Han Siong menyandarkan sapunya pada dinding lalu memasuki ruangan depan itu. Dia melihat suhunya duduk bersila di atas lantai bertilamkan kasur kecil dan hwesio tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Hal ini mengherankan hati Han Siong karena belum pernah gurunya bersikap seperti itu. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap gurunya. "Suhu memanggil teecu hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan sikap sopan. Ceng Hok Hwesio tidak segera menjawab, melainkan mengamati anak itu dengan penuh perhatian. "Han Siong, tahukah engkau siapa yang berada di lalam dua buah kamar di sudut belakang dekat kebun itu?" tiba-tiba dia bertanya dan pandang matanya amat tajam menatap wajah anak itu. Han Siong sampai terkejut melihat sinar mata gurunya itu dan dia menjadi semakin heran. "Suhu maksudkan, dua kamar yang bernama Kamar Renungan dosa itu?" "Benar! Bukankah setiap hari engkau menyapu lantai depan dua kamar itu? Tahukah engkau siapa yang berada disana?" Dengan pandang mata yang polos Han Siong menjawab sejujurnya. "Teecu pernah mendengar penuturan beberapa orang suheng bahwa di kamar sebelah barat terdapat seorang hwesio tua yang bertapa dan menjalani hukuman, sedangkan di kamar sebelah timur terdapat seorang nikouw tua. Hanya itulah yang pernah teecu dengar dari pembicaraan para Suheng." "Hemm, apa yang engkau dengar itu memang benar. "Pernahkah engkau bertemu atau melihat mereka atau seorang di antara mereka berdua itu?" Kembali sepasang mata Ceng Hok Hwesio menatap tajam penuh selidik. Han Siong sejenak tertegun. Semalam dia melihat dua bayangan orang yang lenyap di dalam kedua kamar itu, akan tetapi dia tidak melihat wajah kedua orang itu dan dia pun tidak berani merasa yakin bahwa dua bayangan orang itu adalah Si Hwesio dan Si Nikouw yang dibicarakan. Maka ia lalu menggeleng kepala. "Teecu belum pernah bertemu dengan mereka, Suhu." "Dan tidak pernah bicara atau mendengar suara mereka? Ingat, engkau tidak boleh membohong." "Suhu, bagaimana teecu berani membohong kepada Suhu atau kepada siapapun juga? Teecu tahu bahwa membohong adalah sebuah dosa. Tidak, Suhu, teecu tidak membohong kepada Suhu." "Baiklah, pinceng percaya kepadamu. Akan tetapi sekarang engkau pergilah kepada kedua orang itu, ketuk pintu kamar mereka dan sampaikan bahwa pinceng memanggil mereka agar sekarang juga menghadap ke sini." Han Siong terkejut dan juga hatinya merasa tegang. Tentu saja dia merasa gembira bahwa dia yang diserahi tugas ini karena memang sudah lama ingin sekali melihat kedua orang hukuman itu. Diam-diam dia merasa kasihan sekali karena menurut percakapan para hwesio kecil di kuil itu, kedua orang hukuman itu kabarnya sudah menjalani hukuman selama sepuluh tahun lebih dan masih harus meringkuk di situ selama sepuluh tahun lagi karena mereka masing-masing dihukum dua puluh tahun! Tak seorang pun hwesio kecil di situ tahu apa yang menjadi kesalahan kedua orang itu maka dihukum selama dua puluh tahun. "Ba... baik, Suhu….." katanya agak gagap saking tegang hatinya dan cepat dia lalu bangkit dan berlari menuju kebelakang. Pertama-tama Han Siong menuju ke rumah pondok satu kamar yang menjadi kamar hukuman dengan nama Kamar Renungan Dosa itu, yang sebelah barat. Jantungnya berdebar penuh ketegangan, karena bukanlah selama bertahun-tahun dia menganggap kamar ini penuh rahasia, merupakan tempat larangan untuk dikunjungi? Dia hanya boleh menyapu lantai pekarangannya saja, sama sekali tidak boleh mendekati pintu, apalagi menyentuhnya. Dan kini dia harus mengetuk pintu itu, dan bicara dengan penghuninya yang selama ini menjadi tokoh penuh rahasia. “Tok-tok-tok!" Tiga kali Han Siong mengetuk daun pintu yang ternyata terbuat dari papan yang tebal itu. Dia menanti sambil memasang telinga mendengarkan suara yang keluar dari dalam. Namun tidak ada jawaban. "Heiii, Sute, apa yang kaulakukan itu?" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang hwesio muda karena dia terkejut bukan main melihat betapa hwesio keci1 itu berani mengetuk daun pintu kamar larangan itu! "Sssttt, Suheng, aku diperintah Suhu untuk mengetuk pintu ini dan memanggil penghuninya agar menghadap Suhu!" Mendengar jawaban ini, hwesio itu nampak terkejut, lalu mengangguk-angguk dan pergi dari situ karena dia tidak berani mencampuri sutenya yang sedang melaksanakan tugas penting itu. "Tok-tok-tok.. ..!" "Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tiba-tiba terdengar pertanyaan dari dalam, suaranya lembut namun nyaring dan mengejutkan Han Siong walaupun tadinya dia mengharapkan memperoleh jawaban. "Aku... eh, teecu.….diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang.…Lo-suhu agar suka datang menghadap Lo-suhu…." Hening sejenak, lalu suara itu bertanya lagi. "Siapa namamu?" , "Teecu... Han Siong…..” Jawabnya tanpa berani menyebutkan she (nama keluarga) yang oleh kakek buyutnya telah dipesan agar dia tidak memperkenalkan she-nya kepada siapapun juga. "Engkau anak yang suka menyapu di pekarangan luar pondok ini?" kembali suara itu terdengar. Tentu saja Han Siong merasa heran. Orang ini tidak pernah keluar, bagaimana bisa tahu bahwa dia suka menyapu pekarangan di luar rumah itu? "Benar, Lo-suhu!" Daun pintu berderit dan Han Siong melangkah mundur. Ketika daun pintu terbuka, muncullah seorang laki-laki dan Han Siong memandang dengan mata terbelalak, tertegun karena kagum dan heran. Sama sekali tidak seperti yang diduganya. Tadinya dia membayangkan bahwa hwesio tua yang dihukum itu tentulah seorang hwesio yang sudah tua, pucat dan kurus kering, karena hwesio itu tidak pernah tersentuh sinar matahari, makan pun hanya dari makanan yang diantar khusus oleh hwesio tua di dapur. Akan tetapi ternyata yang muncul ini adalah seorang laki-laki yang rambutnya panjang awut-awutan biarpun jubahnya masih jubah hwesio. Agaknya karena lama tidak bercukur, maka rambut telah tumbuh dengan subur di kepalanya yang tadinya gundul. Mukanya sebagian tertutup kumis dan jenggot, akan tetapi dapat dilihat bahwa muka itu amat tampan, gagah dan tidak terlalu tua. Sekitar tiga puluh tahun lebih! Sinar matanya mencorong akan tetapi penuh kelembutan dan kegagahan dan biarpun pakaiannya pakaian hwesio yang lusuh, namun tidak menyembunyikan tubuhnya yang tegap. Anehnya, lengan kiri pria itu buntung sebatas siku sehingga lengan bajunya tergantung lemmas dan kosong. Makin iba rasa hati Han Siong melihat bahwa orang yang terhukum ini adalah seorang penderita cacat. Sejenak keduanya saling pandang dan pria itu tersenyum melihat keheranan membayang di mata anak itu. "Kau...kau... masih muda dan bukan hwesio…." “Anak baik, ketika memasuki kamar ini, aku adalah seorang hwesio." Dia meraba kepalanya yang penuh dengan rambut yang subur, lalu tersenyum. "Sekarang bukan lagi." Ingin sekali Han Siong bertanya mengapa pria itu dihukum, akan tetapi tentu saja dia tidak berani karena hal itu dianggapnya tidak sopan. Akan tetapi hatinya telah demikian tertarik kepada pria ini, kagum dan juga kasihan. Teringatlah dia akan hwesio tua gagu yang menjadi tukang sapu itu, yang semalam dia lihat seperti membayangi dua bayangan orang terdahulu. Jangan-jangan hwesio tua gagu itu mempunyai niat buruk, pikirnya. Tentu berniat buruk karena dia sendiri tidak percaya bahwa hwesio itu benar-benar gagu. Dan orang yang pura-pura gagu, tentu mengandung niat tidak baik. "Lo-suhu... eh, Paman... aku mempunyai berita yang menarik sekali untuk Paman…." Han Siong celingukan ke kanan kiri dan melihat bahwa di situ tidak ada orang lain, dia lalu melanjutkan sambil berbisik, "semalam, dengan tidak sengaja aku melihat dua bayangan orang berloncatan masuk dari luar pagar tembok, akan tetapi tidak lama kemudian muncul pula seorang lain yang agaknya membayangi dua orang terdahulu…." Pria itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm... siapakah orang terakhir itu?" Kembali Han Siong celingukan. "Dia adalah hwesio tua gagu tukang sapu di sini, akan tetapi aku curiga kepadanya, Paman. Dia itu mengaku gagu, baru setahun ditolong karena kedapatan kelaparan, di jadikan tukang sapu di sini, akan tetapi sudah beberapa kali aku mendengar dia mengigau dan bicara dalam tidurnya." "Ehhh... ?" Pria itu semakin tertarik. "Anak baik, coba ceritakan bagaimana bentuk wajah dan tubuh orang yang mengaku gagu itu.” "Usianya sekitar lima puluh tahun, mukanya panjang meruncing ke depan seperti muka kuda, mulutnya lebar dengan gigi atas menjorok ke depan dan menonjol keluar, dua matanya sipit dan kedua telinganya lebar. Tubuhnya tinggi kurus dan kedua kakinya timpang." Pria itu kembali mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Anak baik, keteranganmu ini amat penting sekali. Apakah engkau juga diutus untuk memanggil.…penghuni di kamar timur?" Han Siong mengangguk. "Kalau begitu, pergilah kau ke sana, Han Siong. Selain menyampaikan panggilan ketua, juga kauceritakan apa yang kaulihat semalam kepadanya. Hal ini penting sekali untuk diketahuinya." Girang rasa hati Han Siong. Pria yang menimbulkan perasaan kagum di hatinya ini percaya kepadanya! "Baik, Paman!" Dan dia pun berlari menuju ke pondok terpencil di ujung timur itu. Ketika dia mengetuk beberapa kali, dia pun mendengar suara wanita dari dalam. "Siapa yang mengetuk pintu?" Suara itu demikian halus dan merdu, juga seperti suara pria tadi, mengandung penuh kesabaran sehingga menyenangkan hati Han Siong. "Saya Han Siong, diutus oleh Suhu Ceng Hok Hwesio untuk mengundang Locianpwe menghadap Suhu sekarang juga." Hening sejenak, lalu suara halus itu bertanya, "Engkau anak yang biasa menyapu pekarangan depan pondok ini?" Kembali Han Siong terkejut dan sebelum dia menjawab, daun pintu terbuka dan untuk kedua kalinya dia tertegun. Wanita yang nampak setelah daun pintu dibuka itu sama sekali jauh daripada perkiraan yang dibayangkannya. Bukan seorang nikouw tua, melainkan seorang wanita yang amat cantik dan perkasa! Seperti juga pria tadi, wanita ini usianya sekitar tiga puluhan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang pendeta. Dari keadaan ini Han Siong dapat menduga bahwa agaknya wanita ini pun dahulunya seorang nikouw yang gundul kepalanya, akan tetapi rambutnya tumbuh dengan subur selama bertahun-tahun dalam tahanan. Dia merasa kagum bukan main, akan tetapi juga kasihan. Dua orang itu ternyata masih muda, dan mereka tentu lebih muda lagi ketika pertama kali masuk ke kamar hukuman itu. Mengapa? Apa kesalahan mereka? Seperti yang dipesankan oleh pria di kamar sebelah barat tadi, Han Siong lalu menceritakan tentang apa yang dilihatnya semalam. Wanita itu nampak lebih terkejut lagi. "Hemmm... jahanam itu berani memata-matai kami!" Demikian ia menggumam akan tetapi agaknya ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata, "Han Siong, sampaikan kepada ketua kuil bahwa sebentar lagi aku datang menghadap." "Baik... Bibi!" kata Han Siong. Wanita itu tersenyum, manis sekali, mendengar betapa anak itu sudah cepat merobah sebutan setelah melihatnya. Tadi menyebut Locianpwe, sebutan menghormat dari kaum muda kepada kaum tua yang dianggap gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi kini menyebut Bibi saja. Dan agaknya ia lebih senang dengan sebutan ini. Han Siong lalu berlari ke ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio masih duduk bersila. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek hwesio itu. "Suhu, teecu sudah menyampaikan undangan Suhu kepada kedua orang Paman dan Bibi yang berada di dalam Kamar Renungan Dosa itu." "Bagus, dan kau boleh pergi melanjutkan pekerjaanmu." kata ketua kuil itu sambil memandang keluar. Han Siong bangkit berdiri dan keluar dari ruangan itu. Dia melihat apa yang dipandang oleh gurunya, yaitu pria dan wanita yang ditemuinya tadi. Mereka berjalan perlahan, berdampingan, dengan tenang. Han Siong mengambil sapunya lagi dan menyapu lantai, melanjutkan pekerjaannya. Ketika pria dan wanita itu lewat di depannya, mereka berhenti melangkah dan tersenyum kepadanya. Han Siong membalas senyum mereka dan melanjutkan pekerjaannya ketika mereka meninggalkannya untuk memasuki ruangan depan di mana Ceng Hok Hwesio sudah menanti. ** Han Siong…..!” Suara ini demikian dekat terdengar olehnya, seperti diserukan orang di dekat telinganya saja, mengejutkan Han Siong yang sore hari itu duduk mengaso di bawah pohon di kebun setelah selesai bekerja. Dia menoleh ke kanan kiri akan tetapi tidak melihat seorang pun manusia. "Han Siong ke sinilah engkau!" kembali terdengar suara itu dan Han Siong segera mengenal suara lembut itu. Suara pria yang berada dalam kamar tahanan di pondok sebelah barat! Maka bergegas dia lalu bangkit dan melangkah cepat menuju ke Kamar Renungan Dosa sebelah barat. Dia menghampiri pintu dan tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali, keluar dari kamar itu. "Han Siong, kaupergilah menghadap Gurumu dan katakan kepadanya bahwa hwesio gagu tukang sapu itu adalah seorang tokoh sesat bernama Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan. Kedatangannya ke sini, menyamar sebagai seorang hwesio gagu, tentu mengandung maksud yang tidak baik!" Han Siong merasa terkejut sekali. Sudah diduganya bahwa kakek gagu itu tentu seorang yang memiliki niat jahat. Akan tetapi tak disangkanya bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki julukan demikian mengerikan. Lam-hai Giam-lo (Malaikat Pencabut Nyawa Laut Selatan)! "Baik..., baik, Paman….!" katanya dan dia pun berlari-lari mencari suhunya. Pada saat itu, Ceng Hok Hwesio sedang duduk di dalam ruangan samadhi, akan tetapi dia tidak sedang bersamadhi karena sudah selesai membaca kitab suci. Melihat munculnya Han Siong di ambang pintu, dia lalu menggapai. Han Siong memasuki ruangan dan menjatuhkan diri berlutut. "Harap Suhu sudi memaafkan kalau teecu datang mengganggu." Ketua kuil itu tersenyum. Dia seorang yang berwatak keras dan memegang teguh disiplin dan peraturan kuil, akan tetapi setiap kali habis berliam-keng dan bersamadhi, kekerasan itu seperti luntur dan dia lebih ramah. "Tidak mengapa Han Siong. Pinceng sudah selesai bersamadhi. Ada keperluan apakah engkau agaknya mencari pinceng?" "Benar, Suhu. Tadi... paman yang berada di Kamar Renungan Dosa di sebelah barat memanggil teecu dan minta agar teecu menyampaikan pesanan penting kepada Suhu." Hwesio tua itu mengerutkan alisnya dan mulailah nampak kekerasan hatinya. Agaknya dia tidak suka mendengar ini. "Han Siong, engkau tentu sudah tahu apa artinya Kamar Renungan Dosa itu. Orang yang dihukum di dalam kamar itu harus merenungkan dosa-dosa yang telah diperbuatnya." Ingin Han Siong bertanya dosa apa gerangan yang telah dilakukan oleh pria dan wanita itu. Akan tetapi dia tahu akan kegalakan suhunya, maka dia menahan keinginannya dan mengangguk. "Teecu mengerti, Suhu." "Nah, karena itu, jangan engkau terlalu berdekatan dengan mereka yang sedang menjalani hukuman di dalam Kamar Renungan Dosa karena dosa itu menular seperti sebuah penyakit, muridku." "Baik, Suhu." "Nah, sekarang pesan penting apakah yang harus kausampaikan kepada pinceng?" "Begini, Suhu….." Han Siong memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau kakek tukang sapu itu berada di dekat situ. Mendengar bahwa kakek itu seorang penjahat besar, seorang tokoh sesat, dia sudah merasa ngeri. "Paman di sana itu mengatakan bahwa hwesio tua tukang sapu yang gagu itu sebenarnya adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid dari mendiang Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan " "Plakk!" Ketua kuil Slauw-lim-si itu menepuk pahanya sendiri dengan tidak sabar. "Jangan bicara sembarangan!" "Teecu hanya menyampaikan pesan paman itu….” "Dia bohong! Mana pinceng bisa percaya omongan seorang yang berdosa? Sudah setengah tahun dia di sini dan dia benar-benar seorang tua yang patut dikasihani, mengapa difitnah demikian kejam?" "Akan tetapi, Suhu, teecu percaya akan keterangan Paman di Kamar Perenungan Dosa itu." Ceng Hok Hwesio membelalakkan kedua matanya yang lebar, menatap Han Siong dan alisnya berkerut. "Han Siong, bagaimana engkau bisa mempercaya keterangan seorang yang berdosa? Engkau ikut berdosa kalau menjatuhkan fitnah kepada orang lain!" “Teecu tidak mengucapkan fitnah, Suhu, akan tetapi memang keadaan kakek itu amat mencurigakan. Beberapa kali di waktu malam, teecu lewat di depan kamarnya dan mendengar dia ngelindur dan mengigau. Suhu, seorang gagu mana dapat bicara walaupun hanya dalam ngelindur?" Ceng Hok Hwesio nampak terkejut. "Benarkah apa yang kaukatakan itu?" "Demi nama Sang Buddha, teecu tidak berbohong, Suhu." "Omitohud, jangan membawa-bawa nama Sang Buddha dalam hal ini. Akan tetapi pinceng masih belum yakin benar." Dia lalu bertepuk tangan beberapa kali dan muncullah lima orang hwesio yang menjadi murid-murid kepala di dalam kuil itu. Mereka datang dan memandang kepada guru mereka dan Han Siong dengan heran. "Panggil hwesio tua yang tuli gagu ke sini!" perintah Ceng Hok Hwesio. "Dan kalian ber lima berdiam di sini pula menjadi saksi." Lima orang murid itu duduk bersila dan seorang di antara mereka memanggil tukang sapu tua yang gagu tuli itu. Tak lama kemudian, seorang kakek hwesio yang wajahnya menyeramkan, mirip seekor kuda, dengan mata sipit dan telinga lebar, masuk bersama hwesio murid kepala itu dengan terpincang-pincang. Memang jelas hwesio tua ini tidak kelihatan sebagai seorang jahat, apalagi yang berkepandaian tinggi. Dia lebih pantas menjadi seorang hwesio cacat yang lemah dan patut dikasihani. Hwesio tua itu lalu memberi hormat dan duduk bersila pula, memandang kepada ketua kuil dengan sikap bodoh. Lima orang murid kepala pun memandang guru mereka, karena mereka belum tahu apa maksud guru mereka memanggil mereka dan memanggil pula hwesio gagu itu. "Pinceng mendengar bahwa Aekau Hwesio (Gagu) ini dapat bicara, oleh karena itu pinceng ingin menguji apakah berita itu benar ataukah tidak." Kata Ceng Hok Hwesio dan mendengar ucapan ini, lima orang murid itu terkejut dan memandang kepada Si Gagu yang kelihatan tenang-tenang saja karena agaknya dia tidak mendengar dan tidak mengerti apa yang dibicarakan. Akan tetapi di dalam hatinya, Han Siong merasa menyesal. Dia menganggap bahwa keterus-terangan suhunya itu merupakan kebodohan. Kalau betul persangkaannya bahwa Si Gagu ini tidak gagu dan betul pula keterangan orang hukuman itu bahwa kakek yang pura-pura gagu ini seorang tokoh sesat yang lihai, bukankah ucapan suhunya itu sama saja dengan membuka rahasia sehingga kakek itu dapat menjadi berhati-hati dan dapat menjaga diri sebelumnya? Ceng Hok Hwesio lalu menggapai dan memberi isyarat agar Si Gagu mendekat. Si Gagu menggeser duduknya, menghadap semakin dekat derigan pandang mata bodoh. Lalu Ceng Hok Hwesio menggunakan bahasa isyarat dengan tangan, bertanya apakah Si Gagu dapat bicara. Hwesio tua yang gagu ini menggeleng kepala keras-keras, mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, memberi isyarat dengan tangan bahwa. mulutnya tidak dapat bicara dan telinganya tidak dapat mendengar. Sampai beberapa kali Ceng Hok Hwesio mendesaknya, dibantu oleh lima orang muridnya, namun tukang sapu gagu itu tetap menggelengkan kepala keras-keras, menyangkal bahwa dia dapat bicara atau mendengar. "Omitohud.…..semoga Sang Buddha memaafkan pinceng kalau memang dia ini benar-benar gagu dan tuli. Memang sukar membuktikan bahwa dia ini benar gagu atau tidak. Akan tetapi pinceng ada akal untuk membuktikan apakah dia benar-benar tuli ataukah tidak. Kalian berlima harus menutup telinga, dengan rapat dan mengerahkan sinkang melindungi pendengaran kalian. Dan engkau, Han Siong, keluarlah dan pergi jauh dari ruangan ini, dan kalau masih ada suara getaran menyerangmu, cepat tutup kedua telingamu dengan tangan. Beritahu kepada para Suhengmu agar melakukan hal yang sama." Lima orang murid kepala itu mengerti apa yang akan dilakukan oleh Ceng Hok Hwesio, maka mereka pun cepat menggunakan kedua telapak tangan menutupi telinga, dan mengerahkan tenaga sinkang mereka. Sementara itu, Han Siong juga sudah pergi keluar. Ceng Hok Hwesio lalu mengerahkan sinkang dan tak lama kemudian keluarlah suara melengking tinggi dari dalam dada kakek ketua kuil Siauw-lim-si ini. Suara itu makin lama semakin tinggi, menggetarkan dan lima orang murid kepala yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun terpaksa harus memejamkan mata dan mengerahkan sinkang sekuatnya untuk melindungi telinga dan jantung mereka. Han Siong yang sudah berada di kebun, biarpun sudah menutupi kedua telinga dengan tangan, masih merasakan getaran hebat. Akan tetapi, kakek gagu tuli itu hanya duduk bersila diam saja, menundukkan muka dan sama sekali tidak terpengaruh oleh suara yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu! Dari sikap ini saja tahulah ketua kuil itu bahwa kakek tukang sapu yang berada di depannya memang benar-benar tuli! Hanya orang tuli yang akan mampu duduk diam tak terpengaruh sama sekali oleh lengkingannya. Maka dia pun menghentikan ujian itu dan lima orang murid kepala kini baru berani membuka mata. "Ternyata Aekau Hwesio ini benar gagu dan tuli. Apa yang pinceng dengar hanyalah berita bohong belaka. Sudahlah, ajak dia keluar lagi agar dia bekerja seperti biasa, akan tetapi amat-amati gerak-geriknya." pesannya kepada para murid. Mereka semua keluar dan memberi isyarat kepada hwesio gagu itu untuk keluar pula. Setelah hwesio gagu itu keluar. Ceng Hok Hwesio lalu memanggil Han Siong lagi ke dalam ruangan itu. "Han Siong, mulai sekarang engkau tidak perlu mendengarkan fitnah yang diucapkan oleh dua orang hukuman itu. Kau melihat sendiri, hwesio tukang sapu itu memang tuli dan gagu, pinceng yakin akan hal ini, karena kalau tidak tuli, tentu dia tadi sudah roboh pingsan. Nah, sekarang terbukti bahwa dua orang hukuman itu sama sekali tidak boleh dipercaya. Dasar orang-orang berdosa, mana mungkin ucapan mereka dapat dipercaya?" Han Siong diam saja, hanya menundukkan mukanya dan tidak menjawab, melainkan mengangguk-angguk saja." Kemudian dia pun keluar dan melanjutkan pekerjaannya. Hatinya merasa penasaran sekali. Benarkah dua orang itu membohong? Akan tetapi, melihat wajah mereka yang menimbulkan rasa suka dan iba di dalam hatinya, Han Siong tidak percaya bahwa mereka itu tukang fitnah dan pembohong yang jahat. Sebaliknya, tentu kakek gagu itu yang pandai membohong dan bersandiwara. Dan, melihat betapa gerakannya amat cepat ketika malam itu dia melihatnya membayangi dua orang yang berkelebat lenyap di dalam pondok hukuman, bukan tidak mungkin Si Gagu yang palsu itu mampu pula bertahan terhadap ujian suara melengking ketua kuil. Karena merasa penasaran sekali Han Siong malam itu tidak tidur melainkan keluar dari tempat tidur dan kamarnya, dan bersembunyi tak jauh dari kamar hwesio gagu yang berada di samping kanan bangunan, di kamar yang sunyi menyendiri karena dia belum diterima sebagai anggauta kuil, melainkan seorang pembantu. Baru setelah lewat tengah malam, kesabaran Han Siong mendapatkan hasi. Dia mula-mula mendengar suara mendengkur dari dalam kamar itu. Tahu bahwa penghuninya sudah tidur nyenyak, diam-diam dia lalu menyelinap dan berindap-indap mendekati kamar itu. Tak lama kemudian barulah dia mendengar suara orang mengigau, suaranya parau, pecah seperti ringkik kuda! Akan tetapi jelas bahwa igauan itu mengandung kata-kata. Han Siong cepat meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke kamar suhunya. Hatinya lega melihat hwesio itu masih belum tidur, masih duduk bersila sambil membaca kitab agama. "Suhu..., Suhu !" katanya dengan napas agak memburu dan suara berbisik. Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya, merasa terganggu dengan kemunculan Han Siong. “Ada apa lagi engkau sekali ini?" tanyanya tidak sabar. "Suhu... Si Gagu itu mengigau lagi..." "Han Siong! Jangan bicara sembarangan saja!" "Tidak, Suhu. Teecu tidak berbohong, silakan Suhu membuktikannya sendiri." Ceng Hok Hwesio memandang wajah anak itu dengan tajam penuh selidik. Wajah anak itu serius dan tegang. Hatinya tertarik dan dia menarik napas panjang. "Omitohud... engkau ini mengada-ada saja. Han Siong, mengganggu ketenteraman pinceng…." Akan tetapi karena hatinya tertarik, dia pun turun dari tempat dia bersila bergegas mengikuti Han Siong menuju ke bagian belakang. Setelah mereka tiba di luar kamar kakek gagu, benar saja dalam kamar itu terdengar suara bergumam orang ngelindur! Ceng Hok Hwesio merasa penasaran sekali dan dia menempelkan telinganya pada daun jendela. Terdengar suara parau, pecah dan serak yang menginggatkan orang akan ringkik kuda! Dan memang benar suara itu merupakan igauan yang mengandung kata-kata! "….kalau tidak diberikan kepadaku kubunuh kalian…." Ceng Hok Hwesio terkejut sekali mendengar suara yang mengerikan itu. Dan kini mau tidak mau dia harus percaya karena telinganya sudah mendengar sendiri ucapan itu. Jelaslah bahwa Si Gagu itu sebenarnya dapat bicara! Hati Ceng Hok Hwesio yang memang keras sekali itu menjadi marah. Dia telah ditipu dan dikelabuhi oleh hwesio tukang sapu itu. Kalau begini, jelaslah bahwa dulu dia hanya pura-pura saja sakit dan kelaparan, agar memperoleh kesempatan masuk ke kuil tanpa dicurigai. Akan tetapi mengapa hal itu dilakukannya? Apa pun niatnya, tentu niat itu tidak baik dan jahat sekali. "Manusia palsu, penipu yang jahat!" Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah daun pintu kamar itu. "Braaakkk….!" Daun pintu itu pecah dan jebol CENG HOK HWESIO meloncat kedalam. Kaget oleh suara itu, hwesio tua tukang sapu sudah terbangun dan kini nampak dia duduk di atas pembaringannya, matanya yang sipit memandang dengan marah dan nampak mencorong di bawah sinar lampu gantung yang menyorot masuk dari pintu yang tak berdaun lagi itu. Ceng Hok Hwesio semakin terkejut melihat sinar mata itu, sungguh jauh bedanya dengan sinar mata yang biasa dilihatnya pada sepasang mata sipit itu. "Penipu jahat! Berlutut dan menyerahlah!" kata Ceng Hok Hwesio dengan suara keren berwibawa." Akan tetapi, orang yang dibentak itu tiba-tiba tertawa dan Han Siong yang berada di luar bergidik mendengar suara ketawa yang tidak patut menjadi suara manusia itu. "Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio, engkau jangan berlagak di depanku!" Ketua kuil itu sampai terbelalak saking kaget dan herannya. Kini sikap orang bermuka kuda itu benar-benar berubah sama sekali. Biasanya, sebagai seorang gagu dia selalu tunduk dan taat, akan tetapi sekarang, begitu bicara berani bersikap demikian angkuhnya sehingga memandang rendah kepadanya! "Siapakah engkau!" bentak Ceng Hok Hwesio, kemudian laporan yang disampaikan oleh Han Siong beberapa hari yang lalu teringat olehnya. "Benarkah engkau berjuluk Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong?" Kembali kakek itu tertawa dan kamar itu seakan-akan hendak runtuh oleh getaran suara ketawanya, "Hah-hah-hah, Ceng Hok Hwesio! Kalau sudah tahu, kenapa engkau tidak lekas berlutut di depan kakiku?" Dapat dibayangkan betapa marahnya Ceng Hok Hwesio mendengar kata-kata yang amat menghinanya itu. "Omitohud, manusia jahat seperti engkau patut dihajar!" Dan dia pun menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau menyerang kakek yang duduk di atas pembaringan itu. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan kakek itu berkelebat dan terdengar bunyi kain robek dan kapuk berhamburan ketika kedua cakar tangan Ceng Hok Hwesio mengenai kasur yang tadi diduduki kakek muka kuda itu! Mendengar suara ketawa di belakangnya, Ceng Hok Hwesio memutar tubuh sambil menyerang lagi, sekali ini serangannya lebih hebat. Ketua kuil ini memang seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang selain memiliki tenaga kuat, juga menguasai ilmu-ilmu silat yang sifatnya keras dari Siauw-lim-pai. Membalik sambil menggunakan kedua tangan untuk menyerang dengan bentuk cakar ini luar biasa kuatnya dan kalau mengenai tubuh lawan, tentu kulit dan daging akan terkoyak oleh jari-jari tangan yang seperti berubah menjadi kaitan baja itu, tulang pun akan remuk. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara seperti kuda meringkik, kakek gundul bermuka kuda itu sama sekali tidak kelihatan jerih, bahkan menggunakan lengan kirinya menangkis dari samping dengan memutar siku. “Desss...!!" Pertemuan antara kedua lengan Ceng Hok Hwesio yang ditangkis oleh lengan kiri kakek yang di kuil itu dikenal sebagai Aekau Hwesio itu hebat sekali karena begitu bertemu, tubuh Ceng Hok Hwesio terpental seperti terdorong oleh angin yang amat kuat! Padahal, gerakan kakek gagu itu nampak lambat dan tidak bertenaga. "Aihhh!" Ceng Hok Hwesio sudah berjungkir balik sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, maka dia bersikap hati-hati dan maju perlahan-lahan sambil memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, Ceng Hok Hwesio lalu berkata dengan sikap keren. "Lam-hai Giam-lo, selamanya pinceng dan Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan denganmu, maka apa maksudmu menyamar dan menyelundup ke kuil kami?" "Ha-ha-ha, Ceng Hok Hwesio. Sudah setahun aku berada di sini. Apa sebabnya aku berada di sini adalah urusanku sendiri. Tidakkah selama ini aku bekerja baik-baik dan tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai? Jangan campuri urusanku dan aku pun tidak akan mengganggumu!" "Omitohud, kuil kami bukanlah tempat persembunyian segala macam penjahat! Engkau pergilah dengan aman dari sini dan jangan kembali lagi!" Kini nada suara kakek ketua kuil itu tidak tinggi hati seperti tadi, tidak minta agar Lam-hai Giam-lo berlutut dan menyerah, melainkan minta kepadanya agar pergi dengan aman! "Ha-ha-ha, engkaulah yang harus pergi dari sini! Aku datang atau pergi sesuka hatiku." "Keparat! Engkau memang jahat!" Dan Ceng Hok Hwesio sudah rnenyerang lagi dengan lebih dahsyat karena merasa bahwa wewenang dan kekuasaannya dilanggar. Namun dengan mudah pukulan dengan tangan terbuka itu ditangkis oleh lawannya dan kembali dia terhuyung. Pada saat itu, lima orang murid kepala Siauw-lim-pai bersama belasan murid lain sudah tiba di tempat itu dan Lam-hai Giam-lo lalu dikepung. "Dia ini Lam-hai Giam-lo, penjahat besar yang hendak mengacaukan kuil kita. Usir dia!" teriak Ceng Hok Hwesio yang dari dua gebrakan tadi saja sudah maklum bahwa lawannya ini lihai bukan main dan untuk mengusirnya dibutuhkan bantuan murid-muridnya. Para hwesio itu tua muda lalu bergerak mengepung dengan sikap mengancam, walaupun dengan pandang mata penuh keheranan karena mereka sama sekali tidak mengira bahwa hampir tidak dapat percaya bahwa hwesio gagu tukang sapu tua ini sekarang disebut Lam-hai Giam-Io seorang penjahat besar! “Ha-ha-ha-ha-hiyeeehh…..!" Suara ketawa yang makin mirip dengan kuda itu terdengar berbareng dengan penyerbuan para hwesio Siauw-lim-si, disusul pekik kesakitan dan dua orang murid Siauw-lim-pai roboh ketika Lam-hai Giam-lo menggerakkan kedua tangannya. Lengannya dipentang lebar dan tubuhnya seperti berputar. Dengan gerakan ini, dia sudah menangkis semua pukulan yang datang dari empat penjuru dan juga merobohkan dua orang pengeroyok dengan amat mudahnya Melihat kehebatan kakek itu, diam-diam Han Siong yang menonton dari luar, menyelinap pergi. Tak lama kemudian dia sudah mengetuk daun pintu Kamar Renungan Dosa di mana ditahan laki-laki berlengan buntung itu. "Paman….! Paman…..! Bukalah pintu!” teriaknya, lupa akan larangan ketua kuil bahwa dia tidak boleh berhubungan dengan orang hukuman itu. "Anak baik, apakah yang terjadi?" Terdengar suara pria itu dan daun pintu pun terbuka. "Paman... terjadi keributan. Kakek gagu palsu itu kini mengamuk, dikeroyok para Suheng dan Suhu, tapi...agaknya dia lihai sekali." “Ahhh! Sudah kuduga akan begini jadinya!" laki-laki itu berkelebat dan Han Siong terbelalak karena orang itu tahu-tahu sudah lenyap dari depan matanya. Dia menjadi bingung, tidak tahu ke mana perginya pria itu, maka dia pun cepat lari ke Kamar Renungan Dosa yang kedua, dengan maksud mengabarkan kepada wanita cantik yang berada di sana. Akan tetapi, ketika dia tiba di depan kamar itu, daun pintu kamar itu sudah terbuka dan tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang keluar dari kamar itu. Demikian cepat gerakan mereka sehingga Han Siong hanya dapat melihat bentuk tubuh mereka saja dan dia pun mengenal bahwa mereka adalah pria lengan buntung dan wanita cantik yang sudah dikenalnya itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat terjadinya pertempuran tadi. Kiranya Ceng Hok Hwesio dan para muridnya kewalahan ketika mengeroyok Lam-hai Giam-lo. Kakek bermuka kuda ini mengamuk, semakin lama semakin beringas dan ganas sekali. Melihat betapa para muridnya roboh berserakan, Ceng Hok Hwesio menjadi marah. Dia menyambar sebatang toya dan dengan senjata andalannya ini, yang diputarnya dengan amat cepat, dia pun menerjang Lam-hai Giam-lo sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Namun, lawannya terkekeh dan menyambut serangan ketua kuil itu dengan kedua tangan kosong saja. Dengan lengan tangannya, dia berani menangkis hantaman toya kuningan, bahkan membalas dengan tamparan ke arah kepala hwesio ketua kuil itu. "Dukk! Wuuuttt...!" Ceng Hok Hwesio terkejut sekali dan untung dia masih mampu mengelak dengan melompat ke belakang. Tangkisan pada toyanya tadi membuat kedua lengannya tergetar sehingga dia tidak mampu menggerakkan toyanya sebagai lanjutan serangannya, bahkan tidak sempat lagi menangkis ketika tangan yang menampar kepala itu datang menyambar. Namun, kemarahan membuat ketua kuil itu tidak mengenal bahaya dan dia pun sudah menyerbu lagi, toyanya kini menusuk ke arah perut. Kembali yang diserang tertawa dan sekali ini sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan menerima toya yang menusuk itu begitu saja dengan perutnya. “Cusss!" Ujung toya kuningan itu seperti amblas ke dalam perut. Akan tetapi sebetulnya bukan menembus kulit daging, melainkan disedot oleh perut itu yang tiba-tiba saja mengempis. Ketika Ketua Siauw-lim-pai itu terkejut karena mengira bahwa toyanya melukai perut dan mungkin membunuh, mendadak kedua tangan Lam-hai Giam-lo sudah bergerak, yang satu menotok pundak yang lain mencengkeram jubah pada tengkuk Ceng Hok Hwesio! Ketua kuil itu seketika lemas dan tengkuk jubahnya kena dicengkeram! Melihat betapa guru mereka tertawan musuh, para murid Siauw-lim-pai terkejut dan marah. Mereka kini sudah memegang senjata di tangan dan siap untuk mengeroyok. "Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami berdua menghadapi Lam-hai Giam-lo!" tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun berwibawa. Semua hwesio mundur ketika melihat bahwa yang muncul adalah seorang pria berlengan kiri buntung dan seorang wanita cantik setelah tadi nampak dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ berdiri dua orang itu. Para hwesio yang sudah lama menjadi penghuni kuil itu mengenal siapa adanya dua orang hukuman itu, akan tetapi mereka yang datang belum ada sepuluh tahun, tidak pernah melihat dua orang itu dan kini mereka memandang dengan heran. Baru setelah para hwesio yang lebih tua berbisik-bisik memberi tahu bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah dua orang hukuman di Kamar Renungan Dosa, mereka memandang lebih tertarik lagi. Laki-laki berlengan buntung itu kini sudah melangkah maju menghadapi Lam-hai Giam-lo yang masih mencengkeram tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio. "Lam-hai Giam-lo, lepaskan Suhu Ceng Hok Hwesio!" Sambil berkata demikian, tiba-tiba saja lengan baju kiri yang kosong dan buntung itu bergerak dan ujung lengan baju menyambar ke arah Si Muka Kuda. Ketika ujung lengan baju itu menyambar, terdengar suara berdesing keras seolah-olah yang menyambar itu sebatang pedang, bukan sehelai kain lemas! Lam-hai Giam-lo tadinya memandang rendah, akan tetapi melihat gerakan ini, dia terkejut dan tidak berani sembrono untuk menangkis, melainkan mengelak dengan menarik kepala ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangar berkelebat dan wanita itu sudah menyerangnya dari samping. Serangannya hebat sekali karena kedua tangan wanita itu bertubi-tubi mengirim totokan-totokan kearah sembilan jalan darah di bagian depan tubuhnya. Lam-hai Giam-lo dapat menduga akan kelihaian wanita ini, maka dia pun terpaksa melepaskan cengkeraman pada tengkuk jubah Ceng Hok Hwesio sambil melontarkan tubuh ketua kuil itu ke arah Si Laki-laki lengan kiri buntung! Lontarannya kuat sekali sehingga tubuh ketua kuil itu seperti sebatang balok yang berat melayang ke arah laki-laki itu. Akan tetapi, Si Lengan Kiri Buntung dengan tenang menggerakkan tangan kanannya dan sekali tangan itu menyambar, dia pun sudah dapat mencengkeram punggung jubah hwesio itu sehingga daya luncurnya tertahan dan sekali menepuk pundaknya, Ceng Hok Hwesio dapat bergerak lagi dan diturunkan. Dengan muka merah Ceng Hok Hwesio lalu mundur dan berdiri menjadi seorang di antara para penonton. Dia tahu bahwa dia bukan lawan Si Muka Kuda, maka kini dia hanya nonton saja, membiarkan dua orang hukuman itu menghadapinya. Hatinya diam-diam merasa heran sekali karena selama ini dia memandang rendah kepada dua orang bekas hwesio dan nikouw yang telah menjadi orang hukuman menebus dosa di Kamar Renungan Dosa. Akan tetapi, jelas bahwa Si Lengan Kiri Buntung itu lihai, kalau tidak, tentu tidak akan dapat membebaskannya dari cengkeraman Si Muka Kuda sedemikian mudahnya. Hanya satu kali serang saja! Kini, Lam-hai Giam-lo sudah menjadi marah sekali. "Baiklah, kalian sudah mengenal aku. Memang aku Lam-hai Giam-lo yang tadinya hanya ingin mempergunakan tempat ini sebagai tempat istirahat tanpa bermaksud mengganggu kalian. Akan tetapi karena di sini aku menemukan sesuatu yang menarik sekali, maka biarlah aku berterus terang saja. Heii, kalian dua orang berdosa yang menjalani hukuman. Siapakah sebenarnya kalian berdua ini?" tanyanya dan mata yang sipit itu menyapu ke arah laki-laki dan wanita itu. Laki-laki yang buntung lengan kirinya itu menahan senyum, lalu menjawab singkat. "Sebelum kami menjadi hwesio dan nikouw, namaku adalah Siangkoan Ci Kang dan ia adalah Toan Hui Cu." Para pembaca cerita Asmara Berdarah tentu masih teringat akan kedua nama ini. Seperti telah diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, Siangkoan Ci Kang adalah putera mendiang Siangkoan Lo-jin yang berjuluk Si Iblis Buta, seorang tokoh datuk sesat yang lihai sekali. Akan tetapi puteranya, yaitu Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi kejahatan ayahnya bahkan sejak muda dia telah menyadari akan kesesatan ayahnya yang tidak disukanya. Kemudian, dengan beruntung dia menjadi murid Ciu-sian Lokai, seorang sakti yang menurunkan ilmu-ilmunya kepada Ci Kang. Akan tetapi, di dalam kehidupan asmaranya, Ci Kang mengalami kegagalan karena cintanya kepada Ceng Sui Cin tidak dibalas oleh gadis itu yang telah mencinta pria lain, yaitu Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai. Bahkan, dia masih bersikap demikian bijaksana dan gagah perkasa untuk melindungi Hui Song yang hendak dihukum ayahnya sendiri karena fitnah. Ci Kang dengan jantan melindungi dan bahkan menggunakan lengan kiri menangkis pedang sehingga demi keselamatan Hui Song, dia kehilangan lengan kirinya sebatas siku. Semua ini dilakukannya bukan hanya demi menolong Hui Song yang dia tahu tidak berdosa, juga demi cintanya terhadap Sui Cin! Setelah Hui Song dan Sui Cin menikah, di kebun pada malam hari itu, Ci Kang yang hatinya merasa duka dan merana itu melihat Toan Hui Cu yang sedang menangis sedih. Dia tahu bahwa mengapa Hui Cu menangis. Keadaan gadis itu tiada bedanya dengan dia. Patah hati, kasih tak sampai, atau bertepuk tangan sebelah. Gadis itu mencinta Cia Sun, pendekar muda yang gagah perkasa dan budiman, akan tetapi sebaliknya Cia Sun sudah menjatuhkan pilihan hatinya kepada Tan Siang Wi, murid terkasih dari Ketua Cin-ling-pai. Dia dan Hui Cu sama-sama patah hati. Bukan hanya itu, akan tetapi juga asal-usul mereka hampir sama. Dia sendiri putera seorang datuk sesat yang amat tersohor, juga Toan Hui Cu lebih hebat lagi karena ayah dan ibunya adalah Raja Iblis, rajanya datuk-datuk sesat! Karena persamaan keadaan, nasib dan kedukaan, ketika mereka saling jumpa dan mengenal keadaan masing-masing, timbul keakraban pada kedua orang itu dan mereka pun bergandeng tangan untuk bersama-sama menghadapi gelombang kehidupan yang penuh bahaya dan kepahitan itu. Tentu saja sebagai puteri Raja dan Ratu Iblis yang amat sakti, Hui Cu juga mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat! Akan tetapj agaknya Lam-haj Giam-lo belum pernah mendengar kedua nama ini. Memang kedua orang ini masih amat muda ketika muncul di dunia kang-ouw dan tentu saja ilmu kepandaian mereka menggemparkan. Akan tetapi, mereka yang patah hati itu lalu masuk menjadi hwesio dan nikouw mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan kebatinan di dalam kuil dan tentu saja nama mereka tidak terkenal. Bahkan para hwesio di kuil tidak ada yang tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya adalah dua orang muda yang amat lihai! "Bagus, kalian berdua adalah orang-orang muda yang berhasil. Nah, setelah aku berada di sini dan melihat kalian berdua latihan, hatiku tertarik sekali. Sekarang, berikanlah kitab kuno itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu kalian lagi!" kata Lam-hai Giam-lo. Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, dan keduanya menggeleng kepala tanda tidak setuju untuk memenuhi permintaan Si Muka Kuda. "Enak saja engkau bicara!" Hui Cu berseru marah. "Lebih baik engkau pergi sebelum kami turun tangan menghajar muka kudamu!" Lam-hai Giam-lo membelalakkan mata saking marahnya, akan tetapi karena memang matanya sipit sekali, biar dibelalakkan juga tidak dapat menjadi lebar dan tidak menakutkan, melainkan merobah muka itu semakin buruk dan lucu. Akan tetapi, tangannya bergerak cepat bukan main dan tahu-tahu tangan itu sudah mulur panjang dan membentuk cakar yang mencengkeram ke arah dada Hui Cu. Jarak antara kakek itu dan Hui Cu cukup jauh, ada empat meter, akan tetapi tangan itu dapat terulur dan tentu dada wanita itu akan kena dicengkeramnya kalau saja Hui Cu tidak cepat menangkis dengan sinar putih. Sinar putih itu mengeluarkan bunyi mencuit nyaring dan ternyata itu adalah ujung sabuk sutera putih yang telah dilolos dari pinggangnya. Ujung sabuk sutera putih yang berubah menjadi sinar dan berkelebat mengeluarkan suara mencicit nyaring itu, bukan menangkis lengan, melainkan menyambut lengan yang mencengkeram kearah dadanya itu dengan totokan mengarah jalan darah di pergelangan tangan. Totokan ini berbahaya sekali dan tentu akan lebih dulu mengenai jalan darah dipergelangan tangan sebelum jari-jari tangan itu sempat mencengkeram dadanya. "Uhhh…..!" Si Muka Kuda berseru dan tangannya yang tadi mulur itu, seperti karet yang diulur dan dilepas, cepat sekali sudah kembali menjadi normal sehingga totokan sabuk sutera itu pun luput. "Heh-heh-heh, baiklah. Hari ini aku akan membunuh kalian berdua, kemudian membakar kuil ini dan merampas semua kitab yang ada!" berkata demikian, Lam-hai Giam-lo lalu menggerakkan tubuhnya yang segera berpusing dengan cepat. Tubuh itu kini hanya nampak bayangan yang berpusing dengan amat cepatnya dan dari pusingan itu kadang-kadang menyambar keluar dua buah lengan yang dapat mulur dan melakukan serangan-serangan dahsyat ke arah Ci Kang dan Hui Cu! Ci Kang sudah mencabut keluar sebatang tongkat hitam yang panjangnya hanya tiga kaki. Dia mainkan tongkat ini dengan tangan kanannya, kadang-kadang memegang ujungnya seperti orang bermain pedang, kadang-kadang dipegang di bagian tengah-tengah dan diputar-putar sehingga membentuk segulung sinar hitam. Ayah Ci Kang, mendiang Si lblis Buta, amat terkenal dengan ilmu tongkatnya sehingga biarpun dia buta, jarang ada tokoh yang mampu menandinginya. setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai yang juga merupakan seorang ahli permainan tongkat, tentu saja ilmu tongkat Ci Kang menjadi semakin matang dan hebat. Menghadapi permainan tongkat yang dikombinasikan dengan ujung lengan baju itu, ditambah lagi dengan permainan sabuk dari Hui Cu yang kini mengeluarkan pula sebatang tongkat untuk mengimbangi sabuknya, kakek bermuka kuda itu menjadi terkejut karena ilmunya yang hebat itu pun merasa kurang kuat untuk menandingi amukan dua orang yang memainkan dua senjata yang sama itu! Memang hebat ilmu silat kedua orang hukuman itu. Kalau gerakan Siangkoan Ci Kang amat tenang dan kuatnya, sebaliknya gerakan Toan Hui Cu cepat dan ringan bukan main, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar saja. Kadang-kadang Hui Cu menyerang dengan cepatnya dari aras seperti burung garuda menyambar-nyambar, sedangkan Ci Kang menyerang dari bawah dengan gerakan yang tenang namun cepat dan amat kuat, seperti serangan seekor ular. Betapapun hebatnya Ci Kang dan Hui Cu, kini mereka bertemu tanding. Lam-hai Giam-lo adalah murid mendiang Lam-kwi-ong, seorang di antara Empat Setan yang memiliki kesaktian dan kakek muka kuda ini sudah mewarisi seluruh ilmu dari mendiang gurunya. Selain memiliki banyak ilmu silat tinggi, juga kakek ini menang pengalaman dibandingkan kedua orang lawannya. Maka, biarpun dikeroyok dua, Lam-hai Giam-lo dapat mengimbangi Kecepatan dua orang pengeroyoknya dan kedua lengan itu setelah diputar-putar mengeluarkan bunyi berkerotokan dan kini menjadi kebal, mampu menahan tongkat dengan tangkisan, bahkan totokan-totokan ujung lengan baju dan ujung sabuk yang mengenai kedua lengannya tidak mempengaruhi! Sejak tadi, Ceng Hok Hwesio mengikuti perkelahian itu dengan kedua matanya dan hwesio ketua kuil ini tertegun. Mengertilah dia kini mengapa ketika dia menguji dengan pengerahan khikang, kakek muka kuda itu tidak terpengaruh. Kiranya memang kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tentu dengan kekuatan sinkangnya yang hebat kakek itu dapat menahan suara khikang yang menyerangnya. Ceng Hok Hwesio juga merasa kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa dua orang hukuman itu memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri! Teringatlah dia ketika pertama kali mereka datang ke situ. Seorang pemuda dan seorang gadis, gagah dan cantik jelita, yang sambil menangis memohon kepadanya agar diperbolehkan masuk menjadi pendeta untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu. Nampaknya mereka itu lembut dan biarpun mungkin dapat bermain silat, akan tetapi siapa menduga bahwa mereka sehebat ini dan mampu menandingi seorang sakti seperti Lam-hai Giam-lo? Diam-diam Ci Kang dan Hui Cu juga kagum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan mereka. Semenjak mereka mengundurkan diri dari dunia ramai, baru sekali ini mereka berkelahi dan selama hidup mereka, baru sekali ini bertemu orang yang demikian lihainya. Biarpun mereka mengeroyok, sampai lewat lima puluh jurus, belum juga mereka mampu mendesak lawan, bahkan beberapa kali mereka terdorong mundur oleh angin pukulan kakek yang luar biasa tangguhnya itu. Bahkan mereka tahu kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin mereka akan kalah. Oleh karena itu, tiba-tiba Ci Kang berseru nyaring, ditujukan kepada Hui Cu. "Kwan Im Hud-couw…….!” Mendengar teriakan ini, berbareng dengan Ci Kang, Hui Cu meloncat mundur dan mereka berdua menyimpan tongkat, juga Hui Cu menyimpan sabuknya. Kemudian, mereka berdiri tegak dan merangkap kedua tangan di depan dada. Tentu saja Ci Kang hanya dapat memiringkan tangan kanan saja depan dada. Mereka mengambil sikap seperti menyembah, sikap yang biasa terdapat pada patung Dewi Kwan Im. Lam-hai Giam-lo tertegun dan tadinya dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ci Kang yang meneriakkan sebutan untuk Dewi Kwan Im tadi. Akan tetapi, melihat betapa keduanya memasang kuda-kuda seperti sikap Dewi Kwan Im itu, dia pun dapat menduganya dan wajahnya berubah cerah berseri. "Ha-ha, akhirnya kalian terpaksa membuka rahasia! Jadi ilmu dari kitab kuno itu adalah ilmu dari Dewi Kwan Im? Perlihatkanlah, anak-anak, biar aku mengujinya!" Akan tetapi, kedua orang itu tidak menyerang, sebaliknya malah berpencar, dengan menggeser kaki secara lembut dan halus sekali, seperti seorang puteri yang melangkahkan kaki, pendek-pendek dan lembut dan kini mereka berada di kanan kiri lawan. Lam-hai Giam-lo menoleh ke kanan kiri dan tertawa, memandang rendah karena sejak tadi dia pun sudah tahu bahwa betapapun lihainya dua orang pengeroyoknya, namun dia mampu menandingi mereka, bahkan yakin akan dapat mengalahkan mereka. "Biarlah aku yang memaksa kalian bergerak!" teriaknya dan dia pun menerjang ke arah Hui Cu. Seperti tadi, serangannya mengandung keceriwisan karena dia sengaja mencengkeram dengan kedua tangan, satu di dada dan satu ke bawah perut! Akan tetapi, dengan gerakan lembut sekali Hui Cu menggerakkan kakinya melangkah aneh sekali sambil memutar tubuhnya dan serangan itu pun luput! Kakek muka kuda terkejut bukan main. Dia tadi merasa yakin bahwa serangannya akan berhasil karena gerakan wanita itu lembut dan lambat sekali. Siapa tahu, secara tiba-tiba saja serangannya seperti hanya menyerang bayangan dan mengenai udara kosong! Dia tidak dapat mengikuti bagaimana cara wanita itu mengelak, langkahnya demikian aneh, gerakannya pun 1embut, namun nyatanya, cengkeraman kedua tangannya yang dahsyat itu luput! Dan tiba-tiba saja, seperti orang melambaikan tangan Hui Cu sudah "mengusap" ke arah 1eher Lam-hai Giam-lo. Nampaknya memang hanya seperti orang melambaikan tangan dan mengusap mesra saja sehingga mengherankan Si Muka Kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyambar dengan kekuatan dahsyat ke arah lehernya, keluar dari jari-jari tangan yang mungil dan ha1us itu! "Ce1aka!" teriaknya dan cepat Lam-hai Giam-lo melempar tubuh atas ke be1akang sehingga leher itu 1uput dari totokan jari-jari yang amat lihai. Dengan marah kakek ini lalu memutar lagi tubuhnya berpusingan cepat dan membalas serangan lawan, bahkan bukan hanya Hui Cu yang diserangnya, melainkan juga Ci Kang seka1igus. "Jurus ke tiga dan ke sebe1as!" tiba-tiba Ci Kang berseru dan Hui Cu secara otomatis bergerak memainkan jurus ke sebelas sedangkan Ci Kang sendiri memainkan jurus ke tiga dari ilmu silat mereka yang aneh itu. Ci Kang merendahkan tubuhnya dan merangkap kedua tangan ke depan dada, lalu kedua tangan itu bergerak ke depan, kedua lengan dikembangkan dengan penyerangan dahsyat ke arah dada dan perut lawan, sedangkan Hui Cu tiba-tiba melayang ke atas dan turun sambil menotok dengan tangan kanan kiri bergantian dengan gerakan seperti orang memetik sesuatu. Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im-khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu) sedangkan jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai. Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga. Akan tetapi dengan kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu dan terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berpusing itu dan kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya dan tahu-tahu tangan Ci Kang sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur ke bawah dari atas, mengancam pelipis kepalanya! Aihhh….!" Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai. Akan tetapi, dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyoknya itu sudah mengejarnya dan bertubi-tubi empat buah lengan melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka. Namun, kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biarpun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan kedua tangan, bahkan kedua kakinya, untuk menangkis. Dia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis. Betapapun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya. "plakk……” Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut, cepat melompat mundur dan melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio dan para penghuni kuil dengan pandang mata kagum. "Wah, sungguh berbahaya sekali Lam-hai Giam-lo..." kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Semenjak dia dahulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andaikata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, biarpun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu! Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa dua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! "Omitohud, kalian telah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap ka1ian suka kemba1i ke dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami." Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata. "Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing." Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata, "Suhu, kami mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami." Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri dan dia memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang keren dan penuh wibawa. "Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci." Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih daripada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhunya itu membuat dia mengerutkan alisnya. Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat. Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di situ tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama! Memang demikianlah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih. Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara manusia, dari bangsa atau golongan atau agama apapun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu. Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, nyaman dan menjadi sumber kehidupan segala sesuatu yang nampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari itu satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan? Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, maupun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar dirinya, akan dapat menikmati sepenuhnya kalau matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian kalau matahari menyengat terlampau keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah dan tidak mampu menikmati keindahan dan kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik. Jelaslah, bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di situ tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan, karena penilaian ini didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu sa ja condong ke arah baik sedangkan kalau dirugikan, dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan "Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani telah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita. dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!" Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apalagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk. "Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka telah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil.” Demikian ketua kuil itu berkata dengan keren. "Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka." "Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Ketika Kakek Buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahlah engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau menjadi murid di sini. Dan setelah engkau menjadi seorang calon hwesio,berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!" . "Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!" Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu. "Pinceng tidak akan merobah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tidak boleh berguru kepada siapapun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi kalau engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka." "Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak. "Biarlah teecu di sini bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melanjutkan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, dan teecu menjadi murid mereka!" Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang berkata. "Kami kira permintaan Han Siong itu patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Kami sekali lagi mengharap kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami." Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak. "Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya." "Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas. "Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu sukarela, tiada bedanya dengan mereka yang membayar kuil dan bekerja sukarela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil." Setelah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya. Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu. "Suhu... Subo !" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya. "Han Siong, bangkitlah dan mari ikut bersamaku ke dalam kamarku." kata Ci Kang dan Han Siong menurut. Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya ai sebelah timur sedangkan Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat. Ketika Han Siong ikut memasuki kamar itu, dia merasa terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tidak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun ini, orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali. Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung dari langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, piker Han Siong. "Han Siong, setelah menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa Kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?" "Dia adalah Kakek Buyut teecu bernama Pek Khun. Kakek Buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san." Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik. "Kenapa begitu? Di mana Ayah Ibumu dan siapakah mereka?" "Teecu tidak pernah mengenal Ayah dan Ibu. Menurut cerita Kakek Buyut teecu, Ayah adalah cucunya dan Ayah bernama Pek Kong. Karena teecu hendak dirampas orang-orang jahat, demikian kata Kakek Buyut teecu, maka teecu sejak bayi dibawa pergi oleh Kakek. Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini untuk mempelajari ilmu. Menurut Kakek Pek Khun, Kakek dan juga Ayah teecu berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun." "Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemm, belum pernah aku mendengarnya. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau keturunan orang-orang gagah." "Teecu sendiri tidak banyak tahu tentang keluarga teecu, dan teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu agar teecu tidak menjadi penasaran lagi?" Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu kini terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling berkasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama. Mereka berdua lalu pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Setelah lewat beberapa pekan, baru masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib. Kemudian, di dalam sebuah hutan yang sunyi, di suatu malam yang diterangi bulan purnama, dengan hawa yang sejuk terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan berahi mereka membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela. Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk. Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka. Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di tepi Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka lalu pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan dan kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu. Ceng Hok Hwesio amat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang nampak gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apalagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu. Diterimanya mereka dengan hati rela dan mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio. Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, walaupun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun. Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidaksenangan. Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal, dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut. Keinginan untuk mencapai dan memperoleh hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat. Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat. Pengejaran kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian, pemerasan dan sebagainya lagi. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling bunuh dan menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjina, memperkosa dan sebagainya lagi. Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Hwesio ini sejak kecil hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Kini sebagai muridnya, Hui Cu seringkali berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya. Hui Cu, biarpun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun ia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu. Dan Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu berahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang sudah dinyatakannya dengan pandang matanya. Akan tetapi, gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan! Kemudian, terjadilah sesuatu yang menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini ia dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja ia tidak mampu menyembunyikannya lagi. Bagaikan seekor harimau kelaparan. Ceng Hok Hwesio menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal. “Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki. Pada saat itu, Ci Kang maju berlutut. "Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya, teecu yang bersalah. Akan tetapi, semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak pernah melakukannya, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu.” "Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhunya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu. "Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami telah... telah...akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mcngandung." "Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?" Ci Kang menggeleng kepalanya. "Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri….." "Omitohud... semoga kuil kami diampuni dari dosa-dosa yang amat besar ini. Bukan suami isteri dan kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si…..!" "Ampun, Suhu, kami tidak sengaja. Andaikata kami tahu bahwa Hui Cu sudah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu." “Andaikata... andaikata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama dan kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu, sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tidak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Sebagai gantinya, kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertaubat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?" Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut mendengarkan dengan hati pilu, apalagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali. "Bagaimanapun juga, kalian harus menerima hukuman yang akan pinceng jatuhkan, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio. "Teecu... sanggup..." kata Hui Cu dan Ci Kang terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan dan Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah sanggup, tidak ada pilihan lain baginya untuk menyatakan kesanggupannya juga. "Teecu sanggup." "Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kalian. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!" Semua hwesio yang berada di situ terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi ketika dia melihat pandang mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia hanya dapat menarik napas panjang. Mereka berdua sudah menyatakan kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa beratnya itu. Semua peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya tentang sebab hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya karena Han Siong masih terlalu kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya baru dua belas tahun, belum dewasa. "Han Siong, Suhu dan Subomu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil. Kami berdua telah menjadi suami isteri dan Subomu melahirkan seorang anak, maka kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar Renungan Dosa……” "Tapi itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?" "Di kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apalagi ketika itu kami telah menjadi pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid kuil, Subomu sudah mengandung. Andaikata kami tahu, tentu kami tidak menjadi hwesio dan nikouw dan tidak melakukan pelanggaran dan dosa." "Tapi, dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!" kembali Han Siong berseru. tersenyum. "Sstt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa, kamar-kamar kami amat baik, juga kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan." Han Siong mengangguk-angguk. "Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apalagi kalau malam tiba……" "Eh, kau tahu akan hal itu?" gurunya bertanya heran. "Pernah teecu melihat dua bayangan berkelebat masuk dan dikejar oleh bayangan Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo suka keluar dari kamar secara rahasia?" Kembali gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, dan memang kami perlu kadang-kadang keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh tinggal di sini dan kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak maka mereka menerima dengan senang hati. Nah, kami kadang-kadang pergi menjenguk anak kami dan ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi, kami akan tetap memenuhi masa hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak perempuan kami itu telah lenyap." "Lenyap... ?" Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhunya. "Bagaimana bisa lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?" Ci Kang menarik napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu menjalani hukuman, keduanya di waktu malam seringkali keluar dari tempat tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lan, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana. Tentu saja semenjak mereka tahu bahwa Hui Cu mengandung, mereka melanjutkan hubungan mereka sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi, apalagi setelah mereka tidak menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak lagi menganggap mereka sebagai anggauta Siauw-lim-pai. Mereka berdua bukan saja menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Bi Lan, sejak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali, ketika dia sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan, di bawah lantai, Siangkoan Ci Kang menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain ilmu silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im. Setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata, ilmu-ilmu silat itu amat aneh dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh tahun, mereka sudah mulai dapat menguasai. Dapat dibayangkan betapa sukarnya mempelajari ilmu-ilmu itu kalau dua orang berkepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui Cu lalu memberi nama Kwan-im-kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu. Dan ternyata bahwa Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka pergunakan dan dapat mengalahkan Lam-hai Giam-lo. Demikianlah, dengan adanya Bi Lan yang cerdik dan 1incah jenaka dan dengan adanya dua buah kitab pelajaran ilmu silat itu, Ci Kang dan Hui Cu tidak terlalu berat menjalani hukuman yang dijatuhkan kepada mereka. Apalagi mereka saling memiliki dan mereka saling mencinta. Hari demi hari mereka lewatkan dengan tenang, memperdalam ilmu silat dan memperkuat sinkang dengan jalan bersamadhi. Akan tetapi, kurang lebih setahun yang lalu, ketika pada suatu malam mereka pergi berkunjung ke dusun untuk menengok puteri mereka, mereka melihat dusun itu porak-poranda dan rusak binasa. Mereka terkejut sekali dan dari beberapa orang yang se1amat dari kebinasaan, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa dusun itu kedatangan iblis-iblis yang mengamuk dan saling berkelahi dengan hebat. Banyak di antara penghuni dusun yang tewas karena amukan yang membabi buta, dan di antara mereka yang tewas adalah Cu Pak Sun dan isterinya. Sementara itu, Bi Lan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu cepat melakukan penyelidikan dan mereka terkejut melihat betapa mayat-mayat yang masih berada di dalam peti mati, karena peristiwa itu baru terjadi kemarin, ternyata menunjukkan bahwa mereka tewas oleh pukulan-pukulan sakti! Mereka berusaha mencari ke sana-sini namun tanpa hasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak tahu pergi ke mana atau dibawa oleh siapa! Hui Cu menangis dan tentu akan nekat meninggalkan tempat hukuman kalau tidak dihibur dan dibujuk oleh Ci Kang. "Tidak ada gunanya." demikian antara lain Ci Kang menghibur. "Kita tidak tahu ke mana perginya Bi Lan dan tidak tahu pula siapa yang membawanya pergi. Ke mana kita harus mencari? Dan tidak mungkin meninggalkan hukuman yang sudah kita lalui setengahnya. Ingat, bukankah sejak dulu kita memang sengaja hendak menebus dosa orang tua kita? Percayalah, keprihatinan kita selama ini bukan tidak ada gunanya dan Bi Lan tentu akan selamat dan kelak dapat berjumpa kembali dengan kita. Anak itu tidak dibunuh orang, melainkan mungkin melarikan diri atau diculik. Dan kalau diculik, berarti penculiknya bukan bermaksud membunuhnya." Akhirnya Hui Cu dapat dihibur dan ia semakin giat berlatih sampai perhatian mereka tertarik kepada Han Siong. Anak itu setiap hari menyapu di depan kamar tahanan dan mereka berdua melihat bahwa anak itu memiliki bakat yang amat baik! Dan usianya sebaya atau sedikit saja lebih tua dari Bi Lan. Timbul niat di hati mereka untuk mengambil Han Siong sebagai murid. Mereka lalu melayangkan surat kepada ketua kuil, mempergunakan kepandaian mereka di waktu malam. Ketua kuil menerima surat itu dan karena itulah dia menyuruh Han Siong memanggil dua orang tahanan itu untuk menghadap dan itulah pertama kalinya Han Siong bertemu muka dengan mereka. "Demikianlah, muridku. Kami kehilangan anak kami yang tercinta dan permintaan kami untuk mengambil engkau sebagai murid ditolak. Kemudian terjadilah peristiwa dengan Lam-hai Giam-lo sehingga akhirnya engkau dapat juga menjadi murid kami walaupun engkau harus pula meninggalkan jubah hwesio. Dan dapatkah engkau menduga, apa sebabnya kami, selain melihat engkau berbakat, ingin sekali mengangkatmu menjadi murld kami?" Han Siong adalah seorang anak yang amat cerdik. Mendengar penuturan suhunya dia dapat menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Setelah memperoleh ilmu dari Suhu dan Subo sehingga teecu cukup kuat, teecu akan pergi mencari Adik Bi Lan sampai dapat!" Mendengar ucapan ini, Ci Kang tersenyum dan merangkul pundak muridnya yang duduk di depannya. Dia merasa girang, juga bangga dan kagum. “Ah, sudah kuduga bahwa engkau memang cerdik sekali, Han Siong. Memang itulah yang kami harapkan! Setelah kami menganggap engkau cukup kuat, kami minta agar engkau pergi mencari Bi Lan sampai dapat, dan menyerahkan dua buah kitab pusaka kami kepadanya, juga membimbingnya untuk mempelajari kitab-kitab Dewi Kwan Im itu. Kami sendiri dengan susah payah mempelajarinya karena kami belajar tanpa pembimbing. Kalau dibimbing, tentu orang dapat menguasainya lebih cepat lagi." Demikianlah, mulai hari itu, Han Siong membiarkan rambut di kepalanya tumbuh, mengenakan pakaian biasa, akan tetapi masih bekerja biasa. Hanya sekarang dia tidak diperbolehkan membersihkan bagian yang dianggap suci dan hanya menyapu di pekarangan dan kebun, memikul air dan pekerjaan lain. Tidak lagi mempelajari kitab-kitab agama walaupun dia masih boleh membaca kitab-kitab kuno yang berisi cerita dan filsafat dari ruang perpustakaan. Dan di waktu malam, dia berlatih ilmu silat di bawah pengawasan suhu dan subonya dan dia berlatih dengan amat giatnya. Kedua orang gurunya dengan penuh semangat melatihnya karena dua orang ini mengharapkan agar Han Siong cepat menguasai ilmu silat yang tinggi agar dapat diharapkan untuk mencari dan menemukan puteri mereka yang hilang. Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu tidak secara langsung mengajarkan ilmu silat dari dua kitab Kwan Im, karena masih terlalu tinggi bagi Han Siong. Pemuda ini dilatih dengan ilmu-ilmu silat mereka yang juga amat tinggi sebagai dasar untuk kelak dapat menerima kedua ilmu silat yang luar biasa itu KAKEK itu sudah tua sekali, usianya tentu sudah mendekati delapan puluh tahun. Seorang kakek raksasa yang tubuhnya amat tinggi besar, kepalanya gundul, jubahnya kotak-kotak berwarna merah dan kuning, tangan kirinya memegang tasbeh yang seolah-olah sudah menjadi bagian dari tangannya karena tak pernah dilepasnya. Biarpun dia sudah tua sekali, namun pada wajahnya nampak kesegaran usia muda, bahkan sepasang matanya masih memiliki sinar yang gembira dan cerah. Sejak tadi, kakek itu duduk bersila di atas batu besar di bawah pohon raksasa, tubuhnya tak bergerak dan tegak, hanya jari-jari tangan kiri saja yang memutar-mutar tasbehnya. Agaknya dia sedang berdoa. Setelah selesai berdoa, kakek pendeta gundul itu membuka kedua matanya kemudian memandang ke kanan kiri seperti mencari-cari. Karena tidak melihat yang dicarinya, dia lalu turun dari tempat dia bersila, dan dengan langkah lembut dia lalu mencari ke arah anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ. Anak itu suka sekali bermain di tepi sungai, pikirnya sambil menahan senyum. Akhirnya, dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun sedang duduk termenung di tepi sungai yang airnya amat jernih itu. Kakek pendeta itu mengintai dari balik semak-semak. Anak laki-laki itu berwajah tampan dan cerah, sepasang matanya tajam bersinar-sinar, bibirnya selalu menyungging senyum dan wajahnya berseri gembira. Pada saat itu, dia berdongak memandang ke arah pohon tak jauh dari situ, di antara daun-daun yang lebat dan seperti terpesona. Kakek itu menjadi tertarik dan ikut memandang, mencari-cari dengan pandang matanya dan ketika dia melihat apa yang sedang dipandang oleh anak itu, dia tersenyum lebar, akan tetapi wajahnya seperti tersipu malu. Kiranya yang dipandang oleh anak laki-laki itu adalah sepasang burung yang sedang berkasih-kasihan dan bermain cinta. Paruh mereka saling bersentuhan seperti orang bercumbu dan berciuman dan berulang-ulang burung gereja jantan itu naik ke atas punggung burung betina yang mendekam pasrah. Dan agaknya anak itu demikian terpesona, mengikuti setiap gerakan kedua ekor burung itu. Akhirnya sepasang burung gereja itu terbang pergi dan barulah anak itu seperti sadar dari dalam pesona yang amat menarik hatinya. Alam menjadi guru, demikian kakek itu berpikir. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba anak itu memandang ke arah tepi sungai dan dia sendiri pun tertarik. Kebetulan sekali, pada saat itu muncul sepasang kijang mendekati tepi sungai, jelas bahwa sepasang kijang itu hendak minum air yang jernih. Mereka minum dengan lahap, kemudian si Jantan timbul gairah dan mereka pun berkejaran sebentar di tepi sungai. Yang betina nampaknya saja melarikan diri, akan tetapi hanya berputaran di sekitar tepi sungai itu, di mana tumbuh rumput hijau yang gemuk dan sikapnya seperti mempermainkan si Jantan. Akhirnya ia pun menyerah dan mereka berdua bermain cinta di tepi sungai. Kakek tua renta itu melihat betapa anak laki-laki itu kini bangkit, memandang dengan muka menjadi kemerahan dan mulut agak terbuka, napasnya agak terengah-engah. Dia pun mengerti bahwa alam telah memperlihatkan kekuasaannya. Tanda-tanda peralihan dari masa kanak-kanak menjadi remaja mendekati dewasa mulai nampak pada diri anak laki-laki itu. Kakek itu pun tidak mau mengganggu. Biarkan anak itu mempelajari kenyataan hidup dari alam sekitarnya, pikirnya. Dia sendiri lalu duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan semua penglihatan itu lenyap dari bayangan dalam benaknya. Akhirnya sepasang kijang itu pun pergi dari situ dan anak itu pun kini duduk kembali dan nampak dahi dan lehernya basah oleh keringat. Dia masih tenggelam ke dalam renungan, membayangkan kembali segala yang dilihatnya tadi ketika suara halus memanggilnya. "Hay Hay…..!" nak itu terkejut karena seperti terseret keluar dari alam lamunannya, akan tetapi hanya sebentar saja karena wajahnya segera berubah cerah ketika dia menoleh dan melihat kakek itu berdiri tak jauh di belakangnya. "Suhu!" serunya gembira dan dia cepat meloncat bangun dan lari menghampiri kakek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Sepagi ini Suhu sudah berada di sini!" Biasanya, kakek itu tentu masih duduk bersamadhi di depan pondok sambil mandi cahaya matahari. Setiap pagi kakek itu bersila dengan dada telanjang menghadap matahari, maka kehadiran gurunya di tepi anak sungai itu mengherankan hatinya. Anak itu adalah Hay Hay yang tadinya menjadi anak angkat Lam-hai Siang-mo. Seperti telah diceritakan di bagian depan. Hay Hay akhirnya tahu akan rahasia kedua orang tua yang tadinya dianggap sebagai orang tua kandung itu, tahu bahwa mereka itu sebetulnya adalah penjahat-penjahat besar yang menculiknya dari tangan kedua orang tuanya yang aseli, yaitu keluarga Pek. Akan tetapi hal ini pun masih meragukan karena setelah dia menjadi murid See-thian Lama, kakek gundul itu dan dibawa ke Pegunungan Himalaya, dia mendengar dari gurunya bahwa yang dimaksudkan dengan sebutan Sin-tong adalah putera keluarga Pek dari Pek-sim-pang, yaitu anak yang terlahir dengan tanda merah di punggung. Akan tetapi, dia tidak mempunyai tanda merah itu, maka biarpun Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, yaitu suami isteri Lam-hai Siang-mo sudah mengaku bahwa "mereka menculiknya dan menukar dengan anak mereka sendiri dari keluarga Pek, masih diragukan apakah dia benar-benar putera keluarga Pek. "Karena itulah, Hay Hay, pinceng nasihatkan agar engkau jangan tergesa-gesa mempergunakan nama keturunan Pek. Kelak kalau engkau sudah besar dan berkepandaian, engkau boleh menyelidiki sendiri tentang asal-usulmu itu." Selama lima tahun, Hay Hay diajak bertapa oleh See-thian lama, dibawa ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu, di tengah hutan di kaki Pegunungan Himalaya. Setiap hari, kakek itu menggemblengnya, mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan juga mengajarkan ilmu baca tulis. Karena kakek itu merupakan seorang di antara Pat-sian (Delapan Dewa) yang berilmu tinggi, maka tentu saja di bawah bimbingannya, Hay Hay menjadi seorang anak yang luar biasa. Ditambah lagi bakat yang amat baik pada dirinya, maka biarpun usianya baru dua belas tahun dan dia baru mempelajari ilmu silat selama lima tahun, kepandaiannya sudah amat hebat, jauh melampaui tingkat orang-orang dewasa yang belajar ilmu silat selama belasan tahun Akan tetapi, waktu yang lima tahun itu sebagian dihabiskan untuk latihan-latihan dasar, sehingga tidaklah mungkin bagi Hay Hay untuk mempelajari semua ilmu silat tinggi dari See-thian Lama. Oleh karena itu, See-thian Lama hanya mengajarkan teori-teori gerakan ilmu-ilmu silat yang pilihan, untuk dihafal di luar kepala oleh Hay Hay. "Ilmu-ilmu ini membutuhkan latihan yang masak Hay Hay. Akan tetapi, pinceng kalah cerdik oleh Ciu-sian Sin-kai. Pinceng melatihmu lebih dulu, sama saja dengan memberimu dasar-dasar yang kuat sehingga lima tahun berikutnya, Si Jembel itu akan menerimamu dalam keadaan siap menerima segala macam ilmu silat tinggi. Sedangkan sekarang, engkau hanya dapat menghapal ilmu-ilmu silat dariku. Akan tetapi, kelak, kalau tubuhmu sudah kuat, engkau akan dapat melatih ilmu-ilmu yang sekarang kau hapal di luar kepala ini.” Hay Hay dapat mengerti apa yang dikemukakan suhunya, maka dia pun mentaatinya dan menghapalkan ilmu-ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dari See-thian Lama, terutama sekali dia mendapatkan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali, yaitu Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) dan ilmu langkah yang luar biasa bernama Jiauw-pouw-poan-soan (Langkah Ajaib Berputar-putar ). Ketika See-thian Lama, mendengar ucapan muridnya yang merasa heran mengapa sepagi itu dia sudah menyusul muridnya di tepi anak sungai, dia tertawa. "Omitohud, betapa cepatnya sang waktu berjalan, Hay Hay. Kalau kita mengenangkan masa-masa lalu kita, seolah-olah baru terjadi kemarin saja. Pinceng pun kini sudah begini tua tanpa pinceng rasakan! Dan tahukah engkau bahwa kita telah berada di sini selama hampir lima tahun?" Hay Hay dapat menyembunyikan kagetnya mendengar ucapan itu. "Tapi...tapi... teecu masih ingin belajar terus dari Suhu!" Kakek itu tertawa. Anak ini memang cerdik sekali, kalau bicara langsung saja kepada sasarannya. "Hay Hay, satu di antara nilai seorang manusia yang perlu dijaga adalah mulut yang harus dapat dipercaya. Sekali berjanji, seorang gagah akan memenuhinya dan mempertahankannya dengan taruhan apa pun juga. Pinceng telah berjanji dengan Ciu-sian Sin-kai bahwa pinceng akan mendidikmu selama lima tahun, kemudian akan menyerahkan engkau kepadanya untuk dididik lima tahun lamanya." Hay Hay bukan tidak suka berguru kepada Ciu-sian Sin-kai, kakek pengemis yang juga amat lihai itu, akan tetapi dia belum merasa puas berguru kepada pendeta Lama ini. Namun dia tahu pula bahwa orang-orang seperti gurunya ini tentu tidak akan mau melanggar janjinya, maka membantah pun tidak akan ada gunanya. "Akan tetapi, Suhu. Di manakah tempat tinggal Suhu Ciu-sian Sin-kai itu? Ke mana kita harus mencarinya?" "Ha-ha-ha, kaukira dia seorang jembel miskin yang berkeliaran ke mana-mana mencari sisa nasi? Ha-ha, jangan salah sangka, muridku. Sin-kai adalah seorang yang kaya-raya, dia majikan Pulau Hiu yang selain kaya-raya, memiliki pula banyak anak buah dan hidup sebagai raja di pulau itu. Dalam beberapa hari ini dia pasti akan muncul untuk menjemputmu." Diam-diam Hay Hay merasa terkejut juga. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. Orang-orang yang menjadi guru-gurunya ini memang aneh. See-thian Lama yang menjadi pendeta Lama, sepatutnya hidup di dalam biara yang besar di Tibet, atau setidaknya tentu memiliki kuil yang besar di mana dia menjadi ketuanya. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian. Pendeta ini membawanya ke tempat sunyi itu dan mereka hanya tinggal di sebuah pondok darurat yang mereka bangun. Sebaliknya, orang berpakaian tambal-tambalan seperti pengemis itu, Ciu-sian Sin-kai, malah hidup sebagai raja yang kaya-raya di sebuah pulau. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, tiba-tiba See-thian Lama memegang lengannya dan berbisik. " Ada orang-orang datang ke sini!" Baru saja dia bicara, nampak berkelebat tiga bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah muncul tiga orang pendeta Lama. Sikap mereka keren akan tetapi mereka tetap menghormati See-thian Lama, bahkan mereka sudah merangkap kedua tangannya di depan dada sebagai penghormatan dan ketiganya menyebut, "Susiok !" See-thian Lama menatap wajah ketiga orang pendeta Lama itu. Mereka itu rata-rata berusia lima puluh sampai enam puluh tahun, dan dari sikap dan bentuk tubuh mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. See-thian lama tidak mengenal semua pendeta Lama, akan tetapi dari sebutan mereka, dia tahu bahwa mereka ini adalah pendeta-pendeta tingkat dua di Tibet, satu generasi lebih muda darinya. "Kalian berlima darimanakah dan ada keperluan apa datang berkunjung ke sini?" tanya See-thian Lama dengan sikap dan suara yang lembut. Seorang di antara tiga pendeta lama itu, yang bertubuh jangkung kurus berjenggot panjang, melangkah maju mewakili dua orang temannya. Pendeta ini bersikap halus, akan tetapi suaranya terdengar tegas dan keras. "Susiok, maafkan kalau kami bertiga mengganggu Susiok. Akan tetapi kami mendukung tugas yang diberikan oleh para Suhu di Tibet untuk mencari Sin-tong." Dia menghentikan kata-katanya dan mengerling ke arah Hay Hay yang mendengarkan dengan hati tertarik, apalagi ketika pendeta itu menyebut Sin-tong yang mempunyai hubungan erat dengan dirinya. See-thian Lama tetap tersenyum walaupun sinar matanya menjadi berkilat. "Mencari Sin-tong kenapa datang ke sini?” "Karena kami merasa yakin bahwa anak yang berada bersama Susiok ini adalah Sin-tong dan kami harus mengajaknya kembali ke Tibet." "Hemmm, apa alasanmu bahwa muridku ini Sin-tong?" "Kami merasa yakin, Susiok, berdasarkan penyelidikan kami yang bertahun-tahun lamanya. Mula-mula Lam-hai Siang-mo datang ke Tibet dan memberi tahu kepada para Suhu bahwa Sin-tong telah terampas dari tangan mereka oleh Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan. Para Suhu mengutus kami bertiga untuk pergi mencari kedua orang tokoh iblis itu. Bertahun-tahun kami merantau dengan susah payah dan setelah kami berhasil menemukan dua orang itu, mereka mengatakan bahwa Sin-tong telah terampas pula dari tangan mereka oleh Susiok dan Ciu-sian Sin-kai. Oleh karena itu, kami segera mencari Susiok di sini dan melihat anak ini……" See-thian Lama tersenyum. Kiranya dua pasang iblis itu telah mencari cara lain untuk membalas kekalahan mereka, yaitu dengan melapor kepada para pendeta Lama di Tibet! "Akan tetapi, muridku ini sama sekali bukan Sin-tong!" katanya. "Maaf, Susiok. Bukankah anak ini yang diperebutkan di antara Lam-hai Siang-mo, Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi? Bukankah anak ini yang tadinya telah dibawa oleh sepasang suami isteri itu untuk diserahkan ke Tibet?" See-thian Lama mengerti bahwa tentu saja suami isteri iblis itu berbohong dan memutarbalikkan kenyataan tentang diri Hay Hay, mengatakan bahwa mereka berdua tadinya berniat menyerahkan Hay Hay ke Tibet! Akan tetapi, memang Hay Hay yang diperebutkan itu maka dia pun mengangguk. "Benar, memang anak ini yang diperebutkan, akan tetapi dia bukan Sin-tong." Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian Si Jangkung berjenggot itu berkata, "Harap Susiok maafkan. Bukan maksud kami ingin berbantah dengan Susiok, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami mencari dengan susah payah dan setelah sekarang bertemu, terpaksa kami tidak akan membiarkannya terlepas begitu saja." "Maksud kalian?" "Dengan atau tanpa perkenan Susiok, kami harus membawa anak itu ke Tibet dan menghaturkannya kepada Suhu di Tibet" "See-thian Lama tertawa, “Omitohud, kau mendengar itu, Hay Hay? Nah, sekarang tiba saatnya pinceng menguji latihan-latihanmu selama ini. Coba pinceng ingin melihat apakah selama sepuluh jurus engkau mampu menghindarkan diri dari tangkapan tiga orang pendeta Lama ini!" Kepada tiga orang murid keponakan itu, dia pun berkata, "Nah, kalian kuberi kesempatan untuk menangkapnya, selama sepuluh jurus." Tiga orang pendeta itu kembali saling pandang. Mereka sudah tahu akan kelihaian See-thian Lama yang amat terkenal di Tibet, maka mereka memperlihatkan sikap jerih. Akan tetapi, tentu saja mereka memandang ringan bocah yang usianya baru dua belas tahun itu. Mereka bertiga menangkap selama sepuluh jurus? Satu dua jurus saja tentu seorang di antara mereka akan berhasil menangkapnya, apalagi maju bertiga! "Baik, Susiok, kami akan mencobanya!" Dan mereka bertiga lalu menghampiri Hay Hay yang tidak beranjak dari tempatnya. Anak ini memang cerdik. Melihat betapa di kanan kirinya terdapat banyak pohon-pohon besar, dia menganggap bahwa tempat itu amat baik untuk dipakai kucing-kucingan dan menghindarkan diri dari penangkapan tiga orang pendeta itu. Biarpun dia sudah menguasai Jiauw-pouw-poan-soan dan Yan-cu Coan-in, akan tetapi di tempat terbuka, disergap tiga orang pendeta yang tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, sungguh berbahaya. Kalau berada di antara pohon-pohon, dia dapat memanfaatkan batang-batang pohon itu untuk membantunya. Tiga orang pendeta Lama itu kini sudah tiba dekat dan tiba-tiba saja Si Jangkung berjenggot menubruk ke arah Hay Hay tanpa banyak cakap lagi. Tangan kirinya menyambar ke arah tengkuk dan tangan kanan menyambar lengan kiri Hay Hay. Sambarannya itu amat cepatnya akan tetapi bagi Hay Hay nampak lambat sehingga dengan mudah saja dia mendahului mengelak dengan lompatan ke belakang dan miringkan tubuhnya. Melihat ini, dua orang pendeta lainnya menyergapnya dari kanan kiri. Gerakan mereka juga cepat sekali dan bagaikan dua ekor biruang mereka menubruk dengan kedua lengan terpentang lebar, kedua tangan membentuk cakar untuk mencengkeram. Namun, dengan menggerakkan kedua kakinya secara aneh dan lincah sekali, miringkan tubuh ke sana-sini, Hay Hay sudah menyelinap di antara batang-batang pohon dan tubrukan dua orang pendeta itu pun luput! ! Tiga orang pendeta Lama itu terkejut. Sungguh tak mereka sangka bahwa anak itu dapat menghindarkan diri sedemikian mudahnya dari tubrukan-tubrukan mereka. Padahal mereka adalah pendeta-pendeta Tibet tingkat dua yang tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tenaga sinkang dan khikang yang kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah hebat. Mereka tentu saja merasa penasaran dan mulailah mereka melakukan penyergapan dari kanan kiri, mengejar ke mana saja anak itu bergerak dan mengelak. Namun, untuk kesekian kalinya mereka hanya menangkap angin dan menubruk tempat kosong saja. Makin cepat mereka bergerak, makin cepat pula Hay Hay mengelak sambil menyelinap di antara pohon-pohon sehingga ketika hwesio Lama, yang agak gendut menubruknya terlalu cepat dan sudah yakin akan berhasil, tahu-tahu yang ditangkapnya adalah sebatang pohon sehingga hidungnya membentur batang pohon dan berdarah! Kini barulah tiga orang pendeta itu sadar bahwa anak itu benar-benar tak boleh dipandang ringan! Sudah lima jurus mereka berusaha menangkap, tanpa hasil sedikitpun juga. Jangankan menangkap, bahkan menyentuh lengan atau baju anak itu pun tak pernah dapat mereka lakukan! See-thian Lama melihat betapa muridnya main kucing-kucingan di antara pohon-pohon besar, merasa tidak puas. Dia ingin menguji kepandaian muridnya, bukan akal dan kecerdikannya. Masih ada lima jurus lagi untuk mengujinya. "Hay Hay, engkau bukan kucing. Keluarlah di tempat terbuka!" teriaknya dan Hay Hay terkejut. Suhunya malah menyuruh dia keluar di tempat terbuka, padahal dia tahu benar betapa lihainya tiga orang itu. Gerakan mereka cepat dan dari gerakan tangan mereka itu keluar angin yang amat kuat. Bagaimana kalau mereka menyerangnya dan dia roboh terluka? Tentu akan mudah dapat tertangkap. Akan tetapi dia tidak berani membantah perintah suhunya dan sekali meloncat, tubuhnya mencelat keluar dari balik pohon dan kini dia berdiri di tengah-tengah bagian yang terbuka, di atas padang rumput dan berdiri tegak, siap untuk memainkan Jiauw-pouw-poan-soan karena itulah satu-satunya ilmu yang dapat dipergunakannya untuk mengelak dari semua usaha penangkapan. Juga dia mengerahkan ilmu meringankan tubuh Yan-cu Coan-in agar mudah meloncat dengan ringan kalau-kalau terancam oleh tangan tiga orang itu. Melihat betapa anak, itu kini berdiri di tempat terbuka, tiga orang pendeta itu menjadi girang sekali. Kini kesempatan bagi mereka terbuka untuk dapat menyergap dan menangkap anak itu. Mereka lalu berloncatan mengepung anak itu di tempat terbuka. Kini tidak terdapat batang pohon di mana anak itu menyelinap dan berlindung dari penyergapan. Hampir saja mereka tertawa saking girang rasa hati mereka. Bertahun-tahun mereka melakukan perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan baru sekarang mereka diberi harapan besar untuk akhirnya berhasil membawa Sin-tong ke Tibet dan menerima berkah dan anugerah dari para Dalai Lama di Tibet. Hay Hay segera menggerakkan kakinya, digeser sedikit demi sedikit mengikuti gerakan tiga orang pengepungnya, mencari posisi yang baik dan menguntungkan sesuai dengan ilmu langkah Jiauw-pouw-poan-soan. Tubuhnya ikut terbawa gerakan kaki, berputaran perlahan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya dalam keadaan siap siaga. Tiba-tiba pendeta Lama jangkung berjenggot mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menubruk ke depan, disusul dua orang temannya yang menubruk pula dari kanan kiri. Tidak ada tempat bagi Hay Hay untuk mengelak, demikian perkiraan tiga orang pendeta itu. Akan tetapi, sungguh luar biasa sekali. Tubuh anak itu bergerak ke sana-sini, dekat sekali dengan jangkauan tangan mereka, akan tetapi buktinya, tubrukan mereka itu sedikit pun tidak berhasil! Sambaran tangan mereka hanya meluncur di dekat tubuh anak itu! Nampaknya seolah-olah gerakan tangan mereka yang mendorong tubuh anak itu, seperti orang hendak menangkap bulu sutera halus yang amat ringan. Tentu saja mereka hampir tidak dapat percaya akan apa yang mereka alami. Dengan penasaran mereka berusaha menangkap lagi dan memperketat pengepungan. Melihat ini, Hay Hay maklum bahwa mengandalkan Jiauw-pouw-poan-soan saja amat berbahaya, maka dia pun mulai menambah langkah-langkah ajaibnya dengan loncatan-loncatan dengan menggunakan ilmu Yan-cu Coan-in. Ilmu ini meniru gerakan burung walet yang amat gesit, yang dalam keadaan terbang dapat membalik ke sana-sini, bahkan dalam keadaan terbang berkelompok dan bersimpang-siur, mereka tidak pernah saling bertabrakan. Dan kini, tiga orang pendeta Lama itu kembali dibikin tertegun karena ke mana pun mereka menubruk dan mengulur tangan, sama sekali mereka tidak mampu menyentuh tubuh Hay Hay. Tanpa terasa, sepuluh jurus telah lewat. Mereka tidak menghitung jurus lagi dan kini dengan penasaran, mereka mulai menyerang dengan tamparan-tamparan karena mereka memperhitungkan bahwa sekali anak itu roboh tertampar, biarpun dalam keadaan terluka, tentu akan dapat mereka tangkap dan mereka bawa ke Tibet. "Omitohud, kalian tidak boleh bertindak curang!" Tiba-tiba See-thian Lama berkelebat dan tahu-tahu tiga orang pendeta itu merasa tubuh mereka lemas ketika ada bayangan berkelebatan di atas kepala mereka. Kiranya dengan ujung jubahnya yang panjang dan lebar, See-thian Lama telah berhasil menotok jalan darah di pundak mereka, tidak terlalu keras untuk merobohkan mereka, namun cukup untuk membuat mereka lemmas dan terpaksa mereka melangkah mundur menghentikan serangan mereka terhadap Hay Hay. "Susiok, kami adalah utusan dari Tibet! Apakah Susiok bermaksud untuk mengkhianati Tibet dan para Suhu di sana?" pendeta jangkung berjenggot kini bertanya, suaranya tegas dan penuh teguran. "Omitohud, percuma saja kalian berlatih puluhan tahun lamanya kalau tidak mampu menguasai perasaan sendiri. Pinceng tidak ingin berbantahan dengan kalian, akan tetapi kalau para pimpinan dari Tibet datang sendiri, baru pinceng akan membuktikan bahwa murid pinceng ini bukan Sin-tong!" Melihat sikap See-thian Lama dan mendengar ucapan itu, tiga orang pendeta Lama saling pandang dengan kecewa sekali. Segala susah payah mereka selama bertahun-tahun ini hanya akan membawa hasil laporan bahwa mereka menemukan Sin-tong akan tetapi tidak mampu membawanya ke Tibet! Akan tetapi karena maklum bahwa menghadapi See-thian Lama, tidak ada gunanya mempergunakan kekerasan karena mereka akan kalah, tiga orang pendeta itu terpaksa memberi hormat dan Si Jangkung berjenggot lalu berkata, nada suaranya mengandung rasa penasaran dan ancaman. "Apa yang terjadi pagi ini di sini tentu akan kami laporkan kepada para suhu!" setelah berkata demikian, tiga orang itu menjura dan membalikkan tubuh dan berjalan pergi dari situ tanpa menoleh lagi. setelah mereka pergi jauh, see-thian Lama menarik napas panjang. "Omitohud, dirimu dikepung rahasia dan berbahaya, Hay Hay. Pinceng tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi dengan sin-tong yang sesungguhnya dan di mana kini dia berada. Atau……..benar engkau ini putera keluarga Pek akan tetapi terlahir tanpa tanda merah di punggung sehingga ramalan para Dalai Lama itu sekali ini meleset?" Akan tetapi Hay Hay tidak mempedulikan semua itu. Dia masih merasa tegang dan gembira karena tadi memperoleh kesempatan untuk memainkan ilmu yang selama ini dilatihnya dengan tekun. "Suhu, bagaimana dengan gerakan teecu tadi? Apakah masih ada yang keliru dan mengecewakan?" See-thian lama tersenyum. "Sudah cukup baik, akan tetapi kalau besok atau lusa datang rombongan Lama yang lain, engkau sama sekali tidak boleh lagi memperlihatkan kepandaianmu itu. Yang akan datang ke sini adalah orang-orang yang amat lihai, dan biarkan pinceng yang akan menghadapi mereka." "Suhu, siapakah yang akan datang lagi ke sini?" tanya Hay Hay, terkejut juga mendengar bahwa akan datang lagi rombongan Lama yang lebih lihai. "Guru-guru mereka atau pimpinan Dalai Lama yang tingkatnya sama dengan pinceng." "Akan tetapi bukankah mereka berada di Tibet? Jaraknya tentu jauh dan bagaimana mereka akan dapat datang demikian cepat, besok atau lusa?" "Heh-heh, engkau masih belum tahu, Hay Hay. Para pendeta Lama memiliki ilmu yang luar biasa, bukan hanya ilmu silat dan ilmu sihir. Mereka juga dapat melakukan hubungan batin dari jarak jauh. Tiga orang pendeta tadi akan mampu mengundang guru-guru mereka melalui kekuatan batin saja sehingga yang berada di Tibet akan mengetahui dan cepat datang ke sini. Dan mereka yang akan datang itu, rata-rata memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, biarpun mungkin belum dapat menandingi Yan-cu Coan-in, akan tetapi sudah amat cepat sehingga dalam waktu satu dua hari saja akan dapat tiba di sini." Hay Hay tertegun. Demikian banyaknya orang sakti di dunia ini, pikirnya. Hal ini menebalkan keyakinannya bahwa dia harus belajar penuh semangat, dan sama sekali tidak boleh menilai kepandaian sendiri terlalu tinggi sehingga menjadi besar kepala dan tinggi hati karena di dunia ini banyak sekali orang pandai yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya. Apa yang dikatakan See-thian Lama memang terbukti. Dua hari kemudian, pada suatu pagi, selagi Hay Hay dan See-thian Lama berlatih samadhi di dalam pondok seperti yang diajarkan oleh pendeta itu, terdengar suara di luar pondok itu. "See-thian Lama, keluarlah, kami ingin bicara!" See-thian Lama membuka matanya dan berkata kepada Hay Hay. "Nah, mereka sudah tiba. Mari kita keluar, Hay Hay dan jangan kau melakukan sesuatu, serahkan saja kepada pinceng." Dia pun turun dan menggandeng tangan Hay Hay diajak keluar dari pondok. Ketika mereka tiba di luar pondok, di situ sudah berdiri dua orang pendeta Lama yang sudah amat tua. Usia mereka sebaya dengan See-thian Lama, yang seorang bertubuh pendek kecil akan tetapi sinar matanya mencorong penuh wibawa, sedangkan orang ke dua gemuk dan gendut seperti Ji-lai-hud dan mulutnya selalu tersenyum lebar. Melihat bahwa yang muncul adalah seorang Dalai Lama yang cukup besar kekuasaannya di Tibet, yaitu Bai Long Lama yang masih terhitung suhengnya sendiri, pendeta yang kecil pendek itu, dan Bai Hang Lama yang terhitung sutenya, Si Gendut itu, maka See-thian Lama cepat-cepat maju dan memberi hormat. "Selamat datang di gubukku, Suheng dan Sute!" katanya. "Omitohud.….engkau masih belum menghilangkan kesukaanmu menyendiri dan menyepi, Sute." kata Bai Long Lama, cukup lembut dan ramah, akan tetapi pandang matanya tetap saja keren berwibawa. Sebaliknya, Bi Hang Lama yang memang selalu tersenyum lebar itu kini tertawa. "Ha-ha-ha, engkau kelihatan semakin sehat saja, Suheng!" "Terima kasih,.. Sute. Engkau pun semakin gendut." "Ha-ha-ha-ha-ha!" Si Gendut itu tertawa bergelak dan perutnya yang penuh gajih itu bergoyang-goyang seperti hidup. "Suheng dan Sute, kalian berdua ini datang untuk berkunjung saja ataukah ada keperluan lain yang penting?" See-thian Lama bertanya, sementara itu, dua orang pendeta Lama sudah menatap wajah Hay Hay dengan penuh perhatian. “Sute See-thian Lama, perlukah engkau berpura-pura lagi? Kami datang untuk mengambil anak ini!" Tiba-tiba suara pendeta Lama yang pendek kecil itu penuh wibawa dan ketegasan, bahkan sinar matanya yang mencorong itu mengandung tantangan. See-thian Lama tentu saja sudah tahu akan maksud kedatangan mereka dan dia pun tersenyum ramah penuh kesabaran. "Suheng, dengan alasan apakah Suheng hendak mengambil anak yang menjadi muridku ini?” "Karena dia Sin-tong! Engkau pun tahu sendiri bahwa calon Dalai Lama harus berada di biara untuk dididik." kata pula Bai Long Lama. "Kalau dia Sin-tong, memang benar apa yang kaukatakan itu, Suheng. Akan tetapi bagaimana kalau dia bukan Sin-tong? Dan pinceng dapat memastikan bahwa dia ini hanyalah muridku, sama sekali bukan Sin-tong.” "Hemmm, hal itu harus kami selidiki dulu. Apa buktinya bahwa anak ini bukan Sin-tong? Bukankah engkau merampasnya dari Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang merampas anak ini dari Lam-hai Siang-mo?" "Benar, akan tetapi Lam-hai Siang-mo mungkin juga tidak tahu bahwa anak ini bukan Sin-tong. Lihatlah baik-baik, Suheng dan Sute!" Berkata demikian, See-thian Lama lalu menarik baju Hay Hay sehingga merosot turun dan memperlihatkan punggungnya yang putih bersih, sedikit pun tidak ada tanda merah di situ. "Bukankah Sin-tong sudah diramalkan memiliki tanda merah di punggungnya? Anak ini tidak mempunyai tanda merah. Kalau dia mempunyai tanda itu tentu sudah dulu-dulu kubawa ke Tibet untuk diserahkan kepada para pimpinan Lama, Suheng." Melihat punggung yang kulitnya putih halus dan sama sekali tidak nampak ada tanda merahnya itu. Bai Long Lama dan Bai Hang Lama saling pandang dan merasa terkejut, juga terheran-heran. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya semula. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tahu bahwa See-thian Lama adalah seorang pandai luar biasa. Bukan tidak mungkin dengan satu dan lain cara, See-thian Lama. sudah berhasil menghapus tanda merah itu dari punggung Sin-tong! "Omitohud... pinceng benar-benar merasa heran melihat kenyataan ini, Sute See-thian Lama. Akan tetapi pinceng tidak dapat memberi keputusan begitu saja, anak ini harus dibawa ke Tibet untuk dilakukan pemeriksaan dengan teliti apakah dia benar Sin-tong yang kami cari ataukah bukan." Terkejutlah hati See-thian Lama mendengar ucapan ini. Disangkanya bahwa kenyataan akan tidak adanya tanda merah di punggung Hay Hay akan cukup membuktikan bahwa anak itu bukan Sin-tong. Pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak yang datangnya dari jauh sehingga terdengar sayup sampai saja, akan tetapi semakin lama, suara ketawa itu menjadi semakin keras dan jelas. Semua orang terkejut karena maklum bahwa suara ketawa itu adalah suara yang mengandung tenaga khikang yang amat kuat. Akan tetapi See-thian Lama mengenal suara itu setelah terdengar dekat dan dia pun mengerahkan khikangnya sambil berkata. "Omitohud, Ciu-sian Sin-kai, jangan kau main-main seperti ini! Tidak tahukah dengan siapa pinceng bercakap-cakap?" Kembali terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang masih tertawa bergelak. Kakek ini usianya juga sebaya dengan mereka, mendekati delapan puluh tahun. Tubuhnya agak kurus, pakaiannya penuh dengan tambal-tambalan berkembang akan tetapi bersih, sepatunya butut berlubang, rambut, kumis dan jenggotnya yang sudah banyak putihnya itu kusut akan tetapi juga bersih, sepasang matanya tajam dan bergerak-gerak cepat membayangkan kecerdikan. Di pinggangnya terselip sebatang suling yang tiga kaki panjangnya. "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Justeru karena yang bercakap-cakap adalah tiga orang pendeta Lama tingkat tertinggi, maka terdengar amat lucu sekali. Ha-ha-ha!" Mendengar ucapan ini dan melihat sikap kakek jembel itu, Bai Long Lama menjadi marah atau setidaknya hatinya merasa tidak senang karena dia merasa dipermainkan dan ditertawakan. Dia pun mengenal siapa adanya kakek jembel itu, seorang di antara Delapan Dewa, rekan dari sutenya, See-thian Lama. "Siancai... Ciu-sian Sin-kai majikan Pulau Hui, sungguh tidak memandang sebelah mata kepada orang-orang Tibet. Sin-kai, kami yang tadi bercakap-cakap, kalau kauanggap lucu menggelikan, apanya yang lucu?" Biarpun suaranya masih lunak, namun mengandung kekerasan dan tantangan. "Ha-ha-ha-ha!" kembali kakek pengemis itu tertawa dan seperti bicara kepada diri sendiri dia berkata, "Sama-sama menggerakkan mulut dan mengeluarkan suara, jauh lebih sehat ketawa dari pada menangis, bergembira daripada berduka! Para Lama yang mulia, sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah ucapan Dalai Lama yang terkenal angker dan mengandung kebenaran, pernah salah? Apakah ramalan yang keluar dari kamar suci para Dalai Lama di Tibet, pernah bohong dan tidak cocok dengan kenyataan?" "Tentu saja belum pernah!" kata Bai Long Lama dengan marah. "Heh-heh-heh, pinceng juga senang ketawa seperti engkau, jembel tua. Akan tetapi pinceng tidak berani main-main dengan kesucian Dalai Lama. Tentu saja segala ucapan yang keluar dari kamar suci, yang diramalkan dari sana, semua tentu benar dan sama sekali tidak pernah bohong!" Sambung Bai Hang Lama yang gendut. “Nah, nah, itulah yang lucu!" Kakek jembel itu kembali tertawa. "Aku sendiri mendengar berita itu di dunia kang-ouw bahwa calon Dalai Lama yang baru adalah seorang anak laki-laki yang terlahir dengan tanda warna merah di kulit punggungnya! Dan anak bernama Hay Hay ini kulit punggungnya putih bersih, sedikitpun tidak ada merahnya. Akan tetapi tetap saja kalian tidak percaya! Bukankah ini lucu sekali ? Dua orang Lama tingkat tinggi tidak mempercayai ramalan dari kamar suci Dalai Lama. Aneh dan lucu!" Wajah kedua orang pendeta Lama itu menjadi agak merah. "Bukan tidak percaya, engkau salah sangka, Sin-kai. Calon itu sudah pasti punggungnya ada tanda merahnya. Yang kami kurang percaya bahwa, Sin -tong ini memang tidak memiliki tanda itu. Siapa tahu tanda itu hilang atau sengaja dihilangkan. Karena itu, kami akan membawanya ke Tibet agar para pimpinan mengadakan pemeriksaan dan menentukan benar tidaknya dia Sin-tong yang kami cari!" "Ha-ha-ha, itu lebih lucu lagi namanya! Siapa tidak mengenal See-thian Lama seorang di antara Delapan Dewa? Pernahkah ada tokoh Delapan Dewa berbohong? Dan siapa pula tidak mengenal Ciu-sian Sin-kai? Biar pengemis, aku selamanya tidak pernah mau berbohong. Kami berdua yang menemukan anak ini, kami berdua yang memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa anak ini sama sekali bukan Sin-tong seperti yang dikabarkan orang. Kalau dia Sin-tong, untuk apa kami mengambilnya sebagai murid? Tentu sudah kami kembalikan ke Tibet. Hemm, aku menjadi curiga. Pernah aku mendengar kabar angin bahwa karena sejak kecil tidak boleh berdekatan dengan wanita, banyak kaum pendeta yang memelihara remaja-remaja pria! Benarkah itu? Jangan-jangan murid kita akan dijadikan peliharaan semacam itu, See-thian Lama!" Ucapan terakhir ini benar-benar menyentuh kelemahan para pendeta Lama ltu. Muka mereka menjadi merah. Harus diakui bahwa mereka berdua bukan termasuk para pendeta yang suka menyembunyikan anak laki-laki yang menjadi kekasih mereka dengan berkedok menjadi kacung, akan tetapi mereka melihat kenyataan yang amat memalukan seperti itu. "Sudahlah, mungkin pinceng yang keliru. Kalau engkau juga menjadi saksi bahwa anak ini memang tidak memiliki tanda merah di punggung sebelumnya, berarti dia bukan Sin-tong, kami percaya. Biarlah kami akan kembali ke Tibet untuk melaporkan hal ini kepada para pimpinan, terserah kebijaksanaan mereka nanti. Sute, selamat tinggal." kata pendeta Lama yang kecil pendek itu. "Suheng, selamat tinggal. Mari, Sinkai!" kata pendeta ke dua, Bai Hang Lama yang gendut dan suka ketawa. "Selamat jalan, Suheng dan Sute." kata See-thian Lama. "Terima kasih, kalian ternyata Lama-Lama yang mau mengerti dan bijaksana, ha-ha-ha!" Ciu-sian Sin-kai juga berkata. Dua orang pendeta Lama itu lalu pergi dan cara mereka pergi juga mengejutkan hati dan mengagumkan hati Hay Hay karena begitu berkelebatan mereka telah nampak jauh sekali dan sebentar saja mereka hanya nampak seperti titik-titik hitam yang cepat sekali menghilang. Setelah mereka pergi, Ciu-sian Sin-kai lalu memandang kepada Hay Hay dan tersenyum simpul. "Wah, engkau sudah besar sekarang, Hay Hay. Nah, cepat kau menyerang aku untuk dapat kulihat sampai di mana kemampuanmu setelah lima tahun digembleng oleh Lama pemakan rumput ini!" Ciu-sian Sin-kai memang selalu mengejek kaum pendeta yang tidak suka makan barang berjiwa sebagai "pemakan rumput". Bukan mengejek untuk mencemooh atau mencela, bahkan dia merasa kagum sekali dan membenarkan mereka karena pernah dikatakannya bahwa pemakan rumput adalah mahluk-mahluk yang paling besar dan kuat di dunia ini. Lihat saja, katanya, binatang-binatang pemakan rumput adalah yang terkuat, di antaranya gajah, onta, kuda, sapi, kerbau dan lain-lainnya. Sedangkan binatang pemakan bangkai hanya menjadi ganas saja, seperti harimau, serigala dan sebagainya. Tentu saja Hay Hay meragu ketika disuruh menyerang kakek berpakaian pengemis itu. Dia memang masih ingat kepada Ciu-sian Sin-kai, akan tetapi karena sudah lima tahun tidak jumpa, tentu saja dia sungkan kalau datang-datang disuruh menyerangnya! Akan tetapi See-thian Lama tertawa dan berkedip kepadanya. "Hay Hay, Gurumu Ciu-sian Sin-kai sudah mulai hendak memberi petunjuk, kenapa engkau malu dan sungkan? Seranglah dan habiskan kepandaianmu!" Mendengar perintah ini, baru Hay Hay teringat bahwa watak kakek pengemis tua itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan See-thian Lama, maka dia pun cepat meloncat ke depan kakek itu. Sejenak mereka saling pandang dan Sin-kai girang melihat remaja yang wajahnya cerah dan sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu. Sebaliknya, Hay Hay juga senang melihat wajah kakek jembel itu yang membayangkan gairah dan kebahagiaan hidup, selalu gembira, berbeda dengan sikap See-thian Lama yang selalu lembut dan tenang seperti air danau yang dalam. Sebaliknya sikap kakek jembel ini seperti anak sungai yang airnya berdendang dan gemericik terus-menerus, mengalir cepat di antara batu-batu sungai. Timbullah niatnya untuk menguji, siapa yang lebih unggul antara kedua orang kakek itu dan dia sudah memperoleh cara untuk melakukannya. "Suhu Ciu-sian Sin-kai, teecu mulai menyerang. Awas!" bentaknya dan dia pun segera menerjang dengan pukulan keras sambil memainkan langkah-langkah ajaibnya, yaitu Jiauw-pouw-poan-soan dan menggunakan ginkang Yan-cu Coan-in yang membuat tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main. Kakek jembel itu terkekeh ketika melihat betapa anak itu bergerak luar biasa cepatnya. Pukulan ke arah perutnya itu dielakkan dan dari samping dia mengulur tangan hendak menangkap pundak Hay Hay. Akan tetapi tiba-tiba saja tangkapannya mengenai angin kosong karena pada saat yang tepat, pundak itu lenyap ketika Hay Hay kembali menyerang, sekali ini menotok ke arah punggung. "Ehhh... ?" Ciu-sian Sin-kai berseru kagum, cepat meloncat ke depan dan membalikkan tubuhnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia pun melayangkan kakinya menendang ke arah kedua lutut Hay Hay. Gerakan kaki kiri kakek ini hebat sekali karena sekali bergerak, ujung kaki kirinya sudah membuat gerakan menendang dua kali mengarah kedua lutut. Cepat sekali. Akan tetapi, dengan langkah ajaibnya kembali Hay Hay dapat menghindarkan kedua lututnya dari serangan kakek itu. "Bagus! Engkau sudah menguasai Jiauw-pouw-poan-soan dengan baik!" Sin-kai memuji dan terus menghujani anak itu dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan dari segala pihak. Namun, memang dalam hal mempergunakan langkah-langkah ajaib, anak ini telah digembleng oleh See-thian Lama sehingga telah menguasainya. Dengan langkah-langkahnya itu, dia malah dapat menghindarkan diri dari sergapan tiga orang pendeta Lama. "Suhu, coba hendak teecu lihat bagaimana Suhu akan mampu merobohkan teecu kalau teecu menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan dan Yan-cu Coan-in!” tiba-tiba Hay Hay berseru gembira. Hampir saja See-thian Lama menegur muridnya karena ucapan itu dianggapnya takabur sekali. Juga Cui-sian Sin-kai mengerutkan alisnya. "Kaukira aku tidak mampu?" berkata demikian tiba-tiba saja kakek itu merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya membuat gerakan menyapu dari kanan kiri secara bergantian. Dibabat dari kanan kiri seperti itu, langkah-langkah kaki Hay Hay menjadi agak kacau dan ketika anak itu mengerahkan ilmu ginkang Yan-cu-coan-in untuk berlompatan menghindar, tiba-tiba saja ujung kaki Sin-kai telah mencium belakang lutut kirinya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Hay Hay terjatuh berlutut! Hay Hay memang sengaja memancing agar dirobohkan kakek jembel itu. Begitu roboh, dia segera menghadap See-thian Lama.. "Harap suhu ampunkan teecu kalau teecu kurang pandai memainkan ilmu Suhu, ataukah memang ilmu Suhu Ciu-sian Sin-kai yang lebih lihai maka teecu mudah saja dijatuhkan?" "Hushhh...! Hay Hay, jangan bicara bergitu!" Ciu-sian Sin-kai berseru kaget. Akan tetapi terlambat. Api yang disulutkan oleh Hay Hay itu telah membakar dan menyentuh harga diri See-thian Lama. "Hay Hay, engkau tadi roboh karena salahmu sendiri. Kalau engkau sudah mahir benar, menghadapi segala macam serampangan seperti tadi, tentu engkau berbalik akan berada di pihak pemenang, dan tidak mungkin dapat dirobohkan." Hay Hay merasa mendapatkan jalan dengan kata-kata itu. Dia lalu berkata kepada Ciu-sian Sin-kai, "Suhu, teecu ingin sekali mempelajari ilmu membabat dengan kedua kaki tadi, yang telah dapat merobohkan teecu dan membuat langkah ajaib teecu tidak berdaya." Ciu-sian Sin-kai tertawa. "Ha-ha, boleh saja, muridku. Ilmu itu hanya sebagian kecil saja dari apa yang akan kuajarkan kepadamu. Nah, perhatikan baik-baik. Jurus ini adalah jurus Kaki Gunting dari Ilmu Tendang Soan-hong-twi (Tendangan Berantai). Lihat bagaimana engkau menggerakkan tubuh dan kedua kakimu." Kakek itu memberi petunjuk dan karena Hay Hay memang berbakat dan pula sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dilatih sebentar saja dia sudah mampu memainkan tendangan jurus Kaki Gunting itu. “Nah, Suhu, marilah kita berlatih. Suhu mempergunakan Jiauw-pouw-poan-soan dan teecu akan mencoba jurus Kaki Gunting ini!” kata Hay Hay dengan gembira sekali sambil menghampiri See-thian Lama. Kakek ini tersenyum dengan pandang mata mengejek. “Hemm, jurus kaki gunting tumpul seperti itu saja, apa artinya? Nah, kau boleh menyerangku!" Karena memang ini yang dikehendaki Hay Hay, dia lalu memainkan jurus tendangannya itu dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan tenaga. Dia menerjang ke depan, merendahkan tubuhnya dan kedua kakinya membuat gerakan menyapu seperti menggunting dari kanan kiri dengan cepat, kadang-kadang bergantian, kadang-kadang berbareng dengan menahan tubuh menggunakan kedua tangan. Akan tetapi, See-thian Lama sambil tersenyum-senyum, melakukan langkah-langkah mundur dan kedua tangannya bergerak-gerak melakukan totokan-totokan atau tamparan-tamparan ke arah kepala Hay Hay. Karena kedua kaki pendeta itu selalu melangkah mundur, tentu saja sabetan kedua kaki dari kanan kiri itu tak pernah mengenai sasaran, sebaliknya, serangan ke arah bagian atas tubuh itu mernbuat Hay Hay kerepotan. Dia mencoba menangkis, akan tetapi sukar untuk mengelak karena kedua kakinya dipergunakan untuk melakukan tendangan bertubi-tubi sehingga akhirnya, pundaknya terkena totokan. Biarpun See-thian Lama tidak menggunakan tenaga besar, namun tetap saja Hay Hay terduduk lemmas untuk beberapa detik lamanya. "Suhu belum pernah mengajarkan jurus itu kepada teecu!" kata Hay Hay kepada See-thian Lama setelah dia dapat bangkit berdiri. "Itulah Jurus Burung Mematuk Ular untuk menghadapi Kaki Gunting tadi." "Harap Suhu suka rnengajarkan kepada teecu." Tentu saja See-thian Lama yang sedikit banyak merasa bangga karena sudah dapat membalas Ciu-sian Sin-kai secara tidak langsung itu, mengalahkan jurus Kaki Gunting, dengan senang hati mengajarkan jurus Burung Mematuk Ular kepada muridnya. Sebentar saja Hay Hay sudah dapat memainkan jurus itu dengan baik, menggunakan langkah Jiauw-pouw-poan-soan dengan mundur sambil kedua tangannya mematuk-matuk ke depan dari atas. Setelah dia menguasai jurus itu, dia pun menghadap Ciu-sian Sin-kai. "Suhu, sekarang teecu sudah dapat mengalahkan jurus Kaki Gunting." “Ha-ha-ha, akan tetapi jurus Burung Mematuk Ular itu pun mudah pula dipunahkan.” kata Ciursian Sin-kai. Kakek ini lalu mengajarkan jurus baru untuk mengatasi dan mengalahkan jurus Burung Mematuk Ular itu. Setelah menguasai jurus itu, Hay Hay lalu diberi pelajaran jurus baru dari See-thian Lama untuk mengalahkan jurus dari Cui-sian Sin-kai. Demikianlah, dengan cerdiknya, Hay Hay berhasil "mengadu" kedua orang gurunya itu. Dua orang kakek sakti itu "saling menyerang dan saling mengalahkan jurus lawan" secara tidak langsung, melainkan melalui murid mereka. Dan karena ingin saling mengalahkan, tentu saja makin lama mereka mengeluarkan jurus-jurus yang semakin tinggi dan pitihan! Dan semakin sukarlah bagi Hay Hay untuk mempelajari setiap jurus baru yang semakin rumit. Karena itu adu ilmu secara tidak langsung ini terjadi lebih dari tiga bulan! Nampaknya saja keduanya melatih Hay Hay dengan jurus-jurus ampuh dan pilihan, akan tetapi sesungguhnya, keduanya saling tidak mau mengalah untuk menonjolkan kehebatan ilmu masing-masing. Tentu saja yang untung adalah Hay Hay. Biarpun tentu saja dia tidak atau belum dapat menguasai semua jurus itu dengan sempurna karena kurang latihan, namun setidaknya dia telah mengenal dan menguasai teorinya sehingga kelak tinggal mematangkan saja dengan latihan. Lambat laun, kedua kakek itu pun maklum bahwa mereka berdua telah diadu oleh murid mereka. Diam-diam mereka merasa geli akan kebodohan diri sendiri dan kagum akan kecerdikan murid mereka, akan tetapi mereka maklum betapa pentingnya cara mengajarkan ilmu seperti itu kepada Hay Hay, mereka melanjutkan "adu ilmu" ini sampai seratus hari lamanya. "Omitohud, sudah cukuplah, Hay Hay. Pinceng hari ini merasa kalah dan mengaku kelebihan Ciu-sian Sin-kai. Engkau ikutlah dia dan belajarlah dengan rajin selama lima tahun." kata See-thian Lama setelah Hay Hay memperlihatkan jurus baru dari kakek pengemis itu. "Ha-ha-ha, See-thian Lama terlalu merendah. Ketahuilah, Hay Hay. Bagi orang-orang yang sudah benar-benar menguasai ilmu silat, tidak ada jurus yang tidak akan dapat dihadapi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, seperti juga tidak ada benda yang paling besar dan tempat yang paling tinggi di alam ini, tidak ada pula orang yang tidak terkalahkan. Sepandai-pandainya orang, tidak akan mampu menandingi serangan usia sendiri yang menggerogoti dari dalam. Karena itu, belajarlah yang giat dan lenyapkan sikap takabur. Selama hidup, engkau masih sempat mempelajari hal-hal yang baru." Hay Hay berlutut di depan kedua orang gurunya itu sambil menghaturkan terima kasihnya. Dan pada hari itu juga, Hay Hay pergi meninggalkan See-thian Lama, mengikuti gurunya yang baru, Ciu-sian Sin-kai yang membawanya pulang ke Pulau Hiu. Kita tinggalkan dulu Hay Hay yang mulai berguru kepada Ciu-sian Sin-kai dan mengikuti gurunya itu pergi ke Pulau Hiu dan marilah kita mengikuti keadaan Lam-hai Giam-lo, kakek muka kuda yang penuh rahasia itu. Mengapa kakek yang memiliki kepandaian amat tinggi itu sampai rela merendahkan diri, menjadi tukang kebun dan bahkan pura-pura gagu tuli di kuil Siauw-lim-si yang sunyi itu? Dia menyamar sebagai seorang hwesio tuli gagu, seolah-olah dia hendak menyembunyikan diri karena ketakutan. Memang kakek iblis ini dilanda ketakutan! Ada dua orang musuh besar yang selalu mengejarnya dan biarpun dia amat lihai, namun dalam beberapa kali perkelahian melawan mereka, dia selalu kalah dan nyaris tewas. Akhirnya, karena terus dikejar-kejar, dalam keadaan terluka dalam dia melarikan diri dan menggunduli rambut, menyamar sebagai hwesio dan dengan bermain sandiwara sebagai seorang hwesio terlantar kelaparan, dia ditolong oleh para hwesio kuil itu dan diterima bekerja sebagai tukang sapu. Siapakah dua orang yang ditakuti seorang seperti Lam-hai Giam-lo ini dan mengapa dia bermusuhan dengan mereka? Awal mula permusuhan itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu, Lam-hai Giam-lo yang baru saja kehilangan gurunya, yaitu Lam-kwi-ong seorang di antara Empat Setan Dunia, seperti menggantikan kedudukan mendiang gurunya dan dia merajalela di dunia persilatan, di bagian selatan dan jauh di barat. Karena sejak muda dia memang berkeliaran di pantai selatan sehingga memperoleh julukan Lam-hai Giam-lo (Raja Akhirat Laut Selatan), maka namanya amat ditakuti di daerah selatan. Ketika itu, usianya baru sekitar empat puluh tahun dan satu di antara kejahatan yang dilakukannya adalah menculik dan memperkosa wanita yang menarik hatinya. Pada suatu hari, dia melarikan seorang gadis cantik dari kota Swatouw, dilarikannya menuju ke pantai yang amat curam karena pantai ini merupakan bagian pegunungan tepi laut selatan. Gadis itu berusia tujuh belas tahun dan selalu menangis, meronta dan menolak untuk melayani orang yang mukanya mengerikan seperti muka kuda itu. Hal ini membuat Lam-hai Giam-lo marah sekali. Dia ingin gadis ini menyerahkan diri dengan suka rela karena dia tidak merasa puas kalau harus memperkosa dengan kekerasan. Di tempat yang sunyi itu, di tebing jurang yang amat curam, dia marah-marah karena kembali gadis itu menolak, bahkan memaki-maki sambil menangis. Dijambaknya rambut gadis itu yang panjang dan terurai lepas dari sanggulnya, dan dibawanya gadis itu ke tepi tebing. Dengan satu tangan, dia menggantung gadis itu pada rambut yang dijambaknya. "Nah, lihat ke bawah! Apakah engkau lebih suka kulempar ke bawah sana? Hayo pilih, engkau memenuhi permintaanku dengan manis atau kulempar ke bawah sana?" Gadis itu tergantung di udara dan dengan muka pucat dan mata terbelalak ia memandang ke bawah. Jauh di sana nampak air laut dan batu-batu besar, amat jauh di bawah. Air laut yang kalau didekati bergelombang besar itu, dari tempat setinggi ini nampak tenang dan indah. Akan tetapi membayangkan dirinya dilepas dan meluncur ke bawah, sungguh amat mengerikan. Batu-batu yang seperti bentuk-bentuk binatang purba itu tentu akan menyambut tubuhnya menjadi hancur lebur dan ombak-ombak laut akan melenyapkan sisa-sisa tubuhnya. Tinggi tebing itu tidak kurang dari seribu kaki! "Tidak... tidak... lebih baik kaubunuh saja aku! Lebih baik ,aku mati daripada harus memenuhi permintaanmu yang keji!" Gadis itu sudah nekat dan ia memejamkan mata, menanti saat ia dilemparkan ke bawah. Dapat dibayangkan betapa marahnya rasa hati Lam-hai Giam-lo. Dia amat suka kepada gadis ini, suka akan kecantikannya, kesegaran tubuhnya, dan keberaniannya. Dia ingin memiliki gadis ini dengan sukarela, tidak memperkosa seperti yang biasa dilakukannya terhadap wanita yang tidak mau melayaninya dengan sukarela. Penolakan yang amat keras dari gadis itu membuat rasa sukanya berbalik menjadi rasa benci yang besar. "Baik, kalau begitu, engkau akan kuperkosa sampai puas, baru akan kulemparkan ke bawah sana!" katanya penuh geram. Mendengar ancaman ini, yang baginya lebih mengerikan daripada maut, gadis itu menjerit sekuat tenaga, lalu terkulai pingsan! Agaknya jeritannya itu menarik perhatian dua orang yang berada tak jauh dari tempat itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih dan seorang gadis kecil berusia dua belas tahun datang berlari-lari. Laki-laki itu buntung lengan kirinya, sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya membayangkan sikap yang gagah perkasa. Adapun gadis cilik itu cantik mungil, dengan tubuh yang tangkas terlatih. Ketika laki-laki buntung lengan kirinya itu tiba di situ dan melihat seorang laki-laki bermuka kuda sedang menjambak rambut seorang gadis yang tergantung di tepi tebing, dia terkejut bukan main dan membentak nyaring. "Lepaskan gadis itu!" Melihat munculnya seorang laki-laki buntung sebelah lengannya, dan seorang gadis remaja yang cantik, Lam-hai Giam-lo menatap tajam ke arah wajah gadis remaja itu. Kejengkelan hatinya memuncak melihat ada orang berani membentaknya dan mencampuri urusannya, akan tetapi dia pun tertarik melihat gadis remaja itu. "Ha-ha-ha, baik, kulepaskan gadis ini dan gadis remaja itu menjadi penggantinya, ha-ha-ha!" Dan dia benar-benar melepaskan jambakan rambutnya sehingga tentu saja tubuh gadis yang sudah pingsan itu meluncur ke bawah. Melihat ini, gadis remaja itu terbelalak dan lari ke tepi tebing, menjenguk ke bawah. Mukanya berubah pucat melihat betapa tingginya tebing itu dan tubuh yang meluncur ke bawah itu sudah tidak nampak lagi. Tentu sudah hancur lebur terbanting pada batu-batu karang di bawah sana! Laki-laki tinggi besar berlengan buntung sebelah itu marah bukan main. "Keparat, engkau ini iblis jahat, bukan manusia!" Sambil membentak demikian, dia melangkah maju. Lam-hai Giam-lo tertawa lagi. "Tepat, memang aku bukan manusia, melainkan Raja Akhirat Laut Selatan. Aku tadi memberi korban kepada laut selatan, ha-ha!" "Lam-hai Giam-lo...!" Kini laki-laki berlengan buntung sebelah itu terbelalak, mukanya berubah. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama tokoh sesat ini ketika dia mulai memasuki daerah pantai selatan. Tak disangkanya dia akan menyaksikan iblis itu membunuh seorang wanita begitu kejam dan biarpun dia sudah mendengar bahwa iblis itu amat sakti, melihat kekejamannya dia melupakan hal ini dan mengambil keputusan untuk menentangnya. "Ha-ha-ha, engkau sudah mendengar namaku? Lekas berlutut dan serahkan gadis remaja itu kepadaku sebagai pengganti korban tadi." Laki-laki berlengan buntung itu memandang marah. Mukanya yang gagah dan keras itu berubah merah dan dia mengepal tangan kanannya. "Iblis seperti engkau ini harus dibasmi!" bentaknya dan dia pun kini menerjang maju dengan marah, menyerang dengan tangan kanannya, menghantam ke arah dada Lam-hai Giam-lo. Lam-hai Giam-lo melihat datangnya pukulan yang mengandung angin pukulan keras, tersenyum mengejek. Dia tidak berani menerima pukulan yang cukup ampuh itu, melainkan mengelak ke samping dan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan kilat mengarah lambung lawan. Akan tetapi, laki-laki buntung lengan kirinya ini dapat meloncat ke samping, menghindarkan tendangap dan kembali tangan kanannya menyambar dengan totokan ke arah lener. Lam-hai Giam-lo menangkis sambil mengerahkan tenaga pada lengan kirinya. "Dukk!" Tangan laki-laki buntung itu terpental, akan tetapi tidak membuat lengan itu patah, bahkan kembali tangan kanan laki-laki itu menyerang dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala Lam-hai Giam-lo. Iblis ini menyeringai, maklum bahwa bagaimanapun juga, laki-laki buntung sebelah lengannya ini mempunyai sedikit kepandaian. Dan melihat gerak dan geseran kakinya, dia maklum bahwa lawannya memiliki dasar ilmu silat yang cukup tinggi. Maka, dia pun mengeluarkan kepandaian simpanannya dan dengan gerakan dahsyat dia menubruk ke depan, mengembangkan kedua tangannya dan membentak dengan nyaring sekali. Suara bentakannya melengking dan mengejutkan laki-laki itu yang berusaha untuk menghindar sambil menggerakkan tangan kanan menangkis. Namun, serangan itu terlampau hebat. Angin pukulan yang keras menyambar dan laki-laki itu terpelanting sampai bergulingan dan sebuah tendangan susulan yang mengenai pinggulnya membuat tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, ke bawah tebing yang amat curam tadi! "Ha-ha-ha, kaususullah gadis keras kepala tadi. Dan kau, anak manis, ke sinilah, mari ikut bersamaku bersenang-senang!" Dia melangkah menghampiri gadis remaja yang masih berada di tepi tebing. Gadis itu tadi masih merasa ngeri melihat betapa tubuh wanita itu tadi dilempar ke bawah, kini melihat pria buntung lengan kirinya juga terpelanting ke bawah tebing, ia menahan jeritnya dan memandang dengan mata terbelalak ke bawah tebing. Ketika Lam-hai Giam-lo yang mukanya menyeramkan itu kini menghampirinya, gadis cilik itu tak dapat menahan rasa ngerinya dan dengan nekat ia pun meloncat ke bawah tebing menyusul gurunya sambil berteriak memanggil. "Suhuuuuu……!!" Lam-hai Giam-lo tertegun. Mukanya berubah merah dan dia mengepal tinjunya, mengamang-amangkan tinjunya kebawah tebing. "Keparat, kau melahap semuanya!" bentaknya seolah-olah marah kepada tebing yang telah menelan dua calon korbannya. Kini dia tidak kebagian apa-apa dan kalau saja di situ terdapat orang lain, tentu akan menjadi korban kemarahannya. Dia menendang sebuah batu besar sehingga batu itu pun menggelinding ke bawah tebing, lalu mendorong roboh sebatang pohon besar dengan kedua tangannya, menendangi batu-batu kecil seperti orang kesurupan setan. Setelah melampiaskan kemarahannya, Lam-hai Giam-lo lalu lari dari tempat itu. Menurut akal sehat, sungguh tidak mungkin sekali kalau orang yang terjungkal ke bawah tebing securam itu, seribu kaki tingginya, akan tetapi selamat. Tubuh tentu akan hancur lebur kalau menimpa batu-batu karang, dan akan lebih remuk lagi kalau ditangkap dan dihempaskan ombak laut yang besar itu kepada batu dan dinding karang yang runcing tajam dan keras. Akan tetapi, kenyataan kadang-kadang lebih aneh daripada perhitungan akal. Terdapat keajaiban di mana mana yang oleh kita dinamakan "kebetulan". Apalagi urusan nyawa, sungguh di luar perhitungan akal dan kita sama sekali tidak dapat menguasai mati hidup kita sendiri. KALAU memang sudah tiba saatnya nyawa harus meninggalkan raga, biarpun kita bersembunyi ke dalam lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput, tepat pada saatnya dan dengan cara yang bagaimana aneh pun. Sebaliknya, kalau memang belum saatnya kita mati, biarpun sudah terancam seribu satu bahaya maut, ada saja "kebetulan" yang seribu satu macamnya yang akan membuat kita terluput daripada kematian. Seorang perajurit yang sejak mudanya menjadi perajurit, hidup di medan perang dan setiap saat terancam bahaya maut, dapat keluar tanpa lecet sedikit pun sampai hari pensiunnya. Akan tetapi begitu dia pulang ke kampung, baru saja dia terkena penyakit dan dalam satu dua hari saja meninggal dunia! Banyak pula orang yang sudah menderita sakit yang berat, sampai bertahun-tahun tidak juga mati walaupun dia sudah merasa bosan dengan penderitaan penyakitnya dan minta mati. Sebaliknya, ada pula orang yang hari ini masih nampak segar bugar dan tertawa-tawa, besok secara tiba-tiba saja meninggal dunia! Karena itu, biarpun nampaknya ajaib dan luar biasa aneh, kalau mengingat akan hal-hal di atas, tidaklah aneh kalau laki-laki buntung lengan kirinya tadi, yang terjungkal dari tempat setinggi seribu kaki, tidak menjadi mati karena memang belum saatnya. Hanya perkataan "belum saatnya" itulah yang dapat kita keluarkan karena kita tidak dapat menembus rahasia di balik itu semua. Ketika dia meluncur turun, laki-laki gagah ini tidak menjadi pingsan, bahkan tidak kehilangan ketenangannya. Dia tahu bahwa dia tentu akan hancur terbanting di batu-batu karang bawah sana. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya tertahan dan dia merasa punggungnya perih dan ketika dengan cekatan tangan kanannya meraih ke belakang, kiranya secara "kebetulan" sekali tubuhnya tertahan oleh sebuah pohon yang secara "kebetulan" pula tumbuh miring pada dinding tebing curam itu! Agaknya jubahnya yang berkembang karena luncuran tadi, tertangkap dan terkait dahan pohon yang "kebetulan" tidak patah sehingga tubuhnya tertahan. Pada saat itu, dia mendengar jeritan muridnya. Cepat dia bergantung dengan kedua kakinya pada dahan pohon yang terbesar, dan memandang ke atas dan dilihatnya tubuh kecil muridnya melayang turun! laki-laki itu memang hebat, memiliki kekuatan batin yang luar biasa sehingga dalam keadaan seperti itu, dia masih sadar dan dapat membuat perhitungan dengan tepat. Ketika tubuh gadis remaja itu meluncur di dekatnya, cepat dia menyambar dengan tangan kanannya dan berhasil menangkap lengan anak perempuan itu! Anak perempuan itu mengaduh dan dia sendiri menahan keluhannya karena belakang lutut kedua kakinya yang bergantung, juga pangkal lengan kanannya, terbetot keras dan terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia dapat bertahan dan dia girang bahwa anak perempuan itu pun masih dalam keadaan sadar. "Cepat, Hui Lian, kautangkap dahan pohon depanmu itu." katanya sambil menarik tubuh anak itu ke atas. Anak yang bernama Hui Lian itu menangkap dahan pohon, kemudian dia mendekam di situ, tubuhnya agak gemetar dan ia kembali menutup matanya ketika memandang ke bawah. Ia merasa ngeri bukan main. "Tenangkan hatimu, jangan memandang ke atas atau ke bawah. Bersukurlah bahwa kita masih dalam keadaan selamat." "Baik, Suhu!" Dan dalam suara anak itu kini sudah terdengar keriangan, tanda bahwa hatinya sudah tenang dan ia pun berusaha bersikap riang untuk membesarkan hati gurunya. Laki-laki itu lalu memandang ke bawah dan ke atas, mengukur dengan pandang matanya. Kiranya letak pohon itu berada di tengah-tengah tebing, ke atas masih lima ratus kaki, ke bawah masih lima ratus kaki! Dan tidak mungkin mendaki tebing itu karena tegak lurus dan permukaannya rata dan licin. Ketika dia melihat-lihat, tiba-tiba dia melihat bahwa pohon itu keluar dari sebuah guha. Burung-burung walet beterbangan keluar masuk guha yang tidak lebih dari satu meter garis tengahnya. Hal ini menandakan bahwa biarpun bagian luarnya hanya bergaris tengah satu meter, akan tetapi di sebelah dalamnya, guha itu tentu cukup lebar. Kalau tidak demikian, burung-burung itu tidak akan memilih tempat itu sebagai sarang mereka." "Hui Lian, engkau berpegang erat-erat pada dahan itu, aku mau menyelidiki keadaan guha itu." Laki-laki itu, dengan hanya sebelah tangan dan dua kaki, merayap melalui dahan dan batang pohon dan akhirnya berhasil sampai ke mulut guha. Dia menjenguk dan hampir berteriak kegirangan. Benar seperti yang diduga dan diharapkannya. Guha itu amat besar di bagian dalamnya dan memperoleh sinar yang cukup dari "pintu" yang satu meter garis tengahnya itu. "Hui Lian, mari, ikuti aku, merayap ke sini. Hati-hati." katanya. Hui Lian dengan hati-hati sekali lalu merayap melalui dahan dan batang pohon, mengikuti gurunya dan masuk ke dalam guha itu melalui batang pohon. Ketika mereka tiba di dalam guha dan turun, berdiri di lantai guha, keduanya girang bukan main. Barulah laki-laki itu sadar bahwa mereka berdua baru saja lolos dari lubang maut dan dia pun merangkul muridnya. "Hui Lian, kita harus berterima kasih kepada Tuhan yang secara ajaib telah menyelamatkan kita!" Dan dia pun mengajak muridnya berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Bumi dan Langit. Setelah bersembahyang keduanya bangkit berdiri dan mulai memeriksa keadaan guha itu. Sebuah guha yang besar dan dalam, dan ada terowongannya ke dalam. Mereka belum memasuki terowongan itu, karena hati mereka masih tegang dan mereka perlu beristirahat. Laki-laki itu mengajak muridnya duduk bersila di bagian depan guha itu yang merupakan ruangan yang tidak kurang dari sepuluh meter panjangnya dan lima meter lebarnya, dengan pintu lubang satu meter garis tengahnya tadi. Lantainya rata dan licin, seperti lantai rumah saja "Suhu, bagaimana kita dapat naik lagi?" "Hui Lian, belum saatnya kita memikirkan hal itu. Sekarang, bergembiralah bahwa kita telah mendapatkan sebuah tempat yang untuk sementara dapat kita tinggali." "Tapi... tapi... bagaimana kita dapat minum, makan dan keluar dari tempat ini….?” Gurunya memegang kepalanya dengan tangan kanan, mengelus rambutnya dan berkata, suayanya halus. "Hui Lian, kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut, perlu apa kehilangan akal untuk urusan lain? Semua itu nanti dapat kita selidiki perlahan-lahan, dan sekarang, yang terpenting kita samadhi untuk memulihkan tenaga dan ketenangan batin. Marilah." Hui Lian mengangguk, tidak membantah lagi dan tak lama kemudian, guru dan murid itu sudah duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, tenggelam kedalam samadhi. Siapakah guru dan murid ini? Laki-laki berlengan kiri buntung itu bernama Ciang Su Kiat dan muridnya bernama Kok Hui Lian. Para pembaca kisah Asmara Berdarah mungkin belum lupa akan nama Ciang Su Kiat. Dia adalah bekas murid Cin-ling-pai yang membuntungi lengan kirinya sendiri karena dianggap bersalah terhadap Cin-ling-pai oleh Ketua Cin-ling-pai yang ketika itu menjadi gurunya, ialah Cia Kong Liang yang berwatak keras dan tegas itu. Setelah membuntungi lengan kirinya sendiri, Ciang Su Kiat keluar dari Cin-ling-pai, tidak menjadi anggauta Cin-ling-pai lagi dan selanjutnya orang tidak tahu ke mana dia pergi menyembunyikan dirinya. Akan tetapi, dengan hati yang prihatin, Ciang Su Kiat bukan bersembunyi untuk merenungi nasibnya, melainkan dengan mati-matian dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu silat yang lebih mendalam sehingga biarpun dia kehilangan lengan kiri sebatas siku, di lain pihak dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Beberapa tahun kemudian, ketika terjadi San-hai-koan dilanda perang, barulah secara tiba-tiba dia muncul dan dengan kepandaiannya yang sudah maju pesat, dia berhasil menyelamatkan puteri tunggal keluarga Kok-taijin Gubernur San-hai-koan yang terbasmi semua, lalu membawa puteri yang baru berumur sepuluh tahun itu meninggalkan San-hai-koan. Puteri itu bukan lain adalah Kok Hui Lian yang kemudian menjadi muridnya, juga anak angkatnya karena Hui Lian sudah kehilangan ayah bunda dan seluruh keluarganya. Sebetulnya, yang tadinya menyelamatkan Hui Lian dari rumah Gubernur Kok adalah Cia Hui Song, putera dari ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena dia dikeroyok orang-orang pandai, terpaksa dia melepaskan Hui Lian dan hampir saja Hui Lian celaka tertawan musuh kalau saja tidak muncul Ciang Su Kiat yang menyelamatkannya dan membawanya lari. Sampai dua jam lamanya Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian duduk bersamadhi di ruangan depan guha itu. Setelah mereka merasa bahwa kekuatan mereka pulih kembali dan batin mereka menjadi tenang, barulah mereka bangkit dan Ciang Su Kiat mengajak muridnya untuk melakukan pemeriksaan ke dalam guha. Mula-mula mereka menjenguk ke luar dan sekali lagi mereka mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka keluar dari tempat itu. Untuk merayap, turun atau naik tidaklah mungkin. Jarak naik atau turun sejauh lima ratus kaki, dan dinding tebing itu terjal, tegak lurus dan licin sekali. Seekor monyet sekalipun kiranya tidak mungkin mampu merayap sampai ke permukaan laut di bawah atau naik sampai ke atas. Hanya burung-burung walet itulah mampu keluar dari tempat itu. Setelah merasa yakin bahwa mereka tidak mungkin keluar dari situ melalui dinding di luar guha, mereka lalu masuk kembali dan memeriksa keadaan ruangan dalam. Guha itu adalah guha alam, lantai dan dindingnya semua dari batu karang yang amat kuat. Hanya anehnya, lantainya begitu rata dan licin seolah-olah ada orang yang melicinkannya. Ketika meraba dinding dan merasa betapa dinding itu lembab dan basah, Su Kiat berkata girang, "Ahh, setidaknya, kebutuhan kita akan air dapat terpenuhi!" "Di mana ada air, Suhu?" "Di dalam dinding ini. Lihat, dinding ini basah dan lembab, dan di sana-sini nampak air menetes. Kalau kita melubangi dinding ini membentuk mangkok, sebentar saja tentu akan penuh dengan air jemih dan segar!" Keduanya lalu mempergunakan pecahan-pecahan batu untuk memukuli bagian dinding yang paling basah dan karena Ciang Su Kiat memiliki tenaga yang besar, tak lama kemudian dia berhasll membuat lubang sebesar kepala orang yang mencekung seperti mangkok pada dinding itu. Benar saja, nampak air menetes-netes dan walaupun hanya satu tetes demi satu tetes, karena deras dan tiada hentinya, tempat itu pun penuh dengan air jernih yang ketika mereka minum, terasa manis dan segar. Mereka lalu memeriksa terus, dan mulai memasuki terowongan. Baiknya sinar matahari yang memasuki tempat itu melalui lubang guha, amat terang sehingga cahayanya sempat pula masuk keterowongan. Biarpun remang-remang keadaannya, mereka masih dapat melihat dengan jelas keadaan terowongan. Terowongan itu setinggi manusia. Su Kiat harus agak menunduk dan panjangnya hanya sepuluh meter. Burung-burung walet menyambar-nyambar dan ternyata burung-burung itu membuat sarang mereka di atas atap terowongan, juga di bagian belakang terowongan yang tingginya dua meter setengah. Akan tetapi, yang mengherankan hati mereka adalah ketika mereka menemukan dua buah ruangan di kanan kiri terowongan, seperti dua buah kamar saja walaupun tanpa daun pintu. "Iihhhhh……." Su Kiat terkejut dan cepat melompat ke dekat muridnya yang menjerit tadi. Dia tadi memeriksa kamar di kiri sedangkan muridnya agaknya masuk ke kamar sebelah kanan. Kini dia pun dapat melihat apa yang menyebabkan muridnya menjerit tadi. Di dalam kamar sebelah kanan itu terdapat dua rangka manusia yang masih lengkap dan utuh, keduanya duduk bersila dan bersandar pada dinding. Di depan dua rangka itu terdapat dua buah kitab yang masih terbuka! Mereka segera memeriksanya. Agaknya dua orang yang kini telah menjadi rangka itu, dahulunya mati dalam keadaan bersila di kamar itu. Dan ketika Su Kiat memeriksa dua buah kitab yang berada di depan rangka, ternyata bahwa itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat, lengkap dengan gambar-gambar dan huruf-hurufnya. Jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dua buah kitab itu tidak dijamahnya dan setelah memeriksa keadaan di kamar itu lebih teliti, dia lalu mengajak muridnya memeriksa kamar di sebelah kiri. Di dalam kamar ini dia menemukan sebatang pedang pendek dengan sarung pedang berukirkan kembang seruni. Ketika dia mencabutnya, dia terkejut karena pedang itu bukan sebatang pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya, dengan sinar putih kebiruan! Kembali dia meletakkan pedang di tempatnya. Penemuan-penemuan itu hanya mendatangkan kegembiraan sedikit saja karena pada saat itu, yang terpenting adalah mempertahankan hidup dan mencari jalan keluar. Tanpa ada makanan mereka tak mungkin hidup dari air saja, dan tanpa dapat keluar dari tempat itu, apa gunanya kitab pelajaran ilmu silat dan pusaka? Akan tetapi setelah tinggal di situ tiga hari lamanya, setelah mereka kehilangan harapan untuk dapat keluar dari situ, setelah mereka tidak mengharapkan lagi untuk dapat keluar, batin mereka bahkan menjadi tenang. Mereka dapat menerima kenyataan yang ada dan hal ini menenangkan batin, dan kalau batin tenang, kecerdasan pun timbul. Mereka mulai menemukan hal-hal baru. Telur-telur dan sarang burung dapat menjadi makanan mereka setiap hari, bahkan kalau perlu mereka dapat menangkap burung kecil-kecil itu untuk menjadi makanan tanpa mengurangi jumlah burung yang ribuan banyaknya. Juga di bagian belakang terowongan mereka menemukan semacam lumut atau jamur-jamur kecil berwarna putih yang ternyata enak dimakan, kalau dimasak seperti daging ayam saja rasanya. Untuk membuat api bukan merupakan hal yang sulit karena di situ terdapat banyak batu-batu keras yang kalau digosokkan keluar bunga api dan mencari daun kering dan kayu kering juga banyak terdapat di luar guha. Pohon yang tumbuh di dalam mulut guha itu mungkin dahulunya merupakan biji yang dibawa burung dan terjatuh ke mulut guha, karena di situ lembab banyak air dan mendapat sinar matahari lalu tumbuh menjadi pohon besar yang keluar dari dalam melalui mulut guha. Hal yang amat aneh akan tetapi juga menggirangkan hati didapatkan oleh guru dan murid. itu. Setelah mereka setiap hari makan telur dan sarang burung walet, ditambah jamur kecil atau lumut itu, mereka merasa betapa tubuh mereka menjadi segar seperti memperoleh kekuatan baru! Giranglah hati Su Kiat yang dapat menduga bahwa di dalam makanan itu tentu terkandung gizi yang luar biasa, terkandung obat yang menguatkan tubuh. Karena merasa sehat dan segar, mulailah Su Kiat memperhatikan dua buah kitab itu dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa dua buah kitab itu adalah kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di situ terdapat ilmu silat yang luar biasa anehnya, juga di situ terdapat pelajaran untuk menghimpun tenaga sakti, pelajaran untuk memperkuat sinkang mereka. Tentu saja mereka berdua semakin bersemangat mempelajari isi kitab itu dan di bawah bimbingan Su Kiat, mulailah Hui Lian mempelajari dan melatih diri dengan ilmu silat dari dua buah kitab itu. Kitab pelajaran silat tangan kosong itu pada kulitnya tertulis nama itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), sedangkan kitab ke dua bernama In-Iiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan). Su Kiat sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia dan muridnya telah menerima warisan ilmu yang amat dahsyat, merupakan ilmu inti dari dua orang tokoh besar, yaitu In Liong Nio-nio dan Sian-eng-cu The Kok, dua di antara Delapan Dewa! Dua kerangka manusia itu adalah kerangka dua orang sakti itulah, yang meninggal dunia di dalam guha itu dengan meninggalkan kitab pelalaran inti ilmu silat mereka. Sungguh sukar mencapai tempat itu dan kalau bukan "jodoh", sudah pasti takkan ada yang dapat menemukan dua buah kitab itu. Dan kalau dibiarkan terus, tentu dalam waktu puluhan tahun, kitab itu akan hancur dan lenyap pula. Dua macam ilmu itu ternyata amat rumit dan sukar sekali dipelajari, bahkan tidak mungkin dapat dikuasai sebelum orang yang mempelajarinya melatih diri dengan ilmu-ilmu sinkang yang khas untuk kedua ilmu itu, seperti yang dijelaskan pada lembaran-lembaran pertama. Karena itu, Su Kiat memimpin muridnya untuk lebih dahulu mempelajari penghimpunan tenaga sakti menurut petunjuk dua kitab itu. Dan karena ketika masuk kedalam guha itu, usia Hui Lian baru dua belas tahun, maka untuk berlatih menghimpun tenaga sakti itu saja membutuhkan waktu empat tahun! Kemudian, barulah dara ini melatih diri dengan ilmu itu bersama-sama gurunya. Ada satu hal yang aneh lagi terjadi pada diri Hui Lian. Setelah ia mulai dewasa dan dari anak-anak berubah menjadi seorang gadis, bau keringat tubuhnya menjadi harum! Hal ini tidak terjadi pada diri Su Kiat dan pria gagah itu pun dapat menduga bahwa keharuman keringat ini tentu timbul karena terjadi proses di dalam tubuh muridnya sebagai akibat makanan yang hanya terdiri dari telur burung, sarang burung, dan jamur-jamur kecil putih itu! Dan kalau dia sendiri tidak mendapatkan keharuman pada keringatnya, hal itu tentu karena ada perbedaan antara dia dan muridnya. Dia seorang pria dan muridnya seorang wanita. Kadang-kadang di waktu malam, Su Kiat bersembahyang dan merasa bersyukur kepada Tuhan bahwa di dalam hatinya telah tumbuh rasa sayang kepada Hui Lian sebagai seorang ayah terhadap anak kandungnya! Tanpa rasa sayang seperti ini, dia tahu amatlah berbahaya bagi dia sebagai seorang pria hidup berdua saja dengan seorang wanita seperti Hui Lian, apalagi setelah Hui Lian kini bukan kanak-kanak lagi melainkan makin lama makin nampak menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Mereka berdua hidup di tempat terkurung seperti itu, dengan pakaian yang makin lama makin tidak lengkap. Mereka sudah berusaha untuk menghemat pakaian, dengan memotong pakaian mereka menjadi beberapa potong baju dan celana pendek. Akan tetapi tahun demi tahun, pakaian itu semakin tua dan rusak sehingga setiap hari dia harus melihat muridnya itu hanya memakai pakaian sekedar penutup dada dan pusar saja. Dia sendiri hanya memakai celana pendek tanpa baju! Untung Hui Lian mendapatkan akal, menggunakan kulit batang pohon untuk dijadikan semacam penutup tubuh yang biarpun kasar sekali akan tetapi awet. Cintanya terhadap Hui Lian seperti cinta seorang ayah, yang ada hanya rasa sayang dan iba. Perasaan cinta seperti ini meniadakan nafsu berahi, akan tetapi kalau malam tiba, dia harus banyak melakukan siu-lian (samadhi) sehingga dapat juga dia selalu memadamkan api berahi yang kadang-kadang timbul juga sebagai suatu kewajaran. Dengan daya tahan yang luar biasa, kedua orang itu dapat melewati waktu sepuluh tahun! Kini Su Kiat telah menjadi seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, sedangkan Hui Lian menjadi seorang gadis yang cantik jelita berusia dua puluh dua tahun. Dan mereka telah menamatkan seluruh isi kedua kitab itu. Pagi itu Hui Lian keluar dari guha dan nongkrong di atas dahan pohon. Seekor burung yang agak besar melayang dan hendak hinggap di pohon itu. Melihat burung yang besar ini Hui Lan merasa gembira sekali. Ingin dia menangkapnya. Tentu enak daging burung ini. Tidak seperti burung walet yang kecil-kecil dan lebih banyak tulangnya dan bulunya dari pada dagingnya. Begitu burung itu hinggap, cepat Hui Lian menyambar dan kini gadis itu tak boleh disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Berkat latihan ilmu-ilmu yang luar biasa itu, ia memiliki kecepatan seperti kilat dan angin. Burung itu hanya sempat terkejut, akan tetapi tahu-tahu lehernya sudah ditangkap. Akan tetapi, karena gembiranya, Hui Lian sampai lupa diri, lupa bahwa ia berada di atas pohon, bukan di atas tanah. Gerakannya tadi menggunakan tenaga terlalu besar. "Krekkkk...!" dahan itu patah dan tubuhnya terjatuh ke bawah! Hui Lian melepaskan burung itu dan cepat ia menggunakan tenaga dalam di tubuhnya untuk meraih ke samping. Kedua tangannya secara otomatis mencengkeram dan mengenai dinding tebing. "Crepp!" Jari-jari kedua tangannya menancap pada dinding itu seperti dua cakar harimau mencengkeram daging kijang saja! Dan tubuhnya terhenti. "Hui Lian…..!" Gurunya menjenguk dari atas dan guru ini terheran-heran dan khawatir melihat muridnya bergantung di dinding tebing yang demikian curamnya. "Suhu, kedua tanganku dapat mencengkeram dinding tebing!" teriak Hui Lian dari bawah, kuranglebih sepuluh meter dari guha. “Teecu akan merayap ke atas!" Kini dengan kedua tangannya, dibantu oleh kakinya yang menekan tebing, kedua tangan itu bergantian mencengkeram ke atas, Hui Lian perlahan-lahan merayap naik dan dapat mencapai guha dengan selamat. Begitu meloncat ke dalam guha, Hui Lian langsung merangkul gurunya dan menangis. "Eh...! Anak gila, kenapa kau malah menangis? Engkau sudah selamat, sepatutnya bersukur……" "Suhu, apakah Suhu tidak melihatnya? Aku dapat merayap naik dengan kedua tanganku!" Suhunya tersenyum. "Habis mau apa? Apakah aku harus bertepuk tangan memuji? Nah, aku bertepuk tangan." Dia pun bertepuk tangan seperti orang memuji dan mengagumi. "Ihh, Suhu ini bagaimana sih? Makin tua malah semakin bodoh!" Hui Lian mengomel. Selama tinggal di dalam guha itu memang Su Kiat bergaul dengan muridnya , seperti sahabat saja, tidak pernah menekankan sikap hormat bagi muridnya sehingga pergaulan mereka akrab dan hanya kalau teringat saja Hui Lian bersikap hormat. "Wah, engkau ini murid macam apa? Berani memaki gurunya bodoh!" Su Kiat menegur, akan tetapi dengan sikap berkelakar. "Maaf, Suhu. Saking gembiraku maka aku sampai lupa diri. Suhu, kalau aku mampu merayap dengan kedua tangan, berarti Suhu juga akan mampu melakukannya!" "Untuk apa? Jangan-jangan kuku jari-jari tanganku akan copot." ! "Untuk apa? Bagaimana sih Suhu ini? Tentu saja untuk merayap naik keluar dari neraka ini!" Sepasang mata itu terbelalak. "Keluar dari sini... ? Ahh.….ah, mungkinkah itu……?” "Suhu, tentu saja! Mari kita coba!" Bagaikan baru sadar dari mimpi, Su Kiat lalu meloncat keluar dari dalam mulut guha, menginjak batang pohon dan mencoba dengan kedua tangannya untuk mencengkeram dinding tebing. Dan ternyata lima buah jari tangannya juga dapat menancap dan mencengkeram batu padas itu dan tanpa banyak kesukaran dia merayap naik sampai beberapa meter tingginya. "Suhu, tunggu dulu! Kita harus berpamit dan berterima kasih kepada kedua orang Locianpwe di dalam!" kembali Hui Lian memperingatkan gurunya. Biarpun dia bergembira bukan main. Su Kiat teringat akan hal ini dan dia pun merayap turun lagi, meloncat ke dalam guha dan merangkul muridnya, seperti yang dilakukan oleh Hui Lian tadi. Gadis itu merasa terharu melihat betapa kedua mata suhunya basah oleh air mata. Suhunya juga menangis saking haru dan girangnya! Baru dara ini sadar betapa diam-diam suhunya, walaupun sama sekali tidak memperlihatkannya, teramat rindu untuk dapat keluar dari tempat itu. Keduanya lalu masuk ke dalam, menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kerangka manusia itu. "Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas warisan ilmu-ilmu dan pedang. Tanpa petunjuk Ji-wi, tidak mungkin kami akan dapat keluar dari tempat ini." Kemudian mereka membawa dua buah kitab yang oleh Su Kiat diikatkan pada punggungnya, dibungkus sisa kain dan diikat dengan tali terbuat dari kulit batang pohon, sedangkan pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) yang oleh Su Kiat diberikan kepada muridnya, tergantung pula di punggung Hui Lian. Lalu keduanya mulai merayap naik, perlahan-lahan dan hati-hati sekali, Su Kiat di atas dan Hui Lian mengikutinya dari bawah. Dengan tenaga sinkang mereka yang sudah amat tinggi, jari-jari tangan mereka yang mencengkeram itu menjadi keras seperti cakar baja dan dengan hati berdebar penuh ketegangan, harapan dan kegembiraan, mereka merayap terus pada dinding tebing yang tingginya tidak kurang dari seratus lima puluh meter itu! Akhirnya, setelah merayap perlahan-lahan selama hampir setengah jam, tibalah mereka di daratan atas. Saking girangnya, Su Kiat lalu berlutut dan Hui Lian berlutut di sebelahnya. Sampai lama kedua orang guru dan murid itu hanya mendekam di situ, tanpa kata, dengan hati penuh rasa bersyukur dan terima kasih karena mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan pernah dapat keluar dari tempat kurungan itu! Setelah sepuluh tahun! Tidaklah mengherankan kalau Su Kiat dan Hui Lian merasa penuh dendam terhadap Lam-hai Giam-lo. Orang bermuka kuda itulah yang membuat mereka menderita selama sepuluh tahun di tempat terasing itu. "Suhu, kalau aku tidak dapat membekuk jahanam itu, hatiku akan selalu merasa penasaran. Aku ingin membekuknya, menyeretnya ke sini dan melemparkannya ke bawah tebing!" demikian Hui Lian berkata dengan suara yang membuat gurunya merasa tengkuknya meremang karena dalam suara itu terkandung kedinginan dari hati yang penuh dendam. "Setelah itu aku ingin pergi mengunjungi Cin-ling-pai, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Cin-ling-pai maka mereka berani menghina Suhu!" Selama sepuluh tahun berdua dengan suhunya di dalam guha itu, Hui Lian mendengar banyak tentang riwayat gurunya dan tentang Cin-ling-pai yang dipimpin oleh ketuanya yang berwatak keras dan angkuh, tentang para pendekar di dunia kang-ouw yang pernah dikenal oleh suhunya. Juga dara ini mendengar tentang dirinya yang sudah tidak memiliki keluarga lagi. Karena itu, selain mendendam kepada Lam-hai Giam-lo yang membuat mereka berdua menderita, ia pun diam-diam merasa penasaran kepada Ketua Cin-ling-pai. Ciang Su Kiat menarik napas panjang. "Muridku yang baik, tenangkan hatimu. Menentang orang-orang jahat memang sudah menjadi tugasmu karena aku ingin melihat engkau menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku sendiri pun harus membalas atas kejahatan Lam-hai Giam-lo, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari itu." "Apakah hal yang lebih penting itu, Suhu?" "Pertama-tama, mencari pakaian yang pantas untukmu!" kata Ciang Su Kiat sambil tersenyum melihat keadaan muridnya. Muridnya itu telah menjadi seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, dengan wajah yang amat cantik manis, tubuhnya yang padat berisi dan sudah masak sehingga tentu akan menggegerkan orang kalau muncul di depan umum dengan pakaian seperti itu! Hanya sebuah celana sebatas lutut dan baju yang hanya menutupi dadanya saja. Mana mungkin menyembunyikan lekuk lengkung tubuhnya dengan tonjolan-tonjolan yang menggairahkan itu! "Pakaian?" Hui Lian menundukkan muka memandang ke arah pakaiannya dan wajahnya menjadi kemerahan, akan tetapi hanya sebentar saja. Ia sudah tidak merasa canggung sama sekali berpakaian seperti itu di depan suhunya, karena sudah terbiasa, dan karena memang tidak ada pandang mata yang menimbulkan rasa canggung atau malu dari gurunya. "Ah, ke mana kita harus mencari pakaian, Suhu?" Suhunya bangkit berdiri dan memandang ke kanan kiri. Dia mengingat-ingat dan teringatlah dia bahwa tidak jauh dari situ, kurang lebih sepuluh li saja, terdapat sebuah dusun nelayan di tepi pantai. "Kita pergi ke dusun sana dan mencuri pakaian untukmu." "Mencuri... ??” Hui Lian menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak dan Su Kiat memandang dengan kagum. Muridnya ini cantik bukan main, memiliki sepasang mata yang demikian lebar, jeli dan indah. "Suhu sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak baik, dan hanya dilakukan oleh orang-orang jahat." "Memang benar, muridku. Kalau kita mencuri karena kita menginginkan barang-barang mahal dan indah, kalau mencuri karena keinginan, hal itu amatlah jahat, apalagi kalau perbuatan kita itu mendatangkan duka dan kesengsaraan kepada yang kita curi. Akan tetapi dalam hal keadaan kita ini, kita mencuri karena terpaksa, dan kita hanya akan mencuri pakaian di rumah seorang yang kaya sehingga tidak ada artinya bagi yang kecurian. Apa artinya pakaian beberapa potong bagi keluarga kaya? Mari kita pergi." Hui Lian mengikuti gurunya melangkah pergi setelah mereka untuk yang terakhir kalinya menjenguk ke bawah tebing. "Akan tetapi, Suhu, aku tetap tidak ingin mencuri. Aku mau terang-terangan mendatangi orang kaya dan minta pakaian untuk aku dan untuk Suhu." Hampir saja Su Kiat tidak dapat menahan ketawanya. Hui Lian hendak mendatangi orang dan minta pakaian dalam keadaan setengah telanjang seperti itu? Akan tetapi dia menahan kegelian hatinya. Bagaimanapun juga, belum tentu yang dimintai oleh muridnya itu orang-orang tidak sopan, mungkin saja orang budiman yang mau menolong. Andaikata Hui Lian akan menemui kekurang ajaran seperti yang disangkanya, biarlah gadis itu belajar tentang hidup dan watak manusia pada umumnya, dari pengalaman langsung. Dia merasa kasihan kepada muridnya. Sejak berusia dua belas tahun telah terasing, hanya berdua saja dengan dia selama sepuluh tahun, tak pernah mengenal manusia lain sehingga mungkin saja gadis itu menganggap bahwa semua orang seperti dia, tidak bersikap kurang ajar. Gadis itu masih merasa seperti kanak-kanak, tidak tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang gadis yang masak, yang memiliki wajah dan tubuh menggiurkan, apalagi dengan pakaian setengah telanjang seperti itu. "Baiklah, engkau boleh mencobanya dan aku akan menanti di luar dusun." katanya. Setelah mereka tiba di luar dusun yang dimaksudkan, hari telah menjelang sore dan matahari mulai condong ke barat, cahayanya mulai redup. Seorang diri Hui Lian melangkah dan memasuki dusun itu. Tentu saja kemunculannya membuat semua orang terbelalak. Mula-mula orang mengira bahwa ia seorang perempuan gila, akan tetapi ketika mata mereka, terutama mata laki-laki, melihat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, tubuh yang berkulit kuning halus dan mulus, hampir tidak tertutup pakaian, semua orang memandang kagum dan terheran-heran. Tanpa mempedulikan sikap orang-orang itu, juga beberapa orang laki-laki yang mengikuti di belakangnya. Hui Lian melangkah terus dan akhirnya ia berhenti di depan sebuah rumah yang paling besar dan megah di dusun itu. Inilah rumah orang kaya, pikirnya. Ia sendiri di waktu kecil adalah puteri gubernur, dan banyak rumah-rumah besar dan indah dilihatnya di kota. Rumah yang kini dipandangnya itu, kalau di kota tentu belum termasuk rumah orang kaya. Akan tetapi di dusun ini, rumah itu menonjol di antara rumah-rumah gubuk yang sederhana. "Kebetulan sekali pada saat itu, seorang pria berusia tiga puluh tahun yang melihat pakaiannya tentu seorang yang kaya, diiringkan oleh empat orang pengawalnya, keluar dari rumah itu. Tentu saja dia dan empat orang kawannya, yang rata-rata berusia tiga puluh tahun dan berpakaian seperti tukang-tukang pukul, tertegun melihat masuknya seorang gadis hampir telanjang dari pintu pekarangan. Gadis yang amat cantik, dengan bentuk tubuh yang aduhai! Hui Lan sudah melangkah dekat dan menjura, "Apakah engkau pemilik rumah ini?" tanyanya, cara bicaranya sederhana sekali. Pria itu masih melongo karena dia merasa seperti mimpi bertemu dengan seorang gadis seperti ini. Gadis itu hampir telanjang, bukit-bukit payudaranya nampak, perutnya juga nampak, kulitnya begitu putih mulus, namun gadis itu sama sekali tidak kelihatan malu-malu atau canggung! "Benar, Lui-kongcu ini adalah tuan rumah." seorang di antara pengawalnya yang menjawab sambil menyeringai. Hui Lian sudah mengerutkan alisnya melihat pandang mata lima orang laki-laki itu. Pandang mata mereka itu bukan hanya pecundang mata keheranan, melainkan mengandung sesuatu yang kurang ajar. Pandang mata itu seperti dapat dia rasakan meraba-raba ke seluruh kulit tubuhnya. "Aku datang untuk minta pertolongan." katanya pula. "Ah, tentu saja, Nona. Aku akan suka sekali menolong Nona. Silakan masuk, Nona." kaki-Iaki yang disebut Lui-kongcu itu mempersilakannya dengan sikap manis. Hui Lian menggeleng kepala. "Aku hanya datang untuk minta agar diberi satu pasang pakaian untuk aku dan untuk guruku. Kami kehabisan pakaian dan membutuhkannya." Lui-kongcu tersenyum dan kembali matanya menjelajahi seluruh tubuh gadis itu dengan penuh kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Dia mengangguk-angguk. "Aku dapat melihat bahwa engkau memang membutuhkan pakaian, Nona. Marilah, mari masuk dan kau boleh tinggal di sini dan akan kuberi pakaian sebanyak-banyaknya. Pakaian yang indah-indah, perhiasan dan apa saja yang kau butuhkan." "Berilah sepasang saja untukku dan sepasang untuk Guruku, dan aku akan pergi dengan berterima kasih." "Aihh, mengapa tergesa-gesa, Nona? Seorang gadis cantik seperti engkau tidak pantas berkeliaran dalam keadaan setengah telanjang. Masuklah, aku akan memberi segalanya asal saja engkau mau……” "Mau apa ?" tanya Hui Lian yang tidak mengerti maksud orang. "Heh-heh-heh!" Lui-kongcu tertawa dan empat orang pengawalnya ikut pula tertawa. "Masa engkau tidak tahu, Nona. Asal engkau mau menjadi kekasihku tentu saja. Engkau cantik dan aku suka sekali…..” "Plakkk!” Tiba-tiba saja tangan Hui Lian sudah menamparnya. "Aughhh…..!" Lui-kongcu terpelanting. Beberapa buah giginya copot dan mulutnya berdarah, bibirnya pecah dan pipinya membengkak hitam. Dia mengaduh-aduh dan mengusap pipinya yang ditampar tadi. Melihat ini, tentu saja empat orang pengawal atau tukang pukulnya menjadi marah sekali. Tanpa dikomando lagi, mereka berempat sudah menubruk maju, bermaksud menangkap gadis itu dan menyerahkannya kepada Lui-kongcu. Akan tetapi, Hui Lian yang sudah marah menyambut terkaman mereka itu dengan gerakan kaki tangannya dan empat orang itu sendiri tidak tahu apa yang terjadi atas diri mereka karena tiba-tiba saja mereka terpelanting ke kanan kiri dan kepala pening dan tidak mampu bangun kembali. Ketika mereka sadar dan dapat bangkit, ternyata gadis setengah telanjang itu telah lenyap dari situ. Hui Lian menghadap suhunya dengan muka merah, masih marah dan mulutnya cemberut. Su Kiat yang melihat keadaan muridnya segera bertanya apa yang terjadi. Hui Lian menceritakan pengalamannya dan gurunya itu tertawa. "Ha-ha-ha, sudah kuduga akan terjadi demikian, muridku. Memang aku membiarkan engkau menghadapinya agar engkau tahu sendiri dari pengalaman. Bukankah aku sudah menyarankan agar kita mencuri saja?" "Suhu, apakah semua laki-laki seperti mereka itu?" Ia teringat akan sikap gurunya lalu menambahkan. "Apakah tidak ada laki-laki lain yang seperti Suhu sikapnya?" "Tentu saja ada dan banyak, muridku. Akan tetapi, sebagian besar laki-laki memang mata keranjang dan kurang ajar terhadap wanita. Mereka itu sudah terlanjur menganggap wanita sebagai sesuatu yang indah, sesuatu untuk dipermainkan dan untuk menghibur dan menyenangkan hati mereka. Karena itu, melihat keadaanmu seperti ini, setengah telanjang, tentu saja kekurangajaran mereka timbul secara menyolok." Hui Lian mengepal tinju. "Hemm, lain kali kalau ada yang kurang ajar seperti itu, akan kubunuh dia!" Su Kiat mengerutkan alisnya. "Sabarlah, muridku. Tidak baik sembarangan membunuh orang hanya karena kesalahan yang sedikit saja. Laki-laki memang suka menggoda wanita dan belum dapat dinamakan jahat kalau dia hanya sekedar menggoda dengan pandang mata dan kata-kata saja. Laki-laki menggoda wanita itu biasanya karena dia menyukainya atau mengaguminya. Tidak ada laki-laki yang menggoda wanita yang dianggapnya buruk dan tidak menarik. Karena tertarik, seorang laki-laki menggoda untuk menarik perhatian dan kalau wanita yang digodanya menanggapinya, maka mereka pun tentu saja akan menjadi akrab. Jadi, mereka itu tidak dapat dinamakan jahat, walaupun tidak sopan atau kurang ajar, karena sikap itu sudah menjadi melemahkan semua pria, tentu saja ada kecualinya. Kalau seorang laki-laki sudah melakukan paksaan atau perkosaan terhadap wanita, barulah dia itu seorang jai-hwa-cat yang berbahaya dan jahat, dan perlu diberantas." Malam itu juga, dua bayangan berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah hartawan Lui. Pada keesokan harinya, keluarga itu menjadi gempar lagi ketika mendapat kenyataan bahwa ada beberapa potong pakaian yang lenyap berikut sepatu, bahkan sejumlah uang. Biarpun tak seorang pun melihat bayangan Su Kiat dan Hui Lian, namun Lui-kongcu dapat menduga bahwa tentu kehilangan barang-barang itu ada hubungannya dengan gadis manis setengah telanjang yang menghajar dia, dan empat orang tukang pukulnya. Karena itu, dia pun tidak membuat ribut, takut kalau-kalau gadis yang lihai dan galak itu datang kembali. Setelah memperoleh pakaian yang rapi. mulailah Su Kiat dan Hui Uan melakukan penyelidikan dan mencari-cari musuh besar mereka. Tidak sukar mencari seorang seperti Lam-hai Giam-lo yang amat tersohor itu. Pada suatu hari, selagi Lam-hai Giam-lo berada di pondoknya yang dibangun secara darurat di tepi Laut Selatan, masih tidur, karena semalam bergadang, namanya dipanggil orang dari luar . Lam-hai Giam-lo terbangun dan mendengarkan suara itu. "Lam-hai Giam-lo, jahanam busuk, keluarlah engkau!" Tentu saja kakek yang sudah berusia lima puluh tahun itu, menjadi marah mendengar makian orang, apalagi suara itu adalah suara seorang wanita! Wanita mana di dunia ini yang berani meremehkannya, bahkan memakinya? Setelah menggosok kedua matanya dan sadar benar, dia lalu melangkah keluar dari pondoknya. Seorang gadis berpakaian sutera putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, berusia dua puluh tahun lebih, berdiri di depan pondoknya bersama seorang pria berusia empat puluh tahun lebih. Juga pria tinggi besar yang lengan kirinya buntung ini tidak dikenalnya, maka lam-hai Giam-lo memandang dengan alis berkerut dan menduga-duga siapa adanya dua orang pengunjung yang agaknya bersikap memusuhinya itu. Sepuluh tahun yang lalu, Su Kiat merupakan lawan yang amat lunak bagi Lam-hai Giam-lo, maka peristiwa itu sama sekali tidak meninggalkan kesan di hatinya dan dia benar-benar sudah lupa sama sekali kepada pria berlengan buntung sebelah itu. Apalagi kepada Hui Lian yang ketika itu masih merupakan seorang anak perempuan belum dewasa. Sebaliknya, Su Kiat dan Hui Lian ingat benar kepada laki-laki muka kuda ini dan mereka sudah memandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan. "Lam-hai Giam-lo, kami datang untuk membalas dendam atas kejahatanmu sepuluh tahun yang lalu!" kata Ciang Su Kiat. "Siapakah kalian?" Lam-hai Giam-lo membentak, marah karena dua orang itu agaknya memandang rendah kepadanya, padahal di daerah selatan ini dia dapat menamakan dirinya sebagai tokoh sesat nomor satu. "Lam-hai Giam-lo, lupakah engkau akan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika engkau melempar seorang gadis tak berdosa ke bawah tebing yang curam, kemudian menendang aku ke bawah tebing pula?" "Dan aku meloncat ke bawah, menyusul Suhu!" Hui Lian membantu suhunya mengingatkan kepada musuh itu. Kini Lam-hai Giam-lo teringat dan dia pun tertawa bergelak. Suara ketawanya lebih mirip lagi dengan ringkik kuda daripada suaranya yang sudah parau dan serak itu. "Hieeeh-heh-heh...! Jadi kalian adalah mereka itu? Hah-hah-hah !" Tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan memandang dengan mata yang sipit itu dicoba untuk dilebarkan. "Tapi... tapi kalian sudah jatuh ke bawah tebing…..bagaimana sekarang bisa muncul lagi?" "Lam-hai Giam-lo, betapa pun jahat dan kejammu, engkau bukanlah Giam-lo-ong yang sesungguhnya dan tidak berhak mencabut nyawa orang sebelum kematian orang itu dikehendaki oleh Thian! Dan kini kami datang untuk membalas kejahatanmu yang melampaui takaran itu." Kembali kakek muka kuda itu tertawa meringkik. "Heh, heh, heh, kalau sepuluh tahun yang lalu aku gagal, sekarang tentu aku tidak akan gagal mencabut nyawamu, lengan buntung. Dan anak perempuan dulu itu kini telah menjadi seorang gadis yang cantik, hemm, sekarang harus melayaniku beberapa hari lamanya.!" "Jahanam bermulut busuk!" Hui Lian memaki dan gadis ini sudah mencabut pedang Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dari punggungnya, lalu menyerang dengan tusukan kilat ke arah perut lawan. Melihat sinar pedang yang meluncur cepat itu, dan sinarnya berkilauan menyambar, Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang rendah dan dia pun mengelak dengan melangkah ke belakang dan miringkan tubuhnya. Akan tetapi, ternyata pedang yang meluncur lewat itu tahu-tahu sudah membalik secara aneh dan cepat sekali, tahu-tahu telah membabat ke arah lehernya dari samping! "Ehh...!" Lam-hai Giam-lo terpaksa melempar tubuh ke belakang dan meloncat mundur, sambil mengirim tendangan yang dapat dielakkan pula oleh Hui Lian. "Tahan dulu! Aku tidak ingin membunuh orang-orang yang tak bernama. Siapakah kalian?" bentak Lam-hai Giam-lo. Hui Lian mewakili gurunya menjawab, suaranya dingin seperti pandang matanya sehingga Lam-hai Giam-lo merasa ngeri juga. "Aku bernama Kok Hui Lian dan ini adalah Guruku Ciang Su Kiat." Lalu dara itu mengelebatkan pedangnya. "Lam-hai Giam-lo, bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!" Pedangnya lalu menyambar dan diputar dengan cepat sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi segulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sementara itu, Su Kiat juga tidak tinggal diam. Dia melihat betapa muridnya sudah memainkan In-liong Kiam-sut, maka dia pun mengimbanginya dengan permainan silat sakti Sian-eng Sin-kun. Melihat betapa gulungan sinar pedang itu menyambar seperti ombak hendak menggulungnya, dan gerakan tangan kanan Su Kiat mengandung hawa pukulan seperti badai menderu, diam-diam Lam-hai Giam-lo menjadi terkejut. Tak disangkanya bahwa dua orang yang telah terjatuh ke bawah tebing curam itu masih hidup dan lebih tak disangkanya lagi bahwa dalam waktu sepuluh tahun, kedua orang ini telah memiliki ilmu kepandaian yang begini hebat. Dia pun cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuhnya diputar dengan cepat sekali, berpusing seperti gasing dan dari putaran itu, kedua lengannya yang dapat mulur panjang itu mencuat dan kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba. Beberapa kali dia berusaha menangkap sebelah tangan Su Kiat atau pergelangan tangan Hui Lian yang memegang pedang, namun tak pernah berhasil karena kedua orang itu dapat bergerak dengan cepat, dibarengi langkah-langkah kaki yang aneh. Lam-hai Giam-lo hampir tidak percaya akan hal yang dialaminya sendiri. Dia adalah seorang tokoh besar dan dalam hal ilmu silat, dia telah mewarisi ilmu kepandaian gurunya, mendiang Lam-kwi-ong sehingga tingkat kepandaiannya dibandingkan dengan mendiang gurunya, tidak banyak selisihnya. Akan tetapi sekarang, menghadapi pengeroyokan dua orang yang pada sepuluh tahun yang lalu belum apa-apa, kini dia terdesak hebat dan repot melayani sinar pedang dan tangan yang hanya sebelah kanan itu. Yang berbahaya bahkan lengan baju kiri yang buntung itu karena secara tak disangka-sangka sekali, kadang-kadang ujung lengan baju itu menyambar dan melakukan totokan-totokan yang ampuh. Harus diakui bahwa ilmu silat yang dimainkan laki-laki buntung lengan kirinya ini hebat luar biasa, aneh dan mengandung tenaga dahsyat. Akan tetapi, pedang yang dimainkan oleh gadis itu pun ampuh sekali. Selain pedangnya merupakan pusaka yang ampuh, juga ilmu pedang itu membingungkan Lam-hai Giam-lo. Sudah banyak dia berkelahi melawan ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah dia menghadapi ilmu pedang yang begini tangkas. Pedang yang berubah menjadi segulungan sinar putih itu seperti seekor naga yang mengamuk! Akan tetapi nampaknya demikian lembut dan indah sekali gerakannya, seperti seorang gadis cantik yang menari-nari saja, hanya tarian itu mengandung ancaman maut di setiap gerak serangannya! Su Kiat dan Hui Lian harus mengakui bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat tangguh. Su Kiat pernah menjadi murid Cin-ling-pai dan bagaimanapun juga, dia sudah memiliki pengalaman berkelahi yang cukup banyak. Sebaliknya, Hui Lian belum pernah berkelahi dan semua ilmu yang dikuasainya hanyalah berkat latihan-latihannya yang amat rajin, dibantu oleh bimbingan gurunya yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, permainan pedang Hui Lian juga amat hebatnya. Bahkan Su Kiat sendiri harus mengakui bahwa dalam hal berlatih ilmu pedang In-liong Kiam-sut, dia sendiri masih kalah oleh muridnya sendiri. Bukan hanya karena lengan kirinya buntung, sehingga kurang keseimbangan kalau dia yang memainkan pedang dengan ilmu itu, akan tetapi terutama sekali karena Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut itu memang bersifat lembut seperti wanita, dan gerakannya halus indah, lebih tepat digerakkan oleh tubuh wanita yang lentur dan lemah gemulai. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang In-liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa, dan karena penciptanya wanita dan untuk dimainkan sendiri, tentu saja memiliki ciri khas permainan wanita yang halus. Perkelahian itu semakin seru dan hebat mati-matian. Makin lama, Lam-hai Giam-lo menjadi semakin marah dan penasaran. Dia bukan hanya mempertahankan diri, melainkan juga merasa bahwa dia mempertahankan nama dan kedudukannya. Masih untung baginya bahwa pada saat itu, tidak ada saksi yang akan melihat betapa dia, Lam-hai Giam-lo, kini terdesak oleh seorang laki-laki buntung sebelah tangannya dan seorang gadis muda. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus. Sampai seratus jurus dia mampu bertahan, akan tetapi akhirnya, pundaknya terkena totokan ujung lengan baju kiri yang buntung dari Su Kiat. Lam-hai Giam-lo tidak roboh melainkan merasa kesemutan dan dalam beberapa detik dia terhuyung. Kesempatan ini cukup bagi Hui Lian untuk mendesak dengan pedangnya. Pedang itu berkelebat menuju ke arah leher lawan. Lam-hai Giam-lo terkejut, untuk mengelak sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa dia berlaku nekat, menggunakan tangan kirinya yang diisi tenaga sinkang sepenuhnya untuk menangkis. "Plakk!" Pedang itu tertangkis, akan tetapi kulit lengannya terobek sedikit sehingga terluka dan berdarah. Pada saat itu, sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat mengenai punggungnya. "Bukk!" Lam-hai Giam-lo terpelanting terus bergulingan dan muntahkan darah segar. Maklumlah dia bahwa kalau dilanjutkan, berarti dia bunuh diri, maka tanpa malu-malu lagi dia lalu meloncat dan melarikan diri. "Pengecut, hendak lari ke mana kau!" Su Kiat membentak dan mengejar. "Ke neraka pun akan kukejar kau! Keparat jahanam jangan lari!" Hui Lian juga berteriak mengejar. Keringat dingin membasahi dahi dan leher Lam-hai Giam-lo, karena ketika dia menoleh, dia melihat betapa guru dan murid itu dapat berlari amat cepatnya sehingga sukar baginya untuk meloloskan diri. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua ilmu ginkangnya untuk mempercepat larinya, namun bayangan dua orang itu tetap saja mengejar di belakangnya, hanya dalam jarak seratus meter lebih! Dan dia sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, kalau dilanjutkan pengerahan sinking seperti ini, akhirnya dia akan roboh sendiri. Untuk berhenti dan melawan, dia tidak sanggup lagi karena maklum bahwa dia tidak akan menang. Dengan napas terengah-engah karena harus berlari cepat terus-menerus, akhirnya sebuah sungai yang cukup lebar menghalang di depannya. Lam-hai Giam-lo hampir bersorak ketika dia berhasil mencapai tepi sungai ini. Memang sungai itu yang ditujunya dan sungai itu satu-satunya harapannya untuk menyelamatkan diri. Begitu tiba di tepi sungai, dia lalu meloncat ke air dan menyelam. Memang satu di antara keahlian Lam-hai Giam-lo adalah permainan di dalam air. Melihat buruan mereka meloncat ke dalam air dan lenyap, Su Kiat dan Hui Lian tertegun berdiri di tepi sungai. Mereka hanya mampu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan akhirnya mereka melihat buruan itu telah mendarat di seberang, akan tetapi di hulu yang agak jauh. Terpaksa guru dan murid ini lalu mencari perahu untuk dapat menyeberang dan ketika akhirnya mereka dapat menumpang perahu nelayan dan menyeberang, buruan mereka telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Su Kiat dan Hui Lian merasa kecewa sekali, akan tetapi mereka tidak putus asa dan mereka melanjutkan penyelidikan dan pencarian mereka. Mereka terus menyelidiki jejak Lam-hai Giam-lo dan bertanya-tanya. Untung bagi mereka bahwa selain tersohor juga Lam-hai Giam-lo memiliki wajah yang mengesankan, sehingga semua orang yang pernah melihatnya tidak akan mudah melupakan wajah yang seperti kuda, suara yang serak parau seperti ringkik kuda itu pula. Mereka dapat mengikuti jejak musuh mereka dan akhirnya kurang lebih sebulan kemudian, mereka berhasil menemukan tempat persembunyian Lam-hai Giam-lo di luar kota Swatouw, Su Kiat dan Hui Lian menyerbu rumah di luar kota itu dan memang benar Lam-hai Giam-lo berada di situ bersama lima orang temannya yang juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Lam-hai Giam-lo sudah sembuh dari lukanya dan kini dia mengandalkan lima orang temannya yang merupakan penjahat-penjahat besar di Swatouw untuk mengeroyok. Namun Su Kiat dan Hui Lian mengamuk dan lima orang teman Si Muka Kuda itu roboh semua oleh sinar pedang Hui Lian. Terpaksa Lam-hai Giam-lo melawan lagi sampai lebih dari seratus jurus. Akan tetapi akhirnya sebuah tendangan kaki Hui Lian mengenal perutnya dan sebuah pukulan tangan kanan Su Kiat kembali membuatnya muntah darah dan untuk kedua kalinya kakek muka kuda itu melarikan diri! Dan dua orang musuhnya melakukan pengejaran. Akan tetapi sekali ini, Lam-hai Giam-lo sudah membuat persiapan. Dia memang cerdik sehingga ketika dia bersembunyi di luar kota Swatouw, dia telah memperhitungkan bahwa kalau sampai dia dapat dikejar musuh, dia sudah mempunyai tempat untuk menyelamatkan diri. Dia berlari ke utara dan tak lama kemudian tibalah dia di tepi sungai yang mengalir dari pegunungan Tai-yun-san. Sekali meloncat dia pun lenyap di bawah permukaan air. Kembali guru dan murid itu harus mencari perahu untuk menyeberang dan untuk kedua kalinya, mereka melakukan penyelidikan dan pencarian. Lam-hai Giam-lo yang melarikan diri ke barat menjadi semakin panik melihat betapa dua orang musuhnya itu dengan nekat terus melakukan pengejaran terhadap dirinya. Diam-diam dia merasa penasaran dan juga jengkel sekali, akan tetapi untuk menghadapi mereka, dia merasa tidak akan menang. Bahkan kini untuk kedua kalinya dia terluka, lebih parah dari pada yang pertama. Untuk minta bantuan orang lain, dia merasa malu. Mau ditaruh ke mana mukanya kalau dunia persilatan tahu bahwa dia lari ketakutan dari dua orang yang sama sekali tidak terkenal, apalagi kalau minta bantuan orang lain? Lima orang yang bersama dia dan membantunya itu pun tidak dia mintai bantuan. Mereka adalah penjahat-penjahat yang termasuk bawahannya dan bantuan mereka tidak ada artinya bagi dua orang lawan yang amat lihai itu. Demikianlah, kejar-mengejar terjadi sampai akhirnya Lam-hal Giam-lo menggunduli rambutnya dan menyamar sebagai seorang hwesio. Kemudian, dia menggunakan akal dan berhasil masuk ke dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi seorang tukang sapu yang gagu dan tuli. Dan di tempat itulah dia berhasil bersembunyi karena Su Kiat dan Hui Lian tentu saja sama sekali tidak berani mencari ke dalam kuil Siauw-lim-si. Apalagi, guru dan murid ini merasa yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu tidak akan sudi menyembunyikan seorang datuk sesat seperti Lam-hai Giam-lo! Inilah sebabnya, Lam-hai Giam-lo berhasil tinggal di kuil itu sampai selama satu tahun. Akan tetapi memang dasar seorang jahat, ketika dia melihat bahwa dua orang hukuman itu mempelajari ilmu-ilmu yang hebat, dia ingin sekali memiliki ilmu-ilmu itu dan dia pun mulai melakukan pengintaian-pengintaian kalau dua orang hukuman di dalam kuil, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengadakan latihan-latihan di waktu malam. Akhirnya dia bentrok dengan mereka dan dikalahkan, terusir keluar dari kuil karena dia harus melarikan diri, tak sanggup melawan dua orang hukuman yang ternyata luar biasa tangguhnya itu. Demikianlah, Lam-hai Giam-lo berhasil lolos dari pengejaran musuh-musuhnya dan dia tidak berani lagi merajalela di selatan, takut kalau-kalau dua orang yang selalu mengejarnya itu datang lagi ke sana. Dia bahkan lebih banyak menyembunyikan diri dan memperdalam ilmu-ilmunya karena di dalam hatinya dia masih merasa penasaran bahwa dia dapat dikalahkan oleh seorang yang berlengan buntung dan seorang gadis cantik. Nama Pat sian (Delapan Dewa) pernah terkenal sekali di daerah selatan dan barat sebagai nama delapan orang yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan. Memang di dalam kisah Asmara Berdarah, nama mereka tidak pernah muncul karena mereka memang sudah lama mengasingkan diri dan tidak pernah lagi berkecimpung di dunia persilatan sehingga ketika di dunia persilatan muncul tokoh-tokoh sakti seperti Raja Iblis dan Ratu Iblis, mereka itu tidak mencampurinya. Padahal, dalam ilmu kepandaian, tingkat Pat Sian tidak berada di sebelah bawah tingkat Raja Iblis. “Kini, yang muncul di dunia setelah usia mereka tua, hanya Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama, keduanya seperti terdorong keluar dari tempat pertapaan mereka karena adanya urusan Sin-tong atau Anak Ajaib yang diperebutkan dan dicari oleh para Dalai Lama. Di antara delapan datuk yang terkenal dengan nama Delapan Dewa, hanya dua orang kakek itu yang agaknya masih hidup. Dua yang lain adalah In Liong Ni-nio dan Sian-eng-cu The Kok, yang seperti kita ketahui, telah mati dan kerangka mereka, bersama ilmu-ilmu mereka, di temukan secara kebetulan oleh Su Kiat dan Hui Lian di dalam guha yang amat sukar untuk didatangi manusia itu. Empat orang lainnya tidak diketahui ke mana perginya, tidak pula yang tahu apakah mereka itu masih hidup ataukah sudah mati. Berbeda dengan See-thian Lama yang hidup mengasingkan diri di kaki Pegunungan Himalaya dan tidak mau bergabung dengan para Lama di Tibet, Ciu-sian Sin-kai yang kelihatan sebagai seorang kakek pengemis itu sebetulnya sama sekali bukanlah seorang miskin. Bahkan dia pun tidak hidup menyendiri. Ciu-sian Sin-kai adalah seorang tocu (majikan pulau) yang berkuasa atas Pulau Hiu yang berada di lautan Po-hai, tidak nampak dari pantai karena kecil saja pulau itu, akan tetapi setelah orang berada di pulau itu akan merasa kagum karena pulau yang luasnya hanya kurang dari sepuluh hektar itu ternyata memilik tanah yang amat subur. Pulau itu dikelilingi batu-batu karang yang menonjol di sana-sini sehingga merupakan daerah berbahaya sekali untuk pelayaran karena perahu terancam kandas pada batu karang yang mengintai sedikit di bawah permukaan laut. Bukan hanya batu-batu karang ini yang membuat para pelayan menjauhkan diri dari pulau itu, melainkan juga banyaknya ikan hiu ganas berkeliaran di sekeliling pulau itu. Dengan demikian, pulau itu seperti terasing dan ini bahkan menguntungkan para penghuninya. Karena tidak mengalami gangguan dari luar. Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau itu secara tidak sengaja. Di dalam petualangannya, dia mendengar akan banyaknya bajak laut yang mengganggu kapal-kapal dagang dan perahu-perahu nelayan. Hatinya tergerak dan dengan menggunakan sebuah perahu kecil, seorang diri dia membikin pembersihan, menyerbu setiap perahu bajak. Dengan kepandaiannya yang hebat, seorang di antara Delapan Dewa ini menghancurkan banyak perahu bajak laut dan menewaskan banyak pula kepala bajak laut, menangkapi anak buahnya dan menyeret mereka ke darat untuk diadili. Ketika pada suatu hari dia mengejar-ngejar sebuah perahu bajak yang besar, perahu itu tiba-tiba lenyap. Hal ini membuat dia penasaran dan semalam suntuk dia mencari terus. Akhirnya dia menemukan perahu itu di antara batu-batu karang di pulau terpencil. Dia pun dengan nekat memasuki daerah berbahaya itu, berhasil mendarat dengan selamat dan ternyata pulau itu, yang kemudian dinamakan Pulau Hiu, merupakan tempat persembunyian dan juga gudang barang-barang bajakan. Dia menyerbu dan membasmi para bajak yang melakukan perlawanan dengan gigih. Akhirnya, sisa para bajak itu menakluk. Ciu-sian Sin-kai lalu mengusir anak buah bajak dengan memberi pembagian harta yang terdapat di pulau itu. Akan tetapi dia memilih belasan orang yang dianggapnya baik dan ada harapan untuk bertaubat, dilihat dari keadaan sikap dan wajahnya, juga dia memilih mereka yang masih muda-muda SISA harta simpanan para bajak masih amat banyak dan mulai Ciu-sian Sin-kai menjadi majikan pulau yang kaya raya. Dia mendirikan sebuah bangunan seperti istana untuknya, dan bangunan-bangunan untuk tempat tinggal bekas anak buah bajak yang kini menjadi anak buahnya. Hiduplah dia sebagai seorang raja kecil dan benar saja, para bekas bajak itu dapat merobah kehidupan mereka menjadi orang-orang yang taat dan tidak lagi mau melakukan pekerjaan membajak. Bahkan mereka lalu berkeluarga sehingga pulau kecil itu kini menjadi ramai dengan keluarga belasan orang itu. Anak buah Ciu-sian Sin-kai menjadi semakin banyak, yaitu anak buah para bekas bajak yang digemblengnya menjadi anak buah yang baik dan cukup pandai ilmu silat. Pulau itu menjadi semakin angker dan disegani para nelayan. Bahkan kini jarang ada bajak laut yang berani muncul di perairan itu. Nama Ciu-sian Sin-kai masih membuat mereka ketakutan dan merasa lebih aman untuk memilih daerah operasi di bagian lain, di laut utara atau selatan, akan tetapi tidak berani di sekitar Pulau Hiu. Kini, anak-anak dari para bekas bajak telah belasan tahun dan mereka semua menjadi anak buah Ciu-sian Sin-kai dengan taat dan penuh disiplin, menganggap kakek pengemis itu sebagai guru, majikan atau ketua yang harus ditaati sepenuhnya. Demikian taatnya para anak buah itu sehingga kalau kakek pengemis itu pergi sampai lama sekalipun, dalam sebuah di antara perantauannya, mereka akan menjaga pulau itu dengan tertib, seperti kalau Sin-kai berada di pulau. Segala keperluan kehidupan para penghuni pulau sudah terpenuhi. Mereka menanam sayur-sayuran, pohon-pohon buah, dan kalau membutuhkan ikan, hanya tinggal berlayar meninggalkan daerah hiu untuk mengail atau menjala, sedangkan keperluan-keperluan lain mereka peroleh dengan membeli ke daratan. Akan tetapi kepergian Ciu-sian Sin-.kai sekali ini agak terlalu lama. Hampir satu tahun kakek itu pergi dan belum kembali, sedangkan para anak buahnya di Pulau Hiu tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Dan agaknya kepergian yang lama ini selain merisaukan hati para penghuni Pulau Hiu, juga diketahui oleh pihak lain yang mempergunakan kesempatan itu untuk membalas dendam sambil mencari keuntungan. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, nampak ada lima buah perahu besar hitam yang memasuki daerah batu-batu karang itu, didahului oleh sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bertubuh pendek berperut gendut. Perahu kecil itulah yang menjadi petunjuk jalan, membelok ke kanan kiri, menyusup antara pagar batu karang dan akhirnya membawa lima buah perahu besar itu mencapai pulau dengan selamat. Dengan sigapnya, dari lima buah perahu besar itu berloncatan turun masing-masing sepuluh orang sehingga jumlah mereka menjadi lima puluh orang. Adapun orang gendut pendek yang tadi memimpin perahu-perahu itu, sudah menyelinap pergi di antara pohon-pohon buah yang ditanam di sepanjang pantai. Dan lima puluh orang itu, sambil menghunus senjata tajam, segera dipimpin oleh seorang kakek raksasa bermuka hitam, menyerbu ke tengah pulau. Tentu saja gerakan lima puluh orang ini segera diketahui oleh penghuni pulau dan terdengarlah kentungan dipukul bertalu-talu dan para penghuni segera nampak berkumpul dengan senjata di tangan. Laki perempuan berkumpul dan jumlah mereka yang dulunya hanya belasan orang itu, kini bersama isteri dan anak-anak mereka telah mencapai jumlah kurang lebih lima puluh orang. Dan mereka lalu berlari keluar menyambut kedatangan musuh. Tidak perlu lagi diadakan pertanyaan atau percakapan di antara mereka. Para bajak laut itu yang datang sengaja untuk membalas dendam terhadap Ciu-sian Sin-kai sambil merampok harta karun yang banyak terdapat di situ selagi kakek yang ditakuti itu tidak berada di pulau, sudah menyerbu dan menyerang para penghuni pulau di bawah pimpinan kakek raksasa muka hitam. Terjadilah pertempuran yang seru. Kurang lebih dua puluh orang laki-laki dan wanita muda usia yang terlahir di pulau itu dan pernah menerima gemblengan dasar ilmu silat dari Ciu-sian Sin-kai, melakukan perlawanan dengan gigih dan mereka kini rata-rata amat gesit dan tangguh. Akan tetapi, kakek raksasa muka hitam itu lihai sekali. Senjata rantai baja yang panjang di tangannya sukar dilawan dan banyak yang sudah roboh olehnya. Selain itu, anak buahnya terdiri dari bajak-bajak laut yang kejam dan perkelahian merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka itu menang pengalaman dan menang nekat sehingga di pihak penghuni pulau mulai jatuh korban dan keadaan mereka terdesak. Agaknya para penghuni itu tentu akan roboh atau terbasmi semua kalau saja pada saat itu tidak muncul dua orang yang bukan lain adalah Ciu-sian Sin-kai sendiri dan Hay Hay! Mereka baru saja tiba dan ketika dari jauh kakek itu melihat adanya lima buah perahu besar hitam berlabuh di dekat pulaunya, dia terkejut dan mendayung perahu secepatnya. Perahunya meluncur seperti terbang saja, apalagi di situ ada Hay Hay yang juga membantunya. Dan ketika mereka berlompatan ke daratan pulau, mereka melihat betapa para penghuni pulau sedang bertempur melawan puluhan orang kasar yang dipimpin oleh seorang kakek raksasa muka hitam. Melihat betapa anak buahnya banyak yang sudah roboh terluka dan betapa para bajak laut itu mengamuk dengan kejam, apalagi kakek raksasa muka hitam itu, Ciu-sian Sin-kai menjadi marah. Dia tidak mengenal siapa adanya raksasa muka hitam itu namun dapat menduga bahwa dia tentulah seorang kepala bajak laut yang menggunakan kesempatan selagi dia tidak berada di pulau untuk datang membalas dendam dan merampok. "Bajak-bajak tak tahu diri!" bentak kakek itu dan bersama Hay Hay dia lalu menyerbu ke dalam arena pertempuran. Para penghuni pulau yang melihat munculnya Ciu-sian Sin-kai, bersorak gembira dan semangat mereka tumbuh bagaikan api yang tadinya sudah mulai meredup, kini disiram minyak bakar dan berkobar lagi dengan ganas. Hay Hay juga tidak tinggal diam. Tubuh anak laki-laki remaja ini bergerak cepat dan ke mana pun tubuhnya bergerak, seorang bajak tentu akan terjungkal roboh, entah terkena tendangannya, pukulannya atau tamparan tangannya yang kecil namun ampuh itu Kepala bajak yang bertubuh raksasa bermuka hitam itu terkejut. Maklum siapa yang muncul, dia pun memapaki Ciu-sian Sin-kai dengan rantai bajanya yang berat dan panjang, yang diayun menyambut dengan sambaran pada muka kakek bertubuh kurus itu. Akan tetapi, kakek itu tidak mengelak, melainkan menyambut dengan tangannya dan berhasil menangkap ujung rantai. Si Raksasa muka hitam terkejut, menggunakan tenaga pada kedua lengannya yang besar dan kuat untuk menarik rantainya. Namun, rantai itu seperti telah melekat dengan tangan Ciu-sian Sin-kai! Biarpun kakek tua ini kurus dan berdiri seenaknya, sedangkan Si Raksasa muka hitam memasang kuda-kuda dan menarik sekuat tenaga, tetap saja rantai itu tidak dapat terlepas dari pegangan kakek berpakaian pengemis. "Hemm, siapakah kau yang berani membawa anak buah mengacau ke sini?" Ciu-sian sin-kai bertanya, matanya mencorong ditujukan kepada wajah raksasa muka hitam itu. Tadinya raksasa muka hitam itu terkejut dan juga gentar, akan tetapi karena merasa bahwa dia tidak akan menang, dia menjadi nekat. "Aku Hek-bin Hai-liong (Naga Laut Muka Hitam), hendak membalas dendam atas kekalahan atas rekanku!" Ciu-sian sin-kai tertawa mengejek, tangan kirinya mengambil ciu-ouw (guci arak) yang selalu tergantung di pinggangnya, dan minum arak dengan tangan kirinya, langsung dari guci itu. Melihat ini, Si Muka Hitam kembali mengerahkan tenaganya dan menarik dengan sentakan kuat. Akan tetapi, tetap saja rantai itu tidak dapat dirampasnya dan dia merasa amat terkejut. Orang yang sedang mengerahkan sinkang, mana mungkin mempertahankan kekuatannya itu selagi minum dan menelan arak? Akan tetapi, biarpun sedang minum, kakek jembel itu tetap saja amat kuat. "Menjemukan kau!" Tiba-tiba Ciu-sian Sin-kai menyemburkan arak dari mulutnya. Arak memercik ke muka yang hitam itu dan biarpun Si Muka Hitam sudah siap siaga dan mengerahkan tenaga sinkang untuk mengebalkan muka, tidak urung dia menjerit, melepaskan rantai dan menggunakan dua tangan untuk mendekap muka sendiri. Semburan arak itu dirasakan olehnya seperti ribuan jarum halus yang menusuki mukanya. Ciu-sian Sin-kai melangkah maju dan sekali tangannya menotok, tubuh kakek tinggi besar itu pun terkulai dan lemas tak mampu bergerak pula. Anak buah bajak menjadi panik dan mereka mencoba untuk melarikan diri. Namun, mereka telah dikepung oleh para penghuni pulau yang dibantu oleh Hay Hay yang mengamuk seperti seekor harimau kecil yang galak. Ciu-sian Sin-kai juga menyepak ke kanan kiri dan tak lama kemudian, seluruh bajak dapat dirobohkan dan tak ada yang melawan lagi! Ada di antara mereka yang tewas, banyak yang terluka parah dan sisanya terluka ringan namun mendekam saja di atas tanah, tidak be,rani berkutik, ada yang malah pura-pura mati! Dengan pandang matanya, Ciu-sian Sin-kai melihat keadaan anak buahnya. Ada tujuh orang anak buahnya tewas, belasan orang luka-luka. Hal ini membuat dia marah. "Kumpulkan mereka semua dan masukkan dalam perahu-perahu mereka!" perintahnya. Para penghuni pulau itu dengan senang hati melaksanakan perintah ini. Biarpun ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dan belasan orang luka-luka, namun mereka boleh mengucap sukur bahwa guru dan majikan mereka sudah pulang tepat pada saatnya karena kalau tidak, tentu mereka sudah terbasmi habis! Dengan marah mereka menyeret tubuh-tubuh itu, baik yang sudah tak bernyawa, yang luka berat maupun ringan, menuju ke pantai, tidak peduli akan rintihan mereka yang mengaduh-aduh karena ketika diseret, tentu saja luka-luka mereka menjadi semakin parah. Pada saat itu, dua orang anak buah pulau itu datang sambil menyeret seorang yang bertubuh pendek berperut gendut. Melihat bahwa yang diseret itu adalah seorang di antara anak buahnya sendiri, Ciu-sian Sin-kai bertanya heran. "Apa artinya ini?" tanyanya menegur kedua orang anak buah lain yang menyeret Kai Ti, Si Gendut Pendek itu. "Tocu, dia inilah yang menjadi pengkhianat, menjadi penunjuk jalan sehingga lima buah perahu bajak itu dapat memasuki daerah kita dan mendarat di pulau." Mendengar pelaporan ini, Ciu-sian Sin-kai memandang kepada Kai Ti dengan alis berkerut. Teringatlah dia bahwa Kai Ti ini adalah seorang yang pernah melakukan pelanggaran, yaitu berusaha untuk memperkosa seorang wanita isteri temannya di pulau. Dia sudah memaafkan Kai Ti karena pada waktu itu Kai Ti sedang mabok keras. Akan tetapi, Kai Ti terkenal kejam kepada isterinya, suka marah-marah dan memukuli. Dan ketika isterinya sakit berat, Kai Ti bahkan berusaha untuk meminang seorang gadis puteri temannya sendiri yang ditolaknya sehingga menimbulkan pertengkaran. Tahulah dia kini mengapa Kai Ti menjadi pengkhianat. Dia pernah memarahi Kai Ti dan mengancam bahwa kalau Kai Ti tidak mau mengubah tabiatnya, maka Si Gendut itu akan diusir dari pulau. "Kai Ti, benarkah engkau melakukan perbuatan keji itu?" "Ti….tidak….Tocu….."kata Kai Ti dengan tubuh gemetar. "Saya melihat ketika pagi tadi semua orang menyambut penyerbuan bajak laut, dia tidak ada dan ketika saya menaruh curiga dan mencarinya, dia sedang berusaha untuk membongkar kamar pusaka!" kata seorang di antara kedua orang penangkapnya. "Kami menjadi curiga dan setelah pertempuran selesai, kami lalu mencarinya dah menyeretnya ke sini, Tocu." "Kai Ti, engkau tahu bahwa aku dapat menyiksamu dan memaksamu untuk mengaku. Apakah engkau menantangku untuk menyiksamu?" Ciu-sian Sin-kai berkata, suaranya dingin sekali, berbeda dengan sikapnya yang biasanya senyum-senyum ramah. Tiba-tiba Kai Ti menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, mengangguk-angguk seperti ayam sedang makan padi."Ampunkan saya, Tocu……saya... saya dipaksa oleh Hek-bin Hai-liong..., saya dipaksa mengantarkan, kalau saya tidak mau akan dibunuh…" Ciu-sian Sin-kai mengerti bahwa ucapan itu pun hanya untuk mencari alasan saja untuk membersihkan diri. "Baiklah karena engkau bersekutu dengan mereka, engkau harus ikut pula dengan mereka. Lempar dia ke perahu kepala bajak itu" "Ampunn... Jangan……saya... saya akan dibunuhnya...!" teriaknya, akan tetapi karena Ciu-sian Sin-kai sudah memberi perintah dan para penghuni pulau memang tidak suka kepada orang yang curang ini, Kai Ti lalu ditangkap dan diseret seperti seekor babi yang menguik-nguik, lalu dilempar pula ke dalam perahu. Perahu-perahu itu lalu didorong ke tengah, layar-layar dikembangkan dan tentu saja para bajak itu tidak ingin membiarkan perahu-perahu mereka meluncur tanpa kemudi. Mereka yang luka ringan lalu cepat-cepat mencoba untuk mengemudikan perahu-perahu mereka agar jangan sampai menabrak batu karang. Bersama seluruh penghuni Pulau Hiu, Hay Hay melihat lima buah perahu itu bergerak menghindarkan batu-batu karang. Juga dia melihat betapa kepala bajak yang berjuluk Hek-bin Hai-liong itu kini sudah sadar dan dia memaki-maki Kai Ti yang dianggapnya menjadi biang keladi malapetaka itu karena memberi keterangan yang tidak benar. Kalau benar Ciu-sian Sin-kai berada di pulau, tentu dia tidak akan berani membawa teman-temannya menyerbu. Dan menurut keterangan Kai Ti, majikan pulau tidak akan pulang dalam waktu satu dua bulan lagi. "Kai Ti, anjing keparat! Kau telah menjerumuskan kami!" bentak kepala bajak bermuka hitam itu. "Tidak... tidak... aku tidak tahu bahwa hari ini Tocu akan pulang…." kata Kai Ti dengan muka pucat dan kepala digeleng-gelengkan dengan keras. "Keparat, engkau menjadi sebab kami semua celaka. Lempar dia keluar perahu!" "Tidak, jangan !" Kai Ti menjadi semakin ketakutan, kemudian, melihat beberapa orang anak buah bajak yang luka ringan sudah bangkit dan menghampirinya, dia menyambar sebatang tombak yang menggeletak tak jauh dari situ, lalu menodongkan senjata itu sambil mengancam. "Kubunuh siapa yang hendak menjamahku!" Akan tetapi, tujuh orang anak buah bajak itu pun sudah marah kepadanya dan mereka memandang rendah Si Gendut Pendek ini, maka mereka pun maju terus dan mengepungnya. Orang yang ketakutan dapat menjadi orang yang paling nekat dan kejam, maka demikian pula dengan keadaan Kai Ti. Sebagai bekas anak buah Pulau Hiu, tentu saja dia pandai ilmu silat dan melihat betapa para anak buah bajak itu tetap mengancamnya, dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya menubruk ke depan, tombaknya digerakkan. "Crappp……!" Tombak itu menancap di perut seorang di antara anak buah bajak laut sampai menembus ke punggungnya. sayang baginya saking takutnya, dia tadi menusuk terlampau kuat sehingga tombak itu menembus jauh dan ketika dia berusaha mencabutnya kembali, mata tombak itu terkait dan tidak dapat dicabutnya. Dia berusaha lagi dan berkutetan, akan tetapi tetap saja tombak itu sukar dicabut dan pada saat itu, enam orang anak buah bajak telah menyerangnya dan membuatnya tidak berdaya. Hujan pukulan diterimanya dan dia pun diseret lalu dilemparkan keluar perahu. Ikan-ikan hiu segera muncul dan menyergapnya. Hay Hay melihat betapa orang itu terbelalak lebar dan berusaha berenang cepat menjauhi ikan-ikan hiu yang mengejarnya, akan tetapi dari depan, kanan dan kiri muncul lagi puluhan ekor ikan hiu yang besar-besar. Kemudian terdengar Kai Ti menjerit-jerit seperti babi disembelih, akan tetapi ikan-ikan itu memperebutkannya, menyambar-nyambar dan darah pun membasahi air laut ketika tubuhnya yang cabik-cabik itu diseret ke bawah permukaan air. "Lemparkan semua mayat keluar!" kembali kepala bajak muka hitam memberi perintah. Anak buahnya yang terluka ringan memenuhi perintah ini dan mayat-mayat teman mereka segera mereka lemparkan keluar dari perahu. Kembali ikan-ikan hiu memperebutkan mangsa itu, badan mayat-mayat itu dicabik-cabik akan tetapi sekali ini tidak ada darah keluar. Hanya dalam waktu singkat saja, semua mayat telah lenyap dari permukaan air. Agaknya ikan-ikan hiu itu masih kelaparan dan pesta pora itu menarik perhatian teman-teman mereka karena tempat itu kini penuh dengan ikan hiu besar-besar yang ratusan banyaknya, meluncur cepat di sekeliling lima buah perahu hitam. Melihat itu, Hay Hay bergidik penuh kengerian. Sukar baginya untuk menilai siapa yang lebih ganas dan kejam antara manusia dan ikan-ikan hiu itu. Tiba-tiba perahu pertama yang paling besar tergetar keras ketika terdengar suara meledak, kemudian perahu itu pun roboh miring! Ternyata perahu pertama itu melanggar batu karang dan pecah. Air masuk dengan cepat dan perahu itu pun terancam tenggelam! Anak buah bajak menjadi panik dan kembali terjadi perkelahian di antara mereka sendiri karena berebutan. untuk menggunakan satu-satunya perahu dayung kecil yang berada di atas perahu yang sedang tenggelam itu. Karena diperebutkan, banyak di antara mereka roboh dalam perkelahian dan akhirnya perahu kecil itu terlepas dan jatuh ke air tanpa seorang pun yang berhasil menjadi penumpang. Akhirnya perahu itu tenggelam dan para anak buah bajak berlompatan ke air sambil berteriak ketakutan dan berusaha berenang menghindarkan diri dari jangkauan ikan-ikan hiu. Akan tetapi, apa artinya renang seorang manusia dibandingkan dengan kecepatan ikan hiu? Sebentar saja, di bawah pekik-pekik mengerikan ikan-ikan hiu itu berpesta dan kembali air menjadi merah, lebih merah daripada ketika Kai Ti menjadi mangsa pertama tadi. Terdengar suara keras lagi dan perahu ke dua terguling, disusul perahu ke tiga. Kemudian terjadi kepanikan dan perkelahian yang mengerikan. Akan tetapi kini dua perahu lainnya juga dilanda kepanikan dan Hek-bin Hai-liong berteriak. "Mana penunjuk jalan? Suruh dia menunjukkan jalan yang aman bagi perahu-perahu kita!" Dalam kepanikannya, kepala bajak ini sampai lupa bahwa dia sendiri yang menyuruh penunjuk jalan satu-satunya, yaitu Kai Ti, dilempar keluar. Setelah Kai Ti tidak ada lagi, siapa yang akan mampu menunjukkan jalan aman? Berturut-turut, dua perahu lainnya juga melanggar karang dan terjadilah peristiwa yang amat mengerikan, yang membuat Hay Hay sendiri kadang-kadang menutup kedua matanya saking merasa ngeri melihat betapa orang-orang yang sudah terluka itu menjadi mangsa ikan-ikan hiu yang agaknya tidak mengenal puas dan kenyang itu. Teriakan paling keras terdengar ketika Hek-bin Hai-liong yang terpaksa meloncat ke air karena perahunya tenggelam, mencoba untuk mengamuk. Sebagai kepala bajak tentu saja dia pandai berenang, dan dengan tenaganya yang kuat dia berhasil memukul dua tiga ekor ikan hiu. Akan tetapi jumlah ikan hiu amat banyak dan setelah sebelah kakinya kena disambar ikan dan tubuhnya diseret ke bawah, perlawanan terhenti dan tubuhnya dicabik-cabik oleh ikan-ikan yang memperebutkannya