"Ah, tidak. Aku teringat kepada seseorang, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu. Suheng, kenapa tidak sekarang saja engkau pergi ke kota raja dan membongkar rahasia fitnah dan pencurian itu? Lebih cepat namamu dibersihkan, lebih baik, bukan?" "Mana mungkin, sumoi? Aku merasa belum manlpu menandinginya dan kalau kembali aku tertawan, berarti aku bukan hanya menghadapi penderitaan dan hukuman berat, juga akan menyeret nama baik suhu dan subo. Tidak, sebelum aku yakin telah menguasai ilmu yang lebih tinggi sehingga akan dapat mengalahkannya, aku belum berani mencoba untuk membongkar fitnah itu, sumoi."   Suheng, aku akan membantumu! Kalau dibiarkan terlalu lama, namamu sudah terlanjur rusak dan kedudukan orang itu terlanjur kuat sekali sehingga sukar untuk ditangkap." Wajah Hok Seng berseri. Kalau sumoinya ini mau membantu, tentu lain soalnya. Sumoinya ini hebat, memiliki ilmu kepandajan tinggi sekali, dapat disebut sakti, dan dia percaya kalau sumomya ini akan mampu menandingi orang yang dahulu menangkapnya itu. "Akan tetapi, aku merupakan seorang pelarian atau orang buruan, maka aku tidak berani berterang memasuki kota raja, sumoi." "Itu mudah saja, suheng. Engkau masuk dengan menyamar, menyelundup. Kemudian diam-diam kita mencari orang yang melakukan fitnah itu, apa sukarnya?" "Akan tetapi hati-hati, sumoi. Dia itu selain lihai juga tukang fitnah, tentu dia akan menyangkal semua perbuatannya yang keji, bahkan tidak mungkin dia akan melontarkan fitnah yang lebih keji terhadap diriku!" "Jangan khawatir, suheng. Aku yakin kita berdua akan dapat membongkar rahasia itu dan membekuknya." Ketika mereka menghadap Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu dan menyatakan hendak pergi bersama ke kota raja untuk membongkar urusan fitnah dan akan membersihkan nama baik Tan Hok Seng yang pernah tercemar,kedua orang suami isteri itu sebetulnya merasa tidak setuju. Akan tetapi, mereka melihat kesempatan bagi puteri mereka untuk bergaul dengan lebih akrab dengan Hok Seng yang diharapkan menjadi calon mantu mereka, maka merekapun membeeri persetujuan mereka. "Akan tetapi engkau tentu ingat akan pengakuanmu dahulu, Hok Seng, bahwa engkau tidak menaruh dendam kepada orang yang melempar fitnah kepadamu!" kata Siangkoan Ci Kang. "Dan kalian jangan sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi menentang petugas pemerintah." pesan pula Toan Hui Cu. "Harap suhu dan subo tenangkan hati," Jawab Hok Seng tenang. "Teecu bukan mendendam, melainkan karena dorongan sumoi, teecu hendak mencuci nama baik teecu yang dicemarkan orang, menangkap yang bersalah agar dihukum. Dan teecu bersama sumoi akan bekerja diam-diam sehingga tidak sampai menimbulkan keributan di kota raja, apa lagi karena teecu masih menjadi seorang pelarian sebelum nama teecu dibersihkan kembali." Tentu saja di dalam hatinya, pemuda ini sama sekali bukan bermaksud "membersihkan nama" karena bagaimanapun juga, namanya yang aseli tidak mungkin dapat dibersihkan lagi. Dia sudah membuat dosa besar kepada kaisar, yaitu melarikan seorang selir terkasih kaisar. Hal itu telah terbukti, bagaimana mungkin dibersihkan lagi? Yang jelas, dia mendendam kepada Tang Bun An yang kini menurut penyelidikannya telah menjadi seorang perwira tinggi, kedudukannya yang bahkan lebih tinggi dari kedudukannya karena telah berjasa menemukan kembali selir yang minggat dan menghadapkan dia sebagai pembawa pergi selir itu. Dan dia merasa yakin akan dapat membalas dendam kepada orang itu, bukan saja karena kini dia telah memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat, akan tetapi dia ditemani Siangkoan Bi Lian, gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi itu. Sebetulnya hanya itulah yang terpenting, yaitu membalas dendam kepada Tang Bun An! Yang lain dia tidak perduli. Kalau sudah berhasil membunuh Tang Bun An, dia akan lebih tekun belajar silat, kemudian kalau memungkinkan keadaannya, dia akan mendekati Bi Lian dan mengusahakan agar gadis yang amat cantik jelita menggairahkan dan lihai ilmu silatnya ini dapat menjadi isterinya! *** Tidak sukar bagi seorang menteri negara yang demikian besar kekuasaannya seperti Menteri Cang Ku Ceng, untuk minta bantuan seorang perwira pengawal thai-kam (kebiri) sehingga Kui Hong dengan mudah dapat diselundupkan ke dalam istana! Karena maksud Kui Hong menyelundup ke dalam istana hanya untuk melakukan pengintaian dan sedapat mungkin menangkap basah pria yang kabarnya menurut desas-desus menggauli hampir semua selir, dayang dan puteri istana, maka iapun hanya minta waktu seminggu saja untuk melakukan penyelidikan. Dan waktu baginya untuk mengintai hanya malam hari. Oleh karena itu, untuk membebaskan gadis perkasa itu dari perhatian dan kecurigaan, Kui Hong selalu sembunyi di siang hari, disembunyikan oleh perwira thai-kam itu ke dalam kamar seorang wanita setengah tua yang bekerja sebagai tukang cuci dan yang dipercaya penuh oleh perwira thai-kam itu. Setelah hari menjadi gelap, barulah Kui Hong keluar dari dalam kamar itu dan melakukan perondaan secara rahasia. Memang tidak mudah bagi perwira Thai-kam itu untuk mempercaya seorangpun di dalam istana kecuali tukang cuci yang masih terhitung saudara misan ibunya dari dusun itu. Hampir semua wanita di dalam istana itu, terutama yang masih muda dan cantik, agaknya mempunyai hubungan dengan pria misterius yang tak pernah diJihat orang memasuki istana itu. Kalaupun ada yang melapor, mereka itu hanya melihat berkelebatnya bayangan seorang pria, namun belum pernah melihat orangnya. Agaknya, tidak mungkin ada orang yang kelihatan bayangannya tidak kelihatan orangnya. Hanya setan saja yang demikian itu. Anehnya, Sang Permaisuri sendiri agaknya acuh atau tidak menaruh perhatian, bahkan nampak tidak percaya kalau diberi laporan bahwa ada pria memsuki istana bagian puteri. Maka, terpaksa Kui Hong diselundupkan secara tersembunyi, tidak seperti seorang dayang baru atau peJayan baru. Karena kalau diJakukan demikian, Kui Hong khawatir kalau kehadirannya akan mencurigakan hati orang dan akan membuat laki-laki yang suka berkeliaran di dalam istana bagian puteri itu berhati-hati dan tidak muncul lagi. Kehadirannya di dalam istana harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui umum. Hal ini ia kemukakan kepada Menteri Cang Ku Ceng dan menteri yang bijaksana ini mempergunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi permintaan Kui Hong.   Sudah tiga hari tiga malam Kui Hong berada di dalam istana, hanya diketahui oleh Menteri Cang, perwira Thaikam, dan pelayan wanita tukang cuci di istana. Setiap malam ia melakukan pengintaian dan perondaan, dan dari pagi sampai sore ia bersembunyi saja di dalam kamar. Namun, belum pernah ia menemukan sesuatu yang mencurigakan, belum pernah bertemu seorang pria yang berkeliaran di istana bagian puteri itu. Yang kelihatan hanyalah para pengawal istana, orang-orang Thaikam yang melakukan perondaan   Kui Hong memandang kagum. Mereka lalu makan minum dengan gembira, dan lupalah Kui Hong bahwa ia sedang berada dalam tahanan musuh, bukan dalam kamar hotel mewah bersenang-senang dengan seorang sahabat yang menyenangkan sekali. Setelah makan dan beristirahat sejenak, Kui Hong lalu bangkit. "Adik Mayang, sekarang bersiaplah. Kita mengadu kepandaian silat. Kamar ini cukup lebar sehingga leluasa bagi kita untuk bertanding silat di sini."   "Ehhh?" Mayang memandang wajah Kui Hong dengan kaget, akan tetapi melihat wajah yang cantik itu cerah dan mulutnya tersenyum. Mayang segera mengerti.   "Maksudmu, kita berlatih silat, enci Hong?' Kui Hong mengangguk. "Kita harus selalu siap, dan kita perlu berlatih, terutama untuk mengenal kepandaian masing-masing sehingga mudah bagi kita menentukan langkah selanjutnya. Jangan sungkan dan jangan main-main, adikku. Seranglah aku dan keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilai sampai di mana tingkatmu." "Baik, enci Hong, akan tetapi jangan mentertawakan aku!" "Aih, engkau terlalu merendahkan dirimu, Mayang. Aku pernah mendengar nama besar subomu, maka aku tahu bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat yang hebat. Nah, mari kita main-main sebentar!" "Baik, enci Hong. Kau jaga baik-baik seranganku!" Setelah melihat bahwa Kui Hong sudah memasang kuda-kuda, Mayang lalu mulai menyerang. Karena iapun dapat menduga akan kelihaian Kui Hong, maka begitu menyerang, ia mainkan ilmu silat Kim-lian-kun (Ilmu Silat Teratai Emas) yang ampuh, yaitu ilmu silat andalan dari Kim-mo Sian-kouw. Gerakannya amat cepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sehingga dari tangannya mengeluarkan angin berdesir. "Bagus!" Kui Hong berseru sambil mengelak dan membalas serangan Mayang. Iapun tidak main-main karena dari gerakan pertama itu saja tahulah ia bahwa Mayang sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kui Hong telah mempelajari banyak macam ilmu silat, namun belum pernah ia melihat ilmu silat seperti yang dimainkan Mayang, maka iapun bersikap hati-hati sekali. Serang menyerang terjadi di dalam kamar yang luas itu, dan terdengar angin berkesiur setiap kali mereka menggerakkan tangan. Dan kalau sesekali terjadi adu lengan, keduanya tergetar dan, mundur dua langkah, saling pandang dengan kagum. Makin lama, serangan Mayang semakin hebat dan Kui Hong kagum bukan main. Ilmu silat gadis Tibet itu memang tangguh sekali. Terpaksa ia harus mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) Bu-eng Hui-teng (Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari Ceng Sui Cin, ibunya. Dengan ilmu ini, tubuhnya bagaikan kapas saja dan Mayang terkejut dan kagum bukan main. Lawannya itu seolah-olah dapat terbang dan tak pernah dapat disentuh tangannya yang menyerang. Kui Hong menilai ilmu yang dimiliki Mayang, juga kekuatan kedua tangannya. Harus diakuinya bahwa tingkat kepandaian Mayang sudah cukup tinggi, tidak kalah dibandingkan para pendekar wanita lainnya. Ia sendiri, kalau tidak mendapatkan gemblengan dari kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, tentu akan mengalami kesulitan untuk dapat mengalahkan Mayang! Sampai lima puluh jurus lebih mereka berlatih dan kalau Kui Hong menghendaki, biarpun tidak sangat mudah, ia akan mampu mengalahkan Mayang. Bagaimanapun lihainya gadis Tibet itu, Kui Hong masih menang tingkat, menang cepat dan lebih kuat tenaganya. Akan tetapi Kui Hong tidak mau mengecilkan hati Mayang, dan ia sudah merasa cukup puas melihat kenyataan bahwa Mayang memang lihai dan dapat diandalkan untuk menjadi kawan dalam menghadapi Ang-hong-cu dan anak buahnya. "Cukup, Mayang!" katanya sambil melompat ke belakang. "Engkau lihai sekali!" "Ihh, enci Kui Hong, jangan memuji! Kalau engkau mau, tentu sudah sejak tadi engkau dapat merobohkan aku. Ilmu aneh apakah itu yang membuat tubuhmu begitu ringan seperti kapas terbang saja? Semua seranganku tidak ada gunanya!"   "Itu adalah Bu-eng Hui-teng, yang kupelajari dari ibuku, Mayang. Sudahlah, kita beristirahat. Engkau cukup tangguh dan kurasa, kita berdua akan mampu menjaga diri kalau mereka muncul." Kata Kui Hong sambil mengusap keringat dari lehernya, seperti yang dilakukan pula oleh Mayang. "Sekarang, mari menghimpun tenaga dan memulihkan kelenturan otot-otot, mengatur pernapasan," kata Kui Hong yang ingin agar keduanya berada dalam keadaan yang siap benar untuk memberontak sewaktu-waktu pintu besi itu dibuka. Mayang mengangguk dan keduanya lalu duduk bersila di atas pembaringan, mengatur pernapasan. *** Sebagai seorang pelarian, tentu saja Tang Gun tidak berani begitu saja memasuki kota raja. Kalau ada yang mengenalnya, tentu akan terjadi geger. Pasukan pemerintah tentu akan mengejar dan menangkapnya dan biarpun di sampingnya ada sumoinya. Siangkoan Bi Lian yang amat lihai sekali, kalau pasukan pemerintah mengepungnya, tentu mereka beruda tidak akan mampu melawan, bahkan sukar untuk dapat meloloskan diri dari kota raja. Oleh karena itu, ketika memasuki pintu gerbang kota raja, Tang Gun menyamar sebagai seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya sudah penuh uban, dengan kumis dan jenggot palsu. Siangkoan Bi Lian yang berjalam di sampingnya mengaku sebagai uterinya. Penyamaran itu cukup baik sehingga tak seorangpun mengenalnya. Mereka masuk ke kota raja setelah hari menjelang senja. Cuaca sudah mulai redup dan remang-remang. Tang Gun mengajak sumoinya agar langsung saja mencari seorang bekas anak buahnya yang dipercaya benar, karena mereka harus lebih dahulu menyelidiki, di mana adanya Tang Bun An yang mereka cari-cari itu. Bekas anak buahnya itu bernama Gu Kiat dan sebagai seorang perajurit pengawal istana tentu dia tahu akan segalanya tentang Tang Bun An yang kabarnya menjadi perwira itu. Dan Tang Gun pernah menyelamatkan Gu Kiat, maka dia merasa yakin bahwa Gu Kiat yang hidup sebatang kara tanpa keluarga itu pasti akan suka membantunya.   Gu Kiat kebetulan duduk di ruangan depan rumahnya ketika Tang Gun atau yang kini dikenal sebagai Tan Hok Seng tiba. Dia cepat keluar dari pintu rumahnya dan memandang heran kepada pria dan wanita yang tidak dikenalnya itu. Apa lagi ketika melihat betapa wanita muda itu amat cantik, keheranannya bertambah. "Paman hendak mencari siapakah?" tanya Gu Kiat sambil melirik ke arah wajah Bi Lian yang nampak cantik sekali tersinar lampu gantung di depan rumah itu. Hok Seng membalas penghormatan tuan rumah dan berkata, "Saya mempunyai urusan penting sekali untuk disampaikan kepada saudara Gu Kiat." "Saya sendiri yang bernama Gu Kiat." Hok Seng berkata kepada Bi Lian, "Anakku, engkau tunggu sebentar di sini, aku mau bicara empat mata dengan saudara ini." Bi Lian mengangguk dan Hok Seng lalu berkata kepada Gu Kiat yang masih memandang keheranan itu. "Saudara Gu Kiat, dapatkah kita bicara empat mata di dalam? Apa yang saya bicarakan ini amat penting dan tidak boleh diketahui orang lain." "Tapi .... tapi……, siapakah paman?" Gu Kiat bertanya ragu. Hok Seng berbisik, "Aku Tan Hok Seng dan aku ingin bicara tentang guci emas istana. Mari kita bicara empat mata di dalam." Gu Kiat nampak terkejut bukan main, matanya terbelalak dan mukanya berubah pucat ketika dia memandang kepada Hok Seng. Bi Lian tidak mengerti, hanya mengira bahwa kini orang itu telah mengenal Hok Seng yang menyamar. Padahal Gu Kiat terkejut sekali karena mendengar bisikan tentang guci emas istana tadi. Dahulu, pernah sebagai perajurit pengawal dia mencuri guci emas istana dan perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lain. Kalau tidak ada Tang Gun yang menyelamatkannya, tentu dia sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Tidak mengherankan kini dia terkejut setengah mati mendengar laki-laki setengah tua yang tak dikenalnya itu berbisik tentang guci emas istana! Maka, mendengar permintaan orang itu untuk bicara empat mata di dalam, dia lalu mengangguk dan memberi isyarat kepada orang itu untuk memasuki rumahnya. Bi Lian tidak ikut masuk, melainkan duduk menanti di atas bangku di ruangan depan itu. Biarlah suhengnya yang melakukan penyelidikan di mana adanya Tang Bun An yang telah melempar fitnah kepada suhengnya itu. Nanti kalau sudah berhadapan dengan musuh itu, baru ia yang akan menandinginya. Setelah berada di dalam ruangan sebelah dalam, hanya berdua saja dengan Gu Kiat, Hok Seng lalu berkata lirih, "Gu Kiat, pandanglah baik-baik. Aku adalah Tang Gun yang menyamar!" Gu Kiat memandang tajam dan dia segera mengenal bekas atasannya itu, mengenal suara dan pandang matanya. "Tang-ciangkun…….!" katanya terkejut dan heran. Disangkanya bahwa bekas komandannya ini telah tewas. "Ahhh, jangan menyebut aku ciangkun lagi, aku sudah bukan seorang perwira." "Tapi..... tapi…… apakah kehendak Tang-kongcu, (tuan muda Tang) mendatangi saya?" Jelas bahwa Gu Kiat ketakutan karena kalau sampai diketahui orang bahwa dia kedatangan tamu bekas perwira yang menjadi orang hukuman dan pelarian ini, dirinya tentu saja akan celaka. "Dengar baik-baik, Gu Kiat. Aku pernah menolongmu, dan sekarang saatnya engkau membalas budi itu, dan menolongku kembali. Pertama, lupakan bahwa namaku Tang Gun. Sekarang namaku adalah Tan Hok Seng, dan engkau boleh menyebutku Tan-kongcu. Mengerti?" Diingatkan akan "budi" itu, Gu Kiat mengangguk patuh. "Saya mengerti." katanya lirih. "Dan ke dua, aku ingin mendengar tentang diri Tang Bun An. Nah, ceritakan tentang dia!" Di dalam hatinya, Gu Kiat tersenyum. Akan tetapi, wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia menjawab. "Ah, dia? Setelah engkau pergi, dia diangkat menjadi seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana." "Hemm, sudah kuduga. Di mana sekarang dia tinggal?" Gu Kiat menggeleng kepalanya. "Bagaimana saya bisa tahu? Sekarang dia sudah berhenti menjadi perwira." "Berhenti?" "Dia mengundurkan diri dan sejak itu, saya tidak tahu lagi di mana dia berada." Tentu saja Hok Seng kecewa bukan main mendengar berita ini. Musuh besarnya itu telah lolos, dan tidak lagi berada di kota raja! "Akan tetapi, saya dapat membantumu, kongcu. Di antara kawan-kawan yang pernah menjadi anak buahnya, tentu ada yang tahu di mana adanya bekas perwira itu." Wajah yang tadinya dibayangi kekecewaan itu, menjadi cerah kembali. "Ah, baik sekali! Terima kasih dan ternyata engkau seorang yang mengenal budi, Gu Kiat. Kapan engkau akan melakukan penyelidikan itu? Lebih cepat lebih baik!" "Memang sebaiknya begitu, kongcu. Malam ini juga saya akan pergi menyelidiki di antara kawan-kawan. Dan sebaiknya kalau kongcu dan eh, siapakah nona yang menunggu di depan itu?" "Ia sumoiku." "Sebaiknya kongcu dan nona bersembunyi saja di rumah saya ini. Kalau bermalam diluaran, amat berbahaya. Kong-cu berdua bermalam di sini, mengaso, dan saya akan pergi melakukan penyelidikan. Mudah-mudahahan saja malam ini juga saya sudah bisa mendapatkan keterangan."   Hok Seng menjadi girang bukan main. Dia memesan kepada bekas anak buahnya itu agar tidakkeliru menyebut namanya karena dia sudah berganti nama sejak menjadi pelarian, dan sumoinya sendiripun rnengenalnya sebagai Tan Hok Seng. Setelah itu, mereka lalu keluar dan mempersilakan Siangkoan Bi Lian masuk ke dalam. Setelah mereka berada di ruangan, dalam Hok Seng memperkenalkan sumoinya kepada Gu Kiat. "Gu Kiat, ini sumoiku Siangkoan Bi Lian. Sumoi, saudara Gu Kiat ini dahulu pernah menjadi anak buahku yang setia dan sekarang dia suka membantu kita dan malam ini juga dia akan melakukan penyelidikan tentang perwira itu. Malam ini kita tinggal di sini, lebih aman." Bi Lian mengerutkan alisnya dan dia menatap tajam wajah tuan rumah. "Kenapa harus menyelidiki lagi? Asal diberitahu di mana tinggalnya dan kita dapat menyelidiki sendiri.” "Aih, engkau belum tahu, sumoi. Orang yang kita cari itu ternyata sudah tidak menjadi perwira lagi, dan Gu Kiat ini tidak tahu ke mana dia pergi. Oleh karena itu, malam ini juga dia hendak mencari keterahgan dari kawan-kawannya yang dulu pernah menjadi anak buah perwira tua itu." "Hemm, begitukah?" Bi Lian merasa kecewa mendengar berita itu. "Harap Tan-kongcu dan Siangkoan-siocia (nona Siangkoan) tenangkan hati. Kalau ji-wi (kalian) tinggal di sini malam ini, kiranya lebih aman dari pada kalau tinggal di luar. Dan percayalah, malam ini tentu saya sudah mendapatkan berita tentang perwira itu. Pakailah dua kamar di depan kamar saya, itu memang kamar tamu, dan kalau ji-wi membutuhkan makan minum, kiranya di dapur masih ada persediaan lengkap untuk masak dan membuat air teh. Juga masih ada arak di dalam almari. Silakan, harap ji-wi tidak sungkan." Hok Seng merasa girang sekali. "Saudara Gu Kiat, terima kasih. Ternyata engkau seorang sahabat yang baik sekali." "Sekarang saya harus berangkat sebelum kawan-kawan tidur. Kalau sudah berhasil dengan penyelidikan saya, tentu malam ini juga saya pulang, atau paling lambat besok pagi-pagi. Harap ji-wi tinggal dengan tenang saja.” Dua orang muda itu mengucapkan terima kasih dan Gu Kiat lalu meninggalkan mereka. Karena keduanya merasa lapar dan mereka tidak berani pergi ke rumah makan, mereka lalu memeriksa dapur dan dengan girang mereka mendapatkan bahan-bahan untuk dimasak. Maka sibuklah mereka membuat masakan untuk makan malam mel-eka dari bahan-bahan yang ada. "Ah, di mana-mana orang baik tentu menemukan penolong," kata Hok Seng ketika mereka berdua menghadapi meja dengan makanan dan minuman sederhana. "Takkusangka bahwa Gu Kiat demikian mengenal budi, masih ingat akan banyak pertolongan yang kuberikan kepadanya ketika aku masih menjadi komandannya." Bi Lian hanya tersenyum, lalu berkata lembut, "Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati, suheng. Di dunia ini, lebih banyak terdapat orang yang busuk dari pada yang baik. Kalau belum terbukti, jangan tergesagesa menilai orang." "Aku yakin bahwa dia orang baik, sumoi. Apa lagi karena dia berhutang budi kepaddku. Kalau tidak ada aku yang menolongnya, mungkin dahulu dia telah dihukum mati!" "Ehh? Perbuatan apa yang telah dia lakukan, suheng?" "Ketika itu dia menjadi anak buah pasukanku, pasukan pegawal istana. Seringkali aku mengganti regu penjaga sebelah dalam istana secara bergiliran. Ketika dia bertugas dalam, dia telah mencuri sebuah guci emas. Perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lainnya. Tentu saja pengawal yang lain itu hendak melaporkan perbuatan itu dan kalau sampai dilaporka;n dan didengar oleh kaisar, tentu dia sudah dihukum mati. Dosa besar mencuri barang istana, apa lagi dia bertugas sebagai seorang perajurit pengawal. Aku kasihan kepadanya, lalu aku melarang pengawal yang lain itu melapor, dan menyuruh Gu Kiat mengembalikan guci itu di tempatnya semula. Maka, selamatlah dia dan agaknya dia masih ingat akan budi itu dan sekarang berkesempatan untuk membalas kepadaku." Bi Lian diam saja. Ia sendiri tidak begitu perduli tentang budi dan sebagainya. Sejak kecil, ia telah menjadi murid Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang datuk sesat yang jahat. Biarpun ia pada dasarnya memiliki watak yang gagah perkasa, bahkan pantang melakukan kejahatan dan menuruti nafsu ingin menyenangkan diri sendiri, namun, kehidupan dalam lingkungan dunia sesat membuat ia bersikap keras, bahkan ganas dan tidak perduli. Bahkan ia sempat mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) karena kekerasan hatinya. Namun setelah ia kembali berkumpul dengan ayah ibunya, ia menerima gemblengan ilmu dan juga keteguhan batin dari ayah dan ibunya yang sakti. Bahkan orang tuanya itu menceritakan bahwa ia merupakan keturunan dari para datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kesaktian dan kejahatan mereka. Oleh karena itu, ia harus selalu ingat akan hal ini dan menunjukkan kepada dunia bahwa biarpun ia keturunan datuk sesat ia dapat bertindak sebagai seorang pendekar! Kakek dalamnya, yaitu ayah dari ayahnya, adalah Siangkoan Lojin yang terkenal dengan julukan Si Iblis Buta! Dan kakek luarnya, ayah dari ibunya, lebih hebat lagi karena kakek itu adalah mendiang Raja Iblis! Raja Iblis dan isterinya, Ratu Iblis, benar-benar pernah merajai dunia sesat. Dan ayah ibunya, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, pernah pula menjadi orang-orang terhukum di kuil Siauw-lim-si karena dianggap berdosa oleh ketua kuil. Mereka berdua menerima hukuman ini untuk menebus dosa orang-orang tua mereka! Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, apa lagi dianggap sebagai budi oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi, melainkan suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa pertolongan yang kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan menghutangkan sesuatu untuk kelak ditagih dan diharuskan membayar kembali berikut bunganya? Baik buruk hanya penilaian, dan penilajan selalu didasari kepentingan pribadi. Kalau segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta kasih, maka tidak ada pamrih lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi dan dendam! Budi maupun dendam hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Penyesalan tidak ada gunanya! Perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran, selalu ditunggangi nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin karena pengamatan sepenuhnya tanpa si-aku yang mengamati ini menimbulkan kesadaran. Tidak mungkin kita mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran tak mungkin dapat lepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar, namun setiap kali memikiran berniat mengubahnya, setiap perbuatan itu diulang dan pikiran yang berniat mengubah tadipun menipis dan lenyap. Tidak mungkin pikiran dapat mencuci kekotoran perbuatan karena justeru perbuatan itu sudah dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang kotor pula? Yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran, hanyalah kekuatan Tuhan! Kita yang merasa bergelimang kekotoran, yang sudah dikuasai oleh nafsu daya rendah, hanya tinggal menyerah kepada kekuasaan Tuhan! Biarkan kekuasaan Tuhan yang mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang membimbing dan membersihkan batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka terbukalah jendela dan pintu batin kita untuk menerima masuknya sinar cinta kasih. Kalau sudah begitu, maka setiap perbuatan kita diterangi oleh sinar cinta kasih. Lalu ke mana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan masih penting bagi kehidupan kita. Namun, nafsu daya rendah tidak lagi menjadi majikan, melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan hidup di dunia ini. Bukan lagi menjadi liar, karena kalau nafsu daya rendah yang memegang kemudi, kita akan disesatkan ke arah pengejaran kesenangan nafsu sehingga menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya merusak dan yang pada umumnya disebut jahat. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Bi Lian dan Hok Seng menunggu di kamar masing-masing, namun tuan rumah tak kunjung pulang. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika mereka berdua sudah menyiram tubuh dengan air dingin dan sudah duduk di luar, muncullah Gu Kiat! "Bagaimana, saudara Gu Kiat? Berhasilkah?" Hok Seng segera menyambutnya dengan pertanyaan yang ingin tahu sekali. Gu Kiat tersenyum, menarik napas panjang lalu duduk di depan mereka. "Tiada seorangpun tahu di mana pindah atau perginya bekas perwira itu. Ketika saya sudah putus asa dan menjelang pagi tadi berjalan pulang, di tengah jalan saya bertemu atau dihadang oleh seorang bertopeng hitam…….” "Topeng hitam…..?" Tang Gun berseru kaget. “Ya, orang itu mengenakan kedok hitam. Dia muncul tiba-tiba dan bertanya mengapa saya mencari bekas perwira Tang Bun An. Karena sikapnya menyeramkan, terpaksa saya berterus terang, mengatakan bahwa kongcu yang mencarinya. Dan si kedok itu lalu menyuruh saya memberitahukan kongcu bahwa dia yang akan dapat menunjukkan kepada kongcu di mana adanya bekas perwira itu." "Tapi….. tapi…… siapa dia?” tanya Tang Gun, suaranya menunjukkan ketegangan hatinya dan Bi Lian hanya mendengarkan saja dengan sikap tenang. “Saya juga bertanya demikian, kongcu. Ketika saya bertanya siapa dia, dia hanya mengatakan bahwa dia pernah memberi sekantung emas kepada kongcu dan bahwa kongcu tentu mengenalnya!" “Pendekar itu…..!” Tang Gun menoleh kepada Bi Lian. “Sumoi, tentu dia pendekar yang menolongku itu!” "Mungkin saja." kata Bi Lian. "Akan tetapi bagaimana selanjutnya pertemuanmu dengan si kedok hitam itu?" tanyanya kepada Gu Kiat yang terputus ceritanya tadi. "Oh, ya! Bagaimana selanjutnya, Gu Kiat? Apa yang dipesankan oleh pendekar berkedok hitam itu?" tanya Tan Gun. "Pesannya aneh sekali, kongcu. Dia bilang bahwa kalau kongcu hendak mencari perwira Tang, kongcu harus menemuinya di kuil tua kosong yang berada di sebelah timur pintu gerbang kota. Dan dia pesan agar kongcu datang seorang diri, tidak boleh ditemani siapapun. Kalau kongcu tidak sendirian, dia tidak akan menemui kongcu dan tidak mau membantu lagi." "Hemm, penuh rahasia orang itu. Mencurigakan juga!" kata Bi Lian sambil mengerutkan alisnya. "Tapi dia…… dia pernah menolongku, sumoi! Tak mungkin sekarang dia hendak menjebak atau mencelakakan aku. Gu Kiat, kapan aku harus rnenemuinya." “Sekarang juga, kongcu. Dia bilang jangan terlalu siang karena dia tidak mungkin dapat menanti terlalu lama." "Sumoi, kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Kautunggulah cli sini, sumoi. Aku takkan lama dan akan segera kembali setelah mendapatkan keterangan." Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia berkata. "Baiklah, suheng. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku masih curiga akan sikap aneh orang itu.” “Dia bermaksud baik, sumoi, hal ini aku yakin. Nah, aku pergi dulu. Kau tunggulah di sini." Tang Gun atau Tan Hok Seng pergi dan Bi Lian diam-diam memperhatikan sikap tuan rumah. Akan tetapi Gu Kiat kelihatan biasa saja, dan setelah Hok Seng pergi, dia minta maaf kepada Bi Lian untuk beristirahat di dalam kamarnya karena semalam suntuk dia tidak tidur. Tak lama kemudian, Bi Lian mendengar dengkurnya dari dalam kamar dan iapun tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Gu Kiat. Akan tetapi, hatinya tetap saja merasa tidak enak. Ingin ia membayangi suhengnya dan melihat sendiri siapa sebenarnya orang berkedok itu. Akan tetapi, iapun tidak ingin menggagalkan usaha suhengnya mencari orang yang melakukan fitnah itu pula, kalau si kedok hitam itu berniat jahat, tentu dahulu tidak menolong Hok Seng. Dengan pikiran ini, hatinya lega dan ia menanti saja di situ.   Sementara itu dengan cepat Hok Seng berjalan keluar kota melalui pintu gerbang timur. Dia masih menyamar sebagai seorang setengah tua, dan dia dapat keluar dari pintu gerbang dengan mudah. Dia sudah lama tinggal di kota raja dan tahu kuil tua mana yang dimaksudkan itu. Diluar pintu gerbang timur terdapat sebuah bukit kecil dan di puncak bukit itulah adanya kuil tua yang sudah lama tidak pernah dipergunakan lagi. Ke sanalah dia pergi dan setelah berada di tempat yang sepi, dia mengerahkan tenaga dan berlari cepat mendaki bukit. Kuil tua itu sunyi. Sepagi itu, belum ada anak-anak penggembala menggiring ternak mereka ke bukit yang banyak padang rumputnya itu. Tidak nampak kehidupan di dalam atau di luar kuil. Sunyi saja dan pagi itu langit amat cerah. Sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam, seolah mempersiapkan kebersihan bagi munculnya sang matahari. Tanpa ragu lagi Tang Gun memasuki kuil, menoleh ke kanan kiri. Kosong saja di bagian depan kuil itu. Selagi dia tidak tahu harus mencari di mana dan selagi hendak berseru memanggil, tiba-tiba terdengar suara orang. "Aku di sini!" Suara itu datangnya dari belakang. Tang Gun segera menuju ke belakang dan di ruangan yang luas itu, karena dindingnya sudah runtuh, sehingga bagian belakang itu terbuka, berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap dan mengenakan kedok hitam, di tengah ruangan sambil bertolak pinggang. Tang Gun segera mengenal si kedok hitam yang dulu pernah menolongnya, maka cepat dia maju menghadapi orang itu dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, dan tubuhnya agak membungkuk dengan sikap hormat. "Selamat berjumpa, tai-hiap (pendekar besar)!" katanya. Si kedok hitam itu diam saja, akan tetapi sepasang mata yang mencorong bersinar dari balik kedok, mengamati wajah Tang Gun. "Hemm, engkau Tang Gun menyamar sebagai seorang tua?" suara itu dalam dan berwibawa. "Maaf, tai-hiap. Terpaksa saya menyamar karena khawatir kalau kehadiran saya di kota raja diketahui orang. Saya Tang Gun yang pernah menerima pertolongan tai-hiap dan sampai sekarang saya tidak pernah melupakan budi itu." "Tang Gun, mengapa engkau menyelidiki di mana tinggalnya Tang Bun An? Apa yang kauinginkan dari orang itu?" "Ah, tentu tai-hiap mengerti. Orang itulah yang telah mencelakakan saya, yang membuat saya dihukum. Oleh karena itu, saya hendak mencarinya dan membalas dendam kepadanya. Mohon bantuan tai-hiap untuk memberitahu di mana saya dapat menemukan dia!" "Hemm, dahulu kepandaianmu jauh kalah olehnya. Bagaimana sekarang engkau akan melawannya? Engkau akan kalah lagi!" "Sekali ini saya tidak takut! Ada sumoi Siangkoan Bi Lian yang membantu saya dan ia lihai sekali." Kemudian Tang Gun mendapatkan pikiran yang baik sekali. "Dan juga ada tai-hiap di sini. Tai-hiap sudah menolong saya, mohon sekali ini suka pula membantu saya menghadapi Tang Bun An yang jahat itu." "Tang Gun, engkau memang manusia tolol!" Tiba-tiba orang berkedok hitam itu membentak. Tentu saja bekas perwira itu terkejut sekali dan terbelalak heran melihat nada suara yang marah itu. "Engkau memang layak dipukul!" "Eh..... maaf....... apa kesalahan saya yang membuat tai-hiap tiba-tiba menjadi marah kepada saya?" "Anak bodoh! Kalau tidak ada Tang Bun An, engkau sekarang tentu sudah mampus!" "Ehh? Apa artinya. ucapan tai-hiap itu? Dia telah menangkap saya, menyeret saya ke depan Sribaginda Kaisar sehingga saya di jatuhi hukuman berat......" "Bayangkan saja kalau bukan Tang Bun An yang menangkapmu! Kalau pasukan keamanan yang menangkapmu. Kaukira akan mampu menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu begitu saja? Kaukira akan mampu melawan kalau para jagoan istana mencarimu dan menemukanmu di kota Yu-sian? Dia sengaja menangkapmu justeru untuk menyelamatkan nyawamu!" Dari heran Tang Gun menjadi penasaran dan tidak percaya. "Tai-hiap, bagaimana tai-hiap dapat mengatakan bahwa dia bermaksud menyelamatkan saya? Saya telah dihukum berat, hukum buang dan sekiranya tidak ada tai-hiap yang menolong saya, tentu sekarang saya sudah mati." "Hemm, jadi engkau mengakui bahwa aku yang dahulu menyelamatkanmu, menolongmu dan membebaskanmu dari tangan para pengawalmu ke tempat pembuangan?" "Bukan hanya menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi juga tai-hiap telah memberi sekantung emas sehingga saya dapat hidup dengan pantas. Untuk budi itu, saya tidak akan melupakannya selama hidup." "Tidak usah berterima kasih kepada aku si kedok hitam. Berterima kasihlah kepada penyelamatmu yang sebenarnya, yaitu Tang Bun An!" , "Eh..... tapi maaf...... saya belum dapat menerimanya sebagai penyelamat saya, tai-hiap. Dia..... dia......" "Tang Gun! Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" "Percaya...... percaya....... akan tetapi......"   "Kaulihat, siapa aku!" Berkata demikian, si kedok hitam membuka kedoknya dan Tang Gun terbelalak, wajahnya berubah pucat dan sejenak dia tidak mampu bicara, hanya melongo memandang ke pada wajah yang tadi bersembunyi di balik kedok hitam. Wajah Tang Bun An! Akhirnya Tang Gun dapat menekan guncangan perasaannya dan dia berkata gugup, "Tapi.... tapi..... kenapa tai-hiap......" "Sebut aku Beng-cu! Aku adalah pangcu dari Ho-han-pang, juga bengcu dari dunia kang-ouw!" Suara Tang Bun An atau Han Lojin terdengar penuh wibawa. "Ahhh!" kembali Tang Gun terkejut dan memberi hormat. "Kiranya Beng-cu sendiri. Tapi.... apa artinya semua ini? Engkau menangkap saya, kemudian menyerahkan kepada kaisar untuk dihukum. Kemudian, Beng-cu pula yang menyelamatkan saya, membunuh pengawal yang membawa saya ke tempat pembuangan, bahkan memberi emas kepada saya. Apa artinya perbuatan beng-cu itu?" "Bukan lain untuk menyelamatkanmu, anak bodoh. Engkau sudah memperoleh kedudukan baik, akan tetapi engkau menyalahgunakan, hanya karena engkau tergila-gila kepada seorang selir! Huh, tolol! Boleh saja bermain-main dengan semua selir, akan tetapi tidak terikat seperti itu, tergila-gila dan membawanya lari dari istana. Kalau tidak aku yang mendahului para jagoan istana menangkapmu, kemudian membebaskanmu, apa kaukira sekarang engkau masih hidup?'. "Untuk itu, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih dan saya tidak akan melupakan budi kebaikan tai-hiap kepada saya. Akan tetapi, kalau boleh saya mengetahui, mengapa tai-hiap bersusah payah untuk melakukan semua itu kepada saya?" "Hemm, Tang Gun. Sebelum engkau ditangkap, di kota raja engkau selalu membual bahwa engkau adalah putera dari Ang-hong-cu. Benarkah itu?" "Memang benar, Beng-cu, akan tetapi itu bukan hanya kosong saja. Memang sebenarnya bahwa saya adalah putera kandung Ang-hong-cu yang terkenal itu." kata Tang Gun dengan nada suara bangga. "Hemm, siapa mau percaya akan hal itu? Apa buktinya bahwa engkau memang putera Ang-hong-cu?" "Inilah buktinya, Beng-cu." Tang Gun mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah perhiasan berbentuk seekor kumbang merah. "Saya menerima benda ini dari ibu saya, dan ibu saya yang menceritakan bahwa ayah kandung saya yang memberikan benda ini kepada ibu." "Katakan, siapa nama ibumu dan dari mana ia datang, di mana tempat tinggalnya ketika ia masih gadis." "Ibu bernama Teng Kim dan tinggal di dusun An-lok, akan tetapi sekarang ikut paman di kota Tai-goan setelah melarikan diri dari kota raja sesudah saya ditangkap." "Teng Kim..... Kim...... ? Begitu banyaknya wanita yang memakai nama Kim! Hemm, nanti dulu...... bukanlah di leher bawah telinga kanan ibumu terdapat sebuah tahi lalat? Ibumu tinggi semampai dan wataknya ramah gembira?" Tang Gun memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana.... Bengcu dapat mengetahui hal itu....? Benar sekali apa yang beng-cu katakan tadi!" "Tang Gun, begitu bodohkah engkau? Engkau sudah tahu bahwa aku telah menyelamatkanmu, dan engkau tentu tahu pula bahwa aku bernama Tang Bun An! Dan engkau masih tidak mengerti? Aku tahu segalanya tentang ibumu, dan benda yang kauperlihatkan tadi adalah milikku, pemberianku kepada ibumu." "Ah..... ohhh....... jadi..... jadi...... engkau ini ayahku? Ang-hong-cu?" Tang Gun masih terbelalak dan ketika Han Lojin tersenyum sambil mengangguk-angguk, dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. "Ayah.......!" Tang Gun berseru, gembira dan juga terharu bercampur bangga. "Bangkitlah dan duduk! Aku tidak suka melihat kecengengan, apa lagi kalau dilakukan oleh anakku! Nah, Tang Gun, engkau sudah tahu sekarang bahwa aku adalah Ang-hong-cu Tang Bun An. Akan tetapi, karena orang lain tidak tahu bahwa aku Ang-hong-cu, dan aku sekarang telah menjadi beng-cu dan juga pangcu dari Ho-han-pang, maka engkau tidak boleh menyebut ayah, harus menyebut Bengcu kepadaku. Mengerti?" "Baik ayah....... eh, Bengcu." "Hati-hati, jangan sampai keliru menyebutku, apa lagi di depan orang lain. Aku belum ingin dikenal sebagai Ang-hong-cu!" "Baik, bengcu. Dan setelah sekarang kita berhadapan, saya ingin mengajukan permohonan." , "Hemm, katakan, apa yang kaukehendaki?" "Saya ingin......... membantu Bengcu, ingin dekat bengcu, dan mendapatkan petunjuk bengcu." Han Lojin tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Tidak ada pembantu yang lebih setia dari pada anak sendiri. "Baik sekali, Tang Gun. Memang kami sedang membutuhkan banyak pembantu yang pandai. Engkau boleh ikut bersamaku. Akan tetapi sebelumnya, ketahuilah bahwa Ho-han-pang dipimpin oleh Han Lojin, yaitu namaku sebagai bengcu." Han Lojin mengambil topeng tipisnya dan dalam beberapa detik saja wajahnya sudah berubah menjadi seorang laki-laki setengah tua yang berkumis dan berjenggot rapi dan gagah. "Aku adalah Han Lojin, pangcu dari Ho-han-pang, juga Bengcu dari dunia kang-ouw. Mari engkau ikut denganku, kuperkenalkan kepada para pembantuku yang lain."   "Akan tetapi, Bengcu. Bagaimana dengan sumoi? Ia akan menanti-nanti dan tentu menjadi curiga kalau saya tidak segera kembali. Kami bersama pergi ketika kami hendak melakukan penyelidikan terhadap orang yang tadinya kuanggap musuh, yaitu perwira Tang Bun An. Bagaimana baiknya sekarang menghadapi sumoi?" "Siapakah sumoimu itu? Dari para penyelidik aku hanya mendengar bahwa engkau menyamar sebagai seorang tua muncul bersama seorang gadis cantik. Penyamaranmu terlalu kasar sehingga anak buahku mengetahuinya dan lapor kepadaku." "Sumoi adalah puteri dari suhu dan subo, bengcu." "Ia lihai dan tenaganya boleh diandalkan?" "Tentu saja, bengcu! Ia lebih lihai dari pada saya, jauh lebih lihai. Saya kira, agak sukar untuk menemukan orang yang akan mampu menandingi sumoi." Kata Tang Gun dengan nada suara bangga, namun sungguh-sungguh. "Hem, begitukah? Akan tetapi aku belum tahu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Nah, sambutlah!" Tiba-tiba saja Han Lojin menyerang Tang Gun. Pemuda ini tahu bahwa dirinya diuji, maka diapun cepat mengelak ke belakang dengan loncatan jungkir balik. Sementara menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian, pemuda ini memang memperoleh kemajuan yang pesat sekali dan dia jauh lebih lihai dibandingkan dahulu ketika masih menjadi perwira pengawal. Melihat gerakan yang lincah ini, Han Lojin menjadi gembira dan diapun menyerang terus dengan jurus-jurus ampuh. Tang Gun juga ingin memperlihatkan kehebatannya, maka begitu menghadapi serangan ayah kandungnya itu, diapun sudah memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun yang hebat! Kembali Han Lojin terkejut dan juga semakin gembira. Dia mendesak terus, mengerahkan tenaganya namun sampai lima puluh jurus puteranya itu mampu mempertahankan diri. Kalau dia mau, tentu dia dapat akhirnya merobohkan juga Tang Gun, akan tetapi dia tidak menghendaki itu. "Cukup!" serunya sambil melompat mundur. Tang Gun tadi sudah terdesak hebat, maka legalah hatinya melihat Han Lojin menghentikan serangannya. Han Lojin menilai kepandaian Tang Gun Su dah lumayan, biarpun belum sehebat ilmu kepandaian tiga orang pembantu utamanya, namun hanya sedikit selisihnya di bandingkan tingkat kepandaian Ji Sun Bi. "Dan kau bilang tadi kepandaian sumoimu lebih tinggi dari pada kepandaianmu?" "Jauh lebih tinggi, bengcu. Saya tdak akan mampu bertahan selama lima puluh jurus kalau ia menyerang saya." "Hemmm......... " Han Lojin tertarik sekali. "Siapa nama sumoimu itu?" "Namanya Siangkoan Bi Lian." "Siangkoan...... Bi Lian....... ah, rasanya nama itu tidak asing bagiku hemmm, tentu aku pernah bertemu dengannya, atau setidaknya pernah mendengar namanya. O ya, apakah ia pernah bersama-sama para pendekar membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo dan membantu pemerintah?" "Benar bengcu. Pernah sumoi bercerita bahwa ia pernah membantu pemerintah dengan para pendekar membasmi pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo." Han Lojin mengangguk-angguk. Dia masih belum ingat benar yang mana di antara para pendekar wanita itu yang dimaksudkan oleh Tang Gun. Akan tetapi, jelas bahwa gadis bernama Siangkoan Bi Lian itu tentu lihai sekali, berbahaya kalau menjadi lawan, namun amat menguntungkan kalau menjadi kawan atau pembantu. Dan seperti juga Cia Kui Hong, gadis itu tentu mengenalnya sebagai Han Lojin dan juga sebagai Ang-hong-cu. lni berbahaya! "Tang Gun, benarkah pernyataanmu tadi bahwa engkau hendak membantuku dengan setulus hatimu? Dengan penuh kesetiaan?" "Bengcu adalah penolong saya, bahkan bengcu adalah ayah kandung saya. Sudah tentu saja saya suka membantu dengan setia, kalau perlu dengan berkorban nyawa! Saya mau bersumpah...... " "Tak perlu bersumpah. Aku baru percaya kepadamu kalau ada bukti yang nyata, melalui perbuatan." "Saya selalu siap melaksanakan semua perintah bengcu!" "Nah, sekarang dengarkan baik-baik. Aku ingin agar bukan hanya engkau saja yang menjadi pembantuku, akan tetapi juga sumoimu yang amat lihai itu. Bagaimana pendapatmu?" "Itu baik sekali, bengcu, dan saya akan gembira bukan main kalau sampai sumoi suka pula membantumu. Akan tetapi, saya kira tidak akan mudah membujuknya, bengcu. Sumoi berwatak sukar didekati, keras dan galak, tidak mau tunduk, kepada siapapun juga....." "Hemm, sudah kuduga." "Bahkan dunia kang-ouw menjuluki ia Tiat-sim Sian-li (Bidadari Berhati Besi) saking keras sikapnya terhadap para penjahat. Saya akan mencoba untuk membujuknya, bengcu, akan tetapi saya khawatir ia akan menolak keras." "Hemm, orang seperti ia itu, kalau dapat ditarik menjadi kawan amat baiknya, akan tetapi kalau gagal dan ia menjadi lawan, akan membahayakan kita. Kalau ia menolak, kita harus menggunakan muslihat agar ia tunduk dan menyerah!" Tang Gun memandang kepada Han Lojin dengan mata terbelalak khawatir. "Bengcu.....! Harap jangan ganggu sumoi....."   Han Lojin mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah puteranya itu. "Hemmm.....? Engkau jatuh cinta kepada sumoimu itu rupanya?" Tang Gun mengangguk lesu. "Saya sudah tergila-gila kepadanya, bengcu." "Dan iapun cinta padamu?" "Saya tidak tahu, bengcu." "Kenapa tidak mengaku terus terang dan melihat bagaimana tanggapannya?" "Saya tidak berani. Ia galak dan keras, saya takut ia marah." "Hemm, kalau begitu bagus, Tang Gun. Engkau bujuk ia agar suka membantuku. Kita lihat saja, kalau ia menolak, kita tangkap gadis itu dan aku mempunyai akal agar ia menurut dan suka menjadi isterimu. Akan kunikahkan kalian di tempat kita." Tentu saja Tang Gun menjadi girang setengah mati mendengar janji itu. "Saya akan melakukan segala perintah bengcu dengan senang hati. Apa yang harus saya lakukan sekarang?" "Katakan kepada sumoimu bahwa aku, ketua Ho-han-pang, menanti kunjungan kalian di markas Ho-han-pang, dan akan kutunjukkan di mana adanya orang yang kalian cari. Usahakan agar ia jangan sampai curiga, dan kutunggu kunjungan kalian hari ini juga, siang atau sore hari ini di markas kami." Dia lalu membuat gambaran dan petunjuk di mana adanya markas Ho-han-pang yang berada di bukit luar kota. "Satu hal lagi," kata Han Lojin ketika mereka hendak berpisah dan meninggalkan kuil tua yang kosong. "Nama sumoimu itu Siangkoan Bi Lian. Ia bermarga Siangkoan, apa hubungannya dengan orang yang namanya Siangkoan Ci Kang?" "Itu nama suhu!" seru Tang Gun. "Ahhh.......?" Kini Han Lojin terbelalak, teringat akan musuh besar pembantunya, Sim Ki Liong, yang sedang dicari-cari. "Kiranya engkau kini menjadi murid Siangkoan Ci Kang? Dan sumoimu itu puteri Siangkoan Ci Kang?" "Bengcu mengenal suhu? Subo juga seorang yang amat lihai, tidak kalah lihainya dibandingkan suhu. Menurut keterangan sumoi, subo bernama Toan Hui Cu dan ia puteri tunggal mendiang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya pernah menggemparkan dunia persilatan." Kata pula Tang Gun dengan bangga walaupun dia merasa menyesal mengapa baru sekarang dia menjadi murid suhu dan subonya sehingga belum banyak ilmu yang di serapnya. Dan dia semakin bangga ketika melihat sikap bengcu itu seperti orang yang terkejut dan agak gentar. Memang bukan main kagetnya hati Han Lojin mendengar bahwa yang dimusuhi oleh Sim Ki Liong itu adalah seorang yang sakti, dan yang memiliki isteri yang sakti pula. Tentu saja dia pernah mendengar nama besar Raja dan Ratu Iblis! Akan tetapi dia harus dapat menyenangkan hati Sim Ki Liong yang merupakan pembantu paling lihai, akan tetapi dia harus meyakinkan hati Tang Gun ini agar tidak memihak guru-gurunya. "Aku tidak mengenal mereka secara pribadi, akan tetapi aku pernah mendengar nama besar mereka," jawabnya. "Tang Gun, sekarang engkau pergilah menjemput sumoimu dan ajak ia ke markas kita. Aku menunggu di sana." "Baik, bengcu." Tang Gun lalu meninggalkan kuil itu dengan hati girang bukan main. Tidak saja dia dapat menemukan ayah kandungnya, akan tetapi dia bahkan diterima sebagai pembantu ayahnya yang kini menjadi seorang pangcu (ketua perkumpulan), bahkan juga menjadi bengcu (pemimpin rakyat)! Dan ayahnya itu telah menjanjikan bahwa dia akan dapat memperisteri Siangkoan Bi Lian, dengan bantuan ayahnya! ** * "Han Lojin?" Siangkoan Bi Lian memandang kepada Tang Gun dengan mata terbelalak. "Kaukatakan tadi Han Lojin yang kautemui di sana?" Melihat sumoinya nampak terkejut mendengar disebutnya nama Han Lojin, Tang Gun bersikap hati-hati. "Sumoi, apakah engkau pernah mendengar nama Han Lojin? Dialah yang dahulu menyelamatkan aku, dialah pendekar yang memakai kedok hitam, yang telah membebaskan aku dari hukuman pengasingan dan memberi bekal uang kepadaku." Mendengar ini, Bi Lian menjadi semakin terkejut dan heran. "Aihh, kiranya dia? Kiranya Ang-hong-cu yang telah menolongmu……. " “Ang-hong-cu….?” Tang Gun berseru kaget, bukan pura-pura karena dia memang terkejut bukan majn mendengar sumoinya telah mengetahuj bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu! “Sumoi, Han Lojin ini adalah seorang pang-cu yang terhormat dari Ho-han-pang! Bahkan dia diakui sebagai seorang Beng-cu.” Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia mengenang kembali pengalamannya ketika ia bersama Pek Han Siong, Hay Hay dan para pendekar lain membantu pemerintah untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Pada waktu itu, muncul Han Lojin yang juga berjasa membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak itu. Kemudian ternyata bahwa Han Lojin adalah ayah kandung Hay Hay, bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu, kumbang merah jahat penghisap kembang itu, jai-hoa-cat (penjahat cabul pemetik bunga) yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Kalau kini Han Lojin muncul sebagai ketua rerkumpulan para hohan (patriot), hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi, bagaimanapun dalam pandangannya, Ang-hong-cu adalah seorang penjahat cabul yang tidak pantas dibiarkan hidup! Apa lagi penjahat cabul itu telah memperkosa atau menodai kehormatan Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, suhengnya dan bekas tunangannya. Semua pendekar yang ketika itu membantu penumpasan pemberontak, menganggap Ang-hong-cu jahat walaupun berjiwa patriot, dan mereka semua tentu saja menentang dan memusuhinya. Apa lagi ia sendiri yang sepatutnya membalaskan penghinaan yang dilakukan penjahat itu atas diri Pek Eng adik Pek Han Siong, dan Cia Ling.   "Hemmm, begitukah, suheng? Lalu, mengapa pula sekarang suheng hendak mengajak aku menemuinya?" "Sumoi, dia mengundangku ke markas Ho-han-pang dan dia berjanji akan memberi tahu kepadaku di mana adanya Tang Bun An yang kucari itu." "Lalu, mengapa aku harus ikut serta denganmu?" "Mengapa tidak, sumoi? Bukankah engkau pergi bersamaku untuk membantuku? Selain aku ingin memperkenalkan engkau dengan penolongku itu, juga aku mengharapkan bantuanmu kalau-kalau aku bertemu dengan musuhku dan berkelahi dengan dia." "Baiklah, suheng. Akan tetapi kalau kemudian ternyata olehku bahwa penolongmu itu adalah Ang-hong-cu yang jahat, jangan salahkan aku kalau aku menentangnya, dan berusaha untuk membunuhnya. Penjahat keji itu harus dibasmi, kalau tidak, akan berjatuhan lagi korban di antara para wanita muda yang dipermainkannya!" Tang Gun bergidik mendengar ancaman yang9 terkandung di dalam ucapan itu dan dia merasa tegang. Akan tetapi bagaimanapun juga dia harus mentaati Han Lojin, bukan saja karena telah menjadi pembantunya, akan tetapi terutama sekali karena Han Lojin adalah ayahnya. Mereka lalu berangkat menuju ke bukit di luar pintu gerbang kota, di rnana markas Ho-han-pang berdiri. Diam-diam Bii Lian yang tetap mencurigai Han Lojin, telah mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya atau untuk turun tangan membunuh jai-hoa-cat yang dibencinya itu. Bukan saja karena Han Lojin telah menodai Pek Eng dan Cia Ling, dua orang gadis pendekar yang dikagumi dan disukanya, akan tetapi juga karena Han Lojin telah membuat Hay Hay terkena fitnah dan orang-orang, juga ia sendiri dahulu, menuduh Hay Hay yang melakukan scmua perkosaan atau perbuatanbusuk itu, karena Han Lojin memberi kesan ke arah itu. Jai-hoa-cat itu melakukan perbuatan terkutuk, dan menjerumuskan Hay Hay yang menjadi sasaran pula dari kemarahan para pendekar karena dia disangka menjadi pelakunya. Sementara itu, Han Lojin juga sudah membuat persiapan. Dia mengumpulkan tiga orang pembantu utamanya, yaitu Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi. Cun Sek tidak mengenal Siangkoan Bi Lian, akan tetapi Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi terkejut sekali ketika mendengar keterangan Han Lojin bahwa gadis perkasa itu akan datang berkunjung. Terutama sekali Sim Ki Liong. Mendengar bahwa gadis itu, yang pernah menjadi musuhnya dalam pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo di mana dia menjadi pembantu utama, kini akan muncul di depannya, tentu saja dia merasa tegang bukan main. Apa lagi ketika Han Lojin mengatakan bahwa gadis perkasa itu adalah puteri musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang! Kalau dia belum sempat membalas sakit hati orang tuanya kepada Siangkoan Ci Kang, biarlah dia akan lebih dulu membalasnya lewat puteri musuh besarnya itu. Agaknya Han Lojin dapat menduga isi hati pembantunya, maka diapun berkata dengan suara berwibawa. "Siangkoan Bi Lian akan datang dibawa suhengnya yang bernama Tang Gun. Mereka itu akan kutarik sebagai pembantuku. Tang Gun sudah menyatakan suka menjadi pembantuku dan bekerja sama dengan kalian, akan tetapi, kita harus dapat membujuk dulu SiangkoanBi Lian agar suka pula membantu kita. Kalau ia tidak mau membantu, terpaksa harus menggunakan kekerasan……" "Jangan khawatir, bengcu! Saya yang akan memaksanya!" kata Sim Ki Liong sambil mengepal tinju dan dengan hati panas karena dendam. "Ki Liong, aku tidak menghendaki engkau mengganggu gadis itu! Kalau ia mau membantuku, sukurlah. Andaikata tidak, aku akan menangkapnya dan kalian hanya membantuku. Aku tidak ingin mengganggu atau membunuh, melainkan hendak menundukkannya agar ia suka membantuku, sepertihalnya dua orang gadis yang kini telah menjadi tawanan kita. Kita lihat saja bagaimana sikapnya nanti. Kalau ia berkeras tidak mau membantu bahkan mengambil sikap bermusuhan, kita harus menggunakan akal." Han Lojin lalu mengatur siasat dan para pembantunya tentu saja tidak berani membantah. Bahkan Sim Ki Liong hanya mengangguk setuju, walaupun hatinya masih dibakar dendam. Gadis itu puteri musuh besarnya, bahkan gadis itu pernah pula membantu pemerintah membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo di mana dia mengambil bagian sehingga berarti menggagalkan cita-citanya pula. Dan kini Han Lojin hendak menarik gadis itu sebagai pembantu, bekerja sama dengan dia. Demikian, ketika Tang Gun dan Bi Lian tiba di pintu gerbang markas perkumpulan Ho-han-pang, keadaannya nampak tenang saja. Para anggauta Ho-han-pang yang bertugas jaga telah diatur sebelumnya sehingga mereka itu menyambut kedatangan pemuda dan gadis itu dengan sikap ramah dan hormat. "Kami ingin bertemu dengan Ho-han Pang-cu." Kata Tang Gun kepada beberapa orang pria muda yang berjaga di pintu gerbang masuk. Mereka itu nampak gagah dan tampan. "Apakah ji-wi (anda berdua) itu saudara Tan Hok Seng dan nona Siangkoan Bi Lian?" tanya kepala jaga. "Benar," kata Tang Gun. "Ah, selamat datang di Ho-han-pang. Pang-cu memang sudah memesan kepada kami bahwa ji-wi akan datang berkunjung. Mari, silakan masuk dan saya antarkan ji-wi ke ruang tamu." Mereka berdua mengikuti pemuda tinggi besar itu dan diam-diam Bi Lian siap siaga. Bagaimanapun juga, kalau benar ketua Ho-han-pang ini adalah Han Lojin alias Ang-hong-cu, ia tetap curiga dan harus berhati-hati. Ia tidak mungkin dapat percaya begitu iaja terhadap seorang seperti Ang-hong-cu! Mereka dibawa masuk ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan tamu ini besar dan hanya terisi belasan buah bangku yang dikelilingi sebuah meja bundar yang besar. Selebihnya kosong sehingga leluasa berlatih silat, bahkan untuk bertanding sekalipun. Dengan hati-hati Bi Lian memasuki ruangan itu dan kepala jaga mempersilakan mereka duduk dan menunggu.   "Harap ji-wi menunggu sebentar. Pangcu tentu akan datang menyambut ji-wi di sini karena kedatangan ji-wi sudah dilaporkan." Kepala penjaga itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Bi Lian mempelajari ruangan itu dengan pandang matanya. Selain pintu besar di depan, terdapat pula dua buah pintu di belakang dan di kiri yang entah menembus ke mana. Jadi, kalau pihak tuan rumah menghendaki, ia sudah terkepung di ruangan itu. Namun ia bersikap tenang dan sama sekali tidak merasa gentar. Juga ia melihat betapa suhengnya berusaha untuk bersikap tenang, namun dari pandahg mata suhengrlya ia tahu bahwa suhenghya itu merasa gelisah dan matanya tak tenang memandang ke sana-sini. Daun pintu di sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia lebih dari setengah abad, namun masih nampak ganteng dan gagah, dengan pakaian yang rapi, kumis jenggot terpelihara baik dan penampilan yang memikat. Dia tersenyum dan pandang matanya bersinar tajam. Begitu melihat pria ini, Bi Lian langsung bangkit berdiri dan menatap tajam. Ia tidak salah lihat. Itulah Han Lojin yang dahulu pernah dilihatnya. Itulah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah! "Kau…… Ang-hong-cu…….!!” Bi Lian berkata dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. Diam-diam Han Lojin bergidik. Gadis ini berbahaya sekali, mirip Cia Kui Hong. Kalau menjadi lawan, akan mengancam keselamatannya. Akan tetapi dia tersenyum dan membungkuk dengan sikap hormat. "Aih, kiranya sumoi dari Tan Hok Seng adalah nona Siangkoan Bi Lian yang gagah perkasa! Pernah kita saling bertemu dan bekerja sama membantu pemerintah ketika membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo! Selamat datang di Ho-han-pang, nona! Kami akan merasa terhormat dan gembira sekali kalau kita dapat bekerja sama lagi dalam membantu pemerintah di segala bidang." Akan tetapi, dengan senyum sindir Bi Lian menggerakkan tangan kanannya dan nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan itu telah memegang sebatang pedang yang bercahaya. Itulah Kwan-im-kiam, pedang pusaka ampuh pemberian orang tuanya. Dengan pedang melintang depan dada, Bi Lian menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Lojin dan suaranya terdengar lantang. "Ang-hong-cu, tidak perlu banyak cakap lagi dan keluarkan senjatamu! Aku harus membunuhmu demi membalaskan kekejian yang kaulakukan terhadap Pek Eng, Cia Ling dan banyak wanita lain, juga demi menjaga keselamatan wanita-wanita lain. Keluarkan senjatamu dan mari kita mengadu nyawa!" "Aih, nona Siangkoan! Kami mengundang kalian berdua ke sini untuk membantu kalian menemukan orang yang kalian cari, bukan untuk bermusuhan………!" kata Han Lojin sambil memandang kepada Tang Gun. Pemuda itu menjadi bingung melihat sikap sumoinya dan diapun cepat melangkah ke depan sumoinya. "Eh, sumoi, kenapa begini? Bengcu ini adalah penyelamatku, juga dia akan menunjukkan dimana adanya orang yang kucari-cari….” "Suheng, dia inilah Ang-hong-cu, orang yang amat jahat dan kejam. Aku harus membunuhnya, demi keselamatan dan keamanan para wanita lemah yang tidak berdosa!" Gadis itu dengan sikap yang galak sudah melangkah maju hendak menyerang Han Lojin. Melihat ini, Tang Gun cepat meloncat ke depan gadis itu, menghalanginya. "Sumoi, kuminta, jangan engkau menyerangnya dulu. Biarkan dia menunjukkan dulu di mana aku dapat bertemu dengan musuhku, setelah itu baru, engkau boleh berurusan dengan dia. Kalau engkau menyerangnya, tentu dia tidak mau membantuku menunjukkan tempat di mana Tang Bun An bersembunyi!” Bi Lian mengerutkan alisnya, matanya mencorong menatap wajah Han Lojin yang masih tersenyum-senyum dengan tenangnya. Ia tahu bahwa kalau ia berkeras menyerang Han Lojin, tentu saja Ang-hong-cu itu tidak akan sempat memberi tahu lagi di mana adanya musuh besar Tang Gun. Maka, ia menahan diri dan mengangguk. "Baiklah, akan tetapi aku tidak akan melepaskan dia, aku harus mengikuti ke mana dia membawamu pergi!" "Ha-ha-ha, nona Siangkoan Bi Lian yang gagah dan cantik jelita. Jangan khawatir, nona. Aku tidak akan melarikan diri dan setiap saat aku siap untuk melayanimu. Sekarang, karena sudah ber-janji dengan bekas perwira ini, aku akan melayaninya lebih dulu, untuk menunjukkan tempat di mana dia dapat menemukan sahabat lamanya, ha-ha!" "Tak perlu banyak cakap lagi. Tunjukkan tempat orang itu kepada suheng, kemudian kita bertanding sampai engkau mampus di ujung pedangku untuk pergi menghadapi hukumanmu di neraka!" bentak Bi Lian. "Beng-cu, marilah! Kautunjukkanlah dimana adanya Tang Bun An!" "Mari kalian ikuti aku!" kata Han Lojin sambil tersenyum dan diapun tidak menoleh lagi, melangkah memasuki pintu belakang. Bi Lian yang khawatir kalau Ang-hong-cu yang dibencinya itu melarikan diri, juga untuk melindungi suhengnya agar jangan terjebak oleh jai-hwa-cat yang kini menjadi ketua Ho-han-pang itu, mendahului Tang Gun dan melangkah dengan cepat di belakang Han Lojin. Tang Gun berjalan di belakangnya sehingga ia tidak tahu betapa pemuda itu nampak tegang sekali. Memang hati Tang Gun gelisah memikirkan sumoinya ini! Dia telah jatuh cinta kepada sumoinya yang cantik manis dan gagah perkasa ini dan setelah kini jelas bahwa sumoinya tidak saja enggan membantu Han Lojin bahkan memaksanya untuk mengadu nyawa, dia merasa khawatir karena dia tahu bahwa ayahnya itu, Han Lojin, kini hendak menggunakan siasat untuk menjebak Bi Lian. Dan dia tahu pula bagaimana perangkap itu dipasang dan apa yang harus dilakukannya. Dia sayang kepada Bi Lian, akan tetapi juga taat kepada ayahnya. Akan tetapi karena dia sudah mendapat ketegasan dari ayahnya bahwa sumoinya hanya akan ditawan dan tidak akan diganggu atau dibunuh, kemudian bahkan akan dipergunakan siasat agar sumoinya suka menyerahkan diri kepadanya dan dengan suka rela menjadi isterinya, hatinyapun lega dan dia hanya mentaati saja perintah ayahnya yang kini menjadi atasannya. Dia tahu pula bahwa kini para pembantu ayahnya tentu sudah berjaga-jaga dan mengepung tempat itu sehingga betapapun lihainya semuanya, ia tidak akan mampu lolos dari tempat ini.   Biarpun hatinya penuh dengan kecurigaan, namun Bi Lian tidak merasa gentar ketika tuan rumah memasuki sebuah lorong yang menuju ke bawah, menuju ke ruangan bawah tanah! Ia hanya menoleh ke arah suhengnya sebentar. "Hati-hati, suheng." bisiknya dan Tang Gun mengangguk. Engkaulah yang harus berhati-hati, sumoi, katanya di dalam hati. Lorong bawah tanah itu membawa mereka di depan sebuah kamar berpintu besar. "Nah, di dalam kamar ini kalian dapat menemukan orang yang kalian cari. Bukalah pintunya dan masuklah." Kata Han Lojin.   Tang Gun melewati sumoinya, hendak membuka pintu itu, akan tetapi Bi Lian sudah menangkap lengannya. "Suheng, jangan! Waspada terhadap perangkap orang jahat!" Karena lengannya dipegang, Tang Gun tidak jadi membuka daun pintu dan menoleh kepada Han Lojin yang tertawa. "Ha-ha-ha, nona Siangkoan Bi Lian yang gagah perkasa itu ternyata penakut. Nona, apakah engkau tidak berani membuka pintu itu? Apakah harus aku yang membukakannya untuk kalian?" Bi Lian tersenyum mengejek. "Ang-hong-cu, aku sama sekali tidak takut kepadamu, hanya tidak-percaya dan curiga kepadamu. Bukan takut melainkan hati-hati terhadap kecuranganmu! Bukalah pintunya dan biarkan kami melihat dulu siapa yang berada di dalam kamar ini." Han Lojin tertawa, diam-diam kagum kepada gadis perkasa itu. Seorang gadis yang gagah berani dan cerdik, seperti juga Cia Kui Hong maka akan menguntungkan sekali kalau gadis ini mau menjadi pembantunya. Dia sudah mengatur siasat sebelumnya dan merasa girang bahwa hal ini dia lakukan karena kalau tidak, akan berbahaya menghadapi amukan gadis seperti ini. Sebelum dia membawa Bi Lian ke depan kamar tahanan bawah tanah dia telah membuat dua orang tawanan di kamar itu, Mayang dan Cia Kui Hong, roboh pingsan oleh asap pembius. "Ha-ha-ha, Siangkoan Bi Lian, akan kubuka pintunya. Kaulihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar ini!" katanya sambil maju menghampiri pintu kamar. Bi Lian menggerakkan tangan dan mencabut lagi pedang pusaka Kwan-im-kiam yang tadi telah ia simpan di sarung pedangnya. Daun pintu terbuka dan Bi Lian melangkah ke ambang pintu, memandang ke dalam, Tang Gun berada pula di belakangnya dekat sekali dan ikut menjenguk ke dalam. Kamar itu cukup luas akan tetapi tidak ada meja atau kursi di situ. Hanya ada kasur tebal di atas lantai dan sebuah kamar kecil di sudut. Dan di atas kasur itu nampak dua orang wanita rebah terlentang seperti dalam keadaan tidur. Bi Lian memandang penuh perhatian, demikian pula Tang Gun yang sama sekali tidak mengenal dua orang gadis itu. Dua orang gadis yang keduanya cantik jelita. Dia hanya tahu bahwa ayahnya akan menggunakan tipu muslihat dan perangkap untuk menangkap dan menundukkan sumoinya, akan tetapi dia tidak tahu dengan cara bagaimana. Tiba-tiba Han Lojin mendorong punggung Tang Gun. pemuda ini mengerti dan diapun menabrak. sumoinya yang berada di depannya dari belakang sambil berteriak, "Celaka, sumoi......!" Ketika merasa betapa suhengnya terdorong dari belakang dan kedua tangan suhengnya itupun mendorong punggungnya, Bi Lian terkejut. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang diserang bukan ia melainkan suhengnya yang berada di belakangnya. Dan iapun agak lengah karena kagetnya ketika mengenal seorang di antara dua orang wanita yang rebah telentang di dalam kamar itu. Ia mengenal Cia Kui Hong! Dan pada saat ia terkejut itu, Tang Gun yang berada di belakangnya terdorong ke depan dan pemuda itupun mendorongnya. Tidak ada jalan lain baginya kecuali cepat mendoyongkan tubuh ke kiri sambil meloncat ke dalam kamar, lalu membalik. Ia melihat suhengnya terdorong ke depan dan terhuyung, dan yang mendorong suhengnya itu bukan lain adalah Ang-hong-cu! "Keparat!" Serunya, akan tetapi terlambat karena ketika ia meloncat tadi, daun pintunya segera ditutup dari luar oleh Han Lojin. Ia melompat ke pintu untuk mencegah, namun pintu itu terbuat dari besi dan sudah tertutup. Dicobanya untuk mendorong daun pintu, namun sia-sia belaka. "Sumoi, mari kita buka pintu itu!" Tang Gun juga meloncat dan membantu sumoinya. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, namun pintu itu terlampau kuat! "Ha-ha-ha-ha!" Han Lojin tertawa bergelak dari luar pintu. Suaranya masuk melalui lubang kecil yang biasanya dipergunakan penjaga untuk memasukkan makanan dan minuman untuk tawanan yang berada di dalam kamar itu. "Tan Hok Seng dan Siangkoan Bi Lian, sekarang kalian tinggal pilih. Menyerah dan suka menjadi pembantu kami, bersama-sama bekerja dalam Ho-han-pang untuk menguasai dunia kang-ouw, ataukah kalian akan kami bunuh perlahan-lahan sebagai tawanan kami!" Mendengar ini, T ang Gun mengerti bahwa dia sengaja dipergunakan oleh ayahnya untuk menjebak sumoinya. Dengan begini, sumoinya tidak akan menyangka buruk terhadap dirinya, karena bukankah dia sendiripun ikut pula terjebak dan tertawan? "Beng-cu, kami tidak mempunyai permusuhan denganmu. Bukankah Beng-cu dahulupun sudah menolongku? Kenapa kami ditawan? Kalau kami tidak disuruh melakukan kejahatan, tentu saja kami mau membantumu dan……" "Suheng…….!" Bi Lian membentak suhengnya yang terdiam. Gadis itu lalu menghadapi lubang di pintu dan suaranya lantang ketika ia menjawab, "Ang-hong-cu! Biarpun gerombolanmu memakai nama Ho-han-pang (Perkumpulan Orang Gagah), siapa percaya? Aku tidak sudi membantumu dan tentang ancamanmu, aku tidak takut mati! Kalau engkau gagah dan bukan seorang pengecut yang curang, mari kita bertanding satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus di ujung pedang!" Akan tetapi Han Lojin hanya menjawab dengan suara ketawanya yang riang. Agaknya dia girang sekali melihat betapa dengan mudahnya dia telah berhasil menjebak gadis yang berbahaya itu. Gembira dia membayangkan betapa gadis yang keras dan liar itu akhirnya akan menjadi lunak dan tunduk kepadanya, menyerahkan segalanya dengan suka rela. Dia merasa muda kembali membayangkan betapa dua orang gadis pendekar yang berilmu tinggi, dalam waktu dekat akan berada di dalam pelukannya. Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian, merekalah yang akan menjadi wanita talukannya terakhir, yang akan mendatangkan perasaan bangga di hatinya di samping kepuasannya merusak kehidupan dua orang wanita, wanita pendekar pula!   Suara ketawa itu makin menjauh dan juga langkah kaki Han Lojin terdengar meninggalkan lorong bawah tanah itu. Setelah langkah kaki itu tidak terdengar lagi, Bi Lian cepat menghampiri Kui Hong yang menggeletak seperti orang tidur itu. "Cia Kui Hong……!" ia berseru heran dan memeriksa. Hatinya lega karena Kui Hong tidak terluka dan pingsan saja. Ia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah dibandingkan dirinya sendiri, namun ternyata menjadi tawanan pula di sini. Ia dapat menduga bahwa Kui Hong terjebak pula, seperti ia dan suhengnya. Ia memeriksa gadis ke dua yang juga rebah telentang dan keadaannya sama dengan Kui Hong. Tidak terluka, dan pingsan. Ia tidak mengenal gadis itu, yang melihat wajahnya seperti peranakan asing. Ketika ia menengok, ia melihat suhengnya sedang memeriksa keadaan kamar tawanan itu, seolah mencari jalan keluar. Iapun bangki t berdiri. "Bagaimana, suheng? Apakah ada bagian lemah yang memungkinkan kita keluar?" Tang Gun menarik wajah duka dan khawatir, menggelengkan kepalanya, kemudian berbalik dia bertanya, "Siapakah gadis-gadis itu, sumoi? Agaknya engkau telah mengenal mereka." "Yang peranakan asing ini aku tidak kenal, akan tetapi gadis ke dua ini tentu saja aku mengenalnya dengan baik. Ia seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, pendekar kenamaan dari Cin-ling-pai. Sungguh mengherankan sekali bagaimana seorang gadis yang lihai seperti ia dapat menjadi tawanan di sini." "Sumoi, hal itu membuktikan betapa lihainya Beng-cu, ketua Ho-han-pang itu. Apakah tidak lebih baik kalau kita membantu perkumpulan orang gagah itu dari pada menentangnya dan membiarkan diri kita terancam bahaya?" "Suheng! Engkau tidak tahu betapa jahat dan kejinya Ang-hong-cu! Kalau engkau tahu, tentu tidak akan berpendapat seperti itu! Kita harus menentang iblis busuk itu. Sampai mati aku tidak sudi membantu iblis seperti dia!" Tan Gun menundukkan mukanya yang nampak sedih. Ini bukan dibuat-buat, karena memang dia merasa sedih sekali melihat betapa sumoinya amat membenci Han Lojin, ayah kandungnya! Dia merasa sayang kepada Siangkoan Bi Lian dan mengharapkan dapat menjadi suami gadis perkasa yang cantik jelita itu, akan tetapi gadis itu demikian membenci ayahnya. Kalau sumoinya itu mengetahui bahwa dia bukan Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun putera Ang-hong-cu, tentu sumoinya itu akan membencinya pula. “Akan tetapi………. Dia…… eh, dia pernah menyelamatkan aku, dan sikapnya kepadaku demikian baik……." Bi Lian memandang suhengnya dan iapun mengerti. Ang-hong-cu menjebak karena ia memusuhi jai-hwa-cat itu, dan karena ia dan Ang-hong-cu bermusuhan, kini suhengnya itu terbawa-bawa dan menjadi tawanan pula. "Tan-suheng, aku menyesal sekali bahwa engkau ikut pula tertawan. Akan tetapi, jangan khawatir, suheng. Kita masih hidup dan kita berdua akan mampu membela diri. Bahkan kalau kita dapat bebas dari sini, aku tidak akan terjebak lagi dan akan kubasmi Ang-hong-cu dan sarangnya. Betapapun muluk nama yang dia pakai untuk perkumpulannya, pasti di dalamnya busuk! Dan di sini masih ada Cia Kui Hong. Ia amat lihai, bahkan mungkin lebih lihai dari pada aku, maka kita bertiga pasti akan dapat membasmi Ang-hong-cu dan anak buahnya. Siapa tahu, mungkin gadis peranakan asing inipun memiliki kepandaian. Biar kucoba sadarkan Kui Hong." Bi Lian berjongkok dekat Kui Hong yang masih pingsan, sedangkan Tang Gun hanya berdiri memandang saja. Tiba-tiba dia melihat asap putih memasuki kamar itu dari lubang kecil dari mana biasanya penjaga memasukkan makanan dan minuman. "Sumoi awas…….!!!” teriaknya. Bi Lian cepat meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Iapun melihat asap itu dan sekali bergerak, tubuhnya sudah mendekati lubang itu dan sekali tangannya bergerak, sinar hitam lembut menyambar keluar dari lubang. Terdengar teriakan kesakitan di luar dan asap berhenti berhembus masuk. Mudah diduga bahwa jarum-jarum halus yang dilepas oleh Bi Lian tadi mengenai sasaran dan orang yang melepas asap itu tentu menjadi korban jarum beracun! Ilmu ini dipelajarinya dari kedua orang gurunya yang pertama, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Tang Gun terbatuk-batuk. Dia telah terkena pengaruh asap putih tadi. Tersedot olehnya asap tadi yang membuatnya terbatuk-batuk dan pusing. Akan tetapi Bi Lian bersikap lebih berhati-hati. Ketika tadi ia menyerang, ia menahan napas sehingga asap itu tidak sampai tersedot dan kini ia meloncat ke belakang menjauhi lubang. Akan tetapi, terdengar suara mendesis dan ketika ia memandang ke kanan kiri dan atas ia terkejut sekali. Asap putih menyerbu kamar itu dari mana-mana, dari lubang-lubang tersembunyi, bahkan dari atas! Bi Lian menyambar selimut yang berada di atas kasur dan menggunakan selimut itu untuk diputar-putar mengusir asap yang mendekatinya. Akan tetapi karena lubang-lubang di kamar tahanan itu tidak terlalu banyak sedangkan asap yang masuk banyak sekali, maka asap yang diusir dengan putaran selimut itu hanya berpusing di dalam kamar itu saja dan akhirnya membalik lagi ke arah Bi Lian. Gadis itu menahan napas dan terus melawan sekuat tenaga. Ia melihat betapa suhengnya sudah terhuyung kemudian terkulai pingsan. Ia masih terus melawan sampai akhirnya iapun harus bernapas dan tersedotlah asap ke dalam paru-parunya. Ia mencium bau yang keras dan wangi, yang membuatnya terbatuk-batuk dan iapun terkulai lemas, pingsan. ** * Kalau saja Hay Hay langsung berkunjung ke Ho-han-pang, tentu dia akan dapat bertemu dengan Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau langsung berkunjung. Mayang sudah ditawan orang-orang Ho-han-pang. Kalau dia datang berkunjung, sama saja artinya dengan menyerahkan diri karena mereka tentu akan mempergunakan Mayang sebagai sandera untuk membuat dia tidak berdaya dan dia tahu bahwa kalau mereka mengancam Mayang, tentu dia tidak berani menggunakan kekerasan. Tidak, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan pihak lawan yang licik dan curang. Dia tidak boleh datang berkunjung begitu saja. Dia harus lebih dulu melakukan penyelidikan dan kalau mungkin, lebih dulu membebaskan Mayang sebelum bertindak lebih lanjut. Dia masih menduga-duga mengapa perkumpulan yang namanya begitu gagah, Ho-han-pang, perkumpulan orang-orang gagah, memusuhinya bahkan menawan Mayang. Dan cara yang mereka pergunakan itu jauh dari pada pantas dilakukan oleh para ho-han (patriot gagah)!   Setelah mempergunakan kepandaiannya yang tinggi, menyusup mengelilingi dinding tembok yang mengepung perkampungan yang menjadi sarang Ho-han-pang, Hay Hay mendapat kenyataan bahwa penjagaan dilakukan ketat sekali oleh para anak buah Ho-han-pang yang rata-rata nampak muda dan gagah itu. Terutama di dua buah pintu gerbangnya, disitu terjaga oleh lebih dari dua puluh orang! Dan di sepanjang dinding yang tinggi sekitar dua meter itu selalu terdapat peronda sehingga akan sukarlah bagi orang luar untuk memasuki tempat itu tanpa diketahui para peronda dan penjaga. Dengan ginkangnya yang tinggi, tentu tidak sukar bagi Hay Hay untuk meloncat dan menyelinap masuk ke balik dinding tembok. Akan tetapi dia, ingin yakin agar dapat masuk tanpa diketahui orang. Kalau sampai ada yang melihatnya, akan berbahayalah, bukan lagi diri sendiri melainkan bagi Mayang! Tentu mereka itu akan mengancam untuk mencelakai Mayang kalau sampai diketahui dia me- masuki sarang perkumpulan itu. Dia ingin masuk tanpa diketahui, agar mendapat kesempatan untuk membebaskan Mayang terlebih dahulu sebelum bentrok secara terbuka dengan mereka. Diapun tidak tahu mengapa Ho-han-pang memusuhinya. Hay Hay teringat akan nasihat kakek yang dijumpainya bersama Mayang di dusun sebelah luar kota raja. Kakek itu menasihati bahwa perjalanan tidak aman, bukan karena gangguan perampok, melainkan karena adanya orang-orang gagah dari Ho-han-pang yang suka merayu dan menggoda gadis-gadis cantik untuk dijadikan isteri mereka! Dia semakin tertarik dan ingin sekali mengetahui, perkumpulan apa gerangan yang bernama Ho-han-pang itu. Kalau melihat namanya, sepatutnya sebuah perkumpulan yang baik, bukan perkumpulan orang jahat. Tapi mengapa kini memusuhinya dan mengg,unakan siasat busuk untuk menawan Mayang? Baik adalah suatu keadaan batin, suatu mutu batin yang wajar, tidak dibuat-buat, seperti keadaan pohon mawar yang mengeluarkan bunga mawar yang indah dan harum, tanpa disengaja. Perbuatan yang nampaknya baik belum tentu baik mutunya, karena perbuatan itu dapat saja palsu, nampaknya saja baik namun itu hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu. Yang berpamrih selalu palsu. Batin yang bersih dari pada cengkeraman nafsu daya rendah, akan membuahkan perbuatan yang baik, wajar, bahkan tidak diketahui sebagai baik oleh pelakunya sendiri. Oleh karena itu, kebaikan tidak mungkin dapat dilatih atau dipelajari, karena kalau demikian, maka kebaikan yang dilakukan dengan sengaja itu hanya perbuatan munafik belaka, sengaja dilakukan agar mendatangkan sesuatu yang diinginkan oleh si pelaku. Kebaikan adalah bebas dari perhitungan pikiran. Kebaikan adalah sesuatu yang dilandasi cinta kasih. Seorang ibu yang menyusui anaknya tidak akan merasa bahwa ia melakukan suatu kebaikan wajar dan tidak disengaja, dasarnya cinta kasih. Dan cinta kasih hanya menyinari batin yang bebas dari pengaruh pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah! Matahari sudah condong ke barat. Hay Hay cepat menyelinap ke balik sebatang pohon ketika melihat ada dua orang peronda berjalan menuju ke tempat itu sambil bercakap-cakap. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kenapa- pang-cu menyuruh kita berjaga dengan ketat dan waspada? Bukankah semua pengacau telah tertawan? Dan kalau yang datang itu hanya gadis-gadis cantik, untuk apa kita takut?" "Wah, engkau tidak tahu! Tiga orang gadis cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sepuluh orang dari kita belum tentu akan mampu mengalahkan mereka!" "Hemm, kalau begitu, tentu pangcu akan berpesta pora karena kemenangannya. Apakah ketiga-tiganya akan dimiliki dan dinikmati pangcu sendiri?" "Hushhh, jangan mencari penyakit!" bisik kawannya. "Apapun yang akan dilakukan pangcu dan para pembantu utamanya, bukan urusan kita, itu urusan tingkat tinggi!" Keduanya berjalan melewati pohon di mana Hay Hay bersembunyi dan tiba-tiba Hay Hay keluar dari balik pohon dan sejak tadi dia memang telah mengerahkan kekuatan sihirnya. "Ssttt……. !" Dua orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh mereka. Mereka memandang terbelalak dan nampak bingung. Hay Hay tadi sudah mengintai ke arah gardu di depan pintu gerbang di mana berkumpul para anak buah Ho-han-pang dan melihat seorang diantara mereka yang agaknya menjadi pimpinan dan disebut Ciong-toako. "Hemm, kenapa kalian bengong? Apakah tidak mengenal lagi pemimpinmu, aku orang she Ciong ini?" "Ahh, Ciong-to~ko!" kata yang tinggi kurus. "Ciong-toako mengejutkan kami saja!" kata orang ke dua yang perutnya agak gendut. "Kalau meronda baik-baik, jangan melamun," kata Hay Hay yang telah berhasil membuat dua orang itu melihat dia sebagai "Ciong-toako". "Kalian tahu bukan? Bahwa pang-cu kita telah menawan tiga orang gadis yang lihai sekali?" Tentu saja ucapan ini dikeluarkan sesuai dengan apa yang baru saja didengarnya dari percakapan mereka. Dua orang itu mengangguk-angguk. "Kalian tahu di mana tiga orang tawanan kita itu dikurung, bukan?" "Tahu, toako. Di kamar tahanan bawah tanah………" "Bagus! Akan tetapi tutup mulutmu dan jangan ceritakan hal ini kepada siapapun juga. Hati-hati kalau terdengar pihak musuh." kata Hay Hay. "Tidak mungkin, toako. Pula, lorong bawah tanah itu selain rahasia juga dijaga ketat oleh para pembantu utama pangcu. Siapa yang akan mampu masuk ke sana?" "Hemm, bagaimanapun juga, kalian yang berjaga di luar harus hati-hati. Tahukah kalian di mana sekarang pangcu berada?" . "Tadi kami melihat pang-cu pergi ke puncak bukit kecil itu, mungkin pergi ke taman kesayangannya." Seorang dari mereka menunjuk ke arah bukit kecil yang menjulang di tengah perkampungan itu. Bukan bukit, hanya merupakan bagian yang lebih tinggi saja dan di bawah gundukan itulah tahanan bawah tanah itu dibuat. "Sudah, lanjutkan perondaanmu!" katanya dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat mereka berdua itu melupakan pertemuan ini. Setelah mereka pergi diapun meloncati pagar dinding itu dan memasuki daerah perkampungan Ho-han-pang. Dia merasa lega bahwa dia telah memperoleh keterangan yang amat diharapkan, yaitu tempat di mana Mayang ditahan. Dia yakin bahwa di antara tiga orang wanita tawanan mereka. Dan dia tahu pula di mana adanya sang ketua yang menawan Mayang dan mengundangnya. Untuk mencoba menolong Mayang bukan hal mudah. Mayang ditahan di dalam tempat tahanan di bawah tanah, dan dijaga ketat oleh para pembantu utama Ho-han-pang. Sebaliknya sang ketua berada di gundukan tanah seperti bukit kecil itu, dan mungkin berada di taman kesayangannya di sana. Mungkin seorang diri. Adalah lebih mudah untuk menemui ketua itu dan kalau perlu menangkapnya, memaksanya membebaskan Mayang, daripada menghadapi semua anak buah Ho-han-pang dan dikeroyok banyak orang sebelum senlpat membebaskan Mayang. Dengan kecepatan gerakannya yang ringan, Hay Hay menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan rumah-r-mah perkampungan Ho-han-pang. Dua kali dia kepergok orang, akan tetapi dengan cepat dia menggunakan ilmu sihirnya, dan dua kali dia dapat lolos dari perhatian orang-orang itu yang percaya bahwa yang mereka lihat itu hanya bayangan saja. Akhirnya, dengan jantung berdebar tegang Hay Hay lari naik mendaki gundukan tanah seperti bukit kecil yang berada di tengah perkampungan itu. Sebuah bukit kecil yang di puncaknya dijadikan sebuah taman bunga yang indah oleh ketua Ho-han-pang! ** * Sementara itu, siang tadi di kota raja terjadi hal lain yang menarik hati. Seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun, berpakaian sederhana seperti seorang pelajar, berwajah tampan dengan muka bulat putih dan alis tebal, mata agak sipit, memasuki rumah penginapan Pak-hai-koan. Dia menggendong sebuah buntalan kuning dan gerak-geriknya halus dan tenang. Tidak nampak tanda bahwa dia seorang pemuda luar biasa, kecuali bahwa sepasang mata yang agak sipit itu mempunyai sinar cemerlang dan kadang-kadang tajam bukan main. Pemuda ini bertubuh sedang namun tegap dan dia adalah Pek Han Siong, pemuda yang di waktu kecilnya disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama untuk dijadikan Dalai Lama! Seperti kita ketahui, akhirnya Han Siong dengan bantuan Hay Hay, mampu membebaskan diri dari pengejaran para pendeta Lama, bahkan telah bertemu dengan Wakil Dalai Lama yang menyatakan bahwa para pendeta tidak lagi menganggap Han Siong sebagai calon Dalai Lama. Bahkan Han Siong sempat pula ikut "menjodohkan" Hay Hay dengan Mayang, akan tetapi kemudian dia merasa menyesal bukan main karena perjodohan itu hampir saja menyeret keduanya ke dalam lembah kenistaan, karena ternyata