Cang Hui menarik napas panjang. Sudah terlanjur, pikirnya. "Mayang, sebelum kuceritakan, katakan dulu, apakah engkau sayang kepada calon adik iparmu itu?" Mayang terbelalak heran. "Calon adik ipar yang mana....?" "Bukankah Liong Bi itu adik Liong Ki, tunanganmu?" Baru Mayang teringat bahwa wanita yang tidak disukanya itu menyamar sebagai adik kekasihnya."Ahhh, ia yang kau maksudkan? Hemm, bagaimana, ya? Sayang sih tidak, bahkan aku... terus terang saja, kurang suka akan sikapnya yang genit. Selain itu, ia pun bukan adik iparku..... " Mayang menghentikan ucapannya, merasa telah kelepasan bicara. "Ehh? Bukankah ia adik Liong Ki?" Mayang mengangguk, bingung sendiri karena hampir saja ia membuka rahasia mereka berdua. "Memang benar, adik Hui, akan tetapi aku..... aku bukan tunangan Liong Ki. Kami hanya sahabat yang akrab." "Hemm, sahabat akrab yang saling mencinta, bukan ?" "Sudahlah, Adik Hui, aku tidak suka bicara tentang hal itu. Sebetulnya, apa yang hendak kau ceritakan kepadaku? Peristiwa apa yang terjadi beberapa malam yang lalu itu?" Cang Hui lalu menceritakan tentang perbuatan Liong Bi yang memikat dan merayu kakaknya. "Kulihat jelas sekali Liong Bi merayu kakakku dengan sikap yang amat genit dan menjemukan. Akan tetapi, kakakku tidak suka kepadanya, walaupun ia pandai silat. Nah, sudah kuceritakan padamu, Mayang. Kalau engkau dekat dengan Liong Bi, katakah bahwa jangan lagi ia melakukan hal yang tidak patut seperti itu." Diam-diam Mayang terkejut dan marah mendengar ini. Akan tetapi ia tidak merasa heran. Ia tahu bahwa Liong Bi memang genit sekali, akan tetapi tidak disangkanya akan seberani itu, merayu Cang Sun, putera tuan rumah! Sungguh tidak tahu diri, tidak tahu malu. Yang membuat ia merasa heran, bagaimana Liong Ki dapat memiliki seorang sahabat yang seperti itu? Dan teringatlah ia kembali akan peristiwa aneh yang dilihatnya antara Cang Hui dan Liong Ki. Ia tidak ingin membikin Cang Hui malu dengan menanyakan peristiwa itu, akan tetapi ia menjadi semakin curiga. Hatinya merasa tidak enak. Ia harus menyelidiki keadaan Liong Ki clan Liong Bi! *** Malam itu gelap sekali. Langit tertutup mendung dan tak sebuah pun bintang nampak. Mayang menyelinap di balik pot bunga besar. Biarpun malam gelap, namun istana keluarga Cang dipasangi banyak lampu gantung. Ia melihat bayangan Liong Bi berindap-indap keluar dari kamarnya. Selama beberapa malam ini ia memang melakukan pengintaian, mengintai kamar wanita itu. Tidak terjadi sesuatu selama tiga malam dan malam ini ia melihat Liong Bi menyelinap keluar kamar, sikapnya mencurigakan sekali maka ia pun membayangi dari jauh. Kemudian ia ketahui bahwa Liong Bi menuju ke kamar Liong Ki dari belakang! Dengan jantung berdebar Mayang mengintai. Agaknya saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Jerih payahnya selama beberapa malam itu akan membuahkan hasil. Liong Bi mengetuk daun jendela kamar Liong Ki, perlahan. Daun pintu dibuka dari dalam dan wanita itu meloncat masuk seperti seekor kucing. Daun jendela ditutup lagi dan dengan mempergunakan kepandaiannya, Mayang menghampiri kamar itu tanpa menimbulkan suara, lalu ia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bi Hwa, kenapa engkau begini lancang masuk ke sini? Bodoh kau, bagaimana kalau ada yang melihatmu?" "Hi-hik, siapa yang dapat melihatku? Andaikata ada yang melihat pun, apa salahnya aku memasuki kamar kakakku sendiri? Aku kesepian, Ki Liong, aku penasaran dan kecewa karena gagal memikat Cang-kongcu. Gara-gara adiknya, daging yang sudah berada di bibir, terlepas lagi!" . "Hemm, bukan hanya engkau yang gagal. Aku pun sudah hampir berhasil menundukkan Cang Hui, tiba-tiba saja terlepas dan gagal " "Nah, itulah! Maka aku ke sini untuk menghibur diri, juga menghiburmu agar kita berbesar hati dan dapat berusaha lagi." Terdengar wanita itu tertawa-tawa genit. Juga Ki Liong tertawa kecil. Mayang tidak perlu mendengar lebih banyak, juga ia tidak sudi mengintai ke dalam. Ia sudah tahu segalanya! Kiranya Sim Ki Liong bersekongkol dengan Su Bi Hwa! Bukan saja keduanya mempunyai hubungan yang mesum, akan tetapi juga keduanya bersekongkol untuk masing-masing merayu dan menundukkan Cang Sun dan Cang Hui! Peoghambaan diri kedua orang itu kepada keluarga Cang tidak jujur, tidak bersih dan mereka mempunyai rencana yang kotor. Agaknya kedua orang itu ingin mencari kedudukan tinggi melalui cara yang licik, yaitu ingin menjadi mantu Menteri Cang! Dan pemuda yang pernah menjatuhkan hatinya itu, pria pertama dalam hidupnya yang menjatuhkan cintanya, yang ia harapkan akan bertaubat, menjadi seorang pendekar dan calon suaminya, agaknya telah kembali ke jalan lama, jalan sesat! Setelah bertemu dengan wanita itu, kekasihnya agaknya telah pulih kembali seperti dahulu, menjadi hamba nafsu yang membuta.   Mayang cepat meninggalkan tempat pengintaiannya, kembali ke kamarnya dan tak dapat ditahannya lagi, ia menangis! Ia membenamkan mukanya pada bantal dan air matanya bercucuran. Harus diakuinya bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya yang baik. Akan tetapi, kini jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan perasaan cinta yang mendalam itu berubah menjadi kebencian! Kalau cintanya itu diumpamakan sebuah mimpi indah, kini ia terbangun dan melihat kenyataan yang sebaliknya. Selama ini, dengan penuh harapan, cintanya dibangun dan ia bentuk menjadi tempat bunga dari kaca yang indah sekali. Akan tetapi, dalam sekejap mata tempat bunga itu hancur berantakan, meninggalkan pecahan-pecahan kaca yang menggores kalbu, mendatangkan luka berdarah yang teramat pedih. Cinta asmara adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta seperti ini muncul setelah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik itu melalui ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan, bahkan dapat melalui kedudukan, kemuliaan, kemewahan, atau kepintaran. Ada sesuatu yang ingin diraih dan dinikmati. Kalau pada suatu waktu terjadi sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi, bahkan menyusahkan atau mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah menjadi kebencian! Kita dengan mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib sependeritaan, dan semua itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta memenuhi syarat. Sekali saja syarat itu dilanggar, maka cinta berubah menjadi benci, dan kebahagiaan berubah menjadi kesengsaraan. Banyak sudah terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu. Suami isteri yang tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai setelah setiap hari cekcok. Sahabat yang tadinya saling mencinta dan saling setia akhirnya saling bermusuhan. Orang tua yang tadinya bersumpah mencinta anaknya, akhirnya menyumpahi anak itu. Semua ini terjadi karena syarat cinta itu dilanggar, pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang dapat menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar negara. Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing. Selama hati akal pikiran dikuasai nafsu daya redah, maka si-aku semakin menonjol, semakin berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati akal pikiran, si aku adalah keinginan-keinginan. Selama si aku merajalela, maka terjadilah bentrokan-bentrokan antar keinginan, antar kepentingan diri masing-masing dan timbullah pertikaian dan permusuhan. Hanya cinta kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tidak ada kebalikannya karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membebaskan batin dari cengkeraman nafsu daya rendah dan mengembalikan nafsu-nafsu ke dalam kedudukannya yang semestinya, yaitu menjadi alat pelengkap kehidupan manusia, menjadi abdi, bukan majikan. Kalau sudah begitu, hanya kekuasaan Tuhan yang akan menjadi kemudi, bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang dinamakan cinta kasih tidak akan mendatangkan sengsara! Dalam kesedihannya, Mayang masih menahan diri. Tidak mungkin ia harus mendatangi Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa lalu menegur mereka. Tidak mungkin ia mengamuk karena cemburu. Kalau saja ia tidak ingat akan keluarga Cang, tentu malam itu juga ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sim Ki Liong begitu saja, memutuskan hubungan lahir batin dan mengambil jalan hidupnya sendiri. Akan tetapi, ia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cang. Ia tidak ingin melihat Cang Hui menjadi korban Sim Ki Liong, atau Cang Sun menjadi korban Su Bi Hwa. Ia harus menentang niat buruk mereka. Mereka itu hendak memikat putera puteri pembesar Cang hanya untuk mendapatkan kedudukan tinggi. Dan ia harus mencegah terjadinya hal ini. Sekarang ia mulai menduga bahwa kekuasaan aneh yang membuat ia malam-malam itu rindu kepada Ki Liong, juga yang membuat Cang Hui seolah-olah dalam mimpi dan mau saja dirangkul Ku Liong, adalah kekuasaan tidak wajar, kekuatan sihir! Buktinya, ketika ia mengerahkan kekuatan batinnya, ia tersadar, demikian pula Cang Hui. Mengingat akan hal ini, ia menjadi semakin penasaran dan marah. Liong Ki atau Sim Ki Liong sudah berani mempergunakan sihir, hal ini membuktikan bahwa pemuda itu kembali mengambil jalan sesat. Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang tidak tahu bahwa rahasia mereka sudah diketahui Mayang, malam itu mengadakan pertemuan untuk melapas kerinduan mereka dan juga untuk mengatur siasat. Mereka maklum bahwa siasat mereka memikat Cang Sun dan Cang Hui mengalami kegagalan. Mereka akan mengulang lagi akan tetapi harus secara halus dan tidak tergesa-gesa, karena kalau sampai terbongkar rahasia mereka, akan gagallah segalanya, bahkan mereka akan terancam malapetaka. Mereka lalu mengatur siasat lain untuk memperbesar kepercayaan Menteri Cang kepada mereka. Kepercayaan menteri itu yang akan menjadi landasan kuat bagi kedudukan mereka. Mayang berpura-pura tidak tahu saja akan hubungan antara Liong Ki dan Liong Bi. Ia harus mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk membongkar niat buruk mereka, kalau memang benar mereka itu berniat buruk seperti yang diduganya. Tanpa bukti yang nyata, tentu saja ia tidak mampu melakukan sesuatu. Apalagi karena sikap kedua orang itu kepadanya amatlah baik, bahkan lebih ramah daripada biasanya. Juga Liong Ki selalu bersikap sopan, tidak lagi memperlihatkan sikap merayu seperti biasanya. Tiga hari kemudian, pada suatu malam yang gelap, empat sosok bayangan orang bergerak dengan lincahnya di dalam taman yang luas dari istana Menteri Cang Ku Ceng. Sesungguhnya amat mengherankan bagaimana sampai ada empat orang asing dapat memasuki taman itu dari luar, padahal penjagaan di situ cukup ketat. Mereka dapat melompati pagar tembok taman dari bagian yang kebetulan tidak terjaga. Juga, kini dengan berindap-indap mereka menghampiri bangunan gedung atau istana keluarga Cang dan berhasil memasuki gedung melalui pintu samping yang ternyata tidak terkunci dalam! Mereka nampaknya sudah hafal akan keadaan di situ, buktinya mereka sambil berindap-indap langsung saja menuju ke kamar induk, kamar Menteri Cang dan isterinya! Ketika mereka berindap menuju ke kamar itu, tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang melakukan perondaan. Seorang membawa lampu teng, yang ke dua membawa canang yang kadang dipukulnya lirih. Keduanya membawa golok telanjang.   Cepat sekali gerakan dua di antara empat sosok bayangan itu. Mereka melompat keluar dan dua orang peronda itu sudah roboh tertotok, canang dan lampu telah berpindah tangan, demikian pula golok mereka sehingga mereka berdua itu roboh tanpa mengeluarkan suara gaduh. Agaknya empat orang itu telah mempelajari keadaan di gedung besar itu. Mereka tanpa ragu-ragu menghampiri kamar besar di mana Cang Taijin dan isterinya tidur. Akan tetapi ketika mereka menghampiri jendela kamar untuk membongkarnya, tiba-tiba muncul dua orang penjaga. Mereka melihat betapa dua orang penjaga yang meronda telah menggeletak tak bergerak. "Penjahat .....!" bentak mereka dan dua orang ini sudah menerjang dengan golok mereka. Dua di antara empat orang itu menyambut dengan pedang, sedangkan dua orang lagi membongkar jendela. Suara gaduh itu mengejutkan Menteri Cang Ku Ceng yang sudah membuka daun pintu. Isterinya menjerit dan berteriak-teriak memanggil pengawal. Dua orang yang tadi membongkar jendela, ketika melihat Menteri Cang keluar sambil membawa pedang, segera menyerang. Menteri Cang bukanlah seorang ahli pedang. Dia seorang ahli militer, dan biarpun dia tidak pandai sekali berkelahi, namun sebagai seorang menteri yang kadang menjadi seorang panglima, tentu saja dia bukan orang yang lemah. Segera dia menggerakkan pedang melindungi dirinya, sementara itu, isterinya berteriak-teriak minta tolong. Dua orang penjahat telah merobohkan dua orang penjaga yang tadi menyerbu dan kini mereka membantu dua orang kawan mereka mengeroyok Menteri Cang! Mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan golok mereka, dan pembesar itu segera terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Akan tetapi, agaknya teriakan-teriakan isteri pembesar itu menarik perhatian dan tiba-tiba muncullah Liong Ki dan Liong Bi! Kedua orang ini dengan pedang di tangan menerjang dan dalam waktu singkat saja, empat orang penjahat itu roboh! Mayang juga datang, akan tetapi ketika ia tiba di situ, agak terlambat karena ia terbiasa tidur melepaskan pakaian dan sepatu sehingga tadi harus mengenakan pakaian dan sepatu lebih dulu, juga menyanggul rambutnya yang dibiarkan terlepas dari ikatan, ia melihat empat orang itu telah roboh. "Tangkap mereka hidup-hidup!" ia berseru, akan tetapi seruannya terlambat sudah. Pedang di tangan Liong Ki dan Liong Bi telah menembus jantung mereka, dan empat orang itu tewas seketika. Mayang cepat melompat ke dekat empat orang itu dan memeriksa. Ternyata mereka tidak mungkin dapat ditanya lagi. "Aih kenapa kalian membunuh mereka?" ia mencela Liong Ki dan Liong Bi. "Mereka, adalah orang-orang jahat, sudah sepatutnya dibunuh!" kata Liong Bi. "Benar, aku pun tak dapat menahan kemarahanku tadi. Sekarang baru aku ingat bahwa semestinya mereka itu ditanya dulu sebelum dibunuh." kata Liong Ki. "Sudahlah, mereka sudah mati dan kalian sungguh telah menyelamatkan nyawa kami." kata Menteri Cang dengan sikap masih tenang saja dia sudah terbiasa menghadapi ancaman dan bahaya, maka peristiwa yang hampir mencelakainya tadi dihadapi sebagai hal biasa saja. Isterinya juga keluar kamar dan wajah nyonya bangsawan itu agak pucat. Kemudian muncul pula Cang Hui dan Teng Cin Nio dan kedua orang gadis ini pun telah membawa sebatang pedang. Ketika mereka melihat Menteri Cang dan isterinya selamat dan empat orang penjahat terbunuh, legalah hati mereka dan Cang Hui merangkul ibunya. Cang Sun muncul dan pemuda itu segera berkata, dengan sikap sungguh-sungguh kepada ayahnya. "Ayah, peristiwa ini membuktikan bahwa pihak yang memusuhi ayah mulai berani mengirim pembunuh untuk menyerang kita. Maka, sudah seyogianya kalau ayah memperketat dan memperkuat penjagaan. Kalau kebetulan kedua kakak-beradik Liong hadir, tentu saja keamanan ayah terjamin. Akan tetapi tidak mungkin mereka menjaga keselamatan ayah siang malam." Menteri Cang mengangguk, lalu memerintahkan penjaga untuk menyingkirkan mayat empat orang penjahat dan dua orang penjaga, memerintahkan komandan jaga untuk melapor kepada panglimapasukan keamanan agar diselidiki siapa adanya empat orang penjahat itu. Kemudian, dia menyuruh Cang Hui dan Cin Nio menemani isterinya di dalam kamar, dan dia sendiri mengajak Liong Ki, Liong Bi clan Mayang untuk bercakap-cakap di ruangan dalam. Setelah mereka berempat duduk berhadapan terhalang meja besar,kembali Menteri Cang memuji dua orang pembantunya dan berterima kasih atas pertolongan mereka ketika tadi dia terdesak dan terancam. Liong Ki segera memberi hormat kepada Menteri Cang. "Harap paduka tidak berpendapat demikian, Tai-jin. Sudah menjadi tugas kewajiban kami berdua untuk melindungi keluarga Tai-jin dari ancaman bahaya yang datang dari manapun juga. Kami hanya merasa bersyukur bahwa kami tidak sampai terlambat." "Tai-jin telah melimpahkan kebaikan kepada kami, sudi menerima kami. Karena itu, kami selalu siap untuk membela Tai-jin, dengan taruhan nyawa sekalipun," kata pula Liong Ki dengan suara dan wajah sungguh-sungguh. Cang Tai-jin mengangguk-angguk. "Bagus, tidak percuma kami menerima kalian sebagai pengawal keluarga." Mayang sejak tadi hanya diam saja. Ia pun bersyukur bahwa pembesar bijaksana itu dapat diselamatkan, dan pembelaan Liong Ki dan Liong Bi, sedikit banyak telah mengurangi rasa tidak senangnya kepada mereka. Mereka itu terbukti setia, dan siapa tahu, mungkin mereka berdua merayu putera puteri Menteri Cang bukan dengan niat buruk, melainkan karena jatuh hati! Yang membuat ia tidak puas adalah dibunuhnya empat orang calon pembunuh itu sehingga tidak dapat diselidiki, siapa yang menyuruh mereka itu menyerbu. "Sayang kita tidak dapat mengetahui siapa orangnya yang telah menyuruh empat orang pembunuh itu, Tai-jin," kata Mayang. "Kalau mereka tidak dibunuh dan dapat ditangkap hidup-hidup, tentu mereka akan dapat membuat pengakuan dan kita dapat menangkap dalangnya." Mendengar ini Liong Ki dan Liong Bi saling lirik lalu Liong Ki berkata, "Adik Mayang benar sekali. Kami juga merasa menyesal mengapa kami tidak ingat akan hal itu. Kami terlalu terburu nafsu sehingga lupa dan telah membunuh mereka." "Siapa yang tidak marah melihat para penjahat itu nyaris membunuh Tai-jin? Kami terlalu marah pada saat itu," sambung Liong Bi. Cang Taijin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. "Hal itu sudah terjadi dan tidak ada gunanya disesalkan. Andaikata mereka tertawan hidup-hidup, belum tentu mereka mau mengaku. Musuh kami terlalu banyak, dan kami kira mereka adalah kaki tangan para pemberontak. Mulai sekarang, pasukan pangawal harus dipersiapkan untuk membantu kalian. Akan kupanggil kembali Coa-ciangkun agar dia mengatur pasukan pengawal sehingga tidak ada lagi pengacau yang dapat menyelinap masuk tanpa diketahui." Sejak. peristiwa malam itu, Menteri Cang Ku Ceng semakin percaya kepada kakak beradik Liong Ki dan Liong Bi, dan tentu saja kedua orang ini merasa senang. Memang inilah tujuan mereka. Liong Bi yang mengatur siasat itu. Ia menghubungi Pek-lian-kauw, mengatakan bahwa ia dapat memberi jalan kepada beberapa orang Pek-lian-kauw untuk masuk ke dalam rumah gedung Menteri Cang Ku Ceng. Tentu saja pihak Pek-lian-kauw gembira mendengar ini karena mereka tahu bahwa Menteri Cang merupakan seorang di antara dua menteri setia yang pandai dan menjadi tulang punggung kerajaan Beng. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman dan cerdik. Merasa bahwa dengan peristiwa itu mereka telah maju beberapa langkah dan kedudukan mereka menjadi semakin kokoh dan baik, mereka tidak mau membuat banyak ulah yang mungkin membahayakan kedudukan mereka. Usaha mereka mendekati Cang Sun dan Cang Hui untuk sementara mereka tunda. Kalau kepercayaan keluarga Cang semakin menebal, tentu akan semakin mudah bagi mereka untuk mencapai sasaran itu. Karena sikap mereka itu, Mayang juga terkecoh. Ia tidak lagi melihat dua orang itu merayu putera-puteri Menteri Cang. Sikap mereka baik dan sopan, dan ramah terhadap dirinya. Dari Cang Hui ia mendengar bahwa kini kedua orang itu sama sekali tidak pernah lagi mengganggu, bersikap sopan dan baik. Akan tetapi sungguh aneh, luka di hati Mayang agaknya tidak dapat sembuh sama sekali. Rasa cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah membuyar karena ia merasakan benar bahwa ada suatu rahasia yang busuk di antara Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang kini menyamar sebagai kakak-beradik itu. Biarpun kini kedua orang itu bersikap sopan dan baik terhadap Cang Sun dan Cang Hui, namun ia hampir yakin bahwa mereka itu pernah merayu putera dan puteri Cang itu dengan cara yang tidak wajar. *** Ada kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya mendengarkan suara berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja, asalkan dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera mulut yang ingin makan enak. Hay Hay memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni binatang yang dapat dimakan dagingnya, atau mungkin saja tumbuh pohon buah. Pendeknya, daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia amat memerlukannya saat itu. Akan tetapi tidak ada pohon buah di tempat itu. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tidak mau makan daging kera atau babi hutan, belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega untuk makan daging kera, dan ia merasa jijik makan daging babi hutan yang nampaknya demikian kotor. Sejak kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun dan sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang lapar membuat tubuhnya agak gemetar. Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman harimau! Pernah dia makan daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba, panas, hanya lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimau pun akan diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dia masih menyimpan bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan daging harimau yang dipanggang kemerahan. Cepat dia menyelinap, menuju ke arah suara auman harimau. Kini, suara itu menjadi semakin riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mangaum, melainkan ada beberapa ekor harimau dan dua di antaranya menggereng, disusul gerengan harimau lain sehingga menjadi ramai sekali. Hay Hay cepat menghampiri tempat itu. dan dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali. Seekor harimau yang berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau biasa. Dua ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot yang kekar melingkari tubuh di bawah kulit itu dapat diketahui bahwa harimau hitam ini selain tangkas juga amat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton, kagum bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa. Di tempat itu terdapat pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Mereka pun agaknya menjadi penonton dan sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti telah diduga oleh Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah. Dan kini, harimau hitam menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu biasa seperti dua ekor harimau jantan yang tadi melarikan diri. Dua ekor harimau betina ini menggereng dan nampak tidak senang, akan tetapi ketika harimau hitam mengeluarkan auman dan memperlihatkan gigi bercaling yang runcing tajam, dua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan mereka pun tidak melawan ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan berahinya. Hay Hay tertegun dan dia pun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah. Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau lain, dan memaksakan kehendak dan berahinya!   Dia masih terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu. Binatang itu memaksa dua ekor harimau betina, memperkosa mereka bergantian dan agaknya binatang itu memiliki kekuatan yang tidak wajar. Dia tak mengenal lelah. Menyaksikan peristiwa yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu, Hay Hay tertarik sekali sampai dia lupa akan rasa lapar di perutnya. Akhirnya, harimau jantan yang berbulu kehitaman itu tidak lagi mengganggu dua ekor korbannya, dan dengan langkah gontai yang menambah kegagahannya, harimau itu menuju ke bawah pohon besar, kedua kaki depan mencakar-cakar tanah menggali tanaman seperti ubi. Dan dimakannya ubi itu dengan lahapnya. Hay Hay makin heran. Ketika harimau itu makan ubi, mulutnya menjadi merah seperti berlepotan darah! Harimau itu menghabiskan beberapa butir ubi merah, kemudian terjadilah hal yang membuat Hay Hay mengerutkan alisnya. Harimau jantan hitam itu kembali mengganggu dua ekor harimau betina yang nampaknya sudah kelelahan. Dua ekor harimau betina itu melakukan perlawanan, akan tetapi mereka menerima cakaran dan gigitan yang membuat mereka luka-luka. Melihat ini, Hay Hay tak dapat menahan kemarahannya. Dia seperti melihat penjahat cabul memperkosa dua orang wanita dan menyiksa mereka. Dengan geram dia pun melompat keluar dari balik semak belukar. Melihat ada orang meloncat keluar, harimau itu menghentikan gangguannya kepada dua ekor korbannya dan dia pun mengaum dengan nyaring, menggetarkan bumi sambil berindap-indap menghampiri Hay Hay. Setelah tiba di depan Hay Hay dalam jarak empat meter, harimau itu berhenti, mendekam dan matanya seperti mencorong mengamati Hay Hay. Pemuda ini pun tidak mau kalah, memandang harimau itu dan sejenak manusia dan harimau bertatap pandang mata. Bagaimanapun juga, harimau itu akhirnya mengejapkan mata dan nampak gelisah, lalu bangkit berdiri, keempat kakainya menegang, semua ototnya menggetar dan harimau itu mengaum lagi dua kali. Hay Hay sudah siap siaga, maklum bahwa harimau itu tentu akan segera menyerangnya. Dia SUdah membuat perhitungan dan mengukur jarak antara tempat itu dengan sebongkah batu besar yang berada di sebelah kirinya. Harimau hitam itu kini menggereng dan segera tubuhnya meluncur ke atas dan depan, menubruk ke arah Hay Hay. Gerakannya cepat sekali dan semua suara dan sikapnya demikian mendatangkan rasa gentar karena dahsyat dan berwibawa. Namun, gerakan itu tidak terlalu cepat bagi Hay Hay. "Binatang kejam dan jahat!" bentak Hay Hay dan ketika tubuh binatang itu hampir menerkamnya, tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke depan bawah, menyelinap dan mengelak sehingga tubuh harimau itu meluncur lewat. Dia sudah membalik dan menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Hay Hay mengayun tubuh harimau itu. Harimau yang dipegang ekornya dan diayun-ayun, tidak mendapat kesempatan untuk membalik dan mencakar kedua tangan yang menagkap ekornya, bahkan kini dengan ayunan kuat, tubuh harimau itu meluncur ke arah batu besar. "Prakkk!" Harimau itu tidak sempat mengaum lagi karena kepalanya sudah pecah ketika dengan amat kuatnya kepala itu dihantamkan ke batu besar. Binatang itu mati seketika! Ketika Hay Hay menengok ke arah dua ekor harimau betina tadi, dia tersenyum. Dua ekor harimau itu melarikan diri, seperti dua orang wanita yang baru saja terbebas dari cengkeraman seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)! Dia pun cepat membuat api unggun, memanggang daging harrmau jantan hitam setelah membubuinya dengan garam dan bawang kering. Baunya sedap bukan main setelah daging yang dibumbui itu terpanggang api. Ketika dia mulai makan daging panggang yang masih panas itu, dia menyayangkan bahwa di situ tidak ada nasi. Dan teringatlah dia akan ubi merah yang tadi dimakan harimau. Dia pun menghampiri tempat itu dan dilihatnya tanaman semacam ubi jalar dan ketia dia mencabutnya, dia mendapatkan dua butir ubi yang kulitnya kemerahan. Dia mengupasnya dan nampak daging ubi yang merah sekali, merah darah! Pantas saja ketika tadi makan ubi itu, mulut harimau hitam menjadi merah seperti berlepotan darah. Dia mencoba makan ubi itu. Enak! Manis dan sedap. Dia pun makan ubi merah yang manis itu dengan daging harimau, sampai kenyang sekali. Perut yang kenyang, tubuh yang lelah, bersilirkan angin yang sejuk, membuat Hay Hay mengantuk. Dia bersandar pada batang pohon dan hampir tertidur. Ketika dia teringat kepada hariamu-harimau tadi, dia segera meloncat naik ke atas pohon. Berbahaya tidur di tempat yang banyak harimaunya itu. Dan tak lama kemudian dia pun sudah tertidur nyenyak di atas pohon. Dia sudah sering dalam perjalanan dan petualangannya tidur di atas pohon. Matahari sudah condong ke barat ketika Hay Hay mengejak-ejapkan matanya, lalu terbangun. Dia mimpi terjebak musuh berada dalam ruangan yang terkurung api. Ketika dia terbangun, dia masih merasakan hawa yang luar biasa panasnya dan semua pakaiannya basah karena keringat. Dia lalu meloncat turun dari atas pohon. Tubuhnya terasa ringan, dan juga kuat, akan tetapi panasnya bukan main seolah ada api besar bernyala di dalam perut dan dadanya. Hay Hay juga merasakan rangsangan berahi yang kuat dan dia merasa khawatir sekali. Tahulah bahwa keadaannya ini tidak wajar dan dia pun teringat akan apa yang dimakannya tadi. Daging harimau jantan bulu kehitaman dan ubi merah darah. Itulah agaknya yang menjadi sebab keadaannya ini. Dia pun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya. Setelah mengatur pernapasan dan menghimpun hawa jernih, akhirya dapat dia meredakan gelora dalam tubuhnya. Namun api itu tidak padam, hanya kini menyala kecil di sebelah dalam. Tahulah dia bahwa daging harimau hitam dan ubi merah itu mengandung daya rangsangan berahi yang amat kuat. Kini mengerti dia mengapa watak harimau jantan hitam itu seperti tadi. Tentu karena binatang itu biasa makan ubi merah, maka harimau itu memiliki gairah yang amat besar, juga agaknya makanan itu mendatangkan tenaga yang hebat pula. Dia harus mencari sebuah dusun sebelum malam tiba. Biarpun dia dapat saja melewatkan malam di hutan, tidur di atas pohon, namun akan lebih nyaman kalau dia bisa bermalam di dalam sebuah rumah, walau hanya rumah pondok kecil sederhana milik orang dusun. Dia mencari sebatang pohon yang paling tinggi, meloncat dan memanjat pohon itu sampai ke puncaknya dan dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling. Matahari sudah condong ke barat, senja telah mendatang dan pemandangan dari pohon tinggi itu amatlah indahnya. Kiranya hutan itu berada di lereng bukit dan di sebelah bawah lereng bukit itu nampak sebuah dusun, yang nampak hanya genteng-genteng rumahnya. Penglihatan ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Genteng rumah itu seperti melambai-lambai.   