Liu In terkejut bukan main dan meloncat turun dari atas dipan, hanya untuk menahan jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Ia menyambarnya dan cepat mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena ia kini sadar benar apa yang telah terjadi menimpa dirinya. Ia telah diperkosa orang selagi pingsan atau tidur! Akan tetapi ia segera ingat bahwa tadi ia berlatih silat dan duduk bersila. Kini tahu-tahu telah berada di dalam sebuah pondok. Tentu ia telah ditotok dan pingsan! Setelah mengenakan kembali pakaiannya secepatnya, ia meloncat keluar mendorong daun pintu pondok itu dan ia berdiri tertegun. Ia melihat beberapa orang pria muda murid-murid Cin-ling-pai hilir mudik, dan melihat rombongan para tamu sedang berjalan-jalan, menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Ia tentu saja tidak berani ribut-ribut. Bagaimana ia berani membuat ribut kepada para murid Cin-ling-pai itu? Tentu berarti ia kan melumuri dirinya dengan aib, mengaku bahwa ia baru saja diperkosa orang! Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan ingin ia menjerit, ingin ia menangis, akan tetapi melihat semakin banyak otang berjalan-jalan, ia pun menahan perasaannya. "Liu In …….!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya menegur. Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua orang susioknya. Mereka agaknya bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiamnya yang tadi ia pergunakan untuk berlatih silat. Melihat puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali, tentu saja Poa Cin An terkejut bukan main dan merasa amat khawatir. "Liu In, ke mana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?" Poa Cin An dan dua orang sutenya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di depannya, Liu In tidak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. “Ayah …….!" Ia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya. "Ehhh? Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An. Melihat betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandang mata heran dan hanya tidak berani bertanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isarat kepada ,suheng mereka. “Mari kita pulang ke pondok dan bicara di sana." Biarpun ia sedang menangis, mendengar ucapan itu, Liu In mengangguk lemah dan mereka pun berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya. Setelah mereka tiba di pondok mereka, Liu In tak dapat lagi menahah kesedihannya. Ia lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikah air bah mengalir keluar dari bendungan yang pecah. Poa Cin An mengerutkan alisnya, memberi isarat kepada dua orang sutenya agar tinggal di luar dan dia sendiri lalu memasuki kamar puterinya, menutupkan kembali daun pintu kamar itu. Dia melihat puterinya menangis terisak-isak sambil menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang. Dia duduk di tepi pembaringan, menyentuh pundak puterinya. "Liu In, ke maha perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang terjadi? Katakan padaku, ceritakan kepada ayahmu." Liu In melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya, ia bangkit duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutup mukanya dan dengan suara hampir tidak terdengar ia berkata, “Ayah …… aku ……. aku ……… diperkosa orang …….." Bagaikan dipatuk ular, Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi pembaringan, berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. "Apa? Siapa? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!” Kini suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya tertusuk. Dengan kedua tangan masih menutupi mukanya, Liu In menceritakan pengalamannya, betapa tadi pagi-pagi sekali ia berlatih silat, kemudian ketika ia sedang melakukan latihan siu-lian (samadhi), ia tertidur dan ketika ia terbangun atau siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang. "Siapa? Siapa dia? Cepat katakan!" "Ayah, aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali tidak sadar. Ketika aku siuman, aku sendirian saja di pondok itu dan aku mendengar suara orang laki-laki mengaku bahwa dia yang melakukan perbuatan itu adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui …….." "Keparat jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!" Poa Cin An berteriak dan dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang sutenya terkejut dan menyambutnya dengan kaget dan heran. "Suheng, ada apakah?” “Keparat Cin-ling-pai ……!” Poa Cin An terengah-engah dan matanya mencorong penuh kemarahan, amat mengejutkan dua orang adik seperguruannya. Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis itu, “ …….. ayaahhh …….” Tiga orang tokoh Go-bi-pai itu lari memasuki kamar dan …….. Poa Cin An berteriak parau dan menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan kedua pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai di mana gadis itu rebah miring. “Liu In ……..!” Poa Cin An hanya dapat merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya. Liu In masih dapat memandang ayahnya dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar suaranya lemah dan lirih, " ……. aku malu ………. ayah ……… balaskan …….” dan lehernya terkulai, nyawanya melayang. "Liu In …….!” Ayah itu menubruk lagi jenazah puterinya. Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil! Anaknya hanya tunggal dan kini tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya. Diperkosa orang kemudian membunuh diri! "Cin-ling-pai keparat! Tenaglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit ini!" teriaknya dan dia pun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya. Akan tetapi, dua orang sutenya cepat menangkap lengannya. “Suheng, tahan dulu…..!” Poa Cin An rnemandang kedua orang sutenya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya masih basah. "Apa? Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!" “Tentu saja kami akan membantumu, Suheng. Andaikata Suheng tidak menuntut balas pun, kami berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya puterimu yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi, kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng kepada puterimu, setidaknya, kepada namanya?” Poa Cin An tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tidak mampu bicara, lalu mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjaang. "Kalian benar, Sute. Maafkan aku …….! Hampir aku tidak dapat menguasai hati dan menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aih, Liu In, sungguh malang nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas. Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di depan jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku ……." Setelah dia mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari pondok dan dengan langkah lebar dan muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat Cin-ling-pai. Di pintu gerbang depan mereka disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang sedang bertugas jaga. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang di antara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Akan tetapi mereka menyambut dengan ramah. "Selamat pagi, Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi datang berkunjung pagi ini?” “Laporkan kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengan dia. Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga mengejutkan tujuh orang murid Cin-ling-pai itu. Pemimpin para murid yang bertugas jaga itu memberi hormat dan tetap menjawab dengan sikap sopan dan ramah. "Lo-cian-pwe, saat ini Gouw pancu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk dan diterima oleh pangcu di ruangan tamu." "Kalau para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari Go-bi-pai tidak? Antarkan kami bertemu dengan dia, atau kami akan masuk sendiri!" kata pula Poa Cin An. "Sabarlah, Lo-cian-pwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya kalau sam-wi masuk sekarang, pangcu kami akan menjadi sibuk sekali dan sebaiknya kalau sam-wi menanti sebentar …..” "Tidak, kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!" Para murid itu terkejut. Tadi pun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga nampak marah, dari sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu. Ketika memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai telah duduk berjajar di situ, demikian pula Yang Tek Tosu bersama tiga orang murid keponakannya, dua di antaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka semua itu nampak tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti telah terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami. Kiranya wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar,menyambut dan para tamu itu baru dipersilakan menanti di ruangan tamu. Hal ini agak mengherankan karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin. Karena mereka sendiri pun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saia kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka duduk pula di sebelah kiri, menanti munculnya GouW Kian Suh.   Akhirnya, orang yang dinahti-nanti, itu pun muhcul dengan sikap tenang dan wajah yang tidak membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru dan dia nampak gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yahg pandai dan setia, dan yang menjadi, pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung ini pun nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu. Melihat para tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran, akan tetapi dengan ramah dia pun menghampiri kursinya, memberi hormat dan mempersilakan para tamunya duduk kembali. Poa Cin An sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai itu, akan tettapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wakil perkumpulan besar yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih dahulu bicara dengan tuan rumah. “Selamat pagi para Lo-cian-pwe yang terhormat!” Gouw Kian Sun dengan ramah. Walaupun dia sendiri menghadapi urusan Cin-ling-pai yang amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, namun di depan para tamu kehormatan ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah. "Kami harap cu-wi (anda sekalian) dapat beristirahat dengan senang di pondok-pondok yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan ……” "Kami datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh. Gouw Kian Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tidak dapat menduga atau membayangkan apa yang telah terjadi, akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau terjadi sesuatu Ciok Gun ini mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok Gun tetap dingin dan dia duduk membungkam mulut dan matanya pun memandang kosong saja! Selagi dia hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan. "'Omitohud ……..! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?" Dan muncullah Thian Hok Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu. Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar sudah berkumpul di situ pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara menoleh kepada sutenya dan dia pun mengelus jenggotnya yang panjang. "Omitohud ………., kiranya semua orang telah berkumpul di sini?" Kian Sun segera bangkit berdiri, diikuti oleh Ciok Gun dan Kian Sun memberi hormat kepada dua orang hwesio itu. "Ji-wi Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang karena agaknya ada yang perlu dibicarakan yang kami belum mengetahui. Silakan ji-wi duduk." Dua orang hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu dan mereka pun duduk. Agaknya Gouw Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan. Agaknya Yang Tek Tosu yang tadi sudah mulai bicara karena rombongannya yang datang lebih dahulu, kemudian bicaranya terhenti dengan munculnya dua orang hwesio itu, kini tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Dia bangkit berdiri dengan muka merah dan tubuhnya yang jangkung kurus itu agaknya nampak semakin jangkung. “Gouw Pangcu, kami datang bukan untuk beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihar saja keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi Pangcu berpura-pura!” Gouw Kian Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang luka-luka di leher dan dahi itu dan dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri. “Saya melibat bahwa mereka itu menderita luka-luka di leher dan dahi. Akan tetapi, sungguh mati saya tidak tahu mengapa begitu, to-tiang (bapak pendeta). Apakah yang telah terjadi?" Yang Tek Tosu menahan kemarahannya dan kini dia berjalan mondar-mandir, gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun. "Mungkin saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri. Sejak dahulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki murid-murid pendekar. Akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid yang nyeleweng, jahat dan curang!” Kian Sun bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang amat setia dan juga dia sedikit pun tidak mengira bahwa ada murid Cin-1ing-pai yang akan berani berbuat jahat. Bahkan dia pun sudah mendapat janji dari Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu dan sekutunya tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Maka, mendengar tuduhan Yang Tek Tosu, tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah. "Harap Totiang tidak menuduh yang tidak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan apakah yang telah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya, pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman kalau memang benar!" katanya dengan suara lantang. “Gouw-pangcu! Setelah melihat keadaan dua orang murid keponakanku, masih minta bukti lagi?” Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah, "Kalian ceritakan apa yang telah kalian alami semalam!"   Dua orang murid Kun-lun-pai itu mengangguk dan seorang di antara mereka yang lukanya tidak terlalu parah bercerita. Kiranya malam tadi, karena iseng saja, mereka meninggalkan pondok dan bahkan keluar dari perkampungan Cin-lihg-pai. Ketika mereka keluar, malam belum gelap benar. Mereka pergi ke perkampungan di lereng bukit, di mana terdapat beberapa dusun. Dua orang murid Kun-lun-pai itu adalah murid biasa, bukan tosu (pendeta To), maka mereka pergi ke dusun itu untuk bermain-main dan membeli makanan. Malam telah agak gelap ketika mereka mengambil keputusan untuk kembali ke perkampungan Cin-lihg-pai. Akan tetapi setiba mereka di luar dusun di mana mereka bermain-main tadi, mereka mendengar jerit tangis seorang wanita. Mereka cepat mengejar dan melihat lima orang laki-laki muda sedang menarik-narik seorang gadis dusun. Sebagai pendekar-pendekar Kun-lun-pai, tentu saja dua orang itu segera turun tangan menegur. Akan tetapi, lima orang itu tanpa banyak cakap lagi memaki. Seorang di antara mereka mengatakan bahwa sebagai tamu, dua orang itu tidak sepatutnya mencampuri urusan murid-murid Cin-ling-pai. Terjadi perkelahian dan karena dua orang itu dikeroyok, maka mereka menderita luka-luka di leher dan dahi. Mereka melawan terus dan akhirnya terpaksa melarikan diri karena lima orang yang mengaku murid Cin-ling-pai itu agaknya berkeras hendak membunuh mereka. Untung mereka dapat melepaskan diri dan lari sampai ke perkampungan Cin-ling-pai dan malam itu mereka mendapatkan pengobatan dari paman guru mereka, yaitu Yang Tek Tosu. Karena kebijaksanaannya, Yang Tek Tosu tidak mau membikin ribut di malam hari itu, menanti sampai keesokan harinya barulah pagi-pagi dia membawa dua orang murid keponakan yang luka-luka itu untuk mengadu dan memrotes kepada pimpinan Cin-ling-pai. "Nah, Pangcu mendengar sendiri. Apakah patut kelakuan murid-murid Cin-ling-pai itu? Mereka berlima hendak memaksa dan memperkosa seorang gadis dusun! Begitukah kelakuan para pendekar Cin-ling-pai? Ketika dua orang murid keponakanku menegur, mereka berdua malah dikeroyok secara pengecut. Kami minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu sebagai pimpinan Cin-ling-pai saat ini!" sebelum Gouw Kian Sun yang memandang terbelalak saking kaget dan herannya mendengarkan penuturan murid Kun-lun-pai itu, terdengar Tiong Gi Cinjin pimpinan rombongan Bu-tong-pai berseru dengan suaranya yang lantang. "Perbuatan mengeroyok dua orang murid Kun-lun-pai oleh lima orang itu masih belum berapa hebat, karena akibatnya hanya melukai dua orang murid Kun-lun-pai. Yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami oleh muridku sendiri! Muridku telah dikeroyok dan dibunuh oleh belasan orang murid Cin-ling-pai!" Semua orang terkejut, terutama sekali Gouw Kian Sun. "Tidak mungkin! Bagaimana mungkin murid-murid Cin-ling-pai membunuh tamu mereka sendiri?" "Hemm, Gouw Pangcu. Selama hidupku, aku tidak pernah berbohong! Aku tidak akan sembarangan menuduh kalau tidak ada buktinya. Mau bukti? Datanglah ke pondok kami dan lihatlah sendiri. Jenazah muridku, Gu Kay Ek, sampai sekarang masih rebah di atas dipan dan masih hangat!” Saking kagetnya, Kian Sun bangkit berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi menyaksikan sendiri bahwa ada murid Bu-tong-pai yang tewas akibat pengeroyokan murid-murid Cin-ling-pai. Akan tetapi pada saat itu, Poa Cin An bangkit berdiri dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia sudah meloncat dan berdiri di depan Gouw Kian Sun, menghadang kepergian wakil ketua Cing-ling-pai itu. "Gouw Pangcu, jangan pergi dulu! Kun-lun-pai hanya menderita luka-luka kedua muridnya, Bu-tong-pai menderita kematian seorang murid yang dikeroyok. Akan tetapi aku, aku orang Go-bi-pai yang selama hidupku tidak pernah menganggap Cin-ling-pai sebagai musuh, pagi hari tadi telah menderita yang teramat hebat dan noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!" Wajah Kian Sun menjadi agak pucat. Dia tahu bahwa Poa Cin An, tokoh kelas dua dari Go-bi-pai ini, datang bersama dua orang sutenya dan puterinya, seorang gadis muda yang cantik. Dan sekarang, tokoh ini hanya muncul dengan dua orang sutenya, tanpa puterinya! Dan dia bicara tentang noda yang harus ditebus dengan darah! "Lo-cian-pwe ……. apa ……. apa pula yang telah terjadi?" tanya Kian Sun dan suaranya terdengar penuh kegelisahan. "Apa yang terjadi? Puteriku, Poa Liu In, pagi tadi selagi berlatih sendirian dan sedang bersiulian, telah ditotok orang, dalam keadaan pingsan dibawa ke sebuah pondok kosong dan diperkosa! Dan sekarang, Gouw Pangcu juga tidak percaya dan minta bukti? Lihat, tubuh puteriku juga masih hangat walaupun nyawanya telah melayang, ditembusi dua batang pedangnya sendiri yang ia pergunakan untuk membunuh diri! Pangcu, kalau engkau tidak menyerahkan pelaku perbuatan terkutuk itu, jangan salahkan kalau Go-bi-pai akan membasmi Cin-ling-pai!" Wajah Gouw Kian Sun menjadi pucat sekali. Sungguh mimpi pun tidak pernah dia bahwa murid-murid Cin-ling-pai dapat melakukan semua perbuatan yang dituduhkan oleh tiga orang pimpinan rombongan tiga perguruan besar itu. Otomatis, seperti orang mencari pembela, dia menoleh ke arah dua orang hwesio Siauw-lim-pai. "Omitohud …….!" kata Thian Hok Hwesio. "Tadinya pinceng (aku) mengira bahwa orang Cin-ling-pai telah menjadi kurang ajar dan suka menghina orang, tidak tahunya telah terjadi perbuatan-perbuatan yang begitu jahatnya. Hemm, apakah artinya semua ini, Gouw Pangcu?" “Maaf, Lo-suhu. Apakah juga terjadi sesuatu yang membuat Losuhu menjadi marah?" tanya Gouw Kian Sun, semakin tidak enak perasaan hatinya dan dia seperti mendapat firasat yang amat tidak baik. "Omitohud, pinceng berdua menerima hidangan yang terdiri dari segala macam daging, juga arak. Sedangkan yang mengantar hidangan itu adalah murid-murid perempuan Cin-ling-pai yang genit-genit pula. Bukankah itu berarti suatu penghinaan yang disengaja untuk merendahkan pinceng berdua?" "Aih, mana mungkin begitu? Kami sudah mempersiapkan masakan ciak-jai (masakan bebas daging) untuk para Losuhu dan para Totiang!"   "Hemm, Gouw Pangcu. Arak dan masakan itu masih berada di pondok kami, belum tersentuh. Apakah Pangcu tidak percaya dan ingin melihat sendiri?" Kian Sun menjadi lemas. Bagaimana dia dapat tidak mempercayai mereka? Mereka yang kematian murid, kematian anak, adalah tokoh-tokoh besar dari perguruan yang terkenal. Mereka pasti tidak berbohong. Akan tetapi, kalau untuk percaya begitu saja, dia pun masih ragu-ragu karena selama dia menjadi murid Cin-ling-pai sampai sekarang, belum pernah ada murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat seperti itu. Cin-ling-pai memegang keras peraturan, dan setiap murid yang melanggar peraturan sedikit saja pasti dihukum berat. Apalagi sampai melakukan penghinanan kepada tamu, bahkan pembunuhan dan perkosaan! "Cu-wi Lo-cian-pwe, bagaimana kami dapat tidak mempercayai keterangan cu-wi (anda sekalian)? Akan tetapi, beritahulah kepada kami siapa saja pelaku-pelaku kejahatan itu di antara murid kami, pasti akan kami tangkap sekarang juga!” "Mereka yang mengeroyok dan melukai kami tidak pernah menyebutkan nama mereka.” kata dua orang murid Kun-lun-pai itu. “Muridku Gu Kay Ek sebelum menghembuskan napas terakhir sudah pinto tanyai, akan tetapi dia mengatakan bahwa para pengeroyoknya hanya mengaku murid-murid Cin-ling-pai, tidak ada yang menyebut namanya." kata pula Tiong Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai. "Murid Cin-ling-pai jahanam yang melakukan perbuatan terkutuk kepada puteriku mengaku bermarga Lui!" kata poa Cin An. "Serahkan jahanam she Lui itu kepadaku, Pangcu. Aku harus membawa kepalanya untuk dipakai sembahyang di depan jenazah atau makam puteriku!” Kian Sun mengerutkan alisnya, “She Lui? Akan tetapi, rasanya tidak ada yang she Lui di antara murid Cin-ling-pai ……..” “Maaf, Suhu. Teecu melapor. Pagi tadi teecu melihat dua orang murid yang mengganggu seorang gadis dusun. Teecu tegur dan ketika hendak menangkapnya untuk diseret ke depan Suhu agar menerima hukuman, mereka melarikan diri." Tiba-tiba Ciok Gun berkata, suaranya tenang namun jelas terdengar oleh semua yang berada di ruangan itu. Kian Sun terbelalak memandang kepada muridnya itu. "Ciok Gun! Apa maksudmu? Apa artinya keteranganmu itu? Siapa dua orang murid itu?" “Mereka itu Lui Ti dan Ji Kun, dua orang murid seangkatan teecu, hanya mereka lebih muda beberapa tahun." "Gouw Pangcu, jelas bahwa engkau hendak melindungi murid yang bersalah, ya? Tadi kau mengatakan bahwa tidak ada yang she Lui, sekarang muncul yang bernama Lui Ti!" kata Poa Cin An. "Tentu dia yang telah melakukannya. Cepat Pangcu tangkap dan serahkan dia kepada kami!” Kian Sun merasa kepalanya pening. Tentu saja dia meragukan sekali keterangan yang keluar dari mulut Ciok Gun, muridnya yang kini telah menjadi seperti mayat hidup yang dikuasai oleh Pek-lian-kauw! Di dalam hatinya timbul dugaan bahwa semua peristiwa itu pasti didalangi oleh Pek-lian-kauw! Akan tetapi mengapa mereka itu melakukan semua ini? Ah, dia tahu sekarang! Kiranya Pek-lian-kauw yang hendak menguasai Cin-ling-pai adalah suatu siasat untuk mengadu domba! Antara Cin-ling-pai dengan perguruan-perguruan besar lainnya. Jantungnya berdebar keras. Otaknya dikerjakan. Kalau begitu, setelah pertentangan memuncak, tentu mereka akan membebaskan keluarga Cia, perlunya agar keluarga Cia mempertahankan Cin-ling-pai dari amukan para pimpinan perguruan lain itu. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan sekarang? Membuka rahasia itu? Semakin merugikan. Pertama, tentu para tamu tidak percaya, karena buktinya, dia yang masih duduk sebagai pimpinan di Cin-ling-pai. Dan ke dua, kalau dia membuka rahasia yang belum tentu dipercaya oleh para tamu itu, tentu keselamatan seluruh keluarga Cia terancam. Kalau siasat mereka gagal, tentu orang-orang Pek-lian-kauw takkan segan-segan melanggar janji dan membunuh semua keluarga Cia yahg sudah dipenjarakan itu. Dia menarik napas panjang. Dia harus mampu mengulur waktu, mencari kesempatan untuk menyampaikan semua itu kepada gurunya,dan kepada suhengnya, Cia Hui Song. "Cu-wi Lo-cian-pwe harap jangan khawatir. Kami akan menyelidiki dengan teliti dan akan mengerahkan seluruh anggauta kami untuk menangkapi mereka yang bersalah. Kami berjanji. Sekarang kami ingin melihat semua korban sebagai bukti. Dua orang murid Kun-lun-pai sudah kami lihat bahwa mereka memang luka-luka!' , Gouw Kian Sun diiringkan oleh Ciok Gun, bersama semua rombongan tamu itu lalu meninggalkan kamar tamu dan pertama-tama mereka berkunjung ke pondok Bu-tong-pai. Di sini mereka melihat Gu Kay Ek, murid dari Tiong Gi Cin-jin, telah menjadi mayat dengan tubuh penuh luka, rebah telentang di atas pembaringan. Kemudian mereka semua menyaksikan jenazah Poa Lui In, murid Go-bi-pai dan yang terakhir mereka semua menyaksikan hidangan daging dan arak di pondok kedua hwesio utama utusan Siauw-lim-pai. Setelah menyaksikan sendiri, Gouw Kian Sun kembali lagi ke ruang tamu Cin-ling-pai, diikuti oleh mereka yang kini penuh semangat untuk menuntut balas. Kembali mereka duduk di ruangan tamu yang luas itu dan wajah Gouw Kian Sun muram sekali. Dia telah menyaksikan sendiri kebenaraan semua yang laporan dan tuntutan para tamunya yang terhormat. Diam-diam dia merasa khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, melainkan khawatir akan nama baik Cin-ling-pai. Kini dia dapat menduganya dan hampir yakin bahwa memang inilah yang dikehendaki Pek-lian-kauw, yaitu mengadu domba antara Cin-ling-pai dengan paraperguruan besar! Buktinya, yang terkena musibah hanyalah empat perguruan besar sehingga mereka semua merasa pehasaran kepada Cin-ling-pai. sedangkan para tamu lain, tamu biasa, tidak mengalami gangguan apa pun. Kini para tamu yang sudah duduk semua memandang kepada Gouw Kian Sun, dengan sinar mata penuh tuntutan. Wakil ketua Cih-ling-pai itu, yang sejak beberapa pekan ini telah kehilangan bobot banyak sekali sehingga nampak pucat dan kurus, berulang-ulang menghela hapas panjang. Kemudian dia mengangkat mukanya yang sejak kembalinya dari pemeriksaan tadi menunduk saja memandang kepada semua tamu.   "Cu-wi Lo-cian-pwe dan Eng-hiong (pendekar), saya telah melihat sendiri bukti dari semua yang cu-wi ceritakan. Saya tidak dapat menyangkal lagi bahwa memang cu-wi mendapatkan gangguan-gangguan hebat di Cin-ling-pai. Akan tetapi, sekarang ini saya belum dapat mepangkap murid-murid Cin-ling-pai yang berdosa, dan saya akan menyelidikinya dengan teliti. Pula, terdapat kemungkinan bahwa ada yang sengaja hendak merusak nama baik Cin-ling-pai, karena bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk di akal kalau murid-murid Cin-ling-pai melakukan kejahatan sekeji itu." "Bagus!” Poa Cin An bangkit dan berseru keras. "Jadi setelah menyaksikan dengan mata sendiri jenazah puteriku, Gouw Pangcu masih hendak melmdungi murid Cin-ling-pai? Sekarang juga kami menuntut agar jahanam she Lui murid Cin-ling-pai itu ditangkap dan diserahkan kepada kami! Akan kami penggal lehernya agar kepalanya dapat kami pakai menyembahyangi jenazah Liu In!" "Benar sekali itu!" teriak pula Tiong Gi Cin-jin. "Semua murid Cin-ling-pai harus dipaksa mengaku, kalau perlu disiksa, siapa yang telah membunuh Gu Kay Ek murid pinto (aku) dan harus menerima hukuman yang adil!" "Sian-cai! Apa yang dikatakan para wakil Go-bi-pai dan Bu-tong-pai itu benar sekali!" kata Yang TeK Tosu "Penghinaan ini harus dibayar lunas! Kalau pemimpin Cin-ling-pai hendak mengelak, akan kami hajar semua murid Cin-ling-pai untuk mehgaku!" Berkata demikian, Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali itu meloncat dari atas bangkunya dan berdiri dengan dua tangan terkepal. "Totiang, tahan bicaramu itu!" tiba-tiba Ciok Gun membentak dan dia punsudah melompat dan berdiri di depan Yang Tek Tosu. "Ingat bahwa engkau adalah seorang tamu yang tidak layak bersikap sembarangan dan seenaknya saja!" Melihat ini, Gouw Kian Sun terkjut dan heran, juga amat gelisah. Dia terkejut melihat sikap muridnya itu, dan juga heran karena muridnya ini memiliki watak yang pendiam,akan tetapi sekarang jadi pandai bicara! Dan dia pun tahu bahwa muridnya ini "dikendalikan" oleh orang-orang Pek-lian-kauw, agaknya sengaja untuk memperuncing keadaan yang sudah gawat itu. Yang Tek Tosu sudah marah sekali, dan mendengar ucapan Ciok Gun, dia pun membentak, “Memang pinto seorang tamu seperti yang lain, akan tetapi ingat, kami adalah tamu-tamu yang diundang, tamu terhormat, bukan tamu liar! Sepatutnya kalau tuan rumah menghormati kami, bukan malah menghina dan membunuh. Apakah Cin-ling-pai kini berubah menjadi perkumpulan pembunuh dan penjahat keji?" “Totiang, engkau sungguh menghina kami!" bentak Ciok Gun. "Sudah kami katakan bahwa kami hendak menyelidiki urusan ini, tapi Totiang mendesak. Kalau saat ini kami belum dapat menyerahkan mereka yang bersalah, habis Totiang mau apa? Akan menghajar kami? Hemm, aku khawatir Totiang tidak ada kemampuan untuk itu!" "Jahanam kau!" Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali kehilangan kesabarannya lagi dan dia pun mendorongkan tangan kanannya ke arah dada Ciok Gun, dengan niat untuk membuat orang muda itu terpelanting agar dapat berurusan sendiri dengan wakil ketua Cin-ling-pai yang pada waktu itu memrupakan orang pertama di Cin-ling-pai. Akan tetapi, Ciok Gun tidak mengelak, bahkan dia pun mendorongkan tangan kanannya menyambut pukulan itu. Dua buah tangan yang jari-jarinya terbuka bertemu dengan kuatnya. "Dessss …….!!" Ciok Gun terdorong mundur dua langkah, akan tetapi juga Yang Tek Tosu terdorong ke belakang dua langkah pula. Diam-diam Kian Sun terkejut. Yang Tek Tosu adalah tokoh tingkat dua di Kun-lun-pai, akan tetapi pukulan tangan kosong yang mengandung sin-kang amat kuat itu dapat ditahan bahkan diimbangi oleh muridnya! Juga Yang Tek Tosu terkejut dan semakin marah. "Siapakah engkau?" bentaknya. "Namaku Ciok Gun dan aku pembantu utama suhu .Yang menjadi wakil ketua Cin-ling-pai. Kalau perlu, aku dapat mewakili suhu menghadapi siapa saja yang hendak menggahggu Cin-ling-pai!" Tentu saja diam-diam semua orang terkejut. Tak mereka sangka bahwa wakil ketua Cin-ling-pai demikian lihainya sehingga muridnya saja mampu mengimbangi tenaga tokoh tingkat dua dari Kun-lun-pai! "Ciok Gun, jangan kurang ajar!" Tiba-tiba Gouw Kian Sun tidak dapat menahan dirinya lagi dan dia meloncat ke depan, Ciok Gun membalik dan kini guru dan murid itu berdiri berhadapan. Mula-mula Ciok Gun memperlihatkan sikap melawan, akan tetapi tiba-tiba saja, seperti ada yang membisikinya, dia mundur dan duduk kembali. Gouw Kian Sun kini berdiri di tengah ruangan itu, dan dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua tamu. "Saya mengerti akan kemarahan cu-wi (anda sekalian). Karena tidak mungkin bagi saya untuk cepat-cepat dapat menangkap para murid yang melakukan perbuatan keji itu, biarlah saya sebagai pimpinan Cin-ping-pai yang bertanggung jawab. Nah, cu-wi majulah dan hukumlah saya, saya tidak akan melawan. Saya mewakili dan menanggung dosa semua murid Cin-ling-pai!" Gouw Kian Sun memang sudah nekat. Nama baik Cin-ling-pai berada di ambang kehancuran. Permusuhan dengan perguruan-perguruan besar akan meledak, dan semua keluarga Cia masih berada dalam cengkeraman Pek-lian-kauw. Dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghindarkan keluarga Cia dari malapetaka! Maka, dia pun hendak mengorbankan diri saking putus asa. Sikapnya ini diterima salah oleh Yang Tek Tosu, Tiong Gi Cinjin dan Poa Cin An. Mereka menganggap bahwa sikap ini berarti melindungi para murid yang telah melakukan kejahatan besar. Mereka semua mengenal Cia Kong Liang sebagai ketua Cin-ling-pai yang keras dan adil, juga mengenal puteranya yang pernahmenjadi ketua Cin-ling-pai pula, yaitu Cia Hui Song yang gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Jelas kalau ada kedua orang itu, tidak ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan. Akan tetapi sekarang, yang menjadi pimpinan adalah Gouw Kian Sun dan terjadilah semua kejahatan itu. Agaknya Gouw Kian Sun ini pun bukan orang baik-baik!   "Bagus, kalau murid-muridnya jahat dan keji, tentu ketuanya lebih jahat lagi dan memang pantas dihukum mati!" bentak Yang Tek Tosu. Juga Tiong Gi Cin-jin dan Poa Cin An sudah maju, siap untuk menyerang Gouw Kian Sun. "Omitohud, harap saudara sekalian suka menahan diri, jangan menuruti nafsu amarah dan dendam." tiba-tiba Thian Hok Hwesio berseru dan bersama sutenya, Thian Khi Hwesio, dia sudah melangkah maju melerai. Yang Tek Tosu memandang kepada dua orang hwesio itu dengan sinar mata yang masih diliputi kemarahan. "Hemm, sahabat-sahabat dari siauw-lim-pai mempunyai petunjuk yang bagaimana?" Ucapan ini bukan hanya mengandung pertanyaan, akan tetapi juga celaan mengapa dua orang hwesio yang juga mengalami penghinaan itu maju melerai. "Omitohud, pinceng (aku) tidak menyalahkan kalau cu-wi marah-marah dan hendak menuntut balas. Akan tetapi harap diingat bahwa saat ini, para tokoh besar Cin-ling-pai, yaitu keluarga Cia, tidak ada yang berada di sini. Dan bagaimanapun juga, jelas bahwa semua kejahatan dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, bukan oleh Gouw Pangcu. Biarpun dia harus bertanggung jawab, akan tetapi kita harus memberi waktu kepadanya. Kita tidak bisa memaksanya untuk sekarang juga melunasi hutang itu. Apalagi kita sebagai tamu harus ingat bahwa Gouw Pangcu menghadapi hari pernikahannya besok. Sungguh tidak tepat kalau kita harus mengeruhkan tempat ini dengan pembalasan dendam. Urusan ini dapat diselesaikan kapan pun juga. Maka, sebaiknya kalau kita memberi waktu kepada Gouw Pangcu untuk menangkapi murid-muridnya yang berdosa selama satu bulan. Biarlah dia melaksanakan pernikahannya dulu dan mengerahkan murid-muridnya untuk menagkapi mereka yang berdosa. Sebulan lagi, tanggal satu bulan depan , kita datang ke sini untuk minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu. Pinceng harap cu-wi setuju dengan usul pinceng ini, karena pinceng percaya bahwacu-wi adalah orang-orang bijaksana. Bagaimanapun juga Gouw-pangcu tidak akan dapat lari dari kita, bukan?" Tiong Gi Cinjin, Poa Cin An, Yang Tek Tosu dan kawan-kawan mereka saling pandang, berbisik dan akhirnya mereka semua terpaksa menyetujui usul itu. Kalau mereka dapat membunuh Gouw Pangcu sekali pun, hal ini belum berarti membalaskan kematian murid dan puteri mereka. Dan memang semua peristiwa ini terjadi di luar tahu sang ketua, maka tentu membutuhkan waktu untuk membongkarnya dan menangkap yang bersalah! Selam itu mereka juga harus mengurus jenazah Poa Liu In dan Gu Kay Ek. "Baik, sebulan lagi kami balik ke sini!” kata Tiong Gi Cinjin yang mengajak murid-murid untuk meninggalkan tempat itu. "Gouw Pangcu, sebulan lagi aku datang menerima pembunuh puteriku!" kata pula Poa Cin An yang juga mengajak murid-murld Go-bi-pai yang lain untuk pergi. "Kami pun akan kembali sebulan lagi. .Mari kita pergi!" kata Yang Tek Tosu kepada murid keponakannya. Kini tinggal dua orang hwesio itu yang berada di situ. Gouw Kian Sun yang masih berdiri seperti patung, kini menghadapi dua orang hwesio itu. Dia memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas bantuan ji-wi Lo-suhu sehingga saya masih hidup sampai sekarang. " "Omitohud, tidak ada pertolongan, karena sebulan lagi Pangcu harus menghadapi mereka, juga kami sebulan lagi akan datang. Kalau benar Cin-ling-pai menyeleweng, kami harus menentangnya, dan kami ingin bertemu dengan keluarga Cia untuk minta penjelasan." Dua orang hwesio itu juga meninggalkan tempat itu dan pada hari itu juga, rombongan dari empat perguruan besar ini meninggalkan Cin-ling-pai, membawa jenazah murid masing-masing. *** Gouw Kian Sun menghadapi Su Bi Hwa di dalam kamar itu dengan muka merah dan mata melotot karena marahnya. Mereka hanya berdua saja dan Bi Hwa menghadapi Kian Sun dengan senyum dan kerling yang genit sekali. Kian Sun melotot dengan marah dan menudingkan telunjuknya ke arah Bi Hwa. "Moli, kenapa kau lakukan ini semua? Kenapa?” Bi Hwa mendekat dan menyentuh lengan pria itu dengan gaya yang manja dan genit. "Suamiku yang baik, apa yang telah kulakukan? Ingat, besok kita menikah, jangan kau marah-marah, sayangku." "Tak usah berpura-pura. Aku tahu engkaulah yang telah mendatangkan malapetaka itu, engkau yang menyuruh orang-orangmu memperkosa dan membunuh, dan mengaku sebagai murid-murid Cin-ling-pai! Para murid Cin-ling-pai yang aseli tidak akan sudi melakukan perbuatan terkutuk itu!” "Gouw Kian Sun, ingat bahwa engkau akan mentaati semua perintahku kalau kau ingin melihat keluarga Cia selamat. Dan kami pun tidak mengganggu Cin-ling-pai, kenapa engkau ribut-ribut?" Kini Bi Hwa bersikap dingin dan mengancam. "Akan tetapi engkau telah melakukan hal yang amat merusak! Engkau menjerumuskan Cin-ling-pai sehingga akan dimusuhi oleh banyak pihak. Nama baik Cin-ling-pai akan tercemar!" Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan putih. "Hi-hik, suamiku yang gagah. Kenapa takut? Ada kami di sini!" , "Tidak! Tidak! Kaubunuh saja aku, Moli. Aku sudah tidak tahan lagi!" "Hemm, tidak usah banyak tingkah lagi, Kian Sun. Keluarga Cia yang kami bunuh kalau kau bertingkah, bukan engkau. Engkau akan menjadi suamiku, ingat?” "Aku tidak sudi menikah, biar kau paksa dan kau bunuh pun, aku tidak sudi menikah denganmu!"   "Plakkk!" Tangan Bi Hwa bergerak dan pipi Kian Sun sudah ditamparnya, membuat wakil ketua Cin-ling-pai yang tidak menduga-duga itu kena ditampar dan dia pun terhuyung ke belakang. "Hemm, Gouw Kian Sun. Ingat, kau sudah menyebar undangan kepada semua tokoh persilatan. Kalau engkau batalkan pernikahan kita, bukankah engkau sendiri yang akan mencemarkan namamu dan nama Cin-Iing-pai, sehingga Cin-ling-pai dan pemimpinnya akan menjadi bahan ejekan dan tertawaan dunia persilatan?" Wanita itu tertawa dan bagi Kian Sun, dia melihat sebuah wajah yang mengerikan, seperti wajah iblis sendiri. Padahal dalam keadaan biasa, atau terlihat oleh mata umum, Su Bi Hwa adalah seorang wanita yang cantik dan memiliki daya tarik yang besar dan kuat. Mendengar ucapan itu, Kian Sun merasa tubuhnya menjadi lemas seketika dan merasa tidak berdaya. Dia pun menjatuhkan diri di atas kursi dan memandang kepada wanita itu dengan gelisah. "Moli, engkau memang sungguh jahat seperti iblis! Karena engkau sudah mencengkeram aku, maka sebaiknya engkau katakanlah apa yang akan kau lakukan selanjutnya dan mengapa pula kaulakukan semua ini?" "Engkau tidak perlu tahu mengapa aku melakukan semua itu, akan tetapi kau boleh mengetahui apa yang selanjutnya kami lakukan dengan harapan engkau tidak akan banyak bertingkah kalau engkau ingin melihat keluarga Cia selamat semua. Besok, pernikahan kita langsungkan dengan meriah, dan demi menjaga baik nama Cin-ling-pai, engkau harus memperlihatkan wajah gembira, tidak muram." "Hemm ……… lalu bagaimana tanggal satu bulan depan?" "Aha, kau takut akan kedatangan empat perguruan besar itu?" "Tentu mereka akan mengirim wakil-wakil yang tangguh, bahkan mungkin ketua mereka sendiri yang akan muncul! Bagaimana aku akanmenghadapi mereka?" "Haa-ha, tidak perlu takut. Ada kami yang akan menghadapi mereka." Diam-diam Kian Sun merasa girang. Iblis betina ini dan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Pek-Iian-kauw, akan menghadapi para utusan empat perguruan besar. Tentu iblis betina ini dan kawan-kawannya akan dapat dibunuh! "Kalau begitu bagus sekali! Aku mengharapkan bantuanmu untuk menghadapi mereka1 Moli." katanya girang. Wanita itu tersenyum mengejek. "Hai, jangan mimpi, Kian Sun! Jangan salah sangka. Aku hendak menghadapi mereka sebagai isterimu, ingat?" Wajah yang tadinya gembira dan penuh harapan, menjadi muram lagi. Kalau iblis betina ini menentang para utusan itu sebagai isterinya, berarti makin celaka lagi bagi nama baik Cin-ling-pai! "Sudahlah! Biar aku mati di tangan mereka!" katanya menarik napas panjang. "Jangan cemas, suamiku sayang. Serahkan saja kepada isterimu ini dan semua akan berjalan dengan beres." Kata pula Bi Hwa dan wanita itu menjatuhkan diri di atas pangkuan Kian Sun. Pria ini tidak mampu berbuat apa-apa. Selain dia tahu bahwa dia tidak bisa mengalahkan wanita ini dengan mudah, juga andaikata dia mampu membunuhnya, di sana masih ada tiga orang guru wanita ini yang lebih lihai lagi, yang setiap waktu akan dapat membunuh seluruh keluarga Cia yang menjadi tawanan mereka. Dia pun lalu menyerah saja, menyerahkan segalanya kepada Tuhah. Bagaimanapun juga, dia hanya mengharapkan agar keluarga gurunya semua selamat, juga agar nama baik Cin-ling-pai tidak sampai tercemar. Untuk semua itu, kalau perlu dia siap mengorbankan nyawanya sendiri. Pada keesokan hariliya, pernikahan itu dirayakan dengan, meriah dan semua tamu memuji kecantikan pengantin wanita yang mereka memberi selamat kepada Gouw Pangcu yang dikatakan beruntung sekali, dalam usianya yang sudah empat puluh dua tahun mendapatkan jodoh seorang gadis yang masih muda dan amat cantik itu! Tak seorang pun di antara para tamu, tentu saja bukan tamu yang menjadi kaki tangan dan bahkan orang-orang Pek-lian-kauw yang menyamar sebagai tamu, tahu bahwa di balik wajah cantik jelita dan bentuk tubuh yang menggairahkan itu bersembunyi iblis sendiri yang amat keji, jahat dan kejam! Setelah Bi Hwa secara sah menjadi isterinya, terjadilah perubahan besar-besaran di Cin-ling-pai! Belasan orang murid Cin-ling-pai lenyap secara aneh tanpa meninggalkan bekas, dan kini Bi Hwa menerima lebih dari dua puluh orang anggauta Cin-Ung-pai baru yang bukan lain hanyalah anak buah Pek-lian-kauw yang menyelundup dan diterima sebagai anggauta baru Cin-ling-pai. Tentu saja Kian Sun menjadi gelisah bukan main. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan murid-murid Cin-ling-pai yang lenyap, dan yang lenyap itu adalah murid-murid Cin-ling-pai pilihan yang setia kepada Cin-ling-pai! Dia merasa dikepung musuh, tidak mempunyai seorang pun yang dapat diajak bicara dan dimintai bantuan. Bahkan Bi Hwa mengancam jika dia menghubungi seorang murid Cin-ling-pai dan bicara mencurigakan, maka murid itu akan dibunuh. Maka, Kian Sun sama sekaLi tidak berdaya. Ciok Gun yang menjadi seperti mayat hidup itu oleh Bi Hwa ditugaskan untuk memata-matainya, sehingga setiap gerak-geriknya, kalau tidak bersama Bi Hwa, tentu di amati oleh Ciok Gun yang kini menjadi orang yang sama sekali tidak dapat dia percaya itu. Kalau dia menuntut agar keluarga Cia dibebaskan seperti yang dijanjikan Bi Hwa, selalu wanita itu mengatakan urusannya di Cin-ling-pai belum selesai. “Tunggu sampai tanggal satu bulan depan. Sesudah itu, tentu keluarga gurumu itu akan kami bebaskan," kata Su Bi Hwa. Akan tetapi wanita ini tidak menolak kalau Kin Sun minta agar dia membuktikan dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga gurunya masih selamat. Melalui lubang, mengintai dan melihat dengan hati lega bahwa kakek Cia Kong Liang, suhehgnya Cia Hui Song dan isteri suhengnya, Ceng Sui Cin, dan putera mereka, Cia Kui Bu, memang dalam keadaan sehat. Bahkan tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu nampak bersiulian, mungkin untuk mengumpulkan tenaga dan menjaga kesehatan tubuh mereka. Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan tanggal satu yang ditunggu-tunggu itu pun tibalah! Sejak tiga hari yang lalu Kian Sun sudah amat gelisah, tidak enak makan tidak nyenyak tidur, menanti hari itu dengan hati tegang. Dia bukan tegang akan ancarnan terhadap dirinya, melainkan merasa tegang akan nasib keluarga Cia dan juga nasib nama dan kehormatan Cin-ling-pai. Dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan kecuali mentaati perintah Bi Hwa yang kini ,telah menjadi “isterinya”. Pagi-pagi sekali Bi Hwa telah menyuruh Kian Sun memanggil semua anggauta Cin-ling-pai hadir dan Kian Sun tahu banwa di antara mereka, sedikitnya ada dua puluh orang anggauta baru yang tentu saja merupakan anak buah Bi Hwa yang diselundupkan! Dia pun seperti telah dipesan oleh Bi Hwa yang saat itu juga berdiri di samping kanannya sedangkan Ciok Gun berdiri di samping kirinya, memesan kepada semua anak buah untuk bersiap-siap dengan senjata mereka dan ikut menyambut tamu. "Akan tetapi, kalian dilarang untuk bergerak, kecuali kalau ada perintah dariku!" Kian Sun menutup pesannya dan penutup pesannya itu keluar dari hatinya sendiri, bukan seperti yang dikehendaki Bi Hwa. Akan tetapi wanita itu hanya mengangguk-angguk saja. Sebelum matahari nampak, para murid Cin-ling-pai sudah siap siaga, dengan senjata tergantung di pinggang, mereka membentuk barisan yang berjajar dari pintu gerbang sampai ke depan bangunan induk yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Sisanya membentuk barisan di belakang sang wakil ketua. Gouw Kian Sun yang selalu didampingi isterinya, Su Bi Hwa, dan pembantu utamanya, Ciok Gun, sudah duduk di ruangan depan, menanti datangnya tamu. Tidak lama mereka menanti. Rombongan tamu-tamu itu datang. Dan kiranya mereka Itu seperti sudah berjanji lebih dahulu, datang bersama-sama. Rombongan Go-bi-pai yang kini terdiri dari sepuluh orang, tetap dipimin oleh Poa Cin An, rombongan Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang dipimpin oleh Tong Gi Cin-jin, rombongan Kun-lun-pai terdiri dari lima orang tosu dipimpin oleh Yang Tek Tosu, dan rombongan dari Siauw-lim-pai, masih tetap dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio. Mereka memang merupakan rombongan-rombongan tersendiri dan berkelompok, namun mereka datang pada waktu yang sama dan berbondong mereka memasuki pintu gerbang yang di kanan kirinya terjaga oleh murid-murid Cin-ling-pai yang berdiri di kanan kiri seperti menyambut datangnya tamu agung. Setelah rombongan tiba di pelataran yang luas dari rumah induk Cin-ling-pai, mereka berhenti dan dari dalam keluarlah Gouw Kian Sun yang didampingi Su Bi Hwa di sebelah kanannya dan Ciok Gun di sebelah kirihya. Wajah Kian Sun nampak agak pucat dan alisnya berkerut, akan tetapi isterinya Su Bi Hwa, tersenyum dan wajahnya cerah dan nampak cantik sekali. Di sebelah kiri wakil ketua itu, Ciok Gun berdiri seperti patung yang wajahnya dingin. Gouw Kian Sun berhenti dianak tangga teratas, lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada semua tamu yang berkelompok, berdiri dengan tegak di pelataran itu. "Selamat datang, cu-wi telah datang memenuhi janji dan terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya selama satu bulan ……” “Gouw Pangcu, cukup tak perlu berpanjang lebar!" bentak Poa Cin An tak sabar. "Kami telah memberi waktu satu bulan. Cepat keluarkan jahanam she Lui itu untuk kupakai bersembahyang depan makam puteriku!" "Pinto juga minta agar para pembunuh murid pinto diserahkan kepada pinto!” kata Tiong Gi Cinjin. "Benar! Mereka yang mengeroyok dan melukai murid Kun-lun-pai juga harus cepat diserahkan sekarang juga!” kata pula Yang Tek Tosu penuh semangat. "Omitohud! Gouw Pangcu, apakah para murid Cin-ling-pai. yang telah melakukan penghinaan terhadap pinceng berdua sudah diberi hukuman?" tanya pula Thian Hok Hwesio. Kembali Kian Sun mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Wajahnya semakin muram, akan tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali bersikap dan bicara seperti yang telah dipesankan Bi Hwa kepadanya. "Harap cu-wi sudi memaafkan saya. Kalau ada murid Cin-ling-pai yarig bersalah, dia pasti dihukum. Pelaksanaan hukum itu hanya kami yang berhak melakukan, dan urusan para murid Cin-ling-pai adalah urusan dalam kami sendiri. Harap cu-wi tidak mencampuri dan percayalah kepada kami. Kami pasti akan menghukum murid-murid kami yang bersalah." "Omongan apa itu? Keluarkan mereka yang bersalah! Setidaknya, kami ingin melihat dia yang membunuh murid pinto!" kata Tiong Gi Cinjin yang galak. "Aku pun ingin melihat macamnya dia yang telah menyebabkan kematian anakku!" Poa Cin An juga berseru marah. "Keluarkan mereka yang bersalah!" Yang Tek Tosu juga berkata dan anggauta semua rombongan mengacung-acungkan tangan menuntut agar para murid Cin-ling-pai yang bersalah dikeluarkan di situ.   "Omitohud!" Thian Hok Hwesio berseru lantang, namun amat lembut. “Apakah Gouw Pangcu masih hendak melindungi mereka yang bersalah walaupun murid sendiri?" Kini Bi Hwa yang melihat "suaminya" tidak mampu bicara lagi, mengangkat kedua tangan depan dada lalu bersuara nyaring karena ia menggunakan tenaga khi-kang. "Cu-wi adalah orang-orang gagah di dunia persilatan, mengapa hendak menggunakan tekanan kepada suamiku yang tidak berdaya? Cu-wi tentu tahu bahwa suamiku hanyalah seorang wakil ketua. Sebaiknya cu-wi menanti sampai ketua Cin-ling-pai datang, yaitu keluarga Cia yang sejak turun-temurun telah menjadi ketua Cin-ling-pai. Harap jangan mendesak suamiku!" . Sejenak semua orang diam karena dari suaranya saja mereka tahu bahwa isteri Gouw Pangcu ini juga pandai ilmu silat. Dan ucapannya itu agaknya masuk di akal dan beralasan. Juga para murid Cin-ling-pai yang aseli menganggap bahwa isteri Gouw Pangcu itu ternyata setia pula terhadap Cin-ling-pai! Akan tetapi, seperti sudah diduga sebelumnya oleh Bi Hwa yang cerdik, para pemimpin rombongan itu, terutama rombongan Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang kematian murid mereka, tidak mau menerima alasan itu begitu saja. "Kami sudah memberi waktu sebulan! Pembunuh anakku harus diserahkan sekarang juga!" teriak Poa Cin An. "Benar, kami pun menuntut agar pembunuh murid pinto diseret ke sini sekarang. Yang bertanggung jawab adalah Gouw Pangcu, bukan para tokoh pimpinan Cin-ling-pai yang waktu itu tidak berada di sini!" Diam-diam Bi Hwa girang sekali karena semua berjalan sesuai dengan rencananya. "Hemm, cu-wi terlalu mendesak. Sebagai wakil ketua, suamiku tentu saja tidak berani mendahului ketua dan pelaksanaan hukum terhadap para murid menanti sampai ketua datang. Kalau suamiku tidak dapat menyerahkan murid-murid Cin-ling-pai, cu-wi hendak melakukan tindakan apakah?" Pancingan ini segera mendapat sambutan, mula-mula dari Poa Cin An sendiri. "Aku menuntut agar pembunuh anakku diseret ke sini dan diserahkan kepadaku. Kalau tidak, terpaksa kami akan membunuh semua murid Cin-ling-pai karena pembunuh anakku tentu seorang di antara mereka!" “Benar sekali! Kami pun akan bertindak, membasmi Cin-ling-pai yang menyeleweng!" Tadi Kian Sun sudah memesan kepada para murid Cin-ling-pai agar jangan bergerak sebelum dia perintahkan, akan tetapi tiba-tiba saja, belasan orang murid Cin-ling-pai sudah menghunus pedang dan mereka berlompatan ke depan. Melihat ini, Kian Sun terkejut sekali dan beberapa kali dia membentak agar para murid itu mundur. Akan tetapi, mereka tidak mau mundur bahkan maju dan bersikap hendak menyerang rombongan para tamu yang tentu saja menjadi marah dan mereka pun siap untuk melawan. Bi Hwa tersenyum. Inilah yang ia kehendaki dan memang ia yang memesan kepada anak buahnya yang diselundupkan menjadi anggauta Cin-ling-pai untuk mendahului menyerang para tamu. Kalau nanti terjadi pertempuran, dan akibatnya banyak murid Cin-ling-pai tentu tewas, bahkan Kian Sun juga akan ia usahakan supaya tewas, baru ia akan membebaskan keluarga Cia! Dan kalau melihat betapa Cin-ling-pai dibasmi oleh orang-orang dari empat perguruan besar itu, pasti keluarga Cia tidak akan mau sudah begitu saja dan akan terjadilah permusuhan yang semakin hebat. Inilah yang dikendaki para pimpinan Pek-lian-kauw. Sudah terlalu sering para pendekar Cin-ling-pai, juga keluarga Cia, membikin rugi Pek-lian-kauw di mana-mana, menentang dan menjatuhkan banyak tokoh Pek-lian-kauw. Melihat para murid Cin-ling-pai maju dan bersikap menantang, para murid rombongan tamu utu pun berlompatan maju dan terjadilah perkelahian yang hebat. Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat disusul seruan nyaring melengking, "Tahan semua senjata! Aku ketua Cin-ling-pai datang dan dengarkan dulu kata-kataku!" Melihat seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun muncul begitu tiba-tiba dengan suara yang amat nyaring, semua orang terkejut. Rombongan tamu yang tadinya sudah mulai bertempur, ketika mendengar teriakan ini, berlompatan ke belakang menghehtikan serangan mereka. Akan tetapi, belasan orang murid Cin-ling-pai masih belum mau berhenti bergerak, bahkan karena gadis itu menghalangi mereka, kini lima orang di antara mereka menggerakkan pedang menyerang gadis itu! Gadis itu bukan lain adalah Cia Kui Hong. Melihat lima orang yang nampaknya seperti orang-orang Cin-ling-pai menyerangnya dengan pedang, ia menjadi kaget, heran dan juga marah sekali. Gadis itu bergerak cepat laksana burung walet, tubuhnya berkelebatan di antara sinar pedang lima orang itu dan begitu kaki tangannya bergerak cepat, lima orang itu berpelantingan ke kanan kiri dan mengaduh-aduh sambil meringis kesakitan dan pedang mereka pun terlempar. Kui Hong melihat betapa masih ada belasan orang yang agaknya hendak menyerangnya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita. "Hentikan perkelahian!" Dan belasan orang itu pun berloncatan mundur, berbaur dengan para murid Cin-ling-pai yang lain. Kui Hong cepat menoleh dan melihat bahwa yang membentak tadi adalah seorang wanita cantik yang berdiri di sebelah kanan susioknya atau juga wakilnya, yaitu Gouw Kian Sun. Kian Sun cepat memberi hormat kepada murid keponakan itu, karena biarpun tingkatnya lebih muda, Kui Hong adalah ketua Cin-ling-pai. "Pangcu baru pulang?" katanya dan suaranya menggetar karena ada keharuan, kegembiraan dan juga kegelisahan terkandung dalam suaranya itu. "Susiok, apa artinya semua ini? Siapa wanita itu?"Kui Hong menuding kepada Bi Hwa yang tersenyum manis. “Ia... ia ini .... adalah .... isteriku pangcu." "Isterimu ..?? Hemm, dan siapa pula orang-orang yang menyerangku ini?" "Mereka .. para murid Cin-ling-pai ...” Kui Hong melangkah maju dan lima orang itu yang melihat betapa kini para murid Cin-ling-pai menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu dan menyebut "pangcu", juga berlutut dan mereka ketakutan melihat ketua itu melangkah mendekati mereka. "Murid-murid Cin-ling-pai? Kenapa aku tidak pernah melihat mereka? Dan kalau murid-murid Cin-ling-pai, mengapa menyerang aku, ketua mereka sendiri? Apakah kalian sudah gila semua?" Kui Hong marah bukan main. "Maafkan mereka, Pangcu. Mereka adalah anggauta-anggauta baru, maka belum mengenal Pangcu." Bi Hwa sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Hong. Akan tetapi, dengan alis berkerut Kui Hong tidak menanggapinya, sebaliknya gadis perkasa ini meloncat ke atas serambi dan berdiri di depan Kian Sun, lalu membalikkan ttibuh membelakangi wakilnya itu, menghadapi rombongan para tamu. Ia agak terkejut ketika mengenal para tokoh itu. Dengan terheran-heran ia memandang kepada mereka, lalu wajahnya yang tadinya muram itu menjadi cerah, dan ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada mereka. "Aih, kiranya ji-wi Lo-suhu (kedua guru tua) Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio dari Siauw-lim-pai, To-tiang (sebutan pendeta To) Ting Gi Cin-jin dari Bu-tong-pai, Totiang Yang Tek Tosu dari Kun-lun-pai dan juga Lo-eng-hiong (orang tua gagah) Poa Cin An dari Go-bi-pai yang hadir! Selamat bertemu dan selamat datang, cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah) dan maafkan Cin-ling-pai yang telah bersikap tidak selayaknya terhadap cu-wi. Sebenarnya, apakah yang terjadi? Nampaknya cu-wi marah dan menuntut sesuatu!" "Omitohud ………! Cia-lihiap (pendekar wanita Cia), sudah lama pinceng mengenal keluarga Cia sebagai pimpinan Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar. Akan tetapi, apa yang terjadi sebulan yang lalu sungguh mengejutkan hati pinceng." kata Thian Hok Hwesio. "Losuhu, apa yang telah terjadi?" "Omitohud, tanyakan saja kepada mereka dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai. Pinceng berdua sesungguhnya lebih sebagai saksi saja karena yang kami alami tidaklah ada artinya." "Poa Lo-enghiong, apakah yang telah terjadi dengan Go-bi-pai di sini sebulan yang lalu?" Poa Cin An mengepal tinju. "Aihhhh …….. sungguh membuat orang bisa mati penasaran! Sebulan yang lalu kami datang ke sini dengan rombongan sebagai tamu atas undangan Gouw Pangcu yang akan melangsungkan pernikahannya. Akan tetapi pada pagi hari itu, sehari sebelum hari pernikahan dilangsungkan, terjadi sesuatu yang merupakan aib dan juga menghina kam, aib dan penghinaan yang hanya dapat ditebus oleh darah pelakunya!" Kui Hong terkejut. "Lo-enghiong, katakanlah, apa yang telah terjadi?” Poa Cin An menarik napas panjang. "Puteriku yang bernama Poa Liu In, telah ditangkap seorang murid Cin-ling-pai she Lui, dibawa ke pondok dan diperkosa! Lui In lalu membunuh diri setelah menceritakan malapetaka itu kepadaku. Nah, katakan, nona ……. eh, Pangcu, tidak pantaskah kalau aku menuntut agar jahanam she Lui itu diserahkan kepada kami?” Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main. Kalau bukan seorang tokoh Go-bi-pai yang dikenalnya sebagai seorang yang gagah perkasa itu yang bicara, tentu ia akan marah dan tidak percaya sama sekali, menganggap ucapan itu sebagai fitnah keji. Sejenak ia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking terkejut dan herannya. "Cia-lihiap, bukan kekejian itu saja yang dilakukan murid Cin-ling-pai, akan tetapi juga murid pinto yang bernama Gu Kay Ek telah mereka keroyok sehingga tewas ketika berada di sini sebagai anggauta rombongan kami, sebagai tamu yang seharusnya disambut dengan baik. Kami datang memenuhi undangan Gouw Pangcu, mengingat akan nama besar keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Siapa kira, baru sehari tiba di sini, kami kehilangan seorang anggauta kami yang dibunuh oleh murid-murid Cin-ling-pai! Dan sekarang kami datang menuntut Cin-ling-pai menyerahkan pembunuh-pembunuh itu setalah kami memberi waktu satu bulan kepada Gouw Pangcu." Kui Hong kini menjadi bingung. Murid-murid Cin-ling-pai memperkosa seorang tamu wanita dan mengeroyok sampai mati seorang tamu lain? Sungguh tak masuk di akal! Selamanya, sejak ia lahir di situ, sampai sekarang ia berusia dua puluh satu tahun, belum pernah ia mendengar ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan seperti itu! Makin besar keinginan tahunya dan ia pun menahan desakan dalam hati untuk minta keterangan dari susioknya, Gouw Kian Sun yang bertanggung jawab selama kepergiannya. Ia harus mendengar keterangan semua pihak selengkapnya. "Dan apa yang terjadi dengan rombongan Kun-lun-pai, Totiang?" tanyanya sambil memandang kepada Yang Tek Tosu. "Siancai …….! Kami selalu menganggap Cin-ling-pai sebuah perguruan yang dipimpin oleh orang-orang bijaksana. Akan tetapi sekarang ternyata telah berubah sama sekali pandangan kami. Dua orang murid Kun-lun-pai ketika menjadi tamu di sini, dikeroyok oleh banyak murid Cin-ling-pai sehingga luka-luka." "Dan bagaimana dengan rombongan Siauw-lim-pai, Lo-suhu?" tanya Kui Hong kepada dua orang hwesio itu.   "Omitohud, sebetulnya, apa yang menimpa pinceng berdua tidak perlu pinceng ributkan. Akan tetapi karena Li-hiap ingin tahu, baiklah pinceng ceritakan apa yang telah terjadi sebulan yang lalu ketika pinceng bersama sute Thian Khi Hwesio menjadi tamu di sini. Malam pertama kami berada di sini, kami disu- guhi hidangan masakan daging dan arak, bahkan yang membawa hidangan adalah wanita-wanita yang genit dan tidak sopan. Biarpun urusan kecil, , namun pinceng yakin bahwa kalau Lihiap berada di sini, hal yang aneh itu tidak akan mungkin terjadi." Mendengar ini bagaikan akan meledak rasanya dada Kui Hong. Ia membalik dan kini ia memandang kepada Gouw Kian Sun yang menundukkan mukanya yang pucat. "Gouw Susiok, engkau sebagai wakilku, engkau bertanggung jawab selagi aku pergi. Nah, katakan, benarkah semua laporan para lo-cian-pwe tadi?" Kian Sun mengangkat mukanya yang pucat. Ingin ia berteriak bahwa semua itu dilakukan oleh orang-orang Pek-lian-kauw yang kini menguasai Cin-ling-pai. Akan tetapi dia tidak berani melakukan hal ini, tidak mampu, karena dia harus menjaga keselamatan keluarga Cia! Maka dia begitu bingung sekali. Melihat suaminya menjadi bingung dan tidak mempu menjawab, Bi Hwa lalu memegang lengannya dan mengguncangnya. “Sun-ko, mengapa engkau diam saja? Koko, ceritakanlah saja kepada pangcu apa yang selama sebuan ini membuat engkau bingung karena engkau tidak berhasil menangkap …….” “Diam!" Kui Hong membentak. Dalam keadaan seperti ini, ketika Cin-ling-pai berada dalam bahaya, ia dapat bersikap keras terhadap siapa pun juga. “Susiok, jangan seperti anak kecil! Ceritakan apa yang terjadi!" . Dibentak seperti itu, Bi Hwa mundur dan nampak gemetar, walaupun di dalam hatinya ia marah sekali kepada Kui Hong. Akan tetapi wanita cerdik ini tahu bahwa Kui Hong adalah seorang yang keras hati dan lihai bukan main. Menghadapi lawan seperti ini, harus menggunakan muslihat dan kelembutan, tidak boleh dengan kekerasan. “Maafkan saya, saya hanya ingin membantu suami ……" katanya lirih. “Pangcu, saya memang telah menyaksikan sendiri dan semua laporan itu memang benar. Akan tetapi, selama sebulan ini saya telah gagal menemukan mereka yang bertanggung jawab, gagal menemukan mereka yang telah melakukan semua kejahatan itu." Kui Hong mengerutkan alisnya, menatap tajam penuh selidik ke arah muka Kian Sun yang ditundukkan. Tidak biasanya susioknya ini bersikap selemah ini. Ia mengerling ke arah Bi Hwa, wanita cantik yang menjadi isteri susioknya. Wanita itu memandang kepada suaminya dengan pandang mata penuh kekhawatiran. Kemudian, pandang matanya menatap wajah Ciok Gun dan ia pun teringat bahwa Ciok Gun merupakan murid dan pembantu utama Gouw Kian Sun, yang boleh dipercaya akan kesetiaannya. "Suheng Ciok Gun!" Tiba-tiba ia membentak. “Engkau menjadi pembantu utama susiok. Apa saja yang kau kerjakan? Apakah engkau tidak ikut melakukan penyelidikan dan sama sekali tidak menemukan tanda-tanda siapa kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?" Ciok Gun mengangkat muka memandang Kui Hong dan gadis ini diam-diam terkejut bukan main. Wajah itu! Ia mengenal Ciok Gun dengan baik, karena selama ini Ciok Gun amat sayang kepadanya. Akan tetapi wajah ini! Memang wajah Ciok Gun, akan tetapi wajah itu demikian dingin, seperti topeng saja, dan dia tidak menemukan lagi keramahan dan pandang mata sayang mata wajah itu. "Maaf, Pancu. Saya pun tidak menemukan apa-apa." jawab Ciok Gun dengan suara kaku dan dingin. Ini juga bukan suara Ciok Gun yang dahulu! Diam-diam Kui Hong bergidik ngeri. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang belum dapat ia duga apa, akan tetapi sesuatu yang membuat sikap Gouw Kian Sun dan Ciok Gun seperti itu! Lalu ia teringat kepada kakeknya, karena ibu dan ayahnya tentu masih berada di pulau Teratai Merah. “Gouw susiok, apa kata kong-kong menghadapi semua peristiwa ini?" Mendengar pertanyaan ini, wajah Kian Sun menjadi semakin pucat. Dia mengangkat muka memandang kepada gadis itu dan menggeleng kepalanya. "Suhu tidak ada ……. beliau …… beliau meninggalkan Cin-ling-pai dan hanya mengatakan bahwa beliau ingin berjalan-jalan …… eh, merantau ………” Berdebar rasa jantung Kui Hong. Kakeknya itu biasanya hanya berdiam saja di kamar, seperti pertapa. Kenapa mendadak pergi meninggalkan Cin-ling-pai yang sedang kosong? Sungguh amat mencurigakan. Akan tetapi, saat ini para tamu sedang menanti dengan tidak sabar, maka ia pun cepat menghadap ke arah para tamu. “Cu-wi sudah mendengar sendiri keterangan wakilku. Ada sesuatu di balik semua ini. Aku berjanji kepada cu-wi untuk membongkar rahasia ini dan menangkap semua pelaku kejahatan itu dan menyerahkan kepada cu-wi. Kuharap cu-wi suka melihat mukaku dan suka menanti selama tiga hari. Dalam waktu tiga hari tiga malam, aku akan melakukan penyelidikan dan setelah tiga hari kemudian, silakan cu-wi datang lagi ke sini!" Para pimpinan rombongan itu nampak tidak puas. Mereka sudah memberi waktu satu bulan dan sekarang harus menanti lagi? Agaknya, Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai yang selama, ini menjadi sahabat baik keluarga Cia, melihat hal ini dan dia pun bertanya dengan suara lembut namun terdengar oleh semua orang. "Cia Lihiap, pinceng ingin sekali tahu. Bagaimana kalau lewat tiga hari Lihiap juga tidak berhasil menangkap penjahat-penjahat itu, seperti halnya Gouw Pangcu?" Semua orang setuju sekali dengan pertanyaan itu dan mereka mengangguk-angguk dan semua orang menanti jawaban gadis itu.   "Losuhu tentu sudah mengenal akan watak kami sebagai pimpinan Cin-ling-pair sejak turun-temurun, kami adalah orang-orang yang bertanggung jawab! Kalau dalam waktu tiga hari aku masih juga tidak berhasil menangkap mereka yang bersalah, maka wakil ketua Cin-ling-pai Gouw Kian Sun dan pembantu utamanya, Ciok Gun, harus bertanggung jawab dan aku akan menyerahkan mereka kepada cu-wi untuk diadili!" Semua orang saling pandang dan akhirnya mereka setuju. Dengan wajah masih penasaran empat rombongan perguruan besar itu meninggalkan Cin-ling-pai dan menuruni puncak itu. Mereka tidak mau lagi tinggal di Cin-ling-pai, tidak mau bersahabat dengan Cin-ling-pai sebelum urusan itu menjadi terang dan yang salah menerima hukuman yang adil. "Pangcu baru datang sudah rnenghadapi urusan yang menjengkelkan. Harap Pangcu beristirahat dan akan lebih baik kalau kita bicara saja di dalam. Bagaimana pendapat Pancu?” kata Su Bi Hwa dengan ramah. Kui Hog mengangguk dan melangkah masuk, diam-diam mencatat bahwa wanita cantik ini mempunyai dua kemungkian. Memang ia pandai membawa diri dan mencintai suaminya, atau ia seorang yang cerdik dan berbahaya sekali, yang mempunyai rahasia di balik keramahannya. Kui Hong merasa yakin bahwa semua rahasia itu agaknya tersembunyi di dalam hati tiga orang ini. Gouw Kian Sun, Ciok Gun, dan isteri Gouw Kian Sun ini. Entah rahasia apa, ia belum bisa menduganya. Akan tetapi ia mengambil keputusan bahwa dalam tiga hari ini ia harus dapat membongkarnya, karena agaknya rahasia tentang peristiwa aneh yang terjadi di Cin-ling-pai, yaitu dilaporkannya kejahatan yang katanya dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, berada di tahgan tiga orang ini! Mereka masuk ke dalam dan dengan penuh keramahan Su Bi Hwa mempersilakan Kui Hong memasuki kamarnya yang selama ini ia rawat baik-baik. Selama sebulan tinggal di situ, memang Bi Hwa merawat rumah itu dengan baik sehingga semua perabot rumah nampak bersih, lantaipun bersih dan semua teratur rapi. Akan tetapi hanya sebentar saja Kui Hong memasuki kamarnya, hanya untuk menyimpan buntalan pakaiannya dan untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia termenung. Sejak ia tiba di kaki Pegunungan Cin-ling-san, hatinya sudah merasa tidak enak dan hal ini ia katakan kepada Hay Hay. Cia Kui Hong, gadis perkasa itu, biarpun menjadi ketua Cin-ling-pai, namun pekerjaan itu tidak disukainya. Ia suka merantau dan bertualang. Petualangannya yang terakhir adalah ketika bersama para pendekar ia membantu pemerintah menyerbu perkumpulan Ho-han-pang (Perkumpulan Patriot) yang sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan yang dipimpin oleh orang-orang sesat, diketuai oleh Tang Bun An yang terkenal dengan julukan Ang-hoa-cu (Si Kumbang Merah) sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Dalam perjuangan ini ia bertemu lagi dengan seorang pendekar yang diam-diam memang telah merebut kasih di hatinya, yaitu Tang Hay. Sebetulnya, pendekar ini adalah putera kandung mendiang Ang-hong-cu Tang Bun An sendiri, namun berbeda dengan Si Kumbang Merah, Tang Hay atau lebih dikenal dengan nama Hay Hay berwatak pendekar. Hanya ada satu hal yang kadang membuat hati Kui Hong panas dan cemburu, yaitu watak Hay Hay yang mata keranjang sehingga dia dijuluki orang Pendekar Mata Keranjang! Walaupun sikap ini hanya lahiriah saja, yaitu tidak pernah Hay Hay sungguh-sungguh menggauli wanita, melainkan terdorong oleh rasa sukanya kepada wanita yang cantik, namun tetap saja dia dianggap sebagai seorang laki-laki mata keranjang, dan sudah seringkali hati Kui Hong yang mencintanya menjadi panas karenanya. Setelah berhasil membasmi gerombolan Ho-han-pang, Tang Hay dan Cia Kui Hong menemukan kenyataan bahwa mereka saling mencinta. Mereka pun saling mengaku dan keduanya merasa bahagia sekali. Itulah sebabnya mengapa kini Hay Hay melakukan perjalanan bersama Kui Hong, karena Kui Hong memang mengajaknya ke Cin-ling-pai untuk , memperkenalkan kekasihnya itu kepada ayah ibunya dan kakeknya.Dan di dalam perjalanan yang memakan waktu tidak kurang dari sebulan ini, Kui Hong mendapat kenyataan bahwa biarpun sikapnya yang mata keranjang pernah membuat kekasihnya itu dituduh menjadi pemerkosa wanita, namun sikap Hay Hay kepadanya tidak pernah melewati atau melanggar batas kesusilaan. Hal ini membuat ia merasa semakin berbahagia, dan cintanya menjadi semakin mantap. Pada pagi hari itu, ketika mereka tiba di dusun di lereng bukit Cin-ling-pai, mereka bertemu dengan seorang gadis dusun yang ditemani ayah ibunya, sedang menuruni lereng itu. Akan tetapi, begitu melihat Kui Hong dan Hay Hay, tiga orang itu terkejut lalu lari ketakutan melalui jalan setapak itu. Bahkan gadis dusun itu sampai tersaruk-saruk saking takutnya. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan hati Kui Hong. Bersama Hay Hay ia lalu melakukan pengejaran dan hanya dengan beberapa loncatan saja dua orang muda perkasa ini dapat menyusul bahkan mereka meloncat ke depan mereka, menghadang. Begitu melihat Kui Hong dan Hay Hay berkelebat dan menghadang di depan mereka, ayah ibu dan anak itu menjadi semakin terkejut dan mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar. "Cia Siocia (Nona Cia), maafkan kami …….ah, ampunkan kami dan jangan bunuh kami …….” Tentu saja Kui Hong terkejut dan heran mendengar ini. Ia dikenal oleh semua penduduk dusun-dusun di sekitar Cin-ling-pai dan dipanggil Nona Cia sejak kecil. Akan tetapi orang ini yang juga mengenalnya, mengapa begini ketakutan!. "Paman, apa kau kira aku ini seorang pembunuh?" "Ha-ha-ha, kalian ini lucu. Nona Cia ini disuruh membunuh tikuspun tidak tega!" Hay Hay tertawa geli melihat kekasihnya dianggap pembunuh kejam. Akan tetapi, kini tiga orang itu memandang kepadanya dan kembali laki-laki itu meratap, "Cia Siocia, ampunkanlah kami. Anak kami hanya seorang ini saja, jangan biarkan dia memperkosa anak kami ……" Kini ayah itu menuding ke arah Hay Hay dan tentu saja kini Hay Hay yang terbelalak memandang kepada mereka. Akan tetapi segera dia dapat menguasai dirinya dan kembali dia tertawa. "Aih, jangan main-main, Paman! Apa kau kira aku ini tukang perkosa? Biarpun anakmu ini memang manis sekali, akan tetapi aku tidak pernah memperkosa wanita!” kata Hay Hay.   Kui Hong mengerutkan alisnya dan sekali ia menggerakkan tangan, dia sudah menarik lengan ayah itu sehingga bangkit berdiri dengan paksa. "Hayo ceritakan apa yang terjadi sehingga kalian bersikap begini. Kalian ini hendak pergi ke manakah dan mengapa begini ketakutan, menuduh kami pembunuh dan pemerkosa?" Melihat sikap Kui Hong, agaknya ayah ibu dan anak itu menjadi heran. Mereka saling pandang dan sungguh aneh, setelah Kui Hong marah-marah, malah mereka kelihatan lega dan tidak begitu ketakutan lagi. “Agaknya siocia baru pulang dan tidak tahu apa yang terjadi di sini? Aih, maafkan kami, Cia Siocia. Kami hendak melarikan diri karena akhir-akhir ini terjadi banyak kejahatan di sini, terutama sekali kejahatan memperkosa dan membunuh gadis-gadis dusun. Sudah kurang lebih satu bulan kejahatan itu merajalela dan para pelakunya adalah para murid Cin-ling-pai …..” "Heiiiiit…….. ??" Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main. Tanpa banyak bertanya lagi, ia lalu menarik tangan Hay Hay dan diajaknya lari cepat menuju ke puncak, ke perkampungan Cin-ling-pai. Setelah tiba di luar perkampungan Cin-ling-pai, mereka melihat rombongan Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai memasuki pintu gapura. Kui Hong mengajak Hay Hay untuk bersembunyi dan mengintai. Setelah melihat sikap para anggauta rombongan, ia berbisik kepada pemuda itu. "Hay-ko, pasti terjadi hal yang luar biasa di Cin-ling-pai. Mungkin ada bahaya besar. Sabaiknya kita berpencar. Aku menyelidiki dari dalam dan engkau dari luar. Mereka tidak mengenalmu. Nanti diam-diam kita mengadakan pertemuan di sini." Hay Hay mengangguk, mengerti akan maksud kekasihnya. Memang, kekasihnya adalah ketua Cin-ling-pai, maka persoalan Cin-ling-pai harus ia tanganr sendiri. Sedangkan dia hanya "orang" luar", tidak baik kalau mencampuri urusan Cin-ling-pai dan dia kan melakukan pengintaian secara sembunyi saja untuk membantu Kui Hong. Tak lama kemudian, terjadilah ketegangan antara para rombongan tamu dan para anak buah Cin-ling-pai sehingga timbul perkelahian. Akan tetapi, melihat ini, Kui Hong segera berbisik kepada Hay Hay. "Aku harus bertindak. Kau tunggu saja, aku pasti akan mencarimu di sini, atau di dalam hutan sana.” Ia menuding ke arah lereng berhutan. Tanpa menanti jawaban, karena takut kalau perkelahian itu menjadi berlarut-larut, Kui Hong meloncat, lari dan ia berhasil menghentikan perkelahian itu sebelum jatuh korban. Demikianah, ketika mendengar tuduhan para wakil empat perguruan besar itu, tentu saja Kui Hong menjadi semakin terkejut dah terheran-heran. Kini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kong-kongnya (kakeknya) pergi meninggalkan Cin-ling-pai, dan susioknya, Gouw Kian Sun yang menjadi wakil ketua, tiba-tiba saja menikah tanpa setahu keluarga Cia. Ia tidak membiarkan lamunannya berlarut-larut, dan cepat ia keluar dari kamar, lalu memanggil susioknya untuk bicara di ruangan dalam. Gouw Kian Sun muncul dari dalam kamarnya, diikuti isterinya, dan tak lama kemudian Ciok Gun juga muncul dari belakang. Memang Kui Hong ingin bicara dengan tiga orang ini, maka ia memberi isyarat kepada mereka untuk menutup pintu dan jendela, kemudian mengajak mereka duduk menghadapi meja besar. "Pangcu, sebelum bicara, sebaiknya kuhidangkan dulu makanan dan minuman yang sudah saya sediakan. Begitu tadi Pangcu pulang, saya sudah menyuruh siapkan dan tentu sekarang sudah selesai. Biar saya sendiri yang membawa hidangan itu ke sini." kata Bi Hwa dengan ramah dan sebelum Kui Hong menjawab, wanita itu sudah pergi meninggalkan ruangan itu, tidak lupa untuk menutupkan kembali daun pintu dari luar. Kini tinggal Kian Sun dan Ciok Gun saja yang berada di kamar itu dengannya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. "Ciok-suheng dan Gouw-susiok, sebenarnya apakah yang telah terjadi di sini? Sekarang hanya ada kita bertiga. Nah, ceritakanlah sejujurnya kepadaku!" Suara Kui Hong mengandung perintah dan ketegasan. Juga sepasang mata yang tajam dari Kui Hong memandang penuh selidik kepada dua orang itu. Ia melihat betapa Kian Sun nampak gugup dan gelisah, akan tetapi Ciok Gun nampak tenang saja, bahkan wajahnya tidak membayangkan perasaan apa pun. Dingin! "Bagaimana, Gouw Susiok? Apakah engkau takut akan sesuatu yang menekanmu? Katakanlah!" Kian Sun mengangkat, muka, memandang kepada gadis itu, lalu menunduk kembali. "Tidak ada apa-apa kecuali yang sudah kau ketahui, Pangcu. Memang terjadi hal-hal itu, akan tetapi aku telah gagal melakukan penyelidikan. Tidak ada bukti bahwa murid-murid kita melakukannya." "Hemm, dan engkau, Ciok Suheng?" Ciok Gun mengangkat mukanya dan kembali Kui Hong merasa ngeri. Wajah suhengnya ini seperti kedok! "Aku pun tahu, Pancu. Aku sudah membantu sedapat mungkin melakukan penyelidikan, akan tetapi tidak berhasil menangkap pelaku-pelaku itu." Kui Hong bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Hemm, tidak mungkin, pikirnya. Suhgguh aneh! Yang ia rasakan aneh bukan peristiwa itu sendiri, melainkan sikap dua orang ini! Diam-diam, sambil berjalan hilir-mudik seperti orang sedang berpikir, dikerlingnya dua orang itu dan ia melihat betapa Kian Sun masih menunduk dengan gelisah, dan Ciok Gun tetap tenang saja seperti patung! "Susiok!" Tiba-tiba saja ia menepuk pundak paman gurunya itu. "Ehh……..? Ahh …….. ada …….. ada apakah, Pangcu?" “Jelas bahwa susioknya itu terkejut dan gugup sekali ketika tiba-tiba ia panggil dengan bentakan.   “Susiok, katakan siapakah wanita yang menjadi isterimu itu?” Akan tetapi kini Kian Sun sudah tenang kembali. Dia yakin bahwa keselamatan keluarga Cia yang menjadi tawanan berada di dalam tangannya. "Aih, isteriku itu? Ia bernama Su Bi Hwa." “Dari mana ia datang dan bagaimana bisa menjadi isterimu?” seperti seorang hakim yang melakukan penyelidikan, Kui Hong mengajukan pertanyaan dengan suara tegas dan pandang mata penuh selidik. "Ia datang dari sebelah selatan pegunungan Cin-ling-san. Ayah dan ibunya tewas oleh gerombolan perampok dan ketika ia tiba di lereng Cin-ling-san, pada suatu siang aku melihat ia hendak membunuh diri. Aku melihat dan menolongnya. Kami berkenalan dan aku kasihan kepadanya. Kemudian kami menikah …….." Tentu saja cerita ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Bi Hwa yang sudah mempersiapkan jawaban untuk setiap pertanyaan yang mungkin dilontarkan ketua Cin-ling-pai itu. Tadi pun, dengan dalih mempersiapkan manakan dan minuman, Bi Hwa sengaja meninggalkan ruangan itu untuk memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk "memeriksa” suaminya. Ia tidak khawatir kalau Kian Sun akan mengkhianatinya. Wakil ketua itu sudah tunduk kepadanya karena keselamatan keluarga Cia harus dia lindungi. Pula, di sana terdapat Ciok Gun yang menjadi mata-mata yang setia. Pemuda itu sudah menjadi seperti mayat hidup yang akan menuruti semua petunjuknya karena pengaruh sihir dan racun, juga pengaruh rayuan dan rangsangan yang diberikan Bi Hwa kepadanya! Kui Hong memutar otaknya. Tentu saja ia tidak dapat menelan mentah-mentah ketarangan dari Kian Sun itu. Akan tetapi, andaikata Kian Sun berbohong, apa alasannya? Susioknya ini merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan amat setia, maka ia percaya kepada susioknya itu untuk mewakilinya menjadi ketua Cin-ling-pai. Tiba-tiba ia menggerakkan tangannya dengan gerakan menyerang ke arah Ciok Gun! Jari tangannya menusuk dengan serangan totokan ke arah pundak kanan suhengnya itu, merupakan sebuah jurus dari ilmu silat San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), satu diantara ilmu-ilmu Cin-ling-pai. Kui Hong tahu benar bahwa suhengnya itu merupakan seorang ahli dalam ilmu ini, maka ia sengaja menyerang dengan ilmu itu untuk membuat suhengnya terkejut. Akan tetapi diserang secara tiba-tiba itu, Ciok Gun sama sekali tidak kelihatan gugup atau heran. Dengan tenang saja dia miringkan tubuh sambil menangkis dan meloncat dari kursinya. Tangkisan itu terasa kuat sekali oleh Kui Hong dan ketika ia memandang kepada Ciok Gun yang kini sudah berdiri, pemuda itu sama sekali tidak terkejut atau penasaran, hanya memandang kepadanya dengan wajah dingin. "Pangcu, mengapa menyerangku?" Pertanyaan itu diajukan, akan tetapi sikap kaki tangan Ciok Gun menunjukkan bahwa dia siap untuk berkelahi! Hal ini tidak lepas dari pengamatan Kui Hong. "Aku hanya ingin bertanya, Suheng. Dengan adanya Suheng membantu Gouw Susiok, bagaimana rnungkin kalian sampai tidak mampu membongkar rahasia ini? Banyak murid Cin-ling-pai dituduh memperkosa dan membunuh, mengeroyok dan menghina para tamu kehormatan dan kalian sama sekali tidak mampu menangkap seorang pun di antara mereka? Rasanya mustahil sekali ini!" "Pangcu, kami sudah berusaha sekuat tenaga namun gagal." kata Ciok Gun. Pada saat itu, Bi Hwa masuk sambil membawa hidangan yang masih panas. "Pangcu, masakan sudah siap. Mari, silakan, Pangcu. Selagi masih panas, silakan makan minum dulu. Pangcu habis melakukan perjalanan jauh, tentu lapar." Dan ia melirik kepada suaminya dan kepada Ciok Gun, "Mari kalian temani Pangcu makan." Dengan ramah wanita ini mengatur hidangan di atas meja. Ia pura-pura tidak tahu betapa sejak tadi Kui Hong mengamatinya dengan penuh perhatian dan penuh selidik. Melihat betapa baik Kui Hong maupun suaminya dan Ciok Gun kelihatan tegang dan tidak gembira, Bi Hwa menghampiri suaminya. "Eh, kenapa kalian nampak bingung? Silakan makan minum, baru bicara lagi.” Kian Sun terpaksa menjawab. “Kami sedang membicarakan ancaman tiga hari mendatang dan ……” “Aih, sun-ko, kenapa murung? Setelah pangcu pulang, apalagi yang ditakutkan? Engkau pernah bercerita bahwa pangcu, biarpun terhitung murid keponakanmu, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau orang-orang yang tidak tahu aturan itu berani mengacau Cin-ling-pai dan menuduh yang bukan-bukan lalu hendak menyerang, tentu pangcu akan sanggup mengalahkan mereka.” “Pangcu!” kata Ciok Gun penuh semangat. “Para utusan itu memang keterlaluan. Mereka hanya menuduh, akan tetapi kami tidak dapat menemukan buktinya. Memang ada murid mereka yang tewas, akan tetapi apa buktinya bahwa murid-murid Cin-ling-pai yang melakukannya? Kalau mereka mendesak, biar aku yang akan melawan sekuat tenaga!” Kui Hong tersenyum dan waspada. Dari ucapannya tadi, ia tahu bahwa isteri Gouw Kian Sun itu seorang wanita yang amat cerdik, walaupun nampaknya halus dan hamah. "Ciok Gun Suheng, engkau tidak boleh bertindak tanpa perintahku! Sudahlah, kita bicarakan lagi nanti, aku ingin beristirahat." kata Kui Hong, dan ia membalik hendak pergi ke kamamya sendiri. "Aih, Pangcu. Apakah engkau tidak makan dulu? Sudah kuhidangkan semua ini ….” Kui Hong menghadapi wanita itu dengan sinar matanya mencorong penuh selidik. "Enci," katanya dengan suara tegas, "engkau bukan murid Cin-ling-pai maka tidak perlu menyebut aku pangcu. Namaku Kui Hong, Cia Kui Hong, dan pada saat ini aku tidak lapar. Terima kasih atas keramahanmu. Aku hendak beristirahat di kamarku dan menenangkan pikiran. Aku tidak mau diganggu siapa pun!" Kui Hong meninggalkan ruangan itu, akan tetapi setelah tiba di luar ruangan itu, ia menyelinap ke balik pilar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan tiga orang di dalam itu. “Ahhh, ia marah sekali," Kui Hong mendengar suara Kian Sun, suara yang mengandung kedukaan dan kekhawatiran. "Sudahlah, biarkan ia yang memikirkan hal itu. Ia ketua Cin-ling-pai. Yang penting, engkau tidak bersalah dan tidak ada bukti bahwa murid-murid Cin-ling-pai melakukan semua itu.” terdengar suara Bi Hwa yang halus merdu, seolah menghibur suaminya. "Benar, Suhu. Kalau mereka datang menyerang, ada pangcu di sini. Dan kita dapat mengerahkan seluruh murid Cin-ling-pai untuk melawan mereka. Aku sendiri akan menghadapi mereka dengan mati-matian!" terdengar suara Ciok Gun. Ketika mereka itu tidak bicara lagi dan terdengar langkah kaki mereka hendak meninggalkan ruangan, Kui Hong menyelinap dan pergi ke kamarnya. Ia tidak tahu betapa Bi Hwa memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut kepada Kian Sun dan Ciok Gun agar mereka tidak bicara lagi! *** Setelah memasuki kamarnya, Kui Hong mengunci semua daun pintu dan jendela kamarnya, kemudian ia duduk termenung di atas kursi. Ia yakin bahwa rahasia semua peristiwa itu pasti berada di tangan Kian Sun, Ciok Gun dan Bi Hwa. Dia orang murid Cin-ling-pai itu nampak tidak wajar, tidak seperti biasa yang sudah dikenalnya. Kian Sun nampak seperti orang yang tertekan dan menderita duka dan kegelisahan. Ciok Gun nampak begitu dingin dan penuh perhitungan, seolah-olah kepribadiannya telah berubah sama sekali. Dan wanita itu, walaupun kelihatan cantik dan ramah, namun ia dapat menduga bahwa di balik keramahannya itu tersembunyi kecerdikan luar biasa. Yang amat mengherankan adalah Ciok Gun. Dia berubah sama sekali! Ada apakah ini? Pengaruh apakah? Sihir? Sihir! Ah, mengapa tidak? Mungkin sekali dan membayangkan kemungkinan penggunaan sihir, segera ia teringat kepada Hay Hay. Tentu Hay Hay dapat membantunya memecahkan rahasia yang mengancam nama dan kehormatan Cin-ling-pai ini. Kui Hong lalu mengangkat muka, memandang ke langit-langit kamarnya penuh perhatian. Kemudian, sekali ia meloncat ke atas, tubuhnya melayang naik dan dengan tangan kiri menangkap balok melintang, ia bergantung di sana dan memeriksa sebatang paku besar yang menancap di balok itu sepetti paku penyambung antara dua balok. Ia meneliti, paku itu dan sekelilingnya masih diliputi debu, tidak ada tanda pernah dijamah orang. Ia lalu mendorong paku itu dengan jari tangannya sambil mengerahkan tenaga. Lantai di bawah pembaringan di kamar itu bergeser dan terbuka sebuah lubang di bawah pembaringan itu, yang tidak nampak dari luar. Kui Hong meloncat turun, merangkak ke bawah pembaringan dan memasuki lubang itu. Ternyata di bawah lubang terdapat terowongan bawah tanah. Ia menggerakkan kembali lantai di bawah pembaringan dengan menarik besi panjang di dalam terowongan dan lantai itu pun pulih kembali menutupi lubang. Lubang ini merupakan terowongan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga Cia saja, tidak ada murid lain yang mengetahuinya. Sambil meraba-raba, Kui Hong merangkak di dalam terowongan kecil itu dan kurang lebih dua ratus meter kemudian, terowongan itu menembus sebuah retakan lebar yang tertutup batu di tebing gunung. Ia menggunakan sinkangnya mendorong batu itu sehingga bergeser dan keluar dari lubang retakan, kemudian dari luar ia mendorong kembali batu itu sehingga menutupi lubang. Batu itu sendiri tertutup oleh semak belukar sehingga tidak mungkin ada orang luar dapat menggunakan terowongan rahasia itu, selain harus mengenal rahasianya, juga harus memiliki tenaga sin-kang untuk menggeser batu besar. Setelah mengintai dari balik semak-semak di depan pintu besar dan tidak melihat seorang pun manusia, Kui Hong melompat keluar dan ia melangkah ke tepi hutan. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke sekeliling, untuk melihat apakah ada orang yang memebayanginya, namun tempat itu sepi dan tidak nampak orang lain. Biarpun demikian, Kui Hong yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam petualangannya di dunia persilatan, begitu tiba di hutan lalu memilih pohon yang besar dan tinggi, melompat ke atas dan bersembunyi di puncak pohon rindang itu, memandang ke sekeliling. Dari puncak pohon ini ia dapat melihat sekelliling sampai agak jauh sehingga kalau ada orang yang membayanginya, biarpun dalam jarak jauh, tentu akan dapat dilihatnya. Ia amat hati-hati karena ia menghadapi urusan besar, bahkan bahaya besar yang mengancam Cin-ling-pai. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat. Bagaikan seekor burung garuda, bayangan itu meluncur ke arah pohon di mana Kui Hong bersembunyi. Tentu saja Kui Hong terkejut bukan main dan ia sudah siap menghadapi lawan yang lihai. Akan tetapi, wajahnya yang tadinya tegang berubah cerah ketika ia mengenal siapa bayangan itu. Bukan lain adalah Hay Hay! “Ihh, kau mengagetkan orang saja!” tegurnya cemberut, akan tetapi pandang matanya tertawa. “Bagaimana hasilnya? Uhh, orang-orang Cin-ling-pai itu sungguh aneh. Bagaiaman para murid itu bahkan berani menyerangmu?” Kui Hong menarik napas panjang. “Aihh, panjang ceritanya. Yang lebih aneh lagi, pada saat tidak ada seorangpun keluarga Cia di Cin-ling-pai, tahu-tahu mendadak Gouw-susiok telah menikah!” dan Kui Hong menceritakan semua pengalamannya tadi. Hay Hay mendengarkan penuh perhatian, “Tentu ada sesuatu yang mereka rahasiakan,” dia menanggapi. Kui Hong mengangguk. “Yang mencurigakan hatiku ada tiga orang. Pertama adalah Gouw-susiok sendiri. Dia yang biasanya pendiam dan tenang, setia dan bijaksana, kenapa sikapnya seperti orang yang selalu dalam ketakutan dan kebingungan, seolah-olah terhimpit sesuatu. Kemudian isterinya itu, wanita muda yang cantik. Bagaimana ia bisa muncul tiba-tiba dan menjadi isteri Gouw-suiok? Alasan yang susiok yang menceritakan pertemuan di antara mereka meragukan. Dan wanita itu, biarpun cantik, halus dan ramah, namun jelas pandang matanya membayangkan kecerdikan yang luar biasa. Wanita itu bisa berbahaya!” “Aku sudah melihatnya dari pengintaian. Biarpun agak jauh, aku dapat melihat bahwa ia memang cantik menarik. Terutama sekali mulutnya…..” Kui Hong mengerutkan alis dan memandang kepada kekasihnya dengan cemberut. “Kenapa mulutnya?” “Mulutnya memiliki bentuk yang menggairahkan, mulut itu pasti pandai merayu.” “Huh, kalau melihat perempuan, yang kau perhatikan hanya kecantikannya saja, ya? Dasar mata keranjang!” Kui Hong memeruncing bibirnya. Hay Hay tersenyum. “Bukan begitu, Hong-moi. Akan tetapi dari wajah seseorang, kita dapat menjenguk isi hati dan wataknya. Dan wajah cantik seperti yang menjadi isteri susiokmu itu, dapat mencerminkan kecerdikan dan kelicikan yang berbahaya sekali. Wajah itu tidak dapat dipercaya.” Kui Hong tidak cemberut lagi. “Engkau benar. Aku yakin pasti ada sesutu di balik ini semua, dan yang tahu rahasianya hanya tiga orang itu. Gouw-suisok kelihatan begitu berduka dan gelisah juga amat lemah, tidak seperti biasanya. Dan yang aneh sekali adalah suheng Ciok Gun. Sekarang dia berubah menjadi manusia berwajah topeng, begitu dingin, seperti mayat hidup sehingga beberapa kali bulu tengkukku berdiri kalau kami bertemu pandang.” Hay Hay tertawa. “Aih, aku belum pernah melihat bagaimana bulu tengkukmu berdiri, Hong-moi. Kulihat di tengkukmu sebelah atas hanya ada anak rambut dan bulu yang halus sekali, begitu lembut, bagaimana bisa berdiri ……?” Merasa betapa tengkuknya diraba oleh jari tangan Hay Hay, Kui Hong menggelinjang dan melengak mundur. “Ihh! Aku bicara serius, engkau hanya main-main dan merayu!” Ia merajuk. “Kalau engkau serius, aku malah tigarius, Hong-moi!” Hay Hay berkelakar. “Aku juga bersungguh-sungguh keika memuji tengkukmu, bukan main-main. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau lakukan, atau apa yang harus kulakukan?” “Justeru aku ingin engkau membantuku mencari jalan keluar, Hay-ko. Aku memberi waktu tiga hari kepada para lo-cian-pwedari partai-partai besar itu. Sebelum tiba batas waktu itu, aku harus sudah dapat menangkap biangkeladi semua peristiwa yang memburukkan nama baik Cin-ling-pai ini.” “Hemm, menurut ceritamu tadi, agaknya suhengmu bernama Ciok Gun itu yang paling mencurigakan. Agaknya sikapnya dingin, wajahnya yang membuatmu ngeri seperti kedok itu sama sekali tidak wajar. Mungkin dia telah dikuasai sihir atau racun oleh orang-orang yang sengaja hendak mempergunakan dia.” “Aku pikir demikian pula, Gouw-susiok agaknya ditekan, maka dia gelisah dan berduka. Dan suheng Ciok Gun agaknya berada dalam kekuasaan pengaruh yang aneh dan jahat.” “Kurasa tidak ada lain jalan kecuali mencoba untuk mengorek rahasia dari pengakuan mereka. Kau cobalah dulu agar susiokmu itu mau mengaku. Tentu saja sebaiknya kalau kau ajak dia bicara empat mata. Kemudian, kalau tidak berhasil, bujuklah agar engkau dapat membawa Ciok Gun itu keluar dari Cin-ling-pai dan kau ajak ke sini. Biar aku yang menghadapinya.” Mereka mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Kemudian, Kui Hong menginggalkan Hay Hay dan kembali ke lereng Cin-ling-pai melalui jalan terowongan yang menembus sampai kedalam kamarnya. Tidak sukar bagi Cia Kui Hong untuk mengajak Gouw Kian Sun bicara empat mata dengannya. Sengaja ia mengajak susioknya itu bicara ketika mereka bersama Bi Hwa dan Ciok Gun selesai makan siang. Ia hendak melihat bagaimana sikap dua orang itu. “Susiok, aku ingin bicara empat mata denganmu. Ada hal yang amat penting ingin kubicarakan denganmu. Marilah kita masuk ke kamar belakang, dan kita bicara berdua saja.” Diam-diam Kui Hong melirik ke arah Bi Hwa dan Ciok Gun untuk melihat sikap mereka. Ciok Gun nampak tenang dan dingin saja seolah-olah ucapannya itu tidak mengandung arti sama sekali. Sedangkan Bi Hwa malah tersenyum maklum. “Kenapa kalian tidak bicara saja di ruangan ini? Biarlah kami yang akan pergi meninggalkan kalian disini. Mari, Ciok Gun, kita keluar. Pangcu hendak bicara dengan suhumu.”   