“Bagus! Kami datang untuk minta kepada keluarga Song agar membatalkan atau memutuskan tali perjodohan itu!” “Ahhh….!” Seruan ini keluar dari mulut keluarga Song, juga dari beberapa orang anggauta Kang-jiu-pang yang merasa terkejut sekali. Wajah Song Un Tek, menjadi merah karena kemarahan membakar hati mereka. Keraguan memenuhi hati Song-pangcu ketika dia bertanya. “Apakah Ji-wi menjadi utusan dari keluarga Pek?” Siangkoan Leng menggeleng kepalanya. “Kami adalah utusan dari Bengcu kami, yaitu Lam-hai Giam-lo!” Makin kagetlah Song Un Tek dan Song Un Sui mendengar ini karena mereka sudah mendengar akan nama Lam-hai Giam-lo yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persilatan di bagian selatan. “Apakah hubungan antara Lam-hai Giam-lo dengan perjodohan putera kami?” kini Song Un Sui yang galak bertanya dengan nada suara yang keras. “Tidak ada hubungannya dengan perjodohan anakmu, akan tetapi Bengcu kami tidak menghendaki Nona Pek Eng berjodoh dengan Song Bu Hok!” “Akan tetapi, kami sudah menjalin ikatan perjodohan itu dengan keluarga Pek ….!” “Tidak peduli! Sekarang Nona Pek telah menjadi murid dan anak angkat Bengcu, dan Bengcu menghendaki agar pertalian ini batalkan dan diputuskan!” Marahlah Song Un Sui. “Hemm, Ji-wi sungguh terlalu. Kalau kami tidak mau membatalkan, bagaimana?” “Uuhhh! Siap berani menentang perintah Bengcu akan kuhajar!” Tiba-tiba Ma Kim Li sudah meloncat dan menerjang Song Un Sui dengan gerakan yang amat cepat. Song Un Sui yang bertubuh gendut itu, menangkis kedua tangan lawan yang mencengkeram ke arah kepala dan dadanya, sambil mengerahkan tenaga sin-kang. “Dukk!” Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh yang bulat seperti bola itu terjengkang dan bergulingan. Melihat ini, Song Un Tek menjadi marah dan dia pun maju menyerang Siangkoan Leng, sedangkan Song Bu Hok menyerang Ma Kim Li. Para anggauta Kang Jiu-pang tanpa diperintah lagi juga sudah mencabut senjata mereka dan maju mengeroyok. Suami isteri itu mengamuk, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih, namun mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan tangan kosong suami isteri itu berani menangkis senjata tajam, menampar, dan kedua kaki mereka bergerak cepat menendang, dan akibatnya, dalam waktu yagn tidak terlalu lama, semua murid Kang-jiu-pang terlmbaprke kanan kiri dan hanya mengaduh-ngaduh, tidak dapat bangkit lagi! Tinggal Song Un Tek yang melawan Singkoan Leng, sedangkan Ma Kim Li dikeroyok oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok. Sesuai dengan nama perkumpulan yang dipimpinnya, Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja), tiga orang kelaurga Song ini hanya mengandalkan kekuatan kedua tangan mereka saja untuk menghadapai dua orang suami isteri yagn amat lihai itu. Namun, hanya Ma Kim Li yang dapat ditahan oleh Song Un Sui dan Song Bu Hok, dengan pengeroyokan paman dan keponakan ini, Ma Kim Li bahkan agak terdesak. Akan tetapi di lain pihak, Song Un Tek tersedak hebat oleh Singkoan Leng karena memang tingkat kepandaiannya kalah jauh. Tiba-tiba Ma Kim Li mengeluarkan lengking panjang dan sinar hitam kecil meluncur dari tangannya, disusul teriakan Song Bu Hok yang terpelanting roboh. Kiranya wanita ini, setelah merasa terdesak, lalu mempergunakan senjatanya yang paling diandalkan, yaitu Jarum beracun! Memang hebat dan berbahaya sekali jarum beracun in dan sekali lepas, sebatang jarum sudah menembus baju pemuda itu dan mengenai pundaknya, membuat dia seketika roboh dan pingsan! Song Un Sui terkejut dan kesempatan selagi dia menengok ke arah keponakannya yang roboh dipergunakan oleh Ma Kim Li untuk menghantam dadanya dan Si Gendut bulat ini pun terpelanting roboh. Hampir pada saat itu juga, Song Un Tek juga roboh oleh tendangan kaki Singkoan Leng! Kini tidak seorang pun dari Kang-jiu-pang dapat melawan lagi. Song Un Tek dan Song Un Sui hanya dapat bangkit duduk dan mereka berdua memandang dengan mata melotot kapada Lam-hai Siang-mo. Ma Kim Li mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Song Un Tek sambil berkata. “Hanya obatku ini yang mampu mengembalikan nyawa anakmu, Pangcu. Kami hanya memberi peringatan kalau kalian masih membangkan terhadap perintah Bengcu kami dan tidak memutuskan ikatan perdojohann itu, lain kali aku datang mengambil nyawa kalian sekeluarga!” Setelah berkata demikian, suami isteri itu lalu pergi meninggalkan tempat itu. Demikianlah laporan Lam-hai Siang-mo kepad aLam-hai Giam-lo dan Pek Eng yang mendengarkan dengan hati gembira. Ia percaya bahwa tentu keluarga Song itu segera membatalkan pertalian jodoh itu. Kalau saja ia tidak memesan kepada gurunya yang kemudian melanjutkan pesanan itu melalui perintahnya kepada Lam-hai Sing-mo, tentu keluarga Song sudah dibunuh dan dibasmi oleh suami isteri iblis itu! Ia memang sudah memesan kepada gurunya bahwa ia hanya menginginkan agar pertalian jodoh itu dibatalkan, dan tidak menghendaki terjadi pembunuhan atas diri keluarga Song. Ruangan yang luas itu telah menampung pra tamu yang sudah berdatangan sejak kemarin. Ada empat belas orang jumlah tamu yang datang memenuhi undangan Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk golonga hitam yang sudah terkenal di dunai persilatan. Selain empat belas orang tamu ini, hadir pula di situ para pembantu Lam-hai Giam-lo yang didandalkan, yaitu Lam-hai Song-mo, sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, Min-san Mo-ko, Ji Sun Bi dan tidak ketinggalan pula Sim Ki Liongyagn kini bahkan dianggap pembantu terpandai oleh Lam-hai Giam-lo. Tentu saja di antara para tamu itu terdapat tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang sudah lebih dulu bersekutu denga Lam-hai Giam-lo. Setelah membuka rapat dan mengucapkan selamat datang, Lam-hai Giam lo lebih dahulu minta pendapat para temunya yagn dihormati itu apakah mereka setuju kalau dia menjadi bengcu dan memimpin mereka semua dalam suatu kelompok yagn kuat. Sebagaian besar yang sudah mengenai dan tahu akan kelihaian Lam-hai Giam-lo menyatakan setuju, akan tetapi ada beberapa orang yang merasa sangsi. Seorang di antara mereka bangkit berdiri. “Nanti dulu, Lam-hai Giam-lo, sebelum kami dapa meneriammu sebagai Bengcu, lebih dulu aku ingin sekali mengetahui mengapa engkau mempersatukan kita semua dan mengangkat dirimu menjadi pemimpin.” Beberapa orang yang masih sangsi tadi mengangguk-angguk tanda setuju dengan pernyataan ini dan Lam-hai Giam-lo melihat pula hal ini. Biarpun hatinya merasa tak senang, namun melihat bahwa ada beberapa orang tokoh yang masih sangsi, dia pun bersikap ramah. Dia memandang kepada orang yang mengajukan pertanyaan tadi. Orang itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bertubuh tinggai kurus. Akan tetapi yang amat mencolok adalah pakaiannya karena pakaian itu putih polos seperti pakaian orang yang sedang berkabung. Akan tetapi semua orang yang hadir tahu belaka bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Dia bernama Kim San, Ketua dari Kui-kok-pang. Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) adalah perkumpulan golongan hitam amat terkenal yang berada di Kui-san-kok, yaitu Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san. Dia melanjutkan pekerjaan kedua orang gurunya yaitu kakek dan nenek Kui-kok Siang-mo (Sepasang Iblis dari Kui-kok) yang mendirikan Kui-kok-pang. Seperti diceritakan dalam kisah Asmara Berdarah, kakek dan nenek iblis ini tewas di tangan Ratu Iblis, dan kakek dan nenek itu adalah dua orang tokoh yang dikenal dalam gabungan tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis) Seperti juga mendiang kedua orang gurunya, selain berpakaian serba putih, juga Kim San atau Kui-kok-pangcu (Ketua Kui-kok-pang) ini memiliki wajah yang putih pucat seperti wajah mayat. Namun hal ini bukan menjadi tanda bahwa dia mengidap penyakit, melainkan karena dia telah menguasai ilmu sin-kang yang luar biasa, yang membuat wajahnya menjadi pucat dan putih. “Keraguan Kui-kok-pangcu dan pertanyaan itu memang panas karena agaknya engkau belum mengerti akan maksud dia. Hendaknya para saudara yang juga masih bersangsi, mendengarkan baik-baik. Keadaan pemerintah kini kuat dan para pendekar menyembunyikan diri. Hal ini hanya menunjukkan bahwa golongan kita kini amatlah lemahnya dan dianggap tidak ada saja oleh para pendekar sombong. Bukankah ini amat merendahkan martabat kita yang terkenal sebagai golongan hitam? Kita pernah mengalami masa jaya ketika Empat Setan memimpin dunia hitam, dibantu oleh Tiga Belas Iblis. Kemudian muncul Raja dan Ratu Iblis yang mengambil alih kekuasaan, akan tetapi malah membawa kita ke dalam kehancuran.” Kui-kok-pangcu mengangguk-angguk. Kedua orang gurunya pun tewas di tangan Ratu Iblis. “Kalian semua tentu tahu bahwa Empat Setan terdiri dari mendiang Guruku Lam Kwi Ong, mendiang Susiok (Paman Guru) See Kwi Ong dan masih ada lagi dua orang yaitu Susiok Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang susiok ini sekarang entah berada di mana, kalau belum menginggal dunia tentu juga sudah amat tua sehingga tidak dapat diharapkan lagi. Nah, tinggal aku seorang yang menjadi penerus Empat Setani! Kini, banyak tersebut murid-murid Tiga Belas Iblis, di antaranya bahkan engkau sendiri, Kui-kok-pangcu, adalah murid dari mendiang Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, dua orang tokoh Cap-sha-kwi (Tiga Belas Iblis), sekarang kalau bukan aku yang memimpin, habis siapa lagi? Dan kalau bukan kita bersama yagn bangkit untuk memperoleh kembali kejayaan masa dulu, siapa lagi,?” Pek Eng juga hadir, sejak tadi hanya duduk saja di belakang kursi Lam-hai Giam-lo dan tidak bicara, hanya mendengarkan saja dan ia merasa kagum kepada gurunya yang demikian berwibawa dan ditakuti para tokoh yang aneh-aneh ini. Hatinya lega dan girang bukan main mendengar laporan Lam-hai Siang-mo tadi bahwa ikatan jodoh antara ia dan Song Bu Hok telah dibikin putus! Ia tahu bahwa tentu orang tuanya akan marah sekali, akan tetapi hal itu akan dihadapinya kelak. Yagn penting, pihak keluarga Song sudah menerima pembatalan itu. Ia telah bebas kini! Mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo, Kui-kok-pangcu Kom San mengangguk-angguk setuju. Akan tetapi, laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yagn bertubuh cebol, hanya setinggai leher Pek Eng, kepalanya kecil akan tetapi tubuhnya besar dan nampak kokoh kuat, kini bangkit berdiri. Suaranya juga kecil seperti kepalanya ketika dia berkata lantang seperti tikus menjerit-jerit. “Akan tetapi, apa maksudnya diadakan persekutuan ini? Apakah semua pekerjaan kita, perampokan, pencurian, pembajakan, penguasaan tempat perjudian dan pelacuran, semua itu harus dilakukan beramai-ramai? Tanpa tujuan yang jelas, tentu saja aku merasa ragu-ragu untuk menggabungkan diri. Harus dilihat dulu apakah penggabungan ini akan menguntungkan kita ataukah sebaliknya.” “Tentu saja menguntungkan!” kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang orang cebol itu. Si Cebol ini pun bukan orang sembarangan karena dia terkenal dengan nama julukannya yang menyeramkan, He-hiat Moko (Iblis Berdarah Hitam)! Belasan tahun yang lalu orang mengenal nama besar Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, cucu keponakan murid dari iblis betina Hek-hiat Mo-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Daa kini keturunan terakhir yang mewarisi ilmu kepandaian mereka adalah Hek-hiat Mo-ko inilah. Akan tetapi jangan menganggap ringan tubuhnya yang cebol, karena orang ini telah mampu menguasai ilmu mujijat sehingga mengakibatkan darahnya benar-benar berwarna hitam, sesuai dengan julukannya. “Tentu saja menguntungkan, Hek-hiat Mo-ko.” Kemballi Lam-hai Giam-lo mengulang kata-katanya. “Kita masih masing-masing mengurus pekerjaan sendiri tanpa saling mengganggu, bahkan dengan adanya penggabungan ini, kita dapat saling bantu kalau menghadapi kesulitan. Juga kita dapat menampung dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu untuk membantu saudara kita yang sedang dilanda kekurangan. Kalau kita bersatu dan memperlihatkan sikap tegas, memiliki kekuatan besar, tentu pemerintah tidak akan berani menekan kita, dan para pendekar pun tidak akan mampu berbuat seenaknya terhadap kita.” “Heh-heh-heh!” Hek-hiat Mo-ko terkekeh” “Semua orang kana selalu mengatakan kekurangan. Apakah kekayaanmu akan cukup untuk membantu mereka semua, Lam-hai Gian-lo? Dan yang dibutuhkan akan amat besar untuk membantu saudara-saudara kita yang kekurangan!” “Jangan khawatir!” Kata Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti ringkik kuda, “Sumbangan akan mengalir dari mereka yang merasa diuntungkan oleh persekutuan ini, dan pula, di sini hadir seorang tamu agung yang memiliki kekayaan cukup besar untuk menjadi tulang punggung kita dalam hal memperkuat dana. Perkenalkan, saudara sekalian, inilah Saudara Kulana, tamu agung kita itu!” Seorang di antara para tamu yang tadi hanya duduk diam saja, kini bangkit berdiri. Dia seorang laki-laki yang usianya empat puluh tahun lebih, pakaiannya aneh namun indah, dengan kepala dibungkus kain kepala warna-warni, dihias emas permata yang berupa burung merak indah sekali. Tubuhnya sedang saja, namun sikapnya berwibawa seperti sikap seorang bangsawan tinggi dan wajahnya cukup anggun. Dia memang seorang bangsawan tinggi dari Birma dan karena kepandaiannya yang tinggi, dia pernah berjasa besar dan berkat kemampuannyalah maka berkali-kali tentara dari Tiongkok dapat dicegah menguasai Birma. Akan tetapi, akhirnya Kulana yang masih berpangkat pangeran, memiliki ambisi untuk merebut tahta kerajaan. Dia ketahuan dan terpaksa melarikan diri meninggalkan negerinya membawa harta kekayaan berupa emas permata yang tak ternilai saking banyaknya. Sejak tadi, Kulana hanya mendengarkan saja, karna tetapi matanya sering kali menyambar ke arah gadis manis yang duduk di belakang Lam-hai Giam-lo pandang mata penuh kagum dan gairah seorang laki-laki mata keranjang.Kini Kulana bangkit dan membungkuk ke kanan kiri, lalu bekata, dengan suara agak asing namun cukup jelas, “Aku telah mendengar semua dan apa yang dikatakan oleh Bengcu Lam-hai Giam-lo memang benar. dia patut menjadi Bengcu kita dan aku sanggup membantu. Bukan hanya bersekutu untuk menjadikan kedudukan kita kuat. Bahkan lebih dari itu. Kita dapat mendirikan suatu pemerintahan tandingan untuk menentang pemerintah yang selalu menekan kita. Kalau perlu, dahsyatnya udah masak kita rebut tahta kerajaan. Kita, semua anggauta persekutuan kita, yang akan duduk di kursi-kursi pemerintahan, menguasai seluruh negeri dan mengadakan peraturan-peraturan baru! Akan tetapi, aku harus lebih dulu melihat bukti kesetiaan kalian, baru aku mau membantu.” Semua orang terkejut, terbelalak memandang kepada orang asing itu. Demikian tinggi dan besar cita-citanya! Merampas tahta kerajaan dan mereka semua menadi pembesar-pembesar tinggi! Macam-macam bayangan memasuki pikiran mereka. Ada yang membayangkan dia kelak menjadi menteri pajak, ada yang ingin menjadi menteri keuangan, tentu saja dengan harta yang belimpahan, ada yang ingin menjadi menteri pengadilan agar dia dapat menghukum mereka yang tak disukainya sesuka hati. Pendeknya ucapan Kulana tadi membuat mereka mengkhayal yang muluk-muluk dan otomatis mereka mengangguk-angguk dan merasa tertarik. Akan tetapi Kim San, Ketua Kui-kok-pang, masih merasa penasaran dan dia pun bangkit berdiri. “Saudara Kulana boleh jadi seorang yang berpengetahuan luas dan kaya raya, akan tetapi kami semua hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silat. Bagaimana mungkin dapat terjalin kerja sama antara engkau dan kami?” Ucapan ini jelas menyatakan keraguan Ketua Kui-kok-pang itu terhadap diri Kulana yang hanya kaya saja akan tetapi kelihatan seperti orang yang lemah. Mendegar ucapan ini, Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, persis suara kuda meringkik, “Hyeh-heh-heh! Kim-pangcu, engkau belum mengenal siapa adanya Saudara Kulana….” Tiba-tiba dia menghentikan ucapannya karena terjadi kegaduhan di pintu masuk. Terdengar seruan-seruan dan nampak dua orang anggauta keamanan yang berjaga di depan pintu terlempar masuk ke kanan kiri dan seorang gadis melangkah masuk dengan tenangnya. Kiranya dua orang penjaga itu tadi hendak mencegah ia masuk dan sekali mendorong, gadis itu telah membuat mereka terpental dan bangkit dan memandang dengan kaget dan heran. Lam-hai Giam-lo sendiri mengerutkan alisnya dan memandang marah melihat adanya seorang gadis muda begitu berani untuk menggangu rapat penting itu. “Bengcu … lapor …. Ia … ia memaksa untuk masuk biarpun sudah kami cegah dan halangi.” Kata seorang di antara dua penjaga yang didorong roboh tadi. “Hemm, Nona yang lancang, siapakah engkau?” bentak Lam-hai Giam-lo, akan tetapi dia pun masih merasa sungkan untuk turun tangan mengingat bahwa dia seorang bengcu dan pengganggu itu hanya seorang gadis muda yang usianya belum ada dua puluh tahun. “Bengcu, biar aku yang menghajarnya!” Pek Eng yang merasa marah juga melihat pengacau itu yang sama sekali tidak menghormati gurunya, sekali bergerak telah meloncat ke depan gadis itu. Gadis itu hanya melirik saja kepada Pek Eng, akan tetapi agaknya merasa heran menemukan seorang gadis seperti Pek Eng di antara para datuk sesat itu. “Hemm, anak kecil, siapa engkau? Jangan mencampuri urusan ini dan pergilah.” Kata gadis itu, sikapnya tenang dan memandang rendah. Pek Eng yang galak itu semakin penasaran karena disebut anak kecil. “Namaku Pek Eng dan aku adalah murid Bengcu Lam-hai Giam-lo! Engkaulah yang harus minggat dari sini dan jangan membikin kacau. Hayo katakan siap engkau dan apa maksudmu menerobos masuk seperti ini!” Gadis itu pun masih muda, sebaya Pek Eng, kulitnya putih mulus, rambutnya yang panjang itu digelung menjadi dua, tubuhnya ramping. Wajahnya cantik sekali; dengan muka bulat telur, mata tajam, hidung kecil mancung, bibirnya merah membasah dan setitik tahi lalat di dagunya menambah kemanisannya. “Hemm, siapa adanya aku tidak perlu diketahui orang! Adapun kedatanganku ini tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Aku hanya minta agar suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan yang bernama Kwee Siong dan Tong Ci Ki, juga suami Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, Cepat maju ke ini!” Mendengar nama mereka disebut, dua pasang suami isteri iblis itu menjadi marah dan mereka pun bangkit dari tempat duduk mereka. “Kami adalah Lam-hai Siang-mo!” bentak Ma Kim Li. “Kami sepasang suami iteri Guha Iblis Pantai Selatan, engkau mau apa menyebut nama kami?” bentak pual Tong Ci Ki. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian, atau seperti yang dianggapnya sendiri, Cu Bi Lian karena sejak kecil ia dijadikan anak angkat oleh suami isteri Cu Pak Sin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika terjadi perkelahian anara dua kakek Iblis Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi melawan dua pasang suami isteri itu yang dibantu banyak anak buahnya, dua orang kakek itu mengamuk dan karena orang kampung dapat diajak oleh dua pasang suami isteri itu mengeroyok, maka banyak orang kampung, termasuk pula Cu Pak Sin dan isterinya, tewas di tangan dua orang kakek itu mengatakan bahwa mereka membunuh Cu Pak Sin karena orang itu ikut berpihak kepada dua pasang suami isteri iblis. Dengan demikian, kematian Cu Pak Sin dan isterinay adalah akibat dari ulah Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guah Iblis Pantai Selatan. Inilah sebabnya mengapa Bi Lian mencari dua pasang suami isteri ini untuk membalas kemataian ayah ibunya, yang sesungguhnya bukanlah ayah ibu kandungnya. Ketika ia bertemu dengan Hay Hay, ia mendengar bahwa dua pasang suami isteri yang dianggapnya musuh besar itu berada di daerah selatan, maka ia pun mencari-cari dan akhirnya mendengar bahwa ia dapat menemukan mereka di tempat ini. Ketika tadi ia tiba di depan pintu gerbang dan melihat banyak orang berjaga dengan ketat, ia tidak mau menimbulkan keributan dan dengan kepandaiannya yang tinggi, ia dapat melompati pagar tembok tanpa diketahui penjaga. Akan tetapi ketika ia tiba di depan pintu tempat diadakannya rapat dan hendak masuk, dua orang penjaga menghadangnya dan terpaksa ia mendorong mereka sampai terpelanting ke dalam ruangan itu. Ketika dua pasang suami isteri itu bangkit memperkenalkan diri, Bi Lian memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam. “Bagus, akhirnya dapat juga kutemukan kalain!” “Hemm, setelah bertemu, engkau mau apakah?” bentak Siakoan Leng marah karena dia melihat betapa gadis muda itu sama sekali tidak menghormati mereka, bahkan memandang rendah. “Masih kau tanya lagi mau apa? Mau membunuh kalain berempat tentu saja!” jawab Bi Lian. “Bocah lancang mulut!” Ma Kim Li membentak dan ia pun meloncat ke depan dan langsung menyerang Bi Lian. Si Jarum Beracun ini meloncat ke atas dan menerkam dengan kedua tangan membentuk cakar. Suaminya, dan pasangan suami iseri yang lain hanya menonton saja karena mereka percaya bahwa Ma Kim Li tentu cukup tangguh untuk menghajar gadis muda itu. Agaknya memalukan kalau mereka harus maju mengeroyok seorang anak yang sepantasnya menjadi anak, bahkan cucu mereka. Namun Bi Lian menghadapi serangan dahsyat ini dengan tenang saja. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kirinya dengan jari tangan terbuka, mendorong sambil mengeluarkan bentakan nyaring. ”Haiiik!” Dan akibatnya, tubuh Ma Kim Li yang masih terapung di udara itu, terdorong ke belakang dan terbanting ke atas lantai! Tentu saja Siankoan Leng terkejut bukan main dan tubuhnya sudah melayang ke atas, lalu dia menubruk ke arah kepala Bi Lian dengan serangan dahsyat dan mematikan karena yang diserangya adalah ubun-ubun kepala gadis itu. Menghadapi serangan dahsyat yang jauh lebih berbahaya daripada serangan Ma Kim Li ini, Bi Lian menggeser kakinya ke kiri, kemudian tubuhnya membalik ke kanan dan kedua tanggannya mendorong. Dari posisi diserang, ia kini bahkan menjadi penyerang dari samping dan Siangkona Leng masih mencoba menangkis ke arah kanannya dari mana dorongan itu datang. Akan tetapi seperti juga apa yang dialami Ma Kim Li tadi, tubuhnya terdorong ke kiri dan terbanting jatuh ke atas lantai! Melihat ini, Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang tadinya sudah siap menyerang, menjadi terkejut dan meragu. Tak disangka oleh mereka bahwa gadis muda yagn muncul dan menyatakan hendak membunuh mereka berempat itu demikian lihainya! “Biar aku yang menghadapi gadis ini!” Tiba-tiba terdengar suara Kim San, dan Ketua Kui-kok-pang ini sudah meloncat ke depan Bi Lian. “Akan tetapi kami yang ia cari, Kim-pangcu!” kata Kwee Siong. “Sudahlah, kalian berempat adalah pihak tuan rumah, tidak enak kalau aku sebagai tamu mendiamkan saja ada orang membikin kacau di sini. Hei, Nona Muda, siapa engkau dan mengapa pula engkau datang-datang hendak membunuh dua pasang suami isteri itu?” Sebagai Ketua Kui-kok-pang, Kim San sudah mempunyai banyak pengalaman, akan tetapi dia merasa heran melihat gerakan gadis itu tadi ketika merobohkan Lam-hai Siang-mo sedemikian mudahnya walaupun suami isteri itu tidak sampai terluka parah. Akan tetapi dia pun maklum bahwa di dunia para pendekar banyak bermunculan pendekar-pendekar muda yang tidak dikenalnya. Bi Lian memandang orang tinggi kurus yang mukanya pucat seperti mayat hidup itu, tersenyum mengejek dan menjawab. “Mayat hidup, aku tidak mempunyai urusan dengan kamu, oleh karena itu aku tidak mau memperkenalkan namaku. Sebaliknya, siapakah engkau ini yang begini lancang berani mencampuri urusan pribadiku?” Ketua Kui-kok-pang itu memiliki watak yang tinggai hati dan melihat seorang gadis muda seperti Bi Lian, tentu saja dia memandang rendah. Biarpun gadis itu tadi telah merobohkan Lam-hai Siang-mo, dia menganggap bahwa hal itu terjadi karena suami isteri itu kurang hati-hati dan terburu nafsu, juga karena tingkat kepandaian meraka memang belum mencapai tingkat tinggai seperti dia. Kini, mendengar pertanyaan Bi Lian, dia berkata dengan mulut menyeringai. “Ha-ha, engkau ini gadis muda agaknya baru saja keluar dari sarang dan belum banyak mengenai tokoh dunia! Aku bernama Kim San dan akulah Ketua Kui-kok-pang! Sebaiknya engkau batalkan saja niatmu itu dan ikut bersamaku ke Hong-san, menjadi anggauta Kui-kok-pang dan engkau akan hidup senang.” “Kui-kok-pangce, kalau boleh aku menasihatimu, jangan engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dua pasang suami isteri iblis itu. Minggirlah dan biarkan mereka berempat maju, atau engkau akan menyesal nanti!” kata Bi Lian dengan sinar mata tajam seperti kilat menyambar. “Ha-ha, engkau memang anak bandel dan sombong. Nah, rasakan tanganku!” Kim San yang maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat ditundukkan dengan halus, sudah menerjang ke depan. Gerakannya aneh, kaku seperti gerakan mayat setiap kali menggerakan kaki tangan, ada hawa panas menyambar. Melihat lawan menggunakan tangan kanan menyerangya dengan cengkeraman ke arah leher dan tangan kiri yang sudah siap di atas kepala, Bi Lian menggeser kakinya ke belakang. Akan tetapi cepat sekali tangan kiri yang tadi mengancam di atas kepala itu menyambar turun, mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Bi Lian. Gerakan itu cepat sekali dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser dan juga kaki mayat hidup itu sudah bergeser ke depan mengejarnya. Melihat keanehan dan kecepatan gerakan lawan tahulah Bi Lian bahwa lawan memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Lam-hai Sing-mo. Ia pun lalu mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengangkat tangan untuk menangkis ke atas. Dari telapak tangannya nampak uap mengepul!” “Dukkk ….!” Kedua telapak tangan itu bertemu, keduanya mengandung hawa panas dan mereka berdua terdorong mundur dua langkah. Ternyata tenaga mereka seimbang dan tentu saja melihat kenyataan ini, Ketua Ku-kok-pang terkejut dan heran bukan main. Dia memiliki sin-kang yang amat kuat, bagaimana mungkin seorang gadis semuda itu mampu menahan tenaganya itu, bahkan dalam adu tenaga tadi sempat membuat dia terdorong sampai dua langkah? Dengan hati-hati dia pun kini menerjang lagi, lebih cepat dan lebih dahsyat daripada tadi. Bi Lian sudah mengukur tenaga lawan, maka kini ia tahu bahwa dengan mengadalkan tenaga, sukar baginya untuk menang. Ia pun lalu mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari Pak-kwi-ong. Begitu ia mengelak dan bergerak cepat, lawannya mengeluarkan seruan kaget. Tentu saja Kim San kaget setengah mati kalau melihat betapa gadis itu tiba-tiba lenyap dari depannya dan hanya nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah membalas serangannya dari arah kirinya. Dia pun menangkis dan berusaha mendesak lawan dengan serangan bertubi-tubi. Namun, Bi Lian dapat pula mengelak dengan mudahnya, kemudian mempergunakan kegesitannya untuk menyelinap dan membalas dari berbagai jurusan. Menghadapi kecepatan gerakan gadis itu, Kim San merasa bingung juga. Dia megeluarkan suara menggereng dan mengamuk, namun serangan-serangannya itu hampir dapat dikatakna ngawur saja karena yang diserang hanyalah tempat kosong. Memang sukar bagi Ketua Kui-kok-pang itu menghadapi lawan yang memiliki gerakan jauh lebih cepat darinya. Dia hanya melihat bayangan berkelebatan dan menyerang bayangan itu dengan ngawur. Sebaliknya, setiap kali Bi Lian menyerang dari sudut yang sama sekali tidak diduganya, Kim San menjadi repot dan terdesak hebat. Setelah lewat tiga puluh jurus, Ketua Kui-kok-pang itu menjadi pening juga. Gadis itu bergerak amat lincahnya, berputar-putar sekeliling dirinya, membuat Kim San terpaksa ikut berputaran dan hal ini membuatnya menjadi pusing dan ketika ujung kaki Bi Lian menyentuh sambugan lutunya, disusul tamparan pada pundak, Ketua Kui-kok-pang itu tidak dapat mempertahankan dirinya lagi dan dia pun roboh! Khawatir kalau lawannya terus menyerang yang akan membahayakan nyawanya, terpaksa Ketua Kui-kok-pang