Segera dia turun dari pohon dan berlari cepat keluar dari hutan itu, menuju ke arah dusun yang tadi dilihatnya. Setelah tiba di luar dusun, cuaca menjadi lebih terang dan pemandangan senja itu, amatlah indahnya. Seolah-olah sang matahari yang akan mengundurkan diri malam itu, sebelum menghilang, lebih dahulu memancarkan cahayanya lebih gemilang walaupun lembut. Hay Hay berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Kini dari luar hutan itu dia dapat melihat dusun tadi, dan nampak pula sebuah sungai yang berkelok-kelok di luar dusun, airnya berkilauan tertimpa sinar senja. Dia pun cepat menuruni lereng itu menuju ke dusun. Ketika dia tiba di dekat anak sungai yang berbatu-batu dan berpasir sehingga airnya amatlah jernihnya, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sekali ini bukan untuk menikmati penglihatan indah, melainkan karena mendengar suara yang amat dikenalnya dan amat disenanginya. Suara gadis-gadis bercanda dan tertawa-tawa, suara air yang mereka permainkan dengan menampar permukaan sungai. Entah mengapa, suara wanita yang merdu, suara mereka tertawa dan bergurau, telah menyenangkan hati Hay Hay dan dia pun segera menuju ke arah suara. Kembali dia berhenti melangkah dan kini tertegun, terpesona. Kiranya, seperti yang diharapkannya, di sungai yang dangkal itu, terdapat lima orang wanita sedang mandi! Dan melampaui dugaan dan harapannya, mereka adalah gadis-gadis yang cantik, sedang mandi sambil bersiram-siraman air di sungai jernih yang dalamnya hanya sepinggang itu. Mereka bersendau gurau, bermain-main di air dengan gembira dan Hay Hay terpesona. Pantasnya mereka adalah lima orang bidadari dari kahyangan yang datang bermandi di sungai jernih, di waktu senja seperti yang pernah dia baca dalam dongeng kuno! Mereka hanya mengenakan pakaian dalam sebatas dada, dan pundak, punggung dan lengan mereka yang telanjang itu nampak putih keemasan tertimpa sinar matahari senja, mulus halus dan amat indahnya. Hay Hay bersembunyi di balik rumpun ilalang di tepi sungai, mengintai dan jantungnya berdebar kencang, rasa hangat dari apa yang tak pernah padam sejak dia makan daging harimau hitam dan ubi merah tadi kini mulai berkobar lagi. Gairah nafsu yang hebat merangsangnya dan hampir tak tertahankan. Terutama sekali ketika dia melihat seorang di antara lima orang gadis dusun itu. Seorang gadis yang amat manis, dan agaknya empat orang gadis lain memusatkan godaan mereka kepada gadis manis ini, yang kadang tersipu malu-malu dengan muka menjadi kemerahan! Dari ucapan dan godaan empat orang gadis itu, tahulah Hay Hay bahwa gadis manis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang pengantin baru! Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan, maka bagaikan api, nafsu amatlah berguna bagi manusia, bahkan manusia tidak mangkin dapat hidup tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera, bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Manusia tidak akan dapat mengalami kemajuan dalam keduniawian tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke dalam hati dan akal pikiran. Namun, seperti juga api, kalau nafsu tidak terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan, celakalah kita! Kita akan diseretnya, bagaikan api yang tidak terkendali, semua akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan. Makanan nafsu adalah kesenangan. Di mana ada kesenangan, nafsu bangkit dan menjadi amat kuatnya. Makin kuat nafsu merajalela, semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada kekuatan di dunia lni yang akan mampu meredakan nafsu kecuali kekuasaan Tuhan! Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan yang bagaimana nampak baik pun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena ke sanalah arah tujuan semua nafsu. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar ketika dia melihat lima orang gadis itu bermain-main di air sungai, terutama sekali melihat wanita muda yang oleh kawan-kawannya digoda sebagai pengantin baru. Dia tidak dapat menahan diri lagi untuk tidak mendekati dan berkenalan dengan mereka. Dia muncul dari balik rumpun ilalang dan begitu melihat munculnya seorang pria asing, lima orang wanita itu menjerit kecil dan dengan bingung dan panik mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi dada yang hanya tertutup kain tipis yang tembus pandang karena basah. Melihat mereka salah tingkah dan nampak ketakutan, Hay Hay cepat berkata, sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Nona-nona harap jangan takut. Aku bukan setan, melainkan manusia biasa dan manusia pun bukan yang jahat. Lihat, aku sudah membalikkan muka agar tidak melihat kalian mengenakan pakaian. Aku hanya ingin berkenalan." Hay Hay lalu membalikkan tubuh, membelakangi mereka. Melihat ini, timbul pula keberanian para gadis itu dan sambil kecicikan menahan tawa, mereka cepat keluar dari sungai, mengenakan pakaian kering dan sambil tertawa-tawa mereka beriari-larian kecil meninggalkan tempat itu. "Nanti dulu! Nona pengantin, aku ingin sekali memberi selamat kepadamu! Sebagai nona pengantin yang baik, engkau harus menerima ucapan selamat dariku!" kata Hay Hay dengan suara lembut membujuk. Mendengar ini, pengantin baru itu terpaksa berhenti berlari dan empat orang kawannya yang melanjutkan lari mereka meninggalkan Hay Hay. Wanita pengantin baru itu berdiri menanti dan dengan muka tersipu ia memandang kepada pemuda yang kini sudah berdiri di depannya. Seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana, pandang mata dan senyumnya lembut dan sopan sehingga ia hanya merasa malu akan tetapi tidak lagi takut. "Nona pengantin yang baik, aku merasa menyesal sekali tidak sempat menghadiri pesta pernikahanmu. Tentu meriah sekali, sayang aku tidak dapat hadir" Hay Hay berkata ramah, lalu menyambung untuk memancing percakapan, "kenapa nona begitu tega kepadaku dan tidak mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahanmu?" Wanita itu memandang heran dan membela diri. "Bagaimana saya dapat mengirim undangan kalau saya tidak mengenalmu?" "Aahhh, benar juga, aku sampai lupa, Nona pengantin baru! Nah, biarlah engkau mengenalku sekarang. Namaku Hay Hay, dan bolehkah aku mengetahui nama Nona pengantin yang manis? Tanpa mengetahui nama, bagaimana aku dapat memberi selamat?" kata Hay Hay dengan sikap sopan dan ramah sekali. Melihat pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, bahkan sopan dan manis budi, tentu saja wanita muda pengantin baru itu pun tidak lagi merasa curiga atau sungkan. Ia tersenyum dan jantung dalam dada Hay Hay terlonjak. Manisnya senyum itu! Bahagianya si pengantin pria, pikirnya agak iri.         "Namaku Cing Ling..... eh, maksudku Nyonya Ji San." kata wanita itu dan karena kelepasan bicara memperkenalkan nama gadisnya, ia pun agak tersipu. "Cing Ling, nama yang bagus sekali. Aku lebih suka mengingat nama itu, karena nama itu mengingatkan aku akan seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari. Kau tahu, Nona. Ketika tadi aku tiba di tempat ini, aku bersembunyi karena takut!" Wanita itu sudah terpancing dan sudah terlibat dalam percakapan. Setiap kali Hay Hay bicara, selalu membuat ia ingin tahu kelanjutannya. Sikap pemuda itu terlalu lembut dan manis, juga ucapannya halus dan selalu merupakan kalimat yang membutuhkan keterangan berlanjut. "Kongcu, kenapa kau takut?" tanya wanita itu ingin tahu sekali. "Kongcu? Aih, sekarang engkau membuat aku merasa sedih dan penasaran, Cing Ling! Apakah engkau tidak sudi menerima uluran tanganku untuk berkenalan dan bersahabat?" Wanita itu terkejut, tidak tahu mengapa ia membuat pemuda itu sedih dan penasaran! "Apa maksudmu, Kongcu?" "Kongcu lagi! Aih, celaka, kenapa engkau berkongcu-kongcuan kepadaku? Bukahkah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat? Sudah kuberitahukan bahwa namaku Hay Hay, nah, panggil saja namaku itu, jangan pakai kongcu segala. Maukah engkau menjadi sahabatku dan menyebut namaku saja, Cing Ling?" Wanita muda ini sudah merasa terbuai di awang-awang oleh pujian Hay Hay tentang kecantikannya, maka kini ia merasa gembira dan tersenyum lagi, seyum yang mampu membuat Hay Hay setengah pingsan! "Baiklah, Hay Hay. Nah, katakah kenapa engkau ketakutan begitu tiba di sini tadi? Apakah engkau melihat setan?" pengantin muda itu mulai berani bergurau. Hal ini dapat dimaklumi. Ia baru saja menjadi pengantin, dipersandingkan dengan seorang pria yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali sehingga membuat ia merasa asing, sungkan dan malu-malu. Selama beberapa hari tinggal di rumah suaminya, di keluarga mertuanya, ia merasa asing dan rikuh, seperti berada di pulau terasing tanpa kawan dekat, melayani suami dan mertua yang masih asing sehingga hubungan diantara mereka menjadi kaku. Baru sore hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk keluar dan mandi di sungai bersama teman-teman lamanya, mendatangkan kegembiraan luar biasa. Kini, bertemu Hay Hay yang pandai mengambil hati, amat ramah dan halus, timbul kegembiraan hati Cing Ling dan mulai ia berani menyambut gurauan Hay Hay. "Melihat setan? Wah, jauh daripada itu. Sebaliknya malah! Aku melihat bidadari! Lima orang bidadari sedang mandi di air sungai yang amat jernih, dan terutama seorang di antara mereka, sungguh membuat aku terpesona dan juga ketakutan!" Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar, mulut yang manis i tu dihias senyum nakal. "Hemm, aneh! Tidak melihat setan akan tetapi melihat bidadari, kenapa menjadi ketakutan?" Hay Hay tertawa. "Ha-ha, kalau hanya menghadapi setan, aku sama sekali tidak akan merasa takut! Akan tetapi menghadapi bidadari yang cantik jelita, manis seperti madu rambutnya ikal mayang dan hitam panjang, kulit tubuh yang mulus dan bersih, sepasang mata yang jeli dan dapat menjadi redup, pipi yang kadang dapat menjadi kemerahan, dan senyum yang.... aduhai senyummu, Cing Ling membuat jantungku seperti akan copot!" Wanita mana di dunia ini yang tidak haus akan pujian tentang kecantikannya? Wanita mana yang tidak haus akan kata-kata yang manis merayu? Apalagi kalau yang memuji dan merayunya itu seorang pemuda yang demikian tampan seyerti Hay Hay, dengan sikap yang lembut dan sopan, tidak kurang ajar. Kalau wanita itu menjadi marah, hal itu hanya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu, seperti halnya Cin Ling. "Ihh, engkau..... engkau merayuku, ya? Engkau mata keranjang!" Cing Ling hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kirinya. "Cing Ling, sungguh mati, aku tidak bermaksud kurang ajar! Kalau ucapanku tadi menyinggungmu, maukah engkau mengampuni aku? Kita sudah bersahabat, bukan? Nah, maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus di sini sampai akhir jaman!" Mendengar ucapan itu, mau tidak mau sang pengantin baru menghentikan langkahnya dan ketika ia menengok, ia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut menghadapnya. Belum pernah selama hidupnya gadis dusun ini mendapatkan kehormatan seperti itu, maka cepat-capat ia menghampiri Hay Hay dan berkata. "Ihh, jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi kotor!" "Tidak, sebelum engkau memaafkan aku, aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati berlutut terus begini!" "Baiklah, aku maafkan engkau.... nah, bangkitlah...." "Sebut dulu namaku, baru aku mau bangkit." Wanita muda itu menarik napas panjang. Ia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang amat menarik hatinya ini. Akan tetapi ia juga sudah terikat, merasa kasihan dan suka kepada pemuda ini merasa seolah ia sudah mengenal pemuda ini selama bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya. "Aih, Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu." akhirnya ia berkata. Hay Hay mengangkat muka memandang. "Cing Ling, bagaimana aku dapat percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin? Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku tidak memuji kosong, aku bukan perayu, aku hanya mengatakan terus terang ketika aku menyatakan bahwa engkau memang cantik jelita dan manis sepetti bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?"   Wajah itu menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidupnya, dalam mimpi pun, belum pernah ia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini! "Aku memaafkanmu." katanya mengangguk. Hay Hay mengulurkan kedua tangannya. "Bangkitlah aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang telah memaafkan aku. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?" Wanita itu tersenyum. Apa pun, pemuda ini malah keluar manjanya! Karena semua itu dilakukan Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itu pun menggenggam kedua tangan yang kecil mungil itu, lalu bangkit berdiri tanpa melepaskan kedua tangan itu. Bagaikan dua ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil dalam genggangam itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya. Baru beberapa hari yang lalu ia mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Akan tetapi ia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Digenggam kedua tangannya seperti itu, jantungnya seperti terguncang rasanya, membuat kedua kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Ia seperti kehilangan semua tenaganya, tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam. Sementara itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dahulu ia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita. Akan tetapi, semua rasa kagum itu wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga yang indah, rasa suka yang bersih daripada nafsu. Saat ini lain lagi. Di dalam tubuhnya ada api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya. Api nafsu berahi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, membuat semua kesadarannya menjadi gelap, pertimbangannya menjadi terguncang dan dia lupa diri. Gairah yang menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh wanita itu pun roboh dalam dekapannya! Kalau saja saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu akan pulih kembali kesadaran Hay Hay. Akan tetapi tidak, wanita itu pun seperti terpesona, seperti kehilangan kesadarannya dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay, dengan isak tertahan. Ketika dalam kobaran nafsu berahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun pagi. "Cing Ling.....!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi. "Hay Hay...." Cing Ling mengeluh dan pasrah. "Jahanam keparat....!!" terdengar bentakan orang. Tentu saja Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan ketika mereka menengok, ternyata di situ telah berdiri belasan orang laki-laki dusun dengan wajah penuh kemarahan! Cing Ling tersadar dan ia pun mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lalu menudingkan telunjuknya yang gemetar, mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan, suaranya gemetar pula, "Kenapa...... kenapa kau.... kau.... memelukku....?" Berkali-kali ia berseru seperti itu. Hay Hay juga sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia memaki diri sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan malapetaka kepada seorang wanita yang amat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa! Tentu pengantin baru itu menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua keluarga suaminya! "Keparat busuk, berani engkau mempermainkan isteri orang?" bentak seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, engkau layak dipukul sampai mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan kedua tangan dikepal. Wah, kiranya si tinggi besar muka hitam ini suami si pengantin baru! Hay Hay tidak sempat berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah dan marah kepada diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas dipukul, patut dihajar! "Dukk!!" Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya. "Bukk!" pukulan ke dua mengenai dadanya dan tubuh Hay Hay terjengkang, kepalanya menjadi pening. Dia memang sengaja tidak mengerahkan tenaga apa pun dan menerima pukulan-pukulan itu begitu saja untuk membiarkan dirinya dihajar! Kini belasan orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay hanya mengelak kalau ada kaki menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengar suara bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama sekali si muka hitam yang marah melihat isterinya tadi didekap dan diciumi, pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya. Mampus kau, pikir Hay Hay, memaki diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, matanya berkunang-kunang dan agaknya dia nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan clan tangis wanita itu. "Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh dia.... dia tidak bersalah....!" Hay Hay membuka lagi kedua matanya yang lembam membengkak dan kehitaman. Dia melihat pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan kedua tangan sambil mita-minta ampun untuk dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali! Betapa lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya! Betapa jahat dia! Mendengar jerit tangis wanita itu, belasan orang yang tadi memukulinya menghentikan pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan membunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka membunuh orang. Wajah dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak belur.   Akan tetapi pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu sudah dibakar api cemburu. "Kau perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pegantin sudah menyeleweng dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan hina yang layak dihajar!" Suami Cing Ling yang sudah marah sekali itu melangkah maju menghampiri isterinya yang berlutut sambil menangis, sedangkan kawan-kawannya hanya menonton saja karena kalau suami itu menghajar isterinya, tentu saja mereka tidak berhak mencampuri. "Tahan dulu.... !" Hay Hay bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur dan dia berdiri menghadang melindungi wanita itu. Hal ini membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia, membelalakkan matanya, "Jahanam busuk! Apa kau minta mampus? Berani engkau membela isteriku?" Hay Hay diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimanapun juga, Cing Ling tidak bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan dia tahu bagaimana harus berbuat. Dia pun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan mereka pun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila! "Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!" Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi daripada manusia biasa! "Hei, muka hitam! Berani engkau hendak memukuli isterimu! Wanita, itu tidak bersalah, karena tadi ia dan kawan-kawannya mandi dl sini mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Ia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya!? Nah, kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas!" Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, dan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil ketika mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba jungkir balik, kaki di atas dan kepala di bawah! Wanita itu pun menurunkan kedua tangan dari depan muka dan memandang. Ia tidak berada dalam pengaruh sihir, maka ia pun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, demikian pula belasan orang dusun. "Ampun.... ampunkan saya....." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar. Hay Hay tertawa lagi. "Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan memukul isterimu, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir batik seperti ini sampai engkau mati!" "Saya bersumpah.... saya bersumpah ....." Si muka hitam berkata dengan penuh kesungguhan. Kini Hay Hay berkata kepada belasan orang teman si muka hitam. "Dan kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat si muka hitam ini memukuli isterinya, dan bersikap kasar, kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!" Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan., Mereka bersama seperti dikomando saja lalu menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat, "Kami berjanji akan mentaati perintah ..." "Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, ia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Nah, aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni, berlututlah seperti biasa!" Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat "raksasa" itu melangkah mendekati sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, dia pun lenyap! Setelah mereka semua berani bangkit, si muka hitam lalu menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut, "Cing Ling, maafkan aku...." Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata, "Kami juga mohon maaf...." Cing Ling hanya dapat mengangguk. Ia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing itu tadi amat menarik hatinya, bahkan ia akui bahwa ia terpikat dan terpesona. Kemudian, pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur. Akan tetapi, pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai dan suaminya, juga belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya, berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya. Dan sejak saat itu, Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu, menganggap ia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai! Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya. Dan suaminya bukan saja bersikap hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Akan tetapi, di waktu malam, seringkali wanita ini termenung, teringat kepada Hay Hay. dan perasaan rindu gerogoti hatinya! *** "Rasakan kau! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Cabul dan mesum kau, hamba nafsu kau! Rasakan sekarang!" Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi. Senja telah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Setelah dia mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia lalu duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung. Dia tahu benar apa yang terjadi, di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu berahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biarpun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor. Dia tahu benar bahwa ini tentulah darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah! Dia memiliki darah seorang hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Kalau dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat daripada ayahnya. Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Kalau tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang bersih ke dalam lumpur kotor, dan mungkin sekali dia melangkah, dia tidak akan dapat undur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat! Dia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Dia begitu mudah menundukkan wanita dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup. Akan tetapi, begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya. Orang yang berkedudukan mabuk kekuasaan karena nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja, bersenjatakan wewenang dan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, si hartawan mempergunakan kekayaannya untuk mendapatkan kesenangan pula, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenahg-wenang, dan selanjutnya. Semua itu adalah ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran. Nafsu membuat kita selalu kesenangan, kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi karena desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, melainkan demi kelezatan, demi keenakan. Biar bermanfaat bagi kesehatan, kalau tidak enak, kita enggan memakannya. Sebaliknya, biar membahayakan kesehatan, kalau enak, kita makan dengan lahapnya. Demikian pun dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan, yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh. Dalam segala perbuatan dalam kehidupan ini, kita selalu menunjukkan atau mengarahkan kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan, yang kita namakan kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok, setiap golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing. Hay Hay mengamati diri sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu berahi yang bergejolak dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita, disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya. Selama ini, yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini, hanyalah Cia Kui Hong seorang! Memang selain Cia Kui Hong, banyak sekali gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, kalau saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi, gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain. Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biarpun lebih tua sepuluh tahun darinya, merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Kini, Kok Hui Lian telah menjadi isteri penaekar Ciang Su Kiat. Kemudian Bi Lian , Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu. Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sesungguhnya dicintanya sampai sekarang, akan tetapi orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Dia pun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu. Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang amat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah cucu Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Kalau suami isteri pendekar terkenal itu melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah, mereka tentu saja tidak dapat dipersalahkan.   Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong ketika mendengar bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walaupun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar. Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad menghadapi tantangan karena hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru. Tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, seribu macam. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu! Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justeru itulah yang membuat kehidupan berarti, beromantika, bervariasi. Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahit pun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanya permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian tak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah, itu. Hadapi dan usaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya! Landasannya hanya satu, ialah penyerahan kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhan pun jadilah, setiap saat dan di mana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu. Hay Hay tersenyum! Dia menerima kenyataan saat itu. Muka dan seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekal pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya, tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu. Kalau sudah demikian, sukarlah menentukan apakah rasa denyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat! Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan diapun tertawa bergelak. Kalau ada orang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu. Akan tetapi tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya, mereka itu mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapaa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya bergoyang-goyang! Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, melainkan terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu. Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Seorang tinggi kurus, seorang pendek gendut dan seorang lagi brewok tinggi besar. Yang tinggi kurus agaknya yang menjadi pemimpin. Dia berbisik, "Kalian berdua harus menyerang dia dengan tiba-tiba dan selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya." Si brewok menyeringai, "Hemm, Toa-ko," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling menggoda perempuan. Tadi pun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun." "Siauw-te, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biarpun pemuda itu tadi dipukuli orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat tadi ketika dia tertawa pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang?" "Sudahlah, kerjakan perintahku. Kalian mengambil jalan memutar dan menyerang dari samping kiri. Aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus. Dua orang itu lalu menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay kalau tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadi pun bukan hanya mentertawakan keadaan dirinya sendiri, juga mentertawakan tiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya, seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas? Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, kini Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua di antara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedang yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Dia pun nampak tenang walaupun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan loncatan ke depan. Pada saat itu, si tinggi kurus sudah menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter. "Hemm, kiranya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay. Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, akan tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan dan memeriksa isinya. Hanya beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obat, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga. Si tinggi kurus menyerahkan buntalan itu kepada si brewok dan bersama si gendut memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa. "Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."   Hay Hay memandang heran, "Ehh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku ini seorang perantau miskin, tidak mempunyai uang." Hay Hay teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya. Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, dia tidak akan merasa heran karena kalau para tokoh kang-ouw mengetahuinya, tentu mereka tidak segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu. Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini? Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang amat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini. "Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!" Hay Hay terkejut. Ah, kiranya itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu amat penting maka dia pun selalu menyimpannya di dalam saku baju bagian dalam dan saat itu pun benda itu berada di batik bajunya. Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, akan tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang amat bijaksana, dan harus diserahkan kepada satu di antara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, dia yakin bahwa benda itu teramat renting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)? "Ah, kiranya itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang telah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapa pun juga kecuali mereka yang berhak menerima." Buntalan itu telah dirapikan kembali dan diletakkan di tempat semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk. "Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan kepada kami dan kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Serahkan kepada kami!" Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini menunjukkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, makin menariklah sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang. "Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dipesankan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik." Si brewok meloncat mendengar ucapan itu. "Heii, orang muda, jangan berlagak dan mencoba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!" Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam lalu dia kembali menghadapi Hay Hay. "Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan, terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?" Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini. "Paman, apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?" "Toako, perlukah bicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran. Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpenglihatan tajam. Tadi dia melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biarpun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam. "Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas itu berisikan surat fitnah yang akan mengadu domba. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, engkau tentu seorang yang cukup gagah dan tidak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?" "Tentu saja aku tidak ingin ada perang saudara, Paman. Akan tetapi aku pun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapa pun kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiaang kakek itu." kata Hay Hay dengan tegas. "Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?" Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga ,siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu merupakan rahasianya sendiri, tidak perlu diberitahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu. "Aku tidak dapat memberitahu kepada siapa pun, Paman."   "Bocah sombong!" "tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!" Hayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut. Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu, mereka ini agaknya sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka ini mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya. Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan sur at itu hanyalah suami cebol pencemburu itu. Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih ada hubungannya dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu? Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan dia pun berkata dengan suara bernada mengancam, "Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Akan tetapi sekali ini, karena surat itu teramat penting bagi keselamatan rakyat, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik." "Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay dan dengan sikap tenang dia pun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka. Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan. "Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok dan dia pun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay. Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang amat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya. Namun Hay Hay cepat mengelak sambil melanjutkan kesibukan kedua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya! Padahal, si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga ketika tangan yang besar itu menyambar, terdengar suara angin bersiut. Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu, si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay dan sekali melompat, dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut. "Hemm ....!" Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan di sini dia disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci. "Plakk!" Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu. Hay Hay tidak mau membuang tenaga dan waktu melayani tiga orang itu, maka begitu mendapat kesempatan, dia lalu melompat pergi. "Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya. Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya. "Singgg.....!!" Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arab punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik dan menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya. "Wirrr.....!!" Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya. "Tranggg....!!" Pisau an piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh. Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja. "Tarrr..... suuuutttt....!!" Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak, peluru sudah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan yang terkenal amat ampuh dan berbahaya. Banyak sudah ahli-ahli silat tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang dapat memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter lagi saja menyimpang, peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas! Sungguh berbahaya, Hay Hay melompat jauh ke depan lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka dan lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai. Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Terpaksa malam itu dia tinggal di tepi sungai setelah melewati dua buah hutan. Terdapat lapangan rumput di situ dan terlindung beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada setelah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai mencarinya. Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan sampai jauh malam dia tidak tidur, hanya termenung. Kemudian, setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong sudah mulai menyinari tempat itu, dia membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya. Tadinya, sedikit pun dia tidak ingin mengetahui apa isinya, hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apa pun isi gulungan surat itu, tidak penting dia ketahui karena tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Pula, dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu. Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal ini membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Biarpun terampas orang lain, kalau dia sudah mengetahui isinya, dapat juga dia laporkan dengan lisan isi surat itu kepada seorang di antara dua menteri itu.   Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah, dan singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih Portugis yang banyak tinggal di kota itu, telah membangun sebuah benteng dan orang-orang kulit putih itu mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya untuk melakukan pemberontakan. Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai, karena putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow, dibunuh bersama seluruh keluarga karena berani menentang persekutuan itu hendak menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lalu dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja, akan tetapi nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu. Setelah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu kalau dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang diantara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak. Jelaslah bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang dimaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih! Karena surat itu dianggapnya amat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak. *** Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota Cang-ouw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan diam-diam dan rahasia di kota itu. Orang-orang kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina. Kapal pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian, empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa. Rombongan empat kapal ini pun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat. Akan tetapi, selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus yang tidak enak. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak aseli mereka. Seperti harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang di pimpin oleh Kapten Simon De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik memperkosa wanita! Makin lama, gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat. Mendengar ini, pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai pedagang. Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar lagi tentang orang Portugis. Akhimya, pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan di sini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po. Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang. Mula-mula, orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar, menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini. Akan tetapi, setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan, memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita. Akhirnya, para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng. Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.   Demikianlah, dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung. Kolonel Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang. Dengan taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow! Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng besar di mana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walaupun tetap mereka itu berkelompok. Karena keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan pendeta-pendeta. Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun orang ke dua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang. Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu lembut. Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna. Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun dara ini biarpun lincah jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria mana pun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya. Kehormatan seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan. Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang, dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya! Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang ke dua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh. Biarpun biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang telah membuatnya tergila-gila itu. Kapten Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu, Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah. Di hadapan kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari benda-benda berharga dari Portugis. Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.   Semenjak diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri! Demikian pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorang pun pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu. Ketika beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu. Akan tetapi, kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai. Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia, maka pemuda itulah yang mereka kejar-kejar! Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti telah diceritakan di bagian depan. Biarpun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah dia melakukan pembersihan, menangkap pejabat-pejabat yang diangapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tidak berdosa ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa pun ikut tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak! Pagi hari di dalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar di dalam perbentengan itu, Sarah sudah sejak pagi sekali bangun dari tidurnya, mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam perbentengan, bertukar pakaian lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan ia sendiri. Pagi itu ia merasa gembira bukan main karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan diluar kota Cang-cow. Gadis ini memang sejak kecil mempunyai kegemaran menunggang kuda dan ia bahkan ketika berusia dua belas tahun, pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya. Setelah ia mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini. Akan tetapi, karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam perbentengan, ia merasa kurang leluasa. Ia hanya dapat menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalau pun ia diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, ia tidak boleh seorang diri, harus ada pengawal. Tidak begitu menyenangkan berkuda di kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga ia harus menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan, ia pun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh ia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Ia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan pagi hari ini, ayahnya kemarin menjanjikan untuk mengajak puterinya berkuda di perbukitan di luar kota! Setelah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya ia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Kalau orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali. Ketika pintu terketuk,terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lalu terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu, tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang pria setengah tua ini amat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri. "Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak perduli melihat ayahnya masih belum sadar benar agaknya dari tidurnya. "Selamat pagi, Sarah. Sepagi ini engkau sudah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam daripada kemarahan. "Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu terhadapku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!" Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dilebarkan, lalu dia menepuk kepala sendiri, "Ahhh, terlalu banyak anggur kuminum semalam, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu....." "Ayah.....!" Sarah merajuk, mulutnya yang berbibir merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah. Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lalu diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak. "Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tidak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak." Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang mernenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Ia memandang ayahnya.   "Siapa kali ini pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?" Kapten Armando menarik napas panjang. "Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung " Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar. "Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?" Kapten Armando mengangguk. "Benar, dia ditangkap karena ada bukti-bukti bahwa dia bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang sudah dihukum beberapa bulan yang lalu." "Aih, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda dengan aku ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu." Akan tetapi ayah itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan." Sarah mencibir dan bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium. "Huh, siapa sih yang ingin memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan senang sekali hatiku karena membayangkan akan berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini....! Huh, melihat orang dihukum mati!" Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang. "Jangan kecewa, Anakku. Engkau tetap boleh berkuda di perbukitan pagi ini, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemaninya." "Kenapa Gonsalo? Aih, aku tidak suka, Ayah!” kata dara itu, merajuk. "Eh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?" "Aku tetap ingin pergi berkuda, akan tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik dengan perajurit pengawal biasa saja, Ayah." Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal, "Sarah sayag, kenapa engkau selalu kelihatan tidak suka kepada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia...." "Sudahlah, Ayah! Tidak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimanapun juga, aku tidak tertarik, aku aku bahkan membencinya!" "Ehh? Engkau aneh sekali, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya yang membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?" Sarah bersungut-sungut. Memang tidak pernah kapten muda itu melakukan sesuatu yang dapat ia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia tidak suka kepada kapten itu. Ia tahu bahwa ayahnya seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tidak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa ia dapat memberikan sebabnya. "Dia.... dia...., pandang matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandang matanya membuat aku merasa benci..." "Hemmm? Pandang. matanya kenapa, Sarah?" "Entahlah, Ayah. Pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing kalau sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang perajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja." "Ahh.....!" "Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri." "Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal perajurit biasa. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Kalau dia yang mengawalmu, sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan senang. Tanpa dia, kalau engkau pergi aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah, Sarah. Dia sudah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia, dan kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku, aku yang akan menghukumnya." Kapten Armando meninggalkan puterinya, memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Tinggal dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali. Ia menghela napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang digulungnya sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih. Celana panjangnya abu-abu dan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah. Pinggang yang ramping itu diikat sabuk kulit dan ia pun sudah siap dengan sebatang cambuk kuda dari bulu halus. Cantik jelita dan manis sekali dara itu ketika ia mematut diri di depan cermin di dekat meja makan itu sambil mengenakan topinya yang terhias bulu burung dan berwarna hijau. Rambut nya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk dan punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan tali sutera merah.   Tak lama kemudian, Kapten Armando memasuki ruang makan, sudah siap dengan pakaian dinasnya, pakaian kapten yang membuatnya nampak lebih muda, dan gagah. Akan tetapi, pria setengah tua itu memandang kepada puterinya yang sudah mengenakan pakaian lengkap berikut topi itu dengan kagum dan terpesona. Puterinya ini mengingatkan dia kepada isterinya yang sudah bercerai darinya dan kini berada di negaranya sendiri. "Sarah, engkau cantik sekali!" Biarpun ia kecewa, mendengar pujian ayahnya, Sarah tersenyum, bangkit berdiri, menghampiri ayahnya dan mencium pipi ayahnya dengan sikap manja. "Ayah, aku maafkan Ayah yang tadi mengecewakan hatiku. Baiklah, aku akan pergi berkuda di perbukitan, dikawal oleh Kapten Gonsalo." Kapten Armando menjadi gembira sekali. Dia merangkul puterinya, mendekap kepala yang disayangnya itu ke dada dan mengecup pipi anaknya sampai mengeluarkan bunyi nyaring. "Ha-ha-ha-ha, engkau memang anakku yang manis. Engkau darah Armando yang jujur dan keras akan tetapi tegas! Ha-ha-ha, aku girang sekali, Sarah. Pergilah, sayang, akan tetapi marilah kita sarapan dulu." Ayah dan anak itu sarapan dan nampak mereka gembira. Apalagi Kapten Armando, makannya lahap sekali, dilayani oleh puterinya. Pada saat itu pembantu mengetuk pintu ruangan makan, memberitahu bahwa Kapten Gonsalo sudah tiba di ruangan depan. "Suruh dia menanti sebentar!" kata Sarah mendahului ayahnya. Pelayan itu memberi hormat dan pergi lagi. "Aih, Sarah sayang, kenapa engkau tidak mengundang Gonsalo ikut sarapan bersama kita?" tegur Kapten Armando, akan tetapi kata-katanya lembut dan manis. sehingga tidak merupakan teguran, lebih pantas pertanyaan. Sarah tersenyum. Sudah kembali ke lincahannya dan kekecewaannya yang tadi sama sekali tidak ada bekasnya lagi. "Ayah, aku ingin makan pagi bersama ayah saja, tidak diganggu siapa pun juga sehingga selera makan kita tidak berkurang karenanya. Ayah, tambah lagi rotinya?" Kapten Armando tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tidak ingin merusakkan suasana yang akrab dan membahagiakan ini dengan kehadiran Gonsalo. Bagaimanapun juga, dia akan memberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih sendiri kekasih dan calon suaminya. Dia ingin puterinya berbahagia, dan kebahagiaan perjodohannya hanya mungkin kalau puterinya itu memilih sendiri jodohnya. Setelah selesai makan, mereka berdua keluar dan menuju ke ruangan tamu di depan. Di situ Gonsalo telah menanti dan pemuda ini duduk di sebuah kursi tamu yang nyaman. Wajahnya tetap riang dan cerah walaupun di dalam hatinya dia kecewa mengapa Sarah dan ayahnya tidak menundang dia makan pagi bersama, walau hanya untuk basa-basi saja. Dari pelayan tadi dia tahu bahwa ayah dan anak itu sedang sarapan di ruangan makan. Akan tetapi, sengaJa perasaan kecewa itu disembunyikan di balik senyum yang ramah dan wajah yang cerah. "Selamat pagi, Kapten Armando! Selamat pagi Sarah!" dia menyalam dengan ramah. "Lihat, aku telah siap. Kita berangkat sekarang, Sarah? Kudamu sudah kusuruh siapkan tadi, menanti diluar." Kapten Armando menyambut salam itu dan mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia merasa heran mengapa puterinya tidak senang kepada pemuda ini. Padahal menurut dia, mata kapten muda itu bagus sekali, tajam dan penuh ketegasan. "Selamat menikmati hari yang, cerah ini, Gonsalo, Sarah, jangan terlalu jauh dari daerah yang aman, dan Gonsalo, jangan terlalu larut kalian pulang. Berhati-hatilah, jaga baik-baik Sarah karena pelaksanaan hukuman terhadap pemberontak ini sedikit banyak menimbulkan keguncangan. Aku serahkan keselamatan anakku di tanganmu." Kapten Gonsal0 memberi hormat secara militer. "Siap, Kapten! Saya akan melindungi Sarah dengan taruhan nyawaku sendiri!" "Aku pergi, Ayah!" Sarah sudah lari ke depan, agaknya tidak senang mendengarkan percakapan antara ayahnya dan Gonsalo, terutama mendengar janji Gonsalo yang muluk itu. Tak lama kemudian, Sarah dan Gonsalo sudah menunggang kuda. Sarah melarikan kudanya keluar kota melalui pintu gerbang kota sebelah barat, dan Gonsalo mengikuti dari belakangnya. Ketika mereka keluar dari benteng dan menjalankan kuda mereka di kota Cang-cow tadi, mereka menjadi tontonan yang mengagumkan. Memang serasi dua orang ini. Yang wanita cantik jelita, rambutnya seperti benang emas tertimpa sinar matahari pagi, tubuhnya yang padat ramping itu duduk di atas sela kuda demikian lentur dan enaknya, tanda bahwa gadis ini memang ahli menunggang kuda. Yang mengiringkan di belakangnya, Gonsalo juga amat menarik. Rambutnya kecoklatan, demikian pula warna matanya. Tubuh nya tinggi besar dan tegap, duduk dengan tegak di atas kudanya dengan sikap penuh wibawa. Pakaian kaptennya berkilauan dengan hiasan dari perak dan emas, di pinggangnya tergantung sebuah pistol hitam, di punggung kanan tergantung sebatang pedang, tangannya memagang cambuk kuda. Kepalanya tertutup topi tentara yang membuat wajahnya nampak semakin ganteng. Begitu keluar dari pintu gerbang kota, Sarah lalu membalapkan kudanya menuju bukit di depan. Melihat ini, Gonsalo tersenyum dan dia pun mempercepat larinya kuda, mengejar. Diam-diam Sarah merasa mendongkol bukan main. Kapten Gonsalo ini benar-benar telah merusak kegembiraannya. Kalau saja ia berkuda dengan ayahnya, ia tentu akan menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati udara luar kota yang sejuk jernih, menikmati munculnya matahari pagi yang diantar kicau burung dan semilirnya angin perbukitan, menyamankan pandang mata dengan pemandangan yang indah, rumput-rumput hijau segar, pohon-pohon yang rimbun, bunga-bunga liar yang beraneka warna. Akan tetapi, sekarang ia tidak dapat menikmati semua itu. Ia melarikan kudanya, membalap tanpa memperdulikan segala keindahan di sepanjang perjalanan. Seolah-olah ia bukan sedang berkuda menikmati pagi hari dan pemandangan aneh, melainkan sedang melarikan diri dengan kudanya, menjauhi sesuatu yang tidak menyenangkan. Akan tetapi yang tidak menyenangkan itu selalu mengikutinya dari belakang!   Berjam-jam Sarah melarikan kudanya, naik turun bukit sampai Kapten Gonsalo menyusulnya dan berteriak, "Sarah, berhenti dulu! Kudamu dapat kehabisan napas dan jatuh sakit!" Mendengar seruan ini, Sarah teringat akan kuda yang disayangnya itu. Ia menghentikan kudanya dan benar saja. Kudanya terengah-engah, mendengus-dengus dan dari hidung dan mulutnya keluar uap, tubuhnya berkeringat. Ia pun merasa kasihan sekali dan cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya, melepaskan kendali dan membiarkan kudanya beristi rahat sambil makan rumput segar. Gonsalo juga turun dari kudanya yang juga kelelahan. Dia memandang kepada Sarah yang melangkah menjauhkan diri, menuju ke tepi jurang dari mana ia dapat memandang keindahan alam di bawah bukit. Gonsalo menarik napas panjang. Dia merasa heran mengapa dara ini tidak kelihatan gembira, bahkan seperti orang marah. Rambut gadis itu awut-awutan karena tadi melarikan kuda dengan cepatnya. Dia lalu membuka topi, merapikan rambut dengan sisir, lalu mengenakan lagi topinya dan menghampiri Sarah. "Sarah....," panggilnya ketika dia tiba dibelakang gadis itu. Sarah membalikkan tubuhnya dan sejenak ia mengamati kapten muda di depannya. Seperti biasa, pakaian kapten ini serba rapi, bahkan biarpun mereka tadi membalapkan kuda, agaknya tidak ada sehelai rambut pun yang kusut. Demikian rapi dan teratur! Dan Sarah tidak menyukai ini. Seperti bukan manusia saja, seperti boneka! "Ya, Kapten?" jawabnya sambil lalu dan kini matanya kembali memandang ke arah bawah bukit. "Sarah, namaku Gonsalo!" "Ya, ada apakah, Kapten Gonsalo?" "Sarah, kita sudah menjadi sahabat, bukan? Aku adalah pembantu ayahmu, juga sahabatnya, berarti sahabatmu pula. Kenapa engkau masih menyebut aku kapten? Aku tidak suka kau sebut kapten, panggil namaku saja." "Akan tetapi aku suka menyebut kapten!" kata Sarah, berkeras dan kini ia membalik dan menentang pandang mata kapten itu dengan berani. "Engkau memang seorang kapten, bukan? Lihat pakaianmu, lihat topimu, pistol dan pedangmu! Lihat sikapmu! Engkau seorang kapten tulen, kenapa tidak kusebut kapten?" "Tapi, aku tidak suka resmi-resmian, terutama denganmu, Sarah." "Akan tetapi aku suka, Kapten Gonsalo Sudahlah, tidak perlu berdebat, Kapten. Aku akan melanjutkan perjalanan." Sarah memasang kembali kendali kudanya yang sudah pulih kesegarannya, kemudian meloncat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya. Kini ia tidak melarikan kudanya dengan cepat seperti tadi karena ia merasa kasihan kepada kuda kesayangannya itu. Gonsalo juga menunggang kudanya dan mencoba menjalankan kuda di samping kuda Sarah. Akan tetapi, setiap kali kuda Gonsalo tiba di sam ping kuda Sarah, dara itu mempercepat kudanya sehingga ia selalu berada di depan Gonsalo. Hal ini tentu saja membuat hati kapten itu menjadi semakin panas dan mendongkol. "Sarah, kita sudah terlalu jauh, sebaiknya kembali saja. Ayahmu tadi sudah berpesan agar kita tidak terlalu jauh," berulang kali Gonsalo meneriaki Sarah, akan tetapi dara itu tidak perduli dan terus saja menjalankan kudanya ke bukit di de pan. Tiba-tiba terdengar teriakan ketakutan. "Setan.....! Setan....!" Seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, dengan pakaian compang-camping dan yang tadi agaknya sedang menyabit rumput, kini bangkit berdiri, terbelalak memandang kepada Sarah, berteriak-teriak dan mengacung-acungkan sabitnya dengan sikap mengancam. "Sarah, minggir!" Gonsalo berteriak. Orang yang memegang sabit itu seperti hendak menyerang dan kuda yang ditunggangi Sarah terkejut karena orang itu berteriak-teriak. Kuda itu meringkik dan mengangkat keduaa kaki depan ke atas. Untung bahwa Sarah telah terlatih baik sehingga tidak mudah terlempar dari punggung kudanya. "Setan rambut emas....! Setan jahat, pergilah....!" orang itu berteriak-teriak ketakutan dan mengacungkan sabitnya lagi. "Darr....!" terdengar letusan dan orang itu pun terjungkal, merintih-rintih memegangi paha kirinya yang berlumuran darah. "Kapten, kenapa engkau menembaknya?" Sarah berseru kaget dan ia cepat meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri orang yang tertembak itu. Orang itu memandang kepadanya dengan muka pucat, mata terbelalak ketakutan. Sabitnya tadi entah terlempar ke mana ketika dia roboh. "Setan..... setan..... jangan ganggu aku...! Pergilah....!" Orang itu berteriak lemah. Sarah sudah pandai berbahasa daerah. Selama ini, ia mempelajari bahasa pribumi dengan tekun. Ia berlutut dekat orang itu. "Jangan takut, sobat. Aku bukan setan, aku manusia biasa. Biar kuperiksa lukamu....!" Ia pernah pula mempelajari ilmu pengobatan. "Sarah, jangan dekat dia! Dia berbahaya!" teriak pula Gonsalo sambil meloncat dan mendekati, pistol revolver masih di tangannya. "Kapten, mundurlah dan jangan turut campur!" Sarah membentak marah, mengejutkan kapten itu. "Jangan sentuh aku..... kau setan.... pergilah....!" orang itu berteriak-teriak lagi sehingga Sarah tidak berani menyentuhnya. Pada saat itu, muncul tiga orang dusun dengan sikap takut-takut. Sarah cepat berkata kepada mereka. "Jangan takut, temanmu ini terluka, aku ingin memeriksa dan mengobatinya."   