bahwa Mayang adalah adik tiri seayah berlainan ibu dengan Hay Hay. Keduanya adalah anak-anak dari Ang-hong-cu! Menghadapi peristiwa yang menyedihkan ini, Han Siong semakin marah kepada Si Kumbang Merah yang dianggapnya penyebab utama dari kesengsaraan batin yang diderita Hay Hay, sahabat baiknya yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri, dan Mayang gadis yang tidak berdosa itu. Dia berpamit dari Hay Hay yang sedang dilanda duka itu dengan hati penuh semangat untuk mencari Ang-hong-cu dan membinasakannya, menghukumnya atas dosa yang dilakukannya terhadap adik kandungnya, Pek Eng, dan terhadap para gadis lain yang menjadi korbannya. Juga untuk dosanya terhadap Hay Hay dan Mayang! Setelah meninggalkan Hay Hay yang juga sedang bersiap-siap untuk pergi bersama Mayang yang mencari Ang-hong-cu, Han Siong lalu pergi mengunjungi suhu dan subonya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang tinggal di puncak Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) Pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur. Dia mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia berkunjung untuk memberi hormat kepada suhu dan subonya, akan tetapi jauh di lubuk hatinya terpendam pamrih utama dari keinginannya berkunjung itu. Pamrih itu ialah untuk dapat melihat dan bertemu dengan Siangkoan Bi Lian yang sudah amat dirindukannya. Dia tak pernah dapat melupakan gadis itu. Gadis yang menjadi bekas tunangannya, yang kemudian menjadi pujaan hatinya. Biarpun gadis itu menolak tali perjodohan itu dengan alasan bahwa ia tidak mempunyai perasaan cinta asmara kepada Han- Siong, melainkan hanya perasaan suka sebagai saudara seperguruan, namun dia tidak pernah dapat melupakannya dan tidak pernah berhenti mencintainya. Akan tetapi ketika dia tiba di puncak Lembah Kim-ke-kok, yang menyambutnya hanyalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Suhu dan subonya itu menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kasih sayang. Mereka menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan dan mereka merasa ikut bangga dan gembira ketika mendengar akan pengalaman Han Siong di Tibet, gembira bahwa murid mereka itu kini telah terbebas dari pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi, walaupun pada lahirnya Han Siong juga menperlihatkan kegembiraannya, namun dia merasa kecewa bukan main karena tidak melihat adanya Bi Lian. Untuk bertanya kepada suhu dan subonya, dia merasa sungkan. Akan tetapi, setelah mereka mendengarkan pengalaman yang amat menarik dari murid mereka itu, akhirnya Toan Hui Cu yang berpenglihatan tajam dapat menduga bahwa muridnya ini tentu diam-diam mempertanyakan ketidakmunculan puterinya. "Han Siong,. engkau tentu merasa heran mengapa Bi Lian tidak berada di sini." Berdebar rasa jantung di dada Han Siong. "Benar, subo. Di mana sumoi? Kenapa teecu sejak tadi tidak melihatnya?" "Sumoimu baru beberapa hari yang lalu pergi turun gunung, Han Siong. Ia pergi bersama……. sutemu." "Sute? Siapakah yang subo maksudkan?" tanya Han Siong terheran. "Belum lama ini kami menerima seorang murid baru, namanya Tan Hok Seng. Sebelum menjadi murid kami, dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup lumayan." Toan Hui Cu lalu menceritakan tentang Tan Hok Seng yang men jadi murid mereka, dan menjadi "suheng" baru Bi Lian. "Dan sekarang mereka berdua pergi? Ke manakah kalau teecu boleh bertanya?" "Mereka pergi ke kota raja untuk mencari orang jahat yang melempar fitnah kepada Tan Hok Seng sehingga dia dipecat dari kedudukannya sebagai perwira istana, bahkan dijatuhi hukuman. Karena merasa kasihan kepada suhengnya itu, Bi Lian membantunya dan mereka kini berada di kota raja untuk mencari musuh yang bernama Tang Bun An itu." "Tang……..?" Han Siong terkejut mendengar disebutnya she ini. She yang dihafalnya benar karena itu adalah she dari Hay Hay dan juga she dari Ang-hong-cu! "Ya, Tang Bun An. Kenalkah engkau nama itu, Han Siong?" tanya Siangkoan Ci Kang yang sejak tadi membiarkan isterinya yang bicara. Han Siong menggeleng kepalanya. "Teecu belum pernah mendengar nama itu, akan tetapi she Tang itu yang menarik perhatian teecu karena Ang-hong-cu yang teecu cari-cari juga she Tang." Suami isteri itu mengangguk-angguk. "Demikian pula dengan Bi Lian. Ia tertarik karena she Tang itulah." Han Siong mengerutkan alisnya. "Teecu merasa khawatir, suhu. Siapa tahu sumoi akan berhadapan dengan Ang-hong-cu yang amat lihai dan jahat. Kalau suhu dan subo menyetujui, teecu akan menyusul mereka ke kota raja, hanya untuk melihat kalau-kalau sumoi menghadapi bahaya dan memerlukan bantuan teecu." Suami isteri itu saling pandang, kemudian Siangkoan Ci Kang berkata, "Memang sebaiknya begitulah, Han Siong. Kami berdua juga akan merasa lebih tenang kalau engkau suka membantu sumoimu." Han Siong segera berpamit dan diapun menuruni Gunung Heng-tuan-san untuk menyusul sumoinya ke kota raja. Dia tidak tahu betapa suhu dan subonya mengikuti bayangannya dengan pandang mata penuh keharuan dan betapa subonya berkata kepada suhunya. "Murid kita itu jelas masih mencinta Bi Lian." Suhunya menghela napas panjang. "Engkau benar. Kasihan dia……" "Memang kasihan, akan tetapi kalau Bi Lian tidak suka menjadi isterinya, bagaimana kita itu dapat memaksanya? Dan nampaknya anak kita itu akrab dengan Hok Seng." , "Hemm, jodoh berada di tangan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menentukan siapa yang akan menjadi jodoh anak kita. Kita hanya dapat berdoa semoga Bi Lian tidak akan salah pilih." Demikianlah, Han Siong melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah, pergi ke kota raja mencari sumoinya. Dan pada siang hari itu, dia telah tiba di kota raja. Kota raja amat besar dan ramai. Sukar untuk mencari sumoinya yang tidak diketahuinya berada di mana. Jalan satu-satunya baginya adalah menyelidiki tentang perwira yang bernama Tang Bun An itu. Akan tetapi mudah menyelidiki tempat tinggal seorang perwira dari pada seorang pendatang seperti sumoinya yang tidak dikenal orang-orang di tempat itu. Han Siong memasuki rumah penginapan Pak-hai-koan. Sebelum melakukan penyelidikannya, dia akan mencari sebuah kamar penginapan dulu. Dengan demikian, dia akan lebih leluasa, meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar. Pula, dia merasa gerah dan pakaiannya kotor berdebu. Dia ingin mandi dan berganti pakaian. Dan di rumah penginapan itupun dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya, bertanya kepada karyawan di situ tentang perwira Tang Bun An dan di mana dia tinggal. "Selamat siang, kongcu." seorang pelayan rumah penginapan menyambutnya dengan ramah. Biarpun pakaian Han Siong sederhana, namun dia rapi, tampan gagah dan juga sikapnya berwibawa dan lembut, seperti seorang terpelajar. "Kongcu hendak menyewa kamar?" Han Siong mengangguk. "Benar, paman. Tolong beri saya sebuah kamar yang sejuk dan bersih." "Ah, kamar tujuh kebetulan kosong, kongcu. Kamar itu sejuk dan bersih. Mari, silakan, kongcu." Kamar itu memang bersih, walaupun tidak besar. Han Siong lalu minta disediakan air dan mandi sampai bersih sehingga tubuhnya terasa segar. Setelah mengenakan pakaian bersih, dia lalu duduk melamun dikamarnya. Ke mana dia harus mencari Bi Lian? Dan dia terkenang akan perjalanannya dari obet ke sini. Dia telah singgah di rumah ayah ibunya, yaitu di Kong-goan, Propinsi Secuan. Ayahnya masih menjadi ketua Pek-sim-pang yang kini mengadakan usaha pengawalan barang-barang dalam lalu lintas barat timur dan sebaliknya. Hanya dengan adanya usaha piauw-kiok (perusahaan pengawalan ekspedisi) inilah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) dapat dipertahankan, bahkan nampak maju. Ketika dia pulang, ayahnya yang berusia empat puluh tiga tahun itu minta agar dia tinggal saja di rumah membantu pekerjaan perkumpulan yang mempunyai perusahaan itu. Juga ibunya membujuk agar dia suka memilih isteri dan berumah tangga. Akan tetapi, dengan halus dia menolak ajakan ayah ibunya itu dan mengatakan bahwa dia masih ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, dan tentang perjodohan dia mengatakan bahwa dia belum mempunyai pilihan dan masih ingin menyendiri. Dia telah berbohong kepada ibunya. Dia telah mempunyai pilihan hati, sudah lama, semenjak dia bertemu dengan sumoinya yang dicari-carinya. Siangkoan Bi Lian, sumoinya juga bekas tunangannya. Bayang-bayang gadis itu masih selalu melekat di hatinya. Akan tetapi sumoinya itu dengan jujur dan gagah menyatakan bahwa ia tidak mempunyai perasaan cinta kepadanya, dan minta agar tali perjodohan yang diikatkan oleh suhu dan subonya itu dibikin putus. Biarpuh demikian, diam-diam dia masih selalu mengenang sumoinya itu, bahkan masih mengharapkan sekali waktu sumoinya itu akan dapat merasakan cinta kasihnya dan dapat pula menerima dan membalasnya. "Tok-tok-tok!" Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya dan dia menoleh ke arah pintu. "Buka saja pintunya, tidak dikunci." katanya. Daun pintu didorong dan terbuka dari luar. Pelayan yang tadi nampak berdiri di situ, membawa baki yang penuh dengan mangkok piring yang terisi makanan masih panas mengepulkan asap yang sedap. "Kongcu, ini makanan yang kongcu pesan. Kongcu hendak makan di ruangan makan ataukah di dalam kamar ini saja?" "Bawa masuk saja, paman. Aku ingin makan di sini saja." Mangkok dan panci terisi makanan itu ditaruh di atas meja oleh pelayan yang diam-diam merasa heran mengapa seorang pemuda yang begini halus memesan masakan sedemikian banyaknya. Akan tetapi, keheranannya berubah ketika Han Siong berkata sambil menahannya setelah dia hendak pergi. "Paman, harap duduk di sini dan temani aku makan. Rasanya tidak enak makan sendirian. Marilah, paman. Aku sudah memesan makanan untuk dua orang, bukan?" Pelayan itu sejenak tertegun. Kini mengertilah dia mengapa pemuda itu memesan masakan demikian banyaknya. Dan dia terheran-heran melihat seorang tamu mengajaknya makan bersama. Di dalam pekerjaannya selama belasan tahun sebagai pelayan, belum pernah dia mengalami hal seaneh ini. Akan tetapi, karena sikap Han Siong demikian ramahnya, diapun duduk di atas bangku berhadapan dengan pemuda itu, terhalang meja, setelah dia menutupkan daun pintu. "Terima kasih, kongcu. Engkau baik sekali dan memang sesungguhnya saya juga belum makan siang ini." Dia meragu sejenak. "Akan tetapi, kongcu, mengapa kongcu mengajak saya, seorang pelayan, untuk makan bersama? Belum pernah saya mendapat kehormatan seperti ini." "Terus terang saja, paman. Ketika melihat paman, aku segera merasa suka sekali karena wajah paman mirip sekali dengan wajah seorang pamanku yang tinggal jauh di selatan dan sudah bertahun-tahun tidak pernah kutemui." Kata Han Siong. Tentu saja ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari. Dia sengaja menjamu pelayan ini karena ingin mencari keterangan pertama dari pelayan ini. Mereka makan dan minum kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Han Siong untuk melakukan penyelidikannya. Setelah bertanya tentang keadaan pelayan itu dan mendengar bahwa pelayan itu sejak kecil tinggal di kota raja dan sudah belasan tahun bekerja di rumah penginapan itu, Han Siong lalu berkata, dengan sikap sambil lalu. "Kalau begitu, engkau tentu mengenal atau setidaknya mengetahui di mana tempat tinggal seorang perwira yang bernama Tang Bun An, paman." "Perwira Tang…….. Bun An? Sungguh aneh!" "Kenapa aneh, paman?" "Katakan dulu, kongcu. Ada urusan apakah kongcu mencari perwira she Tang itu?" "Aku mempunyai urusan pribadi yang sangat penting dengan dia, paman,” kata Han Siong girang, tidak mengira akan semudah itu mendapatkan keterangan tentang perwira Tang Bun An yang sedang dicari oleh Bi Lian itu. "Tahukah engkau di mana dia sekarang?" Han Siong kecewa ketika melihat pelayan itu menggeleng kepala. “Saya tidak tahu di mana dia sekarang, kongcu. Tentu saja saya tahu siapa dia. Tang Ciangkun tadinya amat terkenal di kota raja sebagai penolong kaisar dan dia menjadi perwira di istana. Akan tetapi sudah lama dia mengundurkan diri dan sekarang entah berada di mana.” "Kalau begitu, mengapa engkau tadi terheran dan mengatakan aneh ketika aku bertanya tentang dia kepadamu, paman?" "Memang saya merasa heran karena baru kemarin dulu, dua orang yang bermalam di sini, kebetulan yang pria juga menginap di kamar ini, juga mereka bertanya-tanya tentang seorang perwira she Tang, dan sekarang kongcu juga menanyakan orang yang sama. Bukankah itu suatu kebetulan yang aneh?" "Hemm, siapakah dua orang itu? Apakah seorang gadis cantik dan seorang pemuda?" “Tepat sekali! Ah, kiranya kongcu mengenal mereka? Mereka itu aneh sekali, setelah bermalam di sini, pagi-pagi sekali pemuda itu pergi. Kemudian, ada tamu yang mengajak gadis itu pergi dan mereka tidak pernah kembali lagi, padahal mereka belum membayar sewa kamar….” "Jangan khawatir, paman. Aku yang akan membayar sewa kamar mereka! Katakan, bukankah gadis itu cantik jelita, bertubuh ramping, berkulit putih mulus, ada tahi lalat kecil di dagu, mukanya bulat telur?" Pelayan itu mengerutkan alisnya. "Ia memang cantik jelita dan bertubuh tinggi ramping. Akan tetapi saya tidak berani terlalu memperhatikan karena ia kelihatan galak. Entah ada tahi lalat di dagunya atau tidak, kongcu. Adapun tentang sewa kamar, biarpun mereka belum membayar, telah diselesaikan dan dibayar oleh Ho-han-pang, jadi tidak perlu menyusahkan kong-cu." Han Siong merasa heran. Dia belum yakin apakah gadis dan pemuda yang menginap di rumah penginapan ini benar Bi Lian dan suheng barunya itu. Akan tetapi mengapa mereka bertanya-tanya tentang perwira Tang? Tentu sumoiriya. Dia tidak boleh terlalu mendesak dan menimbulkan kecurigaan pelayan itu, maka dia lalu mengajak pelayan itu melanjutkan makan minum sampai kenyang. "Aihh, sudah lama saya tidak menikmati masakan mahal seperti ini, kongcu. Terima kasih, kongcu." kata pelayan itu sambil menyusut bibirnya dengan lengan bajunya. "Dan tentang pemuda dan gadis itu, kongcu. Sekarang aku dapat membayangkan mereka. Pasangan yang serasi sekali. Gadis itu cantik manis walaupun kelihatan galak, tapi kecantikannya berbau asing. Ia bukan gadis Han, kongcu. Agaknya peranakan dari barat, dari Sinkiang atau Tibet. Dan pemuda itu memakai caping lebar wajahnya tampan dan ia periang……." "Apakah pakaiannya berwarna biru?" "Benar, biru dengan garis-garis kuning!" kata pelayan itu girang. "Kongcu mengenal mereka?" Han Siong mengangguk. Tentu saja dia mengenal Hay Hay yang selalu mengenakan pakaian biru bergaris kuning dan bercaping lebar itu! Dan gadis peranakan Tibet yang cantik itu, siapa lagi kalau bukan Mayang? Kiranya merekapun sudah tiba di kota raja dalam usaha mereka mencari Ang-hong-cu, dan agaknya Hay Hay juga menaruh curiga kepada perwira she Tang itu karena Ang-hong-cu juga she Tang. Akan tetapi, apa pula peranan Ho-han-pang dalam urusan ini? Kenapa Ho-han-pang membayar hutang Hay Hay dan Mayang kepada rumah penginapan ini? Dia tahu bahwa bukan watak Hay Hay, apa lagi Mayang, gadis yang angkuh dan memiliki harga diri yang tinggi itu, untuk begitu saja meninggalkan kamar yang rnereka sewa tanpa bayar! "Tahukah engkau di rnana dua orang itu sekarang? Kebetulan sekali rnereka itu adalah sahabat-sahabatku." "Saya tidak tahu, kongcu. Hanya setelah mereka pergi, datang orang-orang Ho-han-pang membayar rekening mereka dan dalam percakapan rnereka dengan majikan kami, mereka mengatakan bahwa dua orang muda itu menjadi tamu Ho-han-pang dan mereka datang untuk membayar uang sewa kamar." Tentu saja Han Siong menjadi girang dan juga curiga terhadap perkumpulan yang memakai nama gagah itu. Ho-han-pang, perkumpulan orang gagah! "Di mana markas Ho-han-pang itu, paman? Aku ingin menyusul dua orang sahabatku itu." “Aihh! Kongcu belum mengenal Ho-han-pang? Biarpun belum lama berdiri, perkumpulan ini sudah terkenal sekali di kota raja dan semenjak perkumpulan itu berdiri, keadaan di kota raja aman, tidak pernah ada gangguan penjahat. Markasnya di luar kota, kongcu, di sebuah bukit." Pelayan itu lalu memberi petunjuk. Setelah menyelidiki di mana letaknya Ho-han-pang dan tidak berhasil bertanya lebih banyak karena pelayan itu nampaknya jerih untuk banyak bicara tentang Ho-han-pang, Han Siong meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar dan keluar dari rumah penginapan itu. Pada siang hari itu juga dia keluar dari kota raja menuju ke bukit yang menjadi sarang Ho-han-pang untuk melakukan penyelidikan, apakah benar Hay Hay dan Mayang menjadi tamu di perkumpulan itu dan kalau benar demikian, mengapa. ** * Han Lojin duduk melamun seorang diri di puncak itu. Puncak bukit itu memang indah. Biarpun hanya sebuah bukit kecil, merupakan gundukan tanah, namun dia telah membuat gundukan tanah itu menjadi sebuah kebun yang indah, dengan tanaman bunga beraneka warna dan pohon-pohon buah. Tanaman di situ hidup dengan subur karena dia memang memelihara tempat itu baik-baik, memberinya pupuk dan merawat tanaman itu dengan tangannya sendiri. Merawat tanaman merupakan satu di antara kesenangan hidupnya. Dia tidak menaruh bangku di kebun itu, melainkan batu-batu gunung yang halus, rata dan bersih, hitam mengkilap dan dapat menjadi tempat duduk yang nyaman. Han Lojin duduk melamun, menghirup hawa yang segar dan wajahnya berseri gembira. Memang hatinya gembira karena dia berhasil menawan tiga orang gadis cantik itu. Terutama dia merasa gembira dapat menawan Siangkoan Bi Lian dan Cia Kui Hong, dua orang gadis pendekar yang selain amat lihai ilmunya, juga amat cantik. Mayang juga memiliki kecantikan yang khas, bahkan sempat membangkitkan berahinya walaupun dia tahu bahwa gadis itu adalah anaknya sendiri! Mereka bagaikan bunga-bunga yang sedang mekar mengharum, dan akan puaslah hatinya kalau dapat menikmati, memetik dan merusak mereka. Semua perempuan harus menderita karena semua perempuan berhati palsu, demikian besar kebenciannya terhadap wanita. Kebencian yang bercampur berkobarnya nafsu berahi, membuat dia selalu ingin menguasai wanita, akan tetapi juga menyengsarakannya. Han Lojin tidak tahu bahwa pada saat itu, satu-satunya orang yang membuat dia gentar dan takut, yaitu seorang di antara anak-anaknya sendiri, Tang Hay atau Hay Hay, sedang mengintai dan mengamati gerak-geriknya! Ketika Hay Hay menyusup-nyusup naik ke gundukan tanah yang menjadi kebun dan taman bunga itu, dia melihat seorang laki-laki duduk seorang diri di taman, duduk di atas batu hitam dan dia terkejut bukan main. Dia mengenal benar siapa yang dipandangnya itu. Pria setengah tua yang gagar dan tampan itu, dengan jenggot dan kumis terpelihara rapi. Han Lojin! Alias Ang-hong-cu! Ayah kandungnya yang jahat seperti iblis. Orang yang dicarinya dan akan terus dikejarnya sampai ke ujung dunia sekalipun. Dia sudah berjanji di dalam hatinya, juga kepada semua pendekar, untuk memaksa Ang-hong-cu mempertanggungjawabkan semua perbuatannya yang keji. Penjahat itu bukan saja melakukan perbuatan yang hina dan keji, memperkosa dan mempermainkan gadis-gadis tidak berdosa, bahkan gadis-gadis pendekar, akan tetapi juga melemparkan aib dan fitnah kepada dirinya. Hampir saja dia yang menjadi korban, dituduh menjadi pelaku dari perkosaan itu. Ayahnya harus bertanggung jawab! Dan kini, tanpa disangka-sangka, dia melihat orang yang dicari-carinya itu duduk seorang diri di taman bukit! Akan tetapi Hay Hay belum mau memperlihatkan diri karena pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang dan ketika dia melihat siapa tiga orang muda yang berlari cepat memasuki taman bukit itu, hatinya berdebar keras. Di antara tiga orang muda itu, dia segera mengenal Sim Ki Liong! Pada saat itu, Sim Ki Liong memang menanggalkan topeng tipis penyamarannya, maka Hay Hay segera mengenalnya dan tentu saja hal ini amat mengejutkan hatinya. Dan biarpun pada saat itu Tang Cun Sek masih mengenakan topeng tipisnya, namun begitu melihat Sim Ki Liong, Hay Hay dapat pula mengenal Cun Sek. Bentuk tubuh dan gerakan pemuda itu segera dikenalnya walaupun wajahnya berubah karena topeng tipis yang dipakainya. Kiranya dua orang tokoh Kim-lian-pang yang telah terbasmi itu, dan yang berhasil melarikan diri, kini berada di Ho-han-pang! Dengan adanya dua orang ini saja Hay Hay dapat mengetahui, macam apa adanya perkumpulan Ho-han-pang itu! Apa lagi di situ terdapat pula Ang-hong-cu! Pemuda yang ke tiga tidak dikenalnya, akan tetapi juga nampak gagah dengan gerak-gerik yang gesit. Pemuda ke tiga itu adalah Tang Gun. Mereka bertiga langsung memasuki taman nlenghadap Han Lojin, dan Hay Hay mengintai sambil menahan napas dengan hati tegang. Berbahaya juga, pikirnya. Han Lojin saja sudah amat lihai, kalau ditambah pembantu-pembantu seperti Sim Ki Liong dan pemuda tinggi besar yang pandai memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai itu, tentu saja dia tidak boleh memandang rendah. Han Lojin menyambut tiga orang pembantunya itu dengan alis berkerut tanda bahwa dia tidak senang melihat gangguan itu. "Hemm, mengapa kalian ke sini? Seharusnya kalian melakukan penjagaan yang ketat di bawah sana!" Dia menyambut mereka dengan teguran. Tang Cun Sek dan Tang Gun kelihatan ragu dan takut. Akan tetapi Sim Ki Liong nampak tenang dan tabah dan agaknya dialah yang bertugas menjadi pelopor. "Bengcu, maafkan kalau kami mengganggu bengcu di sini. Kami bertjga sengaja mencari dan menghadap bengcu untuk mengajukan permohonan pribadi." Makin mendalam kerut merut di antara alis Han Lojin. "Hemm, permohonan pribadi? Apa maksudmu? Permohonan apakah itu?" “Beng-cu, terus terang saja, begitu bertemu dengan nona Mayang, saya telah jatuh cinta seperti yang belum pernah saya rasakan selama hidup saya. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Bengcu untuk mengambil nona Mayang sebagai isteri saya!" kata Sim Ki Liong. Han Lojin mengangkat muka memandang wajah pemuda itu, dan di tempat pengintaiannya Hay Hay juga terkejut. Sim Ki Liong jatuh cinta kepada Mayang? Hemm, melihat sepak terjang pemuda itu di masa lalu, tentu saja di dalam hatinya dia sama sekali tidak setuju kalau adik tirinya itu menjadi isteri Sim Ki Liong yang jahat! "Dan engkau, Cun Sek?" tiba-tiba Han Lojin bertanya sambil memandang pemuda tinggi besar itu. Dengan muka merah Cun Sek memberi hormat dan berkata lantang, "Bengcu, sejak saya menjadi murid Cin-ling-pai, saya telah jatuh cinta kepada Cia Kui Hong. Oleh karena itu, harap Bengcu suka menyerahkan gadis itu kepada saya!" Sepasang mata Han Lojin mengeluarkan sinar marah, akan tetapi dia masih menahan diri dan kini menoleh kepada puteranya yang ke dua dan bertanya. "Dan engkau, Tan Hok Seng?" Dia sengaja memanggil Tang Gun dengan nama ini karena ketika mereka menerima Tang Gun yang dikeluarkan dari dalam kamar tahanan setelah terkena bius, Han Lojin memperkenalkan dia sebagai Tan Hok Seng dan menjadi seorang pembantu barunya. "Sayapun seperti kedua orang saudara ini, Beng-cu. Siangkoan Bi Lian adalah sumoi saya, dan sejak pertama kali bertemu saya sudah jatuh cinta kepadanya. Oleh karena itu, saya mengharap agar Beng-cu suka menyerahkan Bi Lian kepada saya. Saya akan mempertaruhkan nyawa saya untuk membantu Beng-cu." Di dalam tempat pengintaiannya, Hay Hay mengerutkan alisnya. Jelaslah kini sekarang. Adiknya, Mayang telah menjadi tawanan di Ho-han-pang. Bukan Mayang saja, bahkan juga Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian! Sungguh luar biasa sekali. Tiga orang gadis itu, terutama sekali Kui Hong dan Bi Lian, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Bagaimana mereka itu dapat tertawan? Dan kini tiga orang pembantu Ang-hong-cu yang dia tahu juga lihai itu jatuh cinta kepada tiga orang gadis tawanan! Sungguh hal ini amat menarik hatinya, walaupun dia marah sekali kepada mereka yang tidak tahu diri! Akan tetapi Hay Hay menahan kesabarannya dan ingin sekali tahu apa yang akan dikatakan Ang-hong-cu menghadapi permintaan tiga orang pembantunya itu. Dan kini Han Lojin kelihatan marah! Wajahnya berubah kemerahan dan dia berkata dengan suara penuh teguran. "Kalian ini sungguh mau enaknya saja, tidak melihat keadaan yang amat berbahaya! Tiga orang tawanan itu merupakan gadis-gadis yang amat lihai. Kalau sampai mereka itu lolos, kiranya kalian bertiga belum tentu akan mampu menandingi mereka! Mereka harus dijaga ketat, karena merupakan tawanan yang amat penting, dan kalian hanya memikirkan untuk bersenang-senang saja! Aku sendiri yang akan menundukkan mereka. Setelah mereka tunduk, barulah mungkin dapat kuhadiahkan kepada kalian. Nah, sekarang pergi kepada mereka. Pergunakan asap pembius dan pisah-pisahkan mereka dalam tiga kamar. Kalau bersatu, mereka akan terlalu kuat dan berbahaya! Pergilah!" Tiga orang muda itu saling pandang, namun agaknya mereka jerih melihat pimpinan mereka marah. Merekapun pergi meninggalkan Han Lojin yang masih duduk dengan wajah yang kini menjadi murung. Biarpun hatinya sudah panas sekali melihat Ang-hong-cu dan tangannya sudah gatal-gatal untuk menerjang ayah kandung itu, namun Hay Hay menahan diri. Setelah kini dia tahu bahwa Mayang, Cia Kui Hong, dan Siangkoan Bi Lian menjadi tawanan di situ, dia tidak boleh tergesa-gesa menyerang dan menangkap Ang-hong-cu. Hal itu akan membahayakan keadaan tiga orang gadis tawanan itu. Dia harus berusaha untuk menolong mereka lebih dulu, membebaskan mereka. Baru dia akan menghadapi Ang-hong-cu dan kaki tangannya. Dia tahu benar; betapa bahayanya kalau tiga orang gadis berada dalam cengkeraman Ang-hong-cu. Bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut bagi mereka. Walaupun Mayang puteri kandung Ang-hong-cu sendiri, namun hal itu tidak merupakan jaminan akan keselamatan Mayang. Dia harus cepat dapat membebaskan mereka. Karena itulah, ketika tiga orang itu meninggalkan taman, diam-diam Hay Hay membayangi mereka dan diapun meninggalkan Ang-hong-cu. Akan tetapi, ketika tiga orang pemuda itu memasuki bangunan besar di tengah perkampungan markas Ho-han-pang, mulailah Hay Hay menghadapi kesulitan. Tak mungkin lagi dia dapat membayangi mereka karena kini dia berada di sarang mereka, di tempat yang ramai di mana terdapat banyak anggauta Ho-han-pang. Tiga orang pemuda itu menghilang ke dalam sebuah bangunan. Ketika Hay Hay mengikuti dan memasuki sebuah ruangan, dia bertemu dengan lima orang anggauta Ho-han-pang! Karena perjumpaan itu tiba-tiba, Hay Hay yang ingin mengikuti tiga orang pemuda tadi tidak sempat menyingkir lagi. Lima orang itupun memandang heran. "Heiii, siapa....?" Akan tetapi Hay Hay cepat mengerahkan kekuatan sihirnya dan berkata dengan sikap berwibawa, "Aku Beng-cu kalian! Apa kalian tidak cepat memberi hormat?" Dalam pandangan lima orang yang terkena daya sihir itu, seketika Hay Hay telah berubah menjadi Han Lojin dan mereka terkejut, cepat mereka memberi hormat. "Kiranya Pangcu.....!" kata orang yang tadi hendak menegur. "Kalian tidak menjaga tawanan dengan baik malah mengobrol di sini?" bentak Hay Hay. "Pangcu, sekarang giliran jaga bukan kami. Tempat tawanan terjaga dengan kuat, bahkan baru saja tiga orang pembantu utama pangcu pergi ke tempat tahanan itu." , "Hemm, engkau. Ikut denganku, ada tugas untukmu. Mari!" kata Hay Hay kepada anggauta Ho-han-pang yang hidungnya besar dan yang tadi mewakili teman-temannya bicara. Dia lalu melangkah keluar, diikuti si hidung besar. Hay Hay sengaja mengajak si hidung besar ke balik sebuah rumah yang nampak sunyi. Dari sini, dia lalu mengajaknya terus ke sudut perkampungan yang merupakan sebuah kebun kosong. Orang itu merasa heran melihat sikap pang-cu (ketua) itu, akan tetapi tidak berani membantah. Setelah tiba di kebun yang sunyi, tiba-tiba Hay Hay menangkap lengan orang itu. "Hayo katakan, di mana tiga orang gadis itu ditahan?" Si hidung besar terkejut, semakin kaget lagi ketika dia memandang, sang ketua itu telah berubah menjadi seorang pemuda tampan. “Eh, siapa engkau…..?” Akan tetapi hanya sampai sekian dia bertanya karena dia telah terkulai pula di bawah pengaruh sihir . "Cepat gambarkan keadaan tempat tahanan itu kepadaku!" kata Hay Hay dengan suara memerintah dan orang itu lalu menceritakan dengan jelas. Kiranya tempat tahanan itu dapat dicapai melalui rumah besar yang tadi dimasuki tiga orang pembantu Han Lojin, melalui lorong bawah tanah dan tempat tahanan itu berada di bawah gundukan tanah seperti bukit kecil yang dijadikan kebun atau taman bunga. Setelah mendapatkan keterangan jelas, Hay Hay lalu berkata dengan suara berwibawa, "Engkau tidur pulas di sini dan setelah terbangun, engkau melupakan semua yang kaualami di sini!" Dia mengerahkan tenaganya dan si hidung besar itu terkulai dan tertidur di atas tanah. Hay Hay lalu meloncat pergi. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mengira bahwa diantara para penjaga tadi, ada yang menaruh curiga. Bukan curiga terhadap sang pangcu, melainkan kecurigaan yang mengandung iri. Si hidung besar diajak pergi oleh pangcu, tentu akan menerima hadiah dan tugas rahasia. Dia merasa iri dan diam-diam diapun- mengikuti dari jauh. Ketika Hay Hay membawa si hidung besar ke dalam kebun, anggauta Ho-han-pang yang bercuriga itupun diam-diam membayangi dan mengintai dari jauh, dari balik sebatang pohon. Dapat dibayangkan betapa kaget hati orang itu ketika melihat kawannya, si hidung besar, roboh terkulai di kebun itu dan sang pangcu kini telah berubah menjadi seorang pemuda! Dia sudah terbebas dari pengaruh sihir, maka k1ni dia dapat melihat Hay Hay seperti apa adanya. Baru saja Hay Hay tiba di dekat pintu masuk rumah besar di mana terdapat lorong tempat tahanan bawah tanah, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan riuh dan gaduh. "Tangkap penjahat!" "Tangkap mata-mata!" Dan belasan orang sudah mengepungnya dengan senjata di tangan! Tahulah Hay hay bahwa dia tadi kurang teliti, menjadi lengan sehingga ada orang yang memergokinya. Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya, dan mengeluarkan lengking panjang, tubuhnya berputar dan belasan orang yang mengepungnya itu terkejut dan banyak di antara mereka yang roboh! Akan tetapi, sebe1umnya Hay Hay sempat lolos dari kepungan, lebih banyak anggauta Ho-han-pang datang mengepungnya dan di antara mereka, yang berada di depan adalah Han Lojin sendiri, didampingi oleh seorang wanita yang dikenalnya sebagai Ji Sun Bi! Han Lojin mengangkat tangan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk menahan senjata mereka. Kemudian dia melangkah maju sambil tersenyum, diikuti Ji Sun Bi yang memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata jerih bercampur kagum. Sejak dahulu Ji Sun Bi amat mengagumi Hay Hay, akan tetapi juga gentar karena beberapa kali ia selalu kalah dan tidak berdaya kalau bertanding melawan pemuda ini. Han Lojin yang juga merasa kagum kepada Hay Hay, kagum dan suka, dan mengharapkan puteranya ini dapat membantunya, tersenyum ramah. "Ah, kiranya engkau yang datang, Hay Hay!" katanya dengan ramah. "Kedatanganmu memang sudah kunanti-nanti. Kenapa engkau tidak datang biasa saja dari pintu depan, sebagai tamu yang kami hormati? Kami sama sekali tidak ingin menerimamu sebagai seorang lawan, Hay Hay ." Hay Hay menahan kemarahannya ketika berhadapan dengan orang yang sesungguhnya adalah ayahnya sendiri itu. "Ang-hong-cu, engkau manusia jahat dan curang! Kalau memang engkau jantan, hadapi aku dan engkau boleh mengeroyokku dengan kaki tanganmu. Akan tetapi mengapa engkau bertindak curang, menawan Mayang? Selain gadis itu tidak bersalah apapun, juga engkau tahu bahwa ia juga anakmu sendiri, hasil dari perbuatanmu yang keji dan penuh dosa! Bebaskan Mayang sekarang juga, dan selanjutnya engkau boleh mengeroyokku dengan antek-antekmu ini!' Biarpun dihina seperti itu di depan orang banyak, Han Lojin masih tersenyum. Di antara anak-anaknya, dia merasa bangga mempunyai anak seperti Hay Hay, satu-satunya anak yang gagah berani dan bahkan berani menentangnya. Juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga dia sendiri merasa sukar untuk mengalahkannya, bahkan yang membuatnya merasa jerih! Han Lojin tertawa dan mengangkat kedua lengan ke atas. "Heiii, kalian semua lihatlah dan dengarlah baik-baik! Pemuda yang gagah perkasa ini adalah Tang Hay. Dia adalah puteraku, putera kandungku! Kalau dia mau membantu kita, maka dia akan kuangkat menjadi wakilku, dan dialah yang akan memimpin Ho-han-pang!" "Ang-hong-cu, tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan Mayang, atau terpaksa aku akan menyerangmu dan memaksamu membebaskan Mayang dan dua orang gadis lain yang kautawan!" "Ha-ha-ha, anakku yang baik, anakku yang gagah perkasa. Mayang menjadi tamu, juga menjadi keluarga, karena ia adalah anakku pula. Ia adikmu berlainan ibu. Tentu saja aku tidak akan mengganggu selembar rambut anakku sendiri. Juga Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian, mereka menjadi tamuku dan tidak diganggu. Mereka semua akan dapat berkumpul kembali denganmu, asal engkau suka membantuku. Dengar, anakku yang baik. Hidup ini tidaklah lama. Apa artinya hidupmu kalau engkau tidak meraih kedudukan yang mulia?" " “Cukup! Aku tidak sudi berbincang-bincang lagi denganmu! Bebaskan mereka bertiga, dan kita berdua akan menyelesaikan urusan lama di antara kita tanpa menyangkut orang lain!" Han Lojin mulai mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. Saat itu, Ji Sun Bi berkata, "Beng-cu, untuk apa banyak bicara dengan bocah sombong ini? Mari kita tangkap dia, dan aku mempunyai cara untuk menundukkannya, memaksanya dan meng,hilangkan ingatannya. Biar dia menjadi boneka hidup dan kita pergunakan kepandaiannya untuk membantu Ho-han-pang!" Han Lojin segera memberi isyarat kepada para anggauta Ho-han-pang yang telah mengepung tempat itu. "Kalian siap, jangan sampai dia dapat lolos dari sini! Hay Hay, engkau lihat! Sedikitnya lima puluh orang anggauta Ho-han-pang mengepungmu. Melawanpun akan sia-sia saja. Engkau akan mati, juga tiga orang gadis itu akan tak tertolong lagi kalau engkau melawan. Menyerahlah dan mereka akan selamat!" "Ang-hong-cu, engkau adalah iblis berujud manusia. Aku tidak percaya padamu. Kehadiran perempuan ini, iblis betina Ji Sun Bi saja sudah membuktikan bahwa perkumpulanmu ini adalah perkumpulan jahat! Engkau bebaskan tiga orang gadis itu atau aku akan mengamuk dan membunuh kalian semua!" "Kepung dan tangkap dia!" Han Lojin berseru. "Di mana Cun Sek, Hok Seng, Ki Liong? Panggil mereka, dan para pembantu lain!" Pada saat itu, terdengar suara tertawa. Suara ini makm lama semakin keras dan sedemikian kuatnya sehmgga banyak orang Ho-han-pang terhuyung dan menyeringai karena dada mereka terasa sakit, ada pula yang secara aneh ikut tertawa! Han Lojm terkejut karena maklum bahwa di dalam suara ketawa itu terkandung khi-kang yang amat kuat, bahkan mengandung kekuatan sihir. Hay Hay membelalakkan matanya dan tersenyum girang. "Bagus sekali! Engkau datang tepat pada waktunya, Han Siong!" Yang muncul memang Pek Han Siong! Dia melakukan penyelidikan dan begitu dia tiba, dia mendengar ribut-ribut dan melihat Hay Hay dikepung banyak orang. Juga dia mengenal Han Lojin dan Ji Sun Bi. Terkejutlah Han Siong yang sama sekali tidak mengira bahwa Ang-hong-cu menjadi pimpinan Ho-han-pang, dan juga Ji Sun Bi menjadi pembantu Si Kumbang Merah. "Jangan khawatir, Hay Hay. Mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!'. kata Han Siong yang sudah melayang turun dari atas wuwungan rumah di mana tadi dia bersembunyi. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Han Lojin ketika melihat munculnya Pek Han Siong, orang ke dua setelah Hay Hay yang paling disegani karena dia tahu bahwa pemuda inipun sukar baginya untuk dapat menandingi. Akan tetapi, dia mengandalkan anak buahnya yang banyak dan pada saat itu, muncul pula Tang Gun dan Tang Cun Sek dari dalam. "Mana Ki Liong?" tanya Han Lojin kepada Cun Sek. "Entah di mana dia pergi bersama gadis Tibet itu," kata Cun Sek. "Kami menyingkirkan dua orang tawanan,wanita lainnya.” Diapun terkejut melihat munculnya Pek Han Siong dan Hay Hay. Tanpa banyak cakap lagi, Tang Gun mencabut pedang Kwan-im-kiam yang dirampasnya dari sumoinya, Siangkoan Bi Lian. Sedangkan Tang Cun Sek juga mencabut Hok-mo-kiam, sepasang pedang milik Cia Kui Hong yang dirampasnya. Melihat pedang K wa-im-kiam di tangan Tang Gun, terkejutlah Han Siong. "Kwan-im-kiam……!” serunya. Kalau pedang pusaka itu berada di tangan orang yang tak dikenalnya ini, hal itu berarti bahwa Bi Lian berada di situ dan mungkin sudah menjadi tawanan sehingga pedangnya dapat dirampas! "Siangkoan Bi Lian menjadi tawanan mereka, Han Siong. Juga Cia Kui Hong dan Mayang!" kata Hay Hay yang melihat kekagetan sahabatnya. Diapun mengenela Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang milik Kui Hong yang kini berada di tangan Tang Cun Sek. Diapun menggerakkan tangannya dan nampak sinar kilat ketika Hong-cu-kiam tercabut dan berada di tangannya. Juga Han Siong sudah mencabut Gin-hwa-kiam sehingga nampak sinar putih berkilauan. Dua orang pemuda itu kini sudah berdiri saling membelakangi, siap menghadapi pengeroyokan Han Lojin, para pembantunya dan banyak anak buahnya itu. Hay Hay dan Han Siong maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang kuat, dan banyak jumlahnya. Akan tetapi mereka mengambil keputusan untuk melawan mati-matian, bukan saja untuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan juga untuk dapat menyelamatkan tiga orang gadis yang menjadi tawanan di situ. "Kepung! Tangkap atau bunuh mereka!" Kini Han Lojin mengeluarkan perintah bunuh karena untuk menangkap hidup-hidup dua orang pemuda perkasa itu sungguh bukan merupakan pekerjaan mudah, bahkan amat sukar. Dia sendiri sudah mengeluarkan senjata yang luar biasa dan yang selama ini belum pernah dia perlihatkan atau pergunakan. Sebatang rantai baja yang besar dengan dua macam senjata di kedua ujung rantai yang panjangnya dua meter itu. Ujung pertama merupakan sebatang pisau yang tajam kedua sisinya dan runcing, sedangkan ujung ke dua merupakan kaitan yang kokoh dan runcing. Begitu dia memutar rantai baja itu terdengar suara mendengung seperti kumbang dan angin menyambar-nyambar, tanda bahwa senjata itu digerakkan oleh tenaga yang dahsyat. Namun, karena banyaknya teman atau anak buahnya yang mengepung dan mengeroyok, senjata seperti itu kurang leluasa digerakkan, ada bahaya mengenai teman sendiri. Maka, diapun hanya ikut mengepung dan belum ikut menyerang. Yang maju menyerang hanyalah Ji Sun Bi dengan sepasang pedangnya, Tang Cun Sek, Tang Gun dan lima orang pembantu lain yang sudah lumayan kepandaiannya, dan puluhan orang mengepung dan mengeroyok, dan terjadilah pertempuran yang hebat di mana Hay Hay dan Han Siong mengamuk bagaikan dua ekor naga sakti. Han Lojin menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya. Dia mendongkol sekali karena Sim Ki Liong, pembantu utama yang paling lihai, yang diharapkan akan mampu menandingi lawan, belum juga nampak. Di manakah adanya Sim Ki Liong? Telah terjadi sesuatu yang aneh atas diri Sim Ki Liong. Semenjak dia melihat Mayang, gadis peranakan Tibet yang menjadi tawanan, hati Sim Ki Liong tergoncang hebat. Dia jatuh cinta seperti yang belum pernah dialaminya! Bukan sekedar bangkit gairahnya. Sama sekali bukan! Melainkan sungguh-sungguh dia jatuh hati! Karena itu, ketika mereka semua mengeluarkan Tan Hok Seng atau Tang Gun dari dalam kamar tahanan di mana pemuda ini ikut terbius ketika mereka melumpuhkan Bi Lian, dan diperkenalkan dengan pembantu baru ini, mereka bertiga, yajtu Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Tang Gun, segera berkenalan. Dari sikap dan percakapan mereka, ketiganya menyatakan cinta kepada tiga orang gadis yang menjadi tawanan. Sim Ki Liong yang mengajukan usul kepada Cun Sek dan Tang Gun agar mereka bertiga menghadap Bengcu agar mereka dapat memiliki gadis masing-masing yang mereka pilih. "Kalau kita tidak mendahului menghadap Beng-cu dan menyatakan cinta kita kepada mereka, tentu kita akan kehilangan! Aku yakin bahwa Beng-cu tidak akan melepaskan mereka bertiga. Kita hanya akan menggigit jari saja kalau gadis yang kita cinta itu akhirnya akan menjadi milik Beng-cu semua!” demikian dia membujuk. Cun Sek memang jatuh cinta kepada Kui Hong dan sejak dahulu sudah bangkit berahinya rnelihat Kui Hong. Juga Tang Gun sudah tergila-gila kepada Siangkoan Bi Lian yang menjadi sumoinya, maka mendengar ucapan Sim Ki Liong itu, mereka segera menyetujui. Tentu saja dua orang pemuda itu maklum sepenuhnya bagaimana watak ayah mereka! Ang-hong-cu pasti tidak akan melepaskan tiga orang gadis cantik itu begitu saja, seperti seekor kumbang merah yang selalu kehausan tidak akan melewatkan tiga tangkai bunga yang demikian segar mengharum. Demikianlah, ketika mereka bertiga dibentak oleh Han Lojin ketika mereka menyatakan cinta mereka kepada tiga orang gadis tawanan itu, dan mereka diperintahkan untuk memisah-misahkan tiga orang gadis itu, ketiganya tidak berani membantah dan mereka lalu memasuki lorong tempat tahanan dalam tanah. Akan tetapi, biarpun ketiganya memperlihatkan sikap yang sama-sama gembira walaupun permohonan mereka ditolak, namun isi hati mereka berbeda, jauh berbeda seperti bumi langit. Kalau Tang Gun dan Tang Cun Sek merasa bergembira karena mereka akan mendapatkan kesempatan berdua saja dengan gadis yang mereka cinta, dan mereka sudah mengambil keputusan untuk mendahului ayah mereka, untuk lebih dulu memperkosa gadis yang mereka cinta itu selagi mereka terbius, sebaliknya Sim Ki Liong merasa gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menolong Mayang! Ya, terjadi perubahan besar dalam diri atau batin Sim Ki Liong yang pernah menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah itu. Dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Mayang, merasa kasihan dan ingin menolong gadis itu, bukan sekedar ingin memuaskan gairah nafsunya seperti Tang Cun Sek dan Tang Gun. Dengan mudah mereka membuat tiga orang gadis itu roboh terbius dalam kamar tahanan, kemudian mereka membuka pintu kamar itu dan otomatis mereka memondong gadis yang menjadi pilihan hati masing-masing. Para penjaga yang melihat tiga orang pembantu utama ini, tidak ada yang berani bertanya, bahkan mereka keluar dari tempat itu ketika Ki Liong memerintahkan mereka pergi. Kemudian, tanpa mengeluarkan sepatah katapun, tiga orang itu berpencaran, menuju ke kamar tahanan yang lebih kecil sambil memondong gadis pilihan masing-masing. Kalau Tang Gun dan Tang Cun Sek yang memondong Bi Lian dan Kui Hong bermaksud membawa gadis mereka ke kamar dan menggaulinya dengan paksa selagi mereka itu terbius, sebaliknya Ki Liong membawa Mayang ke kamar paling sudut. Dia memang sudah mempersiapkan obat penawar bius. Dia menutupkan pintu kamar itu, merebahkan Mayang di atas pembaringan, kemudian dia mempergunakan obat penawar bius yang diciumkan di depan hidung gadis itu. Tak lama kemudian Mayang mengeluh lirih dengan menggerakkan pelupuk matanya. Begitu gadis itu membuka mata dan melihat Sim Ki Liong yang duduk di dekat pembaringan, ia meloncat dan siap menyerang. "Tenanglah, nona, dan jangan berisik," bisik Ki Ljong. "Aku telah membawamu ke sini dan menyadarkanmu dari obat bius. Aku ingin menyelamatkanmu, ingin mengajakmu lari dari tempat ini……." Mayang menghentikan gerakannya yang tadinya siap menerjang itu dan ia memandang Ki Liong dengan alis berkerut dan sinar mata penuh kecurigaan. "Engkau? Hendak menolong aku? Bukankah engkau seorang pembantu Ho-han Pang-cu yang paling lihai? Sim Ki Liong namamu, bukan? Tidak perlu kalian membujuk. Sampai mati aku tidak akan mau menyerah!” “Ssttt, nona Mayang. Aku bersungguh-sungguh. Engkau harus cepat lari dari sini, aku akan mengawalmu dan aku yang akan menahan dan melindungimu kalau ada yang mengejarmu nanti. Bersiaplah ………" "Hemm nanti, dulu!" Mayang tetap merasa curiga. "Sim Ki Liong, kalau engkau tidak berbohong lalu apa artinya ini? Mengapa engkau mendadak mengkhianati pimpinanmu dan hendak menolong aku?” Dengan sinar mata tajam penuh selidik gadis itu mengamati wajah yang tampan itu, masih penuh kecurigaan. "Nona, tidak perlu berpanjang cerita. Waktu kita sedikit sekali. Selagi pangcu berada di taman, kita dapat melarikan diri. Mengapa aku menolongmu? Mengapa? Karena aku cinta padamu. Nah, aku telah berterus terang, percaya atau tidak terserah kepadamu. Aku tidak ingin melihat engkau celaka!" Mayang memandang bengong. Bagaimana ia dapat percaya? Ada orang jatuh cinta secara tiba-tiba begitu saja kepadanya! Dan harus diakuinya bahwa pemuda ini tampan dan gagah, berilmu tinggi. "Tapi kau……. kau jahat! Kau membantu Ang-hong-cu yang jahat!" tiba-tiba ia berkata. "Aku tidak sudi kautolong!" Wajah pemuda itu nampak pucat dan pandang matanya sedih. Dia merasa seperti ditampar. Baru sekarang dia merasa sedih ada orang mengatakan bahwa dia jahat! Ah, betapa inginnya untuk menjadi seorang pendekar, bukan penjahat. Semua cita-cita untuk hidup senang kini tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan penyambutan cintanya terhadap gadis ini. Apapun akan dia korbankan demi cintanya. Pandang mata itu. Ah, tidak dapat dia menahannya. Ingin dia menangis, ingin dia minta ampun kepada Mayang ingin dia melihat Mayang tidak menganggapnya sebagai orang jahat. "Nona, aku memang telah tersesat, akan tetapi setidaknya bantulah aku kembali ke jalan benar dengan membiarkan aku menolongmu. Lihat senjatamu pecut sudah kupersiapkan. Nah, terimalah senjatamu dan mari kuantar engkau pergi dari sini. Cepat, sebelum terlambat. Percayalah, aku melakukan ini karena aku cinta padamu, karena aku ingin kembali ke jalan benar. Aku tidak mengharapkan balas jasa darimu……. " Mayang menerima senjatanya dan iapun mengangguk. "Mari, tunjukkan jalan keluarnya……” "Ssttt…….. !" Ki Liong memberi isarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara karena pada saat itu dia mendengar suara gaduh yang lapat-lapat memasuki tempat itu melalui lorong bawah tanah. Dan dia mendengar suara orang berlari-lari masuk, kemudian disusul teriakan seorang anggauta Ho-han-pang, “Semua siap! Ada musuh mengacau! Pangcu memanggil semua anggauta untuk menghadapi musuh!" Kemudian terdengar suara Tang Cun Sek dan Tang Gun berlari keluar pula dari tempat itu. "Mari kita keluar, cepat!" kata. Sim Ki Liong dan dia menangkap lengan kiri Mayang, lalu diajaknya berlari keluar. Mayang tidak menolak. Iapun merasa tegang karena kini ia mendengar suara orang bertempur di luar sana. Mungkin kakaknya sudah datang untuk menolongnya! "Tapi, bagaimana dengan enci Kui Hong dan enci Bi Lian?" tanyanya ragu. "Mereka masih terbius, tidak banyak waktu untuk menyadarkan mereka, aku khawatir terlambat. Engkau lari lebih dulu, nanti akan kuusahakan menolong mereka pula!" kata Ki Liong. Dia melihat kesempatan baik. Selagi ada kekacauan di situ, akan lebih mudah baginya untuk menyelundupkan Mayang keluar. Asal tidak kepergok Han Lojin, orang lain tidak akan ada yang beran menghalangmya. Ketjka mereka akhirnya tiba di luar bangunan itu, mereka melihat dua orang pemuda dikeroyok oleh puluhan orang. Ki Liong segera mengenal dua orang yang dikeroyok itu. Tang Hay dan Pek Han Siong, dua orang yang merupakan lawan paling lihai yang pernah dia hadapi. "Ah, itu Hay-koko dan Pek Tai-hiap! Aku harus membantu kakakku!" kata Mayang dan iapun menerjang orang-orang yang mengepung Hay Hay dan Han Siong itu dari luar. Sepak-terjangnya menggiriskan, cambuknya meledak-ledak dan terdengar orang-orang berteriak kesakitan ketika cambuknya memperoleh korban. "Hay-ko……. , aku datang membantumu!" teriak Mayang dengan penuh semangat. “Mayang………! Hati-hati…..!” Hay berseru khawatir sekali karena maklum betapa lihalnya pihak lawan. Dia melihat betapa Ji Sun Bi dan beberapa orang tokoh Ho-han-pang menyambut adiknya itu. Dia khawatir, akan tetapi juga tidak dapat membantu adiknya karena dia sendiri bersama Han Siong sejak tadi sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Kalau hanya menghadapi Ji Sun Bi seorang saja, satu lawan satu, kiranya Mayang tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi, Ji Sun Bi dibantu banyak orang sehingga Mayang repot juga menghadapi pengeroyokan itu. "Tar-tar-tarrr……. !" Cambuknya rneledak-ledak, merobohkan dua orang pengeroyok, akan tetapi pada lecutan ke tiga, ujung cambuknya membelit golok seorang pengeroyok lain. Sebelum ia sempat menarik kembali cambuknya, Ji Sun Bi menyerangnya dengan tusukan pedang dari kiri, mengarah lambungnya Mayang menggeser tubuh ke kanan dan pedang itu lewat di samping tubuhnya, akan tetapi pada saat itu, pedang ke dua di tangan kiri Ji Sun Bi membabat ke arah kaki Mayang! "Tranggg……. !" Pedahg itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Ji Sun Bi. “Ihhh! Kau…..?” Ji Sun Bi berseru marah ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya tadi, yang menolong Mayang adalah Sim Ki Liong! Akan tetapi Ki Liong tidak menjawab, bahkan segera menyerangnya dengan pedang yang sudah dicabutnya dan dipergunakan untuk melindungi Mayang tadi. Ji Sun Bi terkejut dan marah sekali, menangkis dengan pedang kanan. “Trangggg…….. !!" Pedangnya terlepas dari pegangannya karena Ki Liong memang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya dan di lain saat, sebuah tendangan telah membuat wanita itu terjengkang! Ji Sun Bi bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan, dan iapun terkejut bukan main, di samping penasaran dan marah melihat Sim Ki Liong yang pernah menjadi pemimpinnya itu kini membalik! "Tar-tarrr….. !” Cambuk di tangan Mayang yang meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Ji Sun Bi yang bergulingan itu. Ji Sun Bi memutar pedangnya untuk melindungi tubuh dan terus bergulingan ke arah anak buah Ho-han-pang. Karena banyak anggauta Ho-han-pang yang membantunya membendung serangan Mayang, maka wanita itu dapat lolos dari cambuk Mayang. Akan tetapi ia kehilangan sebatang pedang dan pahanya terasa nyeri oleh tendangan Sim Ki Liong. "Mayang……..!” Hay Hay berseru girang melihat adiknya masih dalam keadaan selamat. Akan tetapi dia terbelalak keheranan melihat Sim Ki Liong kini dikeroyok oleh Ji Sun Bi dan beberapa anggauta Ho-han-pang! Pemuda itu membantunya, atau lebih tepat, membela dan membantu Mayang! Hay Hay adalah seorang yang cukup cerdik untuk dapat menduga apa yang telah terjadi dengan pemuda gemblengan Pulau Teratai Merah itu. Tidak salah lagi. Tentu Sim Ki Liong jatuh cinta kepada Mayang dan dia membalik, menentang kejahatan demi cintanya kepada adiknya itu! Akan tetapi, dia tidak sempat untuk bicara lagi karena dia dikepung dan dikeroyok banyak orang. Pek Han Siong juga melihat Mayang dan merasa girang walaupun hatinya masih khawatir sekali karena dia tidak melihat dua orang gadis lainnya, terutama sekali Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi diapun sibuk seperti Hay Hay menghadapi pengeroyokan para anggauta Ho-han-pang. Ternyata para anggauta Ho-han-pang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh sehingga pengeroyokan mereka yang demikian banyak itu membuat Hay Hay dan Han Siong kewalahan juga, walaupun mereka kini dibantu oleh Mayang dan Sim Ki Liong. Di lain pihak, Han Lojin juga merasa penasaran bukan main, apa lagi melihat Sim Ki Liong yang membantu pihak lawan. "Sim Ki Liong, manusia busuk pengkhianat hina!" Bentaknya ketika melihat betapa pemuda itu melindungi dan membela Mayang. "Engkau berani melawan kami?" Han Lojin, demi cintaku yang murni, aku siap untuk membela Mayang dengan nyawa!" kata Sim Ki Liong sambil mengamuk di samping Mayang. Mendengar ucapan itu, diam-diam Hay Hay tersenyum. Cinta mampu merobah watak manusia, mampu menguasai manusia untuk melakukan apa saja, baik maupun tidak menurut penilaian orang lain. Diam-diam Han Lojin kagum bukan main kepada Hay Hay dan Pek Han Siong karena kedua orang ini sukar di tundukkan. Dan diapun tahu betapa lihainya Sim Ki Liong, maka, biarpun dia mengeroyok empat orang muda itu dengan banyak orang, namun agaknya banyak anak buahnya yang terluka atau tewas sebelum dia memperoleh kemenangan. Di lain pihak, Hay Hay dan Han Siong yang belum berhasil membebaskan Bi Lian dan Kui Hong, juga merasa bingung. Mereka tidak dapat mempergunakan ilmu sihir mereka karena selain Han Lojin atau Ang-hong-cu memiliki kekuatan batin yang cukup tangguh untuk melawan kekuatan sihir mereka, juga terlalu banyak orang yang mengeroyok sehingga sukar untuk dapat menguasai mereka dengan kekuatan sihir. Terpaksa mereka berdua mengamuk, mengandalkan pedang pusaka di tangan mereka. "Pergunakan asap pembius!" Tiba-tiba terdengar perintah Han Lojin kepada para anak buahnya yang masih banyak menganggur dan hanya mengepung tempat itu karena jumlah mereka terlalu banyak untuk dapat maju semua. Mendengar perintah ini, Hay Hay dan Han Siong menjadi bingung juga. Dan sebelum mereka dapat melakukan sesuatu, terdengar ledakan-ledakan dan nampak asap putih mengepul memenuhi tempat itu. Para anggauta Ho-han-pang sudah mengeluarkan saputangan dan menutupi mulut dan hidung dengan saputangan yang mengandung obat penawar racun pembius itu. "Awas, tahan napas dan menyingkir!" teriak Sim Ki Liong memperingatkan Hay Hay dan Han Siong. "Nona Mayang, kaupakai saputangan ini!" Dia meloncat ke dekat Mayang dan menyerahkan sehelai saputangan biru. Mayang menerima saputangan itu dan mengikatkan depan mulut dan hidungnya. Ada bau harum aneh yang melindunginya dari asap pembius dan Mayang masih dapat memutar cambuknya untuk melindungi diri dari pengeroyokan, juga untuk membalas. Hay Hay dan Han Siong menahan napas dan melompat ke tempat yang tidak dipenuhi asap. Sim Ki Liong bergulingan dan pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, merobohkah tiga orang pengeroyok yang terbabat kaki mereka. "Pengkhianat!" Terdengar bentakan nyaring. Ketika itu, Ki Liong sedang memutar pedang menangkis hujan senjata para anggauta Ho-han-pang dan Ji Sun Bi, maka ketika kaitan itu menyambar dengan dahsyatnya, dia kurang cepat dan tahu-tahu pundak kirinya telah terkena kaitan yang berada di ujung rantai yang dimainkan oleh Han Lojin. "Aduhhh……!" Ki Liong berteriak karena merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Melihat ini, Mayang cepat menyerang Han Lojin dengan cambukhya. "Tarrr……. !" Akan tetapi, tangan kiri Han Lojin menangkap ujung cambuk dan menarik dengan tenaga yang amat kuat, Mayang terhuyung ke depan. "Lepaskan!" Tiba-tiba Hay Hay menerjang dari samping dengan tusukan pedang ke arah lengan kiri yang menangkap ujung cambuk. Han Lojin terkejut sekali, tidak mengira bahwa Hay Hay berani masuk lagi ke dalam medan pertempuran yang penuh asap pembius. Terpaksa dia melepaskan ujung cambuk Mayang, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Liong untuk mencabut keluar kaitan dari pundak kirinya. Dia bergulingan sampai jauh dan meloncat berdiri, pundak kirinya berdarah. Pek Han Siong sendiripun terpaksa berloncatan ke tempat yang bebas asap dan keadaan empat orang muda itu kini terancam dan mereka terdesak hebat. Pada saat yang amat berbahaya bagi mereka itu, terdengar suara hiruk-pikuk dan muncullah puluhan orang perajurit! Melihat ini, tentu saja orang-orang Ho-han-pang