ini mengulingkan tubuhnya, bergulingan terus sampai ke tempat duduk para tamu baru dia meloncat berdiri, akan tetapi roboh lagi karena kaki yang tertendang itu masih setengah lumpuh! Dan ternyata gadis itu hanya berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengejarnya. “Siangkoan Leng, Ma Kim Li, Kwee Siong dan Tong Ci Ki, kalian berempat majulah untuk meneriam kematian, dan tidak perlu melibatkan orang lain yang tidak mempunyai urusan denganku.” Kata Bi Lian menantang empat orang itu. Lam-hai Siang-mo tadi roboh akan tetapi tidak terluka dan kini meraka berempat itu saling pandang, timbul keberanian karena ditantang berempat maju bersama. “Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?” bentak Kwee Siong, kemarahan menutupi kegelisahannya. “Biarlah kalain berempat mendengar agar tidak mati penasaran. Tentu kalian beremat masih ingat ketika kalian bersama anak buah kalian mengeroyok Pak-kwi-ong dan Tung-hek- kwi. Kalian menghasut orang-orang dusun itu untuk ukut mengeroyok sehingga banyak orang dusun tewas, di antaranya adalah Ayah Bundaku! Nah, kini kalian harus menebus kematian Ayah Ibuku itu dengan nyawa kalian!” Tentu saja empat orang itu masih ingat akan peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu, mereka pernah memusuhi dua orang kakek iblis itu yang dahulu meninggalkan mereka memperolah Sing-tong. Bahkan dalam pengeroyokan itu pun mereka gagal, banyak anak buah mereka tewas di tangan dua orang kakek sakti itu. Sebelum meraka membantah atau menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara itu seperti tikus terjepit, mencicit tinggi. Hek-hiat Mo-ko itu, telah maju menghadapi Bi Lian. Sejenak ia berdiri berhadapan dengan Bi Lian, memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji. Hek-hiat Mo-ko ini, biar pun cebol, memang terkenal pula mata keranjang dan cabul. Sejak tadi dia sudah tertarik sekali dengan kemunculan Bi Lian yang demikian jelita, manis dan gagah perkasa pula. Dia memandang kagum. Seorang gadis muda dan cantik mampu mengalahkan Kui-kok-pangcu, sungguh bukan main hebatnya dan pantas untuk menjadi isterinya! Dia memang belum mempunyai seorang isteri yang sah. Melihat munculnya Si Cebol yang memandangnya seperti hendak menelannya dengan sinar matanya, Bi Lian mengerutkan alisnya. “Manusia sepotong siapakah engkau dan mau apa memandangku samabil cengar-cengir seperti tikus?” Bi Lian sengaja memakainya tikus mengingat suara ketawanya yang seperti bunyi tikus mencicit tadi. Biarpun dimaki, Hek-hiat Mo-ko tidak marah, bahkan tertawa mencicit lalu menjawab. “Manis, engkau sungguh cantik jelita dan engakau patut sekali menjadi isteriku! Aku, biarpun begini, masih belum mempunyai isteri dan aku adalah Hek-hiat Mo-ko. Marilah, Nona manis, hentikan kemarahanmu dan kita menyongsong hidup baru penuh kenikmatan dan …” “Tutup mencongmu yang kotor” Bi Lian membentak dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang orang cebol itu. Marahlah gadis ini sehingga serangannya ganas dan juga amat cepat. Namun, sebelum menghadapi gadis itu, Hek-hiat Mo-ko sudah mempelajari gerakan Bi Lian dan jagoan ini maklum bahwa gadis itu selain memiliki tenaga sin-kang yang dapat menandingi kekuatan Kui-kok-pangcu, juga memiliki gin-kang atau kecepatan gerakan yang luar biasa, seperti seekor burung yang menyambar-nyambar. Kaena itu, dia sudah bersiap-siap siaga dan begitu gadis itu bergerak cepat, dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya dan kini kedua telapak tangannya berubah hitam dan tercium bau amis yang memuakkan! Bi Lian terkejut dan melangkah mundur menjauhi, akan tetapi Hek-hiat Mo-ko sudah menyerang dengan cepat, kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam dada dan muka. Bi Lian mengelak dan meloncat ke samping, akan tetapi ada hawa busuk yang memuakkan menyambar sehingga hampir saja ia muntah, bau itu membuatnya pusing sekali dan tahulah ia bahwa lawan ini tentu memiliki ilmu pukulan beracun yang amat jahat! Ia pun lalu mempercepat gerakannya dan kini ia berkelebtan mengelilingi lawan, selalu mengelak dan menjauhi kedua tangan yagn hitam itu, dan membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan. Hek-hiat Mo-ko memiliki tingkat ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari Kui-kok-pangcu. Biarpun gadis itu berkelebatan di sekelilingnya dan mengirim balasan serangan yang mendadak, namun dirinya dengan kedua tangan hitam itu. Karena Bi Lian tidak berani terlalu dekat, takut kalau menjadi pening dan roboh oleh bau yagn busuk, dan karena Hek-hit Mo-ko pandai melindungi dirinya, maka perkelahian itu berlangsung cukup llama. Bagi Hek-hiat Mo-ko sendiri, tidak mudah untuk dapat merobohkan lawan karena gerakan gedis itu memang terlampau cepat baginya, bagaikan menyerang bayang-bayang saja. Setelah lewat hampir lima puluh jurus, tiba-tiba Hek-hiat Mo-ko mengeluarkan suara mencicit tinggi dan kini dari mulutnya juga keluar uap menghitam yagn baunya lebih busuk lagi. Bi Lian terkejut ketika disambar oleh hawa busuk yagn keluar dari kedua tangan dan dari mulut. Lawan itu sengaja meniupkan hawa busuk itu, mengarah mukanya sehingga repotlah gadis itu menyelamatkan diri dengan mengandalkan kelincahannya. Maklum bahwa ia terancam bahaya, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara melengking yang bukan saja mengejutkan lawann, bahkan mengejutkan seluruh tamu yang hadir karena lengkingan itu mengandung getaran yagn mengguncangkan jantung mereka. Cepat meraka mengerahkan sing-kang untuk melindungi tubuh bagian dalam. Tidak mengherankan kalau suara ini menggetarkan jantung karena gadis itu telah mengerahkan tenaga khikang yagn disebut Pek-houw Ho-kang (Suara Gerengan Harimau Putih) yagn dipelajarinya dari Tung-hek-kwi). Yang paling hebat menderita karena gerengan ini adalah Hek-hiat Mo-ko sendiri yang diserang secara lagnsung! Seketika tubuhnya terhuyung dan cepat dia meloncat ke belakang ketiak Bi Lian menampar mukanya. Akan tetapi, kagetlah hati iblis ini ketika dia melihat tangan gadis itu tetap saja mengejarnya dan tak dapt dihindarkan lagi, dalam keadaan terhuyung oleh pengaruh suara, tangan gadis yang terus mengejarnya itu berhasil manampar pipinya. Lengan tangan itu dapat mulur dan terus mengejar sehingga tamparannya tepat mengenai sasaran. “Plakk!” Pipi itu menjadi matang biru karena tamparan yang keras dan Hek-hiat Mo-ko menyumpah-nyumpah sambil meludahkan dua buah gigi yang copot! Pada saat suara lengkingan gadis itu terhenti, terdengarlah suara melengking yang jauh lengkingan yagn dikeluarkan Bil Lian akan tetapi lebih parau. “Hebat … habat ….!” Tiba-tiba saja Kulana, bangsawan Birma yang tadi hanya menonton sambil tersenyum dan matanya memandang kagum kepada Bi Lian, kini sudah berada di depan adis itu. Bi Lian memandang penuh perhatian dan dapat menduga bahwa tentu orang ini adalah seorang asing, dapat dilihat dari pakaiannya dan sorban di kepalanya. “Pergilah engkau, orang asing! Aku tidak mempunyai urusan denganmu!” Bil Lian membentak. Hatinya marah bukan main karena tidak disangkanya, di tempat itu setelah berhasil menemukan empat orang musuh besarnya, ternyata terdapat banyak sekali orang pandai yang membela empat orang musuhnya itu. Akan tetapi, orang asing yang anggun dan berwibawa itu hanya tersenyum, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar aneh yagn membuat Bi Lian merasa ngeri. “Nona, tidak baik menurutkan perasaan amarah. Mengapa kita tidak bersahabat saja dan bicara dengan baik-baik? Namaku Kulana, Nona, dan aku pernah menjadi seorang pangeran Kerajaan Birma, seorang bagsawan yang tidak suka akna kekerasan. Nona yang baik, bolehkah aku tahu siapa nama Nona yang terhormat?” Terjadi keanehan pada diri Bi Lian. Tiba-tiba saja semua kemarahannya lenyap dan ia menjadi lemas, tertarik oleh sikap manis itu dan seperti di luar ksadarannya sendiri ia pun membalas penghormatan Kulan yang membungkuk kepadanya dan menjawab dengan uara halus. “Aku bernama Cu Bi Lian.” “Cu Bi Lian, sebuah nama yang indah dan sungguh pantas kalau nama itu dirobah menjadi Nyonya Kulan. Tidakah kau juga berpendapat demikian, Nona Bi Lian?” Terkejut hari Bi Lian mendenagr ucapan yagn halus namun jelas bermaksud tidak sopan itu, akan tetapi lebih terkejut lagi ketika ia mendapatkan dirinya sendiri mengangguk membenarkan! Seketika ia pun dapat menduga bahwa ada kekuatan aneh yang memaksanya bersikap lunak,maka ia pun cepat mengeluarkan suara melengking, mengerahkan khi-kangnya dan kekuatan sihir yang dilakukan Kulan dan yang sudah mempengaruhi dirinya tadi seketika membuya! Kulan adalah seorang yagn pandai sihir, terutama dalam hal menguasai segala macam ular. Kekuatan sihirnya yagn tadi membuat Bi Lian menjadi lembut dan lemah, akan tetapi setelah kekuatan itu buyar oleh lengkingan Bi Lian, gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi telah memperlihatkan sikap yang tidak sewajarnya! Marahlah ia karena sudah yakin bahwa orang Birma di depannya ini tadi mempergunakan sihir. “Tak perlu banyak cakap, minggirlah!” bentaknya dan ia pun menerjang ke depan, mendorong dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Serangan ini hebat sekali dan angin besar menyambar ke arah Kulan. Akan tetapi, orang ini tenang-tenang saja, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan Bi Lian. “Desss …!” Hebat sekali pertemuan tenaga ini karena Bi Lian mengerahkan sebagian besar tenaganya dan akibatnya, tubuh Kulan bergoyang-goyang akan tetapi Bi Lian terpaksa mundur dua langkah! Diam-diam gadis ini terkekut sekali. Tak disangkanya orang asing ini bahkan lebih kuat daripada semua lawannya tadi. Juga Kim San Ketua Kui-kok-pang yang tadi memandang rendah orang Birma itu, kini terbelalak kagum dan mukanya berubah merah. Baru dia tahu bahwa orang Birma itu selain kaya raya, juga ternyata memiliki ilmu kepandaian yang agaknya jauh lebih tinggi daripadanya. Maklum akan kekuatan lawan, Bi Lian kini menerjang maju dan mengerahkan gin-kangnya yang istimewa sekali. Namun, lawannya bergerak degnan tenang sekali, bahkan gerakannya nampak lambat, namun anehnya, Bi Lian tidak melihat lowongan yang dapat diserang dan setiap kali ia menyerang, selalu dapat dielakkan atau bertemu dengan tangkisan. Bagaimanpun juga, karena kecepaan gadis itu, Kulan juga tidak berdaya, tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang melainkan hanya melindungi dirinya dengan ilmu ilat bertahan yang amat kokoh kuat dan rapat sekali. Akan tetapi, tiba-tiba Kulan mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak dimengerti oleh Bi Lian, lalau disambung ucapan yang amat halus dan berwibawa. “Nona, tidakkah engkau sudah lelah sekali? Mengasolah dan jangan memaksa diri mengerahkan kekuatan, aku tidak ingin menyusahkanmu….” Sungguh aneh sekali, tiba-tiba saja Bi Lian merasa betapa tubuhnya lelah bukan main, matanya mengantuk dan ia membayangkan betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya betapa akan nikmatnya kalau ia boleh mengaso! Akan tetapi, begitu gerakannya melambat, tiba-tiba saja jari tangan Kulan, berhasil menyentuh dadanya. Ia terkejut dan mengeluarkan suara lengkingan panjang dan buyarlah semua pengaruh yagn membuatnya lelah dan mengantuk tadi. Wajah gadis itu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Orang asing itu secara kurang ajar telah menyentuh buah dadanya! Tiba-tiba terdengar lengkingan nyaring menyambut lengkingan yagn dikeluarkan Bi Lian dan tiba-tiba saja di situ muncul dua orang kakek yang sudah tua sekali. Seorang kakek yang perutnya gendut sekali sehingga tubuhnya seperti bola saja, kulitnya kuning mulus dan kepalanya botak. Bajunya di bagian dada terbuka, meperlihatkan dada dan sebagaian perutnya yang gendut. Dia nampak lebih dulu, tersenyum-senyum, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. Dia sungguh seperti seorang bayi montok yang besar! Orang ke dua, juga kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih, sebaliknya bertubuh tinggi besar menyeramkan, mukanya penuh brewok, kulitnya hitam seperti arang. Dia tidak tersenyum seperti kakek gendut, melainkan dengan sikap angker memandang ke arah Kulan, kemudian, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, tangannya mencengkeram ke arah orang Birma itu! Kulana terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi tangan itu terus mulur dan berhasil mencengkeram leher bajunya bagian belakang dan Kulana merasa tubuhnya terangkat naik! Orang Birma ini cukup lihai, mak dia pun menyerang dengan totokan jari tangannya ke arah siku lengan yang mencengkeram leher bajunya. Totokan ini kuat sekali. Hal ini agaknya disadari oleh kakek tinggi besar yagn segera mengayun tubuh itu dan melepaskan pegangannya. Tubuh Kulana melayang ke atas dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja dia tidak cepat menggerakkan tubuhnya dan tubuh itu berjungkir balik beberapa kali kemudian meluncur turun dan dia sudah jatuh dengan empuk, duduk kembali di ats kursinya yang tadi. “Hemmm….!” Kakek tinggi besar mengangguk-angguk, tanda bahwa di mengagumi kepandaian orang Birma itu. Sementara itu, melihat munculnya dua orang kakek ini, sebagian besar di antara mereka terkejut bukan main. Mereka mengenal dua orang kakek itu. Yang gundut bundar adalah Pak-kwi-ong, datuk sesat dari Utara, sedangkan orang tinggi besar berkulit hitam adalah Tung-hek-kwi, datuk sesat dari Timur. Meraka inilah Lam-hai Giam-lo sebagai susiok (paman guru) karena meraka adalah dua orang di antara Empat Setan, adapaun dua yang lain, Lam-kwi-ong Datuk Selatan guru Lam-hai Giam-lo, dan See-kwi-ong datuk Barat, keduanya sudah lama meninggal dunia. Melihat munculnya kedua orang suionya itu, Lam-hai Giam-lo juga terkejut akan tetapi juga merasa girang. Cepat dia melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. “Susiok Pak-kwi-ong dan Susiok Tung-hek-kwi, teecu (murid) Kin Cung menghaturkan hormat dan selamat datang!” Suaranya yang seperti tingkik kuda itu terdengar merendah, tidak seperti biasanya yagn selalu terdengar angkuh. Kini semua orang terkejut. Mereka yang belum pernah bertemu dengan dua orang kakek itu, tentu saja pernah mendengar nama mereka sebagai dua orang di antara Empat Setan, datuk sesat yang tinggi tingkatnya. Mereka sudah merasa sungkan dan hormat kepada Lam-hai Giam-lo dan kini mereka melihat betapa bengcu itu begitu merendahkan diri terhadap dua orang kakek itu. Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi memandang kepada oang yang berlutut di depan mereka itu, dan Pak-kwi-ong terkekeh. “Heh-heh-heh, sungguh lucu. Aku tidak pernah mengenal orang bernam Kin Cung. Engkau bagaimana, Setan Hitam (Hek Kwi), apakah engkau mempunyai seorang keponakan seperti kuda ini?” Tung-hek-kwi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. “Susiok, teecu adalah murid mendiang Suhu Lam Kwi Ong.” Kata Lam-hai Giam-lo cepat-cepat. Kembali dua orang kakek tua renta itu memandang kepadanya, sekali ini lebih memperhatiakn. “Aha, kiranya engkau yang berjuluk Lam-hai Giam-lo itukah? Tanya Pak-kwi-ong. “Benar, Susiok.” “Dan engkau mengumpulkan orang-orang pandai di sini untuk apakah?” tanya pula Pak-kwi-ong sambil memandang kepada orang-orang yang duduk di tempat itu. “Kebetulan sekali. Susiok. Kami sedang mengadakan rapat untuk membentuk suatu persekutuan antara golongan sendiri, untuk melanjutkan sepak terjang Suhu dan Susiok bertiga, mengangkat kembali derajat golongan kita, dan teecu mereka pilih sebagai Bengcu.” Dua orang kakek itu saling pandang dan bahkan Tung-hek-kwi yang selalu nampak galak itu mengangguk-angguk dan sinar matanya kelihatan senang. Pak-kwi-ong merasa gembira sekali mendengar itu. “Bagus sekali! Ah, senang hatiku mendengar ini, Lam-hai Giam-lo” “Harap Ji-wi Susiok sudi mengambil tempat duduk dan ….” “Shu berdua ini bagaiman sih!” Tiba-tiba Bi Lian mencela kedua orang gurunya, berdiri di tanah antara mereka dan bertolak pinggang. “Aku sudah menemukan pembunuh-pembunuh orang tuaku. Lihat merekalah orangnya. Dua pasang suami isteri iblis, Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan! Tadi akan kubunuh, akan tetapi orang-orang di sana membela mereka dan Suhu kini beramah tamah dengan mereka!” Mendengar teguran murid yang disayangnya itu, Tung-hek-kwi mengerukan alisnya dan matanya terbelalak, mendelik mencari-cari. “Mana orangnya yang berani mengganggumu, biar kuhancurkan kepalanya!” Semua orang menjadi gentar melihat sikap raksasa tua hitam itu. Akan tetapi Pak-kwi-ong tertawa dan suaranya terdengar lantang. “Ha-ha-heh-heh. Setan Hitam, jangan begitu! Kita berda di antara orang-orang sendiri! Lihat betapa keponakan kita berusaha membangun kembali kukuasaan golongan kita yang sudah runtuh. Apa yang dialami murid kita hanyalah merupakan kesalahpahaman belaka. Akan tetapi, mengadu ilmu merupakan cara berkenalan yang amat biak!” “Suhu …..!” Bi Lian merajuk. “Sssst, Bi Lian. Dengarlah baik-baik.” Kata kakek gendut itu. “Lam-hai Giam-lo ini adalah murid Lam-kwi-ong, saudara tuaku. Dia masih terhitung Suhengmu sendiri dan kita berada di antara teman-teman sendiri.” “Akan tetapi dua pasang suami isteri itu….” “Sudahlah. Mereka pun teman-teman dan orang-orang sendiri. Memang pernah mereka itu tidak tahu diri berani menentang kami berdua, akan tetapi mereka pun sudah merasakan pahitnya. Nak, urusan sudah habis sampai di sini saja.” “Tapi orang tuaku …..” “Mereka tewas karena suatu pertepuran di mana mereka berada di tengahnya, anggap saja kecelakaan!” kata pula Pak Kwi Ong. Lam-hai Giam-lo lalu menjura kepada Bi Lian. “Kiranya Nona ini adalah Sumoiku sendiri? Aih, Sumoi. Akulah yang memintakan maaf atas sikap teman-teman kita ini karena belum mengenalmu. Kalau aku tahu bahwa engkau murid kedua Sesiokku, mana kami berani bersikap kurang ajar?” Lam-hai Sing-mo dan suami istri Guha Iblis Pantai Selatan juga merupakan orang-orang yang cerdik. Mereka tadi sudah ketakutan sekali melihat munculnya dua orang kakek itu, akan tetapi mendengar ucapan Pak Kwi Ong, lalu melihat sikap Lam-hai Giam-lo, mereka berempat segera maju dan menjura kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah) memang benar. kami orang-orang bodoh telah melakukan kesalahan di masa lampau, dan sudah kami tebus dengan kematian banyak teman, harap Ji-wi sudi melupakan hal itu. Dan Nona Cu, kami bersumpah tidak pernah membunuh orang tuamu.” Bi Lian menjadi bingung. Memang empat orang ini tidak membunuh orang tuanya, yang membunuh adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang sudah menjadi gurunya. Kematian orang tuanya memang terjadi karena adanya perkelahian antara mereka dan orang tuanya tewas di tangan kedua orang gurunya. Akan tetapi, kedua orang gurunya tidak sengaja membunuh orang tuanya karena urusan pribadi. Orang tuanya hanya terbawa saja dan menjadi korban. Ia menjadi bingung dan ketika tangannya ditarik oleh Pak Kwi Ong, ia pun menurut saja. Lam-hai Giam-lo sibuk memperkenalkan para tamunya kepada dua orang kakek itu yang duduk di tempat kehormatan. Para tamu itu satu demi satu memberi hormat kepada Pak Kwi Ong dan Tng Hek Kwi sebagai orang dari tingkatan lebih tua, diterimam oleh dua orang kakek itu dengan gembira karena mengingatkan mereka akan masa dahulu ketika mereka masih menjadi datuk yang dihormati dan disegani seluruh tokoh kang-ouw. Bi Lian yang duduk di sebelah Pak Kwi Ong, diam saja, hanya memperhatikan mereka yang diperkenalkan satu demi satu. Ketiak Kulana yang lihai itu diperkenalkan, ia memandang penuh perhatian, akan tetapi ia menunduk ketika pria itu memandangnya denga sinar mata yang haus. ”Dan ini adalah murid teecu, namanya Pek Eng.” Kata Lam-hai Giam-lo memperkenalkan muridnya sebagai orang terakhir. Pek Eng berlutut memberi hormat kepada susiok-couwnya, kakek paman guru itu. Ketiak diperkenalkan kepada Bi Lian, dua orang gadi itu saling pandang. Pek Eng memandang dengan kagum karena tadi ia udah menyaksikan betapa lihainya gadis cantik itu yang mampu menandingi tokoh-tokoh lihai, sebaliknya Bi Lian memandang Pek Eng denga alis berkerut. Diam-diam menyayangkan bahwa seorang gadis seperti Pek Eng berada di antara orang-orang seperti itu. Akan tetapi, pikiran ini ditekannya sendiri ketika ia teringat bahwa ia dendiri pun menjadi murid dua orang datuk sesat! Kulana minta bicara empat mata dengan Lam-hai Gaim-lo dan mereka berdua masuk ke kamar sebelah sedangkan dua orang kakek tua renta itu dijamu dengan hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang harum. Bi Lian juga ikut makan, akan tetapi hanya makan sedikit, tidak selahap kedua orang gurunya. Kulana lalu keluar dan dia pun minta diri, pamit hendak pulang lebih dulu. Kepada Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi yang duduk semeja denga Bi Lian, dia memberi hormat dan berkata. “Saya mohon sudi kiranya kedua Locianpwe dan juga Nona Cu mengadakan waktu untuk berkunjung ke rumah saya.” Bi Lian cemberut saja sedangkan dua orang gurunya mengangguk-angguk. Orang Birma itu pun pergi, membuat para tamu lainnya diam-diam merasa bingung. Pertemuan itu sedang berlangsung, hanya terganggu kemunculan Bi Lian dan dua orang gurunya, pembicaraan mereka belum selesai, akan tetapi mengapa orang Birma yang menjadi orang penting dalam persekutuan ini telah pulang terlebih dahulu? Setelah mengajak para tamunya makan minum bersama dua orang paman gurunya, Lam-hai Giam-lo melanjutkan pembicaraan mereka yang terputus tadi. Lebih dulu dia menerangkan kepada dua orang kakek itu tentang apa yang beru saja mereka bicarakan, tentang persekutuan antara golongan yang mereka bentuk.“Untuk memudahkan mengatur persekutuan ini, kawan-kawan mengangkat teecu menjadi Bengcu.” Demikian Lam-hai Giam-lo menghentikan keterangannya. Ilmu kepandaian tinggi seperti dua pasang suami isteri itu, Min-san Mo-ko, Ji-Sun Bi, bahkan Saudara Sim Ki Liong ini yang biarpun masih muda akan tetapi telah memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat di antara mereka, menjadi pembantu-pembantu teecu. Juga para tokoh Pek-lian-kauw menjadi pembantu-pembantu luar yang boleh diandalkan karena selain memiliki banyak orang pandai, juga memiliki anak buah yang banyak dan kuat. Para saudara yang hari ini menjadi tamu adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari berbagai penjuru, dan mereka sudah menyatakan setuju. Adapaun Saudara Kulana tadi, adalah seorang yang amat pandai, baik ilmu silat maupun ilmu perangnya, selain itu juga amat kaya raya, dan dia pun menyatakan persetujuannya. Karena itu, setelah Ji-wi Susiok datang, kami mohon sudilah Ji-wi suka menjadi penasihat kami.” --306— Apalai Bi Lian, karena ia yang telah memiliki tingkat yang tinggi dapat mengenal ilmu silat indah dan kuat, juga yang mengandung tenaga sin-kang, yang dahsyat! Setelah memainkan San-in Kun-hoat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang selama belasan jurus, tiba-tiba saja Ki Liong mengubah geraknnya dan kini dia memainkan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Sungguh jauh bedanya dengan ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung) tadi yang lambat dan mantap, kini Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dimainkan dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berkelebatan dan berputaran seolah-olah dia menyerang dari delapan penjuru! Angin pun bertiup dan mengeluarkan suara riuh. Ketika pemuda itu mengerahkan Ilmu Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) maka dari kedua telapak tangan ketika dia mendorong, keluarlah uap putih menyambar-nyambar. Bi Lian makin kaget dan kagum. Bukan main, pikirnnya. Pemuda ini ternyata tidak membual dan menghadapi seorang pemuda yang memiliki tingkat ilmu silat seperti itu, ia sendiri merasa sangsi apakah ia akan mampu menandinginya! Pek Eng juga kagum sekali dan gadis ini bertepuk tangan memuji. “Hebat sekali ilmu silatmu, Sim-kongcu!” katanya. Ia ikut menyebut “kong-cu” karena gurunya, Lam-hai Giam-lo dan juga para pembantunya juga menyebut koncu kepada pemuda itu. Mendengar sebutan ini, Bi Lian mengerutkan alisnya dan Ki Liong juga merasa betapa sebutan itu terlalu menghormat untuknya. “Aih, Nona Pek Eng, mengapa menyebut aku kongcu? Namaku Sim Ki Liong, dan aku lebih tua darimu. Bagaimana kalau menyebut aku kaka saja?” katanya. Pek Eng tersenyum gembira. “Engkau sendiri menyebut aku Nona! Kalau aku menyebut Toako kepadamu, engkau pun harus menyebut aku adik!” Ki Liong tersenyum, merasa bahwa dia telah mendapat kemenangan, dapat membuat Pek Eng bersikap ramah kepadanya. “Baiklah, Eng-moi (Adik Eng), dan jangan engkau terlalu memujiku, jangan-jangan kepalaku akan kemasukan angin dan mengembung lalu meledak oleh pujianmua!” Mendengar ucapan ini, Pek Eng tertawa dan Bi Lian juga tersenyum. Bagaimanapun juga, pemuda ini amat menyenangkan memang, menarik hati sekali. Sopan, ramah, dan pandai membawa diri, halus dan rendah hati. “Saudara Sim Ki Liong, engkau adalah murid pendekar sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi kenapa engkau bersekutu dengan orang-orang seperti…. Kita, dari golongan hitam?” Ditanya demikian, Sim Ki Liong terkejut, akan tetapi hal ini tidak diperlihatkannya dan dengan cerdik dia pun menjawab. “Nona Cu Bi Lian, agaknya pertanyaan seperti itu dapat juga ditujukan kepadamu atau kepada Eng-Mpi, buakn? Kita masing-maisng memiliki alasan probadi untuk mengambil jalan hidup kita. Dan aku bersekutu dengan Lam-hai Giam-lo Bengcu karena selain aku mengagumi kepandaiannya, juga karena aku bermusuhan dengan seorang di antara para pendekar sehingga tak mungkin bagiku bergabung dengan mereka.” Percakapan sudah mulai akrab, akan tetapi tiba-tiba muncul Ji Sun Bi di tempat itu, melihat betapa Ki Liong bercakap-cakap dengan dua orang gadis cantik itu dengan sikap demikian akrabnya, tentu saja Ji Sun Bi merasa tidak senang dan cemburu. Ki Liong adalah kekasih barunya yang amat dicintainya karena pemuda itu adalah seorang jantan yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi darinya sehingga dapat mendatangkan kepuasan yang tak terbatas padanya. Kini melihat betapa kekasihnya itu bercakap-cakap dengan dua orang gadis muda yang cantik jelita, dalam suasan demikian akrabnya, tentu saja ia merasa khawatir dan cemburu. “Sim-kongcu, teman-teman menunggu untuk merundingkan hal yang penting sekali. Marilah!” katanya tanpa memandang kepada dua orang gadis itu. Biarpun ia cemburu dan marah, namun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan sikap tidak senang kepada dua orang gadis itu. Yang seorang adalah murid bengcu, sedangkan yang ke dua adalah sumoi bengcu, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Melihat munculnya Ji Sun Bi dan mendengar ucapan itu, Ki Liong tidak ingin wanita itu membuat ribut, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada Pek Eng dan Bi Lian. “Eng-moi, Nona Cu, maafkan aku. Agaknya mereka itu ingin merundingkan sesuatu yang penting dengan aku. Sampai lain kau!” Sambil tersenyum manis dia pun pergi meninggalkan dua orang gadis itu, bersama Ji Sun Bi yang menunggunya. Setelah pemuda itu pergi, Pek Eng manrik napas panjang. “Aihh, dia seorang pemuda yang hebat….” Bi Lian menjebi. “Huh, berhati-hatilah terhadap seorang pria yang begitu halus budi dan manis tutur sapanya. Orang seperti itu pandai merayu dan siapa tahu hatinya palsu.” Pek Eng menarik napas panjang lago. “Bagaiamanapun juga, dia sungguh pandai, dan sikapnya rendah hati, hemm, mengingatkan aku kepada Hay-ko…” “Eh? Siapa itu Hay-ko (Kakak Hay)?” Bi Lian bertanya. “Hay-ko ya Hay-ko, namanya Hay Hay…” “Hay Hay….? Tentu saja Bi Lian terkejut karena pemuda yang bernama Ha Hay itu pernah membuat ia tak dapat tidur karena selalu tekenang kepadanya. “Ya, namanya Hay dan shenya kalau tidak salah, she Tang. Akan tetapi dia selalu mengaku bernama Hay Hay, tak pernah menyebutkan shenya. Apakah engkau pernah mengenalnya, Enci Lian?” Bi Lian menggeleng kepala. “Tidak, mengapa?” “Ah, sudah lama aku mencarinya. Juga mencari kakakku yang bernama Pek Han Siong, akan tetapi tak berhasil menemukan mereka dan akhirnya malah aku ditawan oleh Lam-hai Sing-mo dan akhirnya malah aku dibawa oleh Lam-hai Siang-mo dan dibawa kesini. Untung Bengcu baik dan mau menerimaku sebagai muridnya, Enci.” Bi Lian mengerutkan alisnya. Nasib gadis ini mirip dengan nasib dirinya. Tanpa disengaja terjatuh ke tangan golongan sesat. Ia senidir kini menjadi murid dua orang datuk sesat yang paling tingi kedudukannya! Padahal dahulu, ia hanya puteri suami isteri dusun dan sudah mempunyai dua orang guru, yaitu sepasang suami isteri yang bertapa di dalam Kuil Siauw-lim-si dan kabarnya merupakan sepasang pendekar sakti. Ia masih ingat akan nama dua orang gurunya itu, yaitu Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Dan anehnya, ia pernah bertemu dengan Hay Hay, juga gadis ini. Akan tetapi, pertemuannya itu tidak perlu ia beritahukan Pek Eng. “Kakakmu itu, ke mana perginya,Adik Eng?” Pek Eng menarik napas panjang. Begitu bertemu dengan Bi Lian, ia sudah tertarik, kagum dan suka sekali. Gasi ini demikian lihainya sehingga mampu mengalahkan hampir semua pembantu gurunya. Entah berapa kali lipat tingkat kepandaiannya sendiri! “Aih, Kakakku itu semenjak kecilnya sudah dihebohkan orang, Enci Lian. Ketika baru terlahir, meurut penuturan orang tuaku, dia telah diperebutkan oleh orang-orang sakti di seluruh dunia….” “Ehhh…..? “Benar, Enci Lian. Kakakku itu sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan, sudah diramalkan oleh para pendeta La-ma di Tibet sebagai Sing-tong, seorang calon Dali Lam Agung! Ketika dia terlahir, maka dia diperebutkan!” “Ahh! Kiranya dia…?” “Engkau tahu, Enci?” “Pernah aku mendengar dari kedua orang Guruku. Lalu, sekarang dia berada di mana, Eng-moi?” ”Entahlah. Aku sedang mencarinya. Ketika aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang tidak kusuka, aku lalu lari untuk mencari kakakku itu, dan mencari Hay-ko yang amat baik kepadaku.” Bi Lian menarik napas panjang. “Pengalamanmu sungguh aneh, Adik Eng. Mudah-mudahan engkau akan dapat bertemu dengan Kakakkmu atau dengan orang yang bernama Hay Hay itu. Oya, hubungan apakah antara engkau dan Hay Hay itu?” Pandang mata Bi Lian penuh selidik, dan ia merasa betapa hatinya tidak enak. Mengapa ia merasa cemburu? “Dia pernah datang ke rumah kami, Enci, untuk mempertanyakan dirinya. Ketahuilah bahwa di waktu masih bayi, pernahh Kakakku disembunyikan oleh Kakek Buyut karena tahut dicuri oleh pra pendeta Lam dan sebagai gantinya, Hay Hay itulah yang dipelihara orang tuaku. Akan tetapi ketika masih bayi, dia pun diculik orang! Nah, setelah dewasa, dia datang untuk bertanya kepada keluarga kami, siapa dirinya yang sebenarnya. Wah, dia lihai bukan main, Enci. Ilmunya… wah, selangit deh!” makin tak enak rasa hati Bi Lian mendengar betapa gadis ini memuji-muji Hay Hay. “Bagaimana kau bisa tahu?” “Dia menghadapi para pendeta Lama yang menyerbu kami dan dia mempermainkan para pendeta Lama itu seperti anak kecil saja. Dan aku… aku telah mencium pipinya…” “Ihh!” Hampir saja tangan Bi Lian menampar pipi Pek Eng, akan tetapi ditahannya dan sebaliknya ia memandang dengan mata terbelalak dan muka merah. “Engkau tak tahu malu, mengaku begitu!” bentaknya Pek Eng tersenyum. “Jangan salah sangka, Enci. Tadinya, karena dia mengaku sebagai Pek Han Siong di depan para pendeta Lam itu, tentu saja aku mengira dia kakak … kandungku yang sudah lama kurindukan, maka saking girangnya aku mencium pipinya. Eh, ternyata kemudian dia bukan kakakku. Hati siapa tidak menjadi marah dan jengkel, juga malu?” Mendengar ini, mau tidak mau Bi Lian tersenyum, akan tetapi tetap saja ia merasa tidak senang. Pada saat itu muncul Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kemunculan mereka mengejutkan Pek Eng karena tahu-tahu mereka telah berada di situ dan ia pun baru tahu mereka muncul ketika Bi Lian membalikkan tubuh menegur meraka. “Suhu berdua mencari aku?” tanya Bi Lian sambil menoleh dan baru Pek Eng melihat mereka. Bergidik dara ini melihat dua orang aneh itu. Si Gendut Bulat kepala botak itu menyeringai terus, sedangkan raksasa tinggi besar brewok hitam itu cemberut terus. Mereka seperti bukan manusia melainkan iblis-iblis jahat. Gurunya sendiri, Si Muka Kuda, tidaklah begitu menyeramkan seperit dua orang guru dari Bi Lian ini. “Bi Lian, mari ikut dengan kami. Kita memnuhi undangan Kulana, hendak kita lihat orang macam apa adanya dia.” Kata Pak Kwi Ong. Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tadi sudah merasakan kelihaian Kulana dan ia curiga kepada orang itu. Akan tetapi dua orang gurunya pasti akan mampu menghadapi meraka, dan ia pun ingin mengenal lebih dekat orang macam apa sebenarnya tokoh Birma yang aneh itu. Ia mengangguk dan meninggalkan Pek Eng, mengikuti kedua orang kakek itu keluar dari taman. Sekali berkelebat tiga orang guru dan murid itu pun lenyap dan Pek Eng menjadi bengong, kagum bukan main. Ia berjanji pada diri sendiri akan belajar dengan giat dari Lam-hai Giam-lo agar memiliki ilmu kepandaian setinggi Bi Lian. *** Bukit itu tinggi dan termasuk deretan puncak-puncak pegunungan Yunan yang paling selatan. Tertutup sebagian oleh awan dan puncaknya penuh hutan sehingga tidak nampak dari jauh adanya sebuah bangunan yang amat indah dengan atapnya meruncing ke atas seperti kuil di Birma. Atap itu sendiri terbuat dari tembaga yang dihias emas. Ada kalanya, kalau hari cerah, nampak sinarnya mengkilap menyilaukan mata. Itulah nangunan yang menyerupai istana, milik dari Kulana, bangsawan Birma yang melarikan diri sari selatan. Baru tiba di lereng saja dan melihat bangunan istana itu dari jauh, Pak Kwi Oang dan Tung Hek Kwi sudah merasa kagum. Juga Bi Lian kagum sekali. Bangunan itu megah dan indah. Apalagi ketika tiba-tiba muncul belasan orang menyambut dengan tiga buah joli, mempersilahkan tiga orang tamu agung itu naik joli dan digotong naik seperti orang-orang bangsawan. Pak Kwi dan Bi Lian terpaksa juga menerimanya. Mereka digotong melalui pintu gerbang yang dijaga ketat dengan orang-orang berseragam dan bersenjata tombak. Kemudian, ketika tiga orang tamu agung itu digotong memasuki serambi depan, terdengarlah bunyi musik menyambut mereka. Tirai joli disingkap dan tiga orang itu melihat tujuh orang wanita penari yang cantik-cantik menyambut mereka dengan tarian yang lemah gemulau, mengiringkan tuan rumah yang kini mengenakan pakaian amat indahnya, pakaian seorang pangeran serba mewah dan kaki tangan dan kepalanya terhias emas permata! “Selamat datang di istana kami!” kata Kulana dengan sikap yang anggun dan agung ketika mereka bertiga itu keluar dari joli yang sudah diturunkan. Bi Lian turun dan memandang kagum. Istana itu memang indah. Di depannya terdapat sebuah taman yang teratur dan penuh dengan beraneka bunga. Pot-pot berukir indah memnuhi serambi, dan perabot rumahnya pun ukir-ukiran serba indah. “Ha-ha-ha, mimpikak aku? Seperti berada di dalam istana saja!” kata Pak Kwi Ong ketika mereka bertiga dipersilakan masuk. Di sebelah dalamnya lebih mewah lagi. Mereka dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu yang luas, dengan meja kursi berlapis emas. Suara musik berbunyi terus dan kini bermunculanlah gadis-gadis pemusik, penari dan penyanyi, belasan orang banyaknya, mengambil tempat duduk di lantai sudut dan mulai memainkan musik dengan lembut, diiringi nyanyian dan tarian lembut pula. Hawa di ruangan itu pun sejuk karena angin yang masuk semilir dari bagian samping yang terbuka menembus ke sebuah taman lain di mana terdapat air mancur. “Selamat datang di istana kami, dan semoga para dewa melindungi perjalanan San-wi (Anda Bertiga).” Kata Kulana sambil mengangkat cawan anggur yang sudah penuh dengan anggur harum yang disuguhkan oleh gadis-gadis cantik berpakaian setengah telanjang sehingga nampak perut, paha dan bagian payudaranya. Pak Kwi Ong, Tung Hek Kwi, dan Bi Lian minum anggur itu dan ternyata keluarkan oleh para gadis pelayan, banyak macamnya dan masih mengepul panas. “Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu dan kami mengharapkan puas dengan hidanga kami yang seadanya.” Ternyata “yang seadanya” itu amat berlebihan. Lebih dari tiga puluh macam banyaknya! Akan tetapi dasar tamunya Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tidak satu pun dari tiga puluh macam masakan itu ada yang mereka lewatkan! Bi Lian hanya memilih yang menarik seleranya saja dan harus diakuinya bahwa selamanya belum pernah ia makan hidangan yang demikain lezatnya! Setelah mereka selesai makan, tuan rumah mempersilakan mereka untuk melihat-lihat keadaan di dalam istananya. Bahkan semua kamar dibuka satu demi satu. Kamar perpustakaan penuh dengan kitab-kitab kuno, kamar senjata penuh dengan senjata pusaka yang serba aneh dan berharga. Bahkan kamar harta di mana bertumpuk peti-peti berisi emas permata yang menyilaukan mata. Dua orang kakek itu terpesona dan mereka tidak meragukan lagi bahwa Kulana adalah seorang pangeran, seorang bangsawan yang amat kaya-raya, hidupnya seperti raja saja dan tidaklah mengherankan kalau dia bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan baru untuk menandingi kerajaan yang kini berkuasa. Kalau Bi Lian dapat menjadi jodohnya dan kelak orang ini menjadi kaisar, meraka berdua otomatis akan menjadi orang-orang mulia! Setelah mereka kembali duduk di ruangan tamu, Kulana menghadapi tiga orang tamunya dan bertanyalah dia kepada dua orang kakek itu, sikapnya berwibawa. “Ji-wi Locianpwe tentu sudah mendapat tahu dari Bengcu akan pinagan kami terhadap Nona Cu Bi Lian. Kami harap, setelah Sam-wi melihat sendiri keadaan kami, dapat memberi jawaban yang pasti.” Terkejutalah Bi Lian mendengar ini. Wajahnya berubah merah sekali dan ia memandang kepada tuan rumah, lalu kepada dua orang gurunya. Dua orang kakek itu saling pandang dan Pak Kwi Ong tertawa lebar sampai perutnya bergerak-gerak. “Ha-ha-ha, sungguh merupakan penghormatan besar sekali bagi kami, Pangeran!” Dia menyebut pangeran begitu saja tanpa ragu lagi. “Dan tentu saja pinangan itu kami terima dengan kedua tangan terbuka. Bukankah begitu, Setan Hitam?” Tung Hek Kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada muridnya. “Bagiku sih terserah kepada Bi Lian.” “Aih, sebenarnya apakah artinya ini semua, Suhu?” tanya Bi Lian penasaran. “Begini, muridku. Pangeran Kulana ini begitu melihatmu langsung saja tergila-gila dan dia mengajukan pinangan melalui Suhengmu, Lam-hai Giam-lo, untuk mengambilmu sebagai isterinya dan kelak engkau akan menjadi permaisurinya, karena orang seperti dia ini kami yakin kelak akan menjadi seorang raja. Tentu saja kami setuju, dan engkau pun tentu setuju, bukan?” Bi Lian mengerutkan alisnya dan teringatlah ia kepada Pek Eng. Celaka, nasibnya sungguh sama seperti Pek Eng, pikirnya. Akan tetapi ia tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak sudi menjadi boneka. Ia sama sekali tidak mencintai pria yang pongan ini, sedikit pun tidak suka walaupun ia kagum akan keliahaian dan kekayaannya. Akan tetapi, melihat betapa Pak Kwi Ong agaknya setuju benar, dan Tung Hek Kwi kelihatan masih meragu, ia pun tidak berani menolak begitu sasja. “Suhu, pernikahan adalah suatu urusan besar bagi seorang wanita, yang akan menentukan keadaan hidupnya di masa mendatang. Oleh karena itu, bagaimana mungkin aku mengambil keputusan dalam sesaat saja? Biarlah kupikirkan dulu hal ini dan berilah waktu tiga hari kepadaku untuk mengambil keputusan dan memberi jawaban.”Sikap Bi Lian tegas dan Kulana dapat menerima ini. Dia tersenyum dan memandang kagum. “Nona Cu memang bijaksana. Segala keputusan memang harus dipikirkan masak-masak agar tidak menyesal di kemudian hari.” Mereka bertiga lalu meninggalkan istana itu atas desakan Bi Lian dan setiba mereka di dalam hutan, sebelum sampai di rumah Lam-hai Giam-lo, Bi Lian menghentikan langkahnya. “Suhu berdua sungguh terlalu!” tiba-tiba ia berkata sambil memandang mereka denga muka merah. ”Wah, apa maksudmu, Bi Lian?” tanya Pak Kwi Ong tertawa. “Terutama Suhu yang belum apa-apa sudah menyetujui pinangan itu. Aku ini bukan boneka, aku seorang manusia yang berhak menentukan pilihanku sendiri. Aku dilamar orang begitu saja dan Suhu menganggap aku ini seekor kucing atau anjing?” “Bi Lian, apa katamu itu?” Pak Kwi Ong yang tak pernah marah, sekali ini membentak Bi Lian. “Engkau muridku, maka engkau harus mentaati aku, dan sekalai ini, engkau harus taat, engkau harus menjadi isteri Kulana!” “Tidak, Suhu. Aku tidak suka menjadi isterinya. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan tentang jodoh, dan aku tidak cinta padanya.” “Tidak, engkau harus mau!” bentak Pak Kwi Ong. “Hemmm, kalau begitu Suhu saja menjadi isterinya!” Bi Lian berkata nyaring. “Aku tidak sudi!” “Aku akan memaksamau.” “Aku akan melawan!” “Murid murtad!” Pak Kwi Ong marah sekali dan secepat kilat menyambar dia sudah menyerang muridnya sendiri dengan pukulan maut. Tangannya mengeluarkan uap tebal. Akan tetapi Bi Lian udah siap siaga dan ai pun mengelak. Ketika Pak Kwi Ong mendesak, tiba-tiga Tung Hek Kwi menggerakkan tangannya menangkis. “Dukk!” Keduanya terpental ke belakang. Wajah Pak Kwi Ong berubah merah sekali. “Setan Hitam, engkau berani membelanya?” “Tentu saja ! Muridku, ingat? Siapa yang mengganggunya berarti mengganggu aku!” “Ia harus kawin dengan Kulana!” “Tidak, ia boleh menentukan pilihannya sendiri!” “Keparat!” “Bedabah!” Dua orang kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun itu kini saling hantam dan saling serang dengan hebatnya! Mereka adalah orang-orang yang sudah tua renta, kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tertinggi akan tetapi tenaga mereka sudah banyak berkurang dimakan usia tua. Pukulan-pukulan mereka merupakan pukulan maut dan kini mereka sudah dipengeruhi amarah yang membuat mereka keduanya seperti buta. Bi Lian menjadi bingung, akan tetapi tidak dapat melerai. Berbahaya untuk menyelinap di antara keduanya dan ia hanya mampu berteriak mengingatkan mereka tanpa hasil. Belum sampai tiga puluh jurus dua orang datuk sesat seperti iblis ini saling gempur, keduanya sudah kehabisan napas dan dalam pengerahan tenaga terakhir, keduanya mengadu kekuatan melaui kedua telapak tangan. “Dess…!” keduanya terjengkang dan roboh terkulai, tak mampu bangkit kembali dengan napas empas-empis! “Suhu….!” Bi Lian berlutut di antara keduanya, mejadi bingung juga melihat betapa kedua orang gurunya itu sam-sama luka parah sekali dan napasnya tinggal satu-satu. Keduanya telah saling hantam dan tidak mampu bertahan lagi. Setelah melihat keadan kedua orang tua itu, barulah ia teringat betapa sayangnya mereka itu kepadanya selama ini dan tak terasa lagi Bi Lian menangis! Pak Kwi Ong mencoba untuk membuka matanya dan dia masih tersenyum menyeringai walaupun sudah mega-me-gap. “Kau… kau harus menjadi isteri Kulana… ahhh….” “Tidak… kau boleh menolak…” Dua orang kakek itu, dalam keadaan sekarat, masih saja mempertahankan pendirian mereka. Bahkan mereka kini berusaha meloncat bangun untuk melanjutkan perkelahian, namun mereka terkulai lagi dan roboh, kini tak dapat bergerak lagi karena nyawa mereka telah melayang! “Suhu…!” Bi Lian menangisi mereka, tubruk sana-sini. Bi Lian mendengar gerakan banyak orang. Ia melompat bangun dan berhadapan dengan Kulana yang diikuti oleh belasan orang pasukannya. Juga di situ sudah berdiri pula Lam-hai Giam-lo dan dua orang suami isteri Lam-hai Siang-mo! “Nona Cu, sudahlah, tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Marilah ikut bersamaku dan kita rawat dan urus dengan baik-baik jenazah kedua orang Gurumu.” Kata Kulana dengan suara halus dan sikap peramah sekali. Mendengar kata-kata yang dimikian halus penuh menghibur, Bi Lian kembali menangis. “Guruku…. Kedua Guruku…. Mereka telah meninggal dunia…” “Hal itu tidak dapat diperbaiki lagi, Nona. Marilah, bangkitlah dan biarkan aku membimbingmu…” kata pula Kulana dengan sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa sikap lembut dan Bi Lian merasa betapa tangannya digandeng dengan halus oleh tangan pria itu. Mendadak ia pun teringat bahwa kematian kedua orang gurunya adalah gara-gara pinangan orang ini, maka teringat pulalah ia bahwa orang ini pandai menggunakan sihir. Ia pun meronta dan melepaskan tangannya, melompat menjauh. “Tidak, jangan sentuh aku!” teriaknya. Di dalam hatinya, memang Bi Lian tidak pernah dekat tau suka kepada kaum sesat, bahkan sering kali ia menyesal melihat betapa dua orang gurunya adalah datuk-datuk sesat. Selama ini, biarpun ia bersikap keras dan ganas, namun belum pernah ia melakukan kejahatan, dan julukannya sebagai Tiat-sim Sina-li (Dewi Berhati Besi) bukan karena kejahatannya melainkan karena kekerasan hatinya menghadapi lawan yang biasanya terdiri dari orang-orang jahat. Kalau ia masih mau diajak bergaul dengan dunia hitam, hanyalah karena terpaksa oleh adanya dua orang gurunya. Kini, setelah kedua orang gurunya meninggal dunia, ia merasa terlepas sama sekali dari golongan hitam dan begitu ia meloncat, ia kini berdiri dengan sikap menentang semua orang yang kini memandangnya. “Nona Cu,” kata Kulana sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, suaranya lemah lembut dan sikapnya ramah. “Kedua orang Gurumu menerima aku sebagai calon suamimu, karena itu aku bukanlah orang lain bagimu. Akulah yang akan mengurus jenazah kedua orang Gurumu, dan akulah yang akan melindungimu, membahagiakanmu…” “Cukup!” Bi Lian membentak sambil mengerahkan kekuatan khi-kangnya untuk melawan pengaruh suara halus itu. “Justeru karena ulahmu itu, justeru karena karena pinanganmu, kedua Guruku saling serang sampai keduanya tewas. Engkaulah yang telah membunuh meraka! Untuk itu, engkau harus menebusnya dengan nyawamu!” Berkata demikian, Bi Lian udah meloncat ke depan dan menyerang Kulana denga hebatnya. Kedua tangaan gadis itu mengeluarkan uap putih dan karena ia mengerahkan tenaga sin-kang luar biasa, kedua tangan yang amat berbahaya itu menjadi semakin menggiriskan karena dapat mulur panjang. Hampir saja pelipis kiri Kulana terkena cengkeraman jari tangannya kalau saja orang Birma itu sambil berjungkir balik dan pada saat itu Lam-hai Giam-lo sudah meloncat ke depan menghadapi Bi Lian. Wajahnya nampak tidak senang dan alisnya berkerut. “Sumoi, sikapmu ini sungguh tidak patut! Saudara Kulana bermaksud baik, kenapa engkau malah menyerangnya? Apakah engkau ingin membikin aku malu? Ingat, setelah kedua orang Susiok meninggal dunia, akulah yang menjadi pengganti mereka, sebagai pelindungmu dan aku yang berhak mengurusmu. Hentikan sikapmu itu dan berksikaplah yang baik terhadap Saudara Kulana!” Akan tetapi, sepasang mata Bi Lian mencorong marah karena ia dapat menduga bahwa tentu usul orang inilah yang membuat kedua orang gurunya menerima pinangan Kulana. Juga, kedua orang gurunya bahkan melarang ia membunuh dua pasang suami isteri yang sejak dahulu dianggap sebagai biangkeladi kematian ayah ibunya. Sambil bertolak pinggang Bi Lian menghadapi Lam-hai Giam-lo dan berkata, suaranya lantang karena ia masih mengerahkan kekuatan ho-kang yang dipelajarinya dari mendiang Tung Hek Kwi untuk menolak pengaruh sihir Kulana. Suaranya melengking nyaring. “Lam-hai Giam-lo! Sejak dahulu, tidak ada hubungan apa pun di antara kita! Kalau aku mau menerimamu sebagai Suheng, hal itu adalah karena permintaan kedua orang Guruku. Akan tetapi, mereka kini telah tewas di sini, gara-gara ulah orang bernama Kulana ini, jangan engkau mencampuri, karena kau bukanlah bawahanmu, dan engkau pun bukan pemimpinku!” “Bocah sombong! Aku adalah Bengcu!” bentak Lam-hai Gam-lo, marah sekali karena merasa dipandang rendah. “Sudahlah, Bengcu, biar aku yang mengurus calon isteriku ini!” kata Kulana dan orang ini pun segera meloncat ke depan untuk menangkap Bi Lian. Gadis ini mengelak dan membalas dengan tendangan yang dapat pula dielakkan Kulana. Mereka sudah saling serang dengan serunya. Bi Lian berusaha merobohkan, akan tetapi Kulana berusaha menangkapnya. Melihat betapa lincah dan gesitnya greekan Bi Lian, Lam-hai Giam-lo meloncat dan membantu. “Akan kubantu engkau menangkap calon mempelaimu, Saudara Kulana!” katanya. Dikeroyok oleh dua orang yang amat lihai itu, Bi Lian menjadi repot juga. Baru tingkat kepandaian Kulana seorang saja, kiranya tidak mudah baginya untuk mengalahkannya karena orang Birma itu memperkuat ilmu silatnya denga kukuatan sihir. Apalagi tingkat kepandaian Lam-hai Giam-lo sudah amat tinggi, setingkat dengan gurunya, sehingga melawan Lam-hai Giam-lo saja ia takkan menang. Kini dua orang lihai itu mengeroyoknya, biarpun tidak bermaksud merobohkannya melainkan hanya ingin menangkapnya, tentu saja Bi Lian menjadi repot dan kewalahan. Namun, dengan semangat membaja gadis ini pantang mundur dan melawan terus, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya. Para anak buah Lam-hai Giam-lo dan juga suami isteri Lam-hai Siang-mo menonton perkelahian itu dengan penuh kagum. Mereka hanya melihat tiga bayangan berkelebatan cepat sekali, bagaikan tiga ekor burung raksasa sedang berkelahai dan mereka itu sam sekali tidak dapat mengikuti gerakan mereka, tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa terdesak. Mereka pun tidak berani membantu karena bukankah yang turun tangan sekarang adalah bengcu sendiri yang membantu Kulana? “Cu Bi Lian, engkau masih belum juga mau menyerah?” tiba-tiba Lam-hai Giam-lo membentak dan tubuh kakek ini sekarang berputar seperti gasing. Memang hebat ilmu kepandaian Lam-hai Giam-lo ini. Begitu dia membuat gerakan berpusing, Bi Lian merasa seolah-olah tubuhnya tersedot dan terseret oleh arus air berpusing dan ia pun terhuyung, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, sukar untuk mempertahankan diri lagi. Pada saat itu, tangan Kulana berhasil menangkap pundaknya. “Heiiiittt….!” Bi Lian memekik dan meronta sambil melempar tubuh ke atas tanah terus bergulingan. Ia berhasil melepaskan diri akan tetapi dua orang itu berloncatan mengejarnya dan tentu ia akan tertawakan kalau saja pada saat itu berseru halu. “Dua orang laki-laki menghina seorang gadis, sungguh tidak tahu malu seklai!” Dan tiba-tiba saja muncul seorang pemuda yang menghadang dua orang yang mengejar Bi Lian yang bergulingan itu. Begitu pemuda itu mengembangkan kedua lengannya dan membuat gerakan seperti mencegah dengan mendorong ke depan, gerakan Lam-hai Giam-lo dan Kulana terhenti seperti ada tenaga raksasa yang menghadang mereka! Mereka terkejut dan cepat memandang penuh perhatian. Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh satu tahun. Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya amat sederhana, seperti pakaian seorang petani saja. Mukanya berkulit puth, agak bulat dengan alis yang hitam lebat, matanya gak sipit dan bersinar lembut, sikapnya tenang sekali dan dibawah jubahnya yang panjang seperti jubah pendeta itu nampak ujung sarung sebatang pedang. Melihat ada seorang pemuda yang asing dan berani membela Bi Lian menghadapi mereka, tentu saja Lam-hai Giam-lo dan Kulana marah bukan main. Terutama sekali Lam-hai Giam-lo yang merasa betapa kekuasaanya di situ di tentang orang asing, seorang yang masih muda dan tidak terkenal lagi. “Keparat, apakah matamu buta maka berani engkau mencampuri urusan kami?” bentaknya sambil melangkah maju menghampiri pemuda itu. Pemuda itu bersikap tenang, akan tetapi mata yang lembut itu kini mencorong ketika dia berkata, “Lam-hai Giam-lo, aku tidak buta dan dapat melihat betapa engkau dan orang ini tanpa malu-malu mengeroyok seorang gadis!” Kulana juga marah sekali karena ada orang yang berani menghalangi niatnya menangkap calon isterinya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu silatnya dan sambil memandang wajah pemuda itu, tiba-tiba dia maju dan membentak. “Orang muda, aku adalah junjunganmu! Berlututlah engkau!” Seruan ini berwibawa sekali mengandung kekuatan sihir yang amat kuat, bahkan Bi Lian sendiri merasa betapa kedua kakinya gemetar. Akan tetapi, pemuda ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut seperti yang diperintahkan Kulana, sebaliknya dia malah tersenyum dan menghampiri Bi Lian yang kedua kakinya masih gemetar. “Nona, sebaiknya kalau kita pergi saja dari tempat kotor di antara orang-orang busuk ini.” Suara itu dimikian lembut dan biarpun Bi Lian belum mengenai siapa adanya pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda ini, ia telah menyerahkan seluruh kepercayaan hatinya. Ia mengangguk dan menghampiri pemuda itu. Lalu bersama pemuda itu melangkah pergi meninggalkan tempat itu! Untuk beberapa detik lamanya, Kulana, Lam-hai Giam-lo, Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu bengong melihat dua orang muda itu membalikkan tubuh dan pergi, seolah-olah tidak percaya. Kemudian Kulanan dan Lam-hai Giam-lo sadar dan keduanya bergerak hendak mengejar. “Jangan pergi….!” Lam-hai Giam-lo berteriak. “Berhenti!” Kualana juga membentak. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, diturut oleh Bi Lian yang siap menghadapai seranga mereka. Akan tetapi sambil membalik, pemuda itu tiba-tiba menghadapkan kedua tangannya ke arah meraka yang mengejar dan mulutnya mengeluarkan seruan yang menggeledek. “Diam kaliaan!” Luar biasa sekali kekuatan yang terkandung dalam bentakan ini. Dua orang sakti itu seketika terhenti dan diam seperti patung, bahkan terbelalak seperti orang kaget. Juga Lam-hai Siang-mo dan belasan orang anak buah itu pun diam tak bergerak seperti menjadi patung. Bi Lian sendiri merasa seolah-olah darah yang mengalir di tubuhnya terhenti dan ia pun tidak mampu bergerak akan tetapi pemuda itu memegang tangannya dan menariknya. “Nona, mari kita pergi!” Dan ia pun dapat menggerakkan kaki dan mereka lalu melarikan diri dari tempat itu. Beru setelah mereka jauh menuruni lereng, terdengar ribut-ribut di belakang mereka, tanda bahwa semua orang itu telah sadar dan agaknya melakukan pengejaran. Pemuda itu maklum betapa bahayanya kalau sampai mereka dapat dikejar oleh Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya. Dia tahu bahwa tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka dia pun lalu mengajak gadis itu melanjutkan pelarian mereka memasuki hutan yang liar dan gelap diatas sebuah bukit. Setelah tidak lagi terdengar suara orang mengejar, barulah mereka berhenti berlari dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar. Karena tadi mereka terus berlarian, apalagi karena Bi Lian baru saja berkelahi melawan dua orang lawan tangguh, gadis itu merasa lelah dan ia pun menjatuhkan diri di atas rumput tebal, lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga. Pemuda itu pun tidak mengganggu, melainkan duduk agak jauh, di atas batu dan hanya memandang dengan kagum. Latihan pernapasan gadis itu adalah latihan ilmu yang biasa dilakukan golongan hitam, namun diam-diam dia kagum karena dari cara gadis itu berlatih pernapasan, dia tahu bahwa gadis itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akhirnya Bi Lian membuka matanya dan begitu ia sadar akan keadaan dirinya, pandang matanya mencari-cari dan ia pun melihat pemuda itu duduk agak jauh di atas batu dan memperhatikannya. Ia pun cepat meloncat berdiri dan teringatlah ia betapa pemuda sederhana itu telah menyelamatkannya secara aneh sekali. Ia masih bingung memikirkan bagaimana pemuda itu dapat membawanya lolos dari tangan orang-orang yang demikian lihainya seperti Lam-hai Giam-lo, Kulana dan anak buah mereka. Melihat gadis itu menghampirinya, pemuda itu tetap duduk dan tersenyum lembut. “Engkau siapakah? Dan bagaimana engkau dapat meloloskan aku dari cengkeraman mereka?” tanya Bi Lian. “Duduklah, Nona dan mari kita bicara.” Jawab pemuda itu. Bi Lian lalu duduk di atas batu di dekat pemuda itu. Tempat itu terlindung pohon besar dan sekeliling mereka penuh dengan pohon dan semak belukar. Mereka berada di dalam sebuah hutan yang amat lebat dan liat. Setelah gadis itu duduk, pemuda itu pun berkata dengan halus. “Sesungguhnya, hanya kebetulan saja kita bertemu. Aku memang sedang melakukan penyelidikan di tempat tinggal Lam-hai Giam-lo untuk mencari seseorang. Ketika aku melihat engkau dikeroyok oleh dua orang itu, tentu saja aku merasa penasaran dan menegur mereka. Untunglah bahwa kita masih dapat lolos, karena kalau terlambat, entah apa yang akan terjadi. Mereka adalah orang-orang yang amat sakti. Akan tetapi engkau sendiri, seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana sampai dapat terperangkap di sana, Nona?” Bi Lian mengerutkan alisnya. Menurutkan wataknya yang keras, ia dapat marah mendengar pertanyaan ini. Pemuda ini ia tanya belum menjawab, belum memperkenalkan keadaan dirinya, sudah balas bertanya, seolah-olah tidak percaya kepadanya. Akan tetapi, ia menahan diri dan menahan kemarahannya karena bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa ia berhutang budi kepada pemuda ini.“Hemm, agaknya karena engkau telah menolongku, maka akulah yang harus memperkenalkan diri lebih dulu. Begitukah?” Suaranya jelas mengandung nada ketus dan alisnya berkerut, sepasang matanya yang amat tajam itu seperti sepasang pedang menusuk. Pemuda itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Maaf, bukan maksudku, Nona. Aku memang sungguh merasa tertarik dan heran sekali melihat seorang gadis seperti Nona berani menentang orang-orang seperti mereka itu, karena itulah aku tadi bertanya. Baiklah kalau Nona ingin mengetahui, namaku adalah Pek Han Siong….” “Aihhh….!!” Bi Lian terbelalak. Han Siong tersenyum. “Ada apa lagi Nona? Kenapa namaku mengejutkanmu?” “Jadi engkau inikah Pek Han Siong … engkau… Sing-tong itu? Kakak kandung Pek Eng?” kini pemuda itu yang terbelalak dan bahkan meloncat turun dari atas batu yang dudukinya. “Engkau tahu semuanya, Nona?” Pemuda itu memang Pek Han Siong. Seperti kita ketahui, pemuda ini mencari jejak Pek Eng, adik kandungnya yang melarikan diri, minggat dari rumah keluarga Pek karena tidak suka dijodohkan dengan keluarga Song dari Kang-jiu-oang. Dia menemukan jejak adiknya itu dan mendengar bahwa adiknya di tawan oleh kaki tangan Lam-hai Giam-lo dan dibawa ke selatan, ke Pegunungan Yunan. Maka dia pun melakukan perjalanan ke sana dan mencari-cari di Pegunungan Yunan sampai akhirnya pada hari itu dia dapat menemukan tempat tinggal Lam-hai Giam-lo dan melihat Bi Lian dikeroyok dua orang lihai itu. Bi Lian merasa gembira bukan main mendengar bahwa pemuda ini adalah kakak Pek Eng, gadis yang disukainya, gadis yang menjadi tawanan Lam-hai Giam-lo dan kemudian bahkan diambil menjadi murid dan anak angkat. Kiranya Pek Eng tidak bohong, kakankya itu hebat! “Sungguh kebetulan sekali!” katanya gembira. “Aku mendengar tentang dirimu dari Adik Eng yang baru saja kukenal. Ia juga berada di sana, kini ia menjadi murid bahkan anak angkat Lam-hai Giang-lo.” “Hehh…??” Tentu saja Han Sion terkejut dan heran bukan main mendengar keterangan itu. “Bagaimana pula ini? Apa saja yang telah terjadi dan engkau… siapakah engkau ini, Nona?” “Aku Cu Bi Lian…” Bi Lian berhenti bicara karena ia melihat betapa wajah pemuda itu berubah matanya terbelalak dan muka pemuda itu menjadi agak pucat. “Kau… kau kenapa kah?” “… Cu… Bi… Lian…?” Perlahan-lahan Han Siong mengulang nama ini matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik. “Benar. memangnya kenapa?” Bi Lian balas bertanya. Han Siong menelan ludah sebelum menjawab, “Tidak apa-apa… rasanya aku seperti pernah mengenal nama itu… katanya agak gugup. Tentu saja dia mengenalnya. Cu Bi Lian, atau Singkoan Bi Lian, puteri dari suhu dan subonya! Inilah gadis itu, yang harus dicarinya, bahkan yang oleh suhu dan subonya telah ditunangkan dengan dia, menjadi calon isterinya! Inilah tunangannya. Siapa orangnya tidak menjadi tegang hatinya dihadapkan pada kenyataan yang begini, tiba-tiba dan tidak disangka-sangka? “Ah, tidak mungkin. Baru sekarang kita saling bertemu.” Jawab Bi Lian. Han Siong masih memandang bengong. Bertemu dengan gadis itu, berhadapan, sadar sepenuhnya bahwa inilah gadis yang diperuntukkan dirinya, yang oleh ayah ibu kandung gadis ini sendiri ditunangkan kepadanya, membuat jantungnya berdebat. Dia menatap penuh perhatian dan harus diakuinya bahwa Bi Lian adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan gagah perkasa. Tubuhnya demikian padat dan ramping, penuh daya kekuatan tersembunyi. Rambutnya panjang dan hita, dikuncir tebal dan digelung di atas kepala. Matanya demikian tajam dan indah, bagaikan sepasang bintang dengan hidung kecil mancung dan mulutnya demikian manis, dengan bibir yang merah basah. Mukanya bulat telur dan tahi lalat di dagu itu. Manis bukan main! Gadis ini puteri suhu dan subonya, akan tetapi diserahkan kepada keluarga Cu sehingga gadis itu tidak tahu bahwa ia sebenarnya She Siangkoan. Menurut suhu dan subonya gadis ini ketika kecil pernah mendapat latihan ilmu dari suhu dan subonya, kemudian gadis itu lenyap. Bagaimana kini Bi Lian dapat menjadi seorang yang sedemikian lihainya? “Heii! Kenapa engkau memandangku seperti itu?? Bi Lian menegur. Ia memang galak dan paling tidak suka kalau melihat pria memandangnya dengan sinar mata yang mengandung kekaguman, karena biasanya hal ini dianggap sebagai kekurangajaran. “Ah, tidak, aku…. aku teringat kepada Adikku…” “Adik Eng? Ia masi berada di sama. Tentu ia tidak tahu bahwa kakaknya telah muncul, bahkan menjadi lawan dari gurunya sendiri.” “Aku sungguh masih merasa bingung mendengar betapa Adikku menjadi murid dan bahkan anak angkat orang seperti Lam-hai Giam-lo, dan juga heran melihat engkau berada di antara mereka, Nona.” “Menurut cerita Adikmu, ia mencarimu akan tetapi bertemu dengan anak buah Lam-hai Giam-lo lalu di tawan, akan tetapi ia dapat membujuk Giam-lo sehingga ia diterima menjadi murid dan gurunya itu bahkan telah membatalkan ikatan perjodohannya dengan keluarga Kang-jiu-pang. Mengenai diriku, ah, panjang ceritanya dan baru saja kedua orang Guruku tewas di sana karena saling serang sendiri, gara-gara Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang berhasil membujuk Guruku agar aku mau menjadi calon isteri Kulana.” Han Siong terkejut. Dua orang guru gadis ini tewas karena saling serang sendiri? Orang-orang macam apakah guru-guru gadis ini? “Siapakah guru-gurumu, Nona?” tanyanya, teringat kepada suhu dan subonya. “Guruku adalah Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi…” Kembali Han Siong terkejut setengah mati. Dua nama itu adalah nama dua orang datuk sesat yang merupakan iblis-iblis, bahkan mereka adalah dua orang diantara Empat Setan yang tersohor itu. Pantas gadis ini lihai bukan main. Ngeri dia membayangkan bahwa puteri suhu dan subonya itu, yang telah dijodohkan dengannya, telah menjadi murid dua orang datuk sesat itu. Melihat sikap Han Siong terkejut, Bi Lian tersenyum mengejek. “Memang aku murid mereka. Guru adalah dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat seperti iblis! Lalu mengapa? Apa kaukira aku juga lalu menjadi jahat?” “Ah, sama sekali tidak, Nona. Akan tetapi… kalau aku tidak salah dengar bukankah ada hubungan antara Lam-hai Giam-lo dan kedua orang tua itu?” “Benar, kedua orang Guruku masih Susiok dari Lam-hai Giam-lo.” “Kalau begitu Nonan masih Sumoi dari Giam-lo.” ”Begitu maunya, akan tetapi akau tidak merasa menjadi Sumoinya. Apalagi setelah kedua orang Guruku tewas. Dia yang menjadi gara-gara, dia dan Kulana, si keparat! Aku harus membalas kematian dua orang Guruku kepada meraka berdua!” Tiba-tiba Han Siong memberi isarat kepada gadis itu yang agaknya juga sudah melihat berkelebatnya bayangan orang di kejauhan. Keduanya sudah menyelinap dan lenyap bersembunyi di balik batang pohon besar sambil mengintai bayangan itu bergerak cepat sekali dan tak lama kemudian mereka berdua melihat seorang laki-laki telah berada di situ. Melihat orang ini, Bi Lian marah sekali dan ia pun sudah melompat keluar dari balik pohon sambil membentak. “Kulana jahanam, engkau datang mengantar nyawa!” Bi Lian meloncat keluar dan langsung menyerang dengan tusukan kedua jari tangan kiri ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kananya mencengkeram ke arah lambung. Serangan ini cepat dan kuat, dahsyat bukan main karena dilakukan dalam keadaan marah dan penuh dendam. Han Siong terkejut melihat serangan itu dan hampir saja dia turun tangan mencegah kalau saja dia tidak melihat bahwa orang yang diserangnya itu pun bukan orang sembarangan. Laki-laki itu juga terkejut karena tidak menyangka bahwa di tempat itu dia akan diserang seorang gadis yang dimikian laihainya, apalagi serangan itu merupakan serangan maut. Namun, dia bersikap tengan dan sigap sekali. Dengan kecepatan seorang ahli, tubuhnya sudah merendah sehingga tusukan ke arah pelipis itu luput, sedangkan cengkeraman tangan kanan Bi Lian ke arah lambungnya ditangkis dengan gerakan memutar. “Dukk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, kedua orang itu terdorong mundur dan merasa betapa lengan mereka masing-masing tergetar hebat, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat berimbang. Bi Lian semakin marah, ia memang sudah tahu akan kelihaian Kulana, maka ia pun sudah siap untuk menyerang mati-matian. Akan tetapi pada saat itu terdengat Han Siong berseru kepadanya. “Nona, tahan dulu, jangan serang dia!” Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia tidak mengharapkan bantuan Han Siong, akan tetapi ia pun tidak ingin pemuda itu mencegah niatnya. “Hemm, Pek Han Siong, engkau mau apa sih sebenarnya!” ia membentak. “Nona Cu, lihat baik-baik. Dia ini bukanlah Kulana!” Barulah Bi Lian terkejut dan ia memandang penuh perhatian. Hemm, pemuda itu ada apakah? Jelas orang ini Kulana, mengapa berkata bahwa dia bukan Kulanan? Bi Lian mengatami orang itu. Wajahnya yang anggun berwibawa, pakaiannya yang seperti pakaian bangsawan, mewah dan indah denga kain kepala warna-warni dihias burungn merak emas permata, pandang matanya yang lembut namun mencorong dan sikapnya yang tenang dan halus. Siapa lagi kalau bukan Kulana? Mulana tersenyum dan balas menjura. “Akan tetapi Ji-wi belum mengenal betul siapa aku ini. Mungkin Ji-wi sudah mengenal Kulana. Ketahuilah bahwa aku bernama Mulana dan aku adalah saudara kembarnya dari Kulana. Tadinya kehidupan kami di Birma dapat dikata amat baik, kedudukan kami berdua terhormat sebagai penasehat raja, dan terutama sekali Kulana membuat jasa besar ketika terjadi penyerbuan paukan Tiongkok dengan mengatur barisan pertahanan yang berhasil memukul mundur musuh. Akan tetapi, dia masih belum puas dan dia melakukan usaha untuk merampas kedudukan raja. Ketika ketahuan, dia melarikan diri dan aku sebagai saudara kembarnya, terpaksa ikut pula menjadi buruan. Karena kami berdua dalam hal pemberontakan itu tidak cocok, maka kami saling berpisah dan tidak lagi saling mencampuri urusan pribadi. Aku lalu hidup di bukit ini bersama isteriku yang akan saya perkenalkan nanti kepada Ji-wi. Nah, sekarang harap Ji-wi suka memperkenalkan diri sebagai tamu-tamu yang kami hormati!.” Bi Lian memperkenalkan diri, “Namaku Cu Bi Lian dan aku menjadi tamu dari Lam-hai Giam-lo, akan tetapi karena Kulana meminangku untuk mejadi isterinya dan aku menolak, maka terjadi bentrokan.” Ia tidak menceritakan lebih jauh lagi karena ia sendiri tentu saja masih meragukan apakah saudara kembar dari Kulanan ini benar-benar tidak akan membantu saudaranya. “Aku dikeroyok dan mendapat bantauan Saudara Pek Han Siong ini, dan kami berhasil melarian diri sampai bertemu denganmu, Saudara Mulana. Kiranya tidak ada lagi yang dapat kuceritakan.” “Apa yang diceritakan Nona Cu memang benar, Saudara Mualana. Aku pun sedang mencari seorang adik kandungku yang jejaknya menuju ke tampat tinggal Lam-hai Giam-lo dan kebetulan aku melihat Nona Cu dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka aku turun tangan membantunay dan kami melarikan diri ke dalam hutan itu.” Mulana mengangguk-angguk. “Kalian adalah dua orang muda yang luar biasa sekali dan aku senang dapat menjamu kalian sebagai tamu-tamu agung. Dua orang semuda kalian sudah berani bertentangan dengan Kulana dan Lam-hai Giam-lo, sungguh luar biasa sekali! Nah, kita sudah berkenalan, sekarang kita mulai berpesta dan sebaiknya kalau kuperkenalkan kepda isteriku yagn tercinta!” Setelah berkata demikian, Mulana mengambil sebuah benda dari saku jubahnya dan ternyata itu adalah sebuah terompet kecil yang segera ditiupnya. Berbeda dengan suara tiupan ketika dia memberitahukan akan kedatangannya kepada para pengawalnya, kini benda itu mengeluarkan suara seperti seekor binatang yang mengeluh penuh duka, suaranya berat dan lirih, akan tetapi bergaung sampai jauh. Semua pelayan yang sedang sibuk diruangan itu, begitu mendengar suara ini, kelihatan kikuk sekali dan meraka pun banyak yang terdiam. Tak lama kemudian, nampak ada orang muncul dari pintu dalam, diiringkan oleh lima orang gadis pelayan. Ketika Bi Lian dan Han Siong mengangkat muka memandang keduanya terpesona, bahkan Bi Lian sampai terbelalak memandang wanita yang demikian cantik jelitanya, yang keluar dari dalam dengan langkah halus seperti seorang bidadari melayang –layang saja, diikuti oleh lima orang pelayan. Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi memiliki kecantikan yang amat hebat. Wajahnya demikian halus dengan raut yang demikian sempurna, cantik dan agung walaupun wajah itu terlalu pucat dan coba ditutupi dengan bedak tipis. Wajah itu pantasnya menjadi wajah seorang puteri agung di istana kaisar. Pakaiannya, gelung rambutnya, gerak-geriknya, semua menunjukkan dengan jelas bahwa ia bukan seorang wanita biasa, melainkan seorang wanita bangsawan agung yang memiliki gerak-gerik yang serba teratur. Kedua kaki yang tertutup gaun panjang itu tidak nampak melangkah sehingga kelihatannya ia melayang ketiak menghampiri meja perjamuan itu dengan sikap agung, tidak menengok ke kanan kiri, dengan dada terangkat dan kepala tegak, menuju ke arah kursi di samping Mulana yang kosong. Diam-diam Han Siong merasakan sesuatu yang aneh. Wanita itu memang cantik sekali, terlalu cantik di tempat yang seperti itu, akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata itu yang tidak wajar, seperti mata seorang yang tidak bersemangat lagi, seperti mata seorang yang berada di bawah pengaruh sihir! Juga dia melihat sinar duka yang teramat mendalam pada pandang mata itu sehingga diam-diam Han Siong mencurahkan perhatiannya dan timbul keinginan tahunya untuk menylidiki, rahasia aneh apa yang ada pada wanita itu. Sambutan Mulana kepada isterinya itu pun luar biasa. Ketika wanita itu tiba dekat, dia pun bangkit dari tempat duduknya dan dengan senyum lebar dia menyongsong kedatangannya, membungkuk sambil berkata dalam bahasa yang dimengerti oleh dua orang tamunya. “Selamat malam, isteriku yang cantik jelita. Malam ini engkau semakin cantik saja. Silakan duduk dan mari kuperkenalkan kepada dua orang tamu kita yang terhormat.” Sikap Mulana itu seperti dibuat-buat dan Han Siong melihat pancaran yang mencorong aneh dan kejam dari pandang mata tuan rumah itu, yang membuatnya heran sekali. Wanita itu pun menekuk sebelah kakinya dengan sikap yang manis dan lembut sekali ketika diperkenalkan kepada Bi Lian. Kemudian ia mengambil tempat duduk di ata kursi sebelah suaminya dan ketika sinar api lampu dan lilin beraneka warna menimpa mukanya, dian-diam Bi Lian menahan napas saking kagumnya. Wanita ini memang hebat, cantik jelita dan pakaiannya, dari setiap untaian rambut hitam yang dilingkar-lingkar sampai kepada hiasan kuku dari emas, setiap lipatan pakaiannya yang indah, semua memperlihatkan keindahan dan keayuan seorang wanita yang lembut. Kini para pelayan sibuk mengeluarkan hidangan. Bagaikan sekelompok kupu-kupu saja, gadis-gadis pelayan yang manis-manis itu seperit menari-nari, pergi datang membawa baki terisi masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dan terciumlah bau yang sedap, yang membuat perut Bi Lian dan Han Siong yang memang sudah lapar itu mengeluarkan bunyi! Wajah itu selain cantik juga agung, dengan bentuk wajah yang bulat telur dan kulit mukanya demikian halus dan biapun nampk pucat, namun kehalusannya sungguh jarang dimiliki wanita lain. Rambutnya hitam dan panjang tebal, digelung dengan model gelung puteri bangsawan, mengkilap karena bersih dan diminyaki, dengan anak rambut melingkar-lingkar di sekitar dahi dan pelipis. Alisnya hitam panjang melengkung seperti gambar, melindungi sepasang mata yang bentuknya indah, lebar dan jeli akan tetapi sinarnya redup seperti bulan terhalang awan tipis. Hidungnya mancung dengan cuping yang tipis dan hidup, mulutnya mengandung tantangan berahi yang panas, kedua pipinya kemerahan oleh bedak dan yanci sedangkan kulit lehernya demikian tipis dan halus mulus. Setelah hidangan lengkap dikeluarkan di atas meja, tiba-tiba Mulana bertepuk tangan dan berkata halus kepada seorang pengawal. “Ambilkan cawan kehormatan dari Tuan Puteri!” Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu terbelalak dan Bi Lian, juga Han Siong, melihat betapa wanita cantk itu dengan kaget menoleh kepada suaminya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, bibir gemetar dan kedua mata itu tiba-tiba menjadi agak basah, lalu terdengar suaranya. “Perlukah….?” Akan tetapi lalu disambung dengan bisikan-bisikan dalam bahasa Birma yang tidak dimengerti oleh dua orang tamu itu. Akan tetapi, dari sikap dan nada suaranya, Han Siong dapat menduga bahwa Sang Puteri itu mengajukan protes. Namun anehnya, Mulana sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan memperkuat perintahnya dengan gerakan tangan sehingga kepala pengawal yang tadinya nampak ragu-ragu itu lalu melangkah cepat memasuki ruanga lain yang bersambung dengan ruangan itu. Bi Lian dan Han Siong saling pandang dan mereka merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Keluarga tuan rumah ini memang aneh dan penuh rahasia yang menegangkan. Ketika kepala pengawal itu muncul kembali, mereka memandang dan keduanya harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaan mereka ketika kepala pengawal itu membawa sebuah benda yang membuat mereka terbelalak.. kepala pengawal itu meletakkan benda itu di atas meja, di sebelah kiri Sang Puteri yang memandang benda itu dengan mata sayu dan basah. Benda itu adalah sebuha tengkorak! Kepala manusia yang tinggal tulangnya saja, akan tetapi terawat baik, bahkan lubang kedua mata dan hidung ditutup denga emas, dan hanya tinggal rongga mulut saja yang terbuka ternganga dan agaknya tengkorak itu kini dipergunakan sebagai sebuah cawan! Cawan yang mengerikan sekali! “Isi cawan dengan anggur harum untuk menghormati tamu!” Tiba-tiba Mulana berkata dan suaranya terkandung nada gembira sekali seolah-olah dia menikmati perintahnya itu. Para gadis pelayan lalu membawa guci anggur yang terbuat dari perak dan emas, yang dengan gerak tubuh yang lemah gemulai mereka lalu mengisi cawan arak di depan Bi Lian, Han Siong dan Mulana. Mulana sendiri mengambil guci arak dari tangan pelayannya dan menuangkan anggur ke dalam cawan tengkorak dekat isterinya, melalui mulut tengkorak yang ternganga itu! Kemudian Mulana mengangkat cawan araknya sampai bangkit berdiri. “Isteriku, mari kita memberi selamat kepada Tuan Pek Han Siong dan Nona Cu Bi Lian yang menjadi tamu agung kita, dengan minum anggur ini! Ji-wi, selamat datang di rumah kami!” Bi Lian dan Han Siong melongo, memandang kepada nyonya rumah yang juga bangkit berdiri dan nyonya yang cantik itu mengangkat tengkorak itu dengan kedua tangan, diikuti pandang mata suaminya, ia lalu bersama suaminya, minum anggur dari… mulut tengkorak. Bi Lian bergidik ngeri. Nyonya cantik itu kelihatannya seperti berciuman denga tengkorak itu, beradu mulut, dan penglihatan ini sungguh amat menegangkan dan mengerikan hatinya. Juga Han Siong tergetar perasaanya dan jantungnya masih berdebar ketika mereka berempat duduk kembali. Nyonya itu dengan hati-hati meletakkan tengkorak yang sudah kosong itu ke depannya. “Mari, mari kita menikmati hidangan, Ji-wi. Isteriku, tenailah dua orang tamu kita makan minum!” dengan sikap gembira sekali Mulana lalumengajak isterinya dan dua orang tamunya makan hidangan yang serba mewah itu. Isterinya, dengan sikap lembut, pandang mata tak pernah ditujukan kepada tamunya ataupun suaminya, seperti seorang dalam mimpi, makan denga cara yang sopan sekali. “Ha, makan minum baru enak kalau diselingi cerita menarik. Pek-taihiap dan Cu-lihiap, bagaimana kalau aku menceritakan sebuah dongeng dari negeriku, dongeng yang amat indah dan menarik kepada Ji-wi?” Bi Lian dan Han Siong saling pandang. Tuan rumah ini tiba-tiba saja menyebut merekaTai-hiap (Pendekar Besar) dan Li-hiap (Pendekar Wanita), dan hendak mendongeng. Sebagai tamu, tentu daja mereka hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Biarpun tempat itu indah dan hidangan yang disuguhkan serba mewah dan lezat, namun pengalaman melihat nyonya rumah minum anggur dari cawan tengkorak itu membuat mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan makan malam itu agar mereka dapat segera mengundurkan diri, bahkan mereka mengambil keputusan di dalam hati masing-masing untuk segera pergi meninggalkan tempat itu pada keesokan harinya. “Di negara kami, di Birma, terdapat seorang puteri yang teramat cantik.” Mulana mulai dengan dongengnya. “Demikian cantiknya puteri itu sehingga banyak pria tergila-gila, di antaranya seorang pria bangsawan tergila-gila dan mengorbankan segalanya untuk dapat mempersunting puteri jelita itu. Di antara banyak sekali saingan, pria itu berhasil dan dapat dibayangkan betapa berbahagia rasa hatinya ketika akhirnya di berhasil memperisteri puteri jelita itu.” Mulana berhenti sebentar dan menarik napas panjang. Lalu menengadah, seolah-olah dia membayangkan peristiwa yang didongengkannya itu. Bi Lian dan Han Siong mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Bi Lian melirik ke arah nyonya rumah, wanit aitu seperti acuh saja, masih melanjutkan makan dengan mempergunakan sumpitnya, mengambil potongan daging kecil-kecil dan memasukkannya dengan sopan ke dalam mulutnya yang kecil, mengunyahnya perlahan tenpa membuka bibir. “Semua pria di negeri Birma merasa iri dan cemburu, bahkan Sang Raja sendiri pun merasa iri hati. Akan tetapi puteri jelita itu memilih pria yang berbahagia itu dan tak perlu diceritakan lagi betapa besar perasaan cinta kasih pria itu kepada isterinya. Dia mau mengorbankan apa saja, dia siap utuk mencuim bekas kaki isterinya, menyembah segala benda yang pernah dijamah isterinya itu. Dan melayani sendiri isterinya seperti budak yang paling hina. Dia setiap minum mempergunakan sandal isterinya itu, setiap hari menulis sajak pujian untuknya menghujaninya dengan segala kemesraan, dengan segala pernyataan cinta yang mungkin dilakukan seorang pria terhadap wanita. Pria itu memujanya, mencintanya, bahkan siap mengorbankan nyawa setiap saat kalau dibutuhkan oleh wanita itu.” Kembali Mulana berhenti dan dua orang tamunya kini memandangnya penuh perhatian, mulai tertarik sekali. Memang Mulana pandai bercerita dan dia memiliki daya tarik yang mempesona. “Akan tetapi, ah, sungguh kasihan sekalai pria itu! Betapa pun besar cintanya, segala pengorbanan yang diberikan, bahkan dia telah mengusir semua selirnya, tak pernah lagi mau melirik wanita lain, menyerahkan seluruh kedudukannya, hartanya, kesehatannya, segala-galanya. Namun… isteri tercinta itu tetap saja dingin terhadapnya.” Bi Lian menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi agak merah. Diam-diam ia marah. Tuan rumah ini sungguh tidak mengenal batas, mengapa menceritakan hal seperti itu kepadanya? Kalau dilanjutkan cerita yang tidak sepantasnya, tentu ia akan menegurnya! Agaknya Mulanan maklum akan isi hatinya. “Maafkan aku, Nona Cu. Maaf, bukan masksudku untuk menceritakan hal yang tidak pantas! Akan tetapi, semua ini untuk menyatakan betapa semua cinta dan pengorbanan pria itu sia-sia belaka. Hebatnya, biarpun puteri yang telah menjadi isterinya itu bersikap dingin, pria itu masih tetap memujanya. Dengan pria itu masih tetap memujanya. Dengan sabar dia merayu, dia membujuk, dengan hati-hati, dengan halus untuk membangkitkan perasaan cinta di hati isterinya, walaupun sedikit pun dia sudah akan menerimanya dengan perasaan amat berbahagia. Namun, sia-sia… puteri itu tetap dingin dan selalu memperlihatkan sikap tidak suka berdekatan…” “Hemm, cerita itu semakin tidak menarik.” Kata Bi Lian. “Dongeng yang menyedihkan.” Kata pula Han Siong sambil tersenyum kepada tuan rumah, untuk menghibur karena dia merasa tidak enak melihat sikap Bi Lian yang demikian jujur mencela dongeng tuan rumah. Mulana tersenyum dan wajahnya yagn tampan nampak berduka, senyumnya pahit sekali. “Memang menyedihkan, dan mungkin tidak menarik bagi Nona Cu, jug abagi wanita pada umumnya. Akan tetapi amat menyedihkan bagi seorang pria. Cinta kasih seorang pria, mendambakan balasa, walaupun sedikit saja, melalui sentuhan halus, melalui senyum, melalui pandang mata mesra, melalui senyum melalui pandang mata mesra, melalui apa saja, pria yagn merindukan kaish sayang isterinya itu, selama bertahun-tahun, hanya mampu berharap, berharap, dan berharap….! Dan pada suatu malalm, dunia kiamat baginya!” Dan tiba-tiba saja Mulana menangis! Han siong dan Bi Lioan terkejut bukan main. Mereka saling pandang, dan kemudian memandang kepada tuan rumah yang menutupi muka dengan kedua tangannya dan terisak menangis. Ketika mereka melirik ke rah nyonya rumah, wanita cantik itu masih terus makan ketika sepasang matanya melirik ke arah suaminya, Bi Lian menangkap sinar mata yang mengandung ejekan dan hinaan! Ingin sekali Han Siong bertanya, apa yang telah terjadi dengan pria yang mendambakan cinta isterinya itu, akan tetapi dia menahan diri dan bersabar, menanti sampai Mulana menghentikan tangisnya. Pria itu menurunkan kedua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menghapus air mata yagn membasahi mukanya, lalu tersenyum, senyum paksaan. “Maafkan aku. setia kali menceritakan hal itu, aku selalu tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatiku. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, malam itu memang terjadi sesuatu yang membuat pria itu merasa dunia kiamat baginya!” “Apa yang terjadi?” Pek Han Siong tak dapat menahan lagi keinginan tahuannya. “Apa yang terjadi?” Pek-taihiap, tidakkah engkau dapat menduganya? Puteri yang cantik jelita itu, isteri yang teramat dicinta suaminya itu, yang suka menjilati telapak kakinya untuk menyatakan cintanya, wanita yang secantik bidadari itu, yang kecantikannya tanpa cacat cela, pada suatu malam jahanam itu… ketika pria yang menjadi suaminya itu terbangun dan tidak melihatnya tidur di pembaringa lalu mencarinya ke belakang, wanita itu, yang selalu dingin terhadap suaminya, yang tak pernah satukali pun membelai/suaminya, bahkan tak pernah menyentuhnya dengan gairah, wanita itu… di dalam taman, di atas rumput begitu saja, di tempat terbuka, tanpa pakaian sama sekali, tak bermalu sedikitpun juga, bagaikan seekor binatang jalang yang panas dan penuh nafsu berahi, sambil mengerang seperti binatang dan dengan nafsu menggebu seperti kemasukan iblis, perempuan itu bergelut dan bermain cinta dengan tukang kebun! “Ahhh…!” Seruan ini keluar dari mulut Bi Lian dan Han Siong hampir berbareng karena mereka sungguh terkejut bukan main. “Ha, kalian tentu kaget! Siapa orangnya yagn tidak kaget! Dan pria itu, suami itu… dia bukan hanya kaget, akan tetapi dunia seperti kiamat baginya. Wanita yang dipujanya seperti dewi itu, yang didambakan cintanya, menyerahkan diri sebulatnya, lahir batin, kepada seorang laki-laki lain! Bukan pangeran bukan bangsawan, bukan hartawan, melainkan seorang tukang kebun biasa! Seorang hamba yang hina dina dan rendah, dan kotor! Apa yang selalu dijauhkannya dari suaminya yang mencintanya, yang memujanya, pada malam hari itu, mungkin juga malam-malam sebelumnya, telah diberikan sepenuhnya kepada seekor anjing!”setelah berkata demikain, Mulana memandang kepada isterinya, dengan sinar mata mengerikan, penuh penyesalan, penuh duka, penuh kebencian, akan tetapi juga penuh kasih sayang! “Cukup!” Tiba-tiba wanita cantik jelita yang menjadi isteri Mulana itu berseru, suaranya seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya, dan muka yang amat cantik itu menjadi kemerahan. “Setelah semua dendam yang kaucurahkan, kenapa engkau malam ini melanggar janji dan menceritakan kepada orang lain. Mulana?” “Aku terpaksa, Yasmina, aku tidak dapat bertahan lagi untuk menyimpannya sendiri. Dan dua orang ini bukan orang sembarangan, mereka adalah pendekar-pendekar yang telah berani menentang Kulana! Mereka patut mendengarkannya!” “Bagus, engkau melanggar janji, aku pun tak perlu setia terhadap janji. Hai dua orang muda, dengarkan baik-baik. Akulah Yasmina, akulah isteri yang diceritakannya itu, wanita itu. Dialah yang membuat aku seperti itu. Mulana menganggap aku bukan seperti manusia, memujaku seperti benda keramat, seperti boneka kaca, melimpahkan semua cintanya seperti terhadap seorang dewi di kahyangan. Aku seorang perempuan, dari darah daging! Aku ingin diperlakukan sebagai seorang manusia, sebagai seorang perempuan darah daging yang haus akan belaian dan kasih sayang nyata seorang jantan! Dan aku menyerahkan diri, sepenuhnya, sepuas hatiku kepadanya! Dan aku puas. Aku menyesal, akan tetapi aku puas. Dan Mulana, dia memenggal leher tukang kebuh itu, membuat kepalanya menjadi tengkorak ini dan kau harus selalu minum anggur dari dalam tengkoraknya, melalui mulutnya! Aku menerima semua pelampiasan dendam ini, untuk menebug dosaku. Dan dia setiap malam bermain cinta dengan para gadis pelayan yang cantik dan muda, di depan mataku, untuk membalas dendam. Aku hanya mentertawakannya dalam hati. Bagaimanapun juga, dia tak dapat disamakan dengan tukang kebunku itu! Tidak ada seperempatnya! Dan dia berjanji takkan membuka rahasia itu. Akan tetapi malam ini, dia melanggar janjinya…!” Wanita itu, Yasmina, kini mengangkat tengkorak yang sudah diisi anggur baru, kemudian mencium mulut tengkorak itu. “Engkau, tukang kebunku yang setia, engkau selama ini menemaniku, engkau kehilangan nyawa karena aku, sekarang tiba saatnya engkau menjemputku. Bawalah aku ke sana…” dan wanita itu lalu menggigit sebuah di antara gigi tengkorak itu, minum anggur dari dalamnya dan ia pun terkulai di atas meja. Tengkorak itu terlepas dan jatuh bergulingan di atas lantai, seperti hidup, sampai berhenti di dekat kaku Mulana. “Yasmina…!” Mulana menendang tengkorak itu dan meloncat ke dekat isterinya. Dia mengangkat muka isterinya, mungkin sudah lama dipersiapkan wanita itu menyimpan racun di bawah sepotong gigi tengkorak yang tadi digigitnya, dan minum racun itu bersama anggur! “Yasmina…!” Mulana mengguncang-guncang isterinya, didukungya, dipondongnya dan dia pun menangis sambil kebingungan. Melihat ini, Bi Liang bangkit dan memandang kepada Pek Han Siong. Alisnya berkerut dan gadis ini merasa betapa batinnya terguncang hebat oleh peristiwa yang terjadi antara suami isteri aneh itu. “Mari kita pergi, aku menjadi muak dan mual!” katanya. Pek Han Siong sendiri juga terguncang hebat perasaanya. Apalagi yang terjadi antara Mulana dan Yasmina itu terlalu hebat, sampai wajahnya menjadi berubah agak pucat. Ngeri dia membayangkan malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa sepasang suami isteri yang seperti mereka itu. Kaya raya, bangsawan tinggi, keduanya tampan dan cantik!” “Mari!” katanya dan keduanya lalu meninggalkan ruangan itu tanpa pamit lagi karena tuan rumah tidak mungkin dapat diajak bicara. Dia sudah menjadi seperti gila, memondong mayat isterinya itu ke sana-sini, sambil menangis dan menciumi muka yang kebiruan itu. Pelayan yang berda di situ seperti berubah menjadi patung, terbelalak pucat tidak ada yang berani bergerak. Bahkan ketika Bi Lian dan Han Siong pergi meninggalkan perkampungan itu, tidak seorang pun penjaga mencoba untuk menghalangi mereka. Ketika dua orang mud aitu tiba diluar perkampungan, tiba-tiba nampak api besar bernyala di belakang mereka dan sayup-sayup terdengarlah tangis-tangis dan teriakan Mulana memanggil-manggil nama isterinya. Agaknya Mulana telah menjadi gila dan telah membakar istanaya sendiri! Pria itu sesungguhnya amat mencinta isterinya akan tetapi dibikin gila oleh cemburu! “Kasihan…!” Pek Han Siong yang berhenti dan memandang ke belakang mengeluh. “Siapa yang kasihan?” Barulah Han Siong teringat bahwa Bi Lian berada di situ dantadi suara hatinya dikeluarkan melalui mulut. “Kedua-duanya…” jawab Han Siong. Mereka melanjutkan perjalanan, berjalan perlahan menuruni bukit itu. “Engkau benar, Saudara Pek. Kasihan keduanya. Keduanya telah bersalah dan keduanya patut dikasihani karena nasib mereka sungguh buruk sekali. Tak sangka orang-orang seperti mereka…” kata Bi Lian, kemudian disambungnya, lirih. “Cinta memang aneh…” “Ya, cinta memang aneh…” Han Siong juga menggumam lalu keduanya tenggelam dalam lamunan, kata-kata mereka itu berdengung di telinga mereka. Kata-kata itu seperti menunjukkan bahwa mereka mengerti atau setidaknya pernah mengalami cinta! Sampai lama mereka melangkah, termenung, saling menduga, lalu tiba-tiba Bi Lian bertanya. “Saudara Pek, pernahkah engkau jatuh cinta?” Han Siong terkejut, memandang gadis itu, menggeleng kepala. “Belum, dan engkau?” “Aku juga belum pernah.” “Kalau begitu, bagaiman engkau dapat mengatakan bahwa cinta itu aneh?” ”Dan engkau pun membenarkan begitu saja.” Dan keduanya saling pandang, lalu tertawa geli. “Lihat saja mereka itu. Mulana dan Yasmina, bukankah mereka itu menjadi seperti orang gila karena cinta? Itulah yang membuat aku mengatakan cinta memang aneh tadi.” Kata Bi Lian membela diri. ”Tapi itu bukan cinta, Nona Cu. Mulana tidak mencinta isterinya dengan sesungguhnya, atau cintanya berlandaskan sebanggaan karena di telah berhasil memenangkan puteri itu dalam perebutan. Dia memperlakukan Yasmina sebagai barang pusaka, dikeramatkan, disanjung, dipuja, dibanggakan dan dipamerkan! Dan cinta Yasmina juga hanya cinta nafsu. Karena itu keduanya lalu menyeleweng, dan baru terasa cinta itu setelah terlambat. Mulana lebih mementingkan kebanggaan dirinya dan Yasmina lebih mementingkan nafsu berahinya, dan keduanya merana…”Aihh, agaknya engkau seorang yang ahli dalam seni mencinta, Saudara Pek!” kata Bi Lian. Wajah Han Siong berubah merah. “Sama sekali tidak, hanya aku melihat hal-hal yang aneh sekali dalam cinta ini. Ada suatu peristiwa yang tidak kalah anehnya, juga amat mengharukan antara dua orang yang saling mencinta. Akan tetapi biarlah lain kali saja kuceritakan kepadamu, Nona Cu.” ”Siapakah mereka?” Bi Lian tertairk. “Mereka… adalah kedua orang guruku, Suhu dan Suboku…” “Ih, tentu menarik sekali. Ceritakan, Saudara Pek.” ”Lain kali sajalah. Mari kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Nah, di sana ada sungai kecil, bagaiman kalau kita melewatkan malam di tepi sungai itu?” Mereka lalu mencari teapi sungai yang landai dan di situ terdapat banyak batu kali yang besar dan bersih. Mereka lalu mengumpulkan kayu kering, lalu membuat api unggun sambil duduk di atas batu kali yang besar, halus dan rata. Enak memang tempat itu. Sebelum pergi, mereka tadi sedah memasuki kamar masing-masing untuk membawa perbekalan mereka, tanpa ada yang mengganggu mereka. “Sekarang mengaso dan tidurlah, Nona. Biar aku yang berjaga di sini.” Kata Pek Han Siong. “Aku tidak mengantuk, Saudara Pek. Lebih baik kita bercakap-cakap. Pertemuan antara kita sungguh aneh sekali. Engkau muncul begitu saja ketika aku terancam bahaya, dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai. Kemudian kita bertemu dengan Mulana dan isterinya yang lebih aneh lagi. Apalagi mendengar bahwa engkau adalah kakak kandung Adik Pek Eng yang baru saja kukenal dengan baik, bahwa engkau adalah Sing-tong yang sudah amat lama kukenal namanya sebagai Anak Ajaib. Saudara Pek, ceritakanlah tentang keadaan dirimu, keluargamu. Begitu aku bertemu dengan adikmu, Pek Eng, aku sudah merasa suka sekali padanya.” Han Siong menarik napas panjang. “Tidak ada sesuatu yang menarik tentang diriku, Nona. Akan tetapi, sesungguhnya adalah suatu hal yang amat penting, amat menarik tentang dirimu, Nona. Ketahuilah, sesungguhnya, ketika engkau memperkenalkan namamu, aku… aku telah menjadi terkejut sekali karena aku mengenal namamu dengan baik sekali, Nona Cu.” Bi Lian memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Pantas ketika mendengar namaku engkau kelihatan kaget. Di mana engkau pernah mendengar namaku, Saudara Pek Han Siong?” Han Siog mengambil keputusan untuk berterus terang. Kalau dia tidak mengaku, kelak tentu gadis ini akan merasa tersinggung dan marah karena dia pura-pura tidak mengenalnya. Padahal, dialah yang mendapat tugas dari suhu dan subonya untuk mencari puteri meraka ini. Akan tetapi, tentu saja tak mungkin dia berani mengaku tentang ikatan jodoh itu, bahkan aganya tidak bijaksan kalau dia membuka rahasia bahwa gadis ini bukan she Cu melainkan she Siangkoan. Dengan hati-hati dia lalu menjawab “Sebelumnya, ingin aku mendengar pengakuanmu, bukankah dahulu engkau tinggal di sebuah dusun di Ching-hai selatan, di Pegunungan Heng-tuan-san, tak jauh dari sebuah kuil Siauw-lim-si yang terletak di luar kota Yu-shu?" Bi Lian memandang dengan sinar mata berseri. "Benar sekali! Bagaimana engkau bisa tahu akan hal itu, Saudara Pek? Ketika itu aku tinggal di sebuah dusun, bersama kedua orang tuaku. Akan tetapi datanglah malapetaka di dusun itu. Terjadi pertempuran antara para tokoh sesat dan banyak orang dusun tewas pula dalam pertempuran itu, termasuk kedua orang tuaku! Ayah Ibuku tewas dan aku terjatuh ke dalam tangan kedua orang Guruku itu, ialah mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Ketika itu, aku berusia sebelas tahun dan mulai saat itu, aku menjadi murid mereka dan diajak merantau sampai jauh. Akan tetapi, sekali lagi, bagaimana engkau bisa tahu akan keadaan diriku di dusun itu?" "Ada satu hal lagi, Nona, harap kaujawab dengan sejujurnya. Sebelum engkau ikut dengan kedua orang Gurumu itu, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, sebelum terjadi pertempuran antara tokoh sesat di dusunmu itu, yang mengakibatkan kematian Ayah Bundamu, sebelum itu, pernahkan engkau belajar ilmu silat?" Bi lian kembali memandang tajam, penuh selidik dan ia mengingat-ingat. Masih teringat benar olehnya betapa ada dua orang yang selalu datang di malam hari, ketika ia masih kecil dan kedua orang itu secara bergiliran, laki-laki dan wanita, memberi petunjuk kepadanya akan dasar ilmu silat. Kedua orang itu dianggapnya sebagai guru-gurunya, disebutnya suhu dan subo dan mereka itu demikian sayang kepadanya. Terutama sekali subonya, kadang-kadang subonya itu mernperlihatkan kasih sayang kepadanya secara mesra. Ia suka digedongnya dan ditimangnya, dan diciuminya! Kini terbayanglah wajah mereka itu. Subonya seorang wanita yang teramat cantik, mukanya agak pucat dan pendiam, namun pandang matanya kepadanya penuh dengan kemesraan dan kasih sayang. Masih ingat ia betapa subonya itu selalu mengenakan sabuk sutera putih, sikapnya lemah-lembut sekali. Adapun suhunya seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, juga pendiam namun ramah dan baik sekali kepadanya, memberi petunjuk dengan tekun dan sabar. Yang tak mungkin dapat dilupakan dari suhunya itu adalah bahwa lengan kiri suhunya itu buntung sebatas siku. Lengan baju kirinya itu sebatas siku kosong. Hanya itulah yang teringat olehnya tentang suhu dan subonya, dan kini ia diingatkan dan ditanya oleh Pek Han Siong tentang kedua orang yang sudah hampir terlupa olehnya itu. "Ya-ya-ya, aku tentu saja masih ingat kepada mereka. Suhu dan Subo yang demikian baik kepadaku! Ah, mereka suka datang secara bergilir di waktu malam, kata mereka itu, mereka tinggal di sebuah kuil Siauw-lim-si dan mereka membimbingku dengan dasar-dasar ilmu silat." Girang sekali rasa hati Han Siong mendengar ini dan dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang. "Nona Cu, tahukah engkau siapa nama mereka itu?" "Suhu dan Subo?" Gadis itu menggeleng kepala. "Tahuku hanya Suhu dan Subo. Mereka tak pernah memperkenalkan nama, juga Ayah dan Ibu yang agaknya amat menghormati mereka, tidak pernah menceritakan siapa nama mereka, hanya menyuruh agar aku patuh dan mentaati mereka sebagai Guru-guruku. Eh, Saudara Pek, apakah engkau kenal dengan Suhu dan Subo itu?" Han Siong mengangguk, sejenak dia termenung memandang ke arah api unggun sedangkan gadis itu mengamati wajahnya penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengalihkan pandang matanya dan dua pasang sinar mata itu saling bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Han Siong berkata dengan sikap tenang. "Aku mengenal mereka dengan baik, Nona, karena mereka itu adalah juga Guru-guruku! Suhu bernama Siangkoan Ci Kang, dan Subo bernama Toan Hui Cu." Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan diam-diam Han Siong memandang kagum. Gadis ini demikian mirip subonya! Akan tetapi jauh lebih cantik karena kalau subonya itu pendiam, gadis ini bermata tajam, sikapnya lincah, manis dan tahi lalat di dagu itu sungguh luar biasa manisnya, juga memiliki pembawaan yang gagah perkasa seperti suhunya! “Aihhh..., kalau begitu engkau……. " "Aku adalah…… saudara seperguruan denganmu, Sumoi." "Engkau Suhengku! Ah, akan tetapi, aku baru mempelajari dasar-dasar gerakan ilmu silat saja dari Suhu dan Subo, dan aku selanjutnya digembleng oleh kedua orang Guruku, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi!" "Mereka itu merampasmu dari Suhu dan Subo.” "Tapi... tapi ilmu silat kita berbeda jauh, dan engkau... begitu lihai. Kalau begitu, Suhu dan Subo itu lihai bukan main, bahkan melebihi kedua orang Guruku yang sudah tewas!" Bi Lian kagum bukan main. Han Siong menggeleng kepalanya. "Belum tentu, Sumoi. Kedua orang Gurumu itu merupakan datuk-datuk persilatan yang sudah amat tinggi ilmunya, walaupun Suhu dan Subo juga merupakan orang-orang sakti. Ilmu silat kita memang berbeda, akan tetapi aku tidak berani mengatakan bahwa aku lebih lihai darimu. Kulihat engkau lihai bukan main, hanya karena engkau dipengaruhi sihir oleh Kulana, maka engkau hampir celaka." "Dan engkau dapat melenyapkan pengaruh sihir! Kalau begitu, selain ilmu silat, Suhu dan Subo juga mengajarkan ilmu sihir kepadamu, Suheng, sehingga engkau mampu melawan Kulana?" Han Siong menggeleng kepala. "Tidak, biarpun Suhu dan Subo lihai, namun bukan rnereka yang mengajarkan i1mu sihir kepadaku. Sumoi, ketahuilah, ketika engkau rnemperkenalkan namamu, aku menjadi demikian gembira sampai merasa takut mengaku kepadamu. Baru sekarang aku mengaku karena sesungguhnya, Suhu dan Subo telah memberi tugas kepadaku untuk mencari engkau sampai dapat kutemukan!" Bi Lian tersenyum memandang. Di bawah sinar api unggun, wajah pemuda ini nampak aneh dan menarik sekali, dan ia merasa betapa jantungnya berdebar. Entah karena senang mendapat kenyataan bahwa pemuda lihai ini suhengnya, atau mengapa ia sendiri tidak dapat mengerti. Yang jelas, diingatkan keadaannya ketika kecil mendatangkan kenangan yang aneh, ada pahitnya dan ada pula manisnya. Dan ia sama sekali tidak mengira bahwa suhu dan subonya yang dulu itu, ternyata masih ingat kepadanya, bahkan mengutus muridnya yang lihai ini untuk mencarinya sampai dapat! "Dan ternyata engkau berhasil Suheng. Kita telah dapat saling bertemu, lalu apa yang akan kaulakukan terhadap aku, atau... apakah yang harus kulakukan sekarang?” Han Siong juga tersenyum. Gadis ini memiiliki pembawaan yang lincah gembira. "Kita saling bertemu, bahkan bersama telah menghadapi pengeroyokan lawan lihai, dan baru saja tadi mengalami hal yang amat aneh dan mengguncangkan batin. Tentu saja aku ingin menyampaikan pesan Suhu dan Subo bahwa... bahwa... engkau diminta untuk berkunjung kepada mereka, Sumoi. Mereka sangat rindu kepadamu dan merasa khawatir ketika mendengar bahwa engkau lenyap dari dalam dusun itu. Akan tetapi, sebelum itu, aku ingin mencari dulu adikku Pek Eng, untuk kuajak keluar dari tempat berbahaya itu." "Engkau benar sekali, Suheng. Aku pun tadinya merasa heran dan juga tidak rela melihat seorang gadis seperti Eng-moi itu berada di antara mereka. Apalagi ia menjadi murid bahkan anak angkat seorang sejahat Lam-hai Giam-lo! Ada dua hal yang mendorong Adikmu menjadi muridnya. Pertama, karena tadinya ia tertawan oleh anak buah Lam-hai Giam-lo dan dengan kecerdikannya, Adikmu itu telah dapat menundukkan hati Giam-lo sehingga kakek iblis itu suka kepadanya dan bahkan mengambilnya sebagai murid dan anak angkat. Dan yang ke dua, Adikmu itu memang ingin mempelajari ilmu silat tinggi setelah ia minggat dari rumahnya karena tidak sudi dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya. Akan tetapi kalau bertemu denganmu, dan tahu bahwa engkaulah kakak kandungnya yang selama ini dicarinya, aku yakin engkau akan dapat membujuknya keluar dari sana. Aku pun hendak kembali ke sana, Suheng. Ada dua hal yang ingin kulakukan di sana." "Apakah dua hal itu kalau aku boleh tahu, Sumoi?" "Pertama, aku harus membalaskan kematian Ayah Ibuku, dan ke dua, akupun tidak akan tinggal diam saja karena kedua orang Guruku sampai tewas di sana. Kulana harus bertanggung jawab karena ulah dia yang melamarku yang menjadi penyebab kematian kedua orang Guruku itu." "Dan siapakah yang telah menewaskan Ayah Ibumu di dusun?" "Ayah Ibuku tewas di tangan... mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi….” "Aih??" Han Siong berseru kaget. "Lalu kepada siapa……" "Begini, Suheng. Pada waktu itu kedua orang Guruku itu dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, dan anak buah mereka. Mereka itu bahkan menghasut orang dusun agar memusuhi Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Kedua orang tua ini mengamuk dan membunuh banyak musuh, termasuk banyak orang dusun. Dengan demikian, biarpun orang tuaku tewas di tangan kedua orang Guruku itu, akan tetapi kedua orang Guruku itu tidak mempunyai permusuhan dengan orang tuaku. Yang bersalah adalah dua pasang suami isteri itulah yang menghasut penduduk untuk ikut mengeroyok dua orang tua itu. Nah, kuanggap bahwa merekalah yang telah menjerumuskan Ayah Ibuku sehingga menjadi korban.” Han Siong mengerutkan alisnya, teringat dia akan semua nasihat suhu dan subonya, juga semua wejangan dari gurunya yang ke dua, yaitu Ban Hok Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Setelah menarik napas panjang, semua nasihat dan petuah yang pernah didengarnya itu pun meluncur lewat mulutnya tanpa dapat ditahan dan bahkan di luar kesadarannya sendiri. "Sumoi, dendam merupakan suatu penyakit yang amat merugikan diri sendiri dan dari dendam timbullah perbuatan-perbuatan kejam dan bahkan jahat. Apalagi dendam terhadap kematian. Semua orang di dunia ini pada saatnya tentu akan mati, Sumoi dan jangan dikira bahwa ada orang lain yang dapat menentukan kematian seseorang, walaupun orang itu bisa saja menjadi sebab daripada kematian orang lain. Kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu pasang suami isteri seperti Lam-hal Siang-mo atau seribu orang seperti mendiang guru-gurumu itu, tak mungkin orang tuamu di dusun dapat tewas! Juga kalau Thian tidak menghendaki, biar ada seribu orang Kulana takkan mungkin dapat menyebabkan kedua orang gurumu saling serang sehingga akhirnya keduanya tewas! Tidak Sumoi, mendendam sungguh merupakan suatu penyakit yang keliru. Kematian berada "Suheng…… !" Bi Lian berseru kaget dan heran karena baru sekarang ia mendengar pendapat seperti itu. Han Siong tersenyum. "Untuk mengambil nyawa orang, Thian mempergunakan banyak macam cara, Sumoi. Ada yang melalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam dan sebagainya. Apakah kita juga harus mendendam kepada penyakit kalau keluarga kita mati karena penyakit? Mendendam kepada api kalau mati karena api, dan mendendam kepada air kalau seandainya mati tenggelam?" "Tapi, Suheng! Apakah kita harus berdiam diri saja melihat orang-orang melakukan kejahatan seperti dua pasang suami isteri iblis itu, melihat seorang seperti Kulana yang mengandalkan pengaruh dan kekayaan hendak memaksakan kehendaknya?" "Wah, i tu lain lagi, Sumoi. Bukan persoalan dendam lagi, melainkan sikap seorang pendekar yang harus selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran. Kalau engkau hendak menentang Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya karena engkau tahu benar bahwa mereka itu adalah sekelompok orang sesat yang hanya hendak mengancam kedamaian hidup orang lain, itulah panggilan jiwa kependekaranmu dan aku akan menemanimu ke sana. Sekarang, kita beristirahat lebih dulu, besok pagi-pagi kita melakukan penyelidikan ke sana. Akan tetapi ingat, bebas dari dendam, Sumoi." Bi Lian tersenyum dan mengang:guk. "Bebas dari dendam, Suheng." Ia masih tersenyum ketika akhirnya dapat tidur pulas sedangkan Pek Han Siong duduk Bersila dekat api unggun, mengumpulka hawa murni dan berjaga karena dia tahu bahwa di tempat itu, dia tidak boleh lengah. *** Kita biarkan dulu Pek Han Siong dan Cu Bi Lian yang sedang beristirahat di tepi anak sungai itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Hay Hay yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Seperti kita ketahui, Hay Hay berjumpa dengan Kok Hui Lian, dan dengan janda muda yang selain cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keharuman, dan teramat lihai ilmu silatnya itu, hampir saja terjadi hubungan badan yang terdorong oleh berahi. Untung bahwa Hay Hay memiliki batin yang amat kuat walaupun dia sudah hampir lupa dan buta oleh gejolaknya nafsu. Mereka berdua dapat menguasai diri kembali, tidak terjadi suaiu pelanggaran walaupun mereka telah bermesraan. Setelah mereka saling berpisah, Hay Hay tidak pernah dapat melupakan wanita itu, seorang wanita yang memenuhi segala keindahan yang dapat dibayangkan pria mengenai diri seorang wanita. Kini dia masih mempunyai sebuah tugas, yaitu mengembalikan pusaka batu giok milik Kwan-taijin, yaitu Jaksa Kwan yang terkenal adil dan dimusuhi kaum sesat itu. Batu giok mustika itu dirampas oleh Min-san Mo-ko dari tangan Jaksa Kwan ketika pembesar ini ditawan, akan tetapi berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, para penjahat dapat diusir dani batu giok mustika dapat dirampas kembali. Bahkan tanpa disengaja, dengan batu giok itu luka-luka beracun mereka berdua dapat disembuhkan. Ketika berpisah, Hui Lian minta kepada Hay Hay untuk mehgembalikan batu giok mustika itu kepada Jaksa Kwan yang tinggal di kota Siang-tan. Setelah berpisah dari Hui Lian, ada memang perasaan kehilangan dan kesepian di dalam hati Hay Hay. Namun, dia menghadapinya dengan senyum, mentertawakan diri sendiri dan perasaan kehilangan dan kesepian itu pun lenyap bagaikan tertiup angin pagi yang sejuk. Dia tahu benar mengapa ada perasaan kehilangan itu menyelinap di dalam hatinya. Itulah tuntutan nafsu badani, ikatan batin yang selalu menghendaki adanya kesenangan. Kalau ada sesuatu yang menye nangkan batin kita, baik yang menyenangkan itu orang lain, atau benda, atau bahkan gagasan saja, maka kita selalu menghendaki agar kesenangan itu tidak terpisah lagi dari diri kita. Pikiran kita selalu haus akan kesenangan, ingin mengulang kembali segala hal yang menyenangkan dan karena itulah, terjadi ikatan di dalam batin terhadap kesenangan-kesenangan itu. Dan sekarang. batin terikat, maka apabila saatnya tiba kesenangan itu harus berpisah dari kita, timbullah rasa kehilangan, kesepian, kecewa dan duka. Hay Hay sering merenungkan kenyataan hidup ini, membuatnya waspada dan dapat melihat kenyataan dan kepalsuan di dalam kehidupan secara gamblang. Badan lahiriah memang harus mempunyai, demi kebutuhan badan sendiri, demi kehidupan badan sebagai anggautamasyarakat, memiliki keluarga, sahabat, benda-benda, ilmu pengetahuan, kepandain dan sebagainya lagi. Namun, batin haruslah bebas tidak memiliki apa-apa. Sekali batin ikut memlliki apa yang dipunyai badan, maka timbullah ikatan batin dan ikatan batin inilah penyebab timbulnya duka dan kesengsaraan batin. Batin harus kosong, bebas dan berdiri sendiri, tidak bersandar atau bergantung, juga tidak disandari atau digantungi. Pengamatan penuh kewaspadaan ini membuat Hay Hay sudah gembira kembali ketika dia melanjutkan perjalanannya, menuju ke kota Siang-tan karena dia ingin lebih dulu berkunjung ke tempat tinggal Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu giok mustika milik pembesar itu. Kota Siang-tan di Propinsi Hunan merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Di sinilah tinggal Kwan-taijin, jaksa yang terkenal jujur dan keras memegang tegaknya hukum dan pembesar ini tidak pernah mau memaafkan perbuatan jahat, menghukum banyak sekali penjahat besar sehingga dia amat dibenci oleh para penjahat. Seperti telah diceritakan di bagian depan kisah ini, ketika Kwan-tajjin bersama keluarganya melewatkan waktu libur di Telaga Tung-ting, hampir saja dia tewas di tangan para tokoh sesat yang mendendam kepadanya. Para penyerang itu adalah datuk-datuk sesat yang amat lihai sehingga Kwan-taijin sampai berhasil ditangkap. Namun, berkat pertolongan Hay Hay dan Kok Hui Lian, pembesar itu dapat diselamatkan dan diantar pulang bersama keluarganya oleh Hay Hay. Batu giok mustika terampas penjahat dan akhirnya Hay Hay dan Hui Lian dapat merampasnya kembali. Kini, setelah Hay Hay berpisah dari Hui Lian, Dia harus kembali lagi ke Siang-tan untuk mengembalikan benda yang amat berharga itu kepada pemiliknya. Kedatangan Hay Hay disambut dengan gembira dan ramah oleh Kwan-taijin. Melalui penjagaan yang ketat, akhirnya dia bertemu dengan pembesar itu di kamar tamu. "Aih, kiranya Tai-hiap yang datang berkunjung!" kata pembesar itu menyongsong kedatangan Hay Hay yang merasa canggung melihat betapa pembesar yang amat terkenal itu menyebutnya Tai-hiap (Pendekar Besar). Dia membalas penghormatan tuan rumah dan Kwan-taijin segera menggandengnya, diajaknya masuk ke sebelah dalam dan barulah nampak oleh Hay Hay bahwa di dalam ruang yang besar itu terdapat seorang lain yang sedang duduk. Dia memperhatikan. Orang laki-laki itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya sedang saja dan melihat cara dia berpakaian, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang pembesar tinggi. Wajahnya halus dan ramah, sepasang matanya membayangkan suatu kecerdikan dan mulut yang selalu tersenyum itu penuh kebijaksanaan. Agaknya, ketika pengawal melaporkan tentang kunjungannya, Jaksa Kwan sedang duduk bercakap-cakap dengan pembesar ini. "Kebetulan sekali, kami baru menerima kunjungan Yang-taijin dan kami bahkan sedang bicara tentang dirimu,Tai-hiap. Mari silakan masuk dan kuperkenalkan kepada Yang-taijin!" Hay Hay melangkah masuk dengan sikap hormat, tahu bahwa tentu orang itu pun seorang bangsawan tinggi walaupun sikapnya ramah dan sederhana. Ada kewibawaan besar terpancar dari pandang mata orang itu. Kwan-taijin membungkuk dengan penuh hormat kepada orang itu dan berkata dengan suara gembira, "Yang-taijin, sungguh seperti dituntun oleh tangan Thian sendiri bahwa saat ini datang pendekar yang baru saja saya ceritakan kepada Paduka. Taihiap, beliau ini adalah seorang menteri yang amat bijaksana, yaitu Menteri Negara Yang Ting Hoo yang berkedudukan di kota raja dan hari ini melimpahkan kehormatan menjadi tamu kami yang terhormat." Bukan main kagetnya rasa hati Hay Hay mendengar disebutnya nama Yang Ting Hoo ini. Dalam perantauannya selama ini, dia mendengar berita bahwa kemakmuran negara di bawah pemerintahan Kaisar Cia Ceng pada saat ini adalah berkat jasa dua orang menteri yang amat bijaksana dan pandai mengurus negara. Yang pertama bernama Menteri Yang Ting Hoo dan yang ke dua adalah Menteri Chang Ku Ceng. Dan kini, tiba-tiba saja dia berhadapan dengan Menteri Yang Ting Hoo ditempat kediaman Jaksa Kwan itu. Pertemuan yang sama sekali tak pernah disangkanya dan cepat dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap menteri itu. "Hamba Hay Hay, karena tidak tahu telah bersikap tidak hormat kepada Paduka, mohon Paduka sudi memberi maaf yang sebesarnya." Menteri Yang Ting Hoo menggerakkan tangannya. "Aih, Taihiap, bangkitlah dan mari duduk di sini. Kita bercakap-cakap seenaknya. Percayalah, hanya karena kebiasaan saja aku suka disembah orang, padahal di dalam hati aku merasa muak dengan semua kehormatan yang berlebihan itu. Karena itu, kalau benar engkau ingin menyenangkan hatiku dan ingin bicara dari hati ke hati, bangkitlah dan duduklah di sini!" Dia menunjuk ke arah sebuah kursi didepannya, terhalang meja Jaksa Kwan tertawa, hal yang tidak biasa pula dilakukan oleh seorang pembesar bawahan kepada pembesar atasan yang pangkatnya demikian tinggi. Hal ini juga menunjukkan betapa akrab hubungan antar keduanya. "Taihiap, jangan heran akan sikap Yang-taijin. Begitulah beliau, lebih mementingkan hubungan antar manusia daripada antar kedudukan. Silakan duduk, Taihiap." Hay Hay merasa kagum bukan main, juga gembira. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang pembesar yang lebih patut dinamakan pemimpin rakyat, karena pembesar itu selalu merasa dirinya lebih besar dari orang biasa, sebaliknya seorang pemimpin akan selalu bersikap sebagai seorang ayah,guru atau pemimpin, tidak merasa dirinya lebih besar. Dia pun mehghaturkan terima kasih, bangkit lalu duduk berhadapan dengan kedua orang pejabat yang duduk berdampingan i tu. Jaksa Kwan memberi isarat dengan tangannya memanggil seorang pelayan yang segera meletakkan sebuah cawan arak di depan Hay Hay dan juga mengambilkan tambahan seguci arak harum. Hidangan sekedarnya juga ditambah, kemudian Kwan-taijin memberi isarat agar semua pelayan dan pengawal meninggalkan ruangan itu hanya berjaga diluar pintu dan tidak ikut mendengarkan percakapan yang akan terjadi di dalam ruangan tamu itu. "Engkau tadi mengaku bernama Hay Hay, Taihiap? Siapakah nama keluargamu?" tanya Menteri Yang Ting Hoo dengan sikap ramah. Hay Hay tersenyum untuk menyembunyikan perasaan tidak enak di hatinya. Tak dapat disangkal lagi, menurut keterangan keluarga Pek, dia bernama keluarga Tang, putera dari seorang she Tang yang terkenal sebagai seorang penjahat keji, seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) she Tang! Di dalam hati kecilnya, dia malu dan tidak suka menggunakan nama keluarga itu, akan tetapi kalau kenyataannya memang dia she Tang, mau bagaimana lagi? "Hamba she Tang, akan tetapi sejak kecil hamba lebih sering disebut Hay Hay dan hamba lebih senang memakai nama itu saja." jawabannya sederhana. Menteri itu tertawa dan mengangguk-angguk. "Taihiap tentu mengetahui bahwa untuk menilai seseorang, bukan tergantung daripada namanya, kedudukannya, kepintarannya maupun kekayaannya, melainkan dari sepak terjangnya di dalam kehidupan setiap harinya. Karena itu, mengapa risau tentang nama? Keluarga yang namanya Tang di dunia ini banyak, yang baik banyak yang jahat pun banyak, tergantung dari pribadi masing-masing." Hay Hay terkejut dan barulah dia tahu mengapa orang ini terkenal sebagai seorang yang bijaksana. Pandangannya yang sederhana itu saja seolah-olah sudah berhasil membuka kedoknya! Dia memang merasa malu mempergunakan she Tang karena ayah kandungnya, orang she Tang itu adalah seorang penjahat. Bagaimana andaikata ayahnya itu seorang yang baik? Tentu dia akan bangga menyandang nama keluarga itu! Betapa palsunya sikap ini! "Terima kasih atas peringatan Paduka. Hamba memang bernama Tang Hay," katanya kemudian dan sekali ini menyebut nama keluarga Tang terdengar ringan saja di lidahnya, seolah tidak ada apa-apanya. Kini Kwan-taijin mempersilakan Hay Hay minum arak. Mereka bertiga minum arak dan makan hidangan dengan sikap terbuka. Hay Hay merasagembira dan juga aneh. Dia duduk berhadapan dengan dua orang pembesar, bahkan yang seorang adalah seorang menteri negara, namun dia sama sekali tidak merasa rikuh atau rendah diri. Hal ini saja membuktikan betapa kedua orang itu memang merupakan orang-orang yang bijaksana dan dia merasa seperti duduk semeja dengan dua orang sahabat saja! "Nah, sekarang ceritakan keadaanmu, Tang-taihiap. Bagaimana keadaanmu semenjak kita saling berpisah, setelah engkau menyelamatkan kami di Telaga Tung-ting, dan apakah kedatanganmu ini hanya untuk berkunjung, ataukah ada keperluan lain?" Mendengar pertanyaan Jaksa Kwan itu, Hay Hay lalu mengeluarkan batu kemala mustika dari saku bajunya. Dia membuka bungkusan saputangan, mengambil batu giok itu dan menyerahkannya kepada Jaksa Kwan sambil berkata, "Saya datang untuk nnenyerahkan batu giok mustika ini kembali kepada Paduka, Kwan-taijin." Sepasang mata pembesar itu bersinar dan wajahnya berseri gembira. “Ah! Jadi engkau bahkan berhasil merampas kembali mustika ini?" Dia menerima batu giok itu dan menyerahkannya kepada Yang-taijin. "Lihat, Taijin, pendekar perkasa ini bahkan telah berhasil merampas kembali mustika ini!" Menteri Yang menerima batu giok itu dan memandang kagum kepada Hay Hay. ! "Apakah seorang diri saja engkau merampas kembali mustika ini, ataukah dengan pendekar lainnya yang juga lihai itu, eh, siapa lagi namanya? Sayang sekali aku tidak sempat berkenalan dengannya." "Ia she Kok……." kata Hay Hay dan dia teringat, lalu menahan kata-katanya karena bukankah pada waktu itu Hui Lian menyamar sebagai seorang pria? "She Kok? Ah, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang baik sekali belasan tahun yang lalu, yaitu Gubernur Kok dari San-hai-koan. Kasihan sekali, keluarganya terbasmi oleh gerombolan pemberontak…… " Mendengar ucapan Meilteri Yang itu, diam-diam Hay Hay terkejut sekali sehingga dia mengeluarkan seruan tertahan. "Ah, ada apakah, Tang-taihiap? Benarkah masih ada hubungan antara sahabatmu itu dengan mendiang Gubernur Kok di San-hai-koan?" tanya menteri itu dan Jaksa Kwan juga memandang kepadanya. Hay Hay mengangguk-angguk. "Mungkin sekali…… ah, ia memang memiliki banyak keanehan yang dirahasiakan. Mungkin. sekali ia puteri gubernur yang Paduka maksudkan itu " "Puteri?" Jaksa Kwan berteriak kaget. "Kaumaksudkan ia... ia seorang wanita?" Hay Hay mengangguk. Menghadapi dua orang pembesar yang amat bijaksana dan pandai ini, tidak perlu lagi dia berbohong. "Memang benar, ia adalah seorang gadis bernama Kok Hui Lian, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang teramat tinggi." "Aduh sayang sekali! Kenapa ia tidak ikut bersamamu berkunjung ke sini, Tai-hiap? Pada saat ini kami membutuhkan orang-orang pandai seperti engkau dan gadis pendekar itu. Makin banyak semakin baik." kata Kwan-taijin. "Akan tetapi, ada apakah, Taijin? Ada urusan penting apakah maka Taijin membutuhkan bantuan para pendekar?" Hay Hay bertanya, khawatir kalau-kalau para tokoh sesat kembali mengganggu pembesar yang mereka musuhi ini. Kwan-taijin menoleh kepada Menteri Yang, lalu berkata kepada Hay Hay. "Sekali ini urusannya lebih gawat dan besar lagi, Tang-taihiap. Sebaiknya kalau engkau mendengar sendiri dari Paduka Menteri Yang, karena beliau inilah yang menangani masalah yang amat penting dan penuh rahasia, Taihiap. Oya, nanti dulu." kata pula jaksa itu sambil menyerahkan batu kemala mustika itu kepada Hay Hay sambil berkata. "Batu giok ini kuberikan kepadamu, Taihiap. Engkau seorang pendekar yang banyak merantau dan banyak bertemu dengan para penjahat, maka kiranya mustika seperti ini amat penting bagimu. Aku berada di kota dan dikelilingi banyak tabib, maka mustika seperti ini tidak begitu penting pagiku. Nah, terimalah, aku berikan kepadamu dengan setulus hatiku." Tentu saja Hay Hay terkejut dan juga girang. Mustika itu memang amat berguna, dapat menghadapi penyerangan senjata beracun yang banyak dipergunakan orang-orang golongan hitam. Dia pun tidak pura-pura lagi dan menerima benda itu, dibungkusnya dengan saputangan dan disimpannya di dalam saku bajunya. "Terima kasih atas budi kebaikan Taijin." katanya singkat, kemudian dia memandang kepada Menteri Yang, siap untuk mendengar tentang masalah yang dihadapi para pejabat tinggi itu. "Begini, Tang-taihiap, sebetulnya kami menghadapi usaha pemberontakan yang berbahaya sekali dan kami ingin mengajakmu berbincang-bincang tentang hal ini, bahkan mengharapkan bantuan para pendekar seperti Taihiap." Menteri itu mulai. Hay Hay mengerutkan alisnya. Pemberontakan? Bukankah itu merupakan urusan pemerintah, persoalan negara dan sudah banyak pejabat yang berkewajiban untuk menanganinya?" Melihat pandang mata ragu dari pendekar itu, Menteri Yang tersenyum maklum. "Taihiap, kalau pemberontakan itu merupakan pemberontakan dari pasukan, maka kami pun tidak ingin membicarakannya dengan para pendekar yang hanya merupakan sebagian daripada rakyat jelata. Kami tinggal mengerahkan pasukan besar untuk menumpas dan membasmi, seperti yang sudah sering kami lakukan. Akan tetapi, kami menghadapi pemberontakan berselubung, Taihiap." "Pemberontakan berselubung?" Hay Hay bertanya, tidak mengerti. "Golongan yang menjadi lawan dari golonganmu, yaitu kaum sesat, kini memperlihatkan gejala untuk memperkuat diri, mereka ingin bangkit kembali seperti ketika dunia hitam dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang terkenal itu. Untuk menghadapi para datuk sesat, kami tidak banyak berdaya, Taihiap, dan tentu para pendekar lebih mampu menghadapi mereka. Akan tetapi, pembangkitan para tokoh sesat ini, menurut bukti-bukti yang didapatkan para penyelidik kami, ada hubungannya dengan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Inilah yang berbahaya, Taihiap. Oleh karena itu, tadi telah kami bicarakan dengan Kwan taijin agar kami menghimpun dan minta bantuan para pendekar,demi keselamatan negara dan keamanan kehidupan rakyat. Engkau tentu tahu sendiri betapa menderitanya rakyat kalau sampai terjadi pemberontakan dan perang apalagi kalau di antara para pemberontak itu terdapat golongan sesat yang tentu akan selalu memancing di air keruh." Hay Hay mengangguk-angguk. Kalau demikian halnya, tentu saja dia siap untuk menentang kaum sesat yang hendak bersekutu dengan para pemberontak itu. “Siapakah datuk sesat yang memimpin gerakan gelap itu, Taijin?” tanyanya. “Menurut penyelidikan, pemimpinnya ada beberapa orang di antaranya yang terpenting adalah seorang yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dia bermarkas di Lembah Yang-ce, sekitar Pegunungan Yunan. Kabarnya dia mempunyai banyak sekali teman dari dunia hitam yang merupakan tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, dan lebih berbahaya lagi, kabarnya dia pun bersekutu dengan tokoh Birma. Juga kabarnya gerombolan sesat Kui-kok-pang dari Lembah Iblis di Pegunungan Hong-san, dan entah siapa lagi namanya aku tidak tahu. Hebatnya, mereka itu berhasil menarik Pek-lian-kauw sebagai sekutu dan kini tengah membangun pasukan yang kuat." Mendengar ini, Hay Hay mengangguk-angguk dan dia melihat betapa berbahaya gerakan seperti itu. "Dan banyak di antara sekutu mereka yang sudah kaukenal, Taihiap." kini Jaksa Kwan berkata. "Mereka yang pernah mencoba untuk menculik aku di Telaga Tung-ting….” "Ah, mereka pun terlibat?" Hay Hay berseru, teringat ada dua pasang suami isteri iblis yang lihai, juga Min-san Mo-ko dan muridnya, Ji Sun Bi, juga pemuda tampan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. "Kalau begitu, lebih berbahaya lagi. Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan curang! Lalu apakah yang dapat saya lakukan untuk membantu Paduka?” "Taihiap amat kami harapkan bantuannya untuk melakukan penyelidikan ke sarang mereka, seperti telah kami minta pula kepada beberapa orang pendekar yang mau membantu kami. Dan untuk semua biayanya, kami siap untuk menyediakan bagi Taihiap. Pendeknya, kami menawarkan kerja sama dengan Taihiap. Bagian kami tentu saja mempersiapkan pasukan untuk melawan pasukan pemberontak, dan bagi para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat itu. Bagaimana pendapatmu, Tang-taihiap?" "Taijin, sudah menjadi tugas seorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan untuk selalu menghadapi dan menentang kejahatan, melawan yang jahat dan melindungi yang lemah dari penindasan. Oleh karena itu, tanpa diminta sekalipun, saya akan suka pergi menyelidiki mereka itu. Dan saya pun tidak mengharapkan upah. Saya akan mengusahakan sekuat kemampuan saya, Taijin. Sekali lagi terima kasih atas pemberian batu giok oleh Kwan-taijin, dan atas kepercayaan dan penyambutan yang amat terhormat ini. Sekarang saya mohon diri untuk segera memulai dengan tugas saya." "Nanti dulu, Tang-taihiap." tiba-tiba Menteri Yang Ting Hoo berkata dan dia mengeluarkan sebuah bernda bundar dari perak yang diberi tanda nama dan pangkat dari menteri itu. “Ini sebuah Tek-pai dari perak, merupakan tanda kuasa. Kalau engkau berada dalam kesulitan karena tidak dipercaya oleh petugas pemerintah, maka semua pembesar sipil atau militer akan mengenalnya dan engkau akan dianggap sebagai utusan pribadiku yang mempunyai tanda kuasa. Terimalah ini." Hay Hay menerima benda itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Masih ada satu hal lagi, Taihiap. Di antara beberapa orang gagah yang telah menyanggupi membantu kami, ada satu orang yang keadaannya sungguh masih meragukan sekali. Dia seorang pendekar yang berwatak aneh, Taihiap, dan kami ingin agar engkau lebih dahulu berkenalan dan menyelidikinya. Kalau sampai engkau dapat mengajaknya pergi bersama melakukan penyelidikan ke sarang Lam-hai Giam-lo, sungguh baik sekali karena dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, karena dia orang kota Siang-tan ini, agaknya Kwan-tajin akan lebih banyak mengetahui dan dapat memberi penjelasan kepadamu." Kwan-taijin tersenyum. "Memang apa yang dikatakan Yang-taijin itu benar sekali, Tang-taihiap. Di kota ini tinggal seorang pemuda yang aneh dan menurut berita, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya wataknya amat aneh dan sukar sekali didekati. Bahkan dia tidak mau sama sekali mencampuri urusan pemerintah, ketika diberitahu tentang usaha pemberontakan kaum sesat, dia pun acuh saja. Pernah kami mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya, membiarkan seorang gadis cantik diganggu orang-orang jahat dan dia memang keluar menolong gadis itu. Agaknya sekarang dia bahkan bersahabat dengan gadis itu, akan tetapi selanjutnya, tetap saja dia acuh dan tidak mempedulikan permintaan yang pernah kami ajukan agar dia membantu kami menghadapi para datuk sesat. Bagaimana kalau engkau berkenalan dengan dia, Taihiap? Siapa tahu, pandanganmu dan perkenalannya denganmu akan mampu mengubah sikapnya itu." Hay Hay tertarik sekali. "Siapakah dia, Taijin?” "Dia sebenarnya keturunan bangsawan tinggi, masih putera pangeran. Kini tinggal menyendiri di istana tua warisan orang tuanya. Namanya Can Sun Hok, mungkin dua tiga tahun lebih tua darimu." Jaksa Kwan lalu memberitahu di mana tinggalnya pendekar bernama Can Sun Hok itu. Hay Hay lalu berpamit dan dia berjanji akan menghubungi pendekar itu sebelum berangkat dengan penyelidikannya ke Lembah Yang-ce, di mana Lam-hai Giam-lo bersarang dan menghimpun kekuatan untuk memberontak. *** Yang disinggung dalam percakapan antara Hay Hay dan kedua orang pejabat tinggi itu bukan lain adalah Can Sun Hok, pendekar muda yang pernah kita kenal ketika terjadi keributan di telaga Tung-ting. Dialah pemuda yang suka berperahu seorang diri, memainkan suling dan yang-kim. Kemudian dia bertemu dengan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan puterinya, Cia Kui Hong, bahkan kemudian ibu dan anakini bentrok dengan Nenek Wa Wa Lobo yang menjadi pengasuh dan guru Can Sun Hok sampai Nenek Wa Wa Lobo meninggal dunia. Dua puluh tahun lebih yang lalu, nama Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Harum) amat terkenal di dunia sesat karena ia adalah murid tunggal dari Raja dan Ratu Iblis! Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan wataknya juga amat kejam dan jahat walaupun wajahnya cantik jelita dan menarik. Wanita itu adalah seorang ahli silat dan ahli mempergunakan segala macam racun. Akan tetapi wataknya cabul dan sudah banyak sekali pria yang terjatuh ke dalam tangannya, dibunuhnya setelah ia puas mempermainkannya. Di dalam petualangannya itulah, Gui Siang Hwa bertemu dengan Can Koan Ti, seorang pangeran. Can Koan Ti ini putera seorang pangeran istana bernama Pangeran Can Seng Ong yang menjadi gubernur di Ning-po. Terjadilah hubungan antara pangeran yang kaya raya dan tinggi kedudukannya ini dengan Gui Siang Hwa. Dan terlahirlah Can Sun Hok. Akan tetapi wanita seperti Gui Siang Hwa bukankah wanita yang suka terikat menjadi seorang ibu rumah tangga. Ia seorang petualang dan akhirnya ia pun berpisah dari Pangeran Can Koan Ti. Ketika Can Sun Hok masih belum dewasa, ayahnya, Pangeran Can Koan Ti meninggal dunia karena sakit. Ibunya, Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa tidak suka repot-repot mengurus puteranya, bahkan ia pun melanjutkan petualangannya sampai akhirnya ia tewas.dalam pertempuran ketika ia membantu gerakan para pemberontak. Kematian Siang Hwa adalah ketika ia bertanding melawan Ceng Sui Cin, roboh terluka dan tubuhnya hancur oleh pengeroyokan para perajurit. Puteranya, Can Sun Hok, sudah dititipkannya kepada seorang pelayan, yaitu bekas pelayan Raja dan Ratu Iblis, guru-guru Gui Siang Hwa. Nenek ini, Wa Wa Lobo, tidak ikut dalam gerakan pemberontakan para majikannya, melainkan pergi menyelamatkan Can Sun Hok yang dirawatnya seperti cucu sendiri dan digemblengnya dengan ilmu-ilmu yang pernah diperolehnya dari Raja dan Ratu Iblis. Nenek Wa wa Lobo ini lihai bukan main, juga ahli dalam hal racun, walaupun kelihaiannya tidak sampai setingkat dengan kelihaian mendiang Gui Siang Hwa yang langsung menjadi murid terkasih Raja dan Ratu Iblis. Dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Nenek Wa Wa Lobo ini dapat berhadapan muka dengan Ceng Sui Cin, yang dianggap musuh besar dan pembunuh Gui Siang Hwa. Setelah Wa Wa Lobo tewas karena kalah oleh Ceng Sui Cin kemudian membunuh diri. Can Sun Hok menangisi mayat nenek itu yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibu, nenek dan juga pengasuh dan gurunya. Akan tetapi, agaknya darah yang jahat dari Gui Siang Hwa tidak mengalir ke dalam tubuh Can Sun Hok. Dia menjadi dewasa dengan watak yang gagah, walaupun kadang-kadang dia dapat bersikap keras dan dingin. Namun, sikap ini sama sekali bukan mencerminkan watak yang kejam dan jahat. Dia tidak suka mengganggu siapapun juga asalkan dia tidak diganggu. Dia tidak pernah pula memamerkan kepandaiannya, bahkan suka menyembunyikan kenyataan bahwa dia pandai ilmu silat. Karena ketika dilarikan oleh Wa Wa Lobo, nenek itu, membawa pula bekal harta benda yang amat banyak berupa emas permata dari ayahnya, maka kini Can Sun Hok menjadi seorang pemuda yang kaya raya dan tinggal di gedung besar di Siang-tan yang pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Setelah nenek Wa Wa Lobo meninggal, dia tinggal sendirian saja di dalam rumah itu, dengan hanya beberapa orang pelayan. Dia lebih suka merantau, membawa suling dan yang-kim, dua alat musik yang amat disukanya. Memang dia berbakat sekali dengan pemainan musik ini. Can Sun Hok kini telah menjadi seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun. Sudah tiga tahun nenek Wa Wa Lobo tewas membunuh diri ketika kalah bertanding melawan pendekar wanita Ceng Sui Cin dan selama tiga tahun ini, Can Sun Hok juga memperdalam ilmunya dengan tekun berlatih. Ada dua buah kitab peninggalan Raja dan Ratu Iblis yang disimpan neneknya, dan akhirnya, dengan bantuan seorang kakek ahli sastra kuno, dia pun dapat mengerti arti dari pelajaran itu dan dia berlatih diri dengan tekun. Maka, dia pun kini memperoleh kemajuan yang amat pesat Biarpun dia kaya raya, namun hidupnya sederhana, wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan sepasang matanya mencorong, wajahnya cerah akan tetapi ada bayangan dingin dan keras pada mata dan dagunya. Beberapa bulan yang lalu, Jaksa Kwan yang dulu pernah mengenal ayahnya, datang berkunjung. Jaksa ini bukan orang asing bagi can Sun Hok, walaupun dia jarang mengadakan hubungan. Tentu saja kunjungan itu mengejutkan hati Sun Hok, apalagi ketika jaksa jtu dengan terus terang mengharapkan bantuannya untuk ikut bersama para pendekar melakukan penyelidikan tentang gerakan para tokoh sesat yang kabarnya menghimpun tenaga untuk memperkuat diri dan membangun pasukan dengan maksud memberontak terhadap pemerintah. "Kami tahu bahwa Can Kongcu (Tuan Muda Can) adalah seorang pemuda gagah perkasa yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mengingat bahwa mendiang Ayahmu adalah seorang pangeran, bahkan mendiang Kakekmu pernah menjadi seorang gubernur di Ning-po, maka kami mengharapkan bantuan Kongcu untuk berbakti kepada nusa dan bangsa." Mendengar uluran tangan ini, Can Sun Hok mengerutkan alisnya. Selama ini dia tidak pernah mencampuri urusan orang lain, apalagi urusan pemerintah. Tentu saja penduduk Siang-tan, termasuk jaksanya ini, tahu bahwa dia pandai ilmu silat karena sudah sering kali dia menghajar orang-orang jahat yang hendak menjagoi di kota itu dan malang melintang dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang. Bahkan pernah dia seorang diri menghajar kocar-kacir dan membasmi sebuah perkumpulan orang jahat yang dipimpin oleh seorang perampok yang amat lihai. Akan tetapi, dia tidak pernah minta. Diakui sebagai jagoan atau pendekar, bahkan tidak ingin bicara dengan orang lain tentang apa yang telah dilakukannya. Dan kini, karena sudah mendengar akan kepandaiannya itu Jaksa Kwan ini agaknya datang membujuknya untuk membantu pemerintah dalam menghadapi para tokoh sesat yang hendak memberontak! "Kwan-taijin." katanya dengan sikap hormat karena dia pun sudah mengenal siapa ini Kwan-taijin, seorang jaksa yang amat adil dan bijaksana, dicinta rakyat jelata karena dia berani menentang para penjahat dan melindungi keamanan rakyat dalam kedudukannya sebagai jaksa. “Tidak saya sangkal bahwa saya pernah belajar ilmu silat. Akan tetapi apakah artinya tenaga seorang seperti saya kalau menghadapi para tokoh sesat yang bersekutu dan bergabung hendak melakukan pemberontakan? Kirim saja pasukan besar di bawah pimpinan panglima yang pandai dan persekutuan itu dapat ditumpas habis." Kwan-taijin tersenyum. "Apa yang kauucapkan itu memang tepat, Can Kongcu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa pasukan pemerintah hanya dilatih untuk berjuang dalam pertempuran melawan pasukan lain. Kalau sudah terjadi pemberontakan bersenjata, tentu pasukan pemerintah yang akan menanggulanginya. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Para datuk kaum sesat, yang kabarnya dikepalai oleh seorang manusia iblis berjuluk Lam-hai Giam-lo, mengadakan persekutuan, mengumpulkan para datuk persilatan yang sesat untuk membangun kekuatan. Mereka bersarang di Lembah Yang-ce di Pegunungan Yunan. Dan ini berbahaya sekali. Kami tahu bahwa hanya para pendekar saja yang akan mampu menentang orang-orang seperti itu, maka saya sengaja datang mengharapkan bantuan Kongcu." Can Sun Hok tersenyum, sebentar saja, senyum sinis. "Mungkin para pendekar, akan tetapi saya bukan pendekar,Taijin." "Ah, tidak perlu merendahkan diri, Kongcu. Siapa pun di siang-tan ini tahu belaka siapa adanya Kongcu. Kongcu memiliki ilmu silat yang amat lihai, juga sudah terlalu sering mengulurkan tangan membela kebenaran dan menentang para penjahat yang keji dan berbahaya. Sekali ini, terdapat pekerjaan yang lebih penting dan mulia, saya harap Kongcu dapat mempertimbangkan permintaan kami ini, atas nama pemerintah dan atas nama rakyat.” Jaksa Kwan akhirnya pulang setelah meninggalkan pesan dan permintaannya dan pemuda ini menjawab hendak berpikir-pikir tentang hal itu. "Harap Taijin suka bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk mengambil keputusan. Percayalah, Taijin, pada dasarnya saya suka sekali membantu karena memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, akan tetapi saya belum pernah bekerja secara berkelompok, dan bekerja sama dengan para pendekar itu sungguh membuat saya berkecil hati dan malu." Jaksa Kwan adalah seorang yang amat cerdik. Beberapa hari kemudian, dia menguji sikap dan watak Can Sun Hok, ingin melihat apakah benar pemuda itu berjiwa pendekar seperti yang diduganya. Didatangkannya seorang gadis cantik manis dari kota raja. Gadis ini sebenarnya adalah seorang dayang keluarga pangeran. Karena cantiknya, dia digauli oleh majikannya. Akan tetapi hal ini tidak disetujui isteri pangeran yang merasa cemburu karena gadis itu terlalu cantik sehingga terpaksa gadis itu dijual keluar. Karena kepandaiannya bermain musik, menari dan menyanyi, gadis itu lalu terkenal sebagai seorang gadis penari dan penyanyi yang amat disuka oleh para pembesar. Di dalam pergaulan dan pekerjaan seperti itu, tak dapat dihindarkan lagi bahwa gadis itu kadang-kadang tak dapat menahan diri lagi menjual diri dengan bayaran yang luar biasa tingginya, dari para pembesar yang mata keranjang dan yang uangnya sudah berlebihan. Dengan bantuan para rekannya yang berada di kota raja, Jaksa Kwan dapat menugaskan gadis ini untuk niatnya “memancing keluar harimau dari sarangnya" yaitu menguji sikap dan watak Can Sun Hok sebagai seorang pendekar. Demikianlah, beberapa pekan semenjak Jaksa Kwan datang berkunjung, pada suatu senja yang cerah, Sun Hok pergi seorang diri ke tepi Sungai Yang-ce yang sunyi. Dia duduk di atas batu besar di tepi sungai itu, sunyi sepi tempat itu karena jauh dari dusun. Dia membawa sebatang tangkai pancing karena sore itu dia merasa iseng ingin menangkap ikan dengan pancingnya. Pada waktu itu sedang musim ikan lee moncong putih yang banyak terdapat di dalam air di sekitar tempat itu dan daging ikan ini lezat bukan main. Dia duduk memegangi tangkai pancingnya, seperti telah berubah menjadi arca, bersatu dengan batu yang didudukinya dan seluruh perhatiannya berpusat pada tali yang ujungnya dipasangi pancing dan umpannya. Tali itu terbawa air dan agak bergoyang-goyang, akan tetapi bukan bergoyang karena disambar ikan. Kalau saatnya tiba, kalau umpannya itu disambar ikan, akan terasa oleh tangannya. Penantian sambaran ikan yang tidak nampak inilah yang mengasyikkan bagi seorang pengail, di situ terdapat suatu kejutan yang menggembirakan, disusul perjuangan untuk berhasil menaikkan ikan yang sudah berani menyambar umpan di pancingnya. Akan tetapi Sun Hok bukanlah seorang ahli pengail ikan yang pandai. Kalau dia ahli tentu bukan di waktu senja itu dia mengail, melainkan malam nanti atau besok pagi-pagi. Pada waktu senja seperti itu, di waktu sinar matahari senja yang merah menimpa permukaan air menyilaukan mata, agaknya ikan-ikan bersembunyi di sarang masing-masing, atau masih merasa malas untuk mencari makan. Sudah sejam lebih dia duduk, namun tak seekor pun ikan mencium umpan di pancingnya. Sun Hok menancapkan gagang tangkai pancingnya di atas tanah, lalu dia mencabut suling yang selalu berada di ikat pinggangnya. Sekali ini, dia tidak membawa alat musik yang-kim karena terlalu berabe, apalagi memang kepergiannya adalah untuk mengail ikan. Untuk menghilangkan kekesalan hatinya karena sejak tadi tak pernah berhasil, dia pun kini menempelkan lubang suling pada mulutnya dan tak lama kemudian, terdengarlah bunyi lagu merdu keluar dari sulingnya. Suara yang merdu itu mengalun naik turun, lirih saja karena dia tidak mau mengejutkan ikan-ikan, bahkan seolah-olah hendak mengundang ikan-ikan agar datang dan makan umpan di pancingnya dengan lagu yang ditiup dengan sulingnya. "Tolooonggg…….!" Tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Seketika Sun Hok menghentikan tiupan sulingnya, lalu memandang ke depan. Sebuah perahu meluncur lewat di tengah, dan ada seorang wanita muda dipegangi kedua tangannya oleh beberapa orang laki-laki secara kasar. Ada lima orang laki-laki di perahu