Mendengar Sarah bicara dengan lembut, tiga orang laki-laki itu menghampiri dan ketika melihat orang yang compang-camping itu terluka pahanya, seorang di antara mereka bertanya, "Kenapa pahanya terluka ?" Sarah menjadi bingung. "Dia tadi muncul tiba-tiba, mengejutkan kami dan kuda kami. Temanku itu mengira dia hendak menyerang, maka menembak kakinya...." ia merasa menyesal sekali, "Maafkan kami...." "Hemm, dia memang seorang yang sinting," kata pula orang tertua dari mereka. "Dia belum pernah ke kota, belum pernah melihat seorang wanita asing seperti nona." Tiga orang itu lalu membantu orang terluka itu bangun. "Biar kuperiksa dan kuobati dia, aku dapat mengobatinya " kata Sarah. "Tidak perlu, Nona. Kami dapat mengobatinya sendiri." Tiga orang itu memapah orang terluka tadi dan membawanya pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sarah berdiri mematung, merasa menye sal bukan main. "Sudahlah, Sarah. Perlu apa memikirkan dia? Dia hanya seorang gila." kata Gonsalo. Mendengar ini, Sarah membalik dan menghadapi Gonsalo dengan sinar mata berapi. "Justeru karena dia gila maka dosamu semakin bertumpuk! Dia seorang gila yang tidak berdaya, dan engkau begitu saja menembaknya! Engkau curang dan kejam!" Setelah menghardik itu Sarah lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu. "Sarah, tunggu! Kau tidak adil! Hal itu kulakukan untuk melindungimu!" teriak Kapten Gonsalo, akan tetapi Sarah telah membalapkan kudanya lagi, dikejar oleh kapten itu. Sarah membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit yang nampak hijau di depan. Dara ini tidak perduli lagi ke mana dia menuju, pokoknya hendak menjauhi Gonsalo yang dibencinya. "Sarah! Jangan ke bukit itu! Di sana penuh hutan dan berbahaya!" teriak Gonsalo. Akan tetapi Sarah tidak perduli, bahkan mendengar larangan itu semakin bersemangat, membalapkan kudanya mendaki bukit. Gonsalo mengejar, akan tetapi kuda yang ditunggangi Sarah memang seekor kuda pilihan yang lebih baik, lebih baik daripada tunggangan Gonsalo. Dan dara itu memang pandai sekali menunggang kuda, maka Gonsalo selalu tertinggal di belakang. Benar saja peringatan Gonsalo tadi. Ketika tiba di lereng bukit, kuda Sarah memasuki sebuah hutan. Matahari sudah naik tinggi dan hutan itu tidak gelap lagi, walaupun memang merupakan hutan liar dengan pohon-pohon raksasa yang sudah tua. Sarah tidak perduli. Hatinya masih panas dan mendongkol. Tiba-tiba nampak banyak orang berloncatan keluar dari pohon-pohon dan semak-semak. Sarah menahan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang menghadang di depan. Ia terbelalak ketika melihat bahwa ia telah dikepung oleh belasan orang iaki-laki yang kelihatan bengis dan mereka semua memegang golok dengan sikap mengancam! "Wah, ada bidadari rambut emas kesasar ke sini!" "Aduh cantik sekali!" "Tangkap saja, tentu uang tebusannya lumayan!" "Sudah lama aku in gin mendapatkan seorang wanita kulit putih!" Sikap mereka kasar dan kurangajar, dan Sarah yang pernah mendengar cerita tentang keadaan di bagian dalam negeri asing ini, dapat menduga bahwa tentu mereka inilah yang dinamakan gerombolan perampok! "Jangan bergerak! Angkat tangan semua atau akan kutembak mampus kalian!" tiba-tiba Kapten Gonsalo berteriak dengan suara lantang. Bahasa daerahnya tidak selancar Sarah, namun kata-katanya cukup jelas dan dimengerti. Para perampok itu memandang kepada Kapten Gonsalo yang sudah meloncat turun dari atas kudanya. Kapten ini menodongkan pistolnya ke arah mereka, sikapnya gagah dan matanya mencorong. Melihat bahwa musuh hanya seorang saja, walaupun ia memegang senjata api yang telah mereka kena sebagai senjata rahasia yang menakutkan dan berbahaya. "Serbu, bunuh setan putih itu!" bentak seorang di antara para perampok dan mereka pun berteriak-teriak sambil menerjang ke arah Gonsalo sambil mengayun-ayun golok mereka yang berkilauan saking tajamnya. "Daar-dar-darrr.....!!" sampai tujuh kali senjata api di tangan Gonsalo meledak dan dia memang penembak mahir yang hebat. Peluru yang tinggal tujuh butir di pistolnya itu meledak dan robohlah tujuh orang perampok! Akan tetapi, ledakan itu bahkan mendatangkaan lebih banyak lagi perampok dan kini dengan pedang di tangan karena pistolnya sudah kosong dan dia tidak keburu mengisinya dengan peluru baru lagi. Kapten Gonsalo dengan gagah berani menanti datangnya serangan. Dia memang seorang ahli pedang yang hebat, bukan saja penembak mahir, akan tetapi juga ahli bermain pedang dan juga seorang petinju jagoan. Kini dia dikeroyok belasan orang pedang nya diputar cepat dan terdengar suara berdencingan ketika pedangnya bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Tinju kirinya saja bergerak dan seperti seekor harimau terluka Kapten Gonsalo mengamuk. Tinjunya merobohkan beberapa orang, demikian pula pedangnya. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah perampok-perampok ganas yang pandai silat pula. Pihak musuh terlalu banyak dan Kapten Gonsalo sudah menderita luka di paha dan pangkal lengan kirinya. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan mati konyol. Apalagi ketika dia mencari dengan pandang matanya tidak dapat menemukan Sarah. Dara itu tidak nampak lagi, entah kemana. Berhasil lari menyelamatkan dirikah? Atau tertawan musuh? Jantungnya berdebar penuh kegelisahan ketika timbul dugaan ini. Celakalah kalau Sarah tertawan penjahat-penjahat ini! Akan tetapi, dia harus dapat menyelamatkan diri lebih dahulu kalau dia ingin mencari tahu tentang Sarah. Sukur kalau dapat menyelamatkan diri. Kalau tertawan pun, dia harus dapat lolos dulu untuk berusaha menolong dara itu.   Kapten Gonsalo mencabut lagi pistolya dan membentak. "Angkat tangan tau kutembak kalian!" Mendengar bentakan ini, para pengeroyok terkejut, ada yang menjatuhkan diri bertiarap, ada yang meloncat jauh ke belakang, dan kesempatan ini diperguakan oleh Kapten Gonsalo untuk lari ke arah kudanya dan meloncat ke punggung kuda, terus melarikan diri. Dia tidak melihat kuda Sarah, dan para perampok ituu tidak berkuda, maka dengan mudah ia melarikan diri tanpa dapat dikejar mereka. Biarpun paha dan bahunya terluka dan terasa nyeri dan perih, dan hanya dapat ia balut dengan kain untuk menghentikan darah mengucur, namun kapten itu tidak mengenal lelah, mencari Sarah dan jejak kaki kudanya. Akan tetapi, biarpun ia berputar-putar di sekitar bukit itu, ia tidak berhasil menemukan Sarah! Hari sudah menjelang sore, hatinya gelisah bukan main dan akhirnya terpaksa dia pulang seorang diri. Dia harus cepat melapor kepada Kapten Armando, membawa pasukan dan menyerbu sarang perampok untuk menghancurkan mereka dan merampas kembali Sarah, kalau benar gadis itu mereka tawan. Kalau tidak demikian, dia akan membawa pasukan mencari dara itu sampai dapat. Tentu saja dia mengharapkan Sarah sudah dapat melarikan diri dan pulang lebih dahulu, walaupun kemungkinan ini tipis sekali karena dia tidak melihat jejak kuda dara itu. Hari telah mulai gelap ketika Gonsalo memasuki pintu gerbang perbentengan Portugis. Di pintu gerbang saja dia sudah dihadang oleh Kapten Armando yang kelihatan gelisah, dan marah. "Gonsalo! Apa artinya ini? Engkau pulang selarut ini dan mana Sarah?" Pertanyaan ini saja sudah membuat semangat Gonsalo terbang melayang saking gelisahnya karena dia tahu bahwa Sarah, seperti yang dia khawatirkan, belum pulang! Gadis ini lenyap. Entah ditawan perampok, entah lari kemana. Saking kelelahan, kesakitan dan kekhawatiran, Gonsalo tidak mampu menjawab dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh dari atas punggung kudanya seperti kain basah. Ketika Gonsalo siuman, dia telah berada di dalam kamar, dirawat oleh seorang dokter dan Kapten Armando duduk pula di kamar itu dengan wajah gelisah. Begitu melihat bawahannya siuman, dia lalu menghampiri. "Gonsalo, apa yang telah terjadi? Engkau luka-luka, dan pulang seorang diri. Di mana Sarah? Apa yang terjadi?" Suara Kapten Armando penuh kegelisahan. Gonsalo bangkit duduk, "Sarah tidak menuruti nasehatku dan melarikan kuda ke perbukitan yang penuh hutan itu, Kapten Armando. Kami dihadang perampok, banyak sekali jumlahnya. Aku telah merobohkan beberapa orang dengan pistolku sampai pelurunya habis, dengan pedang dan tinjuku. Akan tetapi mereka terlalu banyak dan dalam keributan itu aku tidak lagi melihat Sarah. Aku hanya mengharapkan dia dapat melarikan diri, kembali ke benteng atau entah ke mana. Aku.... aku terpaksa pulang untuk melapor dan mengambil bantuan pasukan." "Celaka!'" Kapten Armando bangkit berdiri dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. "Jangan-jangan ia ditawan perampok!" "Aku akan mencarinya, Kapten. Aku bersumpah akan membawanya pulang. Aku akan meminpin pasukan. Demi Tuhan, akan kutumpas habis perampok-perampok jahanam itu. Akan kucari sekarang juga!" Kapten Gonsalo turun dari pembaringan. "Kita semua harus mencarinya. Sarah harus dapat ditemukan kembali! Ini tanggung jawabmu, Gonsalo. Aku sendiri pun akan mencari, dan aku akan minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw. Mereka mengenal para pimpinan perampok di daerah ini. Awas, kalau ada yang berani mengganggu anakku, akan kubasmi habis!" Kapten Armando marah bukan main. Pada malam hari itu juga, kedua orang perwira ini mengerahkan pasukan yang terdiri dari seratus orang bersenjata bedil, dan mereka pun berangkat, dan diam-diam Kapten Armando sudah minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw yang mehyanggupi dan mereka dengan caranya sendiri akan ikut menyelidiki dan menyelamatkan Sarah! Tentu saja penduduk kota Cang-cow menjadi terheran-heran melihat pasukan Portugis malam-malam pergi meninggalkan kota. Akan tetapi kepala daerah sudah diberitahu oleh utusan Kapten Armando bahwa pasukan itu bertugas mencari puterinya yang hilang ketika bertamasya di perbukitan. Ke manakah perginya Sarah Armando? Ketika para perampok menghadangnya, Sarah terkejut bukan main. Dan ketika Gonsalo mengamuk dengan pistolnya, menembaki para perampok sampai ada tujuh orang roboh, kemudian melihat betapa kapten itu mengamuk dengan pedangnya, diam-diam Sarah kagum bukan main. Kapten itu memang gagah parkasa. Akan tetapi, ia yang meloncat turun dari kudanya karena kuda itu melonjak-lonjak, tidak dapat membantu dengan tembakan pistolnya. Ia sudah mencabut senjata api itu, akan tetapi para perampok itu mengepung dan mengeroyok Gonsalo, sehingga sukar untuk menembakkan pistol tanpa membahayakan diri Gonsalo. Salah-salah tembakannya meleset dan mengenai kapten itu sendiri. Selagi ia bingung, tiba-tiba tengkuknya ditotok orang dan ia pun roboh lemas. Pistolnya dirampas dan ia pun disambar oleh tangan yang kuat daM dilarikan dari situ. Ia berusaha meronta, namun kaki tangannya tidak dapat digerakkan, juga ia tidak mampu mengeluarkan suara. "Kawan-kawan, aku membawa tawanan ini lebih dahulu kepada pimpinan!" kata penawannya. "Kalian bunuh setan putih itu!" Dan penawannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang ternyata kuat sekali, membawanya meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu dari tempat perkelahian. Ternyata sarang perampok tidak berada di bukit yang penuh hutan itu karena si tinggi kurus itu menjalankan kudanya menuruni bukit sebelah selatan, menuju ke bukit batu-batu yang gundul dan gersang, juga jalannya sukar sekali sehingga kuda itu pun hanya dapat berjalan lambat.   Si tinggi kurus itu tidak tahu bahwa ada sepasang mata memandang dengan heran ketika dia membawa Sarah yang direbahkan menelungkup di atas punggung kuda, melintang di depannya, mendaki bukit berbatu-batu itu. Orang yang mengintainya itu bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia seorahg pemuda berpakaian biru dengan caping lebar, Hay Hay! Seperti kita ketahui, tanpa disengaja, Hay Hay mendapatkan atau dititipi surat laporan yang amat penting oleh mendiang Yu Siucai, surat yang mengungkapkan keadaan di Ceng-cow, tentang persekongkolan antara pejabat-pejabat Cang-cow dan orang-orang Portugis, juga dengan para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena ada usaha orang-orang lihai hendak merampas surat yang diterimanya sebagai pesan terakhir mendiang Yu Siucai, Hay Hay menjadi ingin tahu sekali dan dia membuka dan membaca surat itu. Ternyata berisi laporan tentang keadaan di Cang-cow yang ada tanda-tanda akan timbul pemberontakan! Namun, Hay Hay merasa sangsi untuk segera membawa surat itu kepada Menteri Yang Ting Ho atau Menteri Cang Ku Ceng di kota raja seperti dipesankan kakek Yu Siucai itu. Urusan ini teramat penting! Bagaimana kalau laporan itu tidak benar? Dia dapat dituduh membawa laporan palsu, walaupun dia hanya menjadi utusan. Akan tetapi yang mengutusnya sudah tewas. Tentu dialah yang akan bertanggung jawab! Karena itu, maka dia tidak jadi pergi ke kota raja, melainkan membelok menuju ke kota Cang-cow. Dia ingin melakukan penyelidikan sendiri lebih dahulu sebelum menyampaikan laporan Yu Siucai itu. Kalau memang benar di Cang-cow terdapat persekutuan yang membahayakan keamanan, barulah dia akan membawa laporan itu kepada seorang di antara kedua menteri kebijaksanaan itu. Kalau tidak benar, maka dia pun akan merobek-robek saja surat peninggalan orang yang sudah tidak ada di dunia ini. Demikianlah, pada hari itu, kebetulan sekali dia tiba di kaki bukit batu-batu besar itu dan ketika dia melihat seorang penunggang kuda datang dari depan, membawa seorahg wanita berambut keemasan yang menelungkup di atas punggung kuda, Hay Hay terkejut dan merasa heran. Dia cepat bersembunyi dan mengintai. Ketika penunggang kuda itu lewat, dia menjadi bingung. Memang benar. Yang menelungkup dan melintang di pungung kuda, di depan penunggang kuda itu, adalah seorang wanita kulit putih yang berambut kunihg keemasan! Apa artinya ini? Dia tidak dapat turun tangan sembarangan saja sebelum mengetahui persoalannya. Dia sudah mendengar bahwa di Cang-cow memang banyak orang kuklit putih. Dia sendiri sudah beberapa kali melihat orang kulit putih berambut warna-warni dan matanya juga berwarna, keadaan yang membuat dia merasa heran dan juga ngeri. Mereka itu seperti bukan manusia, mirip hantu! Bayangkan saja, kulitnya seperti tanpa darah, berbulu seperti monyet, rambutnya ada yang kuning ada yang putih ada yang merah, matanya ada yang biru ada coklat! Tidak wajar! Apalagi hidungnya. Seperti paruh burung dan pakaiannya juga aneh-aneh! Akan tetapi belum pernah dia melihat wanita bangsa kulit putih itu. Dan mengapa pula wanita ini menjadi tawanan? Dia tidak dapat melihat wajah wanita itu karena menenungkup dan rambut yang kuning emas itu awut-awutan dan riap-riapan menutupi pipinya yang miring. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang terbungkus pakaian yang ketat dari celana dan kemeja itu, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang yang masih muda usia. Kulit lengan dari siku ke bawah yang tidak tertutup lengan baju itu dan tergantung lemas di perut kuda, nampak lebih mulus, dengan kuku jari tangan yang terpelihara rapi dan meruncing, dicat merah muda. Biarpun dia tidak mau lancang mencampuri urusan si tinggi kurus yang menawan gadis kulit putih itu, namun hati Hay Hay tertarik dan karena kunjungannya ke Cang-cow memang untuk melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak memberontak, di antaranya orang kulit putih, maka tentu saja dia merasa curiga dan diam-diam dia pun membayangi kuda yang tidak dapat lari cepat mendaki bukit yang penuh batu itu. Setelah tiba di lereng dekat puncak bukit itu, di mana terdapat banyak guha-guha di dinding batu, kuda itu berhenti. Hay Hay melihat banyak orang di sekitarlereng itu, dan guha-guha itu agaknya menjadi tempat tinggal mereka. Ada pula wanita dan kanak-kanak, dan para prianya nampak kekar dan kuat, dengan wajah bengis dan sikap kasar. Dia dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan perkumpulan atau sarang gerombolan, entah gerombolan apa. Adakah hubungannya dengan persekongkolan yang dilaporkan dalam surat Yu Siucai? Dia semakin tertarik dan ketika melihat si tinggi kurus memanggul tubuh wanita kulit putih itu memasuki guha yang paling besar di tempat itu, dia pun menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk. Setelah memasuki guha, Hay Hay terkejut dan kagum. Kiranya guha itu adalah guha alami yang dibantu tangan manusia, menjadi ruangan-ruangan seperti di dalam rumah besar saja! Ada prabot rumah dan segala perlengkapan sehari-hari, bahkan dipasangi pintu dan tirai kain. Keadaan dalam guha ini memungkinkan Hay Hay untuk menyusup dan bersembunyi dan akhirnya dia dapat mengintai ke dalam sebuah ruangan di mana duduk lima orang yang dari sikapnya mudah diketahui mereka adalah para pimpinan kelompok orang di perkampungan guha ini. Si jangkug yang membawa wanita kulit putih tadi memasuki ruangan itu pula. Dia menurunkan tawanannya dari pundak dan merebahkan wanita itu ke atas lantai. Kini Hay Hay dapat melihat wanita yang telentang itu dan dia pun terbelalak kagum, bahkan terpesona sehingga dia tidak sadar bahwa matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, matanya tak pernah berkedip. Belum pernah selama hidupnya dia melihat wanita yang seperti itu! Begitu indah mempesona, begitu cantik jelita, begitu menggairahkan akan tetapi juga mengerikan! Mengerikan karena tak pernah selamanya dia membayangkan seorang wanita seperti ini. Seperti bukan manusia saja! Dia mengagumi rambut yang terurai lepas itu, yang seperti benang-benang sutera emas berkilauan. Wajah itu memiliki garis-garis yang sempurna, bagaikan setangkai bunga teratai. Dan tubuh itu! Pinggangnya demikian kecil langsing, dadanya menonjol, pinggulnya besar, kakinya panjang. Tubuh yang bukan saja indah bentuknya, akan tetapi juga memancarkan kesehatan yang sempurna. Dan ketika wanita itu membuka kedua matanya, hampir saja Hay Hay mengeluarkan seruan saking kagumnya. Sepasang mata yang kebiruan, seperti dua buah batu permata saja, akan tetapi hidup, lebar dan jeli, dengan bulu mata melengkung panjang sehingga membentuk garis tepi mata dan bayang-bayang. Indah sekali! Lima orang yang berada disitu nampaknya terkejut pula melihat pembantu mereka datang membawa tawanan yang aneh ini. Mereka bangkit berdiri dan seorang di antara mereka yang tinggi besar seperti raksasa berkulit hitam, berseru dengan suaranya yang menggeledek. "Apauw! Apa artinya ini? Siapa perempuan bule ini dan mengapa pula kau menangkapnya dan membawanya ke sini?"   Apauw, sekali ini engkau lancang. Betapa besar bahayanya menangkap seorang wanita kulit putih? Tentu teman-temannya akan marah dan kalau mereka membawa pasukan dengan senjata api menyerbu ke sini, celakalah kita!" kata orang ke dua yang gendut. Orang ke tiga, yang usianya paling muda, kira-kira tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan muka yang tampan akan tetapi matanya kejam, tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali, Apauw. Sudah lama aku ingin sekali mendapatkan seorang wanita kulit putih dan hari ini engkau datang membawa seorang yang begini molek untukku!" "Kita manfaatkan dia!" kata orang keempat yang telinga kirinya buntung. "Kita minta uang tebusan yang besar kepada keluarganya!" Orang ke lima, yang kecil kurus dan nampak paling cerdik di antara mereka, mengangkat ke dua tangan ke atas. "Kawan-kawan, harap tenang dulu dan mendengarkan laporan Apauw, baru kita mengambil keputusan yang tepat. Nah, Apauw, ceritakan segalanya." Apauw yang disuruh duduk di atas kursi dekat wanita yang rebah telentang tanpa dapat bergerak itu. Hay Hay yang terus mengintai, semakin kagum ketika melihat betapa sepasang mata yang biru itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan takut, bahkan yang nampak adalah perasaan marah. Seorang gadis yang luar biasa, pikirnya. Gadis lain, dalam keadaan seperti itu, pasti akan ketakutan, bahkan menangis. Akan tetapi wanita ini sama sekali tidak menangis, tidak takut, bahkan marah. Seperti seorang pendekar wanita saja! "Saya dan kawan-kawan seaang berburu binatang di hutan bukit sebelah itu. Lalu tiba-tiba muncul dua orang penunggang kuda, wanita ini dan seorang laki-laki muda kulit putih. Kami menghadang dan pria kulit putih itu lalu mempergunakan senjata apinya, merobohkan tujuh orang kita...." "Ahhh! Keparat sekali, kenapa tidak kau tangkap laki-laki itu, malah wanita ini yang kau bawa ke mari?" bentak si tinggi kurus hitam. "Maaf, Toako. Pria kulit putih itu memang tangguh. Setelah peluru pistolnya habis, saya mengerahkan teman-teman untuk mengeroyoknya dan dia mengamuk dengan pedangnya. Dia kuat sekali. Maka, saya pikir, lebih baik wanita ini ditawan agar dapat kita pergunakan sebagai sandera kalau kawan-kawannya datang menyerbu." Orang kecil kurus tadi mengangguk-angguk. "Benar sekali perbuatan itu. Dengan adanya wanita ini sebagai tawanan, kita dapat mempergunakan ia sebagai sandera, juga dapat kita mintakan uang tebusan!” "Akan tetapi, aku menginginkannya....!" kata yang termuda tadi. "Itu soal nanti. Sekarang, sebaiknya ia jangan diganggu dan kita masukkan tahanan dengan penjagaan ketat sambil menanti datangnya laporan tentang pria kulit putih yang dikeroyok itu." Kini si tinggi besar hitam yang mengambil keputusan dan empat orang yang lain tidak berani membantah perintah kepala mereka itu. "Biar aku sendiri yang membawanya ke tempat tahanan," kata pula si kecil kurus dan dia pun membebaskan totokan yang membuat Sarah tidak mampu bergerak atau bersuara. Begitu dapat bergerak, Sarah bangkit berdiri dan kini Hay Hay yang berada di tempat sembunyinya menjadi semakin kagum. Gadis itu masih amat muda kalau melihat wajahnya, akan tetapi tubuhnya sudah dewasa dan selain cantik jelita, gadis itu pun amat pemberani. Begitu dapat bergerak dan bicara, ia segera bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan suaranya terdengar lantang, cukup lancar dalam bahasa pribumi. "Kalian ini semua lelaki pengecut, perampok-perampok busuk yang tidak tahu malu! Hayo kembalikan pistolku, dan akan kuledakkan kepala kalian satu demi satu!" Si tinggi kurus yang tadi menawannya terpaksa mengeluarkan sebuah pistol yang tadinya hendak diambilnya untuk diri sendiri, dan menyerahkannya kepada si raksasa hitam. "lnilah senjata apinya yang sara rampas, Toako." katanya. Raksasa hitam menerima pistol dengan mulut menyerlngai, nampaknya senang sekali memperoleh senjata api itu. "Nona, menyerah sajalah. Engkau menjadi tawanan kami dan kami tidak akan menyakitimu selama engkau menurut." kata pemimpin yang kecil kurus tadi sambil menghampiri. Dia menjulurkan tangan untuk memegang siku Sarah sambil berkata, "Mari, ikut denganku." Akan tetapi Sarah menepiskan tangan itu lalu mengayun tinju tangan kanannya menghantam ke arah muka orang. Laki-laki kecil kurus itu ternyata lihai juga. Dengan tenang saja dia mengelak dan begitu sambaran tangan itu lewat, dia menangkap siku tangan Sarah dan sekali puntir, lengan itu ditekuk ke belakang tubuh gadis itu. Sarah menyeringai kesakitan. "Nona, sudah kukatakan. Menyerah saja dan engkau tidak akan disakiti. Apakah engkau lebih suka kalau ditotok seperti tadi? Atau dirantai kaki tanganmu?" Sarah seorang gadis cerdik. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan, dan mereka itu pun pandai berkelahi. Akan percuma kalau ia nekat melawan. Akan merugikan saja. Tentu lebih enak dibiarkan bebas begini walaupun ditawan daripada ditotok atau dibelenggu. Ia pun diam saja, hanya mengangguk dan menggigit bibir agar tidak mengeluarkan maki-makian. Suaranya juga terdengar tenang ketika akhirnya ia berkata. "Baik, aku menyerah. Akan tetapi ingat, kalau sampai aku diganggu, tentu ayahku akan datang dengan pasukan dan kalian semua akan dibantai seorang demi seorang. Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow!" Semua orang terkejut mendengar ini, termasuk Hay Hay. Dalam surat laporan Yu Siucai, disebut pula tentang orang Portugis di Ceng-cow sebagai anggauta komplotan, dan ternyata ayah gadis yang ditawan itu adalah komandan dari benteng orang Portugis! Dan semua pimpinan perampok itu pun terkejut dan mereka maklum bahwa mereka telah bermain api.   "Bagus sekali kalau begitu!" kata pemimpin kecil kurus yang cerdik, "Kami akan menganggap Nona sebagai seorang tamu kehormatan, asal Nona tidak mencoba untuk melarikan diri. Kami akan menghubungi ayahmu di Cang-cow dan kalau mereka mau memenuhi permintaan kami, tentu Nona akan kami bebaskan dengan baik-baik." Sarah yang maklum bahwa ia sama sekali tidak berdaya, menurut saja ketika ia dibawa oleh si kurus kecil keluar dari dalam guha itu, kemudian diajak pergi ke sebuah guha lain yang ternyata merupakan sebuah tempat tahanan istimewa! Guha ini tidak begitu besar, akan tetapi lengkap dan pintunya terbuat daripada besi yang ada jerujinya. Segala keperluan hidup berada di guha itu. Setelah berpesan kepada anak buah untuk menjaga dan mengamati guha tahanan itu baik-baik dan bergantian siang malam, si kecil kurus lalu pergi meninggalkan Sarah. Agak lega rasa hati Sarah ketika ia memeriksa tempat tahanan itu ia mendapatkan bahwa guha itu lengkap dengan tempat membersihkan diri, dengan air yang cukup banyak, juga sebuah dipan yang terbuat dari kayu yang bersih. Ia lalu duduk di atas dipan itu, melamun. Ia mengenang kembali kegagahan Kapten Gonsalo dan mulailah ia melihat betapa sikapnya terhadap Gonsalo selama ini sungguh tidak ramah. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Gonsalo telah memperlihatkan sikap yang gagah berani. Ia kini bahkan mengkhawatirkan nasib pembantu ayahnya itu. Pengeroyok demikian banyaknya dan ketika ia tertawan dan dibawa pergi, ia masih sempat melihat betapa Kapten Gonsalo mulai terdesak hebat walau dia mengamuk seperti seekor singa marah. Ia mempelajari keadaan dirinya pada saat Itu. Ia tertawan gerombolan yang jahat dan juga kuat. Ia narus bersikap tenang. Yang terpenting, ia harus dapat membawa diri agar jangan sampai diganggu dan diam-diam ia harus mencari kesempatan untuk melarikan diri. Andaikata hal itu tidak mungkin, ia akan menanti karena baik Kapten Gonsalo dapat meloloskan diri atau tidak, ayahnya pasti akan mencarinya, membawa pasukan mencari di seluruh perbukitan sampai ia dapat ditemukan dan dibebaskan. Bagaimanapun juga, kini para pimpinan perampok itu sudah tahu bahwa ia puteri komandan benteng Portugis, pasti mereka tidak akan berani mengganggunya. Dengan hati lega Sarah menerima hidangan yang dimasukkan ke kamar atau guha tahanan itu melalui pintu besi, dan ia pun makan, kemudian membersihkan diri dan merebahkan diri di atas dipan. Karena hari itu ia melakukan perjalanan menunggang kuda cukup jauh dan melelahkan sebelum malam tiba ia sudah jatuh pulas. Sementara itu, di dalam tempat sembunyinya, Hay Hay melihat gadis itu dibawa keluar. Dia pun menyelinap keluar dan berhasil membayangi sehingga dia tahu di mana gadis kulit putih itu ditawan. Dia sudah mengambil keputusan untuk menolong dan membebaskan gadis itu. Kalau terjadi pertempuran atau permusuhan wajar antara gerombolan ini dengan orang kulit putih, dia tidak akan mau mencampuri urusan mereka, tidak akan berpihak. Akan tetapi, sekali ini urusannya lain. Seorang gadis muda ditawan gerombolan. Tidak perduli gadis itu bangsa apa, golongan apa, dia harus menolongnya! Hal ini ada hubungannya dengan watak seorang pendekar yang selalu akan menolong orang yang sedang dilanda malapetaka, dan menentang perbuatan yang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan. Gerombolan itu menawan seorang gadis, tentu dia harus menolong gadis itu. Akan tetapi, dia melihat be tapa perkampungan perampok itu penuh dengan perampok-perampok yang jumlahnya lebih dari lima puluh orang. Agaknya akan sukar baginya untuk dapat menolong dan melarikan gadis itu dari kepungan lawan yang sedemikian banyaknya. Maka, dia pun tetap bersembunyi, menanti datangnya malam gelap. Dari tempat sembunyinya, Hay Hay melihat ketika rombongan perampok dari belasan orang memasuki perkampungan itu, membawa beberapa orang yang terluka. Bahkan di antara mereka yang luka-luka, tidak kurang dari sebelas orang banyaknya, terdapat tiga orang yang tewas. Mereka itu ternyata adalah gerombolan perampok yang tadi mengeroyok Gonsalo. Yang terluka adalah tujuh orang yang terkena tembakan, bahkan tiga di antara mereka tewas. Sedangkan empat orang yang lain adalah mereka yang terluka oleh pedang dan tinju kapten muda yang gagah perkasa itu. Hay Hay mendengar pula betapa laki-laki kulit putih yang tadinya bersama wanita tawanan itu, dapat meloloskan diri. Agaknya para pimpinan perampok marah-marah melihat tiga orang anak buahnya tewas dan delapan orang lagi luka-luka, apalagi mendengar bahwa laki-laki kulit putih yang menyebabkan anak buah mereka tewas dan luka-luka itu dapat meloloskan diri. "Ini sudah keterlaluan!" bentak raksasa hitam yang menjadi pemimpin pertama. "Sekarang kita harus menggunakan gadis kulit putih itu untuk membalas dendam. Tidak saja orang kulit putih harus membayar seribu tail perak kepada kita, juga pembunuh itu harus diserahkan kepada kita untuk ditukar dengan gadis itu! Dan kalian semua harus ikut menjaga agar gadis itu tidak dapat lolos, juga tidak ada yang boleh mengganggunya!" Akan tetapi, satu di antara nafsu yang membuat orang kadang suka menjadi nekat adalah nafsu berahi. Kalau orang sudah dicengkeram nafsu ini, maka dia berani melakukan apa pun juga untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, untuk memuaskan nafsunya yang berkobar. Demikian pula dengan Ji Tang, orang ke tiga dari lima pimpinan perampok, yang termuda dan yang sejak melihat Sarah, sudah berkobar nafsunya dan dia bertekat untuk mendapatkan gadis itu, walau hanya untuk sejenak. Dia harus dapat memiliki gadis itu sebelum gadis itu dibebaskan. Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah kakak-beradik seperguruan, dan mereka berlima memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga mereka diakui sebagai ketua oleh puluhan orang perampok, dikenal dengan julukan mereka Lima Harimau Cakar Besi! Biarpun usianya paling muda, namun Ji Tang dalam urusan persaudaraan seperguruan, merupakan orang ke tiga. Dia pun lihai dan terutama sekali tenaganya yang besar dan pandai sekali memainkan sepasang golok pendek yang selalu terselip di pinggangnya. Akan tetapi dia memiliki suatu kelemahan, yaitu diperbudak oleh nafsu berahinya. Kalau empat orang saudaranya haus akan kedudukan dan kekayaan, Ji rang selalu haus akan wanita dan dialah orangnya yang selalu menculik wanita, bahkan anak buah yang ingin menyenangkan hatinya, kalau dapat menculik wanita cantik selalu diberikan lebih dahulu kepada Ji Tang. Dan dia pun seorang pembosan. Entah berapa banyaknya wanita yang setelah dia miliki untuk beberapa hari, minggu atau bulan, dia campakkan dan dia berikan kepada anak buahnya untuk diperebutkan. Malam itu sunyi sekali. Bukan hanya sunyi karena malam itu gelap dan angin malam bertiup dingin, akan tetapi juga karena hati semua anggauta gerombolan dicekam ketegangan. Mereka maklum bahwa wanita yang ditawan itu adalah puteri komandan benteng Portugis. Mereka semua siap siaga kalau-kalau akan terjadi penyerbuan pasukan orang asing kulit putih itu. Tiga buah peti mati berada di ruangan dalam guha yang biasa dipergunakan untuk pertemuan atau latihan silat. Tempat ini pun dijaga, dan nampak keluargga dari tiga orang anggauta yang tewas itu berkabung di situ. Lilin-lilin sembahyang bernyala di meja-meja sembahyang yang di pasang di depan tiga buah peti mati.   Biarpun semua anggauta gerombolan itu bersiap-siaga seperti yang diperintahkan oleh para pimpinan mereka, namun hanya sedikit saja yang nampak di luar guha. Malam terlalu dingin dan gelap bagi mereka untuk keluar dari dalam guha tempat tinggal mereka yang hangat. Mereka siap-siaga dalam guha masing-masing, dan hanya pasukan penjaga saja yang melakukan perondaan di luar guha. "Berhenti! Siapa itu?" bentak kepala peronda yang terdiri dari sepuluh orang ketika mereka melihat sesosok tubuh berjalan dan berpapasan dengan mereka. "Aku! Jaga baik-baik!" jawab orang itu. Cahaya lentera yang dibawa seorang di antara para peronda menimpa wajah orang itu dan sepuluh orang peronda itu menarik napas lega. "Kiranya Ji-toako." Orang itu memang Ji Tang. Dia melangkah dengan tenang menuju ke arah guha di mana Sarah ditahan. Para peronda melanjutkan perondaan mereka, merasa lebih aman karena seorang diantara para pimpinan mereka agaknya juga melakukan perondaan. Ji Tang kini tiba di depan guha tempat tahanan dan kembali dia ditegur enam orang penjaga yang melakukan penjagaan di depan guha itu secara bergiliran. Akan tetapi enam orang penjaga ini juga merasa lega ketika mereka melihat siapa yang datang. "Aku Ji Tang, aku akan melihat keadaan tawanan. Buka pintunya!" perintah Ji Tang dengan suara tegas. Biarpun enam orang penjaga itu saling pandang karena tadi Coa Gu, ketua pertama yang raksasa hitam itu, telah memesan kepada mereka agar siapa saja tidak diperbolehkan memasuki guha itu. "Akan tetapi, Ji-toako....." "Diam! Aku yang datang dan kalian masih ribut? Bukakan pintunya kataku, atau harus kupukul dulu?" "Maaf, Ji-toako.... maaf....." Enam orang itu ketakutan dan penjaga yang memegang kunci cepat mengeluarkan kuncinya dan membuka pintu besi guha itu. "Jaga baik-baik di sini dan jangan buka sebelum kupanggil dari dalam." kata Ji Tang yang segera memasuki guha dan menutupkan daun pintu dari dalam. Penjaga itu cepat menguncinya kembali dari luar karena dengan pintu terkunci mereka merasa lebih aman. Mereka saling pandang dan tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kamar tahanan itu. Bagi mereka, bukan hal aneh melihat perbuatan ketua mereka yang nomor tiga ini. Hanya biasanya, peristiwa seperti itu mendatangkan tawa gembira karena mereka menganggapnya lucu, sekali ini ada perasaan khawatir karena mereka sudah dipesan dengan tegas oleh ketua pertama bahwa siapa pun tidak boleh memasuki guha itu. Mereka tahu betapa pentingnya wanita kulit putih yang menjadi tawanan. Pintu itu berlapis, dan pintu sebelah dalam berjeruji, akan tetapi yang luar rapat sehingga mereka tidak akan dapat melihat atau mendengar sesuatu yang terjadi di dalam. "Siapa.....??" Mereka berenam kembali bangkit dan membentak bayangan yang muncul di depan mereka. "Bodoh, butakah kalian? Aku Ji Tang. Hayo cepat buka daun pintunya, aku mau masuk memeriksa tawanan!" bentak orang itu. Enam orang penjaga itu berdiri melongo, memandang kepada orang yang baru muncul. Mereka merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka menggosok-gosok mata, memandang lagi. Akan tetapi benar. Yang berdiri di depan mereka ini adalah Ji Tang, ketua mereka yang ke tiga. Yang baru saja masuk tadi! "Tapi... tapi...., Ji-twako.... tapi...." Si pemegang kunci berkata gagap, sebentar memandang kepada Ji Tang dan sebentar kepada pintu yang tertutup itu. "Tadi.... bukankah baru saja Toako masuk....?" "Kau mimpi! Bicara ngacau-belao!" Ji Tang menggerakkan tangan kanannya menampar. "Plakk!" Penjaga itu ditamparnya dan terpelanting. "Hayo cepat buka, atau kalian ingin kupukul sampai mampus?" Kini enam orang itu yakin bahwa mereka tidak mimpi, bahkan yakin bahwa yang berdiri di depan mereka ini adalah Ji Tang aseli. Tapi siapa yang tadi masuk? Dengan tangan gemetar, penjaga yang memegang kunci lalu membuka daun pintu. Ketika Ji Tang menyelinap masuk, mereka cepat menutupkan dan mengunci lagi daun pintu itu. "Aku pergi melapor.... !" kata kepala jaga dan dia pun segera lari ke dalam kegelapan malam untuk melaporkan peristiwa yang dianggapnya tidak masuk akal dan amat aneh itu. Sementara itu, lima orang penjaga yang lain duduk berhimpitan di depan guha, di sudut dan hawa udara bagi mereka terasa semakin dingin sehingga mereka agak menggigil. Sarah masih tidur pulas, sama sekali tidak tahu bahwa di bawah sinar lentera yang tadi dipasang di dalam guha itu oleh penjaga, kini terdapat seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang menghampirinya, lalu berdiri di dekat dipan, mengamati dirinya dengan mata yang lahap. Orang itu menjilat-jilat bibir sendiri ketika memandang ke arah tubuhnya, sikapnya semakin gelisah seperti seekor harimau kelaparan yang siap menerkam kelinci. Sarah sudah tidur lelap sejak sore tadi, cukup lama. Dan kini agaknya sinar mata orang itu yang menggerayangi tubuhnya, terasa olehnya, seperti menggugahnya. Ia membuka kedua matanya dan begitu melihat laki-laki itu berdiri dekat sekali, dengan mata yang liar, dengan mulut setengah terbuka dari mana keluar napas terengah-engah, ia pun terkejut dan cepat bangkit duduk sambil menjauhkan diri. "Siapa kau? Mau apa kau?"bentaknya.   laki-laki itu tersenyum dan memang wajahnya cukup tampan. "Nona, aku Ji Tang, ketua ke tiga dari kelompok kami. Aku datang karena kasihan kepadamu, Nona. Malam begini dingin dan engkau seorang diri saja. Aku in gin menemanimu, Nona." "Tidak sudi! Keluar! Aku tidak membutuhkan teman. Enyah kau dari sini!" Sarah menudingkan telunjuk kirinya ke pintu sedangkan tangan kanannya dikepal. Dalam pandangan Ji Tang yang sedang mabuk berahi, dalam keadaan seperti itu, Sarah nampak semakin menggairahkan. Dia pun melangkah maju mendekati. "Aih, jangan pura-pura, Nona. Aku mendengar bahwa wanita kulit putih memiliki gairah yang besar dan selalu ingin ditemani pria. Marilah, Nona. Engkau akan senang dan akan aman kalau menjadi kekasihku. Tidak ada orang yang akan tahu...." Ji Tang yang sudah tidak tahan lagi, mengulurkan tangan hendak merangkul. "Bangsat kau! Jahanan busuk!" Sarah memaki dan wanita itu menggerakkan tangan kanannya memukul. Akan tetapi, sekali sambut saja, pergelangan tangan kanan Sarah sudah ditangkap oleh Ji Tang dan dia pun merangkul, lalu menarik tubuh Sarah, diraih dan hendak dicium. Sarah meronta dan memalingkan mukanya, kemudian kakinya menendang. Ji Tang menyumpah karena tulang keringnya terkena tendangan ujung sepatu yang keras. Dia gagal mencium bibir dara itu, sebaliknya tulang keringnya kena cium! "Brettt....!" Baju kemeja itu robek lebar di bagian depan ketika Sarah meronta dan berusaha melepaskan diri dari rangkulan Ji Tang sehingga nampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Melihat tubuh yang molek itu terbayang jelas, nafsu berahi makin berkobar dalam kepala Ji Tang. Namun, tidak mudah menguasai gadis kulit putih itu. Bahkan untuk mendapatkan sebuah ciuman pun amat sukar. Gadis itu meronta, memukul, mencakar dan menendang, tiada ubahnya seekor kucing hendak dimandikan. Ji Tang menjadi marah. Dua kali dia menampar pipi Sarah, namun dara itu tidak menjadi takut, malah mengamuk semakin kuat. Akhirnya Ji Tang terpaksa menotoknya dan tubuh Sarah terkulai tanpa tenaga lagi. Ji Tang memondongnya dan merebahkannya telentang di atas dipan. Pada saat itulah Hay Hay memasuki guha itu. Tentu saja dia yang tadi membuat para penjaga terkejut dan terheran-heran karena dalam pandangan mereka, pemuda ini adalah Ji Tang! Tadi Hay Hay yang bersembunyi dekat mulut guha, melihat munculnya Ji Tang yang kemudian memasuki guha tempat di mana gadis kulit putih itu ditahan. Tak lama kemudian, karena dia hanya menduga bahwa pemimpin gerombolan yang bertubuh jangkung itu, tentu mempunyai niat mesum, dia mempergunakan kekuatan sihirnya, menyamar atau mengaku sebagai Ji Tang dan berhasil memasuki guha itu. Begitu dia masuk, pintu guha ditutup kembali dan dikunci dari luar. Masuknya Hay Hay hanya terlihat oleh Sarah yang terlentang tak berdaya. Akan tetapi, munculnya seorang pemuda ini tidak membuatnya girang karena Sarah menganggap bahwa yang muncul ini tentulah kawan si jangkung yang kurang ajar ini. Ia tahu bahaya apa yang mengancam dirinya. Hatinya mulai dicengkeram rasa takut dan ngeri, akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkannya. Ji Tang sendiri yang sedang diamuk nafsu berahinya, tidak melihat bahwa ada orang memasuki ruangan ini. Dia sudah tidak sabar lagi dan dia pun menerkam tubuh yang sudah telentang tak berdaya di depannya. Terjadilah keanehan yang membuat Ji Tang dan juga Sarah terkejut dan terheran. Ketika Ji Tang menerkan ke tubuh Sarah yang terlentang di atas dipan, tiba-tiba saja tubuhnya terpentang ke belakang dan dia pun jatuh terjengkang di atas lantai. Tentu saja Ji Tang terkejut dan mengira bahwa wanita kulit putih itu yang memiliki ilmu iblis. Akan tetapi karena dia tadi merasa tubuhnya seperti dibetot dari belakang, dia segera meloncat berdiri dan memutar tubuhnya. Barulah dia tahu bahwa di situ terdapat orang ke tiga, seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia mengingat-ingat untuk mengenal siapa pemuda itu. Tubuhnya sedang clan tegap, dadanya bidang, wajahnya tampan dengan pakaian sederhana. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar dan dari bawah caping itu mengintai sepasang mata yang mencorong, mulut yang senyum-senyum nakal. Dia tidak mengenal orang ini, bukan seorang di antara anak buah gerombolan yang dipimpinnya. "Siapa kau!" bentaknya marah. Hay Hay tersenyum. "Siapa aku? Aku adalah seorang yang paling tidak suka melihat seorang laki-laki menggunakan paksaan dan memperkosa seorang gadis, biar gadis itu seorang wanita asing kulit putih sekali pun." "Jahanam! Kau hendak melindungi seorang wanita bangsa biadab?" Hay Hay tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa sebagian besar dari bangsanya sendiri selalu menyebut bangsa asing sebagai bangsa biadab! Hal ini merupakan balas dendam karena pernah dijajah oleh Bangsa Mongol. Dan bangsa-bangsa di luar daerah kerajaan merupakan suku-suku bangsa yang suka memberontak. Oleh karena itu, muncullah sebutan bangsa biadab bagi bangsa asing. Akan tetapi tentu saja tidak semua orang berpendapat demikian, dan yang jelas dia sendiri tidak mau menyebut biadab kepada bangsa apa pun. Baginya, biadab tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh suku atau bangsanya, melainkan oleh perbuatannya. Maka, mendengar ucapan atau pertanyaan yang sifatnya menuduh dari si jangkung itu, dia tertawa. "Ha-ha-ha, kalau mau bicara tentang kebiadaban, maka bagiku, orang biadab adalah orang yang melakukan perbuatan keji macam apa yang kau lakukan sekarang ini. Engkaulah yang biadab, dan tentang wanita ini, aku belum melihat ia melakukan perbuatan yang tidak benar, maka aku tidak dapat mengatakan ia biadab." Hay Hay menoleh ke arah Sarah yang masih telentang di atas dipan dengan baju kemeja robek lebar di bagian depan. Dia melihat betapa gadis yang amat cantik jelita itu memandang kepadanya dengan mata birunya, pandang mata penuh dengan harapan dan permohonan. Dia pada saat itu menoleh kepada gadis itu, tiba-tiba saja Ji Tang menyerang dengan dahsyat! Si jangkung yang curang ini mempergunakan kesempatan selagi Hay Hay menengok untuk melayangkan pukulan maut ke arah kepala pemuda itu segera remuk.   "Awas, sobat!" Tiba-tiba terdengar Sarah berseru. Gadis ini melihat gerakan serangan itu, maka dengan kaget ia lalu memperingatkan penolongnya, atau setidaknya pria yang mengeluarkan ucapan membelanya dan mencela si jangkung. Dengan tenang Hay Hay memalingkan mukanya dan pada saat itu, pukulan tangan kanan dari atas itu telah menyambar ke arah kepalanya. Hay Hay mengangkat lengan kiri menangkis dan pada saat itu juga, pada saat lengannya bertemu dengan lengan lawan, tangan kanannya sudah menyambar ke depan, jari telunjuknya menusuk perut lawan. "Hekk....!" Si jangkung yang tiba-tiba perutnya kena disodok jari, merasa napasnya terhenti dan perutnya mulas sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi dia menekuk tubuhnya ke depan. Ketika mukanya menurun karena perutnya ditekuk itu. Hay Hay menyambut mukanya dengan lutut kiri dan diangkat ke atas, tepat mengenai dagu lawan. "Dukkk.....!" Tubuh yang tadi membungkuk itu tiba-tiba menjadi tegak kembali, bahkan condong ke belakang karena kepala itu tadi terpental ke atas pada saat tubuh bagian atas condong ke belakang, Hay Hay sudah menggerakkan kaki menyapu ke arah kedua kaki lawan yang sudah kehilangan keseimbangan. "Brukkk!" Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh si jangkung terpelanting dan dia terbanting ke atas lantai. Hay Hay tidak memperdulikannya, melainkan jalan menghampiri dipan dan sekali menggerakkan tangan, totokan pada tubuh Sarah telah bebas! Gadis itu bangkit duduk, menarik baju yang terobek dan mengikatkan kemeja robek itu sedapatnya asal bisa menutupi dadanya, dan matanya memandang ke arah Hay Hay, kini dengan pandang mata bersukur dan juga penuh kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda yang tubuhnya sedang itu, yang nampaknya tidak begitu kuat, mampu merobohkan si jangkung sedemikian mudahnya. Ia pun tahu bahwa orang ini tentu seorang pendekar seperti yqng pernah didengarnya cerita tentang para pendekar yang memiliki ilmu berkelahi tangguh sekali walaupun nampaknya pendekar itu bertubuh lemah. Ia pun pernah melihat pertunjukan dan permainan silat, maka ia dapat menduga bahwa tentu si caping lebar ini seorang pendekar ahli silat. Pada saat itu, si jangkung yang merasa penasaran, sudah menubruk lagi dari belakang. Hay Hay tidak menangkis, melainkan meloncat ke samping untuk mengelak, dan ketika Ji Tang membalikkan tangan untuk mencengkeram ke arah lambungnya, Hay Hay memapaki tangan yang terbuka membentuk cakar itu dengan totokan jari telunjuknya. "Tokk! Aughhh.....!" Ji Tang berteriak kesakitan. Telapak tangan yang ditusuk jari telunjuk itu terasa panas dan nyeri, bahkan menusuk-nusukk rasanya sampai ke jantung. Dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah terjengkang roboh ketika dadanya didorong ujung sepatu Hay Hay. Dan tubuhnya yang terjatuh itu menggelinding ke dekat dipan. Melihat ini, Sarah lalu memapakinya dengan tendangan sepatunya yang keras. "Crottt!" Ujung sepatu itu tepat mengenai hidung Ji Tang dan bukit hidung itu pun patah, kulitnya pecah dan darah pun mengucur! Hay Hay cepat menyambar tangan Sarah dan ditariknya ke belakang ketika kaki Ji Tang menyambar ke arah perut gadis itu. "Terima kasih!" Sarah berkata, maklum bahwa kalau tangannya tidak ditarik, tentu perutnya terkena tendangan yang amat keras itu. Kini Ji Tang melompat bangun, tangan kirinya menggosok hidung yang berdarah sehingga darahnya bahkan melumuri mukanya dan dia pun sudah mencabut sepasang pedang pendeknya, senjata yang amat diandalkan. Hay Hay menudingkan telunjuknya ke arah Ji Tang danberkata, suaranya lantang, "Heii, pedangmu di kedua tangan itu saling bermusuhan. Coba hendak kulihat, siapa di antara mereka yang lebih unggul?" "Ehhh? Apa....? Bagaimana....?" Ji Tang merasa bingung, akan tetapi segera terjadi hal yang amat aneh. Kini Ji Tang menggerakkan kedua pedangnya dan kedua pedang itu seperti bertempur sendiri, digerakkan kedua tangannya dan terdengar suara berdentangan. Hay Hay memandang dengan kekuatan sihirnya, kemudian dia cepat memegang tangan Sarah dan berbisik, "Hayo kita cepat pergi!" Dia menghampiri daun pintu dan diketuknya daun pintu besi itu. "Buka pintu! Buka....!" Para penjaga di luar yang masih terheran-heran, kini membuka daun pintu itu dan begitu Hay Hay menyapu mereka dengan pandang matanya, mereka melihat Ji Tang menggandeng tawanan wanita kulit putih itu keluar. Karena tadi Ji Tang telah bersikap keras, maka para penjaga itu tidak ada yang berani menegur sehingga Hay Hay dapat dengan mudah membawa Sarah lari dan menghilang dalam kegelapan malam. Pada saat Hay Hay dan Sarah lenyap ditelan kegelapan, penjaga yang tadi melapor sudah datang beriari-lari, diikuti empat orang pimpinan gerombolan itu. Mereka berempat marah dan juga tidak percaya bahwa Ji Tang telah menjadi dua orang yang kata penjaga itu keduanya memasuki tempat tahanan di mana gadis kulit putih itu ditawan. Ketika mereka tiba di depan guha yang pintunya sudah terbuka, mereka melihat para penjaga itu berdiri memandang ke dalam dengan bengong. Melihat ini empat orang pimpinan itu berlompatan dan mereka pun berada di pintu guha dan memandang ke dalam. Mereka terbelalak dan bengong, terheran-heran melihat rekan mereka, Ji Tang, memainkan kedua pedang yang saling serang seperti seorang dalang wayang boneka memainkan dua peran yang sedang berkelahi! Pemimpin gerombolan yang tinggi besar hitam itu lalu meloncat ke dekat Ji Tang, menepuk pundaknya dan membentak nyaring. "Ji Tang, apa yang kau lakukan ini?" Ji Tang terkejut, kedua batang pedangnya terlepas dan jatuh berkerontangan di atas lantai, lalu memandang ke sekeliling seperti orang yang baru terjaga dari tidurnya. "Apa.... apa yang terjadi? Dimana keparat bercaping itu dan mana ..... mana tawanan kita....?" Ji Tang memandang kepada para penjaga yang berkerumun di depan guha. "Heii, kalian para penjaga! Ke mana perginya tawanan kita?"   Para penjaga menjadi panik dan takut. "Toako, tadi kami melihat Toako Ji Tang mengajak tawanan itu keluar dari sini!" "Gila kalian! Aku masih di dalam sini!" teriak Ji Tang bingung. "Sungguh mati, kami melihat Ji-toako tadi keluar menggandeng tawanan itu dan menuju ke sana." Seorang penjaga menunjuk keluar guha, ke arah kiri. Raksasa hitam itu membentak. "Cukup semua ini! Keterangan boleh nanti diberikan. Sekarang semua harus cepat pergi mencari dan menangkap kembali wanita kulit putih itu!" Dipasanglah obor-obor dan gegerlah perkampungan gerombolan itu. Suasana menjadi ramai sekali dan semua orang melakukan pengejaran dan pencarian ke sana ke mari. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia. Tawanan itu lenyap tanpa meninggalkan bekas, pria yang menurut keterangan Ji Tang adalah seorang pemuda bercaping lebar akan tetapi menurut para penjaga adalah Ji Tang sendiri! Lima orang pemimpin itu mengadakan perundingan dan mereka yang lain mendengarkan keterangan Ji Tang yang amat aneh, juga keterangan para penjaga yang mengatakan bahwa mereka melihat Ji Tang dua kali memasuki guha, kemudian melihat Ji Tang membawa keluar tawanan wanita, akan tetapi di dalam guha terdapat Ji Tang pula yang sedang bermain-main dengan sepasang pedangnya seperti orang gila! "Tentu ada orang lain menyamar seperti engkau, sam-te (adik ke tiga)," kata raksasa hitam. "Dan orang itulah yang melarikan tawanan kita. Hanya anehnya, bagaimana mereka itu dapat melarikan diri demikian cepat, di malam gelap pula?" "Lebih aneh lagi, orang itu dapat menyamar seperti aku, padahal ketika memasuki guha, jelas kulihat dia tidak menyamar, melainkan mengenakan caping lebar. Dan betapa aku seperti orang tak sadar bermain-main dengan sepasang pedangku. Aih, jangan-jangan dia itu bukan manusia, Toako. Ketika aku menyerangnya, aku roboh dua kali secara aneh. Hihh, dia tentu iblis sendiri yang mengganggu kita. Ataukah..., jangan-jangan wanita kulit putih itu mempunyai peliharaan setan!" Semua orang bergidik ngeri mendengar ini. Bukan tidak mungkin, pikir mereka. Mereka tidak mengenal benar kebudayaan dan kepandaian orang kulit putih. Mereka adalah orang-orang sederhana yang percaya akan tahyul, dan melihat semua keanehan ini, dan lenyapnya tawanan tanpa meninggalkan jejak, mereka yakin bahwa tentu ada setan yang menolong wanita itu! Sebagai orang-orang tahyul, mereka segera melakukan sembahyang, baik di depan peti-peti mati di guha besar, maupun di tempat-tempat yang mereka anggap keramat untuk mohon agar iblis dan setan tidak lagi mengganggu mereka. *** Ke manakah perginya Hay Hay dan Sarah? Ketika Hay Hay berhasil menarik tangan Sarah menyelinap dalam kegelapan, dia pun bingung ke mana harus melarikan diri. Malam itu gelap sekali dan tidak mungkin mempergunakan ilmu berlari cepat di tempat penuh batu dan gelap itu, apalagi dia tidak mengenal daerah itu, ditambah dia harus melindungi wanita kulit putih. "Sobat, ke mana kita dapat pergi....!??" Sarah juga merasa khawatir karena ia melihat guha banyak orang berlarian ke arah guha tadi dan terdengar mereka itu ribut-ribut. Kepergiannya telah diketahui orang dan tentu banyak orang akan mencarinya. Bagaimana penolongnya ini akan mampu menghadapi puluhan orang seperti itu? "Sttt, mari nona!" kata Hay hay dan dia pun sudah tahu ke mana dia harus membawa wanita itu bersembunyi. Guha tempat berkabung, di mana tiga buah peti itu berjajar! Para penjaga di guha itu pun sudah meninggalkan tempat penjagaan mereka karena mereka pun mendengar ribut-ribut itu dan mereka berlarian menuju ke guha tempat tawanan. Yang tinggal di guha tempat berkabung tinggal keluarga tiga orang anggauta perampok yang tewas oleh peluru pestol Kapten Gansalo, terdiri dari isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka. Tempat itu diterangi tiga buah lampu gantung dan lilin-lilin bernyala di atas meja sembahyang. Tiba-tiba tiga buah lentera gantung itu padam! Dan berturut-turut, semua lilin di atas meja sembayang juga padam! Suaana menjadi gelap gulita dan sibuklah mereka yang berkabung. Ada yang cepat mencoba untuk menyalankan lilin dan lampu, ada pula yang menangis dan mereka semua merasa ketakutan karena padamnya semua lampu dan lilin merupakan hal yang aneh dan juga menakutkan, apalagi di situ. terdapat tiga buah peti mati berisi mayat. Sebagian besar orang menghubungkan kematian dengan iblis dan setan, menimbulkan perasaan ngeri, seram dan takut! Rasa takut seialu timbul karena tidak mengerti, tidak mengenal apa dan bagaimana kematian itu, juga kita tidak mengenal dan tidak tahu apa yang disebut setan dan iblis itu. Oleh karena keduanya merupakan hal yang asing dan tidak kita kenal, maka muncullah dugaan yang macam-macam, khayalan yang aneh-aneh dan timbullah rasa takut. Membayangkan orang mati hidup kembaIi, kita merasa takut dan menghubungkannya dengan setan dan iblis, coba kita membayangkan seekor semut yang sudah mati hidup kembali, tidak ada di antara kita yang akan merasa takut, karena semut tidak merupakan ancaman bagi keselamatan kita. Berbeda dengan manusia mati yang hidup kembali, kita membayangkan betapa mayat hidup itu menjadi setan dan akan mencekik kita! Tak seorang pun di antara para keluarga si mati yang berkabung di situ tahu betapa dalam kegelapan tadi ada dua sosok bayangan menyelinap masuk ke dalam guha, terus ke dalam dan lenyap dalam kegelapan guha sebelah dalam di mana terdapat empat buah ruangan kamar yang dipergunakan untuk menyimpan senjata alat berlatih silat di ruangan besar oguha itu. Juga tidak ada yang tahu bahwa yang memadamkan lentera dan lilin tadi adalah Hay Hay. Setelah lentera gantung dan semua lilin sudah dinyalakan kembali, para anggauta keluarga itu sibuk menyembahyangi tiga peti mati karena mereka takut kalau-kalau arwah tiga orang itu yang tadi penasaran dan "mengamuk", memadamkan semua penerangan.   Asap hio yang mereka pergunakan untuk sembahyang memenuhi tempat itu, membentuk tirai asap putih yang hanya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit keluar dari guha. Tiba-tiba semua orang, ada belasan orang keluarga tiga orang yang mati, terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut ketika terdengar suara di belakang tiga buah peti mati itu. Suara itu besar dan dalam, bergema dan terdengar oleh mereka seperti bukan suara manusia! "Kalian semua keluarlah..... , keluarlah.... kami ingin tenang.... keluarlah atau kami akan mengajak kalian mati....!!" Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya semua orang yang berada di situ. Biarpun tiga buah peti mati itu berisi jenazah kepala keluarga mereka, suami dan ayah mereka yang kematiannya mereka tangisi dan mereka kabungi, akan tetapi begitu ada suara dari si mati, mereka pun menjadi ketakutan! Memang aneh. Keluarga yang ditinggal akan menangisi kematian seseorang yang dicinta, berduka dan kecewa karena orang yang dikasihi meninggalkan mereka, akan tetapi begitu yang ditangisi itu, yang dianggap sudah mati, dapat bersuara atau hidup kembali, mereka yang berkabung itu akan lari cerai-berai ketakutan! Sambil menjerit-jerit, mereka yang berkabung itu berhamburan keluar dari dalam ruangan guha yang besar itu. Sarah yang menyaksikan itu semua, tidak menahan suara tawanya. Baru setelah Hay Hay memberi isyarat, ia membungkam mulut sendiri dengan tangan, agar suara tidak keluar dari mulutnya. Gadis ini merasa geli bukan main melihat betapa Hay Hay mempermainkan mereka yang berada di situ sehingga mereka itu lari tunggang langgang, jatuh bangun dan mungkin juga ada yang sampai terkencing-kencing. Setelah suara tawanya mereda, Sarah menjatuhkan diri duduk di dalam sebuah di antara kamar-kamar itu, bersandar kepada dinding batu. Lantai kamar itu kering dan bersih, dan di sudut terdapat rak senjata. Hay Hay juga duduk bersandar dinding, berhadapan dengan gadis itu, dalam jarak tiga meter. Mereka saling pandang dan diam-diam keduanya saling mengagumi. Kini Hay Hay menanggalkan capingnya yang tergantung di punggung. Baru sekarang Sarah dapat melihat wajah penolongnya dengan jelas. Wajah yang cerah, tampan dan terhias senyum nakal. Hay Hay juga memandang kagum. Kiranya gadis ini nampak masih muda sekali, bahkan wajahnya masih kekanak-kanakan. Akan tetapi kalau dia teringat betapa tadi di dalam guha, gadis bule ini berani menentang seorang pemimpin perampok ganas, melawan mati-matian, bahkan ketika sudah bebas dari totokan, mampu menendang remuk hidung kepala perampok jangkung, sungguh dia merasa kagum sekali. Gadis ini benar-benar mempunyai watak seorang pendekar wanita! "Kenapa engkau tertawa, Nona? Jangan keras-keras kalau tertawa, nanti terdengar mereka, kita bisa celaka," kata Hay Hay memancing bicara. Dara itu tersenyum nakal dan jantung Hay Hay berdebar. Biarpun penerangan yang memasuki kamar itu tidak terlalu kuat, namun dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Ketika gadis itu tersenyum, nampak deretan gigi putih yang rapi dan amat kuat, dan senyum itu mengandung madu, begitu manisnya. Ada lesung pipi yang amat jelas dan lekuk dagu yang mempesonakan. "Aku tidak takut karena di sini ada engkau." kata Sarah. "Aku tahu siapa engkau." Hay Hay terbelalak, memandang wajah cantik itu penuh selidik. Benarkah dara asing ini mengetahui siapa dia? "Ehh? Engkau tahu siapa aku? Nah, katakan siapa aku." "Engkau tentu seorang pendekar, ahli silat dan juga engkau seorang tukang sulap." "Tukang sulap? Apa maksudmu?" "Engkau tadi membuat si jahanam jangkung itu menari-nari dengan kedua pedangnya seperti orang gila, kemudian engkau dapat membawa aku keluar dari guha itu tanpa ada yang menghalangi, dan di sini, engkau membuat semua orang tunggang langgang setelah dengan aneh engkau memadamkan semua penerangan dan lilin. Sobat, engkau telah menolongku, sungguh aku berhutang budi besar kepadamu. Siapakah namamu?" "Sebut aku Hay Hay, dan engkau siapa, Nona? Bagaimana pula engkau sampai tertawan oleh para perampok itu?" "Panjang ceritanya, akan tetapi apakah kita hanya akan membuang waktu dengan bercakap-cakap di tempat ini? Bukankah kita harus cepat-cepat meloloskan diri dari sini, Hay Hay?" Hay Hay tersenyum. Dia semakin kagum dan suka kepada dara kulit putih ini. Demikian bebas terbuka dan ramah sehingga dengan akrabnya menyebut namanya begitu saja tanpa canggung-canggung, seolah-olah mereka telah lama sekali menjadi sahabat karib. "Kita tidak mungkin pergi sekarang. Di luar gelap dan aku tidak mengenal jalan. Juga mereka akan menghadang. Jumlah mereka banyak. Besok aku akan mencari akal dan jangan khawatir, aku akan menyelamatkanmu bebas dari tempat ini." Sarah menarik napas lega. "Aku percaya pdamu, Hay Hay. Nah, namaku Sarah lengkapnya Sarah Armando. Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow." “Ahh…….!” "Engkau mengenal ayahku?" "Tidak, aku bukan orang Cang-cow, aku hanya terkejut dan heran mendengar engkau puteri seorang komandan. Lalu bagaimana engkau dapat tertawan oleh para penjahat itu?"   "Aku marah kepada ayah……" kata Sarah dengan mulut cemberut. Bibirnya yang merah segar itu meruncing dan nampak lucu bagi Hay Hay sehingga dia tertawa. Dara ini seperti seorag anak kecil yang merajuk saja. "Hemm, Sarah, engkau marah kepada ayahmu kenapa lalu tertawan penjahat?" "Ayah sudah berjanji untuk mengajak aku berkuda pagi tadi, akan tetapi dia berhalangan karena harus menghadiri pelaksanaan hukuman mati terhadap pemberontak. Ayah lalu menyuruh Kapten Gonsalo mewakilinya untuk mengantar aku berkuda di perbukitan. Kapten Gonsalo adalah wakil atau pembantu utama ayah. Hatiku jengkel sekali." "Aih, kenapa begitu? Bukankah engkau sudah dapat pergi berkuda diantar oleh Kapten Gonsalo itu?" "Ya, akan tetapi aku tidak suka kepada Kapten Gonsalo." "Hemm, lalu apa yang terjadi?" "Kami berkuda di perbukitan dan karena masih marah aku lalu membalapkan kuda ke perbukitan yang penuh hutan. Kapten Gonsalo hendak melarang, akan tetapi aku nekat dan dia pun mengejarku. Setiba kami di tengah hutan, tiba-tiba muncul banyak perampok. Kapten Gonsalo menyerang mereka dengan pistolnya dan dia merobohkan tujuh orang perampok. Peluru pistolnya habis dan dia lalu mengamuk dengan pedangnya, dikeroyok banyak perampok." Hay Hay mengangguk-angguk. "Hebat juga Kapten Gonsalo itu, Sarah." "Dia memang seorang jagoan. Jago tembak, jago bermain pedang dan jago tinju. Kapten muda berusia tiga puluhan tahun itu di benteng kami tidak ada yang berani melawannya." "Hemm, dia gagah. Sungguh aneh engkau tidak menyukainya. Apakah dia kasar dan kurang ajar?" "Dia tampan dan gagah, keras akan tetapi terhadap aku dia amat sopan. Adalah pandang matanya yang membuat aku tidak suka padanya." "Pandang matanya?" "Matanya itu kalau memandang kepadaku mengingatkan aku akan mata seekor srigala atau harimau kelaparan!" Mendengar ini Hay Hay tertawa akan tetapi menahan suara tawanya agar jangan bergelak. Dia mengerti sekarang. Kiranya seorang kapten muda yang tampan dan gagah perkasa jatuh cinta kepada dara jelita ini, akan tetapi agaknya sang dara ini tidak membalas cintanya itu. Payah kalau cinta bertepuk tangan sebelah! "Lalu bagaimana, Sarah? Teruskan ceritamu." "Kapten Gonsalo mengarnuk, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan dia. Ketika aku bersiap-siap untuk membantunya dan mencabut pistolku, tiba-tiba saja ada orang menyerangku dari belakang dan tahu-tahu aku sudah tidak mampu menggerakkan kaki tanganku yang menjadi lemas dan lumpuh. Aku ditawan seorang laki-laki tinggi kurus dan aku dilarikan olehnya di atas kuda, dibawa ke sini dan dihadapkan pimpinan penjahat. Lalu aku ditawan di dalam guha itu sampai muncui si jahanam busuk jangkung itu. Oohh, betapa inginku menembakkan pistolku sampai habis peluruku ke dalam kepalanya!" "Jadi, mayat-mayat dalam peti mati ini adalah korban peluru senjata api Kapten Gonsalo? Dan bagaimana dengan dia?" "Benar, tujuh orang roboh oleh. tembakannya dan dia memang kuat, mungkin masih ada beberapa orang lagi roboh oleh pedang dan tinjunya. Mungkin tiga orang di antara mereka tewas. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan nasib Kapten Gonsalo. Akan tetapi dia seorang yang kuat dan cerdik, kurasa tidak mudah bagi penjahat-penjahat itu untuk menangkapnya." Hay Hay mengangguk-angguk dan dia pun berpikir dengan keras. Kebetulan sekali dia bertemu puteri komandan benteng Portugis, bahkan menyelamatkannya. Hal ini membuka kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan orang-orang Portugis yang di dalam surat laporan Yu Siucia disebut sebagai sekutu para pejabat di Cang-cow yang hendak melakukan pemberontakan, di samping para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau melihat dara ini, dan mendengar ceritanya tentang Kapten Gonsalo, agaknya bangsa Portugis ini adalah bangsa yang gagah perkasa! "Heii, kenapa engkau melamun saja, Hay hay? Sekarang tiba giliranmu menceritakan keadaan dirimu, siapa engkau sebenarnya dan bagaimana ,engkau dapat datang ke sini dan menyelamatkan aku." Hay Hay sadar dari lamunannya. Dia harus mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sarah dan memancing keterangan apa saja yang dapat dia peroleh dari puteri komandan ini. "Aku? Sudah kukatakan, namaku Hay Hay dan adalah seorang perantau yang sedang berusaha mencari pekerjaan yang layak di Cang-cow. Ketika tadi aku lewat di bukit sana, aku melihat engkau dilarikan si tinggi kurus ke bukit berbatu ini. Aku merasa curiga dan aku paling tidak suka melihat wanita diperhina, maka aku lalu membayanginya dan berhasil menyelundup ke tempat ini. Ketika aku mendapatkan kesempatan, aku memasuki guha di mana engkau ditawan dan kebetulan saja aku dapat menghindarkan engkau dari penghinaan. yang akan dilakukan si jangkung itu."   "Jahanam busuk dia!" kata ,Sarah sambil mengepal tinju. "Andaikata engkau tidak muncul, Hay Hay, sudah pasti aku akan menjadi korban kebiadabannya, dan aku akan diperkosanya. Dan sisa hidupku akan kupergunakan untuk membalas dendam kepadanya, entah dengan cara bagaimanapun juga!” Hay Hay bergidik. Dara muda yang jelita ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa. "Sarah, kukira, para pemimpin perampok menawanmu dengan maksud untuk menjadikan engkau sebagai sandera dan akan minta uang tebusan yang besar jumlahnya. Hanya si jangkung tadi sajalah yang hendak berbuat tidak senonoh dan kukira dia melakukannya di luar tahu para rekannya, yaitu empat orang pimpinan yang lain. Kulihat engkau sama sekali tidak takut menghadapi orang-orang buas itu." "Hemm, kenapa takut? Baik Kapten Gonsalo sudah tewas atau mampu meloloskan diri aku yakin bahwa ayah tentu akan memimpin pasukan untuk mencariku, dan kalau pasukan ayah dapat tiba di tempat ini, tentu seluruh perampok itu akan dibasmi habis!" "Sarah, sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu." Hay Hay mengamati wajah yang jelita itu. Sarah balas memandang dan alisnya berkerut, pandang matanya berubah heran dan menyelidik. "Hay Hay, engkau seorang diri berani menyusup ke tempat berbahaya ini dan menolongku. Sepatutnya akulah yang kagum kepadamu atas keberanian, kegagahan dan kemuliaan hatimu. Bukan engkau yang mengagumiku. Kenapa engkau mengatakan kagum sekali kepadaku?" Hay Hay tersenyum. Dia tidak sekedar merayu. Dia memang kagum kepada gadis kulit putih ini, kagum akan kecantikannya, kagum akan keberaniannya. "Kenapa? Sikapmu begini gagah berani, sedikit pun engkau tidak penakut dan tidak cengeng seperti kebanyakan wanita. Dan engkau begini cantik jelita dan manis. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang gadis sejelita engkau, Sarah. Rambut di kepalamu seperti mahkota emas, seolah-olah mengeluarkan cahaya. Dan wajahmu amat manis, terutama sekali sepasang matamu. Bagikan dua buah bintang kejora, dan warnanya demikian penuh rahasia, kebiruan seperti lautan yang dalam. Bentuk dahimu, pipimu, hidungmu, dagumu dan terutama bibirmu! Bukan main, seperti engkau inilah kiranya wajah bidadari dari dongeng. Dan bentuk tubuhmu! Engkau wanita yang sempurna kecantikanmu. Sarah, dan aku kagum bukan main." Kerut di alis itu semakin mendalam dan kini sepasang mata itu menyinarkan kemarahan, "Hay Hay, kelirukah penilaianku terhadap dirimu? Tadi aku menilaimu sebagai seorang pendekar, seorang yang gagah perkasa dan berbudi mulia! Apakah engkau ternyata hanya seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar!" "Hemmm, kenapa engkau menganggap aku mata keranjang dan kurang ajar, Sarah?" "Engkau mencoba untuk merayu aku, ya? Hay Hay, biarpun kuakui bahwa engkau telah menolongku, akan tetapi jangan kira bahwa setelah menolongku, engkau dapat berbuat sesuka hatimu, dapat merayu dan menggodaku!" "Wah, sungguh sayang, Sarah. Pujianku kepadamu tetap. Engkau cantik jelita dan gagah perkasa, akan tetapi sekarang setelah engkau bicara, sayang sekali harus kukatakan bahwa engkau berprasangka buruk dan karenanya bodoh sekali!" Bagaimana pun juga, Sarah tetap seorang wanita. Tidak ada wanita yang tidak haus akan pujian. Baik pujian itu sejujurnya atau pun hanya rayuan, tetap saja segala macam bentuk pujian membesarkan hati seorang wanita, dan mengangkat harga dirinya. Biarpun tadi marah-marah, tetap saja di sudut hatinya, Sarah merasa senang dan bangga mendengar pujian pria yang dikaguminya, yang telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang amat hebat. Kini, mendengar pemuda itu mengatakan ia berprasangka buruk dan bodoh, tentu saja ia menjadi kecewa. "Hay Hay……..!" “Ssttt……., jangan berteriak…….” Sarah teringat, "Hay Hay," katanya, kini lirih. "Engkau sombong! Engkau mengatakan aku berprasangka buruk dan bodoh? Betapa sombongnya engkau!" Hay Hay tersenyum. "Nah, itulah bukti kebodohanmu. Ketika aku memujimu, engkau marah dan menganggap aku merayu dan menggoda, mata keranjang. Ketika aku mengatakan engkau berprasangka buruk dan bodoh engkau mengatakan aku sombong." "Tentu saja! Engkau seorang laki-laki, dan baru saja menolongku. Sekarang engkau memuji-muji kecantikanku dengan kata-kata yang muluk, bukankah itu rayuan gombal namanya?" "Sarah, rayuan hanya dikeluarkan oleh orang yang ingin menjilat dan menyenangkan ia yang dirayunya, dengan pamrih tertentu. Aka tetapi aku sama sekali tidak merayumu. Kau lihat, aku mempunyai sepasang mata yang sehat dan tidak cacat, bukan?" Sarah memandang heran. "Tentu saja, biar bentuk matamu agak sipit, namun sinarnya mencorong seperti mata naga." "Eh, engkau sudah melihat mata naga?" "Dalam dongeng yang kubacanya. Nah, ada apa dengan matamu?"   "Aku mempunyai sepasang mata yang sehat. Aku melihat engkau dan pandang mataku melihat betapa wajahmu cantik jelita. Aku mengatakannya dengan terus terang, karena memang aku menyukai keindahan. Aku menggambarkan kecantikanmu seperti kalau aku melihat setangkai kembang yang indah dan mengaguminya. Apakah ini yang kaunamakan aku mata keranjang dan merayu? Aku hanya mengemukakan pendapat secara jujur. Engkau memang cantik jelita dalam pandanganku. Apakah aku harus mengatakan bahwa engkau buruk? Apakah kejujuranku ini kauanggap sebagai rayuan gombal?" Kini pandang mata gadis itu menjadi terbelalak. Agaknya ia bingung. Belum pernah ia mendengar pendapat seorang pria seperti yang baru saja didengarnya. "Engkau ini……aneh, Hay Hay! Benarkah pujianmu tadi bukan rayuan, melainkan pernyataan yang jujur? Apakah di balik pujian itu tidak ada suatu pamrih, suatu dorongan berahi? Apakah engkau tidak ingin menyentuhku, memeluk dan menciumku?" Tiba-tiba Hay Hay merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya berubah merah. Untung bahwa sinar penerangan yang memasuki kamar batu itu pun kemerahan sehingga perubahan warna pada wajahnya tidak akan nampak. Dia menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dia harus be.rsikap sejujurnya. Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis bangsanya. Demikian terbuka dan agaknya tidak pantangbicara tentang berahi. Dia harus menarik napas panjang beberapa kali untuk mengumpulkan keberaniannya sebelum bicara. "Kau ingin aku jujur, bukan? Jangan marah kalau jawabanku yang jujur akan menyinggung perasaan hatimu." "Kalau engkau tidak jujur dan membohongiku, barulah aku akan tersinggung, Hay Hay." "Baiklah. Terus terang saja, kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuhmu, memeluk dan menciumi, jawabnya sama dengan kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuh, meraba dan mencium setangkai bunga yang indah mengharum? Aku akan berbohong kalau aku mengatakan tidak, Sarah. Engkau begini cantik jelita seperti setangkai bunga, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa aku mempunyai niat tidak senonoh kepadamu. Aku menyayangi keindahan. Aku akan menyentuh dan mencium setangkai bunga karena mengaguminya, akan tetapi aku tidak akan memetiknya dan merusaknya. Engkau mengerti?" Hay Hay menduga bahwa gadis itu akan tersinggung dan marah. Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali! “Aku mengerti, Hay Hay, dan aku semakin kagum kepadamu. Engkau jujur dan jantan. Nah, kalau memang engkau ingin menyentuh, memeluk dan menciumku, kenapa tidak kau lakukan itu?” "Ehhh……!" Hay Hay terbelalak mengamati wajah gadis itu. Mengejekkah gadis itu? "Kenapa, Hay Hay? Bukankah engkau ingin memeluk dan menciumku? Nah, aku akan girang sekali kalau kaulakukan itu. Ataukah ucapanmu itu hanya basa-basi belaka dan engkau tidak berani melakukan apa yang kau katakan?" "Aku takut engkau akan marah kalau kulakukan itu, Sarah." "Kenapa marah? Kalau memang engkau jujur, aku tidak akan marah bahkan aku akan merasa bangga dan girang sekali. Atau engkau hanya pura-pura jujur saja?" Bukan main! Hay Hay tercengang. Belum pernah dia bertemu seorang gadis seperti ini. Kalau dia tidak yakin akan kejujuran Sarah, tidak yakin akan kesucian hatinya dan melihat betapa Sarah mati-matian mempertahankan kehormatannya, bahkan akan membalas dendam secara mengerikan kalau sampai kehormatannya dicemarkan, tentu dia akan mengira gadis ini murahan! Begitu saja menantang seorang laki-laki untuk memeluk dan menciumnya untuk menimbulkan kekagumannya dan kejujurannya! Namun, Hay Hay tahu bahwa menghadapi gadis seperti ini, dia pun harus berani membuktikan kejujurannya. Apalagi, bukti itu akan amat menyenangkan! "Kalau begitu, maafkan aku!" katanya dan dia pun bangkit, menghampiri Sarah, duduk di dekatnya dan dia pun merangkul dengan perasaan sayang, lalu dengan lembut dia mencium dahi yang kulitnya putih seperti susu itu. Ciuman yang hangat dan mesra. Dalam sentuhan antara hidung dan bibir Hay Hay dengan kulit dahi yang halus dan harum aneh oleh bedak dan keringat itu terkandung perasaan sayang dan kagum dari hati Hay Hay, mendatangkan kehangatan pada hidung dan bibirnya. Kedua lengannya merangkul pundak dan le.her dengan lembut namun kuat, seolah dia hendak melindungi wanita asing yang membuatnya kagum ini. Ketika tadi Hay Hay mendekatkan mukanya, Sarah sudah memejamkan mata dan membuka bibir, menanti ciuman hangat. Ia masih memejamkan mata ketika ciuman itu jatuh ke dahinya dan ia pun teringat kepada ayahnya yang biasanya juga mencium dahinya dengan kasih sayang. la membiarkan dirinya dipeluk ketat, membiarkan pemuda pribumi itu sejenak menempelkan bibir dan hidung didahinya, dengan pasrah. Hay Hay menarik kembali mukanya dan melepaskan rangkulannya dengan lembut, memandang wajah ayu yang masih memejamkan mata. Dahulu, kalau dia mencium seorang gadis, maka gadis itu akan tersipu malu, membuang muka ke samping atau menunduk. Akan tetapi, Sarah masih tetap tengadah, memejamkan mata dan mulutnya tersenyum dengan bibir setengah terbuka. Sama sekali tidak nampak canggung atau malu-malu. Perlahan-lahan Sarah membuka matanya memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak dan pesona itu pecah ketika Sarah tertawa! Tawanya juga lepas walaupun suaranya hanya lirih karena ditahan. Deretan giginya yang rapi dan putih hampir nampak semua ketika sepasang bibir yang merah itu merekah. Hay Hay mengerutkan alisnya, wajahnya terasa panas sekali. Dia merasa diejek! Apanya yang salah pada ciumannya? Kenapa Sarah menertawakannya? Tawa itu jelas tawa yang mengandung arti, seperti orang melihat sesuatu yang amat lucu. "Sstt, jangan keras-keras tertawa, Sarah. Katakan, kenapa engkau menertawakan aku?" Sarah berhenti tertawa dan memegang lengan Hay Hay. "Tentu saja aku tertawa karena engkau lucu. Engkau mengingatkan aku kepada ayahku."katanya sambil menahan tawa dengan senyum lebar. Kerut di antara alis Hay Hay masih belum lenyap. "Hemm, sudah begitu tuakah aku? Kenapa aku mengingatkan engkau kepada ayahmu? Usiaku baru dua puluh lima tahun!" Mendengar ucapan ini, Sarah kelihatan semakin geli dan kini kedua tangannya memegang kedua tangan Hay Hay, matanya menatap dengan terbuka dan bibirnya menahan senyum geli, "Tentu saja engkau mengingatkan aku kepada ayahku karena engkau menciumku seperti kalau ayah menciumku. Dan engkau bukan ayahku. Ha, engkau sungguh sama sekali tidak pandai mencium, Hay Hay."- Kini Hay Hay yang tersipu. Gadis ini segalanya begitu terus terang, begitu polos dan sadar, ada yang ada dalam hati dan pikirannya, ceplas-ceplos saja dikatakan melalui mulutnya tanpa ada rikuh, tanpa khawatir menyinggung perasaan orang karena memang sama sekali tidak ada niat untuk menyinggung. Biarpun tersipu, Hay Hay tersenyum dan semakin kagum. "Maafkan aku, Sarah. Terus terang saja, aku memang bukan ahli dalam hal itu, mungkin kurang pengalaman karena jarang memperoleh kesempatan. Nah, kau beritahu padaku, bagaimana sih seharusnya mencium seorang gadis seperti engkau ini?" Tentu saja Sarah merasa heran dan geli. Seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun, bertanya kepadanya tentang cara mencium seorang gadis! Hal ini terdengar janggal dan aneh baginya, tentu saja karena bangsanya sudah pandai berpacaran sejak usia di bawah dua puluh tahun! Melihat cara Hay Hay tadi menciumnya, ia percaya bahwa Hay Hay tidak berpura-pura. "Ada tiga cara mencium, Hay Hay. .Pertama, ciuman sayang orang tua kepada anaknya, yaitu ciuman di dahi seperti yang kau lakukan tadi. Kedua, ciuman sayang antara saudara atau sahabat baik, di pipi kanan atau kiri atau keduanya. Dan ke tiga adalah ciuman tanda cinta seseorang kepada kekasihnya yaitu ciuman bibir dengan bibir. Nah, engkau sekarang sudah tahu. Perbaikilah ciumanmu yang salah tadi." Setelah berkata demikian, gadis itu dengan sikap manja menengadahkan mukanya yang cantik, dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka. Melihat wajah yang dekat itu, hidung yang mancung dan bibir yang menggairahkan dan menantang, ingin sekali Hay Hay mengecup bibir itu. Akan tetapi dia tidak berani melakukannya. Biarpun aneh dan bebas, dia tahu bahwa Sarah adalah seorang gadis yang terhormat, seorang gadis yang memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin menyinggung hati gadis yang mendatangkan perasaan kagum di hatinya itu. Maka, dia pun mendekatkan mukanya, kemudian mencium gadis itu pada kedua pipinya, dengan hidung dan bibirnya. Ciuman yang mengandung perasaan sayang dan kagum. Dan dia merasa betapa gadis itu pun tanpa canggung-canggung membalas ciumannya. Setelah Hay Hay melepaskan rangkulannya dan menatap wajah Sarah, mereka saling pandang dan gadis itu tersenyum. Dan Hay Hay merasa betapa terjadi perubahan dalam suasana dan hubungan mereka. Terasa akrab sekali dan seolah-olah mereka telah menjadi sahabat baik sejak bertahun-tahun. Lenyaplah perasaan asing di antara mereka. "Nah, sekarang kita telah benar-benar menjadi sahabat baik, Hay Hay. Dan aku berterima kasih sekali kepadamu, karena selain engkau telah menolongku, juga ternyata engkau seorang gentlemen sejati." "Gentlemen? Apa itu?" Sarah tersenyum lebar. "Gentlemen itu kalau menggunakan bahasamu adalah seorang jantan, seorang ksatria, seorang laki-laki sejati yang dapat dipercaya, yang gagah perkasa, lembut hati. Pendeknya, seorang laki-laki pilihan, begitulah!" "Dan engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi baik, dan terus terang saja, juga begitu amat aneh. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dan bersahabat dengan gadis yang hebat seperti engkau ini." Gadis itu memandang dengan wajah berseri gembira. "Dan aku pun tidak pernah mimpi akan dapat berkenalan dengan seorang pendekar seperti engkau. Kukira tadinya bahwa semua orang pribumi……"Sarah menghentikan ucapannya dan menatap wajah pemuda itu dengan ragu. Bagaimanapun, dara ini tidak ingin kalau ucapannya akan membuat sakit hati orang yang dikagumi ini. "Kaukira semua orang pribumi bagaimana, Sarah? Lanjutkanlah dan jangan ragu. Aku pun mengagumi kejujuranmu." "Baik aku akan berterus terang saja. Karena terpengaruh oleh pendapat bangsaku, tadinya aku mengira seperti juga mereka bahwa semua orang pribumi di sini kasar, sombong, kotor dan jahat, tidak dapat dipercaya. Setelah aku bertemu dan berkenalan denganmu, sekarang aku melihat bahwa pendapat itulah yang sombong!" Hay Hay tersenyum dan sikapnya membuat Sarah merasa lega karena pemuda itu tidak tersinggung seperti yang dikhawatirkannya tadi. "Sarah, apakah engkau belum melihat kenyataan bahwa manusia ini, bangsa apapun juga, dari manapun juga, hanyalah makhluk yang lemah dan banyak di antara manusia terlalu sering melakukan kesalahan. Manusia hanya berbeda pada lahirnya saja, berbeda warna kulit, mata, rambut dan kebudayaan karena pengaruh alam lingkunganya. Akan tetapi jiwanya datang dari satu Sumber. Tidak ada satu Dangsa yang orangnya baik semua, atau jahat semua. Kalau ada yang buruk, pasti ada yang baik dan demikian sebaliknya, karena baik dan buruk memang sudah merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Di antara bangsaku terdapat banyak orang jahat, kurasa tiada bedanya dengan bangsamu. Dan kalau di antara bangsamu terdapat banyak orang baik, demikian pula dengan bangsaku. Jahat tidaknya seseorang bukan tergantung dari bangsanya, agamanya, atau keadaan lahiriahnya. Bukankah demikian, Sarah?"   "Ya Tuhan! Di samping kegagahanmu, ketampananmu, keramahan dan semua kebaikanmu, kiranya engkau masih mempunyai kehebatan lain. Engkau seorang filsuf yang bijaksana!" Sarah berseru kaget, heran dan kagum sehingga lupa untuk melunakkan suaranya. "Stttt, jangan berteriak-teriak, Sarah….." kata Hay Hay dan dia memberi isyarat kepada gadis itu agar tidak mengeluarkan suara lagi sambil membuat gerakan menunjuk ke arah luar ruangan itu. Sarah memandang keluar dan mereka pun cepat menyelinap ke belakang peti-peti mati sambil mengintai keluar. Terdengar suara banyak orang di luar guha. Tahulah Sarah bahwa orang-orang yang tadi ketakutan, kini telah datang kembali dan agaknya disertai para pimpinan gerombolan itu. "Heii, iblis mana yang bermain-main dengan kami? Iblis jahat, ini aku Ma Kiu sudah datang, keluarlah dan jangan membikin takut keluarga mereka yang mati!" Terdengar teriakan raksasa hitam yang menjadt orang pertama dari lima pemimpin gerombolan. Tiba-tiba dari dalam guha itu terdengar suara tawa yang mengerikan. Tawa perempuan yang terkekeh-kekeh, kedengarannya aneh dan menyeramkan sekali karena datangnya dari peti-peti mati itu! Semua orang yang berada di luar guha hanya berani memandang ke dalam, ke arah tiga buah peti mati yang tertutup kabut asap tipis dari hio-hio yang masih terbakar. "Siluman betina……” mereka berbisik-bisik ketika mendengar suara tawa wanita itu. Akan tetapi, karena lima orang pemimpin berada di situ, mereka tidak lari tunggang-langgang. Dan Ma Kiu raksasa hitam itu pun nampak tidak takut. Hal ini karena dia datang bersama empat orang saudaranya dan di situ berkumpul pula puluhan orang anak buahnya. Andaikata dia harus menghadapi guha itu sendirian saja, tentu dia sudah lari ketakutan sejak tadi! Ma Kiu biasanya amat galak, pemberani dan tidak takut menghadapi lawan yang mana pun juga, biasa membunuh orang dengan kejam dan dengan darah dingin. Akan tetapi, semua kegalakannya dan kegagahannya terbang entah ke mana kalau dia harus menghadapi setan dan iblis. "Roh jahat yang berada di dalam guha! Keluarlah perlihatkan diri kalau memang berani, atau pergilah dari sini, jangan mengganggu kami lagi!" dengan suara yang digalak-galakkan Ma Kiu berteriak lantang. Melihat lagak Ma Kiu, orang-orang yang berkumpul di situ timbul keberaniannya dalam hati mereka. Seperti juga Ma Kiu yang sudah mengamang-amangkan goloknya, mereka mencabut senjata masing-masing dan mulailah mereka berteriak-teriak. "Siluman betina, pergilah dari sini!" "Iblis, jangan ganggu kami!" Seperti rasa takut yang mudah menular, maka keberanian pun dapat mudah menular. Orang yang tadinya ketakutan, kalau melihat semua orang berlagak berani, rasa takutnya akan lenyap dan timbullah keberaniannya. Mereka kini mengamangkan senjata dan berteriak-teriak sehingga suasana gaduh sekali. Juga tempat di depan guha itu menjadi terang benderang karena banyak obor bernyala. Melihat ini, hati Sarah menjadi gentar juga. Bagaimana mungkin Hay Hay akan mempu melawan orang sebanyak itu? Ia memegang lengan kiri Hay Hay dengan kedua tangannya. Tadi ia telah mengeluarkan suara tawa seperti yang diminta Hay Hay, yang membisikkan agar ia mencoba untuk tertawa seperti setan agar menakut-nakuti mereka. Ia pun tadi tertawa seperti sedang main-main saja, seperti seorang anak kecil menakut-nakuti anak-anak lain, dan ia pun gembira sekali. Akan tetapi, melihat orang-orang itu mencabut senjata dan siap menyerbu ia mulai ketakutan. Biarpun mulut gadis itu tidak mengeluarkan perasaan takutnya, akan tetapi merasa betapa kedua tangan Sarah yang memegang lengannya terasa dingin dan gemetar, tahulah Hay Hay bahwa gadis pemberani ini mengenal juga perasaan ngeri dan gentar. "Tenanglah, aku tanggung mereka tidak akan dapat mengganggumu, Sarah. sekarang, kau lihat baik-baik apa yang akan kulakukan kepada mereka!" kata Hay Hay dan dia lalu mengangkat ujung peti mati yang berada di tengah-tengah, mendorong ujung peti itu ke atas sehingga peti itu bangkit berdiri, seolah-olah mayat yang berada di dalam peti hidup kembali dan bangkit bersama petinya! Dan Hay Hay mengeluarkan suara menggereng yang membuat seluruh guha itu tergetar, disusul kata-kata yang suaranya terdengar parau dan menyeramkan. "Hemmm, kalian berani mengganggu kami? Akan kami cabut nyawa kalian satu demi satu kalau tidak segera pergi meninggalkan kami. Kami ingin tenang mengerti?" Suara itu bergema dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika dengan tangan kirinya Hay Hay rnenggoyang-goyangkan peti di sebelah kiri sedangkan tangan kanan masih tetap menahan peti tengah agar berdiri. Ditambah lagi peti yang kanan mulai bergoyang-goyang karena Sarah membantu Hay Hay dan mengguncang peti itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Orang-orang yang berada di depan guha terbelalak. Siapa orangnya tidak akan takut melihat peti mati dapat bangkit berdiri dan yang dua buah lagi bergoyang-goyang. Tiga rnayat itu agaknya benar-benar telah hidup kernbali! Raksasa Hitam Ma Kiu terbelalak, wajahnya pucat dan seluruh bulu di tubuhnya meremang, tengkuknya terasa dingin seperti ditempeli es. Di kanan kirinya, orang rnenahan napas, ada yang rnenggigil, bahkan ada yang terkulai lemas karena pingsan saking takutnya. Ma Kiu dan empat orang saudaranya yang biasanya amat kejam dan dapat mernbantai banyak orang tanpa berkedip, kini melihat mayat-mayat dalam peti hidup kembali, menjadi gemetar ketakutan dan nyali mereka pun terbang entah ke mana. Apalagi mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara menyeramkan tadi. Mereka tak dapat lagi menahan rasa takut mereka dan Ma Kiu yang lebih dulu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ dengan langkah lebar. Dia malu untuk lari, akan tetapi langkahnya lebar dan cepat melebihi lari cepatnya! Empat orang saudaranya mengikuti jejaknya dan gegerlah semua anak buahnya, berebut dulu melarikan diri. Mereka saling tabrak dan melarikan diri cerai-berai, tunggang-langgang dan jatuh bangun. Ada yang menyeret kawan yang jatuh pingsan dan terdengar tangis di sana-sini, membuat suasana menjadi semakin menyeramkan.   