Tiba-tiba nampak bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah muncul lagi seorang pemuda yang berpakaian biru-biru dengan garis pinggir kuning. Kepala dan mukanya tertutup sebuah caping lebar dan di punggungnya terdapat sebuah buntalan kain kuning. Begitu tiba, pemuda ini tertawa bergelak dan menghampiri tiga orang tosu itu, tangannya membawa sebatang pendek ranting pohon. “Ha-ha-ha, pantas saja suaranya gaduh sekali. Kiranya ada tiga ekor anjing menggonggong berebut tulang di sini! Nah, ini kuberi tulangnya, boleh kalian tiga ekor anjing memperebutkannya!" Diapun melemparkan sepotong kayu tadi ke arah tiga orang tosu dan sungguh luar biasa sekali. Tiga orang tosu yang tadi bersila dan bergandeng tangan sambil mengeluarkan suara melolong untuk menyerang Han Siong, kini tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan saling memperebutkan kayu itu dengan mulut mereka, presis tiga ekor anjing memperebutkan tulang. Ketika kepala mereka saling bertumbukan, barulah mereka sadar dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa...... apa yang terjadi...?” Mereka bertiga berseru dan mendengar suara ketawa, mereka menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian biru, memakai caping lebar, berdiri sambil tertawa geli, mentertawakan mereka. Tahulah mereka bahwa pemuda ini yang menjadi gara-gara, yang entah dengan ilmu apa telah memaksa mereka bertiga berlagak seperti tiga ekor anjing! "Keparat, engkauJah seekor anjing!" bentak seorang di antara meteka, setengah balas memaki untuk membalas penghinaan tadi dan setengah juga mempergunakan tenaga sihirnya. Diam-diam pemuda itu mengerahkan kekuatan sihirnya yang hebat dan diapun berkata, "Benar sekalir Aku seekor anjing raksasa yang akan makan kalian tiga orang pendeta Pek-lian-kauw! Huk-huk-hukk!" Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu terbelalak memandang kcpada pemuda itu yang tiba-tiba berubah dalam pandangan mata mereka seperti seekor anjing raksasa yang besarnya seperti sebuah rumah gedung, mulutnya terbuka selebar pintu gerbang dengan giginya yang besar-besar. Mereka menjadi pucat seketika, tubuh mereka gemetaran dan seperti dikomando saja, mereka lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang langgang jatuh bangun, bahkan ada yang terkencing-kencing saking ngerinya karena merasa seolah-olah napas anjing raksasa telah mendengus-dengus di tengkuk mereka. Pemuda itu tertawa bergelak, penuh kegembiraan. Tiba-tiba Han Siong yang sejak tadi melihat -kehadiran dan perbuatan pemuda berpakaian biru bercaping lebar itu, segera berseru dengan gembira, "Hentikan main-mainmu itu, Hay Hay dan cepat bantulah aku!" Pemuda yang disebut Hay Hay itu menoleh dan melihat betapa Han Siong terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, diapun tertawa lagi, "Ha-ha-ha, Sin-tong (anak ajaib), di mana pedang pusakamu yang ampuh itu? Engkau dikeroyok tiga orang lawan yang menggunakan senjata, bahkan ada pedang pusaka di situ, dan engkau bertangan kosong saja. Salahmu sendiri. "Sudahlah, bantu aku dan nanti baru kita ngobrol!" kata Han Siong lagi dengan mendongkol. Dia begitu terdesak dan dalam bahaya, orang ini malah mengobrol dan bersendau-gurau. Pemuda itu memang Tang Hay atau lebih terkenal di antara tenlan-temannya dengan sebutan Hay Hay saja. Seorang pemuda yang sebaya dengan Han Siong, usia mereka sama, dua puluh dua tahun lebih, wajahnya juga tampan, dadanya bidang tubuhnya sedang dan tegap. Matanya bersinar-sinar selalu, namun kadang mencorong penuh wibawa, dan mututnya tak pernah ditinggalkan senyum manis. Pemuda ini seorang yang amat romantis, juga pengagum keindahan termasuk kecantikan wanita sehingga di manapun dia selalu memuji-muji wanita sehingga dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang walaupun kegenitannya itu mempunyai batas yang kuat sehingga belum pernah dia melanggar, belum pcrnah dia menggauli wanita, baik dengan perkosaan maupun dengan suka rela. Kedekatannya dengan wanita tidak melebihi saling rangkul dan saling cium saja. Tanpa disengaja Hay Hay yang dalam perjalanan mencari ayahnya yaitu Ang-hong-cu, tiba di tempat itu dan melihat pertempuran itu. Dia sedang menuju ke kota raja karena dia sudah mendengar bahwa biarpun tidak ada seorang juga yang mengetahui di mana adanya si Kumbang Merah, jai-hwa-cat yang sudah lama sekali namanya dikenal orang akan tetapi akhir-akhir ini tidak ada kabar ceritanya lagi, namun di kota raja muncul seorang perwira muda disebut Tang-ciangkun yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Biarpun tipis, namun berita ini setidaknya merupakan suatu hal yang perlu diselidiki. Siapa tahu perwira muda Tang itu benar dapat membawa dia kepada jejak Ang-hong-cu! Maka, ketika melihat ada perkelahian di situ, diapun tidak perduli dan akan melewatinya begitu saja, apalagi dia belum melihat jelas dan tidak tahu siapa yang sedang berkelahi. Akan tetapi, dia tertarik oleh suara melolong-lolong yang mengandung getaran aneh dan berwibawa itu. Sebagai seorang yang sudah mempelajari ilmu sihir secara cukup mendalam, dia dapat merasakan ketidakwajaran dalam suara itu dan menduga bahwa suara itu mengandung kekuatan sihir! Maka, diapun tertarik dan mendekat. Setelah mendekat, barulah dia melihat bahwa yang dikeroyok tiga dan terdesak, masih diserang oleh suara mengandung kekuatan sihir pula, bukan lain adalah Pek Han Siong!   Pek Han Siong pernah menuduhnya memperkosa adik kandungnya, yaitu Pek Eng sehingga Han Siong memusuhinya dan mereka telah bertanding dengan hebatnya. Namun akhirnya Han Siong mengetahui bahwa yang memperkosa adik kandungnya sama sekali bukan Hay Hay, melainkan Si Kumbang Merah yang ternyata menurut pengakuan Hay Hay adalah ayah kandung Hay Hay sendiri! Karcna kenyataan itu, maka permusuhan antara merekapun lenyap dan tidak ada saling dendam di antara mereka. Bahkan sesungguhnya, ada hubungan yang amat dekat antara kedua pemuda ini. Sejak kecil, Han Siong di anggap sebagai Sin-tong (anak ajaib) oleh para lama di tibet merasa yakin bahwa Han Siong adalah seorang calon Dalai Lama! Maka, anak ini di perebutkan dan akan di bawa ke tibet oleh para pendeta Lama. Untuk menyelamatkannya, maka Han Siong di sembunyikan dan sebagai gantinya, orang tuanya mengambil Hay Hay yang ketika itu seorang anak tanpa ayah ibu. Maka, terjadilah hal-hal yang amat menarik seperti di ceritakan dalam kisah Pendekar Mata Keranjang. Setelah keduanya menjadi pemuda dewasa, dalam cara masing-masing, dalam cara hidupnya masing-masing keduanya menjadi pemuda gemblengan yang pandai ilmu silat, bahkan keduanya juga pandai ilmu sihir walaupun dalam hal sihir menyihir ini, tingkat Hay Hay jauh lebih tinggi. Kini Hay Hay tidak mau main-main lagi, apalagi setelah dia melihat dengan penuh perhatian dan mengenal dua orang diantara para pengeroyok itu. "Wah-wah-wah, bukankah itu Sim Ki Liong murid murtad dari locianpwe Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah? Dan itu yang seorang lagi Ji Sun Bi, si cantik manis yang berhati penuh racun? Hayaa, pantas sekali engkau terdesak,Han Siong. Kiranya para pengeroyokmu adalah dua orang yang teramat jahat. Dan siapa pula yang seorang lagi itu? Heiii! Bukankah itu Hong-cu-kiam yang dibawanya? Dan ilmu silatnya itu! Han Siong, apa kau lupa lagi dan tidak mengenal ilmu silat Cin-ling-pai? Dia seorang tokoh Cin-ling-pai!" Hay Hay sudah meloncat ke dalam medan perkelahian itu. Dia sendiri tidak pernah menggunakan senjata. Cun Sek yang terkejut dan juga marah melihat betapa pemuda bercaping lebar yang baru muncul ini mengenal pedang dan ilmu silatnya, sudah menyambutnya dengan tusukan pedang yang cepat dan kuat sekali, mengarah dada Hay Hay. Tanpa disadarinya, ucapan Hay Hay tadi memang sengaja menarik perhatian Cun Sek, dia sudah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Hay Hay! Melihat tusukan pedang Hong-cu-kiam itu Hay Hay miringkan tubuhnya dan berkata dengan suara nyaring. “Pedangmu itu buntung, mana bisa untuk menyerangku?" Cun Sek terbelalak. Dia memandang pedangnya tiba-tiba saja sudah menjadi sebatang pedang buntung yang pendek! Hanya beberapa detik dia termangu, namun ini sudah cukup bagi Hay Hay. Sekali totok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang, Hong-cu-kiam telah berpindah tangan!   Barulah Cun Sek sadar dan dia menjadi marah sekali. "Kembalikan pedangku!" bentaknya sambil menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi Hay Hay menggerak-gerakkan pedang Hong-cu-kiam, nampak sinar emas bergulung-gulung mengelilingi tubuh Cun Sek yang menjadi bingung dan khawatir sekali. Bret-bret-bret..... ! Potongan kain berhamburan dan Cun Sek merasa tubuhnya dingin-dingin dan ketika dia memandang, ternyata sinar pedang emas itu telah menelanjanginya! Pakaian luarnya robek-robek dan dia berdiri di situ hanya dengan sebuah celana kotor pendek yang menutup tubuh bawahnya! Hay Hay tertawa-tawa dan kini. dia menujukah pedangnya untuk menyerang Ki Liong! Ki Liong dan Sun Bi sejak tadi sudah kaget setengah mati ketika melihat munculnya Hay Hay, pemuda yang pernah membuat mereka gentar ketika pemuda ini muncul pula dalam rombongan para pendekar yang membasmi gerombolan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo. Keduanya maklum pula bahwa kemunculan Hay Hay yang diluar dugaan ini akan menghancurkan semua rencana mereka, bahkan kini mereka berada dalam bahaya besar. Hal ini segera terbukti ketika dengan amat mudahnya Hay Hay telah merampas pedang pusaka Hong-cu-kiam dari tangan Cun Sek yang sudah dibuat tidak berdaya! Cun Sek merasa terkejut dan malu bukan main. Dia lalu menjadi nekat dan sambil mengeluarkan suara menggeram seperti seekor harimau terluka, diapun menubruk dengan nekat ke arah Hay Hay. Akan tetapi, Hay Hay menyambutnya dengan sebuah tendangan dan tubuh Cun Sek terjengkang lalu terbanting keras ke atas tanah. Karena pemuda itu tadi memegang Hong-cu-kiam dan memiliki ilmu silat Cin-ling-pai, tentu saja Hay Hay tidak mau membunuhnya dan hanya merobohkannya tanpa melukai berat. Setelah merobohkan Cun Sek, Hay Hay kembali membalik dan menyerang Ki Liong. Murid Pendekar Sadis ini yang maklum akan kelihaian Hay Hay, menangkis dengan Gin-hwa-kiam. "Trakkkk!" Kedua pedang bertemu dan melekat! Ki Liong terkejut dan menarik pedangnya, akan tetapi Hong-cu-kiam yang lemas itu ternyata telah melibat. Ujung Hong-cu-kiam membelit pedang Gin-hwa-kiam seperti seekor ular saja! "Han siong, cepat kau ambil pedangnya. Pedang itu tidak pantas berada di tangannya. Kita kembalikan kelak ke Pulau Teratai Merah!" kata Hay Hay kepada Han siong sambil mempertahankan pedang lawan itu dengan libatan pedangnya. Ji Sun Bi maju menghalang dan menusukkan pedangnya kepada Han siong untuk mencegah pemuda ini mengeroyok Ki Liong. Akan tetapi kini, setelah berhadapan dengan Ji Sun Bi sendiri, Han siong tentu saja memandang ringan wanita itu dan dengan mudah dia membiarkan pedang yang menusuknya itu lewat dan dari samping tangannya menyambar. "Plakk!" Pundak Sun Bi terkena tamparan tangan Pek-hong sin-ciang dan ia pun mengeluh lalu roboh terkulai Han Siong kini menerjang Ki Liong yang masih sibuk menarik Gin-hwa-kiam dari libatan Hong-cu-kiam. Tangan kiri Han Siong mencengkeram ke arah tangan murid Pendekar Sadis itu dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pelipis! Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Ki Liong melepaskan pedangnya dan berjungkir balik ke belakang. Pedangnya kini sudah berpindah ke tangan Han Siong. "Ha- ha -ha, bagaimana, Han Siong? Kita bunuh saja tiga ekor ular berbisa ini?" "Jangan, Hay Hay. Kita bukan pembunuh keji! Kita tangkap saja mereka dan…….. " Tiba-tiba nampak seorang pria raksasa meloncat ke depan mereka dan dia mengebutkan sebuah kain. Asap atau debu hitam berhamburan dan terdengar pula suara ledakan yang menimbulkan asap hitam tebal. "Han Siong, mundur! Debu itu beracun!" teriak Hay Hay yang menyambar lengan Han Siong dan mengajaknya melompat jauh ke belakang. Asap hitam menjadi tabir dan membuat mereka tidak dapat melihat ke depan. Akan tetapi Hay Hay melihat kain yang dikebut-kebutkan itu dan dia berbisik. "Kita serang kain itu dengan pukulan jarak jauh. Mari!" Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang dan mendorong dari tempat mereka berdiri ke arah kain itu. Angin dahsyat menyambar ke arah kain itu dan terdengarlah jerit parau mengerikan di dalam asap hitam yang gelap itu, lalu keadaan menjadi sunyi. Setelah asap hitam lenyap ditiup angin, mereka hanya melihat pria raksasa tadi menggeletak tanpa nyawa di situ dengan muka berubah hitam dan kain itu masih. Menutupi mukanya. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Kiranya pria raksasa itu adalah Hek-tok Pangcu Cui Bhok yang menolong tiga orang pemimpinnya sedangkan bahan peledak yang mengeluarkan asap hitam tadi dilepas oleh tiga orang tokoh Pek-lian-kauw untuk menolong teman-temannya. "Hemm, mereka telah lolos! Biar kucari dan kukejar mereka!” kata Hay Hay. “Tidak perlu lagi” kata Han Siong. “lebih baik kita membantu mereka yang sedang membasmi anak buah Kim-lian-pang yang jahat. Anak buah Hek-tok-pang itu masih berbahaya dikhawatirkan terjatuh banyak korban di antara para penyerbu.” "Kim-lian-pang? Hek-tok-pang? Aku tidak tahu apa yang terjadi." Hay Hay yang baru datang memang tidak tahu dan bertanya heran. "Kim-lian-pang anak buah Sim Ki Liong dan Hek-tok-pang anak buah dia yang tewas ini. Sudahlah, nanti saja keterangan lebih lanjut. Aku harus membantu mereka!" kata Han Siong yang segera meloncat pergi dari situ. "Aku membantumu!" kata Hay Hay sambil mengejar. Tentu saja dia percaya penuh bahwa yang dibela oleh Han Siong pasti berada di pihak yang benar. Dia sudah mengenal watak Sin-tong ini, seorang pendekar muda gemblengan yang selalu menentang kejahatan. Apa lagi tadi dia sudah membuktikan sendiri bahwa pihak lawan pemuda itu adalah orang-orang yang dia tahu amat jahat, terutama Ji Sun Bi. Dan tentu saja dia mengenal baik siapa Ji Sun Bi! Bagaimana tidak mengenalnya? Bahkan wanita cantik yang cabul itu dapat dibilang merupakan gurunya dalam bercumbu dan berolah cinta! Wanita pertama kali yang saling peluk dan saling cium dengannya adalah Ji Sun Bi! Kalau saja batinnya tidak kokoh kuat, tentu dia sudah kehilangan perjakanya oleh wanita itu. Dan hampir saja dia diperkosa ketika Ji Sun Bi dibantu mendiang gurunya, Min-san Mo-ko yang membuat dia tidak berdaya dengan sihir. Untung muncul Pek Mau Sanjin, mendiang kakek sakti yang kemudian menjadi gurunya dalam hal ilmu sihir. Dia sudah mengenal. Ji Sun Bi dengan baik dan mengenangkan peristiwa itu saja, sudah tentu dia tidak tega untuk. membunuhnya! Wanita pertama yang mengajarnya tentang permainan asmara! Perhitungan dan siasat yang dipergunakan Ouw Pangcu memang tepat. Dia dan kawan-kawannya menghujankan anak panah berapi ke puncak dan hal ini memancing semua anak buah Kim-lian-pang dan Hek-tok-pang untuk turun dari puncak, meninggalkan sarang mereka lalu mengamuk dengan penuh kemarahan. Apa lagi setelah mereka lihat betapa pimpinan mereka mengepung seorang pemuda lihai. Hek-tok Pangcu memimpin anak buahnya mengamuk dan tepat seperti di khawatirkan Han Siong, dua, puluh orang Hek-tok-pang dan pemimpin mereka ini merupakan lawan berat yang membuat para penyerbu kewalahan. Akan tetapi karena pihak para penyerbu jauh lebih banyak jumlahnya, dan para penyerbu itu juga terdiri dari para anggota perkumpulan silat yang rata-rata pandai ilmu silat, maka pertempuran berlangsung dengan hebatnya dan di kedua pihak telah jatuh korban belasan orang banyaknya. Munculnya Han Siong dan Hay Hay dalam pertempuran itu pada saat yang amat tepat. Begitu dua orang pemuda sakti ini terjun ke dalam pertempuran, hanya mempergunakan kaki tangan karena mereka telah menyimpan pedang pusaka yang mereka rampas tadi, tidak ingin mempergunakan pedang pusaka yang bukan milik mereka itu untuk membunuh orang, maka kocar-kacirlah pihak lawan. Semua anak buah Hek-tok-pang roboh dan tewas, dan sebagian besar anak buah Kim-lian-pang juga roboh, sebagian kecil melarikan diri dan ada yang terjun ke dalam jurang untuk menyelamatkan diri. Dipimpin oleh Ouw Pangcu, para penyerbu lalu naik ke puncak Kim-Iian-san, dan dua orang pemuda perkasa itulah yang menjadi pelopor di depan. Merekalah yang meruntuhkan semua penghalang dan jebakan, dan memunahkan segala macam racun yang disebar dengan membakar rumpun semak belukar di sepanjang lorong dan jalan setapak yang menuju ke puncak. Akhirnya mereka tiba di puncak, di sarang Kim-lian-pang dan ternyata yang tinggal disarang itu hanyalah isteri para anggota dan anak-anak mereka. Ouw Pangcu cepat memberi aba-aba agar tak seorangpun boleh mengganggu mereka! Sikap ini saja sudah membuat Han Siong dan Hay Hay merasa senang sekali, dan mereka tidak merasa menyesal telah membantu gerakan yang dipimpin oleh Ouw Pangcu yang bijaksana itu.     Semua harta benda yang berada di sarang Kim-lian-pang, oleh Ouw Pangcu lalu dibagikan kepada keluarga para anggota Kim-lian-pang, dan dia menyuruh mereka semua turun bukit, kemudian dibakarnya sarang. itu, disaksikan oleh semua penyerbu yang bersorak sorai penuh kemenangan dan kepuasan karena mereka semua merasa sakit hati kepada Kim-lian-pang dan kini mereka telah berhasil membalas dendam dan membasmi perkumpulan jahat itu. Setelah api berkobar membakar sarang gerombolan Kim-lian-pang dan para penyerbu itu bersorak-sorak, tiba-tiba terdengar suara Ouw Pangcu lantang. "Saudara sekalian, tanpa bantuan dari pendekar besar Pek Han Siong, tidak mungkin kita dapat membasmi gerombolan jahat itu. Mari kita berterima kasih kepada Pek Taihiap!" Berkata demikian, Ouw PangCu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pek Han Siong, diikuti oleh puterinya yang gagah tadi juga ikut bertempur dengan gagah dan mati-matian. Mendengar ini, semua anggota penyerbu yang terdiri dari para anggota bermacam perkumpulan segera menjatuhkan diri berlutut dan menghadap pemuda itu. Hanya Han Siong dan Hay Hay saja yang berdiri, sedangkan semua orang berlutut. Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan berseru dengan nyaring. “Hidup pendekar gagah Pek Taihiap!” Mendengar ini semua orang yang berlutut juga berseru, “Hidup Pek Taihiap! Hidup Pek Taihiap!” “Ih, engkau gila!” Han Siong memaki Hay Hay yang masih cengar-cengir menggodanya, kemudian Han Siong menghampiri Ouw Pangcu dan mengangkat bangun ketua itu dan juga puterinya. Dia ingin membalas kepada Hay Hay, maka katanya dengan lantang. “Ouw Pangcu dan saudara sekalian harap bangun dan jangan berterima kasih kepadaku saja. Tanpa bantuan pendekar sakti Tang Hay ini, mana aku mampu mengalahkan para pimpinan Kim-lian-pang? Dia inilah yang telah membantuku dan dia yang berjasa besar dalam pertempuran ini. Hidup Pendekar Mata Keranjang Tang Hay!" Tentu saja semua orang merasa heran dan juga geli mendengar julukan itu. Pendekar Mata Keranjang! Maka, merekapun tidak berani menirukan sorakan Han Siong tadi, khawatir kalau menyinggung hati pemuda berpakaian biru dan bercaping lebar itu. Ouw Pangcu cepat maju memberi hormat kepada Tang Hay. "Terima kasih atas bantuan taihiap!" katanya, diturut pula oleh Ci Goat, puterinya. Hay Hay memandang kepada Ci Goat dan tersenyum. "Aih, tidak kusangka bahwa diantara banyak orang gagah ini terdapat pula seorang nona yang gagah perkasa. Han Siong, perkenalkan aku kepada mereka!" Han Siong tersenyum mengejek. Pemuda yang satu ini memang payah, pikirnya. Tak dapat dia menyangkal bahwa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang tinggi,bahkan dia sendiri merasa sukar untuk dapat menandinginya, juga memiliki watak gagah dan bertanggung jawab, seperti yang pernah dibuktikannya dengan mengakui Ang-hong-cu sebagai ayahnya. Akan tetapi satu hal yang membuat dia merasa kecewa, pemuda ini memiliki sifat Mata keranjang yang sudah tidak ketulungan lagi. Bagaikan seekor kumbang yang tak pernah mau melewatkan setangkai kembang yang indah bermadu. Begitu melihat wanita, terus saja tertarik! Memang,harus diakuinya bahwa pada kenyataannya, pemuda ini tidak pernah mengganggu wanita dalam arti kata yang sedalamnya, melainkan hanya iseng saja dan hanya tertarik untuk berdekatan. Namun tentu saja mudah orang menjatuhkan kesalahan kepadanya kalau terjadi sesuatu dengan gadis yang didekatinya. "Ouw Pangcu dan adik Ci Goat, dia ini adalah seorang pendekar sakti bernama Tang Hay dan berjuluk….. " "Aih, tidak ada julukan bagiku, Han Siong, tidak seperti engkau yang dijuluki Sin-tong sejak kecil!" Hay Hay mencela. Ucapannya ini tentu saia hanya untuk bergurau, dan dia maupun Han Siong tidak menyadari bahwa sendau gurau ini ternyata berakibat panjang. Seorang di antara mereka yangtadi ikut menyerbu, terbelalak mendengar sebutar Sin-tong untuk ke dua kalinya ini, akan tetapi diapun diam saja. "Hay Hay, ini adalah Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi dan ini adalah nona Ouw Ci Goat, puterinya." Han Siong memperkenalkan. . "Ouw. Pangcu, sungguh beruntung aku dapat berkenalan dengan ketua Pek-tiauw-pang," kata Hay Hay dengan sikap sopan. "Aihh, Tang-taihiap. Pek-tiauw-pang kini hanya tinggal namanya saja. Tadinya, yang bersisa dari pembunuhan yang dilakukan Kim-lian-pang hanya tinggal aku, anakku ini dan tiga orang murid. Akan tetapi, kini tiga orang murid itupun gugur dalam pertempuran tadi. Tinggal aku dan puteriku ini, maka mulai saat ini, aku adalah Ouw Lok Khi biasa, bukan 1agi seorang pangcu (ketua). Aku sudah terlalu tua untuk membangun lagi Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi habis." "Ah, kurasa tidak perlu paman Ouw berputus asa. Bukankah di sini masih ada nona Ouw yang gagah perkasa dan cantik jelita, lagi masih muda belia? Dengan bantuannya, apa sukarnya bagi paman untuk membangun lagi perkumpulan?" Hay Hay berkata dengan ramah. Dia melihat sepasang mata yang jeli itu terbelalak mendengar pujian bagi dirinya, akan tetapi terbelalak heran atas keberanian orang, bukan karena marah! "Sudahlah, aku sudah menerima kalah. Mari, ji-wi taihiap, marilah ji-wi (kalian) singgah dulu di rumah muridku Thio Ki yang telah diserahkan kepada kami. Karena diapun gugur, maka rumahnya kini menjadi tempat tinggal kami untuk sementara."   Han Siong hendak menolak, dan hal ini nampak oleh Hay Hay yang bermata tajam, maka Hay Hay cepat mendahuluinya. "Baiklah, paman, dan nona. Terima kasih atas undangan itu. Mari, Han Siong, kita singgah dulu di rumah paman Ouw untuk mempererat persahabatan." Tentu saja dengan ucapan seperti itu, Han Siong merasa dilumpuhkan dan tidak berani menolak. Bagaimana dia berani menolak kalau persinggahan itu dimaksudkan untuk mempererat persahabatan? Dia hanya mengerling tajam kepada Hay Hay yang menyeringai lebar karena maklum bahwa kawannya itu mendongkol. Dia merasa heran mengapa dalam pertemuan sekali ini dengan Han Siong, setelah semua rasa curiga dan kemarahan lenyap di antara mereka, dia merasa amat akrab dengan Han Siong, seolah-olah mereka adalah dua orang sahabat lama. Setelah menyerahkan pengurusan para jenazah muridnya dan teman-teman lain kepada para sahabatnya yang ikut dalam penyerbuan, Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat lalu mengajak dua orang pemuda perkasa itu ke rumah Thio Ki yang juga gugur. Tiga jenazah murid Pek-tiauw-pang, termasuk jenazah Thio Ki, setelah dirawat, lalu dimasukkan peti dan dibawa ke rumah itu, dijajarkan di serambi depan. Malam itu, banyak kenalan datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada ketiga jenazah dalam peti kemas dan pada keesokan harinya, tiga peti jenazah itupun di kuburkan dengan upacara sederhana. Selama itu Hay Hay tanpa rikuh lagi selalu mendekati Ci Goat dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap ramah dan akrab sekali! Berbeda dengan Han Siong yang selalu menjauhkan diri dari gadis itu karena dia merasa selalu merasa tidak enak berdekatan dengan gadis yang dia ketahui telah jatuh cinta kepadanya itu. Bahkan melihat gadis itu nampak murung ketika orang-orang mulai menimbuni lubang kuburan tiga orang murid Pek-tiauw-pang itu dengan tanah, ketika gadis itu duduk di bawah pohon untuk berlindungi dari sengatan matahari, Hay Hay mendekatinya dan masih sempat berkelakar, untuk memancing percakapan. Hay Hay juga duduk di atas sebuah batu, dalam jarak tiga meter dari gadis itu dan tanpa rikuh-rikuh dia mengamati wajah gadis yang bulat dan berkulit putih mulus itu. Wajah itu nampak muram dan sinar matanya mengandung kedukaan. Pandang mata orang biasa saja sudah mengandung getaran yang akan terasa oleh orang yang dipandang, apa lagi pandang mata Hay Hay yang matanya memiliki kekuatan sihir yang hebat walaupun dia tidak mempergunakan kekuatannya pada saat itu. Gadis itu mengangkat muka dan pandang matanya bertemu dengan mata Hay Hay yang tidak menyembunyikan sinar kekagumannya. Melihat betapa mata pemuda itu memandang kepadanya dengan kagum, Ci Goat mengerutkan alisnya. Akan tetapi ia teringat akan ucapan Han Siong yang menjuluki pemuda ini dengan julukan aneh, yaitu Pendekar Mata Keranjang! Dan. Melihat pandang mata itu, tidak aneh kalau dia dijuluki mata keranjang! Ia tidak berani marah, mengingat bahwa pemuda ini juga seorang penolong besar yang membuat ia dan ayahnya berhasil membalas dendam dan menghancurkan perkumpulan kim-lian-pang dan antek-anteknya. Maka ia hanya menundukkan kembali mukanya dengan cepat dan muka yang putih itu berubah kemerahan. “Heiii, nona Ouw, mengapa bermuram durja? Betapa sayangnya kalau bulan purnama tertutup awan dan matahari terhalang mendung, dunia akan menjadi gelap dan kehilangan serinya! Nona, kenapa berduka pada hal pagi seindah dan secerah ini?" Kedua pipi yang putih halus itu menjadi semakin merah. Ia diumpamakan bulan dan matahari! Sungguh kata-kata rayuan maut yang akan dapat membuat wanita tergetar dan berlonjak kegirangan penuh bangga. Akan tetapi Ouw Ci Goat tersipu malu dan melirik ke arah Han Siong yang berdiri dekat mereka yang sedang melakukan pemakaman. Hatinya khawatir. Ia jatuh cinta kepada Han Sion dan kini Pendekar Mata Keranjang mengeluarkan kata-kata yang merayunya. Andaikata bukan pendekar ini yang mengeluarkan kata-kata rayuan itu, tentu akan dijauhinya, tidak diperdulikannya. Akan tetapi Hay Hay adalah seorang pendekar yang berjasa juga seperti Han Siong, dan harus diakuinya bahwa mendengar ucapan manis seperti madu dari seorang pemuda yang demikian gagah perkasa dan gantengnya, sungguh merupakan belaian lembut pada hatinya. Untuk mencegah pemuda itu melanjutkan rayuannya, iapun menjawab dengan sikap, pandang mata, dan nada suara yang serius, bahkan hatinya yang sedang diliputi kedukaan itu membuat kedua matanya basah air mata. "Taihiap, bagaimana mungkin aku tidak berduka? Aku kehilangan semua saudara anggota Pek-,ti,auw-pang yang juga menjadi murid-murid ayah, menjadi saudara-saudara seperguruanku. Mereka semua tewas, bahkan tiga orang yang terakhirpun hari ini tewas. Malapetaka besar telah menimpa keluarga kami. Tentu saja aku berduka sekali, taihiap." Hay Hay tersenyum, "Aih, nona Ouw, sungguh sayang menghamburkan air mata dan meremas hati sendiri. Berduka akan membuat wajahmu yang seperti bulan purnama itu menjadi kerut merut, dan akan membuat engkau yang muda belia ini menjadi cepat tua. Nona yang baik, aku ingin bertanya, siapa yang kautangisi, siapa yang kausedihkan itu?" Gadis itu memandang heran. Matanya yang agak kemerahan karena tangis itu agak terbelalak dan Hay Hay rnemandang kagum. Indahnya mata itu! "Taihiap, aneh sekali pertanyaanmu itu. Tentu saja yang kutangisi, adalah tiga orang suheng yang tewas itu, semua saudara seperguruanku yang telah tewas oleh para penjahat Kim-lian-pang!" "Kenapa menangisi mereka yang sudah mati? Apakah kalau ditangisi, mereka akan merasa senang di sana ataukah kalau disedihkan, mereka akan hidup kembali?" Gadis itu semakin terkejut dan heran. "Tentu saja tidak! Pertanyaanmu sungguh aneh sekali, taihiap. Orang di seluruh dunia ini tentu akan bersedih dan menangis kalau kematian orang-orang yang dekat dengan mereka!" "Ah, jadi kalau begitu engkau bersedih dan menangis karena umum melakukannya? Jadi tangismu itu hanya ikut-ikutan saja? Mari kita bicara tentang kesedihanmu, perasaanmu sendiri, bukan kesedihan orang-orang lain, nona yang baik. Nah, mari kita selidiki. Apakah engkau bersedih untuk mereka? Rasanya tidak mungkin. Mereka telah mati dan engkau tidak tahu keadaan mereka. Yang jelas, mereka tidak menderita lagi dan tidak ada alasan untuk mengasihani mereka. Bahkan, mereka itu mati sebagai orang-orang gagah, sebagai pendekar yang menentang kejahatan. Sepantasnya engkau malah bangga dengan kematian mereka, bukan berduka. Tidakkah benar demikian, nona!"   "Aku…… aku tidak tahu…… aku menjadi bingung. Rasanya….. pendapatmu itu benar, akan tetapi tak mungkin aku berbangga dan tidak berduka. Orang-orang akan menganggap aku tidak wajar…..” "Justeru sebaliknya! Tangismu ini, kalau kaukatakan untuk menangisi mereka yang mati, sama sekali tidak wajar bahkan pura-pura! Mari kita membuka mata melihat kenyataan, nona. Coba jenguk perasaan hatimu sendiri. Lihat baik-baik apa yang kaurasakan. Benarkah engkau menangis dan bersedih karena kasihan kepada mereka yang mati? Ataukah engkau bersedih dan menangis untuk dirimu sendiri, karena engkau merasa kehilangan dan merasa kasihan kepada dirimu sendiri? Beranikanlah hatimu dan amatilah baik-baik!" Gadis itu tertegun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia mendengar pendapat yang seperti itu. Bukan, bukan pendapat, melainkan pembukaan kenyataan yang tidak dapat ia bantah lagi. Memang benar, ia menangis dan berduka karena merasa kasihan kepada dirinya sendiri, kepada nasib dirinya, sama sekali bukan menangisi mereka yang mati. Ia berduka karena ia kehilangan saudara dan sahabat baik, karena ia merasa ditinggalkan. Hal ini sekarang nampak jelas. "Aku…….. aku menjadi bingung.....kata-katamu memang benar, Taihiap. Akan tetapi, apakah aku tidak boleh menangis dan harus bergembira menghadapi kematian para suhengku?" Hay Hay tersenyum. "Tidak ada yang menyuruhmu menangis atau tertawa, nona, juga tidak ada yang melarangmu untuk menangis atau tertawa. Tangis dan tawa adalah pencurahan dari keadaan hati dan tidak ada orang lain yang mampu mengatur keadaan hatimu. Yang penting, engkau harus yakin benar apa yang kau tangiskan atau tawakan, agar tangis dan tawamu tidak menjadi palsu." Gadis itu termenung, wajahnya kosong dan polos dan tiba-tiba Hay Hay tertawa bergelak sehingga gadis itu menjadi semakin heran dan menatap wajah yang tampan itu. "Ha-ha-ha, coba rasakan , baik-baik, nona. Semenjak kita bercakap-cakap, engkau sama sekali tidak berduka lagi, tidak menangis lagi! Itu menjadi bukti jelas bahwa duka hanyalah permainan pikiran sendiri belaka! Pikiran mengenang hal-hal yang amat tidak menguntungkan diri sendiri. Tadi pikiranmu mengenang tentang kehilangan saudara-saudaramu sehingga timbul iba diri dan pikiranmu seperti meremas-remas hati sendiri, muka timbullah duka. Begitu pikiranmu terisi perhatian untuk percakapan kita tadi, kenangan itu pun hilang dan dukapun lenyap tanpa bekas! Biang keladi susah senang hanyalah kenangan pikiran, didasari rugi untung bagi diri pribadi, keduanya saling berlomba menguasai diri. Akan tetapi, kalau harus memilih, kenapa tidak memilih tersenyum dari pada menangis. Kalau engkau menangis, wajahmu yang cantik itu penuh kerut merut, matamu kemerahan, hidungmu merah dan engkau menyeret orang lain untuk menangis pula. Sebaliknya, kalau engkau tersenyum…..hemm, cobalah senyum, nona dunia akan ikut tersenyum bersamamu. Dan wajahmu yang cantik itu akan menjadi semakin manis kalau engkau tersenyum!" Ci Goat tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak tersenyum dan Hay Hay terpesona. Manisnya kalau tersenyum gadis itu! Akan tetapi, segera senyum itu lenyap dan Ci Goat berkata lirih, agak cemberut. "Taihiap harap jangan mempermainkan aku. Kalau ayahku melihat betapa aku senyum-senyum pada saat mereka mengubur jenazah tiga orang suhengku, tentu ayah akan marah, menganggap aku tidak sopan, tidak mengenal aturan, tidak sayang kepada suheng-suhengku bahkan mungkin aku akan dianggap gila! Apa yang harus kujawab kalau ayah atau orang lain bertanya mengapa aku tersenyum-senyum dalam keadaan berkabung seperti ini?" "Katakan saja bahwa engkau bergembira bahwa tiga orang suhengmu tewas sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan. Katakan bahwa engkau gembira karena telah menemukan dirimu sendiri seperti apa adanya, tidak berpura-pura, berani melihat kcnyataan hidup!" Hay Hay tersenyum dan kini Ci Goat juga tersenyum. Gadis ini merasa betapa dadanya lapang dan lega, tidak lagi tertindih duka yang ternyata hanya dibuat oleh angan-angan pikirannya sendiri! Ia merasa bebas lepas dan nyaman! Pada saat itu, Han Siong mendekati mereka. "Wah, ada apa ini kalian amat gembira dan senyum-senyum. Goat-moi, hati-hatj jangan sampai terbuai oleh rayuan maut Si Pendekat Mata Keranjang!" "Ha-ha-ha. Sin-tong! Mana mungkin ia dapat terbuai rayuan? Hatinya sudah melekat pada seseorang, cintanya hanya ditujukan kepada seseorang!" Tentu saja Ci Goat tersipu malu, ingin membantah akan tetapi karena di situ hadir Han Siong, iapun tidak dapat mengeluarkan kata-kata melainkan "Ihh, taihiap…” "Hay Hay, siapakah seseorang yang kau maksudkan itu?" tanyanya ingin tahu karena dia menduga bahwa tentu Hay Hay ngawur saja, hanya untuk mengoda Ci Goat. "Hemm, jangan kau pura-pura tidak tahu! Siapa lagi kalau bukan Sin-tong Pek Han Siong?" Han Siong terbelalak, terkejut dan heran. Juga Ci Goat terkejut, akan tetapi ia lalu lari dari situ menuju ke tempat di mana ayahnya dan orang-orang lain sedang menimbuni tiga makam dengan tanah, dengan muka berubah merah sekali. "Hay Hay, bagaimana engkau bisa tahu? Ataukah engkau ngawur saja?” tanya Han Siong sambil mendekati Hay Hay, matanya memandang penuh selidik. "Tahu apa?" Hay Hay pura-pura tidak tahu untuk mengoda. "Tahu bahwa ia mencintaku!"   "Ha-ha, yang matanya tidak buta tentu tahu! Cara ia memandang kepadamu saja sudah jelas, belum lagi kalau ia bicara kepadamu tentu lebih jelas lagi. Pandang mata seorang wanita yang jatuh cinta mudah sekali diketahui rahasia hatinya. Ada kalanya sinar matanya bersinar penuh kagum, penuh harap, penuh penantian. Ada kalanya sinar matanya itu redup seperti orang mengantuk, penuh tantangan, penuh penyerahan, nampak malu-malu, mengandung kegenitan…. ah, pendeknya, jelas sekali. Kalau bicara, tentu suaranya akan menggetarkan lagu cinta, disertai senyum dikulum penuh arti, dan andaikata ia hendak menyembunyikan perasaan cintanyapun akan nampak jelas pada pandang matanya dan pada suaranya. Ah, dia jatuh cinta tidak ketulungan lagi kepadamu Sin-tong, dan engkau bahagia sekali. Ia seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa, mudah menerima kebijaksanaan dan…… hemm, wanita seperti itu pasti penuh gairah dan panas!" Hay Hay tertawa dan Han Siong mengerutkan alisnya, wajahnya menjadi muram. Akan tetapi, diam-diam dia heran mendengar ucapan Hay Hay itu yang jelas membuktikan bahwa Hay Hay memang seorang ahli wanita! Untuk menutupi kemuramannya dia tersenyum. "Hay Hay, engkau sungguh seorang mata keranjang yang ahli wanita. Bagaimana pula engkau bisa tahu tentang penuh gairah dan panas itu?" Hay Hay tertawa. "Mudah saja, sudah ada tanda-tandanya. Lihat saja sinar matanya, seperti ada apinya. Lihat saja tarikan mulutnya. Bibir itu penuh gairah dan menantang. Dan bentuk tubuhnya! Hemm, ia seorang wanita pilihan, Han Siong. Sebaiknya engkau cepat memetik bunga yang sedang mekar cerah dan harum semerbak itu!" Han Siong , menarik napas panjang. "Engkau benar, Hay Hay. Memang ia jatuh cinta kepadaku, dan inilah yang membuat aku pusing. Aku tidak ingin menyakitkan hatinya, akan tetapi aku….aku tidak mungkin dapat membalas cintanya!" Kini Hay Hay tertegun, akan tetapi, dia lalu tersenyum. "Wahai sobat, kiranya engkau sudah jatuh cinta kepada wanita lain?" Kembali Han Siong terkejut dan mengamati wajah Hay Hay dengan tajam, seolah hendak menjenguk isi hatinya. Kenapa pemuda ini tahu segala? “Hemm, bagaimana lagi engkau bisa tahu akan hal itu?" "Ha-ha-ha, engkau memang masih hijau dalam soal asmara, sobat! Kalau ada seorang pemuda menolak cinta seorang gadis sehebat nona Ouw Ci Goat, tentu pemuda itu tidak waras atau miring otaknya! Karena kulihat engkau ini bukan pemuda yang kurang waras atau miring otaknya, maka satu-satunya sebab penolakanmu sudah pasti bahwa engkau telah jatuh cinta kepada wanita lain!" Han Siong memandang kagum. Hebat anak ini, pikirnya. Otaknya demikian cerdas dan walaupun sikapnya ugal-ugalan dan ceriwis. namun harus diakui bahwa apa yang diucapkannya memang benar. Dia menarik napas panjang dan kembali dia teringat kepada Bi Lian, gadis yang dicintanya. "Engkau memang benar, Hay Hay. Dan setelah secara hebat dan tepat engkau mengetahui keadaan hati kami, aku ingin minta pertolonganmu. Kau ceritakanlah kepada Ci Goat bahwa aku tidak mungkin dapat menerima cintanya karena aku telah mempunyai pilihan hati gadis lain." Hay Hay tersenyum. "Wah, tugas berat itu! Kenapa enckau tidak mau berterus terang saja kedanya?” "Ih, kau ini bagaimana? Ia belum pernah mengaku cinta, bagaimana aku akan menceritakan bahwa aku tidak dapat menerima cintanya? Pula, aku tidak ingin menyakiti hatinya, dan engkau yang ahli asmara ini tentu akan bisa mencari akal agar ia dapat menerima kenyataan ini dengan tabah dan dapat mengerti penolakanku." Hay Hay menepuk mulut sendiri. "Dasar mulut usil! Sekarang tertimpa tugas yang berat." "Hemm, katakan saja bahwa engkau tidak mampu melakukan itu, tidak perlu sungkan dan mencari alasan!" kata Han Siong, cemberut. "He-he-he, siapa bilang tidak mampu? Pekerjaan begitu saja, menghadapi wanita, uhh, sepele bagiku!" “Nah, jadi engkau mau, bukan?" kata Han Siong, kini tersenyum. Hay Hay terbelalak. "Setan! Engkau memancing kesanggupanku dengan mengatakan aku tidak mampu, ya? Engkau penuh akal bulus dan tipu muslihat, Han Siong!" kata Hay Hay tertawa. "Aku hanya mencontoh engkau!" "Baiklah, aku menyerah. Aku yang akan menyampaikan kepadanya walaupun hatiku akan hancur lebur jadi debu melihat seorang gadis menangis karena patah hati. Akan tetapi, untuk itu, engkau harus bersabar dan selama beberapa hari kita tinggal di rumah keluarga Ouw. Berjlah waktu sepekan untukku.” "Sepekan? Biar sebulanpun boleh. Engkau tinggal di rumah mereka, dan aku melanjutkan perjalananku." "Enaknya! Kalau begitu, akupun tidak akan sudi! Engkau harus menemani aku di rumah itu sampai aku selesai dengan tugasku. Bagaimana?" Kembali Han Siong menarik napas panjang. "Baiklah, Mari kita ke sana, agaknya sudah selesai penguburan itu dan kini tinggal sembahyang sebagai penghormatan terakhir." Mereka bergandeng tangan sebagai dua orang sahabat yang akrab sekali menuju ke makam baru yang rupanya sudah selesai ditimbuni tanah itu   Memang Hay Hay dan Han Siong saling merasa suka dan akrab, merasa seolah ada pertalian hubungan di antara mereka. Betapa tidak? Sejak terlahir di dunia ini, keduanya memang mempunyai hubungan akrab sekali, jalan hidup mereka saling kait-mengait secara aneh. Memang bukan sanak bukan kadang, akan tetapi sejak lahir sampai menjadi besar. Hay Hay menempati hidup Han Siong dan seolah dia menjadi Han Siong ke dua! Sejak bayi dia dipakai menjadi pengganti Han Siong yang disembunyikan orang tuanya dan dia mengalami banyak seka1i hal hebat karena dia disangka Han Siong. Dan setelah dewasa, mereka berdua sama lihainya, memiliki tingkat kepandaian yang berimbang, bahkan keduanya selain menjadi murid orang-orang sakti dan menerima gemblengan ilmu silat, juga keduanya mahir ilmu sihir! Ketika semua orang selesai bersembahyang di depan tiga buah makam itu untuk memberi penghormatan terakhir, tiba-tiba terdengar suara kelenengan kecil yang nyaring. Semua orang menengok ke arah suara itu dan melihat tiga orang pendeta Lama yang berjubah merah dengan langkah lebar menuju ketempat itu. Melihat mereka itu Han Siong dan Hay Hay saling pandang, dan Hay Hay tersenyum. Keduanya sudah mengenal baik para pendeta Lama yang sejak mereka masih kecil berusaha untuk menemukan dan menculik Sin-tong, yaitu Pek Han Siong. Tak salah lagi, pikir mereka, munculnya tiga orang pendeta Lama itu tentu ada hubungannya dengan urusan lama itu, maka keduanya siap siaga dan waspada. Mereka memperhatikan tiga orang pendeta Lama itu. Seperti pada umumnya, tiga orang pendeta Lama itupun bertubuh jangkung. Orang pertama tinggi besar seperti raksasa, dengan kaki tangan yang kokoh kuat, sepasang matanya bundar dan amat tajam, mukanya membayangkan kekuatan dan keberingasan, dan memikul sebatang tongkat panjang yang dipasangi kelenengan perak kecil yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau dia bergerak, dan di ujung lain dari tongkatnya, tergantung sebuah buntalan yang cukup besar. Raksasa berkulit hitam ini agaknya menjadi pimpinan walaupun usianya sebaya dengan dua orang temannya, yaitu kurang lebih enam puluh tahun. Lama yang kedua berkulit putih, tubuhnya tinggi kurus dan matanya seperti terpejam selalu saking sipitnya dan dia tidak kelihatan membawa senjata apapun. Akan tetapi kalau orang melihat ke arah pinggangnya, orang itu akan merasa ngeri melihat betapa sabuk di pinggang orang tinggi kurus ini adalah seekor ular hidup! Adapun pendeta yang ke tiga juga bertubuh jangkung, namun agak bongkok sehingga dia seperti seekor onta. Kulitnya kuning dan wajahnya kekanak-kanakan, kecil mengkerut. Di punggungnya tergantung sepasang cakar harimau yang sudah diberi gagang, sepanjang pedang. Ouw Pangcu atau sekarang lebih tepat disebut namanya saja, yaitu Ouw lok Khi karena dia tidak menjadi ketua lagi mengingat betapa semua anak buahnya telah tewas, tinggal dia dan puterinya seorang, segera maju menyambut tiga orang pendeta itu. Dia sendiri merasa heran melihat munculnya tiga orang pendeta, akan tetapi karena yang menyelenggarakan pemakaman untuk tiga orang muridnya adalah dia, maka dia merasa sebagai tuan rumah dan menyambut tiga orang hwesio itu dengan sikap ramah ramah dan sopan. “Selamat datang, sam-wi lo-suhu ( tiga bapak guru)! Kami sedang melakukan pemakaman dan sembahyangan untuk tiga orang murid kami yang tewas di tangan gerombolan penjahat.Tidak tahu, apakah keperluan sam-wi (kalian bertiga) datang berkunjung ke tempat pemakaman ini?" "Omitohud...... , semoga yang benar selalu mendapat perlindungan dan berkah! Pinceng (saya) bertiga sengaja datang untuk memberi hadiah penghibur bagi kalian yang berduka, juga untuk menyembahyangkan agar arwah ketiga orang ini mendapatkan tempat yang damai abadi. Nah, sekarang terimalah hadiah penghibur yang kami bawa ini!" Berbareng dengan habisnya ucapan itu, pendeta Lama yang bertubuh raksasa bermata lebar itu menggerakkan tongkatnya dan buntalan itupun melayang turun ke depan kaki Ouw Lok Khi. Buntalan itu begitu jatuh ke tanah lalu terlepas dan terbuka dan semua orang memandang ngeri melihat bahwa isi buntalan adalah tiga buah kepala orang yang masih segar, leher yang buntung itu masih berdarah, agaknya baru saja tiga buah kepala itu dipenggal dari tubuhnya! "Ohh..... !" OuW Lok Khi terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan muka pucat. Hay Hay dan Han Siong yang sudah siap siaga telah berloncatan kedepan. Sekali lihat saja mereka berdua mengenal tiga buah kepala itu. "Ini kepala para tosu Pek-lian-kauw ahli sihir itu!" seru Hay Hay. Pendeta Lama yang tinggi besar itu tertawa, dan dua orang temannya berdiri seperti patung, hanya menonton. "Ha-ha, benar sekali, orang muda. Bukankah mereka ini yang menyusahkan kalian? Eh, orang muda yang baik, apakah engkau yang bernama Pek Han Siong?" Sebelum Hay Hay menjawab, Han Siong yang sudah mempunyai dugaan buruk terhadap semua pendeta Lama, segera menjawab, "Akulah yang bernama Pek Han Siong! Tidak tahu, sam-wi lo-suhu mempunyai keperluan apakah dengan aku?" Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada Han Siong dengan penuh selidik, kemudian, melihat sinar mata mencorong pemuda itu yang agaknya seperti penuh tantangan, pendeta Lama yang tinggi besar itu lalu berkata ramah. "Bagus, setelah sekian lamanya kami mencari, kebetulan bertemu di sini. Saudara sekalian, dari juga engkau Pek Han Siong, ketahuilah bahwa kedatangan kami ini mempunyai iktikad baik. Buktinya, kami telah membunuh tiga orang tosu yang telah mengacau di sini dan menimbulkan banyak korban.Terus terang saja, kami senang bertemu dengan Pek Han Siong dan kami ingin membicarakan suatu hal yang amat penting. Akan tetapi sebelum itu, biarlah kami akan membuat sembahyangan dulu agar roh ketiga orang yang mati ini akan mendapat tempat yang tenang abadi." Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang agak bongkok mengeluarkan alat sembahyang dari saku jubahnya yang lebar, dupa dan tempat dupa gantung, dan sebagainya. Kemudian, disaksikan oleh semua orang, tiga orang pendeta Lama itu melakukan sembahyang dengan upacara yang aneh bagi mereka yang menyaksikan karena upacara sembahyang untuk kematian yang dilakukan para pendeta Lama ini amat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh para hwesio. Mereka mengelilingi tiga buah makam itu, mengucapkan doa dan mantram dengan nada dan lagu yang asing. Bagaimanapun juga, Ouw Lok Khi merasa bersukur dan berterima kasih kepada tiga orang pendeta itu.   Setelah tiga orang pendeta Lama itu menyelesaikan upacara sembahyang mereka lalu menghampiri Pek Han Siong dan Hay Hay yang sejak tadi menonton upacara itu dengan penuh perhatian. "Hati-hatilah, Han Siong. Aku merasa curiga kepada mereka. Kurasa mereka datang karena engkau, dan ada hubungannya dengan dirimu sebagai Sin-tong." Han Siong setuju dengan pendapat Hay Hay itu dan sejak tadi dia memang sudah merasa curiga dan sjap siaga. Kini, pendeta yang bertubuh raksasa itu berkata sambil memberi hormat kepadanya. "Saudara muda Pek Han Siong, kami bertiga mohon agar engkau suka menerima kami yang ingin bicara dengan engkau tanpa kehadiran orang lain, untuk urusan yang teramat penting. Hay Hay dan Han Siong saling pandang, kemudian Han Siong menjawab. "Aku tidak berkeberatan untuk bicara dengan sam-wi lo-suhu, akan tetapi aku lebih dulu ingin tahu siapa sebenarnya sam-wi ini." Han Siong yang cerdik agaknya cukup berhati-hati sehingga dia lebih dulu ingin agar Hay Hay juga mendengar siapa adanya mereka sebelum dia mengadakan Pembicaraan sendirian saja bersama tiga orang pendeta asing itu. Mendengar ini, tiga orang pendeta itu juga saling pandang, kemudian orang pertama yang tinggi besar itu menjawab, "Ketahuilah, saudara muda Pek, kami adalah tiga orang, pendeta dari Tibet. Nama pinceng (aku) adalah Gunga Lama." “Pinceng bernama Janghau Lama," kata pendeta tinggi kurus yang matanya amat sipit dan bersabuk ular hidup. "Dan pinceng bernama Pat Hoa Lama," kata pendeta bongkok yang di punggungnya membawa senjata sepasang cakar harimau. Dari namanya saja dapat diketahui bahwa yang dua orang pertama adalah orang-orang Tibet aseli, sedangkan orang ke tiga adalah peranakan Tibet/Han. Ouw Lok Khi yang merupakan seorang berpengalaman, diam-diam juga merasa curiga melihat tiga orang pendeta Tibet begitu datang lalu ingin bicara dengan Pek Han Siong. Maka, diapun mendahului mereka, setelah mereka memperkenalkan diri, dia maju dan memberi hormat. "Sam-wi Losuhu, kami berterima kasih sekali kepada sam-wi dan untuk memperlihatkan rasa terima kasih kami, kami mengundang sam-wi untuk menjadi tamu kami dan di sanalah sam-wi dapat bicara dengan leluasa tanpa terganggu dengan Pek- taihiap. Mari, silakan, sam-wi Lo-Suhu, Pek-taihiap dan tang-taihiap." Diam-diam dua orang pendekar muda itu bersukur akan sikap hati-hati dari bekas ketua Pek-tiauw-pang itu. Tiga orang pendeta itu tertegun, akan tetapi setelah saling pandang, mereka mengangguk dan tanpa benyak cakap mereka semua lalu bubaran, meningga1kan kuburan untuk kembali ke rumah masing-masing. Tiga orang pendeta itu ikut bersama Ouw Lok Khi dan Ouw Ci Goat, juga Han Siong dan Hay Hay berjalan mengikuti mereka, dan mereka berdua berjalan paling belakang. "Hay Hay, kurasa mereka tidak berniat buruk walaupun aku akan berhati-hati sekali menghadapi mereka. Engkau jangan lupa tugasmu!" "Tugas.... ? Ah, nona Ouw maksudmu? Jangan khawatir. Kita membagi tugas, engkau bicara dengan tiga orang pendeta Lama itu dan aku bicara dengan Ouw Ci Goat. He-he, tugasku lebih menyenangkan, berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis cantik manis, sedangkan engkau...... heh-heh!" "Dasar mata keranjang kau!" Han Siong mengomel akan tetapi Hay Hay hanya tertawa saja, walaupun di dalam hatinya, dia harus mengakui bahwa tugasnya jauh lebih berat. Dia harus menyampaikan kenyataan yang amat tidak menyenangkan bagi Ci Goat, dan dia harus mencari akal yang jitu agar gadis itu dapat menerima berita yang disampaikannya dengan tabah. * * * "Ci Goat, aku ingin bicara denganmu, bolehkah?" Gadis itu terkejut. Ia sedang termenung seorang diri di kebun belakang rumah barunya, rumah yang merupakan peninggalan dari suhengnya, yaitu mendiang Thio Ki. Ia sedang termenung dan terkenang akan percakapannya dengan Hay Hay yang pandai merayu, kemudian terkenang akan ucapan pemuda itu yang di depan Han Siong secara terus terang mengatakan keyakinannya bahwa ia mencinta Han Siong! Betapa malu rasa hatinya ketika itu, akan tetapi diam-diam iapun bersukur bahwa Hay Hay telah mengetahui akan isi hatinya dan mewakilinya menyampaikan hal itu kepada Han Siong! Kini ia tinggal menanti bagaimana reaksi dari Han Siong setelah mendengar bahwa ia mencintanya. Diam-diam ia merasa berterima kasih kepada Hay Hay yang perayu akan tetapi tidak kurang ajar itu. Ketika ada suara memanggilnya, Ia tersentak kaget dan menoleh. Kiranya Hay Hay yang memanggilnya. Kedua pipinya menjadi kemerahan, apalagi mendengar betapa pemuda ini menyebut namanya begitu saja, padahal biasanya menyebutnya nona! “Ah, kiranya Tang-taihiap.....” katanya sambil bangkit berdiri dari atas bangku yang didudukinya tadi. Hay Hay tersenyum dan agaknya dia pandai membaca hati orang dengan melihat sikapnya. "Jangan kaget kalau aku menyebut namamu begitu saja, Ci Goat. Setelah kita menjadi kenalan dan sahabat baik, rasanya janggal kalau aku harus menyebutmu nona, apa lagi engkau menyebut taihiap kepadaku, sebut saja toako (kakak), bukankah engkau juga menyebut begitu kepada Han Siong?"   Kedua pipi itu semakin merah sehingga nampak menggairahkan seperti buah tomat! Manisnya melebihi, madu! "Baiklah......toako. Eb. tentu saja boleh bicara dengan aku. Silakan duduk..... " Bangku itu terlalu pendek. Kalau dia harus duduk di situ bersama Ci Goat, tentu mereka harus duduk berdempetan. Tentu akan senang sekali duduk begitu dekat, akan tetapi Hay Hay maklum bahwa tentu gadis itu yang akan merasa risi dan rikuh. Maka diapun duduk saja di atas batu depan bangku itu, dalam jarak dua tiga meter. "Kau duduklah, Ci Goat. Aku ingin mengobrol denganmu karena sahabatku Han Siong lebih senang mengobrol dengan tiga orang pendeta Lama itu dari pada dengan aku atau engkau!" Ci Goat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata jelas membayangkan kekhawatiran. "Tang-taihiap..... eh, toako, siapakah sebenarnya tiga orang pendeta itu dan apakah maksud mereka hendak menemui dan bicara dengan Pek-toako? Kemunculan mereka yang tiba-tiba sungguh mencurigakan!" Sikap gadis ini yang mengkhawatirkan keadaan Han Siong menambah jelas bagi Hay Hay bahwa gadis ini memang telah jatuh cinta kepada Anak Ajaib itu. Dia tidak pernah dapat melupakan bahwa Pek Han Siong adalah Sin-tong (Anak ajaib) yang menurut pendapat pera pendeta Lama di Tibet, Anak Ajaib adalah seorang anak yang sudah ditakdirkan dan dipilih menjadi seorang Dalai Lama! "Jangan khawatir, Ci Goat. Apapun yang menjadi maksud mereka, tiga orang pendeta Lama itu tidak akan mampu mencelakai Han Siong. Selain dia sendiri memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, masih ada aku di sini yang selalu siap untuk membantunya andaikata dia terancam bahaya." Jelas nampak betapa wajah yang tadinya diliputi kekhawatiran itu kini berseri tanda bahwa hatinya lega. "Oh, terima kasih, taihiap..... eh toako." "Sudahlah, Ci Goat, jangan kita membicarakan orang lain. Aku mengajak engkau mengobrol tentang diri kita sendiri, tidak membicarakan orang lain." Kini Ci Goat dapat tersenyum. Ia sudah mulai mengenal watak pendekar yang ganteng ini. Watak yang perayu, mata keranjang akan tetapi tetap sopan dan tidak kurang ajar walaupun agak "berani"! Pemuda seperti ini tidak cocok kalau ditanggapi dengan serius, sebaiknya ia bersikap ramah dan main-main pula. "Tang-toako, engkau ingin bicara tentang apakah?” "Tentang cinta!" Sepasang mata itu terbelalak dan Hay Hay terpesona. Gadis ini memang sudah cantik, dengan wajahnya yang putih mulus dan bulat seperti bulan purnama dan senyumnya yang memikat. Akan tetapi begitu sepasang mata itu terbelalak, muncul sepasang bintang yang amat indahnya! "Apa..... apa maksudmu.... ?” Gadis itu bertanya dengan suara lirih dan muka berubah merah seketika. Hay Hay tertawa. "He-he, adik Ci Goat yang manis, kenapa engkau begitu tersipu dan terkejut mendengar kata cinta? Apa sih salahnya orang muda bicara tentang cinta?, Engkau sudah cukup dewasa, dan akupun bukan anak-anak. Tidak ada salahnya kalau orang-orang muda seperti kita bicara tentang cinta." “Tapi....tapi, apa maksudmu?” Senyum Hay Hay semakin melebar. Dia tahu mengapa gadis itu tersipu. Tentu disangkanya bahwa dia akan menyatakan cinta kepada gadis itu! Ah, betapa mudahnya mengaku cinta kepada gadis-gadis muda cantik, apalagi yang seperti Ci Goat ini. Akan tetapi, pengakuan cinta nya akan merupakan kebohongan besar kalau hal itu dia lakukan. Tidak, dia belum pernah jatuh cinta walaupun entah sudah berapa puluh kali dia tertarik dan suka sekali kepada gadis cantik jelita. Bahkan setiap orang gadis selalu menarik hatinya, menimbulkan rasa suka. Akan tetapi jatuh cinta ? Rasanya belum pernah! Perasaannya terhadap wanita-wanita seperti Ji Sun Bi atau Siok Bi merupakan dorongan nafsu berahi yang dibangkitkan oleh sikap kedua orang wanita itu. Dan memang ada gadis-gadis yang amat dikaguminya, dan disukanya, seperti misalnya Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, akan tetapi diapun tidak tahu apakah dia mencinta seorang di antara mereka atau tidak. Dia ingin bebas, tidak terikat cinta dengan seorang wanita tertentu. Enak bebas, sehingga dia akan bebas pula mengagumi kecantikan setiap orang wanita yang dijumpainya tanpa merasa bahwa dia mengkhianati cintanya terhadap wanita tertentu itu! "Jangan khawatir, adik manis. Aku tidak bermaksud yang bukan-bukan, hanya aku ingin bicara tentang cinta itu sendiri denganmu, mengingat bahwa engkau adalah seorang wanita yang tentu berbeda pandanganmu tentang cinta, dibandingkan pendapat seorang pria seperti aku." "Aku masih tidak mengerti, toako. Akan tetapi bicaralah, dan aku akan mencoba untuk mengerti apa yang kaumaksudkan," kata gadis itu tabah karena iapun yakin bahwa pendekar ini tidak akan bicara yang bukan-bukan. Pendekar ini sendiri yang pernah menyatakan bahwa ia jatuh cinta kepada Pek Han Siong, maka tidak mungkin kalau kini dia akan begitu tega untuk menyatakan cinta kepadanya! "Begini, Ci Goat. Terus terang saja, sampai berusia dua puluh dua atau tiga tahun sekarang ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku tidak tahu apa cinta itu dan bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Tentu saja aku hanya dapat mengirakan saja yang belum tentu benar. Sekarang aku ingin mendengar dari mulut seorang wanita, bagaimana sesungguhnya rasanya orang jatuh cinta?" Ci Goat tersenyum. Pemuda ini memang aneh luar biasa! Mengajak ia berbincan-bincang tentang cinta, bukan untuk mengaku cinta. Ia sendiripun baru sekali jatuh cinta yaitu sekarang ini jatuh cinta kepada Pek Han Siong dan ia lalu mengenangkan segala perasaan yang dirasakannya selama ia jatuh cinta ini. Ia ingin jujur kepada Hay Hay yang ketika mengajukan pertanyaan itu kelihatan demikian sungguh-sungguh, tidak berkelakar lagi. "Rasanya jatuh cinta? Hemm, aku sendiripun tidak yakin apakah pendapatku ini benar, koko. Akan tetapi.... agaknya orang yang jatuh cinta itu selalu terkenang kepada orang yang dicintanya. Kalau siang jadi kenangan, kalau malam jadi impian. Ingin. selalu dekat, ingin selalu bersamanya, ingin melihat dia berbahagia, ingin memiliki dan dimiliki selamanya, ingin........ ah, hanya itulah yang kuketahui." Hay Hay memandang dan ada rasa iba di dalam hatinya. Gadis ini jelas telah jatuh cinta kepada Han Siong, maka dapat mengatakan itu semua dan ketika mengatakan perasaan cinta itu, matanya melamun kosong dan jelas bahwa pada saat bicara perasaannya juga ikut bicara! Kasihan, gadis ini menjatuhkan benih cinta di atas tanah yang sudah ada tanamannya, sehingga benih itu akan sia-sia dan tidak dapat tumbuh! "Ah, bagus sekali! Hampir tidak ada bedanya dengan yang kubayangkan, Goat- moi, (adik Goat)! Aku setuju sekali dan agaknya memang demikianlah perasaan hati orang yang sedang jatuh cinta. Sekarang aku ingin sekali tahu bagaimana pendapatmu, seorang wanita, terhadap keadaan seorang pria yang gagal dalam cintanya." "Gagal dalam cintanya? Apa yang kaumaksudkan, toako?" "Begini, adikku. Ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada seorang gadis, jatuh cinta setengah mati! Akan tetapi kemudian dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dicintanya mati-matian itu ternyata telah mencinta seorang pemuda lain! Cintanya hanya bertepuk tangan sebelah! Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus dilakukan oleh pemuda yang gagal dalam cintanya itu? Apakah dia harus bunuh diri di depan gadis itu? Ataukah dia harus membunuh kekasih gadis yang dicintanya itu?" Gadis itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya berkilat seperti orang marah, tanda bahwa ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat itu. "Ihhh! Kenapa harus membunuh diri atau membunuh kekasih gadis itu? Itu adalah perbuatan yang bodoh dan jahat!” jawabnya hampir berteriak. Hay Hay menyembunyikan senyum dari mulut dan matanya. Dia memandang dengan sikap penasaran. "Lhoh! Kenapa bodoh dan jahat, Goat-moi? Bukankah pemuda itu menjadi sakit hati karena cintanya ditolak dan gadis itu memilih pemuda lain?" "Hati boleh sakit, akah tetapi pikiran harus tetap waras! Mana ada cinta yang dipaksakan oleh sepihak kalau pihak lawan tidak menyambutnya? Cinta harus timbul dalam hati kedua pihak, baru jadi! Kalau gadis itu menolak cintanya karena telah mencinta pemuda lain, maka gadis itu tidak bersalah dan tidak bersalah pula kekasihnya. Mengapa harus dibunuh? Dan pemuda yang putus cinta lalu membunuh diri adalah seorang yang bodoh dan totol!! Di dunia ini masih banyak sekali terdapat gadis-gadis yang mungkin lebih cantik dari pada yang dicintanya, yang siap untuk menyambut cintanya itu. Eh, toako... apakah..... apakah engkau pemuda itu? Maafkan aku.... " Hay Hay tertawa dan dari suara ketawanya saja tahulah Ci Goat bahwa bukan Hay Hay pemuda itu, maka hatinya terasa lega. "Sukurlah kalau bukan engkau, Tang-toako!" sambungnya. "Kita hanya ngobrol saja tentang cinta dan liku-likunya, tidak menyinggung seseorang. Pendapatmu tadi memang tepat dan agaknya cocok sekali dengan pendapatku sendiri." "Tang-toako, bagaimanapun juga..... aku merasa kasihan sekali kepadanya. Aku tahu siapa yang kaumaksudkan dan aku merasa kasihan sekali. Sungguh luar biasa sekali, bagaimana ada seorang gadis yang dapat menolak seorang seperti dia untuk menjadi suaminya .....! Ah, betapa dia mencinta gadis itu, akan tetapi gadis bodoh itu menolak cintanya...... apakah ia telah mencintai orang lain?" Melihat gadis itu seperti bicara kepada dirinya sendiri, Hay Hay mengerutkan alisnya dan memandang dengan penuh perhatian. "Heiii, Goat-moi, apa yang kaubicarakan itu? Siapa yang kaumaksudkan dengan pemuda itu?" "Aih, engkau masih pura-pura tidak tahu, toako? Sebagai seorang sahabat baiknya, engkau tentu sudah tahu bahwa yang kumaksudkan adalah toako Pek Han Siong. Tunangannya itu menolak untuk menjadi istrinya." Tentu saja Hay Hay tidak tahu akan hal ini, akan tetapi dengan cerdik dia mengangguk. "Ah, benar, tentu saja aku tahu akan hal itu, hanya tak kusangka bahwa dia sudah bercerita tentang hal itu kepadamu, maka aku tadi tidak menyangka bahwa engkau maksudkan dia. Sekarang sebaiknya kita tidak membicarakan orang lain dan kita melanjutkan obrolan kita tentang cinta." Gadis itu tersenyum. "Bicaralah, toa-ko. Agaknya engkau memang seorang yang memperhatikan tentang cinta." "Tentu saja, adik manis. Apa artinya hidup tanpa cinta? Dan kalau kita pikir secara mendalam, tanpa adanya cinta, engkau dan aku tidak akan terlahir di dunia ini!" Hay Hay tertawa ,dan biarpun mukanya berubah merah mendengar ucapan yang penuh arti itu, mau tidak mau Ci Goat juga tertawa. "Persoalan cinta apa lagi yang akan kau kemukakan, toako?" Ia mulai tertarik oleh percakapan tentang cinta ini, hal yang tentu saja amat menjadi perhatiannya karena ia sendiripun sedang dilanda cinta. " "Masih persoalan yang tadi, akan tetapi peranannya dibalik. Sekarang seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang pria, akan tetapi ternyata bahwa pria itu tidak dapat menerima cintanya, atau menolak cintanya karena pria itu telah mempunyai pilihan hati, telah mencinta seorang gadis lain. Nah, kalau demikian keadaanya, lalu apa yang harus dilakukan gadis itu?"   Sejenak gadis itu memandang wajah Hay Hay dan pemuda inipun balas memandang. Dua pasang mata saling memandang dan Hay Hay melihat betapa sinar mata itu meredup, wajah itu memucat dan betapa bola mata yang bening itu menjadi basah. Biarpun mulut gadis itu masih tersenyum, namun senyum itu membuat dia merasa, jantungnya disayat, membuat dia ingin nierangkul dan menghiburnya karena dia tahu bahwa gadis itu telah mengerti, bahwa gadis itu merasa betapa hatinya ditusuk-tusuk. Suaranya gemetar dan mata itu menunduk, bibir itu menggigil ketika akhirnya ia berkata. "Tang-toako... tolonglah.... tolong engkau saja yang mengatakan, apa yang harus dilakukan gadis itu dalam keadaan seperti itu? Bunuh diri? Atau mencukur gundul rambutnya, menjadi nikouw (pendeta wanita)? Katakanlah, toako, dan aku akan mempertimbangkannya...... " "Bunuh diri? Menjadi nikouw? Hanya gadis tolol dan bodoh yang akan melakukan hal itu, Goat-moi! Seperti kaukatakan tadi. Cinta tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan! Kalau memang pemuda itu tidak dapat membalas cintanya karenanya telah mencinta gadis lain, berarti ia tidak berjodoh dengan pemuda itu! Dali ia tidak perlu terlalu berduka atau putus asa. Dunia bukan sebesar buah appel! Di dunia ini masih ada jutaan pemuda yang mungkin lebih segala-galanya dari pada pemuda yang tak dapat membalas cintanya itu! Gadis itu harus dapat melupakan pemuda itu, hidup bebas dan mentertawakan saja kegagalan cintanya, menganggapnya sebagai suatu pengalaman hidup! Habis perkara!" Akan tetapi Hay Hay melihat betapa gadis itu menahan-nahan air matanya, betapa bibir itu gemetar dan suara itu, sukar sekali keluarnya seolah, lehernya tercekik ketika Ci Goat bertanya, "Toako....apakah dia masih mencinta gadis yang telah menolaknya itu? Sepasang mata itu kini seperti mata kelinci yang ketakutan, seperti mata yang penuh harap akan pertolongan, dan air yang tadi menggenang di pelupuk mata, kini mulai menetes turun, dua butir seperti mutiara perlahan menuruni kedua pipl yang agak pucat itu. Hay Hay merasa terharu sekali, merasa lehernya seperti dicekik dan dia tidak mampu mengeluarkan suara. Akan tetapi, walaupun dia tidak tahu benar akan hubungan Han Siong dengan gadis kekasihnya itu, dia mengambil keuntungan untuk berterus terang bahwa Han Siong tidak dapat menerima cinta Ci Goat, maka dia lalu mengangguk. Anggukan tanpa kata yang amat tajam membabat putus tali harapan Ci Goat dan mukanya dengan kedua tangannya. Hay Hay memandang dengan hati seperti diremas. Melihat betapa gadis itu mengguguk dan air mata mengalir keluar melalui celah jari-jari kedua tangan yang menutupi muka, di luar kesadarannya dia lalu bangkit dan menghampiri Ci Goat, duduk di sampingnya di atas bangku, merangkul pundaknya dan berkata lembut. "Sudahlah, Ci Goat, kuatkan hatimu.... tenangkan pikiranmu...... " Sentuhan lembut dan kata-kata halus itu seperti membuka bendungan di hati Ci Goat. la menjerit dan merangkul, lalu menangis dengan tak terbendung lagi, sesenggukan di atas dada Hay Hay! Pemuda ini memeluk, membenamkan mukanya pada kepala yang penuh rambut halus itu, tangannya mengelus pundak dan kepala, penuh rasa sayang dan iba seperti menghibur seorang adiknya sendiri. Karena hatinya diliputi keharuan yang mendalam, Hay Hay kehilangan kewaspadaannya dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga pasang mata mengamatinya dari jauh. Tiga pasang mata yang mencorong tajam dan penuh kekuatan sihir! Mata tiga orang pendeta Lama yang agaknya sudah selesai melakukan pembicaraan dengan Han Siong dan kini mereka meninggalkan rumah yang kini menjadi tempat tinggal Ouw Lok Khi. "Hemm, pasangan yang cocok. Wanitanya cantik, prianya tampan dan gagah!" kata Pat Hoa Lama. "Omitohud !" kata Janghau Lama. "Apakah engkau tergerak dan merasa iri melihat adegan itu, sute?" "Aih, ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)! Bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Pinceng hanya mengatakan bahwa mereka itu pasangan yang cocok dan.....” "Ssttt, jangan ribut dan jangan bertengkar.” Gunga Lama mencela dua orang adik seperguruannya. "Kita tadi melihat betapa lihainya pemuda itu. Hemmm...... suatu kesempatan baik sekali, dua orang pemuda itu harus dipisahkan dulu, baru kita dapat membawa Sin-tong tanpa halangan ke Tibet!" "Bagaimana caranya, toa-suheng (kakak seperguruan terbesar)?" tanya kedua orang adik seperguruan itu. "Ssttt, serahkan pada pinceng. Mari kita cepat pergi dari sini!" Sementara itu, setelah menumpahkan segala kedukaan hatinya melalui tangis yang tidak terbendung lagi, sampai baju di bagian dada Hay Hay basah kuyup, bahkan air mata itu membasahi pula kulit dadanya, Ci Goat baru merasa lega. Tangisnya kini hanya tinggal isak saja. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hay Hay untuk mengelus rambut kepalanya. "Nah, sudah habiskah air matamu, Goat-moi? Bagus, semua kesedihan kosong itu harus dilarutkan dengan banjir air mata, biar habis tak berbekas lagi. Lebih baik engkau menangis sepuasmu begitu dari pada engkau membunuh diri seperti gadis tolol, atau menjadi nikouw. Wah, kepalamu akan menjadi gundul, rambutmu yang indah ini akan lenyap dan tentu engkau akan kelihatan lucu sekali, lucu dan jelek!" Ucapan i tu seperti mengusir sisa isak di dada Ci Goat. la segera melepaskan diri dan menarik tubuhnya ke belakang, memandang kepada pemuda itu dengan mata merah dan agak membengkak karena tangis. Akan tetapi mulutnya membentuk senyum pahit. "Terima, kasih, toako, terima kasih. Sungguh engkau merupakan sahabat dan seperti seorang kakak yang baik hati. Katakanlah, apakah dia.... Pek-toa-ko, tahu bahwa engkau datang menceritakan semua ini kepadaku?"   Hay Hay mengangguk. "Dialah yang minta tolong kepadaku agar aku menyampaikan kepadamu bahwa tidak mungkin baginya untuk menerima dan membalas cintamu." "Ohhh..... , tapi..... kenapa dia tidak menyampaikannya sendiri kepadaku..... ?" "Dia tidak berani, dia tidak tega melihat engkau kecewa." Gadis itu mengangguk perlahan dan menarik napas panjang. "Pek-toako memang seorang yang budiman, dan..... engkau juga, toako. Semoga kalian berdua, akan selalu mendapat berkah dari Tuhan dan kelak akan hidup berbahagia dengan isteri pilihan hati masing-masing." Hay Hay merasa gembira bukan main. Diraihnya pundak gadis itu, ditariknya dan diapun mengecup dahi yang halus itu dengan bibirnya, satu kali saja, namun dengan sepenuh hatinya, lalu dilepaskannya kembali rangkulannya dan diapun bangkit berdiri, sepasang matanya basah. "Engkau juga, Goat-moi. Engkau seorang gadis yang hebat! Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis seperti engkau ini kelak tentu akan mendapatkan seorang suami yang amat baik!" Tadinya, Ci Goat terkejut sekali ketika merasa betapa dirinya diraih dan ditarik oleh pemuda itu, akan tetapi ketika ia merasa betapa pemuda itu mencium dahinya dengan lembut, seperti ciuman seorang kakak, atau seorang sahabat baik, ciuman yang sama sekali tidak mengandung nafsu berahi, hatinya menjadi terharu dan iapun tadi memeluk pinggang pemuda itu. Kini mereka bangkit, keduanya melangkah mundur dan saling pandang. "Haii, adik manis, mana senyummu yang tadi? Hayo perlihatkan! Tidak baik kalau hari hujan melulu, sudah tiba saatnya hujan berhenti dan matahari muncul kembali berseri! Ingat, banyak duka menjadi lekas tua, sayang bukan kalau kulit mukamu yang putih mulus dan halus itu berubah berkerut keriput?" Mendengar ucapan ini, Ci Goat tersenyum. Mulutnya saja tersenyum, akan tetapi matanya masih mata yang penuh tangis walaupun air matanya sudah habis tertumpah. "Aku akan selalu tersenyum kalau ingat kepadamu, toako. Setiap kali berduka, aku akan mengenangmu agar aku dapat tersenyum," katanya dan iapun membalikkan tubuhnya lalu pergi meninggalkan Hay Hay yang berdiri mengikuti lenggang yang lemah gemulai itu dengan bengong. Dia teringat kepada Han Siong. Apa yang terjadi dengan kawannya itu setelah mengadakan percakapan dengan tiga orang pendeta Lama? Apakah mereka belum selesai dengan percakapan mereka? Dia memang sudah menaruh kecurigaan, maka setelah Ci Goat meninggalkannya, diapun cepat keluar dari kebun itu menuju ke rumah. Tentu Han Siong mengajak tiga orang pendeta Lama itu untuk bercakap-cakap di ruangan belakang yang lebar. Dia melihat Ouw Lok Khi di ambang pintu samping dan memandang kepadanya sambil tersenyum ramah. "Tang Taihiap, kuharap saja engkau akan dapat menghibur hati Ci Goat. Kehancuran Pek-tiauw-pang membuat hatinya terbenam dalam kedukaan." katanya. Hay Hay memandang kepadanya, hatinya bertanya-tanya. Mengapa orang ini berkata demikian? "Paman, agaknya paman belum mengenal benar watak puterimu sendiri. Ia seorang gadis yang berhati tabah dan aku yakin ia mampu menghadapi dan mengatasi segala kedukaannya. O.. ya, paman Ouw, bagaimana dengan tiga orang pendeta Lama tadi. Di manakah mereka sekarang? Apakah masih bercakap-cakap dengan Han Siong?" . "Mereka sudah pergi, percakapan dengan Pek-taihiap itu berlangsung di ruangan belakang dan tidak terlalu lama. Mereka itu ramah dan baik sekali." "Hemm, di manakah Han Siong sekarang,paman?" "Di dalam kamarnya." Hay Hay lalu memasuki rumah dan langsung pergi ke kamar Han Siong yang berada di sebelah kamarnya. Rumah peninggalan Thio Ki itu mempunyai lima buah kamar sehingga Han Siong dan dia masing-masing mendapatkan sebuah kamar. Kamar besar paling depan dipakai Ouw Lok Khi, sedangkan kamar Ci Goat berada di ruangan belakang yang jendelanya menembus kebun. "Tok-tok-tok!" Hay Hay mengetuk daun pintu kamar yang tertutup itu. "Siapa?" terdengar suara Han Siong. "Aku, bolehkah aku masuk?" Hening sejenak, lalu terdengar jawaban yang malas-malasan. "Masuklah, Hay Hay!" Hay Hay mendorong daun pintu yang tidak terkunci dari dalam. Dia memperhatikan kamar itu. Tidak ada sesuatu yang luar biasa akan tetapi Han Siong nampak rebah terlentang di atas pembaringannya, dan begitu dia masuk Han Siong bangkit duduk, nampaknya malas-malasan, "Heii, Han Siong apa yang telah terjadi?" "Tidak terjadi apa-apa..... " jawabnya, nampak tak bersemangat.   "Eh? Kenapa engkau nampak malas dan tidak bersemangat? Han Siong, ceritakan apa yang telah terjadi antara engkau dan tiga orang pendeta Lama itu!" Hay Hay mendekatinya lalu membuka daun jendela agar kamar itu nampak lebih terang. Kemudian, dengan sinar matanya yang mencorong dia mengamati sahabatnya itu penuh selidik, untuk meneliti apakah sahabatnya itu memperlihatkan tanda-tanda yang tidak wajar apakah tidak. Siapa tahu, mungkin saja tiga orang pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu hitam yang amat kuat, yang mampu mematahkan pertahanan Han Siong. Akan tetapi tidak. Matanya tidak melihat tanda-tanda bahwa sahabatnya itu berada di bawah pengaruh sihir. Juga tidak menderita luka. "Sudahlah, Hay Hay. Sudah kukatakan bahwa aku tidak apa-apa. Hanya ada sesuatu yang membuat aku sejak tadi termenung, sesudah tiga orang pendeta Lama itu pergi. Aku menjadi ragu dan bingung....”   Hay Hay menarik sebuah kursi dan duduk di atas kursi yang sudah didekatkan dengan pembaringan. Mereka saling pandang dan Han Siong berkata dengan suara sungguh-sungguh tidak berkelakar seperti biasa. "Dengar, Han Siong. Aku sudah melaksanakan permintaanmu, aku sudah bicara dengan. Ci Goat, sudah kujelaskan semua kepadanya bahwa engkau tidak mungkin menerima dan membalas cintanya karena engkau telah memiliki pilihan hati, seorang gadis lain." "Ahh... dan ia... ia bagaimana, Hay Hay?" tanya Han Siong, pandang matanya penuh iba dan gelisah. "Ia seorang gadis tabah, Han Siong. Ia dapat menghadapi kenyataan yang bagaimanapun juga. Jangan khawatir, ia tidak akan membunuh diri, ia tidak akan menjadi nikouw, ia dapat melihat bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda hebat yang akan dapat menyambut cintanya. Ia dapat mengatasi kedukaan dan patah hati, Han Siong." "Sukurlah! Terima kasih, Hay Hay, aku sungguh merasa kasihan kepadanya. Terima kasih." "Aku tidak butuh terima kasih darimu, Han Siong, melainkan butuh keterangan tentang tiga orang pendeta Lama tadi. Nah, setelah aku melaksanakan tugas yang berat darimu, sekarang kauceritakanlah apa saja yang kaubicarakan dengan tiga orang pendeta Lama itu." Han Siong tersenyum, akan tetapi Hay Hay melihat betapa wajah itu masih diliputi keraguan dan kehampaan. "Tiga orang pendeta Lama itu mengaku sebagai utusan Dalai Lama sendiri, Hay Hay. Kata mereka, tanpa disengaja mereka mendengar disebutnya amaku sebaga Sin-tong ketika engkau bertemu dengan aku dan menyebutnya secara main-main. Menurut mereka, sudah bertahun-tahun mereka di tugaskan untuk mencariku tanpa hasil sehingga mereka tidak berani kembali ke tibet. Setelah bertemu dengan aku, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berani memaksaku kalau aku tidak mau pergi ke tibet bersama mereka untuk menghadap Dalai Lama. Mereka mohon kepadaku agar aku suka menolong mereka sehingga mereka akan berani berani pulang dan tidak takut akan hukuman dari Dalai lama.” Sampai di sini Han Siong berhenti. “Pertolongan apa yang mereka harapkan darimu, Han Siong?” tanya Hay Hay tak sabar lagi. “Mereka minta beberapa tetes darahku.....” “Ahhh!!!!! Untuk apa? Jangan kauberikan!” “Mereka itu memohon kepadaku. Tadinya pun aku tidak mau dan aku bertanya untuk apa mereka minta darahku. Mereka mengatakan bahwa mereka akan membohongi Dalai Lama yang tak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan diriku. Mereka akan mengatakan bahwa aku tidak mau diajak ke Tibet sehingga terjadi perkelahin dan akhirnya aku tewas di tangan mereka. Sebagai bukti bahwa aku telah mati, mereka akan memperlihatkan beberapa tetes darahku kepada Dalai Lama." "Bohong itu! Kalau mereka tiba disana, darah beberapa tetes itu telah kering, dan pula, bagaimana mungkin Dalai Lama akan dapat mengenal darahmu?" "Akupun berkata presis sepert yang kaukatakan itu, Hay Hay. Aku tetapi mereka menjawab bahwa Diarpun darah jtu mengering, akan tetapi dapat dikenal, karena darahku, biarpun sudah kering, berbeda dengan darah orang biasa, darah biasa merah, dan darahku.... putih!" "Bohong! Omong kosong! Aku tidak percaya! kalau darahmu putih, tentu engkau akan nampak pucat seperti mayat yang menyeramkan!" "Akupun tadinya tjdak percaya, akan tetapi mereka dapat membuktikannya, Hay Hay!" "Membuktikan bahwa darahmu putih?" Han Siong mengangguk. "Mereka mengeluarkan sebotol air yang mereka namakan air suci dari Tibet, katanya air itu keluar dari satu sumber di sana. Kata mereka, air itulah yang akan menunjukkan keaslian darahku. Seorang dari mereka lalu menusuk telunjuk dengan jarum, mengeluarkan darahnya sendiri beberapa tetes. Ketika darah itu ditetesi air dari botol, warnanya tetap merah, bahkan semakin merah. Lalu aku diminta untuk mengeluarkan beberapa tetes darah dari telunjuk. Karena akupun ingtn tahu, kutusuk telunjukku, kukeluarkan beberapa tetes darah seperti yang dilakukan Pat Hoa Lama itu. Darahku yang beberapa tetes itu lalu ditetesi air dari botol dan..... seketika berubah putih seperti kapur!" "Ihhh! Itu tentu sihir!" "Bukan, Hay Hay. Akupun menyangka demikian dan aku akan waspada. Kalau mereka menyihirku, tentu aku akan merasakan hal itu. Tidak ada pengaruh sihir sama sekali!"     "Lalu bagaimana?" "Melihat bukti itu, dan merasa kasihan bahwa sudah belasan tahun mereka tidak berani pulang, apa lagi yang diminta hanyalah beberapa tetes darah, aku lalu mengeluarkan beberapa tetes lagi dari ujung telunjukku. Mereka menampungnya dan membawa darah itu." "Tapi mengapa bukan yang sudah dicampur air dan menjadi putih itu saja mereka bawa?" Han Siong tersenyum. "Aneh sekali, Hay Hay. Semua yang kautanyakan itu sama benar dengan yang kutanyakan kepada mereka! Akupun bertanya demikian dan mereka mengatakan bahwa Dalai Lama harus diyakinkan dengan darah murni yang belum dicampuri air suci. Dalai Lama sendiri yang akan menguji bahwa darah itu adalah darahku agar dia percaya bahwa aku telah tewas dan dia tidak akan mencariku lagi. Sebetulnya, yang terakhir inilah yang mendorongku memenuhi permintaan mereka, Hay Hay. Aku ingin bebas dan tidak dikejar-kejar lagi. Pula, apa artinya beberapa tetes darah itu?" "Hemm... hemm... , aku sendiri belum tahu apakah beberapa tetes darahmu itu ada artinyal Akan tetapi siapa tahu? Orang-orang seperti mereka itu sungguh sukar dimengerti. Mereka orang aneh dan tidak lumrah manusia. Akan tetapi sudahlah. Engkau sudah memberikan sedikit darahmu, tak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, kenapa sekarang engkau kelihatan termenung dan engkau tadi mengatakan bahwa engkau ragu dan bingung! Nah, apa jagi maksudmu?" "Tentang darahku itu, Hay Hay. Bukan, bukan darahku yang mereka bawa pergi, akan tetapi darahku putih! Benarkah itu? Hal itulah yang membuat aku termangu-mangu dan bingung. Benarkah darahku aselinya putih dan berbeda dengan manusia lain? Hal ini menggelisah hatiku.....” Hay Hay tersenyum. Melihat bahwa memang tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan, kembali sudah wataknya yang jenaka dan suka bergurau. "Aih, biar putih atau biru atau hitam sekalipun, apa bedanya, Han Siong? Kulihat engkau juga seperti manusia biasa. Mungkin darah putihmu itulah yang membuat engkau disebut Sin-tong! Aku sendiri belum percaya benar kepada mereka itu. Kalau engkau yakin bahwa mereka bukan main-main dengan sihir, tentu yang mereka sebut air suci itu air yang mengandung obat tertentu. Akan tetapi andaikata mereka itu berbohong, apa pula maksud mereka? Yang jelas, mereka sudah pergi dan engkau tidak diganggu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi, hanya engkau jangan meninggalkan kewaspadaan. Dan kukira, tidak ada lagi urusan kita di rumah ini setelah kulaksanakan permintaanmu itu dengan hasil baik." Han Siong tetap saja merasa lesu. "Aku gembira sekali mendengar bahwa urusan itu telah kauselesaikan dengan baik, Hay Hay. Akan tetapi, sebaiknya kita tidak pergi sekarang. Pertama, aku merasa malas dan ingln beristirahat dulu, ke dua, kita sudah menerima undangan paman Ouw, tidak baik kalau pergi sekarang. Setidaknya, malam ini kita bermalam disini dan baru besok aku akan melanjutkan perjalananku.” “Baiklah, aku juga belum mengobrol denganmu. Ingin ku ketahui pengalaman apa saja yang kau hadapi semenjak kita berpisah, dan mengapa pula engkau berada di sini, dari mana hendak kemana....” “Ah, lain kali sajalah, Hay Hay. Biarkan aku mengaso sekarang, aku ingin beristirahat. Biar besok pagi kita berjumpa lagi....” “Heiiiii! Benar yakinlah engkau bahwa terjadi sesuatu dengan dirimu?” Hay Hay masih bertanya ketika ia sudah melangkah ke ambang pintu. “Tidak, sungguh tidak apa-apa, Hay Hay!” jawab Han Siong tegas. Hay Hay menggerakkan kedua pundaknya, lalu keluar dan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Kalau saja Hay Hay tahu! kalau saja han Siong tahu. Dua orang pemuda sakti itu, sama sekali tidak tahu, bahwa tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu, terjadi sesuatu yang amat membahayakan diri Han Siong! Tiga orang pendeta Lama itu berada di sebuah bangunan kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, yang terletak di lereng sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Hari telah mulai sore dan mereka duduk bersila di atas lantai dari ruangan dalam kuil tua itu yang sudah mereka bersihkan. "Mari kita mulai," kata Gunga Lama sambil mengeluarkan beberapa buah barang dari dalam saku jubahnya yang lebar. Ada tasbeh dari tulang manusia, sebuah tengkorak kecil, sebesar kepalan tangan, ada seikat gumpalan rambut dan tali hitam, ada pula batu kapur dan buntalan-buntalan kain kecil yang bertuliskan huruf-huruf kuno yang aneh, yaitu jimat-jimat. Semua ini dikeluarkannya satu demi satu dan ditaruhnya di atas lantai. Terakhir dia mengeluarkan sebuah buntalan yang terisi segumpal kapas yang putih. Akan tetapi merah oleh darah. Darah Han Siong! Darah itu telah dihisap dan “disimpan" dalam kapas itu. "Toa-suheng (kakak seperguruan tertua), mengapa kita harus menggunakan cara bersusah-payah seperti ini? Ketika kita bertemu dengan dia, kalau kita langsung saja menyergapnya, apa sih sukarnya menangkap orang muda itu?" tanya Pat Hoa Lama yang merasa tidak puas melihat cara yang dipergunakan Gunga Lama yang dianggapnya merepotkan dan tidak praktis. "Hemm, kalau hal itu kita lakukan, ada kemungkinan kita akan gagal, sute. Sin-tong itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi dan biarpun tentu saja kita bertiga tidak perlu takut menghadapinya, akan tetapi kalau kita tidak mengalahkannya kemudian terdengar oleh pemuda yang berpakaian biru itu, keadaan bisa berbahaya untuk kita. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang lihai sekali."   "Akan tetapi, suheng. Kita bisa mempergunakan kekuatan sihir untuk menundukkan Pek Han Siong!" Janghau Lama juga membantah. "Wah, seperti kalian tidak tahu saja! Pek Han Siong adalah Sin-tong. Hal itu saja menyulitkan kita untuk mempergunakan sihir, karena di dalam dirinya sudah ada kekuatan ajaib, ditambah lagi dia telah mempelajari ilmu sihir. Lihat saja sinar matanya. Dan pemuda yang bernama Tang Hay itu! Apakah kalian tidak melihat betapa dia mengusir tiga orang Pek-lian-kauw itu dengan kekuatan sihirnya yang ampuh? Menggunakan sihir secara berterang lebih berbahaya lagi. Sekarang kita tempuh jalan yang aman dan hasilnya pasti memuaskan. Kita harus membuat dua orang pemuda itu bermusuhan dan berpisah! Baru kita dapat turun tangan. Nah, cukup sudah kata-kata ini, bahkan terlalu banyak. Mari kita bekerja. Lihat, sinar matahari mulai suram, saat yang terbaik untuk mempergunakan tenaga kegelapan. Tiga orang pendeta itu duduk berjajar dan Gunga Lama mulai membuat coretan-coretan dengan batu kapur, di atas lantai. Ada beberapa macam guratan aneh, lingkaran lebar yang diisi lingkaran-lingkaran kecil lainnya, dan di beberapa sudut diberi gambar tengkorak. Tengkorak kecil diletakkan di tengah-tengah lingkaran, kemudian kapas dengan darah Han Siong diletakkan di atas tengkorak itu, pada ubun-ubunnya Beberapa batang lilin dinyalakan, dan dibakar pula dupa yang mengepul tebal. Tiga orang pendeta yang duduk bersila itu lalu mempergunakan tasbeh, membaca mantram dan doa dalam Bahasa Tibet kuno yang aneh. Gunga Lama yang duduk di tengah dan memimpin upacara sembahyang itu, beberapa kali menggerak-gerakkan kedua tangannya, dengan tasbeh digenggam, ke atas dupa berasap. Kemudian ditarikhya sejumput kapas dan dibakarnya kapas yang mengandung darah Han Siong itu ke atas dupa membara. Terdengar letupan kecil dan nyala api yang hanya sebentar saja menjilat ke atas. Sementara itu matahari sudah tenggelam ke barat dan tiga orang pendeta itu semakin dalam saja tenggelam di dalam kesibukan mereka. ** * Han Siong yang rebah di atas pembaringan nampak gelisah. dia masih pulas, akan tetapi tubuhnya gelisah dan selalu bergerak miring ke kanan kiri, telentang atau menelungkup. Dia masih berpakaian lengkap, dan sejak ditinggalkan Hay Hay, dia tidak keluar lagi dari kamarnya. Bahkan dia mengunci daun pintu dari dalam dan ketika ditawari makan malam, dia menjawab bahwa dia masih kenyang dan tidak ingin makan. Diapun minta agar jangan diganggu karena malam itu dia hendak tidur dan mengaso. Menjelang .tengah malam, tiba-tiba Han Siong bangkit duduk dan dia memijat-mijat kedua pelipisnya. Kepalanya terasa pening, akan tetapi sungguh aneh sekali, wajah Ci Goat terbayang di depan matanya, wajah yang bulat dan cantik manis, tersenyum-senyum kepadanya. Pandang mata gadis itu seperti memanggil-manggil, senyumnya menantang dan Han Siong menjadi bingung. Apa lagi ketika dia merasa betapa darahnya seperti bergolak oleh nafsu berahi yang menyesak dada. Dia sekilas sadar bahwa hal ini tidak sewajarnya, maka diapun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan. Akan tetapi, dia malah merasa hanyut,. luluh oleh gairah nafsu sehingga dia tak berdaya, membiarkan pikirannya hanyut, mengingat dan mengenang segala kecantikan dan keindahan tubuh Ci Goat, teringat akan sikap Ci Goat terhadap dirinya yang amat memperhatikan dan baik, bahkan teringat akan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya! Makin hebat saja kenangan ini sampai tak tertahankan lagi. Dia harus bertemu dengan Ci Goat. Harus! Dia tidak boleh menyakiti hati Ci Goat. Dia mencinta Ci Goat. Dia sungguh cinta kepada gadis itu! Sayup-sayup ada kesadaran di balik semua ini, kesadaran yang mengatakan bahwa semua ini aneh dan tidak wajar. Akan tetapi, kesadaran itupun hanyut, bahkan menghilang. Han Siong turun dari pembaringan, agak terhuyung seperti orang mabok, menghampiri jendela dan di lain saat dia sudah keluar dari kamarnya melalui jendela yang ditutupkannya kembali. Han Siong bergerak seperti orang dalam mimpi. Bahkan dia menjadi demikian lengah sehingga dia tidak tahu bahwa bayangan Hay Hay berkelebat keluar dari kamarnya dan mengintainya! Hay Hay memang tidak pernah tidur sejak sore tadi. Dia masih merasa curiga melihat sikap Han Siong, apa lagi ketika pemuda itu sama sekali tidak keluar lagi dari dalam kamarnya, bahkan menolak ketika ditawari makan malam. Tentu ada apa-apanya, pikirnya! Sikap Han Siong itu sama sekali tidak wajar, walaupun dia belum pernah bergpul lama dengan Sin-tong (Anak Ajaib) itu, namun dia sudah dapat menilai wataknya. Maka, dia tidak tidur sejak sore, melainkan duduk bersila di atas pembaringannya dan selalu waspada. Suara sedikit saja di luar kamarnya tentu akan tertangkap oleh pendengarannya yang dipusatkan, memperhatikan ke arah kamar Han Siong di sebelahnya. Itulah sebabnya, ketika Han Siong turun dan membuka jendela kamar, dia mendengarnya dan cepat namun hati-hati, Hay Hay sudah keluar pula dari kamarnya dan mengintai, lalu membayangi Han Siong. Sudah dicurigainya, tentu "ada apa-apa" pada diri Han Siong maka pemuda perkasa itu bersikap aneh. Entah apa pula yang akan dilakukannya sekarang! Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penasaran Hay Hay membayangi dari jauh. Dia harus berhati-hati karena dia maklum betapa lihainya Han Siong. Kenyataan bahwa Han Siong tidak mengetahui bahwa dia dibayangi itu saja sudah merupakan suatu keanehan, dan membuktikan bahwa memang terjadi sesuatu yang aneh pada diri Han Siong. Han Siong menuju ke ruangan belakang. Tidak berindap-indap seperti maling, melainkan berjalan dengan tenang namun cepat menuju ke kamar Ci Goat, memutar ke belakang memasuki kebun dan tak lama kemudian dia sudah mengetuk pintu jendela kamar itu! Hay Hay mengintai dari belakang pohon di kebun itu dengan mata terbelalak! "Siapa ...?” Dia mendengar suara Ci Goat dari dalam kamar. "Aku Han Siong. Bukalah jendela kamarmu, aku ingin bicara denganmu,Goat-moi!” kata Han Siong lirih.   "Siong-ko.... !" Terdengar pula suara Ci Goat mengandung keheranan dan jendela itupun dibuka dari dalam. Bagaikan seekor kucing, Han Siong melompat ke dalam kamar itu melalui jendela dan daun jendela ditutup dari dalam! Gawat, pikir Hay Hay dan dia sudah siap siaga untuk menerjang ke dalam kalau terdengar jerit Ci Goat. Kalau Han Siong sampai melakukan perbuatan keji, memperkosa gadis itu, dia akan menentangnya dengan mati-matian! Akan tetapi, dia tidak mendengar jerit Ci Goat. Dia mendekat dan mendengar ucapan Han Siong yang terengah-engah. "Ci Goat...Goat-moi... aku.... aku cinta padamu.... " "Siong-koko..... , benarkah itu? Benar-kah itu, koko.... ?" Hay Hay merasa penasaran dan dia-pun mengintai dari celah jendela. Di bawah sinar sebatang lilin yang kelap-kelip suram, dia melihat betapa kedua orang itu saling rangkul dan ketika Han Siong menciumi gadis itu seperti orang kesetanan, Ci Goat sama sekali tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan mesra! Tidak ada kata-kata lagi terdengar dan dia masih melihat betapa Han Siong memondong tubuh Ci Goat, dibawa ke pembaringan dan sekali tiup, lilin di atas mejapun padam dan kamar itu gelap, tidak nampak apapun lagi! Hay Hay bengong, lalu menjauhi kamar. Mukanya merah sekali dan dia tertawa haha-hihi seperti orang sinting. Apakah yang harus dilakukan kalau sudah begitu? Tidak mungkin dia menerjang masuk! Betapa akan malunya mengganggu dua orang yang sedang bermain cinta dengan suka rela! Kalau keduanya sudah menghendaki, apa hubungannya dengan dia? Kalau dia ayah gadis itu, atau setidaknya saudaranya, tentu dia berhak untuk mencegah dan mengingatkan bahwa mereka berdua itu melakukan perbuatan yang tidak patut, melanggar ketentuan dan kesusilaan. Akan tetapi, dia bukan apa-apa, hanya orang luar. Apakah dia harus memberitahukan ayah gadis itu? Ah, apa gunanya? Kalau memang mereka berdua sudah saling mencinta, mau apa lagi? Tinggal menikah saja dan dia yang akan menjadi saksi. Bagaimanapun juga, Han Siong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya malam itu. Setelah tiba di dalam kamarnya, dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, monyet benar Han Siong itu! Pura-pura alim, tidak tahunya..... ha-ha, wah, kalah aku olehnya dalam hal ini! Sungguh dia melakukan gerak cepat!" Hay Hay tertawa geli seorang diri. Akan tetapi dia lalu termenung. Benarkah seperti itu watak Han Siong? Pura-pura menolak cinta seorang gadis lalu pada malam harinya menggerumut ke dalam kamar gadis itu? Sungguh sikap yang tidak sepatutnya dilakukan seorang pendekar seperti Han Siong! Jangan-jangan ada apa-apanya ini! Di lain saat Hay Hay telah keluar lagi dari dalam kamarnya. Ketika dia mendekati kamar Ci Goat, dia hanya mendengar bisik-bisik mesra yang membuat wajahnya terasa panas dan merah sekali, lalu cepat dia menjauhinya lagi. "Setan! Bikin aku kebakaran saja!" gerutunya geli, diapun mengamati saja dari jauh. Dia harus melihat Han Siong keluar dari situ untuk ditegur dan dimintai pertanggunganjawabnya. Dia akan melihat bagaimana sikap Han Siong. Kalau pemuda itu hanya ingin mempermainkan Ci Goat, menggunakan kesempatan karena gadis itu jatuh cinta padanya, dan tidak mau bertanggung jawab, dia akan menghajarnya! Hemm, Han Siong boleh jadi lihai dan dia belum tentu menang, akan tetapi bagaimanapun juga, dia akan menentang dan menantangnya! Han Siong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya malam ini. Waktu terasa merayap lambat bagi Hay Hay. Beberapa kali dia harus menggaruki kulit tubuhnya yang dikeroyok nyamuk. "Setan," gerutunya, "mereka enak-enak bersenang-senang, aku di sini dikeroyok nyamuk! Monyet Han Siong agaknya sudah lupa diri dan lupa daratan dan lupa waktu. Sudah hampir pagi masih enak-enak " Tiba-tiba dia melihat jendela kamar Ci Goat ,terbuka dari dalam dan Han Siong melompat keluar. Nampak Ci Goat dengan senyum manis dan rambut awut-awutan menutupkan kembali daun jendela. Hay Hay cepat mendahului Han Siong yang berjalan kembali ke kamarnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Barulah Han Siong terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hay Hay telah berada di depannya dengan sikap tidak ramah. Akan tetapi kekagetannya ini bukan lain karena kemunculan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka itu. "Han Siong, bagus sekali, ya? Engkau sungguh seperti seekor harimau berbulu domba! Setelah apa yang kaulakukan terhadap Ci Goat, engkauharus mempertanggung jawabkannya dan mengawini gadis itu dengan resmi!" . "Engkau tidak berhak mencampuri urusanku! Apa pedulimu? Aku tidak akan mengawini gadis manapun!" jawaban ini jelas bukan sikap Han Siong! "Hei, Han Siong, apa yang kau katakan ini? Engkau telah memasuki kamar seorang gadis, tidur dengannya selama semalam dan engkau tidak mau mengawininya?" suara Hay Hay lirih karena dia tidak ingin terdengar oleh orang lain. "Heh engkau lancang mulut! Apa yang kulakukan adalah urusanku sendiri! Aku tidak akan mengawini siapapun dan engkau tidak boleh mencampuri urusanku. Hayo pergi atau terpaksa aku akan menghajar mulutmu yang lancang!" Hay Hay semakin heran dan dia memandang tajam, menggunakan kekuatan sihirnya. Akan tetapi dia tidak berhasil membuat Han Siong sadar dan dia berkata lagi, "Pek Han Siong, tidak tahukah engkau siapa aku? Aku Hay Hay, aku, Tang Hay Si Pendekar Mata Keranjang! Lupakah engkau?" "Aku tidak perduli engkau siapa!” bentak Han Siong. “Aih, sungguh celaka! Jelas bahwa engkau telah bertindak di luar kesadaranmu. Celaka! Kenapa aku tidak menyadari hal ini? Engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu Han Siong! Sadarlah!"   “Keparat, engkau memang layak dihajar!” Han Siong membentak dan tiba-tiba. dia sudah menyerang Hay Hay dengan tamparan tangannya yang ampuh. Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak. Sampai empat kali dia mengelak, dan agar jangan sampai menarik perhatian orang lain diapun meloncat keluar dari rumah itu sambil berkata. "Kalau engkau memang jantan, mari kita selesaikan urusan ini di lua rumah agar tidak mengagetkan orang lain!" Tentu saja tantangannya ini diterima Han Siong yang cepat melakukan pengejaran ketika melihat lawannya melarikan diri keluar rumah. Setelah tiba di tempat sunyi, agak jauh dari rumah keluarga Ouw, Hay Hay berhenti dan menghadapi Han Siong. Dia mengeluarkan bentakan nyaring, penuh dengan sin-kang untuk membuyarkan semua kekuatan hitam. "Pek Han Siong, sadarlah! Semua kekuasaan dari kegelapan sudah lepas darimu! Sinar terang mengusir kegelapan dan mengembalikan kesadaranmu!" Hay Hay menggerakkan kedua tangannya ke arah Han Siong, Han Siong terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh kekuatan luar biasa akan tetapi dia lalu meloncat dan kelihatan semakin marah. "Engkau sungguh manusia jahat dan layak dihajar!" Setelah berkata demikian, Han Siong sudah menerjang lagi dengan ganasnya. Hay Hay terkejut. Kekuasaan apakah yang telah mencengkeram Han Siong sehingga kekuatan sihir dalam diri Han Siong ditambah kekuatannya sendiri tidak mampu mengusir kekuasaan aneh itu? Dia tidak sempat banyak berpikir karena menghadapi serangan seorang lawan seperti Han Siong amatlah berbahaya. Diapun cepat mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil membalas untuk merobohkan Han Siong yang agaknya sudah tidak menguasai dirinya sendiri itu. Terjadilah pertandingan yang dahsyat di pagi hari itu, di tempat sunyi luar kota Hok-lam. Pek Han Siong adalah seorang pemuda perkasa yang menguasai banyak ilmu silat yang t:nggi. pari orang tuanya, yang turun temurun menjadi ketua perkumpulan Pek-sim-pang, dia telah mewarisi ilmu silat Pek-si-pang yang diringkas menjadi tiga belas jurus. Dari guru-gurunya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu diapun menerima gemblengan dan mewairisi ilmu-ilmu silat yang amat tinggi, baik dari aliran sesat karena kedua orang gurunya itu dahulunya berasal dari dunia sesat, maupun ilmu-ilmu kesaktian yang ditemukan kedua orang gurunya itu, ialah Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut, peninggalan seorang tokoh di antara Delapan Dewa. Selain itu, dia masih mendapat gemblengan dari Ban Hok Lo-jin, juga seorang di antara Delapan Dewa, menerima ilmu pukulan sakti Pek-hong Sin-ciang, bahkan dari kakek ini dia mendapat pelajaran ilmu sihir yang cukup kuat! Pek Han Siong merupakan seorang pendekar muda yang sukar dicari tandingannya, pandai ilmu silat, pandai ilmu sihir, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Di lain pihak, Tang Hay atau Hay Hay adalah seorang pemuda gemblengan pula. Dia juga murid dari dua orang datuk sakti yang termasuk sebagai anggota Delapan Dewa, yaitu See-thian La-ma dan Ciu-sian Sin-kai. Ilmu-ilmu silatnya disempurnakan oleh kakek sakti Song Lojin, dan dia juga menerima pelajaran ilmu sihir tingkat tinggi dari Pek Mau Sianjin. Di antara ilmu-ilmu pilihan yang dikuasainya adalah Cap-pek-ciang(delapan belas Jurus Pukulan) dari Ciu-sian Sin-kai yang luar biasa ampuhnya, dan dari See-thian Lama dia memperoleh dua ilmu yang hebat sekali, yai tu Yan-cu Coan-in ilmu meringankan tubuh yang membuat dia seolah-olah pandai terbang atau menghilang saking cepatnya gerakannya, dan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw-poan-san. Maka, dapat dibayangkan betapa hebatnya ketika dua orang pemuda sakti ini saling bertemu dalam sebuah pertandingan! Hay Hay tentu saja tidak memusuhi Han Siong yang dia tahu pasti dalam keadaan tidak wajar. Dia selalu mengalah, mengandalkan ilmunya Jiau-pouw-poan-san yang membuat semua serangan Han Siong tidak mengenai dirinya. Akan tetapi, Hay Hay merasa kewalahan juga karena kalau dia tidak bersungguh-sungguh, sebaliknya Han Siong yang agaknya sudah tidak sadar lagi siapa dirinya, menyerangnya dengan hebat, mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya ! Sambil menghindarkan semua serangan Han Siong dengan ilmu langkah ajaib Jiau-pouw-poan-san, Hay Hay memutar otaknya. Dia merasa yakin bahwa keadaan Han Siong tidak sewajarnya. Sudah pasti bahwa pemuda ini dicengkeram kekuasaan ilmu hitam yang amat jahat dan kuat. Melihat sikap pemuda itu, bukan mustahil bahwa sejak sore tadi kekuasaan itu mulai mempengaruhinya, belum hebat, akan tetapi sekarang kekuasaan itu telah menguasai Han Siong sepenuhnya! Bukan sihir biasa, dan agaknya mereka yang menyihirnya tidak berada di tempat itu. Tentu sihir ilmu hitam yang dilakukan dengan mempergunakan alat-alat dan jimat-jimat, dengan kekuatan mantram dan bantuan iblis. "Bukkk!" Tubuhnya hampir terjengkang dan cepat Hay Hay meloncat lalu menggerakkan kedua kakinya memainkan langkah ajaibnya. Setan, pikirnya, karena tadi melamun memikirkan keadaan Han Siong, hampir saja dia celaka. Sebuah pukulan ke arah dadanya hampir mengenai sasaran. Untung dia masih sempat miringkan tubuh dan menerima tonjokan keras itu dengan pangkal lengannya. Dan merasa betapa pukulan keras sekali, Hay Hay maklum bahwa Han Siong dalam keadaan tidak sadar itu benar-benar menganggap dia seorang musuh besar! Sungguh berbahaya sekali. Dia tidak boleh melamun harus mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya kalau tidak ingin benar-benar dipukul roboh! Akan tetapi, dia sudah teringat sekarang. Tentu darah itu! Darah Han Siong, walaupun hanya beberapa tetes, telah diambil oleh tiga orang pendeta Lama dan tentu melalui darah itu mereka menyihir Han Siong! Dan dia tahu bahwa di dalam ilmu yang berasal dari kegelapan, dari iblis, terdapat ilmu menguasai semangat dan pikiran orang lain melalui potongan kuku, atau rambut. Akan tetapi yang paling ampuh adalah kalau dipergunakan darah orang itu! Pantas usahanya menyadarkan Han Siong dengan kekuatan sihir selalu gagal, dan tenaga atau kekuatan sihir dalam diri Han Siong sendiri tidak mampu menolak pengaruh jahat itu. Kini dia mengerti bahwa tentu Han Siong telah sejak sore tadi mulai dikuasai ilmu hitam dan pemuda itu memasuki kamar Ci Goat juga dalam keadaan tidak sadar, atau dikuasai sihir .   Untuk merobohkan Han Siong bukan hal yang mudah. Tingkat kepandaian mereka tidak banyak selisihnya. Kalau dalam keadaan biasa, kekuatan sihirnya masih lebih kuat dari pada Han Siong, akan tetapi pada saat itu, ada kekuatan sihir yang dahsyat menguasai Han Siong sehingga sukar baginya untuk mengalahkan Han Siong metalui sihir. Kemudian dia teringat. Naluri dari watak yang bersih dan baik! Itulah yang paling kuat dan biarpun nampaknya tak berdaya karena orangnya dikuasai sihir, namun naluri itu masih ada dalam dirinya. Naluri ini datang dari kekuasaan Tuhan, dan tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang mampu mengalahkan! Ketika Han Siong menyerang dengan sebuah tendangan, Hay Hay sengaja bergerak lambat dan menerima tendangan itu dengan perutnya yang telah dia lindungi dengan sin-kang agar isi perutnya tidak sampai rusak. "Desss !" Tubuhnya terjengkang dan diapun membiarkan tubuhnya berkelojotan dan menggeliat-geliat, mulutnya merintih-rintih, "Aduhhh...... aduhhh.......... mati aku.....engkau membunuhku...... ah, mati aku.....!" Han Siong berdiri tertegun, matanya terbelalak memandang kepada tubuh Hay Hay yang kini sudah menelungkup tak bergerak, bibirnya gemetar dan berbisik, "...... apa yang kulakukan ini ...... ? Aku.....aku membunuhnya....... " Dugaan dan perhitungan Hay Hay memang tepat. Naluri watak yang baik kini bekerja dan Han Siong menghampiri tubuh Hay Hay, lalu berlutut. Akan tetapi, sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, Han Siong tetap waspada dan Hay Hay maklum bahwa dia harus membuat perhitungan yang tepat, tidak boleh salah. Kalau dia menyerang pada saat itu, tentu dia akan gagal karena Han Siong memiliki kewaspadaan tinggi. Han Siong memegang pundak Hay Hay dan membalikkan tubuh yang menelungkup itu. Kini tubuh Hay Hay telentang dan nampak betapa ada darah segar keluar dari mulut itu. "Ahh....dia....dia mati.....!” Han Siong berkata dengan penuh kaget dan penyesalan dan pada saat itulah baru Hay Hay menggerakkan tangannya, secepat kilat kedua tangan sudah melakukan gerakan menotok. Dalam keadaan menyesal dan terkejut itu, apa lagi melihat darah itu dia percaya bahwa orang, yang ditendangnya benar telah mati, Han Siong kehilangan kewaspadaannya sesaat dan saat itu dipergunakan dengan baik oleh Hay Hay. Han Siong berusaha melempar tubuh ke belakang, namun satu di antara serangan Hay Hay tepat mengenai sasaran. Jalan darahnya tertotok dan diapun roboh terkulai lemas! Hay Hay rneloncat bangun, girang sekali. Dia tadi ketika "berkelojotan" menggigit lengannya sendiri sampai keluar banyak darah yang berlepotan pada mulutnya! Kini dia cepat menghampiri Han Siong yang sudah tidak mampu bergerak, lalu menyusulkan beberapa tekanan pada jalan darah Han Siong sehingga benar-benar Han Siong tidak mampu berkutik lagi. Kini Hay Hay mengamati wajah yang telentang itu. Memang wajah Han Siong, akan tetapi sinar mata itu! Sungguh beringas dan penuh kemarahan. "Keparat, kau curang! Kubunuh kau !" Han Siong menggerutu dan matanya berkilat marah. Hay Hay mencoba untuk mepergunakan kekuatan sihirnya. Dengan pandang matanya yang mencorong dia. Memandang wajah itu, menentang pandang matanya, kemudian terdengar suaranya yang dalam dan menggetar penuh kekuatan sihir. "Han Siong, sadarlah. Engkau Pek Han Siong.... dan aku adalah Hay Hay! Sadarlah dan lepaskan pengaruh kekuasaan dunia kegelapan.....!” Akan tetapi, hasilnya sia-sia saja. Sepasang mata itu masih berkilat marah dan setelah beberapa kali mengulang usahanya tanpa hasil, Hay Hay duduk termenung, menjadi agak bingung. Kalau saja dia tahu di mana adanya tiga orang pendeta Lama itu dan dapat menggempur mereka, tentu Han Siong akan dapat terbebas dari permainan sihir hitam mereka. Kemudian dia teringat. Batu giok mustika yang dimilikinya! Beberapa tahun yang lalu, karena merasa berhutang budi kepadanya, seorang jaksa, yaitu Kwan Taijin (Pembesar Kwan) telah menghadiahkan pusakanya yang amat berharga, yaitu sebuah batu giok mustika yang berwarna belang merah dan hijau. Jaksa dari kota Siang-tan itu menghadiahkan batu giok itu kepadanya dan sampai sekarang masih tergantung di lehernya. Batu giok mustika itu merupakan obat pencegah racun yang amat mujarab. Segala macam racun dihisap dan dilenyapkan dari tubuh oleh batu giok mustika itu. Dan menurut penuturan jaksa itu, juga batu giok itu mempunyai khasiat lain, yaitu memiliki kekuatan mujijat untuk menolak kekuatan setan. Dia belum pernah membuktikannya, akan tetapi sekarang, apa salahnya kaldu dia mencobanya? Dia melepaskan tali yang mengikat mustika batu giok itu dari lehernya. Kalau dia menggunakan totokan pada bagian kepala yang bawah di atas tengkuk dari Han Siong, yang menjadi pusat penerimaan segala yang datangnya dari luar, tentu hubungan dengan kekuatan sihir hitam itu terputus. Akan tetapi hal itu berbahaya sekali karena Han Siong akan menjadi terputus sama sekali dengan hal-hal di luar dirinya, dan kalau terlalu lama dapat membuat pemuda itu menjadi hilang ingatan dan hilang daya pikirnya. Akan tetapi, kalau memang batu giok ini memiliki kekuatan ajaib yang halus, siapa tahu dapat membebaskan Han Siong dari pengaruh sihir, atau setidaknya dapat mengurangi kekuatan sihir itu. Hay Hay lalu menggosok –gosokkan batu giok itu pada seluruh kepala, muka dan leher, kemudian di tempelkan sampai lama di atas tengkuk. Tak lama kemudian, Hay Hay yang selalu memperhatikan wajah Han Siong, melihat perubahan pada pandang mata itu. Kalau tadi ketika dia mulai dengan penggosokkan batu giok, sepasang mata itu berkilat marah kini kilatan kemarahan itu makin menipis akhirnya memudar dan tiba-tiba Han Siong membelalakkan matanya dengan pandang mata heran. "Heiii! Hay Hay, apa yang kaulakukan ini? Ihhh...... aku tertotok!" serunya ketika dia gagal menggerakkan kaki tangannya.   "Han Siong, dengarlah baik-baik dengan hati tenang dan sabar. Engkau baru saja sadar dari pengaruh sihir hitam yang amat jahat. Tadi engkau menyerangku dan kita berkelahi, untung dengan akal aku dapat menotokmu roboh. Sekarang, kaukerahkan kekuatan batinmu untuk merasakan datangnya serangan pengaruh sihir itu. Cepat ...!” Hay Hay mengangkat batu gioknya dan Han Siong yang cerdik segera mentaati perintah Hay Hay. Benar saja, begitu batu giok di angkat, dia merasakan getaran aneh, akan tetapi sekarang dia mampu menahannya dengan kekuatan sihirnya sendiri. “Hay Hay, ada getaran aneh......begitu kuat untuk menguasai diriku. Ah, ada dorongan agar aku memusuhimu, membunuhmu.....” “Bagus, engkau sudah dapat merasakannya dan dapat menguasainya. Dengar baik-baik, Han Siong. Engkau pertahankan dengan kekuatanmu dan engkau peganglah kuat, tempelkan batu giok ini di atas tengkukmu, nah, di sini, dan pengaruh itu akan menipis. Akan tetapi jangan di tolak sama sekali, melainkan ikuti saja.....” “Kau gila? Mengikuti pengaruh itu?” “Maksudku kalau pengaruh itu memanggilmu, ikuti karena hal itu akan membawa kita kepada yang melepaskan sihir atas dirimu. Aku akan membayani dari belakang dan kita bersama akan menumpas mereka!” “Mereka? Kaumaksudkan........para pendeta Lama itu?” "Siapa lagi? Mereka mengambil darahmu untuk menyihirmu. Ingat, jangan kau turun tangan menyerang kalau belum kuberi tanda. Sebaiknya urusanmu dengan Dalai Lama ini diselesaikan agar engkau jangan sampai terganggu lagi!" "Maksudmu bagaimana, Hay Hay ...?" Han Siong bertanya bingung karena dia masih merasakan tarikan yang kuat dari pengaruh sihir hitam itu. "Jangan banyak bicara dan dengarkan baik-baik, Han Siong. Para pendeta Lama itu mempengaruhimu agar bermusuhan dengan aku, dan kalau tidak keliru dugaanku, hal itu adalah agar dengan mudah engkau akan dapat mereka bawa ke Tibet. Bukankah dari dahulu, sejak kau bayi,mereka itu memang hendak membawamu ke sana? Sekaranglah saatnya yang baik. Engkau sudah tahu bahwa engkau disihir, akan tetapi dengan batu giok itu, engkau dapat menolak mereka. Engkau pura-pura dalam pengaruh sihir mereka dan kalau mereka mengajakmu ke Tibet, kau ikuti saja. Aku membayangimu dari belakang dan kita bersama akan melihat apa yang sesungguhnya terjadi di sana. Engkau mau bukan bersamaku menempuh petualangan baru di Tibet? Tentu akan penuh bahaya dan hebat sekali. Maukah engkau?" Hay Hay tidak menyebut tentang Ci Goet karena kalau sampai pemuda itu menyadari apa yang telah diperbuatnya dengan Ci Goat maka hal itu akan merupakan pukulan batin yang berat dan akan melemahkannya sehingga pengaruh sihir itu akan lebih mudah menguasanya. “Baik, aku mengerti. Ah, dorongan itu makin kuat, menyuruh aku membawa pakaianku dan pergi dari rumah itu..... " "Bagus, kubebaskan engkau dan ikuti saja, Han Siong. Ingat, pergunakan batu kemala (giok) itu kalau sampai dorongan itu terlalu kuat. Engkau harus selalu dapat menguasai dirimu, dan hanya berpura-pura saja taat kepada pengaruh sihir mereka," Hay Hay tanpa ragu lagi membebaskan totokan pada tubuh Han Siong. Pemuda ini dapat bergerak kembali dan Hay Hay mengangguk angguk. "Nah, turutilah perintah melalui pengaruh sihir itu Han Siong." Keduanya lalu kembali ke rumah keluarga Ouw, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Kini terdengar jelas dalam telinga Han Siong perintah bahwa dia harus membunuh Hay Hay, atau menjauhkan diri dan setelah mengambil pakaian harus meninggalkan rumah itu tanpa setahu Hay Hay. Tanpa setahu Hay Hay? Akan tetapi, Han Siong tersenyum. Hay Hay akan mengetahuinya, yang tidak tahu adalah mereka yang menyihirnyar! Kedatangan mereka disambut oleh Ouw Lok Khi yang nampak bingung dan gelisah. Betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika mendengar dari tuan rumah itu bahwa Ouw Ci Goat telah pergi dari dalam kamarnya! Dia mengamati wajah Han Siong yang mengerutkan alis dan kelihatan terheran-heran. Agaknya Han Siong belum menyadari apa yang telah dilakukannya semalam, atau menganggapnya sebagai mimpi saja. "Kapan perginya, Paman Ouw? Dan ke mana?" "Entah ke mana dan kapan, akan tetapi pagi-pagi sekali tadi dia sudah tidak ada di dalam kamarnya, dan ia membawa pedangnya. Tadinya, melihat bahwa ji-wi taihiap (pendekar besar berdua) juga tidak berada di kamar, hati kami lega dan mengira bahwa ia pergi bersama ji-wi (kalian). Akan tetapi, sekarang ji-wi pulang dan ia..... ah, ke mana perginya anakku?" "Hemmm, jangan khawatir, paman. Kami berdua akan segera pergi mencarinya!" kata Hay Hay. Wajah Ouw Lok Khi kelihatan lega. "Ah, terima kasih. Kalau ji-wi yang pergi mencari, hatiku tidak akan khawatir lagi." Han Siong lalu mengambil pakaiannya, demikian juga Hay Hay dan tak lama kemudian, setelah matahari naik agak tinggi, Han Siong memberi isarat kepada Hay Hay bahwa pengaruh sihir itu mulai memerintahkan agar dia pergi dari situ! Mereka lalu pergi meninggalkan rumah Ouw Lok Khi. Setel.ah tiba di luar kota, Hay Hay memberi isarat agar Han Siong terus mengikuti arah yang ditunjukkan dalam pengaruh sihir, sedangkan dia sendiri mengikuti atau membayangi dari jauh. ***   Ke mana perginya Ci Goat? Semalam ia telah mengalami hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Ketika ia mendengar dari Hay Hay bahwa pemuda yang dicintanya itu. Pek Han Siong, tidak mungkin dapat menyambut dan membalas cintanya, ia merasa berduka walaupun duka itu telah banyak berkurang karena jasa Hay Hay yang pandai menghiburnya dan menyadarkannya. Akan tetapi bagamanapun juga, malam itu ia tidak dapat tidur dan lebih banyak melamun sambil berbaring. Ketika ada ketukan daun jendela, ia belum tidur dan dapat dibayangkan betapa gembira dan tegang rasa hatinya ketika mendengar bahwa yang mengetuk daun jendela kamarnya adalah Pek Han Siong dan pemuda itu minta dibukakan jendela karena ingin bicara! Ketegangan dan kegembiraan itu berubah menjadi lautan kebahagian ketika pemuda itu meloncat ke dalam kamarnya, menutupkan jendela dan langsung merangkulnya! Hampir ia tidak dapat mempercaya apa yang didengar, dilihat dan dirasakannya, disangkanya dalam mimpi. Akan tetapi, karena pada saat itu ia sedang kehausan kasih sayang, sedang patah hati setelah tadi mendengar bahwa orang yang dicintanya tidak dapat menerima cintanya, kini melihat betapa orang yang dicintanya itu datang-datang merangkul dan menciuminya, Ci-Goat. kehilangan semua keseimbangan ,hatinya. Ia hanyut dan terseret, dan tidak perduli apapun yang akan menjadi akibatnya. Ia menyerah sebulatnya, penuh kepasrahan dan dengan suka rela, bahkan menyambut dengan api gairah yang menyala-nyala. Ia dan kekasihnya itu sampai lupa diri, lupa tempat dan waktu. Baru setelah Pek Han Siong meninggalkannya, ia terkejut. Selama tenggelam dalam gelombang nafsu berahi dan kemesraan tadi, keduanya tidak sempat bicara. Dalam keadaan seperti itu, kata-kata tidak ada artinya lagi. Pikiran tidak lagi bekerja, kesadaran tidak lagi bergerak. Yang ada hanya satu, yaitu mengikuti dorongan gairah dan nafsu berahi yang menguasai seluruh diri lahir batin, lain-lain hal tidak masuk hitungan lagi. Setelah Han Siong meninggalkannya, Ci Goat baru tersentak kaget. Ia terkejut sekali melihat kenyataan yang tak masuk di akal itu. Ia telah menyerahkan diri begitu saja, bahkan menyambut dengan gairah yang sama besarnya, pada seorang pria! Biarpun ia mencinta pria itu dengan seluruh jiwa raganya, namun penyerahan itu sungguh menyalahi segala peraturan, melanggar kesusilaan dan merendahkan martabatnya sebagai wanita! ia tidak menyesal, melainkan terkejut dan juga terheran mengapa hal seperti itu bisa terjadi! Juga ia mengenal Han Siong bukan sebagai seorang pemuda seperti itu, dan ia sendiri juga seorang gadis yang mempunyai harga diri yang tinggi. Maka, timbul rasa penasaran di hatinya dan iapun keluar dari kamarnya, diam-diam membayangi kekasihnya yang menuju kembali ke kamarnya sendiri itu. Dan tiba-tiba ia melihat munculnya Hay Hay dan mendengarkan percakapan antara Han Siong dan Hay Hay. Makin didengarkan percakapan itu, semakin pucatlah wajah Ci Goat. Bibirnya gemetar dan kedua matanya sudah bercucuran air mata ketika ia mendengar ucapan Hay Hay, " engkau masuk ke kamar Ci Goat karena dituntun oleh kekuatan hitam! Engkau telah dicengkeram oleh ilmu hitam tiga orang pendeta Lama itu, Han Siong!" Juga ia mendengar ucapan Han Siong, "Aku tidak akan mengawini gadis manapun!" Kini mengertilah Ci Goat. Mengertilah ia dengan hati hancur bahwa segala yang telah terjadi tadi hanya merupakan sesuatu yang palsu. Kepalsuan yang harus ditebusnya dengan aib dan kehormatannya. Han Siong tidak mencintanya! Han Siong melakukan perbuatan tadi bukan atas kehendaknya sendiri, bukan karena cintanya, bahkan tanpa disadarinya! Dia melakukannya atas tuntunan pengaruh sihir atau kekuatan hitam dari pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama! Ci. Goat tersentak dan cepat ia memasuki kembali kamarnya, mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya. la tahu ke mana ia harus pergi. la telah memperoleh keterangan dari seorang penduduk yang ikut menyerbu para penjahat bahwa ada tiga orang pendeta Lama beberapa hari sebelumnya bertanya-tanya tentang orang yang bernama Pek Han Siong alias Sin-tong, dan mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang hadir dalam pemakaman tiga orang murid Pek-tiauw-pang. Menurut orang itu, dia bertemu dengan tiga orang pendeta Lama yang tinggal di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, di sebuah bukit kecil di luar kota Hok-lam. Kini, setelah ia mendengar kekuasaan ilmu hitam dari tiga orang pendeta Lama, Ci Goat dengan hati penuh duka dan dendam, pergi menuju ke bukit itu. Cuaca masih gelap ketika gadis itu dengan isak tertahan berlari mendaki bukit. Setelah tiba di depan kuil tua itu, Ci Goat mencabut pedangnya dan dengan nekat, tanpa mengenal rasa takut karena duka dan sakit hati menyesak di dada, ia meloncat dan lari memasuki kuil itu. Dan di tengah kuil itu, di ruangan yang luas, ia melihat tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila menghadapi dupa mengepulkan asap tebal dan di atas lantai terdapat coret-coretan, lilin dan jimat-jimat. Biarpun ia tidak tahu apa artinya semua itu, Ci Goat menduga bahwa tentu mereka itu sedang melakukan sihir yang menguasai Han Siong. Hal ini mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang sudah ternoda. Kalau saja Han Siong melakukan hal semalam atas dirinya dengan suka rela, atas dasar cinta dan pemuda itu mau mempertanggungjawabkannya, tentu ia tidak akan merasa ternoda karena ia pun menyerah dengan suka rela. Akan tetapi, pemuda itu melakukan hal itu bukan karena cinta, melainkan karena ulah tiga orang pendeta Lama ini, di luar kesadarannya dan karena itu tidak mau bertanggung jawab. Maka, semua dendam dan sakit hati gadis itu ditumpahkan kepada ketiga orang pendeta Lama. "Pendeta keparat, kalian layak mampus!" bentaknya dan gadis ini sudah meloncat masuk. Akan tetapi, tiga orang pendeta itu nampak tenang saja, bahkan tidak bergerak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran gadis itu. Dengan kemarahan meluap karena sakit hatinya. Ci Goat menerjang dan mengayun pedangnya ke arah kepala pendeta terdekat, yaitu Pat Hoa Lama. Pedangnya menyambar ke arah kepala yang gundul itu dan Pat Hoa Lama sama sekali tidak menangkis atau mengelak, seolah tidak tahu bahwa kepalanya dibacok orang dengan sebatang pedang yang tajam. "Singgg takkk!" Ci Goat terkejut bukan main. Pedangnya terpental, seolah bertemu dengan baja, bukan kepala manusia! Dan pada saat itu, pinggangnya dipeluk orang dan tahu-tahu pedangnya sudah dirampas dan tubuhnya sudah ditarik dan jatuh ke atas pangkuan pendeta Lama yang berada di tengah. Pendeta tinggi kurus Janghau Lama telah menangkapnya dan mata yang amat sipit itu kini terbuka, dan mulutnya yang ompong menyeringai.   "Ha-ha-ha, gadis cantik, engkau datang hendak menemani pinceng? Bagus! Memang pinceng sedang merasa kesepian. Suheng dan sute, kalian lanjutkan permainan kita, pinceng ingin bermain-main sejenak dengan gadis manis ini!" Dua orang pendeta yang lain seperti tidak tahu atau tidak perduli, tetap duduk bersila seperti patung Janghau Lama bangkit sambil memondong tubuh Ci Goat. Gadis itu merasa ngeri melihat keadaan tiga orang pendeta itu. la meronta, akan tetapi kedua tangannya tak dapat bergerak karena keduanya telah dipegang dengan amat kuatnya oleh tangan kiri Janghau Lama yang jarinya panjang-panjang. Janghau Lama membawa Ci Goat ke sudut ruangan itu, lalu dia menjatuhkan diri ke atas lantai sambil mendekap Ci Goat. Tangan kanannya bergerak dan terdengar kain robek berulang kali ketika tangan yang kurus panjang namun amat kuat itu rnerobek-robek semua pakaian dan merenggutnya lepas dari tubuh Ci Goat. Jelas bagi Ci Goat apa yang akan dilakukan pendeta itu terhadap dirinya. Ia merasa tidak berdaya. Kini ia maklum bahwa dirinya sama sekali bukan tandingan tiga orang pendeta Lama ini. Melawanpun akan percuma dan tentu ia akan diperkosa tanpa mampu mempertahankan diri sama sekali. Rasa ngeri membuat ia rnencari akal Ketika Janghau Lama nampak terangsang setelah merenggut lepas semua pakaian Ci Goat, pendeta yang kini kelihatan watak aselinya itu mendengus dan mencium mulut Ci Goat. Gadis ini pura-pura lunglai dan lemas, tidak melawan lagi, seolah membiarkan mulutnya dicium. Akan tetapi begitu bibir Janghau Lama menempel di mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit bibir itu sekuat tenaga. "Auhhh !" Janghau Lama yang sedang dikuasai nafsu berahi itu menjadi lengah, bibirnya tergigit hampir putus dan terluka. Dia melepaskan rangkulannya, dan pada saat itu merasa betapa dirinya bebas, Ci Goat cepat menggerakkan kepalanya, dibenturkan sekuatnya pada dinding di dekatnya. Terdengar suara nyaring dan. gadis itu terkulai dehgan kepala retak! Ia tewas seketika. Agaknya ia memilih mati membunuh diri dari pada membiarkan dirinya dinodai pendeta Tibet itu, yakin bahwa ia tidak mampu melawan, tidak akan mampu menghindarkan diri dari perkosaan. Janghau Lama terkejut melihat gadis itu rebah tak bernyawa lagi, cairan merah bercampur putih keluar dari retakan kepalanya. Terdengar ,suara Gunga Lama. "Sute, engkau telah bertindak ceroboh. Gadis itu telah tewas, dan urusan tentu menjadi kacau. Mari kita cepat memperkuat daya pengaruh kita untuk memanggil Pek Han Siong ke sini!" Janghau Lama tidak berani banyak membantah. Dia telah merasa bersalah. Tadi dia terlampau dipengaruhi nafsu berahi sehingga dia kurang waspada, mudah dibuat lengah oleh gadis itu yang membunuh diri. Pada hal dia hanya ingin main-main sebentar sebelum menawan gadis yang datang mengamuk itu. Dia tahu bahwa kini permainan mereka bertiga telah diketahui orang. Buktinya, gadis itu datang dan menyerang. Hal itu berarti bahwa gadis itu telah mengetahui atau setidaknya menduga bahwa mereka memainkan suatu permainan rahasia. Janghau Lama cepat kembali ke tempatnya semula dan mereka bertiga mengerahkan seluruh kekuatan untuk memanggil Pek Han Siong melalui ilmu sihir. Bibir Janghau Lama terluka dan berdarah. *** Han Siong merasa benar tarikan pengaruh yang amat kuat itu, sesuatu yang memanggil-manggilnya, yang seperti menyedotnya. Dia mengikuti daya tarikan ini dan kadang, kalau tarikan itu terlalu kuat, dia meraba batu kemala yang tergantung di lehernya dan tersembunyi di balik bajunya, menempelkannya di atas tengkuknya dan benar saja, setiap kali dia melakukan itu, daya tarikan itu menjadi berkurang banyak sekali kekuatannya. Dengan adanya bukti ini, hatinya menjadi tenang. Apalagi mengingat bahwa tak jauh di belakangnya, ada sahabatnya yang amat boleh dipercaya, yaitu Hay Hay. Kini biarpun bayangan itu suram muram, namun Han Siong mulai dapat mengingat apa yang terjadi semalam. Seperti orang mengenang sebuah mimpi yang sudah hampir terlupa saja rasanya. Namun, bayangan itu cukup membuat mukanya berubah merah setiap kali dia mengingatnya. Apa yang telah terjadi di dalam kamarnya Ci Goat itu! Bergidik dia mengenangkan semua itu. Walaupun hanya samar-samar, namun dia dapat menduga apa yang telah terjadi. Dibawah pengaruh daya sihir yang amat kuat, yang melumpuhkan semua kekuatan sihirnya sendiri, dia telah dituntun memasuki kamar Ci Goat dan dibangkitkan oleh gairah yang tidak wajar. Dia dapat pula membayangkan penyambutan Ci Goat; Gadis itu jatuh cinta kepadanya, bahkan ketika bersembahyang, gadis itu mengaku bahwa mencinta dirinya sepenuh jiwa raganya. Agaknya, gadis itupun menyambutnya dengan suka rela. Setelah gadis itu mendengar dari Hay Hay bahwa dia tidak dapat menerima dan membalas cintanya, tentu Ci Goat menjadi patah hati dan berduka, maka ketika malam itu dia memasuki kamarnya, agaknya gadis itu mendapat harapan baru. Dan dia bergidik kalau membayangkan apa yang tentu telah terjadi antara mereka. Samar-samar masih ingat dia dan meremang bulu tengkuknya kalau dia membayangkan apa yang akan menjadi tanggung jawabnya. Biarpun dia melakukannya di luar kesadarannya, karena terpengaruh sihir, namun hal itu telah terjadi. Ci Goat telah ternoda dan dia, sebagai seorang jantan, harus berani mempertanggungjawabkannya. Tarikan daya kekuatan itu menuntunnya ke sebuah bukit dan tak lama kemudian dia telah tiba di depan sebuah kuil tua. Jantungnya berdebar tegang. Menurutkan suara hatinya, ingin dia menghajar tiga orang pendeta Lama itu karena mereka telah membuat dia tanpa disadarinya menodai Ci Goat dan hal ini berarti akan merubah seluruh jalan hidupnya karena dia harus mengawini gadis itu! Sudah sepatutnya tiga orang pendeta Lama itu dihajar bahkan dibunuhnya! Akan tetapi dia teringat akan nasihat Hay Hay. Memang sebaiknya kalau dia menyelidiki dan membiarkan dirinya diDawa ke Tibet agar urusan dirinya dengan para Lama di Tibet segera dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Kalau dia membunuh tiga orang pendeta Lama ini, maka akan terputus dan terhapus semua jejak menuju ke Tibet. Dia memasuki kuil tua itu karena ada dorongan atau tarikan yang amat kuat dari arah itu. Ketika dia masuk ke ruangan dalam itu, tiga orang pendeta Lama telah bangkit berdiri dan menyambutnya dengan sikap hormat.   "Terima kasih bahwa Sin-tong telah berkenan menerima undangan kami dan datang ke sini!" kata Gunga Lama sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang sutenya. Han Siong bersikap seorang yang linglung, dan dia membalas penghormatan itu, lalu menjawab dengan suara datar. "Sam-wi Lo-suhu ada keperluan apakah mengundang aku ke sini?" "Sin-tong, ketahuila bahwa engkau adalah calon junjungan kami, engkaulah calon Dalai Lama yang sejati. Sudah terlalu lama kami menantimu, sin-tong dan sekarang tibalah saatnya engkau ikut bersama kami pergi ke tempat di mana selayaknya engkau berada, yaitu di Tibet, untuk memimpin kami, ke Jalan Terang. Marilah, ikutilah kami, Sin-tong, kita pergi sekarang juga ke barat." Dalam suara itu terkandung kekuatan mujijat dan Han Siong kini merasakan getaran yang amat kuat. Di depan mereka, dia tidak mungkin dapat mempergunakan kemala mustikanya yang tergantung di lehernya, maka diapun mengangguk dan berkata singkat, "Baiklah, aku menurut." Tiga orang pendeta Lama itu girang bukan main dan mereka lalu mengajak Han Siong ke luar dari kuil itu, langsung menuruni bukit menuju ke barat. Dalam kesempatan ini, diam-diam Han Siong menggerakkan kalungnya sehingga kemala itu berputar ke tengkuknya dan seketika dia merasa betapa tekanan atau tarikan yang memaksanya itu mengendur. Hal ini perlu dia lakukan agar dia jangan tenggelam ke dalam pengaruh sihir mujijat itu. Dalam keadaan setengah sadar ini, dia masih mampu meneliti apa yang sesungguhnya terjadi dan dia dapat berpura-pura taat dan tunduk atas permintaan mereka. Sementara itu, Hay Hay yang membayangi dari belakang, mengambil jalan memutar dan dia memasuki kuil dari arah belakang. Akan tetapi ketika dia tiba di belakang kuil, dia melihat tubuh seorang wanita menelungkup. Jelas ia sudah tak bernyawa lagi. Hay Hay menghampiri. Mayat itu masih baru, masih ada darah basah di kepalanya. Dia dengan hati-hati membalikkan tubuh mayat itu dan hampir dia menjerit saking kagetnya. Ci Goat! Gadis ini telah mendahului Han Siong, entah bagaimana bisa sampai kekuil ini dan terbunuh. Kepalanya pecah! Ketika melihat tiga orang pendeta Lama sedang mengajak Han Siong pergi ke Tibet, hatinya panas sekali. Siapa lagi yang membunuh Ci Goat kalau bukan mereka? Ingin dia menerjang dan menghajar mereka. Akan tetapi dia teringat akan Han Siong yang pura-pura takluk di bawah kekuasaan mereka. Tidak, dia harus bersabar. Bagaimanapun juga, Ci Goat telah tewas. Kini tinggal menyelesaikan urusan HanSiong dengan para pendeta Lama. Kasihan pemuda itu yang terus dikejar-kejar sejak bayi sampai sekarang. Dia dan Han Siong harus menyelidiki sedalamnya, kalau perlu bertemu dengan pimpinan para Lama untuk mengajukan protes. Setelah urusan Han Siong selesai, barulah dia akan membalas kematian Ci Goat yang penasaran itu, menuntut tiga orang pendeta Lama ini. Ketika tiga orang pendeta Lama dan Han Siong meninggalkan kuil, dan melihat betapa mereka menuruni bukit menuju ke barat, dia lalu cepat mengubur jenazah Ci Gat dengan sederhana di belakang kuil itu. Kemudian, dia mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar ke barat karena dia tadi mendengar bahwa mereka mengajak Han Siong pergi ke Tibet dan mereka tadi menuruni bukit ke arah barat. ** * Kota Pao-teng hari itu ramai sekali. Maklum, dua hari lagi rakyat merayakan hari raya Tahun Baru Impek. Biasanya beberapa hari sebelum Sin-cia (TahuBaru imlek) orang-orang sibuk berbelanja, membeli kain dan pakaian baru, membeli bahan-bahan untuk mengadakan sembahyangan dan pesta. Para pedagang pakaian dan bahan masakan dan sembahyang yang lebih dahulu berpesta pora mengumpulkan keuntungan karena seperti biasa, pada hari-hari sebelum Sin-cia para pedagang itu kebanjiran pembeli. Dan seperti biasa, kalau pembelinya terlalu banyak, lebih banyak yang dibutuhkan daripada persediaannya, maka harga-harga akan membubung tinggi dan para pedagang makin gendut perutnya. Semua orang nampak berseri wajahnya, mereka yang saling mengenal, saling menegur di jalan dan ada yang bercakap dengan santai dan gembira, ada para wanita yang bicara serius sambil berbisik. Apa lagi kalau tidak membicarakan desas-desus tentang wanita lainnya! Asyik memang membicarakan aib atau keburukan orang lain. Membicarakan kekotoran orang lain dan merendahkannya, kita merasa bersih dan tinggi. Para wanita yang biasanya lebih banyak tinggal di rumah, kini banyak meninggalkan rumah keluar ke jalan raya. Inilah kesempatan baik sekali bagi para pria tua muda. untuk memuaskan mata mereka, mengagumi gadis-gadis manis yang banyak berkeliaran di jalan-jalan, toko-toko dan pasar untuk berbelanja. Daya tarik yang selalu dikekang demi sopan santun dan tata susila antara pria dan wanita, pada kesempatan itu agak longgar dan terlepas sehingga kedua pihak merasakan kegembiraan besar karena dapat saling pandang, saling senyum. Yang pria mengambil sikap dan mengeluarkan kata-kata menyanjung dan menggoda, yang wanita menyembunyikan rasa gembira di balik senyum tersipu malu. Bukan mustahil bahwa dalam kesempatan seperti itu, dua hati bertaut dan merupakan suatu awal menuju kepada ikatan pernikahan. Ada pula yang menjadi awal malapetaka karena terjadi pelanggaran susila dan penyelewengan. Di segala pelosok dunia, keadaan seperti ini sudah lazim terjadi. Kehidupan memang berputar di sekitar hubungan antara pria dan wanita. Seperti sudah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu, pada hari-hari menjelang Sin Cia sampai biasanya lima belas hari sesudah Sin-cia, orang-orang berpesta pora dan di mana-mana orang memasang petasan sehingga keadaan menjadi meriah dan bising. Kebisingan suara petasan mendatangkan suatu perasaan gembira tersendiri dalam hati manusia. Dan biasanya orang tidak sayang menghamburkan uang untuk membeli petasan dari membakar petasan seperti bersaing dengan orang lain. Makin besar petasar yang disulut, makin banyak, akan makin banggalah hati.   Di antara sekian banyaknya orang yang berlalu-lalang di jalan raya kota Pao-teng, nampak seorang gadis yang amat menarik. Memang banyak terdapat wanita cantik berkeliaran di jalan karena boleh dibilang semua wanita di kota Pao teng keluar. pada pagi hari itu. Akan tetapi, gadis ini memiliki daya tarik tersendiri yang membuat semua mata pria yang berpapasan di jalan tentu memandangnya dengan kagum. Bahkan banyak pria sampai menoleh ke belakang untuk terus menikmati penglihatan yang menyenangkan itu. Ia seorang gadis berusia antara sembilan belas sampai dua puluh tahun, bagaikan setangkai bunga yang sudah mekar semerbak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing. Mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang manis sekali, segar kemerahan, hidungnya yang mancung itu dapat bergerak-gerak ujungnya, lucu sekali. Matanya jeli dan sinarnya tajam, kalau mengerling nampak anggun dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. Pakaiannya dari sutera yang halus dan biarpun tidak terlalu mewah, namun pakaian itu rapi dan menunjukkan bahwa gadis itu bukan seorang miskin. Melihat sebuah buntalan panjang tergendong di punggungnya, mudah diduga bahwa ia tentu seorang gadis pendatang, bukan penduduk kota Pao-teng dan agaknya hari itu ia baru saja memasuki kota sehingga buntalan barangnya masih digendong di punggung. Gadis manis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong! Seperti telah kita ketahui, dalam pemilihan ketua baru Cin-ling-pai, terjadi perebutan antara Cia Kui Hong dan Tang Cun Sek. Sebetulnya Kui Hong tidak ingin menjadi ketua Ci-ling-pai, dan kalau ia mengikuti pemilihan itu hanyalah untuk mencegah agar kedudukan ketua Cin-ling-pai tidak terjatuh ke tangan Tang Cun Sek. la berhasil mengalahkan Cun Sek dan ia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru, sedangkan Cun Sek minggat sambil membawa pergi Hong-cu-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai. Karena ia memang tidak suka menjadi ketua baru, Kui Hong lalu menyerahkan kekuasaan pimpinan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, sute dari ayahhya untuk mengurus perkumpulan itu. Ia sendiri lalu meninggalkan Cin-ling-san untuk mencari Tang Cun Sek dan merebut kembali Hong-cu-kiam, juga untuk mencari Sim Ki Long dan merebut kembali Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah yang dibawa minggat oleh Sim Ki Liong. Adapun ayah dan ibunya, setelah menyerahkan kedudukan ketua Cin-ling-pai, pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Demikianlah perjalanan, singkat Cia Kui Hong sampai pada pagi hari itu ia memasuki kota Pao-teng. Ia ikut merasa gembira melihat ramainya kota itu dengan penduduknya yang bergembira ria menyambut datangnya Sin-cia yang tinggal dua hari lagi. Akan tetapi disamping kegembiraannya, di sudut hatinya terdapat perasaan kesepian dan iuga bersedih karena ia teringat kepada ayah ibunya, juga kepada kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, dan kepada kakeknya di Cin-Iing-pai. Biasanya, pada hari Sin-cia, ia selalu berkumpul dengan keluarganya, dan terdapat suatu kegembiraan yang khas berkumpul dengan seluruh keluarga pada hari Sin-cia itu. Sekarang, la menyambut menjelang Sin-cia seorang diri saja, di tempat asing, dimana ia tidak mempunyai seorangpun kenalan. Yang lebih mengesalkan hatinya lagi. sampai sekian lamanya ia belum dapat menemukan jejak kedua orang yang dicarinya, yaitu Tang Cun Sek dan Sim Ki Liong. Pada saat itu, terdengar bunyi roda kereta dan sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda lewat di jalan raya itu. Semua orang minggir dan memberi jalan, dan banyak di antara ntereka yang memberi hormat ke arah kereta. Kui Hong melihat bahwa kereta itu milik seorang berpangkat tinggi. Hal ini mudah dilihat dengan adanya sebuah bendera kebesaran di kereta itu, dan ada selosin pasukan mengiringkan kereta. Ketika kereta itu lewat di depan sebuah toko, tiba-tiba seuntai mercon besar-besar yang disulut oleh pemiliknya, meledak-ledak dengan suara yang amat nyaring dan bising. Empat ekor kuda penarik kereta terkejut dan dua diantaranya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, lalu empat ekor kuda itu meloncat ke depan dan lari sambil berloncatan ketakutan. Kusirnya terkejut dan berusaha menenangkan kuda. Dia bangkit berdiri, akan tetapi kuda-kuda itu makin ketakutan, melonjak-lonjak sehingga saking kuatnya guncangan itu, kusirnya terlempar keluar dari atas kereta! Empat ekor kuda itu lalu kabur! Melihat ini, para pengawal membalapkan kuda untuk menyusul, akan tetapi merekapun tidak dapat menenangkan kuda, bahkan kuda-kuda penarik kereta itu menjadi semakin panik melihat banyak kuda para pengawal lari di samping mereka. Orang-orang yang melihat peristiwa itu terjadi, terbelalak dan merasa khawatir. Mereka yang mengenal bendera di atas kereta itu tahu bahwa yang duduk di dalam kereta itu adalah Cang Tai-jin, seorang pembesar dari kota raja yang amat terkenal karena dia adalah seorang menteri yang bijaksana dan disegani seluruh pembesar, bahkan menjadi tangan kanan kaisar! Selagi semua orang merasa panik, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat ke atas kereta yang sedang dibalapkan empat ekor kuda yang kabur itu. Semua orang terbelalak heran melihat betapa di tempat kusir tadi kini sudah berdiri seorang gadis yang manis sekali. la bukan lain adalah Kui Hong! Ketika tadi ia melihat kereta dibawa kabur dan kusirnya terpental keluar kereta, Kui Hong cepat lari menghadang dan ketika kereta itu lewat, ia pun mempergunakan kelincahan tubuhnya, melompat ke atas kereta dan segera ia menyambar kendali kuda yang terlepas. Dengan kekuatan sin-kangnya, ia lalu menarik kendali kuda itu, memaksa kepala empat ekor kuda itu meronta, melonjak dan mempergunakan tenaga mereka untuk melepaskan kendali yang menarik kepala mereka ke belakang, namun sia-sia saja dan akhirnya, biarpun mereka itu meringkik-ringkik, mereka tidak mampu kabur lagi. Dengan kepala ditarik ke belakang seperti itu mau tidak mau mereka menghentikan lari mereka dan kereta itupun berhenti. Pintu kereta dibuka dari dalam dan keluarlah seorang laki-laki setengah tua bersama seorang laki-laki muda. Mereka berpakaian serba indah, pakaian bangsawan. Pria yang usianya lebih dari lima puluh tahun dan bertubuh tegap itu nampak tenang ketika menuruni kereta, akan tetapi orang kedua, seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun nampak pucat dan kedua kakinya gementar ketika dia menuruni kereta. Kusir kereta segera naik ke atas kereta dengan pipi lembam dan pakaian koyak-koyak. "Terima kasih, nona, terima kasih..... !” katanya sambil menerima kendali kuda dari tangan gadis itu. Kui Hong hanya mengangguk lalu iapun meloncat turun. Buntalan panjang tadi masih melekat di punggungnya dan ia sama sekali tidak kelihatan tegang, masih tetap tenang seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah permainan kanak-kanak saja. .   Pembesar itu memandang kepadanya dan mengerutkan alisnya karena dia merasa seperti pernah mengenal nona manis itu. Sebaliknya, Kui Hong yang memandang kepadanya juga segera menghampiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. "Ah, kiranya, Cang Tai-jin yang berada di dalam Kereta!" serunya gembira sekali karena ternyata pejabat pemerintah yang ditolongnya itu adalah seorang pembesar yang amat dikaguminya dan pernah dikenalnya, yaitu Menteri Cang Ku Ceng yang setia dan bijaksana. Menteri itu yang sejak tadi sudah merasa mengenal Kui Hong, kini melangkah maju mendekat dan membalas penghormatan gadis itu. "Maafkan aku, rasanya aku pernah mengenalmu, nona, akan tetapi aku lupa lagi kapan dan di mana.” Kui Hong tersenyum, tidak tersinggung walaupun pembesar ini lupa kepadanya. Maklum, sebagai pejabat tinggi yang berhubungan dengan banyak sekali orang, tentu saja tidak mungkin Cang Taijin ingat semua orang yang pernah dikenalnya. “Kita pernah saling jumpa ketika para pendekar membantu pasukan Cang Taijin membasmi penberontak Kulana.... " "Ah, benar! Nona adalah seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa itu. Maafkan kalau aku sudah lupa, dan siapakah namamu, li-hiap (pendekar wanita)?” "Nama saya Cia Kui Hong, Taijin." \"She Cia? Ah, sekarang aku ingat. Li-hiap adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan? Li-hiap adalah seorang di antara para pendekar wanita muda yang kami kagumi. Dan sekarang, li-hiap pula yang telah menyelamatkan kami dari bahaya. Sun-ji, (anak Sun), ini adalah pendekar wanita .Cia Kui Hong dari Cin-ling-pai yang telah menyelamatkan kita tadi. Li-hiap, ini adalah puteraku Cang Sun." Kui Hong memberi hormat kepada pemuda itu dan diam-diam ia kecewa. Ia mengenal Cang Taijin sebagai seorang pembesar yang bijaksana, setia dan juga pandai, akan tetapi mengapa puteranya ini demikian penakut? Memang tampan, akan tetapi tidak memiliki keagungan dan wibawa seperti ayahnya, bahkan pandang matanya mengandung kecabulan ketika menjelajahi tubuhnya. "Nona Cia Kui Hong, terima kasih atas pertolonganmu." kata Cang Sun sambil tersenyum. "Cia-lihiap, kulihat engkau agaknya baru saja masuk ke kota ini? Buntalan pakaianmu masih kaugendong... " kata pembesar itu. "Memang, baru pagi ini saya memasuki kota Pao-teng ini, taj-jin." "Kalau begitu, mari engkau ikut bersama kami, li-hiap, menjadi tamu kami yang terhormat." "Saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja, Tai-jin." "Ah, sama sekali tidak, li-hiap. Kami mempunyai rumah di Pao-teng sini, dan keluargaku akan merasa girang sekali menerimamu sebagai seorang tamu." "Akan tetapi, saya ingin mengunjungi keluarga paman Cia Sun di dusun Ciang-si-bun sebelah selatan kota raja." Kata Kui Hong. Alasan ini bukan dicari-cari karena memang ia ingin berkunjung ke rumah pendekar Cia Sun. Sebetulnya, Cia Sun masih terhitung paman dari ayahnya, akan tetapi karena usia Cia Sun sebaya dengan ayahnya, ia sudah biasa menyebutnya paman saja. Memang hubungannya dengan keluarga ini cukup dekat. Cia Sun bukan saja mempunyai hubungan darah dengan ayahnya, akan tetapi juga isteri Cia Sun yang bernama Tan Siang Wi adalah seorang tokoh dan murid Cin-ling-pai, murid kong-kongnya. Dan puteri mereka, Cia Ling juga sudah dikenalnya dengan baik sekali ketika mereka bersama terlibat dalam gerakan pembasmian gerombolan pemberontak yang dipimpin Kulana. Ia bukan hanya ingin berkunjung, melainkan juga ingin mencari jejak Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, dan bertanya kepada keluarga pendekar itu kalau-kalau mereka mendengar tentang dua orang yang dicarinya itu. "Ciang-si-bun? Keluarga Cia Sun? Ah, jangan khawatir, akan kami antarkan karena kalau kami pulang ke kota raja juga melewati dusun itu, dan kami adalah sahabat baik pendekar Cia Sun! Kita bermalam di Pao-teng hari ini dan besok kita ke kota raja, singgah di rumah keluarga pendekar Cia Sun. Engkau harus suka menggembirakan kami dengan merayakan Sin-cia di rumah kami di kota raja, li-hiap." Melihat sikap yang amat ramah dan kesungguhan hati pejabat tinggi yang bijaksana itu, Kui Hong tidak dapat menolak lagi. Ia merasa kurang enak kalau menolak terus setelah pembesar itu bersikap sedemikian ramahnya. Dan iapun tahu. bahwa Menteri Cang Ku Ceng ini memiliki kedudukan yang amat tinggi, bahkan dia dihormati oleh semua pejabat lain. Hal itu sudah dilihatnya ketika mereka bersama menghadapi gerombolan yang dipimpin Kulana dan kawan-kawannya. Sungguh merupakan suatu kehormatan besar yang membanggakan kalau menjadi tamu pembesar ini, apa lagi tamu kehormatan! Setelah Kui Hong menerima undangannya, Cang Tai-jin merasa girang bukan main. Dia mempersilakan Kui Hong duduk di dalam kereta bersamanya, dan menyuruh puteranya, Cang Sun untuk menunggang kuda. Dan berangkatlah kereta yang dikawal itu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata banyak orang dengan kagum. Mereka bukan saja kagum melihat gadis manis yang menyelamatkan Cang Tai-jin, dengan keberanian luar biasa telah mampu menghentikan kereta yang dibawa kabur empat ekor kuda, melainkan juga kagum melihat gadis itu menjadi tamu terhormat dari seorang menteri yang demikian terkenal seperti Cang Tai-jin.   Cang Ku Ceng adalah seorang menteri yang bukan saja pandai dan bijaksana, akan tetapi juga sederhana. Karena dia melaksanakan tugasnya tanpa dinodai perbuatan korup, seperti pembesar lain yang menyalahgunakan kedudukan untuk memperkaya diri, maka kehidupan keluarganya yang hanya mengandalkan penghasilan halal sebagai seorang menteri, tidak ter lalu berlebihan. Isterinya berasal dari Poa-teng, maka tidak mengherankan kalau menteri ini memiliki sebuah rumah di kota ini. Rumahnya besar, akan tetapi tidak mewah sekali, tidak seperti rumah para pembesar lain yang biarpun pangkatnya belum setinggi Cang Tai-jin, akan tetapi dalam hal kemewahan, menyaingi kehidupan kaisar sendiri. Isteri dan dua orang selir Cang Tai-jin menerima Kui Hong dengan gembira dan ramah sekali sehingga lenyaplah perasaan rikuh dari hati gadis itu. Hanya seorang saja di dalam keluarga itu yang tidak begitu ia sukai yaitu Cang Sun. Pemuda ini selalu memandang kepadanya dengan sinar mata penuh nafsu. Walaupun di depan ayahnya pemuda itu kelihatan pendiam dan tidak pernah mengganggunya, namun sinar mata dan senyumnya jelas membayangkan kegenitan yang cabul! . Setelah bicara dengan isteri dan dua orang selir Cang Tai-jin, baru Kui Hong tahu bahwa pemuda itu adalah putera seorang di antara selir-selir itu, dan hanya Cang Sun seoranglah keturunan Cang Tai-jin. Isteri Menteri Cang adalah seorang wanita yang lembut dan ramah sekali dan ia segera akrab dengan Kui Hong, nampak betapa nyonya yang tidak mempunyai keturunan itu amat sayang kepada Kui Hong. Dan melihat keakraban keluarga itu terhadap dirinya, Kui Hong merasa tak enak kalau terus disebut li-hiap (pendekar wanita), maka ia minta agar mereka menyebut namanya saja, tanpa sebutan pendekar wanita. Setelah bermalam di rumah keluarga Cang semalam di Pao-teng, pada keesokan harinya, Cang Tai-jin menyuruh puteranya mengantar isteri dan dua orang selirnya pulang lebih dulu ke kota raja menggunakan sebuah kereta besar, sedangkan dia sendiri bersama Kui Hong berkunjung ke rumah keluarga Cia Sun. Ketika komandan pengawal hendak membagi pasukan pengawal. Menteri Cang tertawa. "Ha-ha-ha, aku melakukan perjalanan bersama nona Cia Kui Hong," katanya kepada komandan pengawal. "Ia sudah merupakan kekuatan pengawal yang tidak kalah oleh seratus orang perajurit pengawal!" Dan dia memerintahkan kepala pasukan pengawal itu untuk mengawal kereta keluarganya saja. Dia sendiri menunggang kuda bersama Kui Hong dan menuju ke dusun Ciang-si-bun. *** Cia Sun adalah seorang pendekar kenamaan yang berilmu tinggi. Dia putera pendekar dari Lembah Naga Cia Han Tong ketua Pek-liong-pang. Sebagai putera seorang pendekar sakti, juga menjadi murid dari Go-bi San-jin, maka Cia Sun memiliki kepandaian yang tinggi. Namun wataknya sederhana dan pendiam, halus berwibawa. Dia tidak pernah menonjolkan diri dan kini, setelah usianya empat puluh tiga tahun lebih, dia bahkan jarang sekali muncul di dunia persilatan. Dia tin tinggal di dusun Ciang-si-bun bersama isterinya yang bernama Tang Siang Wi. Walaupun isterinya tidak selihai dia, namun Tang Siang Wi yang sekarang berusia empat puluh satu tahun itu bukanlah wanita lemah. Ia pernah menjadi murid kesayangan ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kong Liang, juga di gembleng oleh isteri ketua itu. bahkan ketika masih muda, pernah ia terkenal di dunia persilatan dengan julukanToat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ia bersikap ganas dan tak mengenal ampun terhadap para penjahat. Suami isteri ini hanya mempunyai seorang anak, yaitu anaka perempuan yang bernama Cia Ling atau selalu di sebut Ling Ling. Ling Ling yang kini berusia delapan belas tahun itu telah menikah dan kini tinggal bersama suaminya yang bernama Can Sun Hok di kota Siang-tan. Can Sun Hok seorang pemuda perkasa rang kaya raya. Setelah Ling Ling pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mengikuti suaminya, maka Cia Sun dan isterinya hanya hidup berdua dan seringkali merasa kesepian. Karena dia seorang pendekar besar yang kenamaan, maka beberapa orang pejabat pemerintah kadang suka minta bantuannya untuk membasmi penjahat dan mengamankan daerahnya. Bahkan Menteri Cang Ku Ceng yang bijaksana dan dapat menghargai para pendekar, setelah mendengar namanya lalu menghubunginya dan setelah bercakap-cakap, Menteri Cang merasa cocok sekali dengan Cia Sun sehingga seringkali mereka saling berkunjung. Terjalinlah persahabatan antara menteri dan pendekar itu. Di dusun Ciang-si-bun sendiri, Cia Sun dan isterinya dikenal sebagai suami isteri dermawan, dan karena semua penduduk dusun itu mengenal siapa mereka, tahu bahwa suami isteri pendekar itu mempunyai banyak kenalan di kalangan pembesar tinggi, maka tentu saja mereka semakin di hormati. Penduduk dusun Ciang-si-bun tidak merasa heran lagi kalau ada kereta pembesar dari kota raja datang berkunjung ke rumah keluarga pendekar itu, kereta yang dikawal oleh pasukan yang gagah. Akan tetapi, ketika mereka melihat Menteri Cang datang dengan seorang gadis cantik yang gagah berdua saja dan hanya berkuda tanpa pengawal, banyak penduduk memandang heran. Akan tetapi Cia Sun dan isterinya yang menyambut dua orang tamu itu tidak merasa heran setelah mereka tahu bahwa menteri itu datang bersama Cia Kui Hong yang mereka kenal sebagai seorang gadis gemblengan yang gagah perkasa. Mereka tadinya agak pangling, akan tetapi setelah Kui Hong memperkenalkan diri, isteri Cia Sun, yaitu Toat-beng Sian-li Tang Siang Wi segera merangkul murid keponakan itu dengan gembira sekali. "Aih, kiranya engkau, Kui Hong! Pantas saja Cang Tai-jin datang berkunjung tanpa pengawal, kiranya ada engkau! Mari, mari, silakan masuk." Ia menggandeng tangan gadis itu dan diajaknya masuk ke dalam setelah memberi hormat kepada kepada Cang Tai-jin. Cang Tai-jin memang seorang pejabat tinggi yang amat bijaksana. Dia tidak pernah mengangkat dirinya tinggi-tinggi karena kedudukannya. Biarpun keluarga Cia Sun hanya rakyat biasa, akan tetapi setelah bersahabat, dia tidak memperkenankan keluarga itu memberi penghormatan yang berlebihan kepadanya, maka sambutan Cia Sun dan isterinya juga sederhana saja. Sebagai seorang menteri, dia layak dihormati dengan berlutut, akan tetapi dia tidak mau seorang sahabatnya menghormatnya sambil berlutut. Sungguh merupakan sikap yang amat bijaksana dan karena sikapnya inilah maka Cang Tai-jin amat dikenal dan disayang oleh rakyat.   Cia Sun diam-diam merasa heran bagaimana menteri itu kini berkunjung bersama Kui Hong dan apa hubungan antara menteri itu dan puteri ketua cin-ling-pai itu demikian akrabnya. Kau tentu heran melihat aku datang bersama Kui Hong ke sini!" pejabat tinggi itu mendahului ketika dia melihat sikap Cia Sun, setelah mereka berempat duduk di ruangan dalam. Cia Sun mengangguk. "Benar sekali, tai-jin. Bagaimana tai-jin dapat bersama Kui Hong dan agaknya ada keperluan yang amat penting dalam kunjungan tai-jin sekali ini." Menteri Cang menggeleng kepalanya. "sama sekali tidak, bahkan ini hanya kunjungan sambil lalu saja, untuk menemani Kui Hong yang ingin berkunjung ke sini. Kautahu, tai-hiap, kemarin, Kui Hong telah menyelamatkan aku dari bahaya maut!" "Ahh?" Cia Sun dan isterinya terkejut mendengar ini. "Aih, Cang Tai-jin terlalu membesarkan, harap paman dan bibi tidak menerimanya dengan sungguh-sungguh. Yang benar, kereta yang ditumpangi Cang Tai-jin dan puteranya dibawa kabur oleh empat ekor kuda yang menariknya dan aku hanya menenangkan kuda-kuda itu. Dan sebelum itu, memang aku sudah pernah berkenalan dengan Cang Tai-jin, yaitu ketika penumpasan gerombolan Ku1ena dahulu itu. Tentu paman dan bibi sudah mendengarnya dari Ling Ling. Oya, di mana sekarang Ling Ling, paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya." Suami isteri itu memandang kepada Kui Hong, dan disebutnya nama puteri mereka itu membuat hati mereka terasa perih. Telah terjadi malapetaka atas diri puteri mereka, akan tetapi menurut keterangan Ling Ling, Kui Hong adalah satu-satunya orang yang dipercaya puteri mereka, itu tahu pula akan malapetaka yang menimpa diri Ling Ling. Peristiwa itu terjadi ketika Ling Ling berada di antara para pendekar yang membantu Cang Tai-jin membasmi gerombolan Kulana. Gadis yang sejak kecil telah mempelajari ilmu silat dan telah menjadi seorang pendekar wanita yang cukup tangguh, pada suatu malam telah dibuat tidak berdaya dan diperkosa seorang pria! Tadinya Hay Hay Si Pendekar Mata Keranjang yang dituduh sebagai pemerkosanya, akan tetapi kemudian diketahui bahwa yang melakukan perbuatan biadab itu adalah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah, penjahat Jai-hwa-jat (Pemetik Bunga) yang amat tersohor itu. Masih baik nasib puteri mereka bahwa seorang pemuda perkasa yang jatuh cinta kepadanya, yaitu Can Sun Hok, tetap mencintanya dan bahkan meminangnya walaupun dia tahu akan malapetaka dan aib yang menimpa diri gadis yang dicintanya itu. "Ling Ling telah menikah dan sekarang ia turut dengan suaminya ke Siang-tan." kata isteri Cia Sun singkat. Berseri wajah Kui Hong mendengar berita itu. Sukurlah, demikian bisik hatinya. Kiranya Can Sun Hok, cucu Pangeran Can Seng Ong itu adalah seorang pemuda yang setia dalam kasihnya. Dia tahu bahwa Can Sun Hok seorang pemuda yang baik sekali walaupun Can Sun Hok pernah mendendam kepada ibunya dan pernah memusuhi ibunya. Hal itu adalah karena Can Sun Hok hendak membalaskan kematian ibu kandungnya.Ibu kandung Can Sun Hok adalah mendiang Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa (Dewi Racun Wangi), seorang tokoh sesat yang tewas di tangan pendekar Ceng Sui Cin, ibu kandungnya. Akan tetapi, ibunya dapat menyadarkan Sun Hok akan kejahatan ibu kandungnya sehingga pemuda itu suka menghabiskan dendamnya. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa Can Sun Hok adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Hanya seorang gagah saja yang mampu menyadari kesalahan pihaknya sendiri. Karena itu ketika mendengar keterangan bibinya bahwa kini Ling Ling telah pindah ke rumah suaminya di kota Siang-tan, ia tidak meragukan lagi bahwa suami gadis itu tentulah Can Sun Hok yang rumahnya di kota itu. "Jadi ia telah menikah dengan Can Sun Hok? Bagus sekali! Aku ikut merasa berbahagia, paman dan bibi. Akan tetapi, mengapa aku tidak diberitahu? Keluarga kami tidak ada yang diundang..... " "Maafkan kami, memang pernikahan itu tidak dirayakan, atas kehendak mereka berdua. Karena tidak dirayakan, kamipun tidak mengundang tamu, apa lagi yang dari jauh karena hanya akan merepotkan saja. Harap maklum.” kata Cia sun dan Kui Hong tentu saja maklum. Dalam keadaan ternoda aib seperti keadaan Ling Ling, ia dapat memaklumi kalau pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan diam-diam ia makin iba kepada Ling Ling dan makin berterima kasih kepada Can Sun Hok. "Aku dapat memaklumi, paman dan bibi. Tidak mengapalah, kelak kalau ada kesempatan, tentu aku akan berkunjung ke rumah mereka di Siang-tan." "Sebetulnya, urusan apa yang membawamu sampai ke sini, Kui Hong? Apakah hanya pesiar dan sengaja hendak berkunjung ke rumah kami ataukah ada kepentingan lain?” Cia Sun bertanya. Kui Hong memandang kepada Cang Tai-jin dan menteri ini sambil tersenyum berkata, "Apakah kehadiranku mengganggu dan membuat kalian sekeluarga menjadi tidak leluasa untuk bicara? Kalau begitu, biar aku menyingkir ke ruangan lain lebih dulu." "Ah, tidak sama sekali, tai-jin Kata Kui Hong. "Jangan begitu, membuat saya tidak enak saja. Kalau orang lain mungkin saja kami anggap orang asing yang tidak berhak ikut mendengar, tai-jin, akan tetapi tai-jin kuanggap bukan orang lain lagi. Baiklah, akan saya ceritakan keperluan saya maka sampai ke sini." Ia lalu memandang kepada paman dan bibinya. "Paman Cia Sun dan bibi, sebetulnya, memang perjalananku sekali ini membawa tugas atau keperluan yang penting, yaitu mencari dua orang yang jahat. Karena tidak menemukan jejak mereka, maka aku mencari ke arah kota raja dan sekalian hendak berkunjung ke sini, selain sudah rindu juga siapa tahu kalau-kalau paman dan bibi dapat membantuku dan mendengar tentang dua orang yang kucari-cari itu." "Siapakah dua orang jahat yang kau cari itu, Kui Hong? Terus terang saja, sudah lama sekali aku dan bibimu tidak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga kami tidak banyak mengetahui tentang mereka yang hidup di dunia sesat.” kata Cia Sun. "Akupun ingin mendengar siapa yang kaucari itu, Kui Hong. Barangkali aku dapat membantu pula." kata Menteri Cang Ku Ceng. "Nama mereka Sim Ki Liong dan T ang Cun Sek." Cia Sun dan isterinya saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Dua buah nama itu tidak ada artinya bagi mereka karena mereka belum pernah mengenalnya. Akan tetapi Cang Tai-jin mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. "Sim Ki Liong?" katanya perlahan sambil mengingat-ingat nama itu. "Aku seperti pernah mendengar nama ini, akan tetapi kapan dan di mana?"   “Tai-jin tentu pernah mendengarnya karena dia seorang di antara tokoh jahat yang membantu gerakan pemberontakan Kulana." kata Kui Hong. "Ah, benar! Tokoh yang lihai dan berhasil lolos dari kepungan para pendekar. Akan tetapi nama ke dua itu belum pernah aku mendengarnya." "Tentu saja belum, Cang Tai-jin. Yang bernama Tang Cun Sek itu adalah seorang murid  Cin-ling-pai yang murtad." "Kui Hong, kenapa engkau bersusah payah mencari dua orang itu?" Cia Sun bertanya. "Sim Ki Liong pernah menjadi murid Pulau Teratai Merah dan dia minggat sambil membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, sedangkan Tang Cun Sek minggat melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam milik kong-kong Cia Kong Liang." "Aihhh.... !" Tan Siang Wi berseru marah mendengar betapa pedang pusaka milik gurunya dilarikan orang. "Sungguh kurang ajar benar Tang Cun Sek itu. Murid Cin-Iing-pai berani berbuat semacam itu!" "Aneh sekali memang," kata pula Cia Sup. Kenapa ada murid Pulau Teratal Merah Juga melarikan sebuah pusaka dari sana?" Kui Hong mengangguk. “Sepandai-pandainya orang, sekali waktu dapat saja lengah, paman. Agaknya sekali inipun, kedua kong-kong (kakek), baik kakek Ceng Thian Sin dari Pulau Teratai Merah maupun kakek Cia Kong Liang dari Cin-ling-pai, keduanya lengah sehingga ada orang jahat dapat menyusup masuk menjadi murid, yaitu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Aku sudah berjanji kepada kedua kakekku untuk pergi mencari mereka dan merampas kembali kedua pedang pusaka itu." "Akan tetapi, sampai sekarang engkau belum berhasil menemukan jejak mereka ?” Kui Hong menggeleng kepala. "Aku bertemu dengan Sim Ki Liong ketika kami membantu Cang Tai-jin membasmi gerombolan Kulana, akan tetapi tidak berhasil merampas kembali pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, bahkan dia berhasil meloloskan diri. Adapun jejak Tang Cun Sek akupun belum menemukannya. Sungguh aku akan merasa tidak enak kepada kedua kakekku kalau gagal merampas kembali kedua batang pedang pusaka." "Hemm, akupun tidak pernah mendengar berita tentang Sim Ki Liong yang tempo hari lolos," kata Cang Tai-jin," akan tetapi aku akan dapat memerintahkan orang-orangku menyebar penyelidik untuk mencari jejak kedua orang itu. Jangan khawatir, Kui Hong, engkau tinggallah di rumah kami di kota raja. Aku yakin orang-orangku yang banyak akan segera dapat menemukan jejak mereka. Yang seorang itu..... aku tidak pernah mengenal nama Tang Cun Sek. Akan tetapi she Tang? Hemm, hal itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa yang sampai kini masih terasa tidak enak bagiku. Dan mungkin engkau dapat membantuku melakukan penyelidikan di kota raja, Kui Hong." “Ada peristiwa hebat dan penting apakah yang terjadi di kota raja, Cang Tai-jin?" tanya Cia Sun setelah mempersilakan tamunya minum dan makan hidangan yang dikeluarkan oleh para pelayan. Cang Tai-jin minum air teh yang dihidangkan, lalu menarik napas panjang. "Sebetulnya urusan itu amat menggelisahkan, akan tetapi juga bagi kami mengalami kesukaran untuk memecahkannya, karena urusannya menyangkut dalam istana Sribaginda Kaisar! Mula-mula terjadi penyelewengan yang dilakukan seorang selir Sribaginda dengan seorang perwira muda she Tang. Tidak ada yang tahu akan peristiwa itu sampai pada suatu malam, selir itu bersama dayangnya lenyap dari dalam istana. Tak seorangpun menduga bahwa selir itu berhubungan gelap dengan perwira pengawal istana yang bernama Tang Gun itu. Sribaginda menjadi marah dan sudah disebar orang untuk mencari selir yang hilang, namun sia-sia belaka karena disembunyikan oleh Tang Gun, perwira muda yang menjadi kekasihnya itu." Cia Sun, isterinya, dan Kui Hong mendengarkan penuh perhatian. Biarpun agaknya tidak ada hubungannya dengan mereka, akan tetapi mereka maklum bahwa kalau Menteri Cang Ku Ceng sudah menceritakan sesuatu hal, maka tentu urusan itu amat penting. Cang Taijin kembali meneguk air teh lalu melanjutkan ceritanya. "Nah, selagi kaisar marah dan para petugas hampir putus harapan untuk dapat menangkap selir dan dayangnya yang melarikan diri secara aneh, muncullah orang gagah yang bernama Tang Bun An itu. Dan dia telah menangkap Tang Gun dan selir itu, berikut dayangnya. Dia menghadapkan tiga orang itu kepada kaisar yang tentu saja berterima kasih kepadanya. Selir dan dayang itu dihukum menjadi nikouw, dan perwira Tang Gun dihukum buang." Menteri Cang berhenti pula. "Ah, Tai-jin, kalau begitu, berarti urusannya sudah selesai, bukan? Yang bersalah sudah ditangkap dan dihukum." kata Kui Hong. "Bukan hanya sampai di situ," kata Menteri Cang. "Masih ada kelanjutannya dan dalam urusan itu terkandung hal-hal yang aneh. Apakah kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?" "Hanya ada satu hal yang agak aneh, Tai-jin. Perwira yang melarikan selir kaisar itu she Tang, dan penangkapannya juga seorang yang she Tang. Apakah ini kebetulan saja?" tanya Cia Sun. Menteri Cang mengangguk. "Memang hal itu juga menarik perhatian, dan Sudah pula kuselidiki. Akan tetapi agaknya tidak terdapat hubungan kekeluargaan antara Tang Bun An dan Tang Gun itu, karena keduanya hidup sebatangkara dan tidak berkeluarga. Akan tetapi ada hal lain yang amat menarik. Tang Gun telah dijatuhi hukuman buang, dan ketika hukuman dilaksanakan dan dia dikawal menuju ke tempat pembuangan, di tengah perjalanan dua orang pengawal itu dibunuh orang dan Tang Gun meloloskan diri. Tak seorangpun tahu siapa penolongnya itu."   "Hemm, sungguh menarik sekali!" kata Kui Hong. "Peristiwa itu penuh teka-teki." "Ada satu hal lain yang kiranya patut kalian ketahui, yaitu bahwa Tang Gun ketika masih perwira pengawal istana, seringkali membual bahwa dia adalah keturunan Si Kumbang Merah." "Ahhh..... !" Seruan itu keluar dari tiga mulut pendengarnya, hampir berbareng. Nama Ang-hong-cu, (Si kumbang Merah) bukan nama asing bagi mereka, bahRan nama yang tak pernah mereka lupakan. Bagi Cia Sun suami isteri nama itu amat dibenci karena Ang-hong-cu itulah yang pernah memperkosa puteri mereka! Dan bagi Kui Hong, iapun sudah terlalu sering mendengar nama itu, bahkan pernah ia bertemu dengan Ang-hong-cu yang menyamar menjadi Han Lojin, dan Han Lojin inipun malah membantu para pendekar dalam membasmi gerombolan Kulana! Lebih dari itu malah. Han Lojin ini sebagai penyamaran Ang-hong-cu diakui oleh Hay Hay sebagai ayah kandungnya! Dan sekarang, Tang Gun itu mengaku sebagai keturunannya, berarti bahwa Tang Gun adalah seayah dengan Hay Hay. Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka bertiga yang mendengar keterangan Menteri Cang Ku Ceng. "Kalau begitu, sangat boleh jadi orang yang membebaskan Tang Gun itu adalah Si Kumbang Merah!" kata Kui Hong. Pembesar itu mengangguk -angguk. "Boleh jadi, akan tetapi siapa tahu? Sebelum kami dapat menangkap Tang Gun yang menjadi buronan, kami tidak akan dapat mengetahui siapa yang membebaskannya. Akan tetapi, yang akan kubicarakan ini adalah soal lain. Mengenai Tang Gun, biarlah tak perlu kita pikirkan karena dia telah menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Ada hal lain yang memusingkan akan tetapi juga bagiku mengkhawatirkan, yaitu mengenai Tang Bun An." "Orang yang menangkap Tang Gun dan selir Sribaginda itu, Tai-jin?" tanya Cia Sun. “Ada apa dengan dia ?” tanya Kui Hong. "Tang Bun Ang telah berjasa dengan menangkap selir dan Tang Gun, dan Sribaginda tentu saja tidak melupakan jasanya. Dia diangkat menjadi seorang panglima yang memimpin seluruh pasukan pengawal istana!" "Wah, tinggi benar kedudukan itu!" seru Cia Sun. "Hemm, apakah dia memiliki kemampuan untuk menjadi komandan seluruh pasukan pengawal istana?" Tan Siang Wi ikut pula bertanya. Biarpun ia tidak banyak cakap, namun nyonya ini juga amat tertarik dan mencurahkan perhatian karena yang dibicarakan itu amat penting dan tadi menyangkut pula nama Ang-hong-cu. "Tentu saja dia tidak diterima begitu saja. Dia telah diuji oleh Sribaginda dan diadu melawan Perwira Coa, raksasa yang amat kuat dan lihai, jagoan di antara para perwira pengawal. Dan dia menang. Agaknya memang Tang Bun An itu lihai sekali ilmu silatnya, dan memang pantas dia menjadi komandan pasukan pengawal. Semenjak dia menjadi komandan pengawal, keamanan dan ketertiban di istana lebih terjamin.” "Kalau begitu, apa yang menjadi persoalannya?" tanya Kui Hong heran. Menteri Cang Ku Ceng menghela napas panjang. "Sebetulnya urusan ini terlalu kecil untuk ditangani oleh seorang pejabat tinggi, bahkan dapat memalukan. oleh karena itu, para pejabat tinggi di kota raja kalau mendengarnya, pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, biarpun aku sendiri tidak. dapat berbuat apa-apa, namun hatiku selalu gelisah akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Dan semua disebabkan oleh desas-desus yang membocor dari istana bahwa kalau dulu terjadi aib karena penyelewengan seorang selir dengan perwira Tang Gun, maka kini terjadi aib yang lebih besar lagi!” Sebagai seorang gadis, Kui Hong merasa rikuh dan malu untuk mendesak minta penjelasan mengenai penyelewengan dan aib seperti itu, walaupun hatinya tertarik sekali. "Ada ter jadi penyelewengan apa lagi, Tai-jin?" Tan Siang Wi yang bertanya. "Hanya desas-desus bahwa kini terjadi lagi penyelewengan, bukan oleh seorang dua orang selir, bahkan semua selir terlibat, melakukan penyelewengan dengan seorang laki-laki!" "Ah, bagaimana mungkin itu? Bukankah istana dijaga ketat oleh para pengawal luar dan dalam, bahkan masih banyak pula para thai-kam (laki-laki kebiri) yang berjaga di bagian puteri?" seru Cia Sun. "Itulah sebabnya maka berita itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya sehingga sukar sekali bagi kami untuk melakukan tindakan. Bahkan para thai-kam sendiri tidak ada yang membenarkan adanya desas-desus itu. Pernah hal itu disinggung secara halus kepada Hong-houw (permaisuri) akan tetapi beliau marah-marah dan mengatakan bahwa selama ia berada di istana, hal kotor itu takkan mungkin terjadi! Nah, kalau permaisuri sendiri sudah mengatakan demikian, apa yang dapat kami lakukan?" "Tai-jin, kalau demikian halnya, maka mungkin desas-desus itu hanya kabar bohong saja yang timbul karena pengaruh peristiwa yang lalu antara seorang selir dan Tang Gun itu." "Kurasa tidak sesederhana itu, Kui Hong. Engkau tentu tahu bahwa kalau ada asap, walaupun sedikit, tentu ada apinya. Kalau ada desas-desusnya, tentu ada kenyataannya." Kui Hong mengerutkan alisnya. "Maaf, tai-jin, akan tetapi saya tidak sependapat. Bagaimana kalau desas-desus itu disiarkan dengan sengaja oleh seseorang untuk menjatuhkan fitnah?" “Kurasa tidak demikian karena desas-desus itu keluar mula-mula dari mulut seorang thai-kam tua yang mati karena sakit. Beberapa saat sebelum mati dia mengeluarkan ucapan itu, bahwa para selir tidak ada yang setia, semua melakukan penyelewengan dengan seorang pria.”   "Dan pria itu?" Kui Hong mendesak. "Itulah! Thai-kam. itu tidak sempat menceritakan siapa pria itu. Andaikata dia menyebut namapun, siapa percaya? Tanpa bukti, tidak mungkin kami bertindak." "Dan Tai-jin agaknya sudah mempunyai prasangka siapa pria itu?" Pembesar itu menghela napas dan menggeleng kepala. “Aku tidak mau sembarangan menuduh. Hanya menurut penyelidikanku, orang yang bernama Tang Bun An itu memang aneh. Setelah dia menjadi seorang komandan pasukan pengawal, memang dia bersikap baik, sopan santun, tegas dan bahkan dia memberi latihan silat yang baik kepada anggauta pasukannya. Akan tetapi kalau kita menjenguk keadaan di rumah tinggalnya, hmm....!” "Mengapa, tai-jin?" tanya Cia Sun. "Dia tidak berkeluarga, akan tetapi di rumahnya penuh dengan wanita muda yang cantik! Bahkan kumpulan wanita-wanita itu lebih banyak dan lebih cantik dari pada para selir Sribaginda sendiri! Dan menurut keterangan yang kuperoleh, Tang Bun An itu masih terus mengumpulkan wanita, sering mengganti yang lama, dan kabarnya dia memang seorang yang gila wanita!" "Hemm, tapi apa hubungannya hal itu dengan penyelewengan para selir?" tanya Cia Sun. "Memang tidak ada kaitannya, hanya harus diingat bahwa yang berkuasa bagian keamanan di istana adalah Tang Bun An, dan mengingat bahwa dia adalah seorang yang gila wanita..... " "Berapa usianya, Tai-jin?" tiba-tiba Kui Hong bertanya. "Menurut pengakuannya, sudah lima puluh lima tahun, akan tetapi kelinatannya jauh lebih muda." "Ihh.... !" Kui Hong berseru dan bangkit berdiri. "Dialah itu!" "Siapa, Kui Hong?" Pembesar itu memandang kepadanya dengan tajam. "Ang-hong-cu.... " “Ahhh... !” Cia Sun dan isterinya berseru dan merekapun bangkit berdiri. Menteri Cang Ku Ceng tersenyum dan mengangkat kedua tanganya. “Harap kalian tenanglah dan silakan duduk kembali.” Kui Hong, Cia Sun dan Tan Siang Wi duduk kembali. Pembesar itu mengangguk kepada Kui Hong dan berkata, "Dugaanku juga presis seperti dugaanmu, akan tetapi setelah kuteliti kembali, ternyata tidak ada alasan untuk menyangka bahwa Tang Bun An adalah Si Kumbang Merah atau yang dulu menyamar sebagai Han Lojin. Biarpun usianya sebaya dan kesukaannya sama.....”   “Akan tetapi ada hal yang belum tai-jin ketahui. Si Kumbang Merah itu juga she Tang!" kata Kui Hong, teringat bahwa Hay Hay adalah she Tang, yaitu nama selengkapnya Tang Hay. Mendengar ini, sepasang mata pembesar itu terbelalak. "Ah, benarkah itu? Dan nama lengkapnya?” "Saya tidak tahu nama lengkapnya, tai-jin, akan tetapi jelas bahwa dia she Tang." "Hemm, kalau begitu semakin mencurigakan. Akan tetapi samanya nama keturunan bukan merupakan bukti yang sah. Bisa saja orang lain memiliki she yang sama. Aku sudah mengenal Han Lojin, tahu akan ciri-cirinya, dan Tang Bun An ini sama sekali berbeda. dengan Han Lo-jin. Agaknya, Han Lojin lebih kurus dan lebih tinggi, juga Han lojin memelihara kumis dan jenggot yang rapi, akan tetapi Tang Ciangkun ini mukanya halus dan bersih tanpa jenggot ataupun kumis. Juga sikapnya, gerak-gerik dan suaranya sangat berbeda." "Tai-jin, ada ilmu penyamaran yang akan dengan mudah mendatangkan perbedaan-perbedaan itu. Tinggi orang dapat ditambah dengan ganjal dalam sepatu. Gerak gerik dan sikap dapat dibuat-buat, dan suara dapat diubah kalau mulut mengulum sesuatu. Jenggot dan kumis dapat dicukur......” "Benar, Kui Hong, akan tetapi andaikata benar bahwa Tang Bun An itu Si Kumbang Merah atau Han Lojin, berarti Tang Gun itu adalah puteranya. Bagaimana mungkin dia menangkap dan mencelakai puteranya sendiri?" Mereka tertegun dan termenung, akan tetapi hati mereka semua tertarik sekali. Kemudian Kui Hong bertanya, "Tadi paduka mengatakan bahwa saya. dapat membantu paduka, lalu bantuan apa yang dapat saya lakukan, tai-jin?" "Menurut suara hatiku, perubahan dalam istana itu, geger tentang penyelewengan para selir itu terjadi semenjak Tang Bun An menjadi komandan pasukan pengawal. Oleh karena itu, menurut pendapatku, dia pasti terlibat, setidaknya dia mengetahui apa yang terjadi di istana dan kalau benar para selir itu menyeleweng, siapa pria yang berani mati menodai istana itu. Dan aku bertekad untuk menyelidiki keadaan dalam istana, khususnya dalarn istana bagian puteri. Oleh karena itu, hanya engkaulah yang akan dapat menolong dan membantuku, Kui Hong." "Bagaimana caranya, tai-jin." "Hal itu kita rundingkan dulu nanti di rumahku, Kui Hong. Yang penting, bersediakah engkau membantuku, demi keselamatan kaisar dan keamanan negara?" "Saya bersedia tai-jin!” , "Bagus, bagus! Legalah hatiku, Kui Hong! Aih, kalau saja engkau selalu dapat berdekatan denganku, sebagai anakku..... atau sebagai...... mantuku, aku akan selalu merasa aman dan senang." “Ihh, tai-jin.....!” Kui Hong berkata tersipu dengan kedua pipi berubah merah. "Apa salahnya? Cia-taihiap, bagaimana pendapatmu? Sudah pantaskah kalau Kui Hong menjadi mantuku? Atau kalau ia tidak cocok dengan puteraku,bagaimana kalau ia menjadi anak angkatku?" Cia Sun saling pandang dengan isterinya dan mereka mengangguk-angguk. "Paduka adalah seorang Menteri yang terkenal pandai dan bijaksana, dan Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang gagah perkasa dan budiman, tentu saja sudah pantas dan cocok sekali, Tai-jin!" kata Cia Sun dan tentu saja Kui Hong menjadi semakin tersipu malu. Setelah bercakap-cakap sampai tengah hari, Menteri Cang lalu berpamit dan dia mengajak Kui Hong melanjutkan perjalanan berkuda menuju ke kota raja. Kui Hong yang menganggap bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya amat penting, mengikuti pembesar itu dengan hati yang agak tegang karena ia akan berurusan dengan istana kaisar! ** * Biarpun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya besar di tangan tiga orang pendeta Lama yang sakti itu, namun Pek Han Siong tidak merasa gentar, bahkan dia berbesar hati. Tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu sihir yang amat berbahaya itu dapat dia hadapi dengan perlindungan batu giok mustika yang dia terima dari Hay Hay, dan di samping itu, diapun yakin bahwa Hay Hay selalu membayanginya dan selalu siap untuk membantunya apa bila dirinya terancam bahaya maut. Dan sebagai seorang kawan, dia dapat mengandalkan kemampuan Hay Hay. Kalau mereka berdua yang maju, maka dia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun. Han Siong bahkan merasa gembira mengingat akan ajakan Hay Hay untuk bertualang ke Tibet. Memang, urusannya dengan Dalai Lama harus diselesaikan dengan baik. Kalau tidak, selama hidupnya dia akan dibayangi ancaman dari Tibet yang agaknya tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk menculik dan membawanya ke Tibet untuk dijadikan Dalai Lama! Dan bertualang bersama seorang sahabat seperti Hay Hay tentu akan menggembirakan, bukan hanya karena Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan, juga memiliki ilmu sihir yang kuat, akan tetapi juga dia sudah mengenal Hay Hay sebagai ,seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi walaupun mata keranjang tidak ketulungan lagi. Dia mulai mengenal Hay Hay. Mata keranjang memang, akan tetapi tidak pernah melakukan pelanggaran susila. Akan tetapi, kegembiraan itu segera lenyap kalau dia teringat kepada Ouw Ci Goat, teringat akan peristiwa yang terjadi di malam jahanam itu. Biarpun di luar kesadarannya, biarpun dia telah menggauli Ci Goat di luar kehendaknya dan di bawah pengaruh ilmu hitam yang jahat, namun dia harus bertanggung jawab! Dan inilah yang amat menyusahkan hatinya. Dia harus mengawini Ci Goat untuk menebus aib yang diderita gadis itu, akan tetapi hai itu akan dilakukannya secara terpaksa karena sesungguhnya, walaupun dia merasa suka dan kasihan kepada Ci Goat, namun dia tidak mencintanya.   Han Siong mengira bahwa perjalanan menuju Tibet itu tentu akan memakan waktu yang lama sekali. Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa ketika mereka tiba di perbatasan Tibet, tiga orang pendeta Lama itu mengajaknya menuju ke sebuah bukit, bukan melanjutkan perjalanan ke barat. Ketika tiga orang pendeta Lama itu mengatakan hal ini, mereka tiba di sebuah dusun yang indah di perbatasan Tibet. Dusun ini bernama Wang-kan di kaki Pegunungan Ning-jing-san, di sebelah timur Sungai Lan-cang (Mekong). Tiga orang pendeta Lama itu mengajaknya singgah di sebuah kedai makan di dusun Wang-kan itu, sebuah kedai yang menjual makanan cia-Ji (pantang daging). Ketika tiga orang pendeta Lama itu bersama Han Siong memasuki kedai yang cukup besar itu, para pelayan segera menyambut mereka dengan sikap hormat. Agaknya, tiga orang pendeta Lama ini tidak asing di situ dan melihat sikap para pelayan itu, mereka nampak takut-takut sehingga Han Siong dapat menduga bahwa tiga orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti orang di daerah itu. Pada hal, kota Lasha, ibu kota Tibet di mana Dalai Lama tinggal, masih cukup jauh dari situ. "Hidangkan sayur dan roti terbaik, kami lapar sekali. Dan arak yang tua, hawanya begini dingin dan kami ingin menghangatkan badan.” kata Pat Hoa Lama, orang termuda di antara tiga pendeta Lama itu. Han Siong tidak merasa heran mendengar pendeta itu memesan minuman arak, minuman yang biasanya dipantang oleh para pendeta. Selama dalam perjalanan, tiga orang pendeta Lama itu bukan saja minum arak, bahkan tidak memantang daging pula! Dan para pelayah di kedai makan itupun agaknya tidak merasa heran. Hal ini saja sudah aneh dan tidak sewajarnya, pikir Han Siong. Memang banyak hal yang mencurigakan pada tiga orang pendeta Lama ini. Pernah di suatu malam, ketika Han Siong pura-pura pulas dia mendengar tiga orang pendeta Lama ini membicarakan wanita, pengalaman mereka dengan wanita dan dia mendapat kesan bahwa merekapun agaknya tidak pantang menggauli wanita! Orang-orang macam apakah para pendeta Lama ini, yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama? Pada hal menurut apa yang pernah didengarnya, Dalai Lama dan para pendeta Lama di Tibet adalah orang-orang yang memusatkan seluruh kehidupan mereka untuk urusan rohani, bukan saja pantang makanan barang berjiwa dan pantang minuman keras, juga pantang bergaul dengan wanita dan menjauhi kesenangan dunia. Akan tetapi tiga orang pendeta Lama ini makan daging, minum arak dan bicara tentang wanita! Akan tetapi tentu saja Han Siong pura-pura tidak mempedulikan itu semua. Setiap malam, dia selalu merasa betapa ada daya tarik yang amat kuat, dan dia tahu bahwa pada saat seperti itu, tiga orang pendeta Lama itu memperkuat pengaruh ilmu hitam mereka kepada dirinya dan diapun berpura-pura jatuh ke bawah pengaruh mereka. Kalau ada dorongan agar dia tidur pulas, dia, pun pura-pura tidur! Padahal, dengan bantuan pengaruh batu giok mustika, dia mampu menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, diperkuat oleh tenaga saktinya sendiri. Ketika hidangan dikeluarkan, tanpa ragu dan tanpa rikuh lagi Han Siong juga ikut makan, diam-diam dia menduga di mana adanya Hay Hay dan apakah kawan itupun sedang makan. Dia kagum bukan main karena selama dalam perjalanan ini, tak pernah dia melihat bayangan Hay Hay. Demikian pandainya Hay Hay membayangi perjalanan mereka sehingga sama sekali tidak sampai terlihat atau terdengar oleh mereka yang dibayangi. Selagi mereka makan dan hampir selesai, tiba-tiba masuklah seorang tamu baru dan melihat betapa tiga orang pendeta itu menoleh dengan mata terbelalak kagum, diapun melirik. Dan diapun kagum. Gadis yang memasuki kedai itu memang pantas untuk dikagumi setiap orang pria. Seorang gadis yang bentuk tubuhnya tinggi semampai dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna, dada bidang membusung, leher panjang, pinggang ramping dan pinggul besar dan bulat. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir dua seperti kebiasan gadis Tibet, dan wajahnya manis sekali. Kulit mukanya putih kemerahan dan segar, sepasang mata sipit namun sinarnya tajam, sepasang alis yang hitam sekali, subur namun bentuknya kecil panjang melengkung, hidungnya agak besar seperti hidung kebanyakan orang Tibet. Namun mulutnya kecil, dengan sepasang bibir yang penuh dan kemerahan karena sehat. Pakaiannya sederhana dan ringkas, pakaian wanita Tibet pada umumnya. Yang menarik, di ikat pinggangnya, terselip sebatang pecut yang biasa dipergunakan orang untuk menggembala ternak. Han Siong yang melirik merasa heran sekali. Apakah gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun ini seorang gadis penggembala? Akan tetapi, ketika ia melangkah masuk ke dalam kedai makan itu, langkahnya bebas dan tegap, sama sekali tidak malu-malu seperti kebiasan gadis dusun. Bahkan sepasang mata yang sipit itu dengan terbuka menatap ke kanan kiri dan memandang kepada tiga orang pendeta Lama penuh perhatian, kemudian ketika gadis itu memandang kepadanya sepasang alis yang hitam subur itu berkerut. Hanya sebentar karena gadis itu sudah disambut oleh seorang pelayan tua yang tersenyum ramah kepadanya. "Heii, nona Mayang! Engkau sudah kembali lagi dari mengantar domba-domba itu menyeberang Sungai Lan-cang? Silakan duduk, hendak makan sayur labu kesukaanmu itu?" Gadis itu tersenyum dan Han Siong semakin kagum. Indah sekali deretan gigi seperti mutiara teratur rapi itu ketika gadis yang disebut Mayang itu tersenyum. “Benar, paman, sudah menyeberang dengan selamat. Ya, aku ingin makan dengan sayur labu, dan tolong beri anggur manis." Pelayan itu mengangguk-angguk dan kini Han Siong melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu berbisik-bisik di depan nya. Dia pura-pura tidak melihat atau mendengar, seperti orang yang setengah sadar, akan tetapi diam-diam dia memperhatikan dan mendengar Pat Hoa Lama yang dia tahu paling cabul dan mata keranjang itu berbisik kepada dua orang temannya. "Wah, suheng, takkusangka di sini terdapat yang seperti ia! Hebat.... ah, sebaiknya kalau malam ini kita bermalam di sini semalam. Bagaimana?"   Gunga Lama yang paling tua di antara mereka, menyeringai! "Dasar engkau rakus dan mata keranjang, sute. Akan tetapi baiklah, akan tetapi harus aku yang pertama kali menghisap madu kembang itu." Mereka bertiga menyeringai dengan genit dan diam-diam Han Siong. mengerahkan tenaga batinnya untuk bersabar agar mukanya tidak membuka rahasia hatinya. Biarpun dia tidak mengenal gadis itu, akan tetapi kalau tiga orang monyet tua ini hendak mengganggunya, terpaksa dia akan turun tangan menghalangi mereka. Biar sandiwaranya gagal, tidak mengapa karena bagaimanapun juga, dia tidak rela membiarkan kekejian terjadi di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk menentangnya. Setelah selesai makan, Pat Hoa Lama bangkit dari tempat duduknya dan dengan lagak seorang pendeta sejati, diapun menghampiri meja gadis manis itu dan merangkap. kedua tangan di depan dada sambil membungkuk. "Omitohud...., semoga engkau dilimpahi berkah yang membuat hidupmu bahagia, nona." Gadis itu yang sedang makan mengangkat mukanya dan memandang kepada pendeta Lama yang berdiri di depannya. Han Siong melirik dan diapun melihat betapa sepasang mata pendeta Lama itu mencorong penuh wibawa, maka tahulah dia bahwa Pat Hoa Lama telah menggunakan sihir untuk mempengaruhi gadis itu! Akan tetapi, dia belum berani melakukan sesuatu, hendak melihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Kalau sudah mencapai titik berbahaya bagi gadis itu, barulah dia akan turun tangan dengan resiko ketahuan permainan sandiwaranya. Dia melihat gadis itu mengejap-ngejapkan matanya yang sipit, lalu gadis itupun berkata dengan lembut. "Maafkan aku, lo-suhu. Sayang sekali aku belum menerima upah menggiring sekelompok domba itu menyeberang sehingga hari ini aku tidak mungkin dapat menyerahkan sumbangan kepadamu. Uangku hanya tinggal cukup untuk pembayar makanan ini. Maaf, dan lain kali. saja.” Pat Hoa Lama kelihatan tersenyum dan mengangguk-angguk. “Omitohud, nona memang dermawan dan bijaksana. Tidak mengapa, nona. Malam nantipun masih belum terlambat kalau nona hendak menyerahkan kebaktian. Pinceng menanti di gubuk peristirahatan, di luar pintu gerbang barat dusun ini” "Nah, sampai malam nanti, nona. Kami tunggu!" Dalam kalimat terakhir ini terkandung getaran kuat yang terasa pula oleh Han Siong. Dia melihat nona itu mengangguk dan diam-diam Han Siong marah bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah terpengaruh sihir dan mudah diduga bahwa malam nanti gadis itu tentu akan datang ke tempat yang dijanjikan Pat Hoa Lama, datang seperti seekor kijang muda menyerahkan diri kepada sekelompok srigala yang buas dan haus darah! Biarlah, pikir Han Siong. Kalau sampai terjadi gadis itu datang, dan kelihatan terancam bahaya, dia akan turun tangan. Sukur kalau Hay Hay yang membayangi mereka tahu pula akan bahaya yang mengancam gadis Tibet bernama Mayang itu dan Hay Hay yang turun tangan menyelamatkannya agar dia tidak usah membuka rahasia permainan sandiwaranya. Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong bangkit dan mereka menghampiri meja kasir. Ketika Han Siong melirik, dia melihat gadis itu justeru sedang mengamati mereka dengan penuh perhatian. Celaka, pikir Han Siong gemas, tentu gadis itu benar-benar telah terpengaruh sihir! Pat Hoa Lama yang agaknya mengenal baik pemilik kedai itu, setelah membayar lalu bertanya lirih kepada pemilik kedai makan. "Siapakah gadis penggembala itu?" "Ah, lo-suhu maksudkan Mayang? Ia bukan gadis dusun ini dan pekerjaannya adalah mengawal atau menggiring kelompok domba atau ternak lain dari satu ke lain daerah. Ia terkenal cekatan dan dapat dipercaya, juga pandai sekali menggiring ternak yang ratusan ekor banyaknya. Ia memang gadis luar biasa. Kenapa lo-suhu bertanya tentang Mayang? Ia puteri seorang janda, begitu kami dengar, sudah tidak berayah lagi." "Omitohud, kasihan sekali," kata Pat Hoa Lama sambil merangkap kedua tangan depan dada. Kami hendak mendoakannya, dan siapa tahu, barangkali kami dapat mengabarkan tentang pekerjaannya sehingga akan banyak saudagar ternak yang akan menggunakan tenaganya.” Mereka lalu meninggalkan kedai itu dan keluar dari dusun Wang-kan dan ketika tiba di luar pintu gerbang, dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di tepi jalan, di luar sebuah hutan kecil. Agaknya gubuk ini dibangun penduduk Wangkan sebagai tempat peristirahatan. Agaknya orang-orang daerah itu memang memiliki kebiasaan membangun bangunan gubuk sederhana di luar dusun sebagai tempat peristirahatan bagi para pendatang yang tidak mempunyai keluarga di dusun itu, atau sebagai tempat peristirahatan bagi para pedagang atau perantau yang kebetulan lewat di dusun itu. Gubuk itu sederhana sekali, lantainya tanah dan hanya ada sebuah ruangan dan sebuah kamar. Di lantai tanah kering itu terdapat jerami kering dan di dalam kamar terdapat sebuah dipan kayu sederhana dan kasar, ditilami jerami kering sebagai kasurnya. Biarpun sederhana tempat itu cukup bersih. Agaknya para pendatang yang mempergunakan tempat itu pun tahu diri dan selalu membersihkan tempat itu sebelum meninggalkannya. "Kita berhenti di sini dan malam ini kita bermalam di gubuk ini." kata Gunga Lama kepada Han Siong. Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Sikapnya amat penurut dan taat seperti orang yang kehilangan semangat sehingga tiga orang pendeta Lama itu merasa lega. "Kau mengasolah di dalam kamar itu, Pek Han Siong. Malam nanti engkau tidur di ruangan ini karena kamar itu kami pakai." kata Pat Hoa Lama sambil menyeringai. Kembali Han Siong mengangguk dan diapun memasuki kamar itu dan merebahkan diri di atas dipan berkasur jerami kering. Dengan pendengarannya yang terlatih tajam itu dia mengetahui bahwa tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila di atas jerami yang menilami lantai tanah di ruangan dan mereka berbisik-bisik. Han Siong mengerahkan pendengarannya dan kembali perutnya terasa panas karena mereka itu membicarakan gadis bernama Mayang tadi! Mereka itu menunggu gadis itu bagaikan segerombolan srigala yang sudah mengilar melihat seekor kijang yang datang mendekati tempat persembunyian mereka.   Han Siong turun dari dipan, hati-hati agar jangan sampai terdengar mereka. Tiga orang itu merasa yakin bahwa dia berada di bawah pengaruh ilmu hitam mereka, maka tentu saja mereka lengah dan tidak menyangka bahwa dia sebetulnya masih sadar sepenuhnya, berkat pengaruh batu giok mustika yang memperkuat daya tahannya sendiri. Dia lalu mendekati bilik dan dari celah-celah bilik dia mengintai ke luar, ke arah belakang gubuk itu. Dan kebetulan sekali dia melihat bayangan biru berkelebat ke atas sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu. Hay Hay! Siapa lagi kalau bukan kawannya itu yang meloncat ke atas pohon besar itu? Tempat yang baik sekali untuk membayangi mereka yang berada di dalam gubuk. Lega rasa hati Han Siong melihat kawannya begitu dekat Kalau gadis bernama Mayang itu datang tentu Hay Hay akan melihatnya dan bukan Hay Hay kalau tidak menjadi "hijau” matanya melihat gadis yang demikian manisnya, dan sudah pasti Hay Hay tidak akan tinggal diam saja melihat seorang gadis semanis itu memasuki gubuk. Dia tentu akan mengintai dan kalau melihat gadis itu terancam bahaya, sudah pasti Hay Hay akan turun tangan menolong. Dan dia tidak perlu lagi membuka rahasia permainan sandiwaranya! Dengan hati terasa lega dan tenang Han Siong lalu merebahkan dirinya lagi di atas dipan dan tak lama kemudian diapun tidur nyenyak. Tidak keliru dugaan Han Siong. Bayangan biru yang berkelebat ke atas pohon besar itu memang Hay Hay. berhari-hari pemuda ini membayangi ke manapun tiga orang pendeta Lama membawa Han Siong pergi. Ser ingkali dia harus mengomel panjang pendek karena dia sungguh harus mengalami banyak penderitaan dengan pekerjaannya yang tidak enak ini. Karena dia harus membayangi dengan hati-hati, maka dia tidur di mana saja asal dapat mengamati mereka. Kalau mereka itu enak-enak tidur di rumah penginapan atau di rumah keluarga di dusun, dia terpaksa harus tidur di udara terbuka untuk mengamati mereka. Kalau mereka makan di kedai, dia harus puas makan seadanya dan membeli roti dan daging kering untuk bekal. Tadipun ketika Han Siong dan tiga orang pendeta itu makan di kedai, Hay Hay terpaksa mencari penjual makanan dan membeli lalu membungkus makanan itu untuk bekal. Dan sekarang, mereka berhenti lagi, tidak meneruskan perjalanan, bahkan memasuki gubuk peristirahatan umum itu! Kembali dia harus mencari tempat persembunyian sambil mengamati dan melihat sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu diapun meloncat ke atas pohon dan bersembunyi di balik daun-daun pohon yang lebat. Dia duduk nongkrong di atas dahan, bersembunyi di balik daun-daun dan terpaksa menggaruk-nggaruk leher ketika ada semut merah menggigitnya. Dia menggaruk leher, memelintir semut itu dan mengomel, lalu mengeluarkan buntalan makanan yang dibelinya tadi. Mana ada enaknya makan sambi1 nongkrong di dahan pohon yang banyak semutnya itu? Apa lagi kalau makanan itu kue atau roti model Tibet yang sederhana dan rasanya hambar! "Hemm, Pek Han Siong, kalau kelak engkau tidak bersikap baik kepadaku, engkau sungguh seorang manusia yang tidak mengenal budi!" Dia mengomel sambil makan roti yang hambar itu,sekedar untuk mengisi perutnya yang menjerit-jerit kelaparan. "Untuk kepentinganmu aku harus bersusah-payah begini. Hemm....!” Akan tetapi kalau dia mengenang nasib Pek Han Siong, timbul perasaan iba di dalam hatinya. Memang, dia sendiri juga terseret ke dalam banyak kesengsaraan hanya karena dia harus menggantikan tempat si anak ajaib itu! Akan tetapi dibandingkan dengan apa yang menimpa diri Han Siong, sungguh nasibnya masih jauh lebih baik. Memang dia pernah difitnah, disangka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi sangkaan itu segera terhapus setelah ternyata bahwa pelakunya bukan dia, melainkan Ang-h.ong-cu Si Kumbang Merah yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu! Han Siong bernasib jauh lebih buruk. Adik kandungnya, Pek Eng menjadi korban Si Kumbang Merah. Dan sejak kecil, Han siong dikejar-kejar para pendeta Lama untuk diculik dan dipaksa menjadi pendeta! Kemudian, baru saja Han siong telah "memperkosa" atau menggauli Ci Goat di luar kesadarannya, dan dia belum tahu bahwa gadis yang digaulinya itu telah tewas di tangan tiga orang pendeta Lama yang terkutuk itu! Kasihan Han siong yang tentu kini dikejar-kejar perasaan berdosa terhadap Ci Goat. Pemuda itu memang pantas dibantu dan ditolong. Pikiran ini mengusir kekesalan hati Hay Hay dan mendadak saja roti Tibet yang tadinya hambar itu kini terasa lezat! Memang, bumbu yang paling sedap untuk makanan adalah perut lapar dan hati tenteram! setelah makan, dan melihat betapa sepinya gubuk di bawah itu, Hay Hay lalu turun dari pohon. Denggn hati-hati sekali dan dengan cara menyusup-nyusup, bahkan kadang-kadang dia harus bertiarap dan merangkak-rangkak, dia mendekati gubuk. Dengan pendengarannya yang tajam, dari luar gubuk dia dapat menangkap pernapasan lembut dari Han Siong yang tidur nyenyak di dalam kamar, dan suara tiga orang pendeta Lama itu bercakap-cakap diiringi tawa kecil di ruangan. Dia lalu mundur lagi dan naik ke pohon. Han Siong tidur dan tiga orang pendeta itupun beristirahat. Agaknya mereka akan bermalam di gubuk itu, pikirnya. Diapun harus beristirahat. Malam nanti dia harus berjaga, maka sore ini sebaiknya tidur, seperti Han Siong! Dan tak lama kemudian Hay Hay pulas tanpa dengkur. Hal ini penting sekali karena kalau sampai dia mendengkur dalam tidurnya, tentu akan mudah didengar orang dan tempat persembunyiannya tidak lagi menjadi tempat persembunyian! Malam itu udara dingin bukan main dan kembali Hay Hay menyumpah-nyumpah ketika melihat api unggun dinyalakan orang di bawah di gubuk itu Han Siong enak-enak di gubuk dan dihangatkan api unggun. Dia harus menahan dingin di dalam pohon yang banyak semut dan nyamuknya! Karena daun-daun di sekelilingnya mendatangkan hawa yang lebih dingin, diapun lalu turun dari atas pohon dan duduk bersembunyi di balik batang pohon. Tanah mengeluarkan hawa yang hangat, tidak sedingin di antara daun-daun itu. Malam itu dingin dan sunyi, akan tetapi langit bersih, penuh bintang sehingga cuaca tidak begitu gelap. Tiba-tiba Hay Hay terkejut dan cepat menyelinap ke balik batang pohon, seperti hendak mengecilkan tubuhnya agar jangan kelihatan orang. Dia kaget sekali karena tidak menyangka-nyangka bahwa di tempat sunyi itu akan ada orang lewat. Dia mengintai dari balik pohon dan hampir saja mulutnya mengeluarkan siulan saking kagumnya. Cuaca remang-remang. Dia tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas, akan tetapi garis-garis lengkung tubuh itu nampak jelas. Tubuh seorang wanita! Jelas masih muda. Pinggang itu! Dada itu! Pinggul itu! Dia terbelalak kagum. Seorang wanita muda dengan bentuk tubuh yang hebat! Sempurna! Belum pernah dia melihat seorang wanita muda dengan tubuh sesempurna itu. Agak jangkung, ramping dengan garis lengkung yang indah. Dan lenggangnya. Bukan main!   Akan tetapi, kekagumannya seketika lenyap ketika dia melihat wanita muda itu melenggang-lenggok ke arah gubuk! Celaka, pikirnya. Wanita muda itu agak nya tidak tahu siapa yang berada di dalam gubuk. Seperti seekor kelinci memasuki guha di mana terdapat tiga ekor harimau kelaparan yang tentu akan merobek-robek tubuh dan mengganyang dagingnya yang lunak! Dia hendak memperingatkan, namun wanita itu sudah terlampau dekat dengan gubuk. Kalau dia bersuara, tentu akan terdengar dari dalam. Diapun bangkit dan bermaksud hendak meloncat dan menangkap wanita itu dan dibawanya pergi menjauhi gubuk. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun dan menahan gerakannya, karena dia melihat gadis yang “lemah” itu, disangkanya lemah karena melihat lenggang-lenggok yang demikian lemah gemulai, kini mengeluarkan sebatang cambuk dari ikat pinggangnya, dan gadis itu berdiri di depan gubuk, tangan kanan memegang gagang cambuk dan tangan kiri bertolak pinggang! Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kelemahan atau rasa takut, bahkan ada sikap menantang! Pada saat itu, terdengar suara dari dalam gubuk, suara parau seorang di antara tiga pendeta Lama itu, suara yang mengandung getaran penuh wibawa. "Omitohud.... ! Engkau telah datang, nona Mayang? Masuklah, kami sudah sejak tadi menanti kunjunganmu, nona manis. Kami sudah siap untuk melayanimu!" Hay Hay mengerutkan alisnya. Benarkah itu suara seorang di antara tiga pendeta Lama itu? Kata-katanya begitu genit dan mengandung kecabulan! Apakah wanita ini seorang tokoh sesat yang menjadi kawan mereka? Ataukah seorang calon korban yang datang karena pengaruh sihir? Karena jelas bahwa suara tadi didukung kekuatan sihir yang dahsyat! Akan tetapi, wanita itu tetap berdiri tegak dan kini terdengar suaranya, nyaring lantang dan terdengar merdu. "Hemm, tiga orang pendeta Lama palsu! Memang aku telah datang berkunjung memenuhi panggilan kalian. Keluarlah kalian untuk menerima hajaran, karena pendeta-pendeta palsu macam kalian lebih berbahaya dari pada penjahat yang paling besar!" Sebagai penutup kata-katanya, wanita muda itu menggerakkan tangan kanannya dan terdengarlah bunyi ledakan yang nyaring dari cambuknya. Hay Hay terbelalak kagum! Suaranya merdu, nyaring dan gagah! Dan cambuk yang dapat mengeluarkan ledakan macam itu tentu digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sin-kang hebat! Apa lagi nampak betapa ujung cambuk itu ketika meledak mengeluarkan asap! “Ehhh..... ???” Dari dalam gubuk terdengar seruan kaget dan tak lama kemudian, pintu gubuk itu terbuka. Cahaya api unggun kini menyorot keluar dan kembali Hay Hay harus menahan mulut untuk tidak bersiul nyaring. Kini seberkas cahaya jatuh menimpa wajah wanita itu dan dia terpesona! Wajah gadis itu serasi dengan keindahan bentuk badannya. Manis sekali! Dan usianya nampak begitu muda! Kini muncullah tiga orang pendeta Lama itu dan mereka melangkah maju menghampiri wanita itu dengan mata terbelalak penuh keheranan. Terutama sekali Pat Hoa Lama yang tadinya mengira bahwa dia telah berhasil menguasai Mayang dengan ilmu sihirnya. Karena penasaran, begitu berhadapan dengan gadis itu, Pat Hoa Lama mengerahkan kekuatan sihirnya melalui pandang mata, gerakan tangan dan suaranya. Matanya menatap tajam kedua mata gadis itu, tangan kirinya membuat gerakan bergoyang kekanan kiri dan suaranya terdengar lembut namun penuh kekuatan yang menggetarkan hati, bahkan terasa pula oleh Hay Hay yang mengintai dari balik batang pohon. "Nona Mayang, engkau berhadapan dengan kami, tiga orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar darimu! Kami perintahkan padamu, berlututlah dan menyerah, engkau akan merasa berbahagia ! Huahhhh.... !" Teriakan terakhir itu amat kuat. Hay Hay terkejut karena dia mengira bahwa tentu gadis itu tidak akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir yang mengandung kekuatan gabungan tiga orang itu. Akan tetapi, dia terbelalak melihat gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi juga mengerikan karena dalam keadaqn seperti itu, gadis itu masih mampu tertawa mengejek dan kembali cambuknya mengelukarkan suara ledakan-ledakan yang membuyarkan pengaruh sihir yang dilontarkan Pat Hoa Lama. "Heh-heh-hi-hi-hik! Kalian ini tiga ekor monyet tua masih berani menjual lagak di depanku? Apakah kalian telah menjadi tiga ekor monyet yang hendak membadut? Tidak laku di sini, sama sekali tidak laku!" Hampir saja Hay Hay bersorak! Dia begitu gembira sampai mulutnya terasa melebar karena dia tertawa bergelak tanpa mengeluarkan suara, sampai perutnya terasa keras dan kaku! Entah ilmu apa yang dikuasai gadis manis itu, akan tetapi yang jelas, sihir tiga orang pendeta Lama itu sama sekali tidak mampu menguasainya, mempengaruhi apa lagi menundukkannya! Tiga orang pendeta Lama itu agaknyapun menyadari akan hal ini. Mereka menjadi marah sekali. "Bagus, kiranya engkau ini siluman betina cilik yang banyak bertingkah! Engkau tidak mau dihadapi dengan lembut, agaknya minta kami mempergunakan kekerasan!" kata Gunga Lama dan sekali tangannya bergerak, tongkatnya yang memakai kelenengan hitam mengeluarkan bunyi berkelening nyaring dan ujung tongkat itu sudah menyambar ke arah kepala gadis itu. Hebat serangan ini karena pendeta yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu memiliki tenaga yang dahsyat. Bahkan suara kelenengan yang berdentingan nyaring itu saja sudah merupakan suatu serangan yang dapat membingungkan lawan. Gadis itu dengan gerakan yang lincah, juga indah karena memang bentuk tubuhnya elok, ketika mengelak itu pinggang yang ramping seperti batang pohon yang liu mematah ke samping dan pinggul yang menonjol besar dan bulat itu seperti menari, dan dari samping, cambuknya meledak menyambar dengan serangan balasan yang tak kalah hebatnya ke arah punggung lawan! Agaknya, gadis itu memperlakukan Gunga Lama seperti seekor di antara ternak yang digembalanya, yang nakal dan tidak penurut, maka yang dicambuk adalah punggungnya.   “Tarrr....!”   Akan tetapi, dengan memutar tongkatnya, Gunga Lama sudah berhasil menangkis pecutan itu dan diapun menyerang lagi. Terjadilah perkelahian seru antara kedua orang ini. Melihat pertempuran antara dua orang itu, baru beberapa jurus saja Hay Hay dapat menilai bahwa ternyata gadis itu dalam hal ilmu silat tidaklah selihai kekuatan sihirnya. Agaknya, menandingi Gunga Lama itu saja akan sukarlah baginya untuk menang bahkan mungkin akhirnya ia akan kalah. Dan dua orang pendeta Lama yang lainnya belum turun tangan! Diam-diam dia merasa khawatir dan bingung. Kalau dia muncul menolong gadis itu, tentu rahasia Han Siong akan ketahuan. Kalau tidak menolong, tentu gadis itu akhirnya tertawan dan dia bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau gadis itu tertawan oleh tiga orang pendeta yang ternyata jahat itu! Kini barulah dia tahu bahwa tiga orang pendeta Lama itu bukanlah orang-orang suci seperti yang mereka tonjolkan, melainkan orang-orang jahat yang bahkan tidak pantang mengganggu seorang gadis remaja, dengan niat yang jahat dan cabul! Melihat betapa dua orang pendeta Lama yang lain menonton sambil siap dengan senjata mereka, Hay Hay lalu menyelinap pergi mendekat gubuk dari belakang dan tak lama kemudian, nampaklah api besar membakar gubuk itu! Dia tadi mendekati bilik dari mana dia tadi mendengar dengkur atau pernapasan Han Siong yang tertidur, dan menempelkan mulut pada bilik itu dia berbisik, "Han Siong pemalas kau! Bangun, gubuk ini akan kubakar untuk menolong gadis itu di luar!" Han Siong sudah tergugah oleh suara ledakan-ledakan cambuk tadi dan mendengar suara Hay Hay ini, dia merasa girang bukan main. Memang diapun dapat menduga bahwa suara cambuk itu tentulah cambuk gadis yang siang tadi berada di rumah makan. "Lakukanlah!" bisiknya kembali. Hay Hay membakar gubuk itu dari belakang dan begitu melihat api berkobar, Han Siong segera berteriak-teriak, "Kebakaran.... ! Ahh, sam-wi lo-suhu...... , kebakaran !" Dia berlari keluar seperti orang kebingungan, lalu masuk kembali, presis kelakuan seorang yang sudah kehilangan akal karena berada di bawah pengaruh sihir. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama yang sudah siap untuk mengeroyok dan menangkap Mayang, terkejut dan melihat Han Siong masuk kembali ke dalam gubuk yang terbakar, mereka menjadi khawatir sekali. Pemuda itu amat penting baginya, lebih penting daripada gadis yang hanya akan menjadi permainan mereka belaka. Maka mereka lalu berlari meninggalkan Gunga Lama yang masih berkelahi melawan Mayang untuk menolong Han Siong dari ancaman api yang mengamuk. Mayang ternyata bukan seorang gadis yang bodoh. Begitu bertanding melawan Gunga Lama, diam-diam ia terkejut dan juga khawatir. Di luar perkiraannya, lawannya itu tangguh bukan main! iapun tahu bahwa ia masih kalah dalam hal tenaga, dan melawan seorang saja, banyak kemungkinan ia akan kalah, apa lagi kalau sampai mereka. bertiga maju bersama. Ia memang sudah memperhitungkan dan sudah siap mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri sebelum dua orang pendeta yang lain maju mengeroyoknya. Kini, melihat betapa gubuk itu terbakar dan dua orang pendeta berlari ke arah gubuk, sedangkan pendeta yang menyerangnya juga nampak terkejut, iapun mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh ke dalam kegelapan malam. Setelah gadis itu melarikan diri, baru Gunga Lama penasaran. "Heii, siluman betina, hendak lari ke mana kau?" teriaknya sambil mengejar dengan langkah kakinya yang lebar Tiba-tiba Gunga Lama merasa ada angin menyambar dari kiri. Cepat dia merendahkan tubuh mengelak dan sebutir batu menyambar lewat diatas kepalanya. "Huhh!' Dia mendengus dan cepat dia meloncat ke arah dari mana menyambarnya batu tadi, tongkatnya menghantam dengan keras. "Desss.... !" Tongkat itu menghantam semak-semak yang kosong. Tidak ada seorangpun di balik semak-semak. Ketika Gunga Lama hendak mengejar lagi dia sudah kehilangan jejak. Pula, yang terpenting adalah menyelamatkan Pek Han Siong, maka diapun lari ke arah gubuk yang masih terbakar itu. Hatinya lega melihat dua orang sutenya sudah berada di luar gubuk bersama Han Siong, dalam keadaan selamat. "Mana iblis betina itu, suheng?" tanya Pat Hoa Lama. Gunga Lama menggeleng kepala. "Siluman itu menghilang ke dalam kegetapan,” katanya acuh, tidak perduti betapa Pat Hoa Lama kelihatan kecewa bukan main. Daging yang sudah berada di ujung bibir dapat lolos! "Bagaimana gubuk itu dapat terbakar?" tanya Gunga Lama kepada kedua orang sutenya. Dua orang pendeta itu menggeleng kepala dan mereka memandang kepada Han Siong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu nampak muram dan tidak bersemangat. Mereka bertiga rupanya curiga dan dengan pemusatan kekuatan sihir, mereka memandang pemuda itu dan Gunga Lama berseru dengan suara menggeledek. "Pek Han Siong, katakan siapa yang membakar gubuk?" Han Siong dilindungi batu giok mustika, maka biarpun dia merasa betapa seluruh tubuh menggetar, namun pikirannya masih sadar. Dia pura-pura linglung dan menggeleng kepalanya. "Tidak tahu....., aku tidur..... tahu-tahu ada kebakaran. Aku berteriak-teriak....." "Hemmm, tentu siluman itu mempunyai kawan yang melakukan pembakaran itu." kata Janghau Lama. "Heran sekali, siapakah sebetulnya gadis itu? Ia mampu menahan kekuatan ilmu kita!" "Memang perlu diselidiki kelak. Ilmu silatnyapun tidak jelek. Akan tetapi, urusan kita lebih penting. Mari kita bawa Sin-tong, terpaksa kita harus melanjutkan perjalanan malam ini juga." Mereka lalu menggandeng tangan Han Siong, diajak menuju ke sebuah bukit, berjalan dengan hati-hati dan tidak dapat cepat karena jalan menuju ke pendakian bukit itu hanya merupakan jalan setapak yang liar. ***   "Nona, ke sini. Cepat lari ke arah ini!" Gadis itu terkejut melihat seorang pemuda menggapai kepadanya. Akan tetapi karena ia maklum bahwa keselamatannya terancam oleh tiga orang pendeta Lama itu, iapun menurut saja, meloncat ke arah pemuda itu berdiri, kemudian mengikuti pemuda itu lari menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan. Setelah pemuda itu berhenti di tempat terbuka di tengah hutan, barulah ia berhenti. Tangan kanannya masih memegang cambuknya dan pernapasannya agak memburu. "Siapa engkau?" tanyanya sambil mencoba untuk menembus kesuraman malam mengamati wajah pemuda yang berpakaian biru itu. Seorang pemuda yang bertubuh sedang, nampak tegap karena dadanya yang bidang. Dipunggung pemuda itu nampak sebuah buntalan dan sebuah caping lebar menutupi buntalan, tergantung di punggung. "Aku? Aku tukang bakar gubuk." Kata Hay Hay sambil tersenyum, diusahakan agar senyumnya manis dan menarik walaupun usaha ini sia-sia belaka karena betapapun manisnya senyum yang dipamerkan, tetap saja gadis itu tidak dapat melihat jelas! "Ah, jadi engkau yang membakar gubuk tadi?" Gadis itu tertegun karena ia tadipun merasa betapa terbakarnya gubuk itu telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya. "Kenapa engkau lakukan itu?" "Aha! Kenapa? Aku memang suka bermain-main dengan api, nona. Api itu demikian indahnya membakar gubuk. Warnanya kuning merah keemasan. Seperti emas! Ya, seperti emas, lebih indah lagi karena hidup, tidak seperti emas yang mati. Aku suka bermain api, nona." Mayang mengerutkan alisnya, mencoba lagi menembus malam yang tidak begitu terang untuk memperhatikan wajah pemuda itu. "Apa kau gila?" tiba-tiba ia bertanya. "Apa? Gila? Aku? Wah, belum! Mudah-mudahan tidak pernah. Pula, bagaimana membedakan orang waras dan gila? Apakah tiga orang pendeta tadi juga waras?” "Kalau tidak gila, kenapa jawabanmu begitu? Kenapa engkau membakar gubuk itu? Tak mungkin karena kau suka bermain api!" Suara gadis itu mengandung kedongkolan, merasa seperti dipermainkan. "Yang aneh bukan aku tapi engkau, nona. Sudah jelas mengapa aku membakar gubuk itu dan engkau bertanya. Ini namaya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!" "Tar-tarrr..... !!" Cambuk itu meledak berlagak kaget dan ketakutan, memegangi kepalanya. "Wah-wah, jangan main-main, nona. Kalau kena kepalaku, berat. Ke mana aku harus mencari pengganrt kepalaku?" Mendengar ucapan itu, Mayang tersenyum geli, akan tetapi juga masih jengkel. "Nah, jawab yang benar kalau engkau tidak ingin kehilangan kepala! Mengapa engkau membakar gubuk itu tadi?" “Ya ampun..... ! Nona cantik galak amat..... " Dia sengaja memberi tekanan pada kata "cantik" dan berbisik lirih ketika mengatakan "galak" sehingga tidak terdengar oleh Mayang. Yang terdengar hanya “Nona cantik.... amat.....” “Apa kaubilang?" "Tidak, itu lho. Nona amat baik hati suka mengampuni aku. Begini, nona. Tadi aku melihat nona mau dibunuh oleh pendeta raksasa yang menakutkan itu. Aku takut sekali, mau membantu aku tidak berani. Aku hanya bisa merasa mendongkol kepada mereka, maka karena marah aku lalu membakar gubuk mereka. Nah, itulah, nona. Kemudian aku melihat nona dalam kegelapan, maka aku mengajak nona lari ke sini agar jangan sampai tersusul oleh mereka." Melihat kalimat terakhir itu, Mayang melirik ke kanan kiri dan belakang. Kalau benar mereka itu dapat mengejar dan menyusul, ia akan celaka! Dan pemuda ini hanya berani dan nekat saja, agaknya tidak memiliki kemampuan apapun. "Jangan khawatir, nona. Mereka tidak akan dapat mengejar ke sini, sibuk dengan gubuk mereka yang terbakar." Hay Hay tersenyum. "Hemmm, engkau membjkjn aku menjadi malu saja! Gara-gara engkau, aku menjadi kaget melihat kebakaran itu dan aku melarikan diri seperti seorang penakut! Pada hal, kalau tidak kauganggu, aku tentu sudah merobohkan tiga orang pendeta palsu yang jahat itu!" Tentu saja diam-diam Hay Hay merasa geli. Akan tetapi, betapapun senangnya untuk bercakap-cakap lebih lama dan berkenalan dengan gadis manis itu, dia harus melindungi Han Siong. Setelah gubuk itu dibakarnya untuk menyelamatkan gadis itu, tentu kini tiga orang pendeta itu membawa Han Siong pergi dari sana dan dia tidak ingin kehilangan jejak mereka. "Kalau begitu maafkan aku, nona. Akan tetapi aku harus cepat pergi dari sini, takut kalau mereka itu pergi jauh. Aku harus terus membayangi mereka." Gadis itu mengangkat muka memandang heran. "Engkau? Membayangi mereka? Kenapa engkau membayangi mereka? Sungguh berbahaya sekali membayangi mereka. Kalau ketahuan, apa lagi kalau mereka tahu bahwa engkau yang membakar gubuk tadi, tentu engkau akan dibakar hidup-hidup!" Hay Hay bergidik dan pura-pura merasa ngeri dan ketakutan. "Aih, ampun! Jangan berkata demikian, nona. Bagaimanapun juga, aku harus mengikuti ke mana mereka pergi karena mereka telah menawan... saudara misanku.”   "Ah, jadi pemuda.... tampan itu saudara misanmu?" "Tidak begitu tampan dia, nona!" kata Hay Hay cepat. "Tapi mengapa dia mereka tawan?" "Hemm, mungkin karena tampan itulah. Katanya dia hendak dijadikan pelayan. Aku merasa khawatir, maka aku lalu mengikuti mereka dengan diam-diam agar aku tahu ke mana saudaraku itu dibawa. Kalau ternyata dia enak menjadi pelayan, hidup berkecukupan dan senang, akupun akan masuk menjadi pelayan mereka. Aku tidak kalah tampan oleh saudara misanku." Mayang merasa geli, akan tetapi juga mendongkol. Ucapan itu membuat ia ingin sekali melihat wajah pemuda ini dengan jelas. Ia tidak percaya pemuda yang angin-anginan dan ketololan ini setampan pemuda yang bersama tiga orang pendeta Lama itu. "Tidak usah kaukejar dan cari. Aku tahu ke mana mereka akan pergi." "Eh? Engkau tahu, nona? Apakah nona sahabat dan kenalan mereka?" "Hushh! Ngawur saja kau bicara! Kalau aku sahabat mereka, bagaimana tadi aku berkelahi dengan mereka? Akan tetapi aku pernah melihat mereka bertiga. Mereka itu memimpin puluhan orang pendeta Lama dan berkumpul di bukit tak jauh dari sini, yaitu Bukit Bangau. Ketika aku menggiring ternak beberapa hari yang lalu, aku melihat mereka masih berada di sana, dan kurang lebih dua bulan yang lalu, aku melihat mereka bertiga itupun berada di sana. Aku yakin bahwa saudaramu itu pasti diajak ke puncak Bukit Bangau." "Kalau begitu, sekarang juga aku hendak mengikuti mereka ke Bukit Bangau." kata Hay Hay. "Hemm, kalau begitu engkau hanya akan menjadi seekor katak kecil yang menghampiri mulut bangau untuk dicaplok dan habis sekali telan!" Suara gadis itu mengejek. "Eh? Kenapa begitu?" "Sudah kukatakan bahwa tiga orang pendeta Lama itu mempunyai banyak anak buah di sana, kukira tidak kurang dari seratus orang dan tempat itu dijaga ketat. Tiga orang pendeta itu demikian lihai dan anak buahnya banyak. Kalau engkau mengikuti mereka mendaki bukit, bukankah hal itu sama dengan bunuh diri dan mati konyol?" Hay Hay tersenyum. "Aih, nona yang baik. Kenapa engkau mengkhawatirkan benar keadaan diriku?" Biarpun cuaca agak gelap, namun jelas nampak betapa gadis itu menjadi marah, tubuhnya meregang dan kedua tangannya dikepal, "Siapa perduli akan nasib dan keadaanmu? Biar engkau dibunuh seratus kali aku tidak perduli! Aku hanya kasihan kepada saudara misanmu itu, karena dia tentu akan berduka kalau mendengar engkau mati konyol di sana." "Aduh senangnya hati Han Siong!" "Siapa itu Han Siong?" "Saudaraku yang tampan itulah. Dia tentu senang sekali mendengar betapa engkau amat memperhatikan dia, nona...... " "Tutup mulutmu atau kutampar kau nanti!" Gadis itu membentak galak. Hay Hay cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk. “Maafkan aku, nona. Lalu kalau aku tidak boleh mengikuti mereka, apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Kita lewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi aku akan melakukan penyelidikan ke bukit itu dan kalau mungkin aku akan membebaskan saudara misanmu." "Apakah tidak berbahaya untukmu, nona?" "Tidak. Andaikata aku kewalahan, masih ada suboku (ibu guru) yang akan menolongku. Aku dapat mendaki Ning-jing-san, ke puncak Awan Kelabu, menghadap subo dan minta bantuannya. Kalau aku bersama subo, jangankan baru tiga orang pendeta palsu tadi, biar ditambah sepuluh lagi semacam mereka, aku tidak takut!" Sombongnya, pikir Hay Hay. Sombong akan tetapi manis. Galak akan tetapi gagah berani. Seorang gadis hebat. Ingin sekali dia melihat wajah gadis itu dengan jelas. Lalu dia mulai mengumpulkan kayu kering. "Untuk apa?" tanya gadis itu sambil duduk di atas sebongkah batu sebesar perut kerbau. "Untuk membuat api unggun," kata Hay Hay. "Kalau kita harus melewatkan malam di sini, perlu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin." "Api unggun akan nampak dari jauh." "Eh, apakah engkau takut kalau sampai tempat kita diketahui orang?" Suara merdu itu mengandung kemarahan. "Siapa takut? Kalau engkau tidak takut, bagaimana aku takut? Huh, kalau sampai ada musuh datang, yang mampus lebih dulu adalah engkau, bukan aku! Mengapa mesti takut?" Hay Hay tersenyum. "Ha-ha-ha, akupun tidak takut, nona, karena aku yakin bahwa, nona tentu tidak akan membiarkan aku disembelih orang. Nona terlampau gagah dan terlampau baik untuk membiarkan aku dibunuh."   Gadis itu diam saja sehingga Hay Hay tidak tahu bagaimana tanggapannya terhadap kata-katanya itu. Akan tetapi, ketika dia mulai menumpuk kayu dan hendak membuat api unggun, gadis itu menghampiri dan duduk di dekat tumpukan kayu, membantunya sehingga dia merasa girang karena hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu tidak marah lagi. Kalau Hay Hay menghendaki, sekali gosok dua batang kayu kering dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, tentu akan timbul api. Akan tetapi dia tidak ingin memperlihatkan kepandaiannya dan dia menggosok-gosok dua batang kayu dengan tenaga biasa. Melihat sampai beberapa lamanya pemuda itu tidak berhasil membuat api, Mayang menjadi tidak sabar. Disambarnya dua batang kayu itu dari tangan Hay Hay dan diapun menggosok-gosok beberapa kali sampai kayu kering itu terbakar. Tumpukan kayu dibakar dan jadilah api unggun yang cukup besar, terang dan hangat. "Aduhhhh.... ! Ya Tuhanku.... , sungguh hebat bukan main... !" Gadis itu mengangkat muka memandang. Ia melihat pemuda itu terbelalak memandang kepadanya, matanya terbuka lebar dan mulutnya juga terbuka sehingga nampak tolol seperti orang kehilangan semangat. "Ihh! Engkau ini kenapa sih?" tanya Mayang, agak terkejut juga karena tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu nampak demikian kaget. “Bukan main..... ! Sudah kuduga bahwa engkau tentu cantik manis, nona, akan tetapi tidak seperti ini! Cantik jelita seperti bidadari! Sungguh, engkau cantik jelita dan manis bukan main!" Mayang meloncat berdiri. Tinggi ramping! Kedua tangannya bertolak pinggang dan agaknya jari jemari kedua tangannya dapat melingkari pinggang yang kecil itu. Mata yang sipit itu mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya cemberut dan hidung yang agak besar namun bentuknya indah itu kembang kempis, cupingnya nampak jelas bergerak seperti cuping hidung seekor kuda betina dilanda berahi. "Kau.... , kau..... ! Berani engkau mempermainkan dan memperolokku? Engkau hendak kurang ajar kepadaku, ya? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Hay Hay kelihatan terkejut dan terheran-heran, mengembangkan kedua lengannya dan dia berkata, "Ampun dewi..... ! Apakah dosa hamba? Siapa yang mempermainkan dan memperolokkan siapa? Nona, ketika tadi bertemu denganmu di dalam cuaca yang remang-remang, aku hanya, mengetahui bahwa nona memiliki bentuk tubuh yang ramping dan padat berisi, memiliki suara yang merdu, dan dalam keremangan itu aku melihat garis-garis wajahmu yang manis. Kemudian, setelah kita membuat api unggun dan cahaya api unggun jatuh menerangi wajahmu, baru aku melihat bahwa nona sungguh memiliki kecantikan yang luar biasa, jauh melampaui dugaanku semula. Kalau aku melihat wajah nona begini cantik jelita lalu kukatakan itu dengan terus terang, apakah hal itu merupakan dosa? Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa nona berwajah buruk, bersuara parau dan berperawakan jelek kalau keadaannya sama sekali berlawanan? Nona memiliki wajah yang cantik jelita dan manis, bentuk tubuh tinggi ramping yang sempurna, dan suara yang merdu seperti suara burung dewata. Nah, salahkah aku? Kalau aku nona anggap bersalah, berdosa dan layak dibunuh, silakan!" Hay Hay sengaja memanjangkan lehernya seperti seekor angsa yang siap memberikan lehernya untuk dipenggal! Mendengar pidato panjang itu dan melihat sikap Hay Hay, mau tidak mau Mayang tertawa dan iapun duduk kembali, kini mengamati wajah pemuda yang duduk di depannya terhalang api unggun. Harus diakui bahwa pemuda ini memiliki wajah yang tampan, memang tidak kalah oleh saudara misannya itu walaupun ketampanan mereka berbeda. Saudara misannya yang ditawan tiga orang pendeta Lama itu memiliki wajah yang bentuknya bulat, berkulit putih dengan alis hitam tebal, mata sipit. Sedangkan pemuda di depannya ini selain bertubuh tegap dengan dada yang bidang, juga hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar dan bentuk wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing. Mulut dan matanya sungguh memiliki daya tarik yang kuat sekali. "Apakah engkau agak miring?" tiba-tiba Mayang bertanya. Hay Hay melongo keheranan. "Miring? Apanya yang miring?” tanyanya, tak mengerti. Mayang tidak menjawab melainkan meletakkan jari telunjuk kirinya ke atas dahi sendiri, diletakkan menyerong. Barulah Hay Hay mengerti dan dia cemberut. Kurang ajar! Dia disangka gila! "Kaukira aku ini setengah gila, nona? Aih, kira-kira dong kalau menghina orang. Kenapa nona menganggap aku gila?" "Habis, bicaramu aneh-aneh. Engkau memuji-mujiku habis-habisan dan anehnya aku tidak jadi marah kepadamu. Biar kuanggap semua omonganmu tadi seperti ocehan seorang gila. Atau engkau seorang laki-laki perayu yang palsu, yang biasa menyanjung dan memuji wanita dengan rayuan maut untuk kaujatuhkan hatinya. Begitukah?" Hay Hay menggeleng kepala. "Aku hanya seorang laki-laki yang jujur dan tidak mau pura-pura, nona. Kalau aku melihat setangkai bunga yang indah dan harum, aku akan memujinya seperti apa adanya, tidak berpura-pura tak suka. Kalau aku melihat seorang gadis yang cantik seperti nona, aku tidak pura-pura alim, pura-pura tidak mau melihat akan tetapi diam-diam melirik sampai mataku menjadi juling! Aku akan melihat secara langsung dan mengagumi kecantikanmu. Aku akan terus terang memujimu, bukan untuk merayu atau menjilat." "Kalau begitu engkau mata keranjang!" seru Mayang. Hay Hay tersenyum dan kembali Mayang tertegun. Pemuda ini dapat tersenyum demikian wajar dan terbuka, seperti senyum kanak-kanak, tidak dibuat-buat. "Nona, lebih baik dianggap mata keranjang akan tetapi jujur mengagumi kecantikan seorang wanita dari pada dianggap alim akan tetapi diam-diam mempunyai pikiran yang cabul terhadap seorang wanita!”   Mayang tertegun. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu dengan seorang pria yang kata-katanya dan sikapnya seperti pemuda ini! Biasanya, seorang pria akan bersikap kurang ajar dan kasar, atau kalaupun nampak sopan santun akan tetapi pandang matanya mengandung nafsu berahi yang cabul. Akan tetapi, pemuda ini sikapnya ugal-ugalan karena terlalu jujur mengakui dan mengagumi kecantikannya tanpa disembunyikan lagi. Belum pernah ja berhadapan dengan seorang pemuda yang memuji-muji kecantikannya akan tetapi tidak membuat ia tersinggung, bahkan merasa bangga dan girang karena pujian itu sewajarnya dan jujur, tidak menyembunyikan pamrih yang cabul terhadap dirinya. “Siapa sih engkau ini? Maksudku, siapa namamu dan dari mana engkau datang?" "Namaku? Orang memanggil aku Hay Hay, nona dan aku tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Aku seorang pengembara, empat penjuru adalah dinding rumahku. Langit menjadi atap rumahku dan tanah ini menjadi lantai rumahku. Adapun saudaraku itu bernama Pek Han Siong, dia adalah putera ketua Pek-sim-pang di Kong-goan. Aku sedang merantau dan bertemu dengan Han Siong ketika tiba-tiba muncul tiga orang pendeta Lama itu dan mereka menangkap Han Siong. Aku lalu mengikuti mereka sampai malam ini berjumpa denganmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah engkau, nona?” "Aku Mayang, tinggal bersama ibuku dan subo-ku di sebuah puncak di Pegunungan Ning-jing-san. Subo memelihara hewan ternak dan pekerjaanku adalah mengurus hewan ternak. Kadang-kadang aku menerima pekerjaan mengirim dan menggiring ternak yang di perdagangkan orang, dari satu ke lain daerah. Diam-diam Hay Hay kagum. Gadis ini memang hebat. Melakukan pekerjaan yang amat berbahaya. Menggiring ternak yang sampai ratusan banyaknya melintasi daerah-daerah yang sunyi amatlah berbahaya. Tentu karena ia memiliki kepandaian tinggi maka ia berani melakukan tugas berbahaya itu. kaalu hanya perampok-perampok biasa saja akan celakalah mereka bertemu dengan gadis seperti mayang. “Engkau tentu seorang gadis tibet, bukan? Dan apakah ayahmu juga tinggal di puncak itu? Engkau tadi hanya menyebut ibumu dan subo-mu.” “Ibu seorang wanita tibet, ayahku......seorang pria Han akan tetapi dia sudah pergi meninggalkan ibu, entah ke mana, entah masih hidup ataukah sudah mati.” Hay hay merasa betapa ada kedukaan terkandung dalam suara gadis itu, maka diapun mencoba untuk menghiburnya. "Engkau masih beruntung, Mayang, masih mempunyai seorang ibu. Aku sudah tidak punya ibu sejak aku bayi. Ibuku telah meninggal dunia." "Dan ayahmu?" Hay Hay merasa dada dan perutnya panas. Kepada siapapun juga dia tidak sudi mengaku bahwa ayah kandungnya adalah Si Kumbang Merah, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, bahkan dia sendiri adalah akibat dari pemerkosaan yang dilakukan penjahat itu kepada ibu kandungnya! "Hemm, seperti juga engkau, ayahku pergi, entah ke mana. Mungkin juga,...... dia sudah mati!" Keduanya diam sejenak. "Hemm, engkau dan saudara misanmu itu, tidak memiliki kepandaian akan tetapi berani melakukan perjalanan di daerah yang rawan ini. sungguh tabah.” “Tidak ada artinya dibandingkan dengan engkau, Mayang. Engkau seorang wanita, seorang gadis remaja yang amat muda...... " "Tidak muda sekali, usiaku sudah delapan belas tahun!" Hay Hay tersenyum. "Ya, seorang gadis dewasa dan engkau berani menentang orang-orang jahat yang lihai. Maukah engkau menceritakan bagaimana engkau sampai dapat bentrok dengan tiga orang pendeta Lama itu?" "Sore hari tadi ketika aku makan di kedai makanan di dusun Wang-kan, aku bertemu dengan tiga orang pendeta itu yang sedang makan bersama siapa tadi nama saudara misanmu itu? Han Siong? Ya, mereka makan bersama Han Siong. Lalu seorang di antara tiga orang pendeta itu, yang tinggi bongkok itu, menghampiri mejaku minta sumbangan. Pada saat itu, dia telah menyihirku dan dengan sihirnya dia memerintahkan aku untuk datang ke gubuk itu pada malam hari ini. Maka akupun datanglah!" Hay Hay terkejut. Gadis ini dengan enak saja menceritakan bahwa ia disihir orang, dan diapun teringat betapa tadipun tiga orang pendeta itu tidak berhasil menguasai Mayang dengan kekuatan sihir. Diam-diam dia kagum bukan main. "Mayang, engkau disihir malah datang berkunjung kepada mereka? Apakah engkau tidak takut disihir? Apakah engkau mampu melawan kekuatan sihir mereka?" Mulut itu tersenyum mengejek. Hidungnya bergerak pada ujungnya dan manis sekali! "Huh, siapa takut menghadapi permainan kanak-kanak itu?" "Engkau pandai bermain sihir?" "Siapa sudi menjadi dukun sihir? Akan tetapi subo telah menggemblengku untuk melawan serangan sihir orang sehingga aku kebal terhadap segala macam permainan kanak-kanak itu! Pula, sebagai seorang penggiring ternak yang banyak jumlahnya, aku harus pandai menguasai ternak dengan kekuatan batin. Aku tidak bisa menyihir orang lain, akan tetapi tak seorangpun akan mampu menguasaiku dengan kekuatan sihirnya." "Dan engkau datang ke gubuk itu mau apa?” "Mau menghajar mereka, karena tiga orang pendeta itu palsu, mereka bukan orang suci melainkan orang-orang jahat yang mempunyai niat cabul terhadap diriku. Akan tetapi, sebelum aku berhasil menghajar mereka, engkau muncul dan membikin kacau dengan membakar gubuk !" Hay Hay tersenyum. Tentu saja dia lebih tahu. Kalau tidak dibakarnya gubuk itu, tentu Mayang telah tertawan! "Mayang, tidak salahkah engkau bahwa tiga orang pendeta Lama itu akan membawa saudara misanku ke Bukit Bangau? Menurut pengakuan mereka ketika mereka mengajak saudara misanku dengan paksa, mereka adalah utusan Dalai Lama untuk mencari.......eh, pelayan pria." "Mereka membohong! Bahkan menurut dugaan subo, tiga orang itu merupakan pendeta-pendeta Lama yang pernah mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama. Pemberontakan itu telah dihancurkan dan mungkin saja tiga orang itu merupakan sisa dari para pimpinan pemberontakan yang sudah dibasmi itu. Aku akan melaporkan kepada subo tentang perbuatan mereka terhadap diriku, karena perbuatan itu membuktikan bahwa mereka adalah pendeta-pendeta palsu atau pendeta sesat!” Terkejut juga hati Hay Hay mendengar keterangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu. Mereka bukan utusan Dalai Lama? Kalau begitu, mengapa mereka berkeras hendak membawa Han Siong yang sejak kecil memang dicari oleh para pendeta Lama di Tibet karena Han Siong dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama? "Mayang, kalau begitu, kenapa tidak sekarang saja kita menghadap subomu? Aku ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang mereka! Aku mengkhawatirkan saudara misanku!" Gadis itu memandang Hay Hay dan ia merasa heran. Pemuda ini tampan dan perayu, akan tetapi lemah dan tidak pandai silat, juga kadang ketololan. Begitu bertemu, sudah bersikap demikian akrab, menyebut namanya begitu saja tanpa sebutan nona. seolah-olah mereka sudah lama sekali bergaul dan menjadi sahabat. Anehnya, ia tidak merasa tersinggung karena sikap Hay Hay demikian wajar! "Hay Hay, engkau tidak mengenal suboku. Kau kira mudah saja bagi orang luar untuk menghadap subo? Salah-salah, begitu bertemu, kalau engkau tidak pandai membawa diri, kalau tidak berkenan di hatinya, engkau akan dibunuh begitu saja!” "Wah? Begitu jahatkah subomu, Mayang?" "Sama sekali tidak jahat, akan tetapi ia paling benci kepada laki-laki yang lemah, apa lagi kalau penjilat dan perayu seperti engkau. Aku khawatir sekali kalau engkau akan dibunuhnya begitu ia melihatmu." Mendengar ini, bukannya jerih, hati Hay Hay menjadi semakin tertarik. Akan tetapi dia bersikap pura-pura ketakutan. "Wah, sungguh berbahaya sekali. Aku akan bersikap baik-baik, Mayang. Kalau memang sudah nasibku tewas di tangan subomu, sudahlah, aku tidak akan merasa penasaran karena ia subomu!" “Kenapa kalau dibunuh suboku tidak penasaran ?” Gadis itu tertarik. Hay Hay tersenyum. “Aku akan mati dengan mata tertutup atau setengah terbuka karena aku akan selalu mengenangmu dan menghibur diri bahwa yang membunuhku adalah guru dari seorang gadis seperti bidadari yang.......” “Sudah, jangan mulai merayu lagi!” Mayang membentak akan tetapi tidak marah. “Jangan khawatir, kalau dia hen-dak membunuhmu, aku yang akan mintakan ampun bagimu dan biasanya subo memenuhi permintaanku. Akan tetapi kenapa engkau nekat hendak ikut aku menemui subo?” “Aku amat mengkhawatirkan nasib saudaraku, dan aku ingin minta bantuan subomu untuk membebaskan dia.” Kini Hay Hay mulai percaya akan keterangan Mayang bahwa tiga orang pendeta Lama itu tidak pergi ke Lasha dan agaknya memang ada suatu rahasia tersembunyi balik sikap para pendeta itu. Kalau mereka itu benar utusan Dalai Lama, tentu mereka merupakan pendeta-pendeta yang tinggi kedudukannya dan yang berwatak saleh, tidak seperti mereka itu yang telah membunuh Ci Goat, juga mempunyai niat cabul terhadap Mayang. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, apa lagi kalau dibantu anak buah yang sampai seratus orang banyaknya. Dia perlu bantuan Mayang dan terutama sekali subonya yang agaknya merupakan seorang sakti yang mengasingkan diri di tempat sunyi ini. "Baik, kalau begitu mari kita berangkat. Akan tetapi kuperingatkan engkau, Hay Hay, bahwa jalan pendakian ke rumah kami amat sukar. Apa lagi dilakukan malam-malam begini. Sekali engkau salah langkah dan jatuh, engkau akan menggelinding ke dalam jurang yang amat curam dan tubuhmu akan hancur, nyawamu akan melayang." "Aku tidak takut, Mayang. Kalau aku takut berarti aku memandang rendah kepadamu." "Eh? Kenapa begitu?" "Karena aku yakin engkau tentu akan melindungi aku dan menjadi petunjuk jalah agar aku jangan sampai terguling ke dalam jurang. Kalau aku takut, berarti aku kurang percaya akan kemampuanmu." Mayang tersenyum akan tetapi mengerutkan alisnya, "Engkau..... hemm, engkau bisa berbahaya!" Ia tidak menjelaskan apa yang ia maksudkan, dan dengan kakinya ia lalu menginjak -injak api unggun sampai padam. Ia menganggap pemuda ini berbahaya karena pandai sekali bicara, pandai mengambil hati dengan rayuan-rayuannya yang sungguh menyenangkan hati! Berangkatlah mereka menyusup-nyusup di antara pohon-pohon. Mayang berjalan di depan dan Hay Hay di belakangnya. Perjalanan yang sukar karena cuaca remang-remang, akan tetapi agaknya gadis itu sudah mengenal benar daerah itu. Ia melangkah tanpa ragu dan Hay Hay mengikuti dari belakangnya. Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan perjalanan sendirian saja, tentu gerakannya lebih lincah dan gesit. Kini, kalau ia terlalu cepat, Hay Hay berseru agar jangan meninggalkannya sehingga gadis itu melangkah biasa saja, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat. Hay Hay memang sengaja tidak mau tergesa-gesa karena diam-diam dia harus mengenal daerah yang dilaluinya. Dia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya di tempat tinggal Mayang, maka yang terpenting dia harus tahu ke mana dia pergi dan mengenal, jalan kalau dia terpaksa harus melarikan diri dari tempat itu. Pula, senang sekali berjalan di belakang gadis itu. Biarpun cuaca remang-remang, namun dia dapat menikmati penglihatan yang amat indah yaitu gerakan tubuh Mayang ketika melenggang di depannya.   Akhirnya mereka mulai mendaki bukit yang oleh gadis itu dikatakan sebagai tempat tinggal ibunya dan gurunya. Pegunungan Ning-jing-san mempunyai banyak puncak dan mereka tadi memang berada di daerah pegunungan itu. Sebuah di antara puncaknya menjadi tempat tinggal Mayang, ibunya dan subonya. Puncak itu disebut Puncak Awan Kelabu dan menjadi tempat pertapaan guru Mayang. Di tempat itu mereka mengusahakan ternak dan biarpun hidup di tempat sunyi, mereka tidak kekurangan sesuatu. Setelah mereka mendaki puncak itu, Hay Hay mendapat kenyataan bahwa peringatan gadis itu memang benar. Jalan setapak itu amat sukar, licin dan juga sempit. Ada jalan yang lebarnya hanya setengah meter, di kanan kirinya merupakan jurang yang amat curam. Sekali kaki terpeleset, nyawa taruhannya. "Aihh, sungguh mengerikan!” Kata Hay Hay berpura-pura. "Kalau jalan ke tempat tinggalmu begini sukar, bagaimana engkau bisa menggiring ternak melalui jalan seperti ini?” "Untuk menggiring ternak, dapat melalui jalan lain yang lebar. Akan tetapi jauhnya dua kali lipat! Kalau tidak menggiring ternak, lebih cepat lewat jalan ini." "Wah, sungguh berbahaya..... !" Hay Hay sengaja bersikap ketakutan. "Kau takut?" "Wah, tanpa bantuan, bagaimana aku dapat melalui jalan berbahaya di depan itu, Mayang?" “Huh, engkau laki-laki lemah tiada guna!" Mayang mengomel akan tetapi ia memegang tangan Hay Hay dan menggandeng melewati jalan yang sempit dan licin itu. Di belakangnya, Hay Hay tersenyum nakal. Lembut dan hangatnya tangan Mayang! Dia pura-pura semakin ketakutan dan menggenggam tangan itu kuat-kuat dan gadis itupun memperkuat pegangannya sehingga dua buah tangan itu saling pegang dengan eratnya! Setelah bagian jalan yang sukar dilewati dan mereka kini berjalan naik melalui jalan berbatu, keduanya masih saling bergandeng tangan! Setelah mereka tiba di puncak, di tempat datar, cuaca sudah mulai terang karena pagi menjelang tiba. Agaknya barulah Mayang teringat bahwa mereka masih saling bergandeng tangan. Ia seperti terkejut dan melepaskan pegangan tangannya. "Ihh! Kenapa engkau masih terus menggandeng tanganku?" tanyanya bingung karena baru ia menyadari bahwa sejak melewati jalan yang berbahaya itu, ia sendiri tidak pernah ingat untuk melepaskan pegangan tangan pemuda itu! "Tanganmu..... begitu halus dan hangatnya..... " Hay Hay berkata. Gadis itu tiba-tiba membalik, menghadapinya dengan sinar mata mencorong marah. Akan tetapi ketika ia melihat wajah pemuda itu yang memandang kepadanya dengan polos dan jujur, teringat ia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pemuda yang terbuka dan bicara seadanya, bukan bermaksud lain, maka iapun tidak jadi menggerakkan tangan untuk menampar. "Kau.... kau dengan mulutmu..... kautahanlah sedikit kata-katamu yang penuh rayuan itu atau aku dapat lupa diri, menganggap engkau kurang ajar dar menamparmu!" bentaknya, akan tetapi suaranya lirih dan lebih tepat kalau dikatakan setengah berbisik atau mengomel Kiranya gadis itu menahan suaranya agar jangan sampai terdengar oleh subonya yang amat lihai. "Maafkan aku, Mayang. Apa kau ingin aku mengatakan bahwa tanganmu itu kasar dan dingin? Berarti aklt berbohong......." "Sudahlah! Jangan katakan apa-apa!" kata Mayang kewalahan dan diam-diam jari-jari tangannya yang tadi bergandeng dengan Hay Hay mengelus telapak tangannya sendiri untuk melihat apakah benar telapak tanganya itu halus dan hangat seperti yang dikatakan Hay Hay! Dan diam-diam timbul perasaan senang dan bangga dalam hatinya. Bagaimanapun, Mayang hanya seorang wanita dan wanita namanya, mana ada yang tidak merasa senang kalau dipuji, apa lagi kalau yang memujinya itu seorang pemuda tampan dan yang ia tahu bukan sekedar merayu melainkan mengatakan keadaan yang sesungguhnya? Pemuda ini baginya seperti seorang juri atau penilai yang jujur dan adil, yang dapat dipercaya penilaiannya! Dan kalau dinilai bagus, alangkah puas dan senangnya hati! *** Siapakah yang tinggal di puncak yang disebut Puncak Awan Kelabu itu? Keterangan yang diberikan Mayang kepada Hay Hay, walaupun belum lengkap, namun benar dan gadis itu tidak berbohong. Delapan belas tahun yang lalu, ketika Mayang berusia beberapa bulan saja, ibunya rnembawanya berkeliaran ke Pegunungan Ning-jing-san. Ibunya menggendong Mayang yang berusia tiga bulan itu sambil menangis, tertawa dan mencari-cari seseorang. Mencari ayah Mayang! Ibu muda itu ternyata telah menjadi seperti orang gila. Ia ditinggal pergi pria yang menjadi ayah Mayang, ditinggal begitu saja ketika kandunganya sudah tua tanpa memberitahu dan ia tidak tahu ke mana perginya pria itu! Ayah ibunya menjadi marah dan mengusirnya karena ia mengandung tanpa suami! Pria itu selalu mengunjungi kamarnya di waktu malam dan tak seorangpun mengetahui hubungannya dengan pria itu. Setelah ia mengandung tua, pria itu pergi begitu saja. Dalam keadaan seperti gila ini, ibu mayang, puteri seorang suku bangsa tibet, mendaki puncak itu, dan di situ ia bertemu dengan seorang pertapa wanita. Pertapa itu berjuluk Kim Mo Siankouw (Dewi Berambut Emas) dan pertapa itu merasa kasihan kepada Mayang dan ibunya. Ia mengobati ibu muda itu sampai sembuh dan semenjak saat itu, Mayang dan ibunya tinggal bersama pertapa itu di puncak. Dan semenjak ibu dan anak itu berada di situ, kehidupan Kim Mo Siankouw juga berubah. Dahulunya, ia hanya bertapa dalam sebuah gubuk tua tanpa memperdulikan keadaan dirinya. Akan tetapi setelah ia harus memelihara ibu dan anak itu, Kim Mo Siankouw mulai berusaha peternakan, di bantu oleh ibu mayang. Beberapa tahun kemudian, peternakan itu menjadi besar dan keadaan mereka menjadi makmur. Bahkan kim Mo Sankouw menyuruh orang-orang di dusun pegunungan itu untuk membangun sebuah rumah yang besar, dan ia bahkan mengambil beberapa orang wanita pembantu untuk mengatur rumah tangganya.   Sejak kecil, Mayang tinggal di situ dan ternyata bahwa Kim Mo Siankouw bukan sekadar seorang wanita yang mengasingkan diri bertapa di situ, melainkan seorang wanita yang sakti dan memiliki banyak ilmu! Dengan sendirinya, Mayang menjadi anak yang amat disayang oleh Kim Mo Siankouw, bahkan sejak kecil, Mayang telah digembleng oleh pertapa wanita itu, diberi makanan yang mengandung obat sehingga Mayang tumbuh menjadi seorang gadis yang memiliki tubuh yang amat kuat. Juga, semenjak berusia tujuh tahun, Mayang telah diajari ilmu membaca tulis dan juga terutama sekali ilmu silat oleh Kim Mo Siankouw. Akan tetapi, pertapa itu dengan keras melarang Mayang untuk memamerkan kepandaiannya kepada orang lain sehingga tidak ada yang tahu bahwa gadis itu amat lihai.