itu. Tiba-tiba tali pancingnya bergerak. Sun Hok menyambar tangkai pancingnya, menarik dengan kejutan dan seekor ikan lee moncong putih sebesar lengannya tergantung di ujung tali pancingnya! Kalau saja tidak ada perahu di mana dia melihat seorang gadis agaknya ditawan oleh lima orang laki-laki itu, tentu saja Sun Hok akan merasa gembira sekali dengan hasil tangkapannya. Akan tetapi kini ada gangguan dan dia pun melepaskan pancing dan ikan itu menggelepar di atas tanah, kemudian dia berjalan mengikuti arah perahu sambil memperhatikan keadaan perahu itu. Ketika dia melihat sebuah perahu nelayan kecil, ditumpangi seorang nelayan tua, dia cepat memanggilnya. "Paman Tua tukang perahu, boleh aku menyewa perahumu sebentar? Akan kuberi engkau uang ini!" katanya sambil mengacungkan. sepotong perak yang beratnya satu tail. Tentu sajanelayan tua itu girang sekali. Uang sekian itu amat besat untuk menyewa perahunya, apalagi hanya sebentar. Dia pun sedang mengail ikan dan sejak tadi pun hasilnya baru beberapa ekor ikan yang kecil saja. Dia cepat meminggirkan perahunya. "Ah, kiranya Can Kongcu!" kata tukang perahu girang ketika mengenal pemuda yang kaya raya ini. "Baiklah, kalau Kongcu hendak memakai perahu saya, marilah!" Sun Hok menyuruh pemilik perahu turun dan dia pun cepat meloncat ke atas perahu kecil itu, dan mendayung perahu dengan amat cepatnya meluncur dan mengejar perahu besar yang ditumpangi lima orang pria itu. Perahu itu sudah meluncur agak jauh, akan tetapi masih nampak dan jeritan itu tidak terdengar lagi, agaknya lima orang itu tentu membungkam mulut gadis tadi. Dengan tenaganya yang luar biasa, tidak lumrah orang biasa, Sun Hok mendayung perahunya, yang lebih kecil. Perahu meluncur cepat sekali sehingga tak lama kemudian dia pun sudah berhasil menyusul perahu di depan itu. Kini nampaklah olehnya bahwa gadis itu memang telah diikat kaki tangannya dan diikat saputangan pada mulutnya sehingga tidak mampu berkutik atau berteriak. Sedangkan lima orang itu agaknya sedang bersukaria sambil minum arak. Mereka nampak kaget ketika tiba-tiba ada perahu kecil menempel di perahu mereka dan seorang di antara mereka membentak kepada pemilik perahu kecil yang mereka kira seorang nelayan itu. "Heiii! Apa engkau sudah bosan hidup berani menempel perahu kami?" Empat orang kawannya juga marah dan mereka berlima menghunus golok dan dengan sikap mengancam mereka hendak menyerang Sun Hok. Akan tetapi, pemuda itu tidak menjadi takut, bahkan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke atas kepala perahu, bertolak pinggang dan menghardik mereka dengan suara nyaring. "Hemm, kalian ini lima orang laki-laki menangkap seorang gadis, ada urusan apakah? Apa kesalahannya dan apa yang hendak kaulakukan dengannya?" "Hei, orang muda, jangan mencampuri urusan kami! Kami adalah orang-orang yang diutus oleh Bengcu. Pergilah engkau sebelum kami turun tangan membunuhmu di sini juga!" Sun Hok tertarik. "Bengcu? Siapakah Bengcu kalian itu?" Seorang di antara mereka yang bertubuh gendut membelalakkan matanya dan memaki. "Engkau tikus kecil mana mengenal Bengcu kami? Bengcu adalah Lam-hai Giam-lo…." "Sudah, hajar saja dia!" teriak seorang temannya dan lima orang itu kini menerjang dengan golok mereka. Melihat ge rakan mereka itu, Sun Hok dapat melihat bahwa mereka bukanlah orang sembarangan dan memiliki ilmu golok yang cukup tangguh, maka dia pun cepat mengeluarkan sulingnya. Tubuhnya bergerak cepat sekali, didahului sulingnya dan terdengarlah suara nyaring berkali-kali disusul tamparan tangan kiri atau tendangan yang membuat lima orang itu satu demi satu terjungkal ke dalam air! Tanpa banyak cakap lagi, Sun Hok menyambar tubuh gadis itu, dibawanya meloncat ke dalam perahu sewaannya dan ia pun mendayung perahu itu meninggalkan lima orang yang masih gelagapan di air dan mencoba untuk berenang ke perahu mereka kembali. Dengan sebelah tangannya, Sun Hok membikin putus tali yang mengikat kaki dan tangan gadis itu, juga sekali renggut, saputangan yang menutupi mulut dan sebagian muka gadis itu terlepas. Senja masih cukup cerah sehingga dia dapat melihait wajah itu dengan jelas. Dan Sun Hok terpesona. Tak disangkanya bahwa gadis yang ditolongnya dari tangan lima orang penjahat itu ternyata adalah seorang yang luar biasa cantik manisnya! Sepasang mata yang lebar dan jeli itu memandang kepadanya, agak basah air mata, dan gadis itu pun segera berlutut di dalam perahu menghadap Sun Hok. "Sungguh saya telah berhutang budi yang teramat besar kepada Kongcu. Kalau tidak ada Kongcu yang menolongku, entah apa yang akan terjadi dengan diriku, tentu lebih hebat daripada kematian. Aku tak mungkin dapat membalas budi kebaikan itu, maka biarlah setiap malam aku akan bersembahyang kepada Thian agar Kongcu diberi berkah selama hidupnya dan biarlah kelak dalam penjelmaan mendatang saya akan menjadi kuda atau anjing peliharaan Kongcu untuk membalas budi ini." Ucapan itu dilakukan dengan kata-kata yang merdu dan halus, menggetar bercampur tangis tertahan. Sun Hok mengerutkan alisnya. memandang penuh perhatian, lalu berkata dengan halus. "Nona, tidak perlu bicara seperti itu. Yang penting, ceritakan siapa engkau, di mana rumahmu dan bagaimana engkau tadi terjatuh ke dalam tangan lima orang penjahat itu." Gadis itu kini menangis dan menutupi muka dengan kedua tangannya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sun Hok merasa iba sekali, akan tetapi dia membiarkan gadis itu menangis. Perahu mereka telah tiba kembali di tempat di mana nelayan tua tadi menunggu. "Kita turun di sini, Nona dan nanti kuantar engkau pulang. Perahu ini harus dikembalikan kepada pemiliknya." Tukang perahu itu merasa heran melihat penyewa perahunya kembali dengan seorang gadis cantik, akan tetapi dia mengenal Can Sun Hok sebagai seorang pemuda kaya raya yang mendiami istana tua dan yang seringkali mengail di sungai, maka dia pun tidak banyak bertanya melainkan menerima setail perak dengan girang. Dia menghaturkan terima kasih, lalu meluncurlah perahunya meninggalkan sepasang orang muda itu berada di pantai. Sun Hok mengajak gadis itu mengambil pancing dan ikan yang tadi ditangkapnya. Ikan itu sudah mati, akan tetapi masih segar. "Aih, engkau mendapatkan ikan lee moncong putih yang besar dan segar Kongcu!" Gadis itu berseru dan agaknya sudah lupa akan kesedihannya. Melihat ini, Sun Hok menahan senyumnya. Gadis ini agaknya bukan seorang pemurung dan dia pun ikut bersenang hati. "Bagaimana kalau kupanggang ikan ini untukmu, Kongcu? Aku pandai memanggang ikan, akan tetapi sayang, tidak ada garam dan bumbu….." "Aku selalu membawanya." kata Sun Hok dan dia pun mengeluarkan bungkusan garam, bawang dan bumbu yang lain. "Aih, bagus sekali, Pernahkah engkau makan ikan panggang yang terbungkus tanah liat?" Gadis itu bertanya. Sun Hok menggeleng kepalanya dan gadis itu cepat menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang halus dan putih mulus. "Kongcu, apakah engkau mempunyai pisau? Aku memerlukannya untuk membersihkan ikan ini, membuang isi perutnya….” Sun Hok tersenyum dan menggeleng kepala. "Mana kubantu engkau." katanya dan dia pun mengambil ikan itu, dengan sepotong batu kecil yang runcing tajam dia membuka perut ikan itu, lalu menyerahkannya kembali kepada gadis itu. Kemudian, dia memasangkan umpan cacing kepada mata kailnya dan duduk lagi memancing, kini penuh perhatian dan harapan untuk menangkap sedikitnya seekor lagi yang agak besar agar cukup untuk mereka berdua. Entah mengapa, tiba-tiba saja bagi Sun Hok dunia ini seperti terjadi suatu perubahan luar biasa, dia merasa gembira dan penuh gairah. Senja yang mulai remang-remang itu nampak indah bukan main, dan tempat yang sunyi itu, di mana hanya ada mereka berdua, kelihatannya sama sekali tidak sepi lagi. Tak lama kemudian, kembali umpannya disambar ikan, Sun Hok menariknya dan sekali ini dia benar-benar bersorak gembira ketika melihat seekor ikan yang lebih besar dari tadi tergantung di ujung pancingnya."Horeee…..!" Dia berseru gembira dan seperti seorang anak kecil dia membawa tangkai pancing dengan ikan yang masih meronta-ronta itu kepada gadis yang sudah selesai membersihkan ikan pertama tadi. Gadis itu pun kini sama sekali tidak kelihatan murung lagi, ikut pula tertawa dan gembira, sehingga untuk kedua kalinya Sun Hok terpesona. Gadis ini ketika tertawa, nampak deretan gigi seperti mutiara dan di kedua ujung bibirnya nampak lesung pipit yang manis bukan kepalang “Wah, malam ini kita akan kekenyangan ikan!" teriak gadis itu. Sun Hok lalu mengambil ikan itu, membuka perutnya dan menyerahkannya kepada Si Gadis yang dengan jari-jari tangan cekatan lalu membersihkan isi perutnya. Sun Hok melihat betapa dengan gerakan tangan seorang ahli, gadis itu menaruhkan bumbu setelah mencuci daging ikan, lalu menutupi ikan itu seluruhnya dengan tanah liat. Belum pernah selamanya dia melihat orang memanggang ikan seperti itu. "Kita butuh api unggun!" kata gadis itu dan tanpa diperintah lagi, Sun Hok lalu mencari kayu kering, dan membuat api. Sebentar saja tempat itu menjadi terang dengan api unggun. Dengan dua tangkai kayu yang dipergunakan sebagai sepasang sumpit besar, gadis itu lalu memanggang dua ekor ikan yang kini sudah berada di dalam tanah liat. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling berhadapan, terhalang api unggun, akan tetapi bahkan dapat saling pandang karena wajah masing-masing tertimpa sinar api kemerahan. Beberapa kali sinar mata mereka bertaut dan selalu Sun Hok yang menundukkan pandang mata lebih dahulu. Biarpun usianya sudah dua puluh tiga, selama ini Sun Hok tidak pernah bergaul dengan wanita. Kesenangannya hanyalah memperdalam ilmu silat, menjelajah ke gunung-gunung dan sungai-sungai, mencari kesibukan dalam kesepian. Semenjak Wa Wa Lobo meninggal dunia, dia seperti kehilangan pegangan dan kadang-kadang terjadi perang di dalam batinnya. Apakah dia harus membalaskan kematian ibu kandungnya, juga kematian Wa Wa Lobo, kepada Ceng Sui Cin? Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Ceng Sui Cin, apalagi kepada puterinya, Cia Kui Hong, dia merasa kagum dan bahkan semua petuah yang pernah didengarnya dari Ceng Sui Cin, tak pernah dapat dilupakannya. Menurut ajuran Wa Wa Lobo, sebagai seorang anak berbakti dia harus membalaskan kematian ibunya. Akan tetapi, menurut nasihat Ceng Sui Cin, ibu kandungnya pernah melakukan penyelewengan, menjadi tokoh sesat dan memberontak dan bahwa satu-satunya cara baginya untuk berbakti kepada ibunya adalah dengan perbuatan-perbuatan baik untuk menebus semua dosa ibunya yang lalu! Kini, dia bertemu dengan seorang wanita lagi yang secara mendadak telah menyita seluruh perhatiannya, membuat dia terpesona, padahal dia sama sekali tidak mengenal siapa wanita ini dan orang macam apa! Kecantikannya yang khas itukah yang membangkitkan rangsangan dalam hati mudanya? Ataukah sikap gadis itu demikian gembira? Juga, biar nampak masih amat muda, namun demikian pandai membawa diri, dapat menguasai diri, tenang dan yakin akan kemampuan diri sendiri? . Tanah liat yang membungkus dua ekor ikan itu sudah mulai kering dan tidak tercium bau gurih seperti kalau Sun Hok memanggang ikan itu tanpa dibungkus tanah liat. "Kenapa harus dibungkus tanah liat?" akhirnya Sun Hok bertanya karena sejak tadi, setiap kali beradu pandang, mereka hanya senyum-senyum saja, seolah-olah merasa canggung dan malu untuk bicara, seolah-olah tidak ada apa-apa lagi untuk dibicarakan karena kalau sampai mereka bicara, suasana yang demikian aneh dan menggembirakan itu akan terganggu. Gadis itu memandang dan menyembunyikan senyum, lalu menunduk dan menggunakan sumpit besar itu membalikkan ikan dalam tanah liat itu. "Kalau dipanggang begitu saja, ikannya akan bau asap, juga bisa gosong. Akan tetapi kalau dibungkus tanah liat, tidak berbau asap, tidak gosong dan panasnya lebih meresap, bumbunya akan terasa benar dan biarpun dagingnya masih nampak putih kemerahan seperti mentah, namun sesungguhnya sudah lunak dan matang. Memanggang seperti ini merupakan cara memanggang istimewa yang biasanya dihidangkan kepada para bangsawan di istana.” Sun Hok mengerutkan alisnya. Gadis ini tahu akan kebiasaan memasak di istana bangsawan? Apakah ia seorang puteri? Melihat pakaiannya, walaupun cukup indah, namun tidaklah terlalu mewah. Juga perhiasan di leher, telinga dan lengannya bukan dari emas murni berhiaskan permata mahal, hanya perhiasan sederhana saja. Akan tetapi cara bicaranya demikian halus, seperti seorang terpelajar, dan gerak-geriknya pun lembut, suaranya merdu dan mengerti akan cara memasak hidangan para bangsawan! Makin tertariklah hatinya, seperti menghadapi sebuah rahasia yang harus dipecahkan. Setelah tanah liat itu nampak kemerahan, gadis itu mengetuk-ngetuknya dengan sepasang sumpit ranting dan berkata girang. "Sekarang sudah matang, siap untuk dimakan setelah agak dingin." Ia pun mengambil dua batang ikan itu dengan sumpitnya, dikeluarkannya dari api unggun yang dibiarkan hidup terus untuk menerangi tempat itu, juga untuk mengusir nyamuk. Malam mulai masuk ldan cuaca mulai menjadi gelap. Dengan gerakan yang lincah dan cekatan, gadis itu memukul-mukulkan batu sehingga tanah liat yang sudah kering itu menjadi pecah dan nampaklah daging ikan yang putih kemerahan karena sisik-sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikit pun tidak ada bau asap atau gosong! "Wah, lezat sekali!" Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang. "Sayang bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu " Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan ia pun berseru. "Ah, apa yang kaukatakan tadi? Aku telah lupa diri, lupa akan keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau telah menyelamatkan aku, dan... dan aku tidak tahu siapa Kongcu, engkau pun tidak tahu siapa aku…." Melihat kegugupan gadis itu, Sun Hok tersenyum. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, seolah-olah mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing. "Tenanglah, Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?" Melihat sikap pemuda itu, gadis tadi dapat menguasai dirinya kembali. Ia tersenyum, mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok. Bagi kedua orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang demikian santai, damai dan juga makan demikian enaknya, walaupun tidak ada nasi dan hanya makan daging ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam buntalannya. "Aku... aku tidak suka minum arak, takut mabok…..!" kata gadis itu. Sun Hok menggeleng kepalanya. "Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang halus dan enak. Engkau takkan mabok biar habis sepuluh cawan sekalipun. Hanya sayang, aku tidak biasa membawa cawan. Maklum biasa aku minum sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum setelah makan daging ikan." Sun Hok menyerahkan guci anggurnya kepada nona itu sambil membuka sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali tidak keras seperti bau arak. Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. Biarpun sinar api unggun itu sudah membuat wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah dan mudah dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata, "Aih, Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, bagaimana aku berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?" Sun Hok tertawa. "Ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona." Akan tetapi gadis itu tetap menolak. "Tidak Kongcu. Aku tidak berani. Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan mencobanya." "Eh, kenapa begitu?" "Pertama, karena engkaulah pemilik guci itu, dan ke dua, karena engkaulah tuan rumahnya, dan ke tiga karena... engkau pria dan aku wanita." Sun Hok melebarkan matanya dan tersenyum lagi. Heran, belum pernah dia merasa segembira itu, belum pernah dia sebanyak itu tertawa dan tersenyum dalam waktu demikian singkat! "Baiklah, aku akan minum lebih dulu, baru engkau!" Dan dia pun meneguk beberapa teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak daripada yang sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia menyerahkan guci itu kepada gadis yang sejak tadi memandangnya penuh kagum. Sekali ini, gadis itu tidak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya yang merah basah itu dan ia pun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang dikhawatlrkan tidak terjadi. Ia tidak tersedak, dan ternyata isi guci itu sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap dan harum. Enak sekali! "Wah, terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan segar!" katanya memuji. Kini mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. "Sekarang bagaimana, Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?" "Pulang …….?" Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan. "Pulang ke mana? Ah, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi…… " "Ehh?" Sun Hok terkejut dan heran. "Engkau, seorang gadis seperti engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu atau….. suamimu barangkali?" Gadis itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak mempunyai orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara……" "Tapi... tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jshat. Apakah yang telah terjadi. Nona?" Gadis itu menarik napas panjang, "Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu. Setelah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi kebaikan Kongcu kepadaku." Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak pergi meninggalkan Sun Hok. Pemuda itu terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu. "Nona! Kau mengatakan tidak mempunyai tempat tinggal, akan tetapi engkau akan pergi begitu saja? Lalu ke ana engkau hendak pergi?" "Ke mana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tidak berharga ini." " Ah, Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... eh, kita sudah makan bersama seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku." "Aku hanya mengganggu dan menyusahkanniu saja, Kongcu.” "Tidak sama sekali! Marilah, mari, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan di rumah nanti kita bicara." Gadis itu hanya dapat mengangguk dan pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap. Sun Hok terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak mempergunakan ilmu berlari cepat seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang lemah lembut. Ketika mereka tiba di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan menahan langkahnya di depan pintu gerbang. "Aih, kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana aku…. berani…. Mengganggumu?” "Ih, jangan berlebihan, Nona. Aku tinggal seorang diri di sini. Memang istana ini peninggalan mendiang orang tuaku. Aku pun sebatang kara, yatim piatu dan tinggal di sini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan khawatir." Seorang kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah dan merangkap tukang masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Biarpun mereka merasa heran melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun mereka tidak berani bertanya sesuatu. Sun Hok berkata kepada nenek yang menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya. "Nek, harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani ia baik-baik. Kemudian, persiapan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan." Kepada gadis itu Sun Hok berkata, "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar Nona, dan Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam." Gadis itu berkata. "Aku akan membantu Nenek masak." Ketika makan malam telah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang membantu nenek masak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itu pun dengan gembira berkata, "Kongcu, Nona inilah yang memasak semuanya. Ia pandai m.asak! Dan ia yang memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini." Sun Hok memandang dengan senang. Nona itu agaknya telah mandi, akan tetapi pakaiannya lucu, mengenakan pakaian bersih yang biasa dipakai nenek itu, agaknya terlalu besar dan sederhana sekali, pakaian pelayan! "Ia memaksa meminjam pakaian saya, Kongcu," kata Si Nenek, takut kalau disalahkan. "Untuk sementara saja, Nek." Kata gadis itu. "Pakaianku terbawa orang jahat, biar besok aku akan membeli beberapa potong karena aku masih mempunyai simpanan uang sedikit." Mereka kini duduk makan nasi dan masakan. Berdua saja karena para pelayan dengan penuh pengertian meninggalkan mereka. Para pelayan itu sudah tua, dan biarpun mereka tidak tahu hubungan apa yang terdapat antara dua orang muda itu, namun mereka tidak suka .menjadi pengganggu. Setelah makan malam dan mereka duduk berdua di serambi depan, barulah mereka memperoleh kesempatan untuk berkenalan! Di bawah sinar lampu yang cukup terang, mereka bercakap-cakap. "Nona, kiranya sekarang sudah tepat kalau aku mengetahui siapa dirimu dan apa yang telah terjadi denganmu sehingga engkau tertawan lima orang jahat itu. Ketahuilah, aku bernama Can Sun Hok, yatim piatu dan tinggal di sini bersama tiga orang pelayan tadi. Tidak ada apa-apa yang aneh tentang diriku untuk diceritakan dan kuharap engkau menceritakan segala yang telah terjadi denganmu, tentu saja kalau engkau percaya padaku." Gadis itu menarik napas panjang dan wajahnya yang lembut dan cantik manis itu kini seperti tertutup awan tipis, nampak agak muram. Akan tetapi ia tidak menangis, bahkan mencoba untuk tersenyum, senyum pahit. Sun Hok dapat menduga bahwa semua ini, gadis itu tentu telah mengalami banyak penderitaan batin yang tersembunyi di balik wajah yang demikian cantik menariknya. Gadis yang halus lembut, penuh kewanitaan, bukan seperti Cia Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin, yang merupakan wanita-wanita perkasa. Gadis seperti ini membutuhkan perlindungan dan dia akan merasa senang untuk dapat menjadi pelindungnya. “Namaku Bhe Siauw Cin, Can-kongcu." Ia berhenti seperti hendak melihat tanggapan pemuda itu, apakah pernah mendengar nama itu ataukah belum. "Nama yang bagus." kata Sun Hok yang melihat gadis itu menghentikan pembicaraannya. Kembali gadis itu, Siauw Cin, menghela napas panjang. "Engkau belum pernah mendengar namaku, hal ini saja menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda bangsawan yang lain daripada semua pemuda di Siang-tan ini, Kongcu. Semua pemuda lain, kalau belum pernah melihatku, setidaknya tentu pernah mendengar namaku." "Begitu terkenalkah engkau, Nona Bhe?" "Betapa janggalnya. Engkau, seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya, menyebut aku Nona Bhe. Padahal, orang lain menyebut namaku Siauw Cin seperti nama boneka saja. Ya, orang lain menganggap aku tidak lain hanya sebagai boneka. Aku memang dikenal di kota ini, Kongcu, terutama oleh para pria yang suka mengejar kesenangan. Aku seorang gadis penyanyi, gadis penghibur ." "Ahhh….. !" Sun Hok benar terkejut karena tidak menyangka sama sekali. Dia sendiri belum pernah keluyuran ke rumah-rumah hiburan, belum pernah bergaul dengan gadis penyanyi, gadis penghibur atau pelacur, akan tetapi dia tahu sampai betapa rendah dan hinanya martabat seorang gadis penghibur. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa gadis seperti ini adalah seorang gadis penghibur yang boleh menghibur setiap pria yang mampu dan suka membayarnya! Siauw Cin menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepahitan yang membayang di wajahnya. "Engkau... engkau mulai kecewa dan menyesal telah mengundangku ke rumah ini, Kongcu?" tanyanya sambil menundukkan muka, suaranya lirih sekali. "Sama sekali tidak! Aku tadi berseru hanya karena terkejut dan tidak percaya sama sekali! Engkau seorang gadis penyanyi, gadis penghibur? Aku tidak percaya, Nona Bhe!" Siauw Cin mengangkat mukanya dan tersenyum manis sekali. "Ya Tuhan, baru sekarang inilah ada ucapan yang demikian menggirangkan hatiku, akan tetapi juga mendatangkan duka dan penyesalan. Baiklah, aku akan menceritakan riwayatku kepadamu, Kongcu. Belum pernah aku menceritakan riwayat hidupku kepada siapapun juga dan engkaulah orang pertama dan satu-satunya yang akan mendengar riwayatku." Siauw Cin lalu bercerita. Ia sejak kecil telah dijual oleh orang tuanya yang tidak mampu kepada keluarga bangsawan di kota raja. Karena sejak kecil ia nampak mungil dan cantik, maka Ia pun oleh keluarga itu dididik sehingga pandai baca tulis, pandai melakukan pekerjaan kerajinan, masak dan lain-lain bahkan dilatih pula untuk memainkan alat musik, menari dan menyanyi. Pendeknya, ia dilatih untuk menjadi seorang dayang yang baik. Ketika ia berusia enam belas tahun, majikannya sendiri, seorang bangsawan tua di kota raja, tergila-gila kepadanya dan menggaulinya. Karena sebagai dayang ia tiada bedanya dengan seekor anjing atau kucing peliharaan, atau sebuah benda mahal di rumah itu yang sepenuhnya dikuasai majikannya, Siauw Cin hanya mampu menangis ketika menyerahkan diri. Hal ini diketahui oleh isteri majikannya dan ia pun dijual! Ia dijual ke sebuah rumah hiburan yang besar di kota raja, dengan harga cukup tinggi mengingat ia masih muda, belum banyak terjamah pria, pandai bermain musik, menari dan menyanyi. Sebentar saja nama Siauw Cin terkenal dikalangan para hartawan dan bangsawan yang suka berkeluyuran di rumah-rumah hiburan. Ia menjadi kembang baru yang mahal harganya. Dengan kedudukannya yang amat menguntungkan pemilik rumah hiburan. Siauw Cin dapat menjual mahal. Ia tidak sudi melayani segala macam orang, tidak mau menyerahkan diri secara sembarangan saja, melainkan ia pun berhak memilih. Demikianlah gadis penghibur yang menjadi rebutan. Ia nampak hidup bergelimang kemewahan dan kesenangan, namun sesungguhnya, seringkali kalau ia rebah seorang diri di dalam kamarnya, ia menangis menyesali nasib dirinya dan masa depannya yang suram.. Betapa pedih hatinya kalau ia secara terpaksa harus menyerahkan dirinya dipermainkan sesuka hatinya oleh seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya! Tak mungkin ia menolak mereka semua, karena hal itu tentu akan membuat pemilik rumah hiburan menjadi marah, dan ia bisa disiksa kalau terus-menerus menolak. Biarpun jarang, ia harus sekali waktu mau menerima langganan yang royal. Betapa memuakkan membiarkan diri digeluti seorang laki-laki tua botak yang gendut perutnya dan terengah-engah napasnya. Ingin rasanya mati saja! "Kemudian, entah mengapa aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Pagi tadi aku dijual kepada lima orang yang datang itu. Aku dipaksa ikut bersama mereka, naik perahu itu dan katanya aku telah dibeli oleh bengcu mereka yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dapat kubayangkan betapa rasa takutku, karena baru mendengar namanya saja aku sudah merasa ngeri. Apalagi lima orang itu bersikap kasar kepadaku. Kemudian, muncullah engkau, Kongcu." Sejak tadi Sun Hok mendengarkan dengan bermacam perasaan mengaduk batinnya. Tak disangkanya bahwa gadis ini adalah seorang gadis penghibur, bukan seorang dara yang bersih tanpa noda, melainkan seorang wanita yang biarpun masih amat muda, sudah berulang kali terjatuh ke tangan bermacam pria! Sungguh sukar untuk dapat dipercaya! Gadis yang begini halus, sopan, lembut! “Karena itu, ketika engkau bertanya tentang tempat tinggalku, aku menjadi bingung, Kongcu. Aku telah dijual, berarti telah bebas dari rumah hiburan itu dan sampai mati pun aku tidak sudi kembali ke sana! Lebih baik aku mati saja!” Dan baru sekarang Siauw Cin tak dapat menahan lagi airmatanya yang bercucuran membasahi kedua pipinya. Cepat ia mengusap air mata dengan saputangan sambil menundukkan mukanya. Tangis yang wajar, bukan tangis buatan, dan Sun Hok dapat merasakan kebingungan hati wanita ini. "Sungguh engkau seorang gadis yang bernasib malang sekali, Nona. Lalu, sekarang kalau engkau tidak sudi kembali kepada induk semangmu itu, apa rencanamu selanjutnya untuk melanjutkan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku itu?" Cepat saja Siauw Cin dapat menghentikan tangisnya. Sudah terlampau banyak ia menangis, sudah pandai ia menekan perasaan duka di hatinya. Ia menghapus sisa air matanya dan dengan sepasang mata kemerahan ia memandang kepada pemuda itu. "Kongcu, sudah terlampau lama saya hidup dengan batin tersiksa, bahkan ketika berjumpa denganmu, Kongcu, semakin nampak jelas sekali betapa kotor kehi.dupanku yang sudah lampau. Aku berjanji dalam hatiku, ketika kita sama-sama makan ikan di tepi sungai itu, Kongcu, bahwa saya akan meninggalkan kehidupan lama. Lebih baik mati daripada aku harus kembali menjadi gadis penghibur! Aku akan mencari pekerjaan, menjadi pelayan, menjadi tukang masak, apa saja, bahkan kalau perlu mengemis, daripada menjadi wanita penghibur. Itulah tekadku, Kongcu. Besok pagi-pagi aku akan pergi dan mencari pekerjaan, dari rumah ke rumah. Mustahil tidak akan ada yang suka menerima aku sebagai tukang cuci atau tukang masak atau pengasuh anak kecil….." "Kalau begitu, engkau tidak perlu pergi, Nona. Biarlah engkau kuterima bekerja di sini saja, menjadi tukang masak." Cepat Sun Hok berkatal sambil menatap wajah yang cantik halus kemerahan itu. Siauw Cin mengangkat mukanya dan kembali dua sinar mata bertaut sampai lama. Akan tetapi sekali ini Siauw Cin menundukkan mukanya dan dengan suara lirih ia berkata. "Can-kongcu, aku... aku tidak tega untuk menodai namamu yang bersih….” "Eh, apa maksudmu?" "Semua orang tahu siapa diiriku, dan kalau mereka mendengar bahwa aku sekarang di sini, tentu nama Kongcu akan terseret dan ternoda….." "Peduli amat dengan pendapat orang lain! Bukankah engkau di sini kuterima sebagai tukang masak?" "Takkan ada yang mau percaya, Kongcu. Engkau seorang Kongcu yang hidup membujang, belum berkeluarga, tentu mereka akan menyangka yang bukan-bukan, apalagi kalau mendengar bahwa Kongcu yang telah merampasku dari tangan lima orang penjahat itu." "Nona….." "Kongcu ingin menerimaku sebagai seorang tukang masak, seorang pelayan, akan tetapi masih menyebutku Nona. Bukankah ini saja sudah janggal sekali?" "Baiklah, Siauw Cin, aku bermaksud menolongmu. Aku kasihan kepadamu dan aku girang sekali engkau hendak meninggalkan cara hidupmu yang lama. Engkau tinggallah saja di sini, memasak untukku dan takkan ada orang yang berani mengganggu selembar pun rambutmu." Kembali mereka saling pandang dan perlahan-lahan kedua mata gadis itu kembali menjadi basah tanpa ia ketahui. Pandang mata pria ini! Belum pernah ia bertemu dengan pandang mata seperti itu! Biasanya, ia sudah terbiasa oleh pandang mata pria kalau ditujukan kepadanya. Pandang mata pria itu tentu akan menjelajahi seluruh tubuhnya, dari rambut turun sampai ke kaki, seperti pandang mata seorang pedagang sapi yang sedang menaksir seekor sapi yang akan dibelinya, atau seperti pandang mata seorang yang sedang memilih sebuah benda indah yang hendak dibelinya. Pandang mata pria itu lalu penuh dengan kagum yang penuh nafsu berahi. Akan tetapi, pandang mata Can-kongcu ini sama sekali tidak seperti itu! Memang ada rasa kagum dalam sinar mata yang kadang mencorong menakutkan itu, akan tetapi, rasa kagum yang membayangkan iba yang mendalam! "Bagaimana, Siauw Cin? Maukah engkau menjadi tukang masakku di rumah ini? Kalau engkau tidak mau, tentu saja aku tidak akan memaksamu." "Aku? Tidak mau? Aih, Can-kongcu, bagaimana mungkin aku tidak mau menerima dengan tangan dan hati terbuka? Bahkan inilah kesempatan bagiku untuk membalas budi Kongcu, walaupun hanya merupakan setetes air di samudera. Kalau tadi saya meragukan, hanya karena saya hendak menjaga nama baik Kongcu sendiri. Tentu saja saya mau dan mau sekali, Kongcu!" Sun Hok tersenyum, lega hatinya. Akan tetapi, Siauw Cin lalu bangkit berdiri dan mundur. "Eh, apalagi ini? Engkau belum selesai bicara denganku." Siauw Cin membungkuk. "Kongcu, lupakah Kongcu bahwa mulai saat ini saya menjadi pelayan Kongcu, khususnya tukang masak? Sungguh tidak pantas seorang pelayan bercakap-cakap dengan majikannya. Saya sekarang bukan tamu lagi, hal ini harap Kongcu ingat baik-baik, kalau Kongcu tidak menginginkan orang lain mencemooh Kongcu. Dan saya akan menjaga agar Kongcu tidak dicemooh orang. Selamat malam, Kongcu, saya harus memberitahukan kepada kedua kakek dan nenek. Atau, barangkali Kongcu masih hendak memerintah sesuatu kepada saya?" Sun Hok tersenyum, meragu, lalu menggeleng kepala. "Baiklah, selamat tidur, Siauw Cin. Aku... aku sungguh girang sekali engkau menerima permintaanku, tinggal di rumah ini." Dia mengikuti langkah gadis itu dengan pandang matanya sampai bayangan gadis itu menghilang di balik pintu yang menuju ke ruangan belakang. Demikianlah keadaan Can Sun Hok yang namanya disinggung oleh Jaksa Kwan kepada Hay Hay, bahkan Jaksa Kwan minta kepada Hay Hay agar suka berkenalan dengan Sun Hok dan membujuknya agar suka pula turun tangan bersama para pendekar menentang gerakan yang dipimpin oleh datuk sesat Lam-hai Giam-lo. Gadis bernama Siauw Cin itulah gadis penghibur yang dipergunakan Jaksa Kwan untuk memancing keluar Sun Hok. Dialah yang menyuruh orang-orangnya menyamar sebagai utusan Lam-hai Giam-lo membeli gadis itu dan memaksanya pergi naik perahu, tepat pada saat Sun Hok mengail ikan di sore hari itu. Memang pancingannya berhasil membuat Sun Hok turun tangan menyelamatkan gadis itu. Akan tetapi agaknya tidak sampai menggerakkan hati pemuda itu untuk menentang orang yang disebut oleh gadis itu sebagai bengcu yang menyuruh orangnya memaksa ia pergi, yaitu Lam-hai Giam-lo. Menurut penyelidikan Jaksa Kwan, Sun Hok kini bahkan mengambil gadis itu menjadi pelayan! Setelah satu bulan tinggal di dalam rumah Can Sun Hok, memasak dan membantu nenek pengurus rumah tangga, setiap hari bertemu dengan pemuda itu, Siauw Cin mengalami dan menghadapi sesuatu yang membuat ia kadang-kadang merasa menjadi orang paling berbahagia di dunia ini, akan tetapi kadang-kadang membuat ia gelisah bukan main, khawatir, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Ia melihat dengan jelas betapa pemuda itu bukan hanya kasihan kepadanya, melainkan jatuh cinta! Ya, ia tahu benar akan hal itu. Pemuda yang menjadi majikannya itu, pemuda bangsawan kaya raya yang alim, tampan, gagah dan memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti seorang pendekar perkasa, ternyata telah jatuh cinta padanya! Belum pernah Sun Hok menyatakan cintanya dengan kata-kata, namun pernyataan cinta kasih itu jelas nampak oleh Siauw Cin melalui sinar matanya, melalui getaran suaranya. Belum pernah ada pria apalagi seperti Sun Hok, yang mencintanya seperti itu. Para pria yang pernah menguasai dan menggaulinya hanya mencinta tubuhnya saja, cinta nafsu yang akan musnah setelah terpuaskan, seperti mendung tebal lenyap sehabis hujan lebat. Tentu saja ia merasa berbahagia bukan main. Akan tetapi, di dalam kebahagiaannya ini timbul rasa cemas dan gelisah karena ia pun mendapat kenyataan yang meyakinkan bahwa ia sendiri juga jatuh cinta kepada Can Sun Hok! Hal ini pun selama hidupnya belum pernah dirasakan! Dan justeru cintanya inilah yang membuat ia merasa gelisah bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Can Sun Hok, seorang pemuda bangsawan kaya raya, selama hidupnya belum pernah bergaul dengan wanita, hal ini ia yakin benar, seorang pendekar gagah perkasa, pendeknya, seorang pemuda pilihan. Dan ia? Seorang bekas wanita penghibur! Gadis bukan perawan lagi yang sudah digauli banyak pria! Seorang bekas pelacur tingkat tinggi atau mahal! Betapa mungkin ia membiarkan pria yang dicintanya, dipuja dan dikaguminya itu sampai terikat dengan seorang perempuan seperti dirinya. Kasihan Can Sun Hok! Tidak, ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi! Inilah yang membuat ia kadang menangis di tengah malam dan di dalam batinnya terjadi perang hebat. Sun Hok memang tidak pernah menyatakan cintanya lewat kata-kata. Akan tetapi sikapnya terhadap Siauw Cin bukan sikap seorang majikan terhadap pelayannya. Sering ia mengajak Siauw Cin memancing ikan di tepi sungai dan memasak ikan itu di situ juga, untuk dimakan bersama. Juga, segera setelah ia tahu bahwa Siauw Cin pandai bermain musik, bernyanyi dan menari, ia pun sering bermain suling dan yang-kim bersama gadis itu. Kadang-kadang dia bermain yang-kim dan Siauw Cin meniup suling atau sebaliknya, atau dia bermain yang-kim mengiringi Siauw Cin menyanyi atau menari. Hubungan mereka itu, kalau dilihat orang lain, seperti hubungan antara sahabat atau saudara saja, bukan seperti majikan dengan pelayannya. Tiga orang pelayan tua itu pun bukan orang yang tidak berpengalaman. Mereka tahu bahwa majikan mereka jatuh cinta kepada pelayan baru itu. Dan mereka bertiga pun sayang kepada Siauw Cin yang memiliki watak yang halus dan rendah hati. Bahkan Siauw Cin juga mengaku siapa dirinya kepada mereka, mengaku bahwa dahulunya adalah seorang wanita penghibur yang kini sudah bersumpah meninggalkan cara hidup yang dahulu. Tiga orang pelayan tua itu maklum pula bahwa majikan mereka terlalu tinggi kedudukannya, dan bahwa Siauw Cin bukan pasangan yang cocok untuk menjadi calon isteri. Akan tetapi apa salahnya kalau menjadi seorang selirnya? Tentu saja mereka tidak berani mencampuri dan mereka hanya ikut bergembira melihat betapa terjadi perubahan dalam kehidupan Sun Hok. Kini, baru sebulan setelah Siauw Cin berada di situ, Sun Hok menjadi periang, wajahnya selalu berseri, makannya banyak, suka bermain musik dan pakaiannya juga menjadi rapi, tubuhnya menjadi agak gemuk! Bahkan lenyap sudah sifat suka termenung semenjak kematian Wa Wa Lobo. Pada suatu malam bulan purnama. Malam belum larut dan bulan purnama baru muncul, menerangi permukaan bumi. Malam itu dimulai indah sekali. Udara sejuk, angin hanya bersilir lembut, di musim semi taman penuh bunga semerbak mengharum. Sun Hok mengajak Siauw Cin bermain suling dan yang-kim di dalam taman mereka, di samping gedung. Bahkan tiga orang pelayan tua diajak pula menikmati malam bulan purnama indah di situ. Mereka hanya duduk di atas tikar yang dibentangkan diatas petak rumput yang tebal dan lunak, dekat kolam ikan. Anggur dan kueh-kueh dihidangkan. Melihat bulan purnama, Siauw Cin menarik napas panjang. Hal ini nampak oleh Sun Hok. "Eh, bulan purnama demikian indah, mengapa engkau malah menghela napas panjang. Siauw Cin?" tanyanya. "Apakah Kongcu tadi melihat seekor burung kecil terbang melayang di sana?" Siauw Cin menunjuk ke arah bulan, Sun Hok menggeleng kepala akan tetapi nenek pelayan bilang bahwa ia tadi ada melihatnya, seekor burung kecil. "Saya pernah melihat burung kecil terbang melayang di bawah sinar bulan purnama dan saya mempunyai sebuah lagu untuk itu, Kongcu." "Bagus! Nyanyikan lagu itu untuk kami, Siauw Cin!" kata Sun Hok dengan gembira. "Ah, nyanyian itu tidak menggembirakan, tentang kisah burung murai yang malang." "Tidak mengapa, kalau engkau yang menyanyikan tentu indah." Melihat Siauw Cin meragu, tiga orang pelayan yang terbawa oleh kegembiraan suasana, ikut pula membujuk. Akhirnya gadis itu pun menurut. "Biar kumainkan lagunya beberapa kali dengan suling agar Kongcu dapat mengenalnya dan kalau sudah dapat, nanti Kongcu dapat mengiringi saya bernyanyi dengan memainkan yang-kim." katanya. Sun Hok mengangguk gembira dan gadis itu pun mulai meniup suling. Suara suling mengalun lirih, indah sekali dan ternyata lagunya sederhana saja sehingga baru memainkan tiga empat kali saja, Sun Hok yang memang berbakat sudah dapat menghafalnya. "Sekarang coba dengarkan aku memainkan lagu itu dengan yang-kim. Kalau sudah benar, baru engkau bernyanyi dan aku mengiringimu dengan yang-kim." Sun Hok lalu memainkan yang-kimnya dan ternyata memang dia sudah dapat hafal sehingga permainannya indah, dipuji oleh Siauw Cin dan tiga orang pelayannya. "Nah, sekarang nyanyikanlah lagu itu, tentang murai itu, aku akan mengiringi dengan yang-kim." kata Sun Hok gembira. Kemudian, di antara suara berkencringnya yang-kim yang bening, terdengarlah suara merdu dari mulut Siauw Cin, dengan kata-kata yang indah pula, didengarkan penuh perhatian oleh Sun Hok dan tiga orang pelayannya. “Burung murai terbang melayang ingin mencapai bulan di awang-awang murai betina bodoh janganlah mimpi sang bulan bagimu terlalu tinggi! Murai melihat bulap terbang di air telaga ia meluncur mengejar dan tenggelam binasa habislah kisah murai dan bulan purnama!" Tiga orang pelayan itu bertepuk tangan memuji. Memang indah sekali suara Siauw Cin, dan diiringi yang-kim yang dipetik dengan mahirnya oleh jari tangan Sun Hok, merupakan lagu yang amat indah. Namun, Sun Hok tidak bertepuk tangan dan memandang kepada Siauw Cin yang menundukkan mukanya. Gadis itu nampak berduka. Tiba-tiba terdengar suara orang. "Hebat, sungguh nyanyian yang amat merdu dan indah, diiringi yang-kim yang hebat pula. Mengagumkan sekali!" Sun Hok cepat mengangkat muka memandang dan ternyata di pintu gerbang taman itu telah berdiri seorang pemuda. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengannya, wajahnya tampan dan menarik karena wajah itu selalu dihias senyum ramah, dengan sepasang mata yang bersinar sehingga wajah itu nampak berseri selalu. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar . "Murai betina jelita kembalilah ke dunia banyak murai jantan perkasa menantimu dengan hati cinta!" Pemuda bercaping lebar itu bernyanyi, lagunya mirip dengan yang dinyanyikan Siauw Cin tadi, dan memang dia pandai sekali bernyanyi untuk mengimbangi lagu tadi, suaranya pun merdu sehingga tiga orang pelayan tua yang sedang bergembira itu pun bertepuk tangan. Diam-diam Siauw Cin juga memuji pemuda itu karena sebagai seorang ahli, ia tahu bahwa pemuda yang baru datang ini memiliki bakat yang amat baik untuk membuat sajak dan bernyanyi seketika untuk mengimbangi nyanyiannya tadi. Bahkan nyanyian itu merupakan hiburan bagi Si Murai betina agar jangan mengharapkan terlalu jauh, melainkan kembali kepada kenyataan bahwa murai betina itu jodohnya murai jantan bukan bulan purnama! Akan tetapi, Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal orang ini, dan tahu-tahu orang ini berada di pintu gerbang taman rumahnya, tanpa ijin, masuk begitu saja, bahkan lancang mulut ikut pula bernya.nyi! Dia pun bangkit berdiri dan dengan perlahan dia lalu melangkah maju. Mereka berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang seperti saling menyelidiki. Pemuda bercaping lebar itu masih tersenyum dan wajahnya berseri, mengajak bersahabat. Akan tetapi Sun Hok mengerutkan alisnya, penuh kecurigaan. "Siapakah engkau dan mau apa engkau datang mengganggu kami?" tanya Sun Hok sambil memandang tajam. Pemuda bercaping lebar itu bukan lain adalah Hay Hay. Selain menerima anjuran Jaksa Kwan untuk berkenalan dengan pemuda yang menurut jaksa itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, dia pun datang berkunjung pada malam hari itu. Malam belum larut, dan terang bulan. Ketika dia lewat di depan istana kuno itu, dia mendengar suara nyanyian tadi. Tentu saja hatinya tertarik bukan main dan dia pun segera melangkah dan mendekati taman, mengintai dan mendengarkan. Melihat gadis cantik manis itu, dia pun teringat akan cerita Kwan-taijin tentang gadis panggilan dari kota raja yang dipergunakan sebagai umpan agar pemuda yang bernama Can Sun Hok itu keluar dan timbul semangatnya untuk menentang persekutuan kaum sesat yang digerakkan oleh Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi, pemuda itu tetap acuh, demikian kata Jaksa Kwan. Dan kini, melihat keadaan pemuda itu, dan mendengarkan nyanyian merdu gadis itu, Hay Hay dapat menduga apa yang telah terjadi! Kiranya gadis itu agaknya jatuh cinta kepada penolongnya, kepada pemuda itu. Dan begitu dia berhadapan dan saling pandang dengan pemuda itu, dia pun tidak menyalahkan gadis itu. Memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, pantas untuk dicinta seorang gadis cantik yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, dia pun teringat bahwa gadis cantik yang bernyanyi ini hanya seorang gadis penghibur, yang tentu saja, seperti isi nyanyiannya, merasa tidak sepatutnya berjodoh dengan seorang pemuda bangawan seperti Can Sun Hok. Gadis itu mengumpamakan dirinya seekor murai betina yang merindukan bulan! Sungguh kasihan. Mendengar teguran Sun Hok yang kelihatan tidak senang itu, Hay Hay tersenyum dan dia memberi hormat dengan bersoja, yaitu mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan tubuh agak dibungkukkan. "Maaf kalau aku mengganggu. Terus terang saja, aku datang untuk bertemu dan bicara dengan seorang Kongcu yang bernama Can Sun Hok." Sun Hok mengamati wajah yang agak tersembunyi di bawah caping itu dengan penuh perhatian. Hay Hay sengaja menurunkan capingnya sehingga tergantung di punggungnya dan wajahnya nampak jelas. Sun Hok kagum. Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah dan ramah sekali, bukan wajah penjahat. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak senang karena dia merasa terganggu. Lenyaplah kegembiraan yang dirasakannya ketika dia hanya bersama Siauw Cin dan tiga orang pelayannya tadi. Hilanglah suasana meriah dan suasana santai. " Akulah Can Sun Hok, akan tetapi aku tidak pernah mengenalmu!" katanya, tidak ramah untuk memperlihatkan kekesalan hatinya. "Memang kita tidak pernah saling jumpa, Can-kongcu. Namaku Hay Hay dan karena aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, maka hatiku tertarik sekali dan aku ingin sekali datang berkunjung dan berkenalan denganmu." Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal nama Hay Hay, dan pula saat itu dia sama sekali tidak ada keinginan untuk berkenalan dengan orang lain, apalagi dia belum tahu orang macam apa adanya pemuda yang mengaku bernama Hay Hay ini. "Akan tetapi, aku tidak ingin berkenalan denganmu, dan aku tidak mempunyai waktu. Sobat, harap engkau pergi dan jangan mengganggu kami. Pula, di malam hari seperti ini bukan waktunya orang berkunjung untuk berkenalan." Suaranya masih halus, namun nada suara itu jelas1 mengusir! "Can-kongcu, ketahuilah bahwa aku datang untuk bicara denganmu tentang gerakan persekutuan kaum sesat yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Kukira sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti Kongcu ini untuk bangkit dan menentang persekutuan jahat yang amat berbahaya bagi keamanan hidup rakyat jelata. Maukah engkau menerimaku sebagai seorang sahabat dan kita bicara tentang itu?" "Hemm, apakah. engkau seorang pendekar?" tanya Can Sun Hok, suaranya agak memandang rendah dan mengejek. Hay Hay tertawa dan merasa lucu. Dia sendiri belum pernah bertanya apakah dia seorang pendekar, maka begitu ada yang bertanya secara demikian langsung, dia merasa lucu. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Akan tetapi setidaknya aku merasa penasaran dan ingin menentang gerakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo." Tiba-tiba Siauw Cin yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, berkata kepada Sun Hok, "Can-kongcu, agaknya Kongcu yang datang ini membawa berita amat penting. Lam-hai Giam-lo adalah seorang yang menyuruh anak buahnya untuk menculik aku, apakah Kongcu tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dia?” Mendengar ini, Hay Hay lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Cin dan pandang matanya penuh kagum. "Sungguh berbahagia sekali mataku dapat melihat seorang gadis secantik bidadari seperti Nona, telingaku mendengar nyanyian sorga seperti yang Nona nyanyikan tadi, dan kini mendengar pula pendapat yang amat bijaksana. Sukarlah di dunia ini mencari seorang gadis kedua sehebat Nona. Harap jangan sebut aku Kongcu, karena aku hanyalah seorang pemuda pengelana biasa saja, Nona yang mulia." Sepasang mata itu terbelalak dan Siauw Cin memandang kepada Hay Hay, tersenyum lebar, lalu menutup kembali mulutnya, mukanya menjadi kemerahan. Bukan main pemuda ini. Kata-katanya demikian penuh madu, manis merayu dan baru sekarang ia merasa dipuji-puji orang sampai ke langit ke tujuh, bukan sekedar rayuan seorang laki-laki yang tergila-gila karena nafsu. Dan ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuatnya tiba-tiba menjadi lemah, tunduk dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. "Kalau begitu, engkau tentu seorang Taihiap (Pendekar Besar), dan harap jangan sebut aku Nona yang mulia, Taihiap, karena aku hanyalah seorang pelayan yang hina dan setia dari Can-kongcu." katanya merendah dengan suara merdu. "Nona, engkau bukan seorang pelayan yang setia, akan tetapi juga seorang gadis secantik bidadari yang mencinta majikannya dengan segenap badan dan nyawa……" "Hei, orang asing! Tutup mulutmu dan lekas pergi dari sini!" bentak Sun Hok yang mukanya merah sekali mendengar ucapan Hay Hay itu. Akan tetapi, anehnya Siauw Cin menengahi dan berkata kepada majikannya. "Kongcu, biarkan dia bicara. Saya kira dia ini seorang yang jujur dan baik, tidak berniat buruk " "Ha-ha, engkau sungguh seorang gadis yang berpenglihatan tajam, Nona manis. Jangan khawatir, pria mana pun yang kejatuhan cintamu, sudah pasti akan membalasnya, karena pria mana di dunia ini yang tidak akan tergila-gila kepada seorang gadis secantik engkau?" Sun Hok tak dapat menahan kemarahannya lagi. Wuuut! Dia sudah meloncat dan berdiri berhadapan dengan Hay Hay. "Keparat! Apakah engkau datang sengaja hendak menantang aku? Hay Hay, kalau itu namamu, tidak perlu engkau merayu Siauw Cin, akan tetapi hadapilah aku sebagai laki-laki kalau memang engkau mencari keributan di sini!" “Kongcu... jangan…! Jangan memusuhinya, aku yakin bahwa dia seorang yang baik hati." Siauw Cin yang sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay yang mempengaruhi dengan sihirnya itu, kini memegang lengan Sun Hok dan berusaha menarik pemuda itu mundur dan jangan menyerang Hay Hay. Hay Hay tersenyum dan melepaskan kekuatan sihirnya. Ketika kekuasaan sihir itu lenyap, tiba-tiba Siauw Cin menyadari betapa ia memegangi lengan itu dan melangkah mundur dengan bingung. "Can-kongcu, agaknya Nona pelayanmu itu lebih pandai menilai orang. Percayalah, aku datang bukan untuk memusuhimu atau membikin ribut. Melainkan untuk bicara denganmu mengenai gerakan kaum sesat yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Kongcu, kapan lagi engkau akan berbakti kepada nusa dan bangsa, akan mempergunakan kepandaianmu demi kepentingan rakyat kala tidak sekarang?" Akan tetapi Sun Hok sudah marah sekali. Pemuda ini perayu besar dan sungguh lancang sekali bicara tentang cinta dalam hati Siauw Cin terhadap dirinya, bahkan menyinggung cintanya terhadap gadis itu. Bagaimana begitu muncul pemuda ini dapat menduga dengan tepat isi hatinya dan isi hati Siauw Cin? "Baiklah, akan tetapi aku harus melihat dulu orang macam apa yang hendak bicara dengan aku tentang pembelaan terhadap rakyat. Apakah engkau benar seorang pendekar ataukah hanya seorang laki-laki yang lancang mulut dan pandai merayu. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar, ingin aku melihat kelihaian tangan kakimu. Bukan sekedar mulutmu!" Setelah berkata demikian, Can Sun Hok sudah menerjang ke depan, mengirim serangan dengan kedua tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Hay Hay sedangkan tangan kanannya, yang juga terbuka, dari bawah menusuk ke arah perut. Serangan pertama ini untuk menarik perhatian sedangkan tangan kanan yang merupakan serangan inti. Serangan ini berbahaya sekali dan sekali pandang saja maklumlah Hay Hay bahwa pemuda ini memiliki dasar ilmu silat golongan sesat yang sifatnya curang dan kejam, juga amat berbahaya, tidak memperhatikan segi keindahan, melainkan segi hasilnya walaupun curang dan kejam sekalipun. "Hemmm, bagus!" teriaknya dan dengan lincahnya dia pun mengelak. Dengan langkah Jiauw-pou-poan-soan, berputar-putaran, dia dapat mengelak dengan mudah dan walaupun lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tujuh jurus berantai, tetap saja semua serangan tidak dapat menyentuhnya. Jiauw-pou-poan-soan adalah langkah ajaib berputaran yang dipelajari Hay Hay dari See-thian Lama, berdasarkan ilmu langkah perbintangan ditambah ketinggian ilmu gin-kang (meringankan tubuh). Jangankan hanya satu orang, biar ada sepuluh orang mengepung dan mengeroyoknya, dengan senjata sekalipun, tidak akan mudah dapat mengenai tubuh Hay Hay kalau dia memainkan ilmu langkah ajaib ini. Tentu saja Can Sun Hok menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Serangannya itu bertubi-tubi dan cepat sekali karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini, akan tetapi sedikit pun tidak pernah menyentuh tubuh lawan yang selalu lenyap pada saat serangannya tiba, seperti menyerang bayangan setan saja. "Pengecutt jangan lari saja. Balaslah menyerang kalau engkau mampu!" bentak Can Sun Hok dengan marah karena dia merasa penasaran dan merasa dipermainkan. "Sabarlah, Can-kongcu. Kita bukan bermusuhan, melainkan hanya main-main untuk menguji kepandaian dan saling berkenalan, ingat?" Sun Hok semakin penasaran karena selain dapat terus mengelakkan semua serangannya, lawan itu masih sempat pula bicara dengan nada berkelakar! Dia pun teringat akan ilmu pukulan baru yang sudah dikuasainya selama tiga tahun ini, yaitu yang dipelajarinya dari kitab peninggalan ibu kandungnya. Tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangannya, menggosok kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga dan menahan napas dan kini, begitu dia menggerakkan kedua tangannya untuk menyerang lagi, Hay Hay mencium bau harum dari kedua telapak tangan itu, sambaran tangan kiri dapat dielakkan, akan tetapi bau wangi menyambar hidungnya membuat pandang matanya berkunang. "Ihhh…!" Hay Hay cepat menguasai dirinya dan menangkis lengan kanan lawan yang menghantam dadanya, sambil mengerahkan tenaganya. Baru .sekali ini dia menangkis karena sudah tidak sempat mengelak ketika bau harum itu membuat matanya berkunang. "Dukk!" Akibat benturan kedua lengan ini, tubuh Sun Hok terhuyung ke belakang. Pemuda ini terbelalak. Bukan main kuatnya lengan lawan yang menangkisnya tadi dan mulailah dia menyadari bahwa Hay Hay bukan sekedar pemuda yang lihai mulutnya, akan tetapi lihai pula ilmu silatnya dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Hal ini selain mendatangkan rasa penasaran, juga menimbulkan kegembiraan hatinya untuk menguji kepandaiannya dengan sungguh-sungguh. Karena tahu bahwa lawan lihai, dia berani mengerahkan seluruh kepandaiannya dan tenaganya. Kini dia menghujankan serangan dengan Ilmu Pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi) yang amat hebat itu. Akibat dari ilmu ini, di sekeliling tempat itu, tercium bau wangi, akan tetapi anehnya, Siauw Cin dan tiga orang pelayan yang menonton perkelahian dan mencium bau wangi ini, menjadi pening dan terpaksa mereka menjatuhkan diri duduk di atas rumput! Demikian hebatnya pengaruh hawa beracun itu. Apalagi kalau sampai terkena pukulan tangan yang mengandung hawa beracun itu! Hay Hay juga terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa biarpun pemuda ini seorang bangsawan dan oleh Jaksa Kwan dianggap sebagai seorang pendekar, namun jelas bahwa pemuda ini menerima pendidikan dari datuk sesat melihat dari ilmu-ilmunya yang sesat dan kejam. Dia harus mengumpulkan hawa murni untuk melawan hawa beracun berbau wangi itu dan melihat betapa gerakan ilmu silat lawan itu cukup cepat dan berbahaya, Hay Hay lalu mengeluarkan ilmu-ilmunya dari Ciu-sian Sin-kai, yaitu Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Dewa Arak). Begitu dia mainkan ilmu ini, Sun Hok menjadi bingung. Gerakan Hay Hay indah akan tetapi juga aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap tangannya bergerak, ada hawa pukulan yang amat dahsyat dan biarpun untuk serangan jurus pertama dia masih mampu mengelak dan bertahan, ketika Hay Hay menyerangnya lagi dengan jurus ke dua, biarpun Sun Hok berusaha menangkis dengan kedua lengannya, tetap saja dia terdorong sampai lima langkah, terhuyung dan hampir roboh!