menjadi terkejut dan ketakutan. Bagaimanapun juga, kalau melawan perajurit pemerintah yang tentu jumlahnya ratusan, bahkan ribuan orang, mereka merasa gentar! Dan yang memimpin pasukan itu adalah seorang panglima tinggi bersama Menteri Cang Ku Ceng sendiri! Bagaimana Menteri Cang dapat muncul pada saat yang amat tepat itu? Ketika Cia Kui Hong meninggalkan istana Menteri Cang Ku Ceng, gadis itu yang terikat janji dengan Han Lojin dan tidak berani membuka rahasia, hanya menganjurkan agar pembesar yang bijaksana itu melakukan penyelidikan dan bertanya kepada Hong-houw (permaisuri) lagi tentang rahasia laki-laki yang pernah mengacau di bagian puteri istana kajsar. Setelah gadis itu pergi, Menteri Cang termenung dan akhirnya dia mengambil keputusan untuk menjumpai sang permaisuri. Dengan bijaksana dan halus dia membujuk permaisuri untuk bercerita demi keselamatan negara dan demi kehormatan istana kaisar. Akhirnya, berceritalah permaisuri tentang petualangan bekas perwira Tang Bun An dan betapa ia sendiri tidak berdaya karena diancam oleh perwira itu setelah perhiasannya dicuri. Mendengar ini, Menteri Cang terkejut dan marah bukan main. Memang dahulunya dia sudah menaruh curiga kepada perwira itu, akan tetapi karena tidak ada bukti, diapun tidak mampu berbuat sesuatu. Kini, setelah mendengar keterangan Hong-houw sendiri, tentu saja dia tidak ragu-ragu lagi. Seorang yang sudah berani membuat kekacauan di istana, berbuat cabul, berani memaksa Hong-houw untuk menyimpan rahasia, adalah orang yang jahat dan berbahaya sekali. Biarpun kini memimpin perkumpulan yang dinamakan Ho-han-pang dan yang kelihatannya membantu pemerintah dan mengamankan keadaan, namun kalau orang seperti itu dibiarkan bebas menyusun kekuatan, kelak tentu akan berbahaya sekali bagi keselamatan negara. Karena itu, dia lalu menghubungkan panglima pasukan keamanan, mengerahkan pasukan dan diapun ikut memimpin pasukan itu menyerbu Ho-han-pang. Tentu saja Han Lojjn terkejut bukan main ketika melihat pasukan yang besar jumlahnya datang menyerbu. Tahulah dia bahwa permainannya telah tamat, harapannya telah hancur dan semua usahanya selama ini sia-sia belaka. Kini bahkan keselamatan dirinya terancam. Tiba-tiba dia lalu melemparkan sebuah benda ke atas tanah. Benda itu meledak dan tempat itu penuh asap hitam. Karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun pula, Hay Hay lalu melompat ke belakang sambil berseru kepada Han Siong dan Mayang agar menjauhkan diri dari asap. "Asap ini hanya menggelapkan, tidak beracun. Halangi mereka melarikan diri!" terdengar Sim Ki Liong berseru. Akan tetapi, Hay Hay, Han Siong dan Mayang sudah berloncatan ke belakang. Ketika asap menipis, pasukan pemerintah menyerbu lagi dan terjadi pertempuran yang berat sebelah. Kalau tadi Hay Hay dan Han Siong yang kemudian dibantu Mayang dan Sim Ki Liong menghadapi pengeroyokan puluhan orang banyaknya, kini puluhan orang Ho-han-pang harus menghadapi serbuan ratusan orang perajurit! Sim Ki Liong sendiri yang tidak takut menghadapi asap itu, tidak pernah melepaskan Ji Sun Bi dan biarpun wanita itu berusaha untuk melarikan diri, namun ia selalu dihadang oleh Ki Liong. Ia menjadi marah dan nekat, lalu menggunakan pedangnya yang tinggal sebuah itu untuk menyerang Sim Ki Liong. Ki Liong menangkis dan Mayang melihat Ki Liong tidak lari dari asap, segera melompat maju lagi membantu pemuda itu mengeroyok Ji Sun Bi. Menghadapi Sim Ki Liong sendiri saja Ji Sun Bi sudah kewalahan, apa lagi ada Mayang di situ yang memutar cambuknya dengan dahsyat. "Tar-tar-tarrr…….!” Cambuk itu meledak-ledak di atas kepala Ji Sun Bi. Wanita ini menggerakkan pedangnya untuk melindungi kepala dan menangkis cambuk itu. Akan tetapi saat itu, Sim Ki Liong sudah menyerangnya dengan pedang yang menusuk dada. Terkejutlah Ji Sun Bi. Ia membuang diri ke samping untuk mengelak, akan tetapi kaki Sim Ki Liong sudah menyambar dan mengenai lambungnya. Ia mengeluh dan terpelanting. Pada saat itu, ujung cambuk di tangan Mayang menyambar dan mematuk ubuh-ubun kepalanya. Ji Sun Bi terkulai dan tewas seketika karena ubun-ubun kepalanya pecah oleh patukan ujung cambuk. Sementara itu, Pek Han Siong dan Hay Hay sibuk mengamuk sambil mencari-cari Han Lojin, Tang Gun dan Tang Cun Sek. Namun, tiga orang itu telah menghilang di balik asap tebal tadi. Ketika melihat betapa Mayang dan Ki Liong telah berhasil merobohkan Ji Sun Bi, Hay Hay meloncat ke dekat Ki Liong. "Ke mana larinya mereka?" Sim Ki Liong maklum siapa yang dimaksudkan Hay Hay. "Ada jalan rahasia menuju ke lorong bawah tanah. Mari!" Ki Liong mendahului mereka memasuki sebuah ruangan yang nampaknya seperti ruangan sembahyang di mana terdapat sebuah meja sembahyang besar, lengkap dengan lilin bernyala dan hio yang masih berasap. Di samping meja terdapat sebuah singa batu yang indah ukirannya. Ki Liong menangkap singa batu ini dan mengerahkan tenaga, lalu memutar singa itu. Terdengar suara keras dan meja sembahyang itupun bergeser, membalik dan nampaklah sebuah lubang di mana terdapat tangga menurun. "Lorong ini menuju ke tempat tahanan bawah tanah. Mari kutunjukkan!" Diapun mendahului masuk, diikuti Mayang, kemudian Hay Hay dan Han Siong. Benar saja, lorong itu membawa mereka ke tempat tahanan bawah tanah. Masih ada beberapa orang anak buah Ho-han-pang di si tu. Mereka ini roboh oleh amukan Sim Ki Liong dan Mayang. Akan tetapi, semua kamar tahanan telah kosong. Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian telah lenyap dari tempat tahanan itu. "Ah, tentu mereka telah dilarikan oleh Ang-hong-cu dan dua orang pembantunya itu!" kata Hay Hay. "Dua orang pembantu itu adalah Tang Gun dan TangCun Sek, dua orang putera Han Lojin……. " kata Sim Ki Liong. "Aahhh……… !" Hay Hay memandang kepada Ki Liong dengan sinar penuh selidik. "Sim Ki Liong, kalau benar engkau telah menyadari diri dan insaf, hendak merobah jalan hidupmu, katakan, kemana mereka itu pergi?” Sim Ki Liong memandang kepada Mayang dan menarik napas panjang. Sungguh dia merasa malu sekali kepada Mayang dan merasa menyesal mengapa dia mempunyai latar belakang yang hitam. Sukar mengharapkan balasan cinta kasih dari Mayang. Akan tetapi, cinta kasihnya terhadap gadis itu telah mengubah pandangan hidupnya, menyadarkannya bahwa dunia hitam, jalan sesat bukanlah jalan yang baik dan tidak menuju kebahagian. “Aku tidak dapat memastikan ke ma,a mereka pergi. Akan tetapi, ada jalan keluar rahasia dari lorong ini, menuju ke belakang perumahan Ho-han-pang menembus gunung. Inipun belum pernah kulalui sendiri, hanya menurut keterangan han Lojin. Mari……!” Kembali Sim Ki Liong menjadi petunjuk jalan dan di sudut ruangan tahanan paling belakang, dia menggerakkan batu-batu tertentu yang menyembunyikan alat rahasia di dinding. Terdengar suara berderit dan dinding itupun bergerak, dan muncullah sebuah pintu kecil. "Mayang, Ki Liong, kalian kembali ke depan. Biar aku dan Han Siong saja yang melakukan pengejaran. Dan katakan kepada Menteri Cang bahwa kami melakukan pengejaran terhadap Han Lojin, kami akan berusaha menangkapnya!" Setelah berkata demikian, Hay Hay dan Han Siong memasuki pintu rahasia itu melakukan pengejaran. Mayang ragu-ragu, akan tetapi Ki Liong menyentuh lengannya. "Kakakmu benar. Terlalu berbahaya bagimu untuk ikut mengejar, dan mungkin di luar sana masih membutuhkan bantuan kita. Marilah, taati pesan kakakmu."   Keduanya lalu keluar dari lorong bawah tanah. Di luar masih terjadi pertempuran dan merekapun segera terjun ke dalam pertempuran membantu pasukan pemerintah. Para anak buah Ho-han-pang melawan mati-matian, namun pertempuran itu berat sebelah dan tak lama kemudian, seluruh anak buah Ho-han-pang telah dapat digulung, ada yang tewas, terluka atau tertangkap. Menteri Cang Ku Ceng yang menerima laporan dari perwira pasukan bahwa Mayang dan Sim Ki Liong tadi membantu pasukan membasmi gerombolan Ho-han-pang, menerima mereka dengan ramah. Apa lagi ketika mendengar bahwa Mayang adalah adik Hay Hay dan Sim Ki Liong masih saudara seperguruan dengan Cia Kui Hong, pembesar itu menjadi kagum. Dia lalu bertanya bagaimana keadaan Cia Kui Hong dan Hay Hay. "Tai-jin, tadinya saya sendiri, enci Kui Hong dan enci Siangkoan Bi Lian ditawan oleh ketua Ho-han-pang. Sekarang, kedua orang enci itu agaknya dilarikan oleh ketua Ho-han-pang dan para pembantunya akan tetapi kakakku Hay Hay dan tai-hiap Pek Han Siong sedang melakukan pengejaran. Bahkan kini saya dan Sim Ki Liong ini hendak melakukan pengejaran pula untuk membantu mereka." "Baik sekali, kami harapkan agar mereka yang menjadi pengacau di kota raja itu dapat ditangkap." Mayang dan Ki Liong lalu cepat pergi melakukan pengejaran terhadap Han Lojln, mengikuti jejak Hay Hay dan Han Siong melalui terowongan rahasia yang merupakan jalan keluar pintu belakang. ** * Han Lojin atau Ang-hong-cu Tang Bun An memang telah berhasil melarikan diri ketika dia meledakkan alat peledak yang menimbulkan asap tebal, dibantu oleh kedua orang puteranya, Tang Cun Sek dan Tang Gun. Mereka bertiga memasuki lorong bawah tanah dan kedua orang pemuda itu disuruh memanggul Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian yang masih pingsan terbius. Dengan sendirinya dua orang pemuda itu memondong gadis pilihan masing-masing. Cun Sek memondong Kui Hong, dan Tang Gun memondong Bi Lian. Mereka melarikan diri melalui lorong rahasia dan berhasil keluar dari belakang, kemudian Han Lojin memimpin mereka melarikan diri ke sebuah bukit. Mereka tiba di puncak bukit di mana terdapat sebuah gubuk atau pondok yang memang dipersiapkan oleh Han Lojin di tempat itu. Terdapat dua buah kamar di pondok itu dan dua orang gadis yang masih pingsan itu lalu direbahkan di atas dipan kayu. Kemudian, Ang-hong-cu Tang Bun An atau Han Lojin menyuruh dua orang puteranya keluar dan diajak bicara di luar pondok. "Hemmm, semua usaha kita telah gagal. Entah siapa yang membocorkan rahasiaku sehingga pasukan pemerintah menyerbu. Ho-han-pang telah hancur, akan tetapi masih untung kita bertiga dapat menyelamatkan diri ke sini." "Tapi ayah," kata Tang Cun Sek, kini menyebut ayah dan agaknya hal ini tidak ditolak oleh Ang-hong-cu, "kenapa kita berhenti di sini? Tempat ini tidak terlalu jauh dari markas Ho-han-pang. Bagaimana kalau mereka mengejar ke sinii" "Benar sekali," kata pula Tang Gun. "Sebaiknya kalau kita berlari terus sehingga mereka kehilangan jejak kita." Si Kumbang Merah tersenyum. "Jangan kalian khawatir. Takkan ada seorangpun yang mengejar ke sini. Hanya mereka yang tahu akan jalan rahasia itulah yang dapat ke sini, sedangkan dari jalan lain, puncak bukit ini hampir tidak mungkin didatangi karena dikurung oleh jurang-jurang yang amat dalam. Takkan ada yang menduga bahwa kita berada di sini, kalau mereka itu datang dari jurusan lain. Jalan menuju ke bukit ini hanyalah melalui terowongan rahasia itu. Hal ini sudah kuselidiki lebih dulu." Mendengar ini, dua orang pemuda itu merasa lega. "Tapi……. Sim Ki Liong si jahanam itu? Bagaimana kalau dia menjadi petunjuk jalan?" tanya pula Cun Sek, mendongkol ketika teringat akan sikap Sim Ki Liong yang berbalik memusuhi ayahnya. . Si Kumbang Merah mengepal tinju. Diapun marah teringat akan peristiwa itu. "Si pengkhianat keparat!" katanya lirih. "Kelak pasti akan kuhancurkan kepala pengkhianat itu! Akan tetapi dia sendiripun tidak pernah memasuki lorong terowongan rahasia itu. Tidak ada yang tahu kecuali aku sendiri. Kita aman di sini." "Kalau begitu, sekarang tiba saatnya ayah membuktikan bahwa ayah adalah seorang yang dapat menghargai jasa kami, dan juga seorang ayah yang baik. Kami berdua mohon agar ayah suka mengijinkan kami memperisteri dua orang gadis yang kami cintai itu, ayah. Aku ingin memperisteri Cia Kui Hong, dan adik Tang Gun ini ingin memperisteri Siangkoan Bi Lian." "Benar sekali apa yang dikatakan oleh koko Cun Sek, ayah. Sudah sejak dulu aku mencinta sumoi Siangkoan Bi Lian, dan sekaranglah saatnya ayah memperkenankan aku memperisteri sumoi. Kuharap ayah tidak berkeberatan, sehingga tidak sia-sia sejak dahulu aku merindukan ayah kemudian bahkan membantu ayah dengan setia." Sepasang mata itu mencorong seperti berapi, akan tetapi hanya sebentar saja, kemudian Ang-hong-cu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang rapi. "Ha-ha-ha-ha! Ini namanya tidak punya anak susah, punya anak juga susah. Dengan adanya kalian sebagai anak-anakku, kalian rewel dan membikin pusing saja! Sebelum ada orang yang mengaku anakku, setiap ada gadis terjatuh ke dalam tanganku, kumiliki sendiri tanpa ada yang mengganggu. Sekarang, aku menawan dua orang gadis pilihan, dan kalian ribut hendak merenggut mereka dari tanganku. Kalau kuturuti permintaan kalian, habis untuk aku sendiri apa?" Dua orang muda itu saling pandang dengan alis berkerut, akan tetapi tidak berani membantah.   "Sekarang begini saja. Karena di sini hanya ada dua orang gadis, maka biar yang seorang kuberikan kepada kalian, yang lain untukku. Nah, kalian boleh bertanding mengadu kepandaian. Siapa yang menang, boleh memilih seorang di antara dua orang gadis itu. Yang kalah tidak usah banyak rewel lagi, dan gadis ke dua untuk aku. Nah, mulailah!” Kembali dua orang muda itu saling pandang dengan alis berkerut, akan tetapi kini sinar mata mereka saling bertentangan. Tang Cun Sek lalu tersenyum menghadapi adik tirinya. "Gun-te (adik Gun), engkau adalah adikku, maka sepatutnya kalau engkau mengalah sekali ini. Biar aku dulu yang menikah, kelak aku akan membantumu mencarikan seorang isteri." "Tidak bisa begitu, twako!" bantah Tang Gun dengan alis berkerut. "Aku mencinta sumoi Siangkoan Bi Lian, maka aku akan mempertahankannya dengan taruhan nyawa. Engkau sajalah yang mengalah terhadap adikmu ini, toako, dan aku takkan pernah melupakan budimu ini." "Mengalah dan melepaskan Cia Kui Hong? Tidak mungkin, Gun-te!" “Akupun tidak mungkin dapat mengalah!" “Hemm, mengapa kalian berdua begitu cerewet seperti perempuan-perempuan tua yang bawel? Hayo cepat mulai, atau kalau aku kehabisan sabar, dua-duanya akan kumiliki sendiri!" Mendengar ucapan ayah mereka itu, Tang Cun Sek dan Tang Gun sudah meloncat ke bawah pohon. Tang Gun sudah mencabut pedang Kwan-im-kiam, sedangkan Tang Cun Sek mencabut sepasang Hok-mo Siang-kiam, yaitu pedang-pedang yang mereka rampas dari Bi Lian dan Kui Hong. "Tidak boleh memakai senjata. Serahkan dulu pedang-pedang itu kepadaku!" Seru Ang-hong-cu. "Maksudku hanya untuk mengadu kepandaian, bukan mengadu nyawa!" Dua orang pemuda itu tidak berani membantah dan mereka melemparkan senjata itu kepada Ang-hong-cu yang menyambutnya dengan cekatan. Dia tidak menghendaki kematian dua orang puteranya itu, karena dia masih membutuhkan bantuan mereka. Namun, tentu saja di dalam hatinya, dia tidak rela menyerahkan dua orang gadis tawanan itu kepada mereka. Dua orang gadis itu amat lihai dan terlalu berbahaya. Harus dia sendiri yang menundukkan mereka atau kalau mereka berkeras, membunuh mereka. Dia tahu dengan pasti bahwa mereka itu tidak akan mau secara suka rela menjadi isteri kedua orang puteranya ini, dan kalau dipergunakan paksaan, tentu mereka makin tidak suka membantunya. Dia yang akan "menangani" mereka. Kini Tang Cun Sek dan Tang Gun sudah saling berhadapan seperti dua orang jagoan yang hendak mengadu ilmu. Karena maklum bahwa kakak tirinya itu lihai sekali, Tang Gun tidak mau membuang waktu lagi. "Lihat serangan!" bentaknya dan diapun sudah menggerakkan tubuhnya, menyerang dengan pukulan yang disertai loncatan seperti seekor ayam menerjang lawan. Karena maklum akan kelihaian lawan, maka begitu menyerang, Tang Gun sudah mempergunakan Ilmu Kim-ke Sin-kun yang dipelajarinya dari suhu dan subonya! Melihat serangan yang dahsyat ini, Tang Cun Sek terkejut bukan main. Diapun cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sehingga terhindar dari serangan adik tirinya, kemudian membalas dengan memainkan ilmu silat andalan dari Cin-ling-pai, yaitu Thai-kek Sin-kun dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang! Tang Gun yang tidak berani menyambut, mengelak dengan loncatan ke samping, membalik dan menyerang lagi. Gerakannya lihcah seperti seekor ayam jantan berkelahi, berloncatan ke sana-sini untuk mengelak, kedua lengannya seperti sayap ayam yang menyambar dari kanan-kiri, kakinya menendang-nendang dan gerakannya sukar diduga. Terjadilah pertandingan yang amat menarik. Sebetulnya, ilmu silat yang dipelajari Tang Gun dari suhu dan subonya, yaitu Kim-ke Sin-kun, merupakan ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Namun sayang, belum lama Tang Gun mempelajarinya sehingga dia belum dapat menguasai benar ilmu itu. Andaikata dia sudah menguasai sepenuhnya, akan sukarlah bagi Tang Cun Sek untuk dapat mengalahkannya. Di lain pihak, Tang Cun Sek adalah murid Cin-ling-pai yang tadinya amat dikasihi kakek Cia Kong Liang dan kakek itu sendiri yang menggemblengnya sehingga dia menguasai ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai dengan baik sekali. Maka, tentu saja tingkat kepandaian dan tenaganya masih menang setingkat dibandingkan Tang Gun dan setelah lewat tiga puluh jurus, nampaklah betapa Tang Gun mulai terdesak hebat dan pemuda ini hanya mampu mengelak atau menangkis saja, tidak diberi kesempatan lagi untuk membalas. "Hyaaattt !" Sebuah tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dari Tang Cun Sek menyentuh pundak Tang Gun. Biarpun yang terkena tamparan hanya pundak, namun rasa nyerinya sampai menembus ke jantung. Tang Gun terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit kembali, Tang Cun Sek sudah menyusulkan serangan totokan dan Tang Gun roboh lemas tak sadarkan diri lagi. "Bagus, coba kaulawan aku!" Tiba-tiba saja Ang-hong-cu Tang Bun An sudah menyerang Cun Sek dengan hebatnya. Cun Sek sama sekali tidak menyangka bahwa ayanya akan menyerangnya, maka saking kaget dan herannya, dia tidak sempat lagi menghindarkan dirinya dan dua buah totokan mengenai pundak dan dadanya. Dia mengeluh dan roboh tak sadar diri lagi, dalam keadaan tertotok. Ang-hong-cu tertawa. “Ha-ha-ha, anak-anak nakal kalian! Ayah mana yang tidak ingin menyenangkan anaknya? Akan tetapi kalian juga harus menjadi anak-anak yang berbakti. Jangan khawatir, anak-anakku. Aku akan memberikan dua orang gadis itu kepada kalian, akan tetapi aku adalah Si Kumbang Merah penghisap kembang. Aku harus menghisap madu mereka dulu, baru akan kuserahkan mereka kepada kalian, ha-ha-ha!” sambil tertawa-tawa, Si Kumbang Merah mencengkeram punggung baju kedua orang pemuda yang pingsan itu mengangkat mereka seperti orang menjinjing dua ekor ayam saja dan menurunkan tubuh mereka di dalam pondok, di atas lantai. Kemudian dia menutupkan daun pintu pondok dan keluar lagi.   Si Kumbang Merah ini memang suka akan segala yang indah-indah. Bukan hanya wanita cantik, akan tetapi dia suka pula akan kembang-kembang yang indah dan harum. Di sekeliling pondok di puncak bukit itupun penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Dia duduk di tengah-tengah taman yang dibuatnya sendiri itu sambil melamun dan menikmati keindahan alam. Waktu itu, musim semi telah lewat dan musim bunga membuat semua tanaman di situ berbunga. Bunga-bunga ini menarik kumbang dan kupu-kupu yang beterbangan di sekitar tempat itu, hinggap dari satu ke lain bunga untuk menghisap madunya. Ang-hong-cu Tang BunAn dengan sangat asyik memandang kupu-kupu yang bermain-main di antara bunga-bunga itu. Ketika ada seekor kumbang merah terbang dengan cepat, mendahului kupu-kupu yang banyak itu hinggap di kembang-kembang yang masih penuh madunya, dia memandang dengan hati tertarik. Pandang matanya membayangkan kegembiraan dan kebanggaan. Melihat kumbang merah menghisap madu kembang-kembang itu, diapun teringat akan semua pengalaman hidupnya. Sejak muda, diapun telah menghisap madu gados-gadis muda yang cantik, tak terhitung banyaknya. Si Kumbang Merah ini sama sekali tidak tahu betapa pada saat dia melamun itu, dua orang yang ditakutinya sedang melakukan pengejaran lewat terowongan rahasia! Akhirnya, Hay Hay dan Han Siong tiba di ujung lorong rahasia di bawah tanah itu dan mereka merasa kagum melihat bahwa terowongan itu menembus ke sebuah lereng bukit yang dikepung jurang. Jalan satu-satunya menuju bukit itu hanyalah melalui terowongan rahasia tadi! Maka, merekapun tidak merasa ragu lagi. Sudah pasti Si Kumbang Merah yang mereka kejar itu berada di bukit ini. Merekapun lalu mendaki bukit itu dengan cepat namun hati-hati sekali karena maklum betapa licik dan berbahayanya lawan yang mereka kejar. Ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok. Nampaknya sunyi saja di sekitar tempat itu. Pondok itu seperti tidak ada penghuninya dan di sekeliling pondok terdapat taman bunga yang amat indah karena pada waktu itu, hampir semua tanaman berbunga. Dari tempat mereka mengintai saja sudah nampak banyak kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga. "Sebaiknya kita berpencar agar tidak terjebak keduanya. Engkau menuju pondok lewat depan dan aku lewat belakang, Han Siong. Akan tetapi berhati-hatilah. Orang itu penuh tipu muslihat." Han Siong mengangguk dan mereka lalu berpencar. Hay Hay menyelinap di antara pohon-pohon, mengambil jalan memutar menuju ke arah belakang pondok, sedangkan Han Siong berindap-indap menghampiri pondok dari arah depan. Jantung dalam dada Hay Hay berdebar tegang ketika dia melihat Ang-hong-cu Tang Bun An duduk seorang diri di belakang pondok, di dalam taman bunga, dikelilingi bunga-bunga beraneka ragam dan warna! Orang yang dicari-carinya berada di tengah taman itu, seorang diri! Dia tidak ragu lagi walaupun kini orang itu tidak berjenggot dan berkumis. Wajahnya bersih dan tampan, namun itulah wajah Han Lojin! Seorang pria yang usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, tampan dan gagah, dengan sinar mata penuh semangat, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan hidungnya mancung. Dia yakin bahwa itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya! Wajah Han Lojin merupakan satu diantara wajah penyamarannya saja, walaupun wajah Han Lojin tidak berubah, hanya ditambah kumis dan jenggot. Membayangkan nasib para gadis yang telah menjadi korban orang ini, terutama sekali Pek Eng dan Cia Ling, Hay Hay menjadi marah dan dia sudah hampir melompat keluar ketika dia menahan diri karena melihat pria itu tertawa-tawa seorang diri seperti orang yang miring otaknya. Ang-hong-cu bangkit berdiri sambil tertawa, lalu dia memetik setangkai mawar merah yang baru mekar dan semerbak mengharum. Diciumnya mawar itu dan dia nampaknya menikmati keharuman mawar itu, mencium dengan mata terpejam. Kemudian, dia membuka mata, memandang bunga mawar yang tadi diciuminya itu, dan jari-jari tangannya memereteli kelopak bunga itu satu demi satu, menaburkannya di atas tanah, lalu membuang tangkainya. Dipetiknya bunga lain, diciuminya seperti tadi, penuh kasih sayang dan kemesraan seolah-olah hendak dihisap habis keharuman bunga itu, namun tak lama kemudian kembali jari-jari tangannya memereteli sampai habis. Hay Hay yang mengintai, memandang dengan mata terbelalak dan dia menahan napas seperti terpesona. Dia melihat bunga-bunga itu seperti gadis-gadis yang menjadi korban Si Kumbang Merah, dihisap keharumannya lalu dirusak, dicampakkan begitu saja setelah keharumannya dihisap! Setelah menghabiskan belasan batang kembang, Si Kumbang Merah lalu menangkap seekor kupu-kupu bersayap kuning kebiruan, indah sekali. Diamatinya kupu-kupu itu, wajahnya berseri, pandang matanya mengagumi keindahan sayap kupu-kupu, kemudian, jari tangan yang kejam itu memereteli sayap kupu-kupu. Kupu-kupu itu meronta-ronta sampai akhirnya semua sayapnya patah-patah dan habis dan tinggal tubuhnya menggeliat-geliat dan meronta-ronta di atas tanah. Si Kumbang Merah memandang ke arah kupu-kupu itu, ke arah kelopak bunga yang bertebaran di depan kakinya dan diapun tertawa-tawa. "Manusia berwatak iblis!" Si Kumbang Merah terkejut mendengar seruan ini dan dia cepat membalikkan tubuhnya. Matanya terbelalak penuh keheranan ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Hay Hay! "Kau……. ??!" serunya kaget karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa puteranya yang paling disegani ini dapat menyusulnya di situ. "Ang-hong-cu, engkau manusia iblis! Engkau memperlakukan para gadis yang tidak berdosa seperti kembang-kembang itu, seperti kupu-kupu itu. Engkau memperkosa, mempermainkan wanita sesuka hatimu, kemudian engkau campakkan mereka dengan kejam! Engkau tidak patut hidup dipermukaan bumi ini, dan engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang busuk!" "Hemmm, orang muda. Lupakah engkau bahwa engkau she Tang, bahwa engkau adalah putera Ang-hong-cu, puteraku? Engkau, seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, apakah engkau hendak menjadi seorang yang durhaka, pengkhianat, membuat dosa menentang ayah kandung sendiri? Seorang pendekar harus berbakti kepada ayahnya!" "Ang-hong-cu, engkau seorang penjahat besar, tidak perlu lagi memberi wejangan dan berkhotbah. Seorang gagah membela kebenaran dan keadilan, dan dalam membela kebenaran dan keadilan, hubungan keluarga tidak masuk hitungan! Biar ayah sendiri, kalau jahat dan melanggar kebenaran dan keadilan, harus kutentang!" "Ha-ha-ha, Hay Hay anakku yang ganteng dan gagah! Coba katakan, kesalahan apa yang telah kulakukan? Kebenaran dan keadilan yang bagaimana yang telah kulanggar? Jangan melemparkan fitnah kepada ayah kandung sendiri!" "Hemm, Ang-hong-cu. Sejak kapan engkau mengaku-aku anak kepadaku? Ibuku sendiri kauperkosa, kaupermainkan dan kemudian kaucampakkan begitu saja sampai ia membunuh diri. Dan masih banyak sekali wanita-wanita yang kaurusak hidupnya, gadis-gadis tidak berdosa, bahkan pendekar-pendekar wanita! Engkau manusia berwa tak iblis!" "Ha-ha-ha, kaumaksudkan wanita-wanita itu? Hay Hay, engkau anak kecil tahu apa! Wanita itu seperti bunga, indah dan harum, sudah sepatutnya dikagumi dan dinikmati, dan seorang laki-laki, seperti engkau, sungguh tolol kalau sampai terjatuh oleh rayuan wanita dan bertekuk lutut kepadanya. Akhirnya engkau sendiri yang akan menderita, yang akan dikhianati cintamu, ditinggal menyeleweng dengan pria lain!" "Tidak semua wanita seperti itu!" "Tidak semua wanita? Ha-ha-ha, engkau memang masih hijau. Karena pengalaman maka aku tahu benar akan hal itu. Dari pada disakiti hati oleh wanita, dari pada dipermainkan oleh wanita, lebih baik aku yang mempermainkan mereka." "Engkau memang jahat dan keji!" "Dan engkau sungguh mengecewakan hatiku. Engkau gagah perkasa dan tampan, engkau pandai menundukkan hati wanita, akan tetapi engkau lemah, engkau munafik, engkau pura-pura alim!" "Cukup! Aku tidak mau banyak bicara lagi denganmu!" Hay Hay membentak dengan hati panas dan sebal. "Hay Hay, habis engkau mau apa?" "Aku akan menangkapmu! Ang-hong-cu, menyerahlah. Engkau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu!" "Menyerah? Kepada anakku sendiri? Ha-ha-ha, anak baik, jangan dikira bahwa ayahmu ini selemah itu! Kalau aku tidak mau menyerah, habis engkau mau apa?" "Terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" “Anak durhaka, engkau perlu dihajar. Majulah!" Tentu saja ini hanya merupakan gertakan yang membual karena sebenarnya di sudut hatinya, Ang-hong-cu Tang Bun An merasa jerih terhadap Hay Hay. Dahulu pernah dia menjadi pecundang, dikalahkan anaknya sendiri itu. Karena maklum akan kehebatan Hay Hay, maka Si Kumbang Merah telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu rantai baja dengan kedua ujung dipasangi sebuah pisau dan sebuah kaitan. Diputarnya rantai itu dan terdengarlah suara mendesing-desing dan nampak gulungan sjnar putih gemerlapan. Hay Hay juga melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang dapat digulung dan dipakai sebagai sabuk itu. Begitu pedang itu digerakkan, nampak sinar emas bergulung-gulung. "Trangg! Cringgg……!!”Ketika beruntun pisau dan kaitan itu menyambar dahsyat, Hay Hay menyambut dengan tangkisan pedang Hong-cu-kiam sambil mengerahkan tenaga dengan maksud untuk membabat putus senjata lawan dengan pedang pusaka dari Cin-ling-pai itu. Pisau dan kaitan membalik, akan tetapi tidak sampai rusak. Hal ini menunjukkan bahwa senjata di tangan Si Kumbang Merah itupun terbuat dari baja yang kuat. Mereka segera bertanding dengan seru. Keduanya bertanding dengan hati-hati dan mengeluarkan semua simpanan ilmu mereka karena maklum bahwa lawan tidak boleh dipandang ringan, harus dihadapi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Kita tinggalkan dulu ayah dan anak yang sedang bertanding dengan hebatnya itu, dan mari kita menengok keadaan di dalam pondok. Karena tenggelam ke dalam lamunan ketika berada di taman tadi, Ang-hong-cu Tang Bun An lupa keadaan dua orang puteranya yang telah ditotok dan ditinggalkan di dalam pondok tadi. Selain lengah, juga dia memandang ringan mereka, mengira bahwa kedua orang pemuda itu sudah diberi pelajaran dan tentu tidak akan berani bertingkah. Mula-mula Cun Sek yang terbebas dari totokan. Dia dapat bergerak dan mengomel panjang pendek. "Ayah jahat, tega dia menipu anak-anaknya sendiri……. !" omelnya dan dia lalu membebaskan totokan pada diri Tang Gun. Tang Gun yang dapat bergerak, segera hendak menyerangnya. "Jangan salah paham, Gun-te! Kita telah ditipu oleh tua bangka itu. Kalau kita maju bersama, dia tentu merasa berat, maka dia mengadu kita. Setelah engkau roboh, dia menotokku!" "Eh? Kenapa begitu?" "Hemm, tak salah lagi. Dia hendak menguasai sendiri dua orang gadis kita." Tang Gun mengepal tinju. "Hemm, aku sudah rnelupakan apa yang telah dia lakukan kepada ibuku. Aku hendak menganggap dia ayahku yang sejati dan aku mau berbakti kepadanya. Tidak tahunya dia…. dia….”   Sama dengan aku, Gun-te. Dia orang yang amat jahat dan curang, bahkan tega mencurangi anak-anaknya sendiri. Mari kita lihat apakah dua orang gadis kita masih ada." Mereka berdua memasuki dua kamar itu dan legalah hati mereka ketika mereka melihat bahwa Kui Hong dan Bi Lian masih rebah terlentang di atas pembaringan dalam keadaan tertotok. Mereka menambahkan lagi totokan agar dua orang gadis itu tidak dapat bergerak dalam waktu yang cukup lama. "Kalau begitu, mari kita cari dia dan kita keroyok dia!" seru Tang Gun dengan marah. "Nanti dulu, Gun-te…….. " Cun Sek menggosok-gosok dagunya sambil memandang kepada tubuh Bi Lian. "Memang belum tentu kalau kita kalah melawan dia akan tetapi seandainya kita kalah tentu usaha kita sia-sia belaka. Dua orang gadis kita tentu akan dirampasnya. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita memiliki dulu kekasih kita masing-masing, setelah itu baru kita pergi mencarinya. Kalau begitu, andaikata kita kalah sekalipun, dua orang gadis itu sudah menjadi milik kita!" " Ah, benar sekali ……. engkau benar, toa-ko!" kata Tang Gun dan diapun segera lari ke dalam kamar sebelah dimana menggeletak tubuh Siangkoan Bi Lian dalam keadaan yang sama dengan Kui Hong, yaitu tak mampu bergerak dan lemas tertotok. Dua orang gadis yang tak mampu bergerak itu, tubuh mereka lemas tertotok, hanya dapat memandang dengan mata mendelik penuh kemarahan saja ketika dua orang pemuda itu menghampiri mereka di atas pembaringan masing- masing. Tang Gun memasuki kamar di mana Bi Lian rebah terlentang dan menutupkan daun pintu kamar itu. Dengan napas memburu dan wajah merah dia duduk di tepi pembaringan Bi Lian. Gadis itu memandang kepadanya dengan mata mendelik penuh kebencian. "Sumoi, kenapa engkau memandangku seperti itu? Aih, sumoi, semua ini kulakukan demi cintaku kepadamu. Aku sayang padamu, sumoi, aku cinta padamu………." Bi Lian membuang muka. Beberapa kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun sia-sia saja. Totokan pertama saja belum lenyap pengaruhnya dan tadi Tang Gun sudah menotoknya lagi. Ia membenci orang yang pernah diterima ayah ibunya menjadi suhengnya ini. Kalau saja ia mampu bergerak, tentu dibunuhnya orang ini, dipenggalnya kepalanya, ditembusinya jantungnya dengan pedang. "Sumoi, engkau akan menjadi korban Si Kumbang Merah. Karena itu, untuk menyelamatkanmu, demi cintaku kepadamu, terpaksa aku akan menggaulimu. Terpaksa, sumoi, agar engkau lebih dulu menjadi milikku dan Si Kumbang Merah tidak akan menjamahmu lagi dan engkau……. menjadi isteriku, Bi Lian." Bi lian bukan hanya tertotok yang membuat ia tidak mampu bergerak, bahkan ia tidak mampu bersuara. Dapat dibayangankan betapa sakit rasa hatinya ketika Tang Gun mulai merangkulnya, menindihnya, memeluk dan menciumi mukanya, pipinya, hidung dan bibirnya tanpa ia mampu mengelak, Dan perasaan hatinya seperti disayat-sayat ketika ia melihat dan merasa betapa tangan pemuda itu mulai menggerayangi tubuhnya dan membukmatanya dan air mata mulai menitik keluar dari pelupuk matanya, tanpa dapat ditahannya. Siangkoan Bi Lian adalah seorang gadis yang berhati tabah, pemberani, bahkan galak dan keras sehingga ia pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) di dunia kang-ouw. Bahkan menangispun seperti pantangan baginya. Jarang sekali ia menangis. Akan tetapi sekali ini, menghadapi ancaman yang baginya lebih mengerikan dari pada maut, ia tidak dapat menahan air matanya. Ia akan diperkosa orang, akan diperhina orang tanpa mampu mengelak, tanpa mampu membela diri, bahkan tidak mampu bersuara untuk memaki! “Jangan menangis, isteriku. Aku sayang padamu, aku tidak akan menyakitimu, sayang……. " kata Tang Gun ketika melihat air mata mengalir keluar dari kedua mata itu dan dengan nafsu semakin menggelora, diapun mengecup pipi yang basah air mata itu. Makin deras air mata mengalir dari kedua mata Bi Lian. Kubunuh kau, kubunuh kau………!!! Kalimat ini berulang-ulang diucapkan di dalam hati. Ia tidak berani membuka mata dan akan menerima aib yang akan menimpa dirinya itu untuk mempertebal rasa dendam dan bencinya. “Brakkkk!" pada saat terakhir yang amat gawat bagi kehormatan Siangkoan Bi Lian itu, tiba-tiba pintu kamar itu jebol ditendang orang dari luar. Sesosok bayangan menyambar ke arah Tang Gun yang siap menanggalkan pakaian dari tubuhnya sendiri. Tang Gun terkejut, mencoba untuk mengelak sambil menangkis. Namun, masih saja tendangan kaki orang itu menyerempet pahanya dan diapun meloncat dari atas pembaringan sambil mencabut pedang Kwan-im-kiam! “Sumoi…….!” Han Siong memanggil lirih melihat sumoinya menggeletak terlentang dalam keadaan sudah telanjang bulat sama sekali. Cepat dia menggerakkan tangannya menotok jalan darah di pundak dan tengkuk gadis itu. "Cepat berpakaian, sumoi!" Bi Lian dapat bergerak. Biarpun kaki tangannya masih terasa kaku, ia cepat meraih pakaiannya dan mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tang Gun marah bukan main. Diumpamakan daging sudah di depan mulut, kini tergelincir lepas. "Keparat busuk!"bentaknya dan diapun menyerang dengan pedang Kwa-im-kiam. Akan tetapi, Han Siong sudah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini dia menuding ke arah pedang di tangan Tang Gun sambil membentak dengan suara nyaring penuh wibawa. "Engkau memegang ular itu untuk apa?"   Tang Gun tertegun. "Ular…….. ?" Dan otomatis dia memandang ke arah pedang di tangan kanannya dan matanya terbelalak lebar, mukanya pucat seketika. "Ular……. !!" teriaknya dan dia melemparkan pedang itu ke atas lantai dengan jijik karena yang dilihatnya bukan lagi pedang, melainkan seekor ular yang dipegang tangan kanannya. Timbul perasaan takut di hatinya dan diapun hendak melarikan diri melalui pintu yang dijebol itu. Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu sumoinya, Siangkoan Bi Lian, telah berdiri di ambang pintu menghadangnya! "Suheng, serahkan keparat ini kepadaku. Tolonglah Cia Kui Hong, ia berada di kamar sebelah!" kata Siangkoan Bi Lian. Mendengar ini, Han Siong melorlcat keluar dari dalam kamar itu. "Jahanam busuk, sekarang kita membuat perhitungan sampai tuntas!" kata Bi Lian dengan sikap tenang, namun sepasang matanya mencorong seperti mata naga dan mukanya merah karena ia sudah marah sekali. Tang Gun merasa jerih sekali. "Sumoi ……. aku telah khilaf…… maafkanlah aku, sumoi dan biarkan aku pergi. Aku menyesal…… " "Jahanam busuk! Engkau telah membohongi dan menipu orang tuaku sehingga engkau berhasil mencuri ilmu silat kami! Kemudian, aku yang menjadi sumoimu sudah bersusah-payah hendak membantumu mencari musuhmu. Kiranya engkau adalah ahak Ang-hong-cu dan bersekongkol dengan ayahmu untuk menawanku secara curang dan pengecut! Semua ini ditambah lagi dengan perbuatanmu yang terkutuk tadi. Engkau hendak memperkosa aku! Dan sekarang engkau minta maaf? Hemmm, orang she Tang! Biar membunuhmu sampai seratus kali, hutangmu masih belum lunas!" Tang Gun merasa takut sekali. Ketika sumoinya itu menjadi tawanan, diapun tidak lagi menyembunyikan kenyataan dirinya bahwa dia bernama Tang Gun dan putera Ang-hong-cu, maka sekarang Bi Lian sudah mengetahui semua rahasianya. Bagaikan seekor anjing tersudut, matanya melirik ke sana-sini mencari lubang untuk melarikan diri. Dan pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Kini pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular, melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu. "Deessss…….!!" Tubuhnya terpelanting oleh sebuah tendangan yang datang dari kiri dan mengenai lambungnya. Tang Gun cepat meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek. "Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotorr” katanya dan menyimpan kembali pedang itu kedalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lalu memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti ia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapi dengan tangan kosong saja. Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap bagaikan asap tipis tertiup angin, dan kini yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancamannya. Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanyapun akan luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian. Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan dapat menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itupun tidak mempergunakan pedangnya. Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring diapun menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suhengnya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi semakin penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya telah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya. Maka, Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan merekapun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka nampaknya mereka seperti latihan saja. Namun sesungguhnya, mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Tentu saja Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi. Akan tetapi Tang Gun dapat mempertahankan dengan kenekatannya. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Bi Lian tadi, Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoinya itu pasti akan marnpu rnengalahkan lawannya. Kini dia harus menolong Cia Kui Hong lebih dulu yang berada di kamar sebelah. Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang rnenggeluti Cia Kui Hong. Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidaklah tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak rnemperkosanya. Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini Kui Hong masih berpakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis inipun lemas tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki tangan, tidak mampu berteriak. "Brakkkkk……. !!" Ketika daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya, dibakar nafsu berahinya, dia tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah. Baru setelah daun pintu kamar itu jebol, dia terkejut dan meloncat turun dari pembaringarn, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong. "Keparat!" bentak Han Siong dan diapun sudah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata, Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah kalah oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, diapun rnenggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam rnenangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tranggg…..!!” Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental dan hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Han Siong untuk meloncat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis inipun terbebas dari totokan. Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?” Cun Sek terkejut dan semakin jerih, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, diapun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun, serangannya dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Han Siong. Sementara itu, Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, kemudian ia meloncat ke depan. "Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskannya!" Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, maka setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu. "Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Pedang ini rampasan dari Sim Ki Liong, kuserahkan padamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!" "Gin-hwa-kiam…….!" Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang i tu dari tangan Han Siong. Setelah menyerahkan pedang itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan keselamatan sumoinya atau gadis yang dicintainya itu. ** * "Trang……. Cring………. tranggg !!" Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi la wannya, Si Kumbang Merah, ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula. Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, akan tetapi pertandingan itu merupakan pertandingan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi, juga amat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin hukun buang atau hukum seumur hidup, atau juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya. Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka, pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya dan dia mengeluarkan semua ilmu simpanannya, juga mengerahkan seluruh tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkar yaitu kalau pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat, dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka. Namun, sedikitpun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu. Yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tidak mau membunuh lawan, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tidak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar kalau sampai mengenai sasaran, tidak sampai membunuh lawan dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu. "Trang-tranggg …….., haiiiiittt…….!” Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini merupakan kaitan. Karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing, Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis. "Cringgg………. !" Dan ujung rantai yang berbentuk kaitan itu kini melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya! Serangan susulan ini hanya dapat terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mujijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sin-kang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan. Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawan, maka dia mengerahkan tenaga untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai. Dalam keadaan terdesak itu, Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Kembali gerakan inipun merupakan mengalah, hanya menghindarkan diri. Kalau dia mau, dengan kekuatan tangannya yang dahsyat, dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu dan melontarbalikkan pisau ke arah penyerangnya. Karena sikap mengalah ini, keadaannya makin terdesak dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba. "Desss…….. !" Tubuh Hay Hay terlempar dan dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Biarpun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri. Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan dan meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberi kesempatan dia mengatur kedudukannya, terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu. Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk merobohkan puteranya, namun semua serangannya sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang sejak muda menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang. Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan kecil, “Tar-tar-tarrr……. !" dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah, membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang. "Mayang……. !" kata Hay Hay yang juga menghentikan serangannya. Dia merasa girang melihat adiknya selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini urusan antara aku dan dia!" Mayang mengerutkan alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu. "Tidak, koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia pernah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, biarpun dia tahu bahwa aku ini anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang jahat sekali. Aku harus membunuhnya!" Ia menerjang lagi dan cambuknya sudah meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata di kedua ujung rantai untuk membela diri, dan balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang, segera menerjang maju pula untuk membantu Mayang. "Sim Ki Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya. Melihat ini, Hay Hay merasa tidak enak sekali. “Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!” Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton. Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimanapun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia telah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah. Hay Hay meloncat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, maka dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka itu, sedangkan dia hanya bergerak melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu. Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimanapun juga, Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu ganas bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang! "Tarrr……. !" Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu. Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping dan sambil mengelak, kaitan di ujung rantainya menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Ia meloncat ke kiri untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan lagi cambuknya. "Tarrr……!” Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan. "Prattt!" Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri. Mayang agak bingung melihat gerakan bergulingan ini, akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka iapun mengejar dengan loncatan. "Singgg…… !" Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut. “Tranggg!" Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya. “Jahanam!" Mayang memaki dan cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun. "Tar-tar-tarrr…….!” Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak dan menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung. "Brettt……. !" Robeklah punggung baju itu dan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah! Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu dapat dibendung, bahkan selanjutnya, serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan. Makin payahlah keadaan Si Kumbang Merah ini karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tidak mampu membalas karena gadis itu dilindungi pedang di tangan Hay Hay. Napasnya semakin memburu pakaiannya sudah basah oleh keringat dan bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya. Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong untuk menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun sudah berpindah keluar kamar, Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja. Namun, semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali. Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi cepat sekali Bi Lian sudah mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda inipun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan. Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga rasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit dan dagingnya terobek dan berdarah. "Hyaaaattt……. !" Bi Lian menyerang lagi, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun. Melihat ini, tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat. Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis inipun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itupun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking. Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa lagi ketika gadis itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya seperti diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, diapun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika! Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)! Iapun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Ia membayangkan betapa tadi Tang Gun menggelutinya, bahkan menelanjanginya dan iapun meludah ke arah mayat itu. "Sumoi…… !" Pek Han Siong memanggil. Bi Lian memutar tubuhnya. Melihat Han Siong, bayangannya berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun. "Suheng……. !" Dan teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya, Bi Lian menggigil. "Kenapa, sumoi….. ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?" Bi Lian menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, suheng….. hanya aku teringat tadi…… kalau engkau tidak cepat datang menolongku……. ahhhh……. si keparat itu……… " "Sudahlah, sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, ia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Mereka bahkan berkelahi di luar rumah." Keduanya lalu berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan. Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong dan membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong. Menghadapi Pek Han Siong seorang saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah ketika bertanding melawan Kui Hong memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi, Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar. "Jahanam busuk, engkau hendak lari ke rnana?" Kui Hong mengejar. Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung dan saat itu, Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong. Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, kini pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti kita ketahui, Cun Sek telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini menjadi ketuanya! Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga ia telah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek. Dan Kui Hong juga memanfaatkan kelebihannya ini. Biarpun Cun Sek dapat membela diri dengan baik dan rapat, namun lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Kini Gin-hwa-kiam berada di tangannya maka iapun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa-kiamsut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya. Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di situ, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya.Melihat ini, Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu dan hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini memperoleh kemajuan pesat dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau ia menjadi ketua Cin-ling-pai. Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka iapun dapat menduga bahwa Bi Lian telah berhasil "membereskan" Tang Gun. Ia merasa penasaran karena ia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka, ia mengeluarkan seruan melengking nyaring dan pedang Gin-bwa-kiam diputar dengan cepat dah mengandung tenaga yang amat kuat menempel dua batang pedang lawan. Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia menarik sepasang pedang itu dan meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong, ia menancapkan pedangnya di atas tanah, melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking. "Hyaaaaattt... !!" Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang amat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis. "Desssss……. !!" Biarpun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan gadis itu menerobos dan hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, kemudian dada di bagian bawah Cun Sek dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau dan terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan diapun tewas seketika. Kui Hong meloncat dan dengan kedua tangannya ia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang ia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian. "Engkau sudah bereskan jahanam itu?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini kukembalikan Gin-hwa-kiam yang kaupinjamkan kepadaku tadi." Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ah, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada ialah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya pinjam dari saudara Tang Hay….. ah, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak…..??” "Kaumaksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong, tertarik. "Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Dia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan…….. ah, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa dipergunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu. Mereka bertiga lari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis. "Hemm, agaknya inilah wajah yang aseli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong. Mereka melihat betapa Mayang mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah cabik-cabik, dan mukanya sudah penuh guratan merah terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga. "Jahanam, engkau kiranya masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak ddn sekali loncat, ia telah berada di depan Sim Ki Liong yang nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini, Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya. "Sim Ki Liong, hayo cepat pergunakan senjatamu. Kita selesaikan semua perhitungan antara kita di sini. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau T eratai Merah untuk menghukummu, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu." "Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, nona. Aku siap menerima hukuman mati sekalipun, aku tidak akan melawan, aku menerima kesalahanku." Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Ia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai, dan belum tentu ia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini dengan mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekalipun, tanpa melawan? "Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!" Tiba-tiba Ki Liong menjatuhkan diri berutut, tidak menghadap Kui Hong, melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah, dan kalau suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa." Mendengar ini, Kui Hong mengerutkan alisnya. Ia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar ia merasa iba. Maka ia berkata lantang, "Bagus, kalau begitu, biar aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!" Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya, siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong. "Enci Kui Hong, jangan……..!!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu dan teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga ia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut. "Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!" Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. “Mayang, dia seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!” “Tidak, enci Kui Hong! Biarpun dia pernah tersesat, namun dia telah menyadarinya dan bertaubat. Bahkan dia telah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kaubunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!” Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya. “Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga…….." "Mayang, minggir kau!” Kui Hong membentak. "Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun. "Aih, Mayang. Ada apa dengan engkau? Kenapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya, penasaran. "Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku….. aku cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku berpisah darinya. Sekarang, jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta." Semua orang terbelalak, kagum akan keberanian dan ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya. "Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu lebih dulu agar aku dapat membunuh keparat itu." "Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!" Pada saat yang menegangkan itu, Hay Hay sedang bertanding lagi melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu dan hatinya menjadi gelisah bukan main. Dia tahu bahwa ada hubungan kasih antara Sim Ki Liong dan adiknya, dan kini bahkan adiknya membuat pengakuan yang demikian terbuka bahwa iapun mencinta pemuda itu. Dan mendengar suara Kui Hong agaknya berkeras hendak membunuh Ki Liong, Hay Hay menjadi semakin khawatir. Karena perhatiannya terpecah, bahkan sebagian besar ditujukan ke arah adiknya dan Kui Hong, maka perlawanannya terhadap desakan Ang-hong-cu menjadi lemah dan diapun terdesak. Saking khawatirnya, Hay Hay meloncat ke belakang dan menoleh ke arah Kui Hong. “Hong-moi……. , jangan bunuh dia. Dia telah membantu kami melawan para penjahat……” “Cratt……… aughhh…….. !” Hay Hay sudah mengelak namun tetap saja pangkal lengan kirinya tersabet pisau di ujung rantai yang digerakkan Ang-hong-cu Tang Bun An secara curang karena dia melihat kesempatan baik sekali ketika Hay Hay meloncat dan menoleh ke arah Kui Hong tadi. Hay Hay terhuyung dan melihat ini, Si Kumbang Merah menerjang dengan senjatanya. Kaitan itu menyambar ganas ke arah leher Hay Hay. "Tranggg……… !” Kaitan itu membalik ketika ditangkis oleh pedang di tangan Kui Hong yang sudah menolong Hay Hay. "Ang-hong-cu iblis busuk! Engkau curang dan pengecut!" bentak Kui Hong sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu sedangkan pedang Gin-hwa-kiam siap di tangan kanan. Ang-hong-cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Cia Kui Hong! Katanya engkau ketua Cin-ling-pai, akan tetapi ternyata hanya menjadi seorang pengeroyok. Siapa yang curang dan pengecut? Ha-ha, nona manis, engkau boleh membantu Hay Hay dan bersama dia mengeroyok aku!" "Hong-moi, mundur. Aku masih sanggup menghadapinya!" kata Hay Hay setelah memberi obat bubuk kepada luka di pangkal lengan kirinya. Kui Hong memandang kepada Hay Hay dengan alis berkerut. "Akupun tidak sudi mengeroyok, dan akupun percaya bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkannya, hay-ko. Dan aku percaya engkau harus tahu bahwa kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, penjahat harus di hukum, tidak perduli siapapun dia! Hubungan keluarga tidak mempengaruhi keadilan!" Setelah berkata demikain, Kui Hong melangkah mundur. Gadis ini melihat betapa tadi ketika membantu Mayang, Hay Hay sama sekali tidak pernah menyerang Ang-hong-cu, seolah-olah dia tidak tega dan sengaja mengalah terhadap ayah kandungnya itu. Karena itu kini ia mengingatkan Hay Hay agar tidak lemah. Ialah orangnya yang akan merasa menyesal dan kecewa bukan main kalau sampai Hay Hay melupakan kebenaran dan keadilan karena hubungan keluarga dan sengaja melindungi ayah kandungnya yang jahat sekali itu. Hay Hay memandang kepada Kui Hong dan dua pasang mata itu saling tatap, dua pasang sinar mata bertaut sebentar. "Aku mengerti, Kui Hong!" Kini Hay Hay menghadapi Ang-hong-cu dan begitu dia mengeluarkan suara melengking nyaring yang memekakkan telinga dan mengguncang jantung, diapun menerjang dengan pedang Hong-cu-kiam diputar cepat. Nampak sinar emas bergulung-gulung, menyambar ke arah Ang-hong-cu yang cepat menyambut dengan senjata rantainya. "Tranggg! Cringgg……!" Si Kumbang Merah terkejut bukan main karena kini Hay Hay menggunakan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga ketika kedua ujung rantainya bertemu dengan pedang, dua senjata itu, pisau dan kaitan, menjadi patah! Sinar pedang emas itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, demikian cepatnya sehingga kembali Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya yang dipegang kedua tangan pada ujung yang sudah tidak ada senjatanya lagi. "Tranggg……. !" Rantai itu putus menjadi dua dan tubuh Ang-hong-cu terjengkang lalu dia berguljngan sampai jauh. Dia melompat bangun, wajahnya berubah pucat matanya terbelalak, akan tetapi wajah itu menjadi merah kembali dan dia tersenyum menyeringai. "Bagus, Hay Hay! Engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah. Senjataku sudah putus dan tidak ada gunanya lagi, akan tetapi aku rnasih mempunyai tangan dan kaki!" Dia membuang dua potong rantai itu dan mernasang kuda-kuda dengan sikup gagah sekali. Tubuhnya tegak lurus, kaki kanan diangkat sehingga tumitnya menempel lutut kiri, tangan kanan menempel di pinggang dengan jari tangan terbuka, dan tangan kiri sedikit bengkok ke depan, juga dengan jari tangan terbuka. Hay Hay menyarungkan pedang Hong-cu-kiam di pinggangnya. Dia adalah seorang gagah yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan senjata, apa lagi dia memang ingin menangkap Ang-hong-cu, bukan membunuhnya. Melihat Ang-hong-cu masih hendak melawannya dengan tangan kosong, bahkan bersikap menantang, Hay Hay menyimpan pedangnya dan diapun melompat ke depan lawan. Ang-hong-cu menyambut Hay Hay dengan serangan gencar. Dia menyerang dengan kedua tangan terbuka, kadang-kadang menusuk dan kedua tangannya dipergunakan membacok dan menusuk seperti golok, kadang-kadang tangan itu terbuka untuk mencengkeram, dan di lain saat sudah dirobah lagi dengan kepalan yang memukul dahsyat. Namun, dalam hal ilmu silat tangan kosong, Hay Hay jauh lebih lihai dibandingkan ayah kandungnya itu. Bukan hanya dia telah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh Delapan Dewa, namun juga semua ilmunya itu menjadi matang oleh gemblengan kakek sakti Song Lojin. Betapapun hebatnya ilmu silat tangan kosong Ang-hong-cu yang memiliki banyak kembangan dan tipu muslihat, namun begitu Hay Hay memainkan ilmu silat Cui-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak), Ang-hong-cu menjadi bingung dan repot sekali. Dia sama sekali tidak mengenal gerakan puteranya itu dan tidak tahu bagaimana perubahannya. Namun, dia melihat betapa lawannya seolah-olah berubah menjadi banyak, padahal Hay Hay sama sekali tidak mempergunakan ilmu sihir . Namun Ang-hong-cu tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi, dia sudah terlampau lelah, tenaganya semakin berkurang dan setiap kali mereka mengadu lengan, dia terdorong dan terhuyung ke belakang, dan menyeringai kesakitan. Hay Hay mendesak terus. Kui Hong, Mayang, Han Siong dan Bi Lian hanya menoton dan mereka semua merasa lega dan kagum karena melihat betapa Hay Hay dapat mengungguli lawan yang amat tangguh itu. Dalam kesempatan ini, dengan suara lirih Mayang menceritakan tentang Sim Ki Liong kepada Kui Hong. Ki Liong sendiri berdiri agak menjauh, juga ikut menonton pertandingan, namun lebih banyak menunduk. Baru terbuka benar matanya betapa selama ini dia lebih banyak bergaul dengan orang-orang sesat. Hal itu diakuinya, akan tetapi juga dia merasa terpaksa sekali. Dia sudah salah langkah untuk pertama kalinya ketika dia tergila-gila kepada Kui Hong kemudian melarikan diri dari Pulau Teratai Merah dan mencuri pedang pusaka Gin-hwa-kiam. Itulah kesalahannya yang pertama, yang memaksa dia bergaul dengan para penjahat dan orang sesat karena perbuatan itu tidak memungkinkan dia untuk berdekatan dengan para pendekar. Kini baru terasa olehnya betapa ilmu silat dapat mendatangkan perasaan bangga dan bahagia kalau dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, kalau dipergunakan untuk menentang kejahatan. Sebaliknya, kalau dipergunakan untuk mengejar kesenangan nafsu, hidupnya akan berlepotan kejahatan dan tidak akan merasakan ketentraman lagi. Pada suatu saat, Hay Hay menerjang lawannya dengan pukulan dari bawah depan. Memang gaya permainannya sama aneh dan sukar diduga. Maklum karena penciptanya adalah Ciu-sian Sin-kai, si pengemis dewa arak sehingga gerakan itu seperti gerakan orang mabok kebanyakan minum arak. Justeru gerakan seperti itu malah membuat lawan menjadi bingung. Ketika melihat tangan Hay Hay meluncur ke arah dadanya dengan gerakan yang aneh dan cepat, sama sekali tidak dapat menghindarkan lagi, Ang-hong-cu menjadi nekat. Dia tidak perduli lagi akan keselamatan dirinya, dan dia menerima begitu saja pukulan itu, akan tetapi membarengi dengan gerakan kedua tangannya mencengkeram ke arah leher Hay Hay dari kanan kiri! "Dukk!"" Dada Ang-hong-cu terpukul. "Plakk!" Pukulan kedua tangan terbuka dari Ang-hong-cu juga mengenai leher Hay hay, akan tetapi alangkah kagetnya Ang-hong-cu yang merasa betapa dadanya nyeri dan napasnya sesak, ketika kedua tangan itu mengenai leher, dia merasa seolah-olah menampar leher yang terbuat dari baja yang keras dan licin. Kedua tangannya meleset ke bawah dan kini mencengkeram kedua pundak Hay Hay. "Brettt.....!" Baju di kedua pundak Hay Hay robek dan jari-jari tangan itu mencengkeram kulit dan daging sehingga kedua pundak Hay Hay luka berdarah! Hay Hay menggerakkan kakinya dan lututnya menendang. "Brukkk!" Perut Si Kumbang Merah tertendang lutut dan diapun roboh telentang, meringis kesakitan. Dia masih berusaha untuk bangkit berdiri sambil kedua tangan memegangi dadanya, akan tetapi dia terjatuh kembali, jatuh terduduk. Kui Hong, Bi Lian, Mayang, dan Han Siong kini berloncatan mendekati, Ang-hong-cu dan tangan mereka siap untuk memukul. Jelas nampak dari sikap dan pandang mata mereka bahwa empat orang itu akan membunuh Ang-hong-cu. Melihat ini, tanpa memperdulikan kedua pundak dan pangkal lengan kiri yang terluka parah, Hay Hay mendahului mereka, meloncat menghadang antara mereka berempat dan tubuh Ang-hong-cu yang masih terduduk dan meringis kesakitan. "Jangan……. ! Kalian tidak boleh membunuhnya!" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya melindungi Ang-hong-cu yang biarpun masih meringis kesakitan, akan tetapi kini dia mengangkat muka memandang dan wajah yang kesakitan itu berseri gembira! "Hay-koko, aku harus membunuhnya untuk membalaskan sakit hati ibuku!" kata Mayang yang sudah siap dengan cambuknya. "Hay 'Hay, ingatlah engkau kepada adikku Pek Eng!" kata Han Siong. "Dan ingat kepada Cia Ling. Aku harus membunuhnya!" kata Kui hong. "Hay-ko, orang ini terlalu jahat, kejam seperti iblis. Sudah sepatutnya kita bunuh dia!" kata pula Bi Lian. Hay Hay menggeleng kepalanya dengan tegas. "Tidak, siapapun tidak boleh membunuhnya. Aku sudah berjanji untuk menangkapnya dan menyeret dia ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan semua dosanya. Aku menangkapnya untuk menentang kejahatannya. Sekarang dia sudah tertangkap, dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, kalau ada yang hendak membunuhnya, terpaksa aku akan melindunginya. Bagaimanapun, dia ini.... ayah kandungku!" “Bagus! Engkau seorang laki-laki sejati, Hay-ko!" Kui Hong berseru dengan wajah gembira sekali dan iapun kini melangkah maju, berdiri disamping Hay Hay, sikapnya menantang. "Hay-ko benar! Aku akan membantu dia melindungi Si Kumbang Merah kalau ada yang hendak membunuhnya!" Bi Lian dan Han siong mengerutkan alisnya, dan Mayang memandang bingung. Tiba-tiba mereka semua memandang kepada Ang-hong-cu yang tertawa bergelak sambil duduk bersila, “Ha-ha-ha-ha-ha! semua anak-anakku yang tidak mampu mengalahkan aku ingin membunuhku. sebaliknya, Tang Hay, satu-satunya anakku yang mampu mengalahkan aku bahkan hendak melindungiku dan tidak mau membunuhku. Ha-ha-ha-ha, engkau memang hebat, Tang Hay. Engkau lebih hebat dari ayahmu. sayang sekali engkau lemah dan tidak dapat menikmati hidupmu. Engkau mata keranjang akan tetapi hanya lahirnya saja. Engkau tidak sepenuhnya mewarisi watakku. Akan tetapi aku cukup puas. Aku kalah oleh anakku sendiri. Tang Hay, apa yang akan kau lakukan sekarang terhadap diriku?" Hay Hay rnernandang dengan alis berkerut. "Aku akan rnenyerahkanmu kepada Menteri Cang. Beliau seorang pembesar yang adil dan bijaksana, tentu akan memberi hukuman yang adil. Nah itu, beliau datang…….. " Memang pada saat itu terdengar suara gaduh dan muncullah Cang Taijin bersama puluhan orang perajurit pengawal. Mereka berhasil menemukan terowongan bawah tanah dan sampai di tempat itu. "Ha-ha-ha, tidak ada seorangpun di duhia ini yang berhak membunuhku!" Ang-hong-cu berseru sambil tertawa bergelak. Semua orang memandang dan Hay Hay cepat menangkap lengan Ang-hong-cu, akan tetapi terlambat. Orang itu sudah menelan sebutir pel hitam dan tiba-tiba saja dia terkulai roboh. Wajahnya berubah rnenghitam, namun dia masih tertawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa itu berhenti dan Si Kumbang Merah terkulai lemas, tewas dengan mata terbelalak dan mulut masih terbuka seperti orang tertawa. Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di dekat mayat ayahnya dan dia memejamkan mata, seperti orang berdoa. Bagaimanapun juga pria ini adalah ayah kandungnya! Tak lama kemudian, Hay Hay bangkit dan memondong mayat ayahnya, mencari tempat yang baik di bukit itu, lalu menggali lubang kuburan. Tanpa banyak cakap lagi Pek Han Siong membantunya, bahkan Mayang dapat pula menangisi mayat ayah kandungnya yang pernah dirindukannya itu. Yang terbujur itu adalah sesosok mayat, alat yang di waktu hidupnya dijadikan perebutan antara daya-daya rendah yang menguasai seluruh anggauta badan. Tubuh yang semestinya menjadi alat bagi kehidupan jiwa yang mendiaminya, akhirnya menjadi budak nafsu. Bahkan pikiran yang menjadi kusir pemegang kendali juga telah dikuasai kuda-kuda nafsu. Badan bagaikan kereta. Baik kereta badan, kuda-kuda nafsu, kusir dan kendalinya, semua semestinya menjadi hamba dan alat yang melayani jiwa. Tanpa adanya kuda-kuda nafsu, maka kereta badan takkan dapat bergerak maju. Tanpa adanya kusir pikiran dan kendalinya, segalanya akan kacau dan rusak arahnya. Akan tetapi kalau kuda-kuda nafsu itu tidak terkendali lagi, dan menjadi liar, maka nafsu akan kabur sesukanya dan kalau sampai terjerumus ke dalam jurang, segalanya ikut menderita. Bukan hanya keretanya, juga penghuni kereta, Sang Jiwa. Sebaliknya, kalau jiwa yang menjadi majikannya, dan semua alat itu hanya menjadi hambanya, barulah jiwa itu dapat menjadi seorang manusia yang seutuhnya. Hanya kalau jiwa ini dapat bersatu dengan sumbernya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Kasih, maka jiwa akan mendapatkan kembali kekuasaannya atas semua hambanya, yaitu jasmani. Setelah jenazah Ang-hong-cu Tang Bun An atau Si Kumbang Merah dimakamkan, juga jenazah Tang Gun dan Tang Cun Sek yang dikubur di sebelah kiri Ang-hong-cu. Hay Hay menyembahyangi kuburan mereka secara sederhana, bersama Mayang. Menteri Cang Ku Ceng menyatakan penghargaan dan terima kasihnya kepada para pendekar yang untuk kedua kalinya membantu pemerintah membasmi gerombolan yang dianggap berbahaya. Namun seperti biasa, Hay Hay dan para pendekar lainnya tidak bersedia menerima anugerah jabatan, bahkan menolak pemberian hadiah berupa harta kekayaan. Hal ini membuat Menteri Cang menjadi semakin kagum dan hormat kepada mereka. ** * "Nona Cia, kalau nona memperbolehkan dan masih percaya kepadaku, aku mohon agar. Gin-hwa-kiam diserahkan kepadaku." kata Sim Ki Liong kepada Cia Kui Hong, didengarkan oleh para pendekar lainnya. "Benar, enci Kui Hong. Kami sudah membicarakan tentang hal itu dan akupun ikut mengharap sukalah kiranya engkau menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada Liong-koko." “Menyerahkan Gin-hwa-kiam kepadamu?" Kui Hong mengulang dengan heran. "Untuk apa?" Sinar matanya penuh selidik menatap wajah Ki Liong. "Nona Cia. Pedang Gin-hwa-kiam adalah pusaka Pulau Teratai Merah. Aku yang dahulu melarikannya, mencurinya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa aku telah sadar dan bertaubat, aku ingin mengembalikan sendiri pusaka itu kepada suhu dan subo. Aku akan menghadap, suhu dan subo, dan seandainya suhu dan subo marah dan hendak menghukumku, aku akan menerimanya dengan rela." "Aku akan menemaninya, enci Hong. Andaikata engkau belum dapat percaya kepadanya, tentu engkau percaya kepadaku, bukan?" kata Mayang. Kui Hong nampak bimbang, kemudian ia menoleh kepada Hay Hay dan biarpun mulutnya tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya jelas minta pertimbangan pendekar itu. Sungguh aneh, ia sendiri tidak mengerti mengapa kepada Hay Hay ia berpaling untuk minta pertimbangan. Hay Hay dapat menangkap pandang mata itu, dan dia menghela napas panjang. "Beruntunglah orang yang sakit dapat sembuh dari penyakitnya. Sebaliknya, berhati-hatilah orang yang sehat karena sewaktu-waktu dia dapat saja dihinggapi suatu penyakit. Saya lebih menghargai orang jahat yang menyadari kejahatannya lalu bertaubat, dari pada orang baik yang membanggakan dan menyombongkan kebaikannya sehingga takabur. Aku sendiri kini dapat mempercayai Sim Ki Liong karena aku yakin bahwa adikku Mayang tidak akan salah pilih." "Aku setuju dengan pendapat Hay-ko." kata Siangkoan Bi Lian. Gadis ini bukan saja teringat betapa ia pernah menjadi murid dua orang datuk sesat, akan tetapi juga ia tahu bahwa ayahnya adalah putera seorang datuk sesat, bahkan ibunya puteri suami isteri yang menjadi datuk besar dunia hitam sebagai raja dan ratu! Kui Hong termenung. Ia teringat akan neneknya di Pulau Teratai Merah. Neneknya itu dahulunya seorang datuk besar kaum sesat dengan julukan Lam Sin (Malaikat Selatan), akan tetapi kemudian setelah menikah dengan kakeknya, berubah menjadi pendekar yang menentang kejahatan. "Baiklah, kau boleh antarkan pedang pusaka ini kembali ke Pulau Teratai Merah. Andaikata engkau menipuku, aku masih dapat mencarimu dan membuat perhitungan." Sim Ki Liong yang sejak bertaubat nampak muram wajahnya, kini dia nampak gembira bukan main. Wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar kembali. Dia menerima pedang Gin-hwa-kiam dan memberi hormat kepada Kui Hong. "Nona Cia, dahulu mataku seperti buta, melihat engkau sebagai seorang gadis yang tinggi hati, keras dan kejam. Sekarang baru aku dapat melihat betapa engkau amat bijaksana. Terima kasih, nona, engkau telah menghidupkan kembali semangat dan harapanku. Mari, adik Mayang, sekarang juga kita berangkat ke Pulau Teratai Merah!" Mayang lari menghampiri Hay Hay dan memegang lengan pemuda itu. "Hay-ko, engkau tidak marah bukan dengan keputusanku untuk menemani Liong-koko?" Hay Hay tersenyum. "Sama sekali tidak, adikku. Aku bahkan merasa gembira sekali dan aku hanya mendoakan agar engkau berbahagia. Ki Liong, jaga adikku baik-baik." Sim Ki Liong dan Mayang lalu berpamit dari semua orang dan merekapun berangkat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata para pendekar. Setelah bayangan dua orang ini lenyap, Bi Lian saling pandang dengan Han Siong, sedangkan Kui Hong saling pandang dengan Hay Hay. Mereka masih merasa terharu akan perubahan yang terjadi pada diri Sim Ki Liong. Sungguh, cinta kasih dapat merobah segala! Tiba-tiba Siangkoan Bi Lian melangkah maju menghampiri Pek Han Siong. Ia melepaskan pedang Kwan-im-kiam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Han Siong. "Suheng, engkau terimalah pedang ini." katanya lirih. Han Siong memandang dengan mata terbelalak. “Kwan-im-kiam? Akan tetapi, ini adalah pedangmu, sumoi. Pedang pusaka milik ayah ibumu!" "Tidak suheng. Pedang ini milikmu. Ingat ayah dan ibu sudah memberikan Kwan-im-kiam ini kepadamu." "Tapi…… tapi……..” Han Siong mengerutkan alisnya karena diingatkan akan kenyataan pahit itu, " suhu dan subo memberikan pedang ini sebagai ikatan dan ikatan itu sudah putus " Dia tidak berani menjelaskan dengan kata "perjodohan" karena di situ terdapat Kui Hong dan Hay Hay. Siangkoan Bi Lian tersenyum dan wajahnya nampak manis sekali. "Benar, suheng. Itu dahulu. Setelah pedang ini kembali ke tanganmu, bukankah berarti ikatan perjodohan itu telah bersambung kembali?" Wajah Han Siong seketika berubah merah dan matanya kembali terbelalak, namun sinar kebahagiaan terpancar dari pandang matanya itu. "Bi Lian……., sumoi…….. ini…….. ini……. benarkah ini………. eh, maksudku, engkau……… engkau mau…….." Dia tidak dapat bicara terus terang karena merasa malu didengar Hay Hay dan Kui Hong. Bi Lian mengangguk sambil tersenyum. "Terserah kepadamu, suheng. Ada dua jalan. Engkau dapat menghadap ayah dan ibu dan mengembalikan pusaka ini, atau engkau boleh datang bersama orang tuamu ke sana. Nah, aku pergi dulu, menanti di sana bersama ayah dan ibu. Hay-ko, adik Hong, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bi Lian meloncat dan berlari cepat sekali menuju ke jalan keluar satu-satunya yang tadi juga dilewati Ki Liong dan Mayang, yaitu jalan menuju ke terowongan bawah tanah. Han Siong masih berdiri tertegun dengan Kwan-im-kiam di tangan. Baru dia sadar ketika Hay Hay merangkul pundaknya dan sahabatnya itu tertawa gembira. "Han Siong, bocah ajaib, sekarang engkau menjadi bocah beruntung! Kionghi (selamat), Han Siong!" "Hay Hay….., kau….. kaupikir, ia….. ia…..” Han Siong masih salah tingkah karena terguncang keharuan dan kegembiraan. "Ia menanti datangnya pinangan orang tuamu, bocah bodoh!" Han Siong tersenyum lalu mengangkat kedua tangan ke arah Hay Hay dan Kui Hong, "Selamat tinggal…… selamat tinggal dan terima kasih!" Dan diapun melompat pergi dengan cepatnya, diikuti pandang mata Hay Hay dan Kui Hong. Mereka berdiri saling pandang. Kini hanya tinggal mereka berdua saja di bukit itu bersama tiga gundukan tanah kuburan. Dalam keadaan itu, terbayanglah dalam ingatan mereka semua pengalaman mereka dahulu. Pernah mereka mengalami banyak hal yang hebat ketika mereka melakukan perjalanan bersama (baca kisah Pendekar Mata Keranjang). Kui Hong teringat bahwa Hay Hay merupakan pria pertama yang telah menjatuhkan hatinya! Juga Hay Hay teringat betapa pernah dia tertarik sekali kepada Kui Hong, namun dahulu dia selalu menolak perasaan cinta yang membutuhkan persatuan sebagai suami isteri. Baru sekarang dia menyadari bahwa sebetulnya, dia sudah ingin sekali memiliki seorang teman hidup, seorang isteri yang mencinta dan dicinta, seorang calon ibu anak-anaknya. Dan dalam diri Kui Hong dia melihat segala keindahan yang pernah didambakannya. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya. Pandang mata dan sikap gadis itu, suaranya, juga ketika tadi minta pertimbangan kepadanya melalui pandang mata tentang diri Sim Ki Liong. Dia melangkah maju menghampiri. Kui Hong menyambut dengan pandang matanya, tidak menjauh. "Kui Hong…… " "Hay Hay…….. " Gelora perasaan yang aneh itu demikian kuatnya, membuat mereka merasa canggung dan sukar untuk bicara. Akan tetapi Hay Hay dapat menguasai perasaannya dan diapun menyerahkan Hong-cu-kiam kepada gadis itu. "Pangcu…..” "Hushh, tidak sudi aku disebut pangcu olehmu. Tidak enak……!" "Akan tetapi engkau memang ketua Cin-ling-pai. Baiklah, Hong-moi, ini kukembalikan Hong-cu-kiam kepadamu. Pedang ini adalah pusaka Cin-ling-pai dan kebetulan aku dapat merampasnya dari Tang Cun Sek." "Engkau bawalah, Hay-ko. Aku sudah mempunyai Hok-mo Siang-kiam. Kelak kau boleh kembalikan ke Cin-ling-san, aku akan menunggu dl sana……” kata Kui Hong, teringat akan ucapan Bi Lian kepada Han Siong tadi. Hay Hay tersenyum maklum, akan tetapi dia lalu menghela napas panjang. "Hong-moi, Han Siong akan datang bersama ayah ibunya untuk meminang Bi Lian. Akan tetapi aku…….? Aku sebatang kara, tiada ayah ibu lagi." "Takutkah engkau menghadap seorang diri kepada orang tuaku? Biasanya engkau begitu pemberani, Hay-ko!" "Tapi….. tapi……. bagaimana kalau aku di tolak?" "Hemm, keputusan sepenuhnya berada di tanganku." "Hong-moi, engkau….. engkau…… sudikah engkau menjadi isteriku?" Kui Hong memandang kepadanya dan dua pasang mata bertemu. Sebetulnya, tidak perlu lagi mereka bicara. Sinar mata mereka sudah bicara banyak dan tanpa bertanya sekalipun, mereka sudah tahu bahwa mereka saling mencinta, bahwa mereka dengan hati bahagia suka menjadi suami isteri. "Hay-ko, satu di antara sifatmu yang menarik hatiku adalah keterbukaanmu ini. Akan tetapi, katakanlah, kenapa engkau tiba-tiba ingin memperisteri aku?" "Hemm, mengapa? Karena aku clnta padamu tentu saja." "Aneh! Masih terngiang di telingaku betapa dahulu engkau mengatakan tidak ada cinta itu di hatimu. Engkau tidak ingin terikat walaupun engkau memuji-muji diriku. Engkau suka akan keindahan akan tetapi tidak mau terikat…..” "Dahulu aku bodoh, Hong-moi. Mana ada orang yang lahir terus pintar? Harus melalui kebodohan dulu untuk menjadi pintar, bukan? Kini mataku terbuka sudah. Engkaulah segala keindahan di dunia ini! Dan tanpa engkau, aku akan kehilangan semua keindahan itu. Perjodohan adalah satu diantara kodrat manusia, tak terelakkan lagi, kecuali mereka yang sengaja hendak menyiksa diri tidak mau menikah dan menjadi orang alim. Dan aku bukan orang alim!" "Huh, engkau mata keranjang, siapa bilang alim?" Kui Hong mencela aka tetapi sambil tertawa dan Hay Hay juga tertawa. "Biar mata keranjang aku tidak cabul, aku tidak seperti mendiang ayahku, aku tidak pernah mempermainkan wanita, aku…..” “Hushh, cukup. Kalau engkau seperti itu, mana mungkin aku sudi menjadi isterimu?" "Jadi engkau mau?" "Kalau engkau melamarku kepada orang tuaku!" , "Hong-moi……. !!" Hay Hay menangkap Kui Hong dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas, diterimanya dengan lembut, lalu dilemparkan lagi sampai berulang kali. Kui Hong tertawa dan menjerit-jerit, baru berhenti permainan itu setelah Hay Hay menyambutnya dengan dekapan dan tahu-tahu mereka telah berciuman dengan lembut dan mesra. "Hong-moi, pujaan hatiku, kekasihku, sayangku yang kucinta dengan sepenuh jiwa ragaku, mari kita pergj ke Cin-ling-pai, sayang……” Kui Hong tertawa geli, akan tetapi juga senang. "Dasar perayu kau, mata keranjang kau!" Mereka bergandengan tangan sambil tertawa-tawa, meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kebahagiaan dan harapan. Dan sampai di sini, pengarang menghentikan tulisannya karena kisah ini telah selesai, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi para pembaca di samping menjadi bacaan hiburan di kala senggang. Sampai jumpa dilain kisah. TAMAT Lereng Lawu, medio Pebruari 1984. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt