“Benar sekali, Ayah! Walaupun tidak dibunuh sendiri, melainkan dikalahkan dan Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!” Mendengar pengakuan Kui Hong, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran mengapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali. “Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang amat keji dan jahat itu? Dan kau bawa dia datang ke tempat kita ini? Apakah engkau sudah gila?” Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya, kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya, sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu. “Ibu!” Kui Hong yang tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biarpun orang-orang yang tidak suka itu memberi julukan Pendekar Mata Keranjang kepadanya, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tidak boleh disamakan ayahnya, dan buktinya, dia malah menentang ayahnya dan yang menangkap ayahnya bahkan dia sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?” “Kui Hong ….. uhh …….!!” Sui Cin membanting kaki dan memondong tubuh Kui Bu, lalu pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu. Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut. “Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena diantara kita terdapat perbedaan golongan.”   “Ayahhh ……! Dia ini tamuku, aku yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah. “Hemmm …..” Hui Song menahan kemarahannya yang dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau yang berhak menentukan!” Setelah berkata demikian, Hui Song juga pergi kedalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya. “Ayahhh …..!!” Melihat ayahnya terus masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang. “Kong-kong ….!!” Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Kui Hong, sekali ini engkailah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan dia pun pergi meninggalkan ruangan itu. Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangan terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan. “Hong-moi, ucapan kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkau yang keliru membelaku. Bagaimanapun juga, kenyataan adalah bahwa aku ini anak kandung Ang-hhong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaan terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau ini puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya …..” “Hay-ko……, diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu da naku tidak perduli akan keturunanmu. Mereka tidak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapapun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!” “Hong-moi, jangan begitu …..” “Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?” “Perlukah kukataka lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, dan justeru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu …..” “Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak dapat mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu di sini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!” Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Ia masih melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah ia melihat wajah Hay Hay sepucat itu! *** “Kui Hong!” Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Di mana akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu tidak melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu ke sini? Biarpun dia sudah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan, apalagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?” “Tapi, Ayah. Kami sduah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang ke sini untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!” “Tidak……!” Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng dan ini saja sudah cukup mejadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju kalau puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu! Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan semakin berani. Ia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walaupun agak basah. “Sungguh aku tidak menyangka. Apakah ayah dan ibu berpendirian kolot. Apakah ayah dan ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?” Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang. “Memang benar, Kui Hong. Ayah ibu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi, tidak ada latar belakang buruk antara ayah dan ibumu sehingga pernikahan kami pun tidak ada halangannya. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang amat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, menjadi korbanya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan…..” “Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu, melainkan dengan Hay-koko!” “Tapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya. Kui Bu sudah disuruh masuk kekamar, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu oleh ibunya. “Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan ang-hong-cu yang dikutuk semua orang?”   “Tapi, Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan sejak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu, sampai dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa ……” Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi, ia sampai lupa dan bahkan membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu. “Ya Tuhan! Bahkan dia anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram ….?” “Ibu! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?” Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala. “Jelas bahwa kami tidak mungkin dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat akan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai daripada urusan pribadimu.” “Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan Hay-ko sebagai suamiku.” “Kui Hong, engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju karena bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggauta pimpinan.” “Kami tidak menghendaki itu!” kata pula Hui Song. Kui Hong diam saja, sejenak ia memejamkan mata sambil memiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Ia tahu bahwa tidak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apa pun alasan yang ia kemukakan, kakeknya, ayah dan ibunya tidak akan mau menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apalagi kalau mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu ia tidak lagi mampu bergerak. Suasana menjadi lengang sekali ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang keras hati dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu. Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya. “Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai agar aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku akan memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah berkata demikian ia lalu melangkah pergi meniggalkan ruangan itu. “Kui Hong ……!” Sui Cin juga bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya. “Jangan, tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya. Sui Cin mengerti dan ia pun hanya dapat melempar diri ke atas kursi dan menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi sangat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa. Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah ke dalam ruangan tamu di mana Hay Hay menunggu. Akan tetapi, ketika ia tiba disana, ia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay. Ia mendekati meja dan kursi dimana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemeter dan jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya. Adik Kui Hong tersayang, Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tidak mungkin terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju, aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu. Jangan menjadi anak tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan sudah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu, aku harus mundur. Aku harus pergi dan jangan tanya ke mana aku pergi, sayang. Aku sendiri tidak tahu kemana aku pergi. Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali. Salam dan doaku, Hay Hay “Hay-koko ….!” Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walaupun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja menjadi semakin basah air mata. Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, duduk di kursi dengan kepala di atas meja, surat masih terngenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu dan membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini. Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia, dan ia sendiri, pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka!   Tubuh Kui Hong panas! Ia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata-dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimanapun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya. Ia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, dan tidak akan menikah dengan pria mana pun juga. Kalau Tuhan menghendaki, kelak pasti ia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan. *** Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa. Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan seudah perlu diganti. Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak ke mana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu. Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal ii justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya! Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya! Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya. Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan. “Hong-moi ….. aihhh, Hong-moi ……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya. Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini! Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu. Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan. Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut. “Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya. Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kototr. “Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya. Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.   “Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air! Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan? Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi. Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu. Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar? Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enak pun terkandung hikmah yang amat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak. Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunta yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetik pun. Dan pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti. Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna! Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa. Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup bahagia. Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuhs sakit dan usaha apa pun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam tangisnya, mengapap Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil! Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertelat untuk menghadap Tuha, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya. “Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat. “Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya. “Mengapa?” “Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi, mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yangberdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yangselallu memuja Tuhan?” Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut. “Janda yang saleh. Sebelum kaulanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat menunujuk ke arah langit biru di barat. Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan ia pun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang mengerikan. Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi. “Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka ini di haruskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?” “Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.” Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah pemuda itu yang masih mengamuk itu. “Ya Allah! Ampunilah hamba Ya Tuhan ….. jangan ….. jangan …..! Hentikanlah perbuatannya ….. !” Dan ia pun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan. “Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki ankmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?” “Tidak …. tidak …….! Biarlah dia mati sekarang, aku …. aku rela ….., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu ….” Demikianlah dongen yang kini seolah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia memejamkan mata, tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik hatinya. Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih. Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidupnya, bahkan untuk menikmati hidupnya. Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuha yang menentukannya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan. Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh, melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran ini hanya alat, kenapa kita suka mempergunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula? “Ha-ha-ha, dasar otak udah kau, Hay Hay?” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya! Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, ia mendengar suara ketawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air tadi, tentu dia akan tahu ketika wanita itu datang ke situ. Akan tetapi, tadi kedua telinganya tertutup air sehingga tahu-tahu ada wanita di belakangnya tanpa dia ketahui. Dia menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga. Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika ia tertawa. Lucu sekali! “Hi-hi-hik, lucunya ….. heh-heh ….. kau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi …..!” Hay Hay ikut tertawa dan menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Ketika dia menyingkap rambutnya, wanita itu ternganga. “Ihh …., kau ….. kau seorang pemuda yang tampan kiranya ….” ia berkata lirih. “Kusangka tadi seorang dari kampungku …… maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli. “Nona, mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya. “Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kaulakukan tadi?” Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini mukanya tidak tertutup air, dan dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya kepada wanita muda yang berdiri di depannya. Seorang gadis yang belum dua puluh tahun usianya. Pakaiannya memang sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang amat indah segar seperi selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.   “Heiii! Kenapa diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kaulakukan tadi!” Gadis itu berkata lagi, semakin geli. Aduh, mana cantik manis masih lincah genit menggemaskan lagi! “Aku tadi mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu. “Mengintai ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar. Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah dia sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. “Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!” Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya! “Ikan …. Pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya. “Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantik bukan main,” kata Hay Hay sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat, mukanya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidunya kecil mancung, mulutnya …. hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiti mulutnya, lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar …..” Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda, tangannya meraba rambut dimana terdapat hiasan perak berbentuk mawar. “Ehh? Seperti aku …..?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh. “Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu. Hay Hay tersenyum. Sukar membanyangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain, kecuali dengan dia. “Yang jantan? Aih, buruk sekali ….” “Kalau begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi. Kini Hay Hay yang menjadi heran, akan tetapi sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itu pun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis lalu menyongsongnya dan mereka pun bertemu dan berpelukan! “Koko, engkau menyusul …..?” “Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul leher. Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar lima puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biarpun tidak buruk sekali akan tetapi jauh daripada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sipit sekali, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut. “Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?” Si pendek itu memandang kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikit pun tidak kelihatan marah. “Aih, dia?” Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Dia tadi membenamkan kepala di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!” Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay tertawa geli. “Ha-ha-ha-ha, benar sekali ……!” katanya. Kini dia tahu bahwa gadis itu biarpun cantik manis sekali, akan tetapi juga bodoh! Pria itu juga tersenyum. “Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang miring otaknya, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan mirip manusia? Tentu kepalanya panas maka dia membenamkan kepala di dalam air.” Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu. “Plakkk!” Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum. “Saudara yang baik,” kata pria itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain.” “Aku tidak mendekati …. ohhh, kau mau katakan bahwa gadis ini isterimu?” Hay Hay terbelalak. Pria pendek itu mengangguk. “Ia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Ia cantik manis sekali, bukan? Ia kembangnya kampung kami.” Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, dan menelan ludah. “Isterimu ….? Sungguh tak kusangka ….. ia memang cantik jelita dan pantas menjadi kembang kampung, dan engkau …. Hemmm ……” Hay Hay meraba dagunya dan tidak bermaksud menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.” Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga nampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi. “Ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan ia cantik. Isteriku merupakan kembag di kampung kami, yang paling cantik. Dan ia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!” “Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak percaya. “Bukan paling tampan, akan tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku cantik, dan kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!” “Hemm, mengapa begitu?” Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Orang ini memang agaknya pintar, walaupun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya. “Mengapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk yang kurang cerdik sehingga tidak mampu menangkap inti sari pertanyaanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan dari otak dariku, ha-ha-ha!” Dan si pendek itu dengan tangan kirinya menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci ditempat lain.” “Marilah, suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja. Mereka pergi, bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap disebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya. “Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya di dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha ….., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!” Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apalagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak. “Ha-ha-ha-he-he …… anak-anak mereka ….. ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha ……!” Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Akan tetapi wajah anak-anak yang seperti si pendek tadi dengan sinar mata bodoh terus membayanginya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya. *** Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ktika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan dikota Wangsian disebelah utara tepi Sungai Yang-ce. Seperti kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah dan sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang diperbatasan Tibet, mereka akan lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh, diutara karena pegunungan itu terletak ditapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si. Adapaun kota Wang-sian terletak dibagian utara Propinsi Se-cuan. Sudah berkali-kali Ki Liong merasa kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah apabila mereka bermalam dirumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginan untuk segera “memiliki” gadis itu menjadi tidak mungkin kalau dia selalu berpisah kamar. Dan ke dua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya! Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di depan pelayan. Setelah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan, dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang. “Mayang, kenapa engkau sampai sekarang masih belum percaya kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita adalah calon suami isteri?” tegurnya marah. “Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum suami isteri, bagaimana mungkin harus sekamar?” “Akan tetapi, asal kita tidak melakukan pelanggaran, apa salahnya?” Ki Liong membantah. “Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. apa akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?” “Perduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!” “Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.” Melihat gadis itu sudah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menghela napas panjang. “Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Aku pun tidak mempunyai niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah.” Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan ia pun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.   “Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita sudah menghadap ibu dan subo, kalau kita sudah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi.” Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya sejenak, lalu melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Pada saat itu, sepasang mata yang jeli memandang ke arah Ki Liong. Sejak pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi karena pemilik mata itu mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang sambil bersembunyi, Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka. Setelah Ki Liong dan Mayang memasuki kamar masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun dia pun sudah siap siaga, meloncat dengan cepat turun dari pembaringan dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Tik-tik-tik!” Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya. Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah tidak ingin membuat gaduh. Ki Liong mengira bahwa tentu Mayang sipengetuk itu, dan tentu terjadi sesuatu yang membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan begitu daun jendela dibuka dan dia pun siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang! Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap disudut taman diluar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan dia pun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu, kini hampir yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar. Ketika dia tiba disudut gelap itu, bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan nampak wajah dan tubuhnya, cukup jelas. Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walaupun tak kalah cantiknya! Seorang wanita muda, namun jauh lebih dewasa daripada Mayang, usianya sekitar duapuluh lima tahun, berwajah lonjong manis dengan senyum memikat dan matanya tajam dengan kerling yang amat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menanti dengan senyum dan kerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang! Ki Liong menghampiri dan berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong seperti seorang pedagang kuda sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya. “Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki Liong, suaranya lirih agar jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang walaupun kini kamar gadis itu agak jauh dari situ. Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya. “Kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian habat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi …..” “Nona, siapakah engkau dan mengapa pula ……” Ki Liong mengulang pertanyaannya. “Hi-hik, pendekar kesepian! Aku pun senasib denganmu. Aku pun merasa kesepian sekali. Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat. Ki Liong bukan seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Dia bahkan pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apa pun demi pemuas nafsunya. Kini, menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya sudah berdebar tegang, membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti. “Maksudmu bagaimana?” “Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita dapat saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati hati rindu. Aku pun bermalam disini. Kamarku disana. Marilah kita bicara dikamarku!” Wanita itu menunjuk ke kiri. Akan tetapi biarpun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, Ki Liong bukan orang yang ceroboh atau bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat. “Nona, usulmu memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi, kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara dikamarku saja.” Wanita itu tersenyum dan mengedipkan matanya. “Tapi ….. kamar gadis Tibet itu berdampingan dengan kamarmu. Kalau ia mendengar ….” Ki Liong tersenyum. “Perlukah kita membuat gaduh? Bicarapun dapat berbisik kalau mulut dan telinga kita saling berdekatan.” Dia pun mengedipkan matanya. Wanita itu tertawa, tampa menutupi mulutnya dan hal ini memang tidak perlu. Mulutnya amat menarik kalau ia tertawa. Hanya ia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan ia pun mengangguk. “Mari kita berlumba siapa yang dapat masuk lebih dulu kekamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang.” Ki Liong tersenyum. Kalah atau menang sama enaknya baginya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah, “Baik, silakan!” katanya, akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya. Dia pun cepat mengerahkan gin-kangnya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu rebah diatas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.   “Nah, kau kalah. Sekarang kuperintahkan tutup dan palang daun jendel, lalu ke sinilah, aku kedinginan!” Dengan patuh dan dengan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hati mereka karena mereka itu bagaikan minyak bertemu api. Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan bagaikan bunga sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah masak benar. Di lain pihak, wanita itu pun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang laki-laki yang banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya. Tidak mengherankan jika mereka segera menjadi amat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan sebagai sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum ketika mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati. Wanita itu memperkenalkan dirinya. Ia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi, pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Dia pun bercerita terus terang siapa dirinya. Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa terkejut bukan main sampai ia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. “Pen ….., Pendekar Sadis ….?” Ia berseru dalam bisikan. Siapa orangnya tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekalipun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, kalau ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali. Pendekar Sadis terkenal tak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan. Ki Liong tersenyum dan dia pun melompat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya. “Jangan takut, manis. Aku adalah muridnya, dan aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?” Bi Hwa menghela napas panjang. “Ihh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis.” “Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid.” Ki Liong lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subonya di pulau itu. Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan diri sambil mencuri pedangmilik gurunya, akan tetapi kemudian dia mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi, suhu dan subonya tidak mau mengampuninya. “Hatiku sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai bukan main. Dan memang sebetulnya aku pun tidak ingin sekali kembali ke sana dan hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi ke sana!” “Bagus, Ki Liong. Cocok sekali dengan aku! Aku pun tidak suka terikat seperti itu. Aku ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!” Bi Hwa merangkul. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang kekasih yang sehebat ini, juga yang ia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan! “Aku pun senang sekali bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan petuualang bersama. Akan tetapi, aku mempunyai teman, bahkan ia tunanganku ….” “Hemm, gadis cantik peranakan Tibet itu?” “Kau tahu?” “Tentu saja. Sudah sejak tadi aku mengintai kalian. Aku pun merasa heran mengapa kalian tidak tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu itu menjaga kehormatannya dengan ketat, ya? Dan engkau berutunangan dengan gadis kuno seperti itu?” “Hemm, terus terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Dan ia bahkan pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta padanya, akan tetapi ia memang selalu menjauhkan diri, mengatakan bahwa ia hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan hatiku. Kalau saja ia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya hatiku.” Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa artinya cinta. Sejak kecil ia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Dan sejak ia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu menggauli murid ini sehingga mulai saat itu, Bi Hwa menjadi murid dan juga kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu. Dan sejak itu pula, Bi Hwa menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang berkenan dihatinya. Ia hanya mengenal nafsu berahi, sama sekali tidak mengenal apa artinya cinta! Oleh karena itu, mendengar seorang rekan dalam dunia sesat seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta kepada seorang gadis, ia pun tertawa. “Heh-heh-hi-hik, Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa sih sukarnya bagi orang sepandai engkau? Banyak jalan untuk dapat memaksanya menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali ia sudah menyerahkan diri kepadamu, tentu selanjutnya ia akan menjadi penurut.”   Ki Liong menggeleng kepalanya. “Engkau tidak tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, ia juga lihai, murid Kim Mo Sian-kauw, dan biarpun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin ia menyerah dengan cintanya kepadaku seperti sekarang ini. Kalau aku memaksanya, ia tentu akan membenciku dan aku tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya.” Bi Hwa mencium pipi pemuda itu. “Disini ada aku yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, kenapa engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang memuaskan?” Ki Liong mencubit dagu yang manis itu. “Engkau hebat, Bi Hwa. Akan tetapi, engkau lebih cocok menjadi kekasihku dan sekutuku, kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin ia menjadi ibu dari anak-anakku.” “Ihh! Aku tidak mau menjadi ibu!” Bi Hwa berkata genit. “Itu hanya akan merusak keindahan tubuh dan membuat aku cepat tua!” ia tertawa-tawa. “Kalau engkau benar-benar menganggap aku sebagai kekasih dan sekutu, dan selalu akan menyenangkan hatiku seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat ia menyerah kepadamu tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela, Ki Liong.” Tentu saja Ki Liong merasa girang sekali. “Kalau benar engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara sukarela, aku akan semakin sayang kepadamu, Bi Hwa. Akan tetapi, bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang keras sekali dan ia amat sukar ditundukkan.” “Hi-hi-hik, kau lihat saja nanti. Besok pagi, perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita pernah berkenalan …..” Mereka lalu bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai seorang sahabat! “Engkau tadi telah menceritakan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi, sekarang bersama Mayang, engkau hendak pergi kemanakah?” “Aku sendiri bingung, Bi Hwa. Tadinya, setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, Mayang mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu ibunya dan gurunya agar kami dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar itu, maka kuusulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Setelah kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebetulnya, aku tidak ingin kembali kepada guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak.” “Ke Cin-ling-pai?” Bi Hwa bergidik. Baru saja ia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai perkumpulan itu, bahkan ia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas oleh keluarga Cin-ling-pai. “Pergi ke Cin-ling-pai sama saja dengan ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justeru keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang guruku.” Ki Liong bangkit duduk dan mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya. “Terus terang saja, mereka pun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itu pun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas ditangannya kalau tidak ada Mayang yang menolongku. Aku pun tidak suka kepada mereka yang sombong.” “Kalau begitu, untuk apa pergi kesana? Lebih baik kalau kau pergi bersamaku ke kota raja. Bukankah kita akan bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan, menikmati hidup ini? Nah, aku mempunyai rencana yang kalau berhasil akan membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya.” “Aih, nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?” Kembali mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka penuhi dengan mengatur siasat kerja sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu berahi. Dan pada keesokan harinya mereka telah menjadi sekutu yang saling mencinta dan mereka telah menemukan pasangan yang amat menyenangkan. Setelah Mayang bangun dan mandi, ia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar walaupun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur. Di kedai inilah, ketika mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah melihat ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang dan ia pun berseru. “Ki Liong ……! Bukankah engkau Ki Liong ….?” Wanita itu bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai memainkan sandiwara yang sudah diaturkan semalam dengan Ki Liong. Ki Liong dan Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali melihat seorang wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah. Ki Liong bangkit berdiri dan dia pun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan berkata, “Maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?” Mayang masih duduk, dan ia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan ia merasa tidak enak hati. Akan tetapi, wanita itu tersenyum ramah dan menekat. Semerbak harum menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan ia semakin tidak senang. Ia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi sedemikian banyaknya sampai semerbak baunya.   “Ki Liong, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ketika aku berusia sepuluh tahun, bukankah aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun, dan ketika engkau menjadi ketua Kim-lian-pang, kita juga pernah bertemu.” Sepasang mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri. “Ah, engkau kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!” Bi Hwa tersenyum ramah. “Bagus, akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki Liong dan ini …. Eh, adik manis ini siapakah?” “O ya, kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami masih kanak-kanak. Sekarang ia telah menjadi wanita yang lihai sekali. Dan Bi Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku.” “Tunangan? Ah, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu tak lama lagi akan menikah.” Dengan ramah Bi Hwa memberi hormat dan dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di meja mereka dan Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini. “Bagaimana engkau dapat berada di Wang-sian ini? Dimana engkau bermalam, Bi Hwa?” “Di losmen Goat-likoan,” jawab Bi Hwa. “Ah, kami juga bermalam disana!” kata Mayang. Bi Hwa memandang heran. “Benarkah? Aih, kita selosmen akan tetapi tidak saling berjumpa!” Mereka selesai makan dan melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen di mana mereka bermalam. Dan Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Ia mendapat kenyataan bahwa Bi Hwa seorang wanita yang ramah sekali, pula luas pengetahuannya, dapat menceritakan hal-hal yang amat menarik. Juga lenyaplah semua kecurigaannya karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama. Apalagi ia mendengar Bi Hwa mengaku bahwa ia seorang janda, bahwa suaminya sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan ia sudah membalaskan kematian suaminya. “Sejak itu, aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Eh, ngomong-ngomong, kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku.” Wajah Mayang berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang. “Kalau aku sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak minta restu ibunya dan gurunya lebih dulu. Akan tetapi ia memang benar, apalagi aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga.” “Bagaimana mungkin aku dapat menikah di luar persetujuan ibu dan suboku?” kata Mayang membela diri karena ia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya tinggal sekamar. Bi Hwa tersenyum. “Kalian berdua memang benar. Akan tetapi menurut pendapatku, alasan Ki Liong paling kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap hari pun tidak ringan. Seorang suami memang harus memiliki penghasilan yang tetap dan mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.” “Bi Hwa, kau kira mudah begitu saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Disana gudangnya orang pandai. Lebih banyak orangnya daripada jabatan yang diperebutkan. Tanpa adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?” “Jangan khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi di kota raja, sahabat mendiang sauamiku dahulu. Kalau engkau memang membutuhkan pekerjaan, mari bersama dengan aku ke sana. Aku pun sedang pergi ke sana, juga untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.” “Bagus sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik.” “Tapi, bagaimana perjalanan kita menjadi tertunda-tunda?” Mayang membantah. “Pertama, kita akan pergi kebarat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin lebih dulu bertemuenci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali kita mengubah perjalanan, ke kota raja!” Mendengar ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu. “Adik Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, kita sebaiknya memilih yang paling penting lebih dahulu. Urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu dan gurumu, biarpun penting, namun dapat ditunda karena mereka itu mempunyai tempat yang tetap dan tidak akan kemana-mana. Datang hari ini atau lain bulan pun sama saja. Akan tetapi, urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada kesempatan yang amat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku disana. Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, akan amat sukar mendapatkan kedudukan yang baik.” “Benar sekali, Mayang. Pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan mengajukan lamaran atas diriku kalau belum mempunyai pekerjaan apapun? Kalau ibumu atau subomu bertanya tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab mereka?” Ki Liong membujuk pula.   Dibujuk oleh dua orang itu yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat, akhirnya Mayang terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa tergesa-gesa mendapatkan persetujuan menikah. Yang penting, Ki Liong sudah mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling mencinta. Iapun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah tangga yang akan mengikat ia di rumah sebagai ibu rumah tangga. *** Kaisar Cia Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw adalah seorang kaisar yang sebetulnya tidak dapat dibilang bijaksana. Dia bahkan lemah dan tentu akan menjadi permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekelilingnya kalau saja di dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana. Yang pertama adalah Menteri Yang Ting Hoo yang ahli siasat dan mengatur pemerintahan, sabar dan bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia adalah merupakan orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun. Menteri Cang Ku Ceng merupakan menteri yang disegani kaisar dan untung bagi negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasihat kedua orang menteri itu, terutama Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun itu masih nampak kokoh kuat. Tinggi besar dan brewok, dengan tubuh tegap, namun sikapnya halus dan dia cerdik bukan main. Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri Cang Ku Ceng. Namun, Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia menganggap bahwa semua hasi jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghembakan diri demi rakyat, demi negara, demi kaisar. Kalau ada penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk menegur dan memperingatkan kaisar. Hal ini pun dia anggap sebagai tugas seorang pejabat. Bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja tugas seorang pejabat, melainkan juga menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan adil. Cang Taijin (Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya mempunyai seorang putera yang bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Cang Hui. Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Sedangkan adik tirinya, Cang Hui, berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka. Pada waktu itu, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, Cang Sun belum menikah. Menteri Cang dan isterinya sudah seringkali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak. Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu Menteri Cang mengamankan negara, akan tetapi pendekar wanita yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena ia sendiri sudah jatuh cinta kepada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang. Dan sejak kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis mana pun pilihan orang tuanya. Padahal, banyak dara yang pandai dan cantik, lebih cantik dari Cia Kui Hong, yang dicalonkan menjadi isterinya, namun Cang Sun selalu menolak. Hal ini membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenungg dan berduka. Pembesar ini terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini, yaitu pernikahan, amat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi kebebasan memilih kepada puteranya. Akan tetapi, usia puteranya sudah tiga puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di dalam pergaulannya, Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, tidak pernah mengunjungi rumah pelesir. Cang Taijin dan isterinya lalu berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang! Akhirnya mereka menemukan pilihan mereka. Dara itu berusia delapan belas tahun dan bukan orang luar. Namanya Teng Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai dan cerdas. Juga ia masih saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang Hui yang menjadi selir Menteri Cang. Ayah dan gadis itu tentu saja merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun. Maka, mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta agar Teng Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu. Akan tetapi, biarpun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara misan, Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biarpun demikian, Menteri Cang tidak putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini. Bagi Cin Nio sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya, ia merasa setuju karena sejak kecil ia memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar, putera bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun, ia seorang gadis pendiam dan biarpun seringkali misannya, Cang Hui menggodanya, ia tidak pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu. Cang Hui amat mengagumi Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya membasmi para pemberontak, dan tadinya ia sudah merasa gembira mendengar bahwa ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi, ia merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja. Ia merasa penasaran dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat! Ketika ia mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana tertawa dan tidak keberatan. Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan sekali pun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, ke dua, ilmu dapat dipergunakan untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar yang gagah dan membela kebenaran. Dia bukan saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang diantara para panglimanya yang ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk menjadi guru silat bagi puterinya. Kegembiraan Cang Hui bertambah ketika adik misannya, Teng Cin Nio, yang kini tinggal dirumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian, ia mempunyai teman untuk berlatih silat. Hanya Cang Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia bahkan mengejek adiknya yang suka belajar ilmu silat. “Engkau ini anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang? Apakah engkau ingin menjadi perajurit, atau pembunuh?” “Sun-koko (kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri. Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apabila diganggu orang jahat.” “Hemm, siapa akan berani mengganggu, Adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak perajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada marabahaya datang. Juga disampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu.” Wajah dara itu berubah merah. “Ihh, Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!” Disebutnya nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya dan dia pun tidak mau menggoda adiknya lagi, apalagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dia orang gadis itu. Cang Sun meninggalkan taman dimana dia bertemu dengan adiknya tadi dengan wajah muram. Ucapan adiknya mengingatkan dia akan seorang gadis pendekar yang sesungguhnya merupakan wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya, Cia Kui Hong! Gadis yang selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang kuat sekali, juga seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila kepada Kui Hong. Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan menjadi isterinya. Betapa senangnya mempunyai seorang isteri yang selihai itu, keamanan keluarganya akan terjamin keselamatannya! Dia merasa yakin karena dia tahu bahwa dirinya dirindukan hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal. Akan tetapi, ternyata ketika dia menyatakan cintanya, gadis pendekar itu dengan terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri! Cang Sun merasa terpukul dan sampai kini dia tidak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat menggantikan Kui Hong dalam hatinya, tidak ada gadis sehebat Kui Hong! Ketika adiknya menyebut nama Kui Hong, dia merasa tertusuk hatinya, dan kenangan akan gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus menuju ke halaman depan dan keluar dari halaman ke jalan raya. Dia menyambut pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lalu melangkah keluar tanpa tujuan. Kakinya membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tidak memperdulikan orang-oranga yang bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak perduli pula akan kerling dan pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya. Pada waktu itu, Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota ke dua setelah Peking. Adapun Menteri Yang Ting Hoo yang bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng mengerti bahwa dia hanya dapat percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang menteri setia inilah. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka. Yang Ting Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri, juga pandai mengamankan para pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini, Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king dimana dia memang mempunyai sebuah gedung yang disediakan pemerintah untuknya. Di luar kota Nan-king disebelah selatan terdapat sebuah danau kecil, dan tempat ini merupakan tempat di mana Cang Sun seringkali menghibur diri. Pemuda ini suka menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil melamun di bagian danau yang sunyi. Apalagi saat itu hatinya sedang gundah, teringat akan Kui Hong, maka begitu dia mendayung perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun. Dia tidak menulis sajak, tidak pula memukul yang-kim, melainkan hanya melamun dan membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong ketika gadis pendekar itu tinggal di rumah orang tuanya di Peking, ketika Kui Hong membantu ayanya melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca Kisah Si Kumbang Merah). Cang Sun sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan ketika dia mendayung perahu kecilnya, sebuah perahu kecil lain tak lama kemudian mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun diamati pendayung perahu lain itu, yang kini hanya seorang saja, sedangkan pemilik mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau. Dia baru tahu setelah perahu kecil bercat hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut dan menegur marah. “Heiiii …….! Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau menabrak saja?” Cang Sun menggunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang terguncang oleh tabrakan itu. Orang bercaping itu mengangkat mukanya dan nampaklah kini wajah dibawah caping lebar. Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok saputangan hitam! Yang nampak hanya sepasang mata yang mencorong! “Heiii! Siapa engkau dan mau apa …..!” Belum habis ucapannya, orang berkedok itu telah meloncat dari perahunya ke atas perahu Cang Sun dan sebelum Cang Sun sempat berteriak, tangan orang itu bergerak dan Cang Sun tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi! Dia telah tertotok dan sekali lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan. Orang berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga aneh menyeramkan. “Engkau kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku, engkau kubebaskan. Kalau dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan kepadaku, aku akan menyiksamu sampai mati.” Tentu saja Cang Sun terkejut bukan main. Dia memang penakut, dalam arti kata tidak menyukai kekerasan, akan tetapi sama sekali bukan pengecut! Bagaimana ayahnya akan tahu bahwa dia diculik orang dan bagaimana pula akan dapat menebusnya? Akan tetapi karena dia tidak mampu bergerak dan bersuara, maka dia pun diam saja. Orang itu sudah mendayung perahunya, dan meninggalkan perahu orang itu yang berwarna hitam tadi. Perahu di dayung cepat ke pantai oleh orang berkedok itu. Dan di pantai itu telah menanti pemilik sepasang mata yang ke dua, yang bersembunyi di balik semak-semak. Pantai itu memang bagian yang sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia di situ. Ketika perahu sudah tiba di dekat pantai, orang berkedok itu berdiri, mencengkeram punggung baju Cang Sun dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke darat. Gerakannya demikian ringan dan tangannya bergitu kuat sehingga Cang Sun mengerti bahwa dia terjatuh ke tangan orang yang lihai sekali, yang membawanya meloncat dari perahu ke darat seperti membawa benda yang amat ringan saja! Akan tetapi begitu dia mendarat, terdengar bentakan merdu dan nyaring keluar dari balik semak-semak. “Penculik jahat, lepaskan dia!” Dan muncullah seorang wanita cantik. Begitu muncul, wanita itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya seperti terbang saja menyerang ke arah pria berkedok yang menjadi terkejut. “Ihhh ….!” Pria berkedok itu mengangkis dan terhuyung ke belakang. Wanita itu lalu menggerakkan tangannya, membebaskan totokan Cang Sun dengan beberapa kali tusukan jari tangan dan tepukan. Cang Sun mampu bergerak dan bersuara lagi. Akan tetapi dia tidak sempat bicara karena orang berkedok itu kini telah menyerang si gadis cantik dengan pukulan-pukulan dahsyat. Namun, wanita itu dengan tenang menyambut serangan itu, mengelak atau menangkis dan membalas tidak kalah cepat dan kuatnya. Cang Sun yang sudah bebas mendapat kesempatan untuk memperhatikan penolongnya. Wanita itu memang cantik sekali, cantik dan manis dengan wajah lonjong, wajahnya cerah dengan senyum selalu membayang di mulutnya, matanya jeli dan sinarnya tajam. Perkelahian itu berlangsung seru. Cang Sun diam-diam merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan kalah. Tempat itu amat sunyi sehingga dia tidak minta tolong orang lain. Akan tetapi, kekhawatirannya itu tidak perlu. Kini dia melihat betapa wanita cantik itu mendesak si penculik, Cang Sun menjadi kagum. Wanita cantik itu mengingatkan dia kepada Kui Hong! Seperti juga ketua Cin-ling-pai itu, gadis ini cantik manis dan memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Dan gadis itu kini mati-matian menolong dan membelanya dari ancaman si penculik yang jahat dan kejam. “Penjahat yang keji, buka kedokmu dan berlutut minta ampun, baru aku akan mengampunimu!” terdengar wanita gagah itu berseru. Seorang pendekar wanita, pikir Cang Sun. Seorang pendekar wanita yang berbudi. Akan tetapi penculik itu agaknya tidak mau membuka kedoknya, bahkan menyerang semakin ganas. “Bagus, engkau memang jahat dan harus dihajar!” Wanita itu berseru lagi sambil mengelak dan balas menyerang. Kembali mereka saling serang, sedemikian cepatnya sehingga sukar bagi Cang Sun untuk dapat mengikuti gerak mereka. “Plakk!” Tiba-tiba si penculik itu terhuyung ke belakang, agaknya terkena tamparan pada pundaknya. Dia mengaduh, terhuyung dan sebelum pendekar wanita itu sempat menyerang lagi, si penculik sudah meloncat jauh dan melarikan diri! “Keparat, hendak lari kemana kau?” bentak gadis itu dan hendak mengejar, akan tetapi Cang Sun cepat mencegahnya. “Lihiap, harap jangan kejar dia!” Gadis itu tidak jadi mengejarbya, membalik dan menghadapi Cang Sun. “Kenapa kongcu? Kenapa aku tidak boleh mengejarnya?” tanyanya dan ketika dia bicara, nampak kilatan giginya yang putih, menambah kecantikannya. “Dia sudah lari dan berbahaya mengejar penjahat yang melarikan diri. Pula, dia tidak menyakiti aku dan ……” Pada saat itu, muncul seorang pemuda dari lain jurusan, seorang pemuda yang tampan dan gagah. “Bi-moi (Adik Bi), apa yang terjadi?” tanya pemuda itu dan melihat kemunculannya yang tiba-tiba, Cang Sun dapat menduga bahwa pemuda ini pun seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. “Aih, Ki-koko (Kakak Ki), engkau baru tiba? Baru saja aku menolong kong-cu ini dari tangan seorang penculik jahat. Dia melarikan diri!” “Kemana dia lari?” tanya pemuda itu. Wanita itu menunjuk ke arah larinya penculik tadi dan tanpa menanti wanita itu bicara, pemuda gagah tadi sudah meloncat dan melakukan pengejaran. Cang Sun kagum dan bertanya kepada gadis itu. “Lihiap, siapakah orang gagah tadi?” “Dia adalah kakakku, Kong-cu.” “Ahhh! Sungguh mengagumkan sekali kalian kakak beradik yang gagah perkasa. Dan engkau telah menyelamatkan nyawaku, lihiap. bolehkah aku mengetahui siapakah nama lihiap dan siapa pula nama kakakmu tadi?” “Kami she Liong, Kongcu. Nama kakakku Liong Ki dan namaku sendiri Liong Bi. Kami datang dari selatan dan baru beberapa hari berada di Nan-king. Hari ini kami berpesiar di danau ini dan tadi kami berpisah karena kakakku hendak membeli minuman, dan aku kebetulan melihat Kongcu diculik orang jahat berkedok tadi. Siapakah Kongcu dan mengapa pula Kongcu di culik penjahat tadi?” “Liong-lihiap (Pendekar Wanita Liong), terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku,” kata Cang Sun sambil memberi hormat yang cepat dijawab oleh Liong Bi. “Namaku Cang Sun dan penculik tadi menculikku untuk minta uang tebusan, begitu menurut ancamannya tadi. Kalau dalam waktu duapuluh empat jam ayahku tidak memberi uang tebusan seribu tail, dia akan mnyiksa dan membunuhku.” “Cang Kongcu, she (nama keturunan) Kongcu mengingatkan aku akan seorang pembesar yang amat terkenal, yaitu Menteri Cang Ku Ceng. Apakah barangkali Kongcu masih ada hubungan keluarga dengan Cang Taijin …..” “Aku puteranya.” “Aihhh …..!” Gadis itu cepat-cepat memberi hormat yang dibalas oleh Cang Sun. “Maafkan aku, Kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, maka aku bersikap kurang hormat kepada putera Menteri Cang yang terkenal di seluruh penjuru. Beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Kongcu!” “Hemm, lihiap terlalu merendahkan diri. Ayahku memang seorang menteri yang terkenal, akan tetapi aku ini hanya anaknya yang tidak memiliki kemampuan apapun.” “Sekarang aku tidak merasa heran mengapa ada penjahat yang hendak menculikmu, Kongcu. Selain untuk mencari uang tebusan, tentu penjahat itu pernah sakit hati terhadap ayahmu yang terkenal keras terhadap para penjahat. Akan tetapi yang membuat aku merasa heran, mengapa Kongcu bepergian seorang diri tanpa pengawal? Itu dapat berbahaya sekali!” “Hemmm, apa sih bahayanya? Aku orang biasa, dan selama ini belum pernah aku mengalami gangguan, baru tadi. Mungkin penjahat itu agak miring otaknya……” “Aih, jangan berkata demikian, Cang-kongcu! Andaikata Kongcu sendiri tidak atau belum memiliki kedudukan tinggi dan nama yang terkenal, Kongcu tidak boleh lupa bahwa Kongcu putera seorang menteri yang amat terkenal! Karena itu, seyogyanya Kongcu menjaga diri dengan pengawalan, karena kalau terjadi sesuatu terhadap diri Kongcu, tentu ayah Kongcu juga ikut merasa berduka dan menyesal.” Pada saat itu, pemuda tampan gagah tadi datang berlari seperti terbang cepatnya dan gadis cantik itu menyongsongnya. “Bagaimana, Koko, berhasilkah engkau mengejar penjahat tadi?” Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Aku tidak menemukan lagi bayangannya, dan tidak ada orang lain yang melihat orang berlari kesana.” Pemuda itu memandang kepada Cang Sun. “Bagaimana pun juga, masih untung bahwa penjahat itu tidak melukai saudara ini ….” “Koko, kongcu ini adalah Kongcu Cang Sun, putera dari Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal itu.” Pemuda tampan itu nampak terkejut, dan cepat dia memberi hormat kepada Cang Sun. “Maaf, karena tidak tahu maka aku bersikap kurang hormat, Cang-kongcu.” Cang Sun memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengan gadis itu, wajahnya tampan tubuhnya sedang namun tegap, dan sikapnya sopan, bicaranya lembut dan halus pula, tanda bahwa pendekar ini selian lihai ilmu silatnya, juga mengenal tata-susila. “Liong-taihiap …. (pendekar besar Liong).” Pemuda yang tadi di perkenalkan oleh gadis itu bernama Liong Ki cepat memberi hormat. “Jangan sebut aku taihiap, Kongcu. Namaku Liong Ki, sebut saja namaku.” Cang Sun semakin kagum dan senang. “Baiklah, saudara Liong Ki, dan engkau nona Liong Bi. Aku sungguh berterima kasih sekali dan merasa berhutang budi kepada kalian. Entah bagaimana aku dapat membalas budi kebaikan kalian. Kalau kalian tidak berkeberatan, aku mengundang kalian untuk datang ke rumah, agar aku dapat mengajak kalian makan minum dan kuceritakan peristiwa tadi kepada ayahku.” Liong Ki dan Liong Bi saling pandang, dan Liong Ki yang berkata, “Sesungguhnya kami sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, Cang Kongcu. Menolong sesama hidup yang sedang berada dalam kesukaran merupakan kewajiban kami. Akan tetapi, kami tidak berani menolak undangan Kongcu dan kami merasa gembira dan terhormat sekali.”   “Juga kami harus mengawal Kongcu sampai kerumah, karena siapa tahu penjahat tadi masih penasaran dan akan muncul lagi mengganggu Kongcu,” kata Liong Bi. Mereka lalu kembali ke Nan-king dan diam-diam Cang Sun merasa senang sekali. Bairpun baru saja dia terbebas dari ancaman maut, kini bersama kakak beradik yang lihai itu, dia merasa aman dan terjamin keselamatannya! Setibanya dirumah, Cang Sun lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan hidangan yang serba mahal dan lezat untuk menjamu kakak-beradik itu. Ayahnya masih belum pulang, maka dia mengajak dua orang penolongnya untuk makan minum. Dua orang muda itu pun tidak sungkan-sungkan lagi sehingga hubungan mereka menjadi akrab. Apalagi ketika Cang Sun mendapat kenyataan betapa Liong Ki memang memiliki pandangan luas, bahkan tidak asing pula dengan sastra. Mereka makan minum dengan asyik sekali. “Sekali lagi kuulangi bahwa aku berterima kasih kepada kalian. Kalau saja aku dapat membantu kalian untuk sekedar membalas kebaikan itu, aku akan merasa gembira sekali.” Liong Ki tersenyum. “Kongcu, sudah kami katakan tadi bahwa kami tidak mengharapkan balasan karena perbuatan kami itu sudah menjadi kewajiban bagi para pendekar.” “Tapi, Koko, siapa tahu Cang Kongcu dapat membantu kita? Bukankah kita jauh-jauh datang ke Nan-king untuk mencari pekerjaan?” kata Liong Bi. “ahh, Bi-moi, kita tidak boleh merepotkan Cang-kongcu!” tegur kakaknya. Wajah Cang Sun berseri. “Ah, kalian membutuhkan pekerjaan? Ceritakan, pekerjaan apa yang kalian butuhkan, tentu aku akan membantu kalian!” Liong Ki menghela napas panjang. “Sesungguhnya kami tidak ingin merepotkan Kongcu, akan tetapi karena adikku sudah lancang bicara, biar kami ceritakan kepada Kongcu keadaan kami. Kami kakak-beradik tinggal diselatan, di lembah Sungai Yang-cee yang berada diperbatasan Propinsi Secuan dan Hupek. Dusun kami ditepi sungai mengalami kebanjiran hebat sehingga ludeslah seluruh milik kami. Kami sudah yatim piatu, maka kami mengambil keputusan untuk mengembara. Bersama tunangan saya yang bernama Mayang, kami bertiga lalu melakukan perjalanan ke Nan-king untuk mencari pekerjaan.” “Hemm, dimana tunanganmu itu, saudara Ki Liong? Kenapa tidak ikut dengan kalian ke sini?” “Ia tinggal di rumah penginapan karena merasa kurang enak badan tadi,” jawab Liong Bi. “Ah, begitukah? Nah, sekarang katakan, pekerjaan macam apa yang kalian perlukan. Mungkin aku dapat membantu kalian.” “Kongcu, kami tidak memiliki kepandaian lain kecuali ilmu silat. Juga tunanganku seorang ahli ilmu silat. Maka, tidak ada lain pekerjaan yang lebih cocok bagi kami bertiga kecuali menjadi pengawal. Akan tetapi kami tidak ingin menjadi perajurit. Kami ingin menjadi pengawal hartawan yang dermawan, atau pejabat yang bijaksana, keluarga orang berpangkat yang berbudi luhur dan ….” “Aih, kalau begitu, kalian bertiga bekerja disini saja, membantu keluarha kami!” Cang Sun berseru girang. “Saudara Liong Ki dapat menjadi pengwal kami, mengawal ayah sebagai pengawal pribadi, atau menemani aku sebagai kawan dan merangkap pengawal. Sedangkan nona Liong Bi dan tunanganmu itu dapat menjadi pengawal kelaurga ayah, menemani ibu kalau bepergian sambil menjaga keselamatannya ….” “Aduh, terima kasih sekali, Kongcu!” Liong Bi berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegirangan, senyumnya manis bukan main. “Ah, jangan tergesa-gesa, Bi-moi. Setidaknya, Cang-kongcu harus memberitahukan orang tuanya untuk mendapat ijin mereka,” kata Liong Ki. Pada saat itu, seorang pelayan masuk memberi laporan kepada Cang Sun yang sudah memesannya tadi, bahwa ayahnya baru saja pulang dan berada di ruangan dalam bersama ibunya. “Laporkan bahwa aku akan menghadap ayah dan ibu bersama dua orang tamu yang penting, yaitu dua orang sahabatku!” kata pemuda bangsawan itu. Pelayan segera pergi melaksanakan perintahnya dan tak lama kemudian datang lagi memberi laporan bahwa Menteri Cang Ku Ceng dan isterinya telah siap menerima Cang Sun dan dua orang sahabatnya. Biarpun Liong Ki dan Liong Bi merupakan dua orang yang berkepandaian tinggi, namun sekali ini mereka merasa tegang dan jantung mereka berdebar keras ketika mereka mengikuti Cang Sun untuk menghadap Cang-taijin. Nama besar Menteri Cang itu mempunyai wibawa yang amat kuat! Akan tetapi ketika dua orang kakak-beradik itu berhadapan dengan Menteri Cang, mereka merasa kagum dan hati mereka terasa tenang. Pembesar yang amat terkenal itu memang kelihatan amat menyeramkan, tinggi besar dan brewok, dan masih nampak kuat dan gagah walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Akan tetapi sinar matanya yang mencorong itu dapat menjadi lembut dan suaranya halus ramah ketika dia bicara. “Ayah dan Ibu, dua orang kakak-beradik Liong Ki dan Liong Bi ini saya ajak menghadap Ayah dan Ibu karena kalau tidak ada pertolongan mereka berdua ini, mungkin sekali saya telah dibunuh orang.” Tentu saja ucapan ini mengejutkan ayah bundanya. Cang sun segera menceritakan pengalamannya ketika dia berperahu seorang diri di danau. Mendengar semua ini, Menteri Cang Ku Ceng mengerutkan alisnya yang tebal, dan sepasang matanya mengamati kedua orang kakak-beradik itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat Liong Ki dan Liong Bi merasa tidak enak duduk. Sinar mata itu seolah-olah menembusi dada mereka dan menjenguk isi hati! Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan muncullah dua orang gadis yang cantik jelita ke dalam ruangan itu. Mereka itu adalah Cang Hui dan adik misannya, Teng Cin Nio. Kalau Cang Hui masuk dengan sikap bebas, sebaliknya Cin Nio nampak ragu dan sungkan. Bahkan setelah masuk, Cin Nio memandang ke arah paman bibinya, lalu berkata lirih, “Nah, Enci Hua, apa kataku tadi, kita mengganggu paman dan bibi yang sedang menerima tamu!” Ia lalu memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, dengan sikap hormat berkata, “Mohon maaf kepada Paman dan Bibi kalau saya mengganggu.”   “Tidak mengapa, Hui-ji (anak Hui) dan Cin Nio, kalian duduklah. Kami sedang mendengarkan cerita kakak kalian yang mengejutkan. Dia baru saja diculik pembunuh dan diselamatkan oleh sepasang kakak-beradik ini!” kata Menteri Cang. Teng Cin Nio segera duduk di belakang bibinya, sedangkan Cang Hui yang mendengar ucapan itu lalu mendekati kakaknya. “Sun-kok, benarkah itu? Engkau telah diculik pembunuh! Dan mereka ini ….. telah menyelamatkanmu? Apakah mereka ini orang-orang yang pandai silat?” Gadis yang keranjingan silat ini tentu saja tertarik dan sinar matanya yang tajam mengamati dua orang kakak-beradik itu dengan penuh selidik. “Pandai silat?” kata Cang Sun. “Hemm, adikku yang manis. Mereka berdua ini adalah pendekar-pendekar yang amat lihai, kurasa jauh lebih lihai dibandingkan gurumu itu.” Sebelum Cang Hui membantah dan dua orang kakak beradik itu berbantahan seperti biasa, Cang Taijin menengahi, “Sudahlah, Sun-ji (anak Sun). Kakak-beradik Liong ini sudah berjasa, engkau harus memberi hadiah kepada mereka.” “Itulah masalahnya, Ayah. Mereka ini sama sekali tidak mengharapkan imbalan jasa. Mereka hanya membutuhkan pekerjaan! Saudara Liong Ki ini bahkan mempunyai seorang tunangan yang tidak ikut ke sini, dan mereka bertiga ini mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian mereka. Saya sudah menjanjikan kepada mereka untuk menerima mereka sebagai pengawal-pengawal pribadi, Ayah. Saudara Liong Ki ini dapat menjadi pengawal pribadi Ayah dan saya, sedangkan nona Liong Bi dan tunangan saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal keluarga kita. Dengan demikian, keamanan keluarga bisa terjamin.” “Tapi keluarga kita sudah mempunyai pasukan pengawal!” bantah Cang Hui. “Dan aku sendiri bersama Cin-moi sedang memperdalam ilmu silat. Kami dapat menjaga keamanan keluarga kita.” “Pasukan pengawal itu terlalu kaku. Sebaiknya kalau mereka ini menjadi pengawal pribadi, tidak kentara, seperti anggauta keluarga saja,” bantah Cang Sun. “Dan ingat, mereka telah menyelamatkan aku sehingga kalau kita menerima mereka menjadi pengawal pribadi, ada balas budi yang menguntungkan kedua pihak.” “Tadpi, kita sama sekali tidak mengenal mereka. Kita harus yakin benar bahwa mereka dapat diandalkan. Sebaiknya kalau kita uji dulu sampai di mana kemampuan mereka, apakah pantas untuk menjamin keamanan keluarga kita,” bantah Cang Hui yang memang lincah dan pandai bicara. Liong Ki sejak tadi mengamati Cang Hui dan Teng Cin Nio, dan diam-diam dia kagum terhadap Cang Hui. Dia lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Menteri Cang. “Kami kakak-beradik mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan kami hanya mendatangkan gangguan belaka. Atas pertanyaan Cang-kongcu, kami berterus terang bahwa kami sedang mencari pekerjaan di Nan-king, yang sesuai dengan kemampuan kami. Cang-kongcu yang menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadi di sini. Kalau sekiranya keluarga Cang yang terhormat ini keberatan, tentu saja kami tidak berani memaksakan diri. Kami amat berterima kasih atas segala perhatian Cang-kongcu.” “Tidak, saudara Liong Ki. Jangan dengarkan kata-kata adikku ini! Ia memang cerewet. Keputusannya ada pada ayah. Bagaimana, Ayah? Dapatkah ayah menerima mereka bekerja sebagai pengawal keluarga disini?” Cang Ku Ceng adalah seorang yang cerdik dan berhati-hati, namun diapun seorang yang berwatak gagah. Kalau puteranya sudah menjanjikan kepada mereka, tentu saja amat tidak baik kalau dia menolaknya. Akan tetapi menerimanya begitu saja, juga merupakan perbuatan yang gegabah, karena dia belum mengenal siapa mereka. “Engkau dan adikmu memang benar. Sebagai seorang yang menerima budi pertolongan, sudah sepantasnya kalau engkau membalas budi pertolongan mereka. Akan tetapi, adikmu benar pula. Kalau mereka itu hendak bekerja sebagai pengawal keluarga, kita harus benar-benar yakin akan kemampuan mereka.” “Tentu saja, Ayah. Aku merasa yakin bahwa kepandaian kedua kakak-beradik ini lebih lihai daripada semua jagoan yang ada disini, lebih liahi daripada guru silat Coa yang tua itu! Kalau mereka ini menjadi pengawal keluarga, nona Liong Bi ini akan dapat menggantikannya dan menjadi guru silat Hui-moi.” “Baiklah, kita uji dulu kepandaian mereka. Akan tetapi aku ingin bertanya dulu, apakah kalian berdua kakak-beradik Liong suka menerima kalau kami beri pekerjaan sebagai pengawal keluarga kami?” tanya Cang Taijin. “Bertiga dengan tunangan saudara Liong Ki, Ayah.” Cang Hui mengingatkan. “O ya, tiga orang, dan semua akan diuji kepandaiannya. Bagaimana jawaban kalian? Suka menjadi pengawal keluarga kami melalui ujian kepandaian dulu?” Liong Bi memandang kepada kakaknya dan Liong Ki menjawab dengan sikap gagah. “Tentu saja kami menerima dengan perasaan bersukur dan bangga kalau Taijin sudi menerima kami sebagai pengawal kelurga, dan tentang ujian, hal itu memang sudah sepatutnya dan semestinya. Kami berdua, dan tunangan saya nanti, siap untuk menghadapi ujian.” “Ayah, biar kami dan suhu yang melakukan ujian!” kata Cang Hui galak, masih penasaran dan sama sekali tidak percaya bahwa dua orang muda yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya itu akan mampu mengalahkan gurunya. Cang Taijin tersenyum. Dia sendiri, bairpun bukan ahlisilat yang pandai, namun sudah banyak bertemu dengan para pendekar dan dia dapat menilai tingkat kepandaian seseorang dari gerakannya dan tenaga yang terkandung dalam gerakan itu. “Baik, kau undang gurumu ke sini!” Cang Hui memperlihatkan kegesitannya. Dahulu sebelum belajar ilmu silat, ia adalah seorang gadis yang gerak-geriknya lemah lembut walaupun sejak kecil ia memang mempunyai perbawaan lincah jenaka. Kini, ia meninggalkan ruangan itu sambil berlari dan gerakannya nampak gesit sekali. Melihat ini, diam-diam Liong Ki dan Liong Bi menahan senyum mereka. Gadis bangsawan yang baru satu atau dua tahun belajar slilat itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka. Ketika Coa-ciangkun (Perwira Coa) yang usianya sudah enampuluh tahun itu muncul, Cang Taijin lalu memberitahukan bahwa dia menerima tiga orang myda untuk bekerja sebagai pengawal keluarga, dan untuk itu dia minta kepada Coa-ciangkun untuk menguji ilmu kepandaian silat mereka. Perwira yang bertugas sebagai sebagai guru silat dari puteri dan keponakan Cang Taijin itu menyanggupi dan mereka lalu pergi ke lian-bu-thia (ruang latihan silat) yang berada di sebelah belakang. Ruangan ini memang sengaja dibuay untuk keperluan Cang Hui berlatih silat, sebuah ruangan yang kosong dan cukup luas. Bukan saja Cang Taijin yang ikut menonton, bahkan isterinya yang ingin sekali melihat kepandaian orang-orang yang akan menjadi pengawal keluarganya ikut pula menonton. Suami isteri bangsawan ini duduk di sudut, dan Cang Sun juga duduk di situ bersama Cang Hui dan Teng Cin Nio. “Ayah, biarlah aku dan Cin Nio yang menguji wanita itu, dan nanti suhu tang menguji kakaknya. Aku ingin sekali tahu dan yakin bahwa orang yang dicalonkan sebagai guruku benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari suhu!” Menteri Cang mengangguk, dan mendengar ini Coa-ciangkun juga mundur. Demikian pula Liong Ki meninggalkan adiknya yang akan diuji oleh puteri Menteri Cang sendiri. Teng Cin Nio yang diam-diam telah jatuh cinta hati kepada Cang Sun, pemuda yang dicalonkan menjadi suaminya, bagaimanapun juga ingin memamerkan kepandaiannya di depan pria yang dikasihinya. Maka ia pun bangkit dan memberi hormat kepada paman dan bibinya. “Saya mohon Paman dan Bibi untuk menandingi wanita ini.” “Eh, nanti dulu, Cin-moi. Biar aku yang maju lebih dulu melawannya, baru nanti engkau yang maju kalau aku sudah mengukur kepandaiannya,” kata Cang Hui yang juga bangkit berdiri. Melihat dua orang gadis cantik itu berebut, Liong Bi tersenyum ramah. “Ji-wi siocia (nona berdua) harap jangan sungkan. Silakan maju bersama agar ji-wi dapat berlatih dan sekalian menguji apakah aku pantas menjadi guru ji-wi atau tidak.” Ucapannya lembut dan ramah sehingga tidak terdengar seperti tantangan, dan sikapnya bahkan membimbing. “Baik, kami akan maju bersama!” kata Cang Hui. “Mari, Cin-moi!” Keduanya menghampiri Liong Bi dan wanita ini kembali tersenyum dan ebrkata halus. “Ji-wi siocia, karena ini hanya merupakan ujian, maka sebaiknya kalau sebelumnya diadakan aturan tertentu. Aturan ini hanya untuk aku, bukan untuk ji-wi. Ji-wi (kalian berdua) boleh menyerangku sesuka hati, dengan tangan kosong boleh dengan senjata apa pun boleh. Dan aku tidak akan balas memukul, aku akan berusaha untuk mengambil perhiasan rambut ji-wi tanpa melukai ji-wi, kemudian aku akan mengembalikannya lagi dan ji-wi boleh mengelak atau menghalangi. Bagaimana pendapat ji-wi denag aturan itu?” Dua orang gadis itu saling pandang, bahkan Cang Sun dan ayah ibunya tertegun. Demikian lihaikan Liong Bi, atau amat sombong? “Wah, kalau begitu kalian tidak boleh menggunakan senjata!” seru Cang Sun kepada kedua orang gadis itu. “Tidak, kata Menteri Cang. “Gadis itu diuji untuk menjadi pengawal, dan dalam pekerjaannya ia mungkin harus berhadapan dengan penjahat atau pembunuh! Sebaiknya kalau kalian menggunakan senjata yang biasa kalian latih.” Mendengar ini, Cang Hui dan Cin Nio lalu menghampiri rak senjata dari mana mereka mengabil sepasang pedang yang biasa menjadi senjata mereka ketika latihan. Coa-ciangkun sendiri hanya berdiri menonton. Dia tahu bahwa dua ornag gadis yang menjadi muridnya itu masih mentah dalam ilmu silat mereka, akan tetapi kalau mereka maju bersama dengan siang-kiam (sepasang pedang), apalagi kalau lawan tidak boleh membalas, mereka akan cukup membahayakan lawan. Untuk dapat menang seperti yang dijanjikan tadi, wanita cantik itu harus mempunyai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat! Kini Cang Hui dan Cin Nio sudah berdiri di depan Liong Bi, dengan kedua pedang bersilang di depan dada, suatu pasangan kuda-kuda yang mereka peljari dari guru mereka. Coa-ciangkun adalah murid Kun-lun-pai, maka ilmu pedang pasangan yang dikuasai dua orang gadis itu adalah ilmu pedang Kun-lun-pai. Liong Bi yang mengenal banyak macam ilmu pedang, sekali lihat saja tahu bahwa dua orang gadis itu menguasai ilmu pedang Kun-lin. “Nah, ji-wi siocia boleh memulai. Seranglah aku dan jangan sungkan lagi!” tantangnya dengan suara lembut dan ramah, tidak mengandung kesombongan. “Lihat pedang!” “Jaga seranganku!” Dua orang gadis itu lalu menggerakkan pedang mereka, Cang Hui menyerang dengan tusukan ke arah perut sedangkan pedang kiri Cin Nio menyambar ke arah leher. Serangan ini dilanjutkan dengan pedang ke dua. Namun, gerakan Liong Bi amat lincahnya. Dengan tenang dan mudah saja ia mengelak dengan langkah ke belakang, bahkan ketika pedang ke dua menyambar ke arah kaki dan kepala, ia pun dapat menghindarkan diri dengan tenang saja. Memang, bagi wanita yang sudah menguasai ilmu silat tinggi dan amat mahir ini, gerakan kedua orang gadis bangsawan itu terlampau lamban.   Pada saat itu, Coa-ciangkun yang menjadi penonton, mengerutkan alisnya. Tadi dia menganggap wanita cantik itu terlalu sombong, menyuruh dua orang muridnya mengeroyok dengan senjata sedangkan wanita itu bertangan kosong bahkan mengajukan peraturan yang amat merugikan dirinya sendiri. Menghadapi dua orang lawan yang berpedang tanpa membalas, bahkan harus mengambil hiasan rambut tanpa melukai, lalu mengembalikannya lagi! Hal ini bukan main-mian. Akan tetapi, ketika dia melihat gerakan wanita itu menghindarkan diri, diam-diam dia terkejut karena dia segera mengenal gerakan seorang ahli silat yang sudah matang! Buktinya, gerakan Liong Bi itu bukan hanya mengelak menjauhkan diri saja, asal tidak terkena serangan lawan saja. Liong Bi bahkan berani mengelak dengan gerakan mendekat, dengan perhitungan matang bahwa biarpun dekat, kedudukannya itu menyulitkan lawan untuk menyerang. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun selalu ujung pedang kedua orang gadis itu tak pernah mampu menyentuhnya, bahkan beberapa kali dua orang gadis itu berbenturan pedang satu sama lain! Setelah membiarkan dua orang gadis itu menyerangnya dania hanya mengelak ke sana-sini sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba wanita cantik itu mengeluarkan bentakan halus namun nyaring. “Ji-wi siocia, awas terhadap seranganku! Lindungi hiasan rambut kalian!” Mendengar peringatan ini, Cang Hui dan Cin Nio cepat memutar sepasang pedang mereka, membentuk perisai untuk melindungi kepala mereka agar hiasan rambut mereka tidak sampai terampas. Namun, tiba-tiba mereka terkejut bukan main dan menjadi bingung. Bahkan semua penonton termasuk Coa-ciangkun terkejut melihat betapa tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap bentuknya dan yang nampak hanyalah bayangan berkelebat cepat sekali, membuat dua orang gadis itu merasa seolah-olah mereka menghadapi lawan yang banyak sekali dan menyerang dari segala jurusan! Mereka berusaha untuk melindungi kepala dengan sepasang pedang mereka. Tiba-tiba saja dua orang gadis itu merasa betapa kedua lengan mereka lumpuh kehilangan tenaga dan pedang mereka seperti terbang meninggalkan tangan mereka, kemudian mereka betapa hiasan rambut mereka direnggut orang. Ketika mereka memutar tubuh memandang, ternyata wanita itu telah memegang empat batang pedang di satu tangan dan dua buah hiasan rambut du tangan yang lain! “Maafkan, ji-wi sio-cia, ini pedang ji-wi saya kembalikan!” katanya sambil mengulurkan tangan yang memegang empat batang pendang, digenggam begitusaja pada ujung nya yang tajam! Hanya Coa-ciangkun dan Cang Taijin yang melihat betapa wanita cantik itu tadi menggunakan ilmu menotok yang luar biasa membuat kedua lengan dua orang gadis itu kehilangan tenaga, merampas empat batang pedang dengan mudah kemudian dengan gerakan secepat kilat, tangan kanan merenggut hiasan rambut dari kepala mereka! Cang Hui adalah seorang gadis yang keras hati dan pemberani. Kalau Cin Nio sudah menjadi gentar dan tunduk, ia masih merasa penasaran. “Kami tidak membutuhkan pedang yang sudah terampas! Kau kembalikan hiasan rambut di kepala kami, dan kami akan mencegah dengan kedua tangan kami saja!” Gadis ini berani dan juga cerdik. Tadi ia sudah mendapat kenyataan betapa dengan sepasang pedang, ia dan Cin Nio sama sekali tidak berdaya, bahkan pedang itu menjadi penghalang melindungi kepala. Maka, ia memilih tanpa senjata saja agar kedua tangannya mampu melindungi kepala dan mencegah wanita cantik itu mengembalikan hiasan rambutnya. Ia memasang kuda-kuda dengan mengambil tempat di belakang Cin Nio, beradu punggung sehingga mereka dapat saling melindungi bagian belakang, dan kedua tangan mereka dapat dipergunakan untuk melindungi bagian depan. Wanita ini tentu akan sukar sekali untuk dapat mengembalikan hiasan rambut ke kepala mereka! Liong Bi mengangguk dan tersenyum. “Bagus! Siocia memang cerdik sekali. Biar saya kembalikan dulu dua pasang pedang ini!” Dan wanita itu memandang ke arah rak senjata di sudut jauh, sekali ia menggerakkan tangan kiri yang menggenggam empat batang pedang pada ujungnya, empat batang pedang itu meluncur ke arah rak itu, bagaikan empat ekoar burung yang terbang berlomba. Dan semua orang, termasuk Coa-ciangkun, terbelalak heran dan kagum ketika melihat betapa dua pasang pedang itu dengan tepat memasuki lubang di rak senjata itu seperti dimasukkan dengan tangan saja! Cang Taijin mengangguk-angguk. Dari gerakan ini saja dia tahu bahwa wanita itu memang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, mengingatkan dia akan kelihaian Cia Kui Hong! “Hu-ji, lanjutkan ujian itu!” teriaknya kepada puterinya dan nada suaranya gembira. Walaupun kini Cang Huy juga gentar melihat betapa wanita cantik itu dapat mengembalikan empat batang pedang seperti itu, namun ia masih penasaran dan mendengar teriakan ayahnya, ia lalu memberi isyarat kepada Cin Nio dan keduanya menyerang Liong Bi sambil mengeluarkan smua jurus piliahan dengan pengerahan seluruh tenaga mereka. Liong Bi juga seperti tadi hanya mengelak saja, bahkan menangkis pun tidak karenaia tidak ingin menyakiti dua orang gadis itu. Gerakannya memang jauh lebih lincah, bagaikan seekor burung walet saja ia menyelinap diantara empat tangan dan empat kaki yang menyambar-nyambar menyerangnya. Karena Liong Bi berloncatan ke arah belakang dua orang gadis itu, hal ini membuat Cang Huy dan Cin Nio terpaksa seringkali memutar tubuh dengan cepat. Dan gerakan ini membuat keduanya mulai berkeringat dan napas mereka memburu setelah lewat tiga puluh jurus mereka menyerang sekuat tenaga dan selalu serangan mereka mengenai tempat kosong belaka. Karena kelelahan, apalagi tadi juga sudah memainkan siang-kiam, kedua orang gadis ini menjadi lambat gerakannya. Dan akhirnya, dengan kecepatan luar biasa, ketika dua orang gadis itu menyerang, tubuh Liong Bi seperti terbang dengan loncatan ke atas, berjungkir balik di udara dan kini dengan kepala di bawah tubuhnya meluncur turun, didahului kedua tangannya dan tahu-tahu hiasan rambut itu sudah berada kembali di kepala Cang Hui dan Cin Nio, terpasang dengan rapi! Cang Taijin bertepuk tangan, isterinya tersenyum-senyum kagum, juga Cang Sun bertepuk tangan lebih keras daripada ayahnya. Coa-ciangkun mengangguk-angguk dan memandang kagum pula. Cang Hui dan Cin Nio juga menjadi kagum dan Cang Hui kehilangan perasaan penasarannnya. Ia sudah takluk dan bahkan girang mendapatkan seorang guru yang demikian pandainya. “Engkau memang hebat, enci Liong Bi!” katanya memuji. “aih, siocia terlalu memuji. Siocia juga mempunyai bakat yang baik sekali,” kata Liong Bi, bukan sekedar menyenangkan hati puteri bangsawan itu melainkan memang sebenarnya gadis itu memiliki bakat yang baik untuk belajar ilmu silat. “Sekarang harap Coa-ciangkun suka menguji saudara Liong Ki!” kata Cang Sun gembira dan Menteri Cang juga mengangguk ke arah Coa-ciangkun. Perwira itu ada;ah bawahan Menteri Cang. Andaikata tidak menjadi guru dua orang gadis itu pun dia tetap seorang perwira yang memiliki tugas lain. Baginya, menjadi guru kedua orang gadis itu atau tidak, sama saja dan tidak ada bedanya karena mengajar dua orang gadis iyu pun merupakan pelaksanaan tugas yang diperintahkan atasannya. Kini dia mendapat tugas menguji kepandaian pemuda yang katanya kakak dari wanita cantik itu. Dia dapat menduga bahwa kalau adiknya yang perempuan saja demikian lihai apalagi kakaknya. Dia bangkit, memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, kemudian melangkah ke tengah ruangan. Liong Ki juga memberi hormat kepada tuan rumah, lalu melangkah menghadapi Coa-ciangkun, memberi hormat kepada perwira itu. “Ciangkun, maafkanlah dan bermurah hatilah kepada saya yang muda.” Ucapan itu sungguh merupakan ucapan yang merendah. Mendengar ini dan melihat sikap pemuda itu, senanglah hati Coa-ciangkun. Orang muda ini tentu lihai dan sikapnya sopan dan rendah hati, sungguh akan merupakan hamba yang baik dan dapat diandalkan. Akan tetapi bagaimanapun juga dia harus yakin akan kemampuan pemuda ini yang akan dijadikan pengawal pribadi atasannya. “Orang muda yang gagah, melihat tingkat kepandaian adikmu, aku dapat mengerti bahwa engkau tentu lihai bukan mai. Harap jangan sungkan, aku hanya bertugas menguji kepandaianmu.” “Kalau begitu silakan, Ciangkun. Bagaimana Ciangkun hendak mengatur ujian ini? Bertangan kosong? Bersenjata?” Coa-ciangkun menghadap Menteri Cang dan bertanya, “Taijin, bolehkah saya mengujinya dengan cara saya untuk melihat apakah dia ini benar-benar cakap untuk menjadi pengawal pribadi Taijin?” Menteri Cang mengangguk-angguk. “Lakukanlah, Ciangkun. Engkau lebih tahu bagaimana harus menguji calon pengawal pribadi yang baik.” “Terima kasih, Taijin,” kata perwira itu yang kini menghadapi pemuda itu lagi. “Liong-sicu (orang gagah Liong), menjadi pengawal pribadi atau pengawal keluarga, harus siap menghadapi segala kemungkinan adanya bahaya yang mengancam. Mending yang mendatangkan bahaya bukan hanya seorang saja sanggupkah engkau menghadapi serbuan lima orang pengacau?” “Tentu saja, Ciangkun. Kalau saya menjadi pengawal, maka saya akan melindungi dan membela keselamatan yang saya kawal dengan taruhan nyawa saya.” “Bagus kalau begitu. Nah, katakanlah bahwa saya dan lima orang anak buah saya menyerbu rumah Cang Taijin dan engkau harus melindungi keselamatan keluarga beliau.” Perwira itu melangkah ke pintu dan memanggil lima orang pengawal yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi karena mereka itu adalah para sute (adik seperguruan) darinya. Lima orang prajurit itu masuk, memberi hormat kepada keluarga Menteri Cang, kemudian atas isyarat suheng mereka, mereka berdiri mengepung Liong Ki dalam setelam setelah lingkaran. “Liong-sicu, kami berenam adalah pengacau-pengacau yang menyerbu rumah keluarga yang kaulindungi. Kami semua bersenjata dan kami akan menyerang dengan sungguh-sungguh. Sanggup dan beranikah engkau menghadapi kami? Karena ini hanya ujian, tentu saja engkau tidak boleh melukai kami, hanya boleh merobohkan tanpa melukai. Sanggup?” “Nanti dulu!” Cang Sun berseru. “Tidak adil kalau begini. Masa seorang dikeroyok enam orang? Di sini masih ada nona Liong Bi, dan ada pula tunangan saudara Liong Ki. Mereka bertiga tentu akan bergerak melawan kalau rumah di serbu enam orang penjahat!” Akan tetapi Liong Bi sambil tersenyum ramah. “Biarkan saja, Cang-kongcu. Kurasa kakakku masih akan mampu menghadapi keroyokan enam orang penguji itu. Nanti kalau kewalaham, baru aku akan membantunya, kalau saja diperbolehkan.” Mendengar ini, Cang-taijin yang sudah merasa gembira dan kagum itu berkata, “Tentu saja boleh kalau nanti engkau akan membantu kakakmu.” Perwira Coa yang sudah mencabut pedangnya, juga lima orang sutenya yang sudah mengeluarkan senjata mereka, ada yang memegang golok ada yang membawa tombak atau pedang, berkata, “Naih, Liong-sicu, keluarkan senjatamu untuk menghadapi keroyokan kami.” Liong Ki melolos sabuknya, sebuah sabuk sutera yang berwarna biru muda, lemas dan panjangnya ada dua meter. Dia menggerakkan tangan kanan dan sabuk itu melayang ke atas, membuat lingkaran dan membelit-belit lengannya sampai tergulung semua. “Inilah senjataku, Ciangku. Cu-wi (kalian semua) mulailah!” Liong Ki memang tampan dan gagah sehingga dua orang gadis itu memandang penuh kagum. Betapa gagahnya pemuda itu, menghadapi enam orang yang bersenjata tajam hendak mengeroyoknya, bersikap demikian tenangnya, bahkan senjatanya pun sehelai sabu sutera tipis dan lemas! Semua orang memandang tegang kecuali tentu saja Liong Bi. Wanita ini yakin benar bahwa kakaknya akan mampu menandingi pengeroyokan enam orang itu. “Liong-sicu, awas, kami mulai menyerang!” kata Coa-ciangkun dan ia mendahului sutenya untuk menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cpat dan mengandung tenaga yang kuat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar terang dan