Melihat tingkah puluhan orang itu, Sarah tidak mampu menahan geli hatinya dan ia pun tertawa terkekeh-kekeh, bukan lagi tawa buatan melainkan tertawa bebas dan wajar. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sudah hampir gila oleh rasa takut itu, suara tawa yang wajar ini, suara tawa seorang wanita yang merdu, membuat mereka semakin menjerit-jerit, lari terkencing-kencing seolah-olah suara tawa itu mengejar mereka dan yang tertawa berada di dekat tengkuk mereka! Melihat Saran tertawa geli dan terpingkal-pingkal, Hay Hay ikut pula. tertawa. setelah tawanya reda, Sarah mengusap beberapa butir air mata yang ikut terloncat keluar ketika ia tertawa, lalu matanya mencari-cari wajah pemuda itu dalam keremangan cuaca karena setelah semua orang melarikan diri dan tidak ada lagi cahaya obor-obor bersinar dari luar, cuaca menjadi gelap. "Hay Hay……" katanya, dalam suaranya ,terkandung keheranan dan keraguan sehingga Hay Hay balas memandang dengan sinar mata menyelidik. "Ada apakah, Sarah?" "Katakanlah sebenarnya kepadaku. Apakah engkau ini benar-benar seorang……..manusia biasa…..?” Kini Hay Hay yang membelalakkan kedua matanya, kemudian dia tertawa. "Ha-ha-ha, apakah engkau sudah ketularan mereka tadi, mengira bahwa aku ini siluman, setan atau iblis, Sarah?" “Aku bukan orang picik yang percaya tahyul, Hay Hay. Akan tetapi aku melihat engkau melakukan hal-hal yang tidak lajim dapat dilakukan manusia biasa. Peti ini berat sekali. Aku mengguncang sekuat tenaga pun hanya dapat membuatnya bergerak-gerak. Padahal, biar aku wanita, tenagaku tidak kalah dibandingkan pria biasa. Tapi engkau dengan sebelah tangan, mudah saja mendorongnya sampai bangkit berdiri dan tanganmu sebelah lagi mengguncang peti yang lain. Dan tadi engkau mengeluarkan gerengan yang membuat seluruh guha tergetar, bahkan aku merasa jantungku terguncang dan bulu tengkukku meremang. Seorang manusia biasa tidak mungkin dapat melakukan hal itu." Hay Hay tersenyum. "Sarah, aku mendengar bahwa pada diri siluman terdapat tiga tanda. Pertama, dia tidak mempunyai lekuk bibir di bawah hidungnya, dia tidak memiliki tumit, dan yang ke tiga, kalau dia berdiri, kedua telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Nah, sekarang lihatlah aku," dia meraba bawah hidungnya. "Di sini terdapat lekukan biasa, dan lihat kakiku." Dia bangkit berdiri dan memperlihatkan kakinya. "Kedua tumitku masih utuh, dan kalau aku berdiri, lihat kaki kananku ini, menyentuh tanah ataukah tidak?" Hay Hay sengaja mengangkat sedikit kaki kanannya sehingga tidak menyentuh tanah. Sarah mengikuti semua ucapan Hay Hay, tadi memperhatikan bawah hidung, lalu tumit kaki dan ketika ia memandang ke arah kaki kanan yang tidak menyentuh tanah, ia terbelalak, akan tetapi ketika ia melirik ke arah kaki kiri Hay Hay yang tentu saja berpijak di atas tanah, ia pun tertawa dan tahu bahwa pemuda itu sengaja mempermainkan ia. "Hemm, engkau memang bukan manusia biasa, Hay Hay. Engkau seorang manusia yang luar biasa, engkau seorang pendekar yang tidak saja gagah perkasa, akan tetapi juga jujur, baik budi, jenaka dan……..mata keranjang. "Aih, kenapa ujungnya menjadi tidak enak? Engkau ini memuji, merayu atau mencela, Sarah?" "Bukan merayu bukan mencela, melainkan bicara sejujurnya, seperti engkau. Ahh, aku lelah sekali, dan mengantuk." Sarah merebabkan diri begitu saja, miring di belakang peti mati. "Tidurlah, Sarah, biar aku yang menjagamu." "Bagaimana aku dapat tidur bersama orang-orang mati begini, Hay Hay? Aku hanya ingin merebahkan diri, akan tetapi tempat ini agak kotor, ihh……!" Ia bangkit dan mengebut-ngebutkan bajunya. Lantai itu memang tidak bersih, terdapat banyak debu dan abu hio di situ. "Kalau kau mau, rebahlah di sini, Sarah." kata Hay Hay menepuk kedua pahanya. Dia bicara setengah main-main, akan tetapi diam-diam dia terkejut karena tanpa banyak bicara lagi Sarah lalu merebahkan diri di atas pangkuannya dan menyandarkan kepala di dadanya! Hay Hay bersikap biasa saja dan merangkul pinggang itu, seperti seorang ayah memangku anaknya. "Sarah, aku heran sekali mengapa engkau tidak suka kepada Kapten Gonsalo itu. Menurut keteranganmu, dia seorang kapten pembantu ayahmu yang tampan dan mendengar ceritamu tadi, dia cukup gagah dan pemberani, bahkan amat mencintamu. Pandang matanya kepadamu itu adalah tanda bahwa dia mencintamu, Sarah. Bukankah dia akan menjadi pasanganmu yang cocok dan baik sekali?" Hay Hay setengah memaksa diri untuk bercakap-cakap, karena kelembutan tubuh yang dipangkunya itu, kehangatannya, dan keharuman rambut yang berada di dadanya, membuat dia tidak tenang. Dengan percakapan, tentu perhatiannya akan terpecah. Mendengar pertanyaan itu, Sarah menarik napas panjang. "Dia memang gagah dan tampan, bahkan aku tahu bahwa dia menjadi rebutan para gadis bangsa kami. Dia telah berjasa besar ketika berhasil menghadap kaisar bangsamu dan diterima dengan baik ketika mewakili bangsa kami menyerahkan hadiah kepada kaisar. Namanya terkenal dan dia dipuji-puji. Akan tetapi, aku…….aku tidak mencintanya, Hay Hay." Hay Hay mengerutkan alisnya. Ada suatu kejanggalan di sini, pikirnya. Kalau Kapten Gonsalo itu demikian tampan dan gagah, menjadi rebutan para gadis bangsanya, kenapa Sarah tidak tertarik kepadanya? Tentu jawabnya hanya satu, yaitu bahwa Sarah mencintai pria lain! Seorang dara yang "panas" seperti Sarah ini rasanya tidak mungkin kalau tidak mempunyai seorang kekasih.   "Sarah, aku yakin bahwa engkau tentu telah mempunyai pilihan hati sendiri, mempunyai seorang kekasih." Tubuh yang bersandar di dada itu bergerak, membalik ketika Sarah menengok ke arah Hay Hay dengan matanya yang biru itu terbelalak. Indah sekali. "Heiii, bagaimana engkau bisa tahu, Hay Hay?" Hay Hay tersenyum, untuk menangkis serangan keindahan mata yang menembus jantung itu. "Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa aku bukan manusia biasa? Nah, katakanlah terus terang. Engkau sudah mempunyai seorang kekasih, bukan?" Sarah menghela napas dan bersandar kembali. "Benar, namanya Asron, berusia dua puluh tima tahun. Kami saling mencinta…….” “Lalu kenapa bukan yang mengantar engkau berkuda, akan tetapi Kapten Gonsalo?" "Ah, bagaimana mungkin? Dia hanya seorang perajurit biasa saja. Karena itu, ayah tidak menyetujui hubungan kami. Padahal, aku tahu dan yakin benar, Asron tidak kalah gagah perkasa dibandingkan Kapten Gonsalo. Hanya dia kalah pendidikan sekolah, maka dia hanya perajurit biasa, tidak seperti Gonsalo. Hay Hay, aku sungguh sedih kalau mengingat Asron. Hanya karena cintanya kepadaku maka dia masih bertahan menjadi perajurit, sejak dahulu tidak dinaikkan pangkatnya oleh ayah, walaupun jasanya sudah banyak sekali. Kalau dia tidak ingat padaku, dia sudah berhenti menjadi perajurit. Aku menyesal sekali……" Tubuh di pangkuannya itu terguncang. Sarah menangis! Aneh, pikir Hay Hay. Betapa seorang wanita berhati singa ini dapat juga menangis, Cinta memang bisa membuat orang bersikap aneh, bisa menghancur luluhkan hati yang sekeras baja, juga bisa mengeraskan hati yang tadinya lemah. Dia membiarkan Sarah menangis. Setelah agak reda, dia menggunakan tangan untuk mengusap air mata dari pipi gadis itu. "Sarah, benarkah engkau ini Sarah yang tadi begitu berani menghadapi penjahat, bukan seorang anak perempuan yang cengeng?" Hay Hay sengaja berkelakar. Sarah membalikkan mukanya, menghapus air mata dari mukanya ke baju Hay Hay! Lalu ia membalik dan bersandar lagi. "Hay Hay, jangan mengejek. Engkau tidak merasakan betapa duka dan perihnya hatiku kalau teringat kepada Asron. Aku kasihan kepadanya." “Bagus, kasihan memang menjadi bunganya cinta. Akan tetapi mengapa berduka, Sarah? Hidup ini memang merupakan perjuangan. Hidup ini berarti menghadapi segala macam bentuk tantangan. Setiap kesukaran dalam hidup merupakan tantangan yang harus kita hadapi dengan tabah, yang harus kita perjuangkan agar kita dapat mengatasinya, memenangkannya. Justeru perjuangan menghadapi dan mengatasi setiap tantangan itulah seninya kehidupan! Tanpa adanya tantangan berupa segala bentuk kesukaran, alangkah akan hampanya hidup ini, tidak ada gairah lagi. Jadi, jangan melarikan diri ke dalam kesedihan dan menenggelamkan diri ke dalam lautan air mata. Bangkit dan hadapi kesukaran itu dengan tabah, dan berusaha sekuatnya untuk mengatasinya. Itu baru pantas bagimu, Sarah." Sarah menarik napas panjang. "Luar biasa! Engkau seorang pemuda aneh yang luar biasa, Hay Hay. Hemm, andaikata di sana tidak ada Asron, betapa akan mudahnya bagiku untuk jatuh cinta kepadamu." "Heii, benarkah itu? Bukankah tadi engkau mengatakan aku mata keranjang?" Sarah menjebikan bibirnya yang merah basah. "Hemm, laki-laki manakah di dunia ini yang tidak mata keranjang? Tentu saja mata keranjang dalam arti kata suka sekali kepada wanita cantik, mudah tertarik dan suka menikmati keindahan seorang wanita melalui pandang matanya. Semua laki-laki mata keranjang dan dia akan mengakui hal ini kalau dia jujur. Hanya bedanya ada yang berterus terang seperti engkau, bahkan engkau memperlihatkannya tanpa tedeng aling-aling lagi, mengaku terus terang sehingga kalau wanita kurang kuat batinnya, ia akan mudah saja bertekuk lutut terhadap pujian dan kata-katamu yang bermadu. Ada pula yang pura-pura menunduk akan tetapi matanya melirik ganas, dan yang model inilah yang amat berbahaya, seperti seekor kucing yang diam-diam melirik tikus, tanpa bergerak, tahu-tahu menubruk saja! Untung batinmu bersih dan tidak menjadi hamba nafsu, Hay Hay. Kalau engkau seperti itu, alangkah banyaknya wanita yang menjadi korbanmu. Engkau akan menjadi seorang perusak wanita nomer satu, banyak wanita akan hancur binasa dalam pelukanmu akan tetapi dengan mulut tersenyum karena mabuk oleh rayuanmu." Hay Hay mengerutkan alisnya. Apa yang digambarkan gadis bule itu persis keadaan mendiang ayahnya. Ayahnya ada lah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang terkenal. Entah berapa puluh atau ratus wanita yang sudah menjadi korbannya, termasuk di antaranya adalah ibu kandungnya! Ayahnya itu dahulu tampan, perayu dan menjatuhkan wanita dengan ketampanannya, rayuannya, kepandaiannya, bahkan tidak segan-segan memperkosa! Dan agaknya, kesukaan yang agak keterlaluan dari hatinya terhadap wanita merupakan warisan ayahnya. Untungnya, seperti yang dikatakan Sarah, dia tidak memiliki niat jahat, tidak menjadi hamba nafsu sehingga dia mampu mengendalikan nafsunya. Dia tidak tega merusak wanita, tidak tega menyengsarakan dan mematahkan hatinya, apalagi memperkosanya. "Sudahlah Sarah. Sekarang tidurlah. Engkau perlu beristirahat karena besok pagi-pagi sekali, setelah di luar tidak segelap ini, kita harus cepat meninggalkan tempat ini dan pelarian itu tentu membutuhkan tenaga." "Baik, Hay Hay, aku memang sudah mengantuk sekali. Biar kubersihkan dulu lantai ini agar dapat tidur enak……" "Lantainya kotor, tidur sajalah di sini, Sarah."   "Hemm, engkau tentu akan lelah sekali kalau kusandari sampai pagi." "Tidak, engkau ringan sekali bagiku." "Terima kasih, engkau memang baik sekali, aku merasa seperti engkau ini kakakku sendiri," kata Sarah dan ia pun menyandarkan kembali kepalanya di dada Hay Hay dan tak lama kemudian napasnya sudah menjadi lembut dan panjang, tanda bahwa ia telah jatuh pulas. Hay Hay merangkulnya dan ketika dia melihat wajah di dadanya itu, dia segera memejamkan matanya. Terasa benar olehnya timbulnya berahi. Timbulnya dari pandang mata lalu dikembangkan dalam benak. Pikiran membayangkan hal-hal yang menggairahkan dan nafsu berahi pun mulai bangkit dan kalau nafsu ini dikipasi dengan bayangan dalam pikirannya, nafsu itu tentu akan semakin berkobar. Ketika dia memejamkan mata dan mengosongkan pikiran, hal yang sudah dilatihnya sejak dia masih remaja dan mempelajari ilmu dari See-thian Lama, kemudian dilanjutkan dari Ciu-sian Sin-kai, Pek-mau San-jin, kemudian Song Lojin, maka seketika pikirannya menjadi tenang dan bagaikan air yang diam, pikiran menjadi jernih dan bayangan yang menimbulkan nafsu berahi pun lenyap. Nafsu merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia, bahkan pendorong dan manusia tidak akan hidup tanpa adanya nafsu. Kenikmatan hidup dapat datang karena adanya nafsu. Keindahan melalui pandang mata, kemerduan melalui pendengaran telinga, keharuman melalui penciuman hidung, dan semua kenikmatan yang dapaf kita rasakan melalui panca indera, melalui semua anggauta tubuh, melalui hati akal pikiran, semua itu dapat kita nikmati karena adanya nafsu. Nafsu merupakan anugerah bagi manusia hidup di dunia ini, merupakan barkah dan bekal hidup. Seperti juga anggauta badan, hati dan pikiran, nafsu merupakan peserta dan alat yang bertugas mengabdi dan membantu manusia. Manusia dapat menemukan segala kekuatan dan sarana yang ada di dunia ini, berkat bekerjanya akal yang didorong nafsu. Kemajuan lahiriah yang ada sekarang ini, semua berkat bekerjanya nafsu melalui hati akal pikiran. Dan semua hasil pekerjaan nafsu ditujukan untuk kesejahteraan hidup manusia, untuk kenikmatan hidup manusia di dunia, yaitu yang lajim disebut materi, benda. Namun, nafsu yang amat berguna bagi kehidupan kita ini, juga amat berbahaya karena kalau manusia dikuasainya, maka manusia akan diseretnya menjadi hamba nafsu yang hidupnya hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan duniawi saja. Akibatnya, segala cara dilakukan manusia demi meraih kesenangan yang menjadi tujuan semua nafsu dan terjadilan perbuatan-perbuatan yang dinamakan jahat, yaitu merugikan orang lain. Kalau kita tidak waspada dan ingat selalu kepada Sang Maha Pencipta, yang menciptakan kita, yang menguasai seluruh diri kita luar dalam, yang mengatur segala yang nampak dan tidak nampak, maka kita akan mudah menjadi korban kekuatan nafsu. Segala kebutuhan hidup kita ini dilengkapi dengan nafsu yang akan menimbulkan kenikmatan dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Kita lapar butuh makan agar bertahan hidup, dan di dalam makan itu kita dianugerahi nafsu yang mendatangkan kelezatan dalam mengisi perut yang pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan hidup. Kita mengantuk butuh tidur, dan di dalam tidur pun kita dianugerahi kenikmatan. Kalau haus butuh minum dan dalam minum pun tersedia kenikmatan yang didorong oleh nafsu. Tidak ada kebutuhan yang tidak disertai kenikmatan dalam memenuhinya. Puji Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Demikian besarnya Tuhan melimpahkan cinta kasih kepada segala cintaan-Nya. Akan tetapi, kalau nafsu merajalela dan kita yang diperhamba, apa akibatnya? Kita melupakan kebutuhan inti dari kehidupan ini, yang kita kejar hanyalah kenikmatan dan kesenangan, hanya kebutuhan nafsu semata. Kita makan bukan lagi untuk sekedar mempertahankan hidup menghilangkan lapar, melainkan lebih condong untuk memuaskan nafsu yang mengejar keenakan sehingga seringkali dapat kita lihat buktinya betapa dalam keadaan lapar sekali pun, kalau lauknya tidak menyenangkan mulut kita, kita makan sedikit saja, tidak perduli bahwa mulut kita membutuhkan lebih banyak. Sebaliknya, biarpun perut sudah kekenyangan, kalau yang kita makan itu kita rasakan enak, dan memuaskan nafsu, kita makan terlalu banyak sampai akhirnya menderita sakit perut! Demikian pula dengan semua kebutuhan hidup, termasuk haus, kantuk, mencari kebutuhan hidup yang lainnya, termasuk pula nafsu sex. Nafsu sex ini mutlak penting dengan perkembangbiakan manusia. Tanpa adanya nafsu ini, orang tidak akan suka melakukan, hubungan dan akibatnya, manusia akan punah seperti yang terjadi pada banyak mahluk lain yang dahulu juga menjadi penghuni bumi namun kini tidak ada lagi sama sekali. Teringat akan semua itu, Hay Hay menarik napas panjang. Mendiang ayah kandungnya, jai-hwa-cat Ang-hong-cu, merupakan contoh dari sekian banyaknya pria yang menjadi hamba nafsu berahinya. Demi memuaskan nafsunya itu, dia tidak segan-segan mengejar dan melampiaskannya dengan segala macam cara, tidak perduli lagi apakah cara itu baik atau buruk, melanggar hukum ataukah tidak. "Semoga Tuhan akan selalu membimbingku sehingga aku tidak akan mabuk oleh nafsu dan kehilangan kewaspadaan," pikirnya dan tangan kirinya dengan lembut mengelus kepala yang berambut kuning emas itu. Alangkah indahya rambut ini, pikirnya, kini tidak ada sedikit pun nafsu berahi menggodanya. Seperti benang sutera emas! Kulit muka itu demikian putih kemerahan. Kalau saja tidak ada bulu lembut di permukaannya, kulit muka itu seperti kulit muka bayi. Mata yang terpejam itu tidak kelihatan bola mataya yang biru, akan tetapi masih saja mendatangkan kesan asing dan aneh karena bulu matanya juga tidak hitam benar, melainkan agak kelabu dan panjang melengkung. Dan garis mata itu demikian panjang. Dan hidung itu pun biar tidak terlalu besar, namun mancungnya lain daripada kemancungan hidung bangsanya. Punggung hidung itu tinggi sehingga kalau nampak dari pinggir, mirip paruh burung. Dan mulut itu pun berbibir indah, sulit menggambarkan keindahannya karena keindahan itu tersembunyi dalam lekukan-lekukan kecil di sekitar mulut, tersembunyi di antara bibir yang sedikit terbuka, di kedua ujung yang membelok ke atas, di bibir belahan bawah yang penuh dan tipis, agaknya tergigit sedikit pun akan pecah, dan bentuk dagu itu membayangkan keangkuhan, keanggunan, juga amat manis. Wajah ini memang aneh dan asing baginya. Akan tetapi ketika mereka tadi bercakap-cakap, tidak terasa sama sekali keasingan itu. Jalan pikiran, hati dan akal pikiran gadis ini sama saja dengan apa yang ada pada diri gadis-gadis bangsanya. Yang berbeda hanya kulitnya, akan tetapi isinya sama. Dan dia merasa sayang kepada gadis ini. Bahkan Sarah tadi mengatakan bahwa ia merasa seperti dengan kakaknya sendiri! Akan tetapi, kebiasaan atau cara hidup dari gadis ini sungguh berbeda sekali dengan cara hidup bangsanya. Kalau seorang gadis bangsanya, sampai bagaimana pun juga, tidak mungkin mau tidur di atas pangkuan dan menyandarkan kepala di dada seorang laki-laki asing yang bukan apa-apanya. Bahkan antara saudara sekandung sendiri pun tidak! Mungkin hanya laki-laki yang menjadi suami seorang wanita saja yang akan dipercaya seperti ini.   Tentu saja lain halnya kalau wanita itu seorang wanita sesat yang telah menjadi hamba nafsu yang tidak mengenal susila lagi, hamba nafsunya sendiri yang telah menjadi seperti buta. Akan tetapi Sarah bukanlah wanita seperti itu. Sama sekali bukan! Ia mempertahankan kehormatannya mati-matian, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Jelaslah bahwa bagi bangsa Sarah, hubungan antara pria dan wanita jauh lebih bebas dan berdekatan seperti ini bukan merupakan hal yang buruk bagi Sarah. Hay Hay tidak berani tidur, maklum bahwa di luar guha terdapat banyak musuh yang tentu telah berjaga-jaga, menanti datangnya pagi, Setelah mereka tidak ngeri lagi terhadap siluman, tentu mereka akan menyerbu guha. Dia tidak berani tidur, dan sambil memangku tubuh Sarah, dia hanya menghimpun tenaga murni dan membiarkan tubuhnya melepas lelah. *** “Sttt, Sarah, bangunlah……” Hay Hay berbisik di dekat telinga kiri gadis itu. Sarah menggerakkan bulu matanya, menggeliat dan ketika ia mengangkat kedua lengannya ke atas, tangannya menyentuh muka Hay Hay dan ia pun membuka mata dengan kaget dan heran. Akan tetapi, ketika kedua matanya yang biru dan masih mengantuk itu menatap wajah Hay Hay, ia segera teringat dan tersenyum. "Selamat pagi, Hay Hay." "Selamat pagi. Bersiaplah, kita akan pergi sekarang. Kau tunggu dulu di sini, aku akan mencari kuda untuk kita." Setelah ingatannya segar kembali, Sarah segera berbisik. "Kalau bisa, tolong ambilkan kudaku, Hay Hay. Berbulu kelabu dengan keempat kaki dan ekornya putih." Hay Hay mengangguk. "Kau tetap bersembunyi saja di kamar paling belakang tempat menaruh senjata-senjata itu dan jangan keluar dari kamar sebelum aku kembali. Jangan pula mengeluarkan suara, Sarah." "Aku tahu, Hay Hay," kata Sarah dan ia pun bangkit, melangkah masuk ke dalam kamar di bagian belakang guha itu. Semalam ia dan Hay Hay tetap bersembunyi di balik tiga buah peti mati. Setelah mengantar gadis itu memasuki kamar, sekali berkelebat, Hay Hay lenyap dari depan Sarah. Gadis itu terbelalak, menjenguk keluar kamar, ke arah ruangan depan di mana nampak tiga buah peti mati dari situ. Akan tetapi tidak nampak lagi bayangan Hay Hay. Ia menghela napas panjang. Pernah ia mendengar cerita tentang pendekar pribumi, akan tetapi tak pernah disangkanya ada yang sehebat Hay Hay, yang agaknya memiliki ilmu aneh, ilmu menghilang! Seperti bukan manusia saja, pikirnya. Hay Hay menyelinap ke belakang batu di depan guha dan menghilang keluar. Benar saja dugaannya, dia melihat gerakan di sana-sini, di balik batu-batu dan nampak rambut kepala orang-orang tersembul di balik batu. Tentu banyak orang berjaga-jaga, pikirnya, dan tentu mereka memperhatikan mulut guha ini. Dia lalu melepas kancing bajunya, dan membalikkan bajunya ke atas, menutupi caping dan seluruh mukanya. Dari celah-celah baju dia dapat melihat keluar. Kemudian dia bangkit dan berloncatan dengan gerakan aneh keluar dari situ. Tentu saja anak buah gerombolan yang mengintai dari kanan-kiri dan depan guha, melihat mahluk aneh itu muncul dari dalam guha tempat tiga buah peti mati ditaruh. Dan mereka gemetar ketakutan. Mahluk apakah yang keluar dengan loncatan-loncatan aneh, miring dan ke kanan-kiri itu? Seperti loncatan katak mabuk. Mahluk itu berkaki seperti manusia, akan tetapi tubuh atasnya berkerobong sehingga tidak nampak kedua tangan maupun kepalanya. Hanya dalam kerobongan itu, nampak bagian kepala yang luar biasa besarnya. Itulah caping yang terbungkus baju! Tentu. saja mereka yang masih merasa ngeri, ketika melihat "mahluk" aneh itu keluar, menjadi semakin gentar. Hari masih pagi sekali, kabut masih menggelapkan cuaca. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul. Mereka tidak berani bergerak, akan menanti sampai cuaca terang, baru mereka berani mendekati guha atau memasukinya, tergantung perintah lima orang ketua mereka yang sejak pagi sekali sudah berada pula di tempat persembunyian para penjaga. Melihat mahluk aneh itu, lima orang pimpinan gerombolan juga termangu dan gentar, tidak berani memberi perintah apa-apa karena mereka berlima juga hanya orang-orang sederhana yang amat tahyul. Mereka adalah orang-orang kejam yang tidak segan membunuh orang, dan mereka tidak takut menghadapi orang lain, akan tetapi mereka gentar untuk melawan setan. Apalagi mahluk aneh itu dengan loncatan yang mengerikan, memiliki gerakan yang amat ringan dan beberapa kali loncatan saja dia menghilang! Suasana makin menyeramkan. Dengan mudah Hay Hay menemukan kuda milik Sarah yang dikat dalam sebuah guha kosong. Tidak ada orang berjaga di situ. Agaknya semua orang berkumpul, suasana yang menyeramkan dan rasa takut terhadap "mayat hidup" membuat mereka tidak berani menyendiri. Mereka merasa lebih aman untuk berkumpul dengan teman-teman. Akan tetapi Hay Hay tidak melihat kuda lain. Seekor pun sudah cukup, pikirnya. Kuda untuk Sarah, sedangkan dia sendiri tidak membutuhkan kuda. Kedua kakinya lebih dari cukup dan untuk berlari cepat, dia tidak mau kalah oleh kuda yang mana pun! Dia menuntun kuda itu dan ditambatkannya kuda itu di tempat yang lain. Setelah mengenal benar jalan dari tempat dia menyembunyikan kuda itu ke guha perkabungan, dia lalu kembali. Seperti tadi, dia menutupi kepala berikut capingnya dengan baju yang dibalik ke atas, akan tetapi sengaja sekali ini dia bergerak cepat sekali sehingga orang-orang yang mengintai di sekeliling tempat itu hanya melihat bayangan yang aneh bentuknya, kepala besar tanpa muka, berkelebat memasuki guha. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Ma Kiu, raksasa hitam kepala gerombolan itu tidak sabar lagi. Dia mendorong rekannya yang ke lima dan ke empat untuk menjadi pelopor. "Kalian berdua majulah. Beri contoh kepada yang lain. Pengecut!" bentaknya akan tetapi dengan suara lirih tertahan. Kepala ke empat yang tubuhnya gendut perutnya besar dan ke lima yang kurus kering, saling pandang dengan muka pucat. Mereka takut kepada pirnpinan pertama mereka, juga malu kepada para anak buah karena mereka dimaki pengecut. Mereka memberanikan diri dan keduanya segera muncul dari balik batu. Mereka memegang sebatang golok besar di tangan kanan dan sebuah perisai baja di tangan kiri. Di antara rnereka berlima, yang memegang senjata cakar besi di tangan kiri dan golok di tangan kanan hanyalah Ma Kiu, pemimpin pertama. Karena cakar besinya inilah maka mereka berlima dijuluki Lima Harimau Cakar Besi. Narnun, dua orang yang bergolok dan berperisai ini pun lihai bukan main.   "Haii, siluman, keluarlah dan lawanlah kami berdua!" teriak si gendut dengan sikap gagah akan tetapi suaranya jelas terdengar gemetar dan parau! "Setan iblis yang berani mengganggu kami! Keluarlah dan rasakan tajamnya golokku!" teriak pula si kurus kering. Dia ini bersuara lantang dan tidak gemetar, akan tetapi kalau orang melihat ke arah kakinya, jelas bahwa dua buah kakinya itu menggigil! Dua orang pemimpin ini sebenarnya ketakutan sekali, akan tetapi mereka memaksa diri dan keduanya lalu melangkah maju menghampiri mulut guha. Setelah tiba di mulut guha dan melihat tiga buah peti mati itu terletak seperti biasa, timbullah keberanian mereka. Mereka memutar golok ke atas kepala dengan sikap gagah dan menantang. Akan tetapi, mereka yang mengintai dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kaget dan terheran-heran ketika mereka melihat betapa dua orang pemimpin itu, si gendut dan si kurus kering, kini mulai saling serang dengan mati-matian! Saling serang dengan golok, ditangkis dengan perisai dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang ketika mereka saling serang dengan ganasnya. "Mampus kau, setan!" teriak si gendut. "Rasakan golokku, iblis!" bentak si kurus. Pada saat semua orang terheran-heran, nampak dua sosok bayangan melesat keluar dari dalam guha. Dua orang tanpa kepala, atau lebih tepat, kepalanya tidak nampak karena tubuh bagian atas merupakan kerobongan. Dua orang itu lari dengan cepat, seperti saling melekat. Melihat ini, Ma Kiu menjadi curiga karena cuaca sudah semakin terang dan dia dapat melihat bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita yang mengerobongi tubuh atas mereka dengan baju yang dibalik ke atas! "Kalian cepat kejar mereka!" teriaknya kepada pemimpin ke dua dan kepada Ji Tang, pemimpin ke tiga sedangkan dia sendiri sudah meloncat ke arah dua orang pembantunya yang saling serang itu. "Berhenti!" teriaknya sambil menggerakkan golok menangkis. "Trang-trang!" "Berhenti, apakah kalian berdua sudah gila, saling serang sendiri?" Si gendut dan si kurus saling pandang, terbelalak dan bingung. "Aku tadi menyerang setan!" kata si gendut. "Aku pun menyerang iblis!" kata si kurus. Tentu saja ulah yang aneh itu akibat pengaruh sihir Hay Hay. Sekarang karena Hay Hay telah pergi mereka sadar kembali dan Ma Kiu dapat menduga bahwa tentu ada musuh yang menggunakan ilmu sihir. Tentu peristiwa semalam yang menggegerkan karena disangka tiga buah mayat dalam peti mati hidup kembali juga merupakan perbuatan musuh itu. Musuh itu dan wanita bule telah melarikan diri, yaitu dua bayangan tadi. Dia segera mengajak si gendut dan si kurus untuk melakukan pengejaran agar dapat membantu dua kawan terdahulu yang telah melakukan pengejaran. Mereka mendengar derap kaki kuda dan ke sanalah mereka berlari. Akan tetapi mereka hanya menemukan Ji Tang dan orang ke dua mengerang kesakitan dengan dahi terluka. "Di manakah mereka? Apa yang terjadi?" tanya Ma Kiu penasaran. "Ahh, si keparat itu!" Ji Tang mengepal tinju mengamangkan tinju itu ke arah bayangan yang kini nampak sudah jauh sekali, dan bunyi derap kaki kuda juga tinggal sayup sampai saja. "Kiranya yang melarikan gadis bule itu adalah seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar. Tentu dia yang semalam mempermainkan kita semua, dan agaknya dia pandai ilmu sihir. Ketika tadi kami mengejar sampai di sini, mereka melompat ke atas kuda milik gadis itu, dan si caping lebar menyambit kami dengan batu, mengenai dahi kami." Ma Kiu menyumpah-nyumpah, memaki kawan-kawan dan anak buahnya penakut dan tolol, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani melakukan pengejaran kedalam kota. Keterangan yang diberikan Ji Tang memang benar. Hay Hay yang tadi menggunakan sihir membuat dua orang pimpinan gerombolan itu saling serang di depan guha, kemudian, menggunakan kesempatan itu dia mengajak Sarah untuk lari keluar dari guha dengan membalikkan baju ke atas menutupi muka mereka. Di balik baju, dia menggandeng tangan Sarah dan dia seperti menarik tubuh Sarah dibawa berlari cepat, menuju ke tempat dia menyimpan kuda. "Cepat naiklah kudamu, aku mengikuti dari belakang." Kata Hay Hay. "Tidak!" Sarah berkukuh. "Aku tidak mau naik kuda kalau engkau berjalan kaki." "Habis, bagaimana ? Aku hanya mendapatkan seekor kuda, tidak terdapat kuda lain, entah mereka sembunyikan di mana." "Kudaku ini kuda pilihan yang kuat. Kita menunggang kuda bersama, berboncengan, atau bersama pula kita berlari!" Karena khawatir dikejar puluhan orang dan Sarah tentu terancam bahaya, Hay Hay tidak mau banyak berbantah lagi. "Baik, kita berboncengan!" katanya dan dia sudah melihat datangnya dua orang yang berlari cepat ke arah mereka. Tanpa banyak cakap lagi dia memeluk pinggang Sarah dan mengangkatnya naik ke atas kuda, kemudian dia memungut dua buah batu sebesar telur ayam dan menyambit dua kali ke arah dua orang yang berlari menghampiri. sambitan tepat mengenai dahi dan dua orang itu pun terpelanting dan mengaduh-aduh. Hay Hay meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Sarah dan gadis itu yang sudah memegang kendali kuda lalu membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu.   