Ciok Gun membantu isteri suhunya membawa keluar mangkuk piring yang habis dipergunakan makan siang dan tak lama kemudian, Kui Hong sudah duduk berdua saja dengan Gouw Kian Sun. Setelah ia merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka, Kui Hong bersikap sungguh-sungguh. Ia duduk berhadapan dengan susioknya dan berkata dengan nada suara tegas dan sepasang matanya memandang penuh selidik. “Nah, sekarang kita hanya berdua saja disini, susiok. Tidak ada orang lain yang mendengarkan.” Kian Sun nampak gelisah, bahkan terang-terangan dia menoleh ke sekeliling seolah ada yang ditakutinya. Melihat ini, Kui Hong menjadi tidak sabar lagi. “Gouw Susiok! Pandanglah aku! Kenapa engkau menjadi begini? Engkau telah mengenal aku sejak aku masih kecil, dan aku tahu bahwa susiok adalah seorang pendekar sejati yang gagah perkasa. Sekarang engkau menjadi seorang penakut, ini tentu ada sebabnya! Susiok, engkau tahu bahwa aku dapat mengatasi semua persoalan, kuat menghadapi lawan yang manapun. Kenapa tidak berterus terang? Tidak ada orang lain yang melihat kita. Katakan siapa yang kau takuti dan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai?” Gatal-gatal rasanya lidah Kian Sun. alangkah mudahnya untuk membuat pengakuan dan alangkah lega hatinya kalau dia lakukan itu. Dia akan merasa bebas dari tekanan yang amat menghimpit perasaannya. Akan tetapi diapun tahu bahwa nyawa gurunya, kakek Cia Kong Liang, juga nyawa suhengnya dan isteri serta putera suhengnya, tergantung dari sikapnya saat ini. Kalau dia membuka rahasia itu kepada Kui Hong, empat orang yang amat disayangd dan dihormatinya itu tentu akan dibunuh tanpa dia dapat mencegahnya sama sekali! Tidak, dia lebih suka mengorbankan dirinya daripada mereka mati konyol. Betapa dia ingin bebas dari semua ini. Dapat saja dia membunuh diri, akan tetapi hal itu pun tidak akan menolong mereka. Maka, dia semakin menjadi bingung dan gelisah, kemudian mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan tegas, dengan maksud agar pendiriannya itu dapat di dengar Bi Hwa dan kawan-kawannya. “Aku tidak takut apa-apa, Pangcu. Tidak ada apa-apa yang janggal di sini!” Kui Hong marah sekali dan ia membanting-banting kaki kananya. Kian Sun yang sudah mengenal baik watak dan kebiasaan murid keponakan yang amat lihai ini maklum bahwa Kui Hong marah sekali kepadanya. Gadis yang amat lihai dan cerdik ini tentu telah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat di Cin-ling-pai! “Engkau bohong, Susiok! Sungguh aku tidak mengerti, bagaimana seorang seperti engkau, yang dipercaya oleh Kong-kong, di percaya ayah, lalu kupercaya, dapat berbohong kepadaku dan mengkhianati Cin-ling-pai di mana engkau tinggal dan mendapatkan segalanya sejak kau kecil sampai sekarang!” Pucat sekali wajah Gouw Kian Sun mendengar umpatan ini. “Tidak, sama sekali tidak. Sungguh mati, aku tidak berkhianat kepada Cin-ling-pai, Pangcu. Kalau Pangcu tetap menuduhku, biarlah Pangcu jatuhkan hukuman mati kepadaku, dan aku dengan rela akan menyerahkan nyawaku!” Kian Sun lalu berlutut di depan Kui Hong dan menundukkan kepala, menyerah! Sikap susioknya ini membuat Kui Hong tertegun! Bukan begini sikap orang yang ketakutan. Paman gurunya ini tetap gagah dan tidak takut mati! Akan tetapi, kenapa tidak mau berterus terang kepadanya? Tentu ada sesuatu yang memaksanya bersikap seperti itu dan jelas bahwa susioknya bersikap seperti bukan karena takut ancaman terhadap dirinya sendiri. Pada saat itu, Su Bi Hwa dan Ciok Gun bergegas memasuki ruangan itu dan mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Kui Hong. “Pangcu, harap ampunkan suamiku!” kata wanita itu. “Pangcu, suhu tidak bersalah apa-apa, harap Pangcu suka memberi ampun,” kata pula Ciok Gun. Munculnya dua orang ini membuat Kui Hong semakin marah. “Bagus!” bentaknya. “Kalian mengintai?” “Tidak, Pangcu. Sama sekali tidak.” Kata Su Bi Hwa dengan suara sungguh-sungguh. “Akan tetapi suara Pangcu dan suami saya begitu nyaringnya sehingga terdengar dari luar dan mendengar suami saya hendak menyerahkan nyawa, saya terkejut dan nekat masuk. Harap Pangcu suka memaafkan seorang isteri yang mengkhawatirkan keselamatan suaminya.” Tiba-tiba Kui Hong bergerak ke depan dan tangannya menyambar ke arah kepala wanita itu. Tentu saja ia hanya menguji, bukan menyerang sesungguhnya walaupun gerakannya yang cepat tidak menimbulkan keraguan. Dan serangannya luput ketika wanita itu membuang diri ke samping lalu melompat berdiri. “Hemm, engkau pandai silat?” tanya Kui Hong sambil memandang tajam penuh selidik. Su Bi Hwa baru menyadari bahwa ketua Cin-ling-pai itu hanya mengujinya, maka cepat ia memberi hormat. “Saya, pernah mempelajari sedikit ilmu silat, Pangcu.” “Hemm, bagus. Hendak kulihat sampai dimana kehebatanmu!” bentak Kui Hong. “Maaf, Pangcu. Saya tidak berani melawan. Kalau tadi saya mengelak, hal itu hanya karena saya terkejut.” Kata Bi Hwa yang maklum bahwa ketua itu hanya ingin mengujinya. Kini ia menunduk dan tidak mau melawan. Watak Kui Hong yang gagah melarang ia menyerang orang yang tidak mau melawan. Ia mengerutkan alisnya. Agaknya sukarlah membongkar rahasia itu melalui Gouw Kian Sun dan Bi Hwa. Tinggal seorang lagi, yaitu Ciok Gun. “Suheng Ciok Gun apakah engkau masih mengakui aku sebagai ketua Cin-ling-pai?” tiba-tiba ia bertanya kepada Ciok Gun yang masih berlutut. Ciok Gun mengangkat muka memandang, “Tentu saja Pangcu.” “Dan engkau siap mentaati semua perintahku sebagai ketuamu?” “Ya, tentu saja,” jawab Ciok Gun dengan singkat dan dengan sikap tenang dan muka dingin. “Kalau begitu, mari engkau ikut denganku dan jangan bertanya kemana kita pergi dan apa keperluannya. Mari!” Ciok Gun nampak meragu dan mengerutkan alisnya. Pada saat itu, selagi dia bingung karena perintah ketua itu demikian tiba-tiba dan dia belum “diisi” mengenai hal ini, Su Bi Hwa yang berdiri didekatnya berkata lembut. “Ciok Gun, ketua telah memberi perintah. Tunggu apa lagi? Taatilah perintahnya!” Mendengar ini, Ciok Gun bangkit dengan cepat dan tentu saja hal ini tidak terlewat begitu saja oleh perhatian Kui Hong. Diam-diam ia mencatat betapa taatnya Ciok Gun terhadap ucapan wanita cantik itu! Akan tetapi karena tidak ada bukti sesuatu yang mencurigakan, dan ucapan itu seperti bujukan halus agar murid suaminya itu mentaati perintah ketua, sikap yang wajar sekali, Kui Hong juga tidak dapat berbuat sesuatu. “Mari kita pergi!” katanya dan iapun keluar dari dalam rumah itu, diikuti oleh Ciok Gun. Kui Hong berlari cepat keluar dari Cin-ling-pai, menuruni puncak menuju ke lereng bukit dimana terdapat sebuah hutan. Di hutan itulah ia berjanji untuk bertemu dengan Hay Hay. Akan tetapi sambil menunggu munculnya Hay Hay, ia ingin mencoba untuk memaksa suhengnya itu mengaku. Maka, setelah tiba di dalam hutan, ia pun berhenti dan Ciok Gun juga berhenti. Mereka berhadapan. Ciok Gun berdiri dengan sikapnya yang terlalu tenang dan dingin, menundukkan mukanya dengan sikap menanti. “Nah, Suheng. Sekarang kita berada di tengah hutan, hanya berdua saja. Katakan, apa yang kau ketahui tentang segala peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai? Siapakah orang-orang yang mengatur semua ini? Siapa yang membuat Gouw Kian Sun ketakutan, dan siapa yang melempar fitnah kepada Cin-ling-pai dengan melakukan semua perbuatan keji terhadap para tokoh partai besar itu?” Sikap Ciok Gun masih tenang saja, dan wajahnya dingin, sedikit pun tidak membayangkan sikap bersalah ketika dia menjawab. “Aku tidak tahu, Pangcu. Aku tidak tahu apa-apa.” Kui Hong mengerutkan alisnya. Sekarang baginya tinggal Ciok Gun ini satu-satunya harapan untuk membongkar rahasia itu. Ia harus memaksa orang ini untuk membuka rahasia. Maka, iapun lalu membentaknya, “Suheng, apakah aku harus menggunakan kekerasan?” Sepasang mata itu menatapnya dan Kui Hong terkejut. Mata itu sama sekali tidak memancarkan perasaan, seperti orang mati. “Terserah kepadamu!” jawaban itu pun sama sekali tidak mencerminkan sikap Ciok Gun yang dahulu selalu sayang dan hormat kepadanya. “Bagus! Kau sambut ini!” bentak Kui Hong yang segera menyerang dengan cepat, menotok ke arah pundak Ciok Gun. Namun, dengan gerakan sigap, Ciok Gun mengelak sambil membalas serangan dengan cengkeraman ke arah perut Kui Hong. Serangan ini merupakan serangan maut yang amat berbahaya! Ini pun luar biasa! Bagaimana mungkin suhengnya itu mendadak membalas dengan serangan maut terhadap dirinya? Kui Hong meloncat ke belakang dan maju lagi mengirim serangan bertubi-tubi. Ia ingin cepat menotok roboh suhengnya itu agar dapat membujuk dan kalau perlu memaksanya membuka rahasia yang ia yakin diketahui suhengnya itu. Akan tetapi ia terkejut dan merasa heran sekali melihat kenyataan bahwa ternyata Ciook Gun dapat menandinginya dengan baik! Padahal ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan suhengnya itu. Demikian cepatkah dia memperoleh kemajuan? Ia merasa penasaran bukan main! Setelah lewat tiga puluh jurus dan ia belum mampu merobohkan Ciok Gun, Kui Hong semakin penasaran. Hal ini sudah tidak mungkin sama sekali! Cepat ia mengubah gerakannya dan dengan tubuh merendah, ia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan bentakan dahsyat sambil memukul dengan dorongan kedua tangan. Itulah sebuah jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menaklukan Naga). Ilmu silat dahsyat yang pernah ia pelajari dari kakeknya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Angin dahsyat menyambar ke arah Ciok Gun yang menyambutnya dengan kedua tangan di dorongkan ke depan. “Desss ……!” Akibatnya, tubuh Ciok Gun terjengkang dan bergulingan. Kui Hong meloncat ke depan mengejar untuk melihat keadaan suhengnya. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika tubuh yang sudah terkena sambaran hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang itu, yang setidaknya tentu akan pingsan, tiba-tiba meloncat bangun dan sudah menyambutnya dengan serangan lagi! “Ehhh ……?” Kui Hong yang lincah dapat mengelak ke kiri dan matanya terbelalak. Ini sama sekali tidak mungkin! Bagaimana suhengnya yang roboh di landa hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang tidak menderita apapun dan begitu roboh dapat bangun kembali dan menyerangnya dengan dahsyat? Ia pun mengeluarkan kepandaiannya, bersilat dengan amat cepat karena ia memainkan Pat-thong-sin-kun yang membuat tubuhnya berkelebatan di delapan penjuru dan tangannya tiba-tiba meluncur dan mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di punggung lawan.   “Tukk!” Tubuh Ciok Gun terkulai roboh. Akan tetapi kembali Kui Hong terbelalak karena begitu roboh, Ciok Gun yang terkena totokannya itu sudah bangkit kembali! Suhengnya itu seperti tidak merasakan akibat totokannya! “Wah, dia lihai sekali!” tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan pemuda itu sudah berhadapan dengan Ciok Gun. Ciok Gun nampak bingung ketika melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian biru yang matanya mencorong dan tersenyum-senyum. “Siapa kau?” bentak Ciok Gun sambil siap untuk menyerang. Hay Hay tertawa dan diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang kepada Ciok Gun, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke muka murid Cin-ling-pai itu. “Ha-ha-ha, Ciok Gun, apakah engkau lupa kepada kakekmu? Aku kakekmu! Hayo engkau memberi hormat dan berlutut kepadaku!” Seketika Ciok Gun nampak bingung. Dia terbelalak memandang kepada Hay Hay dan menggagap. “Ehh ….? Apa kau bilang? Kakekku ….. engkau kakekku …..?” Dan kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hati Hay Hay. Ciok Gun hanya sebentar saja nampak bingung, lalu tiba-tiba menyerangnya dengan geraman seperti seekor binatang buas. Murid Cin-ling-pai itu tidak terpengaruh sihirnya! Dan serangannya sungguh liar berbahaya! Akan tetapi, tentu saja Hay Hay dapat menghadapi serangan itu dengan mudah. Tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, maka begitu melihat Ciok Gun menyerang dengan cengkeraman kedua tangan ke arah leher dan perutnya, diapun menggeser kakinya, tubuhnya miring dan serangan itu luput. Kemudian dari samping, dia menyapu kedua kaki lawan. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Ciok Gun terpelanting! Sebelum dia dapat bangkit, Hay Hay sudah membentaknya dengan pengerahan sihirnya. “Ciok Gun, rebah dan engkau tidak mampu bangun kembali!” Suaranya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, amat berpengaruh sehingga sejenak Ciok Gun hanya terbelalak, tidak mampu bangkit. Akan tetapi, hanya sebentar ia terpengaruh, karena dia segera bangkit kembali walaupun dengan susah payah. Seolah dia bersitegang diantara dua kekuatan yang tidak tampak, yang satu memaksa dan menekannya agar rebah terus, yang kedua mendorongnya agar bangkit dan menyerang! Melihat ini, Hay Hay dapat merasakan getaran yang kuat, yang melawan kekuatan sihirnya. Maka diapun berkata kepada Kui Hong. “Hong-moi, cepat kau cari orang yang menguasainya dengan sihir. Tak jauh dari sini …….!” Hay Hay menyambut bangkitnya Ciok Gun dengan totokan yang membuat tubuh murid Cin-ling-pai itu terkulai kembali. Karena maklun tubuh Ciok Gun sudah memiliki kekebalan yang tidak wajar, dan pengaruh totokannya itu hanya sebentar saja, Hay Hay lalu cepat menelikung kedua tangan Ciok Gun ke belakang dan mengikat kedua pergelangan tangan dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Juga kedua kakinya diikat sehingga kini, biarpun pengaruh totokan sudah membuyar kembali, Ciok Gun tidak mampu bergerak, hanya mengeluarkan suara menggereng dan mencoba meronta sambil matanya melotot memandang ke arah Hay Hay. Beberapa kali Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menaklukkan semangat perlawanan pada diri Ciok gun akan tetapi hanya sebentar orang itu tunduk, lalu melawan kembali dan bersikap liar. Jelas bahwa ada kekuatan rahasia yang mengendalikan Ciok Gun! Sementara itu, begitu mendengar seruan Hay Hay, Kui Hong segera berkelebat lenyap di antara pohon-pohon di hutan itu. Ia maklum apa yang dikatakan kekasihnya itu. Tentu ada orang ketiga yang bersembunyi dan mengendalikan Ciok Gun dengan ilmu sihirnya. Dan tentu orang itu biang keladi semua kejadian yang penuh rahasia di Cin-ling-pai! Kiranya ketika ia tadi memasuki hutan mengajak Ciok Gun, ada orang yang membayanginya. Tadi pun ia sudah waspada selalu menyelidiki keadaan sekeliling, namun tidak menemukan sesuatu. Hal itu saja menunjukkan bahwa kalau memang benar ada orang yang membayanginya, tentu orang itu lihai sekali, sehingga iatidak dapat melihat atau mendengarnya. Setelah mencari-cari di sekitar tempat itu, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya! Seorang tosu bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambut di gelung ke atas dan mengenakan jubah pendeta, sedang duduk bersila seorang diri diatas petak rumput diantara pohon-pohon. Tosu itu sedang dalam samadhi, matanya dipejamkan, mulutnya berkemal-kemil dan telunjuk tangan kanannya mencorat-coret tanah di depannya. Ada beberapa batang hio (dupa biting) mengepulkan asap di samping kirinya. “Pendeta palsu! Kiranya engkau yang mengacau di Cin-ling-pai!” seru Kui Hong dengan marah. Sekali pandang saja ia merasa yakin bahwa pendeta inilah yang mempengeruhi Ciok Gun. Pendeta itu bukan lain adalah Lan Hwa Cu, seorang diantara tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terkenal dengan julukan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw) yang bersama Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa bertugas untuk mengadu domba para tokoh partai besar dengan Cin-ling-pai. Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar bentakan itu. Ketika tadi Ciok Gun di ajak pergi, Su Bi Hwa cepat memberi tahu kepada tiga orang suhunyam dan Lan Hwa Cu segera membayangi ketua Cin-ling-pai yang mengajak Ciok Gun keluar itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Lan Hwa Cu berhasil membayangi Kui Hong tanpa diketahui. Dia tahu bahwa Ciok Gun telah menjadi mereka. Murid Cin-ling-pai yang tadinya setia itu telah dicekoki racun pembius dan telah dikuasainya dengan ilmu sihir sehingga selain tubuh Ciok Gun menjadi kebal, juga dia dapat dikendalikan dari jauh dengan kekuatan sihir. Biarpun Lan Hwa Cu sudah percaya bahwa Ciok Gun telah menjadi seperti boneka hidup yang akan setia sampai mati kepada Pek-lian Sam-kwi dan Su Bi Hwa, namun dia tetap merasa khawatir. Karena itu, setelah melihat Kui Hong berhenti di tengah hutan, diapun memilih tempat tersembunyi dan cepat duduk bersila untuk menguasai Ciok Gun sepenuhnya dengan sihirnya. Karena bantuannya inilah maka Ciok Gun menjadi makin kuat, sehingga sukar ditundukkan oleh sihir Hay Hay!   Ketika Lan Hwa Cu mendengar bentakan itu, dia cepat membuka mata dan memandang dan terkejutlah dia melihat Cia Kui Hong telah berdiri di depannya, dalam jarak empat lima meter dan gadis itu nampak begitu anggun dan berwibawa, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan sepasang mata mencorong seperti mata naga! Maklum bahwa keadaannya telah ketahuan orang, diapun mengambil keputusan cepat. Gadis ini harus dibunuhnya, atau ditawannya. Kalau tidak, semua usaha kelompoknya terancam bahaya kegagalan. “Haiiiiiiittttt ……..!!” Dia meloncat berdiri dan tangan kirinya terayun. Serangkum sinar menyambar ke arah Kui Hong. Gadis ini maklum bahwa ia diserang senjata rahasia jarum. Ia sendiri adalah ahli senjata rahasia jarum yang dipelajarinya dari neneknya, maka tentu saja dengan mduah ia dapat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangan kirinya juga digerakkan dan nampak sinar merah menyambar ke arah lawan! Lan Hwa Cu terkejut bukan main. Dengan mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang, dia mampu meruntuhkan semua jarum merah itu dan yang membuat dia terkejut adalah melihat kelihaian wanita muda itu. Bukan saja mampu mengelak dari serangan jarumnya, bahkan membalas dengan jarum yang lebih hebat, karena ketika dia mengebutkan ujung lengan bajunya tadi, dia mencium bau harum yang kuat, tanda bahwa jarum-jarum merah itu mengandung racun yang ampuh! Maklum bahwa lawannya lihai, Lan Hwa Cu yang merupakan tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang biasanya memandang rendah lawan, segera melompat ke depan dan sabuknya yang panjang dengan kedua ujungnya dipasangi bola dan bintang saja, sudah menyambar-nyambar dengan ganasnya. Karena ingin tahu siapa lawannya, Kui Hong kembali mengelak dengan loncatan ke belakang. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya. “Tahan senjata! Totiang katakan dulu siapa engkau dan mengapa pula menyerangku!” Akan tetapi, tentu saja Lan Hwa Cu tidak mau banyak bicara lagi. Dari pertanyaan itu, tahulah dia bahwa ketua Cin-ling-pai ini hanya menduga saja bahwa dia yang mengacau di Cin-ling-pai. Gadis itu belum mengenalnya dan belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Cin-ling-pai. Karena itu, tentu saja dia tidak akan membongkar rahasia Pek-lian-kauw dan dia pun sudah menyerang lagi dengan ganasnya, menggunakan sabuknya. Ujung bola dan bintang bajaitu beterbangan menyambar-nyambar dalam serangan yang dahsyat sehingga Kui Hong terpaksa berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu. Gadis sakti itupun terkejut karena dari sambaran senjata itu, ia pun dapat mengukur tenaga lawan dan tahu bahwa lawannya ini selain pandai ilmu sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang kuat. Maka, ia pun cepat mencabut sepasang pedangnya. Begitu sepasang pedang itu tercabut, nampaklah sinar-sinar hitam yang menyilaukan mata. Lan Hwa Cu terkejut. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang amat ampuh. Tanpa disadarinya, pendeta itu mengeluarkan seruan tinggi seperti jerit seorang wanita, Kui Hong terheran karena suara pendeta itu sungguh seperti jerit seorang wanita! Akan tetapi karena lawan terus menyerangnya, ia pun menggerakkan sepasang pedangnya, menangkis dan balas menyerang. “Singgg ……!” Bintang baja itu menyambar ke arah pelipis kiri Kui Hong dengan gerakan melingkar dan menyerong dari atas. Serangan ini berbahaya sekali. Namun, Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang telah matang ilmunya. Bukan saja ia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari ayah ibunya yang juga merupakan sepasang suami isteri pendekar, bahkan gadis ini telah digembleng oleh kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti di pulau Teratai Merah. Tingkat kepandaian Kui Hong kini bahkan telah melampaui tingkat kepandaian ayahnya dan ibunya! Ketika bintang baja itu menyambar ke arah pelipisnya, Kui Hong menggerakkan pedang di tangan kiri, mencoba untuk membabat putus sabuk itu. Akan tetapi, sabuk itu tidak terbabat putus, bahkan melibat pedang dan ujungnya masih menyambar sehingga kini bintang baja itu menyambar ke arah mukanya. Kui Hong menarik kepalaya ke belakang dan pada saat itu, bola baja di ujung kedua sabuk lawan menyambar ke arah perutnya! Bukan main lihainya tosu itu. Akan tetapi, Kui Hong tidak menjadi gugup. Ia menggerakkan pedang kanannya membacok ke arah bola baja, sedangkan pedang kirinya masih terlibat sabuk. “Trangggg ……!!” Bola baja itu terpental dan Lan Hwa Cu kembali mengeluarkan jerit wanita karena tangannya terasa panas sekali dan bola baja itu hampir saja mengenai kepalanya sendiri. Terpaksa dia meloncat kebelakang dan melepaskan libatan sabuknya. Melihat lawannya meloncat ke belakang, Kui Hong yang sudah penasaran itu mengejar dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam yang dahsyat sekali, bagaikan dua ekor naga hitam mengamuk! Lan Hwa Cu menangkis dan membalas, namun menghadapi gelombang serangan sepasang pedang hitam yang ampuh itu, dia merasa kewalahan juga. Permainan pedang ketua Cin-ling-pai itu amatlah hebatnya sehingga kalau dia terus melawan, besar kemungkinan dia akan terancam bahaya maut. Kembali ujung pedang kanan di tangan Kui Hong sudah meluncur dan hampir saja mengenai pundaknya, Lan Hwa Cu melompat ke belakang dan ketika tangan kirinya terayun, terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Kui Hong meloncat ke belakang, khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Ketika ia berloncatan mengitari asap itu, ternyata lawannya sudah lenyap. Kui Hong tidak mengejar karena maklum bahwa selain hal itu sia-sia karena ia tidak tahu ke arah mana lawan pergi, juga amat berbahaya dan ia ingin melihat bagaimana hasilnya Hay Hay menguasai Ciok Gun. Ia pun cepat lari ke tempat tadi ia meninggalkan Ciok Gun. Lega hatinya melihat betapa Ciok gun sudah dapat dikuasai Hay Hay, sudah rebab dengan kaki tangan terbelenggu. Melihat Ciok Gun seperti orang pingsan, ia berkata, “Hay-ko, cepat sadarkan dia agar terbebas dari pengaruh jahat dan dapat menceritakan semua rahasia kepada kita.”   “Nanti dulu, Hong-moi. Justeru dalam keadaan terbius dan tersihir, dia akan dapat emnceritakan segala rahasia kepada kita. Kalau dia sadar, mungkin dia melupakan segalanya.” Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu emnotok pundak dan tengkuk Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai itu mengeluh dan membuka mata. Pada saat itu, Hay Hay sudah mengerahkan tenaga sihirnya, memandang wajah Ciok Gun dan suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata. “Ciok Gun, engkau selalu mentaati kami! Engkau membantu kami menghadapi orang-orang Cin-ling-pai. Ingat?” Ciok Gun sejenak memandang kepada Hay Hay seperti orang kehilangan semangat, akan tetapi kemudian dia mengangguk. “Aku ….. aku ingat …..” Ciok Gun seperti termenung, lalu terdengar jawabannya lirih. “Pek-lian Sam-kwi ….. aku harus taat kepada Pek-lian sam-kwi…….” Kui Hong mengepal tinjunya. Krianya Pek-lian-kauw yang menjadi biang keladinya! Kini tahulah ia bahwa tosu yang lihai tadi adalah orang Pek-lian-kauw tentu seorang di antara Pek-lian Sam-kwi, tiga iblis dari Pek-lian-kauw yang sudah pernah di dengar namanya akan tetapi belum pernah dijumpainya itu. “Siapa lagi selain Pek-lian Sam-kwi? Hayo jawab sesungguhnya!” “Tok-ciang Bi Moli ……” “Ah, Su Bi Hwa itu?” tanya Kui Hong. Mendengar pertanyaan ini, Ciok Gun tidak menjawab. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mengenal satu suara saja, yaitu suara orang yang mengguasainya lewat kekuatan sihir dan pada saat itu, Hay Hay yang menguasai setelah pengaruh sihir para tosu Pek-lian-kauw menipis. Tadi Lan Hwa Cu masih mengendalikan Ciok Gun, maka sukar bagi Hay Hay untuk menguasainya. Hal ini adalah karena sudah terlalu lama dan mendalam Ciok Gun di cengkeram dalam kekuasaan sihir para tosu Pek-lian-kauw itu. Kini, setelah Lan Hwa Cu diganggu Kui Hong dan terpaksa melarikan diri, cengkeraman itu mengendur dan dalam keadaan lemah ini, dengan mudah Hay Hay dapat menguasai Ciok Gun. “Ciok Gun, katakan siapa nama Tok-ciang Bi Moli itu!” kata Hay Hay dengan suara mengandung perintah. “Namanya Su Bi Hwa ….” Tentu saja Kui Hong menjadi semakin marah. Kiranya isteri Gouw Kian Sun itu berjuluk Tok-ciang Bi Moli dan merupakan seorang di antara gerombolan yang mengacau di Cin-ling-pai. “Ciok Gun, engkau tahu tentang mengapa Gouw Kian Sun begitu taat kepada Tok-ciang Bi Moli Su BI Hwa dan mau menerimanya sebagai isteri? Ceritakan semua dengan jelas!” Kini Ciok Gun sepenuhnya sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay, maka tanpa ragu lagi dia pun menjawab dengan lancar. “Keluarga Cia ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau suhu Gouw Kian Sun menolak, keluarga itu akan di bunuh.” Pucat wajah Kui Hong mendengar ini. “Siapa yang ditawan? Siapa?” Kembali Ciok Gn tidak menjawab dan kelihatan bingung. “Ciok Gun,” kata Hay Hay. “Katakan siapa saja yang di tawan orang Pek-lian-kauw.” “Kakek guru Cia Kong Liang, su-pek (uwa guru) Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin dan putera mereka, Cia Kui Bu …..” “Keparat jahanam ……!!!” Kui Hong berseru karena terkejut dan marah bukan main. Kakeknya, ayah ibunya dan adiknya telah ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Kiranya susioknya, Gouw Kian Sun, menjadi lemah tak berdaya dan terpaksa menurut saja kemauan orang-orang Pek-lian-kauw karena mereka mengancam akan membunuh keluarga Cia! Orang-orang Pek-lian-kauw menekan Kian Sun dengan ancaman, dan menguasai Ciok Gun dengan bius dan sihir! Jelas mereka akan menghancurkan Cin-ling-pai dan mengadu domba dengan partai-partai besar di dunia persilatan! Sekali memerintahkan Ciok Gun untuk tidur, murid Cin-ling-pai yang sepenuhnya sudah dikuasai Hay Hay itupun pulas. “Kita harus membebaskan ayah dan ibu sekarang juga, dan kita basmi orang-orang Pek-lian-kauw itu!” bentak Kui Hong dengan muka yang menjadi kemerahan saking marahnya. “Tenangkan hatimu, Hong-moi. Menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang licik dan curang, penuh tipu muslihat, kita harus cerdik dan menggunakan siasat.” “Aku tidak takut! Kita tunggu apa lagi? Sudah jelas mereka menawan kong-kong, ayah, ibu dan adik Kui Bu. Mereka mempengaruhi Gouw Susiok dan suheng ini, mereka menguasai Cin-ling-pai dan hendak menghancurkan Cin-lingpai, mengadu domba dengan partai-partai lain! Mari kau bantu aku menghancurkan dan membasmi gerombolan jahat ini, hay-ko!” “Tenang dan ingatlah, Hong-moi. Ingat bahwa kong-kongmu, juga ayah dan ibumu, mereka bertiga adalah yang berkepandaian tinggi. Namun tetap saja mereka sampai tertawan! Tentu Pek-lian-kauw menggunakan akal busuk! Kita harus cerdik dan jangan sampai tertipu. Pula, andaikata kita sekarang menggunakan kekerasan, bagaimana engkau akan menghadapi para tokoh partai besar itu besok lusa?” “Akan kuhancurkan gerombolan itu dan akan kupaksa mereka mengaku di depan para lo-cian-pwe bahwa Pek-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan itu!” “Hemm, mudah di bicarakan akan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang jahat dan licik. Bagaimana kalau mereka itu sempat meloloskan diri? Tetap saja Cin-ling-pai yang akan di tuduh melakukan semua pembunuhan itu. Kita harus menangkap basah mereka, kita hadapi kelicikan mereka dengan siasat.” Kui Hong diam-diam tertegun. Ia dapat melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Biarpun hatinya tidak sabar, terpaksa ia mengangguk. “Lalu apa yang akan kita lakukan, Hay-ko? Aku khawatir sekali akan keselamatan keluargaku.” “Kita pergunakan Ciok Gun untuk memancing! Kalau tadinya Ciok Gun menjadi alat mereka, kini kita menyadarkan Ciok Gun hingga dia dapat membantu kuta memancing mereka itu melanjutlan perbuatan mereka sampai besok lusa. Di depan para lo-cian-pwe itu, kita telanjangi mereka, kita buka rahasia mereka sehingga mereka tidak sempat mengelak atau melarikan diri.” “Tapi, aku khawatir sekali akan nasib keluargaku!” “Tidak perlu khawatir, Hong-moi. Mereka menawan keluargamu hanya dengan maksud agar keluargamu tidak sempat menghalangi rencana mereka.” “Tapi, bagaimana kalau nanti suheng Ciok Gun mereka kuasai lagi? Bisa hancur berantakan semua siasatmu!” “Jangan khawatir, Hong-moi. Kalung batu kemala ini akan mampu melindunginya dari pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-kauw.” Hay Hay mengeluarkan kalung itu lalu memasangnya di leher Ciok Gun, disembunyikan di balik bajunya. “Terserah kepadamu, Hay-ko. Akan tetapi, hati-hati jangan sampai gagal. Ini menyangkut keselamatan kakek, ayah, ibu dan adikku, juga menyangkut nama baik Cin-ling-pai.” “Aku mengerti, hong-moi,d an jangan khawatir.” Hay Hay lalu membebaskan totokan Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai ini telah dibebaskan dari belenggunya, dan setelah totokannya bebas, dia tersadar, membuka mata, memandang dengan heran wajah Hay Hay yang tidak di kenalnya. Kemudian dia melirik ke kiri dan begitu melihat Kui Hong, dia cepat bangkit duduk dan memandang heran. “Sumoi ….. eh, Pangcu! Di mana kita? Apa yang terjadi dan siapa…… siapa saudara ini …..?” Lega rasa hati Kui Hong. Dari sikap, pandang mata dan suaranya, jelas bahwa suhengnya telah kembali normal. “Hemm, suheng Ciok Gun. Apakah engkau tidak ingat lagi apa yang telah kaulakukan selama ini sehingga engkau mencelakakan keluarga kong-kong dan membahayakan keadaan Cin-ling-pai?” tanya Kui Hong dengan suara penuh teguran. Ditanya demikian, Ciok Gun termenung dan meraba-raba dahinya, mengingat-ingat. seperti bayangan yang samar-samar, ada sebagian peristiwa yang diingatnya, terutama sekali kakek gurunya, uwa gurunya dan keluarga Cia Kui Bu yang kini meringkuk dalam tempat tahanan! Dan begitu teringat akan keadaan dirinya, betapa dia tidak mampu menolak dan tunduk serta taat akan semua kehendak Tok-ciang Bi Moli yang hina, wajahnya berubah merah sekali. “Pangcu, apakah yang telah terjadi? Seperti mimpi buruk saja ….. dalam mimpi itu aku melihat betapa kakek guru, juga ayah ibumu dan adikmu, menjadi tawanan dan aku … aku ….. mengapa aku membantu iblis betina dan kawan-kawannya itu? Apa yang sesungguhnya terjadi atas diriku?” “Tenanglah, Ciok-toako (kakak Ciok), engkau hanya menjadi korban kekuatan sihir dan bius orang-orang Pek-lian-kauw,” kata Hay Hay menghiburnya. Ciok Gun memandang ke arah Hay Hay dengan alis berkerut. “Siapakah engkau? Pangcu, apakah orang ini boleh dipercaya? Di Cin-ling-pai sekarang berkeliaran banyak orang jahat!” Kui Hong makin maklum bahwa jalan pikiran suhengnya masih kacau. “Ketahuilah, Suheng. Dia adalah Pendekar Tang Hay, sahabat baikku yang boleh di percaya. Bahkan engkau dapat pulih kembali pikiranmu karena pertolongannya. Dia yang mengusir pengaruh sihir dan pembius yang tadinya meracunimu, dan membuat engkau menjadi hamba dan alat dari iblis betina itu dan kawan-kawannya.” Mendengar ini, Ciok Gun segera memberi hormat kepada Hay Hay. “Ah, maafkan aku, Tai-hiap (pendekar besar). Aku ….. aku masih bingung…..” “Toako, kau raba kalung yang kugantungkan di lehermu itu. Sembunyikan kalung itu baik-baik di balik bajumu. Mustika itu kupinjamkan kepadamu dan selama engkau mengenakan mustika itu sebagai kalungmu maka orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak dapat mempengaruhimu dengan sihir lagi.” “Pek-lian-kauw …..?” Ciok Gun terkejut. “Benar, suheng. Kita telah terancam oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Seperti kau katakan tadi, ketika engkau masih dalam pengaruh sihir dan dicengkeram mereka, agaknya Pek-lian-kauw mengirim Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli untuk mengacau Cin-ling-pai. Mereka datang ke sini dan entah dengan akal bagaimana mereka dapat menawan kong-kong, ayah, ibu dan adikku. Mereka dapat menguasaimu dengan bius dan sihir sehingga engkau menjadi alat mereka. Dan susiok Gouw Kian Sun mereka kuasai dengan jalan mengancam dia bahwa kalau dia tidak tunduk, maka keluarga Cia akan dibunuh!”   “Ah, aku ingat sekarang! Dalam mimpi buruk itu … aku …. Aku membantu mereka. Aku yang memancing dan menjebak ….. ah, apa yang telah kulakukan? Benarkah semua itu terjadi? Aku ….. aku menjadi pengkhhianat, aku membantu orang jahat menangkapi orang-orang yang kuhormati dan kumuliakan?” “Semua itu telah terjadi, diluar kesadaranmu karena engkau terbius dan tersihir, Suheng. Dan bukan itu saja. Orang-orang Pek-lian-kauw telah memaksa Gouw Susiok menikah dengan Su Bi Hwa itu, dan juga mengadu domba Cin-ling-pai. Mereka membunuh dan memperkosa murid-murid para tokoh partai besar dan menggunakan nama murid Cin-ling-pai….” “Ah, benar …..! Aku ingat sekarang! Aduh, Pangcu. Dosaku besar sekali. Aku mengaku berdosa, aku siap menerima hukuman. Hukumlah, bunuhlah aku, Pangcu. Dosaku tak dapat diampuni lagi …..” Dan Ciok Gun, orang yang biasanya tenang dan pemberani itu, kini menangis seperti anak kecil! “Ciok-taoko, hentikan tangismu yang tidak ada gunanya itu,” kata Hay Hay. “Engkau melakukan semua itu dilaur kesadaranmu, oleh karena itu tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu. Yang terpenting sekarang adalah melakukan sesuatu untuk menebus semua itu, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan untuk menyelamatkan Cin-ling-pai dan menghancurkan para penjahat. Maukah engkau membantu kami?” Ciok Gun mengusap air matanya dan dengan penuh semangat dia berkata, “Tang Taihiap, aku siap mengorbankan nyawaku untuk menebus dosa, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai!” “Bagus! Kalau begitu, dengarkan rencana kami baik-baik.” Mereka lalu berbisik-bisik mengatur rencana mereka seperti yang dikemukakan Hay Hay. Mereka tidak lama berunding di situ karena Hay Hay dan Kui Hong segera pergi meninggalkan Ciok Gun agar jangan sampai pertemuan mereka itu diketahui oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Perhitungan Hay Hay memang tepat. Tak lama setelah dia dan Kui Hong pergi, muncul Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu, Kim Hwa Cu dan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa di hutan itu. Empat orang ini tadi berindap-indap memasuki hutan dan setelah mereka mengintai dan hanya melihat Ciok Gun seorang disitu, mereka segera berloncatan menghampiri. Mereka melihat Ciok Gun dalam keadaan pingsan tertotok. Dengan gelisah Su Bi Hwa lalu membebaskan totokan itu dan Ciok Gun siuman kembali. Dia bangkit duduk dan memandang mereka dengan sikap biasa, siap menanti perintah! Akan tetapi, Su Bi Hwa masih merasa khawatir dan curiga, maka ia memberi isyarat kedipan mata kepada tiga orang gurunya. “Ciok Gun, berdirilah engkau!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berseru dengan suara garang. Bagaikan boneka hidup, Ciok Gun bangkit berdiri dengan tegak, wajahnya dingin, matanya tidak membayangkan perasaan dan sikapnya siap siaga. Bi Hwa maju menghampirinya, lalu merangkulnya dan mencium pipinya. Ciok Gun tetap tidak membuat gerakan melawan atau menyambut, seperti arca batu saja. Lalu Bi Hwa melepaskan rangkulannya dan mengayun tangan. “Plakk!” Keras sekali tamparan itu dan akibatnya, tubuh Ciok Gun terhuyung. Akan tetapi tetap saja dia tidak melawan, dan berdiri lagi dengan tegak. Empat orang itu saling pandang dan mengangguk. Lalu Bi Hwa memegang tangan Ciok Gun. “Ciok Gun, duduklah dan ceritakan apa yang telah kaualami ketika engkau diajak pergi Cia Kui Hong tadi.” Mereka duduk diatas tanah berumput di bawah pohon dan Ciok gun bercerita dengan suara yang wajar, seperti biasa. “Pangcu membawaku ke sini dan ia memaksaku mengaku. Kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa, bahkan disini semua biasa dan wajar. Ia membujuk dan mengancam, bahkan menghajarku, akan tetapi aku tidak mengatakan sesuatu diluar kehendak kalian. Ia menyerangku, menotok dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, aku tertotok dan dan tidak ingat apa-apa lagi.” Lan Hwa Cu mengangguk-angguk. “Gadis itu memang lihai bukan main. Agaknya setelah merobohkan Ciok Gun, ia mencariku dan menyerangku. Ia berbahaya sekali.” “Sebaiknya kalau kita tangkap gadis itu juga,” kata Kim Hwa Cu. “Ya, dan berikan ia kepadaku. Akan kubebaskan ia dari keliarannya!” kata Siok Hwa Cu sambil tersenyum kejam. “Aih, sam-wi Suhu terlalu sembrono. Serahkan saja kepadaku.” “Ha-ha, Bi Hwa. Apakah engkau ditulari pengakit suheng Lan Hwa Cu? Dia seorang pria yang hanya suka kepada pria, tidak menyukai wanita. Apakah sekarang seleramu juga beralih kepada sesama wanita?” Siok Hwa Cu mengejek. “Bukan begitu maksudku, ji Suhu (guru ke dua). Cia Kui Hong itu lihai ilmu silatnya. Hal itu lebih baik lagi. Kalian tentu ingat bahwa lusa adalah hari yang dijanjikan Kui Hong kepada para pemimpin partai-partai persilatan besar itu. Tentu akan terjadi pertandingan hebat dan kalau mereka saling bertanding, berarti mereka akan kehilangan tenaga. Kalau sudah loyo semua, mudah bagi kita untuk membabat mereka. Bukankah begitu? Untung bahwa Ciok Gun masih teguh dan menjadi pembantu kita yang setia. Rencana kita dilanjutkan. Kita menanti sampai lusa dan selama dua hari ini, kita tinggal bersembunyi saja dan pesan kepada anak buah agar jangan melakukan sesuatu yang akan menggoncangkan keadaan. Cia Kui Hong pasti tdiak akan menemukan apa-apa sampai esok lusa.” “Bagus, dengan anak buah kita, kita akan berjaga-jaga. Kalau mereka semua sudah saling serang dan menjadi lemah, kita turun tangan,” kata Lan Hwa Cu. “Akan tetapi bagaimana dengan Ciok Gun? Kalau kita bertempur, tentu saja kami bertiga tidak dapat mengendalikannya.” Bi Hwa menoleh kepada Ciok Gun yang duduk seperti patung. Selama berada di bawah pengaruh sihir tiga orang tosu itu, memang dia seperti boneka hidup dan hanya akan mengadakan reaksi kalau empat ornag itu mengajaknya bicara. “Ciok Gun!” kata Bi Hwa sambil memegang lengannya. Ciok Gun menoleh dan memandang kepada Bi Hwa dengan pandang mata kosong. “Apa yang dapat kulakukan untukmu, Moli?” tanyanya. “Esok lusa kalau terjadi pertempuran, apa yang dapat kaulakukan untuk kami?” “Aku akan membantu dengan taruhan nyawa!” katanya kaku. “Membantu apa?” “Apa saja! Kalau perlu, aku dapat menjaga para tawanan itu, atau membunuh mereka kalau kalian kehendaki,” kata pula Ciok Gun. “Bagus!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berkata. “Memang sebaiknya dia diberi tugas untuk menjaga dan membunuh mereka semua kalau sampai usaha kita gagal. Mereka itu berbahaya dan kita tidak dapat mempercayakan kepada anak buah kita. Ciok Gun yang paling tepat dan dapat diandalkan untuk menjamin agar mereka tidak sampai dapat meloloskan diri.” Mereka semua bersepakat untuk mengatur siasat, yaitu membiarkan para tokoh partai persilatan besar memperebutkan kebenaran dan bentrok dengan Cin-ling-pai, apalagi kalau sampai gadis ketua Cin-ling-pai yang lihai itu terbunuh atau setidaknya terluka. Kalau sudah sejauh itu, membebaskan keluarga Cia juga tidak mengapa, bahkan lebih baik karena para tokoh Cin-ling-pai itu pasti tidak tinggal diam dan permusuhan akan menjadi semakin menghebat. Kalau sudah begitu, maka tugas mereka untuk mengadu domba dan menghancurkan Cin-ling-pai berhasil baik. Akan tetapi, andaikata siasat mengadu domba itu gagal dan Cin-ling-pai tidak sampai bertempur melawan partai-partai lain, masih belum terlambat untuk untuk membunuh para tawanan itu. Dan untuk tugas ini, Ciok Gun yang telah menjadi seperti boneka hidup itu pasti akan mampu melaksanakannya dengan baik. Asap beracun akan dapat disemprotkan dari luar kamar tahanan dan betapapun lihainya, keluarga Cia itu takkan mampu membela diri, apalagi melepaskan diri. *** Hari yang telah dijanjikan Cia Kui Hong kepada para tokoh partai-partai besar itu pun tiba. Pagi-pagi sekali, rombongan demi rombongan dari perkumpulan Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai telah mendaki puncak dan menanti di pekarangan depan bangunan yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai. Sepuluh orang tokoh Go-bi-pai dipimpin oleh Poa Cin An. Yang Tek Tosu memimpin lima orang tosu Kun-lun-pai. Tiong Gi Cinjin memimpin tujuh orang Bu-tong-pai, sedangkan dari Siauw-lim-pai hanya dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Ki Hwesio. Wajah semua orang nampak tegang, juga banyak diantara para mereka yang nampak penasaran dan marah. Cia Kui Hong juga sudah siap menyambut mereka. Puluhan orang anak buah Cin-ling-pai sudah menerima perintah untuk berbaris rapi di kanan kiri sepanjang pekarang yang luas itu, dan diberanda juga berdiri murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi, dalam keadaan siap siaga, tinggal menunggu perintah ketua mereka. Para anggauta Cin-ling-pai yang baru, yaitu anak buah Pek-lian-kauw yang diselundupkan Bi Hwa dan dijadikan anggauta Cin-ling-pai, berkelompok membentuk barisan pula di sebelah kanan kiri pekarangan, bercampur dengan para anggauta Cin-ling-pai yang aseli. Kui Hong tahu akan hal ini dan ia pun diam saja, pura-pura tidak tahu. Akan tetapi ia yakin bahwa seluruh anggauta Cin-ling-pai yang aseli mengenal dan mengetahui nama anggauta baru dan mana yang lama. Selama dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang nampak gelisah dan tak menentu, sedangkan wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi, pada pagi hari itu, Ciok Gun tidak nampak diantara para murid Cin-ling-pai. Setelah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul di sebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, di dampingi Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa. Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sampingnya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah. Setelah tiba di luar, Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai dan ia pun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya. “Dimana suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia di sini?” Para anggauta Cin-ling-pai saling pandang dan tidak ada yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan ia pun menoleh kepada Gouw Kian Sun. “Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Di mana dia?” Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia nampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata, “Ah, apa engkau lupa? Pangcu, saya lihat tadi Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, demam.”   Kui Hong mengangguk-angguk. “Ah, kiranya dia sakit.” Lalu dengan tenang ia melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. “Kiranya cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah sekalian) telah berada di sini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.” “Pangcu, sudah terlalu lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menanti lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, dan kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An. “Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak. “Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu. Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan ucapan, akan tetapi merekapun memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggauta rombongan itu mengeluarkan suara penasaran. Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas. “Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!” Mendengar ucapan ini, tentu saja semua orang etrtarik dan mereka pun diam, memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap. “Cu-wi,” Kui Hong berkata, suaranya lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini menjadi sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada di antara kita!” Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu makin tegang. “Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Tidak ada seorangpun diantara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh itu. Kami Cin-ling-pai telah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka telah menyusup ke Cin-ling-pai dan menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia dan mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!” Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya, dan wajahnya pucat, sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia. Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga terkejut dan saling pandang. Dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana tegang dan menggelisahkan. “Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu orang dua orang, melainkan duapuluh orang anak buah Pek-lian-kauw dengan empat orang pimpinan mereka!” “Omitohud ……, keterangan Cin-ling-pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima bagitu saja, Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai. “Tiga orang tosu Pek-lian-kau yang terkenal dengan sbutan Pek-lian Sam-kwi sampai sekarang masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah berada di sini! Ia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya agar ia dapat mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah ia iblis betina itu!” Melihat kenyataan betapa ketuanya sudah mengetahui segalanya, timbul bermacam perasaan di dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu, diapun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal mengapa dia tidak dapat menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, tiba-tiba dia berteriak marah dan menyerang “isterinya” yang berdiri di sebelahnya. “Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!” Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Tadipun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi ia masih tenang karena ia yakin bahwa keluarga Cia masih ada dalam kekuasaannya, ketua Cin-ling-pai dan semua anggautanya tidak akan berani melawannya. Begitu melihat Kian Sun menyerangnya, karena ia sudah siap siaga sebelumnya, dengan mudah ia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang! Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betiina itu dan dia tidak akan mudah di kalahkan. Akan tetapi selama ini, Kian Sun menderita tekanan batin yang hebat, yang membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang. Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata ia telah berada dekat tiga orang tosu yang munculnya dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada di situ, muncul dari tempat persembunyai mereka, Su Bi Hwa tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara ketawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman luar biasa. “Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!” Kui Hong memang sengaja belum turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggauta baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini telah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek. “Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedoak kalian telah terbuka, dan semua locianpwe yang berada di sini sekarang mengetahui siapa yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?” Kembali Su Bi Hwa tertawa, “Ha-ha-hi-hi-hik, kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu, semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyaknya anggauta kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya kenapa kami memusuhi Cin-ling-pai?” “Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Dia pun sudah mencabut pedangnya. “Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau kami diserang, maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, dan setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada didalam tanganku!” Kini bukan saja Su Bi Hwa yang tertawa, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka, mereka yang yakin bahwa dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan, orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka. Mendengar ini, Kian Sun menahan gerakannya dan wajahnya menjadi pucat kembali. Apakah mereka tetap masih tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu? Akan tetapi, Kui Hong tersenyum lebar. “Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematianmu telah tiba dan kalian masih berani bicara besar?” Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan duapuluh orang anak buah mereka itu. Dan muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu! Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang tersenyum-senyum karena tentu saja ia telah mengetahui segalanya. Ia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali. Seperti yang direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, Ciok Gun seorang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan! Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun lalu membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya. Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cio Kong Liang yang tadinya duduk bersila dalam samadhi membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah. “Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?” Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik. “Ciok Gun, aku tidak mangakuimu sebagai suheng lagi! Engkau musuh besar kami, dan kelak kalau aku sudah besar, aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!” Ciok Gun memandang kepada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab ucapan mereka, melainkan diam sana dan dengan kuncinya, dia membuka tempat tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu terkejut dan heran, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya dilantai. “Teecu Ciok Gunu telah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari. Akan tetapi sekarang teecu telah sadar dan teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang menimbulkan semua kekacauan ini. Harap Su-kong, Supek, Supek-bo dan Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya, sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.” Dia bangkit berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong telah pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkanCiok Gun. Demikianlah, mereka yang “digiring” oleh Ciok Gun yang memegang pedang telah tiba di pekarangan markas Cin-ling-pai. Melihat munculnya Ciok Gun yang menggiring empat tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya terkejut dan heran bukan main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai telah keluar dari tahanan! “Ciok Gun, kuperintahkan kau! Bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk menguasai Ciok Gun. Ciok Gun tidak memperlihatkan reaksi apa pun mendengar ucapan Su Bi Hwa, akan tetapi ia melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa mengira bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok Gun berada di depannya, ia berteriak lagi dengan suara melengking, “Ciok Gun, pergunakan pedangmu …..!” “Baik, kupergunakan pedangku!” Tiba-tiba Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke arah dada Su Bi Hwa! Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi ia memang lihai, dan biarpun serangan itu amat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka datangnya, ia masih dapat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari tusukan pedang. “Jahanam busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga orang tosu Pek-lian-lauw. “Suheng, jangan …..!” Kui Hing berseru karena ia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu. Namun Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang Pek-lian-kauw, tidak memperdulikan teriakan itu dan ia menyerang mati-matian. Tiga orang tosu itu pun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan menyerang mereka dengan dahsyat! Tiga orang Pek-lian-kauw itu ini mengerti bahwa pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun telah lenyap, entah bagaimana, dan tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya. Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga menggerakkan tangan menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan, dan ada pula yang menyerang. “Tranggg …. Dukkk ……!” Pedang di tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itu pun terjengkang. Darah muncrat dari mulutnya dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh dan tewas seketika. Dua pukulan yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu selagi Kim Hwa Cu menangkis pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu dan nyawanya terengut seketika. Melihat ini, marahlah Kui Hong. Ia sendiri tidak menyangka bahwa Ciok Gun akan senekat itu. Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia ditugaskan menjaga tawanan, kemudian pada pagii hari itu membawa para tawanan ke Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu nyawa dan tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu. Sebelum ia melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat kedua tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya, mengeluarkan suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali. “Haiii, orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat sebelum kalian diserang!” Terjadilah keanehan. Para anggauta Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul! Terjadi kekacauan dan pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang yang tawa bergelombang, disusul suara yang nyaring melengking. “Saudara-saudara Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!” Dan para murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua menghentikan gerakan dan memandang bingung. Yang tertawa dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika mendengar suara ketawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar begitu pemuda yang memakai pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa Cu yang berperut gendut menyambut dengan bentakan. “Anjing dari mana berani datang menentang kami?” Dia memberi isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah muka pemuda itu sambil berseru nyaring. “Engkau anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!” Dalam suara ini terkandung getaran yang amat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga dipersatukan. Hay Hay merasa betapa kekuatan yang dahsyat memaksanya sehingga dia tidak dapat mempertahankan lagi dan dia pun jatuh berlutut dan berdiri dengan kaki dan tangannya seperti seekor anjing! Melihat ini, Ceng Sui Cin marah bukan main. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi dengan marah ia hendak ke depan untuk menyerang, lengannya disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di dekatnya. “Ibu, biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.” Ceng Sui Cin dan suaminya, Cia Hui Song, memandang puteri mereka dengan heran. Puteri mereka menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan merekapun ingin sekali melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti anjing. Tang Hay atau biasa di sebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu-ilmy silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biarpun demikian, andaikata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik silat maupun sihir, menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi. Kini, ketika merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan kuat agar dia menggonggong seperti anjing, diapun teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu. Dia meraba dan menekan tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika dia pun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dan diapun, dalam keadaan masih merangkak, tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang. “Ha-ha-ha-ha-ha! Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha-ha, memang kalian berempat bersemangat anjing! Mari kita bermain-main, kalau aku mengonggong, kalian mulailah saling berlumba memperebutkan anjing betina itu dan saling serang. Hayo, mulailah!” Semua orang melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay mulai mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan memang mirip anjing menggonggong! “Hung-hung-haunggg …… huk-huk-hunggg ……!” Dan semua orang terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut dan merangkak-rangkak seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Dan terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu kini saling serang seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina! Dan Hay Hay etrus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu itu saling serang, saling gigit sampai pakaian mereka koyak-koyak! Sedangkan Su Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak! Sungguh merupakan penglihatan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan lawan, dia pun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Kalau tadi semua orang nonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu. Setelah merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay meloncat berdiri dan dia pun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu pun menghentikan gerakan mereka. Su Bi Hwa melompat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu itu pun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian menghadapai Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang amat hebat sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan banyak orang! Tanpa banyak cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti Siok Hwa Cu si perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok besar, Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi, juga sudah mengelurkan senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya bola dan bintang baja. Sementara itu, Tok-ciang Bi Moli maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Kini merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka, iapun sudah mencabut pedangnya, lalu meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring. “Cia Kui Hong, bagaimanapun juga, masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai ketua Cin-ling-pai!” berkata demikian, pedangnya sudah meluncur ke arah dada ketua Cin-ling-pai itu. Kui Hong memang sudah siap siaga, maka ia pun tadi sudah mencabut sepasang pedangnya. “Tranggg….. !!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya bergetar hebat. “Hemm, iblis betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang cocok dan tepat untukmu!” kata Kui Hong dan ia pun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada anak buahnya. “Para murid Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi anggauta Cin-ling-pai!” Para murid Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteraiak-teriak dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka sangka sebagai anggauta-anggauta baru pilihan ketua dan isteri ketua! Terjadilah pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah Pek-lian Sam-kwi juga orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut sehingga mereka melawan mati-matian. Adapun Pek-lian Sam-kwi sendiri maju mengepung Hay Hay yang amat mereka benci karena mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling terkam. Akan tetapi, nampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin, sudah berada dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui Song menghadapi Lan Hwa Cu, sedangkan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu. Suami isteri pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Hay Hay sendiri sudah menyambut serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam. Melihat betapa ternyata Cin-ling-pai tidak bersalah, dan yang melakukan semua pembunuhan, perkosaan dan semua perbuatan jahat adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai persilatan besar menjadi marah sekali. Maka, begitu melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu duapuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi, para tokoh itu segera mengamuk dan membantu orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggauta Pek-lian-kauw yang tentu saja menjadi semakin terdesak. Tok-ciang Bi Moli menjadi gentar. Baru sekarang ia bertemu tanding yang benar-benar membuat ia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu memang lihai bukan main, dan pantas menjadi ketua Cin-ling-pai. Kiranya Cia Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu Gouw Kian Sun. sudah mati-matian Su Bi Hwa melakukan perlawanan, bahkan ia perkuat dengan kepandaian sihirnya, namun semua itu percuma saja. Tidak ada serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan makin lama ia semakin terdesak. Tadinya Su Bi Hwa mengharapkan bantuan tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika ia dapat melirik ke arah mereka, ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua, juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin mengharapkan bantuan mereka. Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Dengan sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat ia sudah dapat mencari jalan keluar.   Su Bi Hwa kini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang amat berbahaya itu. Ketika Kui Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pednag kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan loncatan ke atas lalu ke belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset dan iapun jatuh terpelanting. Ia bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Jarum-jarum beracun meluncur ke arah Kui Hong. Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan semua jarum itu runtuh. Ia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan ia hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa telah meloncat ke dekat Kui Bu dab anak itu sudah di tangkap dan dipanggulnya dengan tangan kiri! Kiranya iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu. Ayah dan ibu anak itu sedang bertanding melawan dua orang di antara Pek-lian Sam-kwi, dan kakek Cia Kong Liang juga ikut membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw. Dalam keributan itu, tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya tinggal menanti saat terbasmi saja? “Kalau kau kejar, akan kubunuh anak ini!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan diri. Kui Hong tertegun! Dalam keadaan terancam seperti itu, ia tahu bahwa iblis betina itu bukan hanya menggertak kosong. Tentu akan benar-benar dibunuhnya Kui Bu kalau ada yang berani menghalangi larinya. Baru saja Su Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter, tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya dan bayangan itu nekat merangkul pinggangnya sehingga terseret sampai beberapa meter. “Lepaskan, keparat!” Su Bi Hwa berseru, akan tetapi bayangan itu yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun, sudah menangkap kedua lengannya dan menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu terjatuh dan anak yang sudah tahu akan bahaya itu sudah menggelundung lalu meloncat dan lari. Dengan kemarahan meluap, Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh Kian Sun terkulai mandi darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri. Kui Hong hendak mengejar, akan tetapi melihat keadaan Kian Sun, ia berhenti dan memeriksa. Akan tetapi ia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan lagi. “Gouw Susiok …..” katanya sedih. “Pangcu …. aku ….. aku berdosa …… aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu …… maafkan aku …. lebih baik aku mati ….” katanya dengan sukar dan lehernya terkulai. Gouw Kian Sun tewas. Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tidak bersalah. Kalau Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal ini dilakukan hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah disandera. Dan memang sebaiknya kalau susioknya tewas. Itu merupakan jalan keluar terbaik. Ia dapat membayangkan betapa kalau terus hidup, susioknya akan selalu menderita batinhebat sekali. Bagaimanapun alasannya, tetap saja dimata orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh kang-ouw menjadi saksi! Namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang memalukan. Pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Pek-lian Sam-kwi yang bertemu dengan lawan yang amat tangguh, seorang demi seorang makin terdesak hebat. Dua puluh anggauta Pek-lian-kauw, tidak seorangpun mampu lolos! Semua tewas ditangan para anggauta Cin-ling-pai yang dibantu oleh para tokoh perkumpulan besar. Kim Hwa Cu yang ditandingi Ceng Sui Cin, sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan. Biarpun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu emringankan tubuh yang membuat tubuhnya ringan danselincah burung walet, sepasang pedang Kim Hwa Cu tak dapat berbuat banyak. Tubuh nyonya yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang. Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, beberapa kali Kim Hwa Cu terkena tamparan yang amat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi selalu gagal karena setiap kali dia menggunakan sihirnya, selalu pemuda bercaping itu membuyarkannya dengan suara atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang lawan dengan paku beracun, namun ini pun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu dapat mengelak. Pedang kiri di tangan Kim Hwa Cu telah terlepas dan terlempar, dan karena maklum bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan pedang kanannya. Tosu Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan pedang pasangan, dia pun memiliki sinkang yang dapat membuat lengannya mulur panjang. Masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya paku beracun yang berbahaya, juga ilmu sihirnya yang waktu itu sama sekali tidak dapat dia pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimanapun juga, dia mulai merasa gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai itu. Tadi, menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apalagi sekarang pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur. Adapun Lan Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa akan tetapi yang gerak-gerik dan suaranya seperti wanita itu, juga repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan senjatanya yang berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi bola baja dan bintang baja. Sabuknya menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara ebrsuitan ketika senjata itu menyambar-nyambar, namun lawannya adalah seorang pendekar yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang matang. Cia Hui Song bukan saja murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi juga semua ilmunya disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang Siang-kiam Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song memiliki gin-kang yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua serangannya luput. Akan tetapi, Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau hanya dilawan dengan tangan kosong. Maka, ketika pada suatu saat, kedua ujung sabuk itu, yaitu bola dan bintang baja menyambar dari kanan kiri, dia melompat dengan lemparan tubuhke belakang, berpok-sai (bersalto) sampai lima kali ke belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah, dia sudah menyambar sebatang senjata toya yang berada di atas tanah. Banyak senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah roboh dan tewas atau terluka berat. Dengan toya ditangan, dia menyambut datangnya lawan yang sudah mengejar dan menyerang lagi. Begitu dia menggerakkan toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut. Toya itu tidak takut akan sabuknya. Bahkan ketika dia sengaja emlilitkan sabuknya pada toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan menotok ke arah dadanya! Dia terpaksa melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang. Namun, kini dia terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tak lama kemudian, punggungnya kena dihantam toya sehingga dia menjerit seperti wanita, jatuh bergulingan. Akan tetapi karena memang dia kebal, dia dapat meloncat bangun dan menyerang mati-matian.   Tosu Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu paling lihai diantara Pek-lian Sam-kwi. Biarpun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga mempunyai sin-kang yang amat dahsyat. Kalau dia sudah berjongkok dan mengeluarkan sin-kangnya, tiada ubahnya seekor katak buduk yang besar dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi berkoko, sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun! Selain ini, dia pun amat kejam, senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan huito (pisau terbang). Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu rambutnya. Rambut yang sudah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat ie pergunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dia seperti dua orang saudaranya, dia pun seorang ahli sihir. Akan tetapi lawannya adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung menjadi satu! Tentu saja kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, Hay Hay dapat mempermainkan sesuka hatinya. Andaikata dia dikeroyok tiga sekalipun, belum tentu dia kalah. Apalagi satu lawann satu. Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan di pihak Cin-ling-pai, Hay Hay pun tidak segera merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apalagi ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir, dan banyak anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan dan hanya menjadi penonton, dia semakin mempermainkan lawannya. “Heii, kodok buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba mengacau Cin-ling-pai? Sungguh tak tahu diri. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kiri dan ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu. “Blukk!” Dan Siok Hwa Cu terhuyung ke belakang, Hay Hay sengaja memegangi kaki kanannya yang menendang tadi, berjingkrak seperti orang kesakitan. “Aduh, perutmu memang keras dan bau! Ihhh!” Melihat kelucuan ini, para murid Cin-ling-pai tertawa-tawa. Wajah Siok Hwa Cu menjadi merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai kekuatan sihir yang hebat. Maka, kini dia menggigit golok besarnya dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher sampai kaki! Kalau dia mau mengelak saja, belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tentu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Akan tetapi dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka, cepat Hay Hay mengambil topi capingnya yang lebar dan yang tergantung dipunggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya! “Wah, terima kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.” Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jadang ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping! Dengan marah dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini. Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali. Hay Hay melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut. “Hemmm …..!” Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali. “Ihh, kodok tua. Rambutmu apak menjijikkan!” katanya dan melihat banyak senjata berserakan diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang. Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri. “Brettt!” Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu. “Heiii, siapa mau membeli ekor babi?” Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu.   Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah sekali. “Haiiii, sayang luout!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas. Siok Hw Cu mengejar dengan tanga goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung hinggap diatas rating saja! Semua orang menahan napas saking kagum dan juga khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian berbahaya. Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi. Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh. Hay Hay meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, golok itu pun terlepas dan jatuh ke atas tanah. Kembali semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton. Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan! Hay Hay memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini. Dia sama sekali tidak tahu betapa di antara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu. Kui Hong yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, ia pun diam saja dan hanya menonton. Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di tangannya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya. Kini di antara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay. Seluruh anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti mendapat hiburan segar. Siok Hwa Cu juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidung dengan tangan kananya. “Hai, kodok buduk, kalau kau mau buang air besar jangan di sini! Kotor dan bau menjijikkan!” Tentu saja para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semkain hitam karena marahnya. Apalagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu. “Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya dan ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay. “Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan. Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goynag, kedua tangan didorongkan ke depan dan dia pun mengeluarkan suara seperti lawannya. “Kok-kok-kokk!” Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga. “Dukk!!” Dua pasang telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling. Kalau Hay Hay menghendaki, dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan mengaku kalah atau menyerah.   “Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!” Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini. “Sampai mati pun aku tidak sudi minta ampun!” Bentaknya dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya! “Heii, mau berak lagi?” Hay Hay mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk. Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Dia pun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya! “Capp!” Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbalalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay. Hay Hay menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang mendidih panas! “Pergilah!” Hay Hay mengerahkan sinkangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah. Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir. “Krekkk!” Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan dia pun tewas seketika. Banyak anak buaj Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang. “Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!” Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan, dia pun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri. “Saya telah banyak mendengar bama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai, sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya dapat berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian).” katanya. “Kong-kong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kong-kong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu.” Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk akan cara Hay Hay mempermainkan lawan tadi masih membuat mereka enggan beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi, pandang mata mereka cukupp tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu, maka mereka pun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang. “Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.” “Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan biarpun andaikata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau disini, kalau bertemu dengan saya dimana pun tentu mereka akan saya tantang karena mereka selalu melakukan kejahatan-kejahatan.” “Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu ditempat kita untuk beberapa hari lamanya.” Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab. “Baiklah, antar dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini.” “Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song. Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang agaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lalu mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada dibagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan. Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi telah menjadi saksi dan mereka pun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia, lalu menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tidak bersalah, maka tentu saja ketika terjadi keributan tadi, kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw dan mereka pun ikut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw. Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia. Karena merasa urusan itu bukan urusan mereka, maka mereka pun tidak mencampuri bicara dan diam saja. Padahal, diantara mereka banyak yang mengenal Hay Hay. Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, sudah mendengar tentang pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biarpun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong, yang menjadi pangcu ketua Cin-ling-pai!   Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka untuk menyingkirkan mayat-mayat musuh, mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan. Karena merasa bahwa mereka pun telah salah kira dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tidak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus dan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka. Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song. “Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah dapat membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang demikian perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri taihiap, dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga." “Pendekar Mata Keranjang? Siapa yang totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut. Tiong Gi Cinjin memandang kepada nyonya yang gagah perkasa itu. “Apakah li-hiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi ….” “Ah, kaumaksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah totiang mengenal dia?” tanya Sui Cin. “Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami mengira bahwa yang memperkosa seorang murid Nu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu.” “Ang-hong-cu?” Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?” “Maklumlah,” kata Tiong Gi Cinjin sambil menarik napas panjang. “Sikapnya selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang.” “Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yabg terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin. “Bukan dia, melainkan ayah kandungnya.” “Ahhh ….?” Suami isteru tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan main mendengar ucapan itu. “Dia …. dia putera Ang-hong-cu?” Ting Gi Cinjin mengangguk dan menghela napas. Bukan maksudnya untuk memburukkan nama orang, akan tetapi bagaimanapun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apalagi kalau diingat bahwa pemuda itu membikin orang-orang Bu-tong-pai malu karena tidak sanggup mengalahkannga dengan keroyokan. “Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia seorang di antara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosanya. Namanya Tang Hay, dan dia tadinya disangka sebagai Ang-hong-cu. Baru dia dapat membersihkan namanya setelah dia berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu.” “Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh.” “Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah dan membunuh diri. Sudahlah, taihiap dan lihiap, saya tidak enak membicarakan dia, apalagi karena bagaimanapun, dia dianggap sebagai seorang pendekar yang telah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak, bersama dengan Cia-pangcu, puteri taihiap. Selanmat tinggal.” Tiong Gi Cinjin mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka kepada pemuda itu. “Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!” “Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri, menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.” “Sudahlah, kita tidak perlu pusaing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang ke sini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu seorang mata keranjang,” kata Sui Cin. Setelah selesai mengurus para anggauta Cin-ling-pai, mereka pun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay. *** “Untung ada engkau yang menggunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak akan tahu entah bagaimana aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia. Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu. “Hushh, diantara kita mana pantas bicara tentang budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.” “Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh-bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh-bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap anngauta kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini.”   Wajah Hay Hay yang tadinya berseri itu kehilangan kegembiraannya, dan dia menatap tajam wajah kekasihnya. “Akan tetapi, Hong-moi, kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai, maafkan keterus teranganku ini, tidak menunjukkan seperti apa yang kaukatakan itu.” Sinar mata gadis itu dengan tajam menyambar wajah Hay Hay. “Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?” “Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Nah, hal itu bagiku wajar saja. Bagaimanapun juga, setiap orang manusia akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain.” “Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Ketika kakekku menjadi ketua dahulu, dia pun bersikap demikian. Juga ayahku. Sekarang, akulah yang bersumpah. Karena itu, aku seorang yang tidak mau tunduk kepada mereka, dan aku melawan, biarpun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami semua selamat dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu.” Hay Hay mengerutkan alisnya. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Akan tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata, “Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Akan tetapi, setelah kita menikah, tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi oleh kewajiban dan tugas yang berat.” Kui Hong menunduk dan menarik napas panjang. “Tadinya aku pun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri merantau untuk menambah pengalaman. Akan tetapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali dan aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka, aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai sehingga menjadi kuat dan jaya kembali.” “Biarpun sudah menikah?” “Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?” “Dan suamimu ….. eh, aku?” “Dengan sendirinya engkau menjadi Cin-ling-pai dan bantuanmu amat kami butuhkan, Hay-ko. Justeru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek-moyang dahulu.” Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia memasuki ruang tamu dimana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah. Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, biarpun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang diangkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai. Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan. Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih tegak, wajahnya keren berwibawa dan pandang matanya menusuk penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walaupun nampak lebih tua daripada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hon, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai. Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, memandang hanya sekilas kepadanya dengan mulut cemberut. Kakek Cia Kong Liang bahkan sama sekali tidak memandangnya, hanya melewati saja pandang mata itu diatas kepalanya. Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik! Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasihm walau dia seujung rambutpun tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarhga Cia atau Cin-ling-pai. Kui Hong juga agaknya menjadi curiga. Tentu saja ia mengenal baik tiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay! Biarpun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya terang-terangan. Disambutnya ibunya dan ia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu! “Enci hebat! Kata kong-kong, enci yang membebaskan kami. Aih, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!” Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya, “Kelak engkau tentu lebih lihai daripada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!” Mendengar ini, Cia Kong Liang berkata, “Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu.” Kui Hong memandang kepada ayahnya. “Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka sungguh menjemukan. Kita sedang tertimpa malapetaka, mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!”   “Hemm, jangan engkau berkata begitu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas. “Mereka itu menjadi korban, bahkan ada yang tewas dan terluka di antara orang-orang tak berdosa itu. Karena mereka berada disini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka merasa yakin bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggauta.” “Nanti dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tidak sepatutnya bicara soal Cin-ling-pai di depan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari parti manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?” Biarpun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, namun sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan kepadanya. Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan kangsung saja bicara tentang pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Tentu saja sebagai seorang ibu, hatinya tidak suka dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu. Kui Hong memandang ibunya, ia pun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay amat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga naka baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali? Sepatutnya kalau ibunya, setidaknya, bersikap bersahabat edngan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Ia tidak percaya bahwa orang tuanya mempunyai watak yang demikian tak kenal budi. “Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas. Sengaja ia memperlihatkan sikap ini karena ia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu. Akan tetapi Hay Hay tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan mulutnya. Setelah memberi hormat kepada tiga orang tua itu yang kini juga mengambil tempat duduk menghadapinya, seperti panitya hakim yang sedang mengadilinya, diapun berkata dengan lembut. “Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa saya dengan lancang berani datang ke sini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai.” “Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali. “Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?” Hui Song menegur puterinya. Mendepatkan teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut. “Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapa gurunya, dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar?” kata ibunya. “Hemm, sikap kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong. Akan tetapi karena disitu terdapat Hay Hay, ia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua. Hay Hay sejak tadi masih tersenyum saja, walaupun disudut hatinya, dia pun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal kalau diingat sejak kemunculannya disitu, dia hanya membantu keluarga itu. “Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga cu-wi adalah keluarga pendekar besar, dan saya hanya memberi keterangan karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka…..” “Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, namun aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakan kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit. “Kui Hong, engkau ini kenapa sih?” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kauajak ke sini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?” Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, suka berterus terang. Kong-kong, siapakah yang aneh dan siapa yang tidak wajar? Hay-ko ini datang karena ku ajak, kemudian disini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan terang terang saja, tanpa bantuannya, belum tentu aku akan mampu membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi, apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!” Hui Song dan isterinya saling pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendengar siapa adanya pemuda itu membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai.   Melihat peledakan yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong. “Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menduga yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya mempunyai empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang kedua adalah suhu Giu-sian Sin-kai, ketiga adalah suhu Pek Mau Sanjin, dan keempat suhu Song Lojin.” Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua diantara Delapan Dewa. Kemudian, biarpun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup diantara awan-awan di pegunungan tinggi! Juga nama Song Lojin hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja. Tidak aneh kalau pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu. “Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?” Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak kalau dia ditanya tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapa ayah dan ibunya, walaupun mereka telah tiada. Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah! Kalau begitu, berarti dia anak haram! Ah, tidak! Bagaimanapun juga ayahnya, dia tidak akan mengingkarinya karena memang benar ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah! Lebih baik berterus terang, dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akan lebih tidak enak akibatnya. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, daripada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan. “Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri. Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Ting Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang telah tewas setelah roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!” “Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang ayahmu? Barangkali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.” Kui Hong memandang khawatir. Ia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja ia tiak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya. “Nama ayah saya she Tang bernama Bun An,” kata Hay Hay dengan tabah, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang. “Tang Bun An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar tentang adik seperguruankmu Ling Ling …. apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?” Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah ia pun menjawab, “Benar sekali, ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh …..” “Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah di bunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.