ketika menyambar, mengeluarkan suara bersiutan! Gerakan pedang ini di susul oleh gerakan senjata lima orang sutenya. Karena mereka adalah prajurit-prajurit yang biasa bertempur sebagai pasukan, apalagi mereka adalah kakak-beradik seperguruan yang mengenal ilmu silat masing-masing, maka gerakan mereka itu teratur dan rapi, tidak simpang siur dan saling mendukung. Tadinya semua orang memandang tegang melihat enam buah senjata menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah tubuh pemuda itu. Akan tetapi mereka pun terbalalak kagum ketika tubuh Liong Ki lenyap dan terbungkus lingkaran gulungan biru yang dibuat oleh sabuk suteranya. Bahkan Liong Bi juga memandang kagum. Kakaknya memang hebat, lebih hebat darinya! Dan enam orang pengeroyoknya itu terkejut karena seringkali senjata mereka bertemu dengan sabuk yang sinarnya bergulung-gulung itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka tegetar hebat! Bahkan pertemuan antara senjata dengan sabuk itu menimbulkan suara berdenting seolah-olah sabuk itu berubah menjadi baja yang kaku! Itu menunjukkan bahwa pemuda itu memang memiliki tenaga sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya, dapat membuat sabuk sutera menjadi keras dan kaku. Mula-mula, Liong Ki mempergunakan kelincahan gerakannya yang didasari gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sduah mencapai tingkat tinggi. Tubuhnya berkelabatan dan menyelinap di antara gulungan sinar enam buah senjata. Hanya kadang-kadang saja pengelakannya di Bantu oleh tangkisan sabuk suteranya. Sampai belasan jurus dia menghindarkan serangan-serangan itu dengan mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatan gerakannya. Nampaknya, memang lucu dan indah. Enam orang itu bagaikan enam orang anak-anak yang berlomba menangkap seekor burung walet yang beterbangan di antara mereka. Setelah lewat belasan jurus, Liong Ki mengubah permainannya. Dia tidak lagi berloncatan mengelak, melainkan berdiri tegak dan memutar sabuknya. Sabuk itu berubah menjadi benteng sinar biru yang melindungi dirinya sehingga semua serangan yang datang dari depan, kanan kirii dan atas itu terpental kembali karena bertemu dengan benteng sinar sabuk biru! Berulang kali enam orang itu mengerahkan tenaga, menggunakan senjata mereka menyerang untuk menembus perisai atau benteng sinar biru, namun semua serangan itu gagal karena senjata mereka terpental seperti bertemu dengan kitiran baja yang amat kuat! Kalau pengeroyok berusaha untuk mengelilinginya, Liong Ki memutar tubuh dan gulungan sinar itu pun menyelimuti seluruh tubuhnya! Sampai belasan jurus Liong Ki mengandalkan senjata yang istimewa itu untuk menghalau semua serangan, sama sekali tidak mengelak lagi. “Awas, jaga senjata kalian!” Tiba-tiba Liong Ki berseru dan gerakan sabuknya berubah, kini berlenggak-lenggok seperti gerakan ular. Tiba-tiba seorang pengeroyok berteriak kaget. Pedangnya terlibat ujung sabuk dan begitu ditarik, pedang itu pun terlepas dari pegangannya! Coa-ciangkun cepat menerjang dengan pedangnya, membacok ke arah sabuk untuk merampas kembali pedang anak buahnya yang terampas. “Tranggg …..!” Hampir saja pedang itu terlepas dari tangan Coa-ciangkun ketika ujung sabuk itu membalik dan pedang rampasan itu menangkis pedang ini. Kemudian, sekali ujung pedang bergerak, pedang rampasan itu telah terbang ke arah rak senjata dan menancap di papan rak! Dan kini sabuk itu mengamuk. Bagaikan seekor ular besar atau seekor naga, sabuk itu menyambar-nyambar dengan amat cepatnya sehingga para pengeroyok yang tinggal lima orang itu terkejut dan menggerakkan senjata melindungi diri. Akan tetapi bertutur-turut empat orang anak buah Coa-ciangkun berteriak dan senjata mereka satu demi satu beterbangan karena dirampas ujung sabuk dan semua senjata itu menancap pada papan rak senjata! Tinggal Coa-ciangkun seorang! Coa-ciangkun yang merasa penasaran cepat menerjang dengan nekat. Akan tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti dan tubuhnya sudah terbelit-belit sabuk sutera sehingga kedua lengannya tak mampu digerakkan lagi, juga pedang di tangannya! Dia hanya dapat berdiri tegak dengan mata terbelalak! “Ciangkun, maafkan aku!” kata Liong Ki dan sekali menggerakkan tangan, sabuk itu pun melepaskan libatannya. Cang Sun dan semua orang bertepuk tangan memuji dan Coa-ciangkun mau tidak mau harus mengakui kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu. Dia memberi hormat kepada Menteri Cang dan berkata dengan sungguh hati. “Harap paduka ketahui bahwa kepandaian Liong-sicu ini benar-benar amat tangguh dan dapat dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi paduka.” Tentu saja Menteri Cang girang sekali, terutama Cang Sun juga merasa gembira karena dua orang penolongnya itu di terima oleh ayahnya. Bahkan Cang Hui juga merasa gembira. Ia mendekati Liong Bi dan berkata, “Enci, engkau harus mengajarkan ilmu silatmu yang lincah tadi, dan cara engkau merampas senjata dan melemparkan ke rak senjata! Aku tidak akan menyebut engkau subo (ibu guru). Engkau masih terlalu muda untuk menjadi ibu guru. Biar kusebut engkau enci (kakak) saja!” Liong Bi menjura dengan hormat. “Jangan khawatir, Siocia. Aku akan mengajarkan semua ilmu yang kuketahui kepadamu …..” “Aku juga, Enci Liong Bi ……” kata Teng Cin Nio.   Liong Bi merasa ragu karena ia belum tahu siapa gadis cantik pendiam ini. Melihat keraguan wanita itu, Cang Sun segera berkata, “Ia juga, Enci. Ia bernama Teng Cin Nio, adik misanku dan ia pun merupakan anggauta keluarga kami, bahkan calon anggauta dekat sekali.” Liong Bi mengangguk dan tersenyum. “Baiklah, akan kuajarkan kepada kalian berdua.” Liong Ki dan Liong Bi lalu berpamit untuk mengambil pakaian di rumah penginapan, juga untuk menjumpai tunangan Liong Ki yang di tinggalkan di rumah penginapan. Menteri Cang menyetujui dan mereka pun meninggalkan gedung itu dengan hati dipenuhi kegirangan karena cita-cita mereka tercapai. *** Para pembaca tentu dapat menduga siapa Liong Ki dan Liong Bi itu. Mereka adalam Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Itulah rencana siasat yang diatur oleh Su Bi Hwa pada malam hari ia berasil memikat Ki Liong sehingga pemuda itu tidur sekamar dengannya, tanpa diketahui Mayang yang tidur sendiri di kamar lain. Wanita itu memang cerdik dan berpengalaman. Ia adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang sejak kecil ditanamkan bibit kebencian terhadap pemerintah. Akan tetapi, usahanya menghancurkan Cin-ling-pai bersama para tokoh Pek-lian-kauw telah gagal, bahkan nyaris ia tewas seperti juga tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Ia berhasil lolos dan ketika ia bertemu dengan Sim Ki Liong segera ia mendapat kenyataan yang sama yang menyenangkan hatinya. Ia mendapatkan seorang kekasih yang tampan dan gagah perkasa, yang menguasai ilmu silat tinggi lebih tangguh darinya, dan ia menemukan pula dalam diri pemuda itu seorang sekutu yang amat baik dan dapat diandalkan. Maka, ia pun menyusun siasat untuk bersama pemuda itu bertualang ke kota raja dan mencari kedudukan agar setelah memperoleh kedudukan, hal itu dapat di manfaatkan demi Pek-lian-kauw! Sim Ki Liong yang sudah mabuk akan kesenangan yang diberikan wanita cantik itu, dan juga dia melihat bahwa wanita itu berpengalaman dan cerdik sekali, menurut saja dan demikianlah, di Nan-king mereka meninggalkan Mayang di rumah Mayang dan keduanya segera keluar untuk memulai dengan petualangan mereka. Agaknya memang bintang mereka sedang terang, secara kebetulan sekali hari itu Cang Sun keluar seorang diri dan pergi ke danau. Dua orang petualanag itu memang sejak tadi, sesuai dengan rencana Su Bi Hwa untuk “mendekati” keluarga Cang yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi di samping Menteri Yang Ting Hoo setelah kaisar sendiri, melakukan pengintaian terhadap rumah gedung itu. Mereka melihat Cang Sun dan Su Bi Hwa yang sudah mempunyai data lengkap tentang keluarga itu, segera mengajak Sim Ki Liong untuk membayanginya. Ketika melihat bahwa pemuda bangsawan itu berperahu seorang diri, epat Su Bi Hwa mengatur siasat. Ia menyuruh Ki Liong menyamar sebagai penculik dengan berkedok, menculik pemuda bangsawan itu dan ia sendiri muncul sebagai penolong! Dan akhirnya, mereka berdua berhasil diterima sebagai pengawal keluarga Cang! Mayang menyambut mereka dengan cemberut. “Dari mana saja kalian?” tegurnya kepada mereka. Ki Liong menjawab dengan wajah berseri. “Ah, kami beruntung sekali, Mayang! Kami telah berhasil baik sekali! Kau tentu tidak dapat menduga apa yang telah kami capai.” “Hemm,” Mayang menyambut kegembiraan itu dengan sikap dingin saja. “Kalian baru pulang dari rumah Menteri Cang Ku Ceng! Apa yang kalian lakukan di sana?” Dua orang itu terkejut dan terbelalak. “Ehh? Engkau sudah tahu? Mayang, kami …. Eh, kita bertiga diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga Cang! Bayangkan! Kita menjadi pengawal keluarga menteri yang amat terkenal itu. Kita akan berpenghasilan besar, berkedudukan tinggi terhormat, dan hidup kita terjamin!” “Benar, adik Mayang. Menteri yang berkenan menerima kita bertiga menjadi pengawal keluarga. Tunanganmu ini menjadi pengawal pribadi sang menteri dan kita berdua menjadi pengawal keluarganya. Bukankah itu bagus sekali?” Akan tetapi mayang masih mengerutkan alisnya. “Hemm, bagaimanapun bagusnya, kalian telah melakukan penipuan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan terhadap pemuda bangsawan di perahu itu? Kalian menipunya untuk mencari pahala!”. Kembali Ki Kiong dan BI Hwa saling pandang dan mereka terkejut bukan main, “ Mayabf, jadi engkau tahu semuanya?” “kau kira aku ini anak kecil yang dapat kalian bohongi begitu saja? Sejak kalian pergi hatiku sudah tidak enak. Aku pergi menyusul dan melihat kalian pergi keluar kota. Aku membayangi terus dan melihat segala yang terjadi dengan penuh keheranan dan penasaran!” “Adik Mayang , maafkan aku.Terus terang saja, pembesar yang ku kenal itu telah pindah. Kebetulan sekali kami melihat Cang-Kongcudan kami membayangi dia ke danau.” Kata Bi Hwamembela kekasihnya yang sejenak kebingungan itu. “Benar, Mayang. Meliahat dia, timbullah harapan kami.Menteri Cang merupakan pembesar yang berkedudukan tinggi . Kalau kita dapat menghambakan diri kepadanya, tentu kami mendapat kesempatan besar sekali untuk berjasa kepada negara san memperoleh kedudukan yang baik.” “Tapi, kalau hendak bekerja kepada nya, kenapa harus menggunakan tipu muslihat, pura-pura menculk puteranya kemudian di bebaskan?” Mayang membantah, masih marah. “Adik Mayang, terus terang saja, semua ini rencanaku. Saudara Sim Ki Liong ini tidak bersalah. Dan aku pun menggunakan siasat itu karena terpaksa. Kita membutuhkan pekerjaan dan kami tadi tidak mencelakai orang. Semua itu hanya sandiwara belaka. Tanpa menggunakan siasat itu, bagaimana mungkin Menerti Cang Ku Ceng menerima kami? Kami tidak mengenalnya, dan tidak ada perantara yang memperkenalkan kami. Dengan jalan itu, kami percaya dan buktinya, kami berhasil di terima menjadi pengawal-pengawal keluarga.”   “Benar, Mayang. Semua ini demi kebaikan kita, dan kebaikanmu. Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap, kedudukan yang baik, tentu aku tidak malu menghadap ibumu dan subomu.” Karena di bujuk-bujuk dua orang itu, akhirnya Mayang terpaksa menerima juga. “Baiklah, akan kulihat saja bagaimana perkembangannya di sana nanti,” katanya. Ki Liong girang bukan main. “Dan untuk membuat mereka tidak bercuriga, kami telah menggunakan nama palsu dan mengaku kakak-beradik, Mayang. Aku memakai nama Liong Ki dan ia bernama Liong Bi, adikku.” “Aku tidak mau menggunakan nama palsu seperti penjahat saja!” kata Mayang, kembali mengerutkan asisnya. Diam-diam Ki Liong memberi isyarat kepada Bi Hwa untuk meninggalkan mereka. Bi Hwa menangkap iyarat ini dan ia pun berkata sambil melangkah keluar. “Kalian bicaralah, aku akan mengemasi pakaian.” Setelah Bi Hwa pergi, Ki Liong berkata, “Mayang lupakah engkau siapa aku ini? Engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah seorang berdosa yang setelah bertemu dengan engkau, engkau berusaha untuk kembali ke jalan benar! Aku pernah menyeleweng, Mayang, dan engkau tahu benar akan hal ini. Demi cintaku kepadamu, aku harus berusaha keras untuk kembali ke jalan benar!” “Kalau hendak kembali ke jalan benar, kenapa harus menipu keluarga itu?” “Aih, Mayang, pikirkan dulu jangan berkeras. Aku melakukan sandiwara itu hanya dengan satu tujuan, agar aku diterima di sana dan mendapatkan pekerjaan. Setelah aku bekerja dengan baik, bukankah itu berarti aku telah kembali ke jalan benar? Aku terpaksa menggunakan nama palsu. Kalau aku menggunakan nama sendiri dan kemudian Menteri Cang tahu bahwa aku pernah melakukan penyelewengan, apakah dia akan mau memberi pekerjaan kepadaku? Berikaplah adil, Mayang ……, semua ini kulakukan demi engkau!” Mayang mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja. Ia mengerti kebenaran alas an pria yang dicintanya itu. Memang, kekasihnya itu pernah menyeleweng dan membantu golongan sesat, akan tetapi kini telah bertaubat, bahkan sudah membuktikan mau mengembalikan pedang ke Pulau Teratai Merah. Kalau kini kekasihnya itu terpaksa menggunakan nama palsu agar dapat memperoleh pekerjaan dan kedudukan yang baik, apa salahnya? “Baiklah, akan kulihat perkembangannya nanti,” katanya mengulang pendapatnya tadi. Ki Liong merangkul dan mencium pipinya. Sejenak Mayang terlena. Bagaimanapun juga, ia kagum dan tertarik kepada pria ini, bahkan mencintanya, maka tentu saja cumbuan ini mendatangkan kemesraan dan kebahagiaan hatinya. Akan tetapi ia teringat Bi Hwa dan dengan lembut namum pasti ia melepaskan rangkulan pemuda itu. “Mari kita berkemas! Dan di sana, biarpun engkau mengaku bahwa aku ini tunanganmu, akan tetapi engkau jangan macam-macam jangan membuat aku menjadi malu.” Dengan senyum menawan dan sikap menarik Ki Liong memberi hormat seperti menghormati seorang puteri dan berkata, “Baik, tuan puteri, hamba akan mematuhi perintah paduka!” “Cih, tak usah merayu!” Mayang berkata ketus, akan tetapi matanya tersenyum. Harus diakuinya bahwa ia memang tertarik dan mencinta pemuda ini, walaupun kadang hatinya kesal teringat akan masa lalu kekasihnya itu dan mengkhawatirkan masa depannya, kalau-kalau kekasihnya akan kambuh lagi penyakitnya, yaitu menyeleweng daripada kebenaran. Ketika Bi Hwa, Ki Liong dan Mayang tiba di rumah keluarga Menteri Cang, mereka disambut dengan gembira oleh keluarga itu. Ketika mereka melihat Mayang, mereka akan kagum akan kecantikan khas dari gadis pernikahan Tibet itu. Menteri Cang sendiri yang sudah banyak pengalaman, lalu bertanya. “Liong Ki, apakah tunanganmu ini seorang gadis Tibet?” Liong Ki atau Sim Ki Liong memberi hormat, “Ia adalah peranakan Tibet, Taijin.” Cang Hui mendekati Mayang, memandang penuh perhatian dan nampaknya tertarik. “Siapa namamu dan berapakah usiamu?” Melihat gadis bangsawan cantik itu bertanya dengan sikap terbuka dan bersahabat, Mayang menjawab dengan jujur dan juga sikapnya memang terbuka, dengan logat suara aneh namun enak di dengar, “Namaku Mayang, dan usiaku dua puluh tahun. Nona tentu yang bernama Cang Hui, puteri Cang Taijin bukan? Nona cantik sekali!” Jawaban ini seketika mendatangkan rasa suka dalam hati Cang Hui dan ia menggandeng tangan Mayang. “Aku memang Cang Hui, dan engkau pun cantik sekali, Mayang. Apakah engkau pun ahli silat seperti kakak-beradik she Liong itu?” Mayang tersenyum. “Aku tidak sepandai Liong-ko, akan tetapi aku pernah belajar ilmu silat, Nona.” Untung bagi Ki Liong bahwa dia menggunakan nama palsu Liong Ki sehingga mayang masih dapat tetap memanggilnya Liong-ko seperti biasa. Andaikata dia menggunakan nama lain, akan sukar bagi Mayang untuk mengubah panggilannya, bahkan mungkin ia tidak mau melakukannya. “Mayang, engkau jangan menyebut siocia (nona) kepadaku. Aku ingin kau menyebutku Hui saja!” kata Cang Hui yang seketika merasa amat dekat dan akrab dengan Mayang. Mayang tersenyum dan entah bagaimana, ia pun merasa suka sekali kepada gadis bangsawan yang berwatak polos ini. “Terima kasih,” katanya.   “Enci Hui, apakah tidak sebaiknya kalau Mayang disuruh memperlihatkan ilmunya pula?” kata Cin Nio. “Mayang, tadi enci Liong BI telah memperlihatkan kepandaiannya. Enci Hui dan aku mengeroyoknya. Kami berpedang dan ia bertangan kosong, dan ia dapat merampas hiasan rambut kami dan mengembalikannya taanpa melukai kami. Snaggupkah kau melakukan itu?” “Cin-moi, rasanya tidak perlu lagi. Aku percaya akan keterangan kakak-beradik Liong itu.” “Memang tidak perlu diuji lagi, aku pun sudah percaya,” kata Cang Sun yang sejak tadi kadang melirik ke arah Mayang dengan sinar mata penuh kagum. Gadis ini mempunyai sesuatu yang membuat jantungnya berdebar, akan tetapi dia cepat melawannya dengan ingatan bahwa gadis pernakan Tibet ini telah menjadi calon isteri Liong Ki! “Hemm, kalau begitu kruang adil!” Tiba-tiba Cang Taijin berkata sambil tertawa. “Kakak-beradik Liong telah memperlihatkan kemampuan mereka, dan Mayang ini juga akan bekerja disini, maka sudah selayaknya kalau iapun memperlihatkan kemampuannya. Mayang, coba engkau perlihatkan ilmu yang kau miliki agar kamisekeluarga melihatnya.” Biarpun ucapan itu ramah dan lembut, namun mengandung wibawa dan perintah. “Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun memandang ke sekeliling dengan matanya yang sipit namun bersinar tajam itu. “Siapa yang akan mengujiku?” Cang Hui yang merasa suka kepada Mayang, berkata, “Aku sudah lelah, dan aku percaya kepada Mayang. Cin-moi, apakah engkau hendak mengujinya?” Cin Nio menunduk dan mukanya kemerahan. “Mana aku berani, Hui-ci, kalau harus maju sendiri?” “Tidak perlu bertanding,” kata Menteri Cang. “Mayang, kau perlihatkan saja kemahiranmu mempergunakan senjatamu, memperlihatkan kecepatanmu dan kekuatanmu.” “Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun melolos senjatanya yang tak pernah terpisah dari badannya, yaitu sepasang cambuk yang dipakainya sebagai sabuk. Pecut atau cambuk ini berwarna hitam, kecil dan panjang. Mayang memandang ke kanan kir, melihat sebuah arca singa yang besarnya seperti seekor anjing. Melihat bentuk dan ukurannya, ia sudah dapat menaksir beratnya karena dahulu di rumah subonya terdapat pula sebuah arca besi seperti itu yang biasa ia pergunakan untuk latihan. Melihat ukurannya, arca di rumah subonya lebih berat. “Taijin beratkah arca singa itu?” tanyanya kepada Menteri Cang. Caranya bertanya kepada pejabat tinggi itu demikian sederhana, seolah dia bertanya kepada seorang kawan saja, membuat ia tertawa dan etringat akan sikap Cia Kui Hong. “Tentu saja berat. Itu terbuat dari kuningan. Sedikitnya dua orang laki-laki baru mampu menggotongnya,” katanya. “Adik Hui, aku mau main-main dengan arca itu, mudah-mudahan tenagaku kuat untuk mengangkatnya,” katanya sambil melirik ke arah gadis Cang Hui. Gadis bangsawan ini terkejut. “Ihh, jangan main-main, Mayang. Benda itu berat sekali. Kalau engkau tidak kuat, dapat menimpamu dan membuatmu terluka!” “Kita lihat sajalah!” kata Mayang dan suaranya itu diikuti suara ledakan-ledakan kecil karena ia telah memainkan cambuknya. Ia bersilat dengan pecut itu, gerakannya indah seperti orang menari, akan tetapi ujung cambuk meledak-ledak di sekeliling tubuhnya dan setiap kali meledak, nampak asap mengepul! Setelah bersilat belasan jurus, tubuhnya menari-nari dengan indahnya yang membuat Su Bi Hwa sendiri diam-diam terkejut dan kgum, tiba-tiba Mayang mengeluarkan seruan nyaring, ujung cambuknya menyerang ke arah singa kuningan. Ujung cambuk itu melibat perut singa dan sekali gadis itu membentak dengan suara melengking, singa-singaan itu pun terangkat ke atas! Mayang memutar-mutar singa-singaan itu di atas kepalanya, kemudian menurunkan kembali dengan hati-hati! Tentu saja pertunjukan ini memancing tepuk tangan gemuruh. Bahkan isteri Menteri Cang itu bertepuk tangan. Mayang bukan seorang gadis yang sombong atau suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi sekarang ia merasa seolah-olah medapatkan saingan dalam diri Su Bi Hwa. Karena ia maklum bahwa wanita itu sudah memperlihatkan kepandaiannya di depan keluarga itu seperti juga Ki Liong, maka iapun tidak ingin di anggap lemah. Setelah tepuk tangan berhenti, ia pun memberi hormat ke arah suami isteri pejabat tinggi itu dan berkata, “Taijin, saya lihat banyak lalat disini. Bolekah saya membunuh mereka?” Menteri Cang mencari dengan pandang matanya dan memang ada beberapa ekor lalat beterbangan di ruangan itu, tidak banyak, akan tetapi ada. Dan dia memandang dengan tidak percaya. Bagaimana gadis itu akan mampu membunuhi bintang kecil yang amat gesit itu dengan cambuknya? Akan tetapi dia mengangguk gembira. “Boleh, bunuhlah lalat-lalat itu!” katanya. Mayang menggerakkan pecutnya. Senjata ini meledak-ledak lagi dan menyambar-nyambar. Tampaknya hanya beberapa saja menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata orang biasa dan tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, lalu mengumpulkan dengan kakinya. Ternyata di lantai telah ada bangkai belasan ekor lalat! Melihat bangkai itu tidak hancur, dapat di mengerti betapa hebatnya permainan camuk itu, yang ujungnya mampu membunuh lalat-lalat itu dengan tepat tanpa menghancurkan tubuhnya yang kecil! Hal ini tidak mengherankan karena guru gadis ini, Kim Mo Sian-kauw, adalah seorang ahli silat yang memiliki ilmu istimewa menggunakan cambuk itu! Kembali semua orang memuji dan diam-diam Su Bi Hwa terkejut. Tak di sangkanya bahwa kekasih Ki Liong itu memiliki kepandaian sehebat itu! Ia harus berhati-hati sekali terhadap Mayang. Gadis itu tidak suka di ajak melakukan penyelewengan, berwatak terbuka, jujut dan keras. Gadis seperti itu dapat menggagalkan semua usahanya! Bagaimana juga, ia tahu bahwa Ki Liong amat mencinta gadis itu, maka untuk sementara, ia harus menggunakan siasat melakukan pendekatan secara akrab. “Mayang, engkau saja yang mengajarku ilmu silat!” Cang Hui berseru gembira sambil merangkul gadis peranakan Tibet itu. “Aku ingin bisa memainkan cambuk seperti itu!” Demikianlah, mulai hari itu, Ki Liong, Mayang dan Su Bi Hwa bekerja menjadi pengawal keluarga Cang. Tentu saja mereka hidup senang karena mereka bukan saja dianggap sebagai pekerja, akan tetapi juga seperti anggauta keluarga sendiri. Terutama Mayang dan Bi Hwa. Mereka sangat akrab dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Hanya bedanya, kalau Mayang akrab dengan mereka dengan hati tulus karena memang dua orang gadis bangsawan itu baik budi, sebaliknya Su Bi Hwa hanya pada lahirnya saja baik dan akrab. Di dalam hatinya, iblis betina ini mencari-cari kesempatan untuk mengatur rencana dengan kekasih barunya, yaitu Ki Liong! Karena maklum akan kelihaian Mayang, Bi Hwa dan Ki Liong berhati-hati sekali dan mereka selalu menjaga diri jangan sampai menimbulkan kecurigaan hati Mayang. Ketika pada suatu pagi Mayang sibuk memberi petunjuk ilmu silat kepada Cang Hui dan Teng Cin Nio di dalam taman bunga yang luas dan indah itu, Bi Hwa dan Ki Liong mengadakan pertemuan di kamar Bi Hwa, darimana mereka dapat mengintai keluar jendela dan melihat Mayang bersama dua orang gadis bangsawan itu dari jauh. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa mereka berdua berada di dalam kamar itu. Mereka segera berpelukan melepas rindu yang ditahan-tahan, akan tetapi Bi Hwa berbisik, “Ssssttt, aku ingin bertemu denganmu untuk membicarakan hal penting. Kerinduan kita dapat di tunda dulu, lain waktu masih banyak. Kita harus mengatur siasat.” Biarpun kecewa, terpaksa Ki Liong menuruti keinginan wanita itu karena karena memang mereka jarang mendapat kesempatan berada berdua saja. Mereka lalu berbisik-bisik dan Bi Hwa mengatur siasatnya. Siasat yang membuat Ki Liong sendiri tertegun karena siasat itu terlampau besar dan muluk, juga amat berani! Bi Hwa merencanakan agar mereka berdua dapat menguasai keluarga itu, dengan cara memikat anak-anak Menteri Cang. Ia sendiri akan memikat dan merayu Cang Sun, sedangkan Ki Liong dianjurkan merayu Cang Hui! “Kalau kita berdua, atau diantaranya seorang di antara kita dapat menjadi mantu Menteri Cang, tentu kedudukan kita akan menjadi semakin kuat,” katanya. “Engkau bisa mencoba untuk memikat Cang Sun dan engkau pasti berhasil. Akan tetapi aku? Bagaimana mungkin? Di sana ada Mayang ……” kata Ki Liong meragu. “Aih, lagi-lagi Mayang! Tentu saja engkau boleh mengambilnya sebagai isterimu! Kalau engkau menjadi mantu Menteri Cang, apa salahnya mempunyai beberapa orang isteri? Yang penting, memikat puteri menteri itu dahulu, soal Mayang mudah saja.” “Jangan pandang rendah Mayang! Ia pasti akan menolak, dan ia dapat menggagalkan dan merusak semuanya. Ia keras hati dan keras kepala. Kalau sampai ia marah kepada kita, lalu ia membongkar rahasia kita di depan Menteri Cang, bukankah kita akan celaka?” “Bodoh, ia tidak akan berbuat seperti itu, apalagi kalau ia sudah dijinakkan! Engkau harus dapat menjinakkannya. Engkau harus berhasil menggaulinya sehingga ia tidak berdaya lagi karena ia tentu ingin mencuci aib dengan menjadi isterimu dan ia akan mentaati semua perintahmu.” “Hemm, justeru itulah yang sulit. Ia tidak pernah mau! Ia hanya mau melayaniku kalau kalau kami sudah menikah dan ia tidak mau menikah sebelum mendapat restu dari ibunya dan subonya!” Ki Liong berkata kesal. “Itu perkara kecil. Aku akan membantumu. Tunggu saja, aku akan menguasainya dengan sihir dan malam ini aku akan menyuruh ia memasuki kamarmu dan dengan kekuatan sihir aku akan membuat ia menyerah kepadamu dengan suka rela. Sekali hal ini terjadi, andaikata ia menyadarinya pun sudah terlambat dan ia tentu akan tunduk dan taat.” Wajah Ki Liong menjadi berseri. “Engkau dapat melakukan itu?” Bi Hwa mengangguk. Ia memang tidak merahasiakan sesuatu dari kekasihnya itu setelah saling mengetahui latar belakang masing-masing dan maklum bahwa dahulu mereka segolongan! “Tidak percuma aku menjadi anggauta Pek-lian-kauw,” kata wanita itu. “Pendeknya, urusan Mayang mudah saja. Kalau aku tidak menggunakan sihir, aku masih mempunyai banyak cara untuk membuat ia lupa diri dan menyerah kepadamu. Yang penting, engkau harus merayu puteri bangsawan itu dan aku akan merayu Cang Sun yang ganteng. Untuk mereka, tidak boleh menggunakan cara yang tidak wajar. Kita harus dapat membuat mereka benar-benar jatuh cinta agar kelak tidak mendatangkan hal yang tidak menguntungkan!” Bi Hwa dengan bisik-bisik menjelaskan rencananya jangka panjang. Kalau mereka sudah dapat menguasai keluarga Cang, tentu akan mudah bagi mereka untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasan Menteri Cang untuk mempengaruhi kaisar! Dan mereka dapat mengatur siasat demi keuntungan gerakan Pek-lian-kauw. Dari situ, mereka seperti menemukan anak tangga untuk mencapai kedudukan atau keadaan yang lebih tinggi lagi. Mereka bisik-bisik mengatur sambil bermesraan melepas rindu, dan dari jendela kamar itu mereka dapat mengamati gerak-gerik Mayang agar jangan sampai gadis itu mengetahui pertemuan rahasia mereka.   