Mereka menunggang kuda tanpa pelana karena ketika Hay Hay menemukan kuda itu, pelananya tidak ada, entah disimpan di mana. Untung bahwa kendali kuda masih dipasang. Kini kuda dilarikan kencang dan mereka duduk tanpa pelana. Tubuh Sarah tegak dan lentur, tanpa tahu bahwa ia memang ahli menunggang kuda, ,Hay Hay juga biasa menunggang kuda, akan tetapi belum pernah dia menunggang kuda tanpa pelana, apalagi berboncengan seperti itu. Ketika kuda dilarikan kencang, dia terpaksa memeluk pinggang gadis itu dengan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan badannya dan tubuhnya merapat dengan tubuh belakang Sarah. Dia memejamkan mata dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk membayangkan yang bukan-bukan, tidak merasakan tubuhnya yang merapat dengan tubuh Sarah. Setelah mereka keluar dari daerah bukit yang berguha-guha itu, Hay Hay berkata, "Cukup, Sarah. Kita sudah keluar dari daerah mereka dan kulihat tidak ada yang mengejar. Kasihan kudamu kalau disuruh membalap terus." Diam-diam hatinya mengeluh. Akulah yang patut dikasihani, seperti tersiksa oleh bisikan setan! Sarah menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan lagi dan melompat turun. "Eh, kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya. Wajah Hay Hay seperti kepiting direbus. "Tidak apa-apa, aku…..aku hanya kasihan kepada kudamu……lebih baik aku berjalan saja." Sarah menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu. "Sarah, kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?" Sarah menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya. "Engkau memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, aku pun akan berjalan kaki. Kenapa sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?" Hay Hay tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku betapa himpitan tubuh di antara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan gejolak berahinya. "Tidak apa-apa, Sarah, hanya……tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor,kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda ini." Tiba-tiba Sarah tertawa lagi. "Aih, Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?" Sarah menggeleng kepalanya. "Hay Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa. "Dongeng apa?" Hay Hay cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan urusan berboncengan itu. "Dongeng tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan seorang waruta setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa tidak pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan dengan marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini, suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka disoraki dan ditertawakan orang!" Sarah mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa. "Hay Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda, sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan lucunya!" kata Sarah. Hay Hay juga tertawa. "Sarah, rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng." "Kalau begitu aku yang membonceng!” Hay Hay menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat ini. "Baiklah engkau yang membonceng." Dia pun melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan.   Untuk membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya, Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang Portugis. Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan Sarah. "Sarah, setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah." Kedua lengan yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin berpisah darinya. "Akan tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini dapat berlanjut selamanya……” “Sarah, hal itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang teramat penting bagimu." Sarah adalah seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis. "Katakan, pesan apakah itu?" "Engkau tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti Cang-couw akan diserbu." Sarah terkejut. "Ah, begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" . "Hemm, itu pemutarbalikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti. Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu." "Bagaimana mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……" "Nah, bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan di sini hanya karena engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia dengan kekasihmu itu di sana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……” Sarah tidak sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Armando dan Kapten Gonsalo! Kapten Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan membentak. "Jahanam busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru pistolku!" "Kapten Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan mulutmu!" "Hemm, mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!" Gonsalo masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil tersenyum. "Kapten Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando. "Sarah, turunlah dan ke sinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat." Sarah tidak mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu. "Sarah, turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi." "Tapi, Hay Hay…..aku khawatir mereka mengganggumu……" “Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya. Sarah percaya kepada Hay Hay dan ia pun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan dia pun tersenyum. "Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya. "Gonsalo, jangan…..!” Sarah menjerit.   Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo. "Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?" Gonsalo tertegun. “Ular……? Ehhh…..ular….!!" Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desisi dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya. Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan! Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan ia pun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!" "Sarah…..!" teriak Kapten Armando kaget. "Biarlah dulu, Ayah!" Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya! "Sarah, aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata. "Membelaku? Engkau manusia kasar, sombong dan kepala besar! Ketika aku ditawan gerombolan penjahat, ke mana saja engkau minggat? Engkau melarikan diri seperti pengecut. tidak memperdulikan aku yang ditawan penjahat. Kemudian, setelah aku diselamatkan oleh pendekar ini, yang mati-matian membelaku dan berhasil membebaskan aku, engkau malah memaki-maki dia dan hendak menembaknya? Aku yang akan membelanya, kalau perlu dengan nyawaku!" Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Kapten Armando sendiri sampai terlongong dan tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi Kapten Gonsalo marah bukan main, merasa dihina. "Sarah, engkau sungguh tidak adil! Ketika kita dikepung penjahat, aku membelamu mati-matian sampai terluka dan terpaksa aku pergi, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan karena pihak lawan terlalu banyak. Aku sampai terluka akan tetapi pagi ini sejak semalam terus ikut mencarimu, dan engkau kini bahkan memaki aku? Engkau tidak adil, atau apakah engkau sudah dipengaruhi jahanam ini? Sejauh manakah hubunganmu dengan dia? Kulihat tadi kalian berpelukan di atas kuda! Sarah, sungguh aku merasa malu……." “Cukup, Kapten Gonsalo!" tiba-tiba nampak seorang pemuda Portugis yang turun dari kudanya, meloncat ke depan Gonsalo. Dia seorang perajurit muda yang bertubuh tegap jangkung, rambutnya hitam kemerahan dan matanya tajam penuh keberanian. Wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu nampak kekanakan dan tampan, namun dagunya berlekuk tanda bahwa dia seorang yang pemberani. "sebagai seorang yang sopan, engkau tidak pantas menghina Sarah dan mengeluarkan ucapan yang kotor, tuduhan yang keji itu!" Gonsalo membelalakkan mata memandang kepada pemuda itu. "Kau……! Asron, kamu ini perajurit biasa, berani menentang kaptenmu? Kau hendak memberontak?" Dengan sikap gagah dan tenang Asron menjawab, "Tidak ada perajurit menentang kaptennya, tidak ada yang hendak memberontak. Aku berhadapan dengan engkau sebagai seorang jantan berhadapan dengan seorang laki-laki, engkau menghina seorang wanita terhormat dan aku membela wanita yang kucinta. Ini urusan pribadi!" Hay Hay tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi mendengar pemuda itu disebut Aaron, tahulah dia bahwa pemuda itu kekasih Sarah dan dia kagum melihat sikap perajurit muda yang berani menentang atasannya untuk membela kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu Gonsalo mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati Asron yang maju membela kekasihnya. "Bagus! Ini urusan pribadi dan aku akan menghajarmu!" bentak Gonsalo dan dia sudah menyerang dengan tinjunya. Asron menangkis dan balas menyerang. Mereka segera bertanding, bertinju dan saling serang dengan ganas. "Cukup! Hentikan semua kegilaan ini!" Kapten Armando membentak, akan tetapi Sarah menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya. "Biarkan mereka, Ayah! Aku ingin melihat bukti kesetiaan Asron kepadaku! Biarkan mereka bertanding dan kita lihat saja siapa yang lebih jantan!" "Sarah, perajurit itu akan dihajar oleh Gonsalo." kata Kapten Armando agak lirih. "Hemm, biarlah kalau memang begitu. Akan tetapi aku tidak percaya laki-laki sombong macam dia akan mampu menghajar Aaron." Lalu dara ini menoleh kepada Hay Hay sambil berkata, "Hay Hay, lihat betapa kekasihku Aaron membelaku. Dan aku percaya bahwa Aaron akan mampu membersihkan namaku dan menang dalam pertandingan ini!" Hay Hay mengangguk, tersenyum dan meloncat turun dari atas kudanya. Dia maklum maksud yang tersembunyi di dalam ucapan Sarah tadi. Gadis itu ingin melihat kekasihnya menang dan sengaja memberitahu kepadanya. Baik, dia akan menjamin agar Aaron menang dalam pertandingan adu tinju itu. Dua orang itu berkelahi semakin seru. Karena Kapten Gonsalo memang seorang jago tinju yang kuat, dua kali Aaron sempat tercium kepalan tangannya, membuat pemuda itu terpelanting. Akan tetapi dia tidak mengeluh, juga segera bangkit berdiri dan melawan lagi.   "Pukul dia, Aaron. Demi aku, hajar orang kurang ajar itu!" Teriakan-teriakan Sarah ini mendatangkan semangat yang berkobar dan Aaron mengerahkan seluruh tenaganya utuk melawan. Dia pun bukan seorang pemuda lemah. Dia telah belajar ilmu berkelahi, pandai bertinju, bermain pedang dan juga merupakan seorang penembak jitu. Namun, menghadapi Gonsalo, dia kalah pengalaman. Gonsalo mempunyai banyak gerak tipu yang licik, suka mencuri dengan sikunya, dengan lututnya sehingga Aaron nampak terdesak. Pemuda yang sudah berdarah di tepi bibirnya itu melawan mati-matian. Tiba-tiba saja, entah megapa, Gonsalo terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Aaron untuk mengayun tinjunya, dengan cepat sekali ayunan tinju kanannya meledak di rahang Gonsalo yang terhuyung. "Dess….!" Gonsalo terjengkang. Pukulan itu keras sekali dan tadi, tanpa sebab tertentu, tiba-tiba saja kaki kirinya seperti kram dan dia terhuyung sehingga terpukul lawan. Akan tetapi dia memang kuat. Begitu tubuhnya terjengkang dia sudah melompat bangkit kembali dan bagaikan seekor harimau, dia menggereng dan menerjang lagi. Akan tetapi kembali terjadi keanehan. Tiba-tiba saja kedua lutut kakinya lemmas dan dia pun jatuh berlutut. Aaron. sudah datang dengan tinju kanan kiri, dua kali dia rneninju pangkal telinga dan dagu. "Dess! Desss……!!” dan kini Gonsalo roboh dan biarpun dia berusaha untuk rnerangkak bangun, kepalanya pening dan ia pun roboh lagi, lalu bangkit duduk dan rnengguncang-guncang kepala. Terdengar sorak-sorai dan ternyata banyak di antara para perajurit yang memihak Asron karena banyak yang diam-diam tidak suka kepada Gonsalo yang sombong dan keras terhadap bawahannya itu. "Cukup, hentikan perkelahian!!" Tiba-tiba Kapten Armando berseru. Sarah lalu menghampiri Aaron dan mereka berpelukan. Sarah rnengusap sedikit darah dari tepi bibir kekasihnya, lalu mereka berciuman di depan Armando dan semua perajurit. Kembali terdengar teriakan gembira. Kapten Armando menghela napas panjang dan merasa dikalahkan puterinya. Kini semua orang tahu bahwa puterinya saling mencinta dengan Aaron, dan pemuda yang berpangkat perajurit biasa itu ternyata dapat membuktikan bahwa dia lebih jantan daripada Gonsalo. "Asron, ketahuilah bahwa Hay Hay yang membantumu sehingga engkau tadi menang," Sarah berbisik di dekat telinga kekasihnya. Aaron membelalakkan mata memandang Hay Hay yang juga memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Kini mengertilah Aaron. Tadi dia juga merasa heran mengapa Gonsalo terhuyung sehingga dia dapat memukulnya, kemudian Gonsalo bahkan berlutut sehingga dia dapat menalukkannya. Dia tahu bahwa hal ini tidak wajar, kecuali kalau Gonsalo terserang penyakit mendadak. Kini mendengar ucapan Sarah, mengertilah dia. Dia pun sudah banyak mendengar tentang adanya "pendekar" di negeri asing ini. Gonsalo dibantu berdiri oleh anak buahnya. Kesempatan ini dipergunakan Sarah untuk menghampiri ayahnya dan dan dengan lantang ia berkata, "Ayah, kalau tidak ada Hay Hay, tentu saat ini aku tidak dapat bertemu kembali dengan Ayah. Karena itu, aku minta agar jangan ada yang mengganggu Hay Hay." Kapten Armando memandang kepada Hay Hay. Dia melihat betapa pemuda itu memiliki wajah yang cerah dan ramah, akan tetapi mata itu sungguh mengejutkan, seperti mata harimau, mencorong! "Baiklah, dia boleh pergi. Akan tetapi kami akan menyerbu sarang perampok yang telah menawanmu." "Terserah kepada Ayah. Ada satu lagi permintaanku, Ayah." "Apa lagi? Katakan dan cepat kembali ke benteng." "Ayah, setelah peristiwa ini, aku tidak suka lagi tinggal di sini. Aku ingin pulang ke negeri kita. aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi." Kapten Armando mengangguk-angguk. Kalau tidak ada puterinya di situ, dia akan merasa lebih bebas dan tidak khawatir. Puterinya terlalu nakal dan berandal, telah mendatangkan banyak kepusingan kepadanya. “Boleh, boleh. Dalam kesempatan pertama engkau boleh berlayar pulang ke negeri kita." "Aku minta diantar Aaron!" seru pula Sarah. "Tapi dia seorang perajurit yang bertugas di sini." bantah ayahnya. "Tidak, Ayah. Setelah peristiwa ini, tentu dia akan diancam oleh Kapten Gonsalo. Pula, dia bukan perajurit biasa, dia calon mantumu Ayah. Di negeri kita, dia dapat bekerja, daripada di sini selama hidup dia hanya menjadi perajurit saja yang tidak pernah dinaikkan pangkatnya!" Kapten Armando kembali merasa dikalahkan. Jelas bahwa puterinya memprotes dan dia pun merasa salah karena memang sengaja dia tidak menaikkan pangkat Aaron karena memang dia tidak setuju puterinya berpacaran dengan perajurit itu. Kini, Sarah membuka semua itu di depan banyak perajurit dan dia akan nampak buruk sekali kalau dia berkeras. "Baiklah, dia akan mengantarmu pulang.” kata Kapten Armando. "Terima kasih, Ayah…..!" Sarah berteriak dan dia pun melepaskan Aaron, lari kepada ayahnya, memeluk ayahnya dan menciumi kedua pipi ayahnya. Mau tidak mau Kapten Armando merasa terharu juga. Setelah menciumi ayahnya, Sarah kembali menghampiri Aaron. "Aaron, kalau tidak ada Hay Hay, mungkin aku sudah mati atau setidaknya, tidak mungkin kita akan dapat berjodoh. Semua ini berkat pertolongannya. Kau menyadari hal ini?" Aaron mengagguk, lalu menggandeng tangan Sarah dan menghampiri Hay Hay yang masih berdiri sambil memandang semua itu dengan hati gembira. Dia semakin kagum. Sarah memang hebat, pandai sekali memanfaatkan keadaan sehingga terkabullah semua keinginannya. Juga hatinya lega melihat Sarah telah berbaik kembali dengan ayahnya. Walaupun dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun melihat sikap mereka, dia pun dapat menduga bahwa Sarah telah berhasil.   Dia menyambut Sarah yang bergandengan tangan dengan Aaron itu dengan wajah cerah. "Berhasilkah engkau, Sarah?" tanyanya menyambut mereka. "Berkat bantuanmu, semua berhasil baik Hay Hay. Ayah membolehkan aku pulang ke negeri kami diantar oleh Aaron." Aaron juga mengulurkan tangan kepada Hay Hay. "Terima kasih," katanya. Itulah satu-satunya kata yang dikenalnya dari bahasa daerah. Hay Hay menyambut uluran tangan itu dengan hangat. "Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Sarah." kata Hay Hay mengulurkan tangan kepada gadis itu. Akan tetapi Sarah tidak menyambut uluran tangan itu. "Aaron, engkau tidak keberatan kalau aku mencium penyelamat kita?" Aaron tersenyum dan menggeleng kepalanya. Sarah lalu menghampiri Hay Hay yang masih mengulurkah tangannya, kemudian ia merangkul, menarik leher Hay Hay sehingga mukanya menunduk, lalu Sarah menciumnya. Bukan di dahi buka di pipi, melainkan di bibir. Ciuman yang hangat, yang mesra dan dilakukan dengan seluruh luapan perasaan yang berterima kasih. Hay Hay merasakan ini, dan dia pun merasa betapa pipinya basah oleh air mata gadis itu. Sarah mengendurkan rangkulannya dan berbisik, "Hay Hay, demi aku, perlihatkan kepandaianmu dan menghilang dari sini agar mereka percaya." Ia melepaskan rangkulannya dan berkata dengan suara lantang, "Hay Hay, selamat berpisah dan selama hidupku, aku tidak akan melupakanmu!" Ia mengusap air matanya. Hay Hay terharu. "Semoga Tuhan selalu membimbingmu dan memberkahimu hidup berbahagia bersama Aaron, Sarah. Selamat tinggal!" Tiba-tiba Hay Hay meloncat ke atas, tinggi seperti terbang saja. Semua orang terbelalak memandang. Pemuda itu seperti seekor burung saja melayang ke atas pohon dan begitu dia membuat salto, dia pun lenyap di antara pohon-pohon! Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa kagum, dan kini semua orang, termasuk Gonsalo sendiri dan juga Armando, percaya akan cerita Sarah bahwa yang menolongnya adalah seorang pendekar sakti! Sarah lalu mengajak Aaron untuk pulang ke benteng, sedangkan Kapten Armando dibantu oleh Kapten Gonsalo bersama pasukanya, melanjutkan perjalanan menyerbu sarang gerombolan di bukit berguha-guha. Gonsalo agaknya hendak melampiaskan sakit hatinya kepada mereka dan segera terdengar letusan-letusan senjata api ketika sarang itu diserbu. Terjadilah pembantaian dan hanya sedikit saja di antara gerombolan itu yang lolos. Lima orang Harimau Cakar Besi yang menjadi pemimpin mereka tewas. Peristiwa ini disusul oleh amukan orang-orang Portugis yang sejak terjadinya penyerbuan ke sarang perampok itu memperlihatkan sikap mereka yang aseli. Mereka menjadi ganas dan kejam, dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka merasa diri kuat, apalagi karena mereka telah berhasil mengikat para pembesar daerah untuk bersekutu, dibantu pula oleh para bajak laut Jepang yang mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng demi keuntungan diri sendiri. Sarah dan Aaron segera berangkat dengan kapal pertama yang membawa barang dagangan, meninggalkan Cang-cow dan berlayar ke tanah airnya. Di sana telah menanti suatu kehidupan baru yang cemerlang, yang jauh bedanya dengan kehidupan di Cang-cow, hidup dalam benteng yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan. *** Kini kedua orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik sekali, dipercaya oleh Menteri Cang, seorang di antara semua menteri yang paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat menyakitkan. Biarpun mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak. Mereka ingin agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka, walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi di situ terdapat Mayang. Gadis ini agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik, tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka. Biarpun bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotaraja pun ia kadang mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow di mana para pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw. Ia bahkan sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu kepada kaisar di kotaraja. Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar. Mendengar ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu, orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo.   Pada suatu hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja. Taman bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat di sini agar leluasa bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara. Mereka berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak akan dapat didengar orang lain. Juga di sekitar, situ ada tempat persembunyian yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara sembunyi-sembunyi. Liong Bi nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata dengan wajah bersungut-sungut, "Sialan! Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh merupakan penghalang besar bagi kita." "Bersabarlah, Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua perintahku." "Hemmm, sampai kapan? Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk rayuanmu, lalu bagaimana? Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan kekerasan pun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita, sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa bergerak. Lihat, untuk berunding pun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus menyingkirkannya." kata , Liong Bi. Ia dan Liong Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung disebut adik. Sim Ki Liong atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu, "Singkirkan Mayang? Apa maksudmu?" "Bunuh ia dan lenyapkan. Apa lagi?" jawab Liong Bi singkat. Liong Ki terkejut dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau sampai Mayang dibunuh. "Gila kau!" desisnya. "Aku mencintanya!" Liong Bi menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya. "Cinta ? Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, ke mana larinya cintamu itu? Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau tetap akan mencintanya? Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya ? Konyol dan tolol!" Bagi seorang wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, di dalam kehidupan ini tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan, ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan, ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya. "Jangan berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya, bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya ?” Sebetulnya, tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja. Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya rela untuk mengubah jalan hidupnya. Akan tetapi semua itu pun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan. Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apa pun. Akan tetapi itu bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi padam dan hanya tinggal asapnya saja. Nafsu dalam bentuk apa pun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram dan tidak berdaya. Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak menarik lagi dan membosankan. Nafsu menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal rohaniah. Ketika Liong Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan marah kepada seorang hwesio berjubah kuning. Mereka berdua tertarik sekali dan mendekat. Hwesio itu berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali. Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong! Hwesio itu tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci besar arak di situ.   "Hwesio tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?" teriak seorang di antara lima pemuda berpakaian mewah itu. "Engkau ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas dari kami!" teriak orang ke dua. "Orang tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?" "Hayo pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!" Menghadapi kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja. Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi makanan di mulutnya, barulah dia mejawab. "Omitohud, kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa? Sepantasnya kalian bersyukur bahwa makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan mendatangkan barkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?" Lima orang pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap mereka , jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda itu. "Seret dia pergi dari sini!" perintah seorang di antara lima orang pemuda itu. "Pendeta tua itu perlu dihajar!" Tiga orang jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga, biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang di antara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap hormat dia berkata. "Losuhu, harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini. "Omi tohud, kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini, jangan mengurangi selera makan pinceng." kata hwesio itu dengan senyum lebar dan suaranya mengandung ejekan. "Losuhu, kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami takut menyeretmu keluar dari taman ini!" bentak jagoan ke dua. "Heh-heh-heh, kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa ?" "Kami akan terpaksa menyeretmu pergi!" bentak si muka kuning yang sudah kehilangan kesabarannya. "Ha-ha-ha, anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!" hwesio itu tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya. Mendengar ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan itu. "Pergilah kalian anjing-anjing penjilat!" hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak. Tiga orang jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka terus terguling-gu1ing seperti diseret angin yang amat kuat. Liong Ki dan Liong Bi, dua orang yang memi1iki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu. "Hemm, ka1ian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!" kata pula hwesio itu sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh. Dan tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan. Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam kolam berenang ketakutan. Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak mampu menandinginya. "Dia lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna." bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya. Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran setelah tadi ikut menjadi penonton.   Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat, "Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan hartawan, namunkami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kotaraja ini." Hwesio itu bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah sekali. Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang. Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang. Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay! Ketika Hek Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang. Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan mendendam. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay! Mereka segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya, dan ia pun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Siankouw roboh dan tewas! Dua orang hwesio itu lalu melakukan perjalanan, pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang ke dua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kem.atian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu. Kii Hek Tok Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan kepadanya, dia pun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka. Ketika Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya. "Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud…..!” Hek Tok Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki da Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka. "Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. AKu adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau kalian menghabiskan urusan itu sampai di sini saja." Mendengar bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata, "Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."   "Omitohud, kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?" Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman. Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Hek Tok Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa. Kemudian dia dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio. Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang,mereka telah kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaan Budha. Demikianlah, dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan. banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lalu memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya i1mu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu, tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada agama yang aseli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu