JODOH SI MATA KERANJANG mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Pegunungan Cin-ling-san berderet panjang dengan puncak-puncaknya yang tinggi menembus awan, dari barat ke timur. Terletak di perbatasan tiga propinsi, yaitu Propinsi Kan-si dan Shen-si di utara, dan Propinsi Secuan di selatan. Dari pegunungan inilah mengalir air sungai Wei-ho di sebelah utara yang kemudian memuntahkan airnya ke sungai Huang-ho, dan di selatan mengalir sungai Han-sui yang kemudian bergabung dengan sungai Yang-ce. Karena adanya sumber-sumber air yang besar, maka permukaan gunung Cin-ling-pai nampak kehijauan, tanahnya subur dan para penghuni dusun-dusun di daerah itu tak pernah kekurangan makan. Pemandangan alamnya amat indah, bahkan ada beberapa bukit yang ditumbuhi banyak macam tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat. Pegunungan Cin-ling-san bukan hanya terkenal karena keindahan alamnya, kesuburan tanahnya dan kesejukan hawanya, akan tetapi bagi dunia kang-ouw terutama sekali karena di situ terdapat sebuah perkumpulan para pendekar yang bernama Cin-ling-pai. Perkumpulan orang gagah ini berada di sebuah lereng dekat puncak, lereng yang subur dan landai. Karena banyak anggauta cin-ling-pai tinggal di situ, maka lereng ini merupakan suatu perkampungan tersendiri di mana terdapat bangunan-bangunan yang di kelilingi pagar tembok. Tidak kurang dari seratus orang anggauta Cin-ling-pai berkumpul di situ, bersama keluarga mereka. Di tengah perkumpulan ini berdiri sebuah bangunan tua yang paling besar, berdiri seperti bersandar pada sebuah bukit, dan ini merupakan rumah tinggal keluarga ketua Cin-ling-pai. Cin-ling-pai amat terkenal di dunia kang-ouw karena banyak pendekar dari perkumpulan ini membuat nama besar di dunia ramai dan mengangkat nama tinggi Cin-ling-pai sehingga perkumpulan itu di akui sebagai sebuah perkumpulan-perkumpulan besar di waktu itu. Pada waktu itu, perkumpulan orang-orang gagah lainnya yang terkenal adalah Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai, Im-yang-pai dan masih banyak partai atau perkumpulan lain akan tetapi semua itu merupakan cabang atau pecahan dari perkumpulan-perkumpulan besar itu. Sejak beberapa turunan, Cin-ling-pai dipimpin oleh keluarga Cia. Keluarga ini terkenal sebagai ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi. Banyak macam ilmu silat tinggi yang hebat-hebat dimiliki keluarga ini sehingga nama Cin-ling-pai menjulang tinggi di dunia persilatan. Apalagi karena sepak terjang keluarga ini selalu menentang kejahatan dengan gigih, maka mereka dikenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Cin-ling-pai dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang bernama Cia-Bun-Houw, seorang yang membuat nama besar sehingga bukan hanya namanya yang terkenal, melainkan juga dia membawa nama Cin-ling-pai menjadi terkenal di seluruh dunia persilatan. Yang menggantikan Cia Bun Houw sebagai ketua Cin-ling-pai adalah Cia Kong Liang yang pada waktu itu telah menjadi seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh dua tahun dan tidak aktif lagi melainkan lebih banyak bertapa di dalam kamarnya di bagian belakang bangunan keluarga ketua Cin-ling-pai yang besar itu. Cia Kong Liang digantikan oleh puteranya, Cia Hui Song yang membuat nama Cin-ling-pai semakin harum dengan sepak terjangnya sebagai pendekar yang gagah perkasa. Pada waktu itu, biarpun Cia Hui Song baru berusia kurang lebih empat puluh empat tahun, namun dia telah mengundurkan diri dari Cin-ling-pai. Memang dia tidak berbakat menjadi seorang ketua, lebih suka hidup bebas dan berkelana bersama isterinya, yaitu Ceng Sui Cin puteri dari Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Dan kedudukan ketua Cin-ling-pai di serahkan kepada ketua baru yang dipilih melalui ujian dan pertandingan. Akhirnya, kedudukan ketua baru dipegang oleh puterinya, yaitu Cia Kui Hong, seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa pula. Cia Kui Hong baru berusia sembilan belas tahun ketika ia menjadi ketua Cin-ling-pai, hampir dua tahun yang lalu. Sesungguhnya, sebagai seorang gadis pendekar yang memiliki darah petualang yang sama seperti ayahnya. Kui Hong tidak suka menjadi ketua. Kalau ia ikut dalam pemilihan ketua, hal itu ia lakukan karena ia melihat seorang murid baru Cin-ling-pai yang tak disukanya di calonkan oleh kakek Cia Kong Liang menjadi ketua. Ia tidak suka kepada Tang Cun Sek, murid itu, dan untuk mencegah agar orang yang bukan keluarga Cia ini menjadi ketua baru, Kui Hong mengikuti pemilihan ketua. Ia berhasil mengalahkan Tan Cun Sek dan gadis inilah yang dipilih menjadi ketua baru menggantikan ayahnya! Kemudian ternyata bahwa Tang Cun Sek memang bukan orang baik-baik. Setelah ia dikalahkan Kui Hong dalam pemilihan ketua Cin-ling-pai, dia minggat dan mencuri pusaka Cin-ling-pai, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Akhirnya, dalam pertempuran melawan para pendekar, Tang Cun Sek tewas dan pedang Hong-cu-kiam kembali ke tangan Cia Kui Hong. Semua peristiwa itu di ceritakan dalan kisah SI KUMBANG MERAH. Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai hampir dua tahun yang lalu, ia menyerahkan kepengurusan Cin-ling-pai kepada Gouw Kian Sun, yaitu tokoh Cin-ling-pai yang masih susiok (paman seperguruan) sendiri. Ia sendiri pergi merantau untuk mencari Tang Cun Sek dan merampas kembali pusaka Hong-cu-kiam. Gouw Kian Sun ternyata cukup pandai memimpin Cin-ling-pai. Apalagi masih ada kakek Cia Kong Liang yang menjadi pengawas dan penasihat, walaupun kakek ini lebih banyak bertapa di dalam kamarnya. Dan Gouw Kian Sun yang usianya empat puluh dua tahun dan belum berkeluarga itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Dia telah menguasai semua ilmu dari Cin-ling-pai, kecuali beberapa ilmu rahasia yang tidak di kuasai sembarang murid. Diantara ilmu-ilmu silat dari keluarga Cia di Cin-ling-pai, yang paling ampuh antara lain adalah ilmu Toat-po-san, semacam ilmu kekebalan yang membuat kulit tubuh keras dan kuat menahan pukulan dan bahkan bacokan senjata tajam. Thian-te Sin-ciang merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandung tenaga sin-kang amat kuatnya. Siang-bhok-kiam-sut adalah ilmu pedang khas Cin-ling-pai yang asalnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu akan tetapi kini dapat pula dimainkan dengan pedang baja yang ringan. Thai-kek Sin-kun adalah ilmu silat yang amat halus namun kokoh kuat, bukan saja dapat dipergunakan untuk memperkuat tubuh sebagai latihan senam lahir batin, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai ilmu bela diri yang ampuh. Di samping ilmu silat tangan kosong Thai-kek Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, Cin-ling-pai memiliki pula ilmu silat tangan kosong San-in Kun-hwat (Silat Awan Gunung) dan Im-yang Sin-kun. Juga ilmu tongkat pasangan Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga) amat tangguh. Akan tetapi, semua ilmu silat Cin-ling-pai itu merupakan ilmu silat tinggi yang tentu saja masih ada tandingannya, yaitu ilmu-ilmu dari partai-partai persilatan besar. Hanya ada satu ilmu Cin-ling-pai yang amat ditakuti semua tokoh kang-ouw. Ilmu itu di sebut Thi-khi-i-beng (Mencuri Kekuatan Mengganti Semangat). Ilmu ini sebenarnya merupakan kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang bekerja di tubuh orang yang menguasai ilmu itu, dan hebatnya, setiap kali bagian tubuh lawan menempel pada tubuh pemilik ilmu ini, maka tenaga sin-kang lawan akan terhisap dan pindah ke dalam tubuh si pemilik ilmu. Ilmu ini amat di takuti orang, karena orang yang lebih tinggi ilmu silatnya pun dibuat tidak berdaya kalau menghadapi ilmu “menyedot sin-kang lawan” ini. Sayang tidak sembarang orang mampu menguasai ilmu ini. Untuk menguasainya, dibutuhkan bakat yang besar dan juga keadaan tubuh yang sesuai. Oleh karena itu, jarang tokoh Cin-ling-pai menguasai Thi-khi-i-beng. Hanya ayah dari mendiang Cia Bun Houw yang bernama Cia Keng Hong yang dapat menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Bahkan Cia Bun Houw juga tidak mampu mewarisinya. Apalagi Cia Kong Liang putera Cia Bun Houw, dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng. Puteranya yang lebih lihai, yaitu Cia Hui Song, juga tidak dapat menguasai ilmu luar biasa itu, apalagi Cia Kui Hong. Seolah-olah ilmu yang amat hebat itu telah lenyap dari Cin-ling-pai karena tidak ada lagi keturunan Cin-ling-pai yang yang menguasainya. Untuk masa itu, kiranya hanya satu orang saja yang menguasainya, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang menjadi majikan penghuni Pulau Teratai Merah! Demikianlah sedikit catatan mengenai Cin-ling-pai dan para tokohnya. Pada waktu itu, ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong, sudah lama meninggalkan Cin-ling-pai dan yang mewakilinya mengatur perkumpulan itu adalah Gouw Kian Sun. dia dibantu oleh seorang murid Cin-ling-pai lain yang termasuk murid keponakannya bernama Ciok Gun, murid berusia tiga puluh dua tahun yang sudah terkenal karena kegagahannya. Berkat kesungguhan hati dua orang inilah maka biarpun Cin-ling-pai ditinggalkan ketuanya sampai lama, namun semua murid Cin-ling-pai taat dan mematuhi peraturan, dan selalu menjaga nama baik perkumpulan dengan setia. *** Pagi yang cerah sekali. Matahari sudah mulai memancarkan cahayanya yang hangat. Ciok Gun bersama dua orang anggauta Cin-ling-pai yang lain memasuki sebuah hutan di bukit sebelah barat perkampungan mereka dengan membawa busur dan anak panah. Pagi hari itu Ciok Gun keluar sendiri untuk berburu di hutan. Bulan itu banyak terdapat ayam hutan dan kelinci di hutan yang mereka masuki itu. Hanya pada bulan-bulan tertentu banyak kelinci gemuk dan ayam hutan berkeliaran di situ dan itulah waktu untuk berburu. Ciok Gub adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang bertubuh jangkung dan tegap. Di antara murid Cin-lingpai tingkat kedua, dialah merupakan murid terpandai, maka dia dipercaya oleh sesioknya, Gouw Kian Sun, untuk menjadi wakil dan pembantu utamanya. Bahkan untuk mengamati dan memimpin latihan silat, Ciok Gun mewakili susioknya itu. Dua orang temannya adalah para sutenya yang juga bertingkat dua dan mereka telah memiliki ilmu silat Cin-ling-pai yang cukup tangguh. Mereka berdua itu adalah Teng Sin yang berusia duapuluh lima tahun dan Koo Ham berusia dupuluh tujuh tahun. Teng Sin berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar, sedangkan Koo Ham tinggi kurus dengan kulit kehitaman. Mereka berdua itu walaupun belum setangguh Ciok Gun, namun sudah merupakan dua orang pendekar yang berkepandaian tinggi dan sukar dikalahkan. Tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu pada pagi hari ini berburu, selain untuk bersenang-senang, juga hasilnya nanti akan mereka serahkan kepada susiok mereka, Gouw Kian Sun dan para susiok lain, yaitu para murid tingkat pertama dari Cin-ling-pai. Di antara tiga orang murid tangguh Cin-ling-pai itu, hanya Koo Ham yang sudah menikah walaupun dia dan isterinya belum mendapatkan turunan. Teng Sin dan Ciok Gun belum berumah tangga, masih membujang walaupun Teng Sin sudah berusia duapuluh lima tahun dan Ciok Gun bahkan sudah tiga puluh dua tahun. Setelah memasuki hutan, Teng Sin yang wataknya gembira itu berbisik. “Lihat di pohon besar sana itu ada ayam-ayam hutan. Mari kita berlomba, siapa diantara kita yang dapat lebih dulu menjatuhkan seekor!” Koo Ham tersenyum. “Hemm, mana engkau menandingi Ciok-suheng yang ahli menggunakan panah?” Ciok Gun tersenyum pula. “Aih, belum tentu. Hasil-hasil berburu tidak di tentukan sepenuhnya oleh keahlian memanah. Juga nasib memegang peran penting. Yang bernasib terang dalam berburu, setiap langkah kakinya membawa dia berhadapan langsung dengan binatang buruan, sebaliknya kalau bintang sedang gelap, sehari penuh tak pernah bertemu dengan seekor pun binatang buruan.” Setelah dekat dengan pohon besar itu, mereka melihat ada tiga ekor ayam hutan bertengger di cabang pohon dan bergerak-gerak dengan gesitmya. Mereka segera mengambil tempat yang enak, mempersiapkan busur dan anak panah lalu membidik dan menyusup dekat. Mereka sudah menarik tali busur. Akan tetapi milik Ciok Gun meluncur lebih dulu dan lebih cepat dan sasarannya terkena dengan tepat. Seekor ayam hutam jatuh ke bawah dengan leher ditembusi anak panah. Dua ekor ayam hutan melayang jatuh pula dengan perut tertembus anak panah yang dilepas Teng Sin dan Koo Ham. Mereka bertiga cepat mengambil ayam hutan itu dan saling memperlihatkan kepada teman. “Nah, kau lihat! Mana kita mampu menandingi kepandaian Ciok-suheng?” kata Koo Ham sambil tertawa. Teng Sin harus mengakui keunggulan suhengnya itu. Anak panahnya dan anak panah Koo Ham menembus perut ayam hutan sedangkan anak panah Ciok Gun menembus leher! Tentu saja yang menembus leher itu lebih baik karena daging badan ayam tidak rusak oleh anak panah dan masih utuh, tidak seperti bidikan mereka yang menembus perut dan tentu saja hal ini merugikan karena sebagian daging ayam itu menjadi rusak. Akan tetapi untuk membidik ke arah leher sungguh tidak mudah. Sedikit saja selisihnya akan gagal! Mereka masih belum sanggup membidik leher dan mengenai dengan tepat seperti yang dilakukan suheng mereka.   Bagaimanapun juga, memanah ayam hutan yang gerakannya demikian lincah dan gesit, bukan pekerjaan yang mudah dan mereka bertiga itu sudah membuktikan kelihaian mereka. Apalagi memanah lawan seorang manusia, betapa akan mudahnya untuk merobohkan lawan itu bagi mereka! Belum setengah hari lamanya, tiga orang murid Cin-ling-pai yang gagah ini telah membunuh dua puluh lebih ayam hutan dan belasan ekor kelinci. Mereka lalu bersepakat untuk pulang ke perkampungan mereka karena hasil buruan itu sudah cukup banyak. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari hutan, di lereng bukit yang sunyi itu, tiba-tiba mereka berhadapan dengan dua orang yang entah muncul dari mana, tahu-tahu sudah berada di depan mereka seperti setan. Tentu saja tiga orang murid Cin-ling-pai itu terkejut sekali. Mereka adalah pendekar-pendekar yang sudah banyak pengalaman, maka mereka dapat menduga bahwa tentu dua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga gerakan mereka amatlah cepatnya. Mereka lalu mengamai penuh perhatian karena belum pernah mereka melihat dua orang ini di daerah itu. Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya kekuning-kuningan namun cukup tampan, mulutnya tersenyum mengandung ejekan. Rambutnya yang masih hitam itu digelung ke atas dan mengkilap oleh minyak, di jepit jepitan rambut dari emas, dan pakaiannya adalah jubah pendeta. Di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Adapun orang kedua amat menarik perhatian. Ia seorang wanita yang usianya sekitar duapuluh sampai duapuluh lima tahun. Sukar menaksir usia wanita ini sebenarnya karena wajahnya yang cantik manis itu tertutup bedak tebal. Bibir dan pipinya di warnai merah. Kalau pria itu cukup pesolek, wanita muda ini lebih poesolek lagi. Pakaiannya gemerlap indah, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya di ukir dan diwarnai indah, gambar bunga-bunga dan kupu-kupu.wanita inipun tersenyum manis dan agaknya ia yang menjadi juru bicara karena temannya, pria yang berpakaian seperti pendeta tosu (pendeta agama To) itu diam saja, hanya mengelus jenggot sambil tersenyum mengejek. “Kalian bertiga adalah murid-murid Cin-ling-pai yang terkenal itu, bukan?” tanya si wanita dan ketika ia bicara, gerak bibirnya jelas menunjukkan kegenitannya. Mulut itu memang nampak penuh gairah menantang dan ketika ia bicara, bibirnya bergerak-gerak memikat, nampak giginya berderet rapi dan putih, dan rongga mulutnya yang merah. Lidah yang kecil panjang berwarna merah muda itu kadang menjilat bibir penuh daya pikat. Namun tiga orang murid Cin-ling-pai itu adalah tiga orang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin bersih dan teguh. Ciok Gun segera menjawab dengan pandang mata penuh selidik dan alis berkerut karena dia merasa tidak suka melihat sikap wanita cantik itu yang jelas bukan seorang wanita sopan. “Memang benar kami murid-muri Cin-ling-pai dan pada saat ini kami berada di daerah kami sendiri. Sebaliknya ji-wi (anda berdua) adalah orang asing. Ji-wi siapakah, dari mana dan ada keperluan apa berada di daerah ini?” Pertanyaan ini cukup tegas dan tidak ramah walaupun nadanya halus dan sopan. Wanita itu tertawa, tertawa bebas sehingga mulutnya terbuka lebar namun karena ia memang cantik, sikapnya ini tidak membuat ia nampak buruk. “Heh-heh-heh, alangkah gagahnya! Tentu engkau yang bernama Ciok Gun, murid utama Cin-ling-pai dan engkau yang membantu Gouw Kian Sun memimpin Cin-ling-pai, bukan?” Diam-diam Ciok Gun terkejut. Wanita asing ini agaknya tahu segala tentang Cin-ling-pai. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan wanita ini seorang sahabat baik ketuanya, yaitu nona Cia Kui Hong yang kini sedang merantau dan belum pulang, pikirnya. Dia harus berhati-hatidan tidak bersikap kurang hormat. “Benar sekali nona. Ketua kami, yaitu Cia-pangcu, tidak berada di rumah dan yang mewakilinya adalah su-siok Gouw Kian Sun, sedangkan saya hanya diperintahkan untuk membantu su-siok.” Wanita itu tersenyum manis, lalu memandang kepada Teng Sin dan Koo Ham. “Dan dua orang ini murid-murid Cin-ling-pai tingkat rendahan?” Wajah Ciok Gun berubah merah. Sahabat ketuanya atau bukan, wanita ini sikapnya amat buruk, lancang mulut dan sombong. “Mereka adalah dua orang suteku!” katanya, tidak begitu hormat lagi. “Sesungguhnya, siapakah ji-wi dan ada keperluan apa…….” “Ciok Gun, mulai saat ini engkau tidak membantu Gouw Kian Sun atau Cia Pangcu (Ketua Cia) lagi, melainkan membantu aku!” “Ba ….. baik….. eh, apa artinya ini?” Ciok Gun terkejut bukan main karena di luar keinginannya, begitu saja dia menyanggupi untuk menjadi pembantu wanita yang tidak di kenalnya itu! Hanya dengan memaksa hatinya memberontak dia dapat menahan diri dan kini dia memandang dengan mata terbelalak. “Nona, apa maksudmu? Apa artinya semua ini?” Kembali wanita itu tertawa. “Ha-ha-heh-heh! Artinya, laki-laki yang gagah, bahwa mulai saat ini akulah yang berkuasa dan engkau harus mentaati semua perintahku!” Selagi Ciok Gun masih tertegun karena bukan saja terheran mendengar ucapan itu, akan tetapi juga karena ucapan itu ditujukan kepadanya, dia seperti terpengaruh kekuatan yang aneh, dua orang sutenya yang tidak terpengaruh sudah menjadi marah bukan main. “Sungguh lancang mulut!” bentak Teng Sin marah sambil mengepal tinju dan melangkah dekat. “Siapakah engkau ini wanita yang berani bersikap kurang ajar terhap suheng?” Koo Ham juga membentak sambil melangkah maju.   Wanita itu memandang kepada mereka dengan tersenyum mengejek, lalu ia mengibaskan tangannya ke arah mereka seperti orang mengusir lalat sambil berkata, “Huh, kalian ini dua orang anak kecil tahu apa?” Tentu saja dua orang murid Cin-ling-pai itu menjadi marah bukan main. Mereka adalah tokoh-tokoh Cin-ling-pai tingkat dua yang sudah memiliki kegagahan dan kepandaian tinggi, dan kini diperlukan seperti dua orang anak kecil oleh seorang perempuan muda! “Nona, kami adalah pendekar-pendekar yang tidak sudi menyerang wanita, kecuali kalau wanita itu seorang penjahat yang patut di basmi. Karena itu, kalau engkau seorang wanita baik-baik, pergilah dari sini dan jangan sampai membuat kami marah!” kata Teng Sin dengan sikap gagah. Bagaimanapun marahnya, dia masih ingat bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita dan tidak ada alasan bagi mereka untuk saling bermusuhan. Wanita itu tersenyum memandang kepada Teng Sin, dari kepala sampai ke kaki seperti orang yang sedang menaksir sebuah benda dagangan. “Hemmm, engkau ini anak kecil mengaku pendekar? Kalau aku bukan orang baik-baik dan tidak mau pergi dari sini, engkau akan bisa berbuat apakah?” “Keparat! Kalau begitu terpaksa aku harus mengusirmu dengan kekerasan!” bentak Teng Sin. “Hi-hik, kukira engkau tidak mampu, cucuku!” wanita itu mengejek. Ini sudah keterlaluan dan Teng Sin menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring. Tentu saja dia masih belum tega untuk mencelakai wanita itu, hanya ingin memberi hajaran saja, maka dengan tenaga Thian-te Sin-ciang dia menampar ke arah pundak kiri wanita itu. Biarpun dia murid tingkat dua, akan tetapi Teng Sin telah dapat menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang cukup kuat sehingga ketika tangannya menyambar dengan tamparan itu, terdengar suara dan angin menyambar keras. “Wuuuuttt…….. plakk!” Tamparan itu mengenai pundak kiri wanita itu karena memang tidak di tangkis atau dielakkan. Teng Sin terbelalak karena merasa khawatir sekali melihat betapa tamparannya itu mengenai pundak lawan tanpa di tangkis atau dielakkan. Kiranya wanita itu tidak pandai ilmu silat! Akan tetapi dia semakin menjadi heran karena tangannya mengenai pundak yang begitu lunak seperti segumpal daging tanpa tulang saja dan tenaga Thian-te Sin-ciang itu seperti tenggelam adan lenyap pada saat itu, tangan kiri wanita itu bergerak secepat kilat sehingga tidak nampak. Tangan iu dengan jari terbuka menusuk ke arah dada Teng Sin. “Hukkkk…..!” Teng Sin terjengkang dan darah segar muncrat dari mulutnya. Koo Ham dan Ciok Gun terkejut sekali. Mereka berlutut memeriksa dan …… ternyata Teng Sin telah tewas! Di ulu hatinya nampak tanda merah kehitaman, bekas telapak tangan wanita itu dan baju bagian dada itu hancur! Dengan mata terbelalak Koo Ham memandang sutenya yang tewas, lalu dia melompat sambil mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. “Iblis betina, engkau berani membunuh saudaraku?” bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, dan karena dia maklum betapa lihainya wanita itu, begitu menyerang dia memainkan ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah dipelajarinya, walaupun belum sempurna benar. Sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran pedang, wanita itu berseru. “Aih, inilah Siang-bhok Kiam-sut? Kaku sekali!” Kembali ia mengelak sampai tiga kali berturut-turut ketika Koo Ham mendesaknya dengan serangan pedang. “Tentu saja kaku, karena selain ilmunya itu belum sempurna, juga seharusnya untuk ilmu itu dipergunakan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum)!” tiba-tiba pendeta yang sejak tadi hanya memandang saja, menjawab ucapan wanita itu. “Wah, kalau begitu bocah ini tidak ada gunanya!” kata wanita itu dan pada saat itu, pedang di tangan Koo Ham sudah menyambar dengan tusukan ke arah lambung. Wanita itu menggeser kaki dan miringkan tubuhnya. Pedang meluncur ke dekat lambung dan begitu tangan kirinya bergerak, ia telah menangkap pedang itu dengan tangan kiri! Koo Ham yang merasa marah karena kematian Teng Sin tidak peduli dan cepat dia menarik pedangnya untuk membuat tangan wanitu itu tersayat. Akan tetapi pedangnya tidak bergerak seolah di jepit bukan dengan tangan melainkan dengan jepitan baja yang amat kuat! Kembali dia mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya, dan pada saat itu, tangan kanan wanita itu bergerak. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga Koo Ham tidak menduganya. “Takk!” jari-jari tangan yang kecil halus itu menampar pelipis kepalanya dan tubuh Koo Ham terpelanting roboh di dekat mayat Teng Sin. Ketika Ciok Gun memandang, ternyata Koo Ham telah tewas pula dan di pelipis kepala yang tertampar itu pun terdapat tanda bekas jari tangan merah kehitaman! Ciok Gun maklum betapa gawatnya keadaan. Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati sekali melihat betapa dua orang sutenya tewas di tangan wanita itu. Akan tetapi diapun maklum bahwa agaknya orang itu memusuhi Cin-ling-pai, maka dia menahan kemarahannya dan ingin tahu siapa mereka dan mengapa begitu kejam membunuh dua orang murid Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa wanita ini lihai bukan main, Ciok Gun sudah mencabut pedangnya. Dengan pedang melintang di depan dada, dia memandang wanita itu dengan mata tajam penuh selidik. “Siapakah sesungguhnya engkau dan mengapa engkau memusuhi kami?” Wanita itu terkekeh lalu menoleh kepada tosu yang sejak tadi berdiri diam saja itu. “Suhu, lihat betapa gagahnya dia! Hayo suhu, kenapa engkau sejak tadi diam saja? Membiarkan seorang wanita bekerja kelelahan. Sekarang giliranmu untuk menghadapi Ciok Gun ini. Akan tetapi ingat, jangan bunuh dia, suhu, sesuai dengan rencana kita.”   “Hemm, untuk mengurus cacing ini saja harus aku turun tangan sendiri?” Tosu itu mengomel, akan tetapi dia melangkah maju menghadapi Ciok Gun. “Ciok Gun, seperti telah dikatakan oleh muridkuu tadi, mulai saat ini engkau harus menjadi pembantu kami. Ketahuilah bahwa kami akan menjadikan Cin-ling-pai bangkit kembali menjadi perkumpulan besar yang akan merajai seluruh perkumpulan dan partai persilatan. Dan engkau akan membantu kami!” “Aku tidak sudi!” Ciok Gun membentak. “To-tiang, engkau ini agaknya seorang pendeta, kenapa bersikap begini kejam membiarkan muridmu membunuh dua orang suteku? Siapakah engkau?” “Aku bernama Kim Hwa Cu, masih ada dua orang suhengku bernama Siok Hwa Cu dan Lan Hwa Cu. Ia adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, murid kami bertiga. Sekarang mau tidak mau engkau harus menjadi pembantu kami!” Ciok Gun belum pernah mendengar nama tiga orang pendeta itu, akan tetapi dia merasa pernah mendengar di dunia kang-ouw di sebutnya nama Tok-ciang Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun). “Biar sampai mati aku tidak sudi! Sekarang kalian harus mempertanggungjawabkan kematian dua orang suteku!” berkata demikian, diapun menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada tosu di depannya itu. Tosu yang bernama Kim Hwa Cu itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya. Dia menggerakkan tangan menangkis dan ujung lengan baju yang lebar dan panjag menyembunyikan tangannya itu menyambut pedang. “Plakk!” Ciok Gun berseru kaget karena tangkisan ujung lengan baju itu sedemikian kuatnya sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya lagi dan terpental lepas dari tangannya dan terlempar sampai jauh! Hampir dia tidak percaya akan apa yang dialaminya. Dua orang surtenya, masing-masing dalam segebrakan saja tewas di tangan wanita cantik genit itu, sedangkan dia sendiri dalam segebrakan saja sudah kehilangan pedangnya melawan tosu yang tinggi kurus ini. Bagaimana mungkin ini? Ketuanya sendiri pun tidak mungkin dapat membuat dia melepaskan pedang dalam segebrakan saja! Ciok Gun adalah murid tingkat dua yang sudah ahli. Bahkan di antara para murid setingkat, dia yang paling lihai dan dia pun ahli dalam ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung). Maka, biarpun pedangnya sudah terlempar, dia tidak mau menyerah dan kini dia sudah menyerang dengan kedua tangan kosong, memainkan ilmu silat San-in Kun-hoat! Dua kali pukulan dan tendangannya dihindari tosu itu dengan elakan. “Bi Hwa, perhatikanlah. Inilah San-in Kun-hoat!” kata kakek itu sambil terus mengelak, seolah memberi kesempatan kepada Ciok Gun untuk mempertontonkan ilmu silat itu. “Hemm, sudah lumayan gerakannya.” Wanita itu pun memberi komentar. “Tapi jangan kau lukai dia, suhu. Dialah yang akan membantu kita.” “Ha-ha-ha, jangan khawatir, Bi Hwa. Nah, kurobohkan dia!” kata tosu itu. Tentu saja Ciok Gun yang mendengarkan percakapan itu terkejut dan diapun cepat memasang kuda-kuda untuk membela dirinya yang akan di robohkan tosu itu. Akan tetapi pada saat itu, dua ujung lengan baju menyambar dari kanan kiri. Demikian cepatnya dan demikian dahsyatnya sehingga biarpun Ciok Gun berusaha untuk menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan, tetap saja pundaknya tersentuh ujung lengan baju dan ida pun roboh tertotok dan pingsan! *** Ciok Gun membuka matanya. Sejenak dia nanar dan merasa tubuhnya panas. Ketika nanarnya hilang dan dia menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar, dia terkejut dan dia segera teringat akan peristiwa di dalam hutan itu. Mimpikah dia! Mimpi buruk tentang kedua orang sutenya yang tewas? Di mana dia? Dia bangkit duduk dan makin kaget mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat, dan tadi tubuhnya tertutup selimut. Dan ada yang bergerak di sebelahnya. Dia menoleh dan Ciok Gun berseru kaget. Wanita cantik itu berada di dekatnya, juga tanpa pakaian. Wanita yang dilihatnya dalam “mimpi” telah membunuh dua orang sutenya. Bukan mimpi kalau begitu! Teringatlah dia betapa dia melawan tosu yang amat lihai dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan! “Keparat……!” serunya dia hendak meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba wanita itu merangkulnya dan diapun tidak mampu meronta. “Ciok Gun, hendak kemana engkau? Ingat, engkau adalah pembantuku, pembantu kami. Aih, engkau memang gagah…..” Wanita itu mendekap dan mencium. Ciok Gun hendak meronta tetapi tidak dapat dan dia pun seperti tenggelam ke dalam lautan yang amat panas. Dia tidak lagi menyadari apa yang dia lakukan dengan wanita itu. Ada dorongan dalam tubuhnya yang membuatdia seperti mabuk, seperti dalam mimpi, namun nalurinya membisikkan bahwa dia telah melakukan hal yang sungguh tidak pantas, yang berlawanan dengan suara hatinya. Setelah semua berlalu, Ciok Gun terengah-engah dan setelah dorongan hasrat yang tidak wajar itu terpuaskan, diapun ingat kembali. Dia menyadari bahwa dirinya terpengaruh bius dan obat racun perangsang yang membuat dia lupa segala. Dia meronta dan teringat bahwa wanita cantik di sampingnya yang kini rebah telentang dengan mata terpejam dan mulut tersenyum itu adalah orang yang telah membunuh Teng Sin dan Koo Ham. Wanita ini adalah iblis betina yang amat jahat. Membunuh dua orang sutenya. Menawan dia bahkan kini menggunakan cara yang amat keji untuk memaksa dia melakukan perbuatan yang amat menjijikkan bagi kesadarannya.   “Jahanam kau!” Dan dia pun mengerahkan tenaganya memukul kepala wanita yang rebah tersenyum dan memejamkan mata itu. “Wokkk!” Bukan kepala wanita itu yang terkena hantamannya melainkan bantal yang tadi ditidurinya dan sebelum Ciok Gun dapat menyerang lagi, sebuah totokan jari tangan wanita itu membuat dia roboh lemas di atas pembaringan. “Hi-hik, Ciok Gun, engkau masih saja liar dan ganas!” kata wanita itu sambil merangkul kembali dan menciumi Ciok Gun yang terpaksa hanya mampu memejamkan mata karena tidak mampu ebrgerak untuk menghindar. Bahkan sisa hawa panas yang membuat dia di bakar hasrat itu masih ada sehingga diam-diam dengan hati ngeri dia merasakan kenyataan betapa belaian wanita itu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi tubuhnya! Dia hendak meronta, hendak menolak, namun tubuhnya seolah bukan miliknya lagi dan tidak dapat dikuasainya. Karena tubuhnya kini tertotok dan tidak mampu bergerak, maka terjadi perang perasaan di dalam dirinya antara melayani rayuan dan belaian wanita itu dan menolaknya. Dan tiba-tiba ketika wanita itu mendengar rintih dan desahnya, totokan pada tubuhnya dibebaskan dan diapun sekali lagi tenggelam ke dalam gairah nafsu yang berkobar dan tidak mampu mempertahankan dirinya lagi. Setelah ulangan itu selesai, Ciok Gun merasa demikian tidak berdaya sehingga dia menangis di atas pembaringan yang dianggapnya mendatangkan peristiwa jahanam yang menghancurkan segala martabatnya itu. Dan wanita itu merangkul dan membelainya,, menghiburnya. “Ciok Gun, sudahlah, tenangkan hatimu. Engkau sudah menjadi kekasihmu, bukan? Nah, mulai sekarang engkau menjadi pembantuku dan kita akan selalu hidup senang…..” “Tidak……! Tidak sudi…..!” Ciok Gun meronta dan melompat turundari atas pembaringan. Dia maklum bahwa menghadapi wanita ini, dia tidak berdaya dan kalau dia menyerangpun dia tidak akan menang. Dia sudah ternoda, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi para pemimpin Cin-ling-pai dan menceritakan semua ini? Dia lalu meloncat ke arah dinding dan bermaksud untuk membenturkan kepalanya ke dinding itu agar kepalanya pecah. Mati lebih baik daripada apa yang dia alami waktu itu! “Plakk!” Kepalanya tidak membentur dinding melainkan di tahan oleh tangan lembut wanita itu dan di lain saat, dia pun sudah roboh kembali karena di totok secara aneh oleh wanita yang bukan main lihainya itu. “Hemm, keras kepala!” Kini wanita itu tidak lagi bersikap lembut. Ia mengangkat tubuh Ciok Gun yang sduah tidak mampu bergerak dan melemparkannya ke atas pembaringan kembali. Ia lalu mengenakan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar. Dengan rambut masih awut-awutan, bedak luntur dan pemerah bibir dan pipi juga “berserakan”, wanita itu memasuki sebuah ruangan yang luas di mana duduk tiga orang pria yang berpakaian pendeta. Seorang diantara mereka adalah pendeta yang tadi bersamanya menghadang perjalanan tiga orang murid Cin-ling-pai itu. Melihat munculnya wanita itu dengan wajah dan rambut kusut, tosu yang tadi mengaku bernama Kim Hwa Cu tertawa akan tetapi pandang matanya membayangkan iri dan tak suka hati. “Bagus! Kami menunggu di sini dan engkau lupa diri bersenang-senang sepuasnya dengan tawananmu, ya?” Wanita itu cemberut, lalu dengan sikap kasar duduk di atas kursi menghadapi meja dan menuangkan arak dalam cawean lalu meminumnya sampai tiga kali. Sikapnya sama sekali tidak menghormat kepada tiga orang pendeta itu! Siapakah mereka? Seperti pengakuan tosu pertama itu kepada Ciok Gun tadi, mereka itu adalah Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus bermuka kuning yang usianya sekitar lima puluh tahun. Adapun dua orang tosu lainnya adalah dua orang suhengnya (kakak seperguruan). Yang berperut gendut pendek bermuka hitam dan bermata lebar adalah Siok Hwa Cu, berusia limapuluh enam tahun. Tosu ketiga yang paling tua, usianya sekitar enampuluh tahun bernama Lan Hwa Cu. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya kasar, akan tetapi sikapnya lembut seperti wanita. Tiga orang ini boleh jadi tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, apalagi di daerah Cin-ling-san. Akan tetapi di dunia barat dan utara, mereka ini di kenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw). Mereka adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan golongan sesat berkedok agama yang suka memberontak terhapa pemerintah. Pek-lian-kauw memiliki banyak sekali orang pandai, dan tiga orang ini adalah tiga di antara para tokoh besarnya yang telah memiliki kesaktian yang sukar di cari tandingan! Adapun wanita itu adalah murid mereka bertiga, ya murid ya kekasih! Keadaan seperti ini tidaklah aneh di dalam dunia golongan sesat, dimana aturan dan kesusilaan oleh mereka yang berkuasa dan yang lebih kuat. Su Bi Hwa, gadis berusia duapuluh lima tahun itu, sejak kecil menjadi murid Pek-lian Sam-kwi. Semua ilmu tiga orang sakti itu telah dipelajarinya dalam kejahatan dan kekejian, gadis ini tidak memalukan tiga orang gurunya sehingga ia mendapat julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun)! Ia seorang wanita yang selain lihai, juga berwatak kejam dan cabul. Bukan saja secara terang-terangan ia membiarkan dirinya menjadi kekasih tiga orang gurunya, terutama sekali Kim Hwa Cu yang terkenal paling cabul di antara mereka bertiga, juga ia begitu menyerahkan diri kepada pria manapun yang disukainya. Tiga orang gurunya tidak dapat melarang, juga tidak mau melarangnya. Inilah “kebebasan” yang dianut oleh orang-orang golongan sesat, dimana tidak ada lagi peraturan, tidak ada lagi kesusilaan, tidak ada lagi hukum dan kesopanan. Akan tetapi justeru inilah yang menimbulkan kerukunan dan persatuan diantara mereka! Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan murid mereka ini datang jauh dari barat dan mereka membawa tugas yang diperintahkan pimpinan pusat Pek-lian-kauw. Gerakan Pek-lian-kauw selalu gagal dimana-mana, bukan saja karena kekuatan pemerintah, melainkan terutama sekali karena adanya para pendekar yang selalu menentangnya. Maka, tahulah para pimpinan pusat Pek-lian-kauw bahwa selama mereka tidak dapat menguasai para pendekar, tidak dapat merajai dunia kang-ouw, akan sukarlah bagi mereka untuk mengalahkan pemerintah. Dan Pek-lian Sam-kwi kini mendapat tugas yang amat berat dan sulit, yaitu berusaha dengan cara apapun untuk dapat menguasai dunia persilatan, menundukkan para pendekar dan para tokoh kang-ouw, baik golongan putih maupun golongan hitam. Para pucuk pimpinan Pek-lian-kauw yakin akan kesanggupan dan kemampuan Pek-lian Sam-kwi yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu dari Pek-lian-kauw yang selain lihai ilmu silatnya dan kuat ilmu sihirnya, juga mereka memiliki seorang murid yang terkenal kecerdikannya, yaitu Su Bi Hwa yang berjuluk Tok-ciang Bi Moli, yang dalam hal ilmu silat, hanya sedikit di bawah tingkat guru-gurunya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sekuat Pek-lian Sam-kwi, namun ia memiliki kecerdikan yang mengalahkan semua gurunya. Su Bi Hwa yang mengatur untuk menguasai dan “meminjam” nama Cin-ling-pai untuk mengacau dunia para pendekar dan menguasai mereka! Dan untuk melaksanakan siasat yang amat berbahaya itu, diam-diam mereka memilih bukit itu yang tidak berapa jauh dari perkampungan Cin-ling-pai sebagai tempat persembunyian mereka. Di situ mereka membangun sebuah rumah yang tersembunyi dalam hutan, sebuah rumah yang lengkap dengan segala peralatan, bahkan yang mereka pasangi alat-alat rahasia. Mereka telah mulai dengan rencana mereka, yaitu dengan menyelidiki semua keadaan di Cin-ling-pai, para pemimpin mereka, kekuatan dan kelemahan mereka dan pada hari itu, mereka telah mulai turun tangan, membunuh dua orang murid Cin-ling-pai yang mereka kubur secara rahasia, dan menawan Ciok Gun. Mereka hendak menundukkan Ciok Gun dan menjadikan pembantu wakil ketua Cin-ling-pai itu sebagai boneka mereka! Demikianlah keadaan empat orang yang penuh rahasia itu. Tentu saja Bi Hwa merasa mendongkol, kecewa dan marah sekali melihat betapa bujuk rayunya terhadap CiokGun telah gagal! Biarpun dengan penggunaann obat bius dan obat perangsang dia telah dapat memaksa Ciok Gun jatuh ke dalam pelukannya, namun bukan ini yang menjadi tujuannya. Ia ingin agar tokoh Cin-ling-pai itu benar-benar jatuh cinta dan taat kepadanya. Kiranya pria gagah itu sama sekali tidak mau tunduk, bahkan hampir saja mau membunuh diri! Maka, dengan hati mendongkol ia lalu menotok Ciok Gun dan setelah melemparnya ke atas pembaringan, ia lalu menghampiri ruangan di mana tiga orang gurunya berada. Dan ia di sambut dengan teguran Kim Hwa Cu yang sedikit banyak membayangkan perasaan cemburu! Hal ini membuat hati Bi Hwa semakin mengkal lagi. Ia duduk di atas kursi, menghadapi tiga orang gurunya dan menjawab teguran Kim Hwa Cu yang mengatakan bahwa ia hanya bersenang-senang dengan tawanan. “Sam-suhu (guru ke tiga) menganggap aku bersenang-senang, ya? Huh, kalau tidak ingat akan tugas, sudah kuhancurkan kepala Ciok Gun itu!” “Ehhh? Kenapa begitu? Apa yang terjadi?” tanya Lan Hwa Cu, guru pertama, suaranya tinggi seperti suara wanita, dan kalau bicara matanya melirik genit. Diantara Pek-lian Sam-kwi, orang pertama yang paling tua ini yang menganggap Bi Hwa sebagai murid dan seperti anak sendiri karena dia tidak pernah bersikap mesra terhadap Bi Hwa dan terhadap wanita mana pun juga. Lan Hwa Cu ini mempunyai kelainan dan dia lebih suka mendekati seorang pemuda tampan ketimbang seorang gadis cantik. “Dia keras kepala. Sampai bagaimanapun tidak mau tunduk malaupun pengaruh obat itu telah membuat dia meniduriku. Akan tetapi, perasaan hatinya tak pernah tunduk, bahkan tadi hampir saja dia membunuh diri.” “Huh-huh! Kalau begitu bunuh saja dia. Tidak ada gunanya!” kata Siok Hwa Cu yang berwatak kasar, keras dan kejam. Kim Hwa Cu juga mengagguk-angguk. “Benar, kalau tidak di bunuh, untuk apa?” Bi Hwa makin cemberut. “Ji-suhu (guru kedua) dan Sam-suhu (guru ke tiga) hanya mau mudahnya saja, tanpa menggunakan kecerdikan sehingga aku khawatir tugas kita akan gagal kalau menuruti kata-kata kalian.” Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saling pandang dan menggerakkan pundak. Mereka harus mengakui bahwa menghadapi murid ini, mereka tidak berdaya, karena mereka tidak dapat menduga akal apa yang akan dipergunakan oleh murid yang cantik dan amat cerdik itu. “Sudahlah, Bi Hwa. Tidak perlu marah terus. Hayo ceritakan, setelah Ciok Gun tak berhasil kau bujuk untuk membantu kita, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya terhadap dia?” “Twa-suhu (guru tertua), tidak ada lain jalan. Kita harus mengubah rencana. Ciok Gun kita jadikan mayat hidup dan melalui dia, kita melumpuhkan para pimpinan Cin-ling-pai. Dapat di atur begini ……” Gadis itu lalu bicara berbisik-bisik walaupun mereka merasa yakin bahwa di situ tak mungkin ada yang ikut mendengarkan. Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan pandang mata mereka ditujukan kepada mulut gadis yang berbicara itu dengan penuh kagum. *** Pagi hari yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar langit timur. Namun, cahaya kemerahan itu sudah dapat mengusir sisa kegelapan yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana gembira. Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam dalam suasana gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan sinar keemasan bagaikan puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga berdendang senang, berkicau saling menyahut sambil menari berloncatan dari ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari makan setiap hari.   Dilereng yang sunyi dan segar indah berseri itu, nampak dua orang manusia yang berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua keadaan yang amat berlawanan, namun merupakan perpaduan yang membuktikan kekuasaan alam. Seorang kakek berusia tujuhpuluh dua tahun dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun! Seorang manusia yang sudah tiba di ambang akhir perjalanan hidup, dan seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang bertumbuh, menggambarkan awal dan akhir sebuah perjalanan hidup manusia yang hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa. Kakek itu akhirnya akan mati, dan anak itupun akhirnya akan menjadi seperti kakek itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia akan menggandeng tangan seorang cucunya seperti dia sekarang digandeng oleh kakeknya. Kakek itu biarpun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun masih nampak gagah dan tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa dia dahulu tentu seorang pria yang amat ganteng. Langkah juga masih gagah dan perutnya tidak menggendut seperti perut kebanyakan pria yang sudah berusia lanjut, juga tidak kurus kering melainkan tubuh itu masih padat. Dia adalah Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari ketua yang sekarang, yaitu nona Cia kUi Hong. Sudah belasan tahun kakek ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersamadhi, atau berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam daripada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu, dia berjalan-jalan bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu. Cia Kui Bu adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah menjadi ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang wanita yang mempunyai kepandaian silat tinggi, tiada banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya karena wanita ini adlaah puteri tunggal dari Pendekar sadis Ceng Thin Sin majikan Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), kini seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun yang kepandaiannya setingkat dengan suaminya! Akan tetapi, Ceng Sui Cin ini adalah ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Adapun Cia Kui Bu adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang sudah meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti anaknya sendiri sehingga diapun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin. Baru kemarin Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama anak mereka itu, pulang dari perjalanan mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin. Mereka beristirahat di tempat itu sampai berbulan-bulan dan baru kemarin mereka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui Hong, belum pulang dari perantauannya. Tentu saja kedatangan mereka itu disambut gembira oleh semua anggauta Cin-ling-pai. Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya, Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari itu, seperti telah dijanjikannya semalam kepada cucunya, kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan. Cuaca masih gelap ketika tadi mereka meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Setelah berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah, setiap hari hanya menikmati keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini keindahan alam di pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali dan mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-lari mengejar-ngejar kelinci, meneriaki burung-burung dan kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya. Kesenangan melalui panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun, sebaliknya orang dusun senang kalau pergi ke kota. Penduduk pantai tidak lagi menikmati keindahan pemandangan tepi laut dan merindukan keindahan pemandangan di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung bosan akan pemandangan di pegunungan dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut. “Kong-kong (kakek), ada kijang disana. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari cepat mendaki lereng sebuah bukit. “Heii, Kui Bu, hati-hati jangan lari sembarangan!” Kakek itu berseru dan mengejar. Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya dan mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau masih muda suka bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain, berlari-lari sambil berloncatan kecil, kalau jarak antara mereka terlalu jauh, ia berhenti dan seperti menanti, kalau sudah dekat ia lari lagi. Cia Kong Liang membiarkan cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga agar cucunya jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu. Kijang itu melompat ke dalam hutan dan lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu yang digandeng kakeknya hendak mengejar, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka. Cia Kong Liang berhenti dan memandang. “Haii, Ciok Gun! Kenapa engkau belum pulang? Semua orang disana menantimu. Sejak kemarin pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Dimana Teng Sin dan Koo Ham?” Ciok Gun nampak ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu. “Sukong, sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.” Cia Kong Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu walaupun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi mengapa pagi ini sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun.   “Suheng…..!” serunya gembira. Karena berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah kepada semua orang, sebagai pelepasan rindunya. Apalagi kepada Ciok Gun dan Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) kakaknya, atau juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira. “Ciok-suheng, mana hasil buruanmu?”tanyanya setelah dia sampai di depan Ciok Gun. Tiba-tiba Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari kedalam hutan. “Heii, Ciok-suheng, kita kemana….?” Kui Bu berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan mengajaknya bermain-main. Akan tetapi kakek Cia Kong Liang merasa heran dan curiga. Ada sesuatu dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali. “Ciok Gun, berhenti……!” bentaknya dan diapun melompat dan mengejar. Akan tetapi Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang. Akhirnya, Ciok Gun yang memondong Kui Bu, tiba di depan sebuah pondok yang dari luar nampak sederhana saja. Kakek itu memandang heran. Bukit ini sunyi dan biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya, tidak pernah ada orang tinggal disini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan berbahaya. Ketika dia hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil tersenyum-senyum. “Selamat datang di pondok kamu, lo-cian-pwe Cia Kong Liang!” kata Su Bi Hwa sambil tersenyum manis sekali. Kakek itu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena wanita muda itu menyambutnya dengan sukap hormat, diapun membalas penghormatannya dan berkata. “Siapakah nona, dan harap nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.” “Ci-lo-cian-pwe, sekarang lo-cian-pwe telah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu. Mari, lo-cian-pwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.” Biarpun sudah amat tua, namun kakek Cia Kong Liang masih waspada dan pengalamannya yang banyak membuat dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tidak boleh dipercaya begitu saja. “Harap suruh Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru kita bicara!” Lalu dia mengerahkan khi-kang, suaranya menggetar ketika dia ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku su-kongmu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!” Bukan main hebatnya suara itu, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang. Diam-diam empat orang itu terkejut dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su bi Hwa lalu berteriak pula ke arah pintu pondok. “Ciok Gun, engkau tinggal saja di dalam dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su Siocia (Nona Su) yang bicara!” Dari dalam pondok terdengar suara Ciok Gun, “Baik, Su Siocia!” Kakek itu terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar! “Nona, apa artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?” Kini gadis itu tertawa dan begitu tertawa kakek itupun mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat. “ha-ha-hi-hi-hik! Cia-lo-cian-pwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia sekarang telah menjadi hambaku yang setia.” “Akan kuambil sendiri cucuku kalau begitu!” Cia Kong Liang meloncat ke arah pintu, akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita itu telah menghadang di depan pintu. “Nona, minggir! Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Aku hanya ingin mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, kini sikapnya angkuh dan tegas, penuh wibawa. “Lo-cian-pwe, ini rumah kami dan tanpa seijin kami, engkau atau siapapun tidak boleh memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum. Wajah Cia Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah sekali. “Nona, apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menculik cucuku dan hendak menahannya di dalam poncokmu ini?” “Boleh saja kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan kini ia menanggalkan kedoknya, tidak lagi bersikap hormat. “Hemm, tidak semestinya aku seorang tua berkelahi melawan seorang muda apalagi seorang gadis! Sekali lagi, kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!” Bi Hwa tertawa. “Ha-ha-heh-heh, justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!” “Keparat!” Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan, hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok. Su Bi Hwa menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita ituke samping. Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong. “Plakk!” Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, tidak terkejut karena ia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh. Sebaliknya, Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun itu sanggup menangkis dorongannya dan membuat dia terdorong mundur tiga langkah! “Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!” Setelah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut. “Haiiiiitttt…….!” Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu dan membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula di tangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walaupun seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa. Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu, dan ia mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan. “Lihat, suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada, Bi Hwa berseru. “Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu. Mendengar ini, Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka telah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik “Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru dan sambil mengelak terus. Ia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andaikata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini, tenaga kakek itu sudah banyak berkurang, dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi maka biarpun Bi Hwa terdesak, tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah. Karena mainkan Thian-te Sin-ciang membutuhkan pengerahan banyak tenaga, maka setelah beberapa jurus tidak berhasil, Cia Kong Liang mengubah lagi gerakannya. Kini dia memainkan San-in Kun-hwat. “Hemm, ini San-in Kun-hwat dimainkan oleh seorang ahli!” Siok Hwa memuji. Mereka diam-diam mengagumi ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai. Memang dalam tugas mereka, seperti telah direncanakan oleh gagasan Bi Hwa yang cerdik, selain menguasai Cin-ling-pai dan ilmu-ilmunya, mereka ingin sekali mendapatkan dua buah pusaka Cin-ling-pai. Yang pertama adalah pedang pusaka berupa pedang yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) milik pendekar sakti Cia Keng Hong. Adapun yang kedua adalah pusaka berupa ilmu yang pernah membuat seluruh tokoh dunia persilatan gempar. Ilmu itu disebut ilmu Thi-khi-i-beng (Mencuri Tenaga Pindahkan Semangat), semacam ilmu tanaga dalam yang mujijat karena pemilik ilmu ini dapat menyedot habis tenaga sin-kang lawan, betapapun kuat tenaga sin-kang lawan itu! Karena itulah, maka setelah kini berhadapan dengan kakek yang merupakan tokoh tertua dari Cin-ling-pai, mereka ingin menguras ilmu kakek itu agar diperlihatkan kepada mereka. Melihat betapa semua ilmu tangan kosong yang dikuasainya tidak dapat merobohkan lawan, hanya mampu mendesak saja, diam-diam Cia Kong Liang terkejut dan bingung sekali. Dia merasa menyesal mengapa dia tidak membawa pedang. Dia bingung bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan bingung dan gelisah memikirkan nasib cucunya. Ketika perkelahian membawa mereka ke bawah sebatang pohon, tiba-tiba Cia Kong Liang meloncat ke atas dan ketika dan ketika dia turun kembali, tangannya telah mematahkan sebatang dahan sebesar lengannya. Dahan itu panjang, lalu dia patahkan menjadi dua bagian dan begitu dia memutar dua batang kayu itu, terdengar angin menyambar-nyambar dan nampak dua gelombang gulungan sinar hijau! Melihat ini, Bi Hwa cepat meloncat menjauhi dan berkata kepada tiga orang gurunya, “Suhu, ini tentu Siang-liong-pang (Tongkat Sepasang Naga). Cepat suhu hadapi aku sudah lelah dan tongkatnya itu berbahaya sekali!”   