Sementara itu, dengan sepenuh hati Mayang memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Cang Hui dan Cin Nio. Dua orang gadis ini merasa gembira sekali karena Mayang merupakan guru yang jauh lebih lihai dan lebih menyenangkan daripada perwira Coa yang kaku. Dengan adanya petunjuk dari Mayang, kedua orang gadis itu medapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Setelah mengajak dua orang gadis itu berlatih silat tangan kosong, mereka duduk mengaso dan bercakap. “Adik Hui, engkau ini puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi. Engkau cantik jelita, kaya raya, berkedudukan mulia, tidak kekurangan apa pun juga. Pelayan cukup banyak, pengawal pun ada. Kenapa engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat yang melelahkan? Apakah tidak sayang kalau nanti kulit tanganmu yang halus lunak itu menjadi kasar?” Mayang bertanya sambil mengagumi kecantikan puteri bangsawan itu. cang Hui tertawa. “Heh-heh, engkau ini ada saja, Mayang. Coba engkau bercermin. Engkau pandai ilmu silat, akan tetapi engkau tetap cantik jelita dan kulitmu begitu putih kemerahan dan begitu segar! Dan tentang ilmu silat, aku menyukai ilmu silat semenjak seorang pendekar wanita tinggal bersama kelurga kami dahulu. Aku amat kagum kepadanya dan aku ingin menjadi seperti ia!” “Ehh? Pendekar wanita siapakah itu?” “Enci Kui Hong. Cia Kui Hong ……” Sepasang mata yang sipit panjang dan bentuknya indah itu terbelalak. Nama itu tentu saja amat mengejutkan Mayang karena ia tidak menyangka sama sekali. “Ketua Cin-ling-pai …..?” ia menegaskan karena belum yakin bahwa gadis itu yang dimaksudkan Cang Hui. “Benar, engkau sudah mengenalnya, Mayang?” Mayang mengangguk, merasa tidak perlu menceritakan sejelasnya. “Aku pernah bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal ketua Cin-ling-pai itu?” Pada saat itu Cin Nio berpamit. Ia hendak membantu di dapur seperti biasanya dan berjanji sore nanti akan mengajak Cang Hui untuk berlatih kembali. Setelah Cin Nio pergi, Cang Hui berkata lirih. “Kasihan, Cin Nio selalu merasa tidak enak kalau mendengar disebutnya nama enci Kui Hong.” “eh,kenapakah?” Mayang tentu saja merasa heran sekali. “Mayang, setelah beberapa hari tinggal di sini, engkau kuanggap sebagai keluarga sendiri, maka biar akan kuceritakan tentang semua itu kepadamu. Ketahuilah bahwa ketika enci Kui Hong tinggal di sini, membantu ayah untuk menyelidiki kekacauan di istana, ayah mempunyai keinginan untuk menjodohkan koko Cang Sun dengan enci Kui Hong.” “Hemm, menarik sekali! Kakakmu memang seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga baik budi pekertinya.” “Ehh? Bagaimana engkau tau dia baik budi?” “Meliaht penampilannya saja sudah dapat diketahui. Dia sopan dan ramah,” kata Mayang, lalu membelokkan percakapan, “Lalu, bagaimana perjodohan itu?” Cang Hui menggeleng kepalanya. “Agaknya Sun-koko sudah menyetujui dan mencinta enci Kui Hong, akan tetapi enci Kui Hong menolak karena ia telah mempunyai pilihan hati pemuda lain.” Dikiranya aku tidak mengerti, bisik hati Mayang dengan bangga. Pemuda pilihan hati ketua Cin-ling-pai itu bukan lain adalah kakak tirinya, kakak seayah kandung, yaitu Tang Hay! “Dan sejak saat, itu koko Cang tidak pernah mau kalau hendak dijodohkan dengan gadis lain, membuat ayah dan ibu menjadi kesal. Lalu ayah dan ibu menarik adik Cin Nio ke sini, untuk diperkenalkan dengan Sun-koko dan Cin-moi dicalonkan menjadi jodoh Sun-koko.” “Baik sekali ….,” kata Mayang. “Apanya yang baik!” Cang Hui mengerutkan alisnya. “Sun-koko sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Cin-moi, kecuali sebagai anggauta keluarga biasa. Cin-moi maklum bahwa ia hendak dijodohkan dengan Sun-koko, dan ia sudah mendengar pula tentang enci Kui Hong. Dan kurasa, Cin-moi sudah terlanjur jatuh hati kepada kakakku, maka kasihan ia kalau kakakku selalu acuh terhadap dirinya.” Mayang diam saja, melamun. Betapa banyak liku-liku cinta. Ia sendir jatuh cinta kepada Sim Ki Liong, akan tetapi kadang ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang di cintanya itu, yang pernah tersesat, akan kembali ke jalan sesat! “Engkau beruntung, Mayang.” Sampai dua kali Cang Hui mengeluarkan ucapan itu, baru Mayang sadar. “Apa? Mengapa?” tanyanya, agak gagap seperti orang baru terbangun dari mimpi. “Hik-hik, kau melamun, Mayang. Kukatakan bahwa engkau beruntung, mempunyai seorang tunangan yang tampan dan gagah seperti Liong Ki. Engkau memang cocok sekali menjadi jodohnya. Sama elok wajahnya, sama gagah perkasa dan keduanya pendekar!” “Hemm, mudah-mudahan Tuhan akan memberkahi kami, adik Hui,” kata Mayang dengan pikiran melayang jauh. Kembali ia melamun. Sekali ini, ia membiarkan ingatannya melayang dan mengenangkan apa yang ia lihat dan dengar ketika malam tadi ia bercakap-cakap dengan Su Bi Hwa. Wanita itu jelas dengan jujur mengakui bahwa ia tertarik kepada Cang Sun! Su Bi Hwa di depan Mayang memuji-muji putera Menteri Cang itu, bahkan ada kata-katanya yang terngiang di telinganya, yang membuat ia mengerutkan alisnya. “Aih, kalau saja aku bisa menjadi isterinya! Betapa akan bahagia rasa hatiku! Menjadi mantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal di seluruh negeri!” Wanita cantik itu selalu nampak genit dan pesolek, bahkan ia pernah melihat Bi Hwa mencolek dan mencubit paha Ki Liong ketika mereka bicara dan mengira ia tidak melihatnya! Ia menekan perasaan cemburunya, akan tetapi menganggap bahwa main-main atau kelakar seperti itu sudah keterlaluan dan hanya dapat dilakukan oleh seorang gadis yang genit dan “ada apa-apanya”! Maka, mendengar akan pujian dan harapan Bi Hwa terhadap putera Menteri Cang, ia seperti melihat bahaya mengancam pemuda yang sopan dan ramah itu! “Engkau melamun lagi, Mayang!” tegur Cang Hui. “Ah, maaf …. Aku hendak pesan sesuatu kepadamu, adik Hui.” “Eh? Apakah itu, Mayang? Katakanlah, engkau seperti penuh rahasia!” Gadis bangsawan itu tersenyum. “Aku hanya ingin engkau memperingatkan kakakmu agar dia berhati-hati terhadap Liong Bi….? “Hemm, adik tunanganmu itu?” Ingin ia meneriakkan bahwa wanita itu bukan adik Ki Liong, akan tetapi ia tidak menjawab, hanya melanjutkan pesannya. “Ia seorang wanita kang-ouw yang berpengalaman dan ia agaknya tertarik kepada kakakmu. Mungkin ia akan berusaha memikat hati kakakmu.” Cang Hui terbelalak dan tersenyum. “Aih, Sun-koko tidak mudah tertarik oleh wanita semenjak cintanya gagal terhadap enci Kui Hong. Adik tunanganmu itu cantik dan ilmu silatnya tinggi, hanya sayang …. Bagiku ia terlalu genit. Aku pun tidak suka kalau kakakku terpikat olehnya. Maaf, Mayang, aku bicara buruk tentang tentang adik tunanganmu, calon adik iparmu. Tapi, engkau sendiri juga menyangka buruk terhadap dirinya. Baik akan kusampaikan kepada kakakku.” Biarpun hanya menyampaikan pesan seperti itu, hati Mayang merasa lega. Setidaknya, pihak keluarga Cang sudah siap dan berhati-hati, pikirnya. Malam itu, Mayang gelisah di pembaringannya. Ia semakin tidak tenang dan tidak betah tinggal di rumah keluarga Cang. Ia segera melihat keluarga itu terancam, oleh Bi Hwa dan Ki Liong! Ia khawatir Ki Liong bersama Bi Hwa akan melakukan sesuatu yang jahat! Ia bukan saja tidak ingin keluarga yang amat baik budi itu terancam bahaya, terutama sekali ia tidak ingin Ki Liong melakukan sesuatu yang jahat dan buruk. Sampai menjelang tengah malam, Mayang masih gelisah di atas pembaringannya. Malam itu sunyi sekali. Agaknya semua penghuni rumah itu sudah tidur nyenyak, kecuali tentu saja para penjaga. Biarpun ia, Ki Liong dan Bi Hwa menjadi pengawal keluarga di rumah itu, namun penjaga malam tetap diadakan dan mereka melakukan perondaan. Mereka bertiga hanya siap kalau-kalau ada marabahaya, dan mereka tidur di kamar masing-masing. Ia dan Bi Hwa mendapatkan kamar di samping dengan jendela menghadap taman, sedangkan Ki Liong mendapatkan kamar di bagian belakang. Mendadak ingatannya melayang ke arah Ki Liong. Wajah pemuda itu nampak jelas membayang di depan matanya dan secara aneh sekali ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang dicintanya itu. Tak dapat di tahan lagi rasa rindunya dan ia ingin sekali bertemu dengan Ki Liong. Malam itu juga! Ia turun dari pembaringan, mengenakan sepatu dan baju luar, dan tak lama kemudian tubuhnya sudah melayang ke luar melalui jendela, ke dalam taman. Tiba-tiba ia berhenti bergerak, matanya terbelalak. Kenapa hatinya begini berdebar dan wajah Ki Liong terbayang-bayang, dan perasaannya mengatakan betapa sangat ia mencinta Ki Liong, betapa ia amat merindukannya? Kenapa ia seperti di dorong-dorong untuk menuju ke kamar kekasihnya itu, untuk melepaskan rindu dendamnya? “Hemm, ini tidak wajar! Begitu pikiran ini menyelinap ke dalam hatinya, Mayang memejamkan kedua matanya, mengerahkan tenaga batin seperti yang ia pelajari dari subonya dan seketika perasaan yang mendorong-dorongnya itu pun lenyap! Seolah angin malam semilir mendinginkan hati dan kepalanya, membuat ia dapat melihat betapa janggalnya keadaannya. Malam-malam begini mendadak timbul keinginan untuk mengunjungi Ki Liong di kamarnya! Sungguh mustahil! “Keparat, siapa berani main-main dengan aku? tidak perlu menggunakan ilmu setan untuk menakuti anak kecil, keluarlah kalau memang engkau berani dan memiliki kepandaian!” tantangnya, suaranya mengandung tenaga batin yang masih menggelora di dadanya. Namun, sepi dan hening saja. Hanya suara jengkerik yang menjawabnya. Dengan hati kesal ia pun kembali ke kamarnya melalui jendela. Benarkah ada orang yang bermain-main dengannya? Ataukah Ki Liong yang menggunakan batin untuk memanggilnya agar ia mau menyerahkan dirinya malam itu? Ataukah memang dorongan itu datang dari perasaan cinta dan rindunya? Ia tidak tahu betapa di tempat gelap tersembunyi, Su Bi Hwa menggeleng-geleng kepala dengan kecewa. “Sialan,” gerutunya dalam hati. “Anak perempuan itu bahkan mampu menolak kekuatan sihirku!” Ia menyelinap pergi dan mengomel, “Harus kupergunakan cara lain untuk menundukkan bocah itu!”   Pada keesokan harinya, Mayang tidak jadi bertanya kepada Ki Liong. Tidak ada bukti bahwa pemuda itu yang mempergunakan kekuatan tidak wajar untuk mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pantas. Akan tetapi bagaimanapun juga, sejak malam itu ia menjadi semakin waspada, diam-diam melakukan pengamatan terhadap Bi Hwa dan terhadap kekasihnya sendiri. Di samping kekesalan hatinya ia terhibur juga oleh pergaulannya dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Cang Sun yang selalu bersikap ramah dan sopan kepadanya. Kadang-kadang ia melihat betapa wajah pemuda itu seperti diliputi mendung kedukaan, dan ia menaruh iba karena tahu bahwa pemuda itu telah gagal dalam cintanya terhadap Cia Kui Hong. *** Kita tinggalkan dulu Mayang, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang telah mendapatkan kedudukan yang baik di rumah keluarga menteri Cang Ku Ceng. Sudah lama kita meninggalkan Hay Hay. Setelah bertemu suami isteri yang aneh, isterinya cantik dan suaminya buruk, si cantik yang bodoh dan si buruk yang pintar, Hay Hay melanjutkan perjalanan. Hatinya terasa ringan dan udara pegunungan terasa sejuk segar menyehatkan. Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam senja. Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan putih perak yang indah dilatarbelakangi warna merah redup. Pada saat itu, pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun, tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan. Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang di sana-sini, menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke ujung pusar. Hay Hay ingin tertawa ketika dia berdiri di puncak bukit dan menghadap ke barat, melihat matahari telah menjadi bole besar merah yang mulai tenggelam di balik kaki langit. Dan dia pun tidak menahan keinginannya itu. Dia tertawa bergelak, lepas bebas sehingga suara tawanya bergema di seluruh permukaan bukit. Belum pernah selama hidupnya dia tertawa seperti itu! Baru terasa olehnya betapa biasanya, kalau dia tertawa di depan orang lain, suara tawanya terkendali, terdorong sesuatu bahkan terkekang sesautu, tidak dapat bebas lepas seperti ini. Bahkan dia merasa betapa suara tawanya itu biasanya palsu, hanya demi sopan santun, demi menyenangkan orang, tidak seperti sekarang ini. Dia tertawa tanpa sebab tertentu. Tertawa yang timbul dari perasaan diri ada dan bersatu dengan alam, perasaan bebas! Kenapa dia biasanya hidup di antara manusia-manusia lain lalu menjadi terbelenggu oleh kebiasaan-kebiasaan umum, membuat dia tak pernah merasa bebas seperti ini? Kehidupan di dunia ramai membuat dia bagaikan sebuah biduk yang oleng ke sana-sini, dipermainkan gelombang kehidupan yang penuh dengan ombak suka-duka, lebih banyak dukanya dari pada sukanya. “Siancai (damai) ….! Sungguh mengagumkan, masih dapat aku mendengar suara tawa seindah itu. Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih, suara tawa itu datang dari surga …….!” Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang kakek tertatih-tatih mendaki puncak. Kakek itu usianya sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua, gerak-geriknya membayangkan kelembutan dan kelemahan. Dengan tongkatnya dia melangkah satu-satu dan hati-hati agar jangan sampai tersandung batu, menuju ke tempat Hay Hay berdiri. Melihat ini, otomatis timbul rasa hormat dan iba di hati Hay Hay, dan dia pun cepat menghampiri dan membantu kakek itu, menuntun dengan memegangi tongkatnya. Ketika mereka tiba di puncak itu, si kakek duduk di atas batu yang halus sambil terengah-engah. Akan tetapi wajah yang dikelilingi rambut putih halus itu nampak segar kemerahan seperti wajah anak kecil. Mata kakek itu pun bersinar-sinar lembut, ketika tersenyum mulutnya sudah tak bergigi sebuah pun, membuat wajah itu semakin mirip wajah kanak-kanak! Hay Hay memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk. “Maaf, Totiang (bapak pendeta), bolehkah saya mengetahui, siapa Totiang dan tinggal di mana?” “Ho-ho, orang muda, aku bukan pendeta. Aku seorang manusia yang sudah tua dan lemah badannya, aku seorang kakek-kakek jompo, heh-heh. Aku sendiri sudah lupa nama apa yang diberikan kepadaku, aku seorang kakek tanpa nama.” “Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay Hay bertanya. “Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah di mana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi, dindingku empat penjuru, heh-heh. Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat dari pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?” Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah! “Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kakek di sini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik, maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa memperolehnya?”   Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali. “Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau mendengarkannya? Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya bahagia itu? Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?” Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya, bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itu pun lewat begitu saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya. Akan tetapi bahagia? “Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi di lain saat perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu perasaan bahagia ataukah bukan? “Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai dengan tawa dan tangis!” “Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu, Kek?” Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih dan sehat. "Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang, bagaimana mungkin kita mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam, bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu? Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian? Karena itu, senang dan susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah senang pun hanya bayangan palsu belaka." "Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?" "Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau di lain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap hujan itu baik dan menyenangkan, di lain kali kita menganggap hujan itu buruk dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?" Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti, "Kita sudah menyelidiki tentang senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu apakah kebahagiaan itu, Kek?" "Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang yang tidak pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari kebahagiaan, heh-heh-heh." "Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan." "Engkau juga, orang muda?" "Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam hidupnya.?" "Di sanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!" "Ehh? Kenapa begitu, Kek?" "Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara kembarnya." "Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?" "Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?" Hay Hay menjadi bengong dan bingung. "Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?" "Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?" Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menjawab, "Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan kebahagiaan!"   "Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya. Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan, bagaimana mungkin itu? Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan. Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit ingin sehat? Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki, APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang mencari air minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum." Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya penuh senyum maklum. "Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!" "Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku.” "Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena kita tidak merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak ada apa-apa yang mengganggu?" "Itulah kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan penyakit, jarang ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia terganggu penyakit, barulah dia membayangkan betapa senang dan indahnya kalau dia sehat. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang terjadi, yang membuat dia merana dan merasa tidak berbahagia, dia menjadi haus akan kebahagiaan! Selama hati akal pikiran masih bergelimang nafsu, kita akan selalu haus akan sesuatu yang lebih, dan tidak pernah merasa puas dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan membahagiakan itulah penghancur kebahagiaan. itu sendiri." "Aih, kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik pandai bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk memerangi nafsunya sendiri." "Siapa yang berhasil? Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang nafsu ini dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari gelimangan nafsu? Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang muda. Hasil usaha dari nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri, berpamrih, dan bahkan akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai manusia hidup tak mungkin melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu untuk hidup. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia." "Wah, wah! Kalau begini bagaimana, Kek? Nafsu mencelakakan kita, akan tetapi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?" "Nafsu laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat berguna, sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu pelayan yang setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita peralat, maka akan nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang memperalat kita, akan binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan sebagai pelayan, jangan sampai menjadi majikan." "Tapi, bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang nafsu? Lain siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat atau pelayan?" "Kita, memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak akan kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula, hanyalah Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di dunia." "Tuhankah yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan menjadi jahat?" Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ho-ho, kau kira siapa ? Segala yang ada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, dari yang terkecil sampai terbesar, dari yang terlembut sampai yang terkasar, segala ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!" "Tapi mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?" "Hushh, kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan pengetahuan kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin enak. Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?" "Lalu bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan nafsu kita dan mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?" "Kita justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti kita tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita sudah menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita terima sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi Tuhan Maha Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu, kita tidak butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta kasih Tuhan itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas senang susah, tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan." Pada saat itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay Hay masih penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan pertanyaan. "Kakek yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apa pun, benarkah itu?"   "Ho-bo-ho, itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak memperalat kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup, bergerak, serba sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran. Kita harus berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu berlandaskan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?" "Hei, manusia jahat penyebab kesengsaraan kami, hendak lari ke mana engkau?" bentakan ini terdengar dari bawah puncak dan tak lama kemudian orangnya pun muncul. Ketika Hay Hay melihat orang itu dia terbelalak kaget dan heran. Yang muncul itu adalah laki-laki sebaya dia yang cebol, bermuka hitam, matanya sipit, hidung besar dan bibir tebal, orang muda buruk rupa yang pernah dijumpainya, suami wanita yang cantik manis dan lincah itu! Tentu saja dia merasa heran mengapa laki-laki itu mendaki puncak dengan sikap marah-marah, dan dengan gerakan gesit laki-laki itu melocat dan berdiri tak jauh dari situ dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busur dan beberapa batang anak panah! Kini dia mengamangkan busur dan anak panah itu kepadanya. "Heh, pengecut mata keranjang! Bersiaplah engkau untuk mampus! Aku sengaja datang untuk mencabut nyawamu dengan anak panah ini, agar engkau tidak lagi meracuni hati wanita!" Hay Hay menoleh ke kanan kiri dan belakang. Tidak ada orang lain di situ kecuali dia dan kakek tua renta tadi yang masih duduk di atas batu. Tidak mungkin kakek itu dimaki perayu mata keranjang yang meracuni hati wanita! Jadi, dialah yang dimaki! Makian mata keranjang bagi dia tidak menjadi soal. Dia sudah terbiasa dengan itu, bahkan dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang oleh banyak tokoh persilatan. Akan tetapi, sekali ini dia penasaran. Dia tidak merasa mengganggu dan merayu wanita, kenapa si buruk rupa ini datang-datang memakinya ? Ketika dia bertemu dengan isteri si buruk rupa itu, dia pun tidak merayunya walaupun dia sempat bercakap-cakap sejenak. "Heii, saudara yang baik. Siapakah yang engkau maki-maki itu?" tanya Hay Hay sambil melangkah maju. "Siapa lagi kalau bukan engkau? Masih pura-pura bertanya lagi?" "Ehh? Apa salahku?" "Manusia ceriwis, mata keranjang! Engkau telah menggoda isteriku, merayu isteriku dan meracuni hatinya!" "Bohong! Aku tidak melakukan hal itu. Kami hanya bercakap-cakap biasa saja!" bantah Hay Hay. Dalam keadaan biasa, tuduhan seperti itu tentu hanya akan dihadapi dengan sikap main-main. Akan tetapi, sekarang di situ terdapat kakek tua renta yang baru saja memberi penerangan pada batinnya. Dia merasa malu mendengar tuduhan itu yang dilakukan di depan kakek tua renta yang arif bijaksana itu! "Engkau masih hendak membantah! Begitu isteriku bertemu denganmu, ia telah sama sekali berubah! Ia tidak lagi mau melayaniku dengan manis budi, ia selalu cemberut, marah-marah dan setiap kali membicarakan engkau matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri dan ia mengatakan bahwa engkau amat menarik hatinya, menimbulkan kegembiraan hatinya dan sebagainya lagi. Huh, tentu engkau telah mempergunakan ilmu hitam guna-guna untuk merayu dan menjatuhkan hatinya." “Tidak sama sekali! Bohong itu ….!” kata Hay Hay, akan tetapi laki-laki pendek muka hitam yang amat cemburu itu, sudah memasang tiga batang anak panah pada busurnya. "Engkau mampuslah!" bentak laki-laki itu dan sekali menarik busur dan melepaskan tali busurnya, tiga batang anak panah itu meluncur dengan amat cepatnya ke arah tubuh Hay Hay. Hay Hay tahu bahwa laki-laki itu memiliki tenaga besar. Pernah dia mendemonstrasikan tenaganya ketika mereka saling bertemu. Laki-laki itu menekankan jari-jari tangannya, pada batu dan telapak tangannya meninggalkan bekas sedalam dua sentimeter pada batu itu! Maka, kini serangan anak panah itu tentu saja mengandung tenaga yang hebat, melihat cepatnya tiga batang anak panah itu menyambar seperti kilat cepatnya. Namun, tidak terlalu cepat bagi Hay Hay! Dengan mudah saja, Hay Hay meloncat ke kiri dan bahkan masih sempat menendang ke arah anak panah yang menyambar tadi sehingga dua batang di antaranya terlempar ke atas. "Auhhhh .....!" terdengar keluhan lirih dan ketika Hay Hay menengok matanya terbelalak. Ternyata, tanpa diketahuinya, kakek tua renta yang tadi duduk di atas batu, telah turun dari batu dan agaknya melangkah menghampirinya. Oleh karena itu, ketika sebatang di antara anak panah yang menyambarnya tadi luput, anak panah itu meluncur terus dan tahu-tahu kini menancap dada kakek tua renta itu! Kakek itu mengeluh lirih dan terjengkang, roboh telentang di atas tanah! Bukan hanya Hay Hay yang terbelalak dan terkejut. Juga laki-laki pendek muka buruk yang melepas anak panah, terbelalak dan berseru, "Ya Tuhan .....!" dan dia sudah berlari menghampiri kakek itu dan berlutut di dekatnya. Muka yang hitam itu nampak kelabu, tanda bahwa dia pucat sekali melihat betapa anak panahnya menembusi dada sampai ke punggung! "Duhai …… kakek..... ah, aku tidak sengaja ……. aih, kenapa begini jadinya? Kakek ……. aku menyesal sekali, aku mohon ampun, Kek ……." Laki-laki muka buruk yang tadi marah-marah, kini menangis dan merintih minta ampun kepada kakek itu. Hay Hay menghampiri dan sekali lihat saja dia pun tahu bahwa tidak mungkin sama sekali mengobati kakek itu yang dadanya sudah tertembus anak panah! Dia pun berlutut dengan prihatin sekali. Kakek itu tersenyum! Senyum yang ikhlas dan tenang. Dengan matanya yang masih bersinar, dia memandang kepada laki-laki muka buruk itu dan berkata lemah. "Semoga Tuhan mengampunimu, Nak. Aku…. aku maafkan engkau ……"   Hay Hay merasa terharu bukan main. Selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan orang seperti kakek ini. Begitu lemah lembut, begitu arif bijaksana, begitu sabar dan begitu pasrah kepada kekuasaan Tuhan! “Kek …..” panggilnya lirih sambil mendekat. Kakek itu menoleh kepadanya. "Kau, orang muda. Kau ….. tolong ambilkan segulung tulisan yang berada di saku jubahku sebelah kiri ……" Dia bergerak lemah. Hay Hay segera memenuhi permintaannya dan benar saja, di saku jubah sebelah kiri dia menemukan segulung kertas berisi tulisan huruf-huruf yang indah halus. Ujung gulungan kertas itu sudah bernoda darah. "Orang muda, maukah engkau memenuhi permintaanku yang terakhir …..?” kata pula kakek itu. Si muka buruk cepat berkata, "Kakek, serahkan tugas itu kepadaku. Demi Tuhan, aku akan memenuhi pesanmu untuk menebus dosaku kepadamu, Kek!" Kakek itu menoleh kepadanya dan tersenyum. "Asal engkau tidak lagi pencemburu dan pemarah, dosamu akan tertembus." Lalu dia memandang lagi kepada Hay Hay. "Kau simpanlah gulungan kertas ini, dan kelak ……. kalau ada kesempatan atau kalau kebetulan engkau lewat di Nan-king kau berikan kertas-kertas ini kepada seorang di antara dua menteri bijaksana, yaitu Menteri Yang atau Menterj Cang ……” suara kakek itu melemah, lehemya terkulai dan dia pun! menghembuskan napas terakhir. "Kakek ……!" Pemuda pendek i tu menangis menggerung-gerung seperti anak kecil. "Ampuni aku, Kek ……! Aku tidak sengaja membunuhmu ……, ampuni aku …….” Hay Hay bangkit berdiri dan menyimpan gulungan kertas ke dalam saku bajunya sebelah dalam. Kemudian dia memandang kepada laki-laki yang masih berlutut dan menangisi kematian kakek itu. "Hemm, apa gunanya kau tangisi lagi? Menangis pun tidak akan menghidupkannya kembali, juga tidak akan dapat mencuci darah dari anak panahmu itu!" Mendengar ini,,laki-laki itu makin mengguguk. Tiba-tiba dia meloncat dan menghadapi Hay Hay dengan air mata masih berlinang. Telunjuk kirinya menudmg ke arah muka Hay Hay. "Kau ……! Kaulah biang keladinya sehingga aku membunuh kakek yang sama sekali tidak kukenal dan tidak bersalah ini! Engkau yang mula-mula meracuni isteriku, membuat aku marah. Kemudian, ketika aku menyerangmu, kembali engkaulah yang mengelak sehingga anak panahku mengenai kakek ini!" , Hay Hay rnerasa betapa perutnya menjadi panas. Orang ini sungguh tidak tahu diri, pikirnya. Kalau hanya dia dituduh mata keranjang dan merayu isterinya, hal itu dapat dia hadapi sambil main-main. Akan tetapi sekali ini lain. Cemburu yang tak berdasar dari orang ini telah menjadi sebab kematian kakek yang arif bijaksana dan luhur budi itu! Dia pun mulai marah. "Hemm, kalau menurut engkau, ketika engkau memanahku, aku harus menerima anak panahmu itu tanpa mengelak agar dadaku ditembus dan aku mati konyol, begitukah? Engkau sungguh seorang yang tolol, kepala batu, pencemburu besar. Sungguh mati, aku heran sekali mengapa isterimu dapat mencinta seorang laki-laki tolol macam engkau!" Laki-laki cebol yang mukanya buruk itu melototkan matanya yang sipit dan hidungnya yang besar itu berkembang, mengamangkan busurnya yang terbuat dari baja dan menghardik. "Mata keranjang busuk! Sebelum bertemu denganmu, isteriku amat sayang kepadaku, akan tetapi sekarang ia berubah, pemarah dan sikapnya tidak manis lagi. Engkau tentu telah mengguna-gunainya! Sekarang, engkau pula yang menyebabkan aku membunuh kakek tidak berdosa ini, maka kalau tadinya aku hanya hendak membunuhmu, sekarang aku harus membunuhmu dua kali!" Setelah berkata demikian, dia menerjang dengan busurnya dan terdengar suara berdesing saking kuat dan cepatnya busur itu dia gerakkan. "Singgg…..!" Busur itu menyambar ke arah kepala Hay Hay yang bergerak mundur dengan tenang sehingga busur itu menyambar tempat kosong. Kini kakek yang pendek itu menyusul, menendang ke arah pusar. Kembali Hay Hay mengelak ke samping, dan sekali ini kakinya mencuat, tepat menendang pinggir sambungan lutut kanan lawan dan si pendek itu pun terpelanting. Akan tetapi dia meloncat bangun kembali dan menjadi semakin marah. "Engkau mata keranjang, engkau jai-hwa-cat (penjahat cabul), kubunuh engkau!" teriaknya dan dia menyerang kalang-kabut dengan penuh kebencian. Sebetulnya Hay Hay juga marah sekali karena orang ini telah membunuh kakek bijaksana, walaupun dia tahu tidak sengaja. Akan tetapi dia teringat akan isteri di pendek ini, wanita yang manis budi dan lincah jenaka, dan dia pun merasa kasihan kepada si pendek ini. Betapa sengsaranya si buruk rupa ini memiliki isteri secantik itu. Tentu selalu tersiksa hatinya oleh cemburu karena merasa rendah diri, merasa bahwa isterinya terlalu cantik baginya, tidak sepadan. Dia dapat membayangkan betapa si buruk rupa ini setiap saat akan dibakar cemburu, setiap kali isterinya bicara dengan pria lain, bahkan setiap kali isterinya dipandang pria lain! Dan semakin besar cemburu dan pemarahnya, isterinya tentu akan semakin berani bersikap genit dan manis kepada pria lain, walaupun hal itu hanya dilakukan untuk memancing cemburu suaminya! Dengan tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, beberapa kali Hay Hay merobohkan lawan tanpa melukainya. Si cebol buruk rupa itu diam-diam terkejut dan kagum sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda yang dianggapnya penjahat cabul mata keranjang dan yang akan dibunuhnya itu sedemikian lihainya sehingga