"Ahhhh ……!" Seruan ini keluar dari mulut Pek Ki Bu, Pek Kong, dan Souw Bwee. "Ha-ha-ha, pantas saja engkau begini lihai, kiranya murid dari seorang di antara Delapan Dewa itu! Ketahuilah bahwa kami sekeluarga Pek menjunjung tinggi dan menghormat See-thian Lama sebagai seorang suci yang selain sakti, juga bijaksana. Ketika keluarga kami diserbu para pendeta Lama di Tibet, Locianpwe See-thian Lama itulah yang melerai dan melindungi kami, bahkan beliau pula yang menganjurkan kepada kami untuk meninggalkan daerah Tibet dan pindah ke sini. Ah, kiranya engkau muridnya …..” "Sungguh merupakan kenyataan yang amat menggembirakan. Hay Hay, engkau tidak boleh pergi dulu. Engkau harus tinggal di sini beberapa hari lamanya. Kami ingin mendengar segala ceritamu tentang pengalamanmu dahulu, tentang See-thian Lama dan lain-lain." kata pula Pek Kong sambil memegang pundak Hay Hay. Melihat keramahan semua orang terhadap dirinya, Hay Hay yang baru saja mengalami guncangan batin dan tekanan yang membuatnya menderita duka di dalam hatinya, kini menjadi terharu dan dia hanya mengangguk-angguk sambil mengucapkan terima kasih. "Mari kita semua masuk dan bicara di dalam. Kalian orang-orang muda juga masuk karena kami hendak membicarakan urusan penting." kata Pek Kong sambil menggandeng tangan Hay Hay. Setelah mereka duduk menghadapi meja di ruangan besar itu, Pek Kong lalu berkata, "Karena kami sekeluarga menganggap Hay Hay bukan orang luar, maka biarlah dia ikut mendengarkan urusan keluarga yang akan kita bicarakan. Setujukah engkau, Song-pangcu?" Song Un Tek yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, mengangguk dan tertawa. "Apa yang kita bicarakan bukan suatu rahasia, melainkan berita yang menggembirakan, makin banyak yang ikut mendengarkan, semakin baik." "Pertama-tama, kutujukan ini kepadamu, Eng-ji. Tahukah engkau betapa usiamu sekarang?" Ditanya usianya, Pek Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak, akan tetapi mukanya berubah merah. "Apa-apaan sih Ayah ini menanyakan usia didepan orang banyak? Pula, tanpa bertanya pun Ayah dan Ibu tentu tahu berapa usiaku." katanya manja. Ibunya menolong puterinya yang berada dalam keadaan malu itu. "Usianya sudah hampir tujuh belas tahun, kurang dua bulan lagi." Aku dan Ibumu sudah sejak dahulu sama-sama setuju dengan keluarga Song untuk menjodohkan engkau dengan Bu Hok, dan hari ini mereka datang untuk meminang secara resmi ……" "Ayah …..!" Tiba-tiba Pek Eng bangkit berdiri dan lari menuju ke kamarnya. Ayahnya tertawa dan memandang kepada tiga orang tamunya yang nampak bingung melihat sikap Pek Eng itu. "Anakku itu memang manja dan pemalu, ia tentu lari ke kamarnya karena malu, akan tetapi aku yakin bahwa ia setuju pula. Bukankah sikapnya selama ini terhadap Bu Hok menunjukkan bahwa ia tidak akan keberatan? Eng-ji pasti setuju, harap Sam-wi tidak merasa ragu dan khawatir." "Biarlah aku yang akan bicara dengan Eng-ji." kata Souw Bwee yang kemudian meninggalkan ruangan itu menyusul puterinya ke kamar Pek Eng. "Ha-ha-ha, pinangan itu sudah kami terima, sudah pula kami sampaikan ke pada anak kami. Marilah kita minum arak untuk keselamatan kedua orang anak kita, Song-pangcu!" kata Pek Kong. Mereka mengangkat cawan dan melihat betapa Hay Hay diam saja, Pek Ki Bu lalu berkata kepadanya. "Hay Hay, engkau pun kami ajak minum arak untuk memberi selamat kepada Bu Hok dan Pek Eng dalam pertunangan mereka hari ini." Hay Hay mengangkat cawannya dan pada saat itu, Pek Kong bertanya, "Hay Hay, bagaimana pendapatmu dengan pasangan ini, antara Bu Hok dan adikmu Pek Eng?" Sambil memegang cawan araknya, Hay Hay berkata dengan sejujurnya. "Pasangan yang amat serasi, Bu Hok seorang pemuda yang gagah perkasa sedangkan Adik Eng adalah seorang gadis yang cantik dan lihai pula, Pek-pangcu." "Hushh, jangan sebut pangcu kepadaku. Engkau seperti keponakanku sendiri, sebut saja Paman padaku." "Baik, Paman. Nah, selamat untuk sepasang orang muda yang hari ini bertunangan!" katanya sambil meneguk arak dari cawannya, diikuti oleh semua orang. Malam itu pihak tuan rumah mengadakan pesta. Mereka semua, kecuali Pek Eng, makan minum dengan gembira di satu meja besar. Pek Eng tidak mau keluar walaupun sudah dibujuk ibunya, "Ia tentu malu, maklumlah ia tidak punya saudara yang pernah menikah. Pengalaman dilamar orang tentu amat menegangkan hatinya dan membuatnya merasa canggung dan malu." katanya sebagai permintaan maaf kepada para tamunya. Dua orang pangcu itu makan minum dengan gembira sekali. Betapa mereka tidak akan gembira. Sejak belasan tahun mereka sudah menjadi sahabat baik, keduanya merasa cocok dan sepaham, sepihak pejuang dan pendekar, pihak lain juga pendekar yang terkenal, dan kedua orang anak mereka memang merupakan seorang pemuda dari seorang gadis pilihan. Kalau kini mereka berbesan, tentu saja hati mereka merasa puas sekali. "Tentang penentuan hari pernikahan, biarlah kelak aku akan memberi kabar kepadamu, Song-pangcu." kata Pek Kong. "Bagaimanapun juga, hati kami tidak akan merasa tenteram dan puas kalau putera kami, Pek Han Siong, belum pulang. Dia harus menyaksikan adiknya menikah dan harus memberi persetujuan bahwa adiknya akan menikah lebih dahulu." Song Un Tek dapat mengerti alasan ini dan dia pun tidak merasa keberatan. Mereka makan minum dan mengobrol sampai jauh malam sebelum akhirnya para tamu itu dipersilakan mengaso di dalam kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan. Hay Hay juga dipersilakan masuk ke kamarnya yang berada di ujung belakang, karena kamar-kamar besar di dalam diperuntukkan tamu-tamu agung keluarga Song itu ! ** Hati atau batin yang gelisah dan tidak tenteram selalu menjadi akibat dari sibuknya pikiran! Kalau pikiran tenang dan hening seperti air telaga yang tidak diusik, maka batin akan menjadi hening dan bebas dari segala macam perasaan pula. Akan tetapi sekali pikiran kacau dan keruh seperti air yang diaduk sehingga semua lumpur dan kotoran dari dasar yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam. Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antara kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia. Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan itu sudah pasti kebenaran yang didasari ingin senang sendiri. Keduanya memperebutkan kebenaran sendiri-sendiri yang berbeda, bahkan berlawanan. Tradisi usarig dan kebiasaan lama kadang-kadang merupakan kebijaksanaan pada suatu masa atau kurun waktu tertentu dan kalau selalu dipertahankan, maka akan menimbulkan konflik karena segala sesuatu akan berubah dengan berubahnya waktu. Mengekor saja kepada kebiasaan atau tradisi lama tanpa pertimbangan yang bijaksana, merupakan suatu kebodohan. Semenjak ribuan tahun, di Tiongkok terdapat suatu anggapan yang sudah berakar di dalam hati setiap keluarga, merupakan tradisi yang amat kokoh kuat, yaitu bahwa setiap keluarga HARUS mempunyai keturunan laki-laki! Mungkin sekali anggapan ini terdorong oleh kedua keadaan. Pertama, seorang anak laki-laki dianggap akan dapat membantu keluarga orang tuanya di sawah karena pada waktu itu, sebagian besar rakyat hidup sebagai petani yang miskin. Kebutuhan akan tenaga bantuan inilah yang mendorong mereka beranggapan bahwa kalau mempunyai anak laki-laki berarti memperoleh tenaga bantuan yang amat baik dan dapat dipercaya, dan berarti meringankan beban keluarga. Dan ke dua, anak laki-laki akan melanjutkan tradisi nenek moyang, akan melaniutkan keturunan marga mereka masing-masing, dan akan memelihara abu nenek moyang. Jelasnya, seorang anak laki-laki akan dapat melanjutkan silsilah keluarga, melanjutkan riwayat marga itu. Sebaliknya, anak perempuan hanya menjadi beban sejak kecil, merupakan mahluk lemah yang tenaganya tak dapat banyak diharapkan di waktu anak itu menjadi dewasa, bahkan mengundang datangnya gangguan yang datang dari orang-orang muda, dan akhirnya anak itu hanya akan diboyong oleh orang lain, membantu rumah tangga keluarga lain! Yang dianggap lebih celaka lagi begitu menikah, seorang anak perempuan telah berganti she (nama marga) yang berarti telah menjadi anggauta keluarga marga baru itu, dan marganya sendiri sudah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan banyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak itu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkah akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi. Tentu saja karena si aku adalah bentukan pikiran kita sendiri. Ingin ini, ingin itu, mengapa begini, mengapa tidak begitu seperti yang kita inginkan, mengapa harapan kita menjadi hampa, mengapa keinginan kita tidak terlaksana, mengapa orang lain senang dan kita susah, orang lain pandai dan kita bodoh, orang lain kaya dan kita miskin, dan sebagainya. Perang atau konflik terjadi di dalam diri kita masing-masing, konflik antara kenyataan dan keinginan lain, konflik antara keadaan seperti adanya dengan keadaan seperti yang kita kehendaki. Konflik dalam diri setiap manusia ini menjalar menjadi konflik antata kelompok, golongan, bahkan antara bangsa dan menjadi perang yang mengguncang dunia. Semua pertikaian atau konflik antara dua orang selalu timbul karena pikiran masing-masing, karena si aku yang selalu ingin disenangkan walaupun jarang sekali ingin menyenangkan, selalu ingin dikasihani walaupun jarang mengasihani. Masing-masing memperebutkan kebenaran sendiri, dan kebenaran yang diperebutkan. Di dalam kedudukannya sebagai Ketua Cin-ling-pai, dia dibantu oleh putera tunggalnya yang bernama Cia Hui Song, seorang pendekar yang usianya kurang lebih tiga puluh delapan tahun, lihai karena selain telah mewarisi kepandaian ayah dan mendiang ibunya, juga dia pernah digembleng oleh mendiang Siangkiang Lojin atau San-sian, seorang di antara Delapan Dewa, dan menerima ilmu-ilmu tinggi dalam hal sinkang dan ginkang. Sejak belasan tahun yang lalu, Cia Hui Song ini menikah dengan Ceng Sui Cin, seorang wanita perkasa pula, pendekar wanita gemblengan karena ia adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin yang tinggal di Pulau Teratai Merah dl lautan selatan. Ibunya juga seorang pendekar yang lihai bukan main, bernama Toan Kim Hong. Ceng Sui Cin selain menerima ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga ia menerima gemblengan dalam hal ginkang oleh Wu-yi Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa pula. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Ceng Sui Cin, bahkan lebih lihai dari suaminya! Cia Hui Song dan Ceng SuI Cin mempunyai seorang anak gadis yang telah berusia lima belas tahun bernama Cia Kui Hong. Kui Hong merupakan seorang anak perempuan yang sehat dan mungil sejak kecilnya, juga memiliki kecerdasan dan bak:at yang baik sekali dalam ilmu silat sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, ia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayah dan ibunya. Wataknya juga sama dengan watak Ibu dan ayahnya. Ia manis, galak dan berandalan, akan tetapi jenaka dan lincah, juga berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Melihat keadaan keluarga Cia ini, orang lain tentu membayangkan bahwa mereka merupakan keluarga yang berbahagia. Kedudukan mereka sebagai keluarga pimpinan perkumpulan yang terpandang dan terhormat, juga mereka tidak kekurangan, merupakan keluarga yang sehat dan selalu gembira nampaknya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sejak bertahun-tahun yang lalu, Ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dengan berterang menyatakan harapannya sendiri sudah terlepas darinya. Tentu saja pendapat yang menjadi tradisi seperti ini merupakan suatu pendapat yang seluruhnya berdasarkan kepentingan si aku, dalam hal ini kepentingan si orang tua sendiri. Dan pendapat yang berdasarkan kepentingan diri sendiri selalu mendatangkan tindakan-tindakan yang jahat. Demikian pula dengan tradisi tentang anak laki-laki ini, menimbulkan bAnyak tindakan yang sesat di kalangan orang-orang tua. Banyak yang menganggap keluarga mereka sial kalau mempunyai anak perempuan, bahkan bukan merupakan dongeng belaka kalau ada keluarga yang anaknya, terlahir perempuan melulu, tanpa ada yang laki-laki, memperlakukan anak-anak mereka dengan kejam, bahkan ada yang membunuh anak yang ke sekian dan terlahir perempuan, atau menjual anak iTu kepada keluarga lain untuk dijadikan budak, selir, atau bahkan pelacur! Sungguh menyedihkan akibat dari suatu kebiasaan yang turun-temurun dilakukan orang tanpa mempergunakan pertimbangan kebijaksanaan lagi. Hui Song, sekarang di depan isterimu aku minta ketegasan dan keputusanmu. Bagaimana dengan permintaanku agar engkau menikah lagi?” Mendengar ini Sui Cin terkejut bukan main. Suaminya belum pernah menceritakan tentang keinginan hati ayah mertuanya itu, dan mendengar betapa kini orang tua itu minta kepada suaminya agar menikah lagi, tiba-tiba mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Akan tetapi karena yang ditanya adalah suaminya maka ia pun diam saja, hanya memandang kepada suaminya dengan penuh perhatian. Hui Song juga terkejut. Ayahnya telah berterus terang di depan isterinya, hal ini merupakan desakan yang terakhir dan amat kuat, yang memaksa dia untuk mengambil keputusan, tidak seperti biasanya yang hanya dia elakkan dan tangguhkan saja. Diam-diam dia merasa kasihan kepada isterinya dan tidak berani menoleh untuk memandang wajahnya. Kalau mengingat isterinya dan cinta kasih di antara mereka, ingin rasanya dia meneriakkan keberatannya, namun untuk menolak dia pun takut kepada ayahnya yang dia tahu menganggap amat penting keturunan laki-laki yang amat diharapkannya itu. Maka dalanm keadaan bingung dia menunduk dan berkata dengan suara lirih. "Ayah, aku... aku tidak mempunyai pikiran untuk …..” “Hui Song!" Cia Kong Liang membentak karena sejak tadi amarahnya sudah menyesak di dada dan dia menduga bahwa puteranya tentu menolak sehingga jawaban kalimat yang belum putus itu sudah dianggap sebagai penolakan. "Apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang put-hauw (tidak berbakti atau durhaka)? Ingat, sudah lama aku ingin mengundurkan diri dan menyerahkan kedudukan Ketua Cin-ling-pai kepadamu, akan tetapi selama engkau belum mernpunya seorang anak laki-laki, terpaksa aku tidak beranii mengundurkan diri dan mengoperkan kedudukan pimpinan padamu. Aku hanya ingin engkau mengambil yang tadinya mengendap itu timbul dan mengeruhkan, keheningan air pun lenyap. Jadi yang penting bukanlah menekan kesibukan pikiran karena penekanan ini pun merupakan kesibukan lain lagi dari pikiran itu sendiri. Yang penting adalah menyelami dan mempelajari, mengamati kesibukan pikiran sendiri, bukan pengamatan dengan pamrih mendiamkan pikiran, melainkan pengamatan yang timbul dari kewaspadaan. Tanpa penekanan dan perlawanan, tanpa adanya si aku yang menekan atau mengamati, tanpa adanya aku yang ingin melihat pikiran menjadi tenang, maka bagaikan kehabisan setrum, pikiran akan menjadi diam dengan sendirinya, bukan DIBIKIN diam. Kehidupan kita seolah-olah sejak kecil sampai tua sampai mati, dipenuhi dengan berbagai macam masalah dan persoalan. Masing-masing dari kita mempunyai masalah sendiri, menghadapi persoalan tertentu sendiri-sendiri, suka duka selalu menyelang-nyeling, susah senang menjadi pakaian sehari-hari. Semua ini bukan lain ditimbulkan oleh pikiran atau si aku olah jantungnya ditusuk-tusuk dan sejak tadi ia sudah menahan kemarahannya yang makin berkobar. Kini, mendengar suaminya melibatkannya, dan melihat betapa ayah mertuanya itu menanggapinya secara acuh saja, ia tidak tahan lagi. "Ayah, apakah keluarga ini masih menganggap saya sebagai manusia, ataukah sebagai kertas pembungkus saja?" Cia Kong Liang melebarkan matanya mendengar pertanyaan ini. "Maksudmu?" "Kalau saya dianggap kertas pembungkus, maka hanya dipergunakan dan dirawat sewaktu diperlukan saja, kalau tidak diperlukan lagi boleh dibuang begitu saja! Akan tetapi kalau diperlakukan sebagai manusia, kenapa saya tidak pernah diajak berunding? Saya adalah isteri Cia Hui Song, saya berhak untuk menentukan tentang dirinya!" "Tapi... tapi aku yakin bahwa engkau tentu akan menyetujui kalau Hui Song mengambil seorang gadis lain sebagai isteri, untuk menyambung keturunan she Cia ….” "Saya tidak setuju!” teriak Sui Cin, kini tidak lagi bersopan-sopan, melainkan secara spontan mengeluarkan isi hati dan kemarahannya. Mendengar teriakan ini dan melihat sikap anak mantunya, Cia Kong Liang yang juga berhati keras itu seketika bangkit kemarahannya. "Engkau... tidak berhak untuk menolak atau tidak menyetujui! Engkau hanya seorang isteri, hanya seorang anak mantu, yang harus patuh kepada suaminya, kepada ayah mertuanya!" "Ayah, kapankah aku tidak pernah patuh?" teriak Sui Cin. "Selama belasan tahun tinggal di sini, bukankah aku selalu patuh? Akan tetapi sekali ini menyangkut hubungan antara suami isteri. Aku tidak pernah bersalah kepada Hui Song, aku menjadi seorang isteri yang dicinta dan mencinta, kenapa tiba-tiba saja Hui Song harus menjadi milik wanita lain? Aku tidak mau membaginya dengan wanita lain! Aku tidak setuju kalau dia mengambil seorang wanita lain sebagai isteri ke dua!" “Engkau tidak berhak melarang!" teriak Cia Kong Liang pula dengan sama marahnya dan menudingkan telunjuknya kepada muka anak mantu yang biasanya amat disayangnya itu. "Engkau telah tidak mampu melahirkan seorang keturunan laki-laki!" "Belum tentu kalau aku yang tidak mampu! Siapa tahu Hui Song juga tidak mampu mempunyai turunan laki-laki? Jangan hanya salahkan diriku seorang!" Kedua mata Sui Cin sudah mulai basah dengan air mata, akan tetapi ia tidak menangis dan memandang kepada ayah mertuanya dengan mata terbelalak walaupun sudah basah bahkan air matanya mulai jatuh berderai. "Kalau dia mengambil gadis lain, tentu dapat mempunyai keturunan laki-laki!" "Mungkin saja! Kalau aku menikah lagi dengan pria lain juga mungkin saja aku melahirkan anak laki-laki! Akan tetapi, pernikahan antara kami, kalau tidak membuahkan anak laki-laki, itu bukanlah salahku, atau salah Hui Song. Jangan salahkan kepadaku Ayah, pendeknya aku tidak setuju kalau Hui Song menikah lagi!" Ketua Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Belum pernah dia didebat dan ditentang orang seperti itu, apalagi kini yang menentangnya adalah anak mantunya sendiri. Hal ini merupakan pukulan batin yang hebat, yang membuat dia marah bukan main dan dia sudah bangkit dari kursinya, mengepal tinju dan agaknya sudah siap untuk menyerang Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin juga bangkit berdiri, siap untuk membela diri! "Sui Cin, jangan ……!” Hui Song berteriak dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnyat membentur-benturkan dahinya di lantai. "Ayah... Ayah, ampunkanlah isteriku, Ayah. Kalau Ayah hendak menjatuhkan hukuman, hukumlah aku. Ayah, tenanglah dan ampunkan kami." Melihat ini, Cia Kong Liang sadar kembali. Dia tahu bahwa kalau dia menyerang Sui Cin dan mantunya itu melawan, dia bahkan akan kalah oleh anak mantunya yang lihai itu. Dan kalau sampai terjadi hal demikian, bukankah akan memalukan sekali dan nama besar Cin-ling-pai akan hancur sama sekali. Bayangkan bagaimana akan pendapat orang kalau mendengar bahwa Ketua Cin-ling-pai bentrok dengan mantu perempuannya, bahkan dipukul roboh oleh mantu perempuannya sendiri! Dia menjatuhkan dirinya lagi di atas kursi, napasnya terengah-engah dan mukanya masih merah sekali. "Sudahlah, sekarang engkau boleh pilih. Engkau menuruti permintaan ayahmu, mengambil seorang gadis lain untuk menyambung keturunan she Cia, atau aku yang akan memungut seorang murid yang baik untuk menjadi putera angkatku, kuberikan she Cia kepadanya, kemudian dia kukawinkan agar dapat menyambung keturunan she Cia, walaupun secara memungut anak. Dan engkau... jangan harap lagi aku mengakuimu sebagai anak." "Ayah ……!" Hui Song berteriak dan kini air matanya pun jatuh bertitik. Sui Cin menjadi semakin marah. Dianggapnya bahwa orang tua itu sungguh tidak adil dan keterlaluan. Maka, melihat suaminya menangis, ia pun segera berkata sambil memandang ayah mertuanya dengan pandang mata tajam. "Ayah, kenapa Ayah begitu mendesak Hui Song? Kenapa tidak Ayah sendiri saja yang menikah lagi dan mempunyai seorang anak keturunan laki-Iaki yang lain?" Mendengar ini, Hui Song, merasa mempunyai harapan untuk mengatasi persoalan itu. "Itu benar, Ayah ….." "Diam …..!!" Cia Kong Liang membentak penuh kemarahan. "Ceng Sui Cin, jangan kau mengajukan usul yang gila!" Baru sekarang sejak Sui Cin menjadi mantunya, dia menyebut nama mantunya itu dengan nama shenya, dan Sui Cin merasakan benar sebutan itu. Ia sudah mulai dianggap orang luar oleh ayah mertuanya ini! "Bukan aku yang mengajukan usul yang gila, Ayah, melainkan Ayah sendiri yang mengajukan permintaan yang bukan-bukan." "Cukup!" Kembali Ketua Cin-lin-pai itu membentak. "Sekali lagi, Hui Song, kau boleh pilih. Engkau menikah lagi dengan gadis lain untuk memperoleh keturunan she Cia, atau engkau tidak kuanggap sebagai anakku lagi dan boleh pergi dari sini dengan isteri dan anakmu." Mendengar ini, Sui Cin juga berteriak, "Cia Hui Song, dengarkan kata-kataku. Aku akan pergi bersama Kui Hong kembali ke rumah orang tuaku. Kalau engkau kawin lagi, kita tak perlu berjumpa kembali. Kalau engkau masih memberatkan kami, susullah kami ke Pulau Teratai Merah!