** Sungai Yuan yang airnya jernih itu mengalir ke timur menuju ke Telaga Tung-ting yang terletak diperbatasan Propinsi Hu-nan dan Hu-pai. Ketika sungai itu melewati pegunungan yang penuh dengan hutan cemara, airnya mengambil jalan berkelok-kelok dan dari tempat ketinggian itu nampak seperti seekor ular perak yang amat panjang. Pemuda itu mengagumi pemandangan alam yang amat indah ini, smabil duduk di atas padang rumput di puncak bukit yang datar itu dan memberi kesempatan pada tubuhnya untuk beristirahat. Dari tempat dia duduk nampak di kejauhan Danau Tung-ting yang luar biasa luasnya itu, seperti lautan. Danau inilah yang memberi nama kepada dua propinsi, yaitu Propinsi Hu-nan (sebelah selatan danau) dan Propinsi Hu-pai (sebelah utara danau). Danau atau Telaga Tung-ting ini di sebelah selatan menampung air dari sungai-sungai Yuan, Siang, Ce, dan Li dan menghubungkan air danau dengan Sungai Yang-ce-kiang yang amat besar itu. danau itu menjadi semacam waduk alam yang amat besar, yang mengatur pasang-surutnya air Sungai Yang-ce. Di pagi hari menjelang siang itu, pemuda tadi duduk mengaso dan termenung. Alangkah jauhnya sudah dia menjelajahi bumi. Telaga atau Danau Tung-ting yang nampak dikejauhan seperti laut membentang luas itu juga dikunjunginya beberapa hari yang lalu, sempat berperahu dan mengail ikan disana. Alangkah jauh dan lama dia menjelajah. Dia tidaklah terlalu muda lagi. Usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih dari kain kasar yang kuat dan bersih. Hanya pita rambut dan ikat pinggangnya yang berwarna biru. Dia sesungguhnya bukanlah seorang pemuda, melainkan seorang wanita, yaitu Kok Hui Lian! Kita tahu bahwa wanita ini meninggalkan Hek-bun, dusun tempat tinggalnya, meninggalkan suhengnya, untuk melakukan perantauan, untuk menghibur hatinya yang penuh dengan kekecewaan dan kedukaan. Sekali merantau, ia menemukan hiburan di dalam kehidupan baru ini, sehingga ia lupa akan janjinya untuk pulang ke tempat tinggal suhengnya. Sudah dua tahun ia merantau dan sudah jauh tempat yang dijelajahinya. Bahkan sudah pula ia mengunjungi San-hai-koan di mana mendiang ayahnya pernah tinggal dan bahkan menjabat sebagai gubernur. Namun, ketika ia melakukan penyelidikan, ternyata ayah dan ibunya, juga seisi rumah, telah menjadi korban perang, semua telah tewas, kecuali ia seorang yang diselamatkan seorang pendekar yang menurut cerita suhengnya kemudian, bernama Cia Hui Song, putera dari Ketua Cin-ling-pai. Ia berhasil menemui seorang paman, yaitu adik misan ayahnya yang menjadi seorang pembesar di San-hai-koan. Akan tetapi ternyata paman itu bersikap congkak dan tinggi hati, membuat ia merasa sungkan untuk mengenalkan dirinya dan akhirnya ia meninggalkan San-hai-koan dan menganggap bahwa orang tuanya tidak meninggalkan anggauta keluarga lain kecuali dirinya sendiri. Ia berkunjung ke makam ayah ibunya dan bersembahyang. Kini ia telah tiba di tempat sunyi yang indah itu, dan duduk mengagumi keindahan pemandangan alam sambil melamun. Ia teringat akan masa lalunya, teringat kepada Ciang Su Kiat, orang yang tadinya menjadi gurunya, menjadi pengganti orang tuanya, sahabatnya, dan kemudian menjadi suhengnya. Dan ia menjadi terharu. Setiap kali termenung dan terkenang kepada suhengnya, makin jelas teringat olehnya betapa baiknya suhengnya itu terhadap dirinya. Dan betapa malang nasib suhengnya. Pernah suhengnya bercerita tentang lengannya yang buntung. Lengan kiri itu dibuntungi sendiri sebagai pernyataan bersalah terhadap Cin-ling-pai! Di depan ketua Cin-ling-pai, ayah dari Pendekar Cia Hui Song yang menyelamatkannya, suhengnya itu membuntungi lengan kirinya sendiri, sebagai penebusan dosa dan sebagai protes pula atas peraturan yang amat keras dan bengis dari Cin-ling-pai. “Dosa” suhengnya itu adalah karena Su Kiat membunuh seorang tihu untuk membalas dendam atas kematian ayahnya yang disiksa sampai mati oleh tihu itu karena ayahnya mencuri perhiasan untuk membiayai pengobatan anak bungsunya Kasihan sekali suhengnya! Dan keterlaluan sekali Ketua Cin-ling-pai itu. Apakah ketua itu tidak melihat bahwa suhengnya tidak melakukan kejahatan, melainkan hendak membalaskan kematian dan sakit hati ayah kandungnya? Biarpun suhengnya melupakan urusan itu, namun kini perasaan penasaran membuat Hui Lian mengambil keputusan untuk mengunjungi Cin-ling-pai dan setidaknya ia akan menegur Ketua Cin-ling-pai atas kebengisan dan kekejamannya itu! Tiba-tiba Hui Lian tersentak dari lamunannya ketika ada suara melengking merdu, naik turun dengan lembutnya, memasuki pendengarannya. Ia segera memperhatikan dan itu adalah suara suling yang ditiup secara aneh. Suara itu demikian lembut, naik turun dengan halusnya, dalam lagu yang selamanya belum pernah ia mendengarnya. Akan tetapi hanya sebentar saja suara itu terdengar, karena segera menjauh dengan amat cepatnya, seolah-olah suling itu dibawa terbang lalu saja. Hui Lian bangkit berdiri, memandang ke sekeliling untuk mencari peniup suling, akan tetapi tidak nampak sesuatu dan kini suara suling itu telah makin sayup-sayup kemudian menghilang di kejauhan. Ketika ia memandang ke bawah, di sebuah lereng yang penuh rumout hijau gemuk, ia melihat puluhan ekor domba digembala oleh seprang anak laki-laki yang usianya belasan tahun. Anak itukah Si Peniup Suling, pikirnya. Karena ingin tahu sekali, masih tertarik oleh suara yang aneh tadi, Hui Lian meninggalkan puncak bukit itu dan menuruni bukit menuju ke lereng bukit dimana anak laki-laki itu sedang menggembala dombanya. Ketika mengerahkan ilmunya berlari cepat, dalam waktu singkat saja Hui Lian telah tiba di lereng bukit itu. Akan tetapi ketika ia tiba di tempat di mana anak laki-laki berusia belasan tahun itu menggembala tiga puluh ekor dombanya, ia terkejut dan cepat menyelinap dibalik batang pohon sambil mengintai ke depan. Tak jauh dari situ, ia melihat empat orang yang mengerikan. Mereka itu dua orang pria dan dua orang wanita, keempatnya sudah berusia enam puluh tahun lebih. Agaknya mereka adalah dua pasang suami isteri. Yang sepasang merupakan kakek dan nenek biasa saja, bahkan kakek tinggi besar itu nampak gagah dan isterinya, nenek yang tubuhnya masih ramping itu memperlihatkan bekas kecantikannya. Namun, pasangan ke dua amat mengerikan. Yang pria tinggi kurus dengan muka yang cukup tampan akan tetapi seperti topeng saja, karena tidak nampak pergerakan pada kulit muka itu! dan isterinya, yang juga berpakaian hitam-hitam seperti suaminya, dapat dibilang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat dan membayangkan kekejaman. Dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa empat orang itu bukanlaj kakek dan nenek sembarangan. Dugaannya memang tidak keliru. Dua pasang suami isteri tua itu bukan lain adalah Lam-hai Saing-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan kisah ini, dua pasang suami isteri sesat ini pernah saling bermusuhan ketika mereka saling memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) belasan tahun yang lalu. Kemudian, karena dari permusuhan itu mereka sama-sama tidak memperoleh keuntungan, mereka lalu bersekutu dan akhirnya mereka bertemu dengan tokoh datu sesat Lam-hai Giam-lo yang amat sakti dan menjadi sekutu atau anak buahnya. Lam-hai Giam-lo telah mendapatkan seorang murid yang kaya raya dan kini datuk ini tinggal bersama muridnya, mempunyai banyak anak buah yang terdiri dari tokoh-tokoh sesat yang pandai seperti dua pasang suami isteri itu. “Aahh, kebetulan sekali. Perut kita lapar dan lihat domba-domba yang muda dan gemuk itu!” terdengar Ma Kim Li, nenek isteri Siangkoan Leng yang menjadi Sepasang Iblis Laut Selatan itu berkata sambil menunjuk ke arah sekumpulan domba yang makan rumput dan berkeliaran di situ. Anak penggembala itu duduk di bawah pohon, kadang-kadang meneriaki domba yang berkeliaran telampau jauh. Melihat pakaiannya yang terbuat dari kain Liu-jang, yaitu kain yang terbuat dari bahan rami yang terkenal di daerah Hu-nan, mudah di duga bahwa anak ini adalah suku bangsa Miao, suku bangsa yang banyak terdapat di daerah itu. “Benar sekali! Daging domba muda dan gemuk itu dibakar setengaj matang, diberi garam saja sudah lezat bukan main,” kata suaminya. “Aku masih menyimpan sisa garam dan bumbunya,” kata Tong Ci Ki yang mukanya pucat seperti mayat. “Aku lebih suka mengganyang otak domba itu mentah-mentah, segar dan memperkuat tulang!” kata suaminya yang bernama Kwee Siong. “Mari kita tangkap, seorang seekor dan boleh makan menurut selera masing-masing,” kata Siangkoan Leng, suami dari Ma Kim Li. Mereka serentak muncul dari balik semak-semak dan menghampiri sekumpulan domba itu. Melihat ada empat orang kakek dan nenek menghampiri domba-dombanya yang menjadi gelisah, ana penggembala berusia sekitar tiga belas tahun itu pun cepat bangkit dan lari menghampiri. Ketika anak itu melihat betapa empat orang kakek dan nenek itu masing-masing menangkap seekor domba muda, dia terkejut sekali dan dalam bahasanya sendiri, bahasa suku bangsa Miao, dia berteriak, “Lepaskan domba-dombaku, jangan tangkap mereka!” Anak itu berusaha untuk mengambil kembali domba-dombanya dari tangan empat orang kakek dan nenek yang menangkapnya, akan tetapi Ma Kim Li yang berdiri paling dekat, mendorongkan tangan kirinya dan tubuh anak itu pun terdorong ke belakang, terjengkang dan terguling-guling, di atas rumput. Sambil tertawa-tawa empat orang kakek dan nenek sesat itu hendak pergi dari situ membawa empat ekor domba muda yang kini mengembik ketakutan. Anak laki-laki itu terkejut sekali, akan tetapi dia tidak menangis, bahkan cepat dia bangkit lagi dan lari mengejar. “Kembalikan domba-dombaku! Kembalikan, kalian pencuri-pencuri busuk!” Mendengar mereka di maki pencuri busuk, Kwee Siong yang berjuluk Si Tangan Maut, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang seperti topeng itu sama sekali tidak menunjukkan apa-apa, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Hemm, besar juga nyali anak ini. Tentu otaknya lebih segar dan menguatkan tulang daripada otak domba. Nak, mari ikut bersamaku!” katanya dan Kwee Siong sudah melemparkan domba yang tadi dipegangnya ke atas tanah, lalu tangannya menjangkau untuk menangkap leher anak laki-laki itu. “Tua bangka busuk, jangan ganggu anak itu!” tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja tubuh anak itu tertarik ke belakang sehingga terluput dari cengkeraman tangan Kwee Siong. Kakek itu terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Kiranya seorang dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Dia seorang laki-laki muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih kasar namun bersih, dengan ikat rambut dan ikat pinggang berwarna biru. Wajahnya yang tampan sekali itu membayangkan kemarahan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. Empat orang tua itu kini menghadapi pemuda yang bukan lain adalah Hui Lian itu, dan mereka semua memandang marah. “Eh, pemuda liar dari mana berani mencampuri urusan kami?” bentak Siangkoan Leng sambil melangkah maju, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak mengancam dan wajahnya beringas. Dengan suara lantang dan ketus Hui lian berkata, “Melihat sikap kalian, kalian adalah empat orang tua bangka yang tidak miskin, juga bukan orang sembarangan. Tidak malukah kalian mengganggu seorang anak penggembala domba dan merampas domba-dombanya? Kembalikan domba-domba itu!” “Wah, bocah itu sudah bosan hidup!” bentak Kwee Siong yang tadi sudah melempar dombanya karena hendak menangkap anak penggembala. Sambil membentak, dia sudah menerjang maju dan mengirim tamparan kedua tangannya bergantian ke arah kepala Hui Lian . Tamparan ini bukan sembarangan tamparan, melainkan tamparan yang mengandung tenaga kuat sekali, merupakan serangan maut. Jangankan kepala orang, batu karang pun akan remuk terlanda tamparan kedua tangan yang amat kuat itu. Dengan tenang Hui Lian mengangkat kedua lengannya ke kanan kiri. Ketika dua pasang lengan itu bertemu, kedua lengan Kwee Siong terpental dan kesempatan ini dipergunakan Hui Lian untuk melanjutkan kedua tangannya yang menangkis itu untuk mendorong ke depan, ke arah dada lawan. Kwee Siong terkejut dan mengelak ke belakang, namun hawa dorongan yang kuat masih menerjangnya dan membuat tubuhnya terjengkang keras! Hanya dengan berjungkir balik sajalah dia terhindar dari bantingan keras. Tentu saja hal ini mengejutkan empat orang itu. Pemuda berpakaian putih itu bukan saja mampu menangkis tamparan kedua tangan Kwee Siong Si Tangan Maut, bahkan mampu membalas menyerang yang nyaris membuat Kwee Siong terbanting roboh! Isteri Kwee Siong, Tong Ci Ki, menjadi marah. Ia pun melempar dombanya dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar hitam kecil-kecil beterbangan menyambar ke arah tubuh Hui Lian. Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini maklum bahwa ia diserang jarum-jarum halus yang mungkin sekali mengandung racun. Namun, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi, Hui Lian tidak menjadi gugup dengan datangnya serangan dengan senjata gelap ini. Sekali berkelebat, tubuhnya sudah lenyap dari depan empat orang lawan karena tubuh itu, dengan ginkang yang luar biasa, telah mencelat ke atas sehingga jarum-jarum itu lewat di bawah kakinya. Hui Lian tidak hanya mengelak, akan tetapi ketika tubuhnya turun, tubuh itu menyambar ke arah Tong Ci Ki yang tadi menyerangnya dengan jarum. Tentu saja Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, terkejut sekali melihat lawan yang diserang jarum-jarum halus itu secara tiba-tiba lenyap, dan ia menjadi semakin kaget ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari atas dan ketika ia menengadah, ia melihat lawannya tadi telah meluncur turun dan menyerangnya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya! Datangnya serangan ini demikian tiba-tiba dan cepat sehingga satu-satunya jalan bagi nenek iblis itu untuk menyelamatkan diri hanyalah dengan cara membuang tubuhnya ke samping, ke arah yang berlawanan dengan datangnya serangan, terus menjatuhkan diri ke bawah. Akan tetapi, gerakannya masih belum cukup cepat karena pita rambut bersama sebagian rambut, segumpal rambut bercampur uban, telah kena dicengkeram dan rontok dari kepalanya! Tong Ci Ki bergulingan dan melompat bangun dengan muka yang sudah pucat itu menjadi kehijauan, dan tengkuk meremang saking ngerinya. Nyaris ia tewas dalam segebrakan saja! Dua pasang suami isteri yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu hampir tidak dapat mempercayai mata mereka sendiri melihat betapa ada seorang pemuda yang sama sekali tidak terkenal, dengan beberapa gebrakan saja membuat suami isteri iblis dari Guha Pantai Selatan itu hampir roboh! Siangkoan Leng dan isterinya tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar yang lihai, maka tanpa banyak cakap lagi mereka pun melempar domba yang mereka tangkap tadi dan keduanya sudah menerjang maju membantu kawan-kawan mereka. Siangkoan Leng meloncat ke atas dan menubruk dengan kedua tangannya membentuk cakar, seperti serangan seekor singa kelaparan. Hui Lian menghindar dengan kecepatan kilat ke samping lalu kakinya bergerak menendang ke arah lambung penyerangnya. Siangkoan Leng menangkis tendangan itu dengan tangannya, bermaksud menangkap kaki lawan, akan tetapi akibatnya, lengannya tertendang dan dia pun terhuyung! Pada saat itu, Ma Kim Li sudah menubruk dengan serangan kilat, memukul ke arah dada, disusul dengan serangan yang dilakukan oleh Tong Ci Ki dan Kwee Siong. Karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang tinggi, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan mereka bertiga yang dilakukan hampir berbareng itu. Namun, Hui Lian juga maklum bahwa para lawannya bukanlah orang lemah, dan melihat cara mereka menyerang itu mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, cepat mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya dan tubuh itu pun berkelebatan ke sana-sini, di antara tangan dan kaki lawan yang menyerang. Hui Lian di kepung dan dikeroyok dari empat penjuru, namun, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang sukar sekali disentuh, apalagi dipukul. Lebih mudah menangkap seekor burung walet dariapda menyentuh bayangan putih yang berkelebatan dengan amat cepatnya itu. Empat orang tokoh sesat itu menjadi semakin terkejut. Tak mereka sangka bahwa di daerah sunyi ini mereka akan bertemu dengan seorang lawan yang sakti, padahal lawan itu masih demikian muda dan tidak terkenal sama sekali! Hui Lian tahu bahwa empat orang ini bukan orang baik-baik, tentu golongan hitam yang suka bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi karena ia tidak mengenal mereka dan tidak bermusuhan dengan mereka, sedangkan kesalahan mereka hanyalah mencuri domba-domba, maka ia pun tidak bermaksud untuk membunuh mereka. Kalau hal itu dikehendakinya, biarpun tidak begitu mudah karena dikeroyok empat, ia tentu akan dapat merobohkan mereka satu demi satu. Kini ia membalas dengan kecepatan gerak tangan dan kakinya, dan biarpun empat orang lawan ini pun dapat menghindarkan diri dengan saling bantu, namun permainan silat mereka menjadi kacau saking cepatnya gerakan Hui Lian, dan mereka pun merasa jerih. Mereka sedang melaksanakan tugas, tidak menguntungkan kalau melibatkan diri dalam perkelahian melawan orang yang amat lihai ini, apalagi hanya untuk urusan yang sepele. Siangkoan Leng memberi isyarat kepada tiga orang lainnya untuk melarikan diri sedangkan dia mendahului menarik tangan isterinya diajak meloncat ke laur kalangan perkelahian. Suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan juga berloncatan menjauh, kemudian tanpa menoleh lagi, keempatnya sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan lereng itu. Hui Lian tidak mengejarnya, karena ia mengenal bahayanya melakukan pengejaran terhadap orang-orang golongan sesat yang suka mempergunakan segala macam kecurangan. Apalagi memang tidak ada apa-apa antara mereka dan dirinya. Ketika dia menoleh dan mencari, ternyata sekumpulan domba itu telah lenyap dari situ dan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, domba-domba itu telah jauh berada di kaki bukit, digembala oleh anak tadi yang kini berjalan bersama seorang dewasa yang tidak dikenalnya, seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar yang menutupi seluruh kepala dan mukanya. Caping seperti itu memang dapat dipergunakan untuk melindungi tubuh, baik dari panas maupun dari curahan air hujan. Hui Lian tersenyum. Anak itu terlepas dari bahaya tanpa mengucapkan terima kasih sediki pun kepadanya. Hal ini tidak mengapa, apalagi anak itu tidak dikenalnya dan secara kebetulan saja mereka bertemu, juga anak itu tidak minta tolong kepadanya. Akan tetapi betapa melihat anak itu kini berjalan bersama seorang dewasa, hatinya merasa tidak enak dan ia menjadi curiga. Siapa tahu kalau orang bercaping lebar itu juga seorang penjahat yang menipu anak itu dan hendak merampas domba-dombanya! Maka, ia pun cepat berlari turun dari lereng itu melakukan pengejaran. Ketika ia sudah dapat menyusul, Hui Lian mencoba untuk memperhatikan muka orang dewasa yang berjalan bersama dengan anak itu. Mereka berjalan berdampingan, akan tetapi agaknya tidak pernah bicara. Anak itu pun melihatnya, dan nampaknya bingung dan juga khawatir, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berjalan lebih merapat kepada orang dewaasa itu. Ketika Hui Lian mendahului untuk dapat melihat wajah orang, orang itu agak menundukkan mukanya sehingga caping lebar itu kini menutupi mukanya sama sekali dari arah samping dan depan! Hui Lian yang melirik tidak melihat apa-apa kecuali sebuah caping yang dicat kuning itu. Orang itu mengenakan pakaian berwarna biru muda dengan garis-garis di pinggirnya. Beberapa kali Hui Lian berjalan di dekat mereka, baik dari belakang maupun dari depan. Sambil melirik. Namun selalu hanya caping yang dilihatnya karena dari manapun ia memandang, muka itu selalu terlindung caping. Ia menjadi penasaran dan semakin curiga. Jangan-jangan orang ini memang sengaja menyembunyikan mukanya, pikirnya mendongkol, merasa di permainkan. Karena itu, dengan langkah lebar ia pun menghampiri mereka. “Hei, berhenti dulu!” kata Hui Lian dengan suara gemas, menggunakan bahasa Miao sedapatnya. Anak itu berhenti menahan langkahnya dan orang bercaping itu pun ikut pula berhenti. Akan tetapi kalau anak itu pun mengangkat muka memandang kepada wajah Hui Lian dengan sikap takut, orang bercaping itu berhenti dan berdiri sambil menundukkan muka sehingga kembali Hui Lian hanya melihat caping saja! “Angkat mukamu dan perlihatkan kepadaku!” Hui Lian yang sudah tidak sabar lagi membentak. Ia masih mempergunakan bahasa campuran dengan bahasa Miao. Orang itu baru sekarang mengangkat mukanya, caping itu kini berada di belakang kepalanya dan wajahnya nampak jelas ketika sepasang mata Hui Lian bertemu dengan sepasang mata lain yang membuat ia terkejut bukan main. Wajah itu adalah wajah seorang pemuda yang tampan, hidungnya mancung, mulutnya dihias senyum ramah dan sepasang matanya seperti mata naga, mencorong dan berpengaruh! “Eh, siapa kau?” tanyanya dalam bahasa Miao , akan tetapi pemuda yang usianya dua puluh tahun lebih sedikit itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum bodoh. Hui Lian mengerutkan alisnya dan bertanya kepada anak penggembala yang juga memandang kepadanya. “Siapakah dia ini?” Penggembala itu menoleh dan memandang kepada Si Caping Lebar, lalu menggeleng dan menjawab. “Aku tidak tahu.” Hui Lian menjadi semakin curiga. Wah, benar dugaannya, pikirnya. Penggembala itu tidak mengenal orang ini, berarti penggembala ini tertipu. “Tanya siapa dia!” katanya lagi dalam bahasa Miao sambil menatap wajah orang bercaping yang masih senyum-senyum akan tetapi agaknya tidak mengerti apa yang dipertanyakan itu. Anak itu kini menghadapi Si Caping Lebar, dan menggerak-gerakkan kedua kedua tangan dan jari-jari tangannya, berusaha memberi isyarat dengan tangan menanyakan namanya sambil menuding-nuding ke arah dada orang itu. Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin heran dan terkejut, juga jengkel karena agaknya melalui bahasa isyarat tangan, orang bercaping yang berwajah tampan itu juga belum dapat mengerti maksudnya pertanyaannya melalui anak penggembala itu. “Sialan,” gerutunya dalam bahasanya sendiri. “Dia gagu pula ….” Akan tetapi pemuda tampan itu terkekeh geli sambil memandang kepadanya. “Sobat yang baik, aku tidaklah gagu seperti yang kaukira.” Hui Lian terkejut. Kiranya orang bercaping ini tidak gagu sama sekali. Ia menjadi semakin jengkel karena merasa dipermainkan. “Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi engkau tidak mau menjawab pertanyaanku dan anak ini mengajakmu bicara dengan isyarat tangan?” bentaknya. “Aih, bagaimana aku tahu bahwa engkau mengajakku bicara sobat? Apa yang kaubicarakan bersama adik ini tadi, aku sama sekali tidak mengerti sebuah kata pun.” Hui Lian kini menahan ketawanya. Barulah ia mengerti. Kiranya orang ini tidak pandai bahasa Miao, maka tentu saja tidak menjawab ketika ia bertanya karena memang tidak mengerti. Dan ia menyuruh anak penggembala itu bertanya kepadanya, tentu saja merekapun tidak dapat saling bicara dan anak itu agaknya sudah tahu bahwa orang ini tidak pandai bahasa Miao maka mencoba dengan isyarat tangan. Hui Lian tersenyum dan orang itu agaknya girang bukan main melihat senyumnya. “Wah, dugaanku benar sekali, ha-ha-ha!” Hui Lian mengerutkan alisnya kembali. Ia melihat pemuda itu tertawa dan wajahnya yang tampan menjadi semakin menarik. “Engkau mentertawakan apa!” bentaknya. Pemuda yang sedang celangap tertawa itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan hal ini nampak demikian lucu sehingga anak penggembala itu tidak dapat menahan ketawanya. Memang lucu sekali melihat wajah yang tadinya tertawa gembira, tiba-tiba menghentikan suara ketawa itu dan berubah menjadi demikian serius. Pemuda itu menoleh, memandang kepada anak penggembala dan melihat anak itu tertawa-tawa, dia pun tertawa lagi. Keduanya tertawa dan Hui Lian yang tidak mengerti apa yang mereka ketawakan, mengerutkan alisnya lebih dalam lagi. “Diam! Mengapa kalian tertawa-tawa seperti orang gila!” bentaknya dan biarpun anak itu tidak mengerti ucapannya, namun agaknya dia mengerti bahwa orang berpakaian serba putih itu marah-marah, maka dia pun berhenti tertawa seperti juga Si Pemuda Bercaping Lebar yang sudah menghentikan lagi suara ketawanya dengan tiba-tiba. “Nah, apa yang kauketawakan? Kau mentertawakan aku, ya?” Hui Lian kini menghardik Si Caping Lebar. Caping lebar itu bergerak-gerak lucu ketika kepala yang ditungganginya menggeleng. “Bukan mentertawakan, melainkan tertawa karena girang bahwa dugaanku benar. Tadi aku menduga bahwa engkau adalan seorang yang amat tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Ketika engkau menegur aku dan marah-marah, aku merasa kecelik. Orang marah mana bisa nampak tampan? Akan tetapi ketika engkau tidak marah lagi dan tersenyum tadi, barulah aku yakin bahwa dugaanku benar. Engkau seorang pria yang tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Atau …. barangkali dugaanku tetap keliru?” Tentu saja Hui Lian tidak berani lagi memperlihatkan sikap marah. Siapa orangnya yang tidak ingin disebut tampan dan baik hati? Ia tersenyum, kini senyumnya lebih manis dan ramah, akan tetapi karena ia masih merasa curiga kalau-kalau pemuda bercaping ini mempermainkannya, iapun berkata. “Tentu saja aku marah kalau engkau pecengisan?” “Pecengisan? Apa itu?” tanya Si Pemuda Bercaping. Pecengisan itu tidak bersungguh-sungguh dan memperolokku! Engkau tidak sedang mempermainkan aku, bukan?” “Wah, tidak! Tidak! Mana bisa aku mempermainkan? Engkau begini tampan dan gagah, begini baik, mana aku berani?” “Nah, kalau begitu, tanggalkan dulu capingmu yang selalu menutupi mukamu agar aku dapat bicara sambin memandang mukamu!” Pemuda itu menanggalkan capingnya dengan cara mendorong caping itu ke belakang dan kini benda itu tergantung di belakang tubuhnya karena talinya tergantung di leher, dan caping itu menutupi buntalan pakaiannya yang digendongnya. Hui Lian semakin kagum. Ternyata pemuda ini ganteng bukan main! Pakaiannya yang berwarna biru muda itu pun sederhana, namun bersih, juga rambutnya hitam sekali, terawat baik. “Nah, begitu baru baik. Sekarang katakan, bagaimana engkau tahu-tahu dapat berjalan bersama penggembala ini? Dimana engkau ketika ada orang mencuri domba-domba itu tadi?” “Aku kebetulan saja lewat dan melihat engkau berkelahi melawan empat orang iblis tadi. Melihat adik penggembala ini ketakutan, aku lalu mengajaknya pergi dan menghalau semua domba-dombanya, menjauhi tempat itu karena takut kalau-kalau ada orang jahat lagi yang akan merampas dombanya. Bagaimana dengan perkelahian tadi? Menangkah engkau? Dan dimana mereka itu?” Hui Lian mengangguk-angguk. Kiranya hanya orang lewat secara kebetulan saja. “Aku telah berhasil mengusir mereka,” jawabnya singkat. “Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, aku harus mengantar adik penggembala ini sampai kerumahnya.” “Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Aku pun tadinya hendak mengantarnya, akan tetapi aku takut kalau-kalau ketemu orang jahat. Kalau engkau yang suka mengantarnya, hatiku menjadi lega, Toako. Aku akan melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, senang sekali dapat bertemu seorang yang demikian gagah perkasa seperti engkau.” Pemuda itu mengenakan lagi capingnya, lalu memisahkan diri dengan langkah lebar menuju ke kiri. Kepada anak penggembala itu, dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, dibalas oleh penggembala itu. “Dimana dusunmu?” Hui Lian bertanya kepada Si Penggembala setelah orang bercaping lebar itu lenyap di balik pohon-pohon. Anak itu menunjuk ke sebuah bukit gundul yang berada di depannya. “Di balik bukit itu.” “Hemm, kenapa engkau menggembala domba sedemikian jauhnya?” “Di sana tidak ada rumput baik, dan domba-domba ini harus di beri makan rumput yang segar agar mereka tetap sehat dan segar kalau disembelih esok lusa.” “Disembelih? Semua ini …?” Hui Lian memandang kepada domba-domba itu, dan baru sekarang timbul perasaan ngeri mendengar bahwa domba-domba yang jinak dan manis itu akan disembelih semua! Melihat betapa binatang-binatang yang jinak dan lemah ini, yang ketika digiring dan mengembik nampak sekali tidak berdaya, kini ihendak disembelih semua, timbul perasaan kasihan dan ngeri. Padahal, sejak kecil daging domba sudah dimakannya dan belum pernah ia teringat kepada dombanya kalau sedang makan daging domba. "Ya, semua ini dan masih banyak lagi. Kepala suku kami hendak mengadakan pesta pemilihan suami untuk puterinya. Wah, akan ramai sekali karena pemilihan sekali ini pakai sayembara mengadu ilmu ketangkasan!" Tentu saja Hui Lian merasa tertarik sekali. Pernah ia mendengar tentang suku bangsa yang mempunyai kebiasaan bermacam-macam mengenai pernikahan, dan ia pun pernah mendengar akan kebiasaan sayembara untuk memperebutkan seorang wanita cantik, terutama puteri kepala suku. "Apakah aku boleh nonton?" tanyanya, menggunakan bahasa Miao yang hanya dikuasalnya setengah matang, namun cukup untuk dapat dipakai berkomunikasi dengan anak penggembala itu. Anak itu mengangguk. "Pesta ini memang merupakan pesta suku kami, akan tetapi boleh saja orang luar menonton, bahkan boleh juga kalau ada yang mau mengikuti sayembara. Apalagi engkau yang telah menyelamatkan domba-domba ini, kepala suku kami tentu akan senang mendengarnya. Marilah ikut bersamaku sampai ke dusun dan kuperkenalkan kepada kepala suku." Hui Lian yang memang sedang merantau dan ingin mengalami hal-hal baru, mengangguk senang. Mereka mendaki bukit didepan dan ketika tiba di puncak bukit, anak itu menuding ke bawah. "Nah, di sanalah perkampungan kami.” Di bawah bukit itu nampak perkampungan dari rumah-rumah sederhana. Akan tetapi perhatian Hui Lian tertarik kepada sebuah tubuh yang menggeletak tak jauh dari situ, telentang seperti sudah tak bernyawa saja. "Di sana ada orang ….." katanya dan cepat menghampiri, diikuti oleh anak penggembala itu yang berlari-lari di belakang Hui Lian. “Aih, dia Kiao Yi!” tiba-tiba penggembala itu berseru. "Tuan, apakah dia... dia mati ….?” Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Hui Lian cepat memeriksa. Orang itu belum mati, akan tetapi lemah sekali dan pingsan. Melihat mukanya yang agak kebiruan, dan mulutnya yang mengeluarkanbusa, ia dapat menduga bahwa tentu orang ini telah keracunan. Suhengnya pandai membuat obat anti racun, dan ia juga membawa obat itu untuk bekal dalam perjalanan. "Tidak, dia belum mati. Cepat cari air untuk kuberi minum obat padanya." kata Hui Lian. Penggembala itu lalu mengeluarkan guci tempat air yang dibawanya untuk bekal. Hui Lian mengeluarkan satu butir pel putih dan memaksa orang yang pingsan itu menelan pel bersama air yang diminumkannya, dibantu oleh penggembala itu. Hui Lian lalu menotok sana-sini. Orang itu masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, kulitnya kecoklatan seperti bangsa Miao pada umumnya, kepalanya memakai kain kepala yang dilibat-libatkan seperti sorban, dan wajahnya cukup tampan. Pemuda Miao itu mengeluh, lalu siuman dan membl~a mata" lalu bangkit dan muntah-muntah, legalah hati Hui Lian. Kalau pemuda itu muntah, hal itu berarti dia tertolong nyawanya, karena racun itu ikut tertumpah keluar. Setelah semua isi pencernaannya tertumpah keluar, agaknya pemuda itu baru melihat adanya Hui Lian dan penggembala itu. Dia mengenal penggembala itu, akan tetapi heran melihat Hui Lian. Anak penggembala itu cepat memberi tahu bahwa Hui Lian adalah orang yang telah mengobatinya. Pemuda itu lalu cepat memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. "Tak perlu berterima kasih." kata Hui Lian dengan bahasa yang kaku. "Lebih baik ceritakan bagaimana engkau berada di sini, pingsan dan keracunan." Pemuda yang bernama Kiao Yi itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya sendiri tidak tahu. Tadi saya bersama para pemuda lain, terutama mereka yang hendak mengikuti sayembara, makan-makan bersama. Kemudian saya merasa perutku tidak enak dan saya menjauhkan diri pergi ke sini. Makin lama semakin nyeri rasa perutku dan saya tidak ingat apa-apa lagi." "Hemm, engkau keracunan, tentu dalam makanan itu terdapat racunnya." kata Hui Lian. "Ah, kalau begitu semua temanku tentu keracunan pula! Saya harus segera kembali ke sana untuk melihatnya!" Kiao Yi meloncat bangun, akan tetapi segera terguling roboh lagi dan dia mengeluh. Kepalanya pening dan tubuhnya lemah sekali. "Engkau sudah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi masih lemah dan sedikitnya harus beristirahat sampai seminggu barulah akan pulih kembali kesehatanmu." "Ah, mana bisa begitu?" Kiao Yi berteriak kaget. "Saya harus mengikuti sayembara itu! Tidak mungkin saya membiarkan saja, tidak ikut dan kekasih saya jatuh ke tangan orang lain!" Anak gembala itu lalu menerangkan kepada Hui Lian. "Kakak Kiao Yi ini adalah kekasih Nian Ci, puteri kepala suku kami, dan juga dia paling gagah di antara para pemuda kami. Sudah dapat dipastikan bahwa dia tentu akan menang dalam sayembara, apalagi memperoleh dukungan puteri kepala suku kami. Akan tetapi sekarang dia sakit …." Kiao Yi mencoba untuk bangkit lagi, akan tetapi kembali dia harus terduduk kembali sambil memegangi kepala dengan kedua tangan karena kepalanya seperti melayang rasanya dan pandang matanya terputar. "Jangan dipaksa berdiri, engkau harus beristirahat. Jelas bahwa engkau tidak mungkin dapat mengikuti sayembara itu, apalagi kalau sayembara itu dilakukan besok pagi. Apakah tidak bisa ditunda dan diundurkan sampai seminggu lagi agar engkau sembuh lebih dulu?" "Tidak mungkin." jawab Kiao Yi. "Hari telah diputuskan oleh kepala suku, dan tidak mungkin dirobah atau diundurkan, semua persiapan telah dilakukan. Ah, Nian Ci... Nian Ci... agaknya Langit dan Bumi tidak menghendaki kita menjadi suami isteri " Pemuda itu nampak berduka sekali. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ketika Hui Lian menoleh, ternyata ada belasan orang pemuda berlari-lari naik ke bukit itu. Melihat mereka, anak penggembala itu lalu mengangkat tongkatnya dan berteriak-teriak memanggil. Mereka berlarian naik dan nampak oleh Hui Lian bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang bertubuh sehat dan kuat, juga sikap mereka gembira. Akan tetapi, ketika mereka tiba di situ melihat adanya seorang asing, mereka memandang heran dan sibuklah anak penggembala itu menceritakan betapa domba-dombanya hampir dirampok orang, akan tetapi dia ditolong oleh pemuda bangsa Han. Selain itu diceritakannya pula betapa ketika pemuda Han itu mengantar dia pulang, di puncak itu mereka menemukan Kiao Yi dalam keadaan pingsan dan pemuda itu pula yang telah menolong dan mengobatinya. “Dan aku harus beristirahat seminggu baru akan pulih kembali kesehatanku!" Kiao Yi mengeluh kepada teman-temannya. "Dan aku tidak bisa ikut sayembara itu... ah, betapa sial nasibku….!” Hui Lian memandang kepada belasan orang muda itu, lalu bertanya kepada Kiao Yi. "Mereka inikah yang makan-makan bersamamu tadi?" Kiao Yi mengangguk. "Untung di antara mereka agaknya tidak ada yang keracunan seperti aku." Para pemuda itu lalu menggotong Kiao Yi yang lemah turun dari bukit, diikuti oleh penggembala domba dengan domba-dombanya, dan Hui Lian yang semakin tertarik juga mengikuti mereka. Setelah tiba di perkampungan itu, para pemuda membawa Kiao Yi ke dalam rumahnya, disambut oleh ibu pemuda itu dengan bingung. Kiao Yi sudah tidak berayah lagi, dan ibunya menjadi khawatir sekali melihat keadaan puteranya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Hui Lian adalah pemuda Han yang telah menolong puteranya, ia mempersilakan Hui Lian masuk ke dalam rumah sebagai seorang tamu yang dihormati. Setelah penggembala itu dan para pemuda pergi, Hui Lian yang duduk di dekat pembaringan Kiao Yi, bertanya. "Namamu Kiao Yi, bukan? Aku tadi mendengarnya dari penggembala." "Benar sekali." jawab pemuda yang lemah itu. "Dan namaku Hui Lian. Kiao Yi, apa saja yang harus dilakukan dalam sayembara yang akan diadakan besok itu?" "Ada lima macam. Pertama diadu kemahiran menunggang kuda dan mempergunakan anak panah sambil berkuda. Ke dua diadu kecepatan menangkap seekor rusa muda. Ke tiga diharuskan melawan seekor kerbau. Ke empat, diserang tiga kali dengan anak panah dalam jarak seratus meter, dan ke lima siapa yang bisa lulus dalam ujian sampai empat macam itu diharuskan mengadu ilmu berkelahi. Sebagai ujian saringan bagi para pengikut harus membawa sebuah batu besar meloncat ke atas panggung." Hui Lian mengangguk-angguk. "Hemm, berat juga. Dan tadinya engkau yakin akan dapat menang?" Kiao Yi menarik napas panjang. "Sejak kecil saya sudah mempelajari semua ilmu ketangkasan suku kami dan melihat kemampuan teman-teman yang memasuki sayembara, saya dapat mengharapkan untuk menang. Akan tetapi sekarang... ah, tak mungkin lagi …." Wajahnya nampak sedih sekali. "Sudahlah, Anakku, jangan berduka. Memang agaknya Nian Ci bukan jodohmu. Lebih baik engkau menjaga dirimu agar cepat sembuh, dan aku akan mencarikan gantinya Nian Ci. Puteri Bibimu Mang juga cantik dan …" "Tidak, Ibu! Kalau tidak dengan Nian Ci, aku tidak mau menikah!" "Anakku ……!" lbu itu menangis. Metihat ini, tergerak hati Hui Lian. Pemuda ini sudah saling mencinta dengan Nian Ci, kalau sampai gagal perjodohan mereka, tentu akan mendukakan kedua orang muda itu. Dan lebih lagi, ia merasa curiga sekali. Kiao Yi makan-makan bersama belasan orang pemuda temannya yang juga akan menjadi saingannya itu. Dia keracunan, akan tetapi mengapa pemuda-pemuda yang lain tidak? Agaknya tentu ada permainan kotor di sini! Hal inilah yang membuat ia penasaran sekali. "Kiao Yi, karena engkau sedang sakit, biarlah aku yang akan mewakilimu maju dalam sayembara itu. Aku akan berusaha sampai menang agar engkau dapat menikah dengan Nian Ci." katanya. Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan pandang matanya menatap wajah Hui Lian penuh selidik. "Kak Hui Lian, apakah engkau pernah melihat Nian Ci?" Hui Lian menggeleng kepala. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan penggembala domba itu dan ikut ke sini." Pemuda itu nampaknya semakin heran. Tadinya dia mengira bahwa tentu pemuda Han ini melihat Nian Ci dan tertarik oleh kecantikan gadis kepala suku itu. "Kalau begitu, mengapa engkau hendak ikut sayembara?" "Aku ingin mencegah agar Nian Ci t~idak menikah dengan orang lain, kecuali denganmu." "Kak Hui Lian, engkau sudah menolong saya, sekarang hendak melakukan hal itu lagi? Tidak, engkau boleh memasuki sayembara, akan tetapi kalau menang, biarlah Nian Ci menjadi isterimu. Ia cantik jelita dan menarik, juga pandai sekali. Daripada ia terjatuh ke tangan pemuda lain, saya rela kalau ia menjadi isterimu!" "Tidak, Kiao Yi, aku melakukannya untukmu." "Mana bisa? Sayembara itu bukan tidak berbahaya, terutama sekali ujian diserang anak panah dan adu ilmu berkelahi itu. Bisa terluka, bahkan bisa tewas!" "Akan tetapi aku yakin akan dapat menangkan mereka, Kiao Y i." . "Tapi... tapi... Kak Hui Lian, kenapa engkau tidak mau menerima hadiahnya? Kenapa engkau tidak mau menikah dengan Nian Ci kalau menang, melalnkan hendak memberikan gadis itu kepadaku? Kenapa?" Melihat betapa pemuda ini berkeras dan agaknya akan menolak kalau ia tidak berterus terang, Hui Lian tersenyum. "Kiao Yi, memang ada rahasianya mengapa aku tidak mau menikah dengan Nian Ci atau gadis mana saja di dunia ini. Akan tetapi, kalau aku membuka rahasia ini kepadamu agar engkau tidak penasaran, dapatkah engkau menjaga agar rahasia ini tidak bocor dan diketahui orang lain?" Saya bersumpah tidak akan membocorkannya!" kata Kiao Yi dan pemuda ini minta kepada ibunya agar meninggalkan mereka berdua. Ibu yang tahu diri itu pun keluar dan setelah tinggal berdua saja, Hui Lian berkata lirih. "Kiao Yi, ketahuilah mengapa aku tidak dapat menikah dengan Nian Ci, karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria." Kiao Yi terkejut sekali. Kalau saja tubuhnya tidak selemah itu, tentu dia sudah meloncat turun dari pembaringannya. Dia memandang dengan mata terbelalak dan sejenak dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia bicara, suaranya berat dan gemetar. "Kalau begitu, sungguh... lebih tidak mungkin lagi. Sebagai seorang wanita, bagaimana... bagaimana engkau dapat melakukan semua ujian dalam sayembara ...?" Kembali Hui Lian tersenyum. "Jangan khawatir, percayalah padaku, Kiao Yi. Kalau aku tidak merasa mampu, tentu aku tidak menawarkan diri mewakilimu.” Kiao Yi teringat akan cerita yang pernah didengarnya, yang dianggapnya sebagai dongeng, tentang wanita-wanita pendekar di antara bangsa Han. "Apakah... apakah... engkau seorang pendekar wanita?" Untuk meyakinkan hati pemuda itu, Hui Lian mengangguk. "Nah, cukuplah, jangan dibicarakan lagi hal itu. Bersikaplah seolah-olah aku masih seperti tadi, seorang sahabat laki-laki. Dan namaku tetap Hui Lian, karena memang itulah namaku." Kiao Yi girang sekali. Kalau seorang pendekar wanita yang menolongnya, tentu dia akan berhasil menikah dengan gadis kekasihnya itu! Dia lalu berteriak memanggil ibunya yang tergopoh-gopoh memasuki kamar. "Ibu, kakak Hui Lian ini akan mewakili aku dalam sayembara dan aku yakin dia pasti dapat menang. Ibu persiapkan saja segala keperluan untuk pernikahanku dengan Nian Ci. Dan berikan kamar tidur besar kepada Kakak Hui Lian. Ibu tidur di sini bersamaku." Ibunya memandang puteranya dengan heran. Mengapa tamu muda itu tidak tidur saja bersama Kiao Yi? Bukankah hal itu lebih tepat, pemuda tidur dengan pemuda? Akan tetapi karena tamu itu merupakan orang terhormat, ia pun tidak membantah dan cepat meninggalkan kamar itu untuk membersihkan kamar besar ** Siapakah pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini menolong penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu? Dia bukan lain adalah Hay Hay! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Tidak lama kakek itu melatih Hay Hay, hanya kurang lebih satu bulan, akan tetapi gemblengan yang diberikan itu benar-benar membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya! Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dan empat orang manusia iblis itu. Apalagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu betul akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Akan tetapi, pemuda tampan yang dikeroyok empat orang datuk sesat yang lihai itu nampak demikian lincah, gerakannya demikian ringan dan nampak tidak sungguh-sungguh ketika menghadapi pengeroyokan mereka! Namun, tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jerih dan melarikan diri. Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia lalu mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walaupun dia tidak mengerti sepatah kata bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran. Dia mengajak penggembala itu pergi, pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai beruusia tujuh tahun. Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan bicara dengan Hui Lian, dia merasa amat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan agak kewanitaan sikapnya, terutama sekali bau harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang pemuda yang suka memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan. Ketika mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan, dia lewat dekat sebuah dusun dan mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan! Sebagai seorang pemuda, apalagi yang suka akan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali, maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan! Ketika dia tiba di perkampungan itu, di sana sudah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri maupun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang berdatangan untuk nonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan telah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat di sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat. Ketika itu, terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang dan kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya dan keadaan pakaian yang berbeda dari para pria lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dla adalah kepala suku. Laki-laki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberitahukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlumbaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi mantunya, menikah dengan Nian Ci. Akan tetapi, biarpun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal dan dia lega bahwa pidato itu hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung itu agar cukup luas, dia pun mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama. Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning. Yang amat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton adalah ketika dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka. Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya hadir di situ dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan? Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu. Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlumbaan. Dia menghampiri batu hitam itu, membungkuk dan memeluk batu, setiap gerakannya dlikuti pandang mata semua penonton. Kedua lengannya yang besar dan karena lengan bajunya disingsingkan nampak lengan itu penuh otot melingkar-lingkar, memeluk batu hitam dan sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu diangkatnya ke atas kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang ikut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu. Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan lari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang dan tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah. Terdengar keluhan para penonton yang ikut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujjan saringan dan tidak diperkenankan ikut sayembara. Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa baru itu meloncat ke atas panggung, disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang yang ketika meloncat, terjatuh kembali dan dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati. Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir, dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Namun, "pemuda" itu hanya tersenyum tenang. Ketika tiba giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh. Ada yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini seorang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han! Apalagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung. Yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi, tentu saja. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian penolongnya itu, dan mengingat bahwa ia adalah seorang wanita, mengangkat batu seberat itu dan membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan. Bagaimana kalau sampai penolongnya itu celaka? Hampir Kiao Yi tidak berani membuka mata dan dia menundukkan mukanya ketika Hui Lian sudah menghampiri batu itu. Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian telah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan! Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa ia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras daripada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak dan bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula "menemukan” peserta sayembara yang amat hebat itu! Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu? Kini dengan langkah tenang. Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung. Demikian mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton kali ini, dibandingkan dengan sambutan peserta yang juga berhasil tadi. Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta terakhir gagal. Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada peserta seorang lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas! Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apalagi ketika pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas dan menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini. Dengan batu di atas kepala, Hay Hay meloncat ke atas panggung! Batu itu seperti menempel di kepalanya, sedikit pun tidak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu di atas kepalanya ketika dia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring. "Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!" Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat orang luar yang tidak didaftar namanya ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apalagi mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri dia pun berkata. "Boleh, boleh sekali!" Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlumba untuk menentukan siapa yang menjadi juara! Dengan gerakan ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu dan ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya dan diletakkan kembali ke atas tanah perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara apa pun. Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlumbaan ini! Hui Lian mengerutkan alisnya melihat ulah Hay Hay. Diam-diam ia pun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ikut dalam sayembara dan ternyata memiliki kepandaian yang demikian hebat! Ia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tidak ada artinya. Ia sendiri pun sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi ia pun tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Ia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci! Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan. Sayembara pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang telah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon. Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya lulus semua dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, dan dengan berbagai gaya mereka memanah lingkaran dengan tepat sekali. Tiba-tiba giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena ia memiliki ilmu ginkang yang amat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, biarpun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal. Ketika tiba saatnya ia harus melepaskan anak panah, Hui Lian mempergunakan ginkangnya. Kalau empat peserta yang lain tadi melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh. Tiba giliran Hay Hay. Pemuda ini tadi tentu tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi pemuda itu saja yang dianggap pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian memanah sambil berdiri di atas punggung kudat Hay Hay tersenyum dan ketika dipersilakan maju, dia mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Hay Hay sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai kuda tunggang bagi peserta keahlian memanah ini karena masih liar dan belum jinak benar. Akan tetapi, mana Hay Hay mengerti semua ucapannya? Hay Hay mengira bahwa orang itu mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda hitam! Begitu merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu mengeluarkan suara meringkik keras dan segera berloncatan seperti kemasukan setan! Hay Hay terkejut, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkangnya, tentu saja dia mampu duduk di atas punggung kuda hitam. Memang dia hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat daripada Hui Lian. Dengan kedua kakinya, dia menjepit perut kuda dan mengerahkan sinkang sehlngga tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan kini keempat kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat. “Kuda yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah, terbanglah!" Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda. Kuda itu agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih kuat darinya dan kini tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apalagi karena Hay Hay mempergunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini berlari dengan lurus dan indah dan Hay Hay juga merobah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas punggung kuda! Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati rintangan-rintangan, dia enak-enak tidur telentang di punggung kuda seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu. Hay Hay masih tidur telentang ketika tiba saatnya harus memanah sasaran lingkaran yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada busurnya dan sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini disambut sorak-sorai dan juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh Hui Lian. Ujian pertama itu dilewati dengan baik oleh keenam orang yang menyertai sayembara. Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini siap untuk melakukan ujian ke dua. Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit. Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak-semak, enam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan pengejaran. Empat orang peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali tidak kelihatan tergesa-gesa biarpun orang-orang yang menjagoinya dan ingin melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat masuk ke hutan menangkap seekor rusa. Hay Hay tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tidak mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa kini tiba ujian menangkap seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, dia pun enak-enak saja, dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki hutan. Semua orang yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan diantara mereka ada juga yang bertaruhan siapa yang akan lebih dulu mendapatkan seekor rusa. Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya yaitu para pemuda suku MIao. Dugaan mereka benar karena tak lama kemudian, nampak berkelebat dua bayangan orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para penonton. Muka Hui Lian menjadi merah karena penasaran. Tak disangkanya bahwa gerakannya yang cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini senyum-senyum kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya. Juga diam-diam ia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau saja mempetebutkan seorang gadis suku Miao! Tak mungkin untuk benar-benar diperisteri karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik daripada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk main-main! Ia pun memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang laki-laki yang suka mempermainkan wanita, ia yang akan menentangnya! Berbahaya kalau seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi. Lama setelah kedua orang peserta ini tiba di situ membawa rusa tangkapan mereka, bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak panah mereka. Tentu saja hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay, dan mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang pemuda Han itu telah menda hului mereka, bahkan masing-masing telah menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka! Ujian ketiga lebih menegangkan hati karena para peserta kini diuji kegagahan dan kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka itu masing-masing harus dapat merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya dan tidak mampu bangkit kembali. Kerbau adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan biarpun jinak, kalau dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang peserta boleh memilih seekor Seorang peserta, pemuda Miao yang bertubuh jangkung dan kumis melengkung, mendapat giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, emnuntunnya keluar dari kandang dan membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang melihat dengan penuh perhatian. Menurut kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan mem buatnya tidak berdaya dalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling. Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan dapat bangun lagi. Akan tetapi hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu kuat sekali dan tentu akan memberontak dan marah. Kalau orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai dapat melepaskan diri, akan berbahayalah keadaannya. Pemuda Miao jangkung berkumis itu agaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai kerbaunya. Setelah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia memilih saat kerbau itu lengah, tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya sudah dipuntir sehingga ia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling. Orang-orang bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan. Menurut peraturan, kalau hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tidak terlepas, berarti menanglah peserta sayembara itu. Kalau lebelum lima puluh kerbau itu dapat bangkit berdiri, dia harus merobohkannya kembali dan hitungan pun diulang dari latu sampai lima puluh! Kerbau yang ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampal lima puluh. Dengan tubuh penuh keringat, napas agak memburu, peserta jangkung itu melepaskan jepitan lengannya dan kerbau itu pun digiring pergi, disambut sorak-sorai penonton yang memujinya. Peserta ke dua maju dan menuntun keluar seekor kerbau lain. Seperti juga peserta pertama, dia merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi kedua tanduknya. Akan tetapi, agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu yang kurang kuat. Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan kepalanya sedemikian kuatnya dan orang itu pun tidak lagi dapat menguasainya. Kerbau itu bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan dan orang itu terlempar dengan lengannya berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang terus mengikat kerbau dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus mengundurkan diri, dinyatakan kalah! Peserta ke tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih dari dua puluh hitungan. Bahkan dia menderita luka lebih parah karena kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, orang ke tiga ini terkena seruduk dadanya sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal. Peserta ke empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walaupun seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah peserta ke empat, majulah Hui Lian. Penonton menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali yang menjagoinya dalam taruhan. Akan tetapi Kiao Yi memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang mempergunakan tenaga, sedangkan wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal? Dan lebih celaka lagi, bagaimana kalau sampai terluka? Ngeri dia membayangkan kerbau itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu! Semua orang menghentikan sorak sambutan mereka ketika melihat Hui Lian menuntun keluar seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar sorak-sorai gaduh, kerbau itu sudah kelihatan panik dan matanya liar memandang ke kanan kiri, dan ia sudah kelihatan curiga kepada Hui Lian sehingga ketika di tuntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan hendak mogok. Akhirnya, Hui Lian tiba dengan kerbaunya di tengah lapangan. Ia menengok ke atas panggung dan melihat betapa kepala suku dengan keluarganya, termasuk puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua orang, sedang mencurahkan perhatiannya kepadanya. Ketika ia mengerling ke kiri, ia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri, dan mulutnya tersenyum, senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu amat kagum dan tertarik kepadanya, dan ada perasaan penasaran juga keinginan keras dalam hati pemuda bercaping itu untuk menguji kepandaiannya. Tidak seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya dengan puntiran batang lehernya, walaupun kalau ia mau melakukan hal itu, tidak sukar baginya untuk memutar leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya! Tidak, ia tidak merangkul dan memuntir lehernya, melainkan dengan cepat sekali kakinya mengirim tendangan, tidak terlalu keras ke arah lutut ke empat kaki binatang itu, cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun roboh! Empat batang kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi. Setiap kali ia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian menyusulkan tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan kerbau itu pun tidak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu sama sekali tidak dapat bangkit kembali karena selalu Hui Lian menyusulkan tendangan. Orang-orang bersorak, walaupun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walaupun lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya walaupun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu. Ketika kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera,. hanya agak terpincang-pincang sedikit. Legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu. Tiba giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Ketika dia memilih seekor kerbau yang paling besar dan paling galak di antara belasan ekor kerbau di kandang semua orang tertegun, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi, kini meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan menungganginya. Kerbau yang sengaja dlpilihkan dari kerbau yang liar itu terkejut dan dia hendak meronta, mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kaki menendang perut dan menggunakan kedua tangan memegang leher, kerbau itu menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju ke tengah lapangan, di tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan kekuatannya. Dan tiba-tiba Hay Hay berseru, "Kerbau yang baik, engkau rebahlah!" Kerbau itu tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi, mereka terbelalak memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi kedua tangan Hay Hay menekan leher, beberapa kali menepuk punggung dan ke empat kaki kerbau itu menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan kerbau itu mendekam, di luar kemauannya! Para petugas mulai menghitung dan dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap saja mendekam. Baru setelah hitungan habis dan Hay Hay meloncat turun, kerbau itu mendengus dan melompat, marah dan hendak lari mengamuk. Akan tetapi, dengan cekatan Hay Hay menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay pun lulus dalam ujian ini. Kini sisa peserta tinggal empat orang lagi setelah dua orang gagal dalam ujian merobohkan kerbau. Ujian ke empat amat berbahaya, yaitu menghadapi serangan anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya! Berbahaya sekali dan orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan itu, ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun, biarpun tidak runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apalagi kalau sampai mengenai mata! Dua orang peserta pertama, pemuda-pemuda Miao itu sudah nampak gentar menghadapi ujian anak panah ini. Mereka maklum betapa sukarnya menghindarkan diri dari sambaran tiga batang anak panah itu, apalagi karena mereka tahu bahwa ujian ini dilakukan oleh Paman Wa Him, seorang ahli panah yang terkenal di antara para pemburu sebagai orang yang tidak pernah luput mempergunakan anak panahnya! Akan tetapi karena mereka berdua itu tergila-gila kepada Nian Ci, dan telah berhasil melampaui tiga macam ujian, mereka memberanikan hati dan peserta pertama lalu maju. Dia diharuskan berdiri di atas tanah yang sudah diberi lingkaran dengan garis tengah dua meter. Dia boleh meloncat untuk mengelak asal tidak keluar dari lingkaran itu. Dan di depannya, dalam jarak seratus meter, telah berdiri seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar yang sudah siap dengan busurnya yang besar. Di punggungnya terdapat tempat anak panah dengan belasan batang anak panah yang sudah dihilangkan ujungnya yang runcing. Para penonton yang berada di belakang peserta, diharuskan pindah, takut kalau-kalau anak panah akan mengenai penonton. Semua penonton kini sudah memilih tempat yang enak dan aman, dan hati mereka penuh dengan ketegangan ketika peserta pertama sudah berdiri tegak dengan sikap gagah namun wajahnya agak pucat. Pengatur ujian memberi isyarat agar peserta dan pemanah siap. Kakek tinggi besar itu sudah memasang anak panahnya pada busur, membidik sambil menarik tali busurnya. Terdengar suara menjepret dan nampaklah luncuran anak panah, cepat sekali. Dan pemanah itu tidak berhenti bergerak, melainkan cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut sebatang anak panah lagi dan meluncurkan anak panah ke dua dengan luar biasa cepatnya, disusul oleh anak panah ke tiga. Hanya seorang ahli panah yang sudah berpengalaman dan terlatih saja yang mampu memanah beruntun tiga kali secepat itu. Tiga batang anak panah itu meluncur susul-menyusul ke arah tubuh peserta. Peserta itu hanya melihat sinar berkelebat dan dia cepat meloncat ke kiri untuk mengelak, akan tetapi anak panah ke dua sudah menyambar ke arah tubuhnya mengelak. Kembali dla membuang diri ke kanan dan seperti anak panah pertama, anak panah ke dua ini pun luput walaupun sudah menyerempet ujung bajunya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga menyambar, tepat ke arah dia mengelak. Biarpun dia masih berusaha membuang diri ke belakang, tetap saja pundaknya terkena sambaran snak panah ke tiga. Dia mengeluh dan roboh, nampak pundaknya berdarah. Dia pun dipapah keluar dan tentu saja dia dinyatakan gagal! Peserta ke dua kini maju. Juga dia merasa gentar karena wajahnya sudah agak pucat. Dia pun maklum betapa sukarnya lolos dari ujian ini. Setelah isyarat diberikan, kembali pemanah itu meluncurkan tiga batang anak panahnya secara beruntun, cepat sekali. Peserta ke dua itu juga berhasil mengelak ke kanan dari sambaran anak panah pertama, dan ketika anak panah ke dua meluncur ke arah tubuhnya, dia meloncat tinggi sehingga anak panah itu meluncur ke bawah kakinya. Akan tetapi kembali anak panah ke tiga yang membuatnya gagal. Anak panah ini menyambar dan mengenai betisnya, membuat dia roboh pula dan harus dipapah terpincang-pincang keluar dari tempat itu, gagal! Hui Lian maju dan kembali disambutlah peserta ini oleh sorak-sorai dan tepuk tangan. Kiao Yi juga memandang dengan wajah berseri. Wakilnya itu tentu akan mampu lolos dari serangan anak panah.Yang dikhawatirkan hanyalah pemuda bercaping itu, yang ternyata juga lihai bukan main! Setelah Hui Lian berdiri tegak dan diberi isyarat, pemanah kembali meluncurkan anak panahnya. Akan tetapi tidak seperti dua orang peserta terdahulu, Hui Lian sama sekali tidak mengelak. Anak panah pertama yang menyambar ke arahnya hanya disambut dengan tubuh dimiringkan dan ketika anak panah meluncur, tangan kirinya menangkap anak panah itu, kemudian ia melontarkan anak panah itu ke depan menyambar anak panah ke dua. "Trakkk!" Dua batang anak panah bertemu dan keduanya runtuhke atas tanah. Ketika anak panah ke tiga datang, Hui Lian menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan membacok dan anak panah itu pun runtuh ke atas tanah, patah menjadi dua potong! Tentu saja keberhasilannya ini disambut sorak-sorai dan tepuk tangan riuh, terutama sekali Kiao Yi yang merasa girang bukan main. Hui Lian dengan sikap dingin menoleh ke arah Hay Hay dan melihat betapa pemuda bercaping ini juga ikut bertepuk tangan memujinya sambil memandang kepadanya dan tersenyum. Akan tetapi baginya, senyum itu seperti mengandung ejekan! Ketika Hay Hay maju, dia pun disambut oleh para penonton yang menjagoinya dengan tepuk tangan. Kini, penonton hanya terpecah menjadi dua bagian, mereka menjagoi Hui Lian dan mereka yang menjagoi Hay Hay karena kini yang lulus hanyalah tinggal dua orang peserta ini. Hay Hay melangkah maju dan dengan sikap seenaknya, berdiri di tengah lingkaran yang sudah disediakan, berdiri tenang menghadap ke arah pemanah tinggi besar yang juga sudah mempersiapkan anak panahnya. Pemanah ini tadi terbelalak menyaksikan Hui Lian menyambut tiga batang anak panahnya dan kalau tidak melihat dengan mata sendiri, tentu dia tidak akan percaya ada orang mampu menghadapi tiga batang anak panahnya seperti yang dilakukan oleh "pemuda" itu. Tadi dia sudah melihat kehebatan pemuda bercaping itu, maka dengan hati-hati dia pun membidik sambil menanti isyarat. Ketika isyarat itu diberikan oleh pengatur pertandingan, terdengar tali busur menjepret dan sinar anak panah meluncur ke arah pusar Hay Hay. Pemuda ini, seperti Hui Lian tadi, seperti mendiamkannya saja anak panah itu meluncur ke arah dirinya. Setelah dekat, baru dia miringkan tubuh ke kiri dan tangan kanannya menyambar ke bawah. Tahu-tahu anak panah itu telah dicepitnya antara ibu jari dan telunjuk tangan kanannya, demikian mudahnya seperti orang mencabut rumput saja! Anak panah ke dua menyambar ke arah dadanya. Dia pun hanya miringkan tubuh dan tangan yang masih memegang anak panah pertama kembali menyambar dan anak panah ke dua itu dijepit antara telunjuk dan jari tengah kanan. Kini dua batang anak panah itu dipegang tangan kanan seperti orang memegang sepasang sumpit! Pada saat itu, anak panah ke tiga menyambar ke arah lehernya! Dia hanya miringkan kepalanya dan ketika anak panah ke tiga ini lewat dekat lehernya, di bawah dagu, dia cepat membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan gigitan! Tentu saja demonstrasi ini disambut sorak-sorai para penonton, dan untuk kedua kalinya pemanah itu melongo saking heran dan kagumnya. Hay Hay kini menggunakan dua batang anak panah sebagai sumpit, mengambil anak ke tiga dari mulutnya dan sekali dia melontarkan tangan kanan, tiga batang anak panah itu meluncur dan jatuh menancap di atas tanah di depan kaki pemanah itu, berjajar rapi dan masuk ke dalam tanah sampai ke bulu di gagangnya. Hui Lian dan Hay Hay dinyatakan lulus dan kini hanya tinggal mereka berdua yang harus melakukan ujian terakhir, yaitu mengadu ilmu kepandaian bela diri! Mereka berdua dipanggil naik panggung. Hay Hay yang tidak mengerti bahasa Miao, hanya ikut-ikutan saja meloncat naik ke panggung ketika dia melihat Hui Lian juga meloncat naik. Mereka berdiri berdampingan menghadap kepala suku yang berkata dalam bahasa Miao bahwa mereka berdua adalah dua orang muda perkasa dan kini mereka harus memperlihatkan siapa di antara mereka yang lebih unggul dan berhak menjadi mantu kepala suku. Kemudian kepala suku memberi isyarat kepada puterinya dan bangkitlah gadis Miao itu, membawa dua buah mouw-pit (pena bulu) dan tempat tinta. Dengan langkah yang lemah gemulai, puteri kepala suku itu tersenyum manis ketika menghampiri dua orang peserta itu, diiringi tepuk tangan para penonton. Hay Hay memandang kapada gadis itu. Seorang gadis yang manis sekali, pikirnya, hitam manis dan baju yang dikenakan itu terbuka di bagian depan agak rendah sehingga memperlihatkan lereng sepasang bukit dada yang indah membusung, dihiasi oleh kalung-kalung emas ukir-ukiran indah. Sayang anting-anting yang dipakainya teramat besar, membuat bagian daun telinga itu tergantung mulur dan lubangnya menjadi lebar. Dia pun tersenyum ramah sambil memandang dengan sinar mata berseri ketika gadis Miao itu mendekat. Sikap Hay Hay ini menarik hati gadis suku bernama Nian Ci itu dan ia pun memandang kepada Hay Hay dengan senyum pula. Ia lebih suka kepada Hay Hay yang kelihatan ramah daripada Hui Lian yang bersikap dingin saja, walaupun Hui Lian tidak kalah tampan dibandingkan pemuda bercaping. Bahkan ketika menyerahkan mouw-pit dan bak kepada masing-masing peserta, Nian Ci berbisik kepada Hay Hay. "Mudah-mudahan engkau menang." Hay Hay hanya mengangguk dan menjawab dalam bahasa Han karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh gadis itu. "Engkau sungguh manis sekali!" Melihat sikap mereka dan mendengar ucapan pemuda bercaping, Hui Lian menjadi mendongkol sekali. Hemm, tak disangkanya bahwa pemuda bercaping ini ternyata seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita! Tadi kepala suku sendiri menjelaskan bahwa pertandingan adu ilmu bela diri itu bukan dimaksudkan untuk saling membunuh atau melukai, melainkan menguji kepandaian masing-masing. Oleh karena itu, mereka masing-masing diberi mouw-pit dan bak (tinta) agar dengan alat itu mereka dapat mendatangkan coretan atau totolan kepada tubuh lawan, selama bernyalanya sebatang hio. Kemudian akan dihitung, siapa lebih banyak terdapat noda hitam totolan mouw-pit, dia kalah. Kini keduanya sudah saling berhadapan di atas panggung, ditonton semua orang yang hadir. Hay Hay masih belum mengerti mengapa dia diberi mouw-pit dan bak. Dengan mouw-pit di tangan kanan dan bak di tangan kiri, dia berdiri dengan muka bodoh, lalu dia memandang Hui Lian. "Eh, Twako yang baik, apakah kita disuruh berlomba menulis sajak atau membuat tulisan indah? Wah, kalau begitu aku menyerah kalah saja! Tentu engkau lebih mahir." Hui Lian maklum bahwa orang ini tidak mengerti bahasa Miao, akan tetapi ia tidak tersenyum, bahkan semakin mendongkol. Kalau sudah memasuki sayembara ini, tentu pemuda ini sudah tahu akan semua syaratnya dan sikapnya yang ketololan ini tentu sengaja dilakukan untuk mempermainkannya. "Huh, kiranya engkau hanya seorang laki-laki mata keranjang!" bentaknya dan ia pun sudah mulai menyerang dengan mouw-pitnya. Karena mouw-pit yang sudah direndam bulunya dengan tinta tadi hanya menyambar ke arah ujung lengan bajunya, Hay Hay tidak menghindar dan nampaklah coretan pada ujung lengan bajunya, dan dia terbelalak kaget dan kagum karena coretan itu bukan sembarangan saja, melainkan membentuk huruf Mata Keranjang! "Ehh...!" Dia berseru dan cepat dia pun membalas, akan tetapi mouw-pitnya tertangkis oleh mouw-pit lawan. Karena penasaran belum membalas maklan lewat coretan, Hay Hay lalu menggunakan kepandaiannya, mouw-pitnya menyambar ke arah mata lawan. Hui Lian terkejut karena serangan ini sungguh berbahaya. Ketika ia mengelak ke samping, tiba-tiba saja mouw-pit lawan itu meluncur turun dan mengenai ujung bajunya yang putih. Ketika ia memandang, ia melihat coretan itu pun berbentuk huruf makian yang berbunyi Lancang Mulut! Hui Lian marah. Mouw-pitnya menyambar-nyambar lagi dan berhasil mencoret-coret huruf makian Goblok dan Gila pada kanan kiri bagian baju Hay Hay. Kalau saja Hay Hay mau menghindarkan, tentu tidak mudah bajunya di coret-coret, akan tetapi sungguh aneh, dia ingin sekali melihat tulisan apa lagi yang dilakukan lawan maka dia sengaja membiarkan lawan mencoret-coret bajunya. Ketika membaca Goblok dan Gila, dia pun membalas dan sekali ini Hui Lian juga ingin tahu jawaban lawan. Marahlah ia membaca huruf Tolol dan Sinting yang dicoretkan mouw-pit di tangan Hay Hay pada bajunya. Ia pun membalas menyerang kalang kabut, dan keduanya kini bertanding mempergunakan mouw-pit. Setelah keduanya mengeluarkan kepandaian masing-masing, sukarlah bagi keduanya untuk membuat satu totolan atau coretan saja pada baju lawan! Kini keduanya terkejut bukan main karena tidak menyangka bahwa lawan sedemikian lihainya! Hay Hay memang tahu akan kelihaian Hui Lian, akan tetapi tak disangkanya sehebat ini dan sebaliknya Hui Lian terkejut mendapat kenyataan bahwa pemuda bercaping itu mampu mengimbangi kecepatan gerakannya, bahkan membalas serangannya dengan totokan-totokan yang amat cepat, aneh, dan bertenaga! "Engkau manusia tak tahu malu!" Hui Lian mendesis dalam bahasa Han, tidak keras hanya cukup terdengar oleh Hay Hay saja ketika, mereka saling serang dan