busurnya tak pernah dapat menyentuhnya, bahkan sebaliknya berulang kali dia roboh, walaupun tidak sampai terluka parah. Namun, teringat akan isterinya yang disangkanya tergila-gila kepada pemuda itu, setiap kali roboh, dia bangun kembali dan menyerang lebih dahsyat! Hay Hay merasa jengkel juga akan kekerasan hati lawannya. Sungguh tak tahu diri. Seharusnya orang itu tahu bahwa dia telah bersikap lunak dan tidak melukainya, kenapa masih nekat terus menyerang seperti babi buta? Diam-diam Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya, kemudian membentak dengan suara nyaring. "Heh, cebol pemarah, lihat isterimu datang! Engkau masih berani marah-marah?" Si cebol terkejut dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Ketika dia memandang lagi kepada lawan, dia terbelalak. Kiranya yang berada di depannya adalah isterinya, dan pemuda tadi sudah lenyap entah ke mana? Seketika tubuhnya menjadi lemas dan busur itu terlepas dari tangannya. Dia memandang isterinya dengan bingung dan mulutnya hanya mampu berkata heran. "Kau……, kau …… disini ……?” Dia tadi meninggakan isterinya tanpa memberitahu ke mana. Siapa tahu isterinya telah menyusul. Isterinya yang cantik itu lalu mengambil busur yang dilepaskannya tadi. Wajahnya cemberut marah. "Engkau ini suami tolol, selalu cemburuan dan marah-marah, sungguh menyebalkan hatiku!” Dan isteri yang cantik itu lalu memukul-mukulkan gendewa itu kepada suami! "Plak! Plak! Plakk!” Si cebol berusaha menangkis dan mengelak, sama sekali tidak berani melawan walaupun dia tahu isterinya tidak pandai silat. Akan tetapi sungguh mengejutkan hatinya. Biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja gendewa itu mengenai tubuhnya, di kepala, di pundak, di punggung, paha dan mendatangkan rasa nyeri yang cukup membuat dia berteriak-teriak. "Sudah ……! Sudahlah …..! Aku mengaku bersalah maafkan aku……!" teriaknya sambi1 berusaha melindungi kepalanya. Akan tetapi isterinya terus saja memukulnya sampai dia babak belur. "Aku isterimu yang selalu setia, akan tetapi engkau menuduh yang bukan-bukan! Bersumpahlah engkau bahwa engkau tidak akan menuduhku lagi!" "Aku bersumpah ……… aku bersumpah…….!" Laki-laki cebol itu berkata. Tiba-tiba, setelah pemukulan dengan busur itu dihentikan, terdengar suara ketawa bergelak dan ketika suami itu mengangkat muka memandang, isterinya sudah lenyap dan di depannya berdiri pemuda tadi yang melemparkan busur ke depan kakmya! " "Ehhh……? Bagaimana ini? Di mana isteriku ..... ?” Dia menjadi bingung sekali, melupakan semua rasa nyeri di tubuhnya yang babak belur dan dia memandang ke sekeliling mencari-cari isterinya. Hay Hay menghentikan tawanya. "Isterirnu tidak pernah berada di sini, kenapa engkau mencari-carinya?" "Tapi ….. tapi tadi ia marah-marah dan memukul aku …..!” "Tentu saja, karena engkau bersalah. Ia muncul dalam angan-anganmu untuk menghukummu dan menyadarkanmu." Laki-laki itu kini memandang kepada Hay Hay dengan bengong. "Jadi…… engkaukah tadi? Engkau menggunakan sihir! Orang muda, siapakah engkau sini? Pendekar dari mana dan siapa namamu, dari perguruan mana?” Dia mulai merasa kagum dan juga gentar . "Aku hanya ingin menyadarkanmu dari kesalahanmu, Toa-ko (kakak). Isterimu seorang wanita yang hebat, cantik manis, lincah jenaka dan mencintamu. Akan tetapi engkau akan merusaknya dengan cemburumu yang tidak ketulungan itu! Tentang diriku, namaku bukan hal penting bagimu. Bukankah engkau telah memberi nama Mata Keranjang kepadaku? Nah, julukan itu baik sekali, katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi aku bukanlah jai-hwa-cat! Aku tahu, isterimu itu amat baik dan amat sayang kepadamu. Kalau engkau melanjutkan sikapmu yang mempunyai cemburu yang berlebihan, sekali waktu mungkin saja ia akan berubah dan akan benar-benar memilih pria lain!" Wajah itu menjadi pucat. "Aihhh…… aku telah bersalah……. aku tidak mau kehilangan isteriku, sama saja dengan kehilangan nyawaku…." "Hemm, kalau begitu, hilangkan atau kurangi cemburumu. Wanita memang ingin suaminya cemburu karena bagi wanita, sikap cemburu suaminya itu membuktikan bahwa suaminya cinta kepadanya dan tidak ingin kehilangan dirinya. Akan tetapi, sikap cemburu itu jangan berlebihan karena ini menimbulkan anggapan bagi wanita bahwa suaminya tidak percaya kepadanya, dan hal itu berbahaya! Engkau harus memperlihatkan sikap melindungi, memiliki akan tetapi jangan mengekang dan membatasi. Engkau harus selalu memujinya, menyenangkan hatinya, bahkan memanjakannya akan tetapi jangan selalu menuruti keinginannya secara membuta sehingga engkau diperbudak olehnya. Engkau harus kelihatan kuat dan berkuasa, akan tetapi jangan menindas. Dengan demikian, isterimu akan selalu memujamu. Wanita ingin dipuji, ingin dimanja, ingin diperhatikan. Kalau engkau bersikap demikian, tentu engkau yang selalu dibayangkannya." Pria cebol itu bengong, lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Wah-wah-wah, orang muda, engkau benar-benar mencengangkan! Engkau bukan saja berkepandaian tinggi, lihai ilmu silatmu, juga pandai ilmu sihir, akan tetapi juga ahli dalam soal wanita! Aku mengerti sekarang mengapa isteriku kelihatan tertarik kepadamu, karena engkau pandai memuji dan menyenangkan hatinya. Engkau sungguh…… berbahaya bagi wanita-wanita!" Hay Hay tersenyum. "Jangan khawatir, kawan. Aku memang suka memuji kecantikan wanita, akan tetapi dalam pujian itu tidak terkandung pamrih ingin merayu dan menggoda, apalagi memilikinya. Aku selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi yang sudah bersuami. Nah, kembalilah kepada isterimu, aku akan mengubur jenazah kakek yang bijaksana ini." "Aku akan membantumu!" kata si cebol dan mereka lalu sibuk bekerja menggali lubang dan mengubur jenazah kakek yang hanya dikenal oleh Hay Hay sebagai kakek tak bernama itu. Setelah selesai dan memberi penghormatan terakhir kepada makam kakek itu, si cebol meninggalkan Hay Hay untuk kembali kepada isterinya dengan hati gembira karena telah memperoleh "bekal ilmu" dari Hay Hay untuk membahagiakan isterinya. Hay Hay sendiri lalu meninggalkan puncak bukit itu, menuju ke Nan-king. Tanpa disengaja, tanpa disangka, dia telah menerima tugas dari seorang kakek yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang amat dihormatinya, yaitu untuk mengantar segulung surat dan menyerahkan kepada seorang di antara dua menteri terkenal, yaitu Menteri Yang Ting Hoo atau Menteri Cang Ku Ceng. *** Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) merupakan sebuah lembah yang amat indah pemandangannya, subur tanahnya dan sejuk nyaman udaranya di pegunungan Heng-tuan-san bagian timur. Lembah itu sendiri sunyi dan hanya ada sebuah pondok yang cukup besar di situ. Perkampungan penduduk yang tidak begitu besar berada di sana-sini sekitar lembah, merupakan penduduk pegunungan yang bertani. Banyak buah-buahan dan bunga-bunga dihasilkan di tempat itu, oleh penduduk lalu dibawa turun ke kota dan dusun di bawah lembah dan itulah penghasilan penduduk pegunungan yang hidupnya bersahaja itu. Pondok besar yang berada di lembah itu menjadi tempat tinggal sepasang suami isteri yang bagi para penduduk di sekitarnya dianggap sebagai dua orang pertapa yang budiman karena seringkali membantu para penduduk dengan pengobatan. Akan tetapi, biarpun bertahun-tahun kedua orang tokoh itu bersembunyi atau setidaknya mengasingkan diri dari dunia ramai, para tokoh kang-ouw mengenal mereka sebagai dua orang yang sakti. Yang pria bernama siangkoan Ci Kang, berusia empat puluh tujuh tahun, sedangkan isterinya yang berusia empat puluh enam tahun bernama Toan Hui Cu. Siangkoan Ci Kang adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dan berwibawa. Pakaiannya sederhana longgar, seperti pakaian pendeta, dan yang menarik adalah lengan kirinya yang buntung sebatas siku. Pria ini sejak kecil terbiasa dengan kehidupan yang keras, karena mendiang ayahnya adalah seorang datuk di dunia kang-ouw yang ditakuti, berjuluk Si Iblis Buta dan disebut Siangkoan Lojin. Biarpun.engan kirinya buntung, namun Siangkoan Ci Kang memiliki kepandaian tinggi. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu tongkat dari mendiang ayahnya yang buta, akan tetapi dia juga murid Ciu-sian Lokai dan telah mewarisi kitab ilmu yang sakti, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut yang tangguh. Selain itu,bersama isterinya yang sama saktinya dia telah menciptakan sebuah ilmu silat di lembah itu, yang mereka beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas). Isterinya juga seorang wanita sakti. Ayah dan ibu dari Toan Hui Cu lebih terkenal lagi karena mereka adalah suami isteri datuk besar dunia sesat yang berjuluk Raja Iblis dan Ratu Iblis! Toan Hui Cu mewarisi ilmu-ilmu yang aneh dari mendiang ayah ibunya, Juga bersama suaminya ia mewarisi ilmu Kwan Im Sin-kun. Ia seorang wanita yang dalam usia empat puluh enam tahun masih nampak cantik dan anggun seperti wanita bangsawan, walaupun latihan ilmu sesat orang tuanya membuat wajahnya agak kepucatan. Mereka mempunyai seorang anak saja, bernama Siangkoan Bi Lian yang kini sudah berusia dua puluh tiga tahun. Juga baru-baru ini mereka menerima seorang murid bernama Tan Hok Sen seorang bekas perwira di kota raja yang sebelumnya telah memiliki kepandaian cukup tangguh. Tan Hok Seng ini ternyata kemudian bernama Tang Gun, seorang perwira yang melakukan penyelewengan, putera kandung mendiang penjahat cabul besar Ang-hong-cu. Suami isteri itu sama sekali tidak tahu akan hal itu, bahkan mereka mengijinkan puteri mereka untuk menemani suhengnya itu ke kota raja. Dan kini, beberapa bulan kemudian, puteri mereka itu pulang, bukan bersama Tan Hok Seng, melainkan bersama Pek Han Siong murid mereka yang pertama dan ditemani pula oleh Pek Hong, ketua Pek-sim-pang atau ayah Pek Han Siong, dan Pek Ki Bu, kakek dari Pek Han Siong. Tentu saja, suami isteri penghuni Lembah Ayam Emas itu menjadi girang dan juga heran melihat puterinya pulang bersama murid pertama mereka, ditemani ayah dan kakek murid itu. Mereka menyambut dengan gembira dan setelah diperkenalkan kepada ayah dan kakek murid mereka, suami isteri itu mempersilakan mereka semua memasuki ruangan dalam dan mereka duduk dalam suasana akrab dan gembira. Toan Hui Cu yang diam-diam merasa girang sekali melihat betapa puterinya nampak demikian akrab dengan muridnya, dan ia dapat melihat kasih sayang dalam sinar mata mereka kalau saling pandang, segera berkata dengan lantang. "Aihhh, kepulanganmu sekali ini sungguh membuat kami menjadi bingung dan kaget, biarpun juga amat bergembira, Bi Lian. Sebelum engkau ceritakan hal-hal lain, jawab dulu pertanyaanku. Di mana suhengmu Tan Hok Seng?" Gadis itu memandang kepada ibunya, menoleh kepada Han Siong yang juga suhengnya, memandang lagi kepada ibunya dan ayahnya, dan tersenyum. Gadis ini memang manis sekali. Tubuhnya ramping dan padat, rambutnya panjang hitam dan saat itu rambutnya dikucir panjang sampai ke pinggul. Matanya tajam, hidungnya mancung kecil dan mulutnya merah basah. Bentuk wajahnya bulat telur dan semua kecantikan itu bertambah manis dengan adanya tahi lalat di dagunya. Gadis ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, akan tetapi ketika remaja, ia pernah menjadi murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-heh-kwi, dua di antara Empat Setan, datuk-datuk yang amat lihai dari golongan sesat. "Ibu dan Ayah. Ketika kami berangkat, aku pun percaya sepenuhnya kepada orang yang mengaku bernama Tan Hok Seng dan berhasil menjadi suhengku, bahkan mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibu. Akan tetapi ternyata kita telah kebobolan Ibu!" "Kebobolan? Apa maksudmu?" tanya ibunya dengan heran. "Dia tidak bernama Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun dan dia adalah seorang jahat, perwira yang menyeleweng dan menjadi buruan pemerintah. Dia bahkan kemudian diketahui sebagai putera penjahat besar Ang-hong-cu!" "Ahhh......!" Suami isteri yang sakti itu terkejut bukan main mendengar keterangan puteri mereka itu. Mereka telah menerima seorang jahat menjadi murid! "Akan tetapi jangan khawatir, si jahat Tang Gun itu bersama ayahnya dan sekutunya telah dapat ditumpas dan dihancurkan. Tang Gun yang kita kenal sebagai Tan Hok Seng itu pun telah tewas. Aku bertemu dengan suheng Pek Han Siong dan para pendekar lainnya, bekerja sama dan menumpas para penjahat itu." Suami isteri itu mengangguk-angguk dan merasa lega. Biarpun mereka telah kebobolan dan mengambil murid seorang penjahat, akan tetapi penjahat itu telah tewas. Mereka memandang kepada murid mereka, Pek Han Siong dan Siangkoan Ci Kang bertanya. "Dan bagaimana pula sekarang Bi Lian dapat pulang bersama engkau, Han Siong? Dan ditemani pula oleh ayahmu dan kakekmu yang terhormat ini?" Pemuda itu mengangkat muka memandang kepada suhunya dengan warna muka berubah agak kemerahan. Pemuda ini memmki kulit muka yang putih, maka kini nampak sekali perubahan warna itu. Alisnya yang tebal agak berkerut, matanya yang agak sipit itu ditundukkan. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan juga memiliki kekuatan sihir dan tak pernah merasa gentar menghadapi apa pun. Namun kini, menghadapi pertanyaan suhunya itu, dia merasa bingung dan malu. Dia memandang kepada ayahnya dan kakeknya, seperti minta bantuan dari mereka. "Suhu dan Subo, seperti diceritakan sumoi tadi, kami bertemu ketika bersama para pendekar kami, menghadapi Ang-hong-cu dan dua orang anaknya yang jahat. Kemudian …… sumoi dan teecu (murid) pergi ke Kong-goan, menghadap ayah teecu dan …… dan sekarang ayah dan kakek teecu ikut ke sini untuk menghadap Suhu dan Subo dan untuk…… untuk bicara…… " Han Siong tidak dapat melanjutkan, hanya memandang kepada ayahnya dan kakeknya dengan sikap tidak berdaya dan menyerah! Siangkoan Ci Kang dan isterinya tentu saja sudah dapat menduga apa maksud kunjungan keluarga murid mereka itu, dan melihat kecanggungan murid mereka, mereka hanya tersenyum saja. Melihat keadaan puteranya, Pek Kong ketua Pek-sim-pang lalu bangkit dan memberi hormat kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. "Sebelumnya harap ji-wi (anda berdua) suka memaafkan kami kalau kami dianggap lancang. Akan tetapi atas desakan putera kami dan juga nona Siangkoan Bi Lian, maka kami terpaksa memberanikan diri untuk datang menghadap ji-wi. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk memenuhi permintaan putera kami, yaitu untuk mengajukan pinangan atas diri nona Siangkoan Bi Lian." Mendengar ucapan yang penuh sopan santun itu, dan sikap Pek Kong yang nampak sungkan, suami isteri itu saling pandang lalu mereka berdua tertawa dengan gembira. "Ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh terdengarnya, Saudara Pek." kata Siangkoan Ci Kang. "Sebelum Saudara datang hari ini, kami yang lebih dulu bertindak lancang. Ketahuilah bahwa telah lama sekali kami berdua menjodohkan murid kami dan puteri kami ini! Dan sekarang Saudara datang untuk mengajukan pinangan, tentu saja kami setuju sepenuhnya!" Mereka semua bergembira dan tidak seperti gadis-gadis lain, Bi Lian tidak menjadi malu-malu walaupun kedua pipinya berubah kemerahan. Ia tidak lari ke dalam dan ia bahkan melayani ketika orang tuanya menjamu tamu-tamu itu dengan hidangan yang dubuatnya sendiri bersama ibunya. Atas persetujuan kedua pihak, maka pernikahan antara Han Siong dan Bi Lian dilangsungkan dua bulan kemudian, di lembah itu. Perayaannya sederhana saja, dihadiri keluarga Pek yang terdiri dari belasan orang, dan tamu yang diundang hanyalah penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Heng-tuan-san. Perayaan itu sungguh sederhana namun cukup meriah dan menggembirakan, dirayakan pada malam hari. Sebagai tuan rumah, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menerima para tamu dengan gembira dan mempersilakan para tamu untuk mengambil tempat duduk. Ketika pesta dimulai dan para tamu memberi selamat kepada sepasang mempelai sehingga suasana menjadi meriah gembira, dan Siangkoan Ci Kang bersama isterinya yang mengira bahwa tentus sudah tidak ada tamu baru datang sudah duduk di dekat sepasang mempelai, muncullah dua orang berpakaian pertapa yang tentu saja membuat semua orang merasa heran. Juga Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu heran melihat datangnya dua orang tamu aneh itu, akan tetapi mereka cepat menuju ke depan untuk menyambut. Mereka adalah dua orang yang berjubah kuning, pakaian yang biasa dipakai para hwesio. Usia mereka enam puluh tahun lebih. Seorang di antara mereka bertubuh gendut dan kepalanya gundul, akan tetapi yang amat menyolok adalah warna kulitnya, yaitu hitam kehijauan! Bukan hanya warna kulit muka, melainkan juga kulit tangan dan leher, juga mungkin warna kulit seluruh tubuhnya. Matanya mencorong dan mulutnya selalu tersenyum sinis. Kakek ke dua juga berpakaian jubah kuning, akan tetapi kepalanya tidak gundul, melainkan berambut putih yang tipis dan rambut itu digelung ke atas seperti kebiasaan seorang pertapa atau tosu. Orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus dan mukanya selalu muram dan mulutnya cemberut. Siangkoan Ci Kang dan isterinya menyambut dengan sikap hormat, mengangkat tangan di depan dada dan Siangkoan Ci Kang berkata dengan lembut. "Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan ji-wi Suhu (guru berdua). Dapatkah kami mengetahui nama yang mulia ji-wi?" Dua orang kakek itu tidak membalas penghormatan tuan dan nyonya rumah, suatu hal yang sungguh membuat mereka yang melihat menjadi penasaran. Biasanya, para pendeta amatlah sopan dan halus budi, akan tetapi kenapa dua orang ini demikian tidak sopan? Bahkan kini yang gendut perutnya itu menyeringai dan bertanya, "Apakah engkau yang bernama Siangkoan Ci Kang?" Suaranya terdengar parau dan besar, seperti gerengan binatang buas. Sementara itu, yang kurus tinggi hanya memandang saja dengan mulut cemberut. Melihat sikap dua orang tamu itu tentu saja Siangkoan Ci Kang dan terutama sekali Toan Hui Cu merasa tak senang. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka adalah tuan rumah yang sedang merayakan pernikahan puteri mereka dan harus bersikap ramah terhadap semua tamu, Sioangkoan Ci Kang menahan perasaan hatinya dan dia pun mengangguk. "Benar sekali, Lo-suhu. Aku adalah Siangkoan Ci Kang," katanya dan dia melihat betapa kakek gundul itu memandang ke arah lengan kirinya yang buntung sebatas siku. "Omitobud …….! Bagus kalau begitu, tidak sia-sia perjalanan kita jauh-jauh ke sini, Ban-tok (Selaksa Racun)!" kata si gendut kepada kawannya yang nampak semakin murung.   "Sudah kukatakan, kita tentu berhasil. Akan tetapi mereka sedang merayakan pernikahan, sebaiknya lain kali saja kita datang lagi." kata si kurus tinggi. "Tidak enak mengganggu orang yang sedang berpesta, Hek-tok (Racun Hitam)!" Mendengar percakapan itu, Siangkoan Ci Kang segera berkata, "Marilah, jiwi Suhu, silakan masuk dan menjadi tamu kehormatan kami, menerima hidangan kami dan menambah doa restu untuk putri kami yang sedang melangsungkan pernikahannya." "Silakan, ji-wi Losuhu, " kata pula Toan Hui Cu dengan ramah walaupun di dalam hatinya, nyonya ini merasa penasaran sekali dengan sikap dua orang kakek itu yang aneh dan tidak sopan. Kakek gendut itu tertawa. "Ha-ha-ha, tidak perlu kalian menjamu kami. Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang, kedatanganku ke sini adalah untuk menangkapmu!" Tentu saja Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini, juga para tamu yang duduk dekat pintu mendengar ini dan mereka pun berbisik-bisik, sehingga bisikan itu akhirnya terdengar oleh sepasang mempelai. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian terkejut sekali, dan biarpun tidak pantas bagi sepasang mempelai yang sedang duduk bersanding itu untuk bangkit sebelum waktunya, mereka tidak perduli dan keduanya sudah bangkit dan mendekat ke pintu. Demikian pula Pek Kong dan isterinya Siauw Bwee, Pek Ki Bu dan lima orang tokoh pimpinan Pek-sim-pang bangkit dan mendekat ke pintu. Mereka adalah keluarga pengantin pria, besan dari tuan rumah, maka tentu saja mereka harus ikut menjaga keamatan pesta pernikahan itu. Dengan sikap tenang, Siangkoan Ci Kang yang mendengar ucapan kakek gendut itu laru berkata, "Lo-cian-pwe siapakah dan mengapa pula Lo-cian-pwe datang hendak menangkap aku?" Biarpun kini di dekat pintu telah berkumpul banyak orang, di antaranya sepasang mempelai dan keluarga mempelai pria, kakek gendut itu tidak perduli dan dia pun bicara dengan lantang seperti seorang hakim yang mengadili seorang terdakwa. "Siangkoan Ci Kang, ingatkah engkau kepada Ceng Hok Hwesio, ketua cabang Siauw-lim-pai di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha tak begitu jauh dari sini?" Pendekar yang lengan kirinya buntung itu mengerutkan alisnya, menduga-duga siapa orang ini dan apa hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia menjawab dengan tegas. "Tentu saja aku masih ingat dengan baik kepada suhu Ceng Hok Hwesio." "Omitohud …..! Bagus sekali kalau begitu. Tentu engkau mau pula mengakui bahwaa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena engkau! Karena ulahmu, murid yang murtad!” Senyum itu menghilang dari wajah yang menghitam, dan mata itu mencorong. Siangkoan Ci Kang tidak merasa heran mendengar bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia karena memang hwesio itu sudah tua. Akan tetapi dia merasa terkejut dan penasaran mendengar tuduhan bahwa hwesio tua itu mati karena ulahnya. "Lo-cian-pwe, bicaralah yang jelas. Memang aku mengenal baik mendiang suhu Ceng Hok Hwesio, bahkan aku menjadi muridnya untuk mempelajari soal agama, akan tetapi aku tidak merasa telah menyebabkan kematiannya! Bahkan aku baru tahu sekarang bahwa dia telah merunggal dunia." "Heh-heh, kalau kami tahu sejak dahulu, jangan harap engkau akan dapat hidup sampai hari ini. Sayang kami tahu setelah terlambat. Kami datang ke kuil itu dan mendapatkan Ceng Hok Hwesio sudah tinggal tulang dan kulit, bahkan dia mati dalam pelukan kami. Dan dari para hwesio di sana, kami mendengar tentang kematiannya. Siangkoan Ci Kang, dahulu engkau sebagai seorang muda datang kepada Ceng Hok Hwesio bersama seorang wanita bernama Toan Hui Cu……” "Akulah Toan Hui Cu yang datang bersama dia ke kuil Siauw-lim-pai!" tiba-tiba Toan Hui Cu berkata dengan nada ketus. "Aha, kiranya keduanya berada di sini dan menjadi suami isteri, ya? Omitohud, ini memudahkan pekerjaan pinceng (aku). Nah, bersiaplah kalian berdua untuk ikut dengan kami ke kuil Siauw-lim-pai itu, untuk menebus dosa dan menerima hukuman atas perbuatan kalian. Kalian telah mengotori kuil, kalian menodai kesucian kuil sehingga Ceng Hok Hwesio menghukum kalian. Akan tetapi hal itu membuat dia menyesali dirinya sendiri sehingga selama bertahun-tahun dia menyiksa diri, bertapa di dalam ruangan tertutup dan akhirnya berpuasa sampai mati. Kalian harus menebus dosa!" Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu termenung sejenak mendengar ucapan itu. Teringat mereka akan semua peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu itu. Siangkoan Ci Kang merasa bahwa dia adalah keturunan seorang datuk sesat, yaitu Si Iblis Buta, sedangkan Toan Hui Cu lebih lagi, karena ayah ibunya adalah Raja dan Ratu Iblis. Keduanya saling jatuh cinta, kemudian karena ingin membersihkan diri, mereka bersepakat untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka di dalam kuil Siauw-lim-pai yang dipimpin oleh Ceng Hok Hwesio. Mereka diterima sebagai murid untuk mempelajari agama dan bersamadhi menebus dosa. Akan tetapi, kecantikan Hui Cu agaknya membuat Ceng Hok Hwesio lupa diri. Nafsu telah mencengkeramnya, mendatangkan gairah dan dia mendekati Hui Cu. Akan tetapi, Hui Cu yang mencinta Siangkoan Ci Kang dan telah menyerahkan jiwa raganya, tentu saja menolak. Hal ini membuat Ceng Hok Hwesio menjadi marah dan dendam. Dia lalu menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda itu, dan mengharuskan mereka "bertapa" di ruangan terpisah selama dua puluh tahun. Baru dengan cara demikian, kotoran dari dosa orang tua mereka akan dapat terhapus! Mereka berdua mentaati hukuman itu, biarpun secara diam-diam mereka pernah berhubungan sebagai suami isteri. Terlahirlah Siangkoan Bi Lian yang terpaksa mereka titipkan ke sebuah dusun, kepada seorang penduduk. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk sewaktu-waktu menengok anak mereka. Akan tetapi kemudian Bi Lian diculik datuk jahat dan menjadi murid para datuk, dan baru setelah gadis itu dewasa maka dapat bertemu kembali dengan mereka, berkat bantuan Pek Han Siong, murid mereka. Dan kini, tiba-tiba saja muncul dua orang pendeta aneh ini yang menyalahkan mereka karena kematian Ceng Hok Hwesio yang sudah tua!   "Lo-cian-pwe, kami tidak pernah melakukan pelanggaran dan selalu mentaati mendiang suhu Ceng Hok Hwesio. Kami tidak tahu-menahu tentang kematiannya, dan kalau dia mati tua dan mati karena bertapa, kenapa harus menyalahkan kami?" "Omitohud ……..! Kalau tidak karena ulah kalian, tidak mungkin beliau mati dalam keadaan tersiksa lahir batin seperti itu! Kalian harus dihukum!" "Penasaran ……!" Tiba-tiba kakek Pek Ki Bu yang sejak tadi mendengarkan saja, berseru marah dan dia pun menghampiri dua orang pendeta itu. Si gendut memandang kepadanya dan mulutnya menyeringai sadis. "Hem, siapa pun juga tidak boleh mencampuri urusan kami! Orang luar yang lancang akan celaka." "Hemm, hwesio sombong, aku bukan orang luar! Bahkan aku heran sekali kalau engkau mengaku hendak mengurus tentang Ceng Hok Hwesio. Aku kenal baik Ceng Hok Hwesio karena dia adalah saudara seperguruanku, dia murid keponakan mendiang ayahku, Pek Khun! Siangkoan Ci Kang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, dan kalau Ceng Hok Hwesio mati tua dalam pertapaannya, kenapa harus menyalahkan dia?" "Akulah saksinya bahwa suhu Siangkoan Ci Kang tidak bersalah!" Tiba-tiba Pek Han Siong berseru dengan tenang dan juga menghadapi dua orang pendeta itu. Si gendut melemparkan senyumnya. "Dan siapa pula engkau! Bukankah engkau mempelai prianya?" tanyanya sambil memandang pakaian Han Siong, pakaian pengantin. "Benar. Aku adalah Pek Han Siong, dan aku murid suhu Siangkoan Ci Kang dan subo Toan Hui Cu yang kini menjadi mertuaku. Aku juga bekas murid di kuil Siauw-lim-si yang dipimpin mendiang Ceng Hok Hwesio. Aku pernah berkunjung ke sana setelah suhu dan subo bebas dari hukuman di kuil itu, dan Ceng Hok Hwesio sendiri yang mengatakan bahwa dia telah merasa menyesal karena menghukum suhu dan subo tanpa salah! Kalau dia mati karena penyesalan, hal itu bukanlah kesalahan suhu dan subo!" Siangkoan Ci Kang melangkah maju dan menghadapi keluarga Pek dan mohon agar mereka mundur. "Biarlah kami yang akan menghadapi semua urusan ini," katanya. Lalu dia menghadapi dua orang pendeta itu dan berkata. "Ji-wi datang dengan tuduhan-tuduhan dan tuntutan, akan tetapi kami belum mengetahui siapakah ji-wi sebenarnya dan apa hubungan ji-wi dengan Ceng Hok Hwesio maka kini menuntut kami." "Sebut saja aku Hek-tok Sian-su (Dewa Racun Hitam) dan dia ini suhengku Ban-tok Sian-su (Dewa Racun Selaksa). Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang bahwa dahulu kami pernah menjadi tokoh-tokoh sesat. Kami disadarkan oleh Cang Hok Hwesio, bahkan setelah diajar agama, beliau mengirim kami berdua ke India untuk memperdalam ilmu. Kami berhutang budi yang lebih besar daripada nyawa kepada Ceng Hok Hwesio. Sampai puluhan tahun kami memperdalam ilmu di dunia barat dan dengan penuh kerinduan akhirnya kami pulang ke kuil. Dan apa yang kami temukan? Ceng Hok Hwesio yang tinggal kulit dan tulang, napasnya tinggal satu-satu dan dia meninggal dalam rangkulan kami. Dan dari para hwesio kami mendengar tentang engkau dan isterimu. Nah, kami segera mencarimu dan akhirnya saat ini kita dapat berhadapan." Siangkoan Bi Lian sejak tadi hanyamendengarkan saja,akan tetapi kini ia tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Ia meloncat ke depan, lengkap dengan pakaian pengantin dan tangan kirinya bergerak, telunjuknya menunjuk ke arah hidung pendeta gendut itu. "Kalian pendeta-pendeta sesat! Selama ini, kalau kalian memperdalam ilmu tentang agama, tentu kalian menjadi manusia-manusia yang arif bijaksana dan budiman. Akan tetapi kalian pulang sebagai iblis-iblis penuh dendam, bahkan julukan kalian juga Racun! Jelas, yang kalian pelajari dan perdalam selama ini hanyalah ilmu iblis!" Bentakan Bi Lian ini memang tepat sekali dengan suara hati mereka yang hadir, yang juga menduga demikian setelah mendengar cerita pendeta gendut, dan agaknya Siangkoan Bi Lian sudah akan menerjang maju menyerang dua orang pendeta, siap dibantu oleh Han Siong. Akan tetapi melihat ini, Siangkoan Ci Kang cepat melompat ke depan dan mencegah sepasang mempelai itu turun tangan. "Kalian mundurlah. Tidak baik bagi kalian yang sedang melangsungkan pernikahan untuk berkelahi. Urusan ini merupakan pribadi, biar kami berdua saja yang menghadapinya," katanya. "Benar, orang lain harap jangan mencampuri. Kami berdua masih sanggup menghadapi dua orang iblis berjubah pendeta ini!" kata pula Toan Hui Cu dan dari ucapannya itu saja jelaslah bahwa nyonya ini juga sudah marah bukan main.Hanya Ci Kang yang tetap tenang. Kini dia menghadapi si gendut, lalu bertanya, "Ji-wi Lo-cianpwe, kami suami isteri tidak merasa bersalah, olen karena itu, kami pun menolak untuk menjadi tangkapan ji-wi dan tidak mau mengikuti ji-wi pergi. Nah, itulah keputusan kami dan terserah kepada ji-wi." Si gendut itu tertawa dan menoleh kepada si kurus. "Heh-heh-heh, Ban-tok, sudah kita duga bahwa mereka akan berani membantah dan melawan kita!" Si kurus nampak makin muram dan dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab, "Aihh, Hek-tok, sudahlah jangan ganggu mereka. Mereka sedang merayakan pernikahan anak mereka, kenapa diganggu? Sebaiknya kita pulang saja dan kita mengadakan sembahyangan besar untuk suhu Ceng Hok Hwesio." Agaknya pendeta kurus yang kepalanya berambut tipis itu berbeda pendapat dengan kakek gundul yang menjadi sutenya. Dia nampak malas dan tidak bergairah. "Heiii, Suheng Ban-tok! Apakah engkau takut melawan bocah berlengan buntung sebelah ini?" Mendengar ucapan itu, si tinggi kurus yang tadinya bermalas-malasan dan seperti orang mengantuk, seketika terbangun semangatnya dan dia memandang marah kepada sutenya, "Hek-tok, jangan seenak perut gendutmu saja engkau bicara! Aku takut? Biar orang tua dia ini, Si Iblis Buta bangkit dari kubur dan membantunya mengeroyokku, aku masih tidak takut!"   "Kalau tidak takut, kenapa banyak cakap lagi? Bantulah aku untuk menangkap dia dan membawanya ke kuil untuk menerima hukuman. Ini merupakan tugas kita membalas budi mendiang Ceng Hok Hwesio!" kata si gendut. Mendengar ini, si tinggi kurus lalu melangkah maju menghadapi Siangkoan Ci Kang. Pendekar ini diam-diam terkejut. Kiranya dua orang aneh ini sudah menyelidiki secara mendalam tentang dirinya sehingga tahu pula bahwa dia adalah putera Si Iblis Buta. "Siangkoan Ci Kang, sebaiknya engkau menyerah saja dan ikut dengan kami ke kuil. Tidak ada gunanya engkau melawanku. Ingat, selama empat puluh tahun kami menggembleng diri dan memperdalam ilmu-ilmu kami. Engkau takkan menang, bahkan mungkin terluka parah kalau berani melawan aku!" kata si tinggi kurus dengan suaranya yang kecil seperti suara wanita. "Pendeta siluman, kami akan menghajarmu!" Lima orang pimpinan Pek-sim-pang, yaitu para pembantu dari Pek Kong ketuanya, tiba-tiba saja menerjang maju. Mereka sebagai tamu-tamu dan pengiring pengantin pria, menjadi marah sekali melihat ada orang-orang yang membikin kacau, mengganggu perayaan pernikahan itu. Mereka merasa tidak enak sekali kalau berdiam diri saja, maka melihat pendeta gendut yang seolah-olah menjadi biang keladinya karena si kurus tadi kelihatan enggan berkelahi, kini menerjang ke arah si gendut dengan serentak. Mereka tidak menggunakan senjata, hanya menyerang dengan pukulan dan tamparan. Akan tetapi karena mereka adalah tokoh-tokoh Pek-sim-pang yang tinggi tingkatnya, yaitu pembantu-pembantu ketua, maka serangan mereka itu cukup dahsyat, apalagi mereka menyerang dengan berbareng sambil menyerang dengan berbareng sambil mengerahkan tenaga. Siangkoan Ci Kang terkejut, akan tetapi tidak sempat lagi untuk mencegah karena serbuan lima orang Pek-sim-pang itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Bahkan Pek Ki Bu dan Pek Kong sendiri pun tidak mengira sehingga mereka pun hanya dapat memandang. Mereka semua menjadi semakin kaget melihat betapa kakek gendut itu masih menyeringai saja, sama sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak ataupun menangkis. Maka tentu saja pukulan lima orang Pek-sim-pang itu mengenai sasaran dengan tepat dan terdengar lah suara bak-bik-buk seperti orang-orang memukuli sekarung pasir ketika pukulan-pukulan itu mengenai sasaran, yaitu di perut, punggung, dada, lambung dan leher kakek gendut itu. Akibatnya ternyata lebih mengejutkan lagi. Kakek gendut itu masih nampak berdiri sambil menyeringai, bahkan kini terdengar suara tawanya, sebaliknya lima orang yang berhasil menyarangkan pukulan mereka ke sasaran itu, terjengkang atau terpelanting roboh, berkelojotan dan segera terdiam kaku, mati dengan tubuh berubah menghitam seperti kulit kakek gendut itu! Siangkoan Ci Kang terkejut bukan main. Kiranya si genddut hitam itu merupakan orang yang memiliki tubuh yang beracun, luar biasa sekali betapa pukulan itu diterimanya begitu saja dan yang memukul sudah keracunan! Ini merupakan ilmu sesat yang amat jahat dan kejam, padahal pukulan lima orang itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat! "Jangan sentuh ……!” Han Siong berseru ketika melihat ayah dan kakeknya meloncat ke dekat mayat-mayat itu. Untung dia mengeluarkan seruan ini karena orang yang menyentuh mayat-mayat itu terancam bahaya keracunan, setidaknya keracunan kulitnya. "Ha-ha-ha, jangan salahkan pinceng (aku). Mereka itu menyerangku, dan mereka mati karena perbuatan sendiri. Memang sudah takdirnya. mereka mati." kata si gendut sambil tertawa-tawa. Wajah Siangkoan Ci Kang berubah. Kini dia marah sekali. Dalam pesta pernikahan puterinya terjadi bukan hanya pengacauan, akan tetapi juga pembunuhan walaupun dia juga melihat sendiri betapa lima orang tamu itu tadi menyerang si kakek gendut yang sama sekali tidak menangkis atau balas menyerang. Bagaimanapun juga, lima orang itu adalah tamu-tamunya, bahkan tamu kehormatan karena mereka adalah pengikut-pengikut mempelai pria, tokoh-tokoh Pek-sim-pang. Dialah yang bertanggung jawab, sebagai tuan rumah. "Kalian adalah orang-orang tua, pendeta-pendeta, yang tidak patut dihormati. Kalian iblis-iblis jahat!" bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Akan tetapi sebelum pendekar ini menyerang si gendut yang telah membunuh lima orang Pek-sim-pang, si kurus sudah menyambutnya dengan sambaran tangan ke arah leher. Sambaran tangan yang kurus panjang itu nampaknya tidak bertenaga, akan tetapi nampak sinar hitam dari telapak tangan itu dan tahulah Ci Kang bahwa si tinggi kurus ini pun mempunyai pukulan beracun, apalagi kalau dingat bahwa Julukannya pun Ban-tok Sian-su (Dewa Selaksa Racun)! Dia mengelak dengan menarik tubuh atas ke samping, lalu dari samping, tangannya menyambar dengan totokan ke arah lambung. Ban-tok Sian-su dapat mengelak dengan mudah dan membalas lagi, kini kedua orang sakti itu saling serang dengan dahsyatnya. Setiap serangan merupakan cengkera man maut dan kalau mengenai sasaran, tentu akan mematikan. Karena maklum sepenuhnya bahwa lawannya menggunakan hawa beracun yang amat berbahaya, maka Siangkoan Ci Kang selalu mengandalkan kecepatan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dari setiap serangan, tidak mau menangkis. Juga setiap kali menyerang, dia melindungi jari tangannya dengan sin-kang untuk menolak hawa beracun kalau sampai serangannya mengenai tubuh lawan, atau kalau lengannya beradu dengan lengan lawan yang menangkis. Dari setiap kali adu lengan, pendekar ini pun maklum bahwa lawannya benar-benar lihai, memiliki sinkang yang amat kuat, setidaknya tidak kalah kuat olehnya. Puluhan jurus lewat dan mereka sama kuat akan tetapi Toan Hui Cu maklum bahwa suaminya terdesak dan ia tahu pula mengapa demikian. Suaminya tidak berani menangkis langsung dan selalu mengelak. Hal ini tentu saja mengurangi kesempatan baginya untuk memperbanyak serangannya dan terdesak lawan. Untuk menghadapi lawan yang ahli racun itu, memang berbahaya sekali menggunakan tangan kosong. Maka, nyonya ini lalu minta pedang Kwan-im-kiam dari Han Siong dan ia melemparkan pedang itu kepada suaminya sambi! berseru. "Membunuh ular beracun harus dengan senjata. Terimalah ini!" Ci Kang maklum akan maksud isterinya, maka dia pun meloncat ke belakang menyambar pedang yang pada saat itu dilontarkan isterinya dengan penuh perhitungan. Setelah pedang Kwan-im-kiam berada di tangan kanannya, Ci Kang meloncat turun menghadapi lawannya. Dia adalah seorang gagah yang berjiwa pendekar, maka dia tidak segera menyerang, melainkan berkata dengan sikap gagah. "Ban-tok Sian-su, keluarkan senjata- mu!" Si tinggi kurus itu mewek-mewek seperti mau menangis, padahal maksud hatinya ingin tersenyum mengejek! Memang orang ini tidak bisa menggerakkan mulut untuk tertawa. Kedua ujung mulutnya selalu bergerak ke bawah, tidak dapat ke atas. "Siangkoan Ci Kang, aku tak pernah menggunakan senjata. Menghadapi seorang muda seperti engkau, apa perlunya ber- senjata? Majulah!" "Lihat pedangku!" Ci Kang membentak dan dia pun mulai menyerang. Kakek tinggi kurus itu mengelak dan menyampok pedang dari samping dengan tangannya! Kakek itu memang lihai sekali. Kedua lengan dan tangannya agaknya memiliki kekebalan sehingga berani menyampok pedang pusaka dari samping. Biarpun tidak langsung menangkis mata pedang, namun sampokan ini saja sudah membuktikan bahwa lengannya kebal. Kembali mereka, saling serang dengan seru, bahkan lebih hebat daripada tadi. Setelah memegang Kwan-im-kiam, Siang-koan Ci-Kang bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Dia memang bersama isterinya telah mewarisi ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut yang dahsyat, apalagi ilmu itu dimainkan dengan Kwan-im-kiam, maka pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Indah namun berbahaya, lembut namun mengandung kekuatan yang dahsyat bukan main. Ilmu itu seperti menggambarkan sifat Dewi Kwan Im. Lemah lembut, luhur budi, namun mengandung kesaktian yang sukar dilawan! Bahkan seorang sakti seperti Ban- tok Sian-su menjadi terkejut dan mulailah dia terdesak. Si gendut Hek-tok Sian-su yang menjadi penonton di pinggir, memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya lupa tersenyum. Hampir dia tidak percaya. Bagaimana mungkin suhengnya yang sudah menguasai ilmu yang amat hebat itu sampai terdesak oleh lawan yang lengannya buntung sebelah itu? Tadinya dia dan suhengnya amat memandang rendah kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, mengingat mereka hanyalah murid-murid Ceng Hok Hwesio yang tingkat kepandaiannya jauh di bawah mereka. Akan tetapi, di luar dugaannya Ci Kang bukan saja mampu menandingi Ban-tok Sian-su, bahkan mampu mendesaknya dan membuat suhengnya itu kini terancam bahaya. Tentu saja dia merasa gelisah! Dia ingin sekali membantu suhengnya yang kini terancam oleh gulungan sinar yang lembut namun amat kuat itu. Akan tetapi, dia bukanlah seorang bodoh yang sombong begitu saja. Dia dapat melihat kenyataan, dapat mengenal keadaannya dan mempertimbangkannya, menghitungnya masak-masak. Kalau dia membantu suhengnya, hal itu bukan menguntungkan fihaknya, bahkan sama dengan melempar dirinya sendiri ke dalam bahaya. Di situ terdapat Toan Hui Cu yang kabarnya tidak kalah lihainya dibandingkan Ci Kang, apalagi mengingat bahwa wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Raja I.blis dan Ratu Iblis. Dan di situ masih terdapat pula sepasang mempelai, yaitu puteri dan murid suami isteri itu, yang tentu juga lihai, di samping adanya orang-orang Pek-sim-pang. Tidak, kalau dia main keroyokan, dia dan suhengnya akan celaka! Maka, dia menahan diri dan hanya menjadi penonton, dengan hati berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan. Kekhawatiran Hek-tok Sian-su memang beralasan. Pada waktu itu, pertandingan itu sejak dimulai sampai sekarang telah berlangsung seratus jurus lebih dan kini Ban-tok Sian-su sudah terdesak hebat. Beberapa kali dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu kedua tangan yang didorongkan ke depan mengeluarkan uap hitam yang berbau busuk, tanda bahwa uap itu beracun dan jahat sekali. Namun, gulungan sinar pedang itu menghalau uap hitam dan melihat ini, Toan Hui Cu, Pek Han Siang, dan Siangkoan Bi Lian yang mempunyai kepandaian tinggi sudah memperingatkan para tamu untuk menyingkir, menjauhi tempat perkelahian itu karena mereka maklum bahwa uap hitam itu am at berbahaya kalau tersedot atau tersentuh para tamu. Biarpun Ban-tok Sian-su telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang aneh-aneh dan jahat, namun ilmu pedang itu dapat menghalau semua serangan, bahkan gulungan sinar pedang itu mengurungnya dan membuat Ban-tok Sian-su menjadi sibuk sekali untuk mengelak dan menangkis, bahkan akhirnya tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Beberapa kali dicobanya pula untuk menggunakan ilmu sihir dan beberapa kali Ci Kang terhuyung, terkena pengaruh sihir yang amat kuat walaupun dia sudah mengerahkan sin-kangnya. Akan tetapi, Han Siong yang melihat ini, segera diam-diam membantu suhu dan juga ayah mertuanya, dengan kekuatan sihirnya, dia memunahkan daya sihir kakek kurus sehingga Ci Kang tidak terpengaruh lagi. Kakek kurus itu tidak tahu bahwa pemuda mempelai pria itu yang menolak sihirnya, yang terasa olehnya hanya betapa kekuatan sihirnya membalik seperti seekor anjing pemburu yang lari kembali kepada majikannya dengan ekor ditekuk ke bawah! Tentu saja dia menjadi semakin panik dan karena itu, gerakannya mengendur dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ci Kang. Dengan gerakan istimewa, setengah membalik dengan tubuh condong, pedangnya menyambar dan tahu-tahu telah menusuk dan menembus dada Ban-tok Sian-su. "Crappp.......!!" "Aughhh......!!" Ketika pedang dicabutnya cepat-cepat, kakek tinggi kurus itu roboh terjengkang, kedua tangannya mendekap dada dan darah pun bercucuran dari celah-celah jari tangannya. Ci Kang adalah seorang yang sudah lama mengundurkan diri, bahkan seperti mengasingkan diri bersama isterinya, menjauhi dunia kang-ouw dan menjauhi kekerasan. Kini, melihat betapa pedangnya menembusi dada seorang lawan yang tadinya sama sekali tidak dikenalnya, bahkan tidak ada urusan apa pun antara mereka, menjadi terkejut dan menyesal bukan main. "Ah, maafkan aku " katanya dan dia pun berlutut di dekat tubuh yang rebah terlentang itu. "Ayah, jangan !" teriak Bi Lian, dan Han Siong juga menubruk ke depan. Namun terlambat. Kedua tangan yang berlumuran darah dan yang tadi mendekap dada yang tertembus pedang, tiba-tiba menyambar ke depan. Biarpun Han Siong dapat mendorong tubuh suhunya ke samping, namun tetap saja tangan kiri Ban-tok Sian-su sempat menghahtam dada kanan Ci Kang.   “Plakk....!!" Ci Kang terjengkang, akan tetapi dapat segera bangkit kembali dan di bajunya bagian dada nampak tanda cap merah, yaitu bekas tangan Bantok Sian-su yang berlepotan darah. Dan tiba-tiba terjadi keanehan. Ban-tok Sian-su yang tadi hanya nampak cemberut dan mukanya muram dan masam, kini tiba-tiba tertawa bergelak-gelak. "Bak-tok ....!" Kakek gendut menubruk dan merangkul suhengnya yang masih tertawa. Setelah suara tawa itu terhenti, kepala si tinggi kurus itu terkulai di pangkuan Hek-tok Sian-su dan dia pun tewas! Dan terjadi keanehan ke dua. Kakek gendut yang sejak tadi hanya tersenyum dan tertawa-tawa, kini merangkul mayat si tinggi kurus sambil menangis tersedu-sedu! Semua orang memandang dengan bengong. Sambi terus menangis, si gendut itu bangkit dan memondong mayat suhengnya. "Siangkoan Ci Kang, lain waktu aku akan membuat perhitungan denganmu. Sekarang aku hendak mengurus suhengku lebih dulu!" Dia lalu membalikkan tubuhnya. "Pendeta palsu, engkau hendak lari ke mana?" bentak Toan Hui Cu yang sudah mengambil pedang Kwan-im-kiam dari tangan suaminya. "Tahan .....!" kata Ci Kang lemah. "biarkan dia pergi mengurus jenazah suhengnya." Dengah gemas Toan Hui Cu terpaksa mentaati suaminya, demikian pula Han Siong dan Bi Lian tidak berani melanggar, walaupun mereka berdua ingin pula untuk menahan dan. membunuh kakek gendut yang berbahaya itu. Apalagi ketika mereka melihat Siangkoan Ci Kang terkulai lemas, dan dirangkul oleh Hui Cu. "Bagaimana keadaanmu......?" isteri itu bertanya khawatir. Han Siong dan Bi Lian mendekat dan mereka berdua terkejut bukan main melihat betapa kulit leher dan muka Siangkoan Ci Kang perlahan-lahan berubah menghitam! Keracunan! Tentu pukulan tadi mengandung racun yang amat hebat! "Keparat, pendeta busuk itu!" Bi Lian teringat dan ia sudah meloncat berdiri dan menoleh, akan tetapi pendeta gendut tadi sudah tidak nampak lagi bayangannya. "Aku harus mengejarnya. untuk minta obat penawar!" Han Siong memegang lengannya."Nanti dulu, Lian-moi. Kita periksa dulu keadaan ayah "Han Siong lalu memondong tubuh suhunya yang kini menjadi ayah mertuanya itu ke dalam, diikuti oleh Bi Lian dan Toan Hui Cu, sedangkan Pek Ki Bu dan Pek Kong, dibantu oleh beberapa orang, sibuk mengurus jenazah lima orang pimpinan Pek-sim-pang. Tentu saja perayaan itu menjadi bubar dan para tamu, orang-orang dusun, merasa ketakutan dan juga tahu diri. Mereka melihat betapa pihak tuan rumah mengalami kesulitan, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat perayaan, kembali ke dusun masing-masing. Sementara itu, Hui Cu,Bi Lian dan Han Siong memeriksa keadaan Siangkoan Ci Kang. Kalau saja pendekar ini tidak memiliki tubuh yang kuat dan penuh tenaga sin-kang, tentu dia sudah tewas. Pukulan tadi mengandung hawa beracun yang amat jahat, yang membuat kulit tubuhnya menjadi kehitaman! Sebagai ahli-ahli silat, Hui Cu, Bi Lian dan Han Si-ong mengerti tentang pengobatan, dan mereka sudah membantu Ci Kang dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir hawa beracun, juga memberi obat yang akan mencegah menjalarnya racun. Akan tetapi semua usaha itu hanya dapat menahan menjalarnya racun, tidak dapat mengusir racun yang telah memasuki dada dan tidak menyembuhkan lukanya. Racun yang terkandung dalam pukulan Ban-tok Sian-su memang aneh dan luar biasa jahatnya. "Biar kukejar dan kucari pendeta iblis gendut itu, akan kupaksa dia menyerahkan obat penawarnya!" kata Bi Lian. "Jangan, Lian-moi. Hek T ok Siansu itu berbahaya, biar aku yang akan mengejarnya, sedangkan engkau pergilah mencari Hay Hay. Dia memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menyedot racun dan menjadi obat yang amat manjur. Engkau pinjamlah mustika itu darinya, dan aku sendiri yang akan mengejar Hek Tok Siansu." "Akan tetapi, ke mana aku dapat mencarinya?" "Dia tentu pergi ke Cin-ling-san bersama Kui Hong. Carilah di sana, andaikata, tidak jumpa pun tentu kau akan dapat mendengar ke mana dia pergi." Karena amat mengkhawatirkan keadaan Ci Kang yang keadaannya parah itu, Han Siong dan Bi Lian segera berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Bahkan Han Siong sudah berangkat lebih dahulu melakukan pelacakan dan pengejaran terhadap Hek Tok Siansu yang pergi membawa jenazah Ban Tok Siansu. Sungguh menyedihkan. Sepasang pengantin yang tidak sempat berpengantinan, karena harus saling berpisah! Toan Hui Cu tinggal di rumah menjaga suaminya dengan hati penuh kegelisahan. Keluarga Pek juga segera kembali ke Kong-goan sambil membawa abu lima orang pimpinan Pek-sim-pang. *** Karena melakukan perjalanan sambil melacak dan mencari keterangan tentang jejak Hek Tok Siansu, maka Han Siong terlambat tiba di kuil Siauw-lim-si itu. Andaikata dia tidak mengikuti jejak kakek gendut itu dan langsung saja pergi ke sana, tentu dia tidak akan terlambat. Baru setelah dia kehilangan jejak kakek itu, dia teringat untuk mencari di kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha di kaki pegunungan Heng-tuan-san, juga tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mertuanya. Ketika akhirnya dia tiba di kuil itu, para hwesio masih ingat kepada Han Siong yang dahulu dikenal sebagai seorang sin-tong (bocah ajaib) dan mereka menyambut dengan gembira. Pemuda ini pernah menjadi kacung atau juga pelayan dan juga murid Ceng Hok Hwesio dan karena wataknya yang baik dan penurut, maka semua hwesio di kuil itu menyayangnya. Dari mereka inilah Han Siong mendengar keterangan yang lebih jelas. Ternyata bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu memang benar dahulu meru pakan hwesio muda di kuil itu, setelah mereka itu sadar dari penyelewengannya menjadi penjahat-penjahat yang ditaklukkan oleh Ceng Hok Hwesio, kemudian menjadi hwesio dan menerima ajaran agama dari Ceng Hok Hwesio. Kemudian mereka berdua atas petunjuk Ceng Hok Hwesio melakukan perjalanan ke barat, ke Tibet dan India untuk memperdalam ilmu keagamaan mereka. Sebulan yang lalu, mereka datang sebagai dua orang pendeta yang aneh dan berilmu tinggi. Kedatangan mereka tepat pada hari kematian Ceng Hok Hwesio karena usia tua. Mereka bertanya tentang Ceng Hok Hwesio yang bertapa dan menghukum diri sendiri, dan mendengar tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui. Cu, mereka menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio adalah karena kesalahan suami isteri yang pernah dihukum di kuil itu "Mereka juga mengirim seorang diantara kami untuk menyelidiki di mana adanya seorang pendekar yang bernama Tang Hay atau Hay Hay, dan ketika kemarin dulu Hek Tok Siansu pulang, dia membawa jenazah Ban Tok Siansu, setelah jenazah itu diperabukan, dia lalu pergi ke kota raja untuk mencari Hay Hay karena menurut penyelidikan, pendekar itu mungkin sekali berada di kota raja.”   Han Siong merasa kecewa sekali, juga merasa heran. Dia merasa kecewa karena kedatangannya terlambat, dan merasa heran mengapa Hek Tok Siansu mencari Hay Hay! Ada urusan apa pendeta hitam itu dengan Hay Hay? Ceng Sun Hwesio, yaitu hwesio yang kini menjadi kepala kuil di situ menggantikan Ceng Hok Hwesio yang telah wafat, melihat kekecewaan itu dan dia pun berkata, “Omitohud, apakah engkau mencari obat penwar racun?” Han Siong kaget dan meloncat bangun, memberi hormat kepada hwesio tua itu dan berseru, “Bagaimana Losuhu dapat mengetahuinya? Memang benar, saya mencari Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar racun!” "Omitohud, betapa bijaksananya Hek Tok Siansu walaupun nama julukannya menyeramkan. Han Siong, sebelum beliau pergi, telah meninggalkan sebungkus obat dan agaknya beliau telah tahu bahwa tentu engkau akan datang mengejarnya ke sini. Beliau berpesan agar obat penawar itu diberikan kepadamu!" Hwesio tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan menyerahkannya kepada Han Siong. Dengan heran dan ragu, akan tetapi penuh harapan, pemuda itu menerima bungkusan dan dengan hati-hati membukanya. Di dalam bungkusan itu terdapat bubuk putih. "Losuhu, apakah Hek Tok Siansu tidak meninggalkan pesan mengenai obat penawar racun ini?" "Ada……. ada! Beliau berpesan agar obat ini diminumkan sekaligus sampai habis, dan katanya bahwa Siangkoan Ci Kang harus bertapa di sini sampai mati. Kalau dia tidak datang sendiri, kelak beliau akan menjumpainya. Nah, hanya itulah pesannya." Han Siong mengucapkan terima kasih, kemudian cepat-cepat dia kembali ke Kim-ke-kok. Subonya menerimanya dengan gembira setelah dia menceritakan pengalamannya, akan tetapi guru dan murid ini berhati-hati sekali ketika hendak memberikan obat penawar itu kepada Siangkoan Ci Kang. Bergantian mereka mencoba dan menjilat obat itu. Setelah yakin bahwa obat itu tidak menganduhg racun, barulah mereka berani memberikan obat itu kepada Siangkoan Ci Kang yang keadaannya rnasih lemah. Ketika sebelum minum obat Ci Kang dilapori Han Siang tentang obat yang oleh Hek Tok Siansu ditinggalkan kepada hwesio di kuil Siauw-lim-si, dia pun mengangguk dan mau meminumnya. Mereka bertiga dapat mengerti jalan pikiran hwesio gendut itu. Tentu hwesio itu tidak rela melihat Ci Kang mati begitu saja oleh racun dan menghendaki agar Ci Kang dan Hui Cu menebus "dosa" dan bertapa di kuil itu sampai mati sebagai hukuman mereka yang menjadi sebab Ceng Hok, Hwesio menderita sampai mati! Han Siang menanti sampai tiga hari setelah suhunya minum obat penawar racun. Dan memang ternyata benar, obat itu manjur sekali. Keadaan Ci Kang membaik dan setelah tiga hari, dadanya tidak terasa nyeri lagi dan kulitnya yang tadinya menghitam, mulai pulih dan bersih kembali. Akan tetapi ketika dia mencoba untuk mengerahkan sin-kang, ternyata tenaganya lemah bukan main. Tahulah dia bahwa akibat racun yang ganas itu, dia kehilangan tenaganya, dia harus berlatih dan menghimpun kekuatan sin-kang dengan tekun. . "Engkau pergilah, susul isterimu dan ajak ia pulang," kata Ci Kang kepada mantunya. "Keadaanku sudah membaik, tinggal mengumpulkan tenaga saja." "Benar, Han Siong. Pergilah kau mencari isterimu dan ajak ia pulang. Kasihan kalian betdua, semestinya menjadi pengantin baru, malah saling berpisah seperti ini," kata Hui Cu. Han Siong tersenyum dan memberi hormat kepada suhu dan subonya yang kini menjadi ayah dan ibu mertuanya itu. "Harap, Ayah dan Ibu tidak memikirkan hal remeh seperti itu. Yang penting, Ayah dapat diselamatkan. Saya akan pergi mencari Lian-moi dan kalau sudah jumpa, kami akan berpesiar sebagai bulan madu, mengajaknya ke rumah keluarga saya di Kong-goan, mengunjungi para pendekar kenalan kami yang pernah bekerja sama, kemudian baru kembali ke sini." Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu mengangguk-angguk girang dan setelah mengucapkan selamat tinggal, Han Siong lalu meninggalkan Kim-ke-kok, pergi mencari isterinya. Karena sebelum pergi, Bi Lian dia beritahu agar mencari keterangan tentang Hay Hay ke Cin-ling-pai, maka dia pun melakukan pengejaran ke sana, walaupun dari para hwesio di kuil Siauw-lim-si dia mendengar bahwa kabarnya Hay Hay berada di kota raja dan Hek Tok Siansu juga pergi ke sana. Baginya yang terpenting adalah menemukan isterinya dulu. *** Cang Hui, dara jelita yang lincah jenaka itu maklum akan maksud ayah ibunya untuk menjodohkan saudara misannya, Teng Cin Nio, dengan kakaknya, Cang Sun. Ia amat sayang kepada kakaknya, dan juga ia sayang kepada Cin Nio yang dianggapnya bukan saja manis wajahnya, akan tetapi juga manis budinya dan akan menjadi isteri yang baik sekali bagi kakaknya, sepenuhnya mendukung niat orang tuanya itu. Seringkali, secara cerdik dan tidak menyolok, ia menceritakan semua kebaikan kakaknya kepada Teng Cin Nio, dan gadis yang memang kagum kepada Cang Sun itu menjadi semakin tertarik. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan rasa kagumnya, walau kepada Cang Hui sekalipun. Mengaku cinta kepada seorang pria kepada orang lain merupakan pantangan besar bagi seorang gadis baik-baik! Cang Hui memang cerdik, lincah dan jenaka. Ia tidak kekurangan akal untuk "menjodohkan" saudara misannya itu dengan kakaknya, yaitu dengan jalan mempertemukan mereka berdua empat mata saja. Ia mulai mengatur siasat. Ia menanti sampai malam bulan purnama tiba, karena di bawah sinar bulan purnama biasanya orang mudah jatuh cinta! Ia tahu bahwa kakaknya seringkali menikmati bulan purnama ditaman bunga mereka yang indah, di mana terdapat sebuah kolam ikan dan tempat duduk yang terlindung atap tanpa dinding, dan di tempat ini biasanya kakaknya menulis sajak atau membaca buku, sampai jauh malam. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan ia tahu benar bahwa kakaknya malam itu berada di taman, ia lalu mengajak Cin Nio untuk berjalan-jalan di taman bunga menikmati keindahan bulan purnama. Cin Nio yang tidak mencurigai misannya yang disayangnya itu, menjadi gembira dan tak lama kemudian kedua orang gadis bangsawan itu melangkah perlahan-lahan memasuki taman, berbeda dengan para puteri bangsawan lainnya yang selalu ditemani pelayan, dua orang gadis ini tidak. Mereka adalah gadis-gadis yang mempelajari ilmu silat dan merasa. diri mereka cukup kuat untuk melindungi diri sendiri sehingga tidak membutuhkan penjagaan pelayan, atau pengawal. Ketika mereka berjalan-jalan di dekat kolam ikan, tiba-tiba Cang Hui menarik tangan Cin Nio dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara, lalu mereka bersembunyi di balik rumpun bunga mawar, Cin Nio memandang ke depan dan pipinya terasa panas. Ia pun kini melihat seorang pemuda duduk membelakangi mereka, menghadapi kolam ikan, agaknya menikmati bulan yang tenggelam di dalam kolam, lalu terdengar pemuda itu membaca sajak yang agaknya baru saja dibuatnya. Suaranya lembut dan merdu, menambah keindahan malam itu. Malam gemilang dengan cahaya bulan purnama, langit bersih, taman yang penuh bunga-bunga musim semi yang sedang bersaing dalam lomba kecantikan, semerbak harum dan silir angin lembut, lalu suara merdu memuat sajak, diiringi paduan suara jengkerik dan belalang!   "Bunga setaman aneka wama bermandikan cahaya pumama bersaing cantik indah berseri berlomba sedap harum mewangi betapa bahagianya hati ini! Namun, bagaikan mimpi hampa tak lama lagi bulan sirna meninggalkanku dalam gulita bunga akan habis gugur layu tinggal aku di sini sepi sendiri. Wahai ikan-ikan dalam kolam taman kalian akan tetap gembira dengan teman-teman tapi... aku? sepi sendiri termenung iri...." Terdengar tepuk tangan mendahului munculnya seorang wanita cantik. Cang Hui dan Cin Nio menahan diri, bahkan Cang Hui memegang lengan Cin Nio dan memberi isyarat agar tidak mengeluarkan suara. Tadi ia sudah siap bertepuk tangan memuji kakaknya, akan tetapi begitu mendengar tepuk tangan dari lain jurusan, ia tidak jadi bertepuk tangan. Dua orang gadis itu melihat bahwa yang muncul adalah Liong Bi yang kini telah menjadi pengawal keluarga Cang. Cang Hui ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan wanita yang biarpun ia kagumi kelihaiannya namun sikapnya yang dianggap genit itu menimbulkan perasaan tidak suka dalam hatinya itu. Sementara itu, ketika Cang Sun melihat bahwa yang muncul dan bertepuk tangan memuji adalah Liong Bi, wanita cantik yang kini menjadi pengawal keluarga ayahnya, segera bangkit dari duduknya. "Hebat, Cang-kongcu. Tak kusangka bahwa Kongcu sepandai ini, dapat membuat sajak sedemikian indahnya!" Liong Bi atau Su Bi Hwa memuji sambil memperlihatkan senyum manis dan kerling mata memikat. Wajah Cang Sun berubah kemerahan. "Ah, Liong-lihiap (pendekar wanita Liong) terlalu memuji. Aku hanya iseng menikmati bulan purnama." Liong Bi mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama sambil tersenyum dan giginya nampak berkilauan tertimpa sinar bulan. "Memang cantik dan indah sekali malam ini, Kongcu, tidak mengherankan kalau keindahan ini menggerakkan jiwa senimu untuk membuat sajak. Alangkah akan semakin meriahnya kalau malam yang indah ini diisi dengan tarian pedang. Maukah Kongcu melihat saya menari pedang untuk mengimbangi sajakmu tadi?" Cang Sun adalah seorang pemuda yang sopan. Biarpun dia merasa tidak sepatutnya seorang pria seperti dia mengadakan pertemuan berdua saja dengan seorang wanita muda dan cantik di malam hari dalam taman, akan tetapi dia merasa tidak baik kalau menolak. Apalagi, wanita itu adalah pengawal keluarga, dan kini hanya ingin melakukan tari pedang untuk memeriahkan suasana malam bulan purnama. Maka dia pun mengangguk dan hanya berkata, "Silakan." Liong Bi sudah mencabut pedangnya dan mulailah ia menari. Tarian itu mengandung gerakan silat pedang, akan tetapi dilakukan dalam gaya tarian yang nampak indah dan menonjolkan keindahan lekuk lengkung tubuh wanita itu. Apalag Liong bi sengaja bergerak lambat, dengan gerakan seindah mungkin, disertai senyum manis dan kerling memikat sehingga Cang Sun terpesona juga. Memang, Liong Bi adalah seorang wanita yang cantik menarik dan berpengalaman. Ia tahu bagaimana harus bergaya untuk memikat hati pria. Tubuhnya yang memang padat menggairahkan dengan kulit yang halus putih itu sengaja dibungkus pakaian yang ketat dan ketika ia menarikan silat pedang, tubuh yang ramping itu membuat gerakan dan goyangan seperti seekor ular, menggairahkan dan memikat. Dan tarian itu, memang indah, pedangnya, membuat gulungan sinar berkeredepan. Wanita cantik itu nampak gagah perkasa, mengingatkan Cang Sun akan Kui Hong, gadis pendekar yang dicintanya, dan dia pun terpesona. Setelah Liong Bi menghentikan tariannya, Cang Sun bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Liong-lihiap. Tarianmu indah dan gagah!" serunya gembira. Setelah menyimpan pedangnya, Liong Bi menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang ganteng, pikirnya, bukan saja ganteng, akan tetapi juga putera seorang menteri yang terkenal dan besar kekuasaannya. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat menjadi isteri pemuda ini, dan amat besar manfaatnya bagi Pek-lian-kauw! Kalau berhasil, ia akan mendapat keuntungan ganda. Ia sendiri akan menikmati kemuliaan, dan ia akan dapat berbuat banyak demi keuntungan Pek-lian-kauw. "Aihh, sekarang engkau yang terlalu memujiku, Kongcu. Sajakmu tadi yang patut dikagumi, hanya sayang sekali engkau bersedih pada akhir sajak itu, Kongcu. Kenapa engkau iri terhadap ikan-ikan di kolam ini, Kongcu?' Liong Bi memandang ke arah ikan-ikan emas yang berenang berkejaran di dalam kolam. Cang Sun juga memandang ke arah kolam. "Mereka itu selalu bergembira dengan teman-teman mereka, tak perduli ada bulan atau tidak, bunga bersemi atau tidak, sedangkan aku...." Cang Sun tidak melanjutkan ucapannya, merasa bahwa dia kelepasan bicara. "Kongcu sepi sendiri? Aihh, Cang Kongcu, kenapa Kongcu membuat sajak seperti itu bunyinya? Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti Kongcu dapat kesepian? Semua orang, terutama para gadis di seluruh negeri, akan merasa bangga untuk menjadi teman Kongcu!" Ia mendekat, lalu dengan lembut ia duduk di atas bangku, di samping pemuda itu, lalu dengan pandang mata penuh daya pikat, ia berbisik, "Setidaknya aku siap sedia menemani dan menghibur Kongcu, setiap saat, dalam suka maupun duka...." Cang Sun terbelalak, mukanya semakin merah dan jantungnya berdebar. Dia bangkit dan berseru, "Long-lihiap...." Akan tetapi ia menahan diri untuk melanjutkan tegurannya karena dia teringat betapa wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya ketika dia diserang penjahat di telaga tempo hari. "Kongcu, sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah kagum sekali kepadamu dan aku siap untuk melindungimu, menghiburmu, menemanimu dan membahagiakanmu selamanya....." Suaranya merayu-rayu dan dengan lembut dan hangat jari tangan wanita itu menyentuh lengan Cang Sun. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Harus diakui bahwa dia amat tertarik. Wanita ini nampak demikian cantik menggairahkan, demikian gagah, dan demikian menantang. Akan tetapi, hati nuraninya menolak karena dia belum mengenal benar siapa sesungguhnya wanita ini, orang macam apa dan apakah benar tulus semua perasaan yang diucapkannya itu. Maka, dia pun melangkah mundur, tiga langkah.   Liong Bi yang sudah bangkit berdiri dan melihat usahanya hampir berhasil, tidak mau melepaskan mangsa yang sudah di depan mulut begitu saja. Ia pun melangkah maju mendekat lagi, suaranya menggetar penuh perasaan, "Kongcu...." Pada saat itu terdengar suara Cang Hui, "Sun-ko, engkau di situkah?" dan muncullah Cang Hui dan Cin Nio. Begitu mendengar suara gadis itu, Liong Bi cepat mundur beberapa langkah sehingga ia berdiri cukup jauh dari pemuda itu ketika dua orang gadis itu muncul dan tiba di situ. "Engkau baru apakah, Sun-ko? Eh, kiranya Enci Liong Bi juga berada di sini? Sedang apakah engkau, Enci Liong Bi?" tanya Cang Hui sambil memandang tajam. Dengan sikap tenang Liong Bi menjawab, "Saya kebetulan lewat di sini ketika meranda, Siocia. Permisi, sara akan melanjutkan perondaan, menjaga keanaman malam ini." "Lebih baik begitu, Enci Liong Bi," kata Cang Hui, menyembunyikan makna yang tajam dalam ucapan itu walaupun dapat pula dianggap wajar. Liong Bi memberi hormat, "Permisi, Siocia, Kongcu.... !" ia pun, pergi dari situ. Setelah Liong Bi pergi, Cang Hui menghampiri kakaknya. "Koko, mau apa sih enci Liong Bi berada di sini?" Cang Sun menghela napas dan dia memandang kepada Cin Nio yang hanya berdiri di situ sambil menundukkan mukanya. "Dia hanya kebetulan lewat ketika meronda dan melihat aku berada di sini, ia lalu datang menghampiri aku dan kami bercakap-cakap. Kenapa engkau menanyakan?" Cang Sun membalas dan memandang adiknya yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadinya. "Tidak apa-apa, Koko, hanya aku merasa heran melihat keberaniannya menemui engkau seorang diri di malam hari begini. Hati-hati, Koko, aku mendengar dari enci Mayang bahwa enci Liong Bi adalah seorang janda. Jangan-jangan engkau akan terpikat olehnya!" "Huh, bicaramu sudah menyimpang, Hui-moi!" Cang Sun menegur adiknya. "Engkau lupa telah mengajak Cin-moi dan kau diamkan saja. Silakan duduk, Cin-moi." Cin Nio yang sejak tadi hanya mendengarkan, tersenyum dan mengangguk, lalu maju menghampiri Cang Hui, "Terima kasih, Sun-ko," katanya lirih. Seperti tidak disengaja, Cang Hui menemukan kertas yang ditulisi sajak oleh kakaknya dan membacanya dengan suara berirama dan merdu. Cang Sun tidak melarang, hanya memandang adiknya sambil tersenyum. Adiknya itu selalu manja dan dia amat sayang kepadanya karena hanya seorang itulah saudaranya. Setelah selesai membaca sajak itu, Cang Hui berseru, "Aih, indah sekali sajakmu ini, Koko. Hanya sayang, sajak ini memandang ringan, bahkan seoleh menganggap aku dan enci Cin ini tidak ada saja. Kau keterlaluan, Koko." "Ehh? Apa maksudmu?" "Coba saja pikir, dalam sajakmu engkau berkeluh kesah, merasa kesepian tiada teman. Apakah kami berdua ini bukan teman yang baik?" "Ihh, anak nakal! Tentu saja, engkau malah adikku dan Cin-moi ini adik misan, lebih dari saudara!" "Nah, kalau begitu, kenapa di malam yang indah ini berkeluh kesah dan mengatakan sepi sendiri? Hayo, Koko, kita harus merayakan malam seindah ini bertiga! Atau, engkau lebih senang bercakap-cakap dengan janda itu?" "Hushh! Tentu saja aku senang bersamamu dan adik Cin Nio....." kata Cang Sun dengan muka berubah merah. "Kalau begitu, tunggu sebentar, aku akan memanggil pelayan untuk menghidangkan anggur dan kueh. Enci Cin, kau temani Sun-ko sebentar!" tanpa menanti jawaban, gadis yang lincah ini sudah berlari meninggalkan mereka berdua. Memang inilah yang ia kehendaki. Ia ingin memberi kesempatan kepada kakaknya dan Cin Nio untuk berdua saja agar mereka dapat leluasa bicara. Selama ini, hampir tidak ada kesempatan bagi mereka berdua untuk bicara empat mata, dan tanpa adanya pertemuan berdua saja, bagaimana mungkin niat orang tuanya menjodohkan mereka dapat terlaksana? Dan ia harus membantu mereka, membantu agar kedua orang yang disayangnya itu mendapatkan kesempatan! Setelah Cang Hui pergi meninggalkan mereka, dua orang muda itu duduk berhadapan dan keduanya berdiam diri. Cin Nio yang berwatak pendiam itu tidak berani berkutik. Biasanya, kalau ada Cang Hui, ia masih berani bicara kepada kakak misannya itu, karena bagaimanapun juga mereka telah saling mengenal dan bergaul sejak ia masih kecil. Akan tetapi, setelah kini duduk berdua saja, ia merasa rikuh dan tidak berani berkutik, apalagi memandang pemuda itu. Bahkan bernapas pun hanya lirih dan lembut sekali. Cang Sun juga merasa rikuh sekali. Dia tahu bahwa orang tuanya hendak menjodohkan dia dengan Cin Nio. Gadis ini memang cukup cantik jelita dan halus budi pekertinya. Akan tetapi, sejak dahulu dia menganggap Cin Nio sebagai adik misan, sebagai anggauta keluarga sehingga sukarlah baginya untuk mengubah perasaan sayang seorang kakak terhadap seorang adik ini menjadi cinta asmara seperti cintanya terhadap Kui Hong. Dia merasa iba kepada Cin Nio. Para gadis, terutama sekali gadis keluarga bangsawan, selalu hanya dapat tunduk atas kehendak orang tua, harus menerima calon suami yang dijodohkan orang tua! Dan selama ini, kalau dia memperhatikan sikap gadis itu, agaknya Cin Nio mulai menaruh harapan kepadanya! Memang dia tidak merasakan getaran cinta, dalam pandang mata gadis itu, akan tetapi jelas bahwa Cin Nio tertarik dan kagum kepadanya. Dapat dia bayangkan betapa akan sengsara hati Cin Nio kalau sampai jatuh cinta kepadanya dan dia tidak dapat menyambut cinta itu. Dia telah merasakan betapa pahitnya cinta sepihak, seperti dia mencintai Kui Hong dan tidak terbalas oleh gadis itu! Tidak, dia harus membuyarkan harapan Cin Nio, harus membuka mata gadis itu sebelum terlambat, sebelum gadis itu benar-benar jatuh cinta kepadanya! Dan sekarang inilah saatnya yang baik, karena kalau tidak sekarang selagi mereka duduk berdua, kapan lagi? "Cin-moi......" katanya lirih. bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang untuk membuka kenyataan yang pahit bagi gadis itu. Cin Nio mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali ketika melihat betapa kakak misannya itu menatap wajahnya, "Ya, Sun-ko? Ada apakah?" jawabnya dengan suara dibuat wajar dan tenang, namun tetap saja suaranya agak gemetar.   "Cin-moi, kebetulan sekali kita duduk berdua saja. Aku memang ingin sekali bicara denganmu, akan tetapi selalu tidak ada kesempatan." "Bicara soal apakah Sun-ko?" gadis itu bertanya, suaranya lebih tenang. "soal kita berdua. Engkau tentu tahu bahwa orang tua kita berniat untuk menjodohkan kita. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu, Cin-moi?" Biarpun sudah menduga ke arah mana pembicaraan itu, tetap saja wajah itu menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Ia tetap menunduk ketika menjawab, "Apa yang dapat kukatakan, Sun-ko? Aku hanya dapat mentaati semua keinginan orang tua...." Cang Sun menghela napas panjang. "Aku tahu, dan begitulah memang nasib para gadis bangsawan. Akan tetapi aku seorang laki-laki, Cin-moi. Aku mempunyai pendirian sendiri dan aku hanya dapat menikah dengan seorang gadis yang saling mencinta dengan aku. Terus te rang saja, Cin-moi, aku sayang kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Sejak kecil kita sudah bergaul dan sejak kecil engkau kuanggap sebagai adikku. Sukar bagiku untuk mengubah perasaan itu sehingga terasa janggallah kalau kita harus berjodoh. Aku tidak ingin membiarkan engkau dalam keraguan, Cin-moi, oleh karena itu, aku berterus terang bahwa tidak mungkin aku dapat menuruti kehendak orang tua agar aku menikah denganmu. Bukan sekali-kali aku menolak karena engkau kurang baik, Cin-moi, melainkan karena aku tidak dapat menikahi seorang gadis yang kuanggap seperti adik sendiri." Cang Sun berhenti bicara. Dadanya terasa lapang bukan main seolah ada batu besar yang selama ini menghimpit perasaannya, kini telah terlontar keluar. Kepala itu semakin menunduk. Tidak, Cin Nio tidak merasa ditolak, tidak merasa dikesampingkan, tidak merasa terhina. Namun, ia merasa kecewa dan bersedih. Harus diakuinya bahwa selama ini, timbul perasaan gembira kalau ia membayangkan betapa ia akan menjadi isteri Cang Sun. Ia kagum kepada kakak misannya itu dan betapa akan mudahnya untuk jatuh cinta kepadanya! Ia tidak merasa sakit hati karena kakak misannya berterus terang. Bahkan diam-diam ia merasa bersukur karena kakak misannya berani berterus terang. Dengan begini kesemuanya jelas sudah, dan ia tidak perlu lagi menggantungkan harapannya terhadap perjodohan itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, runtuhnya harapan itu menusuk perasaannya dan biarpun ia menahan diri sehingga tidak sampai terisak, tetap saja kedua matanya menjadi basah dan cepat ia menyusutnya dengan saputangannya. Akan tetapi, air mata itu keluar lagi dan ia segera bangkit berdiri, membelakangi Cang Sun dan menguatkan hatinya berkata tanpa menoleh, "Maafkan aku, .... aku kembali.... ke kamarku" Melihat gadis itu melangkah lunglai, Cang Sun merasa iba sekali. "Cin-moi, kau maafkanlah aku ...." Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, lalu berlari kecil meninggalkan taman, kembali ke kamarnya di mana ia membanting diri ke atas pembaringan dah menangis sepuas hatinya. Cang Hui merasa heran ketika kembali ke dalam taman bersama dua orang pelayan yang membawa makanan dan minuman dan tidak melihat Cin Nio di situ, hanya kakaknya duduk melamun seorang diri. "Ehh? Ke mana perginya enci Cin?" tanyanya. Cang Sun memandang kepada dua orang pelayan itu dan Cang Hui menyuruh mereka pergi setelah mereka menaruh makanan dan minuman di atas meja. "Apakah yang telah terjadi, Koko?" tanyanya setelah mereka duduk berdua saja. Pemuda itu menghela napas panjang. "Ia telah kembali ke kamarnya. Aku telah bicara terus terang kepadanya tentang kami, yaitu tentang perjodohan diantara kami yang dikehendaki para orang tua...." Cang Hui membelalakkan matanya. "Apa yang kaukatakan kepadanya, Koko?" "Aku berkata terus terang bahwa aku tidak mungkin dapat menikahinya karena aku sayang kepadanya seperti adik sendiri, bukan mencintanya seperti seorang pria kepada seorang wanita. "Ihh, kau kejam, Koko!" "Hemm, apakah engkau lebih senang melihat aku berpura-pura, membiarkan ia menanti dan mengharap?" Cang Hui termenung. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya. Akan tetapi ia kasihan kepada Cin Nio, "Engkau menghancurkan perasaan hatinya, Koko. Aku tahu bahwa ia cinta padamu." "Habis, apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin cinta bertepuk tangan sebelah, aku telah merasakan kepahitannya...." "Aih, Koko. Kenapa engkau tidak dapat melupakan enci Kui Hong? Ia tidak dapat kauharapkan lagi karena ia mencinta pria lain. Bukankah enci Cin amat baik? Kenapa engkau tidak dapat mencintanya? Apakah cintamu hanya untuk enci Kui Hong seorang saja?" "Sampai saat ini aku belum dapat melupakannya dan belum ketemu penggantinya." kata pemuda itu dengan wajah murung. "Betapa lemah hatimu, Koko. Engkau harus dapat melihat kenyataan. Enci Kui Hong jelas bukan jodohmu. Mungkin sekarang ia telah menjadi isteri lain orang. Untuk apa kau kenang dan pikirkan terus menerus? Sudah sepatutnya kalau engkau memperhatikan gadis lain. Hati-hati, jangan engkau terpikat oleh enci Liong Bi itu." Cang Sun menggeleng kepala, kembali menghela napas panjang. "Aku tidak akan tertarik kepadanya. Memang nasibku agaknya, harus selalu kecewa dalam urusan yang satu ini. Ada gadis yang menarik hatiku dan amat kukagumi, akan tetapi ia pun sudah bertunangan dengan orang lain...." Cang Hui terlonjak kaget dan membelalakkan matanya memandang wajah kakaknya, "Mayang....??" tanyanya terheran-heran. Kakaknya mengangguk dan kembali menarik napas panjang. "Akan tetapi ia telah bertunangan dengan Liong Ki, maka aku pun tidak berani memikirkannya." "Ahhh....! Ruwet kalau begini....!" kata Cang Hui dan ia pun bertopang dagu, melamun jauh. Ia merasa ikut prihatin dengan keadaan kakaknya. Kenapa yang dicinta kakaknya itu selalu gadis yang telah menjadi milik pria lain? Ia tidak terlalu menyalahkan kakaknya. Ia sendiri pun kalau menjadi seorang pria, akan tergila-gila kepada Mayang. Gadis itu memang hebat! Kecantikannya khas dan istimewa, Ilmu kepandaiannya pun tinggi, rambutnya hitam panjang berombak, kulitnya putih seperti susu, dan bentuk tubuhnya! Bukan main! Akan tetapi sayang, gadis itu telah bertunangan dengan Liong Ki, dan harus ia akui bahwa pasangan itu serasi. Liong Ki juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan tampan, memang cocok dan tepat kalau menjadi calon suami seorang dara perkasa sepetti Mayang. Kakak beradik itu duduk termenung seperti patung, lupa kepada anggur dan makanan yang dibawa oleh dua orang pelayan tadi. Akhirnya mereka pun menggigil ketika hawa udara mulai dingin sekali. Mereka lalu meninggalkan taman dan kembali ke kamar masing-masing! *** Mayang termenung di dalam kamarnya. Entah mengapa, ia merasakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan hatinya. Entah itu karena sikap Sim Ki Liong yang dirasakannya berbeda dari biasanya, atau sikap Su Bi Hwa, ataukah pengalamannya yang aneh ketika ia seperti ditarik-tarik oleh kekuasaan aneh untuk memasuki kamar Ki Liong. Pendeknya, ia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, walaupun ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Kembali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Di satu pihak, ia harus mengakui bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mau memaafkan semua kesesatan yang pernah dilakukan pemuda itu di masa lalu, asalkan dia mau bertobat dan akan mengubah jalan hidupnya, menjadi seorang pendekar. Dan ia percaya bahwa demi cintanya, pemuda itu akan dapat merubah jalan hidupnya, menjadi seorang pemuda yang baik, menebus kesesatannya yang lalu dengan perbuatan-perbuatan yang gagah perkasa. Akan tetapi, akhir-akhir ini timbul keraguan dalam hatinya, dan hal itu timbul sejak pertemuan mereka dengan Su Bi Hwa. Ia merasakan suatu ketidakwajaran dalam sikap Bi Hwa, seolah-olah wanita itu menyimpan banyak rahasia. Yang jelas, lirikan mata dan senyum wanita itu terhadap Ki Liong teramat genit. Ia sudah membuang jauh-jauh perasaan cemburu yang tidak beralasan, akan tetapi, kini ia melihat sikap Bi Hwa terhadap Cang Sun yang sama pula genitnya. Dan ada perasaan tidak enak dan tidak suka terhadap wanita cantik yang lihai itu, seolah wanita itu merupakan suatu ancaman tersembunyi baginya. Ia harus menemui Ki Liong dan mengajaknya bicara dengan serius. Akan ditanyakan kepada kekasihnya itu tentang diri Bi Hwa, tentang latar belakang kehidupannya dan tentang riwayatnya. Malam ini juga! Ia segera membereskan pakaian dan rambutnya, keluar dari dalam kamar dan karena ia tidak ingin orang lain, terutama Bi Hwa sendiri, melihat ia bicara empat mata dengan Ki Liong. Mayang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak cepat, menyelinap di antara pilar dan berloncatan, menuju ke taman. Dari taman, akan mudah baginya untuk menghampiri kamar Ki Liong tanpa dilihat orang lain. Akan tetapi, ketika ia tiba di luar kamar Ki Liong dan mengetuk daun jendela kamar itu, ia tidak mendapat jawaban. Ia mengintai dari celah-celah jendela dan melihat kamar itu gelap pekat. Tak mungkin Ki Liong sudah tidur karena malam baru saja mulai. Setelah ia yakin bahwa pemuda itu pasti tidak berada di kamarnya, ia lalu mengira bahwa tentu Ki Liong sedang mempunyai tugas atas perintah Cang Tai-jin, maka ia pun memasuki taman dengan maksud untuk menanti sampai pemuda itu kembali ke kamarnya. Tiba-tlba ia menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pohon. Dilihatnya Cang Hui berjalan seorang diri memasuki taman itu. Setelah melihat bahwa orang itu adalah Cang Hui, ia hendak keluar menyapanya, akan tetapi ia menahan diri dan mengintai ketika melihat bahwa gerak-gerik gadis bangsawan itu tidak seperti biasa dan aneh. Gadis itu melangkah seperti orang yang sedang tidur saja, tak pernah menengok ke kanan-kiri dan memandang lurus. Mayang membayangi dari belakang dengan hati-hati. Jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat munculnya Ki Liang di sebelah depan, dan pemuda itu langsung menyongsong Cang Hui dengan sikap yang manis budi dan ramah! "Selamat malam, nona Cang Hui!" katanya dengan ramah dan sopan. Cang Hui berhenti melangkah ketika melihat munculnya pemuda itu di depannya, dan ia nampak bingung. "Liong-ciangkun (perwira Liong) " katanya lirih. Mayang mengintai dengan perasaan heran. Ia melihat betapa Ki Liong menghampiri gadis bangsawan itu sampai dekat dan tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu memegang kedua tangan Cang Hui! Dan gadis itu pun menyerah saja, tidak menjadi marah kedua tangannya dipegang dengan sikap demikian mesra oleh pengawal baru itu. "Nona, kenapa malam-malam begini engkau keluar ke taman? Hawanya dingin, dan banyak angin. Aku takut engkau masuk angin, Nona. Engkau begini cantik jelita seperti bidadari sayang kalau sampai jatuh sakit..... " Ucapan itu lembut dan mesra. "Aku... aku.... " Cang Hui berkata bingung dan nampaknya tidak tahu apa yang harus dikatakan, akan tetapi tidak marah atau membantah ketika Ki Liong menarik dan merapatkan tubuhnya. Melihat ini, Mayang terbelalak dan hatinya panas terbakar. Apa artinya semua ini! Ki Liong bermain gila dengan Cang Hui? Jelas bahwa pemuda itu berusaha merayu, akan tetapi kenapa sikap Cang Hui demikian aneh? Seperti orang dalam mimpi saja. Ia pun teringat akan keadaan dirinya beberapa malam yang lalu, ketika ada perasaan aneh mendorongnya untuk mencari Ki Liong dan ada rasa rindu yang tidak wajar terhadap kekasihnya itu. Teringat akan hal ini, Mayang lalu berdiri menghadap ke arah Cang Hui, menyilangkan kedua lengan depan dada, matanya memandang tajam ke arah gadis bangsawan itu dan ia pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sihir yarg menguasai Cang Hui, jika memang kekuatan sihir mencengkeram gadis itu seperti yang disangkanya. Ia memang mehguasai ilmu ini dari Kim-mo Sian-kiauw, gurunya. Sim Ki Liong atau dengan nama samaran Liong Ki yang tadinya merasa girang sekali bahwa usahanya menaklukkan hati Cang Hui kelihatannya akan berhasil baik berkat bantuan sihir dari Su Bi Hwa atau Liong Bi, menaklukkan hati gadis itu agar jatuh cinta kepadanya dan agar memudahkan cita-citanya, yaitu menjadi mantu Menteri Cang, tiba-tiba merasa betapa terjadi perubahan pada sikap Cang Hui. Kalau tadi gadis itu menyerah saja dalam rangkulannya, kini gadis itu meronta, melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur sampai empat langkah, matanya terbelalak dan nampak bingung sekali. "Ehhh......? Apa yang terjadi? Kenapa aku berada di sini? Dan engkau..... ciangkun apa yang kau lakukan? Apa pula yang kulakukan.....?" Cang Hui menggosok-gosok kedua matanya seperti orang yang baru bangun dari tidurnya.   Liong Ki segera mengetahui bahwa entah bagaimana, siasatnya gagal dan dia adalah seorang yang cerdik. Dia merayu Cang Hui bukan karena jatuh cinta kepada gadis itu, bukan karena dorongan nafsu, melainkan dengan perhitungan agar dia dapat menjadi suami puteri menteri ini! Maka, dia pun cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada, dengan sikap sopan dia pun berkata. "Nona, sara hanya ingin melindungimu. Tadi saya melihat Nona seperti orang yang kebingungan, berjalan seorang diri di dalam taman, dalam udara dalam yang dingin dan banyak angin. Kenapakah, Nona?" Gadis itu menggeleng kepala, masih nanar ketika ia teringat betapa tadi ia mau saja dirangkul perwira muda yang baru itu! "Aku..... ah, mimpi buruk, agaknya ciangkun, jangan beritahukan peristiwa ini kepada siapapun juga!" Liong Ki memberi hormat lagi, sikapnya sbpar sekali, dan tentu saja amat menarik hati. "Baiklah, Nona. Saya bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini. Saya akan menjaga nama baik Nona, saya akan melindungi Nona, kalau perlu dengan taruhan nyawa...." Lega rasa hati Cang Hui, akan tetapi ia juga masih merasa heran, bercampur rasa malu mengingat akan perbuatannya tadi, "Terima kasih, ciangkun. Engkau baik sekali." Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan taman kembali ke dalam rumah dalam keadaan masih bingung dan nanar. Ia telah berada di dalam taman, seperti dalam mimpi saja. Dan yang amat mengesankan hatinya adalah sikap perwira Liong Ki, demikian baik, demikian lembut dan penuh kasih sayang. Mendatangkan kemesraan akan tetapi sekaligus membangkitkan perasaan marah dan penasaran di dalam hatinya. Ia teringat bahwa perwira muda itu adalah tunangan Mayang yang disayanginya! Kenapa perwira itu bersikap demikian manis kepadanya? Dan kenapa pula ia tadi mandah saja dirangkul? Untuk melindunginya? Kenapa dengan sikap demikian mesra? Sementara itu, Mayang harus bergulat dengan nafsu sendiri setelah menyaksikan peristiwa yang aneh di taman itu. Kalau menurutkan nafsu amarah yang membakar hatinya, ingin ia muncul dan menemui Liong Ki pada saat itu juga, menegurnya dan minta ketegasan dalam sikapnya, bahkan mengambil keputusan malam itu juga mengenai hubungan antara mereka. Akan tetapi, ia menahan diri karena apa yang dilihatnya itu belum merupakan bukti akan niat kotor dari kekasihnya itu. Ia harus bersabar dan melihat perkembangannya. Bukan saja untuk menentukan sikap mengenai hubungannya dengan pemuda itu, akan tetapi yang lebih penting lagi, ia harus melindungi keluarga Cang yang demikian baik. Menteri Cang adalah seorang yang bijaksana, dan namanya harum, dikenal dan dihormati oleh semua pendekar. Juga puteranya, Cang Sun, seorang pemuda yang sopan dan alim. Apalagi Cang Hui, seorang gadis yang amat disayangnya biarpun mereka baru bergaul beberapa pekan lamanya. Gadis bangsawan itu demikian lincah jenaka, bersih hatinya dan baik budinya. Ia harus melindungi keluarga ini, andaikata ada orang yang akan mengganggu keluarga itu. Biar pengacau itu kekasihnya sendiri sekali pun! Juga masih ada sedikit harapan tergantung di hatinya bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah hal yang terjadi bukan karena kesalahan kekasihnya, bahwa memang Liong Ki tidak tahu menahu tentang sikap aneh Cang Hui itu. Ia masih menaruh harapan bahwa Liong Ki yang mencintanya dan dicintanya akan tetap bertaubat dan mengambil jalan yang bersih. Pada keesokan harinya, ketika Mayang seperti biasa menemui Cang Hui dan Cin Nio, ia tidak melihat perubahan pada sikap Cang Hui. Akan tetapi ia melihat bahwa selama beberapa hari ini, Cin Nio nampak lesu dan seperti orang yang selalu melamun, seperti orang yang menderita kesedihan namun ditahan-tahan. Ia tidak mau bertanya apa-apa kepada Cang Hui, karena hal itu tentu akan membuat gadis bangsawan itu terkejut dan malu, apalagi karena gadis itu tidak memperlihatkan suatu kelainan, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya. Sebaiknya, ketika Mayang hendak melanjutkan petunjuknya tentang ilmu silat, Cin Nio kelihatan malas, bahkan kemudian gadis ini berpamit dan mengatakan bahwa kepalanya agak pening dan hari itu ia tidak ikut berlatih silat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Mayang untuk bertanya tentang Cin Nio, dengan harapan agar ia mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa semalam. "Adik Hui, kenapakah adik Cin nampak begitu lesu dan bersedih? Apakah terjadi sesuatu yang membuatnya seperti itu?" Mereka duduk mengaso sehabis berlatih dan Cang Hui menyusut keringatnya sambil memandang wajah Mayang. Ia merasa suka dan sayang kepada gadis peranakan Tibet ini, dan teringatlah ia akan percakapan yang ia lakukan dengan kakaknya, di mana kakaknya itu mengaku bahwa dia kagum dan dapat jatuh cinta kepada gadis Tibet ini! Ia sendiri menyayangkan bahwa Mayang telah menjadi tunangan Liong Ki, perwira yang semalam...., terkenang akan peristiwa ini, mendadak saja Cang Hui tersipu dan kedua pipinya berubah merah. Ia sengaja menggosok-gosok mukanya yang terasa panas itu sehingga mukanya menjadi semakin merah segar. "Kasihan enci Cin...." akhirnya ia mengeluh, teringat akan nasib Cin Nio yang mengalami patah hati karena cinta sepihak. "Kenapa ia? Ataukah.... hal itu tidak dapat kau ceritakan kepada orang luar seperti aku? Kalau begitu maafkan pertanyaanku tadi." Cang Hui memegahg lengan Mayang dan tersenyum dengan manis. "Bagiku, engkau bukan orang luar lagi, Mayang. Engkau sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Maka, engkau boleh saja mendengar tentang urusan itu, asal engkau tidak akan menceritakan kepada orang lain." "Tentu saja, Adik Hui. Rahasia keluargamu sama dengan rahasiaku sendiri. Bukankah aku sudah mendapatkan kepercayaan untuk membimbingmu dalam berlatih ilmu silat dan tinggal di istana ini?" "Kasihan enci Cin, ia patah hati, Mayang. Ia menjadi korban cinta sepihak. Sudah kuceritakan bahwa ayah dan ibu menghendaki agar kakakku, Cang Sun-koko, berjodoh dengan enci Hui. Nah, beberapa hari yang lalu, dalam suatu kesempatan ketika mereka dapat bicara empat mata, kakakku itu dengan sejujurnya mengatakan kepada enci Cin bahwa dia tidak dapat berjodoh dengan enci Cin karena dia menyayang enci Cin sebagai adik sendiri. Nah, dapat kau bayangkan betapa susah hatinya, padahal enci Cin kelihatannya sudah jatuh cinta setengah mati kepada kakakku itu." Mendengar ini, Mayang mengerutkan alisnya dan termenung sejenak. "Hemm, kasihan sekali adik Cin Nio. Sungguh mengherankan, mengapa kakakmu tidak dapat mencintanya? Padahal, adik Cin adalah seorang gadis yang amat baik, cantik jelita, pandai dan baik budi...." "Pernah kuceritakan kepadamu bahwa kakakku sudah mencinta gadis lain, Mayang." "Hemm, kaumaksudkan Cia Kui Hong itu? Kenapa masih memikirkannya? Bukankah gadis itu telah menjadi milik orang lain dan tidak membalas cintanya? Apakah selamanya kakakmu akan tetap bertahan dalam cintanya yang sepihak terhadap gadis itu?" Mayang merasa penasaran karena kasihan kepada Cin Nio.   "Kurasa tidak begitu, Mayang. Sebetulnya kakakku itu suka kepada...." Cang Hui mengurungkan niatnya yang ingin membuka rahasia hati kakaknya. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh mengatakan bahwa kakaknya mencinta Mayang. Bukankah Mayang sudah ada yang punya? "Suka kepada siapa, Adik Hui?" "Suka kepada gadis yang memiliki, ilmu kepandaian silat tinggi." "Hemm, dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat." "Mungkin karena itulah. Karena dia tidak suka belajar ilmu silat, maka dia ingin melengkapi kekurangan dirinya itu dengan memilih seorahg gadis lihai menjadi jodohnya. Akan tetapi tentu saja tidak semua wanita lihai disukainya. Peristiwa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu..... " Ia berhenti pula, ragu-ragu apakah peristiwa antara kakaknya dengan Liong Bi itu sebaiknya ia ceritakan kepada Mayang atau tidak. "Peristiwa apakah, Adik Hui?"