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Sui Cin sudah lenyap dari ruangan itu, keluar untuk mencari anaknya. "Sui Cin …..!!” Hui Song berkata dan dia pun terkejut bukan main, bangkit berdiri. "Hui Song, kalau engkau tinggalkan ruangan ini, jangan harap akan dapat kembali kepadaku!" Hui Song yang sudah bangkit itu, tersentak dan menoleh kepada ayahnya, kemudian menoleh ke arah pintu, hatinya terobek menjadi dua, tubuhnya menggigil dan tiba-tiba dia pun mengeluh dan terpelanting jatuh pingsan saking hebatnya pukulan batin yang dideritanya. Tiada sesuatu yang abadi di dalam kehidupan ini! Perubahan terjadi setiap saat, seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan hitam sehingga dunia menjadi gelap. Hujan yang deras pun tiba-tiba dapat terhenti dan langit kembali menjadi terang. Bahkan perubahan yang paling hebat dapat saja setiap saat terjadi dengan tiba-tiba, yaitu kalau kematian datang menjemput. Orang yang selalu waspada akan memiliki kebijaksanaan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai suatu kewajaran, sebagai suatu hal yang sudah semestinya terjadi, karena itu tidak akan mengguncangkan batinnya. Bahkan kematian pun yang datang menjemput akan diterima dengan iklas, pasrah dan mulut tersenyum karena maklum bahwa dia tidak berdaya, tidak berkuasa, hanya menjadi anak wayang saja yang harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dijalankan oleh Sang Sutradara! Dijadikan pemegang peran apa pun tidak penting, biar dijadikan raja atau pengemis, orang kaya atau orang miskin, pintar atau bodoh, sehat atau berpenyakitan. Tidak mengeluh kalau memegang peran rendah, tidak berlebihan gaya kalau memegang peran mulia, karena yang penting adalah menghayati peran itu, memainkan peran yang dipegangnya sebaik mungkin. Memegang peran apa pun juga, baik yang menang atau yang kalah, yang tinggi atau yang rendah, yang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, kesemuanya itu hanya untuk sementara saja dan semua akan berakhir sama, yaitu tamatnya cerita atau kematian. Karena maklum bahwa segala sesuatu, yang baik maupun yang buruk, tidak abadi, bahwa kehidupan sebagai roda, maka tidak akan mengeluh selagi berada di bawah dan tidak akan sombong selagi berada di atas. Demikianlah seorang yang bijaksana. *** Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Cia Hui Song. Dia mengeluh panjang pendek, sampai tiga hari dia tidak mampu meninggalkan kamarnya, hanya rebah dengan gelisah dan menyesali nasibnya setelah dia mendekati usia empat puluh tahun itu. Hatinya ingin sekali pergi menyusul isteri dan puterinya yang pergi secara mendadak tanpa pamit lagi, hanya membawa buntalan pakaian saja. Dia tahu akan kekerasan hati dan keangkuhan isterinya, tentu isterinya itu mengajak Kui Hong untuk pergi ke Pulau Teratai Merah dan isterinya tidak akan kembali ke Cin-ling-san sebelum dia datang menyusul. Akan tetapi, dia pun mengenal baik kekerasan hati ayahnya. Kalau dia nekat pergi, tentu dia benar-benar tidak akan diakui lagi sebagai anak dan ayahnya tak mungkin mau mengampuninya lagi. Terjadi perang di dalam batinnva dan dia membayangkan betapa ayannya akan menderita batin yang amat hebat kalau dia memaksa diri meninggalkan ayahnya. Ayahnya hanya mempunyai dia seorang, tidak ada lagi keluarga lain dan hanya kepada ayahnya memandang dan bergantung. Kalau dia pergi, mungkin hal itu akan menghancurkan hati ayahnya dan dia akan mempercepat kematiannya dan dia tentu akan merasa berdosa selama hidupnya kalau sampai terjadi hal seperti itu. Sebaliknya, isteri dan puterinya akan hidup aman dan terjamin kalau berada di Pulau Teratai Merah dan mudah-mudahan saja Sui Cin akan melunak perasaannya kelak. Bagaimanapun juga, sebagai putera tunggal tak mungkin dia meninggalkan ayahnya, tak mungkin menjadi anak durhaka yang dikutuk ayah sendiri. Selain itu, dia pun harus menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai," biarpun dia harus mengorbankan perasaannya yang seperti tertindih selalu dan semangatnya seolah-olah terbang mengikuti isteri d.an puterinya. Bagaikan seorang yang patah semangat, Cia Hui Song pendekar sakti itu menurut saja ketika ayahnya mencarikan seorang gadis untuk menjadi isterinya, untuk dapat memberi seorang putera penyambung keturunan Cia, keturunan keluarganya. Demi ayahnya, demi keluarga Cia, dia harus mentaati perintah ayahnya walaupun diam-diam hatinya hancur. Dia tidak mungkin dapat mencinta isterinya yang baru, seorang gadis berusia delapan belas tahun dari keluarga Siok, seperti cintanya terhadap Sui Cin. Dia hanya merasa kasihan kepada isteri barunya, Siok Bi Nio, karena seperti sudah lajim pada jaman itu, gadis ini pun menjadi isterinya karena kehendak orang tuanya. Orang tua mana yang tidak akan merasa bangga kalau anak perempuannya menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, walaupun hanya menjadi isteri ke dua? Nama besar Cin-ling-pai akan mengangkat derajat keluarga Siok pula di samping kehidupan makmur yang akan dapat dinikmati oleh gadis she Siok itu. Demikianlah, Cia Hui Song menikah lagi tanpa dirayakan secara meriah karena sungguhpun dia tidak berani menolak kehendak ayahnya untuk kawin lagi, dia berkeras tidak mau kalau pernikahan itu dirayakan, melainkan terjadi secara sederhana saja dan hanya melakukan upacara sembahyangan sebagaimana mestinya tanpa mengundang banyak tamu. Hati Kakek Cia Kong Liang puas dan girang sekali karena puteranya mau memenuhi permintaannya. Tanpa ada yang mengetahuinya, dia sendiri merasa amat berduka dengan kepergian Kui Hong tanpa pamit. Dia amat sayang kepada cucunya itu, bahkan ketika Kui Hong masih kecil, dialah yang menimang-nimang anak itu. Akan tetapi, sayang bahwa Kui Hong adalah seorang cucu perempuan dan kakek ini merasa prihatin dan bahkan malu kalau sampai puteranya tidak mempunyai anak laki-laki yang kelak akan menyambung keturunan keluarga Cia. Setelah Kui Hong pergi bersama ibunya tanpa pamit, dia merasa kehilangan dan sering kali, seorang diri dalam kamarnya, kakek ini menutupi mukanya dan menghapus beberapa butir air mata karena duka teringat akan cucu perempuan yang amat disayangnya itu. Dia tidak merasa bersalah dalam urusan itu, merasa bahwa keputusannya itu sudah benar dan tepat, dan mantunyalah yang tidak tahu diri, yang tidak adil, tidak seperti para wanita lainnya yang tentu bahkan akan menganjurkan sang suami untuk mengambil isteri muda agar memperoleh keturunan laki-laki! Lebih gembira dan puas lagi hati Kakek Cia Kong Liang ketika setahun setelah Hui Song menikah dengan Siok Bi Nio, mantu perempuannya itu melahirkan seorang anak laki-laki. Harapannya dan dambaannya terkabul sudah! Keluarga Cia tidak akan putus, melainkan akan bersambung terus dengan lahirnya Cia Kui Bu, cucunya yang kedua itu. Maka, begitu cucu ini terlahir, Cia Kong Liang lalu mengundurkan diri dan mengangkat Cia Hui Song menjadi Ketua Cin-ling-pai! Jabatan ini sedikit banyak menghibur hati Hui Song yang selalu teringat kepada Ceng Sui Cin dan Kui Hong. Kesibukan di dalam perkumpulannya menyita banyak waktu dan pemikiran. Dia bekerja keras untuk memperbaiki segala kekurangan dalam perkumpulan Cin-ling-pai, memperketat peraturan dan menambah latihan-latihan untuk menggembleng para anggauta dan murid agar kelak dapat mengangkat tinggi nama besar Cin-ling-pai. Bahkan dia sendiri terjun untuk melatih murid-murid kepala. Sementara itu, Cia Kong Liang mernperoleh pekerjaan baru yang mengasyikkan hatinya, dan merupakan hiburan pula padanya karena kini dia dapat mengasuh cucunya sebagai pengganti Kui Hong! Kita tinggalkan dulu keluarga Cia di Cin-ling-san ini dan mari kita ikuti perjalanan Ceng Sui Cin dan anaknya, Cia Kui Hong. Pada hari itu juga, malam-malam setelah ia ribut mulut dengan ayah mertuanya, Sui Cin memanggil anaknya, dan Kui Hong terkejut sekali melihat ibunya berkemas dan melihat betapa di wajah ibunya ada tanda bahwa ibunya habis menangis. "Ibu, ada apakah, Ibu?" tanyanya, hatinya tidak enak. Biasanya, ibunya selalu ramah dan suka bergurau, dan ia sendiri pun paling suka bergurau dan memandang dunia ini dengan sepasang mata berkilauan dan wajah berseri dan hati yang lapang dan terang. Akan tetapi, kini ibunya nampak murung dan kusut, maka ia pun tidak berani bergurau seperti biasa dan tidak berani merangkul, hanya menyentuh lengan ibunya sambil mengajukan pertanyaan itu. Dengan menahan tangisnya karena ia tidak mau memperlihatkan kelemahan terhadap anaknya, ia berkata, "Kui Hong, engkau berkemaslah, keluarkan semua pakaianmu yang terbaik, kita pergi sekarang juga ke Pulau Teratai Merah." Sejenak wajah yang manis itu berseri dan matanya terbelalak. "Ke tempat tinggal Kakek dan Nenek di Laut Selatan?" "Benar, cepatlah berkemas!" kata ibunya singkat. "Horeee... kita pesiar ke lautan, ke tempat Kakek Ceng!" Gadis itu berteriak dan bersorak seperti anak kecil saking girang hatinya. Baru dua kali ia berkunjung ke tempat yang jauh itu, dan yang terakhir kalinya ketika ia baru berusia sepuluh tahun. Kini ia telah berusia lima belas tahun, dan mengenang tempat yang indah sekali di pulau itu, dikelilingi lautan yang liar dan luas, ia merasa girang bukan main. Setelah mereka berdua selesai berkemas, Sui Cin yang sudah selesai lebih dahulu, segera menggendong buntalan besar pakaiannya dan menyuruh puterinya melakukan hal yang sama. "Mari kita berangkat!" – "Eh, apakah Ayah tidak ikut, Ibu?" tiba-tiba gadis remaja itu bertanya. Ibunya hanya menggeleng kepala tanpa menjawab. Mereka keluar dari dalam kamar dan ibunya mengajak ia langsung keluar. "Ibu, kita pamit dulu dari Kong-kong (Kakek) dan Ayah " "Tidak usah, aku sudah pamit tadi. Kita langsung berangkat!" kata ibunya singkat. Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh Kui Hong yang amat sayang kepada kakeknya dan ayahnya. "Tapi, Ibu ……” "Cukup! Tak perlu banyak cakap lagi, mari kita langsung berangkat, lihat, malam telah semakin gelap!" "Tapi mengapa tergesa-gesa, Ibu? Bukankah berangkat besok pagi-pagi lebih baik dan aku harus pamit….. " "Diam dan mari kita pergi!" Tiba-tiba Sui Cin membentak dan gadis remaja itu terkejut bukan main melihat ibunya demikian galak, apalagi melihat dua titik air mata meloncat keluar dari mata ibunya. Ia maklum bahwa ibunya sedang marah sekali, maka ia pun tidak berani membantah lagi dan keluarlah ia mengikuti ibunya. Lebih lagi merasa terkejut dan heran melihat betapa ibunya setelah berada di luar rumah, langsung saja mempergunakan ilmu berlari cepat, meluncur di dalam gelap seperti terbang saja. Terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari ibunya dan mereka lalu melakukan perjalanan yang amat cepat menuju ke tenggara. Dapat dibayangkan betapa heran rasa hati Kui Hong melihat ibunya tak pernah mau berhenti berlari sampai akhirnya, beberapa jam kemudian, lewat tengah malam. Kui Hong yang sudah berkeringat dan napasnya memburu, berkata kepada ibunya. "Ibu, jangan cepat-cepat... ah, aku... aku sudah lelah sekali ….." Dan gadis itu pun mogok lari. Melihat ini, Sui Cin baru teringat akan keadaan puterinya. Ia pun berhenti berlari dan mengajak puterinya beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Ia sendiri pun baru sadar bahwa keringat telah membasahi leher dan mukanya, betapa napasnya juga memburu. Mereka duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di kaki gunung itu, memandang ke atas. Tidak ada bulan di langit, namun langit yang kelam itu penuh dengan bintang yang nampak gemerlapan indah sekali pada latar belakang hitam itu, nampak bagaikan ratna mutu manikam di atas beledu hitam. Kadang-kadang nampak bintang meluncur dengan berekor panjang lalu lenyap ditelan kegelapan. Bintang jatuh? Atau bintang pindah? Kui Hong selalu kagum memandang angkasa penuh bintang, atau angkasa diterangi bulan purnama. Baginya, angkasa penuh dengan rahasia alam yang hebat, sehingga orang-orang pandai seperti ayahnya dan bahkan kakeknya pun tidak mampu memberi penjelasan ketika ia bertanya kepada mereka tentang bulan dan bintang. Ia tahu bahwa ibunya juga suka menikmati kebesaran alam, bahkan ibunya suka berkhayal dan bercerita bahwa karena menurut dongeng, bintang-bintang itu merupakan dunia-dunia, maka tentu di setiap bintang dikuasai oleh seorang dewa. Kalau begitu, alangkah banyaknya dewa-dewa di langit! Tak terhitung banyaknya! Lebih banyak bintang di langit daripada rambut di kepalamu, demikian kata ibunya. Dan mungkin benar, pikir Kui Hong, karena walaupun amat banyak, kalau memang dikehendaki, rambut di kepala masih dapat dihitung manusia. Akan tetapi bintang di langit? Siapa mampu menghitungnya? Makin gelap langit, makin banyaklah bintang yang nampak, sampai berdempetan dan tak mungkin dihitung. "Aduh, bukan main indahnya bintangbintang itu, Ibu ……" Kui Hong yang sejenak lupa akan segala hal itu berkata penuh kagum. Akan tetapi ibunya tidak menjawab dan ia terheran. Biasanya ibunya paling suka memuji keindahan alam. Ia menengok dan di dalam keremangan malam, ia melihat ibunya menyembunyikan muka di balik lengan yang memeluk lutut! Baru ia teringat akan keadaan mereka dan Kui Hong merasa gelisah sekali. Ia bukan anak kecil. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, yang membuat ibunya berduka seperti itu. Jangan-jangan kakeknya atau neneknya yang di Pulau Teratai Merah meninggal dunia, pikirnya dan ia pun bergidik ngeri. Tak mungkin! Kalau benar terjadi hal demikian, tentu ayahnya pun ikut pergi, bahkan Kakek Cia Kong Liang juga tentu pergi melayat. Tidak, tentu ada peristiwa lain. “lbu... lbu, engkau kenapakah, Ibu …..?" tanyanya lirih sambil menyentuh tangan ibunya. Tersentuh senar yang terhalus di dalam hati Sui Cin oleh pertanyaan puterinya ini. Ia terisak dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya. Ia menangis! Ibunya menangis! Kui Hong tersentak kaget. Belum perlnah ia melihat ibunya menangis! Ia selalu menganggap ibunya seorang wanita yang paling hebat, yang gagah perkasa dan pantang menangis. Bahkan ibunya sering memberi nasihat ketika ia masih kecil dan suka menangis, bahwa seorang wanita gagah lebih menghargai air mata daripada darah! Keringat dan darah sekalipun boleh menetes kalau perlu, akan tetapi air mata harus dipantang! Tangis menunjukkan kelemahan dan seorang wanita yang gagah perkasa bukanlaln seorang yang lemah. Demikian kata-kata ibunya yang selalu masih diingatnya, kata-kata yang ikut menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tabah, keras hati, penuh keberanian menghadapi apapun juga tanpa mengeluh. Dan sekarang, ibunya menangis! "Ibu......!" Kui Hong merangkul ibunya dan memaksa ibunya menurunkan tangan. Dipandanginya wajah ibunya. Memang tidak banyak air mata yang mengalir keluar, akan tetapi tetap saja terbukti bahwa ibunya menangis. "Ibu, engkau menangis? Mungkinkah ini? Ada apakah yang telah terjadi, Ibuku?" Kui Hong bertanya sambil menciumi pipi ibunya yang agak basah oleh air mata. Dengan sekuat tenaga Sui Cin menekan perasaannya, menghapus air matanya. Anaknya ini bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang gadis menjelang dewasa, tak perlu menyembunyikan keadaan yang sebenarnya, karena tentu Kui Hong kini sudah dapat mengerti. " Ayahmu... Ayahmu harus menikah lagi." jawabnya dan begitu ia menjawab, ia merasa lancar dan dapat menahan getaran perasaannya. Kini kedukaannya terganti oleh rasa penasaran dan kemarahan. Mendengar keterangan ini, Kui Hong terkejut sekali, juga heran dan sejenak ia kehilangan akal, hampir tidak dapat mengerti dan tidak dapat menangkap maksud kata-kata ibunya. Ayahnya harus menikah lagi? Keterangan macam apa ini? Akan tetapi, semuda itu, Kui Hong sudah digembleng untuk menguasai hatinya dan sikapnya masih tetap tenang walaupun keterangan ibunya itu membuatnya terkejut dan terheran-heran. Sukar ia dapat percaya bahwa ayahnya akan menikah lagi! Ia mempertimbangkan keterangan ibunya dalam satu kalimat tadi. Ayahnya harus menikah lagi. Harus? "Ibu, siapa yang mengharuskan Ayah menikah lagi?" "Kakekmu, siapa lagi?" Suara ibunya mengandung penasaran dan kemarahan sehingga Kui Hong dapat menduga bahwa tentu ibunya sudah ribut dengan kakeknya. "Menikah dengan siapa?" "Dengan siapa saja, Ayahmu sendiri pun belum tahu." "Tapi, kenapa? Kenapa Kong-kong menyuruh dan bahkan mengharuskan Ayah menikah lagi? Bukankah Ayah sudah menikah dengan Ibu?" "Kong-kongmu ingin mempunyai seorang cucu laki-laki ….." "Akan tetapi, Kong-kong sudah mempunyai cucu aku!" "Dia ingin cucu laki-laki untuk menyambung keluarga Cia! Karena aku tidak mempunyai anak laki-laki, maka Ayahmu diharuskan menikah lagi." "Dan Ayah ….. Ayah mau …..?" "Ayahmu terpaksa, kalau tidak, dia tidak akan diakui lagi sebagai anak Kong-kongmu, akan diusir!" "Ahhh ……!!" Wajah Kui Hong berubah, kini agak pucat karena ia mulai mengerti benar dan tahu bahwa memang telah terjadi urusan yang hebat sekali, bahkan merupakan malapetaka bagi ibu dan ayahnya, yang mengubah kehidupan keluarga mereka semua! "Jadi karena itulah Ibu pergi? Tapi... tapi kenapa pergi, Ibu? Kenapa kalau Ibu tidak setuju, Ibu tidak melarang saja pada Ayah agar dia tidak usah menikah lagi?” "Aku sudah menyatakan tidak setuju, bahkan aku sampai cekcok dengan Kong-kongmu, akan tetapi Kong-kongmu memaksa Ayahmu, kalau Ayahmu tidak mau, Ayahmu harus pergi dan tidak diakui sebagai anak lagi." "Ah, kenapa Ibu tidak bilang begitu selagi kita pergi. Biarlah aku kembali ke sana dan aku tegur Kong-kong dan Ayah!" Kui Hong bangkit berdiri sambil mengepal tinju, akan tetapi melihat itu, Sui Cin merangkul anaknya disuruhnya duduk kembali.. "Tidak ada gunanya, Kui Hong. Engkau tidak tahu betapa keras hati Kong-kongmu dan betapa pentingnya cucu laki-laki baginya, atau bagi laki-laki yang manapun juga di dunia ini agaknya. Sungguh menjemukan! Sudahlah, biarlah kita pergi saja dan kalau memang Ayahmu ingin berbakti kepada Kong-kongmu dan melupakan kita, biarlah kita hidup sendiri, di rumah orang tuaku di Pulau Teratai Merah." "Tapi, Ibu, kenapa Ibu tidak menentang dengan kekerasan saja?" "Tidak ada gunanya, juga tidak baik dan memalukan! Aku sudah mengambil keputusan untuk pulang saja ke Pulau Teratai Merah dan kalau Ayahmu menyusul kita, dan mengurungkan niat Kong-kongmu yang mengharuskan dia menikah lagi, baru aku mau ikut dengannya. Kalau sebaliknya terjadi, dia menikah lagi, biarlah selamanya kita tinggal saja di Pulau Teratai Merah." Percakapan itu terhenti dan kedua orang wanita itu tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Beberapa kali Cia Kui Hong mengepal tinju, hatinya marah dan panas sekali, melebihi panasnya hati ibunya. Kalau kelak ayahnya benar menikah lagi, ia akan menegur ayahnya itu, dan menegur kakeknya, kalau perlu ia akan membunuh wanita yang menjadi isteri ayahnya, ibu tirinya yang mendatangkan kehancuran dalam kehidupan ibunya. Ibunya kini sampai meninggalkan rumah, kedinginan di kaki gunung ini, di bawah pohon, terlunta-lunta! ** Perjalanan yang dilakukan oleh Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, adalah sebuah perjalanan yang amat jauh dan akan makan waktu beberapa bulan lamanya walaupun mereka mempergunakan ilmu berlari cepat! Tentu saja ibu dan anak ini mengalami banyak kesukaran. Selain lelah dan hati mereka tertekan duka, juga masih banyak gangguan mereka hadapi sebagai dua orang wanita cantik melakukan perjalaran tanpa kawalan. Biarpun usianya sudah tiga puluh tiga tahun, namun Sui Cin masih nampak cantik jelita. Tubuhnya yang ramping itu kini memang agak gemuk dibandingkan sebelum ia mempunyai anak, akan tetapi bukan gemuk karena kebanyakan gajih sehingga nampak kedodoran, melainkan gemuk padat karena ia masih terus berlatih silat sehingga ia lebih tepat dikatakan bertubuh montok. Wajahnya nampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya sehingga dalam melakukan perjalanan bersama Kui Hong, mereka lebih pantas disebut enci adik, daripada ibu dan anak. Sampai sekarang pun Sui Cin masih tidak mengubah kebiasaannya yang dahulu, yaitu sikapnya bebas dan pakaiannyapun agak nyentrik. Ia lebih mengutamakan enak dipakai daripada indah dipakai. Karena ia melakukan perjalanan yang jauh, ia tidak lupa membawa payungnya yang merupakan senjata pusakanya, yang telah mengangkat namanya ketika ia masih gadis, di samping benda itu dapat pula dipergunakan sebagai payung untuk melindungi muka dari sengatan terik matahari dan curahan air hujan. Juga puterinya mengenakan pakaian yang nyentrik, pakaian pria yang ketat sehingga tubuhnya yang bagaikan bunga sedang mulai mekar itu nampak indah menarik seperti buah yang sedang ranum. Berbeda dengan ibunya yang membawa sebuah payung, yang diikat pada buntalan pakaiannya di punggung kalau tidak dipergunakan sebagai payung, gadis yang berusia lima belas tahun ini membawa sebatang pedang yang dipasang di atas buntalan di punggung. Karena gadis ini membawa pedang secara mencolok itulah agaknya yang banyak menolong mereka, karena kalau ada laki-laki yang tertarik dan berniat kurang ajar, mereka mundur teratur melihat pedang itu, maklum bahwa dua orang wanita itu adalah dua orang wanita kang-ouw (sungai telaga, golongan ahli silat) yang tidak boleh sembarang diganggu. Kurang lebih sebulan kemudian setelah meninggalkan Cin-ling-san, pada suatu sore ibu dan anak ini tiba di kota Nan-sian yang terletak di tepi Telaga Tung-ting. Kota ini memang indah karena letaknya di tepi telaga besar itu yang menampung air dari Sungai Yang-ce-kiang yang lebar. Karena hari telah menjelang sore dan tidak mengenal baik daerah itu, pula melihat betapa puterinya tadi mengagumi keindahan pemandangan alam di telaga itu dari suatu ketinggian, Ceng Sui Cin lalu mengambil keputusan untuk bermalam saja di kota Nan-sian ini. Mereka memasuki kota Nan-sian, menyewa sebuah kamar yang cukup bersih di sebuah rumah penginapan yang terletak di tempat indah sekali, di tepi telaga. Setelah mandi dan berganti pakaian, ibu dan anak ini meninggalkan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, akan tetapi tidak lupa membawa senjata mereka yang sedapat mungkin mereka sembunyikan di bawah baju, sedangkan Sui Cin membawa payungnya, mereka lalu menlnggalkan rumah penginapan untuk melihat keindahan telaga itu di mana terdapat banyak sekali perahu sewaan untuk orang pesiar ke telaga. "Ibu, kita menyewa perahu, membeli makanan dan makan di atas perahu. Tentu menyenangkan sekali!" kata Kui Hong. Sui Cin tersenyum. Setelah melakukan perjalanan dengan puterinya, sedikit demi sedikit Sui Cin dapat menutup kedukaan hatinya dan ia merasa kasihan kepada puterinya yang ikut terbawa terlunta-lunta bersamanya. "Baik, Kui Hong. Mari kita memilih rumah makan yang baik dan minta kepada pelayan untuk mengantar ke perahu yang kita sewa." Dengan gembira,seperti dua orang ibu dan anak yang sedang pergi pelesir dan samasekali melupakan kedukaan mereka. Sui Cin dan Kui Hong lalu memilih perahu yang catnya masih baru dan berbentuk naga, tukang perahunya juga seorang kakek yang berpakaian rapi dan bersih. Setelah mendapatkan perahu, mereka lalu memesan makanan dan arak yang diantar ke perahu oleh pelayan restoran dibantu oleh kakek pemilik perahu. Tak lama kemudian, perahu itu pun didayung perlahan oleh kakek tukang perahu sedangkan Sui Cin dan Kui Hong makan minum di kepala perahu yang sengaja didayung menuju ke barat, menyongsong matahari yang sedang tenggelam. Bukan main indahnya pemandangan itu. Matahari yang condong ke barat itu membakar langit di barat dan bayangannya di air yang tenang dan jernih sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan sekali. Gembira hati ibu dan anak ini makan minum sambil melihat pemandangan indah itu, dan banyak pula perahu-perahu pesiar yang hilir mudik di permukaan telaga yang teramat luas. Terdengar pula suara musik dipukul orang, ada pula gadis-gadis penyanyi yang bermain yangkim dan suling, bernyanyi menghibur hati para tuan muda yang bersenang-senang dan bermabok-mabokan di atas perahu besar. Sui Cin dan Kui Hong tidak senang melihat lagak para kongcu yang bersenang di atas perahu bersama gadis-gadis penyanyi itu, lalu menyuruh tukang perahu untuk mendayung perahu itu menjauh, mencari tempat yang ramai. Dari jauh nampak perahu-perahu pelesir yang di cat indah itu seperti binatang-binatang aneh yang meluncur berenang di permukaan air. Hanya ada satu dua bua.h perahu yang kadang-kadang bersimpangan jalan dengan perahu ibu dan anak itu yang masih belum selesai makan minum dengan sangat asyiknya karena mereka tidak tergesa-gesa. Tiba-tiba terdengar suara merdu dari tiupan suling yang diiringi suara sentilan yang-kim (semacam siter). Di tempat yang sunyi itu, jauh dari perahu-perahu lain yang bising, suara ini terdengar amat merdu, menambah keindahan pemandangan senja hari itu. Petikan yang-kim yang mengiringi tiupan suling itu sungguh amat indah dan paduan suara itu demikian tepat dan serasi sehingga merupakan musik yang seolah-olah memberi penghormatan dan mengiringkan Sang Raja Hari yang sedang mengundurkan diri di istana barat. Ibu dan anak itu tertarik dan menoleh. Ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu kecil sederhana bercat merah yang meluncur perlahan dari arah kiri ke arah mereka. Perahu itu meluncur tenang dan ternyata digerakkan oleh layar kecil yang terpasang di atas perahu, dibiarkan meluncur ke mana pun arahnya karena penumpangnya hanya seorang saja dan orang ini pun tidak mengemudikan perahu karena dialah yang sedang asyik membunyikan musik itu. Akan tetapi, seorang saja memainkan paduan musik suling dan yang-kim, demikian indahnya pula, sungguh sukar untuk dipercaya! "Dekati perahu itu …." kata Kui Hong kepada kakek tukang perahu karena ia tertarik dan gembira, juga Sui Cin mengangguk setuju. Akan tetapi kakek itu mengerutkan alisnya, bahkan menggeleng kepala. "Tidak boleh terlalu dekat, Toanio dan Siocia (Nyonya Besar dan Nona)." "Eh, memangnya kenapa?" tanya Kui Hong dan Sui Cin juga memandang heran. "Saya adalah tukang perahu yang setiap hari bekerja di sini dan segala peristiwa yang terjadi di telaga ini saya ketahui, Nona. Sudah kurang lebih dua minggu perahu kecil itu muncul dan orang-orang tidak berani mengganggunya, karena pada hari pertama, ada perahu besar mengganggu dan perahu itu langsung saja dibalikkan sehingga tenggelam oleh penumpang perahu yang bermain suling dan yang-kim itu!" Tentu saja Sui Cin dan Kul Hong tertarik sekali mendengar berita yang aneh itu. "Jahat sekali dia! Siapa sih orang itu?" tanya Kui Hong, mencoba untuk memandang orang yang duduk di dalam perahu kecil itu, akan tetapi karena jarak di antara perahunya dan perahu itu masih agak jauh dan cuaca sudah mulai remang-remang, ia tidak mampu melihat jelas. Hanya kelihatan seorang laki-lakl yang bertubuh sedang duduk menunduk di perahu itu, memangku sebuah yang-kim dan memegang sebuah suling. Karena dia memegang suling itu dengan tangan kirinya, agaknya dia meniup suling dan memainkan suling itu dengan tangan kirinya saja, sedangkan tangan kanannya dipergunakan untuk memainkan senar-senar yang-kim yang berada di atas pangkuannya. "Saya tidak tabu, Nona. Tak seorangpun tahu siapa dia. Akan tetapi semua tukang perahu tidak berani mendekatinya. Kalau dia tidak diganggu, dia pun tidak pernah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, bahkan menyenangkan dengan permainan suling dan yang-kimnya yang luar biasa. Merdu, bukan?" "Bagaimana dia menggulingkan perahu besar?" Sui Cin yang tertarik, bertanya. Kakek itu menggelengkan kepala. "Siapa mengerti, Toanio? Tahu-tahu perahu itu terbalik dan orang itu berhenti meniup suling dan memainkan yang-kim. Setelah perahu besar itu terbalik, barulah dia main musik lagi dan perahu kecilnya meluncur pergi." "Apa yang telah dilakukan oleh perahu besar itu sehingga dia terganggu dan marah?" Sui Cin bertanya lagi, semakin tertarik hatinya. "Perahu besar itu hanya lewat terlalu dekat sehingga ada air memercik membasahi pakaian dan yang-kimnya, dan para penghuni perahu besar mentertawakannya." jawab tukang perahu yang menghentikan dayungnya karena tidak mau datang terlalu dekat. "Sombong benar orang itu, ingin aku melihat bagaimana sih macam orangnya. Paman tua, dekatkan perahu kita dengan perahunya!" kata Kui Hong yang sudah merasa tertarik dan penasaran sekali. Sui Cin juga tertarik, karena menduga bahwa orang dapat bermain suling dan yang-kim sekaligus menjadi paduan suara yang amat serasi, dan yang berwatak aneh seperti itu menggulingkan perahu besar yang airnya memercik kepadanya, tentu merupakan orang yang luar biasa. Apalagi kalau dipikir bahwa menggulingkan perahu bukan pekerjaan yang mudah. "Dekatkan perahu kita." katanya pula kepada tukang perahu. "Tidak, Toanio, Siocia. Saya tidak berani. Bagaimana kalau nanti perahuku digulingkan pula? Celaka, saya akan menderita rugi." Dia lalu memandang kepada mereka. "Dan belum tentu Ji-wi (Anda Berdua) dapat menyelamatkan diri dan berenang seperti para penumpang perahu besar itu. Bagaimana kalau Ji-wi sampai tenggelam?" "Aku akan mengganti kerugianmu kalau terjadi demikian." kata Sui Cin sambil tersenyum. "Saya tidak berani, Toanio." "Heh, tukang perahu cerewet! Kalau engkau mendekatkan perahumu ke sana, belum tentu dia akan menggulingkan perahumu, akan tetapi kalau engkau tidak mau dan masih banyak cerewet, yang jelas sekarang juga aku akan membikin perahumu terguling!" bentak Kui Hong yang gemas sekali melihat tukang perahu itu ketakutan dan menolak permintaan mereka. Mata tukang perahu itu terbelalak kaget dan mukanya berubah pucat. Celaka, pikirnya, kiranya dua orang perempuan yang menumpang di perahunya ini sama gilanya dengan laki-laki peniup suling itu! Akan tetapi karena yang mengancamnya hanya seorang gadis remaja, tentu saja dia tidak begitu takut. Agaknya Kui Hong melihat pula hal ini, maka ia pun menggerakkan jari-jari tangan kirinya, menusuk pinggiran perahu yang terbuat dari papan tebal itu. "Cusss …….!" Tiga buah jari yang kecil mungil itu menusuk masuk ke dalam kayu yang keras itu seolah-olah papan tebal itu hanya merupakan tahu yang lunak saja. "Kau ingin aku membikin lubang-lubang di dasar perahumu?" Kui Hong membentak. Mata kakek itu semakin melebar dan mukanya semakin pucat. "Tidak... tidak, Siocia, baiklah... saya... saya mendekatkan perahu …." katanya dengan suara gemetar. Hampir dia tidak dapat percaya melihat betapa tiga buah jari tangan yang kecil mungil dan halus itu dapat menusuk dan amblas ke papan perahu seperti tiga batang jari baja memasuki agar-agar saja! Karena maklum bahwa ancaman di dalam perahunya lebih berbahaya daripada ancaman perahu kecil pemain suling itu, dia pun mendayung perahunya perlahan-lahan mendekati perahu kecil dengan hati berdebar ketakutan. Dengan hati-hati dia mendekatkan perahu, menjaga agar dayungnya tidak membuat air terpercik terlalu keras dan agar perahunya tidak sampai menubruk perahu kecil di depan itu. Kini perahu kecil itu tidak meluncur lagl karena rupa-rupanya angin sudah berhenti bertiup dan karena tidak didayung atau dikemudikan, perahu kecil itu hanya bergoyang lirih kadang-kadang menghadap ke kanan, kadang-kadang ke kiri seperti orang mabuk. Akan tetapi orang yang duduk di kepala perahu itu agaknya tidak mempedulikan hal ini, masih terus bermain yang-kim yang mengiringi tiupan sulingnya. Dengan tangan kirinya, menyangga suling dengan ibu jari sedangkan jari-jari yang lain mempermainkan lubang-lubang suling, seorang laki-laki meniup sulingnya itu dengan suara merdu, melengking-lengking tinggi rendah dengan amat indahnya, dan suara ini diiringi petikan yang-kim yang dilakukan dengan jari-jari tangan kanannya. Biarpun hanya memainkan setiap alat musik dengan satu tangan saja, namun jari-jari tangan itu bermain dengan amat lincahnya dan suara yang berpadu itu amat merdunya. Orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, dan karena mukanya menunduk, apalagi ditutup oleh sebuah caping lebar yang berada di atas kepalanya, maka ibu dan anak itu tidak dapat melihat dengan jelas. Sui Cin teringat akan seorang tokoh dunia persilatan terkenal yang masih dilihatnya belasan tahun yang lalu, yaitu yang berjuluk Shantung Lo-kiam (Pedang Tua dari Shantung), seorang pendekar dari Shantung, merupakan seorang di antara Sam Lo-eng (Tiga Pendekar Tua) yang terkenal sebagai seorang ahli pedang dan seorang sastrawan yang pandai pula bermain yang-kim. Akan tetapi, belasan tahun yang lalu, Shantung Lo-kiam sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan juga belum pernah ia mendengar bahwa kakek itu juga pandai meniup suling. Apalagi dengan cara memainkan dua buah alat musik seperti orang ini. Agaknya bukan Shantung Lo-kiam, pikirnya. Lalu siapakah orang ini? Tiba-tiba suara suling dan yang-kim terhenti dan laki-laki bercaping itu lalu mengangkat muka, memandang ke angkasa dan dia pun bernyanyi, suaranya cukup merdu dan lantang nyanyiannya kini diiringi suara yang-kim yang ramai karena dimainkan oleh sepuluh jari tangannya. “Minum arak meniup suling memetik yang-kim seorang diri di atas perahu yang meluncur tanpa kemudi di permukaan Telaga Tung-ting yang amat luas perahuku meluncur dengan bebas melalui jalur yang djciptakan mata-hari jalur emas sang surya di senjahari hidup begini bahagia dan indah perlu apa segala keluh kesah?” Mendengar nyanyian yang seolah-olah merupakan nasihat dan hiburan bagi hati mereka yang memang sedang dirundung malang itu, tentu saja ibu dan anak ini saling pandang dan Sui Cin memuji, "Bagus sekali sajak itu …..!" Kui Hong sejak tadi juga mengamati orang itu. Setelah kini menengadah, ia dapat melihat wajahnya dan ia tercengang. Seraut wajah yang amat tampan! Wajah seorang pemuda yang agaknya hanya beberapa tahun saja lebih tua darinya. Dan nyanyian yang merdu itu, kata-kata nyanyian yahg demikian indahnya. Kui Hong memandang seperti terpesona, setuju atas pujlan ibunya. Memang indah sajak itu, indah pula suaranya. Laki-laki itu tadinya seolah-olah hanya merasa bahwa dlrinya sendirian di tempat luas itu dan agaknya terkejut mendengar pujian orang. Dia seperti baru sadar dan cepat memandang, sinar matanya mencorong mengejutkan hati Sui Cin. Sejenak pemuda itu menatap wajah Sui Cin, kemudian mengalihkan pandang matanya dan memandang ktpada Kui Hong penuh selidik. Melihat orang memandang kepadanya demikian lama, Kui Hong mendongkol sekali. "Apakah kau hendak menggulingkan perahu kami? Coba lakukan, hendak kulihat apakah kau dapat melakukan itu!" tantangnya. Sui Cin terkejutakan tetapi tidak sempat mencegah puterinya yang menantang itu. Mendengar tantangan ini, sepasang mata yang mencorong itu kini ditujukan kepada tukang perahu seolah-olah orang itu mengerti bahwa tentu tukang perahu itu yang telah bercerita bahwa dia pernah menggulingkan perahu. Melihat betapa mata yang mencorong itu menatap kepadanya, tukang perahu menjadi ketakutan dan dia pun menjura di tempatnya. "Mohon maaf, kedua orang penumpang saya ini yang memaksa saya untuk mendekat, maafkan saya ….." Melihat betapa tukang perahu itu demikian penakut, Kui Hong menjadi semakin mendongkol. "Huh, memang benar kami yang memaksamu mendekat, kalau engkau demikian pengecut tak usah engkau ikut campur. Memangnya danau atau telaga ini miliknya, maka kita tidak boleh ke sana ke sini sesuka hati?" Kini sepasang mata itu menjadi ramah, dan wajah yang tampan itu berseri ketika dia berkata. "Paman tua tukang perahu, aku bukan tukang makan orang, kenapa engkau begitu ketakutan?" Kemudian dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Sui Cin dan Kui Hong. "Bibi yang terhormat dan adik yang manis, aku juga bukan tukang menggulingkan perahu. Tentu saja engkau boleh pergi ke mana saja dengan perahumu, siapa yang melarang?" Setelah berkata demikian, laki-laki itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya menarik lepas tali layar dan meluncurlah perahu kecil itu dengan cepat meninggalkan tempat itu. "Siapa sudi kau manis-manis?" bentak Kui Hong akan tetapi ibunya sudah memegang lengannya. Ketika gadis itu memandang, ia melihat ibunya tersenyum geli. "Kui Hong, engkau ini kenapakah. Orang itu bersikap sopan dan baik, kenapa kau marah-marah? Wah, jangan-jangan engkau kemasukan setan penunggu telaga ini!" kelakar ibunya. "Mata orang itu seperti mata maling, membikin hatiku mendongkol. Ibu!" kata Kui Hong yang teringat bahwa sikapnya tadi memang agak keterlaluan. Ia telah menantang digulingkan perahunya, kemudian ia marah- arah ketika disebut adik manis. Bagaimanapun juga, harus diakuinya babwa sikap pemuda itu sopan dan manis budi. "Memang telaga ini dihuni oleh mahluk-mahluk halus yang gawat." tiba-tiba tukang perahu itu menanggapi mendengar kelakar nyonya itu. "Tadinya kami menganggap pemuda peniup suling itu juga mahluk halus. Maka harap Nona tidak main-main di sini. Entah sudah berapa banyak pelancong yang tewas di telaga ini karena gangguan mahluk halus." Tadinya Kui Hong hendak membentak orang yang lancang mencampuri percakapan itu, akan tetapi mendengar kalimat terakhir, kembali ia tertarik. "Kenapa banyak orang pelancong tewas di telaga ini? Diganggu mahluk halus katamu?" Diam-diam Kui Hong melirik ke kanan kiri. Cuaca sudah menjadi agak gelap dan ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin. Bagaimanapun juga, Kui Hong hidup di jaman di mana banyak orang masih percaya penuh kepada segala macam tahyul dan dongeng-dongeng tentang setan, iblis dan siluman. Semua itu merupakan hal-hal yang tidak dimengertinya dan menurut dongeng, mahluk halus tidak dapat dilawan dengan ilmu silat yang bagaimana tinggi pun karena mahluk halus pandai menghilang. Tentu saja ia merasa takut begitu ada orang bercerita tentang mahluk halus, apalagi di telaga seperti itu di mana ia merasa agak lemah dan tidak leluasa seperti kalau ia menginjak tanah keras. Agaknya tukang perahu nampak senang. Bagaimanapun juga, dia memperlihatkan bukti bahwa dia lebih tahu tentang telaga itu, dan lebih tahu tentang mahluk halus dan melihat gadis ini agaknya takut-takut, dia merasa lebih menang! "Telaga ini mengandung banyak keanehan, Nona." katanya bercerita. "Biarpun nampaknya tenang, akan tetapi orang bilang bahwa di bagian tertentu, telaga ini demikian dalamnya sehingga tak seorang pun manusia mampu mengukurnya. Kata orang lebih dari seratus tingginya pohon cemara, dan bahkan ada yang bilang bahwa ada bagian di mana terdapat terowongan yang menghubungkan air telaga ini dengan lautan di timur! Dan kadang-kadang, seperti lautan saja, telaga ini akan mengamuk, airnya bergelombang besar dan kalau sudah begitu, banyak perahu tenggelam dan banyak orang binasa. Juga, banyak pula binatang-binatang aneh seperti naga dan laln-lain bermunculan di telaga ini." "Ihhh ……!" Kui Hong kembali melirik ke kanan kiri. “Tidak aneh kalau telaga ini menjadi gawat dan banyak dihuni setan, karena banyak roh penasaran berkeliaran di sini." "Kenapa begitu?" Kui Hong mendesak, dan diam-diam ia mengisar duduknya mendekati Ibunya. "Telaga ini selain menjadi tempat hiburan para pelancong, juga terkenal sebagai tempat orang membunuh diri, Nona." "Bunuh diri? Mengapa ….?" "Aih, banyak sekali sebabnya, Nona. Patah hati, karena ketakutan, karena malu dan sebagalnya. Sebagian besar wanita yang membunuh diri di sini." "Maksudku, kenapa di sini?" "Karena tempat ini amat dalam, sekali terjun, mereka yang tak dapat berenang tentu akan tewas. Dan airnya dingin sekali, juga amat dalam. Orang yang sudah tenggelam, sukar untuk diselamatkan orang lain. Hanya mereka yang pandai renang sajalah yang tidak mati kalau sampai terlempar ke air. Baru kemarin dulu ada sepasang orang muda membunuh diri di sini. Aih, kasihan sekali, masih muda remaja, seusia Nona ….." Melihat puterinya nampak ketakutan, Sui Ceng cepat berkata. "Sudahlah, jangan bicara tentang hal yang bukan-bukan. Antarkan kami ke tepi, kami hendak mengaso, malam telah mulai tiba." "Baik, Toanio dan maafkan saya.” Tukang perahu itu girang sekali dan cepat mendayung perahunya kembali ke tepi. Senang sekali kalau sudah terbebas dari dua orang wanita yang berani ini, yang tadi membuat dia ketakutan setengah mati karena diharuskan mendekati perahu kecil Si Peniup Suling. Masih heran dia mengapa laki-laki peniup suling itu tidak menggulingkan perahunya tadi, atau tidak membunuh nona yang menantangnya, bahkan bersikap ramah dan sopan. Bahkan Si Peniup Suling itu kelihatan takut. Ya, takut! Aih, jangan-jangan... kakek itu menjadi pucat mukanya sambi1 melirik ke arah Sui Cin dan Kui Hong. Ibu dan anak yang demikian cantik, bahkan yang lebih tua itu tidak patut menjadi ibu, cantik halus akan tetapi berani menantang Si Peniup Suling dan bertanya-tanya kepadanya tentang mahluk halus! Ih! Siapa tahu dua orang wanita ini malah mahluk halus yang sengaja menyamar dan mempermainkan dia. Setelah tiba di tepi, Sui Cin dan Kui Hong meloncat ke darat, membayar tukang perahu itu dan pergi. Tukang perahu sejenak melongo sambi1 memandang uang yang berada di tangannya, setengah menduga bahwa uang itu tentu akan menjadi batu kerikil atau rumput seperti yang sering dia dengar dongeng orang-orang tentang pembayaran setan yang menyamar sebagai manusia. Dan mulai keesokan harinya, di antara tukang-tukang perahu di situ, tentu akan muncul dongeng baru tentang siluman yang menyamar sebagai dua orang wanita cantik menyewa perahu kakek itu, siluman yang berani menantang Si Tukang Suling yang ditakuti itu! Ketika Sui Cin dan Kui Hong berjalan menyusuri telaga, tiba-tiba mereka lihat ribut-ribut di tepi sebelah depan, di mana sebuah perahu pelesir yang besar berlabuh. Mereka segera menghampiri tempat itu dan melihat betapa ada enam orang lakl-laki tinggi besar yang berpakaian tukang pukul rebah malang melintang dan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun berpakaian mewah nampak berlutut minta ampun kepada seseorang, dan tak jauh dari situ nampak seorang wanita yang melihat pakalannya tentu seorang gadls penyanyi, menangis. Ketika Kui Hong dan Sui Cin memandang, ternyata kongcu berpakaian mewah itu berlutut sambil minta ampun kepada seorang pemuda yang bukan lain adalah tukang suling tadi! Kini sulingnya terselip di pinggang dan tangannya memanggul yang-kim, laki-laki itu berdiri menundukkan muka memandang kepada kongcu yang minta ampun. "Hemm, minta ampun? Orang macam engkau ini sepatutnya dilempar ke telaga biar dimakan ikan! Menggunakan kedudukan dan harta untuk menghina orang lain saja kerjanya! Boleh, aku beri ampun akan tetapi engkau harus mengganti kerugian kepada nona itu sebanyak seratus tael perak, dan mengantarkan ia kembali ke tempat tinggalnya dan jangan sekali-kali engkau berani mengganggunya. Kalau perintah ini tidak kaulaksanakan, besok aku akan datang mengambil kepalamu!" "Baik, Tai-hiap (pendekar), baik eng-hiong (orang gagah), baiklah, akan saya penuhi perintah Taihiap ……" Kongcu itu meratap. "Laksanakan!" Bentak pemuda itu dan sekali kakinya menendang, tubuh kongcu itu terguling dan sekali berkelebat, pemuda itu pun lenyap di antara banyak orang yang merubung di situ. Kongcu itu meratap kesakitan, akan tetapi lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengantar gadis penyanyi yang menangis itu setelah memberinya uang sebanyak seratus tael perak! Tentu saja Sui Cin dan Kui Hong tertarik sekali. Mereka mendekati seorang kakek yang berada di situ dan bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Kakek itu memandang kepada Sui Cin dan puterinya. "Agaknya Ji-wi bukan orang sini, ya?" "Benar, Lopek, kami pelancong. Apakah yang terjadi tadi?" "Mari kita bicara agak jauh di sana." kata kakek itu dan mereka pun berjalan menjauhi tempat itu. Setelah jauh dan kiranya tidak terdengar orang lain, kakek itu bercerita. "Kongcu itu adalah Lui-kongcu, seorang kongcu putera jaksa di kota ini yang mata keranjang dan hampir setiap tiga hari sekali pelesir di sini. Dia tidak dapat membedakan mana perempuan yang mau dibegitukan dan mana tidak, karena terlalu mengandalkan kedudukan dan uangnya. Gadis penyanyi tadi bukan pelacur, akan tetapi dia hendak memaksa gadis itu ikut bersamanya dan melayaninya. Gadis itu tidak mau dan menangis, lalu muncul pemuda peniup suling tadi. Ter jadi perkelahian dan seperti Ji-wi lihat, enam orang tukang pukul kongcu itu dihajar sampai babak belur dan kongcu itu sendiri dipaksa membayar seratus tael perak. Hemm, memang menyenangkan sekali kami kaum kecil ada yang membela." "Lopek, siapakah sebenarnya pemuda peniup suling itu tadi?" Sui Cin kembali bertanya. "Jangan tanya padaku. Bagaimana kami bisa tahu? Tempo hari dia muncul dan menggulingkan perahu kongcu hidung belang yang kurang ajar, kini dia muncul begitu saja menolong gadis penyanyi dan menghilang begitu saja. Aku tidak akan merasa heran kalau dia ….." kakek itu tidak melanjutkan, melainkan menudingkan telunjuknya ke arah telaga dengan pandang mata penuh arti. "Kaumaksudkan ……. mahluk halus penunggu telaga?" tanya Sui Cin. "Ssst ....." kakek itu berbisik, "Nyonya sudah tahu, tak perlu dibicarakan lagi.... " Dan dia pun pergi dengan tergesa-gesa. Hampir Sui Cin tertawa bergelak melihat sikap dan bicaranya, akan tetapi karena Kui Hong kelihatan ketakutan dan gadis itu sudah memandang ke kanan kiri, ia pun diam saja. "Mari kita kembali ke penginapan." katanya dan Kui Hong hanya mengangguk. Di dalam perjalanan menuju ke penginapan yang berada tak jauh dari telaga, di tepi sebelah sana, Sui Cin berkata, "Takkusangka kiranya pemuda itu adalah seorang pendekar pembela kaum lemah. Sungguh mengagumkan sekali." "Hemm, belum tentu, Ibu." "Belum tentu bagaimana?" "Siapa tahu dia itu... dia itu ...." Kui Hong tidak melanjutkan melainkan menuding ke telaga seperti yang dilakukan oleh kakek yang menceritakan mereka tentang perkelahian tadi sehingga Sui Cin tertawa. Setelah mereka tiba di dalam kamar penginapan Kui Hong masih nampak takut dan ngeri. "Ibu, katakanlah, sebetulnya setan dan siluman itu ada ataukah tidak?" "Bagaimana aku tahu?" jawab ibunya dengan suara wajar, bukan bergurau lagi. "Kenapa Ibu tidak tahu?" "Anakku yang baik, kalau Ibu mengatakan tidak tahu, itu berarti Ibu jujur dan tidak mengada-ada. Memang Ibu tidak tahu, karena Ibu sendiri belum pernah bertemu dengan setan, walaupun sejak muda dahulu, Ibu ingin sekali dapat bertemu dengan setan." "Ihh! Ibu ini aneh-aneh saja! Ingin bertemu dengan setan ?" "Benar, kalau dapat bertemu kan dapat kita ajak dia bercakap-cakap menceritakan hal-hal yang belum pernah kita ketahui, tentang dunia setan, tentang kehidupannya dan lain-lain. Menarik sekali, bukan? Dan kalau Ibu sudah bercakap-cakap dengan setan sendiri, barulah aku dapat menjawab pertanyaan setan itu ada atau tidak. Selama ini yang kuketahui tentang setan hanyalah melalui dongeng dalam buku atau mendengarkan cerita orang. Dan yang mendongeng kepadaku itu pun tentu mendengar pula dari lain orang, dari mulut ke mulut. Belum tentu di antara seribu orang yang mendongeng tentang setan itu pernah melihat atau bertemu sendiri dengan setan yang sesungguhnya." "Kalau begitu, apakah ada setan yang palsu? Dan mengapa banyak orang mengatakan mereka pernah melihat setan, bahkan tempat ini angker tempat itu gawat menjadi tempat yang dihuni mahluk halus?" “Tentu saja, karena yang biasa dilihat orang-orang itu adalah penglihatan khayal sendiri yang timbul dari rasa takut. Orang yang takut tentu akan dapat melihat benda-benda aneh dan menakutkan, yang sesungguhnya hanya benda biasa saja. Sebatang pohon akan nampak seperti setan raksasa di waktu malam bagi orang yang sudah ketakutan akan setan. Kalau batin sudah takut, sudah kacau balau, tentu saja panca indera juga menjadi lemah dan kacau. Setan-setan yang nampak karena khayal inilah yang ku maksudkan bukan mahluk halus yang sesungguhnya, melainkan hanya pantulan dari setan yang sudah digambarkan di dalam benak sendiri. Rasa takut seperti itu adalah suatu kebodohan, bukan? Takut akan sesuatu yang sama sekali tidak kita ketahui! Kenapa mesti takut? Kepercayaan akan setan membuat orang menjadi takut dan tahyul!" "Tapi, apakah Ibu sendiri tidak percaya akan adanya setan?" Ceng Sui Cin tersenyum. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak tahu apakah setan itu ada ataukah tidak. Kalau kukatakan ada, buktinya aku belum pernah bertemu dengannya. KaJau kukatakan tidak ada, bagaimana mungkin kalau aku tidak tahu akan keadaannya? Siapa tahu dia ada namun tidak nampak? Jadi, lebih tepat kalau kukatakan tidak tahu saJa." "Tapi Ibu tidak takut?" . Ibunya menggeleng kepala. "Tentu saja tidak. Kenapa mesti takut kepada setan yang belum pernah kutemui?" "Kabarnya, setan itu amat jahat. Bukankah orang-orang jahat dinamakan setan, iblis dan siluman?" "Yang jahat adalah manusianya, ini jelas. Apakah setan itu jahat atau tidak, aku pun tidak tahu. Mungkin saja orang jahat itu digerakkan setan, akan tetapi yang nampak adalah orang itu sendiri. Orang yang jahat inilah yang harus kita hadapi dengan hati-hati, mereka inilah yang berbahaya, bukan setan-setan yang tidak nampak. Sudahlah, Kui Hong, perlu apa kita bicara tentang setan-setan? Yang lebih menarik bagiku bukan cerita dan dongeng tukang perahu tentang setan, melainkan pemuda itu sendiri. Dia amat menarik hati. Sudah kusangka bahwa dia bukan orang biasa. Kepandaiannya memainkan musik, membuat sajak yang indah, kemudian cerita tentang dia menggulingkan perahu para kongcu kurang ajar. Ternyata memang benar dan kita melihat sendiri betapa dia membela gadis penyanyi itu dari tekanan seorang kongcu hidung belang." "Sayang dia tidak menanggapi ketika kutantang. Aku ingin mencoba sampai di mana kelihaiannya. " kata Kui Hong penasaran. "Hushhh, jangan begitu, Kui Hong! Kita harus selalu melihat dan mempertimbangkan baik-baik dengan siapa kita berhadapan. Bukan asal ada orang pandai ilmu silat lalu kita tantang untuk mengadu ilmu! Bukan itu tujuan mempelajari ilmu silat, anakku. Kalau kita berhadapan dengan orang jahat dan kuat yang melakukan penindasan terhadap kaum lemah, boleh kita turun tangan menentangnya seperti yang dilakukan pemuda peniup suling itu. Akan tetapi kalau bertemu dengan seorang pendekar, tidak sepantasnya kalau kita menantangnya. Kecuali tentu saja kalau kita ditantang untuk mengadakan pi-bu (adu silat) yang berdasarkan persahabatan, bukan perkelahian." "Aku juga tidak memusuhinya, Ibu, setelah tahu bahwa dia seorang pendekar. Hanya ingin menguji sampai di mana kepandaiannya." Mereka tiba di kamar dan malam itu Kui Hong agak gelisah tak dapat tidur karena pikirannya masih membayangkan setan-setan, juga kadang-kadang nampak wajah pemuda peniup suling itu yang membuatnya penasaran. Tiba-tiba telinganya yang terlatih dan tajam itu mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng, seperti suara seekor kucing yang berjalan dengan lembut. Sebagai seorang ahli silat tinggi, Kui Hong merasa curiga dan ia pun sudah siap siaga, dengan seluruh urat syaraf menegang. Ketika ia melihat bayangan berkelebat di luar jendela kamar yang gelap itu, bulu tengkuknya tiba-tiba meremang karena ia teringat akan setan-setan. Jangan-jangan iblis yang lewat di depan jendela tadi, gerakannya demikian cepat dan bayangan itu pun makin lama semakin membesar! Kalau menghadapi lawan manusia, betapa pun lihainya, Cia Kui Hong takkan mundur setapak pun. Akan tetapi kalau harus melawan siluman, hliihhh, belum apa-apa bulu tengkuknya sudah meremang, tengkuknya terasa dingin dan jantungnya berdebar, tubuhnya agak gemetar! Matanya terbelalak memandang bayangan yang makin membesar di luar jendela. Dari kertas yang menempel jendela, dapat nampak bayangan itu, bayangan seorang lak-laki tentu karena tubuhnya nampak tegap, bukan seperti tubuh wanita walaupun bayangan itu tentu saja tidak nampak jelas. Karena rasa takut akan bayangan yang disangkanya iblis itu, yang muncul dari dalam pikiran Kui Hong sendiri karena sarat dengan gambaran-gambaran tentang iblis, Kui Hong seketika kehilangan kegagahannya dan ia pun menyentuh kaki ibunya. "Ibu, Ibu, bangunlah ….." bisiknya. Sui Cin adalah seorang pendekar wanita. Ketidakwajaran sedikit saja sudah cukup untuk membuatnya tergugah dari tidurnya dan begitu sadar, ia pun sudah bangkit duduk dengan cepat. "Ada apa?" bisiknya kembali. "Lihat …..!" Kui Hong menunjuk ke arah jendela. "Srttt... srttt ……!!" Nampak sinar merah kecil meluncur dari tangan pendekar ini ke arah jendela dan ternyata ia telah menyerang bayangan itu dengan jarum-jarum merahnya yang amat lihai. Jarum- jarum keell Itu meluncur dan menembus kain dan kertas jendela, menyerang langsung bayangan yang berdiri diluar jendela, bayangan yang nampak sebentar besar sebentar kecil. "Hemm ….!" Terdengar seruan kaget dan bayangan itu pun lenyap! Sekali melompat, Sui Cin telah berada di dekat jendela, membukanya dan meloncat keluar, dikuti oleh Kui Hong. Akan tetapi tidak nampak seorang pun di luar, dan lampu gantung yang berada di ruangan luar kamar itu bergoyang-goyang. Melihat betapa orang yang diserang ibunya itu selain dapat menyelamatkan diri, juga menghilang demlklan cepatnya, kembali Kui Hong bergidik. "Dia tentu iblis, Ibu ….." katanya dan suaranya gemetar. Sui Cin mengerutkan alisnya. Percuma kalau mengejar atau mencoba untuk mencari orang tadi karena tentu sudah bersembunyi dan menghilang dan kalau ia mengejar, tentu hanya akan menimbulkan keributan yang tidak menguntungkan saja. Ia lalu mendekati jendela dan meneliti ke bawah. Di bawah sinar lampu gantung, ia melihat jelas bekas sepatu di bawah jendela, menginjak lantai yang berdebu. "Dia bukan setan, melainkan manusia biasa. Lihat telapak sepatunya di sini." katanya. Kui Hong juga memeriksa tapak kaki itu. "Aih, betapa bodohku, Ibu. Kalau aku tadi tidak takut setengah mati dan langsung menerjang keluar, mungkin aku dapat menangkapnya. Akan tetapi... hiiih, kenapa bayangannya dapat membesar mengecil seperti itu? Kalau bukan setan ....." Sui Cin tersenyum. "Permainan sinar lampu, Kui Hong. Masuklah dan kaulihat bayanganku di balik jendela." Kui Hong melompat masuk kamar, menutupkan daun jendela dan ketika ia melihat, benar saja, bayangan ibunya menjadi kecil, kemudian membesar, persis seperti bayangan orang tadi. Ibunya masuk. "Mengertikah engkau? Lampu itu tergantung di sana. Kalau orang itu mundur dari jendela mendekati arah lampu, tentu saja bayangannya menjadi besar dan kalau dia menjauhi lampu, tnenghampiri jendela, bayangannya mengecil." Ingin rasanya Kui Hong menampar kepalanya sendiri. "Betapa tololnya aku, Ibu! Sungguh mati, tadi kusangka dia seorang iblis. Untung aku tidak mengompol saking seram dan takutku!" Gadis itu cekikikan teringat akan ulahnya sendiri. "Nah, itulah. Jangan mudah membiarkan batin dicengkeram rasa takut! Takut timbul karena keraguan dan ketidakmengertian. Kalau ada sesuatu, selidiki saja dulu agar tidak menimbulkan keraguan dan ketakutan. Rasa takut memang membuat batin menjadi tumpul dan orang dapat melakukan hal yang lucu-lucu, aneh-aneh dan tolol sekali." "Tapi, siapakah orang itu, Ibu?" "Aku tidak tahu. Jelas seorang laki-laki, dan tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup baik. Kalau tidak, tentu dia sudah terkena serangan jarum-jarumku tadi. Mungkin seorang pencuri biasa yang memiliki sedikit kepandaian. Serangan jarum itu pun tidak terlalu berbahaya karena sudah menembus kain dan kertas jendela, dan aku pun tidak bermaksud mencelakai orang yang belum diketahui jelas kesalahannya." "Akan tetapi dia telah mengintai kamar ini!" "Mungkin, akan tetapi siapa tahu dia kebetulan hanya lewat saja? Sudahlah, sebaiknya mulai sekarang kita berhati-hati dan kau tidurlah." Malam itu terlewat tanpa suatu gangguan lagi dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, mandi, sarapan pagi lalu berkemas karena mereka hendak melanjutkan perjalanan ke tenggara, menuju ke lautan selatan di mana terdapat Pulau Teratai Merah, tempat tinggal Pendekar Sadis dan isterinya, yaitu ayah dan ibu Ceng Sui Cin. Karena puterinya ingin melakukan perjalanan secepatnya, Sui Cin lalu membeli dua ekor kuda di tempat itu dan mereka lalu menunggang kuda mereka membalap menuju ke selatan. Menjelang senja, mereka sudah tiba di luar kota Siang-tan dan di jalan yang sunyi ini, di luar sebuah rawa, tiba-tiba bermunculan belasan orang laki-laki menghadang di tengah jalan dan ada pula yang memasang tali melintang setinggi dada. Melihat ini, terpaksa Sui Cin dan puterinya menahan kendali kuda mereka karena kalau mereka menerjang terus, kuda mereka akan tersangkut tali dan dapat menyebabkan kuda mereka terjungkal. "Hemm, mau apa kalian menghadang perjalanan kami?" bentak Kui Hong marah dan ia sudah meloncat turun, membiarkan kudanya terlepas dan ia menghampiri mereka yang menghadang di tengah jalan. Dua orang itu memandang kepada dua orang wanita ini dan mereka pun terbelalak penuh kagum. "Ha-ha, ada dua ekor domba mulus dan gemuk memasuki perangkap. Kawan-kawan, malam ini kita berpesta pora sampai kenyang!" kata seorang di antara mereka. "Ha-ha-ha, dan mereka membawa dua ekor kuda yang bagus dan mahal." "Dan lihat pakaian mereka, lihat perhiasan yang berada di leher dan sanggul mereka!" “Dan dua buntalan besar itu banyak isinya!" Maklumlah Sui Cin dan Kui Hong bahwa mereka berhadapan dengan perampok! Khawatir kalau-kalau puterinya membunuh orang, Sui Cin juga melompat turun dan berkata. "Kui Hong, kau pegangi kendali dua ekor kuda kita. Biar aku menghadapi mereka, siapa tahu mereka mengerti akan bayangan semalam." Kui Hong merasa kecewa bahwa ia tidak boleh turun tangan sendiri menghajar perampok itu, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah ibunya. Ia lalu memegangi kendali dua ekor kuda agar tidak melarikan diri sambil melihat betapa dengan sikap tenang ibunya maju menghampiri orang-orang yang kasar itu. "Heh-heh, yang muda seperti bunga sedang mekar, yang lebih tua seperti buah yang sudah masak. Keduanya cantik menarik, heh-heh!" kata orang tinggi besar muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin perampok. "Kawan-kawan, tangkap mereka jangan sampai terluka, yang muda berikan aku, yang tua biar untuk kalian semua." Wajah Sui Cin sudah menjadi merah sekali karena marah, akan tetapi, dengan tenang ia maju terus. "Kalian ini orang-orang tak tahu malu, hendak merampok dua orang wanita yang sedang melakukan perjalanan. Apakah seorang di antara kalian semalam melakukan pengintaian di kamar hotel kami?" Mendengar pertanyaan ini, orang-orang itu saling pandang, lalu Si Tinggi Besar muka hitam tertawa, diikuti pula oleh anak buahnya. "Manis, kalau aku menglntai kamarmu semalam, apa kaukira aku sudah melepaskanmu pula hari ini? Ha-ha-ha!" "Plakk!" Tamparan tangan Sui Cin itu cepat bukan main, sampai tidak terlihat oleh kepala perampok itu. Demikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kiri itu sudah menampar pipi kanan Si Kepala Rampok yang merasa seperti disambar petir saja. “Auhhh ….!" Tubuhnya terpelanting dan dia pun roboh, memegangi pipi kanan dengan kedua tangan. Pipi itu telah menjadi biru dan bengkak, mulutnya berdarah karena selain bibir kanannya pecah, juga semua giginya di bagian kanan telah copot! Hebat bukan main tamparan Sui Cin itu yang merasa marah karena ia telah dihina dengan kata-kata yang kotor. Melihat kepala mereka dipukul roboh, sebelas orang perampok menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing, mengepung Sui Cin dan Kui Hong. Cadis ini berdiri tenang saja, masih memegangi kendali dua ekor kuda yang mulai nampak ketakutan karena sikap belasan orang itu. Si Kepala Perampok sudah bangkit lagi dan setelah kepalanya tidak pening lagi, dia pun mencabut goloknya. "Bedebah, tangkap mereka! Serahkan perempuan ini kepadaku dulu, akan kuhancurkan ia sampai minta-minta ampun kepadaku." Akan tetapi, dua belas orang itu bagaikan macan-macan ompong saja bagi Sui Cin. Tentu saja orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga dan kenekatan itu sama sekali bukan merupakan lawan yang tangsuh bagi Sui Cin. Siapa yang berani maju menyerangnya, tentu akan terpelanting terkena tamparan atau tendangan kakinya yang gerakannya amat cepat itu. Namun Sui Cin tidak mau membunuh orang dan tenaga yang dipergunakan dalam pukulan dan tendangan itu terbatas. Juga mereka yang menubruk ke arah Kui Hong kecelik. Dengan kedua kakinya, gadis ini menendang kanan kiri dan mereka yang terkena tendangan tentu roboh tersungkur. Selagi para perampok itu kacau balau karena pukulan Sui Cin dan tendangan ibu dan anak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hentikan semua itu!" Para perampok berhenti dan ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda yang datang menuntun seekor kuda putih, tiba-tiba saja mereka semua, dipimpin oleh Si Muka Hitam, menjatuhkan diri dengan muka berubah ketakutan. "Can Kongcu (Tuan Muda Can), harap ampunkan kami …." kepala perampok itu meratap sambil berkali-kali bersoja (memberi hormat dengan merangkap kedua tangan) kepada pemuda itu. Sui Cin dan Kui Hong juga memandang dan mereka terkejut ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda peniup suling yang mereka jumpai kemarin di Telaga Tung-ting! Mudah mengenal kembali pemuda ini, karena selain wajahnya yang tampan dan matanya yang mencorong itu mudah diingat, juga suling di ikat pinggangnya dan yang-kim di punggungnya mudah dikenal. Pemuda itu tidak mempedulikan para perampok yang berlutut mohon ampun padanya. Dia menoleh kepada Sui Cin dan Kui Hong dan agaknya baru dia mengenal lagi dua orang wanita ini. Cepat dia melepaskan kendali kuda yang dipegangnya dan menjura dengan sikap hormat kepada ibu dan anak itu. "Ah, kiranya Ji-wi yang diganggu oieh tikus-tikus kecil ini. Selamat bertemu kembali, Bibi yang terhormat dan Adik yang manis." Wajah Kui Hong menjadi merah dan ia mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda tampan itu, tidak nampak tanda bahwa pemuda itu main-main atau menggodanya atau berkurang ajar dengan sebutan adik manis tadi, maka ia pun tidak menjadi marah-marah. "Mereka ini berlutut kepadamu, apakah engkau ini kepala perampoknya?" dara yang lincah dan galak ini mengejek, dan kalau benar dugaannya itu, tentu akan diserangnya pemuda ini, karena kini ia tidak akan dipersalahkan ibunya. Kalau pemuda ini kepala perampok, tentu ia boleh menyerang dan bahkan merobohkannya, walaupun ibunya selalu melarang agar ia jangan membunuh orang. Mendengar pertanyaan itu, pemuda tadi tersenyum dan diam-diam Sui Cin merasa tertarik sekali. Ketika tersenyum, lenyaplah keangkeran dan wibawa yang ada pada pemuda itu, terganti keramahan dan kebaikan hati yang membayang lewat senyuman itu. "Nona, mereka ini adalah tikus-tikus busuk yang tidak kukenal, akan tetapi bukan salahku kalau mereka kenal dan takut kepadaku karena memang di daerahku ini aku dikenal sebagai pembasmi tikus -tikus. Nah, karena tikus-tikus ini berkeliaran di daerahku dan telah mengganggu Bibi dan engkau Nona, katakanlah, apa yang harus kulakukan terhadap mereka?" "Bunuh saja mereka!" bentak Kui Hong. Pemuda itu nampak terkejut, akan tetapi dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membunuh mereka." Para perampok itu segera berseru mohon ampun dengan wajah ketakutan dan melihat betapa pemuda itu agaknya betul-betul hendak membunuh mereka atas perintah Kui Hong, Sui Cin berseru, "Tahan! Jangan bunuh mereka, kalau hendak membunuh pun, bukan karena permintaan anakku!" Lalu kepada Kui Hong ia berkata, "Kui Hong, engkau tidak boleh menyuruh dia membunuh orang!" "Aku tidak menyuruh siapa-siapa, dia tadi bertanya dan aku menjawab, bukan berarti aku suruh dia membunuh. Mau membunuh atau tidak, adalah urusannya dan tidak ada sangkut pautnya denganku!" jawab Kui Hong. Pemuda itu tersenyum. "Nah, tikus-tikus busuk, Nona kalian telah memberi ampun, tidak lekas menghaturkan terima kasih dan menggelinding pergi?" Si Muka Hitam itu dengan diikuti oleh para anak buahnya lalu berlutut dan bersoja kepada Kui Hong dan Sui Cin, mohon ampun, kemudian mereka pergi sambil memapah teman-teman yang terluka babak belur terkena tamparan dan tendangan tadi. Setelah mereka pergi, pemuda itu lalu menjura kepada Sui Cin. "Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali. Tempat ini merupakan daerahku, maka sedikit banyak aku bertanggung jawab atas peristiwa perampokan ini. Lain kali akan kubersihkan semua perampok. Bibi yang gagah perkasa, perkenalkanlah, aku bernama Can Sun Hok." Melihat sikap orang yang ramah dan sopan, Sui Cin juga balas menjura. “Namaku Ceng Sui Cin dan ini puteriku bernama Cia Kui Hong." "Ah, Bibi dari keluarga Cia? Aku pernah mendengar tentang keluarga Cia yang menjadi pimpinan Cin-ling-pai, apakah …..?" "Ketua Cin-ling-pai adalah Kakekku!" kata Kui Hong cepat-cepat, agak merasa bangga bahwa nama keluarganya terdengar dan dikagumi sampai sejauh ini. "Ah, saya telah bersikap kurang hormat!" Tiba-tiba pemuda yang bernama Can Sun Hok itu menjura sampai dalam. "Harap Locianpwe dan Nona sudi memaafkan kalau tadi saya bersikap kurang hormat karena tidak mengenal. Nama besar keluarga Cia sudah lama saya dengar dan saya kagumi, terimalah hormat saya.” Dan kembali dia menjura kepada Sui Cin dan Kui Hong. Sui Cin merasa canggung juga mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu. "Ah, Can Kongcu bersikap terlalu sungkan. Engkau sendiri juga seorang pendekar yang gagah perkasa, harap jangan sebut Locianpwe kepadaku dan kepada Kui Hong." "Ah, mana saya berani selancang itu?" kata Can Sun Hok. "Engkau ini kenapa begini banyak rewel dan banyak sungkan-sungkan? Ibuku sudah memerintahkan demikian, dan biarlah aku yang menyebutmu Toako!" kata Kui Hong yang kini terbalik merasa suka kepada pemuda itu yang selalu memperlihatkan keramahan dan kesopanan. Mendengar ucapan itu, Can Sun Hok tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Saya tidak bermimpi apa-apa semalam, akan tetapi ternyata kini memperoleh kehormatan yang amat besar! Baiklah, Bibi, dan engkau Adik Kui Hong, aku yang sudah yatim piatu seolah-olah kini memperoleh keluarga lagi. Aih, kalau Bibi dan Adik merasa kasihan kepada saya dan sudi menerima undangan saya, maka saya persilakan Ji-wi (Anda Berdua) singgah di rumahku yang terletak di Siang-tan, kota di depan itu. Tak mungkin kita berpisah begini saja setelah Thian telah mempertemukan kita di tempat yang tak terduga-duga." Karena perjalanan mereka malam itu memang tiba di siang-tan dan harus bermalam di tempat itu, Sui Cin tidak merasa keberatan. "Terima kasih, Kongcu..." "Aih, Bibi! setelah aku tidak sungkan lagi, kenapa Bibi masih menyebut Kongcu kepadaku? Namaku adalah Can Sun Hok, harap Bibi suka menganggap aku sebagai keponakan sendiri saja." Sui Cin tersenyum dan merasa semakin suka kepada pemuda yang ramah ini. "Baiklah, Sun Hok, kami menerima undanganmu danterima kasih kuucapkan. Akan tetapi, karena engkau hidup sebatang kara, apakah kehadiran kami tidak akan merepotkanmu?" "Tidak sama sekali, Bibi. Aku mempunyai banyak pelayan di rumah." "Ha, engkau seorang yang kaya rupanya!" Kui Hong berseru. “Akan tetapi tidak mengapa, yang kubutuhkan hanya agar engkau suka melayani aku untuk pi-bu." "Hah?" Sun Hok terbelalak. "Pi-bu?" "Ya, adu silat secara persahabatan. Tidak mengapa, bukan? Aku mendengar bahwa engkau dapat menggulingkan perahu, dan aku melihat engkau merobohkan tukang pukul di tepi Telaga Tung-ting, aku ingin sekali mencoba ilmu kepandaianmu!" "Kui Hong! Bersikaplah sopan dan ramah, jangan kurang ajar!" Sui Cin membentak puterinya. "Tidak mengapa, Bibi. Adik Kui Hong ini lucu sekali, aku suka padanya. Akan tetapi, Adikku, mana aku berani mengadu ilmu dengan cucu Ketua Cin-ling-pai? Jangan-jangan belum sampai sepuluh jurus aku sudah akan keok!" "Apa itu keok?" Kui Hong bertanya, karena memang ia tidak pernah mendengar istilah itu. "Ayam itu kalau diadu dan kalah, bukankah lalu mengeluarkan bunyi keok-keok? Nah, keok berarti kalah." Kui Hong tertawa geli dan merasa lucu sekali. Mereka lalu menunggang kuda masing-masing dan mengikuti Sun Hok yang mengajak mereka ke rumahnya. Sui Cin mengambil keputusan untuk melihat keadaan rumah pemuda itu. Kalau terlalu merepotkan, ia akan mengajak puterinya untuk bermalam dirumah penginapan saja. Akan tetapi, apa yang dilihatnya sungguh jauh di luar dugaannya. Sebuah rumah gedung yang besar sekali, seperti istana dan pantasnya menjadi rumah seorang bangsawan dan hartawan besar! Dan kedatangan mereka disambut oleh tiga orang pelayan pria yang mengurus tiga ekor kuda itu. Ketika pemuda itu mengajaknya masuk ke rumah gedung itu, dua orang pelayan wanita yang berpakaian serba bersih menyambut mereka dan memberi hormat dengan ramah. Bukan hanya Sui Cin yang terheran-heran, bahkan Kui Hong kini juga memandang dengan takjub. Ketika mereka memasuki ruangan depan, dinding itu penuh dengan lukisan-lukisan sajak berpasangan yang serba indah, lantainya mengkilat putih dan perabot-perabot rumah juga terdiri dari barang-barang mewah dan serba indah dan mahal! "Can-toako …. Ini ….. ini rumahmu sendiri?" Kui Hok bertanya heran. Sun Hok tersenyum. “Benar, Adik Kui Hong. Ini rumahku, peninggalan dari Ayahku yang menerima warisan dari Kakekku pula. Kakekku adalah bekas gubernur di Ning-po, juga dia seorang pangeran ..." "Ah, kiranya engkau seorang bangsawan!" kata Sui Cin kaget. "Bukan bangsawan, Bibi, melainkan keturunan bangsawan saja. Mendiang ayahku sudah tidak memegang jabatan walaupun kakekku adalah seorang bekas gubernur dan seorang pangeran. Dan aku sendiri... ah, agaknya aku hanya kebagian menghabiskan warisan mereka saja." Tiba-tiba muncul seorang nenek dan dua orang tamu itu terkejut. Kalau para pelayan yang lain nampak rapi dan bersih, nenek ini kelihatan menakutkan. Seorang nenek yang usianya sudah tua sekali, sedikitnya tentu tujuh puluh tahun, mukanya bopeng penuh bekas cacar, hitam dan matanya lebar menakutkan. Wajahnya tentu akan menakutkan seorang anak-anak, bahkan Kui Hong juga terbelalak memandang, teringat akan dongeng tentang setan dan iblis. Nenek ini agak bungkuk, pakalannya serba hitam dan memegang sebatang tongkat. "Kongcu baru pulang?" tanya nenek itu, tanpa mempedulikan dua orang tamunya. "Benar, Lo-bo, dan kauberitahukan kepada pelayan agar mempersiapkan sebuah kamar besar untuk dua orang tamu terhormat ini, juga persiapkan air hangat untuk mandi, kemudian hidangan yang cukup untuk kami makan malam. Lo-bo, ini adalah Bibi Ceng Sui Cin dan puterinya, Adik Cia Kui Hong." Nenek itu kelihatan terkejut, memandang kepada dua orang tamunya, sejenak matanya terbelalak dan mencorong, kemudian ia menunduk dan membungkuk sebagai tanda hormat. "Selamat datang, Toanio dan Siocia!" katanya dan ia pun membalikkan badan, terseok-seok berjalan pergi dibantu tongkatnya. Melihat betapa dua orang tamunya kelihatan terkesan oleh kemunculan nenek itu, Sun Hok cepat berkata menjelaskan, "Ia adalah Wa Wa Lo-bo, seorang pembantu yang setia, yang telah menjadi pembantuku sejak aku masih bayi. Karena kesetiaannya, maka aku merasa kasihan kepadanya dan membiarkan ia hidup di sini sampai selamanya untuk membalas budinya. Ialah yang dulu mengasuh dan merawat aku sejak aku bayi." Mereka lalu diajak memasuki ruangan dalam, sebuah ruangan yang lebih indah lagi, penuh dengan gorden-gorden sutera yang serba indah. Mereka duduk berhadapan di kursi dan meja yang diukir indah. "Kita menanti di sini dulu sambil menanti dipersiapkannya kamar Ji-wi dan juga keperluan mandi. Setelah mandi kita makan bersama di ruangan makan." Kata Can Sun Hok, nampaknya gembira sekali menerima dua orang tamunya ini. Diam-diam Sui Cin memperhatikan tuan rumah yang masih muda tapi kaya raya ini. Seorang pemuda yang usianya masih kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Pakaiannya sederhana, tidak sesuai dengan keadaan rumah gedung yang mewah seperti istana itu. Wajahnya yang tampan itu penuh wibawa, pendiam dan bengis, akan tetapi adakalanya, seperti sekarang ini, nampak halus perangainya dan ramah sikapnya. Yang masih membuat Sui Cin menduga-duga adalah tentang ilmu silatnya. Sukar menaksir sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Dan mempelajari keadaan pemuda ini timbul suatu gagasan dalam pikiran Sui Cin. Pemuda ini sungguh merupakan seorang pemuda yang baik, dan agaknya tidak akan mengecewakan kalau menjadi calon jodoh puterinya! Cukup tampan, kaya raya, lihai dan berperangai baik, bahkan jelas seorang pendekar melihat sepak terjangnya baru-baru ini. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa diam-diam Kui Hong juga memperhatikan pemuda itu dan puterinya itu mempunyai pendapat sendiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, akan tetapi aneh dan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong itu mencurigakan, pikir Kui Hong! Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi Kui Hong mempunyai perasaan tidak suka kepada pemuda ini! Seorang yang menyembunyikan sesuatu, seorang yang palsu, pikir Kui Hong. Tak lama kemudian, Sui Cin mulai menyelidiki keadaan pemuda itu secara tidak langsung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang nampaknya sepintas lalu saja, “Sun Hok, sungguh janggal sekali menyebutkan namamu begitu saja seolah-olah kita masih ada hubungan keluarga, padahal engkau adalah seorang pemuda yang kaya raya. Akan tetapi, melihat usiamu, yang tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, tentu orang tuamu juga belum tua benar. Akan tetapi, kenapa engkau telah menjadi seorang yatim piatu? Apa yang telah terjadi dengan orang tuamu?” Pemuda itu menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, kelihatan berduka sehingga ibu dan anak itu semakin tertarik dan menanti penuh perhatian. “Ah, memang nasibku sejak masih bayi amat buruk, Bibi. Ibu kandungku meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun, kemudian ketika aku berusia belasan tahun, ayah kandungku meninggal pula karena sakit. Aku sejak kecil, sejak berpisah dari Ibu dirawat dan diasuh oleh Wa Wa Lo-bo, bahkan setelah Ayah meninggal, Wa Wa Lo-bo yang terus mendidikku, memanggilkan guru-guru baca tulis, bahkan mencarikan sastrawan-sastrawan terpandai dengan bayaran mahal untuk mendidik aku " "Hemm, pantas sekali engkau demikian pandai membuat sajak!" kata Kui Hong kagum. "Dan siapakah yang telah mengajarkan ilmu silat padamu? Engkau tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan tentu gurumu seorang tokoh persilatan yang amat terkenal!" kata Sui Cin memancing. Pemuda itu kembali menarik napas panjang dan jelas nampak bahwa dia tidak suka membicarakan tentang hal itu agaknya. "Bibi yang baik, aku mempelajari ilmu silat hanya sebagai suatu bekal untuk suatu tujuan. Aku berusaha menyembunyikan kepandaian silatku, dengan maksud untuk kelak kupakai melaksanakan tujuan itu, akan tetapi ternyata tidak lepas dari pengamatan Bibi yang amat tajam. Sesungguhnya, aku... aku agak merasa kikuk dan canggung untuk bicara soal ilmu silat, karena sesungguhnya, ilmu silatku belum berapa tinggi dan masih jauh daripada cukup untuk pelaksaan tujuan yang kupendam sejak aku kecil itu, Bibi!" "Hemm, untuk tujuan balas dendam, bukan?” Pemuda itu tiba-tiba meloncat dari kursinya dan memandang kepada wajah nyonya itu dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. "Bagaimana Bibi... bisa mengetahuinya... ?" tanyanya gagap. Sui Cin tersenyum dan melambaikan tangannya. "Duduklah dan jangan kaget, jangan pula khawatir orang muda. Tidak sukar untuk menduga demikian. Engkau kehilangan Ayah dan Ibu sejak masih kecil dan aku menduga bahwa kematian mereka, atau satu di antara mereka tentu karena dibunuh orang. Dan engkau menyembunyikan ilmu silatmu, dengan maksud tertentu dan karena kuhubungkan dengan dugaan bahwa orang tuamu mungkin dibunuh orang, maksud apalagi kalau bukan balas dendam?” Pemuda itu memandang kagum. "Ahh, sungguh, luar biasa sekali ketajaman pikiran Bibi! Kalau begitu, Bibilah tempat aku bertanya. Sudah lama aku dibikin pusing oleh keadaanku ini. Bibi yang terhormat, bolehkah aku bertanya dan sukalah Bibi memberi nasihat kepadaku yang seperti orang dalam gelap ini, maukah Bibi memberi penerangan kepadaku?" Sui Cin tersenyum lagi. Pemuda ini sungguh membuat ia merasa suka sekali, demikian penuh rahasia, akan tetapi juga demikian rendah hati dan ramah. "Tanyalah, orang muda, kalau aku dapat memberi nasihat tentu akan kubantu memikirkan masalah apa yang memusingkan hatimu." "Begini, Bibi Ceng, terus terang saja, mendiang Ibu kandungku adalah seorang yang pernah melakukan kejahatan, bahkan terkenal jahat sekali, seorang tokoh sesat kata orang-orang dunia persilatan. Nah, biarpun aku sendiri tak pernah melihat buktinya, setelah mendengar bahwa Ibu kandungku adalah seorang yang amat jahat, lalu apa yang harus kulakukan? Baikkah kalau aku berbakti kepadanya?" Pertanyaan itu mengejutkan hati Sui Cin. Tentu saja, walaupun hatinya ingin sekali tahu siapa gerangan ibu kandung pemuda ini, ia tidak berani bertanya karena hal itu bukanlah urusannya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengannya. Dan pertanyaan itu pun membuat ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukannya andaikata ia sendiri yang demikian? Dan bagaimana ia harus menjawab? Keraguan ini timbul karena Sui Cin merasa bahwa ibu kandungnya sendiri dahulu pun merupakan seorang tokoh sesat, bahkan seorang datuk sesat! Ibunya, yang bernama Toan Kim Hong, dahulu sebelum menikah dengan ayahnya terkenal sebagai datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), seorang datuk sesat yang seolah-olah menjadi raja di antara orang-orang jahat! Ah, pikirnya, kini ibunya telah menjadi orang baik-baik, bahkan menjadi seorang pendekar. Jadi, kalau ibu kandung pemuda ini dahulunya jahat, tak boleh dikatakan bahwa selamanya akan menjadi jahat. Hanya bedanya, ibu kandung pemuda ini telah meninggal dunia! "Can Sun Hok, tidak ada yang abadi di dunia ini." jawabnya. "Orang yang tadinya disebut baik, belum tentu baik selamanya dan yang jahat belum tentu jahat selamanya. Terhadap seorang ibu, tentu saja seorang anak haruslah berbakti apa pun kata orang terhadap ibunya, baik maupun buruk. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban utama seorang anak." "Ibuku telah meninggalkan aku sejak bayi, Bibi, meninggalkan aku dalam asuhan Nenek Wa Wa Lo-bo bersama ayahku yang tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak. Kemudian ibuku terbunuh orang. Nah, bagaimana pendapat Bibi? Haruskah aku membalas dendam kematian ibuku. Mencari pembunuh ibuku itu dan membalas dengan membunuhnya demi kebaktianku terhadap ibuku?" Bagaimanapun juga, Sui Cin tidak berani langsung menyatakan pendapatnya karena ia menghadapi urusan orang lain. Ia membayangkan andaikata ibu kandungnya dibunuh orang, dengan alasan apa pun juga, sudah pasti ia akan mencari pembunuh ibunya itu dan membalas dendam! Walaupun ia mempunyai pandangan sendiri tentang cara berbakti, akan tetapi sanggupkah ia menahan sakit hatinya kalau terjadi musibah menimpa dirinya seperti yang telah menimpa diri pemuda ini? "Bagaimana pendapat Ayahmu?" tanyanya untuk mencari waktu. Pemuda itu menarik napas panjang. "Ketika hal itu terjadi, aku baru berusia tiga tahun. Setelah aku mengerti, Ayah selalu menghindari pertanyaanku tentang ibuku dan aku tahu bahwa ayah agaknya membenci atau setidaknya dia tidak suka kepada Ibu. Biarpun dia tidak pernah mengatakan sesuatu, aku hampir yakin bahwa ayah tidak peduli tentang kematian Ibu dan tentu tidak setuju kalau aku membalas dendam. Ketika aku berusia dua belas tahun, ayahku meninggal dunia karena sakit." "Ah, sungguh malang sekali nasibmu, Can-toako." kata Kui Hong sambil memandang dengan sinar mata mengandung iba. Kiranya pemuda yang pandai dan kaya raya ini hanya pada luarnya saja nampak hidup senang, padahal nasibnya amat buruk. "Jadi, semenjak berusia dua belas tahun, engkau hanya hidup berdua saja dengan Nenek Wa Wa Lo-bo itu?" tanya Sui Cin, teringat akan nenek yang wajahnya menyeramkan tadi. "Bukan sejak dua belas tahun, bahkan sejak lahir boleh dibilang Nenek Wa Wa Lo-bo itulah yang merawat dan kemudian mendidik aku. seingatku, ketika masih amat kecil sekalipun, yang mengasuh aku selalu adalah nenek itu. Mungkin sejak kecil mendiang ibu tidak peduli kepadaku." Wajah pemuda itu nampak diliputi awan duka. "Dan ia pula yang memanggil guru-guru yang pandai untuk mendidik dan mengajarmu. Apakah ia pula yang memanggil seorang guru silat, dan siapakah ahli silat yang telah mendidikmu, Sun Hok?" "Dalam segala ilmu kepandaian, Nenek Wa Wa Lo-bo selalu mencarikan guru yang terbaik dengan bayaran mahal. Akan tetapi tentang ilmu silatku yang tidak ada artinya ini, hanya mengenal satu dua pukulan, semua dilatih oleh Nenek Wa Wa sendiri." "Aihhhh ….!" Sui Cin terkejut dan memandang terbelalak. "Kalau begitu nenek itu tentu lihai bukan main." Ia mengingat-ingat namun tak pernah rasanya mendengar nama tokoh kang-ouw yang bernama Wa Wa Lo-bo. "Akan tetapi rasanya belum pernah aku mendengar nama besarnya." "Nenek Wa Wa memang tak pernah berurusan dengan dunia kang-ouw. Dan ia sejak dahulu adalah pengasuh mendiang ibuku, yang sengaja ditinggalkan ibu untuk mengasuh dan merawatku." Sun Hok yang sejak tadi membiarkan percakapan membelok ke arah lain, kini bertanya lagi. "Akan tetapi, Bibi Ceng, aku masih menanti jawabanmu tentang maksudku membalas dendam untuk berbakti kepada mendiang ibuku." “Hemm, sebelum aku menjawab, katakan dulu bagaimana pendapat nenek yang menjadi pengasuh dan juga gurumu itu? Mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?" Sun Hok menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Sudah berulang kali kutanyakan kepada nenek Wa Wa siapa nama pembunuh ibuku, akan tetapi ia selalu tidak mau mengaku, dan mengatakan bahwa belum tiba saatnya bagiku untuk memusingkan diri tentang balas dendam karena ilmu kepandaianku masih jauh daripada mencukupi. Akan tetapi aku tidak pernah bertanya tentang kebaktian kepadanya, Bibi, karena ia hanya pandai ilmu silat akan tetapi dalam hal pengertian hidup tentu saja tak banyak dapat diharapkan darinya. Karena itu, kepada Bibilah aku memandang dan mengharapkan keterangan yang jelas. Haruskah aku membalas dendam demi kebaktianku kepada mendiang ibu, Bibi Ceng?" Kini Ceng Sui Cin tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi tadi dia sudah memperoleh cukup waktu untuk mempertimbangkan jawabannya. "Sun Hok, aku tidak ingin mempengaruhi batinmu karena aku tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi, sesungguhnyalah bahwa balas dendam bukan berarti berbakti. Balas dendam lebih merupakan penyaluran kemarahan dan kebencian yang ditujukan kepada pihak lain yang dianggap telah merugikan diri sendiri. Balas dendam timbul karena kebencian, bukan karena keinginan berbakti. Berbakti mempunyai sifat mendatangkan kebaikan, bukan bersifat merusak. Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa menurut yang kauketahui, mendiang ibumu pernah menjadi seorang tokoh sesat yang melakukan kejahatan. Nah, kalau ia meninggal karena melakukan kejahatan, maka bagaimanakah pendirianmu? Kalau engkau hendak membela ibumu, bukankah berarti engkau membela kejahatannya, bahkan membantu dan menambah kejahatannya? Andaikata ibumu masih hidup, kebaktianmu dapat diwujudkan dengan menasihati dan menyadarkan ibumu daripada penyelewengan dan kesesatan. Akan tetapi beliau sudah meninggal dunia. Menurut pendapatku, kalau engkau mau berbakti, jalan satu-satunya yang paling baik adalah mencuci namanya yang ternoda dengan kejahatan itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Seluruh dunia kang-ouw yang melihat dan mendengar bahwa engkau, putera ibumu, menjadi seorang pendekar budiman, tentu akan dapat memaafkan semua kesalahan ibumu yang lalu. Nah, bukankah hal itu merupakan kebaktian yang paling tepat?" Sun Hok mengangguk-angguk. "Sudah banyak aku mempelajari kitab-kitab agama dan filsafat dari guru-guru sastraku, dan memang semua pelajaran itu sejalan dengan apa yang Bibi nasihatkan tadi. Terima kasih atas petunjukmu, Bibi Ceng. Aku pun sudah mencoba untuk berbuat baik dengan menentang kejahatan, membela si lemah tertindas. Akan tetapi, perasaan tak enak dan penasaran di dalam hatiku tak pernah mau lenyap sehingga kadang-kadang aku menjadi gelisah, bingung dan mudah dihinggapi kemarahan. Aku mencoba untuk menghibur perasaan ini dengan nyanyi, musik, minum arak dan pelesir di tempat-tempat indah. Namun belum juga mau lenyap kegelisahan ini." Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Nenenk Wa Wa Lo-bo. Kemunculannya demikian tiba-tiba. Tahu-tahu nenek itu telah berada di ambang pintu ruangan itu sehingga mengejutkan Sui Cin dan Kui Hong karena mereka sama sekali tidak mendengar bunyi langkahnya. Nenek itu dengan sikap dingin akan tetapi hormat, membungkuk dan berkata dengan suara lirih namun jelas. "Kamar dan air untuk Toanio dan siocia telah dipersiapkan, Kongcu." Agaknya nenek itu hanya menghadap dan melapor kepada Sun Hok, sikapnya bukan seperti seorang guru terhadap murid, melainkan sebagai seorang pelayan terhadap majikannya. setelah berkata demikian, nenek itu menoleh, bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan wanita. "Antarkan Toanio dari siocia ke kamarnya.” katanya lalu dia membungkuk lagi kemudian pergi. Sun Hok agaknya tidak merasa aneh atau tersinggung atau malu akan sikap nenek itu. Dia tersenyum ramah kepada dua orang tamunya. "Bibi Ceng, Adik Hong, silakan kalau hendak mandi dan mengaso. Kita berternu lagi nanti di ruangan makan." Sui Cin dan Kui Hong mengangguk, dan mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti pelayan wanita itu menuju ke kamar mereka yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Mereka melalui lorong-lorong dan semakin kagum saja karena keadaan dalam rumah besar menyerupai istana itu benar-benar amat mewah dan indah, juga amat luasnya karena di bagian tengahnya terdapat sebuah taman yang penuh dengan bunga indah dan sebuah kolam ikan yang dihiasi dengan arca-arca yang amat indahnya. Mereka memperoleh sebuah kamar besar yang menghadap ke kolam ikan, dan hawa dalam kamar itu sejuk bukan main karena memperoleh hawa segar yang langsung masuk dari dalam taman. Setelah mandi dan rnengenakan pakaian bersih, ibu dan anak itu merasa segar dan enak. “Ibu, ketika mengunjungi Pulau Teratai Merah, aku masih kecil dan aku sudah lupa lagi keadaan di sana. Akan tetapi aku masih ingat bahwa rumah di sana lebih bagus daripada yang di Cin-ling-san. Kalau dibandingkan dengan rumah Can-toako ini, mana lebih indah, Ibu?" tanya Kui Hong. Ibunya tersenyum. "Rumah kakek dan nenekmu di Pulau Teratai Merah juga indah dan besar, akan tetapi agaknya tidak semewah ini. Maklumlah, Can Sun Hok menerima harta peninggalan kakeknya yang pernah menjadi gubernur, tentu perabot-perabot rumahnya serba indah, kuno dan mahal!" "Semua di sini serba indah. Can-toako juga orangnya ramah, halus dan baik budi. Juga para pelayannya nampak rapi, kecuali... hemm, Nenek itu sungguh membuat aku merasa serem, Ibu." "Memang wajahnya menyeramkan dan sikapnya dingin, agaknya banyak rahasia tersimpan di dalam hatinya. Jelas ia lihai bukan main. Sayang aku belum pernah mendengar namanya sehingga aku tidak tahu orang macam apakah adanya nenek itu. Betapapun juga, menghadapi orang seperti itu, kita harus tetap waspada dan hati-hati, Kui Hong." Ketika mereka diundang untuk makan malam di ruangan makan, kembali mereka berdua kagum karena hidangan makan yang disuguhkan banyak macamnya dan rata-rata lezat. Can Sun Hok juga sudah berganti pakaian, akan tetapi tetap saja pakaiannya sederhana, sungguh tidak cocok dengan keadaan rumahnya yang mewah. Hal ini membuat Sui Cin menjadi semakin kagum dan suka kepada pemuda ini. Ia sendiri adalah seorang yang sejak mudanya berpakaian sembarangan, bahkan nyentrik walaupun ia puteri Pendekar sadis yang juga kaya raya. Pemuda ini biarpun keturunan bangsawan dan kaya raya, bahkan memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang tinggi, namun demikian rendah hati, sama sekali tidak sombong. Dan watak rendah hati ini saja sudah merupakan modal yang cukup kuat untuk menjadl seorang baik-baik, pikir Sui Cin. Makin condong hatinya untuk mengharapkan perjodohan antara puterinya dan pemuda aneh ini. Akan tetapi, nenek itu tidak nampak pula di ruangan makan, padahal ada sebuah kursi lagi dan di atas meja telah disediakan pula mangkok kosong dan cawan kosong. Jelaslah bahwa para pelayan telah menyediakan tempat untuk siapa lagi kalau bukan untuk nenek yang biarpun menjadi pengasuh dan pembantu, juga menjadi guru pemuda itu. Namun, nenek yang agaknya biasa makan bersama Sun Hok, sekali ini tidak nampak. Hal ini membuat Sui Cin menjadi curiga, akan tetapi demi sopan santun, ia pun tidak bertanya apa-apa kepada tuan rumah tentang nenek yang menarik perhatiannya itu Dalam waktu makan malam itu pun Can Sun Hok bersikap ramah terhadap kedua orang tamunya. Nampak jelas betapa pemuda ini kagum dan hormat kepada Sui Cin, dan juga kagum dan suka kepada Kui Hong. Sehabis makan, Sun Cok mempersilakan tamu-tamunya untuk beristirahat. Sun Hok sendiri tidak segera tidur, melainkan memasuki taman besar yang berada di belakang rumahnya. Berbeda dengan taman kecil yang berada di tengah-tengah bangunan, dikelilingi kamar-kamar dan ruangan, taman yang berada di belakang rumah ini luas sekali. Sun Hok duduk termenung di dekat kolam besar menyerupai danau kecil, di atas bangku sambil memandang ke arah bulan muda yang sudah menghias angkasa. Dia termenung, memikirkan percakapannya dengan nyonya yang dikaguminya itu, terutama tentang dendam dan kebaktian. "Hemm, agaknya kata-kata manis beracun itu telah mulai menyusup ke dalam hatimu, Kongcu." Tiba-tiba terdengar suara lirih dan dingin. Sun Hok maklum bahwa pengasuhnya juga gurunya dalam ilmu silat, yang datang. Dia menoleh dan benar saja, Nenek Wa Wa Lo-bo telah berdiri di belakangnya. "Ah,kebetulan engkau datang, Lo-bo. Mari duduk, aku ingin bicara padamu." "Hemm, aku pun ingin bicara padamu, Kongcu." kata nenek itu sambil duduk di ujung bangku. "Aku mau bicara tentang kematian ibu kandungku dan membalas dendam." "Tepat sekali, aku pun ingin bicara tentang kematian ibumu." Mendengar ini, Sun Hok girang bukan main. Nenek ini, walaupun sudah sering kali dia bertanya, tak pernah mau bercerita tentang kematian ibunya, tentang siapa pembunuh ibunya. "Ah, Lo-bo yang baik... aku siap mendengarkan!" katanya dengan gembira karena akhirnya nenek itu akan membuka rahasia yang selalu menggelisahkan hatinya itu. Dia ingin sekali mendengar bagaimana ibunya tewas dan siapa pula pembunuhnya. "Nah, dengarlah baik-baik!" kata nenek itu dengan suara datar. "Ibumu sejak muda sudah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi bernama Gui Siang Hwa. Karena ia cantik jelita dan ahli soal penggunaan racun, maka ibumu itu dijuluki orang Siang-tok Sian-li (Bidadari Racun Harum). Ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi, ia yang demikian cantik jelita dan lihai, pernah tergila-gila kepada ayah kandungmu! Ayahmu itu sejak muda sudah menjadi seorang pemuda bangsawan kaya raya yang tidak ada gunanya, hanya tampan pesolek dan suka mengejar wanita cantik. Memuakkan sekali!" Nenek itu terhenti, agaknya masih penasaran mengapa gadis secantik Gui Siang Hwa yang sejak kecil telah menjadi asuhannya karena sejak muda ia menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis, sampai mau menyerahkan diri kepada seorang pemuda lemah seperti Can Koan Ti. "Lalu bagaimana, Nek?" Sun Hok mendesak. "Ayahmu itu, Can Koan Ti, seperti semua laki-laki macam dia, sebentar saja sudah jemu dengan ibumu. Ketika ibumu melahirkan engkau, Can Koan Ti sudah bermain gila dengan banyak wanita semenjak ibumu mengandung. Maka, ibumu tak tahan melihat itu dan semenjak engkau lahir, akulah yang ditugaskan mengasuh dan merawatmu, sedangkan ibumu sendiri pergi meninggalkan Can Koan Ti." "Terima kasih atas semua kebaikanmu, Lo-bo." kata Sun Hok dengan suara sungguh-sungguh sambil memandang wajah yang tua dan amat buruk itu. Dia tahu benar, dapat merasakan betapa nenek ini amat sayang kepadanya. "Hah, aku tidak butuh terima kasih, Kongcu!" Nenek itu mengibaskan tangannya, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menjadi basah. Ia memang sayang sekali kepada pemuda yang sejak bayi diasuhnya itu, bahkan merasa bahwa pemuda itu seperti anaknya sendiri, seperti darah dagingnya sendiri! "Baik kulanjutkan ceritaku. Aku merawatmu di rumah ayahmu, melihat ayahmu berfoya-foya dengan wanita-wanita cantik tanpa mempedulikan dirimu. Akhirnya, dia terkena penyakit yang menyeretnya ke lubang kubur. Engkau menjadi pewaris tunggal dan aku dengan sekuat tenaga dan kemampuan berusaha mendidikmu sebagaimana mestinya, seperti yang dikehendaki ibumu." "Dan engkau memang telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali, terlalu baik sekali. Terima kasih, Lo-bo." "Hushh, sudahlah. Dengar sekarang. Ibumu adalah seorang petualang yang gagah perkasa dan ketika ia membantu petualangan suhu dan subonya, sepasang suami isteri sakti yang menjadi raja dan ratu di dunia kang-ouw, ketika engkau berusia tiga tahun, ibumu tewas …..! Aku sudah melakukan penyelidikan dan ibumu ternyata tewas karena dikeroyok oleh pasukan perajurit kerajaan, setelah dijatuhkan oleh seorang pendekar wanita." Berkerut alis Sun Hok yang tebal dandia pun mengepal tinju. "Kenapa engkau tidak pergi membunuh wanita itu, Lo-bo?" "Aihh, engkau bicara enak saja! Kalau ibumu saja sampai kalah, apalagi aku! Aku menggemblengmu sampai sekarang engkau telah menguras semua ilmuku. Sekarang kepandaianmu setingkat dengan kepandaianku, tidak ada yang tidak kaukuasai apa yang menjadi milikku, bahkan engkau menang tenaga. Akan tetapi, dengan kepandaian kita berdua sekalipun, tidak akan mudah mengalahkan pendekar wanita itu. Engkau harus memperdalam illmumu dan ..." "Aku tidak takut! Sekarang pun aku tidak takut, dan kalau engkau tidak berani, jangan turut-turut, biar aku sendiri yang menghadapinya. Siapa wanita itu dan di mana tempat tinggalnya?" “Aku tahu, bahwa engkau tentu akan nekat membalas dendam kalau kuberitahukan ketika engkau berkali-kali menanyakan hal itu, akan tetapi karena kuanggap kepandaianmu belum cukup, aku selalu merahasiakan. Sekarang pun tentua masih kurahasiakan kalau saja Thian tidak menolong kita. Akan tetapi agaknya Thian menyetujui niat kita membalas dendam, karena sekarang terbuka kesempatan bagi kita untuk membalas dendam itu tanpa mengeluarkan banyak tenaga!” "Apa maksudmu, Lo-bo?" Perempuan itu, musuh besar kita itu, pembunuh ibu kandungmu itu, ia telah mengantarkan sendiri nyawanya kepada kita. Kita tinggal mencabutnya saja, untuk membalas dendam itu!" Nenek itu nampak gembira dan sepasang matanya mencorong. "Lo-bo, apa artinya ini?" Sun Hok memandang dengan mata terbelalak. "Heh-heh, anak bodoh. Pembunuh ibu kandungmu itu, pendekar wanita itu bernama Ceng Sui Cin!" "Bibi Ceng …..!!!" Sun Hok melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak dan wajahnya berubah pucat. "Benar, tamu kita! Ia kini mengajak puterinya seperti dua ekor tikus memasuki perangkap. Inilah saatnya bagi kita, setelah terbuka kesempatan baik ini. Ia adalah puteri Pendekar sadis di Pulau Teratai Merah, dan menantu dari Ketua Cin-ling-pai. Kalau ia sudah kembali ke satu di antara dua tempat itu, tidak mudah bagi kita untuk mencari dan membunuhnya. Sekaranglah saatnya, selagi mereka tidur. Aku akan membunuhnya sekarang juga!" "Lo-bo, jangan …..!" Sun Hok berkata kaget. "Hemm, engkau ini kenapakah, Kongcu? Ia telah menyebabkan kematian ibu kandungmu, ia musuh besarmu, juga musuh besarku karena ibumu bagiku seperti anakku sendiri yang kuasuh sejak bayi! Sejak mereka kaubawa datang tadi dan mengaku nama mereka, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuhnya. Aku tidak berani menggunakan racun dalam makanan atau minuman, selain takut kalau engkau sendiri terkena racun karena engkau makan bersama mereka, juga aku khawatir ia yang lihai sekali itu akan tahu bahwa makanan atau minuman diracun sebelum ditelannya. Kalau begitu, akan gagal usahaku membalas dendam. Sekarang, setelah mereka tidur, aku akan masuk kamar mereka dan membunuh mereka. Mereka kuberi kamar di mana terdapat pintu rahasianya sehingga aku dapat masuk tanpa mereka dengar." "Jangan, Lo-bo. Engkau tidak boleh membunuh mereka!" Sun Hok berkata dengan suara tegas dan gemetar karena tegangnya. "Kita tidak boleh membunuhnya!" Masih bergema di dalam telinga Sun Hok tentang nasihat Ceng Sui Cin kepadanya tadi tentang dendam dan kebaktian. Jelas bahwa ibu kandungnya memang seorang tokoh hitam atau kaum sesat, seorang petualang yang demikian kejamnya untuk meninggalkan anak sendiri dalam asuhan seorang bujang dan tidak pernah ditengoknya lagi. Juga ayahnya seorang mata keranjang yang tidak mempedulikan anaknya, hanya mengejar kesenangan melalui wanita-wanita cantik saja. Kalau dia hendak berbakti, demikian nasihat Ceng Sui Cin, dia harus melakukan perbuatan-perbuatan baik, menjadi pendekar budiman agar tercuci bersih noda yang menempel di nama orang tuanya. "Kongcu, pikirlah baik-baik. Ia adalah musuh besarmu! Kenapa sih engkau ini? Aihhh, mengerti aku sekarang. Engkau telah tergila-gila kepada gadisnya itu!" "Lo-bo, jangan bicara yang bukan-bukan!" "Heh-heh, engkau tidak mungkin dapat membohongi seorang tua renta seperti aku, Kongcu. Engkau telah jatuh cinta kepada Nona itu, maka engkau merasa keberatan untuk membunuh mereka. Akan tetapi hal itu dapat kita atur, Kongcu. Kita bunuh ibunya dan membiarkan anaknya hidup dan engkau boleh memilikinya sampai engkau merasa bosan baru ia dibunuh….." "Lo-bo, apakah engkau sudah gila?" teriak Sun Hok marah sekali, juga terkejut dan heran bagaimana nenek yang biasanya bersikap halus kepadanya itu, yang sama sekali tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda jahat, kini dapat mengajukan usul yang demikian mengerikan. Membunuh ibunya dan memperkosa puterinya sampai bosan baru dibunuh! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Sejak kecil, oleh guru-guru sastra dan kitab-kitab yang dibacanya, dia telah banyak mengetahui tentang baik buruk dan tentang kejahatan-kejahatan yang tak boleh dilakukan manusia, tentang kebajikan-kebajikan dan bagaimana seharusnya sikap hidup seorang kuncu (budiman). Karena itu, mendengar usul nenek itu, dia bergidik dan merasa ngeri sekali. "Bukan aku, melainkan engkau yang sudah gila." kata nenek itu, juga marah sekali. "Ibu kandungmu dibunuh orang, dan kini musuh besar itu berada di depan hidung, akan tetapi engkau tidak setuju ketika aku hendak membunuhnya! Apakah engkau akan menjadi murid yang murtad dan menentang guru sendiri, setelah sejak bayi aku mengasuhmu, mendidikmu, menggemblengmu? Apakah engkau akan menjadi seorang anak durhaka yang sama sekali tidak ingin berbakti kepada ibu kandungmu sendiri? Benarkah engkau telah menjadi orang yang begini tidak mengenal budi?" Pada saat kedua orang itu bertengkar, muncullah Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong di dalam taman itu! Kemunculan dua orang ini tentu saja amat mengejutkan Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Bagaimana mereka dapat muncul di taman itu, di mana guru dan murid itu sedang bicara tentang mereka? Sejak makan malam tadi, timbul ke curigaan di dalam hati Sui Cin tentang Nenek Wa Wa Lo-bo. Melihat sikap nenek itu, wajahnya dan matanya yang mencorong aneh, Sui Cin menduga bahwa tentu nenek itu seorang yang amat lihai dari golongan hitam, apalagi mendengar cerita Sun Hok bahwa mendiang ibu kandungnya adalah seorang tokoh sesat yang lihai. Dan berada di satu rumah dengan seorang tokoh sesat sungguh amat berbahaya, pikirnya. Maka, setelah keadaan menjadi sunyi, ia mengajak anaknya untuk diam-diam keluar dari dalam kamar, melalui jendela yang mereka tutup lagi dari luar, dan mereka pun melakukan penyelidikan, mempergunakan ilmu kepandaian mereka meringankan tubuh. Dengan gerakan mereka yang cepat, mereka tidak khawatir terlihat oleh para pelayan. Akhirnya mereka tiba di taman belakang rumah itu dan mereka tertarik oleh suara percakapan antara Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Cepat mereka menghampiri dan mengintai. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa nenek itu berniat untuk membunuh mereka. Sui Cin juga terkejut bukan main mendengar bahwa Can Sun Hok adalah putera tunggal dari Gui siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis yang amat lihai itu. Memang ialah yang dahulu merobohkan Gui siang Hwa sehingga iblis betina itu tewas dibawah hujan senjata para perajurit kerajaan Mendengar betapa Sun Hok menentang nenek itu untuk membunuh ia dan puterinya, diam-diam Sui Cin merasa girang juga, dan dapat dibayangkan betapa marahnya mendengar usul nenek itu agar mereka membunuh ia lebih dulu dan agar Kui Hong diperkosa sampai Sun Hok menjadi bosan baru membunuhnya. Dugaannya memang tepat. Nenek yang bernama Wa Wa Lo-bo itu adalah seorang iblis yang kejam sekali! Cocok memang untuk menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis. Maka ia pun mengajak puterinya keluar untuk menghadapi nenek itu. "Bibi Ceng... Adik Hong ….." Sun Hok berkata dengan muka sebentar pucat sebentar merah, hatinya tegang bukan main dan dia tidak tahu harus bicara apa. "Can Sun Hok, kami telah mendengar semua percakapan kalian tadi. Nenek Wa Wa Lo-bo ini memang tidak salah lihat atau salah dengar. Wanita yang bernama Gui Siang Hwa atau Siang-tok Sian-li itu tewas dalam pertempuran setelah roboh di tanganku. Aku tidak menyangkal akan hal itu dan kalau engkau ingin mengetahui peristiwa yang sesungguhnya, aku dapat menceritakannya kepadamu." "Jangan dengarkan omongannya, tentu hanya akan menyalahkan ibumu!" teriak Wa Wa Lo-bo. Akan tetapi Sun Hok yang kini mukanya menjadi pucat, tidak mempedulikan gurunya. "Ceritakanlah, Bibi Ceng." "Gui Siang Hwa adalah murid Raja dan Ratu Iblis yang memimpin tiga belas datuk sesat dan banyak lagi kaum sesat untuk menjadi pemberontak. Para pendekar menentang gerakan ini dan membela pemerintah. Kebetulan aku pun berada di antara pendekar dan kebetulan saja Gui Siang Hwa menjadi lawanku dalam pertempuran itu. Aku berhasil menendangnya roboh dan ia pun dihujani senjata oleh para perajurit kerajaan sehingga tewas. Nah, itulah peristiwa yang sebenarnya terjadi, Sun Hok. Sekarang terserah kepadamu. Kalau engkau bermaksud melanjutkan kesesatan ibumu dan menambah lagi noda pada nama dan kehormatan ibumu dengan perbuatan jahat, silakan menyerang kami. Kami tidak akan undur selangkah pun karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Ataukah engkau akan berbakti kepada ibumu dengan cara mencuci noda pada nama dan kehormatannya, dengan perbuatan baik? Terserah pula, aku sudah bicara." Nenek Wa Wa Lo-bo memandang marah dan menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu telah menyebabkan kematian Ong-ya dan isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimanapun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap diaga dan dengan mudahnya ia mengelak. "Lo-bo, jangan …..!" Sun Hok berseru dengan khawatir. Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, kini menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak dan dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, biarpun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok. "Lo-bo, jangan berkelahi …..!" kembali Sun Hok berseru. Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi semakin marah. "Engkau murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat. "Ahhh ……!" Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang ia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya. "Dukkk!!" Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan. Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Ia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan ia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun ia tidak akan mampu menang! "Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk. "Wa Wa Lo-bo." kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu takkan lama lagi, haruskah kini engkau nekat menyerangku mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis dan semua kawan dan anak buahnya, tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri." "Tutup mulutmu! Kalau aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu, lebih baik aku mampus!" Dan nenek itu dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, kini menggunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah merijadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat. "Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin dan cepat ia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tidak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dan pada tingkat lawan sehingga semua serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan kedua tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Ia pun menjadi marah melihat kenekatan nenek itu. "Haiiiittt ......!" Teriaknya dan tiba-tiba ia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main. "Krakkk ......!" Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal saja kayu yang meruncing ujungnya, sedangkan tubuh nenek itu terpental kebelakang. Ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tak terbanting, namun ketika ia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, nampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Kiranya pertemuan tenaga dahsyat tadi telah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya. Melihat ini, Sun Hok berseru kaget. "Lo-bo ....!" Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Ia maklum bahwa melawan Sui Cin tidak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa ia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu telah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak, "Ong-ya berdua, dan Siocia, jangan salahkan saya kalau anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!" Kemudian, secepat kilat ia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri. "Lo-bo …..!" Sun Hok meloncat dan menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat ia tewas seketika. "Lo-bo, ah, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan kini para pelayan datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang sudah menjadi mayat dalam keadaan mengerikan itu. Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimanapun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru! "Kui Hong, mari kita pergi saja." katanya dan Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu meninggalkan rumah besar itu, bahkan langsung mereka malam itu juga meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar daripada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu. ** Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di laut selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dah subur. Pulau itu tidak berapa besar, hanya belasan li panjangnya dan paling banyak sepuluh li lebarnya. Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ, bersama para pelayan dan para pembantu yang jumlahnya beserta keluarga mereka kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap dan kini penuh dengan pohon-pohon, pohon buah maupun pohon bunga yang serba indah dan buah-buahan bermacam-macam yang lezat dapat pula tumbuh di situ. Di tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tak kunjung kering walaupun di musim panas sekalipun. Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, masak, mencuci dan keperluan lain. Suasana di pulau itu tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk kepada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tak pernah kekurangan makan. Satu atau dua kali sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka. Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selebihnya yang dimakan sendiri, mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga mereka memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar. Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya, dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu, sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat yang mendengar namanya menjadi pucat ketakutan. Dalam usia enam puluh tahun lebih, dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan samadhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan. Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw (baca cerita Pendekar Sadis dan Asmara Berdarah). Biarpun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya. Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Namun, usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik dan bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut. Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Namanya pun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan ia pernah di waktu masih gadis menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan! Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya sedikitdi bawah tingkat suaminya walaupun ia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Suami isteri yang lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu. Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin dan setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, enam tahun yang lalu terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya. Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi, beberapa orang penghuni pulau itu membawa pulang seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya sendiri yang terbalik setelah semalam dihempaskan badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepar mendarat dan tidak berani mencari ikan. Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan bergan tung pada perahunya yang terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin. Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mendapat pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika diombang-ambingkan laut membadai semalam. Setelah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis. Suami isteri pendekar itu saling pandang. Keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali. Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya. "Anak baik, siapakah namamu?" Anak itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, kemudian memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula. "Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian yang menyelamatkan aku dari tengah lautan?" Ceng Thian Sin menjawab. "Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan." "Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini." Kata Toan Kim Hong, menerima pakaian yang dimintanya dari pelayan agar meminjamkan pakaian dari keluarga nelayan yang sebaya dengan anak itu. Ia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaiannya tanpa sungkan dan malu. Setelah ia kembali lagi, anak ini telah mengenakan pakaian kering. "Nah, sekarang katakan siapa namamu." kata nenek itu. Akan tetapi sebagai jawaban, anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. "Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe." Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang. Toan Kim Hong tersenyum, mengangkatnya bangun. "Sudahlah, kau duduklah dan ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu." Anak itu tidak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas lantai. "Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan kerja keras akhirnya saya dapat membeli sebuah perahu kecil dan saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe." Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini sudah yatim piatu! Tidak mempunyai tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekalipun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian dekatnya hubungan batin antara keduanya dan kini, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka. "Ki Liong, engkau terserang badai dan nyaris tewas, akan tetapi akhirnya dapat diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau selanjutnya engkau hidup saja di sini, membantu pekerjaan di sini?" kata Ceng Thian Sin. Ki Liong bersoja kembali memberi hormat. “Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi kalau saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya telah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe …..!” Kembali suami isteri itu saling pandang. "Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?" "Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya." "Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?" Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian. Memang sejak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid, akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya. "Semenjak saya hidup seorang diri, saya banyak mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil saya bekerja berbulan-bulan, dirampas orang dengan kekerasan. Banyak sekali terjadi kejahatan di dunia ini dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga ingin menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari." Suami isteri itu mendengarkan dengan kagum dan hati mereka merasa girang sekali. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat baik sekali, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar! "Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat." Sambil berlutut, anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian. "Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, akan tetapi... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena kalau hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang tihai itu?" Suami isten itu saling pandang dan tersenyum. "Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang mampu menangkap burung terbang itu?" "Tidak mungkin, Locianpwe." kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Kalau tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?" "Kaulihat baik-baik, aku akan menangkapnya!" Dan begitu nenek itu berkata demikian, tiba-tiba ia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini. Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan kembali bayangan itu sudah berada di depannya dan nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam tangan kirinya. "Ahh... ohhh …..!" Ki Liong terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya berah-uh-ah-oh-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali. "Lihat caraku yang lain lagi menangkap burung terbang." kata Ceng Thian Sin sambil memberi isarat dengan pandang matanya kepada isterinya. Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba saja tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu telah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi! Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai. “Ah, saya memiliki mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mujijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe …..” Ceng Thian Sin tertawa dan melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu, Ciang Ki Liong telah menjadi murid mereka. Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini dia pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat dalam perantauannya. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat mengingat setiap jurus yang diajarkannya dengan cepat. Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang amat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang. Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, perempuan lagi, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri! Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subonya, yang memandang dia sendiri seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Dia seorang pemuda yang bersikap ramah terhadap siapapun juga, sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya. Bahkan terhadap beberapa orang gadis keluarga para penghuni pulau, dia bersikap baik dan sopan dan alim. Tentu saja melihat sikap ini, Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka dan kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu. Demikianlah, tanpa diketahui Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dari mereka. Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main. "Siocia datang …..!" "Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!" "Siocia masih saja nampak muda biarpun anaknya sudah demikian besarnya Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka dan cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar, diikuti oleh Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). "Sui Cin …..!" Toan Kim Hong berseru girang dan ibu dan anak ini segera saling berangkulan. Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, ia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis, hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Anaknya walaupun seorang wanita, memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini ia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang hebat. "Sui Cin ada apakah?" ia bertanya suaranya tegas. Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang mengantar mereka masuk setelah tadi menyambut, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya, memandang ragu dan ibunya maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkah percakapan dan kini ia memegang kedua pundak Kui Hong. "Haiii, ini... benarkah ia Kui Hong si kecil itu?" "Nenek …..!" kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat. "Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong lalu merangkulnya. Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga wajahnya nampak cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walaupun tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis. "Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong." Ki Liong cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan halus dan sopan, “Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku." Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya demikian sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya. "Ah, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini Paman Gurumu, ha-yo beri hormat kepadanya." Biarpun di dalam hatinya merasa segan memberi hormat seorang pemuda yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah. "Susiok (Paman Guru) …..!" katanya sambil memberi hormat. "Ah, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?" Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam. Melihat sikap ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan ia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang baik. "Mari kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya. Akan tetapi ia melihat Sui Cin memandang kepadanya lalu melirik ke arah Ki Liong, Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka ia lalu berkata kepada Ki Liong, "Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi, di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu kepada Sucimu." "Baik, Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan. "Aku mau melihat Susiok berlatih silat!" Tiba-tiba Kui Hong berkata dan ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, sedangkan kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka. Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran. "Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?" Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tidak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini. "Ibu, Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana." Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat daripada sekedar cekcok saja. "Engkau cekcok dengan suamimu?" Toan Kim Hong bertanya, hati-hati. Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biarpun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguhpun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh. Betapa banyaknya perhubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi percerajan karena pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan retak itu. Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan. Bukan tak mungkin suami dan isteri hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya sudah saling berkasih-kasihan. Akan tetapi, orang tua dan keluarga merupakan orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan dapat akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak. Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentu cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras. "Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya. Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya. Dengan bijaksana, Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri dengan maksud mengingatkan, "Anakku, ayah mertuamu tiada bedanya dengan ayah sendiri, oleh karena itu perlu ditaati semua kehendaknya dan jangan sekali-kali dibantah." "Ibu!" kata Sui Cin penuh semangat perlawanan karena hatinya diliputi rasa penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekalipun ?" "Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu mempunyai kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin, berlawanan dengan perasaannya sendiri karena dia pun seperti isterinya hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya. Sesungguhnya, apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena ia pun ingin sekali tahu. "Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!" "Apa?" Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu. "Tapi... tapi kenapa? Bukankah dia telah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran. "Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!" "Ahhh ……!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu rnereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Kalau Ceng Thian Sin sendiri tidak bersikap seperti itu adalah karena dia lain daripada yang lain, dan dia amat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang. Karena sebab percekcokan adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andaikata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tidak akan timbul masalah yang mencemaskan ini. "Bagaimana dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati. Sui Cin menggerakkan pundaknya. "Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya dan tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul." Sui Cin lalu menceritakan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa. Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka ia pun bertanya, "Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah keliru tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi?" Ayahnya menarik napas panjang. "Sui Cin, bagaimanapun juga, ayah dan Ibumu tak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan …." "Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran. Ayahnya tersenyum dan ibunya yang menjawab, "Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain daripada yang lain. Kami cukup puas walaupun tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang amat baik, yaitu sutemu Ki Liong. Kami tak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Sekarang terserah kepada Hui Song karena dia yang harus mengambil keputusan." "Kasihan Hui Song, dialah yang menanggung paling berat." kata Ceng Thian Sin. "Dia yang menjadi serba salah." "Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya dan kehilangan ayah? Harap Ayah jujur menjawabnya." Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang amat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tidak mau dimadu dengan alasan apapun juga. "Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya kalau dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin." Sui Cin mengerutkan alisnya. "Tidak, aku tidak sudi mengalah. Kalau memang dia mau menikah lagi, biarlah, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!" Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Biarpun pemuda itu termasuk paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apalagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biarpun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah kalau dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona! Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apalagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sulit, diam-diam Kui Hong mentertawakannya. Ia merasa lebih unggul kalau bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena ia digembleng ayah ibunya sejak berusia lima enam tahun, sudah sepuluh tahun lamanya ia berlatih ilmu silat keluarganya, sedangkan Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja. Ketika Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), nampaknya pemuda itu agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa. "Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!" Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa di situ terdapat orang lain yang melihat dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu sucinya. "Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahll dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!" katanya menghentikan gerakannya. "Karena itu aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walaupun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu." "Hi-hi-hik, mana ada seorang Paman Guru bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjuk darimu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu mulda. "Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik." Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang. "Baiklah, akan tetapi memang jurus Pat-hong-hong-i ini sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kaulihat baik-baik. Akan tetapi gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok." Gadis itu lalu memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah ia sedang menari-nari saja. Diam-diam Ki Liong memperhatikan dan dia pun segera dapat melihat kekeliruannya. Seharusnya dia menggunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing. Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu dan memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya. Makin kacau agaknya gerakan Ki Liong. Akan tetapi akhirnya, setelah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong-hong-i dengan benar. "Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok." Ki Liong kini menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lalu menjura dan tersenyum. "Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona." Mendengar dirinya dipuji cantik jelita, Kui Hong merasa aneh. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya. "Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!" katanya. Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu berpi-bu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apalagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru. "Susiok, mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di depan pemuda itu. "Eh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?" " Apalagi- permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pi-bu?" "Wah! Engkau mengajak aku untuk pi-bu? Mana aku berani, Nona?" "Susiok, namanya saja pi-bu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pi-bu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri sendiri masing-masing sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?" "Ah, begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri. "Kalau latihan bersama, tentu saja aku suka. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk kalau gerakanku ada yang keliru, Nona." "Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong-sin-kun yang kaulatih tadi!" Gadis remaja itu lalu bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya. Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, dan membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong-sin-kun. Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka segera serang-menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa susioknya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik! "Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya. Dan kembali ia kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya sehingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja! Kui Hong terkejut dan teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya memiliki ilmu mujijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Ia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tidak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari. Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walaupun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya dengan sempurna benar. Hal ini adalah karena ketika muda, Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat menmencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. dan diam-diam, dia yang memiliki amat baiknya itu telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia di bawa ke Pulau Teratai Merah! Tadipun ketika dia berlatih Pat-hong-hong-i, dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walaupun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini memang selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna! Karena Kui Hong tidak dapat mengalahkan pemuda itu dengan Thai-kek Sin-kun dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, gadis ini menjadi penasaran. Dirobahnya lagi ilmu silatnya dengan San-in-kun-hoat yang amat lihai, namun pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan dapat mengimbanginya. Kui Hong menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan semacam uap putih, akan tetapi ketika pemuda itu menangkisnya dengan ilmu yang sama, Kui Hong terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa dalam hal sin-kang pengerahan tenaga pukulan ini, ia masih kalah! Pada saat itu, muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah. “Eh, apa yang kaulakukan itu, Kui Hong? Berhenti!” teriak Sui Cin melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya. Melihat munculnya mereka bertiga, Ki Liong cepat meloncat ke belakang dan menjura dengan hormat. “Nona Hong, ilmu kepandaianmu sungguh hebat, membuat aku kagum sekali.” “Ibu, aku hanya mengajak susiok untuk latihan bersama!” kata Kui Hong kepada ibunya, namun Sui Ceng mengerti akan watak puterinya yang suka berpibu, dan tadi ia melihat betapa anaknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Diam-diam ia sendiri merasa penasaran melihat betapa puterinya agaknya masih belum mampu menandingi pemuda itu, padahal menurut keterangan ayah ibunya, pemuda itu enam tahun belajar di situ. Kalau demikian, memang pemuda itu memiliki bakat yang baik sekali. Setelah memberi hormat, Ki Liong lalu mengundurkan diri dengan alasan hendak membantu pekerjaan di ladang. Setelah pemuda itu pergi, nenek Toan Kim Hong berkata kepada puterinya. “Dia seorang anak yang baik dan rajin sekali. Selama enam tahun dia berada di sini, tak pernah mengecewakan, baik dalam ketekunannya berlatih silat maupun kerajinannya membantu pekerjaan di ladang atau mencari ikan.” “Benar, dia seorang murid yang baik dan tidak pernah mengecewakan,” kata pula Pendekar Sadis. “Bagaimana, Kui Hog, ketika engkau latihan bersama dia?” Kui Hong mengerutkan alisnya. “Ada yang aneh, Kong-ko (Kakek).” “Aneh? Apanya yang aneh?” kakek itu bertanya. “Ketika berlatih Pat-hong-hong-i, dia amat kaku sehingga aku harus memberi contoh gerakan itu yang benar, nampaknya dia belum begitu mahir. Akan tetapi ketika kami latihan bersama, dia mampu mengimbangi semua seranganku dan ternyata dia pandai sekali, dan tenaga sinkangnya pun amat kuat, bahkan dia mampu menggunakan Bian-ciang.” “Tentu dia amat hebat karena dia langsung digembleng oleh Kakek dan Nenekmu,” kata Sui Cin, tidak bebas sama sekali dari perasaan iri. Ayahnya tertawa. “Ha-ha, kemajuan seseorang dalam ilmu silat tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Kalau dia berbakat dan rajin berlatih, tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat.” Sementara itu, Ki Liong yang pergi ke ladang, ternyata tdiak mencangkul atau bekerja lain, melainkan duduk melamun di bawah pohon. Kadang-kadang dia tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar mencorong aneh. Dia membayangkan semua yang telah dialaminya tadi, di lian-bu-thia. Masih nampak wajah yang cantik manis itu, dengan sepasang mata yang jeli dan bibir yang manis, masih tercium olehnya keharuman yang khas, bau kewanitaan yang keluar dari tubuh Kui Hong ketika mereka berlatih silat, masih terdengar suara merdu ketika gadis itu berkata-kata, dan masih terasa pada tangan dan lengannya kehangatan kengan tangan gadis itu ketika lengan dan tangan mereka bersentuhan. Ah, semua itu membangkitkan berahinya dan kalau saja gadis itu bukan puteri sucinya, kalau saja gadis itu tidak berada di pulau ini, di mana tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembarangan menurutkan hasrat hatinya, tentu akan diusahakan sekuat tenaga untuk mendapatkan gadis itu. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Hong, perasaan yang belum pernah selama ini dirasakan. Dia hanya mendengar saja dari percakapan para penghuni pulau tentang cinta antara pria dan wanita, dan belum pernah dia merasakannya sendiri. Belum pernah dia jatuh hati, dan kalau adakalanya dia tertarik oleh kecantikan seorang gadis pulau itu, maka perasaan ini ditahan dan ditekannya, karena dia harus memperlihatkan sikap yang paling baik disitu. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Kui Hong, dia sama sekali tidak mampu lagi menahan perasaan hatinya, dan dia maklum bahwa bahaya telah mengancam dirinya. Dia hampir tidak kuat bertahan, dan kalau sampai dia menjadi mata gelap, mendekati Kui Hong dan gadis itu menolak, lalu ketahuan oleh suhu dan subonya, tentu dia akan mengalami celaka. Dia sudah melakukan persiapan sejak lama, persiapan untuk melarikan diri dari pulau itu! Suhu dan subonya selama ini tidak mengenal siapa dia, siapa dirinya yang sesungguhnya. Siasat yang dijalankannya enam tahun yang lalu telah berhasil baik. dia telah berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti, bahkan berhasil menggembleng diri selama enam tahun sehingga dia telah mewarisi ilmu kepandaian suami isteri yang sakti itu! Ada beberapa macam ilmu telah dihafalnya benar, hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Bahkan dia telah tahu akan rahasia Ilmu Thi-ki-i-beng, yaitu semacam ilmu rahasia dari Cin-ling-pai yang amat dahsyat karena ilmu ini merupakan penggunaan sinkang tenaga sakti dari tubuh lawan! Dia hanya tahu akan teorinya saja, akan tetapi belum sempat melatihnya karena untuk dapat menguasai ilmu ini membutuhkan latihan yang cukup lama dan berat. Dia telah secara diam-diam mengumpulkan benda-benda berharga di dalam gudang pusaka suhu dan subonya. Benda-benda itu telah dikumpulkan dan dipisahkan di dalam gudang itu, setiap saat bisa diambilnya! Sungguh pandai sekali pemuda ini dan sama sekali tidak disangka oleh Pendekar Sadis dan isterinya. Padahal, sepasang suami isteri ini adalah orang-orang yang amat lihai dan cerdik. Kelemahan mereka, yaitu kehausan akan anak atau murid laki-laki itulah agaknya yang membuat mereka terkecoh dan menerima Ki Liong sebagai seorang murid yang amat baik dan yang mereka sayang seperti anak sendiri, Siapakah sebenarnya Ki Liong ini? Kepada Pendekar Sadis dan isterinya, dia mengaku she Ciang, sebenarnya tidaklah demikian. Namanya memang Ki Liong, akan tetapi sesungguhnya dia she Sim. Ibunya yang she Ciang dan ibunya bernama Ciang Si. Ketika masih gadis ibunya tergila-gila kepada seorang pemuda yang tampan dan gagah pesolek. Karena rayuan maut pemuda itu, Ciang Si akhirnya menyerahkan diri kepada pemuda itu. Pemuda itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah Sim Thian Bu, murid dari Si Iblis Buta, masih terhitung saudara seperguruan Siangkoan Ci Kang, putera Si Iblis Buta (Baca Certia Asmara Berdarah). Sim Thian Bu merupakan murid yang pandai dan lihai sekali di samping kecerdikannya yang membuat dia sempat mengangkat namanya terkenal di dunia kang-ouw. Seperti dapat diikuti perjalanan Sim Thian Bu di dalam cerita Asmara Berdarah, pemuda ini bahkan telah diterima menjadi orang kepercayaan Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi kekasih dari Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa. Ketika terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi tokoh di antara para pembantu mereka dan dalam bentrokan yang terjadi antara para pemberontak yang terdiri dari golongan sesat melawan para pendekar yang membanti pasukan pemerintah, akhirnya Sim Thian Bu roboh oleh Siangkoan Ci Kang, suhengnya sendiri, lalu tewas di bawah hujan senjata para perajurit. Dia tewas seperti juga Siang-tok Sian-li tewas setelah roboh oleh Ceng Sui Cin. Hubungan kasih antara Sim Thian Bu dan Ciang Si tidak berlangsung lama. Setelah Ciang Si mengandung tua, Sim Thian Bu meninggalkan begitu saja. Ciang Si tetap mencinta Sim Thian Bu. Biarpun pria itu telah meninggalkannya, bahkan mencarinya ke sana-sini sambil membawa anak laki-laki yang dilahirkannya. Anak itu ia beri nama Sim Ki Liong dan sambil merana dalam pencariannya terhadap pria yang dicintanya, Ciang Si mendidik anaknya itu. Akhirnya, ia mendengar akan kematian Sim Thian Bu dari anggauta pemberontak yang dijumpainya. Ia mendengar bagaimana Sim Thian Bu tewas dalam pertempuran melawan para pendekar, bahkan bagaimana dia roboh oleh Siangkoan Ci Kang kemudian tubuhnya hancur lebur oleh hujan senjata para perajurit. Tentu saja berita itu membuat Ciang Si berduka sekali, akan tetapi di samping kedukaannya wanita ini pun menaruh dendam yang amat mendalam kepada para pendekar, terutama Siangkoan Ci Kang yang menjadi penyebab kematian pria yang dicintanya. Cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam dan hal ini diharapkannya akan dapat dilakukan oleh Ki Liong kelak kalau anak itu sudah dewasa. Maka, mulailah ia memanggil guru-guru silat untuk melatih anaknya. Akan tetapi, setelah mengenal dunia ilmu silat, Ki Liong merasa tidak puas dengan latihan-latihan yang diberikan oleh guru-guru silat bayaran itu, apalagi ketika ia mendengar tentang pendekar-pendekar dan tokoh-tokoh dunia persilatan yang sakti dari para guru silat itu. Diantara nama-nama itu, yang amat menarik hatinya adalah nama Pendekar Sadis, Majikan Pulau Teratai Merah yang disohorkan oleh para guru silat itu sebagai pendekar silat yang paling lihai di dunia! Mulailah anak itu bercita-cita untuk menjadi murid Pendekar Sadis! Ki Liong sudah mendengar dari ibunya tentang kematian ayah kandungnya, tentang para pendekar yang memusuhi ayahnya, dan dia tahu pula betapa ibunya mendendam atas kematian ayahnya. Oleh karena itu, ketika dia berusia empat belas tahun, dia berunding dengan ibunya untuk dapat berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. “Aku sudah mendengar akan nama itu, Anakku, akan tetapi bagaimana mungkin engkau akan dapat diterima menjadi muridnya? Apalagi kalau keluarga itu tahu bahwa ayahmu adalah Sim Thian Bu, seorang tokoh yang pernah memberontak dan menjadi musuh para pendekar ……” “Aku tidak akan mengaku putera Ayah Sim Thian Bu, Ibu. Aku akan mencari nama lain kalau ada yang menanyakan Ayahku, dan aku akan menggunakan nama keturunan Ibu, yaitu she Ciang.” “Hal itu memang dapat diatur, akan tetapi Pendekar Sadis adalah seorang pendekar besar, bagaimana dapat mudah saja mengambil engkau yang tidak dikenalnya sebagai murid?” “Percayalah, Ibu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat menjadi muridnya. Kelak, kalau sudah berhasil, barulah aku akan pulang dan aku akan dapat membalaskan sakit hati Ibu kepada Siangkoan Ci Kang.” Ibunya merangkulnya dan dengan air mata bertitik ibu ini akhirya melepaskan anaknya untuk pergi berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Demikianlah Ki Liong yang cerdik itu dengan mempertaruhkan nyawanya dalam penyerangan badai, akhirnya berhasil mengambil hati Pendekar Sadis dan isterinya, dan berhasil di ambil murid terkasih dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Tentu saja sebelum dia membiarkan dirinya terserang badai sehingga nyaris tewas, dia telah menyelidiki dari kaum nelayan tentang keanehan Pendekar Sadis dan tahu bahwa kalau dia terang-terangan datang minta dijadikan murid, pasti tidak akan berhasil. Pertemuan Ki Liong dengan Kui Hong yang menggerakkan nafsu berahinya, bahkan menggugah semua nafsu yang selama ini ditekan dan dipendamnya baik-baik untuk mengelabui suhu dan subonya. Kini dia merasa tidak dapat menahan lebih lama lagi hidup sebagai orang kurungan di pulau itu. Selama enam tahun ini, segala keinginan yang timbul dari lubuk hatinya, ditekan dan dirahasiakannya, dan dengan usaha sekuat tenaga melawan gairahnya sendiri, dia dapat memaksa dirinya bersikap lemah lembut, peramah, sopan santun dan tak pernah melakukan pelanggaran disamping tekun dan rajin berlatih dan bekerja. Sungguh merupakan suatu keuletan yang luar biasa sekali dan tidaklah aneh kalau seseorang yang memiliki ketabahan dan keuletan seperti itu akhirnya dapat berhasil memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi kini bendungan itu jebol! Pertahanannya untuk mengekang diri dan semua nafsu yang bergejolak di dalam batinnya telah retak-retak begitu dia bertemu dengan Kui Hong, bercakap-cakap, bahkan beradu tangan dan lengan dengan gadis itu Malam itu Ki Liong gelisah tak dapat tidur, dan akhirnya, setelah memutar otak dan membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan, dia lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia lalu duduk bersila dan menegakkan tubuh, memejamkan mata, akan tetapi sekali ini dia bukan berlatih samadhi seperti biasa. Gurunya Ceng Thian Sin, pernah mengajarkan kepadanya cara bersamadhi jungkir balik untuk melatih sinkang dalam Ilmu Silat Hok-liang Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun. Dan dengan bermacam cara jungkir balik ini dia mengenal tenaga-tenaga dalam yang mujijat, juga gurunya memberitahu bahwa tenaga-tenaga yang tidak nampak itu menjadi dasar dari segala macam ilmu di dunia ini. Bahkan ilmu sihir dan sebagainya juga berpangkal pada tenaga tersembunyi ini. Sebagai seorang pemuda yang cerdik sekali, Ki Liong pernah melakukan percobaan-percobaan dengan tenaga yang terasa bergerak di dalam pusarnya itu. Pernah dia mencoba untuk memusatkan perhatiannya, menggunakan tenaga sakti itu untuk memperkuat perasaan hatinya dan dengan dorongan tenaga ini dia menghendaki agar orang-orang tertentu dari pulau itu, yang berada cukup jauh di depannya, menengok kepadanya, berjalan berjongkok dan melakukan hal-hal yang dikehendakinya pada saat itu. dan beberapa kali perintahnya tanpa kata-kata ini, hanya dengan kekuatan dalam mendorong kemauan dalam hatinya, ternyata berhasil! Beberapa orang itu melakukan apa yang diperintahnya secara diam-diam dan dia pun merasa girang. Akan tetapi dia tidak berbuat lebih jauh lagi, karena maksudnya bukan untuk berpamer atau menghendaki sesuatu. Dia hanya ingin menguji kekuatan batinnya sendiri. Kini, baru pertama kali dalam hidupnya dia melakukan samadhi mengumpulkan kekuatan itu dengan satu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya, yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini, tidak ada lain jalan kecuali melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga. Sementara itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak dapat tidur. Ia mendapatkan sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya, sedang kamar kakek dan neneknya, kamar besar, berada di seberang kamarnya. Ia tidak dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susioknya itu! Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa ia tidak tahu. Ada sesuatu yang membuat ia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tidak enak menyelinap di dalam hatinya. Ia sendiri merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal, susioknya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan. Apakah ia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat? Ah, mengapa harus iri? Bukankah bagaimanapun juga pemuda itu adalah paman gurunya? Seharusnya ia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai! Wajah pemuda itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakannya pengap itu, untuk mencari hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu amat indahnya, dan disitu terdapat segala macam bunga. Tadipun, ketika memasuki kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman. Kui Hong membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek neneknya yang sudah masuk ke kamar masing-masing. Lalu ia melangkah menuju ke taman, melewati beberapa kamar. Tak nampak seorang pun pelayan berada di luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang berada di dalam kamarnya yang hangat. Memang sejuk dan segar sekali hawa di dalam taman. Bulan sepotong telah keluar dan biarpun sinarnya masih redup, namun cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu. Kui Hong lalu duduk diatas bangku setelah berjalan mengelilingi taman itu, diantara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar sedemikian indahnya. Memang berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san. Di sana, kembang-kembang mekar agak terlambat, menanti sampai musim semi benar-benar sudah masuk dan sisa musim salju sudah pergi jauh. Di selatan ini, matahari bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan nampak lebih segar. “Nona, engkau berada di sini juga?” tiba-tiba terdengar suara orang. Kui Hong yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susioknya telah berada di situ. Ih, pemuda ini muncul seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi, tahu-tahu berada di situ. “Susiok, mau apa engkau malam-malam begini meninggalkan kamarmu?” Kui Hong bertanya, memandang tajam melalui keremangan cuaca malam. Pemuda itu tersenyum dan nampak sejenak gigi putih berkilat. “Ah, kiranya tidak banyak bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada di sini, Nona Hong. Aku merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar di sini. Biasa hak ini kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kusangka malam ini aku akan berjumpa denganmu disini, hal yang amat menggembirakan.” Kui Hong adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Biasa baginya bercakap-cakap dengan siapa saja, baik dengan wanita maupun dengan pria ketika ia masih tinggal di Cin-ling-san. Maka, kini berduaan saja dengan seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung. “Duduklah, Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan demikian harum bunganya.” Bukan main girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya “memanggil” Kui Hong melalui samadhinya tadi berhasil. Dia tadi mendengar langkah kaki halus dari gadis itu ketika menuju ke taman bunga dan dia pun cepat turun dari pembaringan untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga tegang ketika dia melihat Kui Hong meangkah menuju ke taman, tepat seperti yang diinginkannya! Dan kini, setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka kepadanya. Diatahu, bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu, berdua saja malam-malam di dalam taman bersama seorang lakilaki, tentu akan cepat pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini menyambutnya dengan baik dan mempersilakan dia duduk. “Memang indah sekali taman ini, banyak bungi di sini aku yang menanamnya, akan tetapi malam ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya karena engkau berada disini, Nona Hong.” Biarpun ucapan itu dilakukan dengan suara halus danpenuh kesopanan, namun isinya membuat Kui Hong mengangkat muka memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Susiok, mengapa sikap dan kata-katamu seperti itu? sungguh aneh kedengarannya. Tadi engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kausangka ini amat menggembirakan, dan kini kaukatakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya!” Ia memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Ia sudah tahu dan ia senang sekali dengan pujianku, tapi ia pura-pura tidak tahu dan memancing-mancing! Tidak perlu lagi kusembunyikan, ia pasti akan menerima kenyataan cintaku! Setelah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus. “Aih, Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila kepadamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita tadi, aku telah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlalu cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini ……” Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu. “Susiok ….!” Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular setelah tadi untuk beberapa detik lamanya ia seperti terpukau di tempat duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susioknya itu. kini mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong yang bekum berpengakaman itu diterima dengan keliru pula. “Nona Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi, tidak ada orang lain kecuali kita berdua di taman ini ….” Dan dia pun mengulur tangan hendak menangkap lengan gadis itu, untuk ditariknya di atas pangkuannya dan didekapnya, diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibirnya yang demikian manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi. “Plakk!” Baru Ki Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui Hong. Wajah Ki Liong berubah pucat sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah ditipu oleh harapan dan khayalan sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya untuk bermain cinta! “Susiok, apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku? Mentang-mentang engkau menjadi murid Kakek dan Nenekku, ya? Keparat!” Dan Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap. Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan kebelakang. “Eh, ah, maaf, Nona … aku …. aku tidak bermaksud buruk ….” Katanya dengan muka pucat. Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, ia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti menyerang seorang musuh yang harus ia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya. Sebetulnya, Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong tadinya. Bahkan ia harus mengakui bahwa ia tertarik dan kagum kepada susioknya yang masih muda, tampan gagah dan memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukan merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali. Pertama, Ki Liong baru saja hari itu diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Ke tiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang, dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali dan menimbulkan rasa malu. Memang harus di akui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum berpengalam sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu. Kini, nafsunya bergolak dan pertahanannya bobol begitu dia bertemu dengan Kui Hong, maka dia pun bertindak tanpa pikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar betapa gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang akan merugikan dirinya sendiri saja. “Maaf, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku ….” Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis. Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan. “Plakk!” Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, disitu hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran. Akan tetapi Ki Liong yang melihat hadirnya suhu dan subonya, menjadi gelisah bukan main dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya. “Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati seklaipun dari Suhu dan Subo!” Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu. tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga berlari keluar menuju taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya, cepat menangkis. Kui Hong, apalagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?” tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu keterlaluan terhadap susiok yang sepatutnya dihormati. “Ibu, dia itu …. kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!” bentak Kui Hong marah. Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi kaget bukan main. Terutama sekali Ceng Thian Sin dn Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam setelah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya? Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tidak pernah berbohong dan kalau puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi ia pun meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sutenya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong. “Apa yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?” Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan ia pun baru menyadari betapa memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu ia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa ia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi. “Ibu, dia itu … dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani merayuku!” Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh. “Ki Liong, apakah yang telah kaulakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?” tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali. “Suhu dan Subo, teecu telah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Teecu sungguh tidak tahu diri karena tadi teecu telah mengaku cinta kepadanya sehingga ia menjadi marah dan menyerang teecu.” Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu kalau melihat betapa cantik manisnya cucunya itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bukanlah perbuatan aneh, apalagi bagi Ki Liong yang belum berpengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi. Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah. “Hemmm, bagaimana engkau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri? Sungguh perbuatan itu lancang sekali, Ki Liong. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?” “Ampun, Suhu. Teecu …. teecu …. jatuh hati begitu melihat Nona Hong …., dan teecu berterus terang kepadanya …. kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar, membuat teecu lupa diri … dan … dan …. teecu mengaku salah dan siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo.” “Kui Hong,” kini nenek itu berkata kepada cucunya. “Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?” Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadii bingung. Apalagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya. “Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu mmebuat aku merasa malu dan marah, merasa terhina maka aku menyerangnya!” katanya nekat. Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja, atau meninggalkan pergi. “Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Kalau engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya.” Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini, Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya dan dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh. “Ki Liong, perbuatanmu tadi lancang dan mnyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau dapat melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tidak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?” Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya! “Teecu sudah merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman atas kelancangan dan kebodohan teecu.” Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi kenapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata? “Sudahlah, penyesalan tak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu.” Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subonya, bahkan setelah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata, “Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemud aitu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya “Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu,” kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya. Baru saja ia pulang ke bersama puterinya, membawa berita yang amat buruk tentang hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing, dan sekarang, baru setengah malam berada disitu, puterinya sudah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tidak enak. Sungguh ia merasa sebagai beban saja kepada dua orang tuanya yang tentu sebelum ia datang hidup di dalam keadaan aman tenteram dan kini menjadi kacau begitu ia pulang!