya kalian berempat sudah mengenal pula pemuda ini? Saudara muda Tang, ternyata di sini sudah banyak orang yang mengenalmu dengan baik, ha-ha-ha!" Demikian Han. Lojin berseru sambil tertawa. Lam-hai Giam-lo memandang kepada pemuda, itu. "Saudara Tang, benarkah engkau sudah mengenal kepada mereka berempat?" tanyanya heran. Hay Hay mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, bahkan Lam-hai Siang-mo pernah menjadi Ayah danIbuku, maksudku, mereka telah mengambilku sebagai anak pungut sejak aku masih bayi sampai berusia tujuh tahun. Dan mereka ini suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, juga sudah kukenal baik sekali karena mereka ini mencoba untuk merampasku dari tangan Lam-hai Siang-mo. Aku diperebutkan oleh kedua suami isteri ini karena aku dianggap Sin-tong!" Hay Hay tertawa. "Sin-tong….? Bukankah Sin-tong itu kakak kandungmu, Eng Eng?" tanya Lam-hai Giam-lo kepada Eng Eng. Eng Eng tersenyum pula. Tidak perlu dirahasiakan tentang itu karena memang ia pernah bercerita kepada bengcu itu tentang kakak kandungnya. "Benar, Bengcu. Sejak kecil kakak kandungku, Pek Han Siong, dianggap Sin-tong dan dijadikan perebutan, lalu oleh keluarga kami, Kakakku itu disembunyikan, diganti dengan seorang bayi lain, yaitu Hay-ko ini. Kemudian Hay-ko ini lenyap dicuri orang, ditukar dengan bayi mati, kiranya yang menukar itu adalah Lam-hai Siang-mo." Lam-hai Giam-lo juga tertawa, lalu memberi isarat dengan tangannya kepada dua pasang suami isteri itu. "Eh, kenapa kalian berempat menjadi bengong setelah, melihat Saudara Tang Hay? Duduklah, dan jangan khawatir, dia ini sekarang adalah rekan kita sendiri. Lupakanlah hal-hal yang terjadi di masa lalu, karena mulai sekarang kita harus mencurahkan perhatian untuk perjuangan kita. Berita apa yang kalian bawa dari Saudara Kulana?" "Kami sudah menghadap Saudara Kulana dan telah menjelaskan bahwa kini kita telah siap dan telah mengumpulkan banyak tenaga yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang. Dia menyatakan kegirangan hatinya dan dia mengirimkan bantuan emas kepada Bengcu disertai suratnya." Siangkoan Leng yang menjadi juru bicara mereka berempat, menyerahkan sebuah bungkusan yang kelihatan berat berikut segulung surat kepada Lam-hai Giam-lo. Bengcu ini menerima buntalan itu dan meletakkan di atas meja. Meja berderak menahan berat buntalan itu. Buntalan dibuka dan semua orang terbelalak melihat bongkahan-bongkahan emas murni yang berkilauan. Mereka menaksir bahwa emas murni itu beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus tai! Lam-hai Giam-lo membuka surat itu dan membaca. Wajahnya berubah girang dan setelah menyimpan surat itu ke dalam saku bajunya, dia pun memandang semua pembantunya yang kini lengkap hadir di situ. "Cu-wi (Saudara sekalian), ada kabar baik. Selain Kulana telah mengirimkan bukti bantuannya berupa emas murni untuk membiayai pasukan yang kita himpun, juga menurut siasat yang telah diaturnya, gerakan dapat dilakukan pada akhir bulan ini, kurang lebih dua minggu lagi. Dia sudah menentukan arah mana pasukan bergerak, dibagi menjadi beberapa kelompok dan kota mana yang akan diduduki sebagai landasan pertama dan benteng gerakan selanjutnyaa. Nah, mulai sekarang, kita harus mempersiapkan pasukan kita dan menarik mereka itu semua ke sini, melatih mereka sambil menanti siasat yang akan disampaikan sendiri oleh Saudara Kulana pada malam bulan purnama dua minggu lagi." Semua orang menyambut dengan gembira dan diam-diam Hay Hay mencatat semua yang didengarnya dan dilihatnya. Mereka melanjutkan pesta malam itu dan kemudian terjadi kesibukan. Tentu saja yang bertugas mengumpulkan pasukan para pemberontak itu adalah para pemhantu yang telah memperoleh kepercayaan dari Lam-hai Giam-lo. Hay Hay dan Han Lojin yang merupakan orang baru, belum menerima tugas melainkan disuruh memperkuat penjagaan di sarang mereka. Juga Ki Liong tidak bertugas keluar. Pemuda ini merupakan orang kepercayaan dan juga tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang diam-diam menyuruh Ki Liong untuk memasang mata mengamati kedua orang pembantu baru itu. *** Malam itu dingin dan sunyi. Pek Eng telah berada di dalam kamarnya, rebah di atas pembaringannya. Ia gelisah. Pertemuannya dengan Hay Hay masih mendatangkan ketegangan di dalam hatinya, apalagi mengingat betapa tadi siang Hay Hay dituduh sebagai Ang-hong-cu. Ia dapat merasakan betapa sakit rasa hati pemuda itu dan ia merasa kasihan. Ingin ia bertemu dan bercakap-cakap dengan pemuda itu, namun hatinya merasa tidak enak kalau ia harus mencari kamar pemuda itu. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa orang-orang seperti Ki Liong dan Ji Sun Bi nampaknya belum sepenuhnya percaya kepadanya, biarpun tidak berani secara berterang menentangnya karena Lam-hai Giam-lo menyayangnya sebagai murid dan bahkan anak angkat! Akan tetapi ia ingin sekali bertemu dengan Hay Hay, bicara dengan dia dan bertanya akan maksud kunjungannya ke tempat itu. Ia tidak percaya bahwa Hay Hay ingin membantu Lam-hai Glam-lo karena menginginkan imbalan jasa! Ia yakin Hay Hay bukanlah seorang pemuda seperti itu. Karena gelisah, Pek Eng lalu keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman yang luas itu. Sejak ia berada di situ, taman itu telah menjadi semakin terawat karena ia suka akan bunga-bunga. Bahkan Lam-hai Giam-lo menuruti permintaannya untuk membangun sebuah pondok kecil dicat indah di dalam taman itu untuk tempat beristirahat di kala hawa sedang panasnya, di dekat kolam ikan emas. Agak lega hati Pek Eng yang gelisah setelah ia keluar dari kamar dan hawa malam meniup pada wajahnya, bermain dengan rambutnya. Ketika ia berjalan menuju ke sebuah bangku, ia terkejut dan jantungnya berdebar melihat sesosok tubuh seorang pria duduk di atas bangku itu, tidak jelas wajahnya karena lampu taman berada di belakangnya, tergantung pada batang pohon. Tentu Hay Hay, pikirnya dengan girang dan ia pun menghampiri. "Aih, malam-malam begini melamun seorang diri…." Pek Eng menghentikan tegurannya karena pemuda itu menoleh, ternyata bukan Hay Hay yang ditemukan, melainkan Ki Liong. Ia merasa kecelik dan malu, maka cepat disambungnya, "Liong-ko, mengapa melamun seorang diri di sini?” Gadis yang cerdik ini menyambung tegurannya sehingga tidak kentara bahwa tadi ia mengira Hay Hay pemuda itu. Sim Ki Liong bangkit dan tersenyum manis. "Tidak tahukah engkau, Eng-moi, bahwa sudah lama sekali setiap malam aku duduk seorang diri di sini sambil melamun dan merindukan seseorang?" Pek Eng tersenyum dan tanpa malu-malu ia pun duduk di sudut bangku itu sambil menatap wajah Ki Liong yang kini tertimpa sinar lampu gantung yang tergantung di batang pohon dekat bangku. "Aih, engkau agaknya telah mempunyai seorang kekasih yang kaurindukan, Liong-ko?" Ia menggoda. Gadis ini memang wataknya lincah jenaka dan ia sudah agak akrab dengan Ki Liong yang memang pandai mengambil hati dan membawa diri. "Sudah lama, Eng-moi, akan tetapi gadis pujaan hatiku itu hanya kusimpan saja di dalam hati, dan setiap malam kurindukan di bangku ini." "Siapakah gadis itu, Liong-ko? Boeh aku mengenalnya?” "Engkau sudah mengenalnya dengan baik, Eng-moi. Gadis itu kini berada di sini." "Di taman ini? Ah, di mana? Siapa?'" "Tidak jauh, di hadapanku, di sudut bangku ini. Engkaulah orangnya, Eng-moi, engkaulah gadis yang kucinta, kurindukan dan yang membuat aku tergila-gila. Tidak tahukah engkau?" Seketika wajah Pek Eng berubah merah sekali. Ia merasa malu, kaget, dan juga marah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini akan membuat pengakuan cinta kepadanya! "Ah... Liong-ko….!" Ia barigkit berdiri. Dengan cepat Ki Liong melangkah maju djan dengan lembut ia sudah memegang tangan Pek Eng sambil menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. "Eng-moi, kasihanilah aku yang akan hidup merana tanpa engkau di sisiku! Eng-moi, aku cinta padamu, Eng-moi….!" Dan dia dia menciumi tangan gadis itu. Pek Eng berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, tubuhnya menggigil karena ia bingung sekali. Ia merasa kaget, juga terharu bercampur marah dan ia tidak tahu apa. yang harus dilakukannya menghadapi pemuda yang mengaku cinta itu. Kedua kakinya gemetar. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang, "Wah, indah sekali bunga-bunga di taman ini! Aih, di mana adanya Sim-kongcu? Katanya berada di taman ini…" Dan muncullah Han Lojin, sementara itu Ki Liong sudah cepat bangkit berdiri dan melepaskan tangan Pek Eng. “Ah, ternyata betul engkau berada di sini, Sim-kongcu!" kata Han Lojin dengan wajah berseri gembira, "Ha, kiranya Nona Pek Eng yang cantik jelita itu berada di sini?" "Han Lojin, ada urusan apakah engkau mencari aku?" Ki Liong bertanya, alisnya berkerut dan suaranya kaku, hatinya tidak senang karena dia merasa diganggu sekali. Padahal, tadi Pek Eng tidak memperlihatkan perlawanan dan agaknya dia sudah hampir berhasil sebelum orang celaka ini muncul dan membikin kacau! "Maaf, sebelum kita bicara, sebaiknya kalau Nona Pek ini kembali ke kamarnya lebih dulu. Nona, sudah malam begini kalau Nona masih berada di taman, tentu akan membuat hati Bengcu merasa tidak tenteram. Sebaiknya kalau Nona kembali ke kamarmu agar aku dapat bercakap-cakap dengan Sim-kongcu." Pek Eng baru sadar akan apa yang telah terjadi dan diam-diam ia merasa bersukur akan kemunculan orang itu. Tadi ia merasa seperti kehilangan semangat, dan kini ia melihat dengan perasaan ngeri betapa ia hampir saja terjerumus ke dalam jurang yang amat berbahaya. Ia mengangguk dan melangkah pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi. Tentu saja hati Ki Liong menjadi semakin kecewa dan marah terhadap orang ini. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan ketidaksenangannya, bukan karena dia takut terhadap Han Lojin melainkan dia khawatir kalau sampai Lam-hai Giam-lo tahu akan apa yang hendak dilakukannya terhadap Pek Eng tadi. Kalau Bengcu tidak setuju dan marah kepadanya, dia dapat menghadapi kesulitan besar. Setelah Pek Eng pergi dari taman itu, Ki Liong memandang tajam kepada Han Lojin, menelan kemarahannya dan hanya nampak kemarahan itu pada suaranya yang ketus dan kaku, tidak seperti biasanya dia selalu lembut dan ramah. "Nah, keluarkan isi hatimu, Han Lojin. Apakah urusan itu yang membuat engkau malam-malam begini mencari aku?" Han Lojin bersikap tenang saja menghadapi kekakuan Ki Liong. "Aku tadi minta penjelasan kepada Bengcu tentang keadaan kita, karena aku ingin mengetahui lebih jelas bagaimana kedudukan kita, bagaimana kekuatan kita dan apa pula rencana kita. Sebagai orang baru, aku tidak tahu apa-apa dan sebagai pembantu, tentu saja aku harus mengetahui semua itu. Akan .tetapi Bengcu menyuruh aku mencari dan menemuimu, Sim-kongcu, dan katanya engkau dapat menjelaskan semua itu kepadaku." "Hemm, urusan begitu saja…." Ki Liong menoleh ke arah menghilangnya Pek Eng dan merasa menyesal bukan main. Untuk urusan begitu saja dia terpaksa melepaskan calon korban yang sudah berada di depan mulut tadi, tinggal tubruk saja! “Malam ini aku sedang malas, biarlah besok pagi saja aku memberi penjelasan itu kepadamu, Han Lojjn." Han Lojin tersenyum dan mengangguk. "Begitu pun baiklah, Sim-kongcu. Selamat malam!" Dia melangkah pergi, akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia berhenti dan menoleh. "Ada satu hal lagi, Kongcu. Engkau sebenarnya harus berterima kasih kepadaku sehingga tidak terjadi sesuatu antara engkau dan Nona Pek Eng, karena kalau Bengcu mengetahui, tentu akan terjadi malapetaka atas dirimu." Setelah berkata demikian, Han Lojin menghilang di dalam kegelapan malam. Ki Liong tertegun, berdiri mematung dan mengepal kedua tinjunya. Kemudian dia mendengus, "Bedebah!" dan dia pun meninggalkan taman, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia menjadi berhati-hati dan tidak berani mencoba lagi untuk mengganggu dan merayu Pek Eng setelah Han Lojin mengetahuinya. Siapa tahu orang baru itu untuk mengambil hati melaporkan hal itu kepada bengcu! Dia harus berhati-hati sekali. Sementara itu, Hay Hay sedang duduk di dalam kamarnya. Dia telah dapat mendengar dan melihat banyak, untuk bahan laporan kepada pemerintah. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Tidak ada waktu lagi untuk melapor ke kota raja, kepada Menteri Yang Ting Hoo. Dia akan melapor kepada benteng pasukan pemerintah yang terdekat, tentang rencana pemberontakan yang akan dimulai pada terang bulan dua minggu mendatang. Rencana pemberontakan itu harus dihancurkan! Dia perlu menghubungi para pendekar, akan tetapi dia tidak tahu mereka berada di mana. Teringatlah dia kepada Han Lojin! Orang itu mencurigakan sekali. Dia tidak yakin bahwa orang itu termasuk tokoh sesat yang hendak mencari keuntungan dengan membantu pemberontak. Siapa tahu dia adalah seorang tokoh pendekar pula yang menyamar! Sebelum pasukan pemerintah menghancurkan pasukan pemberontak, lebih dahulu para tokoh sesat harus dibinasakan. Dan pasukan pemerintah pun baru bisa bergerak kalau pasukan pemberontak yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu telah berkumpul di dataran Yunan. "Tok-tok-tok!" Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar perlahan. Dia terkejut bukan oleh ketukan itu melainkan karena sama sekali dia tidak mendengar langkah orang di luar pintu. Kalau langkah orang biasa, sudah pasti akan didengarnya. Jelas bahwa yang datang mengetuk daun pintu itu tentu orang yang berkepandaian. "Siapa di luar?" tanyanya tanpa bangkit dari tempat duduk. "Aku, saudara muda Tang Hay, bukalah pintu, aku Han Lojin ingin bicara deganmu!" kata suara itu dari luar pintu. Berdebar rasa jantung dalam dada Hay Hay. Baru saja dia memikirkan tentang orang ini? Benarkah dia seorang pendekar yang bertugas sama dengan dia? Kalau benar, betapa beraninya mendatangi kamarnya begitu saja. Tentu akan menimbulkan kecurigaan, dan dia tahu bahwa diam-diam Lam-hai Giam-lo belum percaya kepada mereka berdua dan tentu selalu memasang mata-mata untuk mengamati mereka. Mungkin Sim Ki Liong mata-mata itu, atau para anggauta Kui-kok-pang atau Pek-lian-kauw. Dan teringat dia akan kelihaian orang ini. Tidak mudah baginya untuk mengalahkannya. Bagaimana kalau dengan sihir? Belum dicobanya. Tidak selalu kekuatan sihirnya dapat diandalkan. Kalau bertemu lawan yang tangguh dan memiliki daya tahan terhadap sihir, seperti mendiang Kiu-bwe Tok-li, nenek buruk itu, kekuatan sihirnya takkan ada artinya. Akan tetapi boleh dia coba, pikirnya sambil bangkit dari kursinya dan membuka daun pintu. Dia telah mempersiapkan diri, mengerahkan kekuatan sihirnya ketika membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka dan Hay Hay berhadapan dengan Han Lojin, dia menatap tajam diantara kedua alis orang itu dan berkata dengan suara yang menggetar penuh wibawa, "Aku bukan Hay Hay aku Sim Ki Liong!" Jelas nampak betapa wajah Han Lojin tertegun kaget, matanya terbelalak dan mulutnya tergagap, "Sim... Sim... Kongcu..., ahhh!" Dia menggunakan tiga jari tangan kirinya dan menekan diantara kedua alisnya, kemudian memandang lagi dan kini wajahnya tersenyum lebar. "Wah, Saudara Tang, jangan main-main! Hampir saja kukira benar, akan tetapi baru saja aku bertemu Sim-kongcu di taman. Agaknya engkau memang suka bermain sulap, ya?" Tahulah Hay Hay bahwa orang ini memang tangguh. Begitu terpengaruh sihirnya, Han Lojin tadi sudah berhasil memunahkan kekuatan sihirnya dengan menekan antara kedua alis matanya dengan tiga jari tangan kiri. Dia melihat betapa orang itu membawa sebuah guci arak, maka semakin heranlah dia mengapa orang ini datang kepadanya membawa guci arak. "Han Lojin, ada keperluan apakah engkau malam-malam begini datang berkunjung kepadaku?" Diam-diam dia. heran. Orang ini, bersama dia baru saja diterima di situ sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah berkeliaran di tempat orang! "Ha-ha-ha, karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita." "Hemm, dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, bahkan seenaknya saja menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol. "Heh-heh, karena memang engkau pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu….” "Tidak sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?" "Ha-ha-ha, Saudaraku yang baik. Bukankah di sini berkumpul banyak orang yang bergelimang kejahatan? Ataukah engkau ini seorang yang menentang kejahatan, dan kalau benar demikian, kenapa berada di sini?" Berkata demikian, Han Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk? Aku hanya ingin menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa kagumku." Ucapan Han Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya menaruh curiga kepadaku dan menduga bahwa aku adalah seorang dari golongan lain yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian, celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat perkembangannya. "Masuk dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan. Keduanya duduk dipisahkan meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu. "Nah, katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?" "Heh-heh, sudah kukatakan tadi. Ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah ratusan tahun umurnya, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin engkau menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah di sini ada cawan?" Kebetulan di setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay mengambil dua buah cawan dan dia bersikap waspada. Akan tetapi, Han Lojin menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu berwarna kekuningan, seperti emas, dan mengeluarkan bau yang amat harum semerbak seperti bunga. "Saudara Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu,” kata Han Lojin sambil mengangkat cawan araknya. Hay Hay mengikutinya, dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, dia pun tidak curiga lagi dan dia pun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras, namun hangat memasuki perutnya. Dua kali lagi mereka minum sampai guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan gembira bukan main. "Bagus, engkau memang seorang pemuda yang hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di kamarku " Orang itu bangkit dan agak terhuyung. Hay Hay ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja sudah kelihatan mabuk. Akan tetapi ketika. dia bangkit berdiri, dia pun terkejut karena kepalanya terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah dia pun mabuk hanya karena minum tiga cawan saja? Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus namun keras bukan main. "Tapi, apakah sebetulnya yang hendak kaubicarakan, Han Lojin?" “Aku? Heh-heh-heh, tidak apa.apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh, dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam rayuannya, akan tetapi... he-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda, engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan? Sebaiknya sekarang juga engkau memperingatkan ia sebelum terlambat..." Setelah berkata demikian, Han Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Hay Hay merasa terkejut sekali, juga marah. Keparat Ki Liong itu! Dia menduga keras bahwa Ki Liong adalah juga Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar juga anjuran Han Lojin itu. Hay Hay lalu keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya, kagum. Arak yang sudah tua sekali dan memang hebat! Dia tahu di mana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, walaupun tidak ada maksud buruk. Sebaiknya Pek Eng dipanggilnya keluar. "Eng-moi...!" Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay Hay….!” "Hay-ko...!" terdengar suara gadis itu. "Ssstttt..., keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau bicara penting," kata pula Hay Hay. "Baik, Hay-ko…." Mereka bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi, juga gelap karena sinar lampu di depan pondok itu terhalang pohon. "Ada apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, berdiri dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri teringat akan pengalamannya dengan Ki Liong tadi. "Eng-moi..." Hay Hay tergagap dan pemuda ini memejamkan matanya sejenak, dia merasa aneh sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Kau... kau harus berhati-hati terhadap rayuan Ki Liong…" "Hay-ko...! Kau... kau sudah tahu? Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak cinta padanya, Hay-ko..." Dan gadis itu makin mendekat karena heran melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan. "Hay-ko, engkau kenapakah …." Tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay. Akan tetapi, sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul, mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan main, sampai ia menjadi gelagapan. "Hay-ko... Hay-ko... Hay…." Gadis itu tidak dapat melanjutkan karena Hay Hay sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya dan karena memang di sudut hati gadis ini sudah jatuh cinta kepada Hay Hay, sejak pertemuan pertama dahulu, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan ia pun bukan hanya mandah saja bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay Hay. "Hay-kooo…." keluhnya dan ia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay memasuki pondok itu. Dengan kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok terbuka, masuk ke dalam pondok yang gelap karena memang lampunya tidak dinyalakan itu, dan menghampiri dipan kayu yang terdapat di dalam pondok. “Eng-moi….” "Hay-ko….. " Akan tetapi, ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya, kemabukan aneh yang mendatangkan rangsang berahi yang amat hebat itu dapat nampak oleh kesadarannya dan dia pun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan meloncat turun dari pembaringan. "Hay-ko….!" "Eng-moi, apa yang kita lakukan ini? Ahh…." Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu dengan geram tertahan dia pun meloncat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih berada di atas dipan dan gadis ini terisak. Baru saja bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap dalam kegelapan, nampak pula bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu dari dalam. "Hay-koooo….!" Pek Eng mengeluh dan merintih panjang dan selanjutnya sunyi di pondok itu. Kesunyian yang menghanyutkan, kesunyian yang penuh dengan pengaruh setan dan iblis, yang membuat manusia lupa akan segalanya, lupa akan kesadarannya, dan lupa untuk membayangkan akibat-akibat dari perbuatannya di malam yang menghanyutkan itu. Dalam kegelapan malam itu, sesosok bayangan keluar dari dalam pondok dan meloncat ke balik batang pohon, lenyap seperti setan. Tak berapa lama kemudian, nampak bayangan lain keluar dari dalam pondok, menahan isak dan bayangan kedua ini adalah Pek Eng yang terhuyung meninggalkan taman, kembali ke kamarnya sambil menangis lirih. Semalam suntuk Pek Eng tak dapat tidur. Kadang-kadang ia terisak, akan tetapi kadang-kadang nampak ia tersenyum bahagia lalu termenung. Ia telah menyerahkan diri kepada Hay Hay, seperti orang yang mabuk keduanya telah mereguk anggur manis itu bersama, dengan suka rela, dengan sepenuh kasih sayang dan kemesraan. Ketika Hay Hay meninggalkannya mendadak, ia bingung dan mennyesal, akan tetapi ketika pemuda itu masuk lagi ke kamarnya ia terkejut. Baru setelah Hay Hay kembali merangkul, mendekap dan menciuminya, ia pasrah sepenuh hatinya. Ia mencinta Hay Hay dan ia tidak merasa menyesal telah menyerahkan diri kepada pemuda itu, karena ia yakin bahwa Hay Hay akan bertanggung jawab, akan mengawininya! Dan ia merasa berbahagia kalau teringat akan hal ini, membayangkan menjadi isteri Hay Hay walaupun perasaan sesal karena ia telah menyerah begitu saja, dengan amat lemah, kadang mengganggu hatinya. Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika Pek Eng mencari Hay Hay, dengan menahan perasaan canggung dan malu, ia tidak dapat menemukan pemuda itu! Hay Hay telah pergi meninggalkan perkampungan itu tanpa pamit kepada siapa pun, pada malam hari itu juga. Tentu saja Pek Eng menjadi terkejut dan khawatir, dan ia pun segera pergi untuk mencari Hay Hay. Bagi Ki Liong, yang mengniiang bukan hanya Hay Hay, akan tetapi juga Han Lojin tidak berada di dalam kamarnya. Tak seorang pun diantara para penjaga melihat kedua orang itu meninggalkan perkampungan dan hal ini tidak mengherankan hati Ki Liong karena kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia merasa menyesal sekali. Kalau tidak karena kegagalannya merayu Pek Eng, tentu dia akan lebih waspada mengamati dua orang itu. Kini, mereka telah pergi, entah ke mana dan entah apa yang akan mereka lakukan. Ketika dia melapor kepada Lam-hai Giam-lo, Bengcu ini tentu saja menjadi marah dan menegur para penjaga yang dimakinya kurang hati-hati. "Sebar orang-orang dan cari mereka!" bentak Lam-hai Giam-lo. "Kalau sudah diketahui tempatnya, aku sendiri yang akan menghadapi mereka kalau mereka memang berkhianat!" Ki Liong sendiri yang juga merasa penasaran, segera memimpin pasukali kecil untuk melakukan pencarian. Keadaan menjadi kacau, apalagi ketika Lam-hai Giam-lo mendengar dari para pelayan bahwa pagi sekali tadi Pek Eng juga meninggalkan tempat itu. Para penjaga melihat Pek Eng keluar dari perkampungan dan karena semua penjaga mengenal bahwa Pek Eng adalah murid dan juga anak angkat bengcu, tak seorang pun diantara mereka berani bertanya apalagi menghalangi kepergiannya. Lam-hai Giam-lo merasa khawatir sekali dan dia menyuruh orang-orang untuk mencari pula muridnya itu. *** Ketika mendengar tuduhan para tokoh Bu-tong-pai bahwa Hay Hay, susioknya yang amat dikaguminya itu, adalah Ang-hong-cu, seorang penjahat pemerkosa wanita yang tersohor, tanpa Hay Hay dapat membuktikan bahwa dia bukan Ang-hong-cu timbul perasaan kaget, penasaran dan kemarahan dalam hari Cia Ling atau Ling Ling. Ling Ling adalah seorang gadis yang berhati lembut, berwatak jujur, terbuka dan peka sekali. Begitu bertemu dengan Hay Hay hatinya sudah tertarik sekali karena selama hidupnya, ia merasa belum pernah ia jumpa dengan seorang pria yang demikian menarik hatinya dan amat dikaguminya. Oleh karena itu, tuduhan bahwa Hay Hay seorang jai-hwa-cat yang tersohor, membuat hatinya bimbang dan berduka. Apa lagi ketika ia teringat betapa Hay Hay memang memiliki sikap yang perayu dan seperti pemuda mata keranjang, begitu bertemu dengannya langsung saja memuji-muji kecantikannya. Benarkah Hay Hay seorang penjahat pemetik bunga, atau penjahat yang suka memperkosa dan mempermainkan wanita? Tidak sukar bagi Hay Hay untuk melakukan kejahatan seperti itu pikirnya. Hay Hay cukup tampan dan ganteng untuk menggetarkan hati wanita, cukup gagah dan lihai sekali untuk menarik hati wanita, dan pandai merayu pula dengan kata-kata manis dan indah. Kalau rayuannya tidak mempan, tentu saja dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menundukkan wanita dan memperkosanya. Ling Ling bergidik, merasa ngeri. Benarkah pemuda yang gagah itu, yang masih terhitung paman gurunya sendiri, adalah seorang pen jahat keji? Tadinya ia sudah tidak ingin mempedulikan lagi, ingin meninggalkan Hay Hay dan menyelidiki sendiri persekutuan pemberontak itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, hatinya merasa tidak tega kepada Hay Hay. Pemuda itu telah berjanji bahwa tiga hari kemudian akan menjumpainya di tepi telaga, di bagian yang sunyi di mana untuk pertama kali ia bertemu dengan susioknya itu, ketika Hay Hay sedang memancing ikan kemudian terganggu oleh luncuran perahunya. Maka, pada hari ketiga, Ling Ling membawa perbekalan makanan dan pergilah ia ke tempat itu. Ia menanti dengan sabar, bahkan sampai menjelang malam, ketika hari telah menjadi gelap, ia masih duduk di tepi telaga, menanti munculnya Hay Hay di situ. Gadis ini merasa yakin bahwa susioknya pasti akan datang, entah malam ini atau paling lambat besok pagi-pagi. Ia akan menanti dan akan bicara dari hati ke hati, bukan hanya untuk mendengar akan hasil penyelidikan susioknya, akan tetapi juga tentang tuduhan orang-orang Bu-tong-pai itu. Ia harus dapat yakin akan hal itu! Ketika malam tiba dan hawa mulai dingin, dengan bulan yang masih muda muncul mendatangkan cuaca yang muram, Ling Ling membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan dingin, juga untuk memberi sedikit cahaya penerangan sebelum ia tidur. Ia tetap menanti, akan tetapi sampai jauh malam, setelah semua kayu untuk dibakar telah habis, Hay Hay belum juga datang. Ling Ling membiarkan api unggun padam, lalu merebahkan diri di atas tanah di tepi telaga, berselimut kain yang dibawanya. Ia tidak mempunyai nafsu untuk makan malam dan membiarkan saja bekal makanan tanpa disentuh. Bagaimanapun juga, ia merasa agak kecewa karena malam itu agaknya Hay Hay tidak datang. Gadis itu mulai hanyut dalam kantuk dan hampir pulas sehingga ia tidak melihat berkelebatnya bayangan orang menghampirinya. Ia baru terkejut ketika ada tangan menotoknya. Ia tidak keburu mengelak atau bergerak, dan ketika ia sadar hendak meloncat, ternyata tubuhnya sudah lemas tak berdaya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang menjadi seperti lumpuh! Ada sosok tubuh orang berdiri di dekatnya, dan biarpun cuaca remang-remang tidak memungkinkan ia mengenal wajah orang itu, namun dari bentuk tubuhnya, ia merasa yakin bahwa orang itu adalah Hay Hay! Ingin ia memanggil susioknya, namun mulutnya juga tidak mampu bersuara. Totokan itu lihai bukan main, membuat ia tidak mampu menggerakkan kaki tangan maupun mulutnya, namun tetap membuat ia sadar. Kenapa susioknya melakukan hal ini? Menotoknya? Apakah hendak main-main atau ada alasan lain yang memaksanya? Alangkah kagetnya ketika ia melihat apa yang dilakukan susioknya terhadap dirinya! Ia terbelalak, tak dapat meronta dan hampir pingsan! Susioknya telah melucuti pakaiannya dan memperkosanya! Hatinya memberontak! Bukan karena hubungan itu sendiri, melainkan karena perkosaan itu! Tak tahulah susioknya itu bahwa sejak pertama kali bertemu, ia telah jatuh hati? Dan ia akan merasa berbahagia sekali menjadi isteri susioknya itu, dengan rela dan suka hati ia akan menyerahkan dirinya, dengan pasrah dan penuh kasih sayang! Akan tetapi mengapa susioknya itu memperkosanya? Betapa kejamnya, betapa kejinya! Benar-benar dia seorang jai-hwa-cat! Dan Ling Ling jatuh pingsan, tidak merasakan lagi apa yang telah terjadi pada dirinya. Hatinya menjerit-jerit, langit bagaikan runtuh bagi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun lebih ini. Ketika akhirnya Ling Ling siuman dan membuka matanya, ia mengeluh tanpa dapat mengeluarkan suara rintihan panjang keluar dari dalam dadanya dan ia menggigil. Dingin sekali rasanya. Ketika ia membuka mata, ternyata malam telah lewat dan biarpun matahari belum muncul, namun sinarnya telah mendahuluinya mengusir sisa-sisa malam pekat dan dingin. Ling Ling mendapatkan dirinya masih rebah terlentang dengan telanjang bulat, di atas pakaiannya sendiri! Ia masih belum mampu bergerak! Dan Hay Hay telah tidak ada, tak nampak bayangannya. Keparat! Betapa kejinya! Meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Telanjang bulat dan dalam keadaan masih tertotok. Atau ditotok lagi, pikir Ling Ling penuh kebencian dan kedukaan. Totokan pertama itu telah habis daya gunanya dan agaknya, sebelum meninggalkannya, jai-hwa-cat itu telah menotoknya lagi! "Ling Ling...!!" Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan muncullah pemuda ini. Matanya terbelalak melihat gadis yang terlentang telanjang bulat dan tidak mampu bergerak itu. Cepat Hay Hay menanggalkan baju luarnya dan menutupi tubuh Ling Ling. "Ling Ling, kau kenapakah?" teriaknyadan melihat betapa gadis itu hanya memandangnya dengan mata mengalirkan air rnata, tanpa suara dan kaki tangannya lemas, Hay Hay lalu cepat memulihkan totokan itu. Ling Ling mampu bergerak dan pertama kali yang dilakukannya adalah membalikkan tubuhnya, membelakangi Hay Hay dan mengenakan kembali pakaiannya satu demi satu dengan cepat, dengan kedua tangan gemetar dan kedua kaki menggigil, air matanya bercucuran. Hay Hay memandang saja, membiarkan sampai Ling Ling selesai berpakaian, barulah dia bertanya lagi. "Ling Ling, apa yang telah terjadi? Apa... siapa….." dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena gadis itu sudah membalik dan memandang kepadanya dengan sinar mata berapi akan tetapi juga mencucurkan air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya yang pucat. "Manusia keji! Engkau masih berpura-pura dan bertanya apa yang telah terjadi? Aih, Susiok, kenapa hati manusia dapat sekejam hatimu?" Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Hay Hay terbelalak dan mengerutkan alisnya, memandang penuh selidik dan juga penuh kekhawatiran. "Ling Ling, apa…. apa maksudmu…. ?” Ling Ling menahan tangisnya, menurunkan kedua tangan dan dengan mata membendul merah karena terlalu banyak menangis ia menatap wajah pemuda itu dan berkata, suaranya penuh nada penyesalan. "Engkau... jai-hwa-cat terkutuk berjiwa pengecut! Semalam... engkau datang ketika aku tidur, dan engkau menotokku kemudian kau... kau... memperkosa aku! Dan sekarang engkau pura-pura bertanya dan bersikap tidak berdosa?" Kalau saat itu ada kilat menggelegar dan menyambar kepalanya, belum tentu Hay Hay akan sekaget ketika mendengar tuduhan yang dilontarkan oleh gadis itu. Dia meloncat dengan muka pucat, kemudian mukanya berubah merah sekali. "Ling Ling...! Benarkah engkau melihat bahwa orang itu adalah aku? Dapatkah engkau melihat dan mengenalku?" Dengan mata mencorong karena marah melihat pemuda itu tetap hendak berpura-pura, Ling Ling berkata, "Biarpun keadaan gelap dan tidak dapat melihat mukamu, akan tetapi aku mengenalmu. Bayangan tubuhmu, juga mukamu halus, dan siapa lagi yang tahu akan tempat ini selain kita berdua? Bukankah engkau sudah berjanji padaku akan datang setelah tiga hari, jadi tepat malam tadi? Susiok, engkau mempergunakan kesempatan dan kepandaianmu untuk melakukan kekejian dan engkau menghancurkan hatiku, menodai kehormatanku….." Gadis itu menangis lagi. " Akan tetapi... semua itu telah terlanjur..., mungkin engkau dikuasai nafsu... dan aku mau memaafkan semua itu asal engkau menyatakan penyesalanmu dan bertobat, tidak menjadi Ang-hong-cu lagi, dan engkau memperisteri aku dengan sah…." "Tidak...! Tidak, bukan aku, Ling Ling! Sungguh mati, bukan aku yang melakukan kekejian itu terhadap dirimu!" Ling Ling meloncat dengan marah dan berdiri tegak, tangisnya terhenti dan wajahnya membayangkan kemarahan. "Tang Hay! Begini sajakah keadaan batinmu? Engkau melakukan kekejian, memperkosa aku, dan kini masih sampai hati untuk berpura-pura tidak tahu dan menyangkal? Kalau begitu engkau bukan manusia, engkau kejam melebihi binatang, engkau iblis dan engkau atau aku akan mati di sini!" Gadis yang biasanya berwatak lembut itu kini berubah beringas seperti seekor harimau marah dan ia sudah menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan itu. Hay Hay yang masih terguncang batinnya karena tuduhan tadi, seperti orang bingung dan menghadapi serangan ini, dia hanya menolaknya untuk melindungi dirinya, atau sebagai gerakan pertahanan otomatis. Akan tetapi dia tidak mengerahkan tenaga terlalu besar, karena di samping kebingungan dan kekagetannya, juga dia merasa iba sekali kepada gadis yang baru saja ditimpa malapetaka yang bagi seorang gadis lebih hebat daripada maut itu. "Dukkk...!" Tubuh Hay Hay terlempar dan terbanting jatuh bergulingan, dan dengan gerakan yang cepat bukan main Ling Ling sudah meloncat, mengejar dan mengirim tendangan ke arah kepala Hay Hay. Serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh, karena dalam tendangan itu terkandung pula tenaga yang amat besar. Hay Hay belum sempat bangun dan melihat tendangan menyambar ke arah kepalanya, kembali gerakan otomatis membuat dia menggerakkan tangan melindungi kepala. "Desss...!" Tendangan yang diterima oleh tangan Hay Hay itu kuat sekali, dan untuk kedua kalinya tubuh Hay Hay terlempar dan bergulingan seperti sebutir bola ditendang. Bagaikan seekor harimau mencium darah, Ling Ling bertambah beringas dan ia pun sudah mengejar lagi. Akan tetapi Hay Hay sudah meloncat bangun. "Ling Ling, tahan dulu! Sungguh mati, aku tidak melakukan perbuatan itu!" Hay Hay berseru sambil mengangkat tangan ke atas. Akan tetapi penyangkalan ini membuat hati Ling Ling menjadi semakin marah. Kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hebat. Bagaimana kalau benar-benar bukan Hay Hay yang memperkosanya? Hal ini akan mendatangkan kehancuran hati lebih besar lagi. Kalau Hay Hay yang melakukannya, bagaimanapun juga ia mencinta susioknya itu. Akan tetapi kalau orang lain? Akan lenyaplah harapannya untuk dapat memaksa Hay Hay mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka ia tidak sudi mendengarkan kemungkinan ini dan ia sudah menerjang lagi sambil berkata, "Engkau mengakui perbuatanmu atau mengadu nyawa dengan aku!" Dan ini memang sudah menjadi tekadnya. Kalau Hay Hay mengaku dan mau bertanggung jawab ia akan suka memaafkan dan menjadi isteri pemuda itu, sebaliknya kalau Hay Hay tetap menyangkal, pemuda itu harus mati atau ia sendiri yang akan mati dalam tangan pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan loncatan tinggi dan ketika tubuhnya meluncur turun, kedua tangannya membentuk cakar dan mencengkeram ke arah ubun-ubun, kepala dan leher pemuda itu. Serangan bukan main hebatnya karena Ling Ling sudah menggunakan satu jurus dari Ilmu Silat Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis)! Serangan ini memang dahsyat sekali, akan tetapi dengan tingkat kepandaiannya yang lebih tinggi, kiranya tidak akan begitu sukar bagi Hay Hay untuk menyelamatkan diri, juga membalas. Akan tetapi sekuku hitam pun tiada niat di hatinya untuk membalas kepada gadis yang amat dikasihaninya itu. Dia mencoba untuk mengelak, akan tetapi kedua tangan gadis itu terus mengejar kepala dan lehernya. Terpaksa dia menangkis dengan lengannya, menyampok ke dalam. "Dukkk!" Kini tubuh Ling Ling terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, Hay Hay sudah merangkap lengannya sehingga gadis itu tidak terbanting. Hay Hay masih memegang lengan Ling Ling dengan lembut, berdiri dekat dan membujuk. "Dengarkanlah dulu, Ling Ling dan jangan terburu napsu. Sesungguhnyalah kalau kukatakan bahwa akutidak….” "Bukkk!!" Kini hantaman Ling Ling tepat mengenai dada Hay Hay dan pemuda itu terpelanting. Pukulan dari jarak dekat itu cukup keras dan mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Namun tidak melukai Hay Hay walaupun dalam dadanya terguncang dan ada sedikit darah nampak pada ujung bibirnya ketika dia meloncat bangun kembali. Pada saat itu, Ling Ling sudah menyerang lagi, dan Hay Hay hanya mengelak sambil mundur . "Ling Ling, demi Tuhan... Ling Ling...”Di antara serangan bertubi yang dielakkan atau ditangkisnya dengan lembut, Hay Hay masih mencoba untuk menyabarkan gadis itu. "Pengecut keji!" Ling Ling bahkan menjadi semakin marah dan menyerang lagi, kini menggunakan Ilmu Totokan It-sin-ci yang amat cepat dan berbahaya sekali. Karena sama sekali tidak membalas, Hay Hay menjadi repot juga ketika dihujani serangan totokan ini. Percuma saja dia menghindarkan diri dengan Jiauw-pouw-poan-soan karena gadis itu sudah mengenal ilmu ini dan tentu akan melihat rahasia gerakan kakinya dan bahkan membahayakan dirinya. Maka, dia pun mempergunakan kedua tangannya untuk selalu menangkis atau menyambut totokan sebuah jari itu dengan telapaktangannya yang diisi dengan sin-kang lunak. Dia mundur terus dan menjadi semakin bingung karena Ling Ling menyerang makin hebat. “Tahan serangan! Nona, kenapa Nona menyerang pendekar itu mati-matian?" Hay Hay melirik dan mengenal pemuda perkasa Can Sun Hok yang pernah dibujuknya untuk menentang persekutuan pemberontak. Dia menjadi semakin bingung karena kalau pemuda ini menanyakan urusan, tidak mungkin dia dapat menceritakan tentang aib yang menimpa diri Ling Ling. Maka, menggunakan kesempatan selagi Ling Ling menoleh dan memandang kepada orang yang baru datang itu, Hay Hay melompat dan mempergunakan kepandaiannya menghilang di antara pohon-pohon dalam hutan di tepi telaga. “Jahanam, janngan lari!" bentak Ling Ling, yang segera melakukan pengejaran. Pemuda itu, Can Sun Hok, yang merasa heran sekali, juga ikut pula mengejar. Akan tetapi, bayangan Hay Hay telah menghilang dan Ling Ling kehilangan jejaknya. Ketika gadis ini berhenti di tengah hultan dengan bingung, Can Sun Hok muncul, dan bersikap hormat. "Maaf, Nona. Bukan maksudku hendak mencampuri urusan Nona, akan tetapi aku sungguh merasa heran melihat betapa Nona mati-matian menyerang dia, seorang pendekar yang berilmu tinggi dan seorang utusan pemerintah untuk menumpas persekutuan pemberontak itu." Tadinya Ling Ung hendak marah melihat ada orang mencampuri urusannya, akan tetapi melihat Sun Hok yang demikian sopan dan mendengar Sun Hok memuji-muji Hay Hay, kemarahannya berkurang. Ia pun maklum bahwa ia sama sekali tidak mungkin dapat menceritakan peristiwa antara ia dan Hay Hay itu, yang merupakan rahasia pribadinya merupakan aib yang tak mungkin diceritakannya kepada orang lain, kecuali orang tuanya sendiri. "Pendekar? Huh, dia adalah Ang-hong-cu, Jai-hwa-cat yang amat keji, maka aku tadi berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Kini Sun Hok yang terbelalak heran, "Apa…. ? Dia…..? Ang-hong-cu Si Jai-hwa-cat…? Ah, benarkah itu, Nona? Aku pernah bertemu dengannya. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan dia membujukku untuk membantu pemerintah menghadapi para datuk sesat yang bersekutu dan hendak memberontak. Bahkan aku mendengar sendiri dari Menteri Cang Ku Ceng bahwa Saudara Hay Hay itu adalah orang kepercayaan Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan di kota Siang-tan, dan mereka itu memesan kepadaku agar aku suka membantunya. Akan tetapi, ah... kenapa aku begini lancang mulut, padahal aku tidak mengenalmu, Nona. Siapakah engkau, dan bagaimana dapat menuduh Saudara Hay Hay yang gagah perkasa itu seorang Jai-hwa-cat?" "Hemm, aku sendiri belum mengenal siapa engkau…." kata Ling Ling sambil menatap tajam. "Namaku Can Sun Hok, Nona, juga tinggal di kota Siang-tan. Aku sudah janji kepada Saudara Hay Hay untuk membantu pemerintah menentang kaum sesat yang memberontak." Ling Ling percaya kepada pemuda yang sopan dan halus ini, "Namaku Cia Ling, dan aku pun sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar bahwa di daerah Yunan terdapat persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo dan mereka hendak melakukan pemberontakan. Kebetulan saja aku bertemu dengan Hay Hay itu dan ada serombongan murid Bu-tong-pai yang mengejar-ngejar dan menyerangnya karena menurut para murid Bu-tong-pai itu, dia adalah Ang-hdng-cu, jai-hwa-cat yang telah mengganggu dan membunuh seorang murid Bu-tong-pai." "Ah, kalau benar demikian, sungguh berbahaya! Dia lihai sekali dan kalau benar dia jai-hwa-cat, berarti dia seorang tokoh sesat dan tentu saja dia menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo! Padahal Menteri Yang Ting Hoo dan Jaksa Kwan telah percaya kepadanya, bahkan menurut Menteri Cang Ku Ceng, dia telah menerima tanda kepercayaan Menteri Yang. Kalau begitu, sebaiknya kita melapor kepada Menteri Cang agar jangan sampai terlambat. Siapa tahu dia itu mata-mata pihak musuh." 'Tapi... Menteri Cang Ku Ceng tentu berada di kota raja!" kata Ling Ling ragu. Pemuda itu tersenyum. "Menteri Cang telah berada di sini, tak jauh dari telaga ini, di balik bukit di utara itu, dan mempersiapkan ribuan orang pasukan dalam benteng darurat di sana. Juga banyak pendekar sudah berkumpul dl sana, siap menanti saat baik untuk menggempur para pemberontak. Marilah, Nona. Kita harus melaporkan tentang Hay Hay itu kepada Menteri Cang agar beliau dapat mengambil keputusan." Tidak ada jalan lain bagi Ling Ling kecuali menyetujui. Ia ingin sekali mengejar dan mencari Hay Hay sampai dapat, akan tetapi maklum bahwa tidak mudah menyusul pemuda yang amat lihai itu. Dengan perasaan hancur dan tubuh lemas ia mengikuti pemuda yang sopan itu menuju ke utara. Untung ia adalah seorang gadis gemblengan dan tubuhnya sudah memiliki kekuatan yang jauh melebihi gadis biasa. Kalau tidak demikian, setelah apa yang dialaminya semalam, tentu ia tidak akan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa merasa amat menderita lahir batin. Ia membayangkan betapa ayah ibunya akan terkejut sekali kalau mendengar malapetaka yang menimpa dirinya. Ibunya tentu akan marah bukan main dan akan mencari Hay Hay untuk membalas dendam. Kalau mengingat ini, ingin rasanya ia menangis tersedu-sedan, akan tetapi perasaan ini ditekannya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya di depan Can Sun Hok yang baru saja dikenalnya. Ia sendiri harus dapat bertemu lagi dengan Hay Hay, dan akan dicobanya sekali lagi untuk minta pertanggunganjawab pemuda itu. Kalau Hay Hay tetap menyangkal, ia akan menyerang mati-matian, dan tidak akan berhenti menyerang sebelum Hay Hay atau ia yang roboh dan tewas. * * * Hati Hay Hay gelisah bukan main. Gelisah, bingung dan penasaran! Dia telah dituduh memperkosa Ling Ling! Tak mungkin gadis itu berbohong, dan bukankah dia telah melihat sendiri ketika datang di tepi telaga betapa Ling Ling berada dalam keadaan telanjang bulat dan tertotok? Tak dapat disangsikan lagi kebenaran cerita gadis itu bahwa semalam ada seorang laki-laki datang, menotoknya dan memperkosanya. Akan tetapi jelas bukan dia! Lalu siapa? Potongan tubuhnya seperti dia, dan mukanya halus seperti dia pula! Tentu seorang pemuda lain yang mempergunakan kesempatan itu, Can Sun Hok? Pemuda itu baru muncul. Hemm, mungkinkah Can Sun Hok yang melakukan perbuatan keji itu? Mungkin saja! Bentuk tubuh dan muka Can Sun Hok mirip dia, bentuknya sedang dan mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Hanya itu yang dikenal Ling Ling karena malam itu gelap. Tapi, kalau benar Can Sun Hok, kiranya tidak mungkin dia begitu tolol untuk muncul kembali. Seolah-olah seekor ular mencari penggebuk! Lalu siapa? Hay Hay berlari keluar masuk hutan dan pikirannya demikian ruwet sehingga dia yang biasanya waspada tidak melihat bahwa dari depan datang seorang gadis, yang juga berlarian sehingga hampir saja mereka bertabrakan. "Hay-ko...! Ah, betapa aku mencari-carimu, Hay-ko….!" Dan gadis itu langsung saja merangkul dan menangis di dadanya. Hay Hay terkejut dan merangkul gadis itu. "Eng-moi, tenanglah, diamlah. Ada apakah, Eng-moi?" tanyanya, wajahnya berubah merah karena dia teringat akan peristiwa dua hari yang lalu, di waktu malam di dalam taman itu. Hampir saja dia melakukan pelanggaran yang akan mendatangkan penyesalan hebat di kemudian hari ketika dia dan gadis ini seperti dimabok nafsu berahi. Pek Eng menangis, menangis dengan hati lega karena ia telah dapat menemukan kekasihnya, dan melihat sikap Hay Hay, tentu pemuda ini mau bertanggung jawab. Sikapnya jelas menunjukkan bahwa Hay Hay mencintanya. Setelah keharuannya mereda, ia lalu mengusap air matanya dan berkata dengan lirih. "Hay-ko, kenapa engkau begltu kejam? Engkau meninggalkan aku begitu saja setelah malam kemarin dulu itu. Keesokan harinya, pagi-pagi aku bangun dan mencarimu, akan tetapi hanya mendengar bahwa engkau telah pergi malam itu juga tanpa pamit! Hay-ko, kenapa engkau meninggalkan aku? Setengah mati aku mencarimu, keluar masuk hutan…" Gadis itu menangis lagi. Hay Hay menarik napas panjang, teringat akan peristiwa malam itu dan dia merasa malu sekali. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua langkah dan memaksakan hatinya untuk menatap wajah Pek Eng dengan tajam. "Maafkan aku, Eng-moi. Malam itu... ah, entah iblis apa yang telah menyusup ke dalam diriku. Aku seperti mabuk dan hampir saja..., ah, aku merasa begitu menyesal sehingga malam itu juga aku pergi meninggalkan perkampungan. Maafkan aku, Eng-moi." Sungguh aneh! Gadis itu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemesraan dan mulutnya tersenyum manis! Kemudian ucapannya membuat Hay Hay menjadi lebih heran lagi. "Hay-ko, tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak ada yang perlu disesalkan! Kenapa minta maaf dan kenapa menyesal kalau memang hal itu sudah kita kehendaki bersama? Terus terang saja, aku... aku bahkan merasa berbahagia sekali, Hay-ko, dan terasa benar olehku betapa besar artinya engkau bagi kehidupanku. Marilah, Hay-ko, mari kita menghadap Bengcu untuk minta persetujuannya karena bagaimanapun juga dia adalah Guruku, kemudian kita pergi dari sini, pulang ke Kong-goan untuk memberitahu kepada Ayah Ibuku tentang perjodohan kita." Hay Hay terbelalak memandang wajah gadis itu. "Eng-moi, apa maksudmu sebenarnya ? Aku tidak mengerti! Aku... aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mengikat perjodohan..., ah, jangan salah mengerti, Eng-moi. Peristiwa malam kemarin dulu itu... sungguh aku seperti mabuk dan kaumaafkanlah aku. Bukan maksudku untuk... untuk mengikat perjodohan…." Hay Hay menghentikan kata-katanya karena dia terkejut dan heran melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan bibirnya menggigil, pandang matanya seperti orang yang tidak percaya, atau seperti orang melihat setan di tengah hari. Suaranya lebih aneh lagi, menggigil seperti orang terserang demam. "Hay-ko... apa... apa maksudmu? Maksudku sudah jelas... setelah apa yang kau... kita lakukan malam itu... tidaklah sewajarnya kalau... kalau kita... menikah?" "Eng-moi! Sudah kuakui bahwa aku khilaf, aku seperti mabuk, dan aku menyesal sekali, aku sudah minta maaf. Akan tetapi tidak mungkin peristiwa itu harus dilanjutkan dengan pernikahan. Anggap saja kita berdua telah lupa diri, akan tetapi belum terlambat, Eng-moi. Untung bahwa aku berhasil sadar dan melarikan diri " "Apa? Belum terlambat? Apakah urusan itu cukup untuk dimaafkan begitu saja kemudian dilupakan? Hay-ko, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu ini. Bukankah aku telah menjadi isterimu? Malam itu... bukankah engkau telah memiliki diriku dan aku telah menyerahkan badanku, kehormatanku, segalanya kepadamu? Dan engkau tidak ingin diresmikan dalam pernikahan? Aku tidak percaya bahwa engkau hanya main-main saja! Aku tidak percaya bahwa setelah aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu malam itu, engkau lalu tidak mau menikahiku…." Wajah itu semakin pucat. Kini wajah Hay Hay yang berubah seperti orang melihat iblis. "Eng-moi! Apa maksudmu? Memang kita seperti mabuk, kita saling peluk dan saling berciuman, masuk ke dalam pondok. Akan tetapi hanya sampai di situ, aku lalu sadar dan aku lari keluar pondok sebelum terjadi sesuatu antara kita…" "Benar sekali! Dan tak lama kemudian engkau masuk lagi, dan engkau menuntut, dan aku menyerah, dan tubuhku, kehormatanku, menjadi milikmu…." "Tidak! Aku tidak pernah kembali ke pondok!" "Hay-ko...!" Pek Eng menjerit, menutupi mulut dengan tangan kanan yang menggigil, mulutnya terbuka dan gemetar, akan tetapi sampai beberapa lamanya tidak mengeluarkan suara, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali. Sementara itu wajah Hay Hay juga pucat. Dia tidak ragu akan kebenaran pengakuan Pek Eng, dan sekilas teringatlah dia akan nasib Ling Ling. "Eng-moi, katakanlah, siapa yang memasuki pondok itu. Yang pasti, aku tidak kembali dan….." “Orang itu adalah engkau!" Pek Eng enjerit. “Apa engkau tidak keliru? Engkau melihat benar bahwa orang itu adalah aku? Bukankah pondok itu gelap?" " Aku tidak akan keliru, bentuk tubuhmu, mukanya... engkaulah orang itu!" Tiba-tiba Hay Hay menjadi marah sekali. Sim Ki Liong! Siapa lagi yang akan mampu menalukkan gadis-gadis seperti Ling Ling dan Pek Eng kalau bukan Ki Liong? Orang itu sebaya dengannya, bentuk tubuh mereka pun sama, dan wajah Ki Liong juga halus, tidak berkumis atau berjenggot. Tentu Ki Liong, si jahanam itu yang melakukan perkosaan atas diri Ling Ling dan Pek Eng. Mungkin karena memang pemuda itu jahat dan cabul, atau lebih masuk akal lagi kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya, atau untuk menjadi akal mengikatnya dengan persekutuan itu. "Ki Liong jahanam kau...!" Hay Hay berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. "Hay-ko... ouhhh... Hay-ko…!" Pek Eng mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan ia pun terkulai pingsan di tengah hutan itu. Keraguan yang timbul di dalam hatinya, keraguan bahwa Hay Hay akan mengingkari atau benar-benar bukan pemuda itu yang telah merenggut kehormatannya, terasa amat menusuk perasaannya dan gadis ini pun tidak kuat menahan kenyerian batinnya. Dua kemungkinan itu sama beratnya bagi Pek Eng, sama menyakitkan dan melenyapkan harapan bahwa ia akan hidup di samping pemuda yang dicintanya itu untuk selamanya, sebagai isterinya. Nampaknya menjadi suatu kenyataan yang tak dapat disangkal pula bahwa kehidupan kita sebagai manusia ini penuh dengan duka! Kalau kita susun dalam ingatan dan melihat kenyataan, hidup ini hanya menjadi panggung sandiwara di atas mana kita masing-masing sebagai pemegang peran kadang-kadans tertawa dan kadang-kadang menangis, Namun, betapa sedikitnya tawa dan betapa banyaknya tangis! Betapa hidup penuh dengan kecewa, kepusingan, kesusahen, ketakutan, konflik-konflik batin dan konflik lahir, dan hanya diseling sedikit saja kegembiraan seperti selingan kilat di antara awan gelap. Apakah ini menjadi kenyataan dari tanda yang dibawa seorang bayi yang sedang lahir? Bayi, calon manusia itu, terlahir dalam keadaan menangis, seolah-olah dia merasa menyesal karena dilahirkan, karena harus memasuki suatu alam yang penuh derita! Dan betapa tenang wajah seorang yang putus nyawanya! Bahkan kebanyakan si mati itu tersenyum dalam kematiannya, seolah-olah wajah itu membayangkan suatu kelegaan bahwa dia telah terbebas dari alam yang penuh derita itu! Dari manakah timbulnya derita ini? Mengapa kita dihantui oleh rasa kecewa, sesal, khawatir, pusing dan susah? Kalau kita mau mengamati diri sendiri, akan nampaklah bahwa semua perasaan ini datang dari pikiran kita sendiri. Dari si aku yang bersemayam dalam pikiran, yang mempunyai seribu satu macam keinginan untuk mencapai kesenangan seperti yang diharapkan dan dikejar. Kalau keinginan itu tidak terpenuhi, maka timbullah kecewa. Kalau kepentingan diri terancam, maka timbullah rasa takut dan khawatir. Kalau semua ini menumpuk, timbul iba diri yang membuat hati merasa merana, trenyuh, sakit dan duka. Lalu biasanya kita lari dari derita ini. Kita ingin pula menghindari derita kedukaan, lalu kita mengelak dan menjauhkan diri, kadang kita lari bersembunyi ke balik hiburan-hiburan yang menyenangkan untuk sekedar melupakan kesusahan. Namun, pelarian dari kenyataan ini hanya membentuk suatu lingkaran setan. Mendapat hiburan, lupa sebentar akan kedukaan itu, namun setelah hiburan memudar, kedukaan itupun akan nampak kembali, menghantui perasaan. Tak mungkin kita lari dari duka karena duka itu adalah kita sendiri! Pikiran sendiri! Yang tepat adalah menghadapi duka itu, menghadapi kenyataan. Mengamati, mempelajari, tanpa menentang atau lari, mengamati dengan pasrah dan tanpa berbuat apa pun, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kita amati duka itu, bukan sebagai suatu keadaan yang terpisah dari diri sendiri, melainkan sebagai keadaan diri sendiri dengan segala lika-liku pikiran. Dan landasan dari pengamatan ini adalah kepasrahan yang tulus ikhlas, mengembalikan kesemuanya itu kepada kekuasaan Tuhan karena hanya Tuhanlah yang kuasa membebaskan kita dari segala derita. Kekuasaan Tuhan adalah Sinar Illahi yang juga kita namakan Cinta kasih, keadaan batin di mana tidak ada lagi segala macam nafsu keinginan menyenangkan diri pribadi, tidak ada lagi ulah pikiran yang menimbulkan rasa kecewa, takut, benci dan sebagainya. * * * Aneh rasanya melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apalagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal! Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Namunt pada saat itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu. Manusia memang lemah, karena itu, sikap orang gagah ini sama sekali tidaklah aneh. Ilmu kepandaian tinggi tidak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang amat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran dan pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan. Ada orang yang dapat menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap orang, apabila dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya. Kakek dan nenek itu menghela napas panjang melihat mantu mereka berlutut di depan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang. Kakek itu adalah Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Sedangkan nenek itu, yang usianya sama dengan suaminya, bernama Toan Kim Hong, dan pernah ketika masih gadis menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih kelihatan bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya. “Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang berani lancang datang menghadap. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja, saya tidak berani datang karena saya telah merasa bersalah terhadap puteri Ayah dan Ibu. Baru setelah anak Cia Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin." Suami isteri yang usianya sudah enam pulun tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan saling pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika ia mengangkat mukahya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi ia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya. "Hui Song, kami orang tua tidak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguhpun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu datang, sudah sepatutnya kalau engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin dengan suara halus. "Ayahmu benar, Sui Cin," kata Nenek itu. "Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding dan atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan diantara kalian itu." "Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit. Kemudian ia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan terdengar ia berkata. "Selama tiga tahun aku telah menjauhkan diri, sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini dengan maksud apakah?" Melihat dan mendengar sikap dan ucapan isterinya itu, perih rasa hati Hui Song. Namun, dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah kepada isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia telah berdosa kepada isterinya, walaupun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali. Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, semenjak datangnya Kui Hong ke Cin-ling-pai, dia sengaja datang untuk meminta maaf, untuk mengajak isterinya kembali. Akan tetapi sikap isterinya itu membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tidak dapat memaafkannya, dan ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapapun juga, dia harus mencobanya! Setelah menarik napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song berkata, "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan. Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tidak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku dan Ayahku, aku memberanikan diri untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya untuk minta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu sukalah engkau kembali ke Cin-ling-san…" "Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, dan setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu? Tidak! Tidak sudi aku!" "Cin-moi, tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada Ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsu, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini dan bagaimanapun juga, aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku." Kerut diantara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi semakin tajam penuh selidik. "Hemm, engkau mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begitu keadaannya lalu menjadi baik kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?" Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan istermya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tidak dibutuhkan lagi! Betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita, dia dapat memakluminya. Maka, dia pun tidak merasa tersinggung walaupun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus. “Selanjutnya, terserah kepadamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah bersalah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku telah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon agar engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san.” "Tidak sudi aku selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai Ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!" "Apakah syarat itu, Cin-moi?" "Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!" Seketika wajan Hui Song menjadi pucat, matanya terbelalak dan melihat ini, hati Sui Cin menjadi semakin panas. "Huh, engkau terlalu cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu, engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya daripada kepadaku!" Dan kini kedua mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah ia menanan tangisnya. "Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimanapun juga, ia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu" "Terserah! Tinggal kaupilih saja." Kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang ditahan-tahannya, "Ia atau aku! Kalau engkau memilih ia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena kalau hal itu kaulakukan, aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaiknya, kalau engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!" "Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!" Tiba-tiba Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Ia dan suaminya sejak tadi hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi, mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur, ia merasa tidak setuju dan menegur puterinya. "Tentu saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!" Lalu ia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!" Diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga menyesalkan sikap puterinya, yang dianggapnya terlalu keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song. Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal baik watak lsterinya ini. Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu, isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana. Kalau sekarang kelihatan kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tidak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan denpn watak pendekar dari isterinya. "Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Kalau engkau yang akan melakukannya, terserah. Bagaimanapun juga, aku jelas lebih ,berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio." Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiri pun tidak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu. "Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang suamimu, Sui Cin dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling.san,” katanya. Isteri pendekar sakti itu pun mengangguk, karena ia pun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Ia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini, puterinya sedang terbakar hatinya oleh cemburu dan ia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, muka puterinya tidak akan bersikap seperti itu. "Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san dan di sana, urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan." Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya, ia amat mencinta Hui Song. Hampir tidak kuat ia bertahan ketika ia harus berpisah dari orang yang dicintanya selama tiga tahun ini. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat ia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat. Dan kekerasan hatinya juga yang membuat ia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuhtut agar suaminya membunuh isteri mudanya itu yang dianggapnya sebagai saingannya, sebagai seorang yang menjadi sebab kehancuran kebahagiaannya. Ia tidak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah! "Baik," katanya setelah mendengar ucapan ayah ibunya. “Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi, kalau sampai di sana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!" Hui Song mengangguk. "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi." Ceng Thian Sin mengeluarkan suara ketawa. "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Girang sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan ajaklah suamimu untuk makan minum dulu, Sui Cin " Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis dan isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Biarpun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, namun ia masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja! Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka bermalam di sebuah rumah penginapan,Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena ia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat disesalkan. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, para anggauta Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat dan diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus. "Biarlah aku menanti saja di sini sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu, baru aku mau masuk ke dalam rumah ini." Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang kepada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tidak ada anggauta Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka dan di beranda rumah itu sunyi. Ayahnya tentu sedang bersamadhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya, tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya. "Baiklah, aku akan menemui Bi Nio." katanya dan dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang. "Ah, engkau begini tiba-tiba pulang sehingga kami tidak dapat melakukan penyambutan…" katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya segera menghilang ketika ia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan. "Apakah yang telah terjadi…?" tanya isteri itu khawatir. Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun memangkunya, mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak. “Apakah yang terjadi maka engkau kelihatan begini susah.... ?" tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya. Biarpun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini ia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio telah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya. “Bi Nio…” Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan. Biarpun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, namun berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tidak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu! ."Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku…" "Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Di mana ia…?" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira. Melihat ini, Hui Song menarik napas panjang. "Nanti dulu, Bi Nio. Justeru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, ia... ia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih ia! Ia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri." Sepasang mata itu terbelalak dan mukanya menjadi sepucat kertas ketika ia menatap wajah suaminya. Beberapa saat lamanya ia seperti kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian, dengan suara lirih ia bertanya. "Kalau... kalau memilih aku….?" "Kalau aku memilih engkau, ia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku." "Ah, tidak mungkin kaulakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget. "Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa ia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa ia isteriku yang kucinta, dan kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika ia datang berkunjung…" "Seorang gadis yang hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi Nio mendesak. Hui Song menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis" "Aku tahu! Aku yang harus pergi dari sini! Ah, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri ke dua, dan sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi…." "Tidak mungkin!" Tiba-tiba Hui Song berseru keras mengejutkan Bi Nio yang belum pernah selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu mendengar suaminya membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tidak boleh membawanya!" Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan dan puteranya didekap di dadanya dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya. "Kau... kau hendak memisahkah aku dari Anakku? Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia pergit aku tidak minta apa-apa darimu, tidak menuntut apa pun. Aku akan pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya di sini ! Ah, jangan... lebih baik kaubunuh saja aku…." Dan wanita itu menangis sesenggukan satnbil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis. Melihat keadaan Ibu dan anak itu, Hui Song lalu berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan. "Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menantimu di dalam. Mari kita temui mereka!" Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, di mana selama enam belas tahun ia hidup berbahagia dengan suaminya. Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruangan dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemm, seorang perempuan yang masih muda sekali, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin. "Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberitahu kepadanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan ia. Dan sudah kukatakan bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang menjadi isteriku sejak muda. Sekarang terserah kepadamu, ini ia dan anaknya, boleh kauputuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali. Sementara itu, mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya dan mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat ia merasa kecil sekali, kecil dan lemah. "Engkau yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus. "Benar, aku bernama Siok Bi Nio." jawab yang ditanya, suaranya lirih dan ia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam. "Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar suka kembali dan tinggal di sini. Aku mau kembali, dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan tentang anakmu ini, .karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya."Berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya. Bi Nio terbelalak, kembali anaknya didekap erat-erat, dan ia memandang suaminya. "Ah, jadi begitukah? Suamiku, kalau memang kalian berkeras untuk mimsahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kauturun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku akan membawanya ke mana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah agar kalian dapat hidup berbahagia!" Bi Nio berkata sambil menangis dan tak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya. "Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tidak mungkin aku akan sekejam itu. Kalau engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah kepadamu. Lakukanlah kalau memang kau ingin demikian!" Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuhBi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali. Hui Song sama sekali tidak tahu atau menyangka bahwa kalau Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itupun hanya merupakan suatu ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya tetah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tervcapainya keinginannya. Dulu, suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan ia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang, karena suaminya menghendaki ia kembali, ia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuhnya! Tentu saja, betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya ketika berhadapan dengan madunya, ia sebagai seorang pendekar tidak akan sudi menyerang, melukai apalagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio. "Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di sini, akan kupelihara, dan kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko, atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut. Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun mendekap anaknya, lalu bangkit berdiri. "Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tidak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekalipun. Biarkan aku pergiiii…!" Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, baru tiba di pintu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu telah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu. "Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia yang harus berada di sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tidak boleh siapa pun membawanya pergi dari sini.' katanya, suaranya keren sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya. "Ayaaaahhh...!" Ia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan. Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari samadhinya dan ketika dia mendengar keributan diruangan belakang, dia segera menghampiri dan turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas. "Sui Cin, aku tahu betapa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang untuk menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Bi Nio tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena ia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya, menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi, kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Akan tetapi, engkau pun tentu telah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan. demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada di atas pundakku! Nah, akulah yang bersalah, aku yang berdosa, karena itu, tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Kalau engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tidak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Ia seorang isteti yang baik, ia telah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan ia mencinta suaminya….." "Ayah...!" Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci mantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana pun juga, sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tidak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada yang dapat memberi penerangan dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri…" Kini wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih. Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika ia turun, ia telah menghadang di depan Bi Nio. "Tidak... engkau... tidak boleh pergi…." kata Sui Cin, suaranya agak gemetar, “Bi Nio..., apakah engkau... kau mencinta Hui Song?" Bi Nio yang berdiri agak membongkok sambil menangis itu, tiba-tiba saja mengeluarkan suara seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa lucu olehnya. “… aku ….? Mencinta dia….? Aku …. aku bersedia mati untuk kebahagiaannya..., mungkin aku tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara lain…." Tiba-tiba saja ia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi baju di bagian dada wanita itu. "Bi Nio...!" Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi dipergunakan oleh Bi Nio untuk menusuk dadanya sendiri! “Bi Nio...!" Hui Song berteriak dan sekali meloncat, dia sudah menubruk Bi Nio yang terkulai roboh. Dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya. "Bi Nio...!" Cia Kong Liang juga berteriak dan meloncat dekat, lalu berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras, seolah-olah anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu malapetaka yang menimpa diri ibunya. "Bi Nio..., ahhh, Bi Nio...!" Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggeleng kepala ketika keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung mengenai jantungnya! Bi Nio membuka matanya, berbisik-bisik, “Anakku..., anakku..., mana…." Cia Kong Liang menangkap cucunya dan didekatkan kepada Bi Nio yang segera mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar. " Aku... aku pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa…." Bi Nio melepaskan anaknya dan terkulai lemas. Ia mati dengan bibir tersenyum, seolah-olah ia telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik. "Bi Nio….! Ah, Bi Nio, aku telah membunuhmu…!" Hui Song merintih dan terisak. "Aku telah membunuhmu, Bi Nio…." kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa menyesal, dan ia memondong Kui Bu, mendekap anak yang muka dan pakaiannya berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi Nio, jangan kau khawatir….." "Aku yang telah membunuh Bi Nio…." Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan wajah sedih. Hui Song bangkit berdiri, dan memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah. "Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tidak mampu membahagiakan isteri, baik bagi Sui Cin maupun bagi Bi Nio. Aku... aku yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu dan menemaninya di sana, selamanya….” Hui Song lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu. Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apapun juga, kaya atau miskin, mulia maupun papa, dari 'keluarga yang bagaimanapun juga, seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis! Tangis adalah peluapan duka, dalam bahasa dari bangsa manapun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka! Dan di dalam kenyataannya, hidup ini memang lebih banyak mengandung duka daripada suka. Kemudian, setelah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa pada wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu, membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas daripada kehidupan yang banyak duka ini! Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalamn penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru? Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangis sedih walaupun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang bebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang dalam penjara yang melihat seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara. Hidup ini penuh duka yang timbul dari segala perasaan kecewa, iri hati, dengki, ketakutan, kekerasan, dan iba diri. Kesenangan hanya muncul seperti kilat di antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan. Namun, tanpa adanya pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, mengingat-ingat, tanpa adanya si aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tidak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada? Dalam keadaaan tidur, atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada! * * * Pria itu bersikap halus dan penuh wibawa, dan sepasang matanya menunjukkan bahwa dia seorang yang amat cerdik dan bijaksana. Usianya sekitar lima puluh tahun dan duduk di atas kursi di dalam ruangan yang lebar itu, di mana belasan orang perwira nampak amat menghormatinya, dia kelihatan semakin berwibawa walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pembesar sipil, bukan militer. Tidak mengherankan kalau semua perwira demikian menghormatinya karena dia adalah Menteri Cang Ku Ceng, seorang di antara menteri-menteri yang paling setia kepada kaisar, dan satu di antara para pejabat yang berjasa besar dalam menegakkan keadilan dalam pemerintahan Beng-tiauw di bawah pimpinan Kaisar Cia Ceng itu. Sesungguhnya, hanya ada dua orang menteri yang paling terkenal dalam pemeritahan itu dan tercatat dalam sejarah sebagai dua orang yang berjasa besar. Mereka adalah Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng inilah. Untuk membasmi gerakan pemberontakan di selatan, yang menurut para penyelidik dipimpin oleh datuk sesat yang bersekongkol dengan seorang bangsawan dari Birma, Menteri Cang Ku Ceng turun tangan sendiri terjun ke lapangan! Dan hal ini amatlah besar pengaruhnya, terutama sekali dalam menarik perhatian dan bantuan para pendekar. Sebagian besar para pendekar kagum kepada kedua menteri itu, maka mendengar bahwa Menteri Cang terjun ke lapangan, mereka pun tertarik dan banyak yang berdatangan ke Yunan untuk membantu gerakan pemerintah membasmi pemberontakan. Andaikata gerakan pembasmian itu hanya dipimpin oleh para perwira, kiranya para pendekar tidak akan demikian bersemangat membantu