Kini Kim Hwa Cu yang meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Dia menggerakkan sepasang pedang itu dan nampaklah gulungan sinar terang seperti dua gulungan api. “Tahan….!” Tiba-tiba Cia Kong Liang berseru nyaring dan dia meloncat ke belakang, menahan dua tongkat dahan pohon itu, matanya mencorong penuh kemarahan. Kim Hwa Cu menahan pedangnya dan berdiri menghadapinya dengan senyum simpul. “Cia Kong Liang, lebih baik engkau menyerah dengan baik. Kami hanya ingin bertanya kepadamu dan mengharapkan engkau suka menjawab dengan terus terang.” “Hemm, melihat pakaianmu, agaknya engkau ini seorang pendeta, seorang tosu. Kalau benar demikian, apa artinya semua ini, to-tiang? Kalau kalian datang ke Cin-ling-pai untuk minta keterangan sesuatu kepadaku, kenapa kalian menguasai Ciok Gun, dan menangkap cucuku?” Kim Hwa Cu tertawa dan menyilangkan sepasang pedangnya. “Orang tua, urusan kami tdaikperlu engkau mengetahui. Kalau engkau dapat memenuhi dua permintaan kami, kami berjanji untuk membebaskan Ciok Gun dan cucumu, dan kami tidak akan mengganggumu.” Biarpun dia marah sekali dan tidak percaya kepada omongan orang itu, namun karena maklum bahwa dia menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Cia Kong Liang menahan kemarahannya, “Katakan, apa permintaanmu itu?” “Hanya ada dua macam milik yang berharga di Cin-ling-pai. Pertama adalah Pedang Kayu Harum, dan kedua adalah ilmu Thi-khi-i-beng. Nah, kami minta pedang pusaka itu dan rahasia ilmu Thi-ki-i-beng!” jawab Kim Hwa Cu. Wajah kakek itu sampai menjadi pucar saking kaget dan marahnya. “Yang kau sebut adalah benda pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai, aku lebih baik mati daripada membuka rahasia perkumpulan kami!” Tiba-tiba Bi Hwa mendengus marah. “Huh, orang-orang Cin-ling-pai memang keras kepala. Sam Suhu, tidak perlu banyak cakap lagi dengan dia, tangkap dia. Akan tetapi jangan bunuh!” katanya dengan nada suara mengkal. Kim Hwa Cu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau telah mendengar permintaan murid kami? Cia Kong Liang, majulah dan perlihatkan kepadaku sampai dimana kehebatan ilmu Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” Kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan diapun sudah menggerakkan dua batang kayu dahan dan memainkan ilmu tongkat Siang-liong-pang dengan sekuat tenaga. Biarpun tenaganya sudah berkurang karena usia tua dan perkelahian tadi membuatnya merasa lelah sekali, akan tetapi kemarahan yang hebat membuat kakek ini seperti bertambah tenaga dan semangatnya. Sepasang dahan pohon itu bergerak bagaikan sepasang naga bermain di angkasa, dan setiap sambarannya sungguh amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi yang dilawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sakti. Sepasang pedang di tangan Kim Hwa Cu itu dapat membendung gelombang serangan sepasang tongkat. Bahkan Kim Hwa Cu tidak membalas dengan serangan maut, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja karena dia ingin memperhatikan permainan ilmu tongkat itu. “Bagus! Memang hebat Siang-liong-pang dari Cin-ling-pai!” beberapa kali dia memuji. “Sudahlah, Sam Suhu. Robohkan dia dan jangan main-main lagi. Pancaing agar dia mengeluarkan Thi-khi-i-beng!” terdengar Bi Hwa berseru dan Kim Hwa Cu teringat akan kewajibannya. Dua kali pedang pasangan di tangannya bergerak, terdengar suara keras dan sepasang tongkat dahan pohon yang masih basah itu terbabat buntung! Sambil tertawa dia menyimpan sepasang pedangnya dan menyerang Cia Kong Liang dengan tangan kosong. Tokoh tua Cin-ling-pai itu terkejut. Dia membuang sisa dahan di tangannya dengan penuh kenekatan. Akan tetapi, tadipun ketika melawan Bi Hwa dia sudah tidak mampu menandinginya, apalagi kini guru gadis itu yang maju. Dari pertemuan tenagapun dia maklum bahwa dia kalah kuat, dan kini nafasnya mulai terengah-engah. "Dukk!" Pundak kiri Cia Kong Liang kena ditampar oleh Kim Hwa Cu dan kakek itu pun terhuyung ke belakang, pundaknya terasa nyeri sekali. Akan tetapi dia tidak mengelauarkan keluhan, lalu menyerang lagi dengan nekat bagaikan singa terluka. Mereka saling pukul dan tangkis sampai belasan jurus, akan tetapi makin lama kakek Cin-ling-pai itu semakin terdesak. "Plakk!" kembali Cia Kong Liang terkena pukulan tamparan pada punggungnya, cukup keras sehingga dia terpelanting! Akan tetapi dia bangkit kembali. Sebuah tendangan membuat dia terjengkang kembali sebelum bangkit berdiri. Akan tetapi tanpa mengeluh kakek itu mengusap darah dari bibirnya dan pandang matanya mencorong penuh kemarahan. Tiba-tiba dua buah tangan yang halus namun kuat sekali mencengkeram kedua pundaknya dari belakang. Bukan main nyeri rasa kedua pundak itu, membuat kedua lengannya lumpuh dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung. Akan tetapi kakek itu tetap bertahan, tidak pernah mengeluh sampai akhirnya rasa nyeri membuat dia roboh terkulai dan pingsan. Su Bi Hwa menyumpah-nyumpah. "Sialan! Sampai detik terakhir dia tidak mengeluarkan ilmu Tihi-khi-i-beng!"   "Hemm, aku yakin bahwa dia tidak menguasai ilmu itu," kata Lan Hwa Cu sambil memandang tubuh kakek yang tidak bergerak itu. “Kalau dia mampu menguasainya, tentu saja sudah sejak tadi dia mempergunakannya untuk membela diri. Tidak ada seorang pun ahli silat membiarkan diri terancam maut tanpa mempergunakan ilmu simpanannya yang paling ampuh. Jelas bahwa dia tidak menguasai Thi-khi-i-beng." "Kalau begitu, kita harus tawan dia dan cucunya. Rencana ke dua kita lanjutkan. Melalui Cin-ling-pai yang kita kuasai melalui sandera ini dan bantuan Ciok Gun yang kita jadikan mayat hidup, kita adu domba kekuatan para pendekar!" Ketika kakek Cia Kong Liang siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya rebah di atas lantai bertilamkan tikar tebal. Dia mencoba untuk menggerakkan kaki tangannya, namun tidak dapat. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat bahwa tiga orang kakek seperti pendeta itu duduk bersila di sudut ruangan yang luas itu dan yang membuat dia mengerutkan alisnya adalah ketika dia melihat cucunya terbelenggu kaki tangannya dan menggeletak miring di atas lantai. Ada pula Cik Gun berdiri seperti patung dan wanita cantik itu duduk di atas bangku dan tangannya memegang sebatang cambuk hitam. Dia tahu bahwa dia tertotok dan tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya, maka ia pun tidak berusaha untuk meronta. "Ah, kiranya engkau sudah siuman, kakek Cia?" Bi Hwa. menghampiri sambil membawa bangku yang didudukinya tadi dan ia pun duduk di atas bangku dekat dengan Cia Kong Liang dan memandang kepadanya dengan mata bersinar marah. "Iblis betina jahat!" Cia Kong Liang memaki. " Aku sudah kalah, kalau kalian hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi cucuku itu tidak mempunyai kesalahan apa pun. Dia masih kecil dan tidak tahu urusan. Bebaskan dia!" "Kakek Cia Kong Liang, tidak ada gunanya lagi engkau bersikap angkuh dan berkepala besar. Engkau sudah kami tawan, cucumu juga kami tawan, dan lihat, Ciok Gun telah men jadi pembantu kami yang setia. Maka, kuharap engkau suka menyerahkan Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada kami. Kami berjanji akan membebaskan kalian bertiga kalau kami sudah menerima dua pusaka Cin-ling-pai itu." "Aku Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh aku, jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang dan dia membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah wanita itu. "Hemm, kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mau memandang kepadanya, bahkan memejamkan kedua matanya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya. "Tarr-tarrr……. !" Terdengar suara cambuk meledak-ledak di susul jerit kesakitan dari mulut anak kecil. Cia Kong Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya, dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, dicambuki oleh wanita itu. Ujung cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak darah membasahi baju Kui Bu. Terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu sudah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesaki tan dan menangis. "Tahan…..!!” teriak Cia Kong Liang. Bi Hwa menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lalu menghampiri dan duduk kembali di atas bangku yang tadi. Sedangkan tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang menjadi gurunya, masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja, padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan. "Hemm, agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu hanya sebuah benda, Thi-khi-i-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!" Mata Cia Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih. "Rawat dia dulu, baru aku mau bicara, dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan megganggunya lagi," katanya lirih. Dengan senyumnya yang genit, Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang berdiri tak bergerak seperti arca itu. "Ciok Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, ganti pakaiannya dan beri dia makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!" Sambil menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan berkata, suaranya datar dan kosong. "Baik Su Siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih merintih itu, membawanya keluar. Diam-diam Cia Kong Liang cemas sekali melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang mencengkeram dan menguasainya. Dia menarik napas panjang. Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya. Akan tetapi kalau mengingat bahwa .puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin, berada di Cin-ling-pai, hatinya menjadi tenang. Puteranya dan mantunya yang memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan tinggal diam, tentu mereka akan mencari putera mereka dan menemukannya di sini. Empat orang jahat ini tentu akan dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya. “Aku mau bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi syarat itu, aku tidak mau bicara." Bi Hwa tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka. Kalau ia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apa pun yang ia minta tentu akan dipenuhi olehnya!   "Hemmm, apakah dua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong Liang. "Pertama, engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bun." "Baik, aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi-i-beng!" "Dan ke dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!" Bi Hwa tertawa dan memandang ke arah tiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap bermain mata dengan mereka, kemudian ia pun menjawab. "Sudah sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa Cu." "Aku tidak mengenal nama-nama itu……." kata Cia Kong Liang sambil mengingat-ingat. "Mereka bertiga di dunia kang-ouw dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi." "Ahhh………! Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!" Cia Kong Liang terkejut bukan main dan kini mengertilah dia mengapa mereka mengganggu Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi kepentingan perkumpulan sesat itu. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggauta Pek-lian-kauw pula, murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi Mo-li." "Hemmm………" Cia Kong Liang maklum bahwa Cin-ling-pai benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi dia dibuat tidak berdaya dengan ditawannya cucunya. Pula, kalau dia memberi keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada mereka pun tidak akan merugikan Cin-ling-pai, dan terutama sekali untuk menyelamatkan cucunya. “Nah, sekarang katakan di mana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu pun membuka mata yang tadi mereka pejamkan. Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap. "u tidak tahu……” Cia Kong Liang menggeleng kepalanya. Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya dan mukanya berubah merah sekali, matanya mendelik dan kedua tangannya terkepal. "Tua bangka busuk! Engkau menipuku dan melanggar janji? Apa kau melihat cucumu itu kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?" Cia Kong Liang bergidik. Dia sudah cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin! "Anak perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, tak pernah pula melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu di mana Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu, bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!" "Bohong! Tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai. Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam untuk ke dua kalinya!" Cia Kong Liang menarik napas panjang. "Pedang pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar tidak ada lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu di mana pusaka itu kini berada. Pernah kutanyakan dahulu kepada ayahku, dan dia hanya mengatakan bahwa yang terakhir kalinya, pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang dahulu. Kemudian, mendiang ayah tidak pernah tahu lagi di mana pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayah mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan senjata. Pusaka itu hanya dikenal namanya saja sebagai benda pusaka Cin-ling-pai. Aku sendiri melihat pun belum, apalagi memilikinya.” Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. "Karena Cia Keng Hong itu ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?" "Mungkin saja, akan tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai, sampai aku menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku, keluarga kami belum pernah mencarinya." , "Kenapa?" "Mengingat pesan ayah dahulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut." Su Bi Hwa mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan ia berkata lirih, "Kita bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk. "Sekarang tentang ilmu Thi-khi-i-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya tentang ilmu itu. Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.   "Seperti juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi-i-beng sudah lama menghilang dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu itu." “Aku tahu!” bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu tidak mudah tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu Thi-khi-i-beng itu! Di mana kitab itu?” Cia Kong Liang memandang wajah wanita muda itu. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada, dan tidak mungkin dapat mereka miliki. "Ketahuilah, Moli (Iblis Betina), Thi-khi-i-beng tidak pernah ada kitab pelajarannya." katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang. "Bohong! Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!" "Sudah kukatakan aku tidak pernah berbohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tidak ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Selalu kitab mereka diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke murid." "Dan Thi-khi-i-beng?" "Tidak ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung kebanggaan. "Hemm, jadi engkau tidak mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa mengejek. "Pertama, karena bakatku tidak cukup, kedua karena tidak ada yang mengajarkannya kepadaku. Bahkan ayahku sendiri pun tidak menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu. Hanya kakek yang menguasainya." Bi Hwa saling pendang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi-i-beng juga lenyap! "Jadi di dunia ini tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi-i-beng dan kitabnya pun tidak ada?" Tiba-tiba Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka rahasia, akan tetapi kalau dia boleh mengharapkan pertolongan bagi Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah! "Kurasa di dunia ini hanya seorang saja yang kini masih menguasainya, yaitu besanku, Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah." "Pendekar Sadis.……..??” Empat orang itu serempak berseru kaget. Cia Kong Liang tersenyum senang! "Benar, hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi-i-beng, aku harap engkau suka segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu." "Heh-heh, jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai sandera!" kata Bi Hwa. "Kau…… kau…….. melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina……!" "Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan. "Suhu bertiga telah mendengar sendiri. Kita harus mengganti siasat." kata Bi Hwa dan kembali ia dan tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya setelah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka. *** Suami isteri itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang sudah redup karena senja telah tiba. Pria itu adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya. Wanita itu isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembila tahun. Dalam usia menjelang tua itu, ia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah jauh oleh suaminya karena wanita ini adalah puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Selain keturunan orang-orang pandai, juga suami isteri ini dahulu pernah menerima gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. sedangkan Ceng Sui Cin, di samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh mendiang Wum Yi Lojin, juga seorang di antara Delapan Dewa. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya mereka. Baru kemarin suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai Merah. Dan sore hari itu, mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam, kakek dan cucu itu belum juga pulang.   "Sungguh aneh, ke manakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan, kenapa sampai sehari dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song mengomel. "Apakah malam tadi beliau tidak mepesa:n sesuatu kepadamu?" tanya isterinya. “Tidak, hanya mengatakan bahwa dia ingin berjalan-jalan pagi hari ini dengan Kui Bu. Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?" "Pagi-pagi sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia berpamit untuk mengunjungi kakeknya karena sudah berjanji akan berjalan-jalan pagi tadi. Aku hanya mendengar suara ketawanya bersama kong-kongnya di pekarangan ini ketka mereka berangkat pagi tadi." Dari bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu, muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi hormat. Wanita itu pun memberi hormat dan ternyata ia seorang wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan ia seperti baru menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo Ham, yang tinggal di bagian belakang. "Kebetulan sekali, suheng dan toa-so berada di sini. -Kami memang ingin menghadap ji-wi (kalian berdua)." Kata Kian Sun setelah rnemberi hormat. "Hemm, ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini. Kalau tidak begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya tidak nampak bersama mereka. "Seheng, isteri Koo Ham ini amat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin pagi." "Hemm, ke manakah mereka bertiga pergi?" "Mereka bertiga pergi berburu. Biasanya kalau rnereka pergi berburu, tidak pernah bermalam. Kalau pun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang. Akan tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi ia bermimpi buruk." Hui Song dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja. "Engkau mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu. "Saya….. saya melihat suami saya mandi dengan…… darah…… " Biarpun mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, namun suami isteri pendekar ini saling pandang dan merasa ngeri. “Kian Sun sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya. "Tidak, suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah belum pulang?" Hui Song menahan kegelisahan hatinya agar jangan nampak pada wajahnya. Dia memandang isterinya. "Aku akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang sutenya." Sui Cin mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu yang tentu mampu melindungi diri sendiri, lebih-lebih ayah mertuanya tentu akan menjaga anaknya dengan baik dan selama ini, di Cin-ling-san tidak pernah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram. Setelah suaminya pergi, ia lalu menghibur isteri Koo Ham dan menyuruhnya pulang dan menanti suaminya di rumah. Setelah keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song lalu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia lari mendaki sebuah puncak bukit terdekat, berteriak memanggil nama puteranya dengan pengerahan khi-kang agar suaranya terdengar sampai jauh. Setelah menanti jawaban yang tak kunjung ada, dia menuruni bukit dan lari mendaki bukit lain. Pendekat ini tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata mengikuti gerak-geriknya, dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya yang melengking nyaring ketika ia memanggil puteranya itu. Dan pemilik mata dan telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar. Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi. Selagi Hui Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya. "Suhu……!” Orang itu bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia Hui Song. "Ciok Gun, engkau? Ke mana saja engkau dan mana pula dua orang sutemu? Dan apakah engkau melihat ayah dan puteraku?” "Suhu, panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah suhu ikut saya. Teecu (murid) mengetahui di mana adanya su-kong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari…..!” Dan Ciok Gun lalu membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu. Tentu saja Hui Song segera mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukar mencari ayah dan puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun mengetahui di mana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini. Seperti juga yang dialami kakek Cia Kong Liang, Hui Song merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada dihutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok di situ! "Pondok siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut. "Ssttt…… teecu melihat ayah dan putera suhu di sebuah ruangan. Mari…….!" bisiknya dan dia pun menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka. Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia telah dapat "merasakan" adanya sesuatu yang tidak beres, maka dia pun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya. Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memheri isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song ikut mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Dan begitu dia mengintai ke dalam, dia terkejut dan juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya. "Ayah! Kui Bu……!” Dia berseru dan sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu. Akan tetapi, dari kanan kiri berkelebat bayangan orang dan kini di depannya menghedap empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun dan seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya. Hui Song juga melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja! “Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wamta itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!" Hui Song mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang memandang kepadanya dengan nampak khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu dan tidak bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah sekali melihat keadaan mereka. "Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?” Bi Hwa tersenyum. "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu ke sini.” “Ciok Gun…….? Dia…… dia…….. hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!” "Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!” "Keparat akan kubebaskan sendiri mereka!" Dan Hui Song bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang. "Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan dia pun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya ,sambil mengerahkan tenaganya. "Dukkk…….! Aihhh……!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling. Akan tetapi ketika Hui Song yang diam-diam terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu hendak maju, tiga orang tosu itu sudah berdiri di depannya menghadang. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya. "Ciok Gun, bebaskan sukongmu dan sutemu!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini, Ciok Gun tetap duduk diam seperti patung, tidak bergerak sama sekali seolah mendengar perintah itu. “Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai!" bentaknya dan dia pun menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanahnya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis. "Dukkk ……..!!" Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan dia pun cepat menjatuhkan dirinya dan bergulingan. Melihat ini, Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang dan pada saat itu, Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka diapun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.   "Dukkk!" Kembali dia tergetar hebat walaupun lawannya juga terpental kebelakang. Diam-diam Hui Song terkejut. Kiranya empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sin-kang, tidak kalah jauh olehnya! Melawan mereka satu per satu, dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya. Yang lebih kaget adalah tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Biarpun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai daripada ayahnya yang sudah tua, namun tak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini, sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi. “Hyaaatttt…………..!” Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan kuatnya. Tiga orang tosu mengepung ketat, namun mereka tidak berani terlalu mendesak dekat karena kedua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya. Tiba-tiba terdengar suara wanita itu. "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!" Karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa, tiga orang tosu itu berlompatan mundur. Juga Hui Song menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu sudah menodongkan pedangnya ke atas leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan! "Cia Hui Song, lihat baik-baik. Kalau engkau masih hendak menggunakan kekerasan, terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!" Sebelumnya, Bi Hwa yang cerdik telah memulihkan gerak leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara. "Ayah…….! Ayah ………!!” Kui Bu memanggil dan menangis sesenggukan. Anak itu amat menderita, sakit-sakit tubuhnya karena dicambuki dan juga ketakutan. Akan tetapi ayahnya membentak nyaring. "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!" , "Ayah …….., Kui Bu dalam bahaya ……" Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang kejam seperti wanita itu bukan hanya gertak kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang diancamkannya tadi. "Lawan mereka! Kalau engkau menyerah pun percuma, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Son!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak. ."Dukk!" Kim Hwa Cu menotok dan kakek itu pun terkulai pingsan. Melihat ini, Hui Song marah sekali, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu. "Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan. Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Akan tetapi bagaimana miungkin dia tega melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di depannya? "Katakan dulu, apa kehendakmu kalau aku tidak melawan." katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi. "Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan…… eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal, engkau mentaati permintaan-permintaan kami." "Hemm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?" "Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tidak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kami pun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga." Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, kepada anaknya yang masih menangis lirih, lalu kepada tiga orang pendeta itu. "Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Kalau hanya engkau saja yang berjanji, nona, terus terang aku tidak percaya." "Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa. Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu demikian taat. Mereka mengangguk dan serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya. "Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."   Hui Song tidak habis mengerti bagaimana tiga orang guru begitu taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda dan melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat daripada mereka bertiga? Akan tetapi dia tidak perduli. Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa oleh pimpinan Pek-lian-kauw diangkat menjadi pimpinan dari rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya adalah orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apalagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka. " Aku pun berjanji tidak akan rnelawan dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!” “Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!" "Baik, Su Siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia bangkit, menghampiri kakek Cia Kong Liang dan memanggulnya, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ. "Ayah……!” "Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kong-kong baik-baik." kata Hui Song menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas. "Awas kalian berempat. Kalau sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi. "Hi-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis. Kini ia menyebut tai-hiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apalagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu membunuh anaknya dan ayahnya. "Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang, engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu.” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang ,berjalan di depannya, sedangkan tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, sekali serang dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, dan dia pun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya. Akan tetapi, perbuatannya itu andaikata dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan di sana ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka. Maka dia pun menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata telah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan telah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu. Lorong itu cukup panjang, ada seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh di masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar itu, yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat, dia dapat melihat betapa kurang lebih lima pu1uh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain. "Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat di sana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, maka tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas." Setelah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi. “Nanti dulu!" Tiba-tiba Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?" Wanita muda itu tersenyum. "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka ini adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu ……..” Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?” Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa. "Hi-hik, engkau cerdik, tai-hiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu benar. Aih, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!" Hui Song tidak menjawab dan tidak mau bicara lagi, membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia me1ihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin masih ada lebih banyak lagi yang berada di luar. Dugaan Hui Song memang benar. Ada tiga puluh orang- anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semua dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggauta Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka. Ciok Gun telah dibius dan dishir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Apa pun yang diperintahkan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biarpun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya amat baik, amat menyenangkan dan amat mencintanya itu!   Akan tetapi, belasan orang penjaga di luar itu bersikap acuh dan seolah-olah tidak memperdulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, dan yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak. Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat daripada besi. Dan andaikata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. "Hui Song …..!” Pendekar itu menengok. Ayahnya telah siuman, bahkan telah berdiri di depan jendela beruju menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dari agaknya dalam keadaan sehat saja. "Ayah ……..!" Kui Bu juga berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya, juga anaknya tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja. Hatinya merasa lega. "Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega. "Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?" "Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tidak akan dapat berbuat sesuatu." jawab Hui Song dan jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Biarpun hatinya merasa penasaran, ketika teringat akan cucunya yang masih kecil, dia pun dapat memaklumi sikap puteranya. "Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan, dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada di sini bersamaku." "Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan. Agaknya karena melihat ayahnya berada di situ dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, semangat anak itu timbul dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng. Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menanti terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Kalau ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka menerimanya dan makan tanpa bahyak ribut lagi. *** "Ayah …….!” Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam. "Kui Buuuu …….!!” Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar. "Song-ko (kanda Song) ………!!" kembali suara itu melengking dan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Bahkan suara jengkerik dan belalang malam yang tadinya meramaikan malam, segera terhenti sejenak karena terkejut oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian, barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi. Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Yang aneh-aneh terjadi di Cin-ling-pai sejak pulangnya ke situ dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula, Ciok Gun, Teng Sin dari Koo Ham, tiga orang murid Cin-ling-pai yang pergi berburu, sampai dua hari semalam belum pulang. Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu dan kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka dan sampai kini, menjelang tengah malam, suaminya pun belum kembali! Maka, setelah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, ia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka. Sudah sejak tadi ia mencari-cari, memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya, dan anaknya, namun tidak ada yang menjawab. Padahal, ketika berteriak memanggil, ia sudah mengerahkan khi-kang sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya, suaminya tentu mendengarnya dan kalau begitu, kenapa suaminya tidak menjawab? Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga ia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari. Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia memiliki ilmu Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat ia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata! Hatinya menjadi semakin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni belum juga ia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika ia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik. "Selamat malam, pendekar wanita Ceng Sui Cin!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul. Sui Cin terkejut dan merasa heran. Ia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Dan mereka telah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentu ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.   "Siapakah kalian?" tanyanya. "Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa. Sui Cin mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian." Kecurigaannya semakin menebal. "Aihh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?" Sui Cin terkejut. Ternyata apa yang dikhawatirkannya benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang! "Di mana mereka? Siapa kalian?" bentaknya. Bi Hwa tersenyum. "Siapa adanya kami tidaklah penting bagimu, li-hiap. Yang penting, kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, dan puteramu dalam keadaan selamat." Wajah Sui Cin seketika menjadi merah saking marahnya. "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?" Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang. “Bukan menawan. Mereka menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat." "Hayo bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal kedua tinju tangannya. "Hemmm, engkau galak benar, li-hiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?" "Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian kalau tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!" “Ho-ho-ha-ha, betapa sombongnya perempuan ini!" Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin. "Ceng Sui Cin, engkau bertemu dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!" Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa tu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata, untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir. Sui Cin tiba-tiba merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi ia segera tahu bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir. Tidak percuma ia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka, tentu saja dari ayah ibunya selain ilmu silat, ia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir. Ia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut lenyap. Sebaliknya, dengan marah sekali ia lalu menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena ia marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin sudah menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang! Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu ini merupakan ilmu andalan ayahnya yang mempelajarinya dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Begitu tubuhnya merendah, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong. Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebetulnya, dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, akan tetapi, sudah menjadi ciri orang yang menjadi budah nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain. Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup untuknya. Akan tetapi, dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artmya, maka dengan sombong dia menghadapi dengan kedua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu "Desssssss …….!” Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, namun terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah! Akan tetapi Sui Cin tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini tahu bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka setelah tosu gendut pendek itu roboh, ia pun terus menyerang lagi, kini ia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara. Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya bukan mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dah muntah darah! Akan tetapi biarpun ilmu kepandaian Tok-ciangBi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serang Ceng Sui Cin, maka, dia tidak sebodoh gurunya ke dua tadi. Ia tidak berani langsung menghadapi serangan itu, melainkan cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun, jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin.   "Jahanam! Kubunuh, kalian semua kalau tidak cepat membebaskan semua keluargaku!" Sui Cin membentak dan biarpun ia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang musuhnya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagaikan seekor naga betina yang marah. "Tahan dulu!" Su Bi Hwa membentak nyaring. “Perempuan rendah, mau bicara apa lagi engkau?" Cui Sin memandang marah. “Bebaskan mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!" "Lihiap, harap tenang dulu. Kami bukan bermaksud buruk, tidak ingin bermusuhan denganmu. Sekali lagi, kami mengundangmu baik-baik sebagai tamu kami, dan kami berjanji tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan puteramu!" "Bedebah! Engkau mengancam dan memerasku?" .. "Bukan mengancam kosong atau memeras, melainkan merupakan pilihan bagimu. Engkau menyerah baik-baik dan keluargamu selamat atau engkau memusuhi kami dan keluargamu akan kami bunuh lebih dulu." Akan tetapi, sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal dari Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak! "Siluman betina ,dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telingamu dan dengar baik-baik. Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan! Bukan di tangan-tangan kotor kalian. Bagiku, aku lebih senang melihat mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah, daripada hidup menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang bebaskan mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni kalian atau tidak!" Bukan main kerasnya ucapan ini, dan tahulah Bi Hwa bahwa ia dan tiga orang gurunya tidak mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan! Akan tetapi, biarpun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan mampu merobohkan wanita itu, mereka masih terancam bahaya bahwa seorang di antara mereka mungkin akan tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini! "Kalau begitu, sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!" Bi Hwa berseru jengkel. "Iblis betina, engkau yang akan kubunuh lebih dahulu!" Sui Cin membentak dan menyerang dengan dahsyat. Bi Hwa sudah mengelak cepat, namun gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang membuat ia terhuyung. Tiga orang gurunya sudah menyerang Sui Cin dengan senjata mereka. Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam, kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat. Kim Hwa Cu menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa juga sudah mencabut sebatang pedang. Biarpun ia sendiri bertangan kosong, dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam, sedangkan tingkat empat orang itu tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tidak menjadi gentar. Wanita ini memang terlatih, dan selain ia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apalagi sekarang ia berusaha untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja ia mengamuk mati-matian. Untuk menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawan, ia telah mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli gin-kang yang sukar dicari tandingannya, juga ia memainkan gerakan kaki yang berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Maka, tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang pengetoyoknya! Biarpun ia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu terkejut dan gentar. Tiba-tiba yang biarpun menjadi murid selalu merupakan pimpinan mereka, berseru, “Pergi …….!!” Ini merupakan isyarat kepada tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada saat itu Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke atas tanah dan terdengar ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu menjadi gelap. Sui Cin terkejut, karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa ia melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap itu tidak beracun, dan ketika ia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap, tak nampak lagi bayangan mereka. Sui Cin membanting-banting kakinya dengan marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka mencari ke sana-sini. Ia memasuki hutan yang gelap itu, akan tetapi karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh empat orang tadi, ia menjadi bingung. Selagi ia menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, di mana sinar bulan sama sekali tidak mampu memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah ke mana ia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon besar. Kecerdikannya belaka yang mencegah ia melanjutkan pencariannya. Di dalam hutan yang gelap itu, amat berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang yang lihai dan curang itu. Ia akan mudah terjebak, mudah diserang dari kegelapan. Biarpun ia mengenal benar tempat ini, karena ketika masih muda ia sering bermain-main di bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini ia tidak akan mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan. Ia duduk bersila, mengatur pernapasan dan mengumpulkan hawa murni. Ia harus mengumpulkan tenaganya dan besok pagi ia harus segar kembali karena ia membutuhkan kekuatan untuk mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat.   Akan tetapi, baru saja ia bersamadhi belum dua jam, dan waktu kurang lebih baru jam tiga pagi, keadaan masih gelap, sinar matahari masih belum nampak, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang. "Su-pek-bo (uwa guru)......!" Sui Cin membuka mata dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat sinar obor dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Ia tidak mengenal suara itu, maka cepat ia meloncat dan menyusup di balik semak-semak, mendekati pembawa obor. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah Ciok Gun! Ciok Gun terhitung pembantu dan murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa guru), dan menyebut ia supek-bo. Sekali menggerakkan kaki, ia meloncat dan tiba di depan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu tiba-tiba. "Su-pek-bo......" "Ciok Gun, dari mana saja engkau? Dan di mana....... " "Ssttt, supek-bo, jangan terlalu keras bicara. Teecu (murid) tahu di mana mereka menawan su-kong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)." Dia berbisik. "Bagus ……..!" Sui Cin berseru girang, juga dengan berbisik. "Di mana mereka? Apakah mereka semua selamat?" "Mereka selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka." Sui Cin tentu saja tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, ia mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu, mendaki ke puncak bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, di tengah hutan, Ciok Gun berhenti. Tak jauh dari situ, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut bangunan. Sui Cin merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang, apalagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi ia tidak banyak bertanya karena ia melihat Ciok Gun memadamkan obornya dan murid keponakan suaminya ini memberi isyarat dengan telunjut ke depan bibir agar ia tidak bicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu itu menghampiri bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali. "Supek-bo, teecu tahu di mana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja." Sui Cin mengangguk. Sedikit pun tentu saja ia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang sudah dipercaya oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari Gouw Kian Sun ini. Ia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar, dan dengan berindap-indap ia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan. Sebuah pintu kecil dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia mempergunakan tenaganya mendorong dan daun pintu itu pun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun memberi isyarat kepada supek-bonya agar mengikutinya. Kini sinar subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu masih tidur, kalau pun ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga andaikata saat itu ia diserang senjata rahasia sekali pun, tentu ia akan mampu menghindarkan diri. Karena hatinya tegang bercampur gembira akan bertemu kembali dengan suaminya, puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin terhadap Ciok Gun itu agak berlebihan. Dalam keadaan tegang gembira itu, ia kehilangan kewaspadaan. Dalam keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan kini membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku. Penawan keluarganya adalah orang-orang pandai, bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti Ciok Gun dapat menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu? Namun, saat itu ia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun. Ciok Gun berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong, ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat pula sebuah Pintu jeruji besi yang juga terbuka. "Supek-bo, di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita menyeberang ke sana. supek-bo dulu, teecu takut ……." Masih juga Sui Cin belum curiga. Ia mengangguk dan dengan hati-hati ia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka itu. Ia bersiap-siap mehghadapi jebakan, kalau-kalau lantai itu terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan ia pun melangkah terus. Ciok Gun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu, tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas. Sui Cin melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu di sana. Terdengar suara keras beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung ke dalam kamar itu. "Ciok Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi tiba-tiba nampak sebuah benda dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang, terdengar dua kali ledakan dan kamar itu penuh asap putih! "Awas, Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu …….!" teriak Sui Cin, akan tetapi terlambat. Ia melihat Ciok Gun terhuyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Ia sendiri lalu mengerahkan tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup. Akan tetapi, terpaksa ia menarik diri lagi karena melalui jeruji besi, ada senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya! Ia membalik dan hendak menjebol pintu depan. Akan tetapi kembali ia harus mundur karena dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan, siap menyambutnya. Ia segera membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari kamar melalui jeruji besi. Akan tetapi, kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal. Betapa pun gigihnya Sui Cin mempertahankan diri, tentu saja ia tidak mungkin dapat menahan napas terlalu lama. Akhirnya terpaksa ia terengah, asap terhisap dan ia terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita yang gigih ini pun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun. Setelah siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja amat kuatnya. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka, dan ia pun tidak dibelenggu. Ketika ia bangkit duduk, ia mendengar suara lirih. “Sui Cin …….!” Ia menoleh dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada di sana, di dalam ruangan lain, terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga suaminya berdiri di balik jendela beruji baja. "Mana ayah dan Kui Bu?" Sui Cin bertanya. Keadaan suaminya tak perlu ia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan sehat, hanya tertawan seperti dirinya. "Mereka di kamar sebelah. Dalam sebuah kamar, kami dapat saling melihat dan bicara. Mereka selamat." kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat menawanmu?" "Aku terjebak, dalam ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan." "Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka." "Eh? Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini. "Mereka lebih dulu menawan Ciok Gun dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yahg mentaati semua perintah mereka. Ingatannya telah mereka kuasai melalui sihir dan racun." "Ahhh....! Tapi, siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita ?" "Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya." "Hemm, sudah kuduga mereka orang-orang Pek-lian-kauw, melihat alat peledak itu. Tapi mereka mau apa ……?” "Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan mempergunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk." "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga karena jebakan dan asap pembius?" Sui Cin merasa penasaran sekali. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat demikian mudahnya tertawan? Hui Song menghela napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi dia pun tidak dapat berbohong. "Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, terpaksa aku menyerah." "Hemm.....!" Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur. Diam-diam ia tidak dapat terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang amat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh? "Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Kalau mereka berani melanggar, aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!" "Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat. "Hi-hi-hik, sungguh mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!" Terdengar suara ketawa. Baik Hui Song maupun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Kalau Hui Song memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api. "Perempuan hina tak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul. "Nyonya yang gagah, simpanlah kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu." "Huh! Engkau jangan harap dapat menggertak aku. Kalau engkau melanggar janjimu kepada suamiku, aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!"   Biarpun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan ia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Ia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apalagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi. Ia sudah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya kalau ia mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis kalau menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya. Dan yang mengeluarkan ancaman sekarang ini, adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya! Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak membunuh kalau tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, ia dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi. "Tenanglah, lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya. "Kami tidak bermaksud buruk terhadap keluargamu. Kalau memang kami bermaksud buruk, tentu mereka itu tidak kami tawan, melainkan kami bunuh. Dan engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar, kami selalu menghormati mereka. Kalian hanya menjadi tamu kami untuk sementara saja. Kalau sudah selesai urusan kami, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya." Setelah berkata demikian, tidak memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi, Bi Hwa menghilang. "Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu." "Hemm, menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw, tidak boleh kita terlalu mengalah. Kalau mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan sampai tuntas, dan akan mengejar mereka sampai ke negara sekali pun!" Hui Song yang maklum bahwa isterinya itu marah sekali karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras agar orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka. Akan tetapi diam-diam Hui Song amat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada di sana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tetap khawatir kalau puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya! *** "Aduh, sungguh berbahaya sekali……!" Berkali-kali gadis itu berseru khawatir. Namun pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam perahu kecil. "Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Kalau orang lain yang belum pernah tinggal di sini, pasti akan mengalami bahaya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang tajam meruncing ini, apalagi kalau ombaknya sedang pasang dan banyak batu yang tidak nampak di permukaan air. Perahu itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya dan moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air. Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang seperti barisan yang dipasang rapi, sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itu pun sukar didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga tidak mungkin perahu mendekat dan para penumpangnya mendarat. Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu! Dan bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat dan menghantam batu-batu karang. Dan kadang-kadang, di antara batu-batu karang itu, nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang dan pecah, penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh. Sebaliknya, ia nampak pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan ia memiliki kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar dan mulutnya amat kecil mungil, wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul yang besar bulat dan dada yang montok menonjol. Memang ia peranakan Tibet. Ibunya seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang pria Han, seorang tokoh, besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An. Gadis ini bernama Mayang dan ia pun bukan seorang gadis sembarangan saja. Ia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw. Seorang datuk persilatan yang lihai pula dan yang bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Ilmu silat yang dikuasai Mayang adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi di antaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu senjata pecut yang sukar ditandingi! Ada pun pemuda yang bersama ia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu di antara batu-batu karang itu pun seorang pemuda yang amat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang namun tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan. Wajah pemuda ini tampak menarik, namun di dalam sinar mata nya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan. Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada Mayang, karena pemuda ini adalah seorang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah. Dia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, mehjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia bergaul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan. Akhirnya, dalam bentrokan dengan para pendekar, dia bertemu dengan Mayang, saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya dan dia ingin kembali ke jalan kebenaran. Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya dan kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong diserahkan kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah! Dia ingin menghadap suhu dan subonya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang. Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah. (Baca Kisah Si Kumbang Merah).   Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang kini sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal akan keadaan di situ dan tahu benar bagaimana harus mengemudi perahu menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang. "Pada musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Di sini kita harus berhenti dan melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari.....!" Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur di permukaan air dekat batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, moncong-moncong ikan hiu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik! "Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Kalau sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan loncatan." Kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu. Mayang mengangguk dan cambuk itu sudah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya, dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu. Memang hebat permainan cambuk gadis ini. Walaupun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, namun tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan dan melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan. Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi dan tidak dapat dicapai ikan hiu dan sirip-sirip itu pun kembali ke tengah. "Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan. Ki Liong tersenyum dan menyimpan perahunya di bawah semak-semak. "Sekarang kita berjalan ke tengah pulau, dan menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus membereskan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan tertiup angin lautan tadi. Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian dan rambutnya. "Aih, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko." kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup. Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subonya setelah minggat dari situ dua tahun yang lalu sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya. Suhunya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Dan subonya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi, pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja dia tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimana pun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apalagi menghadap suhu dan subonya! "Tentu saja aku juga tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tehtang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?" Mayang mengangguk dan bergidik. "Mereka itu tentu menyeramkan, aku agak …….. takut, Liong-ko." "Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula bagaimana harus kaulakukan di depan mereka ?" "Aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku." "Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta kepadamu, Mayang." kata Ki Liong dan ia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat. Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau. "Liong-koko, kalau benar suhu dan subomu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka mengamati kita." Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang kena pegang ular. Dia mengangguk, "Mari kita ke sana, Mayang." Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Mereka kini tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan di antara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang penuh dengan teratai merah yang sedang berbunga. "Aduh, indahnya.....!" Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah. "Jangan ……!”Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya. Tentu saja Mayang terkejut sekali "Eh ? Kenapa, Liong-ko?"   "Kau tahu, nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan demikian. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau dikeramatkan dan tak seorang pun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan dan kalau engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?" "Ihhh!" Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.” Ki Liong tersenyum. "Lupakah engkau akan julukan suhu?" "Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!” "Hushh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, bisa saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Ehgkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku." Akan tetapi, baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti!" dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri. Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti petani, wajah mereka dingin. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menuding kan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus. "Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?" "Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong ……" "Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!" Dan tiga orang itu sudah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun, mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang telah menerima latihan beberapa macam ilmu silat dari majikan mereka. Tentu saja dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu, mereka kalah jauh. Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang. Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau melarikan pusaka, mereka ikit marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka. Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Ia tidak berarti lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, ia pun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara nyaring. "Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!" "Mayang, jangan bicara sembarangan!" Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan. Tiba-tiba ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung karena sambaran angin dahsyat itu. Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahlan tadi. Mayang memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang saja, tahu-tahu di situ telah berairi seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja. Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut namun mengandung wibawa. "Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?" Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar, "Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia.... dia..... !" "Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!" Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Ma yang. Gais ini tetap berdiri dan menatap mereka dengan berani. Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu, yang memiliki kecantikan khas Tibet. "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"   "Subo ……!" Ki Liong berkata dengan suara lemah. "Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!" Nenek itu menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, ia pun tidak berani bersikap tidak sopan. "Lo-cian-pwe, teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak seorang pun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah hi-wi lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus di sini? Kalau ji-wi- keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau kami datang ke sini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!” Kakek dan nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja di situ tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong. "Hemm, bocah lancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang ke sini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!” "Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku." Tentu saja kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya. "Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beranihya mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang keren. “Suhu dan subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukumam apa pun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” berkata demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan dia pun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut. Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas. Akan tetapi pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya. Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan dia pun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang. "Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini ia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul. Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu. "Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran. Nenek itu mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu. “Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?" "Aku tanu lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi di sini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah, sepantasnya. Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?” "Mayang! Jangan kurang ajar engkau!" Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi. Akan tetapi, kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.   "Hemm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut. Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Namaku Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan akudari tangan orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap ji-wi di sini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang tokoh besar tentu akan suka mengampuninya.” "Ah, engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!” "Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain." "Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san." jawab Mayang. Kembali suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati. Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah, apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan. "Tidak perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!" "Lo-cian-pwe, jangan …….!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong. , "Bocah lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri di pulauku sendiri?" Toan Kim Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah. Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak mencegah isterinya karena dia berangagapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, hal itu tidak dapat disalahkan. "Lo-cian-pwe, aku tidak berani menghalangi tindakan lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperingatan lo-cian-pwe agar lo-cian-pwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!" Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang. "Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong. “Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko di sini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?" Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya. "Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dari bukan dia yang mengembalikannya ke sini." Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar. Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut. "Terserah lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.” "Hemm, siapakah kakakmu itu?” Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu. "Kakakku adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, di antaranya menurut cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan. "Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang membawanya pulang ke sini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja. "Sudah kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong menyetujui kalau Liong-ko kembali ke sini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."   "Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak. Mayang bersungut-sungut. "Percaya atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, lo-cian-pwe boleh membunuh kami!" Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut. Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya memancarkan sinar berapi. Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka, dia pun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya. "Ki Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?" Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang. Ki Liong yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali. "Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman." "Huh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!” Biarpun ia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri. Kesalahannya yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat. "Ki Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertaubat, dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!” Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong. "Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.” Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ! "Aih, betapa kejamnya …….!” Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai di mana dia menyimpan perahunya tadi. "Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur." "Hemm, ke mana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang. Ki Liong memanggul perahunya. "Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.” Mayang mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut. "Kita Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan kita." "Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang." Seperti ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam di mana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka di antara batu-batu karang. Kini, karena hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet. Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air laut di sekitar batu-batu itu pun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah. Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap. “Mayang, sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”   Mayang cemberut. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.” “Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apa pun lagi yang …….” “Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kita pun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak pernah menceritakan tentang orang tuamu.” "Ayah ibuku telah tiada, Mayang." "Ah, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Setelah itu, baru kita pergi keNing-ling-san.” Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka ia pun mendiamkannya saja. *** “Ciok Gun ……!” Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Pada saat itu, hatinya diliputi kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walaupun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu. Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, akan tetapi juga telah ia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau. Tentu saja dia terkejut karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya ketika pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucu yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka. Dia telah mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di kamarnya, daum jendela kamarnya diketuk orang perlahan-lahan dari luar . "Siapa ……?” Gouw Kian Sun bertanya dari dalam. Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu bicara dengan dia, tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula! "Teecu datang, suhu, harap dibukai jendela!" , Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang dicari-cari selama ini. "Ciok Gun, engkau? Apa…… apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung. Ciok Gun memberi isyarat kepada suhunya agar tidak membuat gaduh dan dia pun bicara dengan suara lirih. "Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu di mana adanya su-kong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan suhu melihat mereka." Dapat dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya dan suhengnya, dia pun mengangguk dan keduanya lalu berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai. Malam telah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gerdu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Dengan mudah guru dan murid yang merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai pada waktu itu, keluar dari perkampungan dan Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, di situ tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya. "Hati-hati, suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu ……" Biarpun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya, yang kini penuh rahasia itu, dia pun mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping. Tak lama kemudian, muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang dan dia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan di sebelah sana, dia melihat pula suhengnya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia tnelihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas. Setelah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan memandang kepada muridnya. "Cik Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka di sini dan apa yang telah teriadi?" Saking khawatirnya, dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu. "Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu." kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan. Ruangan ini luas dan terang dan ketika Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik dan tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk di situ, agaknya memang sedang menanti kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi, Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah! “Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pang-cu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!" Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, akan tetapi melihat sikap mereka ramah, dia pun terpaksa menyambut dengan hormat dan dia duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat. Sejenak dia memperhatikan mereka. Wanita itu usianya masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias mulut, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang pria berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To), usia mereka antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara. "Maafkan saya kalau saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam. Wanita itu yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, seperti sekuntum bunga merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih. "Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pancu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Mo-Ii." Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, akan tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja sudah, diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang sudah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata. "Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya." "Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi." Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Kiranya dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw! "Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sesungguhnya ada keperluan apakah ?” "Hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah." Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini telah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu akan keadaannya pula. Sungguh banyak yang aneh dia temui di sini. Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suhengnya Cia Hui Song dan isterinya, keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian anehnya, tentu muridnya itu yang menceritakan semua tentang Cin-ling-pai. Kian Sun menjadi marah sekali kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu kini mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya tidak masuk akal. “Ciok Gun, ke sini engkau dan ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi yang dibentaknya itu sedikit pun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerak pun tidak, berkedip pun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu. "Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya dia membentak marah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya. "Hi-hik, Ciok Gun, ini hanya akan bicara atau bertindak kalau mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang ini untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.” Kin Sun bangkit berdiri, wajahnya berubah merah, "Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati daripada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!" Bi Hwa tertawa. "Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami." "Tidak sudi!" "Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan kecuali hanya dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Dan engkau pilih yang ke dua , yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkau membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?" “Aku pilih mati!" Gouw Kian Sun membentak dan dia pun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa, dia sudah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dalam hantamannya. "Brakkkk !" Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya ia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba. Kim Hwa Cu, tosu termuda di antara Pek-lian Sam-kwi, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak sudah meloncat ke depan Kian Sun. Dia tersenyum mengejek dan mengelus jenggotnya. "Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar engkau sebaiknya menyerah saja agar semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin mempergunakan nama Cin-ling-pai saja, untuk mencapai maksud tujuan kami." "Tosu Pek-lian-kauw keparat!" Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat dia pun sudah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, kini dia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu Thian-te sin-ciang yang amat kuat. "He-he, ini Thian-te sin-ciang lumayan juga!" Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan dia pun dengan berani menyambut pukulan kedua itangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan keduactangan pula. "Desss ……..!” Dua pasang tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang dan terhuyung, sedangkan Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah. Dari pertemuah tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Kim Hwa Cu masih menang sedikit. Tentu saja Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja, dia sudah kalah tenaga. Dan tadi pun serangannya terhadap gadis cantik itu gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat pula. Tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu. Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua Cin-ling-pai tidak ada, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadapCin-ling-pai adalah dia. Bagaimana mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka diajak bekerja sama? Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan, setuju. Maka, dia pun menjadi nekat dan tanpa memperdulikan kehebatan lawan, dia sudah menubruk maju lagi. Kini, Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya dan tiba-tiba saja terdengar bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya. Kian Sun membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek. "Hi-hik, bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan suhengmu, juga puteri Pendekar Sadis, telah dapat kami tawan. Apalagi kamu!" "Bunuh saja aku!" bentak Kian Sun. "Manusia tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu. sebaliknya kalau engkau hidup, mereka pun akan tetap hidup." Kian mengerutkan alisnya yang tebal. "Maksudmu?" "Gouw Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau menyambut uluran tangan kami untuk, bekerja sama, mereka akan selamat dan akan kami perlakukan seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami takkan mengganggu selembar rambut pun dari mereka. Bagaimana?” Bi Hwa menarik pedangnya dan meloncat ke belakang. "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan kepala dingin." Kian Sun bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib empat orang yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka. "Engkau membual, Mo-li! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!" katanya mencoba, karena bagaimanapun juga,dia tidak percaya kalau gurunya, suhengnya dan isteri suhengnya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini. "Hi-hik, untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan apa sukarnya membunuh mereka? Di setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa penyalur asap pembius. Kalau kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyolkarena kebodohan dan kekerasan kepalamu?" Kian Sun menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri sendiri. Dibunuh pada saat itu pun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu demi nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suhengnya, isteri suhengnya dan putera suhengnya? Tiba-tiba dia teringat kepada Ciok Gun. Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat menarik Ciok Gun agar dapat membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung di belakang empat orang itu. "Ciok Gun, di mana Teng Sin dan Koo Ham ?" teriaknya untuk memancing perhatian muridnya itu. Akan tetapi, seperti juga tadi, Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh, melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung! "Hi-hi-hik, biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tidak akan sudi mendengarnya, Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya? Nah, engkau lihatlah baik-baik." Wanita itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan ia pun berkata dengan suara yang lembut merayu. “Ciok Gun, kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau hajarlah dia!" Kini Ciok Gun mengangkat mukanya dan menoleh ke arah gurunya, dan sinar matanya penuh kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba dia melompat ke arah Kian Sun dan langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka, gurunya sendlri! Tentu saja Kian Sun terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan mengangkat lengan menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk membuat muridnya itu terdorong jatuh. "Dukk ……….!" Dua buah lengan bertemu keras dengan sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa betapa kekuatan pada lengan tangan muridnya itu besar sekali, tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Ciok Gun sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap melawan muridnya sendiri, akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi Hwa, "Ciok Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menanti perintahku!" Dan Ciok Gun tidak memperdulikan lagi kepada Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun tadi. "Ciok Gun! Kau …… kau ……!” Kian Sun menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. T entu Ciok Gun telah dibius dan diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya mentaati perintah dari orang yang menguasainya., "Sudahlah, Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau melawan. Kalau engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya, engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi semua permintaan kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tidak ada gunanya dan telah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggauta Cin-ling-pai berada di tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tiada seorang pun yang akan selamat!" "Kalian iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baik aku menurut dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku tidak sudi membantu kalian melakukan perbuatan jahat. Ingat, daripada kami orang-orang Cin-ling-pai dipaksa melakukan perbuatan jahat, lebih baik kami mati semua!" "Aiiih, Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin menyuruh engkau berbuat jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan." "Cepat katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?" "Sederhana saja, Pangcu. Pertama, engkau cepat umumkan dan kirim undangan kepada para ketua semua perkumpulan dan partai persilatan besar untuk menghadiri pemikahanmu pada tanggal satu bulan depan." Gouw Kian Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan ragu. Gilakah gadis ini, pikirnya. Tanggal satu kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta pemikahannya? "Moli! Apa pula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti." “Engkau yang akan menikah, Pangcu." Kini Kian Sun benar-benar kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.   "Menikah dengan aku, Pangcu!” kata pula Bi Hwa ,sambil terkekeh genit. "Aahhh ...?? Aku .... menikah dengan ... dengan kau? Apa artinya ini? Kita .. kita tidak .... eh, maksudku aku tidak .... " “Hi-hik, jangan bingung, Pangcu. Kau lihat bukankah aku seorang gadis muda yang cantik molek? Tidak banggakah engkau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia ini merindukanku, bermimpi untuk menjadi kekasihku, apalagi suamiku. Dan engkau kelihatan begitu bingung? Hi-hik!" “Bukan begitu, akan tetapi aku …….. kita …….. bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami isteri?" Kini berubah sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin dan mengejek. "Gouw Kian Sun, engkau masih ingin membangkang? Perintah yang begini menyenangkan hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai! Dan untuk perayaan pesta pemikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau ingin aku tidak menjadi naik darah dan membunuh seorang di antara tawananku!” Diingatkan tentang tawanan itu, wajah Kian Sun seketika berubah pucat. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah iblis betina ini, akan tetapi dia tidak dapat membangkang, demi keselamatan keluarga Cia yang dihormatinya. "Baiklah, aku bersedia melakukan apa yang kau minta." Akhirnya dia berkata sambil menarik napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya genit. “Kalau engkau sudah menjadi suamiku dan bersikap baik dan penurut, aku akan benar-benar melayanimu sebagai isteri dan engkau akan berbahagia sekali." Kian Sun diam saja, walaupun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh dua, dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang gadis yang dianggapnya baik. Bagaimana mungkin sekarang dia merendahkan diri sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis macam Tok-ciang Bi Moli ini? *** Para tokoh kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, akan tetapi yang kini menikah bukanlah gadis itu, melinkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun. Nama Gouw Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang nama besar Cin-ling-pai, walaupun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua yang datang sendiri. Biarpun bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun lengkap jugalah para undangan datang berkunjung. Bahkan karena terdapat undangan yang jauh, maka dua hari sebelum hari perayaan, sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat yahg temama berdatangan. Di antara mereka terdapat wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Sesuai dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu telah menyuruh para murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu. Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu. Para tamu yang berdatangan itu menjadi semakin herah ketika mereka hanya disambut oleh wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun dan beberapa orang miurid Cin-ling-pai. Tidak nampak keluarga Cia yang merupakaan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu. Menurut keterangan Gouw Kian Sun atas pertanyaan para tamu, ketua Cin-ling-pai sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga tidak berada di Cin-ling-pai. Akan tetapi karena mereka itu menghormati nama besar Cin-ling-pai, biarpun merasa heran dan juga kecewa, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka menikmati pemandangan alam yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai. Rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipinpim oleh Tiong Gi Cin-jin, tokoh tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya sudah enam puluh dua tahun. Enam orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia dari dua puluh lima sampai empat puluh tahun dan para murid itu merupakan murid-murid yang pandai dari Bu-tong-pai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah. Rombongan Bu-tong-pai ini mendapatkan sebuah pondok besar di sebelah barat, di antara pohon-pohon cemara. Seperti juga para tamu dari berbagai perkumpulan silat, rombongan Bu-tong-pai ini datang lebih awal dua hari, sehingga selama dua hari dua malam mereka akan tinggal di situ sampai hari perayaan tiba. Tidak jauh dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun besar di mana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah. Pondok ke dua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang murid pria yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun. Tiga orang pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang di antara mereka yang menjadi memimpin rombongan. Ayah gadis itu bemama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya lihai, terutama permainan siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi-kiam-sut. Puterinya bemama Poa Liu In, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan bersikap lembut. Di sebelah timur, juga hanya terpisah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio kurang lebih enam puluh tahun yang bersikap lembut dan ramah. Di sekitar pondok darurat itu, tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering. Masih banyak lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan tetapi yang merupakan tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat perkumpulan besar itu. Pada keesokan harnya setelah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para utusan Go-bi-pai, nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai. Mula-mula ia berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap. Memang ia seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan kini mengepalai cabang Go-bi-pai yang berada di Lembah Sungai Han, masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai. Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga amat indah. Apalagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk tubuh seindah tubuh Liu In, mana nampak seperti seorang dewi sedang menari saja. Liu In berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu mengepul uap. Hawa udara sangat dingin sedang tubuhnya menjadi panas karena latihan itu maka kepalanya mengepulkan uap putih, menambah keindahan latihan silat tangan kosong yang seperti tarian itu. Setelah selesai, ia pun mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah ia melanjutkan latihannya dengan latihan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Ia mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, makin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk kedua pedang itu. Yang nampak hanya gulungan dua sinar seperti dua ekor naga bermain-main di antara tubuh yang padat dan langsing itu. Juga dalam latihan ilmu pedang ini, Liu In bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya ia menghentikan latihan pedangnya, nampak kini muka dan lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu. Liu In lalu meletakkan pedangnya di atas tanah. Ia sendiri lalu memilih tanah yang kering, lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pemafasan. Sungguh nyaman sekali rasanya, sehabis berlatih, badannya panas dan jantungnya berdebar, kini duduk melakukan latihan pemapasan seperti itu. Setelah napasnya normal kembali dan kelelahannya menghilang, ia pun melanjutkannya dengan siulian. Pada saat ia mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang mengandung wibawa amat kuatnya. "Poa Liu In, betapa nyamannya rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk. Engkau mengantuk dan tertidur …..” Liu In terkejut dan ia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak wajar. Tidak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Ia hendak menoleh dan menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa ia mengantuk, dan ia tidak mampu menoleh, bahkan tidak mampu bergerak, dan akhirnya ia pun menyerah. Ia tertidur dalam keadaan masih bersila! Karena tidurnya adalah tidur tidak wajar, maka ia pun sama sekali tidak terjaga ketika ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang terkulai pingsan, kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya pergi dari situ. Bayangan yang memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan sebelah barat. Tak seorang pun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok. Matahari telah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun sudah, mendatangkan kehangatan ketika Liu In mengeluarkan keluhan lirih dan menggerakkan tubuhnya, membuka kedua matanya. Pada saat itu ia mendengar suata yang masuk dari luar tempat itu. "Gadis Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di Cin-ling-pai? Ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui murid Cin-ling-pai!"