belum juga berhasil menodai baju masing-masing kecuali huruf-huruf tadi. "Aku tidak percaya engkau benar-benar mau menjadi mantu kepala suku dan kawin dengan gadis Miao itu!" Tentu saja Hay Hay merasa heran mendengar ucapan itu. "Gila." dia pun berbisik. "Siapa mau menjadi mantu kepala suku?" "Engkau tergila-gila kepada gadis suku Miao itu, tadi engkau mengajaknya senyum dan memui ia manis!" "Memang ia manis, apa salahnya aku memuji? Akan tetapi aku tidak tergila-gila!" "Engkau tolol, kamu tidak tergila-gila, mengapa ikut sayembara ini?" Kini Hui Lian menduga bahwa pemuda ini mengikuti sayembara hanya karena iseng saja, mungkin tidak tahu apa artinya sayembara ini karena dia tidak paham bahasa Miao. "Aku ikut karena tertarik, apa salahnya?" Hay Hay tersenyum. "Aku hanya hendak mengurangi kesombonganmu melagak dan memamerkan kepandaian!" "Aih, engkau lancang mulut! Apa engkau tidak tahu, sayembara ini diadakan untuk memperebutkan gadis anak kepala suku! Pemenangnya yang akan menjadi suaminya." Hay Hay terkejut sekali dan dia menengok ke arah kiri di mana duduk gadis Miao itu di samping ayah dan ibunya. Gadis beranting-anting besar itu memandang kepadanya dan tersenyum. Karena menoleh, Hay Hay menjadi lengah dan Hui Lian berhasil membuat coretan pada bajunya. Hay Hay meloncat ke belakang. "Apa? Gadis beranting-anting besar itu? Jadi …. jadi isteri pemenang…?” "Benar, tolol! Dan kau tidak tahu tentang itu, ya? Ikut sayembara hanya untuk iseng saja?" Hui Lian menyerang lagi dan ia terkejut karena kini mudah saja baginya untuk mencoretkan mouw-pitnya kepada pakaian lawan. "Wah, kalau begitu biar aku kalah saja. Ambillah perempuan itu untukmu, sobat!" Dan kini sambil bersilat, Hay Hay melakukan gerakan yang amat cepat dengan mouw-pitnya, akan tetapi bukan pakaian lawan yang menjadi sasarannya, melainkan pakaiannya sendiri! Bahkan saking gemasnya kepada diri sendiri yang hampir saja celaka karena kalau menang dia harus menjadi suami gadis Miao itu, dia mencoret-coretkan mouw-pitnya pada mukanya pula! Saking cepat gerakannya, para penonton tidak ada yang tahu bahwa pemuda berpakaian biru itu mencoretl pakaian dan mukanya sendiri. Hanya Hui Lian yang tahu dan diam-diam ia tertawa. Pemuda ini betapapun juga bukan orang jahat dan bukan mata keranjang, bahkan lucu sekali! Setelah hio yang membara itu padam, pengatur pertandingan memberi tanda agar mereka berhenti bertanding dan tanpa dihitung lagi, mudah saja diketahui bahwa Hay Hay telah kalah! Bajunya penuh coretan, bahkan leher dan mukanya juga berlepotan bak hitam! Sorak-sorai menyambut kemenangan Hui Lian, dan mereka yang tadi bertaruh menjagoi Hay Hay, terpaksa membayar kekalahan sambil mengomel panjang pendek. Sebagai pemenang, Hui Lian dihadapkan kepala suku. Kepala suku mencabut golok dari pinggangnya, memberikannya kepada puterinya. Nian Ci, gadis kepala suku itu, membawa golok dan melepaskan pula kalungnya, hendak dikalungkan ke leher Hui Lian dan menyerahkan golok sebagai tanda bahwa "pemuda" itu diterima menjadi mantu ayahnya. Akan tetapi, Hui Lian melangkah mundur dan dengan tangan memberi isyarat penolakan. Melihat ini, kepala suku terbelalak dan para penonton menjadi gaduh. Pemenang menolak menjadi suami Nian Ci! Apa pula ini? "Orang muda!" Kepala suku membentak dengan suara marah karena hatinya penasaran. "Kenapa engkau menolak? Engkau adalah pemenang sayembara dan berhak menjadi mantuku!" "Aku mengikuti sayembara bukan untuk diri sendiri, akan tetapi mewakili dia!" Dan ia menuding ke arah Kiao Yi yang berada di bawah panggung. Digapainya Kiao Yi dan disuruhnya naik ke panggung. Kiao Yi yang masih lemah tubuhnya itu naik dan menjatuhkan diri berlutut di depan kepala suku. "Kiao Yi ….!" Nian Ci berseru, pemuda itu membalas pandangan kekasihnya dan mengangguk tersenyum. Semua orang mendengar ini merasa penasaran dan mulailah mereka berteriak-teriak. Mereka adalah suku bangsa yang menjunjung kegagahan dan kejujuran. Mereka tidak setuju kalau kini hadiah puteri kepala suku itu diberikah kepada Kiao Yi yang dianggap tidak berhak karena yang memenangkan sayembara adalah pemuda berpakaian putih itu. Hay Hay juga merasa penasaran. "Heii, sobat!" teriaknya dari bawah panggung. "Apa-apaan itu? Engkau menang dan engkau berhak mengawini gadis itu, kenapa menolak? Ia cantik jelita dan manis, pantas menjadi teman hidupmu selamanya. Ha-ha-ha! Bukankah engkau sudah menang?" Hay Hay mentertawakan Hui Lian. Kepala suku Miao itu kini memandang kepada Kiao Yi dengan mata terbelalak. Dia suka kepada Kiao Yi dan tahu bahwa antara puterinya dan pemuda ini sudah lama terjalin clnta saling suka. Akan tetapi dia harus mempertahankan kewibawaan dan kegagahannya sebagai kepala suku. “Kiao Yi, apa artinya ini? Kenapa engkau lancang berani maju hendak menerima hadiah dari pemenang, padahal pemenangnya orang lain?" Kiao Yi menjawab dengan lantang, terdengar oleh semua orang. "Harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya sendiri yang akan maju memasuki sayembara. Akan tetapi saya keracunan dan jatuh sakit, hampir mati kalau tidak ditolong oleh... pendekar itu. Melihat saya diracun orang yang agaknya hendak menghalangi saya ikut sayembara, dan mendengar bahwa antara saya dan Nian Ci sudah saling cocok untuk menjadi suami isteri, Tuan pendekar ini lalu mewakili saya dalam pertandingan sayembara ini." Kini para penonton kembali terpecah dua, ada yang pro dan ada pula yang kontra sehingga keadaan di situ menjadi gaduh dan bising sekali karena mereka saling berbantahan sendiri, ada yang setuju kalau puteri kepala suku menikah dengan Kiao Yi yang sudah dikenal sebagai pemuda suku sendiri yang cukup gagah perkasa. Ada yang mempertahankan agar puteri kepala suku dikawinkan dengan pemuda pakaian putih sebagai pemenang sayembara. Selagi keadaan menjadi tegang, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan ketakutan dan orang-orang Miao berlarian, dikejar oleh orang-orang yang keadaannya amat mengejutkan karena mereka itu adalah orang-orang yang berwajah dan bersikap menyeramkan. Apalagi ketika nampak beberapa orang Miao telah roboh mandi darah, diserang oleh beberapa orang itu. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerbu perkampungan itu. Hui Lian sudah meloncat turun dari atas panggung. Ia tadi menengok dan melihat bahwa di antara para penyerbu terdapat dua pasang suami isteri yang pernah dilawannya ketika mereka hendak merampas domba-domba yang digembala seorang anak Miao di hari kemarin. Ia tahu betapa lihainya mereka, dan kini mereka berempat datang bersama belasan orang lain, yang keadaannya juga aneh aneh dan menunjukkan bahwa mereka adalah kaum sesat yang berilmu tinggi. Hay Hay juga terkejut, bukan saja melihat dua pasang suami isteri itu, melainkan karena di antara para penyerbu itu dia mengenal pula Ji Sun Bi yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) yang cantik dan cabul itu bersama gurunya. Min-san Mo-ko yang lebih lihai lagi. Melihat kedua orang ini, Hay Hay mengerutkan alisnya dan teringatlah dia kembali akan pengalamannya ketika dia terjatuh ke tangan dua iblis itu. Untunglah bahwa dia dapat lolos dari tangan dua orang manusia keji ini, ditolong oleh mendiang Pek Mau Sanjin yang telah mengajarkan ilmu sihir kepadanya. Bagaimanakah dua pasang suami isteri iblis itu kini dapat bekerja sama dengan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko, murid dari mendiang See Kwi Ong, seorang di antara Empat Setan? Seperti kita ketahui, suami isteri Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, setelah tadinya bermusuhan karena memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) keluarga Pek dan sama-sama gagal, mereka bahkan dapat bersekutu. Ketika secara berkelompok mereka bertemu pula dengan Lam-hai Giam-lo, murid mendiang Lam-kwi-ong yang sudah bergabung pula dengan Min-san Mo-ko yang setingkat dua pasang suami isteri ini lalu menggabungkan diri pula. Ketika itu, golongan hitam yang mulai menghimpun kekuatan ini mendengar bahwa Jaksa Tinggi Kwan Sin bersama keluarganya sedang mengadakan liburan ke Telaga Tung-ting. Jaksa Tinggi ini terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang pembesar yang menghadapi dunia kejahatan dengan tangan besi. Banyak sudah tokoh-tokoh kaum sesat yang menjalani hukuman berat melalui Kwan-taijin ini. Maka dia pun dianggap sebagai tokoh umum oleh kaum sesat. Banyak orang dari dunia hitam menginginkan nyawanya, bukan saja karena membencinya sebagai seorang pejabat yang bertangan besi terhadap penjahat, juga terutama sekali karena pembesar itu terkenal memiliki mustika yang amat langka. Benda mustika itu merupakan sebuah giok (batu kemala) yang sudah ribuan tahun umurnya, berwarna belang merah hijau dan mempunyai khasiat menyembuhkan segala macam luka beracun, dapat menyedot racun dari dalam tubuh dan juga kalau air rendaman batu kemala ini diminum selama beberapa hari berturut-turut, maka akan menjadi obat kuat pembersih darah. Batu giok ini selalu tergantung di dada pembesar itu sebagai mainan seuntai kalung, tersembunyi di balik jubahnya. Berita tentang Kwan-taijin inilah yang membuat kawanan sesat itu kini menuju ke Telaga Tung-ting. Dua pasang suami isteri iblis itu sering kali memisahkan diri dari gerombolan mereka dan kemarin mereka gagal merampas domba. Hari ini, dengan teman-teman mereka segerombolan, mereka menyerbu perkampungan suku Miao yang sedang mengadakan pesta itu. Ketika Hui Lian berloncatan menyambut serbuan gerombolan penjahat, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan yang berdekatan dengan Min-san Mo-ko cepat berkata, "Itulah pemuda yang amat lihai itu." Mereka sudah menceritakan kepada rekan yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka itu tentang kegagalan mereka merampas domba ketika bertemu dengan pemuda berpakaian putih itu. Ji Sun Bi yang mata keranjang, begitu melihat Hui Lian, segera jatuh hati. Tak disangkanya bahwa pemuda yang kabarnya telah mengalahkan pengeroyokan dua pasang suami isteri itu adalah seorang yang demikian tampan. Maka ia pun cepat meloncat ke depan menyambut Hui Lian dengan senyum memikat. Karena sudah mendengar betapa lihainya pemuda pakaian putih itu, Ji Sun Bi yang sudah mencabut sepasang pedangnya dan memegang di kedua tangan. "Orang muda yang ganteng, engkau ikutlah saja dengan kami, menjadi sahabat baikku dan kita hidup bersenang-senang!” katanya sambil melepas senyum manis dan lirikan mata memikat. Melihat sikap wanita yang cantik dan genit itu, Hul Lian mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa ia berhadapan denganseorang wanita cabul dan mata keranjang, maka ia pun membentak marah. “Perempuan tak tahu malu, jangan mencoba untuk membujukku!" Ji Sun Bi adalah orang yang selalu berpendapat bahwa jlka sesuatu yang dikehendaki itu tidak akan berhasil dimilikinya, maka sesuatu itu harus dihancurkan! Karena itu, melihat sikap pemuda berpakaian putih yang memakinya, rasa sukanya segera berubah dan membalik menjadi kebencian. "Kalau begitu, mampuslah!" bentaknya dan sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dahsyat ke arah Hui Lian. Melihat betapa serangan wanita itu ternyata cukup dahsyat dan berbahaya, Hui Lian maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan tangguh, maka ia meloncat ke belakang menghindar sambil menggerakkan tangannya dan tiba-tiba nampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika ia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan. Itulah Kiok-hwa-kiam, pedang yang ia temukan bersama suhengnya di dalam guha berikut kitab peninggalan In Liong Nio-nio dan Sin-eng-cu The Kok, dua orang di antara delapan tokoh yang dahulu dikenal dengan sebutan Delapan Dewa. Ji Sun Bi yang sudah marah, melanjutkan serangannya dan kini dua gulungan sinar pedangnya bertemu dengan gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam. "Cring-tranggg …..!!” Ji Sun Bi menahan teriakannya dan terkejut bukan main karena dalam pertemuan pedang itu ia merasa betapa sepasang tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga lawannya memang amat kuat. Ia pun berhati-hati dan kembali menggerakkan sepasang pedangnya menyerang dengan dahsyat. Hui Lian menyambutnya dengan gerakan tenang saja, akan tetapi dalam gebrakan-gebrakan berikutnya, pedangnya menekan sepasang pedang lawan dan ia pun sudah mendesak hebat! Melihat ini, Min-san Mo-ko melangkah maju. "Sun Bi, minggirlah'" bentaknya dan ketika muridnya meloncat ke belakang, dia melangkah maju lagi menghadapi Hui Lian. Gadis ini memandang tajam lawan barunya yang bertubuh kurus bermuka pucat itu, akan tetapi melihat betapa sepasang mata kakek ini mencorong seperti mata harimau, ia bersikap hati-hati. Dengan suara melengking tinggi, Min-san Mo-ko menudingkan telunjuknya ke arah Hui Lian sambil memandang dengan sepasang mata yang tajam berpengaruh, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!" Hui Lian terkejut bukan main karena suara itu seperti menembus otaknya dan menusuk ke arah jantungnya, menguasai dirinya sehingga tak dapat ditahannya lagi pedang ditangannya dilepaskan, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi, ia masih bertahan dan tidak menjatuhkan diri berlutut. Melihat ini, Min-san Mo-ko mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata lagi suaranya makin tinggi melengking. "Orang muda, engkau tak dapat menahan lagi, harus berlutut di depan1ku!" Tangan kanannya bergerak-gerak ke arah Hui Lian. Kembali Hui Lian merasa seolah-olah dirinya dipaksa untuk berlutut dan walaupun hatinya menolak, namun kedua kakinya sudah gemetar dan hampir saja ia menjatuhkan diri berlutut. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan anehnya, suara ketawa ini membuyarkan kekuatan hebat yang memaksanya harus berlutut tadi. “Ha-ha-ha, Toako yang berpakaian putih, jangan dengarkan omongan dukun cabul itu. Omongannya tidak ada arti dan gunanya sama sekali, lebih busuk dari kentut perut kotor!" Ucapan ini membuyarkan sama sekali pengaruh yang menguasai diri Hui Lian sehingga ia terkejut sendiri melihat pedang Kiok-hwa-kiam di dekat kakinya. Cepat ia membungkuk dan mengambil kembali pedangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang muncul adalah pemuda bercaping itu. Mukanya berubah merah karena tadi ia memperlihatkan kelemahannya terhadap lawan dan baru sekarang ia sadar bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh sihir. Kalau tahu begitu, dengan pengerahan sinkang dan khikang, ia tentu akan mampu mempertahankan dirinya! "Terima kasih." katanya kepada Hay Hay. "Lebih baik engkau bantu orang-orang Miao itu, Toako dan biarlah aku yang menghadapi Si Dukun Cabul ini!" kata Hay Hay. Hui Lian melihat betapa dua pasang suami isteri yang pernah dikalahkannya kemarin, bersama teman-teman mereka, kini mulai menyerbu dan terjadi pertempuran antara mereka dengan orang-orang Miao Yang tentu saja tidak mampu menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi itu. Beberapa orang Miao telah roboh menjadi korban keganasan gerombolan itu. Melihat ini dengan pedang di tangan Hui Lian lalu berlari dan menerjang ke arah para penyerbu, pedangnya mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Sementara itu, sambil tersenyum lebar Hay Hay menghadapi Ji Sun Bi dan Min-san Mo-ko. Ji Sun Bi segera mengenalnya dan giranglah hati wanita ini melihat pemuda yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Teringat ia betapa bagaikan segumpal daging di mulut harimau, pemuda ini sudah berada dalam cengkeramannya dan tentu telah dimilikinya kalau tidak muncul kakek aneh yang merebut pemuda ini darinya. "Hay Hay ! Engkau datang mencariku, sayang?" tegur Sun Bi sambil tersenyum manis dan menghampiri, akan tetapi berhati-hati karena ia sudah mengenal kelihaian Hay Hay. Hay Hay juga tetap tersenyum memandang wanita yang merupakan orang pertama yang mengajarkan bercumbu itu, wanita cantik menarik yang kemudian menjadi musuhnya karena hendak memaksakan kehendaknya yang tidak baik, wanita cabul! "Ji Sun Bi, kita berjumpa lagi! Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat memaksakan keinginanmu yang kotor dengan bantuan dukun cabul ini!" Dia menuding ke arah Min-san Mo-ko. Tentu saja Min-san Mo-ko menjadi marah mendengar dua kali dia dimaki dukun cabul oleh Hay Hay. Tadi ketika Hay Hay muncul, dia tidak mengenal pemuda ini dan baru dia teringat ketika Ji Sun Bi saling tegur dengan pemuda itu. Teringatlah dia bahwa pemuda ini yang pernah dljatuhkannya dengan sihir dan sebelum dibunuh hendak dipermainkan dulu oleh Sun Bi, akan tetapi kemudian muncul Pek Mau San-jin yang kuat sekali ilmu sihirnya sehingga pemuda itu dapat lolos. "Bagus! Dahulu engkau kebetulan saja dapat melepaskan diri, sekarang jangan harap lagi, orang muda!" Kakek itu lalu menggosok kedua telapak tangannya, mulutnya berkemak-kemik, matanya mencorong menatap wajah Hay Hay, kemudian dia mengembangkan kedua lengannya dengan telapak tangan menghadap ke arah Hay Hay dan terdengar suaranya melengking tinggi. "Orang muda, tidurlah engkau! Tidurlah, karena engkau merasa lelah dan mengantuk sekali!" Suaranya bergema mengerikan dan mempunyai pengaruh amat kuat Hay Hay tentu saja sudah bersiap siaga menghadapi ilmu sihir kakek itu. Dia mengerahkan tenaga batinnya, menangkis bahkan melontarkan kekuatan yang menyerangnya itu kembali kepada Si Penyerang, ditambah lagi oleh kekuatan sendiri yang bergelombang amat kuatnya. "Bagus, kakek kurus, bagus sekali, tidurlah engkau!" Min-san Mo-ko sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda di depannya itu sama sekali berbeda dengan pemuda yang pernah dirobohkannya dengan sihir! Kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang hebat, jauh lebih kuat daripada ilmu sihirnya sendiri. Dia tidak tahu betapa kekuatan sihirnya tadi ditangkis dan dikembalikan oleh Hay Hay kepadanya, bahkan ditambah oleh kekuatan pemuda itu sendiri. Tahu-tahu dia merasa mengantuk bukan main, menguap dan tubuhnya terkulai, terus rebah di atas tanah tidur mendengkur! Melihat keadaan gurunya yang juga menjadi kekasihnya, terkejutlah Ji Sun Bi. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Biasanya, gurunya amat lihai dalam ilmu sihir dan sekali memerintah orang, tentu akan berhasil. Kini gurunya memerintah Hay Hay untuk tidur, akan tetapi mengapa hasilnya bahkan gurunya sendiri yang tidur mendengkur? Ia pun menubruk dan mengguncang pundak Min-san Mo-ko, mengerahkan sin-kang dan berseru, "Suhu, bangunlah! Bangunlah!" Sebagai seorang ahli sihir yang berpengalaman, tentu saja Min-san Mo-ko menyadari bahwa dia telah terpukul oleh serangannya sendiri namun tadi terlambat dia menyadari hal ini sehingga dia keburu terpengaruh dan pulas. Kini gugahan Ji Sun Bi membuat dia terbangun dan dengan muka merah dia meloncat berdiri, memandang kepada pemuda yang masih senyum-senyum itu. Dia teringat akan ilmu sihirnya yang paling kuat. Sejenak dia diam mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian tiba-tiba saja kedua matanya mencucurkan air matanya dan dia menangis sesenggukan! Sungguh penglihatan yang lucu dan aneh sekali! Kakek Min-san Mo-ko menangis tersedu-sedu dengan air mata bercucuran sambil memandang kepada Hay Hay. "Huu-uhu-hu-huuu ……!” Dia menangis dan mengeluh, "Hidup begini ….. sengsara... penuh duka... uhu-hu-huuuu …..!" Tangis biasa saja sudah amat menular, memiliki kekuatan untuk menyeret orang lain ikut menangis, apalagi tangis Min-san Mo-ko ini, tangis yang mengandung kedukaan sihir amat dahsyat. Bahkan Ji Sun Bi, yang biarpun sudah tahu bahwa gurunya melakukan sihir, tak dapat menahan diri dan ikut pula menangis! Hay Hay merasakan getaran yang amat kuat, yang seolah-olah menerkamnya dan menyeretnya, memaksanya untuk ikut pula menangis bersama Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi. Bahkan ingatannya pun membayangkan keadaan dirinya, yang sebatang kara, yang tidak memillki apa-apa di dunia ini, terbayang olehnya betapa sunyinya hidup, betapa dia menderita kesepian. Mau rasanya dia mengguguk menangis seperti anak kecil. Akan tetapi kesadarannya membuat dia waspada dan dapat melihat bahwa semua ini hanyalah karena kekuatan sihir lawan! Dia membiarkan air matanya jatuh menitik ke atas pipinya, kemudian dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan suara menghibur. "Sudahlah, Kakek yang malang, jangan terlalu berduka, hal itu dapat mengganggu kesehatanmu." Biasariya, orang yang sedang bersedih kalau mendengar kata-kata hiburan, kedukaannya menjadi penuh keharuan yang membuatnya menangis semakin sedih. Demikian pula dengan Min-san Mo-ko, karena kekuatan sihirnya tidak cukup kuat untuk mengalahkan Hay Hay, kini sebaliknya dia malah terseret oleh kekuatan sihir yang dilepas Hay Hay. Mendengar kata-kata hiburan itu, dia pun menangis semakin hebat, tidak lagi hanya mengguguk, bahkan kini melolong-lolong dan tak lama kemudian dia pun bergulingan di atas tanah sambil menangis seperti anak kecil! Melihat keadaan gurunya ini, Ji Sun Bi terkejut sekali, akan tetapi ia pun tidak berdaya karena ia pun menangis semakin hebat, terseret pula oleh pengaruh sihir yang dilepas Hay Hay! Guru dan murid itu bertangis-tangisan dengan amat sedihnya, sampai keduanya megap-megap dan sukar bernapas seperti tercekik oleh tangis sendiri. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan- muncul dua orang berpakaian pendeta. Melihat gambar teratai di dada mereka, mudah dikenal bahwa mereka adalah dua orang pendeta Agama Pek-lian-kauw. Seorang di antara mereka membanting sesuatu, terdengar suara meledak dan tempat itu penuh tertutup asap hitam. Hay Hay mempergunakan kedua lengannya untuk mengebut dan mengusir asap, akan tetapi setelah asap hitam menghilang, tidak nampak lagi Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi di situ. Ternyata mereka berdua telah dilarikan oleh dua orang teman mereka dari Pek-lian-kauw! Hay Hay tidak peduli dan cepat dia menyerbu ke dalam pertempuran. Hui Lian yang memegang pedang dikeroyok banyak orang, akan tetapi pemuda berpakalan putih itu sedemikian hebat permainan pedangnya sehingga biarpun ada belasan orang lihai mengeroyoknya, mereka tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedang itu! Metihat ini, Hay Hay lalu menepuk pundak seorang lawan yang mengeroyok, lalu orang ke dua. Dua orang itu membalik, kemudian mereka berdua saling hantam sendiri karena dalam pandangan mereka, masing-masing merupakan musuh yang harus dihantam, bukan kawan lagi! Hay Hay melakukan hal yang sama kepada dua orang pengeroyok lain dan tak lama kemudian, para pengeroyok Hui Lian itu telah saling hantam sendiri antara teman mereka! Tentu saja Hui Lian sendiri menjadi bingung metihat ulah para pengeroyoknya itu, demikian pula orang-orang Miao yang kini dengan enaknya memukuli para penyerbu yang saling hantam itu. Melihat keadaan ini, Siangkoan Leng dan isterinya, Ma Kim Li, juga suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki, menjadi terkejut dan gentar. Mereka lalu berloncatan dan melarikan diri dari tempat itu. Sisa anak buah atau teman-teman mereka, hanya setengahnya yang akhirnya lolos melarikan diri membawa luka-luka ketika mereka diserbu oleh suku Miao. Ada tujuh orang di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu, beberapa orang lagi luka-luka dan merangkak pergi, dibiarkan saja oleh orang-orang Miao yang sibuk merawat teman-teman sendiri yang terluka. Pesta yang gembira itu berubah menjadi suasana berkabung karena diantara suku Miao ada beberapa orang pula yang tewas. Kepala suku menghaturkan terima kasih kepada Hui Lian dan Hay Hay karena jelas bahwa dua orang inilah yang telah mengusir para perampok tadi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk memberi tahu kepada kepala suku. "Saya akan melakukan pengejaran terhadap mereka dan meninggalkan perkampungan ini. Akan tetapi saya minta dengan sangat agar Nian Ci dikawinkan dengan Kiao Yi karena keduanya sudah saling mencinta. Maukah kalian memenuhi permintaanku itu?" Kepala suku dan keluarganya menyatakan setuju dan Hui Lian lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sekali berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari situ, membuat orang-orang Miao melongo. "Ha-ha, aku pun harus pergi!" kata Hay Hay dalam bahasanya sendiri, dan orang-orang pun hanya melihat pemuda itu berkelebat lenyap. Muncul dan lenyapnya dua orang muda itu tak pernah dilupakan oleh orang-orang Miao di perkampungan itu. Mereka yang masih percaya akan tahyul percaya bahwa kedua orang itu tentulah penjelmaan para dewa yang sengaja hendak menolong mereka dari serbuan para perampok tadi. Dan Kiao Yi juga tidak pernah membuka rahasia bahwa pemuda berpakaian putih itu adalah seorang wanita menurut pengakuan orang itu sendiri. Dia sendiri masih belum yakin benar, akan tetapi dia takut untuk membuka rahasia ini, biar kepada isterinya sendiri sekalipun. Hal itu disimpannya sendiri sebagai suatu rahasia keramat. “Heiii, sobat, tunggu dulu!" Hay Hay berteriak-teriak memanggil bayangan putih yang berlari cepat di depan itu. Tentu saja Hui Lian mendengar teriakan ini, akan tetapi ia mempercepat larinya karena ia ingin menguji sampai di mana kepandaian berlari cepat pemuda bercaping yang aneh itu. Melihat betapa orang yang dikejarnya itu semakin ngebut, Hay Hay juga mengerahkan tenaganya dan dia pun berlari dengan amat cepatnya. Sebetulnya kalau dilihat dari gemblengan yang mereka peroleh, dalam hal ginkang Hay Hay masih menang tingkat karena pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang berdasarkan ginkang dari See-thian Lama atau Go-bi San-jin, yaitu terutama sekali Ilmu Yan-cu-coan-in (Walet Terbang Menembus Awan) yang membuat tubuhnya ringan dan dia dapat berlari secepat kijang. Akan tetapi, di samping ilmu-ilmu silat tinggi yang telah dipelajari oleh Hui Lian dari Ciang Su Kiat, juga wanita ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari dua orang di antara Delapan Dewa, dan terutama sekali yang membuat tubuhnya ringan adalah akibat makanan aneh berupa jamur-jamur yang dimakannya selama sepuluh tahun dalam guha terasing. Inilah sebabnya mengapa kekalahannya dalam hal ilmu meringankan tubuh dapat ditebusnya dan kini keadaan mereka berimbang. Jarak di antara mereka tidak menjadi lebih jauh atau lebih dekat. Melihat kenyataan ini, kembali keduanya terkejut dan kagum. Karena Hui Lian hanya ingin menguji, dan ia pun ingin berkenalan lebih dekat dengan pemuda bercaping yang menarik Itu, akhirnya ia berhenti di lereng sebuah bukit sehingga dalam beberapa detik saja Hay Hay sudah menyusulnya. "Wah, sobat, larimu seperti kijang saja"' Hay Hay memuji ketika mereka sudah berdiri berhadapan. Hui Lian tidak menjawab, melainkan menatap wajah pemuda di depannya itu dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang tampan, dengan wajah yang cerah gembira. Dadanya bidang, tubuhnya yang berukuran sedang itu tegap dan jelas membayangkan tenaga kuat yang dikandungnya. Matanya selalu bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum-senyum penuh daya tarik, dan hidungnya yang mancung itu seperti orang yang selalu mengejek. Pakaiannya sederhana, berwarna biru muda dengan garis-garis kuning di tepinya. Punggungnya membawa buntalan pakaian dan sebuah caping lebar kini tergantung di atas buntalan itu, seperti perisai melindungi tubuh belakangnya. Seorang pemuda yang masih muda sekali, hanya kurang lebih dua puluh tahun! Hui Lian yang usianya sudah sekitar tiga puluh tahun itu menganggap Hay Hay masih remaja! Karena merasa dirinya diamati orang, Hay Hay pun mempergunakan kesempatan itu untuk balas mengamatinya. Seorang pemuda yang tubuhnya agak kecil dan ramping, pakaiannya serba putih, wajahnya tampan sekali, kulit mukanya begitu halus kemerahan, sepasang matanya yang jeli itu seperti sepasang bintang yang selalu memancarkan sinar, akan tetapi dari mata yang jeli itu, hidung kecil mungil yang agak berjungkit ke atas, mulut dengan bibir yang kemerahan dan indah bentuknya itu, dagu yang meruncing, membayangkan kekerasan hati! Setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dan saling mengamati, Hui Lian lalu bertanya, "Ada keperluan apakah engkau mengejar aku?" Hay Hay memperlebar senyumnya. Dia sudah beberapa kali berhadapan dengan pemuda ini, yang dia taksir usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya, dan sikap pemuda berpakaian putih ini selalu keras dan tidak bersahabat! Akan tetapi, dia sudah melihat sepak terjang orang ini, dan biarpun sikapnya keras dan galak, namun sesungguhnya orang ini memiliki watak yang gagah, seorang pendekar sejati. Bukankah dia telah membela penggembala domba dan dengan gagah beraninya menghadapi pengeroyokan dua pasang suami isteri iblis itu? Kemudian, dia bahkan mewakili seorang pemuda Miao untuk memenangkan sayembara dan menjodohkan sepasang orang muda yang saling mencinta itu, dan betapa gagahnya ketika dia menyambut serbuan golongan jahat itu untuk membela orang-orang Miao! "Aku ingin mengenalmu lebih dekat Toako (Kakak)." kata Hay Hay dan melihat betapa alis yang hitam itu mengerut, dia cepat melanjutkan, "bukankah sebenarnya kita telah lama saling berkenalan? Kita bekerja sama menolong penggembala, kita bahkan sudah sama-sama menjadi rekan peserta sayembara, dan sama-sama pula menghadapi gerombolan tadi. Nah, salahkah kalau aku ingin mengenalmu lebih dekat?" Di dalam hati kecilnya, Hui Lian sebenarnya juga ingin sekali berkenalan dengan pemuda bercaping yang lihai ini, akan tetapi wataknya yang angkuh, apalagi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaan hatinya ini dan untuk menyembunyikan perasaannya, ia menjawab ketus. "Aku tidak ada waktu untuk berkenalan dan banyak bicara, aku harus mengejar orang-orang tadi!" Hay Hay melebarkan matanya. "Ah, kebetulan sekali! Aku pun mempunyai niat yang sama. Aku merasa curiga dengan munculnya orang-orang seperti mereka itu, tokoh-tokoh sesat yang kenamaan!" "Kau mengenal mereka ?" Hay Hay mengangguk, maklum bahwa hal itu menarik perhatian pemuda galak dan angkuh ini, maka dia pun bersikap penuh rahasia dan hanya mengangguk. Benar saja, Hui Lian merasa penasaran, apalagi teringat betapa tadi hampir saja ia celaka oleh ilmu sihir kakek kurus itu. "Siapa mereka?" "Bukankah akan makan waktu lama untuk bercakap-cakap?" Hay Hay mengingatkan, lalu disambungnya cepat, teringat akan watak galak orang itu. "Bagaimana kalau kita melanjutkan pengejaran, dan nanti saja bercakap-cakap kalau kita sudah berhasil menyusul mereka?" Hui Lian mengangguk dan tanpa bicara lagi keduanya lalu melanjutkan lari mereka mendaki bukit karena gerombolan tadi pun melarikan diri naik ke bukit itu. Mereka lari dengan Hui Lian di depan, Hay Hay di belakangnya, dekat di belakangnya. Dan kembali Hay Hay mencium keharuman yang aneh itu. Dia masih mengira bahwa pemuda pakaian putih di depannya ini pesolek dan suka memakai wangi-wangian, sama sekali tidak pernah menduga bahwa bau harum itu tercium karena Hui Lian mulai berkeringat dan memang keringat Hui Lian mengeluarkan bau harum sebagai akibat dari makanan jamur selama sepuluh tahun! Karena kedua orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat yang tinggi tingkatnya, tubuh mereka berkelebatan cepat dan tak lama kemudian mereka telah berhasil menyusul gerombolan yang melarikan diri tadi. Setelah tiba di balik bukit, gerombolan itu tidak berlari lagi, tidak tahu bahwa mereka dikejar dan kini dibayangi oleh dua orang muda yang membuat mereka lari ketakutan itu. "Apakah kita akan menyerang mereka?" tanya Hay Hay kepada Hui Lian ketika mereka berdua mengintai dari balik pohon-pohon, melihat gerombolan itu berhenti mengaso sambil mengobati teman-teman yang terluka di bawah pohon besar di kaki bukit sebelah sana. "Tidak, aku ingin melihat apa yang akan dilakukan gerombolan itu? Mereka berkepandaian tinggi, rasanya tidak mungkin kalau mereka itu gerombolan perampok biasa saja yang hendak merampok perkampungan Miao yang miskin." Hay Hay mengangguk-angguk. "Dugaanmu benar, Toako. Aku pun yakin mereka itu bukan perampok-perampok biasa, apalagi melihat dua pasang suami isteri iblis dan wanita cabul bersama gurunya itu." Kini tiba waktunya untuk bercakap-cakap sambil membayangi gerombolan itu, pikir Hui Lian. "Kau tadi mengatakan bahwa kau mengenal mereka? Siapakah mereka itu?" Hay Hay memandang Hui Lian sambil tersenyum, "Toako yang baik, sebelum engkau mengenal mereka, bukankah lebih baik kalau mengenal aku lebih dulu? Kita sudah bekerja sama akan tetapi belum saling mengenal." Dengan gaya lucu dan gembira Hay Hay bangkit dan memberi hormat dengan bersoja kepada Hui Lian. "Toakot namaku Hay dan kalau boleh aku mengetahui namamu ….." Hui Lian juga membalas penghormatannya dan menjawab, "Namaku Hui Lian, Kok Hui Lian. Siapa nama lengkapmu, apa nama keturunanmu?" "Namaku hanya Hay saja dan orang memanggil aku Hay Hay. Tentang nama keturunan... aku tidak punya. Namamu indah sekali. Kok-toako (Kakak Kok), membayangkan kelembutant cocok dengan keadaan dirimu yang amat tampan ini." Hui Lian menatap wajah Hay Hay, diam-diam memperhatikan kalau-kalau pemuda ini sudah dapat menduga bahwa ia seorang wanita. Akan tetapi karena ia tidak melihat tanda-tanda itut ia pun merasa lega dan tersenyum pula. Senyum yang pertama kali dan kembali Hay Hay memandang kagum. Tampan bukan main orang ini kalau tersenyum. Sayang jarang tersenyum, dan wajahnya lebih sering membayangkan kedinginan dan kekerasan hati. "Berapa usiamu?" tanya Hui Lian. "Dua puluh satu tahun. Engkau tentu lebih tua satu dua tahun daripada aku, Toako." Hui Lian hanya mengangguk-angguk, diam-diam merasa girang bahwa ia nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh tahun dan Hay Hay ini mengira bahwa ia baru berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun! Hati wanita mana yang tidak akan girang kalau dianggap lebih muda daripada usia sebenarnya? "Sekarang ceritakan siapa mereka itu." katanya mengalihkan percakapan karena ia tidak ingin mereka bicara tentang dirinya. "Lihat baik-baik, kakek tinggi besar itu bernama Siangkoan Leng, dan nenek yang masih nampak cantik di sebelahnya itu bernama Ma Kim Li. Keduanya merupakan suami isteri yang amat terkenal dengan julukan Lam-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan). Dan suami isteri ke dua itu juga amat terkenal dan tidak kalah jahatnya. Kakek pakaian hitam tinggi kurus yang mukanya tampan dingin seperti memakai kedok itu adalah Si Tangan Maut Kwee Siong. Nenek berpakaian hitam yang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat itu adalah Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. Mereka itu dikenal sebagai suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, sama jahatnya dengan Lam-hai Siang-mo dan di daerah selatan nama mereka berempat sudah terkenal sekali." "Aku pernah mendengar nama mereka." kata Hui Lian. "Dan siapa wanita cantik yang mempergunakan siang-kiam (pedang pasangan) itu? Siapa pula kakek kurus pucat yang lihal itu?” Hay Hay memandang ke arah Ji Sun Bi dan teringatlah dia akan semua pengalamannya dengan wanita itu. Wajahnya berubah merah karena malu ketika dia terkenang betapa dla pernah menerima pelajaran bagaimana caranya orang bercumbuan dari wanita yang amat berpengalaman itu. Harus diakuinya bahwa dia pernah dibakar nafsu yang dibangkitkan oleh wanita itu dan masih untung bahwa batinnya cukup kuat untuk mengatasi gelora nafsu berahinya sendiri. "Wanita itu amat berbahaya dan lihai, namanya Ji Sun Bi dan kalau tidak salah julukannya adalah Tok-sim Mo-li. Kakek kurus pucat itu lebih lihai dan berbahaya lagi karena selaln tinggi ilmu silatnya, dia pun seorang ahli sihir dan nama julukannya Min-san Mo-ko." Hui Lian memandang wajah Hay Hay penuh kagum. Pemuda ini memang masih muda sekali, akan tetapi ternyata pengalamannya telah luas sehingga mengenal tokoh-tokoh kang-ouw. "Hay-te (Adik Hay), ternyata engkau telah banyak mengenal tokoh kang-ouw. Engkau begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas!" Hay Hay tersenyum. "Aih, Toako jangan terlalu memuji. Dibandingkan dengan Toako, aku belum apa-apa." "Jangan merendah, Hay-te. Tadi ketika aku berhadapan dengan Min-san Mo-ko, hampir aku celaka oleh sihirnya.” Hui Lian bergidik mengenang peristiwa itu. "Bagaimana engkau dapat menandingi dia yang ahli dalam ilmu sihir itu?" "Kebetulan sekali aku pernah mempelajari cara untuk menolak pengaruh sihir, Toako. Dalam hal ilmu silat, guru dan murid itu jelas bukan tandinganmu. Kulihat ilmu silatmu hebat bukan main, kalau boleh aku mengetahui, siapakah Gurumu, Toako? Dari perguruan manakah?" Hui Lian menarik napas panjang dan teringat akan suhengnya. "Aku tidak punya guru, aku bersama Suheng menemukan kitab-kitab ilmu silat dan kami mempelajarinya bersama. Sudahlah, hal itu tidak penting. Akan tetapi engkau sendiri yang masih begini muda, dari mana engkau memperolah ilmu kepandaian begini tinggi?" "Wah, Guruku banyak sekali, Toako. Jadi kepandaianku adalah semacam cap-jai, campuran macam-macam. Dasar aku yang tolol, makin banyak diberi pelajaran, semakin bingung dan bodoh saja." Hay Hay mengelak. "Ah, mereka sudah bergerak lagi, Toako. Mari kita bayangi mereka." "Tidak perlu!" tiba-tiba Hui Lian berkata ketus. "Aku ingin bercakap-cakap dulu denganmu!" Hay Hay terkejut. Kenapa mendadak saja orang ini demikian ketus? "Kenapa? Bukankah kita bermaksud untuk membayangi mereka?" kata Hay Hay sambil memandang ke arah gerombolan itu yang mulai meninggalkan tempat di mana mereka tadi beristirahat. "Nanti dulu, engkau harus menceritakan dulu dari mana engkau memperoleh semua ilmu tadi, ilmu silat tinggi dan juga ilmu menolak kekuatan sihir. Aku harus tahu lebih dulu siapa sebenarnya engkau ini, kawan ataukah lawan." Hay Hay tersenyum menatap wajah yang tampan itu. "Toako, engkau sungguh aneh. Apakah masih juga sangsi terhadap diriku yang sudah bekerja sama denganmu menghadapi gerombolan tadi? Kalau aku bukan kawanmu, tentu kita tidak bekerja sama.." "Akan tetapi aku ingin tahu siapa Gurumu!" Hui Lian mendesak. "Kok-toako, sudah kukatakan bahwa Guruku banyak sekali sampai aku tidak ingat lagi, dan perlu apa mengenal guru-guru kita? Aku pun tidak bertanya siapa Gurumu." Hui Lian mengerutkan alisnya. Pemuda ini bukan orang sembarangan, dan biarpun tadi sudah bekerja sama dengannya menghadapi gerombolan, namun ia belum mengenal benar siapa sesungguhnya dia. Dan sikapnya demikian ramah dan pandai mengambil hati. Masih ada perasaan curiga bahwa pemuda ini seorang laki-laki mata keranjang, mengingat betapa tadi mengikuti sayembara memperebutkan seorang gadis Miao yang cantik. Selain itu, juga timbul rasa penasaran dalam hati Hui Lian untuk menguji sampai di mana kelihaian pemuda ini, karena ketika mereka bertanding dalam sayembara, mereka, terutama pemuda itu, tidak bertanding dengan sesungguhnya. Hal ini membuat ia merasa penasaran sekali. Bagaimanapun lihainya, pemuda ini baru berusia dua puluh satu tahun, masih remaja, dan tak mungkin ia tidak mampu mengalahkannya! "Kalau engkau tidak mau memberitahu siapa Gurumu pun tidak mengapa karena dengan bertanding, aku akan dapat mengenal ilmu silatmu. Mari kita main-main sebentar untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih pandai, melanjutkan pertandingan dalam sayembara yang tidak sungguh-sungguh itu." Melihat Hui Lian kini memasang kuda-kuda menghadapinya, siap untuk menyerang, Hay Hay terkejut. Akan tetapi dia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian seperti melihat sesuatu yang lucu. "Wah, Toako, apa-apaan lagi ini? Kenapa engkau menantang aku? Apa lagi sekarang yang akan kita perebutkan? Dia menoleh ke kanan kiri. "Tidak ada gadis cantik jelita untuk kita perebutkan sekarang!" Wajah Hui Lian berubah merah dan hatinya terasa panas. "Engkau mata keranjang, yang dipikirkan hanya gadis cantik saja!" bentaknya. "Sekali ini kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sambutlah!" Tanpa banyak cakap lagi, begitu Hay Hay bangkit berdiri, Hui Lian sudah menyerangnya dengan gerakan cepat dan mantap. Hay Hay terkejut. Serangan itu bukan main-main, bahkan berbahaya sekali. Dia pun cepat meloncat ke samping untuk menghindarkan pukulan tangan miring yang mengarah lehernya itu. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, Hui Lian telah menyusulkan lagi totokan-totokan yang bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di tubuh Hay Hay. "Ahh... ehhh... wah, apakah engkau sudah gila, Toako?" Hay Hay berseru kaget dan repot mengelak dan menangkis menghadapi serangkaian serangan yang benar-benar amat berbahaya itu. Setiap serangan yang dilakukan lawan itu merupakan ancaman maut dan terhadap serangan seperti itu, dia sama sekali tidak boleh main-main atau lengah. Akan tetapi, melihat betapa semua serangannya gagal dan pemuda itu memakinya gila, Hui Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Setelah serangkaian totokannya tadi gagal, Hui Lian juga terkejut dan maklum bahwa Hay Hay memang lihai sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi ia pun mulai memainkan Sian-eng Sin-kun yang amat hebat untuk mendesak lawan. Di lain pihak, melihat gerakan lawan, Hay Hay diam-diam terkejut bukan main. Dalam pertandingan sayembara tadi, ketika mereka saling totol dengan mouw-pit, dia pun sudah tahu bahwa pemuda berpakaian putih yang tampan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekarang barulah dia melihat betapa Kok Hui Lian memang hebat sekali ilmu silatnya. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga tubuhnya berkelebat menjadi bayangan putih yang menyambar-nyambar, dengan pukulan-pukulan cepat yang sukar diikuti dan diduga ke mana arah selanjutnya. Maka dia pun cepat mengeluarkan kepandaiannya, mengerahkan ginkang yang dipelajarinya dari Ciu-sian Sin-kai dan mempergunakan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari Go-bi San-jin atau See-thian Lama! Dan kini Hui Lian yang terkejut bukan main. Kiranya bocah ini dapat mengimbangi kecepatan gerak tubuhnya, dan setiap kali lengan mereka beradu, dirasakannya betapa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, tanda bahwa bocah itu memiliki tenaga yang tidak kalah kuat dibanding dirinya! Memang, kalau dibuat ukuran, baik kecepatan, tenaga maupun kelihaian ilmu silat kedua orang ihi tidak banyak selisihnya. Kalau saja Hay Hay mau mempergunakan kekuatan sihirnya, tentu dia akan dapat mengalahkan Hui Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau melakukan hal ini. Dia dapat menduga bahwa lawannya ini merupakan seorang pemuda halus yang berwatak angkuh, tidak mau dikalahkan, maka dalam pertandingan itu pun, dia hanya berusaha mengimbanginya saja, membalas setiap serangan tanpa keinginan untuk merobohkan lawan yang memang tidak mudah dilakukannya. Setelah lewat seratus jurus, barulah Hui Lian merasa yakin benar bahwa pemuda ini memang hebat, kalau tidak lebih lihai darinya, setidaknya juga setingkat. Makin kagumlah ia, dan makin suka karena baru sekarang ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian menarik. "Haiiiittt ……!" Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan suara melengking nyaring ketika tubuhnya melayang ke atas dan menukik dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah lawan, ke ubun-ubun dan leher! Hay Hay terkejut bukan main. Dia mengelak, namun masih kurang cepat karena tangan kiri Hui Lian sudah mencengkeram pundaknya. Hay Hay mengerahkan tenaga sinkang untuk membuat pundaknya kebal, lalu menangkis dengan keras. "Brettt ….!" Baju di bagian pundak Hay Hay terobek lebar, akan tetapi tangkisan itu membuat tangan Hay Hay meleset dan menyentuh dada Hui Lian. Dia hampir berteriak saking kagetnya ketika merasa gumpalan daging yang lembut di dada pemuda berpakalan putih itu! Hay Hay terbelalak memandang dan baru sekarang dia menginsyafi bahwa pemuda berpakaian putih di depannya itu adalah seorang wanita! Pantas saja wajahnya demikian tampan, kulitnya demikian halus! Dan kini keharuman yang luar biasa menyengat hidungnya. Wanita ini basah oleh keringat, dari dahi sampai lehernya penuh keringat, akan tetapi mengapa kini keharuman itu makin semerbak? Apakah keringatnya yang berbau harum itu? Hay Hay makin terbelalak, menatap wajah Hui Lian dengan penuh takjub. "Maaf... maafkan aku... tidak sengaja ….." katanya gagap teringat betapa tadi tanpa disengaja ia telah menyentuh payudara wanita itu! Wajah Hui Lian berubah kemerahan. Ia pun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja, akan tetapi bagaimanapun juga, kini rahasianya telah terbuka. Pemuda itu telah tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Tadinya ia akan marah sekali dan ingin menyerang lagi karena pemuda itu berani menyentuh dadanya, akan tetapi, ia pun tahu diri, maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, tentu sentuhan pada dadanya tadi akan dapat berubah menjadi totokan atau pukulan yang mematikan! Ternyata sejak tadi, Hay Hay telah mengalah terhadap dirinya. Maka kemarahannya berubah menjadi perasaan malu dan tanpa banyak cakap lagi, setelah mereka saling pandang sejenak, Hui Lian membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi, melarikan diri dengan amat cepatnya. "Toako...! Ehh... Enci yang baik ….!" Hay Hay berteriak, akan tetapi Hui Lian telah lari jauh dan Hay Hay tidak berani mengejar karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah. Dia pun berdiri termenung, kemudian tersenyum-senyum nakal sambil mencium tangan kanannya yang tadi menyentuh dada. Bukan main, pikirnya! Seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, menyamar sebagai pria. Dan keringatnya berbau harum! Dia pun segera melanjutkan perjalanan ke arah perginya gerombolan tadi karena dia mengambil keputusan untuk membayangi mereka dan melihat apa yang akan dilakukan oleh gerombolan kaum sesat yang lihai itu. ** Perahu itu besar, paling besar di antara perahu-perahu lain yang berada di Telaga Tung-ting. Memang perahu itu paling besar, karena pembesar setempat memang menyediakan perahu itu untuk keperluan Jaksa Kwan yang berlibur dan pelesir di telaga bersama keluarganya. Dan semua pejabat setempat tunduk dan takut kepada Jaksa Kwan, seorang pembesar yang keras dan memegang teguh hukum, tegas dan sama sekali tidak pernah mau disogok. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) terkenal sekali sebagai seorang jaksa yang menentang kejahatan, dan bersikap keras sekali terhadap pelanggar hukum, terhadap kaum penjahat sehingga dia dibenci oleh golongan hitam, akan tetapi sebaliknya dia amat dikagumi dan dihormati oleh para pendekar yang menjunjung kebenaran dan keadilan. Pada waktu itu, jaranglah terdapat seorang pejabat pemerintah seperti Kwan-taijin. Hampir semua pejabat, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, pada waktu itu merupakan koruptor-koruptor yang tidak segan-segan melakukan segala macam penindasan terhadap rakyat atau pencurian terhadap pemerintah untuk menggendutkan perut sendiri. Oleh karena itu, Jaksa Kwan merupakan seorang yang sukar ditemukan keduanya. Kejujuran dan keadilannya membuat dia ditakuti para penjahat dan disegani para pendekar, akan tetapi juga mendatangkan hal lain yang membahayakan, yaitu dia dibenci oleh golongan hitam! Akan tetapi, karena Kwan-taijin tidak pernah menyimpan sesuatu pamrih demi keuntungan pribadi atau dendam pribadi, karena dia bertindak tegas keras dan adil demi tegaknya hukum yang dipegangnya, maka, dia pun tidak pernah merasa takut atau terancam. Dan tidaklah aneh kalau seorang pejabat pada waktu itu yang tidak mau mengikuti jejak kawan-kawan dan rekan-rekannya, tidak mau berkorupsi, Kwan-taijin hidup sederhana walaupun tidak kekurangan karena sebagai seorang pejabat tinggi dia memperoleh gaji yang cukup besar. Namun dibandingkan dengan para pejabat lain yang lebih rendah tingkatnya daripada Kwan-taijin, yang biasa hidup berkelebihan dan bergelimang kemewahan, keluarga Kwan-taijin dapat dibilang hidup secara sederhana. Kini keluarga itu, pada waktu Jaksa Kwan mendapat cuti, mengadakan pelesir di Telaga Tung-ting yang indah. Keluarga pembesar lain kalau berpelesir di telaga ini, tentu akan berpesta pora dalam perahu besar, mengundang gadis-gadis penyanyi dan tukang-tukang musiknya, bahkan banyak pula yang membawa gadis-gadis pelacur. Akan tetapi Jaksa Kwan menikmati rnasa liburnya dengan memancing ikan di telaga, atau minum arak dan membuat sajak memuji keindahan tamasya alam di telaga itu. Pada sore hari itu, Jaksa Kwan duduk seorang diri di kepala perahu, menghadapi guci dan arak, juga kertas dan alat tulis karena dia sedang minum arak dan menulis sajak. Keluarganya yang tidak besar, hanya seorang isteri dan dua orang anak, mengaso di dalam bilik perahu besar. Seperti sebuah patung, Jaksa Kwan tidak bergerak, termenung dan menikmati keindahan dan kesunyian telaga yang amat luas itu. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar sederhana, kumis dan jenggotnya terpelihara baik -baik, sepasang mata yang lebar itu berwibawa, dan di lehernya tergantung sebuah batu giok yang warnanya belang-belang merah dan hijau, indah sekali. Dia menerima batu giok ini sebagai hadiah dari seorang tokoh pendekar yang merasa kagum kepadanya, dan batu giok ini merupakan sebuah pusaka yang amat langka. Kalau dipakai sebagai kalung, dapat menolak datangnya penyakit, dan batu giok itu pun dapat memunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat pun, selain itu juga air yang merendam batu itu semalam suntuk, dapat merupakan obat kuat yang manjur. Beberapa buah perahu kecil berseliweran di permukaan telaga, ada pula beberapa buah yang bergerak di dekat perahu besar Kwan-taijin. Akan tetapi pembesar ini agaknya tidak memperhatikan perahu-perahu itu, dan sama sekali tidak tahu bahwa di antara perahu-perahu itu terdapat beberapa buah perahu yang ditumpangi penjahat-penjahat besar yang sejak tadi membayanginya! Sebuah perahu kecil yang ditumpangi tiga orang yang memegang joran pancing, meluncur dekat dan tiba-tiba dari atas perahu kecil itu melayang sesosok tubuh ke atas perahu besar. Tanpa menimbulkan guncangan, tubuh itu kini hinggap di atas dek perahu besar, di dekat Kwan-taijin yang masih duduk termenung dan sebelum Kwan-taijin sempat bergerak atau berteriak, tiba-tiba saja tubuhnya tertotok lemas dan di lain saat, tubuh pembesar itu telah dipondong oleh kakek kurus itu dan dibawa melompat ke atas perahu kecil di mana dua orang kawannya telah menanti Seorang pengawal yang kebetulan melihat peristiwa itu berteriak dan gegerlah pasukan pengawal yang hanya terdiri dari selosin orang itu di atas perahu lain yang berada di belakang perahu besar. Akan tetapi, Min-san Mo-ko yang menawan Kwan-taijin tidak mempedulikan pengejaran para pengawal. Dua orang pembantunya sudah mendayung perahu kecil dengan cepatnya, meluncur pergi ke tengah telaga! Dan ketika perahu pengawal melakukan pengejaran, mereka itu dihadang oleh perahu-perahu kecil yang ditumpangi oleh Ji Sun Bi, Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Terjadi pertempuran yang berat sebelah karena dua belas orang pengawal itu sama sekali bukan merupakan lawan berat bagi tokoh-tokoh sesat itu sehingga sebentar saja perahu kecil yang membawa Kwan-taijin lenyap tidak ada yang mengejar! Para pengawal itu pun satu demi satu terlempar ke dalam air dan melihat betapa Min-san Mo-ko berhasil melarikan Kwan-taijin, para penjahat itu pun cepat melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, tidak mau menanti datangnya pasukan bala bantuan yang tentu akan tiba di tempat itu. Sementara itu, setelah merasa aman dari pengejaran para pengawal, Min-san Mo-ko dan dua orang anak buahnya mendarat di tepian yang sunyi. Akan tetapi, tiba-tiba saja sebuah perahu nelayan kecil meluncur dari samping, dan dari dalam perahu itu berkelebat bayangan orang yang meloncat naik pula ke darat, dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depan Min-san Mo-ko. Pemuda ini bukan lain adalah Hay Hay! Ketika dia melakukan pengejaran dan tiba di tepi telaga, Hay Hay menyamar sebagai seorang nelayan karena dia melihat beberapa orang penjahat yang pernah dilihatnya menyerbu perkampungan suku Miao, nampak berkeliaran di situ, ada pula yang menunggang perahu! Dia dapat menduga bahwa tentu gerombolan itu sedang hendak melakukan sesuatu di tempat itu, entah apa dia tidak dapat menduga. Maka, dia pun menyamar sebagai nelayan dan menyewa sebuah perahu, mendayung perahunya berkeliling sampai akhirnya dia mengenal Min-san Mo-ko dan dua orang anak buahnya dalam sebuah perahu. Dia tertarik sekali dan membayangi, melindungi mukanya dengan caping lebar. Ketika dia melihat Min-san Mo-ko meloncat ke perahu besar dan menculik seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, dan melihat betapa pasukan pengawal dihadapi anak buah Min-san Mo-ko, tahulah dia bahwa tentu pria yang diculiknya itu seorang pembesar penting. Dia pun cepat mengikuti dari jauh dengan perahunya dan ketika Min-san Mo-ko membawa Kwan-taijin melompat ke darat, dia pun cepat melompat dan kini berhadapan dengan Min-san Mo-ko sambil menyeringai. "Eh, kiranya Si Dukun Lepus Min-san Mo-ko yang kembali membuat ulah! Hayo lepaskan orang yang kaucilik itu!" bentak Hay Hay. Melihat munculnya pemuda yang kini amat lihai itu, yang bahkan pandai ilmu sihir sehingga dia tidak mungkin lagi menguasainya dengan sihir, Minisan Mo-ko terkejut bukan main. "Mundur engkau bocah setan!" bentaknya. "Atau... akan kubunuh dulu Jaksa Kwan ini!" Dan dia pun menempelkan pedangnya pada leher Jaksa Kwan yang masih belum mampu bergerak karena tertotok. "Mundur dan jangan mengikuti kami!" Hay Hay yang cerdik maklum bahwa setelah susah payah menculik orang, tidak mungkin Min-san Mo-ko akan membunuhnya begitu saja. Dia tidak mau digertak, maka dia pun tertawa. "Ha-ha-ha, Min-san Mo-ko dukun cabul! Aku sama sekali tidak mengenal orang yang kauculik tu. Mau kaubunuh atau tidak, tidak ada hubungannya dengan aku, dan aku tidak akan rugi. Kalau engkau membunuhnya, silakan, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melepaskan engkau lagi!" Gertakan dibalas dengan gertakan dan Min-san Mo-ko menjadi agak bingung. Hatinya sudah khawatir sekali bertemu dengan Hay Hay dan kini dia bahkan digertak oleh pemuda remaja yang lihai itu. Dia tidak tahu betapa diam-diam Hay Hay merasa tegang karena pemuda ini melihat berkelebatnya bayangan putih yang sudah dapat diduganya siapa orangnya. "Penjahat busuk terimalah kematianmu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seperti seekor garuda menyambar, Hui Lian telah meloncat dan menerkam ke arah tengkuk Min-san Mo-ko dengan totokan maut! "Ihhh …..!" Min-san Mo-ko mengelak sambil membabatkan pedangnya ke belakang menyambut serangan Hui Lian. Kesempatan ini memang ditunggu-tunggu oleh Hay Hay. Dia menubruk ke depan dan di lain saat, tubuh Kwan-taijin sudah pindah ke dalam pondongannya! Min-san Mo-ko terkejut, apalagi ketika dua orang pembantunya yang maju hendak membantunya, dirobohkan oleh Hui Lian dengan sebuah tendangan dan tamparan! Dia pun meloncat jauh dan melarikan diri tanpa menoleh lagi! Menghadapi Hay Hay seorang saja dia merasa jerih, apalagi di situ masih muncul pemuda berpakaian putih yang juga sudah diketahui kelihaiannya. "Terima kasih... Kok-toako." kata Hay Hay, tidak mau menyebut enci karena di situ terdapat Kwan-taijin dan dua orang anggauta gerombolan yang mengaduh-aduh dan memijit-mijit pundak dan kaki yang patah tulangnya. Hui Lian tidak menjawab, melainkan bertanya tentang Kwan-taijin. "Siapakah orang ini dan mengapa dia diculik?" Hay Hay membebaskan totokan Kwan-taijin dan pembesar ini setelah mampu bergerak lagi, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada dua orang muda itu. "Saya adalah Jaksa Kwan dari kota Siang-tan. Banyak penjahat yang memusuhi saya, mungkin untuk membalaskan sakit hati rekan-rekan mereka yang saya tangkap dan tuntut sehingga terhukum berat. Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Pendekar Besar Berdua) yang telah menyelamatkan saya sehingga saya tidak terbunuh, melainkan kehilangan pusaka saya." "Pusaka? Pusaka apa yang hilang?"tanya Hay Hay. “Pusaka batu giok penawar segala racun yang tadinya saya pakai sebagai kalung. Sayang sekali pusaka yang amat langka itu terjatuh ke tangan penjahat. Dia tadi merenggut kalung itu dan disimpannya dalam saku. Ahhh, kalau mereka pergunakan pusaka itu untuk kejahatan, sungguh sayang sekali." Hui Lian berkata kepada Hay Hay, "Hay-te, antarkan Kwan-taijin ini kembali kepada keluarganya, aku akan mengejar mereka!" Tanpa menanti jawaban, sekali berkelebat nampak bayangan putih dan lenyapnya tubuhnya, membuat Kwan-taijin menarik napas kagum. "Marilah, Taijin, saya antar kembali ke sana." kata Hay Hay, girang bukan main mendengar suara Hui Lian tadi yang agaknya sudah tidak marah lagi kepadanya dan sebutan Hay-te (Adik Hay) tadi terdengar demikian akrab. Keluarga Kwan-taijin merasa gembira sekali melihat pembesar itu kembali dalam keadaan selamat. Kehilangan pusaka batu giok itu tidak begitu besar artinya bagi mereka dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Hay Hay, keluarga itu cepat-cepat pulang ke Siang-tan diikuti para pengawal yang juga merasa terkejut dan cemas dengan adanya peristiwa tadi. Hay Hay cepat meninggalkan tempat itu, mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran pula ke arah larinya Min-san Mo-ko yang dikejar oleh Hui Lian tadi. Dia merasa khawatir akan keselamatan Hui Lian karena dia maklum betapa berbahayanya Min-san Mo-ko, apalagi ilmu sihirnya yang sukar dilawan oleh Hui Lian. Dia khawatir, lebih-lebih setelah kini dia tahu bahwa Hui Lian adalah seorang wanita! Seorang gadis yang cantik jelita dan... harum bau keringatnya! Kekhawatirannya berrtambah ketika dia tiba di luar sebuah hutan dan masih belum juga dapat menemukan jejak mereka, baik jejak Min-san Mo-ko dan teman-temannya maupun jejak Hui Lian. Dia teringat akan dua orang yang tadi terluka oleh Hui Lian, maka cepat dia berlari seperti terbang menuju ke tepi telaga yang tadi. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan mereka yang hanya dapat berjalan perlahan-lahan karena seorang di antara mereka menderita patah tulang kaki kirinya sehingga hanya dapat berjalan terpincang-pincang. Ketika melihat Hay Hay yang tiba-tiba muncul, mereka terkejut bukan main dan menggigil ketakutan! Hay Hay tidak mau membuang waktu. Segera dia mengerahkan ilmu sihirnya, memandang tajam dan berkata dengan suara yang amat berwibawa, "Aku ingin kalian mengatakan di mana sarang Min-san Mo-ko. Kalau kalian berbohong, awas! Lihat, aku dapat menjadi seekor raksasa yang akan mengganyang habis kalian!" Dua orang itu terbelalak dan muka mereka pucat, tubuh mereka menggigil dan mereka berdua jatuh berlutut ketika melihat betapa pemuda yang berada di depan mereka itu benar-benar telah berubah menjadi seorang raksasa yang mukanya mengerikan, mulutnya lebar terbuka dan penuh dengan taring yang runcing! “Ampun …. ampunkan kami …. Min-san Mo-ko berada di dalam kuil Pek-lian-kauw yang berada di dalam hutan …. di lereng bukit sana ….” Tanpa menanti keternagan lebih lanjut karena sudah cukup baginya, Hay hay berkelebat lenyap dari depan kedua orang itu yang terjungkal pingsan saking takutnya. Kini Hay Hay berlari cepat menuju ke bukit itu dan ketika dia memasuki hutan yang berada di lereng bukit itu, sore telah larut dan cuaca di dalam hutan mulai remang-remang. Tiba-tiba dia mendengar suara beradunya senjata dari tengah hutan. Jantungnya berdebar tegang dan diapun cepat berlompatan ke arah datangnya suara berkelahi itu. tak lama kemudian tibalah dia didepan sebuah kuil tua dan disitu dia melihat Hui Lian yang memegang pedang sedang dikeroyok oleh banyak orang! dan tentu saja Hui Lian terdesak hebat karena pengeroyoknya adalah Min-san Mo-ko, kedua pasang suami isteri iblis, dan masih ada pula beberapa orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai! Tidak nampak iblis betina Ji Sun Bi di situ. Diam-diam Hay Hay merasa lega bahwa Hui Lian belum terluka walaupun terdesak hebat. Agaknya gadis ini telah melindungi dirinya dengan sinkang dan khikang sehingga tidak akan mudah dipengaruhi sihir Min-san Mo-ko sehingga dengan gigih ia masih mampu membuat perlawanan. “Toako, aku datang membantumu!” teriak Hay Hay dan dia pun mencabut sebuah suling dari pinggangnya, lalu terjun ke dalam perkelahian itu dengan suling di tangan. “Hay-te, cepat ke sini … kita saling melindungi!” kata Hui Lian sambil memutar pedangnya. Hay Hay yang maklum betapa bahayanya musuh-musuh itu, segera membuka kepungan dengan putaran sulingnya. Terdengar suara senjata beradu dan dua orang anak buah gerombolan itu terjengkang. Hay Hay melompat masuk dan kini sudah berdiri beradu punggung dengan Hui Lian, memutar sulingnya dan menagkis senjata-senjata yang datang menyambar, juga dia menggunakan tangan kiri mendorong ke kanan kiri dan pihak lawan yang kurang kuat tentu terdorong mundur sehingga mereka merasa kaget dan jerih terhadap pemuda yang baru muncul ini. Legalah hati Hui Lian kini karena tadi ia sudah kewalahan dan kalau Hay Hay terlambat datang, bukan tidak mungkin ia akan segera roboh, tertawan atau tewas. Hatinya merasa gembira dan setiap kali pinggulnya menyentuh Hay Hay dalam gerakan mereka yang saling melindungi, jangtungnya berdebar aneh. Mereka berdua mengamuk dan setelah banyak anak buah gerombolan roboh oleh pedang Hui Lian dan suling di tangan Hay Hay, mereka menjadi jerih dan kini yang masih mengeroyok hanyalah Min-san Mo-ko, dua pasang suami isteri dari selatan, ditambah lima orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan bersenjata tongkat panjang. Beberapa kali tosu dan juga Min-san Mo-ko mencoba ilmu sihir mereka, namun berkat kekuatan sihir Hay Hay, semua serangan mereka tidak mempan. Juga Hay Hay tidak mau mencoba ilmu sihirnya, maklum bahwa dia tidak akan berhasil karena selain Min-san Mo-ko, di situ terdapat lima orang tosu yang kesemuanya memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Walaupun kedua orang muda itu dikeroyok sepuluh orang pandai, namun mereka sama sekali tidak gentar, dan juga tidak terdesak, walaupun bagi mereka berdua pun tidak mudah untuk dapat melukai para pengeroyok yang lihai itu. Selagi Hay Hay berniat untuk mengajak kawannya melarikan diri, tiba-tiba muncul dua orang di pihak para pengeroyok. Mereka itu bukan lain adalah Ji Sun Bi, wanita cabul itu, dan seorang pemuda yang tampan dan gagah sikapnya. Ji Sun Bi segera membantu para pengeroyok, menyerang Hui Lian, sedangkan pemuda gagah itu menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar perak mengeroyok Hay Hay. Ketika menangkis sinar perak itu dengan sulingnya, dia kaget bukan main. Pemuda yang baru datang ini amat kuat sinkangnya, dan pedang itu pun berbahaya sekali karena ujung sulingnya terbabat putus! Kiranya pemuda itu seorang yang amat lihai dan memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh. Diam-diam Hay Hay mengeluh. Dengan munculnya pemuda ini dan Ji Sun Bi, jelas bahwa kedudukan dia dan Hui Lian terhimpit dan berat sekali. Di lain pihak, dengan munculnya Ji Sun Bi yang meyerang dengan siang-kain (sepasang pedang), Hui Lian juga merasa berat dan repot. Wanita cabul itu memang lihai, lebih lihai di bandingkan suami isteri iblis atau para tosu Pek-lian-kauw. Maka kemunculannya membuat Hui Lian terdesak dan hanya mampu menangkis saja, sedikit sekali mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang. Kini ia dan Hay Hay dikeroyok dua belas orang dan ketika ia memperhatikan dengan sudut matanya, ia melihat betapa pemuda yang datang bersama Ji Sun Bi itu pun lihai bukan main. “Toako, mari kita pergi!” Tiba-tiba terdengar Hay Hay berseru dan tiba-tiba saja Hay Hay tertawa bergerlak. Suara tawanya sampai menimbulkan gema, demikian dalam penuh wibawa. Para pengeroyok terkejut dan tanpa mereka sadari, mereka pun kini tertawa semua, terseret oleh arus yang amat kuat dari getaran suara ketawa Hay Hay. Kesempatan ini di pergunakan oleh Hay Hay untuk menyambar lengan Hui Lian dan diajaknya meloncat keluar dari kepungan! Pada saat para lawan terpengaruh sihirnya dan tertawa, Hay Hay yang memegang lengan Hui Lian meloncat keluar, akan tetapi hanya sebentar saja Min-san Mo-ko terpengaruh, demikian pula lima orang tosu Pek-lian-kauw. Min-san Mo-ko sudah mebubruk ke depan dengan pedangnya yang menyambar ke arah leher belakang Hay Hay. Pemuda ini mengelak dan tubuhnya diputar. Dia melihat benda mencorong di dada Min-san Mo-ko. Bati giok milik Kwan-taijin! Hay Hay menusukkan suling ke arah mata Min-san Mo-ko, akan tetapi tangan kirinya menyambar dan dia berhasil merampas batu giok yang dikalungkan di leher Min-san Mo-ko. Pada saat itu, lima orang tosu Pek-lian-kauw sudah menubruknya! Hui Lian membantunya dengan putaran pedang sehingga tongkat para tosu dapat ditangkis. Akan tetapi pada saat itu, ada sinar hitam menyambar dan Hui Lian mengeluh dan terhuyung. Ia telah diserang dengan jarum beracun dari belakang oleh Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, iblis betina dari Guha Iblis Pantai Selatan. Tiga batang jarum kecil memasuki pinggul kanan tanpa dapat ditangkisnya sama sekali sehingga ia terhuyung dan sebelan kaki seperti lumpuh. Pada saat itu, Hay Hay cepat menyambar tubuh Hui Lian dengan tangan kiri, sedangkan sulingnya di putar cepat. Dua orang tosu Pek-lian-kauw etrjungkal roboh, akan tetapi ujung pedang di tangan Min-san Mo-ko juga menyerempet dada Hay Hay, merobek baju dan juga kulit dan daging di dada kananya. “Kami tidak ada waktu melayani kalian. Kami pergi, kami menghilang dan kalian tak dapat melihat kami lagi!” terdengar Hay Hay berseru, kini mengerahkan seluruh tenaga sihirnya dan sekali ini dia berhasil baik karena semua musuhnya tiba-tiba menjadi bingung ketika Hay Hay dan Hui Lian lenyap. Beberapa kali Min-san Mo-ko dan para tosu Pek-lian-kauw mengeluarkan bentakan-bentakan untuk memunahkan pengaruh sihir itu, dan akhirnya mereka berhasil juga menyingkrkan pengaruh itu. Akan tetapi semua orang sadar dan mengejar keluar ruangan depan, yang nampak hanya bayangan kedua orang musuh itu memasuki hutan yang sudah menjadi amat gelap. Mengingat akan lihainya dua orang itu, mereka tidak berani melakukan pengejaran di dalam gelap karena hal itu berbahaya sekali bagi mereka. Min-san Mo-ko membanting-banting kakinya. “Keparat jahanam! Mereka dapat lolos!” Dia mengutuk. “Jangan khawatir, Mo-ko,” kata Si Jarum Sakti Tong Ci Ki. “Pemuda pakaian putih itu telah kuhadiahi tiga batang jarum beracunku, dia tentu takkan mampu berlari jauh dan akan mampus juga.” “Dan aku melihat tadi pedangmu juga telah melukai dada Hay Hay,” kata Ji Sun Bi kepada suhung dengan suara menghibur. “Tentu dia tidak akan terlepas dari maut karena pedangmu yang beracun.” Akan tetapi, ucapan dua orang wanita itu agaknya bahkan menambah kejengkelan hati Min-san Mo-ko. “Semoga segala iblis mengutuk mereka!” katanya dengan muka merah dan mata melotot. “Apa artinya luka-luka oleh jarum dan pedang beracun kalau mereka memiliki batu giok mustika itu?” “Apa? Jadi batu giok itu terampas oleh mereka?” “Hay Hay keparat itu yang merampasnya dari leherku. Besok setelah terang tanah kita harus melakukan pengejaran. Pemuda itu harus dibunuh, kalau tidak, kelak hanya akan mendatangkan gangguan saja bagi kita. Ahhh, bagaimana kita akan dapat menghadap Giam-lo kalau begini? Jaksa Kwan lolos, dan sekarang mustika batu giok juga terampas orang.” Min-san Mo-ko kelihatan marah dan juga bingung, takut akan kemarahan Lam-hai Giam-lo yang menjadi pimpinan mereka. Kini pemuda tampan yang tadi muncul bersa Ji Sun Bi, melangkah maju dan berkata kepada Min-san Mo-ko, “Mo-ko, kenapa susah amat? Sungguh memalukan kalau kita yang begini banyak sampai tidak mampu membekuk bocah itu. Biarlah aku yang akan mencari dan membekuk mereka, atau setidaknya merampas kembali mustika batu giok itu.” Min-san Mo-ko memandang kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya juga masih muda, sebaya dengan Hay Hay, dan pemuda ini pun memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dia sendiri sudah mengujinya dan memang pemuda ini patut menjadi sekutunya yang boleh diandalkan, walaupun pemuda ini tidak memiliki ilmu sihir. Dalam hal ilmu silat, agaknya dia sendiri pun belum tentu akan mampu mengalahkannya! “Kita mencari mereka beramai-ramai besok pagi!” Dia hanya dapat berkata demikian karena terhadap pemuda yang baru saja menjadi sekutu mereka ini, dia tidak berani bersikap kasar atau keras. “Tentang mustika batu giok itu, kiranya Giam-lo juga tidak akan terlalu menyesal karena sebagai gantinya, dia mendapatkan Sim-kongcu sebagai sahabat, dan Sim-kongcu sudah berjanji akan menghadiahkan sebuah benda mustika yang tidak kalah langkanya dibandingkan mustika batu giok itu kepada Lam-hai Giam-lo,” kata Ji Sun Bi sambil menggandeng tangan pemuda itu dan mengerling dengan sikap manja. Pemuda yang disebut Sim-kongcu (Tuan Muda Sim) itu hanya tersenyum, kemudian berkata dengan suara yang jelas membayangkan kebanggaan dirinya. “Batu giok penawar racun seperti itu saja kiranya tidak perlu diperebutkan. Aku memiliki sebuah cawan arak yang dapat dipakai mengenal minuman atau makanan beracun. Cawan itu akan kuhadiahkan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai tanda persahabatan, dan kini dapat dipakai sebagai pengganti mustika batu giok yang tak berhasil lita rampas itu Mendengar janji ini, hati Min-san Mo-ko menjadi agak lega. Setidaknya, kemarahan Lam-hai Giam-lo akan berkurang kalau sebagai pengganti mustika batu giok, dia memperoleh seorang pembantu selihai pemuda ini, apalagi ditambah sebuag cawan pusaka yang langka. Oleh karena itu, ketika pada keesokan harinya mereka tidak berhasil menemukan jejak Hay Hay dan Hui Lian, Min-san Mo-ko mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu dan menghadap Lam-hai Giam-lo memberi laporan. Siapakah pemuda lihai yang kini agaknya baru saja bersekutu dengan gerombolan itu? Dia bukan lain adalah Sim Ki Liong, atau tadinya memakai she Ciang ketika berguru kepada Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Seperti telah kita ketahui, dengan siasat yang amat cerdik, ketika berusia empat belas tahun, Sim Ki Liong berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya karena dia pandai membawa diri, memperlihatkan diri sebagai seorang pemuda yang sopan santun, berbakti dan juga amat berbakat, suami isteri pendekar yang biasanya amat cerdik itu dapat dikelabuhi dan dia pun mendapat pelajaran ilmu silat yang hebat dari suami isteri itu selama enam tahun. Tidak pernah suami isteri itu melihat kelakuan buruk Ki Liong selama menjadi murid mereka dan tinggal di pulau itu, sampai kemudian datang puteri cucu perempuan mereka, yaitu Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong. Berkobarlah nafsu berahi dalam diri Ki Liong ketika dia melihat Kui Hong dan hampir tak tertahankan lagi sehingga dia pun bersikap ceriwis dan kurang ajar terhadap Kui Hong sehingga terjadi keributan. Agaknya karena memang sudah merasa pandai dan tidak betah lagi tinggal di pulau itu, setelah terjadi keributan dengan Kui Hong yang menolak keinginannya untuk bermesraan, Ki Liong lalu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil membawa beberapa buah benda pusaka dan juga harta dari pulau itu, milik Pendekar Sadis dan isterinya! Di antara benda-benda pusaka itu, dia membawa pergi Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis, dan juga sebuah cawan pusaka yang amat langka karena minuman atau makanan apa saja yang mengandung racun, kalau ditaruh di dalam cawan, lalu nampak tanda hijau pada cawan perak itu! Demikianlah, ketika meninggalkan pulau secara minggat, Ki Liong mencari ibunya yang tinggal di sebuah dusun. Hanya beberapa hari saja dia tinggal di situ. Setelah rasa rindu terhadap ibunya terobati, mulailah dia merantau untuk mencari musuh besarnya, pembunuh ayahnya. Menurut ibunya, pembunuh ayahnya itu bernama Siangkoan Ci Kang yang dahulu masih saudara seperguruan dengan ayahnya yang bernama Sim Thian Bu. Kata ibunya, Siangkoan Ci Kang adalah seorang laki-laki yang berkepandaian tinggi dan lengan kirinya buntung sebatas siku. Tidak sukar mencari orang yang buntung lengan kirinya, apalagi kalau orang itu seorang ahli silat yang lihai. Tentu akan mudah dia mencari keterangan di dunia kang-ouw, karena Si Lengan Buntung yang lihai itu tentu dikenal oleh banyak orang kang-ouw. Akan tetapi, ternyata harapannya itu sia-sia dan dugaannya meleset. Memang banyak orang mendengar nama Siangkoan Ci Kang, putera dari mendiang Siangkoang Lojin yang berjuluk Si Iblis Buta, akan tetapi semenjak belasan tahun sampai duapuluh tahun yang lalu, nama Siangkoan Ci Kang tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw dan tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang tahu di mana adanya jagoan itu. Hal ini tidaklah aneh karena memang Siangkoan Ci Kang bersama Toan Hui Cu “bersembunyi” di dalam kuil Siauw-lim-si, menjadi orang-orang hukuman sehingga mereka berdua itu seolah-oleh lenyap dari dunia kang-ouw, bahkan dunia ramai. Ki Liong tidak putus asa dan mencari terus sampai akhirnya dia tiba di daerah Propinsi Hu-nan dekat Telaga Tung-ting dimana dia berjumpa dengan Ji Sun Bi. Seperti kita ketahui, bersama teman-temannya, setelah tidak mampu mengalahkan Hay Hay dan Hui Lian, Ji Sun Bi juga melarikan diri dan seperti yang telah mereka rencanakan, mereka itu berkumpul di dalam kuil tua di mana terdapat para tosu Pek-lian-kauw yang untuk sementara menjadikan kuil itu sebagai tempat persembunyian mereka. Di antara para anggauta gerombolan itu dan Pek-lian-kauw memang sudah ada hubungan baik, apalagi kalau diingat bahwa Min-san Mo-ko sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw. Ji Sun Bi tidak betah tinggal di kuil tua yang buruk itu dan ia pun berkeliaran keluar kuil, dan mendaki bukit itu, keluar dari dalam hutan. Dan di puncak bukit inilah ia melihat seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Seperti biasa, setiap kali bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah, tergeraklah hati Ji Sun Bi dan gairahnya pun timbul. Melihat pemuda itu melangkah seorang diri dari atas puncak bukit menuju turun, Ji Sun Bi cepat mencubit pahanya sendiri sampai kain celananya robek dan kulit pahanya membiru, kemudian ia rebah di atas tanah di dekat jalan setapak sambil merintih-rintih. Ketika Ki Liong berjalan seenaknya menuruni bukit itu, tentu saja dia melihat seorang wanita yang rebah miring di atas tanah sambil merintih-rintih itu. dia terkejut sekali dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah menghampiri wanita itu. Wanita itu amat cantik manis, mukanya bulat dan kulitnya putih mulus, tubuhnya padat dan menggairahkan. Sepasang pedang yang melintang di punggungnya menunjukkan bahwa wanita itu bukan wanita sembarangan. “Aduhh…. aughh…. aduuuhh…” Ji Sun Bi merintih-rintih, pura-pura tidak melihat orang yang datang menghampirinya. “Toanio, siapakah engkau dan apakah yang telah terjadi?” Ki Liong bertanya kepada wanita yang dia takisr usianya tentu beberapa tahun lebih tua darinya walaupun masih cantik dan menarik sekali. Ji Sun Bi menoleh dan seolah-olah baru melihat Ki Liong, tiba-tiba saja ia bangkit duduk dan meloncat berdiri dengan kaki terpincang, memasang kuda-kuda dan memegang gagang pedangnya. “Engkau siapa…?” bentaknya seperti orang yang khawatir menghadapi musuh dalam keadaan terluka. Ki Liong tersenyum dan Ji Sun Bi yang mata keranjang itu merasa jantungnya jungkir balik melihat betapa tampannya pemuda ini kalau tersenyum. “Toanio, jangan salah kira. Aku bukan musuhmu, aku hanya kebetulan saja melihat engkau rebah di sini dan merintih kesakitan. Apakah engkau sakit, Toanio? Barangkali aku dapat menolongmu…..?” Tidak! Engkau tentu seorang musuh!” kata Ji Sun Bi dan tiba-tiba saja dia menyerang dengan kedua tangannya, menggunakan jurus pukulan yang ampuh. Tangan kirinya menotok ke arah leher sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah lambung. Serangan hebat ini dilakukan Ji Sun Bi bukan untuk mencelakakan orang, melainkan untuk menguji apakah pemdua ini seorang yang memiliki kepandauan silat seperti yang diduganya, melihat cara pemuda itu tadi berlompatan menghampirinya. Kalau pemuda ini tidak pandai silat, atau tidak begitu pandai sehingga jurusnya ini terlalu berbahaya baginya, tentu ia akan menarik kembali tangannya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ji Sun Bi ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak ata menangkis, melainkan membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah dipegang oleh pemuda itu! Sepasang lengan pemuda itu tadi bergerak sedemikian cepatnya seperti dua ekor ular saja, mendahului serangannya. Serangannya disambut oleh serangan pula dan tahu-tahu kedua pergelangan tangannya sudah di pegang dan ia tidak berdaya! Ki Liong memperlebar senyumnya. “Aku bukan musuhmu! Aku tidak mungkin mau bermusuhan dengan orang secantik engkau, lebih suka kalau bersahabat denganmu, Toanio.” Ki Liong melepaskan pegangannya dan Ji Sun Bi yang merasa terkejut, heran dan juga girang mendapat kenyataan bahwa pemuda ini lihai bukan main dan juga ingin bersahabat, lalu sengaja terhuyung dan terpincang lalu rebah pula, seolah-olah kaki kanannya menjadi lumpuh. “Aduuuh….!” Kembali Ki Liong sudah berlutut di dekatnya. “Engkau kenapakah, Toanio? Apanya yang sakit?” Ji Sun Bi berlagak menahan sakit, mengigit bibirnya kemudian berkata dengan alis berkerut, “Aku dan kawan-kawan… baru saja berkelahi dengan musuh, dan aku terluka…. pada paha kananku, aduuhh…..!” Dan ia memijit paha kananya. Ki Liong merasa kasihan. “Bolehkah aku memeriksanya, Toanio? Mungkin aku dapat menolongmu karena aku membawa obat yang manjur sekali untuk menyembuhkan luka…” Ji Sun Bi mengangguk dan Ki Liong lalu memeriksa paha kanan itu. Dia membuka kain celana yang terobek cukup lebar sehingga nampaklah paha yang mulus karena kulitnya putih mulus, akan tetapi ada nampak biru kemerahan bekas cubitan. Setelah memeriksa dengan teliti, Ki Liong hampir tertawa, akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahannya. Paha itu tidak apa-apa, hanya kulit paha yang halus hangat itu saja yang membiru bekas cubitan. Akan tetapi, dia mengelus paha itu dan jantungnya berdebar penuh gairah. Wanita ini cantik sekali, tubuhnya padat dan pahanya demikian mulus! “Lukanya tidak parah, Toanio, akan segera sembuh setelah kuurut dan kupijit,” kata Ki Liong sambil mengelus-elus kulit paha yang membiru itu. Diam-diam Ji Sun Bi merasa girang sekali. Jelas ada tanda-tanda bahwa pemuda ini menyambut dan suka kepadanya, seorang pemuda yang tampan dan gagah, bahkan ia menduga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Ketika pahanya dielus seperti itu, ingin ia langsung saja merangkul pemuda itu, akan tetapi ditahannya karena ia tidak mau gagal, seperti yang pernah terjadi dengan Hay Hay. “Terima kasih, ahh… terasa nyaman sekarang….” Ki Liong tersenyum, elusan tangannya semakin berani. “Enak…?” “Enak sekali, terima kasih, nyerinya hampir hilang…. ah, sobat yang baik, engkau tadi demikian mudah menangkap kedua pergelangan tanganku. Engkau yang lihai dan baik hati ini, siapakah engkau?” Tanpa melepas jari-jari tangannya yang mengelus dan membelai, Ki Liong memandang wajah manis itu dan menjwab. “Namaku Sim Ki Long, aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan bertemu denganmu, Toanio…” Dia memandang paha itu dan melihat kulit paha yang demikian putih mulus, demikian hangat terasa di tangannya, Ki Liong lalu menunduk dan mencium paha itu. Makin keras jantung Ji Sun Bi berdegup dan mukanya menajdi kemerahan, tanda bahwa nafsunya telah naik ke kepala. Sungguh beruntung, pikirnya, sekali ini ia menemukan seorang pemuda yang begini heban dan menyenangkan! “Sim-kongcu…. engkau tentu seorang pemuda bangsawan atau hartawan, jangan menyebut Toanio kepadaku karena aku belum…. belum menikah, eh, namaku Sun Bi, Ji Sun Bi….” Suara Sun Bi sudah tidak karuan karena napasnya semakin memburu. “Baiklah, Enci Sun Bi. Wah, engkau cantik sekali….” Sun Bi tidak dapat menahan dirinya lagi dan tiba-tiba ia memeluk dan mencium pemuda itu. Makin gembira hati Sun Bi ketika pemuda itu membalas ciumannya, ia mendapat kenyataan betapa canggung pemuda ini melakukan hal itu, menandakan bahwa pemuda yang menarik hatinya ini adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman. Ia lalu menarik pemuda itu rebah di atas rumput dan kegembiraannya makin besar ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia bertemu dengan seorang perjaka tulen! Dengan penuh gairah dan kesukaan hati ia pun lalu mengajar dan membimbing pemuda itu untuk memuaskan berahi dan gairah mereka. Dan dalam hal ini, tentu saja Sun Bi merupakan seorang guru yang amat pandai dan berpengalaman bagi Ki Liong! Tak lama kemudian, dengan hati yang girang sekali, seperti menemukan sebuah mustika yang hebat, Ji Sun Bi sudah menggandeng tangan Ki Liong dan diajaknya pemuda ini menemui Min-san Mo-ko dan yang lain-lain, memperkenalkan pemuda itu sebagai sahabat barunya, sebagai kekasihnya! “Suhu, Sim Ki Liong ini adalah sahabat baikku yang boleh dipercaya dan jangan pandang rendah, Suhu, dia amat lihai. Ilmu kepandaiannya tidak kalah dibandingkan dengan siapapun juga, dan andaikata dia membantu ketika kita menghadapi dua orang musuh itu, tentu pihak kita tidak akan kalah!” Ji Sun Bi adalah murid merangkap kekasih Min-san Mo-ko, akan tetapi Iblis dari Min-san ini tidak merasa cemburu melihat Sun Bi yang gila lelaki itu mendapatkan kekasih baru. Akan tetapi, diam-diam dia merasa tidak senang mendengar ucapan Sun Bi yang memuji-muji Ki Liong dan mengatakan bahwa pemuda ini tidak akan kalah dibandingkan dengan siapapun juga. Ucapan itu seperti merendahkan dirinya, seolah-olah dia sendiri pun tentu kalah oleh pemuda yang menjadi kekasih Sun Bi ini. Dia merasa penasaran dan ingin menguji sampai di mana kebenaran pujian Sun Bi. “Benarkah demikian? Kalau memang Sim-kongcu benar lihai dan dapat menahanku sampai sepuluh jurus, sungguh aku merasa girang sekali karena kita mendapatkan seorang sekutu baru yang boleh diandalkan.” Ki Liong memang memiliki watak yang tinggi hati. Merasa bahwa dia adalah murid Pendekar Sadis dan isterinya, dia merasa seolah-olah kepandaian silatnya sudah paling tinggi dan tidak ada lawannya! Maka, kini dia pun memandang rendah kepada orang tua yang diperkenalkan oleh Sun Bi sebagai gurunya dan yang bernama Min-san Mo-ko itu. Kini semua orang telah berkumpul disitu, ingin sekali melihat pimpinan mereka menguji kepandaian pemuda yang baru tiba, juga anak buah gerombolan itu berkumpul di situ dengan hati tegang. Setelah memandang ke sekeliling, Ki Liong menghampiri Min-san Mo-ko dan dengan lantang berkata, “Mo-ko, aku pun ingin sekali melihat apakah engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, karena kalau begitu halnya, engkau bukan hanya pantas menjadi pimpinan kelompok ini, bahkan pantas menjadi guruku!” “Bagus!” Min-san Mo-ko menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu dia sudah berdiri di depan Ki Liong. “Orang muda, sambutlah seranganku!” Dan dia pun sudah menyerang dengan amat ganasnya, menyambung suaranya yang melengking tadi. Tangannya bergerak cepat sekali mencengkeram ke arah kepala Ki Liong, disusul tendangan ke arah pusar. “Hemmm….!” Ki Liong tenang saja dan dengan amat mudah dia miringkan tubuh mengelak, sedangkan tendangan itu ditangkisnya dengan tangan terbuka. Tendangan itu mental dan kedua pihak kini maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang amat kuat! Jurus pertama gagal, disusul jurus kedua dan makin lama, serangan Min-san Mo-ko menjadi semakin dahsyat dan berbahaya. Namun, bukan saja Ki Liong mampu mengelak dan menangkis, bahkan tiga kalidia mampu membalas dengan serangan yang tentu akan mencelakakan diri Min-san Mo-ko kalau saja Ki Liong tidak menahan dan menarik kembali serangannya sambil tersenyum. Jurus kesepuluh merupakan serangan paling hebat. Tubuh Min-san Mo-ko melayang ke depan, tangan kirinya dengan jari terbuka menotok ke arah pelipis kanan lawan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke bawah pusar, kebagian tubuh yang paling lemah dan berbahaya bagi seorang pria. Ji Sun Bi sampai mengeluarkan jerit tertahan melihat kekasihnya terancam demikian hebatnya! Namun, Ki Liong masih tersenyum saja, kakinya bergeser dan lutut kirinya terangkat melindungi bawah pusar, tangan kanannya meluncur bagaikan ular mematuk menyambut totokan pelipisnya, dan tangan kirinya sudah menyelinap masuk dan tahu-tahu sudah menyentuh ulu hati di dada Min-san Mo-ko! Tentu saja Min-san Mo-ko terkejut bukan main dan dia pun sudah meloncat jauh ke belakang, mukanya agak pucat karena dia maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, sekarang dia sudah menjadi mayat atau setidaknya akan terluka parah. Tak disangkanya bahwa bukan saja pemuda itu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan berkali-kali mampu membalas dan yang terakhir kalinya malah memperlihatkan keunggulannya! Dia pun mengangguk-angguk. “Sim-kongcu memang hebat! Sun Bi tidak salah memilih kawan dan kami merasa girang sekali mendapatkan seorang sekutu seperti Sim-kongcu. Lam-hai Giam-lo tentu akan girang pula menerimamu, Sim-kongcu.” Tentu saja Ji Sun Bi girang dan bangga sekali dan di depan demikian banyaknya orang, wanita ini segera merangkul dan mencium mulut Ki Liong begitu saja! Tentu saja Ki Liong gelagapan dan mukanya menjadi merah, akan tetapi Sun Bi menarik tangannya diajak keluar dari kuil, diikuti suara ketawa para anggauta gerombolan itu. Seperti mendapatkan barang mainan baru yang amat menarik hatinya, Ji Sun Bi mengajak Ki Liong menjauhi kuil dan bersenang-senang sepuas hatinya dengan pemuda itu. Di lain pihak Ki Liong baru saja terjunke dalam dunia yang baru ini, merasa senang sekali memperoleh seorang kawan, kekasih dan juga guru dalam permainan cinta yang demikian pandai dan berpengalaman seperti Ji Sun Bi. Baru ketika senja hari itu Hay Hay dan Hui Lian menyerbu kuil dan Hay Hay berhasil merampas mustika batu giok, Ji Sun Bi dan Ki Liong muncul dan mereka segera membantu sehingga dua orang lawan itu akhirnya melarikan diri. Ki Liong berjanji akan menghadiahkan caran arak pusaka itu untuk diberikan kepada Lam-hai Giam-lo sebagai pengganti mustika batu giok yang telah lenyap dirampas lawan. Memang pemuda ini memiliki beberapa benda pusaka yang langka, yaitu yang dicurinya dari Pulau Teratai Merah. Dengan munculnya Sim Ki Liong maka pihak gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo menjadi semakin kuat, dan hal ini merupakan ancaman bagi keamanan, juga bagi para pendekar. Sim Ki Liong sendiri mengharapkan untuk mendapatkan bantuan kawan-kawan barunya dalam mencari musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang Guha itu lebar sekali, tidak kurang dari sepuluh tombak lebarnya dan empat tombak dalamnya, walaupun bagian depannya tertutup batu-batu besar dan jalan masuk ke dalam guha itu hanya sebesar tubuh orang saja, itu pun masih tertutup semak-semak sehingga jarang ada orang luar yang mengetahui bahwa di balik semak-semak itu terdapat sebuah guha yang demikian lebarnya. Juga guha itu tidak gelap karena bagian atasnya terdapat lubang besar dari mana sinar matahari dapat masuk. Tidak mengherankan apabila gerombolan Min-san Mo-ko tidak mampu menemukan dua orang buronan yang menyembunyikan diri di dalam guha itu. Sebelum kini terpaksa melarikan diri bersama Hui Lian, dalam perantauannya, secara kebetulan Hay Hay pernah menemukan guha ini, oleh karena itu ketika mereka melarikan diri membawa luka yang cukup parah karena mengandung racun, dia mengajak Hui Lian memasuki guha itu dan tersembunyi. Malam itu tentu saja di dalam guha amat gelapnya. Mereka tidak dapat saling memeriksa luka, dan begitu masuk ke dalam dan membetulkan lagi semak-semak dari sebelah dalam agar menutupi lubang guha, Hay Hay bertanya. “Bagaimana, Enci Hui Lian, parahkah luka yang kauderita?” Dalam suara Hay Hay terkandung kekhawatiran besar karena ketika melarikan diri tadi, wajah Hui Lian nampak pucat dan larinya kadang terhuyung. Di dalam kegelapan guha itu, Hui Lian meraba pinggul kanannya dan ia menahan rintihannya. Pinggul kanan itu membengkak dan rasanya panas, gatal dan sakit bukan main. “Pinggul kananku… agaknya terkena jarum-jarum berbisa,” katanya, akan tetapi ia pun teringat akan keadaan Hay Hay sendiri yang juga terluka dadanya. “Dan bagaimana dengan luka di dadamu, Hay-te?” Hay Hay merasa betapa luka di dadanya juga amat parah, walaupun ujung pedang itu hanya menggores dan merobek kulit dan daging, tidak sampai memasuki rongga dada, namun karena ujung pedang itu mengandung racun, kini lukanya membengkak dan rasanya panas bukan main, sampai menembus ke seluruh tubuhnya! Akan tetapi, kawannya itu sedang terluka parah, tidak baik kalau dibuat khawatir pula. “Ah, hanya tergores sedikit kulit dadaku, tidak apa-apa, Enci Lian. Akan tetapi luka di pinggulmu itu….. ah, apakah jarum-jarum itu sudah kaucabut?” “Mana bisa mencabutnya? Jarum-jarum itu masuk ke dalam!” kata Hui Lian agak khawatir juga karena ketika meraba dengan jari-jari tangannya, ia tidak merasakan adanya gagang jarum di permukaan kulit pinggul. “Agaknya ada tiga batang yang menembus kulit….” “Ingatkah engkau siapa di antara mereka yang melepas jarum-jarum itu?” “Ketika aku membalik, kulihat perempuan bermuka mayat yang pakaiannya serba hitam itulah…” “Celaka!” Seru Hay Hay. “Ia adalah Tong Ci Ki, Si Jarum Sakti! Jarum-jarumnya mengandung racun yang amat berbahaya, tidak kalah jahatnya dibandingkan jarum-jarum dari Ma Kim Li! Mari, Enci, aku harus membantumu mengeluarkan jarum-jarum itu!” “Tapi… begini gelap, biarlah kulawan dengan samadhi dan mengerahkan sinkang. Besok kalau sudah terang baru kita…” “Besok bisa terlambat, Enci. Biar kubuat api unggun!” kata Hay Hay lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian, sinar api unggun mengusir kegelapan dalam guha dan mereka dapat saling pandang. Keduanya terkejut ketika melihat betapa wajah masing-masing pucat kehijauan tanda bahwa hawa beracun mulai menguasai mereka! “Bagaimana kalau mereka melihat api unggun dan datang menyerbu?” tanya Hui Lian. “Mereka tidak akan melihatnya, sinar api tertutup sama sekali. Dan pula, tidak perlu kita memikirkan itu, yang penting sekarang harus mengeluarkan jarum-jarum itu…” “Tapi… tapi….” tentu saja Hui Lian merasa rikuh bukan main. Bagaimana mungkin ia dapat membiarkan pemuda ini mengeluarkan jarum-jarum dari pinggulnya? Mengeluarkannya sendiri, tentu saja tidak mungkin karena kedua tangannya hanya mampu menjangkau tempat itu, juga tangannya hanya mampu meraba-raba saja dan ia tidak dapat melihatnya. Kalau dibiarkan Hay Hay melakukannya, berarti membiarkan Hay Hay melihat pinggulnya! Bukan hanya melihat, bahkan meraba dan menyentuhnya! Bagaimana mungkin ini? “Kenapa engkau masih ragu-ragu, Enci? Bukankah berbahaya sekali kalau dibiarkan saja? Marilah, biarkan aku memeriksa luka itu!” Hay Hay mendekati Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha dan dia pun berlutut, tangannya diulur ke arah pinggul. “Tidak….! Jangan…..!” Hui Lian membentak dan terkejutlah Hay Hay mendengar kemarahan dalam bentakan ini. Ketika dia memandang, Hui Lian sedang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan mendelik marah! “Eh, kenapa Enci Lian?” “Bagaimana…. bagaimana engkau berani kurang ajar kepadaku?” Hay Hay melongo. “Wah, kurang ajar? Apa maksudmu, Enci Lian? Aku tidak pernah kurang ajar kepadamu.” “Engkau hendak melihat pinggulku, bahkan mungkin memeriksa dan merabanya, dan engkau bilang tidak kurang ajar?” Gadis itu kini marah sekali dan ingin ia menampar muka pemuda itu, kalau saja ia tidakmelihat betapa wajah pemuda itu pun pucat dan nampak kesakitan. Hay Hay tersenyum karena tiba-tiba dia mengerti dan melihat kelucuan dalam keadaan mereka itu. “Wah, Enci Lian, pikirkan baik-baik sebelum engkau menuduh aku yang bukan-bukan. Pinggulmu terluka oleh jarum beracun, bukan? Nah, bagaimana aku tidak akan melihat pinggulmu kalau hendak menolongmu dan memeriksa pinggul itu? Dalam keadaan seperti ini, di waktu engkau terancam bahaya maut, mengapa memikirkan soal kecil itu, Enci? Baiklah, biarkan aku memeriksa dan mengobati pinggulmu, lupakan kekurangajaranku, dan nanti setelah aku berhasil mengeluarkan jarum-jaurm itu dan mengobati lukamu, engkau boleh menghukum aku karena kekurangajaranku. Aku tidak akan melawan. Bagaimana, akur?” Lega hati Hui Lian. Bagaimanapun juga, ia akan dapat membalas “kekurangajaran” itu nanti. “Akur, akan tetapi engkau tidak boleh berbohong dan melanggar janji.” “Aku tidak pernah berbohong.” “Hemm, laki-laki paling pandai berjanji, akan tetapi paling pandau pula melanggar janji sendiri!” “Tapi aku tidak. Nanti boleh kau hukum aku sesuka hatimu, Enci Lian. Akan tetapi sekarang biarkan aku memeriksa lukamu.” Dan kini Hui Lian rebah menelungkup, memejamkan mata dan menyembunyikan muka di atas kedua lengannya, membiarkan Hay Hay memeriksa lukanya. Seluruh bulu di tubuhnya meremang ketika ia merasa betapa Hay Hay menyentuh lembut pinggulnya di luar celana. “Enci Lian, celanamu harus dilepas…. eh, maksudku, harus diturunkan agar aku dapat memeriksa keadaan luka di pinggulmu…” “Kurang ajar engkau….!” Hui Lian membantak dan ia merasa malu bukan main, akan tetapi jari tangannya melepaskan tali celana itu dan dengan hati-hati ia menurunkan bagian belakang celana itu agar pinggul yang terluka itu nampak. Ia menggigit bibir menahan rasa nyeri dan malu. Akan tetapi, pada saat itu, seluruh perhatian Hay Hay ditujukan untuk memeriksa keadaan luka. Dia melihat betapa pinggul kanan itu membengkak, merah kebiruan dan tiga titik hitam sejajar di situ. Dia meraba dengan hati-hati, akan tetapi jari-jari tangannya tidak merasakan adanya ujung gagang jarum, maka tahulah dia bahwa jarum-jarum itu terbenam ke dalam daging pinggul! “Enci Lian, tahankanlah, tentu agak sakit, akan tetapi satu-satunya jalan untuk mengeluarkan jarum hanya begini…” Dan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan kepada gadis itu untuk membantah karena Hay Hay tahu bahwa gadis itu tentu akan keberatan, dia cepat menundukkan mukanya dan menempelkan mulutnya di atas tiga titik hitam itu! “Aihh… kau…. kau….. keparat……!” Hui Lian berseru, akan tetapi rasa sakit yang luar biasa kini menggantikan rasa malu ketika Hay Hay mengerahkan tenaga khikang untuk menyedot dengan mulutnya. Hui Lian mengaduh dan merintih, lupa akan rasa malu betapa mulut pemuda itu menempel dipinggulnya. Hay Hay melepaskan kecupannya dan meludahkan tiga batang jarum kecil hitam ke atas tanah. "Sudah keluar jarum-jarum itu, akan tetapi racunnya harus diketuarkan sampaibersih, Enci Lian." katanya dan kembali dia menyedot dengan mulutnya melalui tiga lubang kecil bekas jarum. Nyeri bukan main rasanya bagi Hui Lian, akan tetapi rasa malu bersaing dengan rasa nyeri sehingga ia mampu menahan keduanya! Setelah berkali-kali menyedot dan meludahkan darah hitam, akhirnya Hay Hay melihat darah merah keluar dari lubang-lubang kecil itu dan dia pun menghentikan penyedotannya. "Semoga racunnya sudah keluar, Enci. Kini tinggal memberi obat luka." Dia me-ngambil obat luka berupa bubukan putih yang dibuatnya dari kulit pohon yang dikeringkan,dan menaburkan bubukan itu pada luka di pinggul, lalu memijit-mijitnya sehingga bubukan putih memasuki lubang dan menutupnya. "Nah, selesailah sudah, Enci Lian." katanya. Ketika dia hendak membantu menaikkan celana itu, Hui Lian merenggutnya dan menaikannya sendiri, lalu mengikatkan kembali tali celana. Ia lalu bangkit duduk dan tiba-tiba saja tangannya menampar muka Hay Hay sampai tiga kali. "Plak! Plak! Plak!" Dua kali tangan kanan menampar pipi kiri dan satu kali tangan kirinya menampar pipi kanan pemuda itu. Demikian tiba-tiba dan keras sehingga terdengar suara nyaring dantubuh Hay Hay terguncang ke kanan kiri, kemudian roboh! Hui Lian yang merasa malu dan marah, melihat wajah pemuda itu dan dia pun terkejut sekali. Pemuda ini seperti orang pingsan, atau setengah pingsan, nampak lemah sekali dan mukanya menjadi kehitaman, juga kedua ujung bibirnya berdarah. "Hay-te …..!" Hui Lian berseru memanggil dan mengguncang-guncang pundak pemuda itu, namun Hay Hay kelihatan semakin lemah. Hui Lian semakin terkejut dan gelisah. Apakah tamparannya tadi demikian kuatnya? Kalau bibir pemuda itu berdarah, hal ini tidak aneh, akan tetapi mengapa Hay Hay sampai pingsan? "Hay-te, maafkan aku... ah, engkau sadarlah ….!" katanya lagi dan kini ia cepat melakukan pemeriksaan. Denyut nadi pemuda itu lemah sekali, dan napasnya juga memburu! Ah, ingatlah dia bahwa pemuda ini pun terluka parah. Cepat Hui Lian merobek baju di bagian dada pemuda itu, dan nampak betapa di dada sebelah kanan terdapat luka yang cukup lebar dan luka itu melepuh, membengkak dan kehitaman! Racun yang jahat telah membuat luka itu menjadi parah dan berbahaya sekali! Ia harus cepat menolongnya. Dengan cekatan, jari-jari tangan Hui Lian membuka kancing-kancing baju itu, dengan maksud membuka baju agar lebih mudah ia berusaha mengobati. Ketika ia hendak menanggalkan baju itu, tiba-tiba ada sebuah benda terjatuh keluar dari saku baju dan kebetulan sekali benda itu terjatuh ke atas dada Hay Hay, tepat di atas luka di dadanya. Hui Lian hendak mengambil benda itu dan ia mengeluarkan seruan kaget, menahan tangannya. Benda itu adalah sebuah batu giok berwarna belang-belang merah dan hijau dan kini benda yang berkilauan terkena sinar api unggun itut perlahan-lahan berubah menjadi menghitam, dan warna hitam pada luka di dada itu perlahan-lahan menghilang! Teringatlah Hui Lian akan mustika batu giok milik Jaksa Kwan yang dirampas penjahat dan agaknya Hay Hay telah dapat merampasnya kembali dan ia pun teringat akan kata-kata jaksa tinggi itu bahwa mustika itu merupakan benda langka penawar racun! Dengan hati girang Hui Lian memegang benda itu dan kini sengaja menggosok-gosokkan perlahan-lahan ke atas luka dan tepat seperti yang diduganya, makin digosokkan, benda itu berubah makin menghitam dan luka itu pun dengan cepat sekali mengempis dan kehilangan warna hitamnya. Hay Hay bergerak dan mengeluh. "Wah, apa dingin-dingin sekali di atas dadaku itu, Enci Lian?" Melihat keadaan Hay Hay telah sembuh secara cepat itu, Hui Lian merasa lega bukan main dan ia pun tersenyum. Hay Hay sampai melongo melihat Hui Lian tersenyum. Bukan main cantiknya gadis ini kalau tersenyum, senyum wajar pertama kali yang dilihatnya. "Enci Lian, engkau... cantik sekali kalau tersenyum." kata Hay Hay dan kembali berkerut alis Hui Lian. Bocah ini sungguh perayu benar, baru saja sadar dari pingsan, pertama kali yang dilakukan adalah memuji kecantikannya! "Hay-te, engkau membawa mustika batu giok ini yang dengan mudah menyedot semua racun dari dadamu, kenapa tidak kaupergunakan ketika engkau menolong aku?" Hay Hay bangkit duduk, memeriksa dadanya sendiri dan dia menjadi kagum. Dilihatnya batu giok itu yang kini sudah diletakkan di atas lantai guha oleh Hui Lian dan perlahan-lahan, dari batu giok itu menetes cairan hitam, dan perlahan-lahan batu giok itu memperoleh kembali cahaya dan warnanya merah hijau, warna hitam makin lenyap bersama cairan yang keluar. Benar-benar benda mustika yang langka dan mujijat! “Ah, sungguh... aku lupa sama sekali tentang batu giok ini, Enci Lian. Aku... ahhh ….." Tiba-tiba Hay Hay memegang kepala dengan kedua tangannya karena kepala itu terasa pening dan bumi seperti terputar, akan tetapi dia memaksa diri melanjutkan, "Aku terlalu khawatir setelah memeriksa pinggulmu... eh, pinggulmu itu indah sekali dan membengkak merah kehitaman... dan keringatmu harum sekali, Enci ….” “Gila ……!" Hampir saja Hui Lian menampar muka Hay Hay, akan tetapi tiba-tiba saja ia melihat pemuda itu terkulai dan roboh pingsan! Tentu saja Hui Lian menjadi terkejut. "Hay-te, ada apakah ……..?" Ia mendekat dan lebih kaget lagi ketika ia menyentuh dahi pemuda itu terasa panas. Kiranya racun dari pedang Min-san Mo-ko amatlah jahatnya sehingga tadi telah menimbulkan hawa beracun dalam tubuh Hay Hay sehingga walaupun racunnya sudah tersedot oleh batu giok, namun kini meninggalkan demam yang cukup hebat pada diri Hay Hay. Hal ini adalah karena tadi Hay Hay mengerahkan khikang ketika menyedot racun dan jarum dari pinggul Hui Lian sehingga pengerahan khikang ini membuat hawa beracun terdorong semakin dalam ke dadanya. Maklum bahwa Hay Hay terserang demam, Hui Lian lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Hay Hay dan dengan pengerahan hawa sakti dari tubuhnya, ia membantu pemuda itu mengusir hawa beracun itu. Lambat laun, terjadi perubahan pada diri Hay Hay. Napasnya normal kembali, mukanya menjadi merah biasa dan panasnya menurun. Hui Lian melepaskan tangannya dan membiarkan pemuda itu tertidur. Sampai lama ia mengamati wajah pemuda itu dan hatinya semakin tertarik. Terngiang di telinganya kata-kata Hay Hay yang memuji-mujinya, memuji betapa cantiknya kalau ia tersenyum, bahkan sebelum pingsan tadi memuji bahwa pinggulnya indah dan keringatnya harum! Teringat hal ini, Hui Lian tersenyum. Bocah kurang ajar, pikirnya sambil tersenyum memandang wajah itu. Wajah yang masih kekanak-kanakan, namun sungguh amat menarik hatinya. Jantungnya berdebar dan bergeloralah gairahnya terhadap Hay Hay. Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pandai merayu dan menarik hati walaupun sikapnya agak nakal dan kurang ajar. Tanpa disadarinya lagi, tangan kirinya bergerak menyentuh dan meraba wajah pemuda itu, mengusap dagunya, bibirnya yang tadi tanpa ragu-ragu menyedot luka beracun di pinggulnya, mulut yang tadi sampai berdarah karena ditamparnya. Ia telah menamparnya dengan keras setelah pemuda itu menyelamatkan nyawanya dan setelah pemuda itu tanpa rasa jijik sedikit pun menyedot luka beracun di pinggulnya. Ia merasa terharu dan kedua matanya basah. "Hay Hay, kaumaafkan aku …." bisiknya. Hay Hay membuka matanya, berkejap lalu bangkit duduk setelah melihat bahwa dia rebah di atas lantai guha dan gadis itu duduk bersimpuh di dekatnya. "Enci Lian, apakah aku tertidur? Aku seperti dalam mimpi mendengar engkau bicara padaku, seperti maaf-maaf begitu. Apa sih yang kaukatakan, Enci Lian?" Hui Lian tersenyum. Kadang-kadang Hay Hay bersikap kekanak-kanakan dan ia merasa seperti bicara dengan adiknya sendiri, apalagi mendengar pemuda itu menyebutnya "Enci Lian" secara demikian akrabnya. "Tidak apa-apa, Hay-te. Ti'durlah, biar aku menjagamu…..!” "Tidak, Enci Lian. Aku tidur enak-enakan dan engkau yang berjaga kalau ada musuh datang? Wah, itu terbalik namanya, Enci. Engkau seorang perempuan dan aku seorang laki-laki. Engkaulah yang tidur dan aku yang berjaga." "Akan tetapi engkau baru saja pingsan dan demam, juga biarpun perempuan aku lebih tua, engkau kanak-kanak. Hay Hay yang sudah pulih kembali kesehatannya memandang wajah Hui Lian sambil tersenyum. "Enci yang baik, jangan katakan aku kanak-kanak, aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran sekalipun!" "Ih, engkau memang ceriwis, mata keranjang, tak senonoh kata-katamu!" Hay Hay membelalakkan matanya. "Wah, seenaknya engkau memaki aku, Enci Lian. Di bagian mana kata-kataku yang tidak senonoh?" Dia mengingat-ingat, alisnya berkerut. "Belum banyak aku bicara padamu, hemm... tadi, aku memuji bahwa engkau cantik, dan keringatmu berbau harum dan... dan pinggulmu indah …." "Nah, itulah! Tutup mulutmu, Hay Hay, engkau sungguh lancang dan tak tahu malu!" "Eihhh? Kenapa, Enci? Apa salahnya kalau aku memuji sesuatu yang memang indah dan pantas dipuji? Bukankah pujian itu menunjukkan kejujuranku dan tidak pura-pura? Memang mataku melihat sesuatu yang indah, mulutku langsung memuji, salahkah itu?" "Tapi bukan... eh, pinggul! Tidak sopan itu menyebut-nyebutnya juga sudah tidak sopan dan harus malu!" Hay Hay menggaruk-garuk belakang telinganya. "Lhoh! Kenapa tidak sopan? Apa salahnya kalau aku menyebut pinggul, pinggul, pinggul! Bukankah memang kita manusia ini semua berpinggul? Apa bedanya kukatakan pinggulmu indah, dengan matamu indah, tanganmu indah dan sebagainya?" "Cukup! Jangan membikin marah padaku! Engkau masih kanak-kanak, aku lebih tua darimu dan tidak pantas kalau engkau merayuku dengan kata-kata manis dan pujian-pujian muluk dan kotor!" "Aku semakin penasaran, Enci. Maafkan, aku bukan bermaksud menghinamu. Engkau memang lebih tua, akan tetapi hanya satu dua tahun saja dan itu sama sekali tidak ada artinya. Dan aku bukan kanak-kanak! Usiaku sudah dua puluh satu tahun dan banyak pria berusia dua puluh satu sudah mempunyai dua tiga orang anak! Aku sudah cukup dewasa untuk berpacaran. Dan aku memujimu dengan jujur, sama sekali bukan merayu, aku hanya mengatakan apa adanya saja menurut penglihatanku!" Melihat pemuda itu berkata keras penuh rasa penasaran, Hui Lian berbalik menjadi geli. "Hemm, kalau menurut penglihatanmu bagaimana?" tanyanya, tertarik juga karena pemuda ini jelas tidak bermaksud kurang ajar kepadanya. Dengan sepasang matanya yang tajam mencorong itu Hay Hay memandang seluruh bagian tubuh Hui Lian dari kepala sampai ke kaki, kemudian memandang wajah gadis itu dan berkata ragu, "Kalau aku bicara terus terang, apakah engkau tidak akan marah lagi, Enci Lian?" Gadis itu menggeleng kepala tanpa menjawab. "Baiklah, aku bicara menurut hasil penglihatanku. Engkau seorang gadis yang sudah matang, beberapa tahun lebih tua dariku, jiwamu sederhana dan engkau suka akan kebersihan, wajahmu cantik menarik dan manis, dengan sepasang matamu yang indah, jeli dah tajam, hidungmu yang kecil mancung dan mulutmu yang menggairahkan, dengan bibir merah basah, barisan gigi putih rapi, dagu meruncing manis, rambutmu hitam panjang dan berombak, lehermu berkulit putih mulus dan panjang, tubuhmu padat dan memiliki lekuk lengkung yang sempurna, dengan pinggang ramping, dada membusung dan pinggul penuh, kedua lenganmu bulat penuh dan jari-jari tanganmu panjang kecil lembut, kakimu kecil mungil dengan paha dan betis panjang. Engkau cantik manis, jiwamu gagah perkasa biarpun ada suatu kedinginan dan kegalakan tersembunyi di balik gerak bibirmu, dan yang amat mengagumkan adalah keringatmu yang berbau harum, engkau seperti setangkai bunga yang indah, semerbak harum ….." "Sudah... sudah cukup ….! Wah, Hay-te, sungguh engkau seorang perayu besar! Kalau kaulanjutkan jangan-jangan kepalaku akan menjadi besar kemasukan angin dan tubuhku akan dibawa melambung ke udara, kemudian meletus di atas sana!" Hui Lian berseru sambil mengangkat kedua tangan menutupi kedua telinganya dan tertawa. Baru sekarang gadis itu mampu tertawa gembira, terbawa oleh kegelian hati mendengar pujian yang dihujankan oleh pemuda itu kepadanya. "Aku bicara sejujurnya, Enci …." "Tidak, engkau mata keranjang. Seorang laki-laki mata keranjang selalu melihat wanita dari segi keindahannya saja, sehingga setiap orang wanita muda akan nampak secantik bidadari baginya. Engkau perayu wanita yang berbahaya karena wanita-wanita mudah runtuh pertahanan dirinya kalau menghadapi rayuan laki-laki. Jangan-jangan kelak engkau akan menjadi penakluk wanita!" "Tidak, Enci Lian. Engkau memang cantik jelita dan …." "Cukup, Hay-te, jangan memuji lagi." "Dan aku heran sekali, justeru karena engkau begini cantik, kenapa ergkau berkeliaran sendiri saja di dunia kang-ouw? Padahal sepatutnya, seorang wanita secantik engkau ini tentu sudah menjadi seorang isteri, bahkan mungkin seorang ibu yang baik, yang hidup penuh dengan kasih sayang dan kemuliaan, dalam sebuah rumah tangga yang berbahagia …." "Hay-te…… jangan teruskan ….” Hui Lian yang duduk bersandar dinding guha, menutupi muka dengan kedua tangannya dan wanita yang gagah perkasa ini, wanita yang keras hati dan galak, sekali ini menangis! Kedua pundaknya terguncang dan walaupun ia menahan diri sehingga tidak mengeluarkan suara, namun ia sesenggukan dan air ma tanya mengalir melalui celah-celah jari kedua tangannya Hay Hay terbeJalak, sama sekali tidak mengira bahwa seorang wanita seperti Hui Lian itu dapat juga menangis, menjadi seorang wanita biasa yang lemah dan mudah mencucurkan air mata. Dia tidak tahu betapa semua kedukaan semenjak kegagalan pernikahannya yang sudah dua kali itu selama ini ditahan-tahan oleh Hui Lian, dan ucapan Hay Hay itu sebagai pembuka bendungan sehingga kini tercurahlah semua kedukaan yang menumpuk di dalam batinnya melalui tangis. Melihat gadis itu demikian nelangsa, Hay Hay merasa kasihan sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu masa lalu gadis ini amat suram dan menyedihkan, maka dia pun mendekat dan menyentuh pundak gadis itu. "Enci Lian, kaumaafkanlah aku, Enci. Aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, akan tetapi kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, sungguh, engkau boleh memukulku lagi, Enci. Akan tetapi jangan menangis, hatiku terasa pilu dan ikut sakit melihat engkau menangis begini sedih ….." Merasakan sentuhan tangan Hay Hay yang lembut dan hangat di pundaknya, mendengar ucapan itu, bukannya terhibur hati Hui Lian, bahkan ia menangis semakin sedih. Ia merasa nelangsa, merasa betapa dirinya sebatang kara dan bernasib buruk, disakiti hatinya dan dikecewakan dalam dua kali pernikahan, dan betapa hidupnya terasa kosong dan kesepian. "Adik Hay... uuhuuhuu…. Adik Hay …..!" Ia mengguguk dan merangkul pemuda itu, menjatuhkan mukanya di atas dada Hay Hay. Pemuda ini merangkulnya, dan mengusap-usap rambut kepala hitam halus itu untuk menghiburnya. "Tenanglah, Enci Lian, kuatkan hatimu. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi di dunia ini." kata Hay Hay, sungguh-sungguh, nadanya menghibur. Dia merasa betapa air mata membasahi bajunya dan menembus baju, membasahi dadanya. Dan jantungnya berdegup keras, seolah-olah menjadi segar terkena pula siraman air mata itu. Tubuh yang dipeluknya itu demikian lunak dan lembut, dan keharuman yang halus keluar dari tubuh Hui Lian, memabokkan dan menggairahkan. "Aih, Hay-te... engkau tidak tahu, aku... aku adalah wanita yang paling sengsara di dunia ini... sebatang kara, tidak mempunyai siapa pun…." Hay Hay mempererat pelukannya dengan sikap menghibur. "Enci Lian, mengapa engkau berkata demikian? Ada aku di sini, bukan? Engkau memiliki aku, jangan merasa kesepian, Enci ….." Ucapan Hay Hay itu hanya untuk menghibur dan setengah berkelakar, akan tetapi sama sekali tidak disangkanya bahwa ucapannya itu membangkitkan keharuan dan gairah dalam hati Hui Lian. Sambil tersedu Hui Lian merangkul leher Hay Hay dan mencium mulut yang mengucapkan kata-kata demikian manisnya sebagai ucapan terima kasih. Perbuatan Hui Lian ini sebetulnya hanya terdorong luapan perasaan saja, akan tetapi begitu ia mencium Hay Hay, gairahnya berkobar tanpa dapat ditahannya lagi. Sambil setengah menangis dan merintih Hui Lian menciumi Hay Hay, mencurahkan seluruh kerinduan dalam hatinya, seluruh kehausan akan kemesraan seorang pria yang selama ini ditahannya, demikian bernafsunya sehingga Hay Hay jatuh telentang dan tertindih oleh Hui Lian! Hay Hay adalah seorang manusia biasa, dari darah daging, bahkan seorang pemuda yang mulai dewasa, bertubuh sehat, bahkan mempunyai watak romantis sekali, suka akan keindahan bahkan pemuja keindahan. Oleh karena itu, kini dia digeluti seorang wanita seperti Hui Lian, yang dirangsang berahi, yang haus akan kasih sayang, penuh kerinduan akan belaian dan kemesraan seorang pria, seorang wanita yang bagaimanapun juga sudah berpengalaman karena sudah dua kali menjanda, tidak mengherankan kalau Hay Hay juga tnenjadi kebakaran oleh nafsu berahinya sendiri. Bau keringat yang sedap harum seperti bunga dari tubuh Hui Lian, menambah rangsangan dan dia pun balas merangkul, balas mencium, balas membelai sampai Hui Lian terengah-engah dan mengeluarkan rintihan-rintihan kecil. Belaian dan ciuman itu menambah berkobarnya api nafsu berahi masing-masing sehingga mereka lupa diri, lupa keadaan dan yang ada hanyalah pasrah, siap menyerahkan dirinya lahir batin demi untuk pemuasan hasrat nafsu, terseret oleh gelombang badani yang memabokkan. Akan tetapi, pada saat mereka telah bergulingan sampai ke tepi jurang, hampir mencapai puncak pemuasan gairah mereka, ketika Hui Lian yang memejamkan mata terengah-engah dan berbisik-bisik lirih, ketika Hay Hay membalikkan tubuh wanita itu sehingga kini dia yang menindihnya, dia membuka mata dan melihat wajah Hui Lian yang berkeringat, matanya yang hampir terpejam, mulutnya yang ditarik seperti orang yang sedang menderita nyeri hebat, tiba-tiba saja Hay Hay sadar! "Aihhh ……!" Dia melepaskan rangkulannya, dengan lembut melepaskankedua lengan Hui Lian yang merangkul lehernya, dan dia pun menjauhkan diri, menatap wajah Hui Lian yang kini juga membuka matanya yang sayu. Hui Lian mengembangkan kedua lengannya, dengan sikap mengajak, hendak merangkul kemba1i. "Hay Hay aku... aku... ahhh, aku..." "Tidak, Enci Lian!" Tiba-tiba Hay Hay berseru dengan keras dan di dalam seruannya ini dia mengerahkan tenaga batinnya. Seruan ini dapat mengusir semua kekuasaan sihir, dan amat berwibawa sehingga dapat pula menyadarkan Hui Lian yang sedang mabok oleh gairah nafsu berahi itu. Gadis itu bangkit duduk, matanya terbelalak dan mukanya pucat memandang Hay Hay. Hay Hay merasa kepalanya pening dan seperti ada suara berbisik-bisik di belakangnya, "Bodoh kau... ia begitu cantik manis, begitu hangat tubuhnya, ia begitu menantang, begitu mesra dan penuh api nafsu ciumannya. Ia ingin cintamu, bodoh. Lekas peluk dan cium ia, tidak ada orang melihatnya di sini... lekas, tolol …..!" Sejak tadi bisikan-bisikan ini memenuhi kepalanya, bisikan iblis yang seolah-olah berada di belakangnya. "Keparat!" Hay Hay melayangkan tangannya ke belakang sambil mengerahkan tenaganya. "Prakk!" Sebuah batu menonjol di dinding guha itu remuk oleh tamparannya. . "Hay-te... engkau... engkau kenapakah …..?" Hui Lian bertanya, masih merah sekali wajahnya, membuat sepasang bibir itu merah basah dan matanya sayu sekali seperti mata orang mengantuk. Tiba-tiba Hay Hay berlutut di depan Hui Lian, "Enci Lian, ampunkan aku, Enci ….! Ah, aku layak dipukul mampus, aku benar-benar telah menjadi hamba iblis. Enci, marilah kita berdua sadar. Perbuatan kita ini tidak boleh dilanjutkan. Enci Lian, bereskanlah pakaianmu dan kita bicara yang benar." Dia sendiri lalu mengancingkan kembali kancing-kancing baju yang tadi sudah hampir terlepas semua. Kini sepasang mata Hui Lian terbuka lebar dan ia pun baru sekarang melihat keadaan mereka. Setelah ia dapat menguasai batin sendiri sepenuhnya, ia melihat betapa ia telah melakukan hal yang amat memalukan. Dengan tubuh menggigil ia bangkit duduk dan jari-jari tangannya gemetar ketika membereskan pakaiannya, kemudian tiba-tiba ia menampar muka sendiri dengan tangan kirinya. "Plakk!" ujung bibir sebelah kiri pecah dan berdarah ketika menampar, dan ia pun menggerakkan tangan kanan untuk menampar lagi mukanya yang sebelah kanan. Akan tetapi dengan cepat Hay Hay menangkap pergelangan tangan kanan itu dan suaranya menggetar penuh keharuan ketika dia berkata. "Enci Lian... jangan lakukan itu! Kalau engkau mau menampar, tamparlah aku, Enci ….!" Hui Lian merenggut lepas tangannya dan ia pun kini meloncat berdiri, mukanya masih merah sekali, akan tetapi sekali ini bukan merah oleh gairah nafsu berahi, melainkan merah karena merasa malu dan marah. Matanya tidak sayu seperti mata yang mengantuk lagi, melainkan terbuka lebar dan memancarkan sinar berkilat. Tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menyambar pedangnya yang berada di atas buntalan pakaian dan dihunusnya pedang itu. Pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan sinar berkilat tertimpa cahaya api unggun. "Bangkitlah ……!" katanya dengan suara menggetar pula, "bangkitlah dan mari lawan aku. Seorang di antara kita harus mati di sini!" "Enci Lian….!” Hay Hay berseru, terkejut sekali. "Hal yang memalukan telah terjadi, satu di antara kita harus mencucinya, satu di antara nyawa kita harus menebusnya!" kata pula Hui Lian. “Tidak, Enci Lian! Aku tidak mau membunuhmu, engkau tidak bersalah, aku pun tidak bersalah. Kita berdua telah menjadi korban bisikan iblis ……" "Kalau begitu, engkau harus mati!" Dan Hui Lian sudah menyerang dengan hebatnya. Hay Hay terkejut dan cepat mengelak. Namun wanita itu sudah melanjutkan serangannya dan melihat ini, Hay Hay cepat mempergunakan ilmunya Jiau-pou-poan-soan, yaitu langkah ajaib yang berputar-putaran untuk selalu mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran pedang Kiok-hwa-kiam. Akan tetapi, betapa hebatnya langkah-langkah ajaib itu, kini yang dihadapinya adalah serangan Ilmu Pedang In-liong-kiam-sut (llmu Pedang Naga Awan) yang amat hebat maka maklumlah Hay Hay bahwa tidak mungkin dia akan dapat menyelamatkan diri kalau hanya mengelak terus. Dia pun cepat mengeluarkan sulingnya dan kini menggunakan benda itu untuk kadang-kadang menangkis, dan terpaksa juga membalas dengan serangan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Lian. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat di dalam guha itu! Sekali ini Hui Lian yang sudah dikuasai kemarahan dan kenekatan saking malunya, menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang In-Iiong-kiam-sut amatlah hebatnya, peninggalan dari mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Pedang Kiok-hwa-kiam lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar yang amat luas, dan dari dalam gulungan sinar ini mencuat sinar-sinar berkelebatan yang menghujankan serangan-serangan maut ke arah tubuh Hay Hay! Menghadapi ilmu yang hebat ini, diam-diam Hay Hay merasa terkejut dan kagum bukan main. Agaknya kini Hui Lian benar-benar marah, dan baru sekarang dia melihat Hui Lian mengeluarkan kemampuannva yang dahsyat. Hanya dengan mengerahkan sinkang dan memainkan suling seperti yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lo-kai, dibarengi gerakan kaki dalam langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama, Hay Hay mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Hui Lian. Di samping kekagumannya, Hay Hay juga merasa berduka sekali. Sungguh menyedihkan betapa baru saja mereka saling mencurahkan kasih sayang dan kemesraan, bahkan hampir saja terjadi hubungan yang lebih mendalam antara mereka, kini mereka telah saling serang dan agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk saling membunuh! "Enci Lian, engkau tidak adil... hentikanlah seranganmu …..!" berkali-kali Hay Hay memohon, akan tetapi Hui Lian tidak mempedulikan semua ucapannya, bahkan memperhebat serangannya. "Cappp ….!" Ujung pedang Kok-hwa-kiam berhasil melukai pangkal lengan kiri Hay Hay. Robeklah baju di bagian itu dan segera nampak darah membasahi kain yang terobek. Hay Hay terhuyung dan jatuh terduduk, bersandar dinding guha. Dia lalu menancapkan suling di atas lantai. "Enci Lian, kalau engkau memang menghendaki nyawaku. Bunuhlah aku! Aku tidak akan melawanmu lagi." Dia pun bersedakap dan pasrah. Hui Lian menahan pedangnya, berdiri dan menodongkan pedangnya, napasnya terengah, matanya berkilat memandang pemuda itu. "Hay Hay, bangkitlah! Demi Tuhan, kubunuh engkau kalau tidak bangkit melawan!" "Hemm, mengapa kita harus saling membunuh?" "Keparat ! Engkau... engkau telah menghinaku, menolakku, setelah menggodaku... engkau... sungguh memandang rendah padaku!" Hay Hay menarik napas panjang. "Enci Lian, aku kagum padamu, aku... amat suka padamu, bagaimana mungkin aku menghinamu? Enci Lian, bukankah kita berdua telah membuktikan bahwa kita saling suka? Kalau bicara tentang kesalahan, maka kita berdualah yang bersalah, kita berdua yang lemah. Bankan menurut aku, kita berdua tidak bersalah, yang bersalah adalah iblis dalam guha ini yang telah membuat kita lupa diri. Enci Lian, aku tidak menghinamu, melainkan memperingatkanmu bahwa kita telah salah tindak, kita hanya menuruti nafsu berahi belaka... kalau hal itu kauanggap bersalah, nah, kaubunuhlah aku ….!" Kemarahan sudah menipis menyelubungi batin Hui Lian dan kini ia pun mulai dapat menembus seluruh selubung kemarahan itu dan melihat keadaan yang sebenarnya. Pemuda ini bukan mempermainkannya, bahkan mengingatkan! Hay Hay tidak menghinanya, sama sekali tidak. Lemaslah seluruh tubuhnya. “Tranggg …..!" Pedang Kiok-hwa-kiam terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai batu. Tubuhnya terhuyung ke depan dan ia pun sudah menubruk Hay Hay, merangkul dan menangis terisak-isak! Legalah rasa hati Hay Hay. Dia pun merangkul, membelai rambutnya dan dengan rasa sayang dia mencium dahi yang halus itu dan kembali dia dibikin kagum oleh keharuman ketika hidungnya menjadi agak basah oleh keringat di dahi itu. Luar biasa, pikirnya. Gadis ini benar-benar memiliki keringat yang harum! “Enci Lian, tenangkanlah hatimu!" Hay Hay menghibur dengan ramah sekali. "Engkau tentu dapat merasakan betapa aku sayang padamu, aku suka padamu dan engkau adalah seorang wanita yang hebat, yang paling hebat di antara semua wanita yang pernah kujumpai. Akan tetapi, kita berdua harus waspada, Enci dan sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan kita harus kuat menahan dorongan gairah dan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam perbuatan yang akhirnya hanya akan menimbulkan penyesalan belaka." Kagum bukan main hati Hui Lian mendengar ucapan pemuda ini. Seorang pemuda yang masih begini muda, namun memiliki pandangan yang demikian luasnya. "Hubungan badan hanya patut dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, Enci yang baik, dan hanya baik dilakukan oleh sepasang suami isteri. Kita bukan suami isteri, dan biarpun ada rasa suka dan kagum, harus diakui bahwa tidak ada perasaan cinta seperti itu di dalam hatiku. Aku hanya mau melakukan hal itu dengan seorang wanita yang kucinta, sebagai isteriku. Nah, engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak menghinamu, bahkan menghormati dan menghargai dirimu, Enci, agar kita tidak sampai mabok dan tenggelam ke dalam jurang kehinaan dengan melakukan perbuatan aib." Hui Lian menghentikan tangisnya. Dengan pengerahan sinkangnya, ia tadi telah berhasil mengusir pula gairah nafsu yang menguasai batinnya. Kini ia dapat melihat dengan jelas betapa mulia hati pemuda ini yang tidak ingin menyeretnya ke dalam perbuatan tercela. Ia pun tahu bahwa ia tidak mencinta pemuda ini, melainkan tadi hanya terdorong oleh nafsu berahi belaka. "Terima kasih, Hay-te... terima kasih, dan kaumaafkan aku ….." "Aih, akulah yang harus minta maaf, Enci. Atau kita berdua tadi telah menjadi lemah dan kita berdua yang bersalah. Sudahlah, Enci, kita tetap menjadi sahabat baik dan selamanya aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang luar biasa, cantik menarik dan gagah perkasa, juga berhati mulia ….." "Jangan terlalu memuji, .Hay-te, aku hanya seorang perempuan yang bernasib malang. Engkau tidak tahu bahwa semuda ini aku telah menjanda sampai dua kali…..” "Ahhh …..! Aku tidak percaya, Enci!" Hay Hay benar-benar terkejut dan heran, tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang wanita sehebat ini sampai menjanda dua kali? Laki-laki tolol barangkali yang menjadi suami-suaminya itu. Hui Lian tersenyum, senyum pahit akan tetapi senyum itu menunjukkan bahwa keadaan batinnya telah normal kembali, semua sisa penyesalan karena peristiwa tadi agaknya sudah dapat dilenyapkan. "Tidak percaya namun kenyataannya demikian, Hay-te." Ia lalu menceritakan tentang perkawinannya dengan Tee Sun, putera kepala daerah dusun Hek-bun yang amat pencemburu itu. Betapa pernikahan pertama ini, yang hanya dilakukan untuk menyenangkan hati suhengnya yang menjadi pengganti orang tuanya, telah gagal dan berakhir dengan perceraian karena suami pertama itu terlalu pencemburu sehingga hal itu menyiksa batinnya. Kemudian ia jatuh oleh rayuan seorang laki-laki lain, yaitu Su Ta Touw yang menjadi suaminya ke dua. Betapa kemudian ternyata bahwa suaminya itu seorang mata keranjang, perayu dan perusak wanita termasuk wanita isteri orang sehingga kembali ia terpaksa bercerai dari suaminya yang ke dua itu. "Sejak itu, aku tidak ingin menikah lagi, Hay-te, bahkan aku mulai menaruh rasa tidak suka kepada kaum pria yang kuanggap palsu dan perayu belaka. Akan tetapi ketika bertemu denganmu, aku... aku telah lupa diri …." Hay Hay tersenyum. "Laki-laki mana pun akan terpesona oleh kecantikanmu, Enci Lian. Engkau cantik jelita dan yang istimewa padamu adalah bau harum keringatmu. Aku sendiri pun terpesona dan tergila -gila." "Ihh, engkau mencoba untuk merayu lagi? Dasar engkau perayu!" kata Hui Lian, akan tetapi sekali ini sambil tersenyum. "Tidak merayu, Enci. Terus terang saja, aku amat suka akan keindahan, dan wajah seorang wanita, juga bentuk tubuhnya merupakan suatu keindahan luar biasa bagiku. Kalau aku memujimu, itu bukan merayu, melainkan dengan sejujurnya!" Hui Lian bangkit berdiri. "Sudah, Hay-te, kalau engkau memuji terus, aku akan keluar dari guha ini dan pergi sekarang juga. Pujian-pujianmu ini merupakan godaan yang akan dapat membuat aku mabok lagi." Hay Hay cepat berdiri dan memberi hormat. "Maafkan, maafkan aku, Enci Lian. Aku berjanji, aku bersumpah, tidak akan memujimu lagi dengan mulut, melainkan di dalam hati saja." Hui Lian tersenyum lagi. "Tidak perlu engkau bersumpah, anak nakal! Cukup berjanji saja, dan mulai saat ini aku menganggap engkau sebagai adikku sendiri!" "Terima kasih, Enciku yang baik. Nah, engkau tidurlah. Luka-luka itu baru saja sembuh, engkau perlu beristirahat." "Engkau juga baru saja sembuh dari lukamu. Biarlah engkau yang tidur dulu dan aku yang berjaga, nanti bergantian." "Engkau dulu, Enci."